Anda di halaman 1dari 21

Tugas Filsafat

EKSISTENSIALISME
PRAGMATISME

Di
S
U
S
U
N
OLEH

MIRNA MEILIANA ( 1802032010)

INSTITUT KESEHATAN HELVETIA MEDAN


PROGRAM KESEHATAN MASYARAKAT
JURUSAN S1 GIZI
TAHUN 2019
1. SEJARAH LAHIRNYA EKSISTENSIALISME

Istilah eksistensialisme dikemukakan oleh ahli filsafat Jerman Martin Heidegger


(1889-1976). Eksistensialisme adalah ilmu filsafat dan cara yang digunakan untuk
menemukannya berasal dari metode fenomologi yang dikembangkan oleh Hussel
(1859-1938). Munculnya eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Kieggard dan
Nietzche. Filsuf Jerman, Kiergaard (1813-1855) filsafatnya didasari untuk menjawab
pertanyaan “Bagaimanakah aku menjadi seorang individu?”pertanyaan ini muncul
karena pada saat itUterjadikrisiseksistensial(manusiamelupakanindividualitasnya).
Kiergaard menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut “manusia (aku) bisa
menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen
pribadi dalam kehidupan.” Nitzsche (1844-1900) filsuf jerman tujuan filsafatnya
adalah untuk menjawab pertanyaan “bagaimana caranya menjadi manusia unggul”.
Jawabannya manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk
merealisasikan diri secara jujur dan berani.
Pada abad ke-19, para sarjana Barat yang pernah mengembangkan ajaran filsafat
eksistensialisme antara lain oleh J. Fichte (1762-1814), F. Schelling (1775-1854) dan
Hegel (1770-1831).Namun yang mereka kembangkan bukanlah filsafat
eksistensialisme secara utuh, tetapi lebih memprioritaskan ide-ide (idealisme), yakni
tidak memfokuskan pada pembahasan fakta yang telah dibuktikan, sehingga yang
muncul adalah filsafat materialisme. Seperti yang banyak kita kenal, materialisme
merupakan ajaran filsafat yang banyak dikembangkan oleh Karl Mark melalui ajaran
filsafat Marxisme. Menurutnya, eksistensi manusia lebih dari eksistensi TUHAN,
manusia bisa memperoleh segala sesuatu yang bersifat materi oleh diri manusia sendiri,
sehingga yang muncul kemudian adalah ajaran ketidak percayaan terhadap Tuhan
(Atheisme).
Di kalangan filsuf Barat muncul sikap kritis untuk membangun konsep berfikir
yang bebas dan terbuka, menggunakan kemampuan akal seluas-luasnya agar mampu
menghadapi perkembangan zaman. Sementara di kalangan pemikir muslim,
eksistensialisme berlebihan ditolak karena mengabaikan dan mengingkari keberadaan
Tuhan. Sekarang, sebagian pemikir muslim liberal banyak terjebak dalam hal
merumuskan pandangan mereka tentang filsafat eksistensialisme sebagai faham
berfikir bebas dan terbuka – meskipun harus lepas dari aqidah yang ada.

2. PENGERTIAN EKSISTENSIALISME
Dari sudut etimologi, Eksistensi berasal dari kata Eks yang berarti keluar, dan
sistensi atau sisto berarti berdiri, menempatkan. Secara umum berarti, manusia dalam
keberadaannya itu sadar bahwa dirinya ada dan segala sesuatu keberadaannya
ditentukan oleh dirinya sendiri. Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang
memandang berbagai hal dengan berdasar pada keberadaannya (eksistensinya).
Artinya bagaimana manusia berada (bereksistensi) dalam dunia.
Pendapat lain, menyatakan “eksistensialisme” merupakan suatu aliran dalam ilmu
filsafat yang menekankan pada manusia yang bertanggung jawab atas kemauannya
yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak
benar. Sebenarnya bukan tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak
benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karena
hal tersebut, masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya
benar. Manusia juga dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi
(berbuat), meneliti cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat
dikatakan inti dari aliran filsafat eksistensialisme adalah manusia konkret.

3. CIRI-CIRI EKSISTENSIALISME

1. Selalu melihat cara manusia berdiri sendiri, sehingga dapat diartikan ada unsur
“berbuat” dan “menjadi”.
2. Manusia dipandang sebagai suatu kenyataan yang masih dapat berkembang, serta
didasari dari pengalaman yang konkret atau empiris yang ada di sekitar.
3. Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan
masyarakat modern, khususnya terhadap idealisme Hegel.
4. Eksistensialisme adalah suatu proses atas nama individualis terhadap konsep-konsep,
filsafat akademis yang jauh dari kehidupan konkrit.
5. Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal
(tanpa kepribadian) dari zaman industri modern dan teknologi, serta gerakan massa.
6. Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan
fasis, komunis, yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan di
dalam kolektif atau massa.
7. Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek (harapan) manusia di dunia.
8. Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi,
pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.

