Anda di halaman 1dari 12

KLASIFIKASI HADIS AHAD SECARA KUALITAS

A. Hadis Shahih dan Pembagiannya


1. Pengertian Hadis Shahih
Para ulama biasa menyebut kata shahih ini sebagai lawan dari kata saqim (sakit).
Maka hadis shahih secara bahasa adalah hadis yang sehat, selamat, benar, sah, dan
sempurna. Secara terminologi hadis shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung,
diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan dhabith hingga bersambung kepada
Rasulullah atau pada sanad terakhir berasal dari kalangan sahabat tanpa mengandung
syadz (kejanggalan) ataupun ‘illat (cacat).1
2. Syarat-syarat Hadis Shahih
a. Sanadnya bersambung
Yang dimaksud dengan sanad bersambung adalah tiap-tiap periwayat dalam
sanad hadis menerima riwayat hadis dari perawi terdekat sebelumnya; keadaan itu
berlangsung demikian sampai akhir sanad hadith itu. Dengan kata lain, sanad hadis
tersambung sejak sanad pertama (mukharrij sanad) sampai sanad terakhir (kalangan
sahabat hingga Nabi Muhammad, atau persambungan itu terjadi mulai dari Nabi pada
periwayat pertama (kalangan sahabat), sampai periwayat terakhir (mukharrij sanad).
b. Rawinya bersifat ‘adil
Menurut Ar-Razi, keadilan adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu
bertindak takwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-
dosa kecil, dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang menodai muru’ah,
seperti makan sambil berdiri di jalanan, buang air (kencing) di tempat yang bukan
disediakan untuknya, dan bergurau yang berlebihan.
c. Rawinya bersifat dhabith
Kriteria dhabith adalah: Pertama, perawi itu memahami dengan baik riwayat
hadis yang telah didengar (diterimanya). Kedua, perawi itu hafal dengan baik riwayat
hadis yang telah didengar (diterimanya). Ketiga, perawi itu mampu meyampaikan
riwayat yang telah dihafal dengan baik: (a) kapan saja menghendakinya; dan (b)
sampai saat meyampaikan riwayat itu kepada orang lain.
d. Terhindar dari syadz (kejanggalan)
1
Idri, Studi Hadis, (Kencana Prenada Media Group: Jakarta, 2013), h. 157.

1
Menurut istilah ulama hadis, syadz adalah hadith yang diriwayatkan oleh
periwayat tsiqah dan bertentangan dengan riwayat oleh periwayat yang lebih tsiqah.
Suatu hadis dinyatakan mengandung syadz apabila: (1) hadis itu memiliki lebih dari
satu sanad; (2) para periwayat hadis itu seluruhnya tsiqah; (3) matan dan/atau sanad
hadis itu mengandung pertentangan.
e. Terhindar dari ‘illat
Terhindar dari ‘illat maksudnya bahwa hadis yang bersangkutan terbebas dari
cacat kesahihannya, yakni hadith itu terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnya
cacat, meskipun tampak bahwa hadis itu tidak menunjukkan adanya cacat tersebut.2
3. Kedudukan Hadis Shahih
Kekuatan hadis shahih itu bertingkat seiring dengan bertingkatnya
sifat kedhabitan dan keadilan rawinya. Hadis shahih yang paling tinggi derajatnya adalah
hadis yang bersanad Ashohhul Asanid. Imam Nawawi membagi shahih menjadi tujuh
bagian:
a. Hadis yang muttafaq ‘alaihi atau muttafaq ‘ala shihhatihi, yaitu
hadith shahih yang telah disepakati oleh kedua Imam hadits Bukhari dan Muslim,
tentang sanadnya.
b. Hadis yang hanya diriwayatkan oleh Imam Bukhari sendiri, sedang Imam Muslim
tidak meriwayatkan.
c. Hadis yang hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim sendiri, sedang Imam Bukhari
tidak meriwayatkan.
d. Hadis shahih yang diriwayatkan menurut syarat-syarat Bukhari dan Muslim,
sedang kedua Imam itu tidak mentakhrijkannya, yaitu bahwa rawi-rawi hadis
yang dikemukakan itu, terdapat di dalam kedua kitab shahih Bukhari dan Muslim.
e. Hadis shahih menurut syarat Bukhari, sedang beliau sendiri tidak
mentakhrijkannya (mengeluarkannya).
f. Hadis shahih menurut syarat Muslim, sedang beliau sendiri tidak
mentakhrijkannya.

