Oleh :
1. SINTO DWILY
7. HALIMAH 125120601111035
ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2015/2016
1
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Strukturalisme”. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Metode
Penelitian Ilmu Pemerintahan.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
PEMBAHASAN
Asal-usul strukturalisme berawal dari teori yang dicetuskan oleh Marx dan
Levi-Strauss. Strukturalis menganut aliran yang berkonsentrasi pada arus-arus
politik dan ekonomi. Marx menggambarkan strkturalisme sebagai kehidupan sosial
dalam pengertian struktur yang merujuk pada infrastuktur dan suprastruktur. Menurut
Godelier Marx dan Levi-Strauss memiliki pemikiran yang sama tentang struktur,
yakni:
4
politik Marxis, dimana penekanannya pada hegemoni kelompok kelas. Karena hal itu,
para tokoh lain menyarankan ia tanpa menggunakan dialektika dalam memisahkan
ekonomi dan politik. Gramsci menggunakan metode analisis dalam membedakan
Negara dan masyarakat sipil. Permasalahan dalam hegemoni kelas terjadi karena
gagal dalam beberapa langkah politik yang berakibat pada penentangan massa yang
tidak puas terhadap hal tersebut. Gramsci berpandangan posisi strukturalis ditentukan
oleh struktur masyarakat dibanding penguasa Negara.
Karya gramsci banyak dijadikan rujukan oleh strukturalis Perancis Louis
Althusser. Misalnya dalam for Marx (1970), berkomentar
“coretan dan pengembangan pengembangan dalam present notebooks
menyentuh seluruh masalah dasar sejarah Italia dan Eropa: ekonomi, sosial,
politik, budaya. Terdapat juga beberapa wawasan permasalahan suprastruktur
yang sangat asli dan dalam beberapa kasus bersifat umum, yang sekarang ini
merupakan, masalah besar merupakan maslaah dasar. Demikian pula,
sebagaimana selalu terjadi dengan penemuan sejati, terdapat konsep konsep
baru, misalnya, hegemoni: satu contoh luar biasa solusi teoritis dalam
memberikan garis besar masalah penetrasi silang antara ekonomi dan politik:
(1970:114).2
Menurut Marx Poster (1974) ciri dari strukturalisme Althusser sebagai “satu pelarian
dari ideology menuju ilmu,” dan “ marxisme yang secara teoritis lebih canggih, yang
dapat menganalisis beragam segmen masyarakat tanpa mengurangi kesemuanya bagi
ekonomi” (1971:397). 3 Jika dilihat dari karya-karya Althusser, pemikirannya sulit
dipahami, konseptualisasinya selalu berubah, serta dipenuhi dengan kata-kata
filosofis. Misal dalam essainya tentang idelogi dan Negara, ia membedakan
kekuasaan Negara dengan aparat penindas Negara, dan ia mengidentifikasi elemen-
elemen structural aparat Negara ini. Terkait dengan aparat penindas Negara ia
menyinggung adanya pluralitas aparat ideologi Negara yang akan tampak sebagai
institusi-institusi sendiri bagi para pengamat. Aparat ideology Negara ini umumnya
bekerja dalam lingkup pribadi, sebaliknya aparat penindas Negara bersifat publik.
Dalam masyarakat kapitalis yang matang, aparat pendidikan ideology ditempatkan
dalam posisi yang dominan. Menurut pandangannya, demokrasi parlementer dengan
2
Ibid hal 497
3
Ibid hal 498
5
hak suara universal dan perjuangan partainya mencerminkan aparat ideology dominan
atau kekuatan di bawah kapitalisme kontemporer. Sedangkan yang berada dibelakang
demokrasi adalah aparat pendidikan yang kuat dan merusak.
Selanjutnya ada Nico Paulantzas. Ia memperluas model strukturalis
Althusserian tentang Negara dan kelas. Ia berpendapat jika hal yang dapat
menentukan fungsi-fungsi Negara adalah struktur masyarakat bukan orang-orang
berpengaruhnya. Ia mengkaji struktur kelas masyarakat untuk mengidentifikasi
kontradiksi-kontradiksi ekonomi dan menganalisis bagaimana Negara berupaya
mempersempit atau menghapuskan kontradiksi-kontradiksi tersebut. dalam bukunya
yang berjudul Political Power and Social Classes, ia memberikan sebuah teori yang
berhubungan dengan fungsi-fungsi Negara kapitalis dan dampak Negara terhadap
kelas kapitalis dan pekerja.