4. TOKOH-TOKOH DALAM ALIRAN FILSAFAT EKSISTENSIALISME

I. Friedrich Nietzsche
Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir di Saxony, Prusia pada tahun 1844
dan meninggal di Weimar 25 Agustus 1900 pada umur 55 tahun. Friedrich Nietzsche
adalah seorang filsuf Jerman dan seorang ahli ilmu Filologi yang meneliti teks-teks
kuno, Dia menulis beberapa teks kritis terhadap agama, moralitas, budaya
kontemporer, filsafat dan ilmu pengetahuan, menampilkan kesukaan untuk metafora,
ironi, dan pepatah. Ia merupakan salah seorang tokoh pertama dari Eksistensialisme
Modern yang ateistis
Menurut Friedrich Nietzsche manusia yang bereksistensi adalah manusia yang
mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia
harus menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan
mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena
dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.

II. Soren Aabye Kiekegaard


Soren Aabye Kiekegaard lahir pada tanggal 5 Mei 1813, dan meninggal pada
tanggal 11 November 1855. Soren Aabye Kiekegaard adalah seorang filsuf dan teolog
abad ke 19 yang berasal dari Denmark. Kierkegaard sendiri melihat dirinya sebagai
seseorang yang religius dan seorang anti-filsuf, tetapi sekarang ia dianggap sebagai
bapaknya filsafat eksistensialisme. Kierkegaard menjembatani jurang yang ada antara
filsafat Hegelian dan apa yang kemudian menjadi Eksistensialisme. Kierkegaard
terutama adalah seorang kritikus Hegel pada masanya dan apa yang dilihatnya
sebagai formalitas hampa dari Gereja Denmark. Filsafatnya merupakan sebuah reaksi
terhadap dialektik Hegel.
Banyak dari karya-karya Kierkegaard membahas masalah-masalah agama seperti
misalnya hakikat iman, lembaga Gereja Kristen, etika dan teologi Kristen,
dan emosi serta perasaan individu ketika diperhadapkan dengan pilihan-pilihan
eksistensial. Karena itu, karya Kierkegaard kadang-kadang digambarkan
sebagai eksistensialisme Kristen dan psikologi eksistensial. Karena ia menulis
kebanyakan karya awalnya dengan menggunakan berbagai nama samaran, yang
seringkali mengomentari dan mengkritik karya-karyanya yang lain yang ditulis dengan
menggunakan nama samaran lain, sangatlah sulit untuk membedakan antara apa yang
benar-benar diyakini oleh Kierkegaard dengan apa yang dikemukakannya sebagai
argumen dari posisi seorang pseudo-pengarang.Ludwig Wittgenstein berpendapat
bahwa Kierkegaard "sejauh ini, adalah pemikir yang paling mendalam dari abad ke-
19"

Inti pemikiran dari tokoh ini adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis
tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu
kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada
keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia
anggap kemungkinan.

III. Jean Paul Sartre


Jean-Paul Sartre (lahir di Paris, Perancis, 21 Juni 1905 – meninggal di Paris, 15
April 1980 pada umur 74 tahun) adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ialah yang
dianggap mengembangkan aliran eksistensialisme.Sartre menyatakan, eksistensi lebih
dulu ada dibanding esensi.
Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih
hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre
selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia.
Pada tahun 1964, Ia diberi Hadiah Nobel Sastra, namun Jean-Paul Sartre
menolak. Ia meninggal dunia pada 15 April 1980 di sebuah rumah sakit di Broussais
(Paris). Upacara pemakamannya dihadiri kurang lebih 50.000 orang. Pasangannya
adalah seorang filsuf wanita bernama Simone de Beauvoir. Sartre banyak
meninggalkan karya penulisan diantaranya berjudul Being and Nothingness atau Ada
dan Ketiadaan.
Inti pemikirannya adalah menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah
diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep
manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan
bebas bagi diri sendiri.

IV. Karl Jaspers


Karl Theodor Jaspers adalah seorang filsuf eksistensialis dari Jerman. Ia lahir pada
tahun 1883 dan meninggal pada tahun 1969. Semula Jaspers bekerja sebagai psikiater,
namun pada tahun 1621, ia bekerja sebagai dosen filsafat di Heidelberg. Jaspers hidup
pada masa Nazi berkuasa dan mengalami kesulitan-kesulitan karena istrinya
berdarah Yahudi. Pada tanggal 14 April 1945, Jaspers dan istrinya akan dibawa
ke kamp konsentrasi. Namun ternyata Amerika Serikat menduduki Heidelberg dan
mengalahkan Jerman pada Perang Dunia II. Sesudah perang, Jaspers menjadi penulis
soal-soal politik, dan berpindah ke Swiss.
Pemikiran filsafat Jaspers berakar kuat pada Kierkegaard, namun banyak juga
dipengaruhi oleh para filsuf lain, seperti Plotinos,Spinoza, Kant, Schelling,
dan Nietzsche. Jika dibandingkan dengan para filsuf eksistensialisme lain, Jaspers
adalah filsuf yang pemikirannya memperlihatkan suatu sistem yang rapi. Karya Jaspers
yang paling penting untuk mengetahui pemikirannya adalah "Filosofi" yang ditulis
pada tahun 1932. Pemikiran Jaspers yang paling dikenal adalah tentang "chiffer-
chiffer" dan "situasi batas". Ada empat "situasi batas" yang menantang manusia untuk
mewujudkan dirinya dengan lebih penuh:
Jaspers memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya
sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan dan
mengatasi semua pengetahuan obyektif, sehingga manusia sadar akan dirinya
sendiri. Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.

