Anda di halaman 1dari 9

Andi Farlin Ayyasy Mubarok

01184112

LANDASAN HUKUM PELAKSANAAN PEMERINTAH DAERAH

A. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah


Penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak bisa lepas dari hukum. Apakah
hukum itu tertulis atau tidak, atau apakah hukum itu sudah berlaku sejak zaman
Belanda, Kesemuanya itu sudah semestinya menjadi acuan di dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Bahkan lebih dari itu, perlu diakomodir di
dalam penyusunan peraturan-peraturan yang ada sesuai sejarah
hukumnya.Pemerintah Propinsi, Kabupaten atau Kota yang berperan sebagai
kepanjangan tangan Pemerintah Pusat, tata pemerintahan daerah diselenggarakan
berdasarkan aturan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Oleh karena itu, Kepala
Daerah beserta perangkatnya, tinggal menjalankan ketentuan-ketentuan yang
sudah relatif tegas sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945.

Berdasarkan pemahaman terhadap situasi dan kondisi yang berpengaruh


terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka pemekaran dan
penggabungan daerah seyogyanya menggunakan kerangka pikir sebagai berikut

Setidak-tidaknya ada 5 (lima ) faktor yang harus diperhatikan dalam


pemekaran dan penggabungan daerah beserta tinjauan dan evaluasinya,
yaitu :
(1) Aspirasi masyarakat yang berkembang di tengah-tengah
penyelenggaraan pemerintahan daerah;
(2) Perkembangan hukum yang berlaku yang mengatur tentang
pemekaran dan penggabungan daerah;
(3) Kapasitas pemerintahan daerah dalam menjalankan tugas
dan fungsinya yang harus mengedepankan kepentingan
masyarakat (rakyat);
(4) Berlakunya tata aturan, adat istiadat yang sudah diakui oleh
masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
(5) Corak budaya yang dimiliki oleh masyarakat setempat (lokal)

Secara historis, sejarah pengaturan penyelenggaraan pemerintahan


daerah di negeri ini dapat kita tarik jauh ke puluhan dan bahkan ratusan tahun
lalu, yakni sejak dikeluarkannya Decentralisatie Wet 1903 di jaman Hindia
Belanda sebagai Undang-Undang Desentralisasi pertama. Sejak era kolonial
tersebut, silih berganti Peraturan Perundang-undangan dibuat sebagai landasan
hukum bagi berjalannya roda desentralisasi pemerintahan, yakni Decentralisatie
Wet 1903, lalu pada masa kemerdekaan secara berurutan berlaku UU No.1
Tahun 1945, UU No.22 Tahun 1948, UU No.1 Tahun 1957 dan UU No.32 Tahun
1956, Penpres No.6 Tahun 1959 dan Penpres No.5 Tahun 1960, UU No.18
Tahun 1965, UU No.5 Tahun 1974 dan UU No.5 Tahun 1979, UU No.22 Tahun
1999 dan UU No.25 Tahun 1999, hingga kini UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.
33 Tahun 2004. “ Kita akan mulai bahas dari UU No 18 Tahun 1965 hingga UU No
32 Tahun 2004.

B. UU No 18 Tahun 1965

Dengan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan Dekrit


Presiden 5 Juli 1959, maka pula perubahan itu terutama dimaksudkan untuk
menghilangkan kelemahan Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 1 Tahun 1957
dan kebutuhan penyesuaian susunan pemerintahan daerah dengan susunan
menurut Undang-Undang Dasar 194510.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, intinya menetapkan bahwa
dekonsentrasi dan desentralisasi berjalan dengan menjunjung tinggi desentralisasi
teritorial, dan dualisme pemerintahan didaerah di hapuskan.
Melalui Undang-Undang ini, maka wilayah Indonesia dibagi atas daerah yang
berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (daerah otonom) dan
tersusun dalam 3 tingkatan yakni :
1. Provinsi dan/atau Kota Raya sebagai Daerah Tingkat I.
2. Kabupaten dan/atau Kotamadya sebagai Daerah Tingkat II.
3. Kecamatan dan/atau Kota Praja sebagai Daerah Tingkat III
Patut dicatat, bahwa semasa berlakunya Undang-Undang ini, Pembentukan
Daerah Tingkat III tidak pernah terlaksana, walaupun sempat dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 Tentang Desa Praja.