Negara hanya menciptakan masyarakat yang kapitalis. Negara hanya berjalan
atas kepentingan-kepentingan kaum dominan, tidak merepresentasikan seluruh
masyarakatnya. Selain itu, fungsi dari Negara memperbolehkan kelas-kelas
mengorganisasikan partai-partai mereka sendiri. Hal tersebut menghasilkan
perjuangan kelas pekerja dan perpecahan di kelas borjouis. Ini membuktikan jika,
Negara bukan hanya instrument bagi kaum kapitalis yang mendominasi. Struktur
Negara berdiri di atas kepentingan-kepentingan khusus kapitalis-kapitalis individual
dan fraksi-fraksi kapitalis bukan dari kelas-kelas kapitalis yang mendominasi.
Kritik-kritik berdatangan terkait pemikiran Poulantz. Dale Johnson (1978)
berkesimpulan bahwa strukturalisme “sangat memiliki kekurangan dalam pengertian
pijakan sejarah dan konsep dialektika”. 4 Amy Bridges (1974) berpendapat bahwa
Populantzas bersikap antimaterials, antihumanis, anhistoris dan dekriptif dalam
pandangannya terkait Negara-negara berstruktur ganda, yaitu bersifat kohesif dan
bertransformasi. 5
4
Ibid, hlm.502.
5
Ibid, hlm. 503.
6
B. Gagasan Teori Strukturalisme dalam Berbagai Paradigma
Dialektika hegel
Dialektika berasal dari bahasa yunani yaitu dialegesthai atau dialog. Idealisme
absolut merupakan dialektika yang dicetuskan oleh hegel. Idealisme absolut sendiri
merupakan penggabungan dari idealisme subjektif dan idealisme obyektif. Dalam
dialektika tersebut hegel menyatakan bahwa seegala sesuatu berangkat dari adanya
ide, ide lah yang kemudian kenciptakan sesuatu realitas. Dalam konsep dialektika
hegel ini juga menerapkan adanya tesis(ide), antitesis(lawan dari ide), sintesis. Tidak
dipungkiri jika idealisme dari hegel ini bersifat abstrak karena berangkat dari ide dan
banyak dipengaruhi oleh agamanya.
6
Ronald H. Chilcote, 2003. TEORI PERBANDINGAN POLITIK: Penelusuran Paradigma. Jakarta: Raja
Grafindo Persanda, hlm:263
7
ubah dan mereka sendirilah yang secara sengaja maupun tidak yang akan
mengubahnya. Marx juga menitik beratkan bahwa pada dasarnya filsafat itu yang
terpenting adalah melihat kenyataan yang ada yang kemudian dibuntuti dengan
munculnya ide. Pandangan dari marx inilah yang kemudian melahirkan dialektikanya
yang disebut sebagai materialisme yaitu memandang bahwa materi (obyek) adalah
hakikat dari realitas yang kemudian melahirkan sebuah ide.
Materialisme historis Marx lebih melihat pada sisi ekonomi dimana dalam
sejarahnya kehidupan manusia dibentuk oleh atas dasar kebendaan (materi) yang
kemudian melahirkan adanya kepemilikan pribadi yang pada akhirnya akan
menimbulkan pertarungan dan persaingan memperebutkan materi atau kekayaan
ekonomi. Melihat betapa kuatnya materi dalam kehidupan manusia maka akan
menciptakan suatu proses perkembangan, hubungan-hubungan sosial manusia dimana
menurut Marx dengan terbentuknya hubungan sosial ini sesungguhnya erat kaitannya
dengan ekonomi (produksi), struktur politik, serta melahirkan adanya pembagian
kelas-kelas sosial. Dimana dalam hal inilah strukturalisme dalam pandangan Marx
mulai dimunculkan.
8
formasi sosial
infrastruktur suprastruktur
kekuatan-
hubungan
kekuatan juridis-politik ideologis
produksi
produksi
organisasi
cara produksi
produksi
7
Ibid, hlm: 253
9
tidak memiliki alat maupaun modal produksi. Untuk mempertahankan kehidupannya
mereka menggantungkan diri pada pemilik faktor produksi yaitu kaum borjuis.
8
Ibid, hlm: 499
10
kaum borjuis, serta ideologi ditindas pada kaum proletar. dengan menggunakan hal
tersebut maka kebudayaan menindas dan ditindas akan lebih merasuk pada diri setiap
golongan masyarakat tersebut sehingga menciptakan adanya kekekalan dalam
kebudayaan penindasan serta meminimalkan munculnya pergerakan dari kaum bawah
(proletar).
