Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

PATOLOGI ADMINISTRASI
MATA KULIAH FILSAFAT ADMINISTRASI

Diusun Oleh :

dr. Syahrawanty S Abbas (P186323024)


Sofyan Butolo (P186323032)
Jufri Yusup (P186323012)
Sukma Handayani (P186323022)
Ramlan Amrain (P186323037)
Hasan Makuta (P186323007)
Sukri (P186323021)
Amalia Niode (P186323002)
Roviana Vinanda Hulukati (P186323038)
Minarti M. Datau (P186323016)
Yes Yikibolom (P186323036)
Ismail I. Hontoyoo (P186323011)
Febiyolan Pakaya (P186323031)
Yanti Mustafa (P186323028)
Tity Usman (P186323025)
Moh. Wisnu Sau (P186323018)
Muh. Subchan A. Oponu (P186323017)
Mansur (P186323014)

SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI BINA


TARUNA PROVINSI GORONTALO
2018
DAFTAR ISI

Halaman Judul ........................................................................................ i


Daftar Isi ................................................................................................. ii
Kata Pengantar ....................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 2
C. Tujuan ........................................................................................ 2
D. Manfaat ...................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................... 4


A. Pengertian ................................................................................... 4
B. Faham yang dapat dijadikan landasan dalam Etika Administrasi 6
C. Permasalahan Etika Administrasi Publik .................................... 12
D. Ragam Patologi atau Penyakit Administrasi dan Terapinya....... 23

BAB III PENUTUP ................................................................................ 27


A. Simpulan ..................................................................................... 27
B. Saran............................................................................................ 28

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 29

ii
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ilmiah tentang Patologi Administrasi.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang ini dapat
memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Gorontalo, Oktober 2018


Penyusun.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Untuk mencapai sebuah tujuan sebagaimana diinginkan organisasi tidak


bisa berjalan begitu saja tanpa adanya unsur lain yang menunjang yaitu sebuah
kerja sama manusia sedikitnya dua orang atau lebih yang masing-masing
memiliki komitmen untuk mencapai tujuan organisasi lebih efektif dan effisien.
Kerja sama manusia dua atau lebih seperti inilah yang biasa kita sebut sebagai
proses kerja administrasi dalam arti yang luas. Sampai di sini barang kali kita
dapat memahami bahwa sesungguhnya proses administrasi mempunyai arti
yang sangat penting bagi jalan dan tidaknya sebuah organisasi.

Secara terpisah administrasi sendiri juga tidak selamanya dapat berjalan


sebagaimana mestinya, sehingga muncul sebuah hasil dari sebuah proses
administrsi yang tidak efektif dan tidak pula effisien. Munculnya sebuah proses
administrasi yang tidak semestinya ini bisa terjadi karena adanya pengaruh
negatif faktor-faktor lingkungan baik internal maupun ekternal administrasi
dan manajemen. Pengaruh negatif yang sangat kuat terhadap proses kerja
administrasi akan menimbulkan hambatan-hambatan adminitrasi, dan
hambatan ini tekadang bisa sangat kuat sehingga menjadi sebuah fenomena
yang sangat merugikan bagi proses administrasi. Dalam kondisi semacam ini
kita bisa menyebut sebagai sebuah penyakit dalam adminitrasi atau lebih
tepatnya disebut sebagai penyakit adminitrasi. Fenomena semacam ini sering
kita jumpai dalam proses kerja administrasi terutama di jajaran birokrasi di
Indonesia dan terlebih dalam jajaran kepartean di Indonesia mamaupun di
jajaran-jajaran organisasi besar yang berkembang di Indonesia.

Kita sadari atau tidak fenomena maraknya penyakit adminitrasi pada


jajaran birokrasi dan jajaran kepartaian dan di sebahagian jajaran organisasi
besar yang berkembang di Indonesia menjadi sebuah persoalan yang harus

1
ditangani dengan sungguh-sungguh karena diterima atau tidak bahwa
administrasi merupakan sebuah sistem yang sangat berpengaruh bagi
organisasi apapun. Pernyataan ini bukan idak beralasan, namun hal ini
dikuatkan dengan sebuh fakta bahwa administrasi memiliki dua fungsi yang
sangat penting yaitu pertama administrasi memiliki fungsi primer yang
memiliki fungis manajerial, yang berkeja dalam tataran konsep, pengaturan dan
perenanaan, kedua memiliki fungsi skunder yang tidak juga kalah pentingnya
sebagai sebuah kerja penunjang dalam persoalan-persoalan ketata-usahaan.
Kedua fungsi tersebut sangat berpengaruh bagi proses kerja organisasi secara
keseluruhan.

Kenyataan kita dapat saksikan banyak organisasi di dunia yang mati


atau dalam kata lain tidak bergerak sama sekali karena kedua fungsi
administrasi yang melekat tersebut tidak berfungsi dengan baik yang
diakibatkan karena munculnya penyakit dalam tubuh administrasi organisasi
tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian dari Patologi Administrasi
2. Faham yang dapat dijadikan landasan dalam Etika Administrasi
3. Permasalahan Etika Administrasi Publik
4. Ragam Patologi Administrasi dan terapinya

C. Tujuan
Penyusunan Makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Filsafat Administrasi
2. Untuk mengetahui pengertian dari Patologi Administrasi
3. Untuk memahami konsep landasan Etika dalam Administrasi Publik
4. Untuk mengetahui beberapa macam Patologi Administrasi beserta terapinya

D. Manfaat
Penyusunan makalah ini tentu memiliki manfaat bagi kami selaku
penyusun tidak hanya sebagai tugas dari mata kuliah Filsafat Administrasi
akan tetapi juga kami mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca
antara lain dapat mengetahui konsep-konsep yang dijelaskan dalam makalah
ini dan juga benar-benar memahaminya sehingga tujuan dari penyusunan
makalah ini dapat terpenuhi.
BAB II
PEMBAHASA
N

