Anda di halaman 1dari 13

A.

Pengertian Mutawatir, Masyhur dan Ahad Serta Pembagiannya


Ditinjau dari segi sedikit atau banyaknya rawi yang menjadi sumber berita,
hadits itu terbagi kepada dua macam, yakni: Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad.1
1. Pengertian Hadits Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi, yaitu sesuatu yang datang
secara beriringan antara satu dan lainnya dan di antara keduanya tidak ada sekat.
Menurut istilah, hadits mutawatir dimaknai sebagai hadits yang diriwayatkan oleh
sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk
berdusta.2
2. Pembagian Hadits Mutawatir
Sebagian ulama membagi hadits mutawatir menjadi tiga macam, yakni:
mutawatir lafzhi, mutawatir maknawi dan mutawatir ‘amali. Sebagian ulama lain
seperti ulama Ushul Fikih membaginya menjadi dua macam, yakni: mutawatir
lafzhi dan mutawatir ma’nawi.
Sebagaimana perbedaan pembagian hadits dilihat dari segi kuantitas
jumlah periwayat, perbedaan jumlah tidak menjadi persoalan, karena jumlah dapat
dipersingkat menjadi kecil dan dapat diperinci menjadi banyak yang penting
substansinya adalah sama. Bagi yang menghitung dua macam maka mutawatir
‘amali dimasukkan pada kedua macam di atas, karena ia melihat hadits mutawatir
‘amali sudah berbentuk periwayatan yang tidak lepas dari dua bentuk tersebut.
a. Mutawatir lafzhi
Hadits yang mutawatir lafal dan maknanya. Mutawatir lafzhi tidak
diartikan mesti lafal dan redaksinya sama persis dari satu perawi
dengan perawi yang lain, mungkin redaksi dan lafalnya berbeda tetapi
satu makna dalam hukum dan makna yang ditunjuk jelas dan tegas.
Contoh mutawatir lafzhi:
‫َم ْن َك َّذ َب عّيَل َّ ُمتَ َع ِّمدً افّلْ َيت َ َب َّوْأ َم ْق َعدَ ُه ِم َن النَّ ِار‬

1
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung: Alma ‘Arif, 1974), Hal. 78
2
Ayat Dimyati dan Beni Ahmad Saebani, Teori Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2016), Hal.
296.

1
“Barangsiapa yang mendustakan atas namaku, maka hendaklah
bersiap-siap bertempat tinggal di neraka”. (HR. Al-Bukhari, Muslim,
Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa’ dan Abu Dawud).

b. Mutawatir ma’nawi
Hadits yang mutawatir maknanya bukan lafalnya. Misalnya, Hatim
diriwayatkan ia memberi seseorang seekor unta, periwayatan lain ia
memberi orang lain seekor kuda, riwayat lain ia memberi hadiah dinar
atau dolar dan seterusnya maka disimpulkan makna periwayatan
tersebut bahwa ia seorang dermawan.
c. Mutawatir ‘amali
Perbuatan dan pengamalan syari’ah Islamiyah yang dilakukan Nabi
secara praktis dan terbuka kemudian disaksikan dan diikuti oleh para
sahabat adalah mutawatir ‘amali. Misalnya, berita-berita yang
menjelaskan tentang shalat baik waktu dan raka’atnya, shalat jenazah,
zakat, haji dan lain-lain yang telah menjadi ijma’ para ulama.3
3. Pengertian Hadits Masyhur
Hadits masyhur yaitu hadits yang diriwayatkan dari Nabi oleh beberapa
orang sahabat tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir. Boleh jadi pada tingkat
tabi’in dan seterusnya pada generasi yang lebih muda, hadits ini diriwayatkan
secara mutawatir. Derajat hadits masyhur tidak setingkat mutawatir. Kalau
riwayat mutawatir mendatangkan ilmu yaqin, maka riwayat hadits masyhur tidak
demikian, tetapi membuat hati tumakninah, karena membuat orang cenderung
yakin bahwa informasinya berasal dari Nabi.4
4. Pembagian Hadits Masyhur
a. Masyhur di kalangan para ahli hadits dan lainnya
‫قَا َل َر ُس ْو ُل اهّلل ِ َصىَّل اهلّل عَلَ ْي ِه َو َسمّل َ الْ ُم ْسمِل ُ َم ْن َسمِل َ الْ ُم ْس ِل ُم ْو َن ِم ْن ِل َسا ِن ِه َوي َ ِد ِه‬
“ Rasulullah SAW bersabda seorang muslim adalah orang yang mau
menyelamatkan sesama muslim lainnya dari gangguan lidah dan
tangannya”.
b. Masyhur khusus di kalangan tertentu
3
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2009), Hal. 134-137.
4
Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2003), Hal. 85-86.