Kasta di bagi menjadi empat tingkatan yaitu : pertama Brahmana (pendeta dan
para intelektual) sebagai lapisan tertinggi, terhormat dan memiliki pengaruh yang
kuat di dalam kehidupan masyarakat. Kedua kesatria (pemegang tampuk
pemerintahan). Ketiga Visa atau Waisya yang terdiri dari beberapa lapisan seperti
kaum buruh, petani, pedagang dan para pekerja yang lainnya. Keempat Sudra (lapisan
paling terbawah di dalam sistem kemasyarakatan). Tetapi ada satu lagi Kaum Pariah,
yaitu golongan yang tidak boleh di sentuh (najis) karena siapapun yang menyentuh
kaum pariah maka di anggap sudah ternoda dan menjadi halangan untuk bisa
mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Awal berdirinya negara India Kaum Pariah tidak di berlakukan lagi karena
Kaum Pariah mendapatkan perlindungan dari Mahatma Gandhi dan mereka menyebut
Kaum Pariah sebagai Kaum Harijan (anak-anak Tuhan). Di awal berdirinya negara
9
Zimmer, Heinrich. 2011. Sejarah Filsafat India . Yogyakarta. Pustaka Pelajar
11
India mereka mendapatkan perlindungan dari Gandhi. Walaupun dalam penghapusan
kasta kaum pariah tidak terlepas dari campur tangan politik. 10
Kasta di jelaskan di kitab Manu Dharma Shastera, kitab yang di susun oleh
pendeta pada periode agama Brahmana. Dan kasta juga di jelaskan di kitab Smriti
yaitu Bhagavad Ghita dan Mahabharata. Awal kemunculan kitab Mahabrata hanya
hanya memiliki 9.000 bait tetapi dari abad ke abad terus berkembang dan isi yang
semakin bertambah kemudian menjadi 200.000 bait. Dalam mengkaji kasta di dalam
kitab Mahabharata melalui pendekatan Strukturalisme. Karena pendekatan ini
merupakan pendekatan yang menganalisis tentang sistem, menganalisis tentang
hubungan antara berbagai istilah atau unit dari sistem agama. Dan mendeskripsikan /
menjelaskan infrastruktur ketidak sadaran yang tercemin di kehidupan agama. 11
10
Alef Theria Wasim, “Agama Hindu” dalam Rahmat Fajri (ed.), Agama-Agama Dunia, Yogyakarta:
Jurusan Perbandingan Agama UIN Sunan Kalijaga, 202), hlm.109
11
Burhanuddin Daja, Agama Kita:Perspektif Sejarah Agama-Agama (Yogyakarta: Kurnia Alam, 2002),
hlm.21
12
12
kita buat. Kasta dalam Kitab Mahabharata karya C. Rajaghopalachari (analisis
Strukturalisme Levi-Strauss) bahwa prinsip dasar aturan kasta atau yang sebelumnya
di sebut Caturvarna, bersifat endogamis. Kasta membutuhkan endogami untuk bisa
mempertahankan identitas yang berbeda dan definisi kelompok pekerjaan yang
berbeda. Kasta merupakan kisah Mahabaharata yang merupakan cerminan dari
masyarakat, persoalan tentang kasta menjadi perdebatan hingga saat ini karena
apakah kasta merupakan konsep yang di turunkan13
15
Ibid, hal :508
13
analisisnya tentang pengucilan pekerja. Sifat asing pekerjaan ditunjukkan oleh fakta
bahwa pekerja berproduksi bagi orang lain, bukan bagi dirinya sendiri. Dalam kata
pengantar studinya edisi tahun 1967, Lucacs memberikan suatu penilain diri.
Perumusan teoritisnya muncul melalui pengalaman-pengalamannya sebagai
mahasiswa di Heidelberg dan Wina serta sebagai sikap revolusioner terhadap tanah
kelahiran Hungaria.
Atas alasan inilah ia melewatkan pekerja sebagai sebuah konsep yang berinteraksi
di antara masyarakat dan alam. “Apa yang gagal saya sadari, bagaimanapun juga,
adalah menyangkut ketiadaan basis dalam prasis nyata, pekerja dalam bentuk dan
model aslinya, pengembangan konsep praksis nyata, pekerja dalam bentuk dan model
aslinya, pengembangan konsep praksis berlebihan yang akan membawa pada
penentangannya: satu kemunduran menuju kontemplasi idealistik” (Lucacs 1971:
xviii). Lucacs sangat menyesalkan bahwa karyannya menempatkan konsep totalitas
berada di pusat, dengan demikian mengesampingkan arti penting ekonomi. Inilah
“distirsi” Hegelian yang bagaimanapun juga membantunya melawan upaya-upaya
revisionis untuk membentuk Marsisme menjadi ilmu.