C. UU No 5 Tahun 1974

Undang-Undang ini disebut "Undang-Undang tentang pokok-pokok


Pemerintahan di Daerah", oleh karena dalam Undang-Undang ini diatur tentang
Pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom dan pokok-pokok
penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas Pemerintah Pusat di daerah
yang berarti bahwa dalam Undang-Undang ini diatur pokok-pokok penyelenggaraan
urusan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi, asas dekosentrasi dan asas
tugas pembantuan di daerah.

Undang-Undang ini merupakan koreksi dan penyesuaian baru dari Undang-


Undang Nomor 18 Tahun 1965 sesuai dengan pergantian Orde Lama ke Orde Baru.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 lahir sesudah adanya pengarahan politis
mengenai Pemerintah Daerah dalam GBHN. Undang-Undang ini lahir sebagai
pelaksanaan Tap MPR No. IV Tahun 1973 dan juga di bawah rangka UUD 1945.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 mulai berlaku tanggal 23 Juli 1974 hingga 6
Mei 1999. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dinilai sangat bernuansa
sentralistis dan kurang memperhatikan kedudukan DPRD sebagai badan legislatif
yang berdiri sendiri.
Adapun latar belakang situasi dan nuansa pembentukan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1974 adalah sebagai berikut :
1. Sedang giatnya sosialisasi pembangunan ekonomi dan menomorduakan
pembangunan politik. Pemerintah Orde baru dengan trilogi pembangunan
pada waktu itu hendak menciptakan stabilitas nasional yang mantap.
2. Untuk itu diperlukan pemerintah yang stabil dari Pusat sampai ke Daerah.
3. Selanjutnya dibuatlah berbagai Undang-Undang yang sentralistis,
mengurangi kegiatan Partai Politik dan memandulkan peran DPR dan juga
peran DPRD. Bahkan di Daerah kedudukan Kepala Daerah sengaja dibentuk
dengan istilah penguasa tunggal dan menomorduakan peran DPRD.
4. Memaksakan fusi Partai-partai dari sembilan Partai menjadi 2 partai di
samping dominasi Golkar.
5. Pengukuhan dan pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI di segala bidang dan sektor
pemerintahan termasuk di bidang legislatif dari Pusat sampai ke Daerah.

Berdasarkan penjelasan Undang-Undang tersebut dapat diketahui bahwa


desentralisasi dengan pemberian otonomi kepada daerah adalah meningkatkan
daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama
dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat melalui prinsip
stabilitas politik dan kesatuan bangsa. Tujuan itu mengandung arti bahwa
pemberian otonomi kepada suatu daerah perlu didukung oleh faktor-faktor yang
bersifat teknis administratif, yang secara minimal dapat menjamin kemampuan
daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Hal di atas dapat dipahami karena Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang
berkenaan dengan Pemerintah Daerah, di dalamnya terkandung aspirasi politik
yang pada hakikatnya ingin menempatkan Pemerintah Daerah sebagai bagian
penting dari Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspirasi politik
sebagaimana yang dimaksudkan itu, kemudian dituangkan ke dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahmn 1974, di mana asas desentralisasi dan pemberian otonomi
kepada daerah dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi, serta
memberi kemungkinan bagi tugas pembantuan (medebewind atau co-
administration).

Sebagaimana telah diketahui, berbeda dengan kedua Undang-Undang


Pemerintahan di Daerah yang terdahulu (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 dan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
tidak menyebut secara eksplisit sistem otonomi yang dianutnya. Kedua Undang-
Undang terdahulu dimaksud menyatakan diri menganut sistem otonomi riil.

