Anda di halaman 1dari 15

Makalah Filsafat Islam

ABU MANSYUR AL-HALLAJ

Diajukan untuk memenuhi syarat-syarat dan tugas-tugas guna pelaksanaan


Mata Kuliah Filsafat Islam

Oleh :

Aufa Lidiya Alma’azi


NIM: 190303049

Dosen pembimbing:
M. Anzaikhan, M. Ag

PROGRAM STUDI ILMU ALQUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM - BANDA ACEH
2021 M/ 1441 H
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..........................................................................................................II
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
BAB III KESIMPULAN......................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Abu Mansyur Al-Hallaj, atau dikenal dengan nama Al-Hallaj, merupakan seorang
ulama sufi. Al-Hallaj memiliki nama lengkap Abu Abdullah Husain bin Mansur Al-Hallaj.
Beliau dilahirkan di kota Thur di kawasan Baidhah, Iran Tenggara, pada tanggal 26 Maret 866
M1. Walaupun lahir di kota yang bercorak Arab, ia adalah keturuan Persia. Kakeknya
merupakan penyembah api atau menganut agama yang disebut Zoroaster, sedangkan ayahnya
sudah memeluk agama Islam.
Al-Hallaj sangat dikenal sebagai ulama sufi pada abad kesembilan dan kesepuluh. Al-
Hallaj terkenal berkat pemikiran atau ajarannya yang diperdebatkan sengit pada saat itu, yaitu
al-hulul. Hulul adalah paham yang menyebutkan bahwa Tuhan memiliki tempat-tempat
tertentu untuk mengambil tempat didalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan didalam tubuh
lenyap2. Tubuh-tubuh tertentu yang dimaksud adalah jasad yang mampu menghilangkan sifat-
sifat kemanusiaannya menjadi fana. Sifat-sifat kemanusiaan itu seperti keinginan duniawi atau
syahwat seperti harta, wanita dan tahta, dan sifat-sifat kemanusiaan lainnya.
Tasawuf menurut pemikiran Al-Hallaj berlandaskan bahwa Allah secara tersirat
memiliki dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusiaan (lasut). Kedua
sifat dasar ini juga dimiliki oleh manusia. Pemikiran sifat ketuhanan dan sifat kemanusiaan ini
berawal dari penciptaan manusia pertama, yaitu Adam. Menurutnya, Adam merupakan
manusia pertama yang dijadikan salinan atau gambaran dari diri-Nya dengan segala sifat dan
kebesaran-Nya3.
Perkataan Al-Hallaj yang sangat lekat dengan konsep hulul ini adalah Ana Al-Haqq
yang artinya “Akulah kebenaran”. Ucapan ini sangat kontroversial dan dinilai melecehkan
Allah SWT. Ucapan ini selalu dibicarakan dikalangan ulama fiqih, ulama kalam, tokoh-tokoh
tasawuf, serta kaum sufi yang sezaman dengan Al-Hallaj. Menurut mereka, Islam tidak

1
Totok Jumarto dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf (Amzah: Jakarta, 2005) h. 263
2
Mojdeh Bayat dan Muhammad Ali Jamnia, Negeri Sufi (Jakarta: Lentera, 2009) h. 8
3
Muhammad Zainul Haq, Al Hallaj Kisah Perjuangan Total Menuju Tuhan (Jakarta: Lentera, 2002) h. 35
menerima pandangan bahwa manusia bisa bersatu dengan Allah SWT dan karena kebenaran
(Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, secara tidak langsung dikatakan bahwa al-Hallaj
menyatakan ketuhanannya sendiri4. Akhirnya, al-Hallaj dituduh sesat atau bid’ah dan
hidupnya diakhiri dengan eksekusi. Berdasarkan pemarapan tersebut, maka penulis tertarik
untuk membahas tentang sejarah kehidupan al-Hallaj berikut pemikiran-pemikirannya.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan sebelumnya, maka penulis mengajukan
pertanyaan berikut
1. Bagaimana perjalanan hidup al-Hallaj sejak belia sampai wafat?
2. Apa saja pemikiran-pemikiran yang dijabarkan oleh al-Hallaj semasa h