V. Martin Heidegger
Martin Heidegger lahir di Mebkirch, Jerman, 26 September 1889 dan meninggal
26 Mei 1976 pada umur 86 tahun) adalah seorang filsuf asal Jerman. Ia belajar di
Universitas Freiburg di bawah Edmund Husserl, penggagas fenomenologi, dan
kemudian menjadi profesor di sana 1928. Karya terpenting Heidegger adalah Being
and Time (German Sein und Zeit, 1927). Ia memengaruhi banyak filsuf lainnya, dan
murid-muridnya termasuk Hans-Georg Gadamer, Hans Jonas,Emmanuel
Levinas, Hannah Arendt, Leo Strauss, Xavier Zubiri dan Karl Löwith. Maurice
Merleau-Ponty, Jean-Paul Sartre, Jacques Derrida, Michel Foucault, Jean-Luc Nancy,
dan Philippe Lacoue-Labarthe juga mempelajari tulisan-tulisannya dengan mendalam.
Selain hubungannya dengan fenomenologi, Heidegger dianggap mempunyai pengaruh
yangbesaratautidakdapatdiabaikanterhadap eksistensialisme, dekonstruksi, hermeneut
ika dan pasca-modernisme. Ia berusaha mengalihkan filsafat Barat dari pertanyaan-
pertanyaan metafisis dan epistemologis ke arah pertanyaan-pertanyaan ontologis,
artinya, pertanyaan-pertanyaan menyangkut makna keberadaan, atau apa artinya bagi
manusia untuk berada. Heidegger juga merupakan anggota akademik yang penting
dari Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei.
Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain,
segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri,
dan benda-benda yang ada diluar manusia, baru mempunyai makna apabila dikaitkan
dengan manusia karena benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia
pada setiap tindakan dan tujuan mereka.

5. IMPLIKASI EKSISTENSIALISME DALAM PENDIDIKAN


Eksistensialisme sebagai filsafat, sangat menekankan individualitas dan
pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan
secara unik pula ia bertanggung jawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan
pendidikan, sikun pribadi (1971) mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan
erat sekali dengan pendidikan, karena keduanya bersinggungan satu dengan yang lainya
pada masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan antar manusia, hakikat
kepribadian, dan kebebasan (kemerdekaan). Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah
‘keberadaan’ manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.
Edward J. Power menjelaskan, bahwa pendidikan menurut eksistensialisme
mempunyai dua tugas utama, yaitu pemenuhan tujuan-tujuan personal dan
mengembangkan rasa kebebasan dan rasa tanggung jawab. Dalam pemenuhan tujuan-
tujuan personal, sekolah harus berusaha memperkenalkan siswa kepada kehidupan. Mata
pelajaran-mata pelajaran yang ada di sekolah hanyalah sebagai sarana untuk realisasi dari
subyektivitas. Dalam realisasi ini dibutuhkan pula mengadopsi seperangkat nilai, yaitu
suatu kaidah tingkahlaku yang sesuai dengan kehidupan personal. Nilai dapat bersumber
dari pengalaman murni, atau dari warisan leluhur, atau bersumber dari hukum alam atau
hukum supernatural.
Dalam mengembangkan kebebasan dan rasa tanggung jawab, pendidikan
memberikan kebebasan pada seseorang yang dalam posisi moralnya mampu memilih suatu
nilai yang baik untuk dirinya dan baik untuk orang lain. Pendidikan yang baik ialah
mempersiapkan seseorang agar memiliki kebebasan, dan pada saat yang sama menghargai
kebebasan semua orang lainnya,“ I am responsible for my self and for all”. Berkenaan
dengan hal tersebut, guru berfungsi sebagai penyampai misi kebebasan dan tanggung
jawab lebih dari sekedar pengajar mata pelajaran-mata pelajaran yang terdapat dalam
kurikulum. Dengan demikian kurikulum dirancang untuk menghasilkan manusia bebas
bukan manusia budak
Konsep pendidikan menurut eksistensialisme adalah pengembangan daya kreatif
dalam diri anak-anak, bukan saja sebagai pribadi atau individu, tetapi anak adalah suatu
realitas. Pendidikan merespon terhadap berbagai bentuk metafisika. Karena itu merespon
juga terhadap eksistensialisme sebagai aliran filsafat yang lahir dari situasi kehidupan yan
mengandung krisis.
a. Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu
mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu
memiliki kebutuhan dirinya, sehingga dalam menetukan kurikulum yang pasti
dan ditentukan berlaku secara umum.
b. Kurikulum
Kaum eksistensialis menilai kurikulim berdasar pada apakah hal itu
berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suatu
tingkatan kepekaan personal yang disebut Greene “kebahagiaan yang luas”.
Kurikulum ideal adalah kurikulum yang memberi para siswa kebebasan
individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-
pertanyaan, melakanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik
kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.
Menurut pandanga eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu
yang lebih penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan materi
dimana individu akan dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya.
Mata pelajaran yang dapat memenuhi tuntutan diatas adalah mata pelajaran
IPA, sejrah, sastra, filsafat, dan seni. Bagi beberapa anak, pelajaran yang dapat
membantu untuk menemukan dirinya adalah IPA, nwmun bagi yang lainnya
mungkin saja bisa sejarah, filsafat, sastra, dan sebagainya.
Dengan mata-mata pelajaran tersebut, siswa akan berkenalan dengan
pandangan dan wawasan para penulis dan pemikir terkenal, memahami hakikat
manusia di dunia, mamahami kebenaran dan kesalahan, kekuasaan, konflik,
penderitaan dan mati. Semua itu merupakan tema-tema yang akan melibatkan
siswa baik intelektual maupun emosional. Sebagai contoh kaum eksistensialis
melihat sejarah sebagai sesuatu perjuangan manusia mencapai kebebasan.
Siswa harus melibatkan dirinya dalam periode apapun yang sedang ia
pelajarinya, dan menyatukan dirinya dalam masalah-masalah kepribadian yang
sedang dipelajarinya. Sejarah yang ia pelajari harus dapat membangkitkan
pkiran dan perasaannya, serta menjadi bagian dari dirinya.
c. Proses belajar mengajar
Menurut Kneller (1971) konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat
diaplikasikan dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”. Dialog
merupakan percakapan antara pribadi dengan pribadi, di mana setiap pribadi
merupakan subjek bagi yang lainnya, dan merupakan suatu percakapan antara
“aku” dan Engkau” (Tuhan). Sedangkan lawan dari dialog adalah “paksaan”,
dimana seseorang memaksakan kehendaknya kepada orang lain sebagai objek.
Menurut Buber kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan. Anak
dipaksa menyersh kepada kehendak guru, atau pada pengetahuan yang tidak
fleksibel, dimana guru menjadi penguasanya.
Selanjuthya Buber mengemukakan bahwa, guru hendaknya tidak boleh
disamakan dengan seorang indtruktur, jika guru disamakan dengan instruktur
maka ia hanya akan merupakan perantara yang sederhana anatara materi
pelajaran dnga siswa. Seandainya guru dianggap sebagai seorang instruktur, ia
akan turun martabatnya, sehingga ia hanya dianggap sebagai alat untuk
mentransfer tersebut. Pengetahuan dan siswa akan menjadi hasil dari tensfer
tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga manusia akan
menjadi alat dan produk dari pengetahuan tersebut.
Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan, melainkan
ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan anatara guru dengan siswa sebagai
suatu dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa harus
menjadi bagian dari pegalaman pribadi guru itu sendiri, sehingga guru akan
berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan anatara pribadi dengan pribadi.
Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan sesuatu yang diberikan
kepada siwa yang tidak dikuasainya, melainka merupakan suatu aspek yang
telah menjadi miliknya sendiri.

