EKSISTENSIALISME
PRAGMATISME
Di
S
U
S
U
N
OLEH
2. PENGERTIAN EKSISTENSIALISME
Dari sudut etimologi, Eksistensi berasal dari kata Eks yang berarti keluar, dan
sistensi atau sisto berarti berdiri, menempatkan. Secara umum berarti, manusia dalam
keberadaannya itu sadar bahwa dirinya ada dan segala sesuatu keberadaannya
ditentukan oleh dirinya sendiri. Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang
memandang berbagai hal dengan berdasar pada keberadaannya (eksistensinya).
Artinya bagaimana manusia berada (bereksistensi) dalam dunia.
Pendapat lain, menyatakan “eksistensialisme” merupakan suatu aliran dalam ilmu
filsafat yang menekankan pada manusia yang bertanggung jawab atas kemauannya
yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak
benar. Sebenarnya bukan tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak
benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karena
hal tersebut, masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya
benar. Manusia juga dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi
(berbuat), meneliti cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat
dikatakan inti dari aliran filsafat eksistensialisme adalah manusia konkret.
3. CIRI-CIRI EKSISTENSIALISME
1. Selalu melihat cara manusia berdiri sendiri, sehingga dapat diartikan ada unsur
“berbuat” dan “menjadi”.
2. Manusia dipandang sebagai suatu kenyataan yang masih dapat berkembang, serta
didasari dari pengalaman yang konkret atau empiris yang ada di sekitar.
3. Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan
masyarakat modern, khususnya terhadap idealisme Hegel.
4. Eksistensialisme adalah suatu proses atas nama individualis terhadap konsep-konsep,
filsafat akademis yang jauh dari kehidupan konkrit.
5. Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal
(tanpa kepribadian) dari zaman industri modern dan teknologi, serta gerakan massa.
6. Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan
fasis, komunis, yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan di
dalam kolektif atau massa.
7. Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek (harapan) manusia di dunia.
8. Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi,
pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.
I. Friedrich Nietzsche
Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir di Saxony, Prusia pada tahun 1844
dan meninggal di Weimar 25 Agustus 1900 pada umur 55 tahun. Friedrich Nietzsche
adalah seorang filsuf Jerman dan seorang ahli ilmu Filologi yang meneliti teks-teks
kuno, Dia menulis beberapa teks kritis terhadap agama, moralitas, budaya
kontemporer, filsafat dan ilmu pengetahuan, menampilkan kesukaan untuk metafora,
ironi, dan pepatah. Ia merupakan salah seorang tokoh pertama dari Eksistensialisme
Modern yang ateistis
Menurut Friedrich Nietzsche manusia yang bereksistensi adalah manusia yang
mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia
harus menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan
mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena
dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
Inti pemikiran dari tokoh ini adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis
tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu
kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada
keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia
anggap kemungkinan.
V. Martin Heidegger
Martin Heidegger lahir di Mebkirch, Jerman, 26 September 1889 dan meninggal
26 Mei 1976 pada umur 86 tahun) adalah seorang filsuf asal Jerman. Ia belajar di
Universitas Freiburg di bawah Edmund Husserl, penggagas fenomenologi, dan
kemudian menjadi profesor di sana 1928. Karya terpenting Heidegger adalah Being
and Time (German Sein und Zeit, 1927). Ia memengaruhi banyak filsuf lainnya, dan
murid-muridnya termasuk Hans-Georg Gadamer, Hans Jonas,Emmanuel
Levinas, Hannah Arendt, Leo Strauss, Xavier Zubiri dan Karl Löwith. Maurice
Merleau-Ponty, Jean-Paul Sartre, Jacques Derrida, Michel Foucault, Jean-Luc Nancy,
dan Philippe Lacoue-Labarthe juga mempelajari tulisan-tulisannya dengan mendalam.