2
Hadits masyhur ini hanya dikenal oleh orang-orang tertentu saja,
seperti: masyhur di kalangan ahli fiqh.
‫َال َص َال َة ِل َج ِارالْ َم ْسجِ ِد ِاالَّىِف الَ َم ْسجِ ِد‬
“Tidak sah shalat orang yang rumahnya berdekatan dengan mesjid
kecuali melakukan shalat di mesjid”.

Para muhaddisin tidak banyak meriwayatkan hadits ini, bahkan para


huffaz menganggapnya hadits dha’if. Sekalipun demikian, para ahli
fiqh tetap menganggapnya sebagai hadits masyhur.
c. Masyhur di kalangan orang awam
‫ِل َّلساﺋ ِل َح ُّق َوا ِْن َج َاءعَىَل فَ َر ٍس‬
“Bagi peminta ada hak, sekalipun datangnya dengan naik kuda”.5

5. Pengertian Hadits Ahad


Ahadi adalah bahasa arab yang berasal dari kata dasar ahad artinya satu.
Sedangkan hadits ahad menurut istilah adalah hadits yang tidak mencapai tingkat
hadits mutawatir.6
6. Pembagian Hadits Ahad
Hadits ahad terbagi menjadi tiga macam, yaitu: masyhur, ‘aziz dan gharib.
a. Hadits masyhur
Secara bahasa kata masyhur adalah isim maf’ul dari syahara, yang
berarti al-zhuhur yaitu nyata. Sedangkan menurut istilah ialah hadits
yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih, pada setiap
tingkatan sanad selama tidak sampai kepada tingkat mutawatir.
b. Hadits ‘aziz
‘Aziz menurut bahasa shifat musyabbahat dari kata ‘azza-ya’izzu yang
berarti qalla dan nadara, yaitu “sedikit dan jarang” atau berasal dari
kata ‘azza-ya’azzu yang berarti qawiya dan isytadda, yaitu “kuat dan
sangat”. Sedangkan menurut istilah ialah hadits yang perawinya tidak

5
Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadits dan
Musthalah Hadits, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2013), Hal. 183-186
6
Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadits dan
Musthalah Hadits,...Hal. 181.

3
boleh kurang dari dua orang pada setiap tingkatan sanad-nya, namun
boleh lebih dari dua orang, seperti tiga, empat, atau lebih dengan syarat
bahwa pada salah satu tingkatan sanad harus ada yang perawinya
terdiri atas dua orang. Hal ini adalah untuk membedakannya dari
hadits masyhur. Contoh hadits ‘aziz, adalah:
‫ َاليُ ْؤ ِم ُن‬:‫ﷲعَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ قَا َل‬
ُ ‫ﷲ َصىَّل‬
ِ ‫ﷲ َع ْن ُه َأ َّن َر ُس ْو َل‬ُ َ ‫رةريِض‬ َ ‫َم َار َواهُالْ ُبخ َِار ُّي َع ْنَأيِب ْ ه َُر ْي‬
‫َأ َحدُ مُك ْ َحىَّت َأ ُك ْو َن َأ َح ُّب ِٳلَ ْي ِه ِم ْن َوادِل ِ ِه َودَل ِ ِه‬
“Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari hadits Abu Hurairah,
bahwa Rasul SAW bersabda, “Tidak beriman salah seorang kamu
sehingga aku lebih dicintainya dari orang tuanya dan anaknya”.

Dari contoh di atas terlihat bahwa jumlah perawi yang terdiri atas dua
orang adalah mulai dari tingkatan sahabat dan tabi’in, dan pada
tingkatan selanjutnya jumlah perawinya mulai melebihi dari dua dan
seterusnya, yang keadaan demikian merupakan ciri dari hadits ‘aziz.
c. Hadits gharib
Menurut bahasa kata gharib adalah shifat musyabbahat yang berarti
al-munfarid atau al-ba’id’an aqaribihi, yaitu “yang menyendiri” atau
“jauh dari kerabatnya”. Sedangkan menurut istilah yaitu hadits yang
menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya. Dapat disimpulkan
bahwa setiap hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi, baik pada
setiap tingkatan sanad atau pada sebagian tingkatan sanad dan bahkan
mungkin hanya pada satu tingkatan sanad, maka hadits tersebut
dinamakan hadits gharib.
Hadits gharib terbagi dua, yaitu gharib muthlaq dan gharib nisbi.
1) Gharib muthlaq
Yaitu hadits yang menyendiri seorang perawi dalam
periwayatannya pada asal sanad. Misalnya, pada hadits
mengenai niat:
َ ‫ِٳن َّ َم‬
ِ ‫ااﻷمْع َ ُال اِب ل ِن َي‬
‫ات‬