Mengenai hal ini, Koesoemahatmadja15 menganggap ada persamaan antara


sistem otonomi yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dengan
yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, dan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1965, yang pada dasarnya merupakan sistem otonomi formil, akan
tetapi dinamakan oleh Pemerintah sistem otonomi riil.

Namun, Sujamto16 meragukan pandangan Koesoemahatmadja tersebut di atas


dengan mengatakan:
"... Sepanjang mengenai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 dan Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 1965 barangkali anggapan tersebut mengandung
kebenaran (meskipun tidak seluruhnya)".

Sehubungan dengan prinsip otonomi tersebut di atas, terdapat beberapa


Otonomi Daerah. Hal itu dapat dilihat pasal sebagai berikut:
a. Pasal 4 ayat (2) yang berbunyi:"pembentukan, nama, batas, ibukota, hak dan
wewenang urusan serta modal pangkal daerah yang dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini ditetapkan dengan Undang-Undang".
b. Pasal 5, yaitu mengenai kemungkinan penghapusan sesuatu daerah.
c. Pasal 7 yang berbunyi :"Daerah berhak, berwenang dan berkewajiban
mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan peraturan per-
Undang-Undangan yang berlaku".
d. Pasal 8 ayat (10) yang berbunyi :"Penambahan penyerahan urusan
Pemerintah kepada Daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah".
e. Pasal 9 yang berbunyi :"Sesuatu urusan Pemerintah yang telah diserahkan
kepada Daerah dapat ditarik kembali dengan peraturan per-Undang-
Undangan yang setingkat" (maksudnya ialah setingkat dengan
penyerahannya).
f. Pasal 10 yang mengharuskan dibentuknya Dewan Perimbangan Otonomi
Daerah yang bertugas untuk "memonitor" perkembangan dan dinamika
Otonomi Daerah sebagai bahan pertimbangan kepada Presiden, kiranya jelas
merupakan perlengkapan yang tidak diperlukan seandainya Undang-Undang
ini menganut sistem rumah tangga formil, meskipun tidak pula dapat dikatakan
bahwa Undang-Undang ini menganut sistem rumah tangga materiil.
g. Pasal 39 yang mengatur pembatasan-pembatasan terhadap ruang lingkup
materi yang dapat diatur oleh Peraturan Daerah, apabila dibandingkan dengan
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 dan Pasal 38 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1957, maka jelas bahwa Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 lebih dekat kepada sistem otonomi materiil daripada kedua
Undang-Undang tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Undang-


Undang Nomor 5 Tahun 1974 menganut sistem otonomi materiil. Pendapat itu
diperkuat oleh praktek pembentukan Dinas Daerah, melalui Keputusan Menteri
Dalam Negeri Nomor 363 Tahun 1977 tentang Pedoman Pembentukan Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah, yang mana dalam Pasal 1 ayat (2)
menyatakan bahwa: "Yang dimaksud dengan Dinas Dati I dan Dinas Dati II. yang
dibentuk berdasarkan terjadinya penyerahan sebagian urusan Pusat kepada
Daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah"
Ketentuan tadi merupakan pelaksanaan yang konsekuen kepada Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang dalam Penjelasan Umumnya17, antara lain
menyatakan bahwa:
"Dinas Daerah adalah unsur pelaksana Pemerintah Daerah. Urusan-urusan yang
diselenggarakan oleh Dinas-Dinas Daerah adalah urusan-urusan yang telah menjadi
urusan rumah tangga daerah. Pembentukan Dinas Daerah untuk melaksanakan
urusan-urusan yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat dan belum diserahkan
kepada Daerah dengan suatu Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah menjadi
urusan rumah tangganya, tidak dibenarkan ".