Selain hubungannya dengan fenomenologi, Heidegger dianggap mempunyai pengaruh
yangbesaratautidakdapatdiabaikanterhadap eksistensialisme, dekonstruksi, hermeneut
ika dan pasca-modernisme. Ia berusaha mengalihkan filsafat Barat dari pertanyaan-
pertanyaan metafisis dan epistemologis ke arah pertanyaan-pertanyaan ontologis,
artinya, pertanyaan-pertanyaan menyangkut makna keberadaan, atau apa artinya bagi
manusia untuk berada. Heidegger juga merupakan anggota akademik yang penting
dari Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei.
Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain,
segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri,
dan benda-benda yang ada diluar manusia, baru mempunyai makna apabila dikaitkan
dengan manusia karena benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia
pada setiap tindakan dan tujuan mereka.
d. Peranan Guru
Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak bermakna apa-
apa, dan alam semesta berlainan dengan situasi yang manusia temukan sendiri
di dalamnya, meskipun demikian dengan kebebasan yang kita milliki, masing-
masing dari kita harus berkomitmen sendiri pada penentuan makna bagi
kehidupan kita. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Maxine Greene (Parkay,
1998), seorang filsuf pendidikan terkenal yang karyanya didasarkan pada
eksistensialisme: “Kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan situasi-
situasi kita jika kita memahami dunia dari sudut pendirin bersama.” Urusan
manusia yang mungkin paling bermanfaat dalam mengangkat pencarian pribadi
akan makna merupakan proses edukatif. Sekalipun begitu, para guru harus
memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan memberi mereka
pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari
kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan degan keyakinan banyak orang,
tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang mereka sukai:
logika menunjukan bahwa kebebasan memiliki aturan dan rasa hormat akan
kebebasan orang lain itu penting.
Guru sebaiknya memberi semangat pada siswa untuk memikirkan
dirinya dalam suatu dialog. Guru menanyakan tentang ide-ide yang dimiliki
siswa dan mengajukan ide-ide lain kemudian membimbing siswa untuk
memilih alternatif-alternatif, sehingga siswa akan melihat, bahwa kebenaran
tidak terjadi pada manusia, melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari itu,
siswa harus menadi actor dalam suatu drama belajar, bukan penonton. Siswa
harus belajar keras seperti gurunya. Guru mampu membimbing dan
mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa mampu berpikir relative
melalui pertanyaan-pertanyaaan
Tabel Implikasi Edukatif dari Filsafat Eksistensialisme
Peranan Guru Melindungi dan menjaga kebebasan akademis di mana guru hari
ini dapat menjadi siswa esok hari.
Eksistensialisme adalah suatu aliran dari ilmu filsafat yang lebih berpusat pada manusia
sebagai individu yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri dengan pengalaman-
pengalamannya yang dapat membuat manusia tersebut lebih berkembang. Sehingga paham
tersebut hanya berpusat pada diri sendiri, tanpa harus memikirkan hal yang ada disekitar yang
dapat mempengaruhi kehidupan individu tersebut. Dalam konteks nilai, manusia memiliki
kebebasan untuk memilih, tetapi dalam pilihan tersebut manusia harus siap menerima akibat
dari pilihan tersebut, dan kebebasan memilih tersebut tidak akan pernah berhenti karena setiap
akibat yang diterima akan menimbulkan kebutuhan untuk memilih pilihan selanjutnya.
Eksistensialisme bukan seperti teori atheis yang sangat berusaha untuk membuktikan
ketiadaan Tuhan, namun apa yang manusia butuhkan adalah menemukan kembali dirinya
sendiri, bahkan tidak ada bukti valid tentang keberadaan Tuhan. Dalam pengertian ini,
eksistensialisme adalah sebuah doktrin tindakan nyata.
DAFTAR PUSTAKA
A. Pengertian Pragmatisme
Istilah Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan (action) atau
tindakan (practice). Isme di sini sama artinya dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti aliran atau
ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa
pemikiran itu menuruti tindakan. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja hanya
membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima
sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat.
Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”. Pragmatisme
memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau
hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu
teori itu benar kalau berfungsi (if it works).
Kata pragmatisme sering sekali diucapkan orang. Orang-orang menyebut kata ini biasanya
dalam pengertian praktis. Jika orang berkata, Rencana ini kurang pragmatis, maka maksudnya
ialah rancangan itu kurang praktis. Pengertian seperti itu tidak begitu jauh dari pengertian
pragmatisme yang sebenarnya, tetapi belum menggambarkan keseluruhan pengertian
pragmatisme.
Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran
sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.
Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau
peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti
berguna bagi masyarakat yang lain. Maka konsep itu dinyatakan benar oleh masyarakat yang
kedua.
Pragmatisme dalam perkembangannya mengalami perbedaan kesimpulan walaupun
berangkat dari gagasan asal yang sama. Kendati demikian, ada tiga patokan yang disetujui aliran
pragmatisme yaitu, (1) menolak segala intelektualisme, dan (2) absolutisme, serta (3) meremehkan
logika formal.
B. Tokoh-tokoh Filsafat Pragmatisme
1. Charles Sandre Peirce ( 1839 M )
Dalam konsepnya ia menyatakan bahwa, sesuatu dikatakan berpengaruh bila memang
memuat hasil yang praktis. Pada kesempatan yang lain ia juga menyatakan bahwa, pragmatisme
sebenarnya bukan suatu filsafat, bukan metafisika, dan bukan teori kebenaran, melainkan suatu
teknik untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah (Ismaun, 2004:96). Dari kedua
pernyataan itu tampaknya Pierce ingin menegaskan bahwa, pragmatisme tidak hanya sekedar ilmu
yang bersifat teori dan dipelajari hanya untuk berfilsafat serta mencari kebenaran belaka, juga
bukan metafisika karena tidak pernah memikirkan hakekat dibalik realitas, tetapi konsep
pragmatisme lebih cenderung pada tataran ilmu praktis untuk membantu menyelesaikan persoalan
yang dihadapi manusia.
2. William James (1842-1910 M)
William James lahir di New York pada tahun 1842 M, anak Henry James, Sr. ayahnya adalah
orang yang terkenal, berkebudayaan tinggi, pemikir yang kreatif. Selain kaya, keluarganya
memang dibekali dengan kemampuan intelektual yang tinggi. Keluarganya juga menerapkan
humanisme dalam kehidupan serta mengembangkannya. Ayah James rajin mempelajari manusia
dan agama. Pokoknya, kehidupan James penuh dengan masa belajar yang dibarengi dengan usaha
kreatif untuk menjawab berbagai masalah yang berkenaan dengan kehidupan.
Karya-karyanya antara lain, The Principles of Psychology (1890), The Will to Believe (1897),
The Varietes of Religious Experience (1902) dan Pragmatism (1907). Di dalam bukunya The
Meaning of Truth, Arti Kebenaran, James mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak,
yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang
mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam
pengembangan itu senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa yang kita anggap benar
dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tidak ada kebenaran mutlak, yang
ada adalah kebenaran-kebenaran (artinya, dalam bentuk jamak) yaitu apa yang benar dalam
pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.
Nilai pengalaman dalam pragmatisme tergantung pada akibatnya, kepada kerjanya artinya
tergantung keberhasilan dari perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu. Pertimbangan itu
benar jikalau bermanfaat bagi pelakunya, jika memperkaya hidup serta kemungkinan-
kemungkinan hidup.