2
Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Pustaka Setia: Bandung, 2009), h. 143.

2
g. Hadis shahih yang tidak menurut salah satu syarat dari kedua Imam Bukhari dan
Muslim akan tetapi dishahihkan oleh imam-imam hadits yang lain. Misalnya
hadis Ibnu Khuzaimah, AlHakim, dll.
4. Pembagian Hadis Shahih
Hadis shahih terbagi menjadi dua, yaitu shahih li dzatih dan shahih li gahirih.3
a. Shahih li dzatih
Shahih li dzatih adalah sebuah hadis yang telah memenuhi semua syarat hadis
shahih dan tingkatan rawi berada pada tingkatan tertinggi.
b. Shahih li gahirih
Shahih li ghairih adalah hadis yang tidak menetapi persyaratan hadis shahih
secara sempurna, misalnya rawi kurang memiliki ingatan hafalan yang kuat sehingga
digolongkan sebagai hadis hasan, namun karena didukung oleh hadis lain yang satu
tema dan kualitasnya seimbang atau bahkan lebih tinggi maka hadis tersebut
dinamakan shahih li ghairih.

B. Hadis Hasan dan Pembagiannya


1. Pengertian Hadis Hasan
Hadis hasan ialah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh seorang
yang ‘adil tetapi kurang dhabith, tidak terdapat di dalamnya suatu kejanggalan (syadz)
dan tidak juga terdapat cacat (‘illat). Sehingga pengertian hadis hasan oleh para ulama
mutahaddisin didefinisikan sebagai berikut: “ialah hadis yang pada sanadnya tidak
terdapat orang yang tertuduh dusta, tidak terdapat kejanggalan pada matannya dan hadis
itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan
maknanya.”
2. Kriteria Hadis Hasan
Berdasarkan pada pengertian yang telah dikemukakan di atas, para ulama hadis
merumuskan kriteria hadis hasan. Kriterianya sama dengan hadis shahih, hanya saja pada
hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau lebih rendah dari
perawi hadis shahih. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai
kriteria sebagai berikut:
a. Sanadnya bersambung
3
Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul…, h. 144.

3
b. Perawinya ‘adil
c. Perawinya mempunyai sifat dhabith, namun kualitasnya lebih rendah (kurang)
dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
d. Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syadz
e. Hadis yang diriwayatkan terhindar dari ‘illat.
3. Pembagian Hadis Hasan
a. Hasan li dzatih
Hadis yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang ‘adil, dhabith
meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada kejanggalan
(syadz) dan cacat (‘Illat) yang merusak hadis.
b. Hasan li ghairih
Hadis yang pada sanadnya ada perawi yang tidak diketahui keahliannya, tetapi
dia bukanlah orang yang terlalu benyak kesalahan dalam meriwayatkan hadis,
kemudian ada riwayat dengan sanad lain yang bersesuaian dengan maknanya.
Pada dasarnya hadis hasan li ghairih merupakan hadith dha’if, yang bukan
dikarenakan rawinya pelupa, banyak salah dan orang fasik, yang mempunyai mutabi’
dan syahid. Hadis dha’if yang karena rawinya buruk hafalannya, tidak dikenal
identitasnya (mastur) dan mudallis (menyembunyikan cacat) dapat naik derajatnya
menjadi hasan li ghairih karena dibantu oleh hadis-hadis lain yang semisal dan
semakna atau karena banyak rawi yang meriwayatkannya.

C. Hadis Dha’if dan Pembagiannya


1. Pengertian Hadis Dha’if
Kata dha’if menurut bahasa berarti lemah, sebagai lawan dari qawi (yang kuat).
Sebagai lawan kata dari shahih, kata dha’if juga berarti saqim (yang sakit). Maka sebutan
hadis dha’if secara bahasa berarti hadis yang lemah, yang sakit, dan yang tidak kuat. Al-
Nawawi dan al-Qasimi mendefinisikan hadis dha’if yakni: “Hadis yang di dalamnya
tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan dan hasan”.
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib menyatakan bahwa definisi hadis dha’if adalah:
“segala hadis yang di dalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul”. Sifat-sifat  maqbul
dalam definisi di atas maksudnya adalah sifat-sifat yang terdapat dalam hadis shahih dan
hadis hasan, karena keduanya memenuhi sifat- sifat maqbul.

