II HIJRIYAH
Desember 5, 2012 pukul 5:31 pm Filed under Tulisan
Tasawuf pada fase pertama dan kedua hijriyah disebut sebagai kezuhudan. Konsep zuhud pada fase ini mempunyai
ciri tersendiri yakni konsep zuhud yang semula berpaling dari kesenangan dan kemewahan dunia berubah menjadi
pembersih jiwa, pensucian hati dan pemurnian kepada Allah.
Zuhud secara etimologis berarti ragaba ansyaiin wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan
meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.[1]
Sedangkan zuhud secara terminologi adalah hikmah pemahaman yang membuat para penganutnya mempunyai
pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi, dimana dia tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi
itu tidak menguasai kecenderungan kalbu mereka, serta tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya.[2]
Dalam kaitan ini Abd al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud adala
Artinya : berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah. Melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi
kesenangannya dengan bersemedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan, dan memperbanyak dzikir[3]
Zuhud merupakan salah satu maqam yang sangat penting dalam tasawuf. Pentingnya posisi zuhud dalam tasawuf ialah
karena melalui maqam zuhud seorang sufi akan dapat membawa dirinya pada kondisi pengosongan kalbu dari selain
Allah SWT, dan terpenuhinya kalbu dengan dzikir. Oleh karena itu, al-Quran dan Hadist menganjurkannya, dan para
pemuka agama menunjukkan kemuliaannya.
Para pembesar sufi telah menerapkan zuhud dan meniti tingkatan-tingkatannya sebagaimana yang dijelaskan oleh
Ibnu Ujaibah dalam perkataannya, zuhud orang awam adalah meninggalkan apa-apa yang menyibukkan diri dari
mendekatkan diri kepada Allah dalam semua keadaan. Dan zuhud orang khawwashulkhawwash adalah menjauhi
pandangan kepada selain Allah disetiap waktu. Zuhud merupakan sebab untuk sampai kepada Allah, karena hati tidak
akan sampai kepada-Nya apabila masih bergantung pada sesuatu selain yang dicintai Allah.[4]
Menurut R.A. Nicholson, sebagian asketis generasi abad pertama dan kedua hijriyah lebih dekat dengan tasawuf,
namun mereka tetap tidak keluar dari ruang lingkup asketisisme. Sebab pada masa itu, tidak seorang pun bisa
membedakan asketisisme dengan tasawuf atau memisahkan keduanya. Tokoh-tokoh asketis yang sering diriwayatkan
dalam kitab-kitab mengenai tasawuf adalah Hasan al-Basri, Al-Harits bin Al-Muhasibi, Zun Nun Al-Mishri, Ibrahim
ibn Adham, al-Fudhail ibn Iyadh, dan salah seorang tokoh asketis lain yang lebih dekat pada tasawuf akhir abad
kedua Hijriyah adalah Rabiah al-Adawiyyah.
1. Hasan al-Bisri
Beliau lahir pada tahun 21 H/641 M di Madinah. Ayahnya bernama Yasar, keturunan Persi beragama Nasrani. Ibunya
bernama Khairah. Tanpa diketahui secara pasti motifnya, dia sekeluarga pindah ke Basrah. Beberapa pergolakan
politik umat Islam pada masa awal itu, menjadi motif munculnya pemikiran zuhud dan gerakan zuhud.
Hasan al-Bisri merupakan ulama pendiri zuhud aliran Basrah, seorang ahli fiqh, zuhud, dan alim dalam ilmu agama.
Tipe kezuhudannya adalah khauf dan raja.
Ekstrimitas pemikiran zuhud Hasan al-Basri dapat dilihat pada ucapannya: Jika Allah menghendaki seseorang itu
baik, maka Dia mematikan keluarganya sehingga dia dapat leluasa dalam beribadah.[5]
a.Perasaan takutmu sehingga bertemu dengan hati tentram, lebih baik daripada perasaan tentrammu, yang kemudian
menimbulkan takut.
b. Dunia ialah negeri tempat beramal. Barangsiapa yang bertemu dengan dunia dalam rasa benci kepadanya dan
zuhud, akan berbahagialah dia dan beroleh faedah dalam persahabatan itu. Tetapi barangsiapa yang tinggal dalam
dunia, lalu hatinya rindu dan perasaan tersangkut kepadanya akhirnya dia akan sengsara. Dia akan terbawa kepada
suatu masa yang tidak dapat dideritanya.
c. tentang duka cita beliau berkata : patutlah orang insyaf bahwa mati sedang mengancamnya, dan kiamat menagih
janjinya, dan dia mesti berdiri di hadapan Allah akan dihitung.