d. Peranan Guru
Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak bermakna apa-
apa, dan alam semesta berlainan dengan situasi yang manusia temukan sendiri
di dalamnya, meskipun demikian dengan kebebasan yang kita milliki, masing-
masing dari kita harus berkomitmen sendiri pada penentuan makna bagi
kehidupan kita. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Maxine Greene (Parkay,
1998), seorang filsuf pendidikan terkenal yang karyanya didasarkan pada
eksistensialisme: “Kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan situasi-
situasi kita jika kita memahami dunia dari sudut pendirin bersama.” Urusan
manusia yang mungkin paling bermanfaat dalam mengangkat pencarian pribadi
akan makna merupakan proses edukatif. Sekalipun begitu, para guru harus
memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan memberi mereka
pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari
kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan degan keyakinan banyak orang,
tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang mereka sukai:
logika menunjukan bahwa kebebasan memiliki aturan dan rasa hormat akan
kebebasan orang lain itu penting.
Guru sebaiknya memberi semangat pada siswa untuk memikirkan
dirinya dalam suatu dialog. Guru menanyakan tentang ide-ide yang dimiliki
siswa dan mengajukan ide-ide lain kemudian membimbing siswa untuk
memilih alternatif-alternatif, sehingga siswa akan melihat, bahwa kebenaran
tidak terjadi pada manusia, melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari itu,
siswa harus menadi actor dalam suatu drama belajar, bukan penonton. Siswa
harus belajar keras seperti gurunya. Guru mampu membimbing dan
mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa mampu berpikir relative
melalui pertanyaan-pertanyaaan
Tabel Implikasi Edukatif dari Filsafat Eksistensialisme

Murid Makhluk rasional dengan kebebasan untuk memilih dan


bertanggung jawab atas pilihannya, sesuai dengan pemenuhan
tujuan personal
Tujuan Menyediakan pengalama yang luas dan kmperhensif dengan
pendidikan ssegala bentuk kehidupan.

Kurikulum Mengutamakan kebebasan karena “liberal leraning” sangat


mungkin melandasi “human freedom”

Pendidikan Kebebasan memiliki aturan, ini adalah urusan pendidikan sosial


Sosial untuk mengajarkan penghargaan kepada kebebasan yang dimiliki
semua orang, agar kebebasan tidak mengundang konflik.

Peranan Guru Melindungi dan menjaga kebebasan akademis di mana guru hari
ini dapat menjadi siswa esok hari.