Lucien Goldmann (1977) dalam membandingkan pemikiran Lucacs dengan
Martin Heidegger meneguhkan Lucacs sebagai tokoh yang mewakili pemutusan
hubungan dengan positivisme dan pengaruh Kantian yang menonjol selama paruh
kedua abad kesembilanbelas hingga tahun 1920. Di Heidelberg, para filsuf kantian
mengadakan kontak dengan para ilmuwan sosial seperti Weber, dan di universitas
Freiburg yang berdekatan muncul arus filosofis fenomenologi di bawah Edmud
Husserl. Pemikiran Lucacs mempengaruhi para filsuf aliran Frankfurt (Slater 1977),
yang pada gilirannya membangkitkan dampak terhadap beberapa pemimpin awal
Austro-Marxisme (Bottommore 1978).16
Dari Lucacs timbul banyak jalur pemikiran, Aliran Frankfurt meneruskan
perjuangkan melawan positivisme. Keprihatinan para teoritisi kritis atas positivisme
menggerakkan sebuah perdebatan sejak tahun 1961 dengan lingkaran-lingkaran
16
Ibid, Hal 509
14
ilmiah dan filosofi Jerman. Uraian rinci perdebatan ini, beserta esai-esai yang
mewakili perspektif-perspektif divergen, diorganisasikan oleh Adorno (1976). Salah
satu partisipan pertikaian berkelanjutan ini adalah Jurgen (McCarthy 1978).
Hebermas mewakili generasi filsuf Frankfurt yang lebih muda. Menurut Anthony
Giddens, Hebermas mengejar dua jalur pemikiran yang dikembangkan para ahli
Frankfurt yang lebih tua: hubungan antara teori dan kritik serta perkembangan-
perkembangan kapitalisme Barat. Perhatiannya kepada Marx menyertakan pengaruh-
pengaruh Hegelian, mengkritik Marxisme ortodoks, dan memberikan perspekrif-
perspektif yang dapat dibedakan dari posisi-posisi Adorno, Horkheimer, dan
Mercuse. Hebermas memberikan suatu penilaian ulang pemahaman Marx tentang
perkembangan kapitalis, mendorong Gidden untuk berkomentar.17
Tony Food (1977-1978) merujuk pada klaim Hebermas bahwa Marx
menunjukkan perjuangan kelas berbentuk khayalan ideologi, sebuah gagasan baru
yang menyarankan bahwa perjuangan kelas tidak dikenali oleh kaum kapitalis
maupun para pekerja. Hebermas juga menyerukan adanya rekonstruksi perwujudan-
perwujudan keasadaran kelas serta revisi teori sehingga dapat menghindarkan
penanganan mekanistik atas hubungan basis dengan suprastruktur. Ulasan-ulasan ini
menekankan kontribusi-kontribusi signifikan Hebermas bagi teori kritis.
Teori kritis telah mempengaruhi perspektif-perspektif negara dan kelas lainnya.
Alan Wolfe (1974) mengikatkan tradisi Hegelian-Mrxis dengan beberapa aspek
strukturalisme dan berfokus pada politik pengucilan dalam upaya mengajukan sebuah
teori baru. Claus Offe, seorang murid aliran kritis Hebermas, menolak
instrumentalisme dan strukturalisme dalam negara yang membentuk karakter
kelasnya. Offe berfokus pada mekanisme-mekanisme spesifik seperti ideologi dan
penindasan. Julian Hochfeld (1967), seorang sosiolog Polandia, menguji kesadaran
dalam hubungannya dengan kepentingan-kepentingan kelas. Konseptualisasinya
17
Ibid,Hal:510
15
pararel dengan tipe-tipe ideal Max Weber ketimbang gagasan kesadaran Lucacs, satu
posisi yang digambarkan seorang pengkritik sebagai dogmatis (Rich 1976).18
1. Strukturalisme
Strukturalisme adalah suatu paham atau pandangan yang menyatakan bahwa
semua masyarakat dan kebudayaan memiliki suatu unsur yang sama dan tetap.
Strukturalisme juga adalah sebuah pembedaan secara tajam mengenai masyarakat dan
ilmu kemanusiaan dari tahun 1950 hingga 1970, khususnya terjadi di Perancis.