A. PENGERTIAN
Patologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari berbagai
hal yang berhubungan dengan penyakit, termasuk penyebab timbulnya
penyakit serta perubahan susunan, fungsi, dan biokomiawi jaringan yang
terkena.
Etika berasal dari bahasa Yunani etos, yang artinya kebiasaan atau
watak, sedangkan moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang
artinya cara hidup atau kebiasaan. Dari istilah ini muncul pula istilah morale
atau moril, tetapi artinya sudah jauh sekali dari pengertian asalnya. Moril bisa
berarti semangat atau dorongan batin. Disamping itu terdapat istilah norma
yang berasal dari bahasa Latin. (norma: penyiku atau pengukur), dalam
bahasa inggris norma berarti aturan atau kaidah. Dalam kaitannya dalam
perilaku manusia, norma digunakan sebagai pedoman atau haluan bagi
perilaku yang seharusnya dan juga untuk menakar atau menilai sebelum ia
dilakukan.
Menurut Frankena, etika (ethic) merupakan salah satu cabang filsafat
yang mencakup filsafat moral atau pembenaran filosofis (philosophical
judgements). Sebagai suatu falsafah, etika berkenaan dengan moralitas
beserta persoalan-persoalan dan pembenarannya.
Etika menurut Bertens (1977) “seperangkat nilai-nilai dan norma-
norma moral yang menjadi pegangan dari seseorang atau suatu kelompok
dalam mengaturtingkahlakunya. Sedangkan Darwin (1999) mengartikan
Etika adalah prinsip-prinsip moral yang disepakati bersama oleh suatu
kesatuan masyarakat, yang menuntun perilaku individu dalam berhubungan
dengan individu lain masyarakat.
Administrasi adalah usaha atau kegiatan yang berkenaan dengan
penyelenggaraan kebijaksanaan untuk mencapai tujuan. Dalam arti sempit
adalah kegiatan yang meliputi catat mencatat, surat-menyurat, pembukuan,
ketik mengetik, agendadan sebagainya yang bersifat teknis ketatausahaan.
Patologi Administrasi diartikan sebagai suatu keadaan dimana
manusia sebagai unsur utama dalam administrasi. Niat utamanya adalah
bekerjasama bukan untuk memenuhi kebutuhan bersama, tetapi niat utamanya
adalah bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan pribadi-pribadi dengan
mengorbankan orang lain. (Sumber: Prof. Dr. H. Makmur, M.si, 2007,
Patologi serta kerapianya dalam ilmu administrasi & organisasi, LEUKA
ADITAMA, 64)
Patologi administrasi semua tingkah laku yang bertentangan dengan
norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral hak milik,
solidaritas kekeluargaan, hidup rukun tetanga, disiplin kebaikan dan hukum
formal. (Sumber : Kartini kartono, 2007, Patologi serta kerapianya dalam
ilmu administrasi & organisasi, LEUKA ADITAMA, 64)
Patologi administrasi adalah penyakit atau bentuk perilaku organisasi
yang menyimpang dari nilai nilai etis, aturan aturan dan ketentuan ketentuan
perundang undangan serta norma norma yang berlaku dalam birokrasi.
(Sumber : Risman K. Umar, 2002, http://gudangilmuadministrasinegara.
blogspot.com-/2010/12/patologi-birokrasi.html)

Dari definisi diatas bahwa Patologi Administrasi diartikan sebagai


suatu keadaan dimana manusia sebagai unsur utama dalam administrasi. Niat
utamanya adalah bekerjasama bukan untuk memenuhi kebutuhan bersama,
tetapi niat utamanya adalah bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan pribadi-
pribadi dengan mengorbankan orang lain dan bertentangan dengan norma
kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral hak milik, solidaritas
kekeluargaan, hidup rukun tetanga, disiplin kebaikan dan hukum formal
sehingga merupakan penyakit atau bentuk perilaku organisasi yang
menyimpang dari nilai nilai etis, aturan aturan dan ketentuan ketentuan
perundang undangan serta norma norma yang berlaku dalam birokrasi
Penyakit administrasi atau patologi administrasi jika di kaitkan dengan
ilmu kedokteran, difahami bahwa patologi sebagai sebuah penyakit yang
melekat pada organ seseorang yang membuat orang itu mengalami disfungsi.
Meminjam metafor kedokteran, patologi birokrasi atau patologi adminisrasi
disini dipahami sebagai penyakit yang melekat dalam suatu organisasi
birokrasi yang membuat birokrasi menjadi disfungsional. Sampai di sini
diketahui bahwa penyakit administrasi atau patologi administrasi kebanyakan
timbul di kalangan organisasi birokrasi. Oleh karena itu muncul perkataan
Patologi Birokrasi (Bureaucracy pathology) yaitu merupakan himpunan dari
perilaku-perilaku yang kadang-kadang disibukkan oleh para birokrat. Patologi
birokrasi digambarkan oleh Victor A Thompson seperti sikap menyisih
berlebihan, pemasangan taat pada aturan atau rutinitas-rutinitas dan prosedur-
prosedur, berlawanan terhadap perubahan, dan desakan picik atas hak-hak
dari otoritas dan status.