Metode Tidak ada perhatian khusus mengenai metode, tetapi apapaun


metode yang digunakan harus terarah kepada cara pencapaian
kebahagiaan dan karakter yang baik

*Sumber: Edward J Power


KESIMPULAN

Eksistensialisme adalah suatu aliran dari ilmu filsafat yang lebih berpusat pada manusia
sebagai individu yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri dengan pengalaman-
pengalamannya yang dapat membuat manusia tersebut lebih berkembang. Sehingga paham
tersebut hanya berpusat pada diri sendiri, tanpa harus memikirkan hal yang ada disekitar yang
dapat mempengaruhi kehidupan individu tersebut. Dalam konteks nilai, manusia memiliki
kebebasan untuk memilih, tetapi dalam pilihan tersebut manusia harus siap menerima akibat
dari pilihan tersebut, dan kebebasan memilih tersebut tidak akan pernah berhenti karena setiap
akibat yang diterima akan menimbulkan kebutuhan untuk memilih pilihan selanjutnya.
Eksistensialisme bukan seperti teori atheis yang sangat berusaha untuk membuktikan
ketiadaan Tuhan, namun apa yang manusia butuhkan adalah menemukan kembali dirinya
sendiri, bahkan tidak ada bukti valid tentang keberadaan Tuhan. Dalam pengertian ini,
eksistensialisme adalah sebuah doktrin tindakan nyata.
DAFTAR PUSTAKA

Satre, Jean P. 2002. EKSISTENSIALISME DAN MHUMANISME. Yogyakarta : Pustaka


Pelajar.
Amri, Amsal. 2009. STUDI FILSAFAT PENDIDIKAN. Banda aceh : PeNA.
Nasution. 2003. Asas-asas Kurikulum. Jakarta : Bumi Aksara.
Sadulloh, Uyoh. 2010. PENGANTAR Filsafat Pendidikan. Bandung : cv. ALVABETA.
Surajiyo. 2000. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta : Institut Ilmu Sosial dan Politik.
Asmoro Achmadi. 2011. Filsafat Umum. Jakarta: Rajawali pers.
https://myfilsafat.wordpress.com/category/aliran-eksistensialisme/
http://adipustakawan01.blogspot.co.id/2013/06/aliran-eksistensialisme.html
http://khoirunnisarima.blogspot.co.id/2015/12/tokoh-tokoh-eksistensialisme.html
PRAGMATISME