4
2. Kriteria Hadis Dha’if
Pada definisi di atas terdapat bahwa hadis dha’if tidak tidak memenuhi salah satu
dari kriteria hadis shahih atau hadis hasan. Sebagaimana telah di jelaskan di atas, kriteria-
kriteria hadis shahih adalah: (1) sanadnya bersambung; (2) periwayat ‘adil; (3) periwayat
dhabith; (4) terlepas dari syadz; (5) terhindar dari ‘illat. Adapun kritria-kriteria hadis
hasan adalah: (1) sanadnya bersambung; (2) periwayat ‘adil; (3) periwayat kurang
dhabith; (4) terlepas dari syadz; dan (5) terhindar dari ‘illat.
Berhubung hadis dha’if tidak memenuhi salah satu dari beberapa kriteria diatas,
maka kriteria hadis dha’if adalah: (1) sanadnya terputus; (2) periwayatnya tidak ‘adil; (3)
periwayat tidak dhabith; (4) mengandung syadz; (5) mengandung ‘illat.
3. Pembagian Hadis Dha’if
a. Dha’if disebabkan karena tidak memenuhi syarat bersambungnya sanad. Dha’if
jenis ini di bagi lagi menjadi:
1. Hadis Mu’allaq, yaitu hadis yang pada sanadnya telah dibuang satu atau lebih
rawi baik secara berurutan maupun tidak.
2. Hadis Mursal. Hadis mursal menurut istilah adalah hadis yang gugur perawi
dari sanadnya setelah tabi’in, seperti bila seorang tabi’in mengatakan,
”Rasulullah SAW bersabda begini atau berbuat seperti ini”.
3. Hadis Munqathi'. Hadis munqathi’ menurut istilah para ulama hadis
mutaqaddimin sebagai “hadis yang sanadnya tidak bersambung dari semua
sisi”. Sedangkan menurut para ulama hadis muta-akhkhirin adalah ”suatu
hadis yang di tengah sanadnya gugur seorang perawi atau beberapa perawi
tetapi tidak berturut-turut”.
4. Hadis Mu'dhal. Hadis mu’dhal menurut istilah adalah “ hadis yang gugur pada
sanadnya dua atau lebih secara berurutan.”
5. Hadis Mudallas. Hadis Mudallas hadits yang diriwayatkan dengan
menghilangkan rawi diatasnya. Mudallas terbagi ke dalam dua bagian, yaitu
tadlis isnud dan tadlis suyukh.4
b. Dha’if karena terdapat cacat pada perawinya

4
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011), h. 118-121.