Dalam perkembangannya, setelah Undang-Undang ini berjalan selama 18


(delapan belas) tahun, pemerintah mulai mempertimbangkan pendapat para ahli
sebagaimana telah dikemukakan dimuka, yang pada intinya menegaskan bahvva
Daerah Tingkat II sudah seharusnya merupakan daerah otonom sepenuhnya.
Namun demikian, pelaksanaan Otonomi Daerah sebagaimana dimaksud tadi,
belumlah diterapkan secara serentak dan menyeluruh. Pemerintah masih
memandang perlu dilakukan uji coba terdahulu, sebelum benar-benar daerah
diberikan otonomi sepenuhnya.

D. UU No 22 Tahun 1999

Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang disusul dengan Undang-


Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Daerah, adalah merupakan koreksi total atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 dalam upaya memberikan otonomi yang cukup luas kepada daerah
sesuai dengan cita-cita UUD 1945. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mulai
berlaku 7 Mei 1999 lebih terkenal dengan nama Undang-Undang Otonomi Daerah
1999, lahir sebagai pelaksanaan Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/ 1998 tentang
Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan juga di bawah rangka UUD 1945. Seperti
proses lahirnya beberapa Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah
sebelumnya, juga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini terkesan merupakan
pergeseran pendulum (bandul) dari satu ekstrim yang satu ke ekstrim yang lainnya,
sesuai dengan kondisi politik saat itu.

Berbeda dengan konsep otonomi daerah menurut menurut Undang-undang


Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, yaitu konsep
otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab, Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah di samping menghendaki otonomi yang
nyata dan bertanggung jawab, juga menghendaki suatu otonomi yang luas. Di
samping itu penyelenggaraan otonomi daerah harus pula didasarkan pada prinsip-
prinsip demokrasi, peran serta, musyawarah, pemerataan dan keadilan, serta
memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Pemberian otonomi yang
luas ini di samping memang telah sesuai dengan jiwa pasal 18 Undang-undang
Dasar 1945, juga diharapkan akan dapat mencegah timbulnya keinginan daerah
yang menghendaki dibentuknya Negara Federasi.

Tujuan Makro dibentuknya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang


Otonomi Daerah, menurut Bachsan Mustafa21 seperti tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu :
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia
2. Memajukan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan kehidupan Bangsa, dan
4. Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia.
Tujuan Mikro dibentuknya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang
Otonomi Daerah, adalah memberikan keleluasaan kepada Pemerintah Daerah
dalam batas-batas kewenangannya untuk mewujudkan tujuan makro, serta
mengembangkan otonomi dagrah secara luas, nyata dan bertanggung jawab
kepada daerah-daerah Kabupaten, Kota dan Desa, dalam upaya pemberdayaan
seluruh potensi masyarakat, meliputi pemanfaatan Ruang Daratan, Ruang Lautan
dan Ruang Udara untuk tujuan kesejahteraan rakyat daerah.

Adapun latar belakang situasi dan nuansa pembentukan Undang-Undang Nomor


22 Tahun 1999 adalah sebagai berikut23 :
1. Di tengah-tengah maraknya arus reformasi setelah tumbangnya rezim
Suharto, menuntut pelaksanaan demokrasi dari Pusat sampai Daerah. Untuk
itu maka DPR dan DPRD harus berfungsi sebagai wakil rakyat dan
menjalankan kontrol dan pengawasan terhadap pihak eksekutif.
2. Merealisasi tuntutan di atas, maka dibentuklah Undang-Undang yang intinya
merombak paradigma pembangunan
ekonomi ke arah pembangunan yang serasi di semua bidang termasuk peran
legislatif dan yudikatif.
3. Sistem kenegaraan yang selama Orde Baru lebih bertitik berat pada peran
eksekutif (executive heavy) yang dominan, kini bergeser ke arah
pemberdayaan bidang legislatif secara proporsional sehingga dapat
mengontrol dan mengawasi pihak eksekutif dari Pusat sampai Daerah
4. Mengakhiri dominasi Presiden dan Kepala Daerah dalam menjalankan roda
pemerintahan. Hal itu, terutama di Daerah, dibuatlah Undang-Undang yang
materinya membatasi kewenangan Kepala Daerah dan memantapkan
kedudukan dan kewenangan DPRD sebagai badan perwakilan rakyat yang
memiliki kekuatan seimbang dengan Kepala Daerah atau bahkan terkesan
penjungkirbalikan rumusan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974.
Ada kesan peran legislatif lebih dominan berhadapan dengan peran eksekutif
(legislative heavy).
5. Kepala Daerah bertanggungjawab kepada DPRD.
6. DPRD memilih dan menetapkan Kepala Daerah, sedangkan Presiden hanya
mengesahkan sebagaimana sarana administratif.