A. Pengertian Pragmatisme
Istilah Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan (action) atau
tindakan (practice). Isme di sini sama artinya dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti aliran atau
ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa
pemikiran itu menuruti tindakan. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja hanya
membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima
sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat.
Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”. Pragmatisme
memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau
hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu
teori itu benar kalau berfungsi (if it works).
Kata pragmatisme sering sekali diucapkan orang. Orang-orang menyebut kata ini biasanya
dalam pengertian praktis. Jika orang berkata, Rencana ini kurang pragmatis, maka maksudnya
ialah rancangan itu kurang praktis. Pengertian seperti itu tidak begitu jauh dari pengertian
pragmatisme yang sebenarnya, tetapi belum menggambarkan keseluruhan pengertian
pragmatisme.
Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran
sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.
Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau
peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti
berguna bagi masyarakat yang lain. Maka konsep itu dinyatakan benar oleh masyarakat yang
kedua.
Pragmatisme dalam perkembangannya mengalami perbedaan kesimpulan walaupun
berangkat dari gagasan asal yang sama. Kendati demikian, ada tiga patokan yang disetujui aliran
pragmatisme yaitu, (1) menolak segala intelektualisme, dan (2) absolutisme, serta (3) meremehkan
logika formal.
B. Tokoh-tokoh Filsafat Pragmatisme
1. Charles Sandre Peirce ( 1839 M )
Dalam konsepnya ia menyatakan bahwa, sesuatu dikatakan berpengaruh bila memang
memuat hasil yang praktis. Pada kesempatan yang lain ia juga menyatakan bahwa, pragmatisme
sebenarnya bukan suatu filsafat, bukan metafisika, dan bukan teori kebenaran, melainkan suatu
teknik untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah (Ismaun, 2004:96). Dari kedua
pernyataan itu tampaknya Pierce ingin menegaskan bahwa, pragmatisme tidak hanya sekedar ilmu
yang bersifat teori dan dipelajari hanya untuk berfilsafat serta mencari kebenaran belaka, juga
bukan metafisika karena tidak pernah memikirkan hakekat dibalik realitas, tetapi konsep
pragmatisme lebih cenderung pada tataran ilmu praktis untuk membantu menyelesaikan persoalan
yang dihadapi manusia.
2. William James (1842-1910 M)
William James lahir di New York pada tahun 1842 M, anak Henry James, Sr. ayahnya adalah
orang yang terkenal, berkebudayaan tinggi, pemikir yang kreatif. Selain kaya, keluarganya
memang dibekali dengan kemampuan intelektual yang tinggi. Keluarganya juga menerapkan
humanisme dalam kehidupan serta mengembangkannya. Ayah James rajin mempelajari manusia
dan agama. Pokoknya, kehidupan James penuh dengan masa belajar yang dibarengi dengan usaha
kreatif untuk menjawab berbagai masalah yang berkenaan dengan kehidupan.
Karya-karyanya antara lain, The Principles of Psychology (1890), The Will to Believe (1897),
The Varietes of Religious Experience (1902) dan Pragmatism (1907). Di dalam bukunya The
Meaning of Truth, Arti Kebenaran, James mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak,
yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang
mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam
pengembangan itu senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa yang kita anggap benar
dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tidak ada kebenaran mutlak, yang
ada adalah kebenaran-kebenaran (artinya, dalam bentuk jamak) yaitu apa yang benar dalam
pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.
Nilai pengalaman dalam pragmatisme tergantung pada akibatnya, kepada kerjanya artinya
tergantung keberhasilan dari perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu. Pertimbangan itu
benar jikalau bermanfaat bagi pelakunya, jika memperkaya hidup serta kemungkinan-
kemungkinan hidup.
Di dalam bukunya, The Varietes of Religious Experience atau keanekaragaman pengalaman
keagamaan, James mengemukakan bahwa gejala keagamaan itu berasal dari kebutuhan-kebutuhan
perorangan yang tidak disadari, yang mengungkapkan diri di dalam kesadaran dengan cara yang
berlainan. Barangkali di dalam bawah sadar kita, kita menjumpai suatu relitas cosmis yang lebih
tinggi tetapi hanya sebuah kemungkinan saja. Sebab tiada sesuatu yang dapat meneguhkan hal itu
secara mutlak. Bagi orang perorangan, kepercayaan terhadap suatu realitas cosmis yang lebih
tinggi merupakan nilai subjektif yang relatif, sepanjang kepercayaan itu memberikan kepercayaan
penghiburan rohani, penguatan keberanian hidup, perasaan damain keamanan dan kasih kepada
sesama dan lain-lain.
James membawakan pragmatisme. Isme ini diturunkan kepada Dewey yang
mempraktekkannya dalam pendidikan. Pendidikan menghasilkan orang Amerika sekarang.
Dengan kata lain, orang yang paling bertanggung jawab terhadap generasi Amerika sekarang
adalah William James dan John Dewey. Apa yang paling merusak dari filsafat mereka itu? Satu
saja yang kita sebut: Pandangan bahwa tidak ada hukum moral umum, tidak ada kebenaran umum,
semua kebenaran belum final. Ini berakibat subyektivisme, individualisme, dan dua ini saja sudah
cukup untuk mengguncangkan kehidupan, mengancam kemanusiaan, bahkan manusianya itu
sendiri.
3. John Dewey (1859-1952 M)
Sekalipun Dewey bekerja terlepas dari William James, namun menghasilkan pemikiran yang
menampakkan persamaan dengan gagasan James. Dewey adalah seorang yang pragmatis.
Menurutnya, filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau
mengatur kehidupan manusia serta aktifitasnnya untuk memenuhi kebutuhan manusiawi.
Sebagai pengikut pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan
pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis
yang kurang praktis, tidak ada faedahnya.
Dewey lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme. Pengalaman adalah
salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Oleh karena itu filsafat harus berpijak pada
pengalaman dan mengolahnya secara aktif-kritis. Dengan demikian, filsafat akan dapat menyusun
sistem norma-norma dan nilai-nilai.
Instrumentalisme ialah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari
konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang
bermacam-macam itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu dengan cara
utama menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu berfungsi dala penemuan-penemuan yang
berdasarkan pengalaman yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan.
Menurut Dewey, kita ini hidup dalam dunia yang belum selesai penciptaannya. Sikap Dewey
dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek dari yang kita namakan
instrumentalisme. Pertama, kata “temporalisme” yang berarti bahwa ada gerak dan kemajuan nyata
dalam waktu. Kedua, kata futurisme, mendorong kita untuk melihat hari esok dan tidak pada hari
kemarin. Ketiga, milionarisme, berarti bahwa dunia dapat diubah lebih baik dengan tenaga kita.