2. Rabiah al-Adawiyah
Menurut Ibn Khallikan, nama lengkap Rabiah al-Adawiyah adalah Ummul Khair Rabiah binti Ismail al-Adawiyah
al-Qisiyyah. Beliau adalah seorang Zahid perempuan yang amat besar. Dia lahir di Basrah
Di antara ucapannya yang terkenal tentang asketisisme ialah sebagaimana diriwayatkan dalam Kasyf al-mahjub karya
al-Hujwiri : suatu ketika aku membaca cerita bahwa seorang hartawan berkata kepada Rabiah : mintalah kepadaku
segala kebutuhanmu! Jawab Rabiah : aku ini malu meminta hal-hal duniawi kepada Yang Pemiliknya, maka
bagaimana bisa aku meminta hal itu kepada yang bukan pemiliknya?[7]
Banyak ajaran yang diriwayatkan dari Rabiah, yang seterusnya menjadi bahan perbincangan para sufi setelahnya.
Antara lain ajarannya tentang berendah diri, tidak menunjukkan amal-amal yang baik, melarang mencari-cari
kelemahan orang lain dan masih banyak lagi.
Menurut sebagian orientalis yang mengkaji tasawuf, yang membedakan Rabiah dengan para sufi-sufi sebelumnya
adalah dikarenakan dia menandai asketisisme Islam dengan corak lain dari asketisisme Hasan al-Bashri yang coraknya
adalah rasa takut. Rabiaah melengkapinya dengan unsur lain yaitu cinta, yang menjadi sarana bagi manusia untuk
merenungkan keindahan Allah yang abadi.
Cinta murni kepada Tuhan itulah puncak tasawuf Rabiah. Pantun-pantun kecintaan kepada Ilahi, yang kemudian
banyak keluar dari ucapan sufi yang besar seperti Fariduddin Al-Athar, Ibhnul Faridh, Al-Hallaj, Jalaluddin Rumi dan
lain-lain, telah dimulai dahulu oleh Rabiah. Arti dari salah satu syairnya adalah seperti berikut :
Karena itu dalam kenyataannya Rabiah al-Adawiyyah mewakili titik-pusat peralihan asketisisme dalam Islam, yang
meluruskan jalan kemunculan para sufi ataupun tasawuf. Dari sinilah asal-usul kemasyhuran dan ketenarannya,
sebagaimana kata ibn Khallikan : Rabiah adalah tokoh pada masanya, yang kelurusan dan ibadahnya begitu
terkenal.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din. Vol. 2. 1334 H. Kairo : Musthafa al-Babi al-Halabi.
Al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. Sufi dari Zaman ke Zaman. 1985. Bandung : Penerbit Pustaka.
Hamka. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Cetakan ke-XII. 1986. Jakarta : PT Pustaka Panjimas.
Hasan, Abd al-Hakim. Al-Tasawwuf fi Syir al-Arabi. 1954. Mesir : Al-Anjalu al-Misriyyah.
Isa, Abdul Qadir. Hakekat Tasawuf. Cetakan ke-12, 2010. Jakarta : IKAPI.
Syukur, Amin. Zuhud di Abad Modern. 2000. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.
[1] Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2000), hlm. 1
[2] Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1985), hlm. 54
[3] Abd al-Hakim Hasan, Al-Tasawwuf fi Syir al-Arabi,( Mesir : Al-Anjalu al-Misriyyah, 1954), hlm. 42.
[4] Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, Cetakan ke-12, (Jakarta : IKAPI, 2010), hlm. 250-251.
[6] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Cetakan ke-XII (Jakarta : PT Pustaka Panjimas, 1986), hlm.
77-78.
[7] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Vol. 2, (Kairo : Musthafa al-Babi al-Halabi, 1334 H), hlm. 13-
14.
Share this:
Tentang iklan-iklan ini
Terkait
Permalink
No comments yet
Berikan Balasan
Cari
owner
Pos-pos Terakhir
o Marya Sklodovska
o 418
o Talkshow Harlah PMII ke-53, RUU Ormas; Dari Substansi Sampai Urgensi
o Ekspedisi akhir tahun 2012, Puncak Ungaran, Kado istimewa dari sang Kekasih.
nwit-nwit
Error: Twitter did not respond. Please wait a few minutes and refresh this page.
Label
Label
Arsip
Arsip
1. Elina Swann19
2. saputro's Blog
3. Ade Lukmono
Refleksi
Ikuti Blog melalui surat elektromik
Masukkan alamat surat elektronik Anda untuk mengikuti blog ini dan menerima pemberitahuan tentang
pollow ers
Tanggalan
Desember 2012
S S R K J S M
Jan
1 2
3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16
17 18 19 20 21 22 23
24 25 26 27 28 29 30
31
Blog Stats
o 12,959 hits
Credits
Ikuti
Daftarkan saya