5
Sebab-sebab cacat pada perawi yang berkaitan dengan ke’adalahan perawi ada
lima, dan yang berkaitan dengan kedhabithannya juga ada lima. Adapun yang
berkaitan dengan ke’adalahannya, yaitu: (1) tuduhan, (2) berdusta, (3) fasik, (4)
bid’ah, (5) al-Jahalah (ketidak jelasan). Selanjutnya yang berkaitan dengan
kedhabithannya, yaitu: (1) kesalahan yang sangat buruk, (2) buruk hafalan, (3)
kelalaian, (4) banyaknya waham, (5) menyelisihi para perawi yang tsiqah.
Dan berikut ini macam-macam hadis yang dikarenakan sebab-sebab diatas:
1. Hadis Maudhu'. Hadis maudhu’ adalah hadis kontroversial yang di buat
seseorang dengan tidak mempunyai dasar sama sekali. Menurut Subhi Shalih
adalah khabar yang di buat oleh pembohong kemudian dinisbatkan kepada
Nabi karena disebabkan oleh faktor kepentingan.
2. Hadis Matruk. Hadis matruk adalah hadiyh yang diriwayatkan oleh perawi
yang disangka suka berdusta.
3. Hadis Munkar. Hadis munkar adalah hadits yang diriwatkan oleh perawi yang
dhaif, yang menyalahi orang kepercayaan. Perawi itu tidak memenuhi syarat
biasa dikatakan seorang dhabith, atau dengan pengetian hadis yang rawinya
lemah dan bertentangan dengan riwayat rawi tsiqah. Munkar sendiri tidak
hanya sebatas pada sanad namun juga bisa terdapat pada matan.5
4. Hadis Mubham. Hadith mubham yaitu hadis yang tidak menyebutkan nama
orang dalam rangkaian sanad-nya, baik lelaki maupun perempuan.
5. Hadis Syadz. Hadis syadz yaitu hadis yang beretentangan dengan hadis lain
yang riwayatnya lebih kuat.
6. Hadis Maqlub. Yang dimaksud dengan hadis maqlub ialah yang memutar
balikkan (mendahulukan) kata, kalimat, atau nama yang seharusnya ditulis di
belakang, dan mengakhirkan kata, kalimat atau nama yang seharusnya
didahulukan.
7. Hadis Mudraj. Secara terminologis hadis mudraj ialah yang didalamnya
terdapat sisipan atau tambahan, baik pada matan atau pada sanad. Pada matan
bisa berupa penafsiran perawi terhadap hadis yang diriwayatkannya, atau bisa

5
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu…, h. 127.

6
semata-mata tambahan, baik pada awal matan, di tengah-tengah, atau pada
akhirnya.
8. Hadis Mushahaf. Hadith Mushahaf adalah yang terdapat perbedaan dengan
hadits yang diriwayatkan oleh orang kepercayaan, karena di dalamnya
terdapat beberapa huruf yang di ubah. Perubahan ini juga bisa terjadi pada
lafadz atau pada makna, sehingga maksud hadits menjadi jauh berbeda dari
makna dan maksud semula.
D. Persyaratan Hadis Dha’if Menjadi Hasan Li Ghairih
Hadis hasan li ghairihi adalah hadis yang dha’if dikuatkan dengan beberapa jalan, dan
sebab kedhaifannya bukan karena kefasikan perawi (yang keluar dari jalan kebenaran) atau
kedustaannya.
Seperti satu hadis yang dalam sanadnya ada perawi yang mastur (tidak diketahui
keadaannya), atau rawi yang kurang kuat hafalannya, atau rawi yang tercampur hafalannya
karena tuanya, atau rawi yang pernah keliru dalam meriwayatkan, lalu dikuatkan dengan
jalan lain yang sebanding dengannya, atau yang lebih kuat darinya. Hadis ini derajatnya lebih
rendah dari pada hasan li dzatihi dan dapat dijadikan sebagai hujjah.6
Ulama ahli hadits berpendapat tentang naiknya derajat hadis dhaif menjadi hasan
dengan adanya ta’addud thuruq. Kata ta’addud merupakan masdar dari kata kerja ta’addada
yang artinya banyak jumlahnya bilangannya. Maka arti kata ta’addud adalah banyaknya
jumlah atau bilangan. Kata thuruq merupakan bentuk jamak dari kata thariq. Kata thariq
artinya jalan atau dengan kata lain jalur. Maka arti kata ta’addud thuruq adalah banyaknya
jalur (maksudnya jalur periwayatan).
1. Abdul Karim Harlan dan Abdul Muhsin Al-Abbad
Abdul Karim Harlan dan Abdul Muhsin al Abbad berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan hasan lighairihi adalah hadis yang tidak dapat diterima seperti hadis
yang diriwayatkan oleh rawi mastur jika diikuti oleh hadits yang sederajat atau lebih kuat
derajat darinya.
2. Muhammad Jamaluddin al-Qasimy
Dengan menukil pendapat Ibnu Hajar, Al-Qasimy menyatakan bahwa hadis yang
menjadi dha’if dengan sebab kedustaan maupun kefasikan rawinya merupakan hadis