4
Abdul Hadi, Tasawuf Yang Tertindas. (Paramadina: Jakarta, 2004) h. 45
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 TASAWUF
Pengertian tasawuf masih menjadi perdebatan. Ada yang menganggap bahwa kata
tersebut hanyalah semacam gelar karena akar dari kata tersebut tidak ada dalam bahasa Arab,
sehingga sulit untuk dipastikan darimana asalnya. Kata tasawuf mungkin berasal dari Ash-
Shuf yang berarti “bulu” karena orang-orang tasawuf itu biasanya menggunakan pakaian
yang berasal dari bulu domba. Kata shuf, adalah kain yang dibuat dari bulu yaitu wol. Hanya
kain wol yang dipakai kaum sufi adalah wol yang kasar dan bukan wol yang halus seperti
sekarang. Memakai wol kasar pada waktu itu adalah sumber kesederhanaan dan kemiskinan.
Jadi, hanya kata shuf inilah yang paling tepat dan mendekati kebenaran.
Tasawuf imerupakan ajaran yang diyakini oleh sufi, dimana sufi itu dianggap
penganut Islam yang memisahkan kehidupan dunia dengan akhirat. Tasawuf dalam
kepustakaan Barat disebut dengan sufisme. Kata sufi dan tasawuf dalam istilah umat Islam
baru digunakan 150 tahun sesudah Nabi Muhammad SAW. Hingga kurun waktu ini,
pelaksanaan dan pengamalan ketat hukum ilahi (syariat) dipandang sebagai satu-satunya jalan
untuk mencapai keselamatan. Kaum sufi menghabiskan kehidupan mereka dengan berpuasa
dan melakukan shalat sendirian, serta menjauh dari masyarakat5.
Istilah sufi masih dianggap istilah mistik dalam Islam. Sufi itu memilki konotasi
religius yang khas, yang dipakai dalam wacana yang terbatas untuk menyebutkan mistik yang
dianut oleh para pemeluk agama Islam. Sekitar tahun 800 M, dikaitkan dengan bahasa Yunani,
istilah sufi mengandung makna yang lebih luhur dan memancarkan kesahajaan. Namun,
sampai sekarang masih sering terjadi perbedaan pendapat tentang asal usul sufi itu. Meskipun
demikian, sebagian sufi berpendapat bahwa kata sufi itu berasal dari bahasa Arab, yang
artinya kemurnian. Dalam hal ini seorang sufi itu diartikan sebagai orang yang murni hatinya
atau insan yang terpilih6.

5
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. (PT Bina Ilmu: Surabaya, 1998) h. 82-89
6
Abubakar Aceh, Pendidikan Sufi (Ramadhani: Semarang, 1985) h. 59
Tasawuf merupakan kumpulan pengalaman yang mengadakan komunikasi dengan nur
ilahi yang penuh dengan rasa dan terwujud dalam berbagai bentuk kehidupan yang menjauhi
kemewahan dan menghabiskan waktu beribadah pada Allah SWT. Tasawuf sejak awal
keberadaan memicu kontroversi yang masih berlangsung hingga kini, baik dari segi asal-
usulnya, sumbernya, kedudukannya, serta ajarannya. Tasawuf sesungguhnya memiliki banyak
aliran, definisi dan macamnya. Secara garis besar, tasawuf terbagi menjadi tiga kelompok
yaitu tasawuf akhlaki, tasawuf amali, dan tasawuf falsafi. Diantara tiga macam tasawuf ini
yang paling kontroversial sampai hari ini ialah tasawuf falsafi.
Tasawuf akhlaki menurut pengertian adalah membersihkan tingkah laku atau saling
membersihkan tingkah laku. Tasawuf akhlaki berkonsentrasi pada perbaikan akhlak, dengan
metode-metode tertentu yang telah dirumuskan supaya terhindar dari perbuatan tercela
(mazmumah) dan selalu melakukan perbuatan terpuji (mahmudah) di dalam diri7. Salah satu
tokoh yang membahas secara rinci tentang ajaran ini adalah Imam Al-Gazali dalam kitabnya
Ihyaa ‘Ulumuddin melalui bina akhlak yang dirunut diantaranya adalah; (a) tahalli, yaitu
berusaha membebaskan diri dari sikap bergantung pada kelezaatan dunia, seperti sikap dan
sifat sombong karena kesombongan adalah penyembahan diri. (b) pembiasaan mengisi jiwa
dengan sikap mental yang baik, (c) tajalli berari sudah terungkapnya nur ghaib bagi hati,
sehingga muncul rasa cinta dan rindu kepada Allah SWT 8. Secara garis besar, Al-Gazali
mengatakan bahwa jalan para sufi dalam tasawuf dapat tercapai jika telah melumpuhkan
hambatan-hambatan jiwa serta membersihkan diri dari pengaruh sifat-sifat buruk sehingga hati
dapat terbebas dari pengaruh segala sesuatu selain Allah SWT9.
Tasawuf amali adalah kelanjutan dari tasawuf akhlaki karena seseorang tidak dapat
dekat dengan Allah hanya dengan amalan yang ia kerjakan sebelum ia membersihkan jiwanya.
Jiwa yang bersih menjadi syarat utama untuk dapat kembali kepada Allah. Allah adalah dzat
Yang Maha Bersih dan Maha Suci. Proses penyucian jiwa dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah akan melewati jalan panjang dengan stasiun-stasiun yang disebut maqamat, dan
dalam proses ini seseorang sufi memasuki kondisi mental tertentu yang disebut hal10.

7
Jamil. Akhlak Tasawuf. (Referensi: Ciputat, 2013) h. 104
8
Qamar Kailani, Fi at-Tasauf al-Islam. (Dar El-Ma’arif: Kairo, 1969) h. 27
9
Sokhi Huda, Tasawuf Kultural Fenomena Shalawat Wahidiyah. (LkIS: Yogyakarta, 2008) h. 52
10
Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlaf Tasawuf (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2013)
h. 22
Tasawuf falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma‟rifat)
dengan pendekatan filsafat hingga menuju ke tempat yang lebih tinggi, bukan hanya
mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu kesatuan
wujud (wihdatul wujud)11. Dengan kata lain, tasawuf falsafi disebut sebagai tasawuf yang
berisi tentang pemikiran-pemikiaran filsafat. Tasawuf falsafi lebih menonjol kepada aspek
teoritis. Pemikiran tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendekatan-
pendekatan filsafat yang sulit diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya bagi orang
awam. Ciri-ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya yang samar-samar dan ungkapan-
ungkapan sering mengundang kontroversi bagi para pendengar atau pembaca awam karena
sulit dimengerti dan diterima12.

2.2 BIOGRAFI SINGKAT AL-HALLAJ


Al-Hallaj memiliki nama lengkap Abu al-Mughis al-Husain bin Mansur bin
Muhammad al-Baidawi, dan lebih dikenal dengan nama al-Hallaj. Dia dilahirkan di salah satu
kota kecil Persia, yakni di Thus dekat kota Baidha pada tahun 244 H/858M. Wilayah tersebut
kini berada di wilayah Barat Daya Iran. Kakeknya yang bernama Muhammad adalah seorang
penyembah api pemeluk agama Majusi atau lebih dikenal dengan sebutan Zoroaster. Beberapa
sumber mengatakan kalau al-Hallaj adalah keturunan Abu Ayyub, sahabat Rasulullah13. Al-
Hallaj tumbuh besar di Wasith yang tidak terlalu jauh dengan kota Baghdad. Ketika beranjak
usia 16 tahun, ia mulai meninggalkan kota Wasith untuk menuntut ilmu di Tustar yang
terkenal dengan tempat perkebunan kapas dan tempat tinggal para penyortir kapas14. Ia belajar
kepada seorang sufi besar dan terkenal, yakni Sahl bin Abdullah al-Tustury (wafat 896 M/ 282
H) di wilayah Ahwaz15.
Al-Hallaj kemudian pergi ke Bashrah dan berguru kepada Amru al-Makki setelah
kurang lebih dua tahun belajar di negeri Ahwaz. Di tempat ini, Al-Hallaj menemukan
jodohnya yang bernama Ummu Al-Husein. Ia merupakan putri Abu Ya’qub Al-Aqtha’i, yang

11
Muhammad Yazir Syaraf, Harakah al-Tasauf wa al-Tassyi (Al-Haiah al-‘Ammah Lilkitab: Kairo, 1986) h. 183
12
Kamil Mustafa asy-Syaiby, As-Silatu baina al-Tasauf wa al-Tasyyi’ (Dar El-Ma’arif: Kairo, 1989) h. 367
13
Ahmadi Isa, Tokoh-tokoh Sufi Teladan Kehidupan Yang Saleh. (PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2011) h.
242
14
Rosihan Anwar, Akhlak Tasawuf. (Pustaka Setia: Bandung, 2001) h. 270
15
Reynold A. Nicholson, Al-Hallaj: Encyclopedia of Religion and Ethics (Charles Scribness Son: New York,
1990) h. 481
juga merupakan seorang ulama sufi16. Perjalannan untuk menimba ilmu pun ia lanjutkan pada
tahun 264 H dengan berguru kepada al-Junaid di kota Baghdad yang juga merupakan seorang
sufi ternama. Besar keinginannya untuk mempelajari ilmu kepada tokoh-tokoh Sufi besar dan
terkenal. Selain itu, ia juga sudah menunaikan ibadah Haji sebanyak tiga kali.
Waktu tiba di Mekkah pada tahun 897 M, ia memutuskan mencari cara hidupnya
sendiri untuk bersatu dengan Tuhan. Al-Hallaj pergi menetap di kota suci ini selama setahun.
Selama berada di kota ini ia menetap di pelataran Masjidil Haram seraya melakukan berbagai
ibadah dan praktek kesufiannya. Di tempat ini ia mengklaim telah mengalami pengalaman
mistik yang tidak terbayangkan hingga akhirnya dikenal dengan sebutan bulul17. Oleh karena
itu, bisa dikatakan kalau pada tahun tersebut al-Hallaj telah memulai pemikiran-pemikirannya
tentang bagaimana menyatu dengan Tuhan. Namun setelah ia menemukan cara bersatu dengan
Tuhan dan menyampaikan ajaranya kepada orang lain, ia justru dianggap sebagai orang
dengan gangguan jiwa. Bahkan Amru Al-Makki menuduh Al-Hallaj sudah melenceng dari Al-
Qur’an. Penguasa Makkah pada saat itu menanggapinya dengan mengancam membunuh Al-
Hallaj karena ajarannya yang sesat. Akhirnya, ancaman tersebut membawanya untuk kembali
ke Baghdad18.
Setelah meningalkan Mekkah dan sebelum kembali ke Bangdad, Al-Hallaj pergi ke
Khuziztan. Disana ia dapat melepaskan simbol sufi nya agar dapat berdakwah dengan bebas.
Pada saat itulah ia dicurigai, dibenci dan dipandang memalukan kalangan sufi. Tujuan utama
seruannya adalah agar setiap orang mendekatkan diri pada Allah SWT dan dapat menemukan
Tuhan dalam hatinya. Dakwahnya berpengaruh besar, sehingga semakin banyak pengikutnya
yang terkenal dengan sebutan Hallajiyah. Para pengikutnya yakin bahwa ia adalah seorang
wali yang memiliki berbagai karomah dan dia dijuluki Hallaj al-Asrar atau The carder of
consciences (tukang pembersih hati nurani)19. Beberapa orang sunni yang menjabat menteri di
Baghdad menjadi pengikutnya. Sementara beberapa orang Mu'tazillah dan Syi'ah yang
menjabat urusan perbendaharaan menuduhnya penipu, malah mereka menghasut rakyat agar
melawannya. Selanjutnya, dia meninggalkan Khurasan menuju Iran Timur untuk berdakwah20.

16
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam. (Pustaka Firdaus: Jakarta, 1982) h. 66
17
Asmaran, Pengantar Sufi Tasawuf (Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1994) h. 304
18
M. Alfatih Suryadilaga, Miftahus Sufi (Teras: Yogyakarta, 2008)
19
A. J. Arberry, Warisan Para Anbiya. (Pustaka: Bandung, 1983) h. 339
20
Mukhti Ali, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Departemen Agama RI, 1993) h. 340
Perjalanan hidup Al-Hallaj dihiasi oleh pemikiran-pemikiran tasawuf. Buah dari
pemikiran tasawuf yang terus dipertahankan oleh Al-Hallaj adalah kurungan dari penjara ke
penjara akibat banyaknya ulama fikih yang tidak sependapat dengannya. Menurut mereka,
gagasan yang disampaikan Al-Hallaj sangat tidak diterima dalam ajaran Islam. Ibu Daud Al
Isfahani adalah salah satu ulama fikih yang berpengaruh besar dalam memenjarakan Al-Hallaj
karena fatwa-fatwanya yang terus membantah dan memberantas pikiran-pikiran Al-Hallaj
yang dinilai sesat21. Namun, Al-Hallaj berhasil lolos dari penjara berkat bantuan salah seorang
sipir penjara.
Setelah pergi ke Mekkah untuk yang ketiga kalinya ia menuju Baghdad dan mulai
memperkenalkan alirannya yang merupakan satu-satunya aliran yang didukung oleh
keajaiban. Dakwah yang dikemukakannya berisi kesenangannya dalam berhubungan dengan
Tuhan. Hal ini mengundang tantangan dari para ulama fikih, penguasa dan sebagian para sufi.
Mereka mulai tergerak untuk memperhatikan kemampuan luar biasa Al-Hallaj, seperti dalam
pengobatan, penjelasan cinta timbal balik antara manusia dengan Tuhan, dan pengakuannya
sebagai "Tuhan". Dengan dakwahnya yang demikian kemudian ia ditangkap dan dihadapkan
ke pengadilan Baghdad. Namun pengadilan tidak bisa membuktikan kezindikan al-Hallaj,
sehingga ia terbebas dari hukuman mati. Akhirnya, ia hanya dihukum delapan tahun tiga
bulan. Selama dalam tahanan ia dapat mempengaruhi Nasr al-Qusyuri seorang kepala rumah
tangga istana Khalifah Bahkan ia pernah mengobati Khalifah al-Muqtadir dan ibunya 22.
Kepercayaan tersebut menunjukkan pengaruhnya yang semakin besar, namun di pihak lain
mengakibatkan kalangan yang memusuhinya semakin membencinya dan berupaya untuk
menjatuhkannya yaitu dengan cara membawanya kembali ke pengadilan.
Di Baghdad, ia giat melakukan ceramah-ceramah dan pengajian. Pengikutnya semakin
bertambah banyak karena kecaman-kecamannya terhadap kezaliman pemerintah yang
berkuasa pada waktu itu. Secara kebetulan, ia bersahabat dengan kepala rumah tangga istana,
Nashr Al-Qusyairi, yang menyuarakan sistem tata usaha yang baik dan pemerintahan yang
bersih. Al-Hallaj selalu mendorong sahabatanya melakukan perbaikan dalam pemerintahan
dan selalu melontarkan kritik terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi. Ide
”pemerintahan yang bersih” yang digaungkan oleh Nashr al-Qusyairi dan al-Hallaj ini tentu

21
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf (PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2011) h. 242
22
Ibrahim Hassan, Tarikh Al-Islam Al-Siyasi. (Makhtabh Al-Nadhah: Kairo, 1979) h. 20
berbahaya karena khalifah dianggap tidak memiliki kekuasaan yang nyata dan hanya
merupakan lambang saja. Disaat yang bersamaan, aliran-aliran keagamaan dan tasawuf
tumbuh dengan subur, Pemerintah sangat khawatir terhadap kecaman-kecaman yang sangat
keras dan pengaruh sufi kedalam struktur politik23.
Kembali lagi ke pembahasan pengadilan Al-Hallaj di Bangdad. Berikut ini merupakan
tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepada Al-Hallaj di pengadilan.
1. Hubungan korespondensi secara rahasia dengan para pengikut Syi'ah Qaramithah. Satu
sekte Syi'ah yang dibentuk oleh Hamdan Ibn Qarmat di akhir abad 9 M. Sekte yang
beraliran komunis ini mengadakan teror, menyerang Mekkah tahun 930 M, merampas
Hajar Aswad, yang kemudian dikembalikan oleh Kaum Fatimi tahun 951 M, serta
menentang pemerintahan Bani Abbas mulai abad 10 sampai abad 11 M 24. Dari sini
dapat tergambarkan keadaan sosial politik pada saat itu adalah adanya
perbedaankepentingan politik antara Syiah Qaramithah dengan kekhalifahan
Abbasiyyah yang pada saat itu dipegang oleh Khalifah Al-Muqtadir.
2. Keyakinan para pengikutnya bahwa dia memiliki sifat ketuhanan. Pengikutnya dari
kalangan bawah cukup besar25. Dari hal tersebut disimpulkan bahwa terjadi
kekhawatiran oleh dua kelompok dalam dua kepentingan yang berbeda. Kelompok
pertama adalah kelompok ulama, baik ulama sufi yang belum sefaham dengan Al-
Hallaj, maupun ulama fikih. Mereka mengkhawatirkan adanya ancaman dari segi
akidah dan hukum Islam. Kelompok kedua berasal dari pejabat penting pemerintah.
Kelompok ini layak untuk khawatir dengan banyaknya massa pendukung Al-Hallaj,
sementara Al-Hallaj telah disinyalir punya hubungan dengan Syiah Qaramith yang saat
itu merupakan lawan politik pemerintah al-Muqtadir.
3. Keyakinan al-Hallaj tentang persatuan manusia dengan Tuhan secara essensi yang
terkanal dengan ucapannya "Ana al- Haqq" (Akulah Yang Maha Benar atau Akulah
Tuhan)26. Dari sini tampak lebih pada adanya kepentingan penjagaan kemurnian aqidah
umat dari kesesatan umat dengan menganggap Al-Hallaj sebagai Tuhan, dan secara
pribadi (lahiriah) Al-Hallaj telah mengakui dirinya sebagai "Tuhan".
23
Louis Massiqon, The Encyclopedia of Islam (Luzac and Co: Londos, 1885) h. 99
24
Yunus Ali Al-Mudhor, Kumpulan Kisah Keramat Para Wali. (Toha Putera: Semarang, 1979) h. 294
25
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniaannya. (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1979) h. 124
26
Usman Said, Pengantar Ilmu Tasawuf. (IAIN Sumatra Utara: Medan, 1982) h. 77
4. Pendapatnya tentang istilah isqat al-faraid, yakni bahwa berbagai tugas atau kewajiban
agama bisa digantikan oleh kegiatan lain yang dipandang lebih bermanfaat pada saat
tertentu. Seperti contoh, daripada berziarah ke tanah suci (menunaikan ibadah haji)
lebih baik menyantuni yatim piatu dan mereka yang membutuhkan. Selain itu, ia
pernah menyatakan bahwa ibadah haji tidak wajib. Gagasan ini tidak berkenan di
kalangan ulama fikih dan momentum tersebut dijadikan sebagai alat untuk
menjatuhkan Al-Hallaj27.
Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi pada saat itu adalah kondisi sangat
meningkatnya pertentangan faham diantara dua golongan ulama, yaitu ulama fikih yang
berpegang teguh pada hukum-hukum lahiriah seorang hamba berdasar teks Al-Quran dan
Hadis, dengan ulama sufi yang lebih menekankan pada pengalaman dan keindahan limpahan
ilham dari alam gaib (Tuhan). Sebagai ulama kebatinan, sufi lebih dapat berfikir secara bebas
dan luas dibandingkan ulama fikih yang lebih mementingkan sesuatu pada akal. Banyak
pengalaman kebatinan yang dialami para sufi tidak bisa diterima oleh akal, sehingga tidak
heran para sufi kerap dituding telah tersesat dari aqidah dan hukum Islam oleh ulama fikih
pada masa itu. Pertengkaran antara dua kelompok tersebut terus terjadi sampai adanya tokoh
besar tasawuf yang lain. Tokoh ini dapat mempersatukan kembali ilmu lahir (fikih) dengan
ilmu batin (tasawuf), serta filsafat. Tokoh tersebut bernama Al-Gazali.
Tuduhan-tuduhan terhadap al-Hallaj tersebut diungkapkan selain untuk menjatuhkan
Al-Hallaj juga agar menambah kebencian orang yang tidak senang pada Al-Hallaj. Para saksi
pun dihadapkan dalam pengadilan tersebut, namun tidak seorangpun dapat membuktikan
tuduhan itu. Abu Ja'far memerintahkan untuk memeriksa rumah Al-Hallaj. Di sana ditemukan
tulisan-tulisan yang memuat seruan, ajaran dan surat-surat rahasianya. Kertas-kertas yang
disita itu dibacakan dihadapan Al-Hallaj28. Beberapa tahun kemudian atas pengaruh golongan
yang tidak suka terhadap al-Hallaj, serta seorang Menteri bernama Ibn al-Furat yang
menganggap bahwa al-Hallaj berbahaya. Mereka berhasil memaksa hakim tertinggi di Irak
untuk menandatangani hukuman mati bagi Al-Hallaj.29 Vonis hukuman mati tentunya
membutuhkan proses yang panjang.