B. FAHAM YANG DAPAT DIJADIKAN LANDASAN DALAM ETIKA


ADMINISTRASI
Ada beberapa paham yang dapat dijadikan landasan dalam Etika Administrasi
diantaranya :
1. Naturalisme
Paham ini berpendapat bahwa sistem-sistem etika dalam kesusilaan
mempunyai dasar alami, yaitu pembenaran-pembenaran hanya dapat
dilakukan melalui pengkajian atas fakta dan bukan atas teori-teori yang
sangat metafisis.
2. Individualisme
Emmanuel Kant adalah salah seorang filsuf yang senantiasa
menekankan bahwa setiap orang bertanggung jawabsecara individual bagi
dirinya. Memang esensi individualisme adalah ajaran bahwa di dalam
hubungan sosial yang paling pokok adalah individunya. Orang akan
memiliki etos kerja yang kuat dan selalu ingin berbuat yang terbaik bagi
dirinya. Namun, di sisi lain ia juga mengandung dampak negatif dengan
kecenderungan bahwa setiap orang akan mementingkan diri sendiri atau
bersikap egosentris. Jadi, bagaimanapun juga kebebasan itu ada batasnya.
Yang diperlukan dalam kaitan ini adalah kemampuan sistem sosial untuk
melindungi hak-hak negatif ini yang berupa hak-hak untuk tidak
terganggu oleh campur tangan orang lain (The rights of noninterfence).
3. Hedonisme
Titik tolak pemikiran hedonisme ialah pendapat bahwa menurut
kodratnya manusia selalu mengusahakan kenikmatan, yaitu bila
kebutuhan kodrati terpenuhi, orang akan memperoleh kenikmatan sepuas-
puasnya.pendapat ini bermula dari pandangan Aristippus, seorang pendiri
maszhab Cyrene ( sekitar 400 SM ) dan juga Epicurus (341-271), bahwa
mencari keenangan merupakan kodrat manusia. Sayangnya, dalam
kenyataan kita melihat bahwa kaum hedonis tidak pernah mencapai
tujuannya.
4. Eudaemonisme
Eudaemonisme berasal dari kata Yunani, yaitu demon yang bisa
berarti roh pengawal yang baik, kemujuran atau keuntungan. Orang yang
telah mencapai tingkatan. “eudaemonia” akan memiliki keinsyafan
tentang kepuasan yang sempurna, tidak saja secara jasmani tetapi juga
rohani. Eudaemonisme mencita-citakan suasana batiniah yang disebut
“bahagia”. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan merupakan kebaikan
tertinggi.
5. Utilitarianisme
Salah satu paham yang sampai sekarang menjadi bahan perbedaan
dikalangan filsuf. Pembela utama dari ajaran ultilitarianisme adalah
Jeremy Bentham (1748-1832) dan john Stuart Mill (1806-
1873).Utilitarianaisme mengatakan bahwa ciri pengenal kesusilaan adalah
manfaat dari suatu perbuatan. Ungkapan utilitarianisme yang terkenal
berasal dari Jeremy
6. Idealisme
Paham ini timbul berasal dari kesadaran akan adanya lingkungan
normativitas bahwa terdapat kenyataan yang bersifat normatif yang
memberi dorongan kepada manusia untuk melakukan perbuatan. Salah
satu kelebihanya dari ajaran idealisme adalah pengakuanaya tentang
dualisme manusia bahwa manusia terdiri dari jasmani dan rohani.
Berdasarkan aspek cipta, rasa dan karsa yang terdapat dalam batin
manusia.
Kita dapat membagi tiga komponen idealisme. Pertama disebut
idealisme rasionalistik yang mengatakan bahwa dengan menggunakan
pikiran dan akal manusia dapat mengenal norma norma yang menuntun
perilakunya. Kedua adalah Idealisme estetik bertolak dari pandangan
bahwa dunia serta kehidupan manusia dapat dilihat dari segi prespektif
“karya Seni”. Ketiga Edialisme etik pada intinya ingin menentukan
ukuran ukuran moral dan kesusilaanterhadap dunia dan kehidupan
manusia.
Dari seluruh pembahasan tersebut ternyata memiliki keunggulan
juga kelemahan masing masing .Pragmatisme misalnya dalam beberapa
segi mempunyai keuntungan sebab kita akan mampu bertindak dan
menafsirkan sesuatau secara cepat. ini akan bermanfaat untuk keputusan
dengan cepat.
Kajian-kajian tentang masalah kemasyarakatan kiranya akan lebih
mengena jika memakai landasan pemikiran yang menyuruh ,dalam hal ini
norma norma etikapun kita selalu mengenal pola serba dua antara yang
seharusnya dan yang ada. Dalam sejarah peradaban manusia sejak abad ke
4 Sebelum Masehi para pemikir telah mencoba menjabarkan berbagai
corak landasan etika sebagai pedoman hidup bermasyarakat. Gagasan
gagasan itu kemudian terkumpul dalam sejumlah great ideas (the liang
Gie 1987,menerjemahkan dengan ide agung”) yang sesungguhnya
bermula dari kesepakatan terminologis mengenai segala sesuatu yang
melandasi moralitas manusia. Beberapa prinsip tersebut yaitu:
a. Keindahan
Prinsip prinsip estetika mendasari segala sesuatu yang
mencakup penikmatan rasa senang terhadap keindahan.Keindahan
alamiah dapat dapat dihayati dari kenyataan bahwa perilaku alam
beserta benda mati,tumbuhan dan hewan yang terdapat di dalamnya
itu mematuhi hukum hukum tertentu dari sang pencipta. Sementara itu
keindahan artistik bersumber pada pemahaman jiwa manusia terhadap
alam semesta. Dalam kehidupan sosial kita dapat menyaksikan bahwa
orang lebih menyenangi cinta dan kasih, kerja sama antara manusia,
gotongroyong, kedamaian dan kehidupan yang berdasarkan saling
membantu. Maka kasih sayang, kedamaian dan kesejahteraan itu
sesungguhnya merupakan unsur unsur keindahan.
b. Persamaan (equality)
Hakikat kemanusiaan menghendaki adanya persamaan antara
manusia dyang satu dengan yang lain Setiap manusia yang terlahir di
bumi ini serta merta memiliki hak dan kewajiban masing masing,
tetapi sebagai manusia ia adalah sama atau sederajat.Kita mengenal
empat ras antara lain: ras dan jenis kelamin. Kita mengenal empat ras
yang ada di muka bumi ini (mongoloid, kaukasoid, negroid dan
australoid) tetapi itu semua tidak bisa dijadikan ukuran untuk
membdakan bahwa satu ras lebih unggul dari yang lain.maka dari itu
politik apartheid dimanapun tidak dapat dibenarkan. Perbudakan
antarmanusia hendaknya di hapuskan dari muka bumi ini.
Dalam kehidupan modern kita hanya dapat membedakan tugas
spesifikasi dari kedua macam jenis kelamin ini,tetapi dalam hal ini
tidak ada perbedaan derajat antara keduanya itu.
c. Kebaikan (goodness)
Secara umum kebaikan berarti sifat atau karakterisasi dari
suatu yang menimbulkan pujian. Perkataan baik mengandung sifat
sifat seperti persetujuan pujian keunggulan, kekaguman, atau
ketepatan.
Jika menginginginkan kebaikan tatanan sosisal maka yang
diperlukan adalah sikap sadar hukum saling menghormati, perilaku
yang baik (good habits) dan sebagainya, jadi lingkup dari ide kebaikan
sangatlah universal. Lawan dari ide agung kebaikan adalah keburukan
(evil), Perbuatan disebut buruk jika itu merugikan diri sendiri ataupun
orang lain sehingga hati nurani manusia pada umumnya menghindari
perbuatan perbuatan yang buruk.
d. Keadilan (justice)
Suatu definisi tertua yang hingga sekarang masih relevan untuk
merumuskan keadilan (justice) berasal dari zaman Romawi kuno
adalah
: “justitia est constants et perpetua voluntas jus suum cuique
tribuendi” (keadilan ialah kemauan yang tetap dan kekal untuk
memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya).
Definisi inilah yang menjadi landasan Plato untuk
menguraikan teori-teori mengenai keadilan dalam bukunya Res
Publika. Keadilan merupakan substansi rohani umum dari suatu
masyarakat yang menciptakan dan menjaga kesatuannya. Masyarakat
akan adil bila setiap anggotannya melakukan segala sesuatu yang
terbaik menurut kemampuannya beserta fungsi yang selaras baginya.
Negara yang adil memungkinkan setiap warga negara dapat
melaksanakan satu fungsi dalam masyarakat yang paling cocok
baginya.
Dalam perkembangannya banyak filsuf yang merinci teori
keadilan dari berbagai segi. Aristoteles, misalnya, mengatakan bahwa
keadilan merupakan kelayakan dalam tindakan manusia, dan merinci
empat macam keadilan : keadilan komutatif, keadilan distributive,
keadilan sosial, keadilan hukum. Sementara itu, Rawls
mengemukakan dua asas keadilan. Pertama, bahwa setiap orang
hendaknya memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar. Kedua,
bahwa perbedaan sosial ekonomi hendaknya diatur sehingga member
manfaat terbesar bagi mereka yang berkedudukan paling tak
menguntungkan serta bertalian dengan jabatan atau kedudukan yang
terbuka bagi semua orang berdasarkan persamaan kesempatan yang
layak.
e. Kebebasan (liberty)
Secara sederhana kebebasan dapat dirumuskan sebagai
keleluasaan untuk bertindak atau tidak bertindak berdasarkan pilihan-
pilihan yang tersedia bagi seseorang. Kebebasan muncul dari doktrin
bahwa setiap orang memiliki hidupnya sendiri serta memliki hak
untuk bertindak menurut pilihannya sendiri kecuali jika pilihan-pilihan
tindakan tersebut melanggar kebeasan yang sama dari orang lain.
Itulah sebabnya, hukum sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk
membatasi kebebasan tetapi justru untuk menjamin kebebasan iu
sendiri. Kebebasan ditantang manakala berhadapan dengan kewajiban
moral, Dalam kaitan ini hal yang selalu dituntut untuk diperolehnya
suatu kebebasan adalah tanggung jawab. Kebebasan manusia
mengandung pengertian :
1) Kemampuan untuk menentukan diri sendiri;
2) Kesanggupan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan;
3) Syarat-syarat yang memungkinkan manusia untuk melaksanakan
pilihan-pilihannya beserta konsekuensi dari pilihan itu.
Oleh karena itu, tidak ada kebebasan tanpa tanggung jawab,
dan tidak ada tanggung jawab tanpa kebebasan. Semakin besar
kebebasan yang dimiliki oleh seseorang, semakin besar pula tanggung
jawab yang dipikulnya.
f. Kebenaran (truth)
Ide kebenaran biasanya dipakai dalam pembicaraan mengenai
logika ilmiah, sehingga kita mengenal criteria kebenaran dalam
berbagai cabang ilmu semisal matematika, ilmu fisika, biologi,
sejarah, dan juga filasafat. Namun, ada pula kebenaran mutlak yang
hanya dapat dibuktikan dengan keyakinan, bukan dengan fakta yang
ditelaah oleh teologi dan ilmu agama. Kita hendaknya mampu
menjembatani antara kebenaran dalam pemikiran (truth in the mind)
dan kebenaran menurut kenyataan (truth in reality). Betapapun
doktrin-doktrin etika tidak selalu dapat diterima oleh orang awam
apabila kebenaran yang terdapat di dalamnya belum dapat dibuktikan.
Etika dapat dipertimbangkan sebagai suatu batasan yang
diterima terhadap suatu nilai moral dan dilandasi dengan kepercayaan,
tanggung jawab dan integritas yang menjadi bagian dari sistem nilai
sosial masyarakat. Berdasarkan penjelasan mengenai paham atas
landasan etika tersebut, dapat dipahami bahwa dasar moral/landasan
etika adalah sesuatu yang menjadikan dasar dari adanya etika dan
moral. Dan alandasan etika tersebut terdiri dari beberapa paham yang
di dalamnya dijelaskan alur pemikirannya beserta beberapa
nilai/prinsip etika seperti kebenaran, keadilan, kejujuran, dan
tanggung jawab, dan beberapa yang lain.