6
Al-Qhaththan, Syaikh Manna’, Pengantar Studi Ilmu Hadis, (Pustaka Al-Kautsar: Jakarta, 2005), h. 124.

7
yang parah kedhaifannya. Karena itu, banyaknya jalur periwayatan hadis tersebut tidak
bisa membantu menaikkan derajatnya. Adapun jika hadis itu diriwayatkan dan jalur
dha’if lain yang kedha’ifannya tidak parah, maka hadis dha’if tersebut naik derajatnya
menjadi hasan.7
3. Shubhi Shaleh
Dalam membahas dua macam hadis hasan, beliau menyatakan bahwa yang
disebut dengan hadis hasan secara mutlak adalah hasan lidzatihi. Sedangkan hadits hasan
lighairihi adalah hadis yang di dalam sanadnya terdapat rawi mastur, maka hadis tersebut
secara aslinya berderajat dha’if. Namun hadis dha’if tersebut diriwayatkan tidak hanya
melalui satu jalur, maka derajatnya naik ke hasan. Namun jika dalam sanad hadis dha’if
terdapat rawi lalai maupun tertuduh berdusta, maka banyaknya jalur periwayatan hadis
tersebut tidak bisa membantu menaikkan derajatnya.

E. Cara Meriwayatkan Hadis Dha’if dan Hukum Beramal Dengannya


1. Cara Meriwayatkan Hadis Dha’if
Perlu diketahui, para Ulama yang membolehkan periwayatan dan pengamalan
hadits dho’if, menetapkan beberapa syarat yang mesti diperhatikan:

a. Hadis tersebut tidak lemah sekali -bukan hadits yang derajatnya dho’if jiddan
apalagi maudhu’.
b. Hadis dha’if tersebut masuk dan ditunjuki oleh suatu dasar umum dan
dipegangi yang berasal dari hadis shahih. Dimana hadis dha’if itu tidak boleh
dijadikan asal dan dasar dalam menetapkan suatu hukum.
c. Tidak boleh meyakini bahwa ia adalah sabda Nabi atau perbuatan beliau.
Hadis itu diamalkan hanya karena kehati-hatian ketimbang mengamalkan
sesuatu yang tidak ada dasarnya sama sekali.
d. Hadis tersebut khusus untuk Fadhoil al-A’mal atau Targhib wa Tarhib. Bukan
dalam masalah aqidah, hukum -urusan halal haram dan lainnya, tafsir al-
Qur’an dan sebagainya yang sifatnya prinsip dalam al-Din ini.

7
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Raja Grafindo, 2002), h. 173.

8
e. Orang yang mengamalkan tidak boleh memasyhurkan hadis tersebut, karena
masyarakat awam jika melihat hadis itu mereka pasti menyangka bahwa ia
merupakan hadis Rasulullah.
f. Dalam periwayatannya tidak boleh menggunakan shighah (bentuk) al-jazm,
َ َ‫( ق‬Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda). Namun
seperti ‫ال‬
hendaknya menggunakan shigah al-tamridh (bentuk-bentuk yang
menunjukkan bahwa hadis itu ada cacatnya), seperti:” ‫ َل‬MM‫( قِي‬dikatakan),‫ي‬
َ ‫ر ُِو‬
(diriwayatkan) dan lafazh-lafazh lain yang dikenal di kalangan ahli hadis.
2. Hukum Mengamalkan Hadis Dha’if
Hadis dha’if pada dasarnya adalah tertolak dan tidak boleh diamalkan, bila
dibandingkan dengan hadis shahih dan hadis hasan. Namun para ulama melakukan
pengkajian terhadap kemungkinan dipakai dan diamalkannya hadis dha’if, sehingga
terjadi perbedaan pendapat di antara mereka:
a. Para ulama muhaqqiq berpendapat bahwa hadis dha’if tidak boleh diamalkan
sama sekali, baik yang berkaitan dengan masalah akidah atau hukum-hukum
fikih, targhib dan tarhib maupun dalam fardha’ilul a’mal (keutamaan amal).
Inilah pendapat imam-imam besar hadis seperti Yahya bin Ma’in, Bukhari,
dan Muslim.
b. Pendapat kebanyakan ahli fikih membolehkan untuk mengamalkan dan
memakai hadis dha’if secara mutlak jika tidak didapatkan hadis lain dalam
permasalahan yang sama. Dikutip dari pendapat Abu Hanafiyah, Asy-Syafi’i,
Malik, dan Ahmad.
c. Sebagian ulama membolehkan untuk mengamalkan dan memakai hadis dha’if
dengan catatan sebagai berikut: mereka membolehkan mengamalkan hadis
dha’if khusus dalam targhib dan tarhib (motivasi beramal dan ancaman
bermaksiat) dan fadhilah-fadhilah amal, sedangkan untuk masalah akidah dan
hukum halal serta haram, mereka tidak membolehkannya.8
Ulama-ulama yang mempergunakan hadis dha’if dalam fadhilah amal,
mensyaratkan kebolehan mengambilnya itu dengan tiga syarat: Pertama,
kelemahan hadis itu tiada seberapa. Kedua, apa yang ditunjukkan hadis itu