7. DPRD dapat memberhentikan Kepala Daerah melalui persyaratan per-


Undang-Undangan yang ada.

Berbeda pula halnya dengan Bachsan Mustafa24, Ia memandang ada beberapa hal
yang menyebabkan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagai
berikut :
1. Bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
menurut Undang-Undang Dasar 1945 memberikan keleluasaan kepada daerah
untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah.
2. Bahwa dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah dan dalam menghadapi
perkembangan keadaan, baik di dalam maupun di luar negeri, serta tantangan
persaingan global, dipandang perlu menyelenggarakan Otonomi Daerah dengan
memberikan kewewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab ke pada
daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan pembagian,
dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan Pusat
dan Daerah, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran-serta masyarakat,
pemerataan, clan keadilan, serta potensi dan
keanekaragaman daerah, yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
3. Bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahuh 1979, tentang
Pemerintahan Desa tidak sesuai lagi dengan prinsip penyelenggaraan Otonomi
Daerah dan perlunya mengakui serta menghormati hak asal-usul daerah yang
bersifat istimewa sehingga kedua undang-undang itu perlu diganti.

Beberapa perubahan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999


lebih banyak bersifat mendasar, sehingga memperlihatkan paradigma baru tentang
pemerintahan daerah. Perubahan mendasar dimaksud menyangkut :

1. Asas-asas penyelenggaraan pemerintahan (di) daerah;

2. Pembagian wilayah;

3. Pembagian kewenangan antara pusat, daerah provinsi dan daerah


Kabupaten/Kota;
4. Sistem Otonomi Daerah;

5. Susunan pemerintahan daerah;

6. Keuangan daerah;

7. Mekanisme pencalonan, pemilihan, pengangkatan, pertanggungjawaban,


pemberhentian kepala daerah;

8. Mekanisme pembinaan dan pengawasan;

9. Prosedur penyusunan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah;

10. Keuangan daerah serta penyatuan tentang pemerintahan desa dan kelurahan
dengan pemerintahan daerah.

Jika prinsip otonomi yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
dikaitkan dengan sistem otonomi (sistem rumah tangga daerah), maka tampak
bahwa Undang-Undang tersebut menganut sistem rumah tangga material dan
sistem rumah tangga riil/nyata. Sistem rumah tangga material tampak dari adanya
pembagian penanganan urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat, propinsi
dan Kabupaten/Kota. sebagaimana diatur dalam Pasal 7, Pasal 9 dan Pasal 11
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pernerintah dan Keuangan
Propinsi sebagai Daerah Otonom (selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 25
Tahun 2000). Sementara sistem rurnah tangga riil tampak dari adanya kemungkinan
untuk pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan daerah maupun
adanya ketentuan yang memungkinkan daerah propinsi menjalankan kewenangan
yang tidak atau belum dapat dilaksanakan daerah Kabupaten/Kota.

E. UU No 32 Tahun 2004

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat


Undang-Undang Dasar 1945, pemerintahan daerah yang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (medebewind),
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta
peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhasaan suatu daerah dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia

Efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu


ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan
pemerintahan dan atau pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah,
peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang
seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan Otonomi Daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
Pemerintahan Negara

Lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah merupakan koreksi total


atas kelemahan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.
Bersamaan dengan itu disusul dengan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004,
Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 dilengkapi dengan sistem pemilihan langsung kepala
daerah.

Anda mungkin juga menyukai