C. PERMASALAHAN ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK


Etika diperlukan untuk pembaharuan dan perbaikan pelayanan publik.
Konflik kepentingan,korupsi,dan birokrasi menyebabkan buruknya pelayanan
publik. Masalahnya bukan hanya terletak pada kualitas moral seseorang
(jujur, adil, Fair), namun terutama pada sistem yang tidak kondusif.
Biasanya etika dipandang sebagai refleksi atas baik dan buruk, benar
dan salah yang harus dilakukan atau bagaimana melakukan yang baik atau
benar. Etika administrasi publik juga dipandang sebagai standar / norma yang
menentukan baik dan buruk benar atau salah perilaku, tindakan dan keputusan
untuk mengarahkan kebijakan public dalam rangka menjalankan tanggung
jawab pelayanan publik.
Sadar atau tidak, setiap warga negara pasti berhubungan dengan
aktivitas birokrasi pemerintahan. Tidak henti-hentinya orang harus berurusan
dengan birokrasi, sejak berada dalam kandungan sampai meninggal dunia.
Dalam setiap sendi kehidupan kalau seseorang tinggal di sebuah tempat dan
melakukan interaksi sosial dengan orang lain serta merasakan hidup
bernegara, maka keberadaan birokrasi pemerintahan menjadi suatu
conditiosine quanon yang tak bisa ditawar-tawar lagi dan ia akan selalu
menentukan aktivitas mereka. Kenyataan ini juga terjadi di Indonesia. Betapa
tidak, sewaktu masih dalam kandungan, kita sudah diperiksakan ke
Puskesmas yang tentunya memperoleh subsidi dari pemerintah. Ketika lahir
kita dirawat di rumah sakit (milik swasta maupun milik pemerintah) yang
dokternya dididik atas biaya pemerintah. Masuk sekolah juga milik
pemerintah, mungkin masuk ke SD, SMP, hingga perguruan tinggi negeri.
Sementara pada saat berangkat dewasa kita butuh KTP yang
dikeluarkan oleh aparatur pemerintah. Disamping itu kita mungkin
memerlukan jasa pelayanan air minum (PAM), listrik (PLN), atau mungkin
perumahan (KPR-BTN), dan telepon. Untuk usaha dagang, misalnya, kita
mesti membayar pajak kepada negara. Lalu setelah meninggal, keluarga juga
harus mengurus surat kematian dari Kades atau Lurah untuk memperoleh
kapling di TPU(tempat Pemakaman Umum).
Demikianlah, pelayanan umum akan menyangkut bidang pendidikan,
kesehatan, transportasi, perumahan, kesejahteraan sosial, gizi, listrik,
kebutuhan pangan pokok, dan masih banyak lagi. Begitu luas ruang lingkup
jasa pelayanan umum yang diselenggarakan oleh pemerintah sehingga semua
orang mau tidak mau harus menerima bahwa intervensi birokrasi melalu
pelayanan umum itu absah adanya.
Akan tetapi pertanyaan-pertanyaan etis kembali muncul sehubungan
dengan kurangnya perhatian (concern) para aparatur birokrasi terhadap
kebutuhan warga negara tersebut. Untuk memperoleh pelayanan yang
sederhana saja, pengguna jasa sering dihadapkan pada kesulitan-kesulitan
yang terkadang mengada-ada. Kita sering menyaksikan antrian panjang
orang-orang yang akan membyara rekening listrik PLN, membayar pajak di
kantor-kantor pajak, atau membayar angsuran rumah kredit.
Pemandangan yang sama juga terlihat di kantor SAMSAT untuk
urusan-urusan STNK dan SIM, di bank, di kantor-kantor pemerintah daerah,
atau dirumah sakit. Manajemen kearsipan agaknya msih masih merupakan
kendala bagi sebagian besar kantor yang melayani jasa umum, sehingga
pelayanan kepada masyarakat tidak dapat terlaksana secara cepat. Kecuali itu
rutinitas tugas-tugas pelayanan dan penekanan yang berlebihan kepada
pertanggungjawaban formal telah mengakibatkan adanya prosedur yang kaku
dan lamban. Para pegawai tiak lagi merasa terpanggil untuk meningkatkan
efisiensi dan memperbaiki prosedur kerja tetapi lebih sering justru menolak
adanya perubahan.
Etos kerja yang cenderung mempertahankan status quo ini telah
menumnuhkan persepsi masyarakat bahwa berhubungan dengan birokrasi
berarti berhadapan dengan berbagai prosedur yang berbelit-belit, makan
waktu, dan menyebalkan. Yang lebih parah prosedur yang mencekik itu
acapkali ditunggangi oleh kepentingan pribadi dan dijadikan komoditas yang
diperdagangkan untuk keuntungan pribadi maupun kelompok.
Aparatur birokrasi yang melayani kepentingan umum masih belum
menyadari fungsinya sebagai pelayan masyarakat. Ketentuan bahwa birokrasi
punya kewajiban untuk melayani masyarakat menjadi terbalik sehingga bukan
lagi birokrasi yang melayani masyarakat tetapi justru masyarakat yang
melayani birokrasi. Sikap-sikap para birokrat yang tidak bersedia melayani
masyarakat secara adil dan merata itu tampak di hampir semua instansi
negeri. Pendapat bahwa “Bekerja dengan rajin atau tidak rajin tetap mendapat
gaji yang sama setiap bulan” turut mempertebal alasan keengganan
(unwillingness) para pegawai untuk bekerja dengan sebaik-baiknya.
Sementara itu, kelambanan pelayanan umum tidak hanya disebabkan
oleh kurang baiknya cara pelayanan ditingkat bawah. Ternyata masih banyak
faktor yang mempengaruhi begitu buruknya tata kerja dalam birokrasi. Sikap
pandang organisasi birokrasi pemerintah kita, misalnya, terlalu berorientasi
kepada kegiatan (activity), dan pertanggungjawaban formal (formal
accountability). Penekanan kepada hasil (product) atau kualitas pelayanan
(service quality) sangatlah kurang, sehingga lambat laun pekerjaan-pekerjaan
dalam organisasi menjadi kurang menantang dan kurang menggairahkan.
Dengan ditambah oleh semangat kerja yang buruk maka jadila suasana
rutinitas yang semakin menggejala dan akhirnya aktivitas-aktivitas yang
dijalankan itu sendiri menjadi counter productive.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa di kantor-kantor pemerintah kita
akan mellihat banyak pegawai yang datang ke kantor hanya untuk mengisi
presensi, membaca koran, main catur, menyebar gosip, mengikuti appeal,
sementara pekerjaan-pekerjaan yang diselesaikannya sungguh tidak sepadan
dengan waktu yang telah dihabiskannya.
Gaya manajemen yang terlalu berorientasi kepada tugas juga
membawa pengaruh tidak terpacunya pegawai kepada hasil dan kualitas
pelayanan umum. Formalitas dalam rincian tugas-tugas organisasi menuntut
uniformitas dari keseragaman yang tinggi. Akibatnya para pegawai menjadi
takut berbuat keliru dan cenderung menyesuaikan pekerjaan-pekerjaannya
dengan petunjuk pelaksanaan sedapat mungkin, walaupun keadaan yang
ditemuinya dalam kenyataan sangat jauh bedanya dengan peraturan-peraturan
tersebut. Hambatan-hambatan tersebut tidak lepas dari sistem dan mekanisme
kerja yang diterapkan dalam birokrasi pemerintahan kita.
Keharusan untuk mencapai target waktu seringkali mengorbankan
cara kerja serta tujuan akhirnya. Ini tampak umpamanya dalam penerapan
prosedur DIP (Daftar Isian Proyek). Sistem DIP menghendaki kelancaran
pelaksanaan tugas pemenuhan ketentuan-ketentuan yang bersifat prosedural,
ketepatan waktu, ketaatan pada jalur-jalur kewenangan, dan pencapaian
indikator- indikator kuantitatif. Penerapan sistem ini memang membawa
pengaruh positif sebab dengan peraturan-peraturan yang ada efisiensi dapat
ditingkatkan dan volume proyek-proyek pembangunan yang diselesaikan
akan bertambah. Tetapi dampak negatifnya bukan tidak ada. Yang langsung
dapat diamati ialah kecenderungan bahwa kekuasaan dan wewenang bergeser
ke atas.
Keleluasaan untuk bertindak pada akhirnya sangat terbatas berhubung
dengan struktur keuangan pada tingkat yang lebih atas. Tugas-tugas dan
pelaporan menjadi terlalu formal dan atasan akan lebih percaya kepada
laporan-laporan tertulis yang tebal atau angka-angka meskipun itu fiktif
semata. Budaya ABS (Asal Bapak Senang) muncul dimana-mana dan para
pembuat kebijakan justru sulit mencari data yang benar-benar valid sesuai
dengan fakta. Keadaan seperti ini menjadi salah satu penyebab rapuhnya
mental para pegawai hingga mendorong berbagai bentuk penyimpangan dan
penyelewengan.
Kecenderungan lain yang melekat didalam birokrasi adalah kurang
diperhatikannya asas keterjangkauan dan pemerataan dalam pelayanan.
Secara normatif birpkrasi seharusnya memihak kepada golongan miskin atau
kelompok-kelompok pinggiran karena merekalah yang perlu dibantu untuk
ikut menikmati hasil-hasil pembangunan. Pelayanan yang mudah dan murah
merupakan hal yang esensial bagi mereka karena ditilik dari kondisi
ekonomis mereka tidak mungkin mendapatkan pelayanan kesejahteraan sosial
yang mahal. Sangat disayangkan bahwa dalam kenyataan kita justru melihat
bahwa aparatur-aparatur birokrasi cenderung menghindari kelompok miskin
karena mereka tidak ingin kehilangan klientel-klientel atau konco-konco yang
telah menguntungkan posisi mereka.
Dalam banyak hal ternyata birokrasi cenderung mempertajam
startifikasi sosial yang terdapat dalam masyarakat sehingga jurang pemisah
antara si kaya dan si miskin makin menganga. Lebih dari itu, masalah
kekakuan prosedur juga melanda institusi-institusi pemerintah yang
seharusnya melaksanakan aktivitas secara profesional. Birokrasi seolah-olah
menjadi makhluk yang semakin gemuk tetapi pada saat yang sama semakin
lamban gerakannya. Dominasi birokrasi pada badan-badan usaha yang
monopolistik itu tidak ditunjang dengan sistem manajemen dan efisiensi yang
lebih baik, sehingga tidak heran jika terlontar banyak ungkapan bahwa
birokrasi kita merupakan sumber utama ekonomi biaya tinggi yang
mengurangi daya saing produk-produk kita. Ini antara lain disebabkan karena
kurang adanya manajemen yang berdasarkan sasaran serta kaburnya tolok-
ukur untuk menilai prestasi.
Oleh sebab itu, langkah debirokratisasi merupakan hal yang tidak bisa
ditunda-tunda lagi, dan pelaksanaannnya pada jajaran aparat pemerintahan
hendaknya dijaga konsistensinya. Prosedur yang kaku hendaknya dihapus
sehingga susasana kerja akan mendukung berkemebangnya inovasi dan
perubahan yang menuju peningkatan kualitas pelayanan. Perizinan
disederhanakan sampai ke tingkat yang benar-benar diperlukan. Berbagai
peraturan yang tidak ada sangkut pautnya dengan kelancaran tugas harus
dipotong dan pelayanan hendaknya diberikan secara adil dan merata. Kalau
perlu pelayanan yang sudah tidak terjangkau lagi oleh jaring-jaring birokrasi
pemerintahan dapat diserahlan kepada pihak-pihak swasta.
Dengan demikian akan tercipta suasana persaingan yang sehat bagi
organisasi-organisasi pelayanan yang maksimal. Namun juga perlu diingat
bahwa swastanisasi sektor-sektor pelayanan publik itu bukan berarti bahwa
pemerintah harus lepas tangan dalam urusan-urusan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat. Betapapun pemerintah punya tanggung jawab yang
besar atas kesejahteraan setiap warga dan dalam bidang-bidang tertentu hanya
pemerintahlah yang mampu memerankan tugas-tugas itu dengan baik. Kita
jangan sampai menganut ungkapan ungkapan the optimal bureaucracy is the
best govenrment.
Bentuk organisasi birokrasi yang diharapkan memiliki daya tanggap
yang baik terhadap kepentingan-kepentingan umum adalah bentuk organis-
adaptif. Ciri-ciri pokok yang terdapat dalam struktur organis-adaptif
diantaranya :
1. Berorientasi kepada kebutuhan para pemakai jasa.
2. Bersifat kreatif dan inofatif.
3. Menganggap SDM sebagai tetap jangka panjang (longterm fixed assets)
4. Kepemimpinan yang memiliki kemampuan mempersatukan berbagai
kepentingan dalam organisasi, sehingga dapat menumbuhkan sinegisme.
Maka birokrasi yang adaptif mengandaikan adanya proses komunikasi
timbal balik antara manajer atau pimpinan dengan karyawan atau
bawahannya. Garis pengambilan keputusan vertikal tidak boleh terlalu
panjang. Konsep sinergisme diterapkan dengan asumsi bahwa pekerjaan yang
dilaksanakan dengan kerjasama dan pemikiran orang banyak akan membawa
hasil yang optimal. Sementara itu, para pegawai secara indiviual harus lebih
peka terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan tidak membeda-bedakan
pelayanan antara warga negara yang satu dengan warga negara lainnya.
Dalam makalah ini kami akan mengemukakan beberapa contoh
Patologi Administrasi yang terjadi di bidang pemerintahan yang kami geluti
sekarang.
1. Bidang Kesehatan

Fraud dalam pelayanan kesehatan disebut sebagai suatu bentuk


upaya yang secara sengaja dilakukan dengan menciptakan suatu manfaat
yang tidak seharusnya dinikmati baik oleh individu atau institusi dan
dapat merugikan pihak lain. Fraud dalam pelayanan kesehatan dilakukan
terhadap hal-hal atau keadaan dan situasi yang berhubungan dengan
proses pelayanan kesehatan, cakupan atau manfaat pelayanan kesehatan
dan pembiayaannya. Pembahasan tentang Fraud lebih banyak merujuk
kepada referensi yang berasal dari Amerika dimana kejadian Fraud dan
Abuse mencapai 10% dari total biaya kesehatan per tahun (biaya
kesehatan $ 170 billion per tahun. Laporan General Accounting Office,
Mei 1992), kemudian tercatat pula bahwa angka tersebut pada tahun 2003
meningkat 7,7% dari tahun 2002.
Fraud secara khusus dalam era Jaminan Kesehatan Nasional yang
diselenggarakanoleh BPJS adalah suatu tindakan yang dilakukan secara
sengaja untuk mencurangi atau mendapat manfaat dari program layanan
kesehatan dengan cara yang tidak sepantasnya sehingga merugikan negara
sebagai penyelenggara dan penyandang dana sistem JKN.
Beberapa penyimpangan hal dibawah ini termasuk dalam kategori
‘Fraud’ dalam pelayanan kesehatan
a. Upcoding berarti berusaha membuat kode diagnosa dan tindakan dari
pelayanan yang ada lebih tinggi atau lebih kompleks dari yang
sebenarnya dikerjakan di institusi pelayanan kesehatan atau sebaliknya
. Contoh : Pasien dengan DM tipe 2 dengan komplikasi neuropati, di
coding dengan DM tipe 2 dengan berbagai komplikasi.
b. Phantom Billing berati bagian penagihan dari institusi RS membuat
suatu tagihan ke pihak penyelenggara JKN dari suatu tagihan yang
tidak ada pelayanannya.
c. Inflated Bills adalah suatu tindakan membuat tagihan dari suatu
pelayanan di RS menjadi lebih tinggi dari yang seharusnya.
d. Service unbundling or fragmentation adalah suatu tindakan yang
sengaja melakukan pelayanan tidak langsung secara keseluruhan tapi
dibuat beberapa kali pelayanan.
Contoh : Pasien dengan patah tulang femur dan memerlukan
pemasangan tiga buah ‘pen’ , tapi insitusi pelayanan kesehatan
melakukan pemasangan dua pen pada rawat inap pertama dan pen
yang lain dipasang kemudian pada periode perawatan berikutnya.
e. Standart of Care berarti suatu tindakan yang berusaha untuk
memberikan pelayanan dengan menyesuaikan dari tarif INA CBG
yang ada, sehingga dikhawatirkan cenderung menurunkan kualitas dan
standar pelayanan yang diberikan.
Contoh : Pasien rawat jalan memerlukan pemeriksaan penunjang
namun karena tarif rawat jalannya tidak mencukupi maka tidak
dilakukan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan.
f. Cancelled Service adalah melakukan pembatalan pelayanan yang
rencananya diberikan dan tetap ditagihkan pada sistem.Contoh :
Pasien yang direncanakan untuk dilakukan operasi kemudian karena
beberapa hal tidak jadi dilakukan namun tindakan operasi tersebut
tetap ditagihkan .
g. No Medical Value adalah melakukan suatu layanan kesehatan yang
tidak memberikan manfaat untuk pemeriksaan dan penatalaksanaan
pasien .Contoh : Pasien dilakukan pemeriksaan penunjang yang tidak
diperlukan.
h. Unnecessary Treatment berarti melakukan suatu pengobatan atau
pemberikan layanan kesehatan yang tidak dibutuhkan dan tidak
diperlukan oleh pasien.
Contoh : Pasien dilakukan operasi appendectomy padahal tidak
memerlukan operasi tersebut.
i. Length of Stay adalah melakukan perpanjangan masa rawat inap di
institusi pelayanan kesehatan untuk mencapai tarif penggantian yang
lebih tinggi.
Contoh : Pasien di ICU yang memerlukan ventilator kurang dari 36
jam tapi masa rawat inapnya dibuat lebih lama lebih dari 72 jam agar
mendapatkan tarif yang lebih tinggi.
j. Keystroke mistake adalah kesalahan yang dilakukan dengan sengaja
dalam penginputan penagihan pasien dalam sistem tarif untuk
mencapai penggantian tarif yang lebih
tinggi. Contoh : Pasien rawat jalan diinput dengan rawat inap agar
mendapatkan penggantian yang lebih tinggi.

Berbagai bentuk Fraud yang mungkin terjadi diatas dikhawatirkan


akan menimbulkan kerugian pemerintah dan negara yang cukup besar.
Bila dibandingkan dengan data di Amerika Serikat kerugian yang
ditimbulkan mencapai 3-10% dari dana jaminan kesehatan. Dengan
mengetahui hal diatas diharapkan kita dapat menghindari praktek-praktek
fraud dan dengan demikian kita tidak ikut terlibat membuat negara yang
kita cintai ini merugi. Merdeka.

Abuse dapat diartikan sebagai penyalahgunaan atau tindakan


yang bersifat tidak baik, tidak benar, tidak seharusnya, menyalahgunakan,
cenderung kriminal dan mengganggu secara legal, formal maupun etika.

Abuse merupakan bentuk lain yang dapat merugikan dalam


pelayanan kesehatan. Namun istilah ini lebih banyak digunakan dalam
asuransi kesehatan yang diartikan sebagai kegiatan atau tindakan yang
merugikan dalam pelayanan kesehatan tetapi tidak termasuk dalam
kategori fraud. Abuse dapat berupa malpraktek atau overutilization.
Abuse adalah setiap praktek Provider yang tidak konsisten dengan standar
pelayanan kesehatan, yang mengakibatkan perusahaan asuransi :
Membiayai hal-hal yang tidak perlu atau tidak memenuhi kebutuhan
manfaat, Memberikan penggantian biaya untuk pelayanan yang diberikan
tidak sesuai kebutuhan medis, Membiayai pelayanan yang disebabkan
oleh pelayanan yang tidak sesuai dengan standard profesional dalam
kontrak.
Termasuk didalam Abuse adalah praktek/ kegiatan yang dilakukan
peserta yang mengakibatkan perusahaan asuransi mengeluarkan biaya
yang seharusnya tidak perlu.
2. Bidang Kepegawaian

Dalam Struktur Organisasi Pemerintahan Daerah, terdapat


sejumlah Organisasi Perangkat Daerah sebagai Instansi teknis
penyelenggara program dan kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan
kemasyarakatan.
Pada Organisasi Perangkat Daerah tersebut terdapat sejumlah
jabatan yang harus diisi oleh Aparatur/PNS. Namun terkadang dalam
penempatan ataupun pengisian para pejabat terjadi hal-hal diluar
ketentuan yang berlaku. Penempatan pejabat tersebut seringkali tidak
sesuai disiplin ilmu, tidak sesuai kompetensi, tidak memiliki pengalaman
kerja pada jabatan yang akan diduduki, serta bertentangan dengan
persyaratan jabatan.
Hal ini terjadi karena para pengambil kebijakan dalam
menempatkan calon pejabat cenderung memilih orang-orang terdekat,
keluarga, atau orang yang memiliki hubungan kedekatan lainnya. Ada
juga penempatan calon pejabat karena intervensi oknum tertentu,
misalnya anggota legislatif, atau para pejabat tinggi lainnya yang berada
diluar Instansi Induk. Bahkan ada juga penempatan calon pejabat yang
diintervensi oleh pihak tertentu yang berada jauh diluar instansi, hanya
karena pihak tersebut pernah menjadi tim sukses dari calon kepala daerah
pada saat Pilkada.
Dalam kasus seperti ini, potensi terjadinya persekongkolan
jabatan tidak dapat dihindari. Akibatnya pejabat yang dihasilkan tidak
sesuai dengan persyaratan yang diwajibkan, sehingga muaranya
terciptalah pejabat yang tidak memiliki kompetensi dan tidak
professional.
Contoh yang paling dekat adalah terjadinya jual beli jabatan di
salah satu kabupaten yang ada di Pulau Jawa. Antara calon pejabat dan
oknum Bupati yang juga selaku pejabat pembina kepegawaian terjadi
pembicaraan khusus untuk penempatan pada sejumlah jabatan dengan
imbalan uang. Disinilah awal rusaknya tatanan kehidupan dilingkungan
birokrasi sudah dimulai. Akibatnya dalam pelaksanaan tugas kedepan
para pejabat terkadang lebih memikirkan bagaimana caranya
mengembalikan “upeti” yang pernah diberikan kepada oknum Kepala
Daerah. Sebaliknya sang oknum akan berfikir, bagaimana para
pejabatnya akan terus menjadi “Mesin ATM” bagi dirinya.
Langkah yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya Patologi
persekongkolan jabatan :
a. Dalam melakukan pengisian pejabat harus berdasarkan peraturan dan
ketentuan yang berlaku.
b. Perlu dilakukan seleksi terbuka dalam pengisian jabatan, yang
melibatkan orang yang independen yang jauh dari intervesi pihak-
pihak tertentu.
c. Pihak pemerintah yang lebih diatas, perlu melakukan evaluasi
terhadap proses rekrutmen dan pengisian pejabat secara menyeluruh,
dan apabila mendapati kejanggalan, harus melakukan pembatalan dan
memberikan teguran kepada pemerintah daerah.
3. Bidang Pelayanan Haji
Lamanya daftar tunggu haji kerap menjadi perhatian dari tahun ke
tahun. Rata-rata nasional daftar tunggu haji bisa mencapai 17 tahun.
Namun, banyak daerah yang jauh lebih lama dari 17 tahun. Daftar tunggu
jemaah haji dari Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan,
misalnya, disebut yang paling lama di Indonesia, yaitu sekitar 41 tahun.
Kendala waiting list haji itu tidak hanya kendala bagi orang
Indonesia saja, tapi juga seluruh negara muslim yang akan mengirimkan
ibadah haji ke Makkah. Mengapa memakan waktu karena daya tampung
di sana terbatas.
Pemerintah Arab Saudi bisa saja memperlebar Masjidil Haram
sehingga daya tampung jemaah makin meluas. Namun sayangnya itu
bukan solusi baik mengingat setelahnya ada Masjid Nabawi yang juga
terbatasnya daya tampung.
Sehingga menjadi kendala sendiri bagi pemerintah Arab Saudi
dengan adanya permintaan naik haji itu sangatlah banyak namun
kapasitas tak memungkinkan, terutama untuk masyarakat Indonesia yang
menjadi negara dengan umat muslim terbanyak di dunia, sehingga
berakibat menjadi panjang antrean.
Jumlah kuota yang diberikan oleh pemerintah pusat bagi setiap
provinsi, kabupaten atau kota akan turut berpengaruh terhadap daftar
tunggu haji di wilayah itu. Semakin sedikit kuota di area itu, maka hal
tersebut bisa berdampak pada waktu tunggu calon jemaah haji. Kuota
jamaah haji Indonesia juga tidak bisa lepas dari kuota yang diberikan oleh
pemerintah Arab Saudi, namun sering juga kuota yang diberikan berubah-
ubah bisa jadi naik atau turun.
Dalam kesempatan seperti ini, potensi terjadinya kecurangan bisa
terjadi dimana apabila ada penambahan kouta jamaah haji, maka
pengambil
kebijakan memprioritaskan saudara, kerabat, teman dan bahkan jamaah
haji yang dapat memberikan keuntungan baginya yang masuk dalam
kuota tambahan tersebut.
Kementerian agama berusaha memperbaiki kecurangan-
kecurangan yang terjadi dalam hal pelayanan ibadah haji. Seiring
perbaikan system pendataan kependudukan yang sudah berbasis
elektronik dimana tidak memungkinkan seorang penduduk memiliki 2
KTP, maka seorang yang ingin mendaftar haji hanya boleh mendaftar
dimana dia berdomsili saja.
Kebijakan lain yang diambil oleh pemerintah melalui
Kementerian Agama tentang kuota tambahan adalah dengan memberikan
prioritas bagi
(a) Jamaah yang dikeluarkan dari data manifest keberangkatan karena
jamaah tersebut sudah pernah berangkat haji, (b) Jamaah usia uzur dan (c)
Jamaah yang memuhrimi.

D. RAGAM PATOLOGI ATAU PENYAKIT ADMINISTRASI DAN


TERAPINYA
Berikut beberapa ragam daripada Patologi Administrasi beserta terapinya
yang dapat kami ungkapkan diantaranya :
1. Persekongkolan Jabatan dan terapinya
Persekongkolan jabatan adalah suatu usaha yang dilakukan dua
orang atau lebih dengan menciptakan kesepakatan guna mempertahankan
atau memperoleh suatu jabatan tertentu dalam organisasi dengan
mengorbankan orang lain. Persekongkolan jabatan dapat menciptakan
ketidakstabilan dan bahkan memungkinkan kematian sebuah organisasi.
Langkah-langkah mencegah terjadinya patologi persekongkolan
jabatan:
a. Pengisian atau rekrutmen jabatan, merupakan suatu usaha sadar
dengan mempertimbangkan dari berbagai hal dalam jabatan baik yang
memberikan keuntungan maupun hal yang merugikan;
b. Kejelasan batasan kewenangan dan tanggungjawab dalam jabatan;
c. Kejelasan persyaratan jabatan;
d. Keterbukaan besaran penghasilan dalam suatu jabatan.
2. Persekongkolan Pekerjaan dan terapinya
Patologi yang berupa persekongkolan pekerjaan dapat terjadi dalam
rangka pendistribusian pekerjaan terutama pekerjaan yang melekat pada
jabatan dan lebih banyak kontribusi besaran penghasilan bagi yang
melakukan pekerjaan dalam jabatan tersebut terutama pada jenjang yang
lebih tinggi.
Terapi untuk mengurangi dan menghilangkan persekongkolan pekerjaan:
a. Menciptakan kondisi sosial yang baik;
b. Menciptakan emosional yang cerdas;
c. Menciptakan intelektualitas yang baik;
d. Menciptakan karakter yang baik;
e. Menciptakan spiritualitas yang baik.
3. Persekongkolan Status dan terapinya
Mempertahankan berbagai status yang dimiliki individu, kelompok
yang bukan dilandasi dari profesionalisme dan kemampuan dalam
pengetahuan dan keterampilan merupakan salah bentuk persekongkolan
status. Persekongkolan status dapat diartikan atau dipandang secara
negatif karena berpatokan kepada pengalaman yang dirasakan manusia
yang bersangkutan, di mana terkena imbas dari tindakan atau perbuatan
persekongkolan tersebut selalu dalam posisi yang dirugikan. Apabila
imbasan dari tindakan persekongkolan dalam rangka mempertahankan
status yang dimilikinya menyebabkan melemahnya atau merugikan
organisasi maka hal ini merupakan patologi. Langkah-langkah dalam
rangka penyembuhan:
a. Menanamkan pengertian tentang penyakit persekongkolan status
dalam aktivitas administrasi dapat merugikan kelompok manusia yang
bersekongkolan, dan lebih-lebih kepada pengembangan dan penguatan
proses administrasi dalam pencapaian tujuan.
b. Memberikan kesadaran bahwa hasil yang dicapai akibat penyakit
persekongkolan status dalam aktivitas administrasi akan banyak
menimbulkan kerugian dibanding manfaat.
c. Memberikan teknik-teknik menghindarinya.
4. Persekongkolan Kolega dan terapinya
Interaksi dan reaksi jaringan dalam keprofesian atau kolega sangat
akrab terutama dalam interaksi dan bereaksi terhadap persekongkolan.
Interaksi dan reaksi dari sekelompok manusia yang tujuannya
memperoleh suatu manfaat tetapi berdampak negative dalam arti
merugikan kelompok manusia lain ataupun organisasinya dikategorikan
sebagai patologi persekongkolan kolega.
Langkah-langkah pencegahannya yaitu dengan memperhatikan
skill yang dimilikinya, di antaranya:
a. Kecakapan individu (individual skill);
b. Kecakapan kelompok (group skill);
c. Kecakapan sosial (social skill);
d. Kecakapan akademik (academic skill);
e. Kecakapan aktualisasi (actualitation skill);
f. Kecakapan emosional (emotional skill);
g. Kecakapan intelegensi (intelligence skill).
5. Persekongkolan Keluarga dan terapinya
Menanggulangi patologi persekongkolan keluarga dalam
kehidupan administrasi, hal ini dapat dijelaskan bahwa dalam kehidupan
administrasi terdiri atas beberapa pandangan terhadap anggota keluarga:
a. Anggota keluarga dengan hubungan darah
Administrasi sebagai proses kerjasama memungkinkan terjadi adanya
anggota memiliki hubungan darah seperti anak, saudara dll. Hal ini
akan menciptakan hubungan emosional, saling melindungi, saling
mendukung dalam tindakan sehingga akan menimbulkan patologi
persekongkolan keluarga. Sehingga untuk mengatasinya diperlukan
kesadaran dan penentuan ketentuan yang tegas.
b. Anggota keluarga bukan hubungan darah
Untuk mencegah hal ini adalah penegakan hukum, konsistensi dalam
penerapan kebijakan dan perlakuan adil pada semua anggota dalam
birokrasi.
c. Anggota keluarga dalam arti luas
Adalah semua anggota ikatan kerjasama dari seluruh tingkatan
kedudukan yang tergolong dalam anggota keluarga birokrasi. Untuk
mencegah terjadinya patologi perlu menciptakan kondisi bangunan
yang berwawasan kekeluargaan dan kebersamaan serta menegakkan
kebenaran.
d. Anggota keluarga dalam arti sempit
Adalah sebagian kecil anggota birokrasi yang mengadakan
kesepakatan dalam persekongkolan karena memiliki tujuan yang sama
dan menindas pada orang yang sama pula. Untuk menerapinya,
dengan memberikan pemahaman dalam kebersamaan dari seluruh
anggota birokrasi yang diikat dalam bentuk kerjasama.
6. Persekongkolan Pertemanan dan terapinya
Persekongkolan pertemanan merupakan fenomena sosial yang sulit
dicegah karena persekongkolan pertemanan ini suatu kebutuhan baik
individu, kelompok, birokrasi, organisasi, bahkan kebutuhan sosial. Oleh
karena itu jangan berpikir untuk menghilangkan persekongkolan
pertemanan tetapi yang perlu dipikirkan adalah bagaiman persekongkolan
tersebut senantiasa dilakukan secara positif dalam kehidupan birokrasi.
BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Patologi Administrasi
adalah sebagai suatu keadaan dimana manusia sebagai unsur utama dalam
administrasi. Niat utamanya adalah bekerjasama bukan untuk memenuhi
kebutuhan bersama, tetapi niat utamanya adalah bekerjasama untuk
memenuhi kebutuhan pribadi-pribadi dengan mengorbankan orang lain dan
bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan,
moral hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun tetanga, disiplin
kebaikan dan hukum formal sehingga merupakan penyakit atau bentuk
perilaku organisasi yang menyimpang dari nilai nilai etis, aturan aturan dan
ketentuan ketentuan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku
dalam birokrasi.
Etika adalah suatu sikap dan perilaku yang menunjukkan kesediaan
dan kesanggupan seseorang secara sadar untuk mentatati ketentuan dan
norma kehidupan yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat atau suatu
organisasi, Etika organisasi menekankan perlunya seperangkat nilai yang
dilaksanakan setiap orang anggota. Nilai tersebut berkaitan dengan
pengaturan bagaimana seharusnya bersikap dan berperilaku dengan baik
seperti sikap hormat, kejujuran, keadilan dan bertanggung jawab. Nilai-nilai
tersebut biasanya berubah menjadi kode etik.
Kode etik menjadi landasan dalam berorganisasi. Di lembaga-lembaga
yang survive keorganisasiannya, etika adalah sebuah nyawa. Tanpa etika,
organisasi seperti kumpulan preman yang memiliki kehendak sendiri-sendiri.
Organisasi tanpa aturan. Siapa kuat, dia akan menang dan mengatur sesuai
dengan caranya sendiri.
Oleh karena itu dapatlah disimpulkan bahwa sebuah organisasi hanya
dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri para
karyawan/anggota organisasi tersebut ada kesadaran kuat untuk
mengindahkan
etika pada saat mereka ingin memberikan pelayanan kepada negara dan
masyarakat yang memerlukannya.

B. SARAN
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, penyusun sangat mengharapkan kritik serta saran yang
konstruktif demi perbaikan makalah ini sehingga dapat lebih disempurnakan
dengan lebih baik lagi, Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA

 Makmur. 2007. Patologi Serta Terapinya Dalam Ilmu Administrasi Dan


Organisasi. Bandung. PT. Refika Aditama.
 Siagian P. Sondang. 2011. Filsafat Administrasi. PT. Bumi Aksara.
 Kartini kartono, 2007, Patologi serta kerapianya dalam ilmu administrasi
dan organisasi, PT. Leuka Aditama.
 Firminus. 2012. Patologi Administrasi, [Online],
(http://firminusminus.blogspot.com/2013/04/definisi-patologi-
administrasi.html, diakses tanggal 22 Oktober 2018)
 M. Syaifudin, 2017. Patologi Administrasi dan Terapinya, [Online],
(http://catatanseorangpinggiran.blogspot.com/2017/04/patologi-
administrasi-dan-terapinya.html, diakses tanggal 23 Oktober 2018).

Anda mungkin juga menyukai