27
Gazur Ibrahim, Mengungkap Misteri Sufi Besar Mansur Al-Hallaj. (Rajawali Press: Jakarta, 1986) h. 14
28
Barmawi Umarie, Sistematika Tasawuf. (AB Siti Syamsidah: Solo, 1966) h. 117
29
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf. (PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2011) h. 242
Al-Hallaj akhirnya menemui ajalnya dengan cara dihukum gantung. Alasan-alasan
yang bersifat teologis dan politis menyebabkan Al-Hallaj dituntut hukuman mati pada hari
selasa tanggal 26 Maret 922 M. al-Hallaj dihukum di tiang gantungan, setelah itu kaki dan
tangannya dipotong, kepalanya dipenggal dan tubuhnya disiram dengan minyak lalu dibakar
dan abunya dibawa ke menara di tepi sungai Tigris 30. Sebelum digantung, ia dicambuk seribu
kali tanpa mengaduh kesakitan, lalu dipenggal kepalanya. Sebelum dipancung, ia meminta
waktu untuk melaksanakan shalat dua rakaat. Setelah selesai salat, kaki dan tangannya
dipotong, badanya digulung dalam tikar bambu lalu dibakar dan abunya dibuang ke sungai,
sedangkan kepalanya dibawa ke Khurasan untuk dipertontonkan. Kematian tragis al-Hallaj
yang tidak bisa terbayangkan hingga kini tidak membuat gentar para pengikutnya saat itu.
Ajarannya masih tetap berkembang. Terbukti setelah satu abad dari kematiannya. Di Irak
terdapat 4.000 orang yang menamakan diri Hallajiyah. Di sisi lain, pengaruhnya sangat besar
terhadap para pengilkutnya. Ia dianggap mempunyai hubungan dengan gerakan Qaramitah 31.
Al- Hallaj menemui ajalnya dengan penuh keberanian serta memberikan maaf kepada orang-
orang yang terlibat dalam pembunuhannya. Walaupun ia telah di eksekusi mati, tapi ajarannya
banyak yang telah tersebar di tengah masyarakat melalui buku-buku yang ditulisnya.
Ketika disalib, Al-Hallaj sempat menyampaikan ucapan,
“Mereka adalah hamba-hamba-Mu yang telah berkumpul untuk membunuhku
disebabkan kefanatikan terhadap agama-Mu dan sebagai ibadah (pengabdian) kepada-Mu.
Maka berikan keampunan pada mereka. Jika engkau bukakan pada mereka apa yang telah
engkau bukakan pada, niscaya mereka tidak akan melakukan apa yang telah mereka
lakukan”32.

30
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme Dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1992) h. 87
31
Abdul Baqi S. Al-Hallaj: Syahid al Tasawuf Islamiy. (Kairo: Maktabah al-Ilmiyah, 1961) h. 361
32
Ibnu Khalkan, Wafayat al-Aya’an. (Boolaq: 1299 H) h. 184
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat ditarik


kesimpulan sebagai berikut:
1. Al-Hallaj merupakan seorang ulama sufi yang membawa ajaran tasawuf falsafi
2. Al-Hallaj menjadi terkenal karena pemikirannya yang mengundang kontroversi
dikalangan pemerintah dan ulama. Ucapannya yang terkenal memiliki arti “Aku adalah
Tuhan”. Konsepnya adalah manusia dapat menyatukan diri dengan Allah SWT dan
dikenal dengan istilah hulul
3. Ajaran yang disampaikan melalui dakwah Al-Hallaj berbuah tragis. Hidup Al-Hallaj
berakhir dengan hukuman mati yang ditetapkan oleh pengadilan saat itu. Setelah
kematian Al-Hallaj, pemikirannya terus diminati oleh para pengikutnya
4.
DAFTAR PUSTAKA