Di dalam bukunya, The Varietes of Religious Experience atau keanekaragaman pengalaman
keagamaan, James mengemukakan bahwa gejala keagamaan itu berasal dari kebutuhan-kebutuhan
perorangan yang tidak disadari, yang mengungkapkan diri di dalam kesadaran dengan cara yang
berlainan. Barangkali di dalam bawah sadar kita, kita menjumpai suatu relitas cosmis yang lebih
tinggi tetapi hanya sebuah kemungkinan saja. Sebab tiada sesuatu yang dapat meneguhkan hal itu
secara mutlak. Bagi orang perorangan, kepercayaan terhadap suatu realitas cosmis yang lebih
tinggi merupakan nilai subjektif yang relatif, sepanjang kepercayaan itu memberikan kepercayaan
penghiburan rohani, penguatan keberanian hidup, perasaan damain keamanan dan kasih kepada
sesama dan lain-lain.
James membawakan pragmatisme. Isme ini diturunkan kepada Dewey yang
mempraktekkannya dalam pendidikan. Pendidikan menghasilkan orang Amerika sekarang.
Dengan kata lain, orang yang paling bertanggung jawab terhadap generasi Amerika sekarang
adalah William James dan John Dewey. Apa yang paling merusak dari filsafat mereka itu? Satu
saja yang kita sebut: Pandangan bahwa tidak ada hukum moral umum, tidak ada kebenaran umum,
semua kebenaran belum final. Ini berakibat subyektivisme, individualisme, dan dua ini saja sudah
cukup untuk mengguncangkan kehidupan, mengancam kemanusiaan, bahkan manusianya itu
sendiri.
3. John Dewey (1859-1952 M)
Sekalipun Dewey bekerja terlepas dari William James, namun menghasilkan pemikiran yang
menampakkan persamaan dengan gagasan James. Dewey adalah seorang yang pragmatis.
Menurutnya, filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau
mengatur kehidupan manusia serta aktifitasnnya untuk memenuhi kebutuhan manusiawi.
Sebagai pengikut pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan
pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis
yang kurang praktis, tidak ada faedahnya.
Dewey lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme. Pengalaman adalah
salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Oleh karena itu filsafat harus berpijak pada
pengalaman dan mengolahnya secara aktif-kritis. Dengan demikian, filsafat akan dapat menyusun
sistem norma-norma dan nilai-nilai.
Instrumentalisme ialah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari
konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang
bermacam-macam itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu dengan cara
utama menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu berfungsi dala penemuan-penemuan yang
berdasarkan pengalaman yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan.
Menurut Dewey, kita ini hidup dalam dunia yang belum selesai penciptaannya. Sikap Dewey
dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek dari yang kita namakan
instrumentalisme. Pertama, kata “temporalisme” yang berarti bahwa ada gerak dan kemajuan nyata
dalam waktu. Kedua, kata futurisme, mendorong kita untuk melihat hari esok dan tidak pada hari
kemarin. Ketiga, milionarisme, berarti bahwa dunia dapat diubah lebih baik dengan tenaga kita.
Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan.
Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa yang membuktikan
dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.
Filosuf yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah William James dan John
Dewey.
Seperti dengan aliran-aliran filsafat pada umumnya, pragmatisme juga memiliki kekeliruan
sehingga menimbulkan kritik-kritik terhadap aliran filsafat ini. Kekeliruan pragmatisme dapat
dibuktikan dalam tiga tataran pemikiran: (1) kritik dari segi landasan ideologi pragmatisme, (2)
kritik dari segi metode pemikiran, dan (3) kritik terhadap pragmatisme itu sendiri.
Pragmatisme memandang bahwa siswa merupakan organisme rumit yang mempunyai
kemampuan luar biasa untuk tumbuh, sedangkan guru berperan untuk memimpin dan
membimbing pengalaman belajar tanpa ikut campur terlalu jauh atas minat dan kebutuhan siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Mulyana, Deddy , DR., M.A. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya : Bandung
Juhaya S. Praja, Prof., Dr. 2003. Aliran-aliran Filsafat dan Etika Prenada Media: Jakarta.
Mudzakir, Drs., dkk..1997. Filsafat Umum. CV. Pustaka Setia: Bandung.
Munir, Misnal, Drs., M.Hum., dkk. 2006 Filsafat Ilmu. Pustaka Pelajar : Yogyakarta.