Strukturalisme berasal dari bahasa Inggris, structuralism; latin struere (membangung),
structura berarti bentuk bangunan. Trend metodologis yang menyetapkan riset
sebagai tugas menyingkapkan struktur objek-objek ini dikembangkan oleh para ahli
humaniora. Struktualisme berkembang pada abad 20, muncul sebagai reaksi terhadap
evolusionisme positivis dengan menggunakan metode-metode riset struktural yang
dihasilkan oleh matematika, fisika dan ilmu yang lain-lain.
18
Ibid,hal: 511
16
2. Tujuan Strukturalisme
Tujuan Strukturalisme adalah mencari struktur terdalam dari realitas yang tampak
kacau dan beraneka ragam di permukaan secara ilmiah (obyektif, ketat dan berjarak).
Ciri-ciri itu dapat dilihat strukturnya:
- Mekanisme itu selain bersifat konstan, juga terpola dan terpola dan
terorganisasi, terdapat blok-blok unsur yang dikombinasikan dan dipakai
untuk menjelaskan yang dipermukaan.
- Para peneliti menganggap obyektif, yaitu bisa menjaga jarak terhadap yang
sebenarnya dalam penelitian mereka.
1. Institusionalisme
Institusionalisme adalah perilaku manusia di bidang ekonomi dipengaruhi oleh
iklim keadaan sekitar dalam zaman tertentu . Iklim keadaan itulah yang
mempengaruhi kompleks citarasa dan pikiran , naluri dan nalar, persepsi dan
perspektif permasalahan ekonomi.
17
Paham institusionalisme atau kelembagaan; berusaha mewujudkan pemecahan-
pemecahan universal dengan menerjemahkan cita-cita libertarian ke dalam
pemerintahan perwakilan. Bagi para penganut paham kelembagaan, teori-teori politik
libertarian timbul dari sejarah sebagai tujuan moral yang akan dimantapkan di dalam
praktik politik. Inilah tradisi yang dibangun Plato, dan juga yang diwakili Karl Marx.
Kebanyakan pengikut paham kelembagaan, yang mengikuti tradisi Pencerahan, ia
menolak pemecahan - pemecahan tuntas seperti ini. Bagi mereka politik adalah
“terbuka”. Konflik diubah menjadi persaingan damai melalui badan-badan
perwakilan dalat pemerintahan (Popper, 1945).
Ide-ide generatif utama yang diikuti oleh para penganut paham kelembagaan
ini,memberi Kekuasaan adalah kekuatan yang dapat dipakai dan dikendalikan.
Persoalan besar sejarah adalah mengubah kekuasaan mutlak untuk dapat diubah
kearah demokrasi. Kekuasaan yang awalnya kuat dapat dikalahkan dengan suara
umum yang digerakan dengan keinginan. Dalam kehidupan masyarakat demokratis,
hak menimbulkan wewenang, dalam hal ini wewenang yang ditimbulkan di dukung
oleh hukum sehingga menimbulkan sebuah struktur/aturan yang akan dijalankan.
18
BAB III
PENUTUP
2.1 Kesimpulan
Strukturalisme yang dicetuskan oleh Marx diawali oleh dialektika
Hegel dimana dalam dialektika tersebut Hegel menyatakan bahwa segala
sesuatu berangkat dari adanya ide, ide lah yang kemudian menciptakan
sesuatu realitas. Ide menjadi dasar dari terbentuknya sebuah realitas.
Dialektikal Hegel ini kemudian dikritik oleh Marx karena anggapa Hegel
bahwa yang dapat merubah seorang manusia hanya Tuhan dimana Marx tidak
setuju karena manusia dapat merubah dirinya sendiri. Marx juga menitik
beratkan bahwa pada dasarnya filsafat itu yang terpenting adalah melihat
kenyataan yang ada yang kemudian dibuntuti dengan munculnya ide.
Pandangan dari marx inilah yang kemudian melahirkan dialektikanya yang
disebut sebagai materialisme yaitu memandang bahwa materi (obyek) adalah
hakikat dari realitas yang kemudian melahirkan sebuah ide.
19
DAFTAR PUSTAKA
Ronald H. Chilcote, Teori Perbandingan Politik, 2003, Jakarta, Raja Grafindo Persada
Zimmer, Heinrich. 2011. Sejarah Filsafat India . Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Alef Theria Wasim, “Agama Hindu” dalam Rahmat Fajri (ed.), Agama-Agama Dunia,
Yogyakarta: Jurusan Perbandingan Agama UIN Sunan Kalijaga, 202),
hlm.109
Heddy Shri Ahimsa Putra, Strukturalisme Levi-Strauss : Mitos dan Karya Sastra,
hlm.61
20