Aceh, A. (1985). Pendidikan Sufi. Ramadhani, Semarang

Ali, M. (1993). Ensiklopedi Islam. Departemen Agama RI, Jakarta

Al-Mudhor, Y.A. (1979). Kumpulan Kisah Keramat Para Wali. Toha Putera, Semarang

Anwar, R. (2001). Akhlak Tasawuf. Pustaka Setia, Bandung

Arberry, A. J. (1983). Warisan Para Anbiya. Penerbit Pustaka, Bandung

Asmaran. (1994). Pengantar Sufi Tasawuf. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Asy-Syaibi, K. M. (1989). As-Silatu baina al-Tasauf wa al-Tasyyi’. Dar El Ma’arif, Kairo

Bayat, M., & Jamnia, M.A. (2009). Negeri Sufi. Lentera, Jakarta

Baqi, A. (1961). Al-Hallaj: Syahid al Tasawuf Islamiy. Maktabah al-Ilmiyah, Kairo

Hadi, A. (2004). Tasawuf yang Tertindas. Paramadina, Jakarta

Haq, M.Z. (2002). Al Hallaj Kisah Perjuangan Total Menuju Tuhan. Lentera, Jakarta

Hassan, I. Tarikh Al-Islam Al-Siyasi. (1979). Makhtabh Al-Nadhah, Kairo

Ibrahim, G. (1986). Mengungkap Misteri Sufi Besar Mansur Al-Hallaj. Rajawali Press, Jakarta

Isa, A. (2011). Tokoh-tokoh Sufi Teladan Kehidupan Yang Saleh. PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta

Hamka. (1979). Tasawuf Perkembangan dan Pemurniaannya. Yayasan Nurul Islam, Jakarta

Huda, S. (2008). Tasawuf Kultural Fenomena Shalawat Wahidiyah. LkIS, Yogyakarta

Ibrahim, G. (1986). Mengungkap Misteri Sufi Besar Mansur Al-Hallaj. Rajawali Press, Jakarta

Isa, A. (2011). Tokoh-tokoh Sufi Teladan Kehidupan Yang Saleh. PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta

Jamil. (2013). Akhlak Tasawuf. Referensi, Ciputat


Jumarto, T., & Amin, S.M. (2005). Kamus Ilmu Tasawuf. Amzah, Jakarta

Kailani, Q. (1969). Fi at-Tasauf al-Islam. Dar El Ma’arif, Kairo

Khalkan, I. (1881). Wafayat al-Aya’an. Bo’olaq, Mesir

Massiqon, L. (1885). The Encyclopedia of Islam Luzac and Co, London

Nasution, A. B., & Siregar, R. H. (2013). Akhlak Tasawuf. Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Nasution, H. (1992). Falsafat dan Mistisme Dalam Islam. Bulan Bintang, Jakarta

Nata, A. (2011). Akhlak Tasawuf. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

Nicholson, R. A. (1990). Al-Hallaj: Encyclopedia of Religion and Ethics. Charles Scribness


Son, New York

Said, U. (1982) Pengantar Ilmu Tasawuf. IAIN Sumatra Utara, Medan

Schimmel, A. (1982). Dimensi Mistik dalam Islam. Pustaka Firdaus, Jakarta

Suryadilaga, M.A. (2008). Miftahus Sufi. Teras, Yogyakarta

Syaraf, M. Y (1986). Harakah al-Tasauf wa al-Tassyi. Dar El Ma’arif, Kairo

Umarie, B. (1966). Sistematika Tasawuf. AB Siti Syamsidah, Solo

Zahri, M. (1998). Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. PT Bina Ilmu, Surabaya

Anda mungkin juga menyukai