8
Al-Qhaththan, Syaikh Manna’, Pengantar Studi…, h. 131.

9
juga ditunjukkan oleh dasar lain yang dapat dipegangi, dengan arti bahwa
memeganginya tidak berlawanan dengan sesuatu dasar hukum yang sudah
dibenarkan. Ketiga, jangan diyakini ketika menggunakannya bahwa hadis itu
benar dari Nabi. Ia hanya dipergunakan sebagai ganti memegangi pendapat
yang tiada berdasarkan nash sama sekali.

10
KESIMPULAN

Hadis shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh


periwayat yang ‘adil dan dhabith hingga bersambung kepada Rasulullah atau pada sanad
terakhir berasal dari kalangan sahabat tanpa mengandung syadz (kejanggalan) ataupun
‘illat (cacat). Adapun syarat-syarat hadis shahih: (1) sanadnya bersambung; (2) rawinya
bersifat ‘adil; (3) rawinya bersifat dhabith; (4) terhindar dari syadz (kejanggalan); dan (5)
terhindar dari ‘illat. Hadis shahih terbagi menjadi dua, yaitu shahih li dzatih dan shahih li
gahirih.
Hadis hasan ialah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh seorang
yang ‘adil tetapi kurang dhabith, tidak terdapat di dalamnya suatu kejanggalan (syadz)
dan tidak juga terdapat cacat (‘illat). Adapun kriteria hadis hasan: (1) sanadnya
bersambung; (2) perawinya ‘adilI; (3) perawinya mempunyai sifat dhabith, namun
kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih; (4) hadis
yang diriwayatkan tersebut tidak syadz; (5) hadis yang diriwayatkan terhindar dari ‘illat.
Hadis hasan terbagi menjadi dua, yakn hasan li dzatih dan hasan li gahirih.
Al-Nawawi dan al-Qasimi mendefinisikan hadis dha’if yakni: “Hadis yang di
dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan dan hasan”. Kriteria hadis dha’if
adalah: (1) sanadnya terputus; (2) periwayatnya tidak ‘adil; (3) periwayat tidak dhabith;
(4) mengandung syadz; (5) mengandung ‘illat.
Pendapat ulama tentang hukum beramal dengan hadis dha’if: Para ulama
muhaqqiq berpendapat bahwa hadis dha’if tidak boleh diamalkan sama sekali, baik yang
berkaitan dengan masalah akidah atau hukum-hukum fikih, targhib dan tarhib maupun
dalam fardha’ilul a’mal (keutamaan amal). Pendapat kebanyakan ahli fikih
membolehkan untuk mengamalkan dan memakai hadis dha’if secara mutlak jika tidak
didapatkan hadis lain dalam permasalahan yang sama. Sebagian ulama membolehkan
untuk mengamalkan dan memakai hadis dha’if dengan catatan sebagai berikut: mereka
membolehkan mengamalkan hadis dha’if khusus dalam targhib dan tarhib (motivasi
beramal dan ancaman bermaksiat) dan fadhilah-fadhilah amal, sedangkan untuk masalah
akidah dan hukum halal serta haram, mereka tidak membolehkannya.

11
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qhaththan, Syaikh Manna’, Pengantar Studi Ilmu Hadis, Pustaka Al-Kautsar: Jakarta,
2005.
Idri, Studi Hadis, Kencana Prenada Media Group: Jakarta, 2013.
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: Raja Grafindo, 2002.
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011.
Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Pustaka Setia: Bandung, 2009.

12

Anda mungkin juga menyukai