4
“Sesungguhnya seluruh amal itu bergantung pada niat”. (HR.
Bukhari dan Muslim)

Hadits niat tersebut hanya diriwayatkan oleh ‘Umar bin al-


Khaththab sendiri di tingkat sahabat.
2) Gharib Nisbi
Ialah hadits yang terjadi gharib di pertengahan sanad-nya.
Hadits gharib nisbi ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh
lebih dari seorang perawi pada asal sanad (perawi pada tingkat
sahabat), namun dipertengahan sanad-nya terdapat tingkatan
yang perawinya hanya sendiri (satu orang). Contoh hadits
gharib nisbi, adalah:
‫ﷲعَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ َد َخ َل‬
ً ‫ﷲ َع ْن ُه َأ َّن النَّيِب َّ َصىَّل‬
ُ َ ‫َم َار َوا ُ`ه َماكِل ٌ َع ِن ُّالز ْه ِر ْي َع ْنَأن َ ٍس َريِض‬
‫َمكَّ َۃ َوعَىَل َرْأ ِس ِه الْ ِم ْغ َف ُر‬
“Hadits yang diriwayatkan oleh Malik dari Al-Zuhri dari Anas
r.a, bahwasanya Nabi SAW memasuki kota Mekah dan di atas
kepalanya terdapat al-mighfar (alat penutup/ penutup
kepala)”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Pada hadits di atas, hanya Malik sendiri yang menerima hadits


tersebut dari Al-Zuhri.7
Secara garis besar klasifikasi hadits secara kuantitas terbagi menjadi tiga,
yaitu: hadits mutawatir, masyhur dan ahad. Hadits mutawatir ialah hadits yang
diriwayatkan oleh sejumlah orang sedangkan menurut kebiasaan tidak mungkin
mereka bersepakat untuk berdusta. Kemudian hadits masyhur ialah hadits yang
belum mencapai tingkat kemutawatiran serta diriwayatkan oleh tiga orang atau
lebih. Dan hadits ahad ialah hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.
Adapun pembagiannya ialah: pertama, hadits mutawatir terbagi tiga, yaitu
mutawatir lafzhi, mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali; kedua, hadits
masyhur terbagi tiga, yaitu masyhur di kalangan para ahli hadits dan lainnya,
masyhur khusus di kalangan tertentu dan masyhur di kalangan orang awam; dan
ketiga, hadits ahad terbagi tiga, yaitu hadits masyhur, hadits ‘aziz dan hadits
7
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001), Hal. 208-217.

5
gharib. Sedangkan hadits gharib terbagi lagi menjadi dua, yaitu gharib muthlaq
dan gharib nisbi.
B. Konsekuensi Pengingkaran Hadits Mutawatir, Masyhur dan Ahad
Status dan hukum hadits mutawatir adalah qat’i al-wurud, yaitu pasti
kebenarannya dan menghasilkan ilmu yang dharuri (pasti). Oleh karenanya,
adalah wajib bagi umat islam untuk menerima dan mengamalkannya. Dan
karenanya pula, orang yang menolak hadits mutawatir dihukumkan kafir. Seluruh
hadits mutawatir adalah maqbul, dan karena itu pembahasan mengenai keadaan
para perawinya tidak diperlukan lagi.8
Jumhur ulama sepakat bahwa beramal dengan hadits ahad yang telah
memenuhi ketentuan maqbul hukumnya wajib. Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan
Imam Ahmad memakai hadits ahad bila syarat-syarat periwayatan yang sahih
terpenuhi. Hanya saja Abu Hanifah menetapkan syarat tsiqqah dan adil bagi
perawinya serta amaliyahnya tidak menyalahi hadits yang diriwayatkan.
Sedangkan golongan Qadariyah, Rafidhah dan sebagian ahli Zhahir
menetapkan bahwa beramal dengan dasar hadits ahad hukumnya tidak wajib. Al-
Juba’i dari golongan Mu’tazilah menetapkan tidak wajib beramal kecuali
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh dua orang yang diterima dari dua
orang. Sementara yang lain mengatakan tidak wajib beramal kecuali hadits yang
diriwayatkan oleh empat orang dan diriwayatkan oleh empat orang pula.9
Di kalangan ulama Hanafiyah hadits masyhur hukumnya adalah zhann, yaitu
mendekati yakin sehingga wajib beramal dengannya. Akan tetapi, karena
kedudukannya tidak sampai kepada derajat mutawatir, maka tidaklah dihukumkan
kafir bagi orang yang menolak atau tidak beramal dengannya.10
Seluruh hadits mutawatir adalah maqbul maka dari itu, umat islam wajib
untuk menerima dan mengamalkannya. Kedudukan hadits masyhur tidaklah
sampai kepada derajat mutawatir. Adapun hukum dari hadits masyhur ini wajib
bagi kita untuk beramal dengannya. Akan tetapi, bagi yang menolak atau tidak
beramal dengannya tidaklah dihukum kafir. Dan wajib hukumnya beramal dengan
8
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,...Hal. 207.
9
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Hal. 109.
10
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,...Hal. 210.

6
hadits ahad menurut kesepakatan dari jumhur ulama dengan ketentuan haditsnya
maqbul dan syarat-syarat periwayatan yang sahih terpenuhi serta amaliyahnya
tidak menyalahi hadits yang diriwayatkan.
C. Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Kehujjahan Hadits Ahad
Pembagian hadits ahad kepada masyhur, ‘aziz dan gharib tidak bertentangan
dengan pembagian hadits ahad kepada shahih, hasan dan dha’if. Sebab membagi
hadits ahad kepada tiga macam tersebut, bukan bertujuan langsung untuk
menentukan makbul dan mardudnya suatu hadits, tetapi bertujuan untuk
mengetahui banyak atau sedikitnya sanad. Sedang membagi hadits ahad kepada
shahih, hasan, dha’if adalah bertujuan untuk menentukan dapat diterima atau
ditolaknya suatu hadits.
Dengan demikian, hadits masyhur dan ‘aziz itu masing-masing ada shahih,
hasan dan dha’if. Juga tidak setiap hadits gharib itu tentu dha’if. Ia adakalanya
shahih, apabila memenuhi syarat-syarat yang dapat diterima dan tidak
bertentangan dengan hadits yang lebih rajih. Hanya saja pada umumnya hadits
gharib itu dha’if, dan kalau ada yang shahih itu pun hanya sedikit sekali.
Menurut Imam Malik bahwa sejelek-jelek ilmu hadits itu, ialah yang gharib
dan yang sebaik-baiknya ialah yang jelas serta ditenarkan oleh orang banyak. Ali
bin Al-Husain berpendapat, bahwa yang dikatakan hadits yang baik itu, ialah yang
telah dikenal dan dipopulerkan dalam pembicaraan oleh masyarakat. Imam
Ahmad bin Hanbal melarang seseorang mencatat hadits-hadits gharib, ujarnya:
“Jangan kamu mencatat hadits-hadits gharib, lantaran hadits-hadits gharib
itu mungkar-mungkar dan pada umumnya berasal dari orang-orang lemah”.11

Perbedaan pendapat ulama tentang kehujjahan hadits ahad di lihat dari


pembagian hadits ahad kepada masyhur, ‘aziz dan gharib tidaklah bertentangan
dengan pembagian hadits. Sebab tujuan membagi hadits ahad ke dalam tiga
macam tersebut yaitu untuk mengetahui banyak atau sedikitnya sanad.

D. Kehujjahan Hadits Ahad Dalam Persoalan Akidah

11
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits,...Hal. 111.

7
Ada dua pendapat mengenai kehujjahan hadits ahad dalam masalah akidah, di
antaranya adalah:
1. Kelompok penolakan kehujjahan hadits ahad
Ini adalah pendapat dari kalangan mu’tazilah dan para ulama ilmu kalam.
Mereka tidak mau menggunakan hadits ahad sebagai hujjah dalam
masalah akidah. Di antara dalil-dalil yang mereka pergunakan untuk
mendukung argumentasinya adalah, firman Allah dalam surah An-Najm
ayat 29:
“Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu,
mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya
persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran”. (QS.
An-Najm: 29)

Dari ayat ini disimpulkan bahwa Allah melarang kita untuk menjadikan
prasangka (dhann) sebagai hujjah, sementara hadits ahad ini berfungsi
dhann. Akidah adalah sebuah keyakinan, maka secara logika untuk
menetapkan keyakinan harus ditetapkan dengan dalil yang berfungsi
yakin. Sedangkan hadits ahad hanya berfungsi dhann dan tidak berfungsi
yakin.
2. Pendukung kehujjahan hadits ahad
Ini adalah pendapat dari jumhur ulama. Ada beberapa dalil kuat yang
dijadikan oleh jumhur untuk mendukung pendapat mereka, di antaranya
adalah hadits diutusnya Mu’adz ke Yaman. Dalam hadits tersebut
dijelaskan bahwa Mu’adz diperintahkan oleh Rasulullah untuk
menyampaikan tauhid terlebih dahulu. Setelah itu baru perkara-perkara
kewajiban ibadah seperti shalat, zakat dan puasa. Ini merupakan dalil
qath’iy yang menunjukkan bahwa hadits ahad bisa dijadikan hujjah, jika
hadits ahad tidak bisa dijadikan hujjah dalam akidah maka tentu
Rasulullah tidak cukup mengutus Mu’adz seorang diri. Firman Allah
dalam Surah Al-Maidah ayat 67:
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu, dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu,
berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu

8
dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang kafir”. (QS. Al-Maidah: 67).

Beliau juga bersabda pada saat haji wada’:


“...dan kalian bertanggung jawab atas apa yang kalian dengar dariku,
bagaimana pendapat kalian?” para sahabat berkata, “Kami bersaksi
bahwa engkau telah menyampaikannya dan memberi nasehat...” (HR.
Muslim)

Dari kedua dalil di atas, bisa kita ketahui bahwa kata ‫ البالغ‬bermakna
sesuatu yang bisa dijadikan hujjah untuk obyek pendengar dan berfungsi
ilmu.12
Muhammad Al-Ghazali hanya menerima hadits-hadits mutawatir untuk
persoalan dasar dalam islam, seperti persoalan akidah dan hukum. Ia tidak setuju
penggunaan hadits-hadits ahad dalam persoalan-persoalan dasar agama, karena
hadits-hadits ahad hanya mendatangkan informasi dhanni.13
Para Muhaqqiqin menetapkan bahwa hadits ahad yang shahih diamalkan
dalam bidang amaliyah baik masalah-masalah ubudiyah maupun masalah-masalah
muamalah, tidak dalam bidang akidah atau keimanan, karena keimanan/keyakinan
harus ditegakkan atas dasar dalil yang qath’i sedangkan hadits ahad hanya
memberikan faedah dhanni. Oleh karena itu mempercayai suatu i’tiqat yang hanya
berdasarkan dalil dhanni tidak dapat dipersalahkan dan hadits ahad tidak dapat
menghapuskan hukum dari Al-Qur’an, karena Al-Qur’an adalah mutawatir,
demikian pendapat imam Asy-Syafi’i. Dan menurut Ahludh dhahir (pengikut
Daud Adh Dhahiri) bahwa hadits ahad juga tidak boleh dipakai untuk
mentahksish ayat-ayat Al-Qur’an yang ‘amm (bersifat umum), pendapat ini
diikuti oleh ulama Hambali.14
Dapat disimpulkan mengenai kehujjahan hadits ahad dalam masalah akidah
terdapat dua pendapat, yakni pendapat kelompok yang menolak dan pendapat
yang mendukung berhujjah dengan hadits ahad dalam persoalan akidah. Alasan

12
Tajun Nasher, Kehujjahan Hadits Ahad Dalam Hukum Fiqih dan Aqidah, (Jakarta: Rumah
Fiqih Publishing, 2018), Hal. 14-19.
13
Bustami dan M. Isa, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), Hal.
110.
14
Moh. Anwar, Ilmu Mushtalahah Hadits, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981), Hal. 31.

9
yang menolak ialah pendapat dari kalangan mu’tazilah dan para ulama ilmu
kalam. Mereka tidak mau menggunakan hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah
akidah karena mereka beranggapan bahwa hadits ahad berfungsi dhann.
Sedangkan akidah adalah sebuah keyakinan, maka secara logika untuk
menetapkan keyakinan harus ditetapkan dengan dalil yang berfungsi yakin.
Sedangkan kelompok yang mendukung berpendapat bahwa hadits ahad bisa
dijadikan hujjah, jika hadits ahad tidak bisa dijadikan hujjah dalam akidah maka
tentu Rasulullah tidak cukup mengutus Mu’adz seorang diri sebagaimana hadits
mengenai diutusnya Mu’adz ke Yaman.

10
KESIMPULAN
1. Secara garis besar klasifikasi hadits secara kuantitas terbagi menjadi tiga,
yaitu: hadits mutawatir, masyhur dan ahad. Hadits mutawatir ialah hadits
yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil
mereka bersepakat untuk berdusta. Kemudian hadits masyhur ialah hadits
yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum mencapai derajat
mutawatir. Dan hadits ahad ialah hadits yang tidak mencapai derajat
mutawatir.
2. Adapun pembagiannya ialah: hadits mutawatir terbagi tiga, yaitu mutawatir
lafzhi, mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Hadits masyhur terbagi tiga,
yaitu masyhur di kalangan para ahli hadits dan lainnya, masyhur khusus di
kalangan tertentu dan masyhur di kalangan orang awam. Hadits ahad terbagi
tiga, yaitu hadits masyhur, hadits ‘aziz dan hadits gharib. Sedangkan hadits
gharib terbagi lagi menjadi dua, yaitu gharib muthlaq dan gharib nisbi.
3. Konsekuensi pengingkaran hadits mutawatir, masyhur dan ahad ialah orang
yang menolak hadits mutawatir dihukumkan kafir, maka wajib bagi umat
islam untuk menerima dan mengamalkannya. Adapun hukum dari hadits
masyhur ialah wajib bagi kita untuk beramal dengannya. Akan tetapi, bagi
yang menolak atau tidak beramal dengannya tidaklah dihukum kafir. Dan
wajib hukumnya beramal dengan hadits ahad menurut kesepakatan dari
jumhur ulama dengan ketentuan haditsnya maqbul dan syarat-syarat
periwayatan yang sahih terpenuhi serta amaliyahnya tidak menyalahi hadits
yang diriwayatkan.
4. Perbedaan pendapat ulama tentang kehujjahan hadits ahad di lihat dari
pembagian hadits ahad kepada masyhur, ‘aziz dan gharib tidaklah
bertentangan dengan pembagian hadits. Sebab tujuan membagi hadits ahad ke
dalam tiga macam tersebut yaitu untuk mengetahui banyak atau sedikitnya
sanad.
5. Kehujjahan hadits ahad dalam masalah akidah terdapat dua pendapat, yakni
pendapat kelompok yang menolak dan pendapat yang mendukung berhujjah
dengan hadits ahad dalam persoalan akidah. Alasan yang menolak ialah

11
pendapat dari kalangan mu’tazilah dan para ulama ilmu kalam. Mereka tidak
mau menggunakan hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah akidah karena
mereka beranggapan bahwa hadits ahad berfungsi dhann. Sedangkan akidah
adalah sebuah keyakinan, maka secara logika untuk menetapkan keyakinan
harus ditetapkan dengan dalil yang berfungsi yakin. Sedangkan kelompok
yang mendukung berpendapat bahwa hadits ahad bisa dijadikan hujjah, jika
hadits ahad tidak bisa dijadikan hujjah dalam akidah maka tentu Rasulullah
tidak cukup mengutus Mu’adz seorang diri sebagaimana hadits mengenai
diutusnya Mu’adz ke Yaman.

12
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Moh.. 1981. Ilmu Mushtalahah Hadits. Surabaya: Al-Ikhlas.

Bustami dan M. Isa. 2004. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.

Dimyati, Ayat dan Beni Ahmad Saebani. 2016. Teori Hadis. Bandung: Pustaka
Setia.

Khon, Abdul Majid. 2009. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.

Nasher, Tajun. 2018. Kehujjahan Hadits Ahad Dalam Hukum Fiqih dan Aqidah.
Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2018.

Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung: Alma ‘Arif.

Suparta, Munzier. 2002. Ilmu Hadis. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Yuslem, Nawir. 2001. Ulumul Hadis. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.

Zein, Ma’shum. 2013. Ilmu Memahami Hadits Nabi Cara Praktis Menguasai
Ulumul Hadits dan Musthalah Hadits. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.

Zuhri, Muh., 2003. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta:
Tiara Wacana.

13

Anda mungkin juga menyukai