C. Kritik-kritik terhadap Pragmatisme


Kekeliruan Pragmatisme dapat dibuktikan dalam tiga tataran pemikiran :
1. Kritik dari segi landasan ideologi Pragmatisme
Pragmatisme dilandaskan pada pemikiran dasar (Aqidah) pemisahan agama dari kehidupan
(sekularisme). Hal ini nampak dari perkembangan historis kemunculan pragmatisme, yang
merupakan perkembangan lebih lanjut dari empirisme. Dengan demikian, dalam konteks
ideologis, Pragmatisme berarti menolak agama sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Jadi, pemikiran pemisahan agama dari kehidupan merupakan jalan tengah di antara dua sisi
pemikiran tadi. Penyelesaian jalan tengah, sebenarnya mungkin saja terwujud di antara dua
pemikiran yang berbeda (tapi masih mempunyai asas yang sama). Namun penyelesaian seperti itu
tak mungkin terwujud di antara dua pemikiran yang kontradiktif. Sebab dalam hal ini hanya ada
dua kemungkinan. Yang pertama, ialah mengakui keberadaan Al Khaliq yang menciptakan
manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dan dari sinilah dibahas, apakah Al Khaliq telah
menentukan suatu peraturan tertentu lalu manusia diwajibkan untuk melaksanakannya dalam
kehidupan, dan apakah Al Khaliq akan menghisab manusia setelah mati mengenai keterikatannya
terhadap peraturan Al Khaliq ini. Sedang yang kedua, ialah mengingkari keberadaan Al Khaliq.
Dan dari sinilah dapat dicapai suatu kesimpulan, bahwa agama tidak perlu lagi dipisahkan dari
kehidupan, tapi bahkan harus dibuang dari kehidupan.
2. Kritik dari segi metode pemikiran
Pragmatisme yang tercabang dari Empirisme nampak jelas menggunakan Metode Ilmiyah
(Ath Thariq Al Ilmiyah), yang dijadikan sebagai asas berpikir untuk segala bidang pemikiran, baik
yang berkenaan dengan sains dan teknologi maupun ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan. Ini adalah
suatu kekeliruan.
Metode Ilmiyah adalah suatu metode tertentu untuk melakukan pembahasan/pengkajian
untuk mencapai kesimpulan pengertian mengenai hakekat materi yang dikaji, melalui serangkaian
percobaan/eksperimen yang dilakukan terhadap materi.
Memang, metode ini merupakan metode yang benar untuk objek-objek yang bersifat
materi/fisik seperti halnya dalam sains dan teknologi. Tetapi menjadikan Metode Ilmiyah sebagai
landasan berpikir untuk segala sesuatu pemikiran adalah suatu kekeliruan, sebab yang seharusnya
menjadi landasan pemikiran adalah Metode Akliyah (Ath Thariq Al Aqliyah), bukan Metode
Ilmiyah. Sebab, Metode Ilmiyah itu sesungguhnya hanyalah cabang dari Metode Akliyah.
Metode Akliyah adalah sebuah metode berpikir yang terjadi dalam proses pemahaman
sesuatu sebagaimana definisi akal itu sendiri, yaitu proses transfer realitas melalui indera ke dalam
otak, yang kemudian akan diinterpretasikan dengan sejumlah informasi sebelumnya yang
bermukim dalam otak.
Metode Akliyah ini sesungguhnya merupakan asas bagi kelahiran Metode Ilmiyah, atau
dengan kata lain Metode Ilmiyah sesungguhnya tercabang dari Metode Akliyah. Argumen untuk
ini, sebagaimana disebutkan Taqiyuddin An Nabhani dalam At Tafkir halaman 32-33, ada dua
point:
 Bahwa untuk melaksanakan eksperimen dalam Metode Ilmiyah, tak dapat tidak pasti dibutuhkan
informasi-informasi sebelumnya. Dan informasi sebelumnya ini, diperoleh melalui Metode
Akliyah, bukan Metode Ilmiyah. Maka, Metode Akliyah berarti menjadi dasar bagi adanya Metode
Ilmiyah.
 Bahwa Metode Ilmiyah hanya dapat mengkaji objek-objek yang bersifat fisik/material yang dapat
diindera. Dia tak dapat digunakan untuk mengkaji objek-objek pemikiran yang tak terindera seperti
sejarah, bahasa, logika, dan hal-hal yang ghaib. Sedang Metode Akliyah, dapat mengkaji baik
objek material maupun objek pemikiran. Maka dari itu, Metode Akliyah lebih tepat dijadikan asas
berpikir, sebab jangkauannya lebih luas daripada Metode Ilmiyah.
Atas dasar dua argumen ini, maka Metode Ilmiyah adalah cabang dari Metode Akliyah. Jadi
yang menjadi landasan bagi seluruh proses berpikir adalah Metode Akliyah, bukan Metode
Ilmiyah, sebagaimana yang terdapat dalam Pragmatisme.
3. Kritik terhadap Pragmatisme itu sendiri
Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan kegunaan praktis
yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ide ini keliru dari tiga sisi.
Pertama, Pragmatisme mencampur adukkan kriteria kebenaran ide dengan kegunaan
praktisnya. Kebenaran suatu ide adalah satu hal, sedang kegunaan praktis ide itu adalah hal lain.
Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan realitas, atau dengan standar-
standar yang dibangun di atas ide dasar yang sudah diketahui kesesuaiannya dengan realitas.
Sedang kegunaan praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia, tidak diukur dari keberhasilan
penerapan ide itu sendiri, tetapi dari kebenaran ide yang diterapkan. Maka, kegunaan praktis ide
tidak mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta terpuaskannya
kebutuhan manusia .
Kedua, pragmatisme menafikan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide
adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu. Sedang penetapan
kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah identifikasi instinktif. Memang
identifikasi instinktif dapat menjadi ukuran kepuasan manusia dalam pemuasan hajatnya, tapi tak
dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide. Maka, pragmatisme berarti telah menafikan aktivitas
intelektual dan menggantinya dengan identifikasi instinktif. Atau dengan kata lain, pragmatisme
telah menundukkan keputusan akal kepada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi instinktif
.
Ketiga, pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan
perubahan subjek penilai ide (baik individu, kelompok, dan masyarakat) dan perubahan konteks
waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki Pragmatisme baru dapat dibuktikan
(menurut Pragmatisme itu sendiri) setelah melalui pengujian kepada seluruh manusia dalam
seluruh waktu dan tempat. Dan ini mustahil dan tak akan pernah terjadi. Maka, pragmatisme berarti
telah menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri.
D. Implikasi Terhadap Pendidikan
1. Tujuan Pendidikan
Filsuf paragmatisme berpendapat bahwa pendidikan harus mengajarkan seseorang tentang
bagaimana berfikir dan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi di dalam masyarakat.
Sekolah harus bertujuan untuk mengembangkan pengalaman-pengalaman yang akan
memungkinkan seseorang terarah kepada kehidupan yang baik.
Tujuan-tujuan pendidikan tersebut meliputi:
- Kesehatan yang baik
- Keterampilan-keterampilan dan kejujuran dalam bekerja
- Minat dan hobi untuk kehidupan yag menyenangkan
- Persiapan untuk menjadi orang tua
- Kemampuan untuk bertransaksi secara efektif dengan masalah-masalah sosial
Tambahan tujuan khusus pendidikan di atas yaitu untuk pemahaman tentang pentingnya
demokrasi. Menurut pragmatisme pendidikan hendaknya bertujuan menyediakan pengalaman
untuk menemukan/memecahkan hal-hal baru dalam kehidupan peribadi dan kehidupan sosial.
2. Kurikulum
Menurut para filsuf paragmatisme, tradisi demokrasi adalah tradisi memperbaiki diri sendiri
(a self-correcting trdition). Pendidikan berfokus pada kehidupan yang aik pada masa sekarang dan
masa yang akan datang. Kurikilum pendidikan pragmatisme “berisi pengalaman-pengalaman yang
telah teruji, yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa. Adapun kurikulum tersebut akan
berubah.
3. Metode Pendidikan
Ajaran pragmatisme lebih mengutamakan penggunaan metode pemecahan masalah
(problem solving method) serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiri and discovery
method). Dalam praktiknya (mengajar), metode ini membutuhkan guru yang memiliki sifat
pemberi kesempatan, bersahabat, seorang pembimbing, berpandangan terbuka, antusias, kreatif,
sadar bermasyarakat, siap siaga, sabar, bekerjasama, dan bersungguh-sungguh agar belajar
berdasarkan pengalaman dapat diaplikasikan oleh siswa dan apa yang dicita-citakan dapat tercapai.
4. Peranan Guru dan Siswa
Dalam pembelajaran, peranan guru bukan “menuangkan” pengetahuanya kepada siswa.
Setiap apa yang dipelajari oleh siswa haruslah sesuai dengan kebutuhan, minat dan masalah
pribadinya. Pragmatisme menghendaki agar siswa dalam menghadapi suatu pemasalahan,
hendaknya dapat merekonstruksi lingkungan untuk memecahkan kebutuhan yang dirasakannya.
Untuk membantu siswa guru harus berperan:
a. Menyediakan berbagai pengalaman yang akan memuculkan motivasi. Film-film, catatan-catatan,
dan tamu ahli merupakan contoh-contoh aktivitas yang dirancang untuk memunculkan minat
siswa.
b. Membimbing siswa untuk merumuskan batasan masalah secara spesifik.
c. Membimbing merencanakan tujuan-tujuan individual dan kelompok dalam kelas guna
memecahkan suatu masalah.
d. Membantu para siswa dalam mengumpulkan informasi berkenaan dengan masalah.
e. Bersama-sama kelas mengevaluasi apa yang telah dipelajari, bagaimana mereka mempelajarinya,
dan informasi baru yang ditemukan oleh setiap siswa.
Edward J. Power (1982) menyimpulkan pandangan pragmatisme bahwa “Siswa merupakan
organisme rumit yang mempunyai kemampuan luar biasa untuk tumbuh, sedangkan guru berperan
untuk memimpin dan membimbing pengalaman belajar tanpa ikut campur terlalu jauh atas minat
dan kebutuhan siswa”.
Callahan dan Clark menyimpulkan bahwa orientasi pendidikan pragmatisme adalah
progresivisme. Artinya, pendidikan pragmatisme menolak segala bentuk formalisme yang
berlebihan dan membosankan dari pendidikan sekolah yang tradisional. Anti terhadap
otoritarianisme dan absolutisme dalam berbagai bidang kehidupan.
KESIMPULAN

Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan.
Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa yang membuktikan
dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.
Filosuf yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah William James dan John
Dewey.
Seperti dengan aliran-aliran filsafat pada umumnya, pragmatisme juga memiliki kekeliruan
sehingga menimbulkan kritik-kritik terhadap aliran filsafat ini. Kekeliruan pragmatisme dapat
dibuktikan dalam tiga tataran pemikiran: (1) kritik dari segi landasan ideologi pragmatisme, (2)
kritik dari segi metode pemikiran, dan (3) kritik terhadap pragmatisme itu sendiri.
Pragmatisme memandang bahwa siswa merupakan organisme rumit yang mempunyai
kemampuan luar biasa untuk tumbuh, sedangkan guru berperan untuk memimpin dan
membimbing pengalaman belajar tanpa ikut campur terlalu jauh atas minat dan kebutuhan siswa.
DAFTAR PUSTAKA

Mulyana, Deddy , DR., M.A. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya : Bandung
Juhaya S. Praja, Prof., Dr. 2003. Aliran-aliran Filsafat dan Etika Prenada Media: Jakarta.
Mudzakir, Drs., dkk..1997. Filsafat Umum. CV. Pustaka Setia: Bandung.
Munir, Misnal, Drs., M.Hum., dkk. 2006 Filsafat Ilmu. Pustaka Pelajar : Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai