NASIONAL KE-2
ADMINISTRASI
NEGARA
1
KATA PENGANTAR
Hormat kami,
Dr. Falih Suaedi
Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara
FISIP-Unair.
2
DAFTAR ISI
BAB I
1. Reformasi Birokrasi Dan Paradigma Baru Administrasi Publik di Indonesia
(Dede Mariana; Caroline Paskarina, Heru Nurasa)
2. Perkembangan Praktik Ilmu Administrasi Negara Dalam Kebijakan
Pemerintah (Ardiyan Saptawan)
3. Mengukur Kinerja Dinas Kabupaten: Pemikiran Awal: (Samodra Wibawa)
4. Administrasi Negara, Kebijakan Publik Reformasi dan Transformasi (Sri
Suwitri)
5. E-governance sebagai sarana mengubah budaya dan revitalisasi birokrasi
(Falih Suaedi)
BAB II
1. Membangun Kembali Social Capital dalam Rangka Reformasi Administrasi
di Indonesia (Dra. Sri Juni Woro Astuti,M.Com.)
2. New Public Management dalam Konteks Keadilan Sosial (Drs.
Suwardi,M.Si)
3. Memandu Perencanaan Pembangunanan Berbasis Pemahaman Krisis atas
Nilai-nilai Kemanusiaan (Muhammad Nuh, S.IP., M.Si.)
4. Peran SDM dan Pemerintah dalam Promosi Tanggungjawab Sosial
Perusahaan (CSR): Analisis Komparasi Negara Italia, Inggris, dan Indonesia
dalam Perspektif Hubungan Negara (Muhammad Nur Budianto)
5. Dari Good ke Sound Governance: Pendorong Inovasi Administrasi Publik
(Dr. Khairul Muluk, M.Si.)
6. Mencari Titik Temu Administrasi Negara dan Administrasi Publik: Tinjauan
dalam Perspektif Kajian Klasik Hingga Modern (Andries Lionardo SIP,
Msi)
7. Desentralisasi dan Otonomi Asimetris: Sebuah Pembelajaran dari Negara
Lain (Dr. Agus Pramusinto)
BAB III
1. Intervensi Parpol, Politik Uang dan Korupsi: Tantangan Kebijakan Publik
setelah Pilkada Langsung (Dr. Wahyudi Kumorotomo)
2. Eksistensi Sumpah Jabatan dalam Mencegah dan Mengatasi Perilaku
Koruptif Birokrasi: Perspektif Administrasi Syari'ah (Ainul Hayat)
3. Peran Akuntabilitas Publik dan Partisipasi Masyarakat dalam Pemberantasan
Korupsi di Pemerintahah: Perspektif Teoritis (Teguh Kurniawan)
4. Kebijakan Sunset Policy: Sebuah Perdebatan Filosofi (Drs. Bintoro
Wardiyanto, M.Si.)
5. Reformasi Birokrasi Pelayanan Publik (Drs. Gatot Pramuka, M.Si.)
6. Optimalisasi Pengelolaan Data Kependudukan di Kabupaten Banyumas
(Wahyuningrat)
7. Peluang dan Tantangan Electronic Government Procurement di Indonesia
(Studi Kasus 55 Instansi Pemerintah) (Rino A. Nugroho, S.Sos., M.T.I)
3
8. Menggagas Inovasi Tata Kelola Pemerintahan Daerah di Era Desentralisasi:
Pengalaman Provinsi NTB (Ida Widianingsih, M.A.)
BAB IV
1. Pendidikan: Langkah Pertama Upaya Reposisi Administrasi Negara di
Indonesia (Refleksi di Hari Pendidikan Nasional) (Ario Wicaksono)
2. Teori Administrasi dan Metodologi Administrasi Publik (Dr. Masroro Lilik
Ekowanti)
3. Perlunya Perubahan dalam Studi Administrasi Negara (Dewi Casmiwati,
S.IP., M.Si.)
4. Revitalisasi Kurikulum Administrasi Publik di Abad 21 (Hendrikus T.
Gedeona, S.IP., M.Si.)
5. Regionalisasi, Kerjasama dan Kolaborasi dalam Intergovernmental
Management (Dr. Hardi Warsono)
6. Konflik Kepentingan dalam Sistem Kepegawaian Publik (Dra. Ambar
Teguh Sulistiyani, M.Si.)
7. Dampak Global Warming: Quo Vadis Administrasi Negara (Dra. Wahyuni
Triana, M.Si.)
8. Model Advocacy Coalitions Framework (ACF) dalam Analisis Subsistem
Kebijakan pada Formulasi Kebijakan (Farida Nurani, S.Sos., M.Si.)
4
BAB I
REFORMASI BIROKRASI DAN PARADIGMA BARU
ADMINISTRASI PUBLIK DI INDONESIA 1
Dede Mariana 2,
Caroline Paskarina 3, Heru Nurasa 4
Abstrak
1
Disampaikan di dalam Konferensi Nasional Administrasi Negara, diselenggarakan oleh
Departemen Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya,
8-9 Mei 2009.
2
Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran,
Ketua Tim Penyusun Naskah Akademik Rancangan Induk Reformasi Birokrasi Indonesia (2005-
2025). Ketua Program Studi Magister (S2) Kebijakan Publik Program Pascasarjana FISIP Unpad.
Kepala Pusat Penelitian Kebijakan Publik dan Kewilayahan Lembaga Penelitian Universitas
Padjadjaran.
3
Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran,
Sekretaris/Anggota Tim Penyusun Naskah Akademik Rancangan Induk Reformasi Birokrasi
Indonesia (2005-2025)
4
Dosen Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Padjadjaran, Anggota Tim Penyusun Naskah Akademik Rancangan Induk Reformasi Birokrasi
Indonesia (2005-2025). Ketua Jurusan Administrasi Negara FISIP Unpad.
5
sesungguhnya juga menjadi awal dalam mengkaji ulang paradigma administrasi
publik yang selama ini diterapkan di Indonesia, khususnya dalam memandang
bekerjanya negara, dan berupaya menemukan paradigma baru administrasi publik
yang dapat mendukung reformasi birokrasi secara berkelanjutan.
Pengantar
Pemerintah memiliki peran penting sebagai salahsatu aktor strategis untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sekalipun tingkat sosial dan ekonomi
suatu masyarakat telah meningkat, peran pemerintah tetap diperlukan untuk
melaksanakan fungsi regulasi, alokasi, distribusi, pelayanan, dan pemberdayaan
masyarakat. Fungsi-fungsi ini harus dilaksanakan oleh pemerintah agar tercapai
keadilan dan pemerataan dalam masyarakat.
Inti dari pemerintahan adalah sistem birokrasi. Sistem birokrasi sangat
diharapkan dapat menjalankan perannya secara optimal dalam menjalankan
fungsi-fungsi tersebut di atas. Namun, dalam kenyataannya, keberadaan birokrasi
pemerintah seringkali dipandang secara dikotomis, selain dibutuhkan untuk
melaksanakan urusan pemerintahan sehari-hari, birokrasi juga seringkali dianggap
sebagai sistem yang menyebabkan jalannya pemerintahan dan layanan publik
tersendat dan bertele-tele.
Gejala ‘penyakit’ birokrasi seperti tersebut di atas, tampak pula dalam
sistem birokrasi pemerintahan di Indonesia. Berbagai kritik tentang in-efisiensi
dalam sistem birokrasi Indonesia, kuantitasnya yang terlalu besar dan kaku sudah
sering dinyatakan secara terbuka (Thoha, 1987; Dwiyanto, 2002). Sistem
pencaloan yang merajalela, nepotisme serta terjadinya berbagai patologi birokrasi
menyiratkan bahwa reformasi birokrasi pemerintah harus dilakukan.
Reformasi birokrasi pemerintah sangat mendesak untuk dilakukan ketika
dikaitkan dengan berbagai perubahan dalam konteks global, antara lain perubahan
paradigma kekuasaan yang terjadi dengan dinamis selama periode pertengahan
abad 20 hingga awal abad 21. Gelombang demokratisasi yang ditandai dengan
kemerdekaan negara-negara bekas jajahan, peralihan kekuasaan dari rezim
otoritarian, kecenderungan sentralistik dan runtuhnya komunisme membawa
perubahan yang berarti dalam sistem dan relasi kekuasaan menjadi lebih
demokratis dan terdistribusi (desentralisasi).
Pada awalnya, penyelenggaraan pemerintahan secara sentralistik
dipandang akan lebih efektif dan efisien, tapi asumsi ini mengalami perubahan
ketika menghadapi tantangan di masa kini yang menuntut pemerintah untuk
makin responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Akan tetapi, berbagai
penyimpangan yang terjadi sebagai dampak dari sentralisasi kekuasaan
menyebabkan legitimasi pemerintah menurun di mata publik. Ketika negara tidak
lagi cukup memiliki kemampuan untuk memaksakan kepatuhan masyarakat dan
makin luasnya keterbukaan akses informasi publik, maka yang terjadi adalah
fenomena kegagalan negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam
jangka panjang, penurunan kapasitas negara ini akan berdampak negatif karena
mengarah delegitimasi pemerintahan, apatisme publik, dan berpotensi
memunculkan anarkhisme. Kegagalan negara c.q. pemerintah dalam memenuhi
6
kebutuhan masyarakat akan menimbulkan keraguan publik terhadap urgensi
kehadiran negara c.q. pemerintah. Kondisi ini bila dibiarkan akan mengarah pada
ketidakpastian dan pelemahan jaminan hukum bagi seluruh lapisan masyarakat.
Reformasi birokrasi pemerintah menjadi bagian dari upaya untuk
memperkuat negara karena melalui reformasi birokrasi, peran dan lingkup
intervensi negara (c.q. pemerintah) didefinisikan ulang untuk menjawab tantangan
zaman. Karena itu, reformasi birokrasi juga tidak sekadar menyederhanakan
struktur birokrasi, tapi mengubah pola pikir (mind set) dan pola budaya (cultural
set) birokrasi untuk berbagi peran dalam tata kelola pemerintahan. Birokrasi
pemerintah merupakan unsur yang sangat vital dalam menentukan arah untuk
mencapai keberhasilan suatu penyelenggaraan negara. Dengan kemajuan
teknologi terutama teknologi informasi dan komunikasi yang demikian pesat serta
persaingan global yang semakin ketat, masyarakat sangat peka terhadap kinerja
birokrasi pemerintahan dan sangat peduli terhadap peningkatan kualitas hidupnya.
Baik atau buruk kinerja birokrasi pemerintah akan sangat menentukan tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahnya.
Disadari bahwa untuk melaksanakan reformasi birokrasi dengan benar
tidaklah mudah dan memerlukan waktu yang panjang serta berkesinambungan.
Untuk itu, diperlukan payung hukum yang lebih kuat. Sehubungan dengan hal
tersebut, telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025. Dalam Bab IV Butir
1.2 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa “pembangunan aparatur negara
dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme
aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat
maupun di daerah agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang-
bidang lainnya.”
Sejauh ini, berbagai upaya yang telah dilakukan dalam melaksanakan
reformasi birokrasi masih belum optimal, salahsatu penyebabnya karena belum
ada rancangan induk (grand design) yang jelas mengenai arah reformasi birokrasi
yang memuat peta jalan (road map) reformasi birokrasi. Rancangan induk
reformasi birokrasi ini diperlukan sebagai landasan bagi penyusunan dokumen-
dokumen berikutnya yang terkait dengan reformasi birokrasi, antara lain Pedoman
Umum Reformasi Birokrasi, Rencana Aksi Reformasi Birokrasi, Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional, Rencana Kerja Kementerian/Lembaga
dan Pemerintah Daerah, serta dokumen lain yang bersifat teknis. Idealnya,
rancangan induk ini yang akan memuat substansi mengenai arah reformasi
birokrasi serta implikasinya terhadap pembaharuan administrasi publik, baik
dalam tataran paradigma maupun praksis. Untuk memahami keterkaitan di antara
reformasi birokrasi dengan pembaharuan administrasi publik, maka berikut ini
diuraikan mengenai perkembangan administrasi publik, implikasinya terhadap
negara dan pemerintahan, serta bagaimana reformasi birokrasi Indonesia
diarahkan untuk mengubah praksis administrasi publik untuk mendukung
penguatan kapasitas negara.
7
merupakan produk dari suatu masyarakat feodal yang tumbuh subur di negara-
negara Eropa. 5 Dasar-dasar pemikiran administrasi publik modern diletakkan oleh
Woodrow Wilson yang dituangkan dalam tulisannya yang diberi judul, “The
Study of Administration” yang diterbitkan pada tahun 1873. Konsep dari Wilson
yang terkenal adalah pemisahan antara politik dan adminstrasi publik. Sejak itu,
administrasi publik, baik sebagai bidang studi maupun sebagai profesi terus
berkembang.
Perkembangan administrasi publik baru tidak dapat dilepaskan dari
perkembangan berbagai paradigma 6 dalam ilmu administrasi publik. Dalam ilmu
administrasi publik terdapat beberapa paradigma antara lain sebagaimana
diungkapkan melalui metode pendekatan matriks loccus dan focus (2 x 2 matrix)
dari Golembiewski (1977) yang menghasilkan empat fase dalam perkembangan
ilmu administrasi publik. 7 Fase-fase tersebut adalah (1) fase perbedaan analitik
politik dari administrasi; (2) fase perbedaan konkret politik dari administrasi; (3)
fase manajemen; dan (4) fase orientasi terhadap kebijakan publik. Golembiewski
juga mengetengahkan adanya tiga paradigma komprehensif dalam perkembangan
pemikiran-pemikiran ilmu administrasi publik, yakni: (1) paradigma tradisional;
(2) paradigma sosial psikologi; dan (3) paradigma kemanusiaan
(humanist/systemic). Gelombiewski mengajukan kritik terhadap paradigma-
paradigma tersebut yang banyak kelemahannya dan meramalkan tumbuhnya
gejala anti paradigma. Ia mengetengahkan bahwa yang akan muncul adalah
paradigma-paradigma kecil (mini paradigm).
Nicholas Henry (1995) menggunakan pendekatan lain. Menurutnya,
terdapat 5 (lima) paradigma ilmu administrasi publik, yakni: 8
1. Paradigma dikotomi politik dan administrasi publik (1900-1926).
Fokusnya terbatas pada masalah-masalah organisasi dan penyusunan anggaran
dalam birokrasi pemerintahan, politik dan kebijakan merupakan substansi
ilmu politik. Dalam paradigma ini para administrator dianggap tidak perlu
campur tangan dalam kegiatan dan proses politik yang berlangsung di suatu
negara, dan secara spesifik tugas para administrator tersebut adalah sebagai
pelaksana keputusan-keputusan politik yang dibuat oleh para politisi, dengan
ini administrasi publik dipandang sebagai alat pemerintah. Dalam paradigma
ini, kata publik dalam administrasi publik memiliki pengertian dengan
birokrasi pemerintahan atau segala sesuatu yang berhubungan dengan
pemerintahan dan negara. Dengan demikian, administrasi publik dapat
dipandang sebagai cara menjalankan birokrasi pemerintahan agar dapat
bekerja sebagai mana mestinya.
2. Paradigma Prinsip-prinsip Administrasi (1927-1937).
5
Miftah Thoha, Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2005, hal. 18
6
Paradigma dapat diartikan sebagai perspektif yang dimiliki oleh komunitas keilmuan, yang
terbentuk dari keinginan dan komitmen (konseptual, teoritis, metodologis, instrumental). Sebuah
paradigma menuntun scientific community untuk melakukan seleksi terhadap sebuah masalah,
evaluasi data, dan menganjurkan teori. Lihat lebih lanjut dalam Ronald H. Chilcote. 1998.
Theories of Comparative Politics: The Search for a Paradigm, Colorado: Westview Press.
7
Dalam Ginandjar Kartasasmita. “Perkembangan Pemikiran mengenai Administrasi
Pembangunan”, download dari www.ginandjar.com
8
Thoha, op.cit., hal. 25-44
8
Paradigma ini muncul sebagai akibat dari interaksi yang intensif antara para
administrator dengan pihak politisi dan pihak swasta. Akibat dari interaksi ini,
administrator dan ilmu administrasi diterima secara luas, baik di kalangan
industri maupun pemerintah. Ciri paradigma ini adalah diserapnya prinsip-
prinsip manajemen secara luas untuk diterapkan pada ruang lingkup
administrasi. Dalam periode ini juga muncul asumsi yang dikemukakan oleh
W. F. Willoughby bahwa prinsip-prinsip administrasi bisa dibuktikan dan
dipelajari. Dalam paradigma ini fokus dari ilmu administrasi dianggap lebih
penting daripada lokusnya. Hal ini berakibat pada pengertian kata publik yang
menjadi sangat luas yang hanya dibatasi oleh fokus ilmu administrasi, yaitu
prinsip-prinsip manajemen seperti planning, organizing, actuating, dan
controlling. Hal ini berkonsekuensi pada masuknya administrasi publik pada
ranah kajian yang belum pernah dimasukinya.
Lokusnya kurang dipentingkan. Fokusnya adalah “prinsip-prinsip” manajerial
yang dipandang berlaku universal pada setiap bentuk organisasi dan
lingkungan budaya.
3. Paradigma administrasi negara sebagai ilmu politik (1950-1970).
Paradigma yang seringkali dianggap sebagai suatu kemunduran dari ilmu
administrasi publik ini berusaha untuk menetapkan kembali hubungan
konseptual antara administrasi publik dengan ilmu politik. Dalam paradigma
ini, lokus ilmu administrasi publik berusaha untuk di redefinisikan, yaitu pada
birokrasi pemerintahan. Hal ini berakibat pada kurang diperhatikannya fokus
dari ilmu administrasi publik, yang pada akhirnya berujung pada masalah
“sibuk mendefinisikan” fokusnya. Dalam paradigma ini jelas bahwa
pengertian dari kata publik yang diinginkan adalah yang berkenaan dengan
birokrasi pemerintahan, sehingga ruang lingkup administrasi publik bisa
dikatakan kembali menyempit ke seputar proses manajerial birokrasi
pemerintahan.
Administrasi negara kembali menjadi bagian dari ilmu politik. Pelaksanaan
prinsip-prinsip administrasi sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor
lingkungan, jadi tidak “value free” (bebas nilai).
4. Paradigma administrasi negara sebagai ilmu administrasi (1956-1970).
Administrasi tetap menggunakan prinsip administrasi yang dipengaruhi
berbagai faktor, oleh karena itu dalam paradigma ini mengembangkan adanya
pemahaman sosial psikologi, dan analisis sistem untuk melengkapi. Dalam
paradigma ini Ilmu Administrasi menyajikan fokus dan bukannya lokus.
Dalam paradigma ini nampaknya mulai tumbuh kesadaran untuk mengadopsi
disiplin ilmu lainnya untuk menyempurnakan studi ilmu administrasi publik.
Dalam paradigma ini muncul kerancuan dalam memahami arti kata publik,
sehingga secara garis besar bisa dibuat kesimpulan bahwa kata publik di sini
berarti segala sesuatu yang mempengaruhi kepentingan umum atau
masyarakat. Hal ini berkonsekuensi pada meluasnya ruang lingkup dari
administrasi publik yang tadinya hanya berhubungan dengan birokrasi
pemerintahan menjadi menangani semua yang berkaitan dengan kepentingan
masyarakat luas. Paradigma inilah yang masih dianut oleh kebanyakan
akademisi Ilmu Administrasi Publik. Walaupun memiliki kekurangan yang
sangat signifikan, berupa ketidakmampuan mendefiniskan arti kata publik
9
secara tegas, sehingga menimbulkan perdebatan panjang yang belum juga
tuntas tentang arti kata publik di sini.
5. Paradigma administrasi publik sebagai administrasi publik (1970).
Pada paradigma ini, lokus administrasi publik bukan semata-mata pada ilmu
murni administrasi, melainkan pada teori organisasi, yakni pada bagimana dan
mengapa organisasi-organisasi itu bekerja, bagaimana dan mengapa orang-
orang berperilaku dalam organisasi, serta bagaimana dan mengapa keputusan-
keputusan itu diambil. Selain itu, pertimbangan-pertimbangan untuk
menggunakan teknik-teknik ilmu manajemen ke dalam lingkungan
pemerintahan menjadi perhatian pula dalam fase paradigma ini. Administrasi
publik semakin bertambah perhatiannya terhadap wilayah ilmu kebijakan
(policy science), politik ekonomi, proses pembuatan kebijakan pemerintah,
dan analisisnya (public policy making process), dan cara-cara pengukuran dari
hasil-hasil kebijakan yang telah dibuat. Aspek-aspek perhatian ini dapat
dianggap dalam banyak hal sebagai mata rantai yang menghubungkan antara
fokus administrasi publik dengan lokusnya. Sebagaimana yang terlihat dalam
trend yang diikuti oleh paradigma ini, maka fokus administrasi publik adalah
teori organisasi, praktik dalam analisis kebijakan, dan teknik-teknik
administrasi dan manajemen yang sudah maju. Adapun lokus normatif dari
administrasi publik digambarkan oleh paradigma ini ialah pada birokrasi
pemerintahan dan pada persoalan-persoalan masyarakat (public affairs).
Walaupun public affairs masih dalam proses mencari bentuknya, tetapi
melihat perkembangannya bidang ini menduduki tempat utama dalam menarik
perhatian administrasi publik.
Pemikiran dalam administrasi yang berkembang selanjutnya sangat
dipengaruhi oleh paham-paham demokrasi, seperti administrasi yang partisipatif,
yang menempatkan administrasi di tengah-tengah masyarakatnya dan tidak di atas
atau terisolasi darinya (Montgomery, 1988). Pemikiran ini selain ingin
menempatkan administrasi sebagai instrumen demokrasi, juga mencoba
menggunakan administrasi sebagai alat untuk menyalurkan aspirasi masyarakat
bawah. Implikasi lain dari pemikiran tersebut adalah bahwa sistem administrasi
memiliki dimensi ruang dan daerah yang penyelenggaraannya juga dipengaruhi
oleh sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi. Kesemua itu menuntut reorientasi
peranan administrasi publik.
Perkembangan tersebut melahirkan dorongan untuk meningkatkan
desentralisasi dan makin mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, yang
menandai bergulirnya gerakan administrasi publik baru (new public
administration). Pada dasarnya administrasi publik baru itu ingin
mengetengahkan bahwa administrasi tidak boleh bebas nilai dan harus
menghayati, memperhatikan, serta mengatasi masalah-masalah sosial yang
mencerminkan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Frederickson
(1971) menegaskan bahwa administrasi publik harus memasukkan aspek
pemerataan dan keadilan sosial (social equity) ke dalam konsep administrasi,
sehingga administrasi publik tidak dapat netral. Dengan begitu administrasi publik
baru mengubah pola pikir yang selama ini menghambat terciptanya keadilan
sosial. Kehadiran gagasan-gagasan baru itu menggambarkan lahirnya paradigma
baru dalam ilmu administrasi.
10
Drucker (1989) menegaskan bahwa apa yang dapat dilakukan lebih baik
atau sama baiknya oleh masyarakat, hendaknya jangan dilakukan oleh pemerintah.
Itu tidak berarti bahwa pemerintah harus besar atau kecil, tetapi pekerjaannya
harus efisien dan efektif. Seperti juga dikemukakan oleh Wilson (1989), birokrasi
tetap diperlukan tetapi harus tidak birokratis. Osborne dan Gaebler (1993)
mencoba “menemukan kembali pemerintah", dengan mengetengahkan konsep
entrepreneurial government. Memasuki dasawarsa 1980-an tampil manajemen
publik (public management) sebagai bidang studi yang makin penting dalam
administrasi negara. Manajemen publik yang di masa lalu lebih banyak memberi
perhatian pada masalah anggaran dan personil telah berkembang bersama
teknologi informasi. Manajemen publik kini juga mencakup manajemen dalam
sistem pengambilan keputusan, sistem perencanaan, sistem pengendalian dan
pengawasan, serta berbagai aspek lainnya.
Bersamaan dengan menguatnya pengaruh managerialism dalam
administrasi publik di Inggris dan beberapa negara lainnya, dan kemudian juga di
Amerika Serikat muncul pemikiran baru dengan konsep “New Public
Management” (NPM); pemikiran ini digagas oleh Patrick Dunleavy (1991)
beserta rekan-rekannya. Konsep ini memfokuskan pada pemisahan birokrasi pada
unit yang lebih kecil, kompetisi antara pemerintah dan swasta dalam penyediaan
jasa publik, dan perubahan motivasi dari sekedar pelayan publik menjadi motif
ekonomi, dengan memberikan insentif pada pelayanan publik seperti yang
diberikan dalam usaha swasta. NPM menekankan performance sebagai kriteria
utama, dengan menerapkan teknologi manajemen yang digunakan di lingkungan
swasta ke lingkungan publik. Dan yang cukup mendasar pula adalah didorongnya
swasta melakukan kegiatan yang sebelumnya merupakan wilayah kerja birokrasi
dalam pemerintah. Konsekuensi dari penerapan konsep tersebut adalah perlunya
reformasi birokrasi secara kelembagaan.
Tabel 1
Perbandingan Administrasi Pembangunan dan Administrasi Negara
No. Administrasi Pembangunan Administrasi Negara
1. Memberikan perhatian terhadap lingkungan Terkait pada lingkungan masyarakat
masyarakat yang berbeda-beda, terutama negara yang sudah maju
11
masyarakat negara yang baru berkembang
2. Berperan aktif dan berkepentingan terhadap Tidak jelas peranannya, bahkan ada yang
tujuan-tujuan pembangunan, baik dalam beranggapan netral terhadap tujuan-tujuan
perumusan maupun dalam pelaksanaan pembangunan.
kebijakan
3. Berorientasi pada usaha-usaha yang Lebih menekankan pada pelaksanaan yang
mendorong perubahan-perubahan ke arah lebih tertib/efisien dari unit-unit kegiatan
yang dianggap lebih baik untuk suatu pemerintah pada waktu kini
masyarakat di masa depan
4. Berorientasi masa depan Berorientasi masa kini
5. Berfokus pada pelaksanaan tugas-tugas Menekankan pada tugas-tugas umum
pembangunan (rutin)
6. Administrator berperan sebagai penggerak Administrator berperan hanya sebagai
perubahan pelaksana
7. Lebih berpendekatan pada lingkungan, Lebih berpendekatan legalistis
berorientasi pada kegiatan, dan bersifat
pemecahan masalah
Sumber: Tjokroamidjojo, 1978: 9 – 10.
9
Gerald E. Caiden. Public Administration, 2nd Ed. California: Palisades Publishers, 1982, hal. 6.
10
Thoha, op.cit., hal. 17.
12
Perubahan ruang lingkup kajian administrasi publik inilah yang perlu
segera disikapi oleh para akademisi dan praktisi administrasi publik. Kedua pihak
ini saling terkait karena dalam kajian akademik tidak mungkin dilepaskan dari
kebutuhan praktik dalam kehidupan nyata sehari-hari. Dinamika perkembangan
suatu ilmu akan sangat ditentukan dari kemampuannya untuk menjawab berbagai
persoalan dalam kehidupan nyata, karena itu, dialog antara akademisi dan praktisi
diperlukan untuk menjembatani perkembangan kajian administrasi publik agar
dapat diimplementasikan sebagai upaya pemecahan masalah (problem solver)
bagi isu-isu administrasi publik yang berkembang dewasa ini, khususnya di
Indonesia.
Perubahan sosial yang fundamental menyebabkan lahirnya tuntutan dan
tekanan baru. Kebutuhan akan demokratisasi pemerintahan dan administrasi,
menyebabkan beban aparatur pemerintah bertambah besar, dan mau tidak mau
adaptabilitas menjadi sangat penting dan menjadi kebutuhan. Semua perubahan
dan transformasi ini menyebabkan timbulnya pertentangan antara nilai lama dan
baru, antara nilai yang tradisional dan yang modern. Tekanan dan pertentangan ini
tidak hanya terbatas pada tubuh birokrasi, melainkan juga di kalangan masyarakat.
Sejak tahun 1980-an, suatu gerakan reformasi global telah dimulai.
Gerakan ini didorong oleh 4 (empat) variabel besar, yakni11:
1. Politik: keunggulan demokrasi dan kekuatan publik serta keunggulan sistem
pasar menimbulkan tekanan politik di berbagai negara di dunia untuk
melakukan transformasi peran pemerintah untuk mengurangi peran dan
fungsinya. Langkah ini kemudian diikuti dengan tuntutan untuk mengakui dan
meningkatkan peran civil society dan membangun kepercayaan publik kepada
lembaga-lembaga pemerintah.
2. Sosial: beberapa negara di dunia telah mengalami perubahan sosial yang
mendasar, yaitu melakukan rekonstruksi ulang terhadap tatanan hukum,
ekonomi, sosial, dan politik ditandai pula oleh adanya perubahan mendasar
dari masyarakat industri kepada masyarakat informasi. Perubahan ini
menuntut juga perubahan pada pemerintahan di seluruh negara di dunia.
3. Ekonomi: krisis ekonomi pada tahun 1990-an di berbagai negara di dunia
melakukan reformasi di bidang perpajakan untuk menarik investor masuk, dan
juga melakukan langkah-langkah privatisasi sebagai respon terhadap tekanan
ekonomi.
4. Institusional: semua negara di dunia telah menjadi bagian dari sistem ekonomi
dan politik global. Kondisi ini ditandai dengan semakin berkembangnya
kelembagaan di luar negara, seperti World Bank, IMF, WTO, ADB yang
mengatur globalisasi dunia. Di tingkat nasional dan lokal juga semakin banyak
LSM.
Keempat tekanan di atas telah mendorong gerakan reformasi administrasi
publik dengan 6 (enam) sifat pokok, yakni: (1) produktivitas, dalam arti
bagaimana pemerintah dapat menghasilkan pelayanan lebih banyak dengan pajak
lebih kecil; (2) pemasaran, mengatur bagaimana pemerintah dapat menggunakan
insentif gaya pemasaran untuk mencabut kelambanan perkembangan parologi
birokrasi. Beberapa pemerintah, misalnya, melakukan privatisasi; (3) orientasi
pada pelayanan, yakni bagaimana pemerintah membangun kepercayaan warga
11
Drajat Tri Kartono. “Reformasi Administrasi: Dari Reinventing ke Pesimisme”. Dalam Jurnal
Spirit Publik, Volume 2, No. 1, April 2006, hal. 51-62
13
negara dengan memberikan pelayanan yang didesain dari kebutuhan warga
negara; (4) desentralisasi, yakni bagaimana pemerintah membuat program lebih
responsif dan efektif dengan mengurangi sebanyak mungkin jarak antara
pemerintah dengan warga negara dan mendesentralisasikan sebanyak mungkin
tanggung jawab kepada pemerintah daerah dan manajer lini pelayanan; (5)
kebijakan; menyangkut peningkatan kapasitas pemerintah dalam
mendayagunakan kebijakan; serta (6) akuntabilitas, untuk mendorong pemerintah
agar lebih mementingkan output dan outcome daripada proses atau struktur dan
merubah pendekatan top-down menjadi bottom-up dan ruled-based menjadi
result-based.
Keenam sifat pokok ini tercermin dari isu-isu atau permasalahan penting
yang sering dibahas dalam reformasi administrasi publik antara lain:
1. Pelayanan publik
Administrasi publik sebagai proses administration for public, pada hakekatnya
adalah memberi pelayanan publik. Hal ini sejalan dengan demokrasi yang
mana masyarakat mempunyai hak yang sama untuk menerima pelayanan dari
pemerintah. Dalam masalah ini yang terpenting adalah bagaimana
pemerintah/negara memberikan pelayanan yang baik, cepat dan berkualitas
kepada seluruh warga masyarakat.
2. Motivasi Pelayanan Publik
Dalam masalah ini isu terpenting adalah membahas motivasi seperti apa yang
dimiliki oleh administrator dalam memberikan pelayanan publik. Ada yang
berdasarkan norma, rasional dan perasaan.
3. Maladministrasi
Maladministrasi merupakan kesalahan dalam praktik administrasi.
Pembahasan teori administrasi publik juga akan membahas masalah
kesalahan-kesalahan tersebut sebagai kajian utama, seperti lambannya
birokrasi, rutinitas dan formalitas pelayanan.
4. Etika Administrasi Publik
Masalah penting lainnya dalam administrasi publik adalah etika administrasi.
Dalam hal ini yang menjadi sorotan adalah nilai baik dan buruk. Apakah
pelayanan atau prosedur administrasi publik dinilai baik atau buruk oleh
masyarakat. Dalam hal ini termasuk korupsi menjadi bahasan utama.
5. Kinerja dan Efektivitas
Seringkali masalah kinerja dan efektivitas menjadi isu sentral dari administrasi
publik. Hal tersebut dipahami karena administrasi sebagai proses mencapai
tujuan, maka persoalan pencapaian dan dan cara mencapai tersebut menjadi
penting. Oleh karena itu bagaimana cara kerja (kinerja) yang dijalankan
apakah sudah baik sehingga tujuan dapat tercapai (efektif).
6. Akuntabilitas Publik
Administrasi publik yang dijalankan oleh pemerintah harus bisa
dipertanggungjawabkan kepada seluruh warga. Ada kewajiban untuk
melakukan pekerjaan yang dapat dikontrol, diawasi dan
dipertanggungjawabkan kepada warga/publik. Hal tersebut merupakan
masalah pokoknya.
Dengan latar belakang dan kondisi demikian, maka kebutuhan akan
perubahan dan adaptasi aparatur pemerintah sangatlah mendesak, walaupun
masalah yang mengitarinya terlalu kompleks dan rumit. Sebagai konsekuensi
14
logisnya, maka reformasi administrasi publik di negara sedang berkembang
menjadi keharusan dan menjadi perhatian utama pemerintah negara sedang
berkembang, termasuk pemerintahan daerah di Indonesia. Reformasi administrasi
merupakan bagian yang sangat penting dalam pembangunan di negara
berkembang, terlepas dari tingkat perkembangan, arah, dan tujuannya. Semata
hanya karena kemampuan administratif dipandang semakin penting artinya bagi
terlaksananya kebijakan dan rencana pembangunan.
Penyempurnaan kemampuan administratif, meliputi usaha-usaha untuk
mengatasi masalah lingkungan, perubahan struktural, dan institusi tradisional atau
perubahan tingkah laku individu dan atau kelompok, ataupun kombinasi dari
keduanya. Istilah reformasi administrasi mengandung begitu banyak makna,
mempunyai fungsi yang beragam, sehingga sebenarnya tidak ada definisi yang
dapat diterima secara umum.
Dror 12 mengatakan bahwa reformasi administrasi adalah perubahan yang
terencana terhadap aspek utama administrasi. Sedangkan Caiden 13 mendefinisikan
reformasi administrasi sebagai the artificial inducement of administrative
transformation againts resistance. Artinya, reformasi administrasi merupakan
kegiatan yang dibuat oleh manusia, tidak bersifat insidental, otomatis maupun
alamiah; ia merupakan suatu proses yang beriringan dengan proses reformasi
administrasi. Caiden juga dengan tegas membedakan antara administrative reform
dan administrative change. Perubahan administrasi bermakna sebagai respons
keorganisasian yang sifatnya otomatis terhadap fluktuasi atau perubahan kondisi.
Lebih lanjut dikatakan bahwa munculnya kebutuhan akan reformasi administrasi
sebagai akibat dari adanya perubahan administrasi. Tidak berfungsinya perubahan
administrasi yang alamiah ini menyebabkan diperlukannya reformasi administrasi.
Mosher 14 menyebut bahwa isi reformasi administrasi adalah reorganisasi
administrasi, bahkan dia menyamakan antara keduanya. Reorganisasi administrasi
itu hanya salah satu isi dari reformasi administrasi, yang sering disebut sebagai
aspek institusional (kelembagaan) reformasi administrasi. Aspek lain dari
reformasi administrasi adalah perubahan sikap, perilaku, dan nilai orang-orang
yang terlibat dalam proses reformasi administrasi. Aspek inilah yang sering
disebut sebagi aspek perilaku. Dengan kata lain, isi reformasi administrasi
meliputi aspek institusional atau kelembagaan dan aspek perilaku.
Reformasi administrasi bertujuan juga mengupayakan agar individu,
kelompok dan institusi, dapat mencapai tujuan lebih efektif, ekonomis, dan lebih
cepat. Dengan kata lain, reformasi administrasi publik adalah meningkatkan
performance. Kinerja yang dimaksud merupakan kinerja individu, kelompok, dan
institusi. Ini berarti di samping aspek perilaku, juga aspek kelembagaan yang
tercakup dalam reformasi administrasi. Dror (1971: 23), melihat tujuan reformasi
itu berorientasi jamak dengan mengklasifikasikan tujuan reformasi itu ke dalam
enam kelompok, tiga bersifat intra-administrasi yang ditujukan menyempurnakan
12
Yeremiah Dror. 1971. Strategies for Administrative Reform. The Hague, Netherland:
Development and Change.
13
G.E. Caiden. Prospects for Administrative Reform in Israel. Public Administration, 1968, hal.
69.
14
Dalam Sasli Rais dan Dance Y. Flassy. “Reformasi Administrasi Publik Untuk Membangun
Daya Saing Daerah: Kajian Perspektif Resource Based”. Download dari
http://p2dtk.bappenas.go.id/referensi/Reformasi%20Adm%20Publik%20Membangun%20Daya%2
0Saing%20Daerah,%20Perspektif%20Resource%20Based.pdf
15
administrasi internal, meliputi: (1) efisiensi administrasi, dalam arti hemat biaya,
yang dapat dicapai melalui penyederhanaan formulir, perubahan prosedur,
penghilangan duplikasi, dan kegiatan organisasi metode yang lain; (2)
penghapusan kelemahan administrasi, seperti korupsi, pilih kasih dalam sistem
politik, dll.; (3) pengenalan dan penerapan sistem merit, pemrosesan data melalui
sistem informasi yang otomatis, peningkatan penggunaan pengetahuan ilmiah, dll.
Sedangkan tiga lagi berkenaan dengan peran masyarakat di dalam sistem
administrasi, meliputi: (1) menyesuaikan sistem administrasi terhadap
meningkatnya keluhan masyarakat; (2) mengubah pembagian pekerjaan antara
sistem administrasi dan sistem politik, seperti meningkatkan otonomi profesional
dari sistem administrasi dan meningkatkan pengaruhnya pada suatu
kebijaksanaan; dan (3) mengubah hubungan antara sistem administrasi dan
penduduk, misalnya melalui relokasi pusat-pusat kekuasaan (desentralisasi).
Berdasarkan konsep-konsep tersebut, reformasi administrasi adalah suatu
usaha sadar dan terencana untuk mengubah struktur dan prosedur birokrasi (aspek
reorganisasi atau institusional); dan sikap dan perilaku birokrat (aspek perilaku),
guna meningkatkan efektivitas organisasi atau terciptanya administrasi yang sehat
dan menjamin tercapainya tujuan pembangunan nasional. Reformasi administrasi
menurut Dror (1971: 19), secara tegas mengesampingkan perubahan organisasi
dan prosedur administrasi yang minor dan berkonsentrasi pada perubahan-
perubahan yang utama atau dasar saja, sehingga reformasi administrasi itu akan
efektif apabila juga didesain dengan tepat, yakni dengan mempertimbangkan dan
melibatkan lingkungan di mana reformasi itu dilaksanakan. Reformasi
administrasi dipandang sebagai bagian dari reformasi masyarakat, sebab birokrasi
dan organisasi pemerintah merupakan bagian dari dan berkaitan erat dengan
sistem politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya.
Dengan demikian, reformasi administrasi mencakup perubahan yang
menyusup ke seluruh jaringan birokrasi sebab birokrasi daerah dianggap sebagai
satu kesatuan, sehingga reformasi administrasi publik perlu diimbangi dengan
pembenahan pada struktur dan kultur birokrasi sebagai orang-orang yang nantinya
akan menjalankan reformasi administrasi publik.
16
menjadi organisasi modern yang bekerja profesional untuk mencapai tujuan
bersama, justru menjadi organisasi yang menghambat pencapaian tujuan bersama.
Mentalitas pasif dan budaya menunggu sebagai hirarki yang sudah melekat
lama dan hidup menjadi sebuah tatanan yang tak terhindarkan dan selalu terulang
di lingkungan birokrasi Indonesia, kemuadian menjadi melembaga dan
berlangsung secara kolektif. Korelasi budaya ini seolah menjadi justifikasi ketika
birokrasi terpusat (sentralistik) menjadi salahsatu kesalahan sistem birokratisasi
oleh pemerintah, sentralistik birokrasi dijadikan sebuah alasan pembenar pada saat
terjadinya mismekanisme atau unsystem beuracratic.
David Osborne dan Peter Plastrik mengungkapkan bahwa sistem birokrasi
menggunakan spesifikasi yang rinci, unit-unit fungsional, aturan prosedur, dan
uraian pekerjaan untuk membentuk hal-hal yang harus dikerjakan pegawai.
Spesifikasi itu membuat inisiatif menjadi beresiko. Apabila pegawai terbiasa
dengan kondisi seperti ini, akibatnya mereka menjadi pembawa budaya itu.
Mereka menjadi reaktif, menggantungkan diri, takut mengambil inisiatif sendiri,
dengan cara demikian, DNA birokrasi menciptakan budaya takut, menyalahkan
dan sikap defensif (Peter, 1986: 32).
Permasalahan yang dihadapi birokrasi sesungguhnya sangat kompleks.
Kondisi ini tidak hanya dialami di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain.
Amerika Serikat sekalipun pernah mengalami politisasi birokrasi, sehingga alih-
alih menjadi organisasi yang netral dan profesional, birokrasi ketika itu justru
menjadi mesin politik yang sangat berpengaruh. Hal ini hampir sama dengan yang
terjadi di Indonesia pascareformasi. Setelah sekian lama menjadi alat politik
penguasa, diperlukan penataan ulang kerangka berpikir (mindset) di kalangan
aparat birokrasi untuk mengarahkan pembaharuan birokrasi ke arah yang lebih
profesional.
Upaya reformasi birokrasi tidak dapat dilepaskan dari dimensi politik,
administrasi, hukum, dan keuangan negara karena kompleksitas permasalahan
yang dihadapi birokrasi Indonesia pun saling berkaitan dengan dimensi-dimensi
tersebut. Setelah reformasi sampai kini problematika birokrasi masih dihadapkan
oleh persoalan membangun dan merancang model dan arah pembenahan birokrasi
Indonesia, birokratisasi sepenuhnya belum terlepas dari suatu korelatif politik dan
kekuasaan, kemenangan oleh partai politik dalam proses pemilihan umum justru
masih melestarikan model-model lama birokrasi Indonesia yang juga dilakukan
oleh patron ketua-ketua partai pemenang pemilu.
Birokrasi di negara berkembang, termasuk Indonesia, cenderung
patrimonialistik, yakni bersifat tidak efisien, tidak efektif (over consuming and
under production), tidak obyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan dengan
kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum, tidak lagi menjadi
alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai
penguasa yang sangat otoritatif dan represif (Islamy,1998:8). Akibatnya nyaris
semua organisasi pemerintah dikaburkan antara jabatan karier dan non karier,
antara jabatan birokrasi dan jabatan politik (Thoha, 2002). Hal ini juga berkaitan
dengan kondisi mental, sikap dan perilaku politik yang belum mampu berubah,
maka birokrasi akan selalu mengulang-ulang warisan dan pemerintahan yang
lama.
Liberasi demokrasi menuntut birokrasi pemerintahan untuk menjalankan
kebijakan-kebijakan pemerintah yang mempunyai akses langsung dengan rakyat
17
melalui mandat yang diperoleh dalam pemilihan, sehingga birokrasi pemerintah
bukan hanya didominasi oleh para birokrat saja, melainkan ada bagian-bagian
tertentu yang diduduki oleh pejabat politik (Carino, 1994; Thoha, 2002). Untuk itu
perlu restrukturisasi dan reposisi perubahan kelembagaan birokrasi pemerintah
pusat maupun daerah dengan mengubah mindset para pemimpin partai dan sistem
politik, sehingga terjadinya hubungan paralel sebagai fungsi kontrol dan dominasi
antara pejabat politik dan pejabat birokrasi. Pada posisi demikian yang harus
mampu diartikulasikan oleh pejabat birokrasi yakni profesionalisme dan kekuatan
(kompetensi), untuk mengimbangi kepentingan dan kekuatan pejabat politik
dalam kontekstual sinergisme birokrasi.
Kedudukan birokrasi tidak lagi sebagai subordinat dan mesin pelaksana,
dengan kata lain birokrasi bukan merupakan partisan politik, tetapi memiliki
kemampuan lebih karena keahliannya serta memilki kekuatan untuk membuat
kebijakan yang profesional yang dihormati serta dilaksnakan oleh elemen jajaran
di bawahnya. Kontekstualisasi penyelenggaraan birokrasi pada akhirnya tidak
terlepas dari konteks kepemimpinan dan pengorganisasian, manakala hirarki
birokratisasi tidak dibangun oleh faktor kepemimpinan dan organisasi yang kuat
dan profesional, maka proses pelayanan publik tidak akan mungkin dapat
dilakukan dengan baik dan proporsional, sedangkan tuntutan dalam menjalankan
mekanisme pelayanan juga sangat bergantung kepada sistem yang terbangun dari
kepemimpinan dan pengorganisasian yang mampu dijabarkan dalam tatanan
birokrasi secara faktual dan realistis.
Pada awalnya, penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistis dianggap
lebih dapat mewujudkan efektivitas dan efisiensi dalam upaya mencapai
kesejahteraan. Apalagi, dalam paradigma pembangunan yang menitikberatkan
pada modernisasi dan pertumbuhan ekonomi, peran pemerintah sebagai aktor
utama dan mengarahkan proses pembangunan mensyaratkan sentralisasi dalam
kewenangan agar peran pemerintah tersebut dapat diterapkan dengan efektif.
Namun, kewenangan yang serba terpusat ternyata memunculkan efek negatif yang
menyebabkan praktik kekuasaan menjadi otoriter. Di sisi lain, semakin pesatnya
perubahan sosial menyebabkan kapasitas pemerintah mulai menurun (Mardiasmo,
2002; Fukuyama, 2005). Sentralisasi dalam penyelenggaraan pembangunan
ternyata tidak sepenuhnya mampu mewujudkan pemerataan dan keadilan bagi
mayoritas warga masyarakat untuk mendapat akses yang sama terhadap
pertumbuhan ekonomi yang dicapai. Kesenjangan yang terjadi memunculkan
ketidakpuasan pada berbagai kalangan, terutama kelompok-kelompok masyarakat
yang termarginalkan akibat kebijakan pembangunan yang serba terpusat.
Pada dekade 1980-an, sebagai reaksi terhadap peran negara yang meluas,
baik di negara-negara maju maupun di negara-negara sedang berkembang, kaum
liberal menawarkan alternatif deregulasi, debirokratisasi, dan privatisasi sebagai
bagian dari upaya mereformasi birokrasi. Alternatif tersebut diyakini dapat
menjadi penggerak perubahan ekonomi, karena dengan memangkas intervensi
ekonomi negara ke tingkat yang minimal, maka pasar dapat bergerak lebih leluasa
untuk melakukan berbagai aktivitas ekonomi. Dalam beberapa hal, alternatif
tersebut membawa hasil-hasil yang menggembirakan, seperti pertumbuhan
ekonomi, pengurangan kemiskinan, dan integrasi pasar (Fukuyama, 2005).
Namun, dalam beberapa hal lain, peran negara yang berkurang dalam ekonomi
juga terkait dengan penurunan kapasitas negara untuk melakukan fungsinya
18
memang diperlukan untuk menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi
masyarakatnya. Hal inilah yang kemudian memunculkan fenomena kegagalan
negara (Rotberg, 2004; Chomsky, 2006; Stewart, 2007) 15, yang ditandai dengan
kapasitas negara yang melemah dalam mengelola sumber-sumber daya di wilayah
kekuasaannya, termasuk dalam menyediakan barang-barang publik (public goods)
yang diperlukan oleh warganya. Fenomena tersebut berakibat legitimasi negara
makin melemah di mata warganya. Alih-alih menjadi makin profesional, peran
negara yang berkurang justru menyebabkan negara makin lemah, sehingga
memunculkan pemikiran baru untuk memperkuat negara (Fukuyama, 2005).
Suatu negara yang kuat ditandai oleh kemampuannya menjamin bahwa
hukum dan kebijakan yang dilahirkannya ditaati oleh masyarakat, tanpa harus
menebarkan ancaman, paksaan, dan kecemasan yang berlebihan. Elemen dasar
yang ada pada negara yang kuat adalah otoritas yang efektif dan terlembaga.
Negara yang kuat adalah negara yang mampu menyediakan barang-barang publik
yang diperlukan warganya, sekaligus dapat memberikan jaminan keamanan,
ketertiban, dan kebebasan. Perdebatan yang kemudian muncul terkait dengan
upaya memperkuat negara adalah sejauhmana lingkup peran dan kapasitas negara
yang diperlukan untuk mewujudkan negara yang kuat tersebut.
Baik negara yang kuat maupun yang lemah memiliki cakupan peranan
yang berbeda, dan tidak otomatis berhubungan. Cakupan itu ditentukan dari
seberapa jauh negara tersebut melakukan atau tidak melakukan kegiatan publik
tertentu, seperti pembentukan sistem pertahanan dan peradilan, memungut pajak,
melakukan intervensi dan regulasi ekonomi, membangun infrastruktur, dan
15
Failed state adalah salah satu fenomena negara yang memiliki kapasitas governability rendah.
Biasanya ditandai dengan kapasitas negara yang rendah dalam menyediakan public goods.
Kewajiban negara untuk untuk memenuhi kebutuhan public goods terdelegasikan secara terpisah-
pisah. Negara justru menyerahkan fungsi mereka sebagai penyedia barang-barang publik kepada
kelompok-kelompok tertentu demi kepentingan sepihak. Keamanan hanya tersedia di kota-kota
utama, infrastruktur ekonomi jatuh, sistem perawatan kesehatan mengalami penurunan dan sistem
pendidikan berada dalam ketidakjelasan. Failed states biasanya mempunyai kaum minoritas kaya
raya yang selalu mengambil keuntungan dari failed system yang ada. Ciri-ciri failed state antara
lain: (1) Selalu diwarnai dengan adanya disharmoni antar komunitas; tidak bisa menyediakan
barang politik “keamanan” –yang merupakan barang politik yang paling utama- kepada seluruh
domain mereka. Negara gagal menciptakan atmosfir keamanan di seluruh wilayah nasional. (2)
Negara hanya bisa menjamin keamanan pada ibukota negara saja. (3) Memiliki institusi yang
lemah, hanya institusi eksekutif yang berfungsi sedangkan keberadaan legislatif tidak lebih dari
tukang stempel semata. (4) Tidak ada debat-debat yang demokratis di ranah publik. (5) Lembaga
yudikatif tidak independen dan lebih sekedar kepanjangtanganan eksekutif. Masyrakat pun tidak
mendapatkan keadilan di sistem pengadilan, apalagi bila berhadapan dengan negara. (6) Birokrasi
dalam waktu yang sudah cukup lama kehilangan tanggungjawab profesionalitas mereka. Mereka
hanya mementingkan kepentingan eksekutif semata dan dengan cara yang halus menekan
warganya. (7) Militer masih memungkinkan menjadi satu-satunya institusi yang memiliki
integritas, namun punya kecenderungan terpolitisasi secara kuat (highly politized). Aparat
keamanan cenderung menjadi negara dalam negara (state within a state) (8) Menyediakan
kesempatan ekonomi yang tidak pararel hanya bagi segelitir orang yang punya hak privilege. (9)
Tanggung jawab negara untuk memaksimlisasikan kesejahteraan warganya sama sekali tidak ada.
(10) Korupsi menggurita dengan skala yang sangat luas. (11) Pada beberapa kasus, chaos ekonomi
yang dikombinasikan dengan bencana kemudian menimbulkan adanya bencana kelangkaan
makanan dan keleparan yang meluas. (12) Negara kehilangan legitimasi dasar mereka di saat batas
wilayah mereka menjadi tidak relevan lagi dan sekelompok kekuatan mencoba menggalang
kekuatan. (13) Warga justru semakin menguat loyalitas komunitasnya dan menjadikannya sebagai
sumber keamanan dan kesempatan ekonomi.
19
semacamnya (World Bank, 1997). Ditinjau dari cakupan peranannya, dibedakan
antara negara minimal dan negara intervensionis. Negara minimal adalah negara
yang hanya membatasi cakupan kegiatannya pada hal-hal yang bersifat elementer,
seperti pembentukan sistem pertahanan dan peradilan, penyediaan sarana
infrastruktur dan pencetakan mata uang. Sebaliknya, negara yang intervensionis
ditandai oleh cakupan kegiatan yang ekspansif dan ambisius, seperti pemilikan
unit-unit bisnis, penguasaan dan pengelolaan langsung sumber-sumber ekonomi,
penjaminan asuransi sosial, penciptaan regulasi yang berlebihan atas segala
kegiatan masyarakat, dan sebagainya.
Cakupan peran negara yang luas tidak secara otomatis menyebabkan suatu
negara menjadi kuat. Negara yang kuat ditandai oleh kapasitasnya untuk
menggunakan kewenangan yang dimilikinya dalam mengelola sumber daya dan
menyediakan barang-barang publik. Legitimasi bagi negara yang kuat diperoleh
melalui profesionalisme kinerjanya di mata publik. Karena itu, upaya untuk
mewujudkan negara yang kuat yang mampu memberikan kinerja yang berkualitas,
memerlukan birokrasi yang profesional pula.
Reformasi birokrasi merupakan perubahan (transformasi) yang terencana,
yang berfokus pada perubahan kelembagaan yang berdampak pada perubahan
ketatalaksanaan dan kultur birokrasi. Lingkup birokrasi yang dimaksud adalah
institusi pelaksana fungsi pemerintahan di bidang eksekutif, baik di level nasional
maupun daerah. Reformasi birokrasi di Indonesia dimaknai sebagai media untuk
melakukan pendefinisian ulang peran pemerintah. Peran pemerintah yang ingin
dicapai melalui reformasi birokrasi adalah peran pemerintah yang moderat, dalam
arti bukan minimal state yang lingkup fungsinya terbatas dan menyerahkan pada
mekanisme pasar dalam penyediaan barang-barang publik (public goods) dan
pelayanan publik; serta bukan pula intervensionist state dengan peran pemerintah
yang sangat luas dalam hampir seluruh bidang kehidupan. Peran pemerintah yang
moderat adalah terwujudnya pemerintahan yang mampu:
1. Menjamin ketersediaan pelayanan dasar secara berkualitas dan dapat
diakses oleh seluruh lapisan masyarakat;
2. Memberikan perlindungan dari ancaman dan gangguan internal maupun
eksternal;
3. Menjamin keadilan dalam dinamika ekonomi dan persaingan usaha;
4. Menjamin keberlanjutan peningkatan taraf hidup masyarakat dengan
memperhatikan aspek-aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.
Keempat peran tersebut merupakan pemaknaan kembali terhadap tujuan
negara sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945, yang disesuaikan
dengan konteks perkembangan zaman. Untuk melaksanakan peran tersebut, maka
reformasi birokrasi menjadi bagian dari upaya untuk meningkatkan kapasitas
pemerintah sehingga negara c.q. pemerintah memiliki otoritas yang efektif dan
terlembaga dalam:
1. Merumuskan dan melaksanakan berbagai kebijakan untuk menjabarkan
peran tersebut;
2. Menyelenggarakan administrasi publik secara efisien dengan ukuran
birokrasi yang proporsional;
3. Mengontrol potensi penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan;
4. Memelihara tingkat transparansi dan pertanggungjawaban yang tinggi di
lembaga-lembaga pemerintah; serta
20
5. Menegakan hukum dengan adil dan tanpa diskriminasi.
Dengan demikian, reformasi birokrasi menjadi strategi untuk mewujudkan
profil birokrasi yang memiliki kapasitas yang kuat untuk melaksanakan peran
tersebut. Reformasi birokrasi difokuskan untuk menghasilkan profil kelembagaan
(organisasi) yang efektif, ketatalaksanaan (business process) yang ringkas, dan
sumber daya manusia yang profesional. Dari sisi kelembagaan (organisasi),
reformasi birokrasi diharapkan menghasilkan kelembagaan (struktur organisasi)
yang ramping dan flat, tidak banyak jenjang hirarkis dan struktur organisasi lebih
dominan diisi pemegang jabatan profesi/fungsional daripada jabatan struktural.
Dari sisi ketatalaksanaan (business process), reformasi birokrasi diharapkan
menghasilkan ketatalaksanaan yang ringkas, simpel, mudah dan akurat melalui
optimalisasi penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, serta memiliki
kantor, sarana dan prasarana kerja yang memadai. Penyempurnaan
ketatalaksanaan diarahkan untuk menghasilkan proses bisnis yang akuntabel dan
transparan, serta mempunyai kinerja yang cepat dan ringkas. Sementara itu, dari
aspek sumber daya manusia, reformasi birokrasi diharapkan akan menghasilkan
sumber daya manusia PNS yang bersih (bebas dari KKN), sesuai dengan
kebutuhan organisasi baik dari segi kuantitas maupun kualitas (profesional,
kompeten, beretika, berkinerja tinggi, dan sejahtera).
Realisasi dari gagasan tersebut dijabarkan dalam program jangka panjang
reformasi birokrasi selama 20 tahun, yang diawali dengan program percepatan
untuk segera memulihkan kembali kepercayaan publik kepada pemerintah. Secara
rinci, strategi reformasi birokrasi untuk memperkuat kapasitas negara tersebut
adalah sebagai berikut 16:
1. Tahapan Pertama (2005-2010)
Periode ini merupakan tahapan persiapan atau pengkondisian. Hal tersebut
penting dilakukan mengingat setiap perubahan perlu dilakukan langkah-
langkah persiapan agar rancangan dan implementasinya sesuai dengan yang
diharapkan.
Periode pertama dilakukan untuk memberikan basis persiapan bagi perubahan
birokrasi selama periode berikutnya. Aktivitas pembenahan yang akan
dilakukan melingkupi: a) pemetaan kondisi eksisting birokrasi Indonesia, di
tingkat nasional maupun daerah, baik dari sisi kelembagaan, ketatalaksanaan,
maupun etika birokrasi; dan b) analisis kebutuhan (need assesment)
pembenahan struktur dan prosedur birokrasi sesuai dengan paradigma
demokrasi dan desentralisasi. Selain itu, dalam periode ini akan disusun
pedoman umum reformasi birokrasi sebagai panduan untuk melakukan
pembenahan struktur, kinerja, dan kultur birokrasi di tingkat nasional dan
16
Tahapan-tahapan yang diuraikan dalam makalah ini bersumber dari Naskah Akademik
Rancangan Induk Reformasi Birokrasi Indonesia (2005-2025) yang disusun bersama oleh
Universitas Padjadjaran dengan Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara RI. Naskah
ini telah didiskusikan pula dengan para akademisi di 4 (empat) perguruan tinggi, yakni Institut
Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Universitas Airlangga Surabaya, dan
Universitas Hasanuddin Makassar. Saat ini, draft naskah akademik sedang dibahas lebih lanjut di
lingkungan interdepartemen pemerintah nasional agar materinya dapat diakomodasi dalam
dokumen perencanaan, antara lain RPJM Nasional (2009-2014) dan peraturan-peraturan teknis
sebagai penjabaran lebih lanjut dalam melaksanakan reformasi birokrasi di lingkungan instansi
pemerintah nasional dan daerah.
21
daerah. Penyusunan pedoman umum perlu dilakukan guna memetakan
kembali jenjang dan tahapan reformasi birokrasi.
Rincian dari setiap aktivitas dalam periode ini, sebagai berikut:
a. Persiapan terdiri dari program:
1) Pemulihan kepercayaan publik melalui peningkatan kualitas pelayanan
dan pemberantasan korupsi.
2) Penyusunan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum
reformasi kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business
proces), dan sumber daya manusia birokrasi, antara lain: UU
Kementerian Negara, UU Pelayanan Publik, UU Administrasi
Pemerintahan, UU Etika Penyelenggara Negara, UU Kepegawaian
Negara, UU Tata Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Pusat
dan Daerah, UU Sistem Pengawasan Nasional, serta UU Badan
Layanan Umum, sebagai landasan hukum untuk melaksanakan
reformasi birokrasi.
3) Penyusunan Pedoman Umum Reformasi Birokrasi sebagai penjabaran
dari Rancangan Induk Reformasi Birokrasi.
4) Penetapan instansi-instansi yang menjadi pilot project reformasi
birokrasi dengan kriteria: lembaga yang mengelola keuangan (tidak
seluruhnya tetapi yang rawan KKN); lembaga yang menangani
pemeriksaan keuangan dan penertiban aparatur; lembaga/aparat
penegakan hukum; dan lembaga yang menangani pelayanan secara
langsung kepada masyarakat. Pembentukan dan pengoperasian Kantor
Pelayanan Terpadu atau One Stop Service (OSS).
5) Optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk
menunjang pelayanan publik berdasarkan on line system (e-
government, e-office, e-procurement: e-bidding, e-auction, e-
tendering, e-selection, e-purchasing, dan e-catalog).
6) Pembentukan Tim Kerja Reformasi Birokrasi dan Tim Teknis
Reformasi Birokrasi di tingkat nasional serta Tim Kerja Reformasi
Birokrasi pada kementerian/lembaga/pemerintah daerah, dengan
didampingi Tim Pakar/Konsultan.
7) Pembentukan Tim Independen untuk memantau dan mengevaluasi
pelaksanaan reformasi birokrasi.
8) Penerapan sistem akuntansi standar bagi lembaga pemerintah
(Standard Accounting System for Governmental Agencies).
9) Evaluasi kinerja (performance review) melalui audit kinerja dan audit
anggaran.
10) Penerapan sistem pengawasan terhadap harta kekayaan pejabat publik.
b. Penerapan road map reformasi birokrasi, terdiri dari kegiatan:
1) Sosialisasi kebijakan, visi, misi, dan orientasi baru birokrasi secara
internal di kalangan instansi pemerintah, pusat maupun daerah.
2) Sosialisasi dan membangun komitmen bersama seluruh stakeholders.
3) Penyiapan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia aparatur
dengan komposisi usia, tingkat pendidikan, serta kompetensi struktural
dan fungsional yang diperlukan.
22
4) Pengembangan data based kepegawaian yang terintegrasi dan
tekomputerisasi, sehingga tersedia data sumber daya manusia aparat
birokrasi yang aktual dan valid.
5) Pelatihan mind setting dan pengembangan budaya organisasi
profesional.
2. Tahapan Kedua (2011-2015)
Periode kedua ini merupakan masa untuk mengimplementasikan semua
peraturan perundang-undangan reformasi birokrasi. Rincian dari setiap
aktivitas dalam periode ini sebagai berikut:
a. Pembenahan Kelembagaan (Organisasi), dilakukan melalui:
1) Penerapan skema desentralisasi kewenangan dalam rangka penataan
struktur dan tata kerja birokrasi.
2) Redefinisi peran dan lingkup kewenangan birokrasi pemerintah untuk
menyesuaikan ruang lingkup dan bentuk-bentuk intervensi pemerintah
dengan kapasitas yang dimiliki, baik dari sisi kelembagaan, sumber
daya manusia, maupun pendanaan.
3) Reorganisasi struktur birokrasi di nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota.
b. Pembenahan Ketatalaksanaan (Business Process), dilakukan melalui:
1) Deregulasi dan penyederhanaan prosedur administratif.
2) Pengembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam
administrasi pemerintahan dan pelayanan publik.
3) Pengembangan indikator pengukuran kinerja melalui penerapan
standarisasi kinerja yang terintegrasi dengan sistem remunerasi dan
promosi jabatan.
4) Penerapan standar operasional prosedur dan standar pelayanan.
c. Pembenahan Sumber Daya Manusia Birokrasi, dilakukan melalui:
1) Pengembangan konsep birokrasi yang netral untuk meminimalkan
politisasi birokrasi.
2) Pembentukan assesment centre sebagai institusi yang berwenang
menentukan kebutuhan pendidikan dan pelatihan bagi pegawai,
menguji tingkat kompetensi pegawai sebelum memangku suatu
jabatan, merekomendasikan kelayakan pegawai untuk mengikuti suatu
pendidikan dan pelatihan, dan/atau menduduki suatu jabatan.
3) Pengembangan mekanisme penunjang (reward and punishment), untuk
memperkenalkan budaya organisasi baru dalam tubuh birokrasi.
4) Pengembangan sistem rekrutmen sumber daya manusia birokrasi
berbasis merit system dan kompetensi sesuai dengan tuntutan
persyaratan jabatan.
5) Pelembagaan sistem uji kelayakan (fit and proper test) sebagai syarat
utama bagi penempatan para calon pejabat publik, yang dilakukan oleh
tim independen dan bertanggung jawab serta bebas korupsi, kolusi,
dan nepotisme.
6) Pengembangan insentif dan disinsentif untuk meningkatkan motivasi
kerja pegawai dalam jabatan fungsional.
7) Pengembangan sistem karir yang menunjang kreativitas dan inovasi
sumber daya manusia birokrasi, antara lain melalui standar
23
kompetensi, kebijakan minus growth, perencanaan dan pengembangan
karir, serta pengembangan jabatan fungsional.
8) Pengembangan sistem remunerasi yang sesuai dengan beban kerja dan
prestasi sumber daya manusia birokrasi.
9) Mengoptimalkan kewenangan lembaga pengawasan untuk menerapkan
mekanisme reward and punishment.
10) Mendorong fungsi pengawasan oleh masyarakat terhadap para pejabat
publik dan sumber daya manusia birokrasi, dengan membuka akses
informasi terhadap penyelenggaraan administrasi pemerintahan.
3. Tahapan Ketiga (2016-2020)
Periode ini merupakan pemantapan pembenahan kelembagaan (organisasi),
ketatalaksanaan (business process), dan sumber daya manusia yang telah
dilakukan pada tahapan sebelumnya. Tahapan ini berorientasi pada
pemberdayaan masyarakat agar mampu berperan sebagai mitra pemerintah
dalam penyediaan barang-barang publik (public goods). Pemberdayaan
masyarakat diimplementasikan melalui pengembangan kemitraan antara
pemerintah dengan pelaku usaha dan masyarakat (public-private partnership).
Rincian dari setiap aktivitas dalam periode ini terdiri dari:
a. Pembenahan kelembagaan (organisasi), dilakukan melalui:
1) Meninjau ulang fungsi utama lembaga-lembaga pemerintah dan
mengarahkan agar terfokus pada tugas pokok dan fungsi (core
business) dari lembaga yang bersangkutan.
2) Penerapan kebijakan dan mekanisme outsourcing untuk mendorong
kompetensi dan peningkatan kinerja di kalangan aparat birokrasi.
3) Perluasan peluang kemitraan (public-private partnersip) yang
dilandasi oleh regulasi yang komprehensif.
b. Pembenahan ketatalaksanaan (business process), dilakukan melalui:
1) Pengembangan skema dan mekanisme pelayanan berbasis kemitraan
untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik.
2) Pengembangan digital government.
c. Pembenahan sumber daya manusia, dilakukan melalui pelembagaan etika
pemerintahan sebagai aturan main dalam perilaku dan kinerja birokrasi
yang profesional.
4. Tahapan Keempat (2021-2025)
Tahapan ini berfokus pada upaya pengembangan (development) kelembagaan
(organisasi), ketatalaksanaan (business process), dan sumber daya manusia
yang telah dilakukan pada periode-periode sebelumnya. Tahap pengembangan
menjadi penting untuk menjamin keberlanjutan dari upaya reformasi birokrasi,
sehingga tidak lagi tergantung pada figur pemimpin politik tapi sudah menjadi
suatu sistem. Melalui tahap pengembangan ini, upaya reformasi birokrasi
diharapkan menjadi suatu siklus yang bersifat spiral, artinya pembaharuan dan
penataan kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business process), dan
sumber daya manusia birokrasi akan terus-menerus dilakukan sebagai bagian
dari pengembangan organisasi pemerintahan.
Tahapan keempat dari reformasi birokrasi diisi oleh kegiatan-kegiatan yang
menjamin kesinambungan reformasi birokrasi sesuai dengan tuntutan
perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat. Pada tahap ini, dibentuk lembaga
24
penjamin mutu yang berperan melakukan deteksi dini terhadap kecenderungan
perubahan lokal, regional, nasional maupun internasional.
Indonesia telah memasuki era liberalisasi perdagangan dan globalisasi yang
makin terbuka dalam seluruh aspek kehidupan. Karena itu, kultur birokrasi
harus diarahkan agar responsif terhadap konteks ini. Peran pelaku usaha dan
pasar akan makin tinggi, sehingga kompetisi dalam penyediaan pelayanan
publik akan makin ketat. Birokrasi pemerintah harus mampu menyediakan
regulasi untuk mengatur kompetisi ini agar tidak merugikan publik, terutama
mereka yang tergolong marginal.
Rincian kegiatan dalam periode ini terdiri dari:
a. Pembenahan kelembagaan (organisasi), dilakukan melalui:
1) Pengembangan unit-unit penjaminan mutu di semua level organisasi
pemerintah.
2) Pengembangan unit-unit manajemen integritas di semua level
organisasi pemerintah.
b. Pembenahan ketatalaksanaan (business process), dilakukan melalui:
1) Penerapan siklus jaminan mutu dengan standar internasional.
2) Penerapan sistem benchmarking sebagai tolok ukur penilaian kinerja
lembaga dan sumber daya manusia birokrasi, sekaligus memperkecil
kesenjangan antara sektor publik dan privat.
3) Pengembangan mekanisme audit publik sebagai bagian dari sistem
pengawasan dan monitoring kinerja birokrasi.
4) Pengembangan mekanisme partisipasi publik untuk mengontrol kinerja
birokrasi, misalnya melalui pengukuran Indeks Kepuasan Masyarakat
secara berkala sebagai bagian dari masukan untuk menerapkan reward
and punishment bagi birokrasi.
c. Pembenahan sumber daya manusia, dilakukan melalui penyiapan
kompetensi dan skill sumber daya manusia birokrasi untuk menunjang
peran sebagai fasilitator, mediator, dan regulator dalam kemitraan dengan
pelaku usaha dan masyarakat di era perdagangan bebas.
Penutup
Reformasi birokrasi bukan proses yang berlangsung di dalam ruang
hampa, keberhasilan implementasinya bergantung kepada reformasi dalam sektor-
sektor terkait lainnya, terutama sektor politik, hukum, ekonomi, dan administrasi
publik. Pembenahan sektor politik diperlukan untuk menjamin konsistensi dan
keberlanjutan komitmen politik dari para pengambil kebijakan. Pembenahan
sektor hukum diperlukan untuk menyediakan perangkat hukum yang diperlukan
dalam rangka reformasi birokrasi, terutama terkait dengan pemberantasan KKN.
Penegakan hukum juga menjadi kata kunci yang penting untuk menjamin agar
terjadi perubahan kultur birokrasi ke arah yang lebih profesional dan beretika.
Sementara pembenahan dalam sektor perekonomian diperlukan untuk menjamin
agar reformasi birokrasi dalam jangka panjang didukung oleh kapasitas keuangan
yang memadai dan senantiasa terintegrasi dengan pembenahan dalam sistem
anggaran, sehingga prinsip efisiensi dapat dicapai. Perubahan-perubahan dalam
berbagai dimensi tersebut memerlukan pendekatan dan dukungan sistem
administrasi publik yang mengindahkan nilai dan prinsip-prinsip good
governance, dan sumber daya manusia aparatur negara (pejabat politik, dan
25
karier) yang memiliki integritas, kompetensi, dan konsistensi dalam menerapkan
prinsip-prinsip tersebut, baik dalam jajaran eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Reformasi birokrasi sebagai upaya transformasi atau perubahan yang
direncanakan merupakan proses yang berkelanjutan. Karena itu, setiap upaya yang
telah dilakukan dalam setiap tahapan reformasi perlu dievaluasi sehingga setiap
kendala yang muncul dapat segera ditangani. Pentahapan reformasi birokrasi
merupakan panduan yang perlu dijabarkan lebih lanjut sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan organisasi pemerintah, baik di pusat maupun di daerah. Keberhasilan
reformasi birokrasi ditentukan juga oleh kreativitas dan inovasi dari setiap
pelaksana. Selain itu, sharing pengalaman dan best practices juga diperlukan
sebagai media untuk mengembangkan praktik-praktik pengelolaan pemerintahan
berbasis pengetahuan, sekaligus untuk mempertahankan semangat reformasi
birokrasi, hal tersebut tidak hanya di kalangan aparat birokrasi pemerintah tapi
juga dari seluruh stakeholders. Reformasi birokrasi harus mendorong praktik
pemerintahan yang semakin terbuka (transparan) yang melibatkan aktor di luar
birokrasi pemerintah sebagai stakeholders pemerintahan. Dengan kata lain,
reformasi birokrasi menjadi sarana perwujudan paradigma baru pemerintahan dari
paradigma government ke paradigma governance.
---***---
26
DAFTAR PUSTAKA
27
_____. 1987. Perspektif Perilaku Birokrasi: Dimensi Prima Ilmu Administrasi
Negara Jilid II. Jakarta: Rajawali.
Tjokroamidjojo, Bintoro. 1999. “Agenda Aksi Reformasi Birokrasi”. Dalam
Administrasi Negara, Demokrasi, dan Masyarakat Madani. Jakarta :
Lembaga Administrasi Negara.
28
PERKEMBANGAN PRAKTIK
ILMU ADMINISTRASI NEGARA
DALAM KEBIJAKAN PEMERINTAH
Oleh:
Dr. Ardiyan Saptawan, MSi
Pendahuluan
29
• Hubungan paternalistik yang baik antara pihak yang memerintah
dengan anak buahnya.
• Aparat yang memerintah memberi tauladan kepada pihak yang
rakyat.
• Menekankan kepada loyalitas bawahan yang mampu membantu
penguasa.
• Pembatasan campur tangan pemerintah dalam urusan-urusan lokal
dan pribadi.
• Mengutamakan prosedur birokrasi formal dalam manajemen dan
pelayanan publik.
• Dikotomi antara politik dan administrasi.
• Pentingnya efisiensi dalam organisasi publik.
Dalam era ini Henry Fayol (1950) menyatakan prinsip administrasi
publik konvensional (ada juga yang mengatakan masa klasik) adalah :
1. Division of work.
2. Authority and responsibility.
3. Discipline.
4. Unity of command.
5. Unity of direction.
6. Subordination of individual to general interest).
7. Renumeration.
8. Centralization.
9. Scalar chain.
10. Order.
11. Equity.
12. Stability of tenure.
13. Initiative.
14. Esprit de corps.
b. Tahun 1970 sampai dengan 2003 dikenal dengan Paradigma New Public
Management (NPM) yang bercirikan :
• Menggunakan sektor ‘private’ dan pendekatan bisnis dalam sektor
publik (run government like a business).
• Penerapan prinsip “good governance” (tata pemerintahan yang baik).
• Kegiatan-kegiatan yang tidak bisa dilakukan secara efisien dan
efektif oleh pemerintah ditangani oleh sektor swasta.
• Dalam sistem managemen dilakukan sistem pelayanan sipil, yaitu
manajer diperkenankan menegosiasikan kontrak mereka dengan para
pekerja.
• Fokus sistem anggaran pada kinerja dan hasil.
• Manajemen berorientasi pada hasil (managing for result)
• Menggagas konsep “citizens charter”.
• Mengenalkan konsep Reinventing Government.
• Menciptakan sebuah pemerintah yang “works better & costs less”
Pada masa ini banyak pemerintahan yang dijalankan memadukan konsep
kewajiban social dengan pelayanan private.
30
c. Tahun 2003 sampai sekarang dikenal dengan Paradigma New Public
Service (NPS) bercirikan :
• Mempunyai prinsip “Governmet shouldn’t be run like a business, it
should be run like a democracy”.
• Administrator Publik lebih banyak mendengar daripada berkata
(“More listening than telling”) dan lebih banyak melayani daripada
mengarahkan (“More serving than steering”).
• Kerjasama melalui jaringan kerja (networking).
• Akuntabilitas dan transparansi mengiringi responsibilitas pemerintah
dalam pelayanan publik.
• Keterlibatan masyarakat sebagai warga negara secara aktif dalam
perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan kebijakan publik.
• Pola pikir bahwa pelayanan kepada masyarakat adalah hal yang wajib
bagi Pemerintah.
Denhardt, (2003) mengatakan bahwa ide pokok NPS adalah :
a. Serve Citizens, Not Customers (melayani warga masyarakat, bukan
pelanggan)
b. Seek the Public Interest (mengutamakan kepentingan publik)
c. Value Citizenship over Enterpreneurship (lebih menghargai warga
negara daripada kewirausahaan)
d. Think Strategically, Act Democratically (berpikir strategis dan
bertindak demokrasi.).
e. Recognize that Accountability Is Not Simple (menyadari bahwa
akuntabilitas bukanlah suatu yang mudah).
f. Serve Rather than Steer (melayani daripada mengendalikan)
g. Value People, Not Just Productivity (menghargai orang, bukan
produktivitas semata).
31
Tabel 1. PERBANDINGAN PERSPECTIVE OPA, NPM, NPS
32
PERUBAHAN PARADIGMA ADMINISTRASI PUBLIK
DARI NPM KE NPS
33
ideal negara yaitu legitimitas, akuntabilitas, perlindungan hak azasi manusia,
otonomi dan devolusi kekuasaan, serta jaminan pengawasan dari masyarakat
sipil.
Sisi akuntabilitas menjadi tidak saja sebagai pertanggungjawaban
pemerintahan yang baik, tetapi juga tujuan dari pengelolaan birokrasi yang efektif
dan efisien. Dengan bergeraknya dinamika interaksi antar masyarakat dunia yang
didorong oleh fasilitas komunikasi yang menembus batas negara membuat peran
administrasi publik menjadi ganda. Ada efek langsung dan tidak langsung yang
harus dipertimbangkan dalam kebijakan administrasi publik. Administrasi Publik
tidak lagi sebagai inferior politik tetapi sudah berubah status hubungannya
menjadi”neben”.
Administrasi Publik tidak lagi menjadi pelaksana keputusan politik semata
tetapi juga membentuk soliditas manajemen negara. Bila kesolidan ini mencapai
titik efektif dan efisien maka tidak mungkin politik harus mempertimbangkan
secara objektif pengaruh eksistensi administrasi publik terhadap keputusan yang
akan diambil. Lingkungan keadaan ini dapat kita lihat pada gambar berikut ini.
34
Sistem birokrasi kita merupakan peninggalan sejarah kolonial yang
disemangati oleh kepentingan kolonial. Dalam faham kolonial, visi administrasi
negara adalah mempertahankan kekuasaan dan mengontrol perilaku individu.
Struktur birokrasi, norma, nilai, dan regulasi yang ada lebih berorientasi pada
pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara.
Akibatnya adalah struktur dan proses yang dibangun lebih cenderung merupakan
instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat sebagai pelayan,
bukan untuk mengatur pemerintahan dalam melakukan pelayanan kepada
masyarakat.
Perkembangan paradigma Administrasi Negara ke Administrasi Publik
telah mendorong penyesuaian keadaan di Indonesia terutama sejak reformasi
dilancarkan. Dalam penataan struktur birokrasi pemerintahan keadaan tersebut
sebenarnya menjadi persoalan yang sangat penting. Kesibukan Indonesia dengan
penataan reformasi politik menyebabkan perhatian terhadap praktik administrasi
negara agak tersendat. Akibatnya reformasi dalam sektor administrasi negara
menjadi terlambat.
Keluarnya Peraturan pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang struktur
pemerintahan daerah sebagai pelaksanaan dari UU Nomor 22 Tahun 1999 tidak
dapat diterapkan dengan tepat. Selayaknya PP tersebut lahir paling tidak di tahun
2000 agar perubahan sebagaimana yang diharapkan oleh UU No 22 tahun 1999
tersebut segera dilaksanakan. Saat itu orientasi Administrasi Negara berlandaskan
kepada prinsip reinventing government. Karena kesibukan pemerintah pembuatan
Peraturan Pemerintah tersebut terlambat. Keterlambatan iuni menjadi persoalan
yang pelik karena situasi dunia sudah berubah yang berpengaruh pada perubahan
praktik administrasi negara.
Tahun 2003 secara global dunia sudah merapkan prinsip baru dalam
administrasi negara yang disebut dengan New Public Service. Paradigma ini
menekankan kepada perlunya merevitalisasi kedudukan masyarakat sebagai warga
negara yang mempunyai hak untuk dilayani. Setelah reformasi, UUD 1945
dengan jelas menyatakan hal tersebut. Jika UUD 1945 yang asli mengatakan
bahwa “Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, maka dalam perubahannya disebut bahwa “Kedaulatan
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”.
Sebagai negara kesatuan yang mempunyai 33 provinsi, bagi Indonesia hal
tersebut sangat penting, karena merubah gaya manajemen kebijakan negara secara
cukup signifikan. Otonomi Daerah dijadikan kebijakan andalan dalam gaya sistem
administrasi negara. Pelayanan publik diupayakan menempuh prosedur yang lebih
pendek, lebih cepat, dan lebih tanggap. Dalam situasi transisinya hal ini
mengakibatkan ada situasi tarik-menarik saat akan diterapkannya PP Nomor 8
Tahun 2003. Dilema yang dihadapi PP tersebut adalah perubahan lingkungan
yang tidak kondusif yang dapat mengakibatkan gagalnya implementasi PP
tersebut. Jika dilihat kemungkinan kegagalan suatu kebijakan dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Tidak terimplementasikan, karena :
a. Pihak yg terlibat tak mau kerjasama.
b. Pihak yg kerjasama tak efisien.
c. Pelaksana kerja setengah hati.
d. Pelaksana tak menguasai masalah.
35
e. Permasalahan di luar lingkup kerja.
2. Implementasi Kebijakan yg tidak berhasil, karena :
a. Kondisi eksternal yg tak menguntungkan.
b. KP tidak berhasl menunjukkan impak yg diingini.
c. Perencanaannya jelek.
d. Kebijakan yg jelek.
e. Kebijakan tersebut bernasib jelek.
Situasi yang sangat cepat berubah yang tak diiringi kecepatan adaptasi dari
para aparat Pemerintah Indonesia dalam membuat aturan yang proaktif
mengakibatkan PP Nomor Tahun 2003 tersebut membuat catatan sejarah dalam
pemerintahan Indonesia, yaitu salah satu PP yang tidak sempat diterapkan meski
sudah ditetapkan. Begitu cepatnya perobahan politik di Indonesia pasca reformasi
mendorong Pemerintah Indonesia merubah UU Nomor 22 Tahun 1999 dengan
UU Nomor 32 Tahun 2004, sehingga PP Nomor 8 Tahun 2003 baru sempat
sampai tahap sosialisasi saja, belum sempat diterapkan karena landasan hukumnya
sudah berobah.
Hal mendasar yang menyebabkan perubahan PP tersebut adalah bahwa
semangat yang terkandung dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 menghadirkan pola
pikir aparatur negara yang baru yaitu sebagai pelayan masyarakat warga negara
dalam paradigma demokrasi. Pola pikir sebagai penguasa yang menghadirkan
kelambatan dalam bertindak dalam penyelesaian masalah masyarakat berubah
menjadi pola pikir efektiftifitas dan efisiensi.
36
AKUNTABILITAS BIROKRASI
SISTEM MANAJEMEN
PROPORSIONAL
37
kelengkapan sarana dan prasarana, kemudahan akses, kedisiplinan, serta
kenyamanan. Prinsip-prinsip tersebut merupakan elemen yang saling berkait dan
terpadu, sehingga pelaksanaan satu prinsip harus memperhatikan prinsip yang lain
secara proporsional dan seimbang.
Untuk mendapatkan hasil maksimal, standar pelayanan publik
pemerintah yang sudah ditetapkan sekurang-kurangnya meliputi prosedur
pelayanan, waktu penyelesaian, biaya pelayanan, produk pelayanan, sarana dan
prasarana, kompetensi petugas. Adapun pola penyelenggaraannya meliputi pola
fungsional, terpusat, dan terpadu (satu atap, satu pintu), dan gugus tugas.
Pertanggungjawaban produk pelayanan publik tersebut telah ditetapkan
dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Pemerintah Nomor
KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas
dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik yaitu bahwa :
a. Persyaratan teknis dan administratif harus jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan dari segi kulaitas dan keabsahan produk
pelayanan ;
b. Prosedur dan mekanisme kerja harus sederhana dan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan ;
c. Produk pelayanan diterima dengan benar, tepat, dan sah.
Untuk mendukung keputusan tersebut Menteri Dalam Negeri
mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomo 24 Tahun 2006 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang mengatur
penyederhanaan penyelenggaraan pelayanan yang mencakup :
a. Pelayanan atas permohonan perizinan dan non perizinan oleh
Perangkat Daerah Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(PPTSP) ;
b. Percepatan waktu proses penyelesaianan pelayanan tidak
melebihi standar waktu yang telah ditetapkan dalam Peraturan
Daerah ;
c. Kepastian biaya pelayanan tidak melebihi dari ketentuan yang
telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah ;
d. Kejelasan prosedur pelayanan dapat ditelusuri dan diketahui
setiap tahapan proses pemberian perizinan dan non perizinan
sesuai dengan urutan prosedurnya ;
e. Mengurangi berkas kelengkapan permohonan perizinan yang
sama untuk dua atau lebih permohonan perizinan ;
f. Pembebasan biaya perizinan bagi usaha Mikro Kecil Menengah
(UMKM) yang ingin memulai usaha baru sesuai dengan
peraturan berlaku ; dan
g. Pemberian hak kepada masyarakat untuk memperoleh informasi
dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pelayanan.
38
kegiatan aparatur negara dan lembaga negara tidak berdiri sendiri, namun terkait
dengan kemanfataannya pada masyarakat sebagai warga negara, pemilik, dan
pemegang kedaulatan negara.
Masyarakat dalam konteks post modernisme adalah subjek dan objek
pembangunan, dan negara sebagai pengatur pembangunannya. Pemerintah sebagai
manajer agent of change dituntut mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap
perkembangan lingkungan administrasi negara. Lingkungan networking
merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan kebijakan pemerintah,
sehingga pengelolaan lingkungan dan kerjasama dengan mitra kerja sangat
penting. Hal tersebut berarti bahwa ekologi administrasi negara harus diperhatikan
dalam memperkuat kapabilitas pemerintahan.
Donald F Kettl (2000 : 1-3) menyatakan ada 6 ciri utama yang mendesak
pemerintah untuk melakukan reformasi pelayanan publik sebagai akibat dari
tuntutan masyarakat ysang sangat cepat, yaitu :
1. Productivity ; How can governments produce more service with less tax
money?
2. Marketizations ; How can government use market-style incentives to root
out the pathologies of government bureucracy ?
3. Service orientation ; How can government better connect with citizens ?
4. Decentralization ; How can government make programs more responsive
and effective ?
5. Policy ; How can government improve its capacity to devise and track
policy ?
6. Accountability for results ; How can governments improve their ability to
deliver what they promise ?
Untuk mendapatkan suatu model pelayanan prima tidaklah dapat
dilakukan dengan serta merta. Perubahan yang mendadak tidak akan mendapatkan
hasil yang maksimal. Keadaan sekarang memerlukan kepedulian karena
merupakan situasi awal yang mendorong keadaan perubahan yang akan terjadi.
Karena itu kecermatan dalam memahami keadaan sekarang untuk diberdayakan
dan mungkin juga diinterfensi dengan suatu cara (teknologi) atau metode baru
untuk mendapatkan hasil yang maksimal perlu diperhitungkan. Hal ini menjadi
penting karena reformasi sistem pelayanan publik dalam organisasi pemerintahan
seperti model di Indonesia tidaklah berdiri sendiri.
Pemasalahan yang kompleks yang meliputi sistem yang sudah berjalan
saling berkaitan antara kebijakan makro pemerintah dengan kebijakan mikro
kebutuhan masyarakat setempat. Karena itu untuk mendapatkan metode pelacakan
model pelayanan prima yang tepat menurut B. Guy Peters (2001) harus dimulai
dengan pemahaman :
1. Phenomena : The diagnosis of the problem.
2. Structure : How should the public sector be organized ?
3. Management : How should the members of the financial resources of the
public sector be controlled ?
4. Policy process : What sould the role of the career public service be in the
policy process, and more generally how should government seek to
influence the private sector ?
Dalam menyediakan pelayanan kepada masyarakat Pemerintah daerah
harus segera melakukan transformasi diri dari pemerintahan birokratis
39
monopolistik menjadi pemerintahan wirausaha yang kompetitif. Tujuannya adalah
Pemerintah harus dapat memberikan pelayanan prima kepada masyarakat
sehingga tercipta kepuasan pelanggan.
Lembaga pemerintah harus mampu menjadi lembaga yang
bertanggungjawab yang mau memperhatikan kebutuhan masyarakat. Adanya
otonomi daerah menjadikan Pemerintah Daerah sebagai promotor pembangunan
akan beralih fungsi menjadi fasilitator pembangunan. Pembangunan akan lebih
banyak dilakukan oleh masyarakat terutama pihak swasta atau dunia usaha.
Konsep desentralisasi dan otonomi daerah diupayakan dapat menjamin
kelancaran dan keberhasilan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
Karena itu dalam rangka implementasi desentralisasi dan otonomi daerah,
kapasitas daerah merupakan faktor strategis serta penentu dan bahkan menjadi
prasyarat bagi kinerja dan keberhasilan implementasi otonomi daerah dimasa-
masa mendatang.
Atas dasar hal-hal diatas maka perlulah dilakukan usaha-usaha untuk
meningkatkan kemampuan (capacity building) pemerintah daerah dalam rangka
menangkan peluang yang timbul dengan adanya desentralisasi, serta dalam upaya
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Tentunya disadari bahwa tidak
mudah bagi pemerintah daerah untuk melakukan perubahan-perubahan tersebut
karena memerlukan waktu, komitmen, visi dan misi yang jelas serta perangkat-
perangkat pendukung lainnya.
Karena itu peningkatan dalam praktek admninistrasi negara di negara
kesatuan seperti Indonesia, kapasitas berkelanjutan desentralisasi administrasi
negara menjadi sangat penting dan strategis, karena ditujukan untuk
meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam kaitannya dengan
pengembangan kemampuan daerah otonom. Peningkatan Kapasitas Berkelanjutan
ini didasarkan kepada (1) kebutuhan daerah; (2) keterkaitan dengan stakeholders;
(3) efektifitas dan efisiensi sistem dan kelembagaan; (4) kerjasama dengan service
provider; (5) keluwesan dalam implementasi ; dan (6) evaluasi berkala.
Dengan demikian, untuk memperkuat jati diri Administrasi Negara
diperlukan suatu paradigma yang fleksibel dalam memandang fokus dan lokus
administrasi negara secara objektif dan proaktif terhadap praktek pembangunan
negara. Faktor lingkungan merupakan faktor kaitan yang kuat dalam
pengembangan studi administrasi negara yang meliputi kebutuhan, networking,
birokrasi, struktur kelembagaan, dan kepekaan adaptasi terhadap perkembangan.
40
DAFTAR PUSTAKA
Denhardt. 2003. The Public Service. New York : Oxford University Press
Kettl, Donald F. 2000. The Global Public Management. Washington D.C : The
Brooking Institution.
Osborne, David, and Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government : How the
Enterpreneurial is Transforming the Public Sector. New York : Addison-
Wesley Publishing Company.
Peters, B. Guy. 2001. The Future of Governing. Kansas : The University of
Kansas.
Pollit, Christoper, dan Geert Bouckaert. 2000. Public Management Reform, A
Comparative Analysis . New York : Oxford University Press.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Pelayanan Publio.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara KEP/26/M.PAN/2/2004
tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas dalam
Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
41
MENGUKUR KINERJA DINAS KABUPATEN:
PEMIKIRAN AWAL 17
Oleh:
Samodra Wibawa 18
ABSTRAK
PENGANTAR
Penulis yakin telah banyak buku ataupun artikel tentang kinerja, unjuk kerja, hasil
kerja, prestasi kerja atau performance. Sekalipun demikian, tulisan ini barulah
merupakan pemikiran awal bagi penulis, yang saat ini baru akan memulai kajian
tentang tema ini, khususnya kinerja instansi pemerintah, lebih khusus lagi dinas
kabupaten. Di sini diuraikan berbagai definisi dan indikator kinerja menurut
17
Makalah untuk Konferensi Administrasi Negara Ke-2 di Universitas Airlangga, Surabaya 8-9
Mei 2009.
18
Dosen Jurusan Ilmu Administrasi Negara, FISIPOL UGM. Em. samodra03@yahoo.com, hp.
081 328 001 383.
42
berbagai pakar, lalu dibahas bagaimana mengukur kinerja dinas kabupaten, apa
manfaatnya, dan apa hambatan yang mungkin ditemui.
Kinerja suatu instansi perlu diukur dan dipublikasikan setiap saat, misalnya setiap
tahun. Ini adalah bentuk transparansi dan terutama akuntabilitas instansi tersebut
terhadap masyarakat, yang notabene merupakan pembayar pajak di satu pihak dan
penerima layanan di pihak lain. Jadi evaluasi terhadap kinerja bermanfaat untuk
menunjukkan berhasil-gagalnya instansi itu dalam menggunakan uang rakyat
untuk sebesar-besarnya kemakmuran/kemaslahatan masyarakat. Setelah evaluasi
dilakukan, pemerintah dapat membuat keputusan lebih lanjut tentang instansi
yang bersangkutan: diberi penghargaan, diberi hukuman, diperbaiki, digabung
dengan instansi lain atau ditutup/dibubarkan. Jadi berdasar evaluasi kinerja,
pemerintah punya arah yang jelas tentang rencananya di masa depan, termasuk
penetapan nilai, tujuan dan target yang baru serta penataan lembaga yang akan
membantunya untuk merealisir rencana tersebut. Evaluasi adalah sebuah bagian
dari proses belajar dari suatu instansi. Hasil evaluasi harus dibaca bersama-sama
secara terbuka oleh semua staf instansi –lebih baik lagi bersama-sama dengan para
stakeholders yang lain-- untuk upaya perbaikan kinerja instansi dari waktu ke
waktu (bandingkan dengan Pranoto 2008: 27-39; tentang evaluasi lebih jauh lihat
Dunn 2004: 345-372).
Lebih lanjut evaluasi dapat digunakan untuk menetapkan insentif atau tambahan
penghasilan bagi para pegawai. Jadi, penghasilan benar-benar didasarkan kepada
prestasi (merit system), bukan disamaratakan untuk semua pegawai tanpa peduli
apa/bagaimana prestasi masing-masing. Ini sangat bagus untuk mamacu prestasi
para pegawai negeri, sekalipun bukannya tanpa kelemahan. Dengan evaluasi
kinerja juga diperoleh informasi tentang skills apa saja yang perlu dimiliki (lagi)
oleh para pegawai. Kegiatan ini menghasilkan rencana pelatihan, training ataupun
re-skilling.
Kinerja adalah hasil kerja dari suatu individu atau organisasi dibandingkan dengan
apa yang seharusnya dicapai oleh yang bersangkutan. Hasil-yang-seharusnya ini
43
bisa ditemukan dalam aturan/keputusan pembentukan organisasi, pernyataan
tujuan (mission statement), rencana kerja ataupun harapan yang dinyatakan oleh
berbagai pihak. Dengan demikian, kinerja bukanlah sesuatu yang obyektif atau
mutlak melainkan subyektif atau relatif –tergantung pada ukuran, patokan atau
standard yang dipakai. Lebih dari itu, kinerja juga sangat tergantung kepada orang
yang menilai serta waktu dan tempat penilaian. Definisi atau pemahaman seperti
ini dibuat berdasarkan pendapat-pendapat sebagai berikut.
Dengan redaksi yang berbeda Rivai (2008:68) berpendapat, bahwa kinerja adalah:
44
Aturan pemerintah tentang kinerja yang ditemukan penulis adalah PermenPAN
tentang Pedoman Umum Penetapan Indikator Kinerja Utama di Lingkungan
Instansi Pemerintah (No. 5/2007). Dalam Pasal 1 dinyatakan:
Aturan lain yang terkait adalah UU tentang Pemerintahan Daerah (No. 32/2004),
di mana dalam pasal 27 ayat 2 disebutkan, bahwa kepala daerah wajib melaporkan
hasil kerjanya (“penyelenggaraan pemerintahan”) ke pemerintah pusat, yang akan
menjadi bahan evaluasi dan pembinaan terhadap dirinya (ayat 4). Ini diatur dalam
PP tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (No. 3/2007),
disambung dengan PP tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah (No. 6/2008). Disebutkan dalam PP yang terakhir ini di dalam “ketentuan
umum”nya sebagai berikut:
45
kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan menggunakan
sistem
pengukuran kinerja.
15. Evaluasi Kemampuan Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang
selanjutnya disingkat
EKPOD adalah suatu proses pengumpulan dan analisis data secara
sistematis
terhadap kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi
aspek
kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.
16. Evaluasi Daerah Otonom Baru ..dst.
17. Sistem Pengukuran Kinerja adalah sistem yang digunakan untuk
mengukur, menilai,
dan membandingkan secara sistematis dan berkesinambungan atas kinerja
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
18. Indikator Kinerja adalah alat ukur spesifik secara kuantitatif dan/atau
kualitatif yang
terdiri dari unsur masukan, proses, keluaran, hasil, manfaat, dan/atau
dampak yang
menggambarkan tingkat capaian kinerja suatu kegiatan.
19. Indikator Kinerja Kunci adalah indikator kinerja utama yang
mencerminkan
keberhasilan penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan.
...dst...
22. Tim Penilai adalah tim yang membantu gubernur, bupati, atau walikota
dalam
melaksanakan evaluasi terhadap tataran pengambil kebijakan daerah dan
evaluasi
terhadap tataran pelaksana kebijakan daerah.
23. Standar Pelayanan Minimal yang selanjutnya disingkat SPM adalah
ketentuan tentang
jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang
berhak
diperoleh setiap warga secara minimal.
46
pelaksanaan kebijakan. Aspek-aspek yang dinilai pada tingkat pelaksanaan
kebijakan adalah sbb. (pasal 19):
Sementara itu menurut John Whitmore (1997, dalam Wikipedia 2009), kinerja
adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seseorang. Kinerja adalah
suatu perbuatan, prestasi, suatu pameran keterampilan. Jadi mengukur kinerja
pada dasarnya menilai keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai
dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi
dan misi instansi.
Rue dan Bayers (dalam Keban, 1995: 1) mengatakan, bahwa kinerja merupakan
“the degree of accomplishment” –tingkat pencapaian tujuan organisasi. Bernardin
47
dan Russel (1993 dalam Muhammad 2008: 13) mengartikan kinerja sebagai “The
record of outcomes produced on specified job function or activity during a
specified time period ”. Ini artinya kinerja merupakan penampilan atau pencapaian
yang berhasil diperoleh oleh suatu organisasi dalam jangka waktu tertentu.
Kinerja menyangkut output dan outcome yang dihasilkan. Bahkan beberapa
akademisi mendefinisikan kinerja sepenuhnya sebagai outcome, yang terkait
dengan tujuan-tujuan strategis organisasi, kepuasan pelanggan dan kontribusi
ekonomi (Rogers 1994 dalam Mahmudi 2007: 6). Terkait dengan tujuan dan
jangka waktu pencapaiannya, dalam kinerja terdapat pula perhatian terhadap
efektifitas dan efisiensi. Oleh karena itu kinerja hanya dapat diukur ketika sebuah
organisasi memiliki target.
48
Berbagai kutipan dan kupasan di atas dapat diperas untuk menghasilkan suatu
definisi konsep, bahwa kinerja adalah pelaksanaan atau pemenuhan suatu
kewajiban, visi, misi, fungsi atau tanggung jawab yang dibebankan atau
diharapkan oleh pihak lain terhadap- atau darinya pada suatu waktu. Dengan kata
lain kinerja adalah tingkat seberapa jauh- dan berkualitaskah tujuan dan target
berhasil dicapai.
49
e. Akuntabilitas: keajegan dan mutu pertanggungjawaban dinas
terhadap masyarakat dan instansi pengawas.
1. Produktivitas. Ini adalah jumlah dan kualitas produk, output atau outcome
dinas. Jumlah produk dapat diketahui dari laporan kegiatan dinas. Tapi mestinya
kita perlu melihat hasil fisik dari kegiatan tersebut, untuk membuktikan bahwa
dinas memang benar-benar telah melakukan kegiatan yang dimaksud, bukan
hanya melaporkan kegiatan, padahal kegiatannya tidak ada. Untuk menilai
kualitas kegiatannya kita perlu mempekerjakan orang yang ahli di bidang yang
bersangkutan, misalnya ahli jalan, ahli pertanian, ahli bangunan dst. Hasil kerja
dinas dicocokkan dengan rencana kegiatan, yang di dalamnya menyebutkan
spesifikasi dari kegiatan tersebut.
Untuk kegiatan yang tidak meninggalkan bekas fisik, misalnya penataran atau
penyuluhan, kita dapat melihat bukti-bukti pernah diadakannya kegiatan itu,
seperti daftar hadir, modul, undangan, kuitansi pembelian snack, fotocopy dst.
Namun yang lebih penting adalah melihat hasil dari penyuluhan itu:
wawancarailah para mantan peserta penyuluhan –apakah memang mereka pernah
ditatar, apakah paham, dsb.
Selain dengan data obyektif, data subyektif juga cukup bermanfaat. Kita dapat
menyebarkan kuesioner ataupun melakukan wawancara mendalam dan diskusi
kelompok untuk menggali persepsi responden/informan tentang produktivitas
dinas yang kita teliti. Informasi darinya tentu saja bersifat subyektif, tapi ini jika
diperoleh di awal bermanfaat untuk menggali lebih lanjut data obyektifnya, atau
jika diperoleh di akhir setidaknya bermanfaat untuk dikonfrontasikan dengan data
obyektif yang ada (triangulasi).
50
2. Efektivitas. Ini adalah perbandingan produktivitas dengan target, rencana
ataupun suatu tolok ukur yang lain. Tolok ukur lain itu misalnya produktivitas
dinas sejenis di kabupaten lain atau rata-rata produktivitas dari dinas-dinas sejenis
di seluruh provinsi atau bahkan di seluruh Indonesia. (Mestinya Mendagri,
Menpan serta departemen-departemen teknis mampu mensurvai produktivitas
semua dinas kabuapten di seluruh Indonesia. Dikelompokkan menurut dinas, kita
akan dapat memperoleh angka rata-rata produktivitas dari setiap jenis dinas.)
Pembandingan dengan tolok ukur lain itu lebih akurat dibanding dengan
menggunakan target atau rencana dari instansi yang bersangkutan sebagai alat
untuk mengukur efektivitas. Alasannya, target atau rencana itu bisa “dimainkan”,
misalnya direndah-rendahkan, agar supaya mudah tercapai, sehingga terkesan
bahwa efektivitasnya (baca: perbandingan produktivitas dengan rencana) adalah
100% atau bahkan lebih. Angka seperti ini pastilah mengesankan, tapi menipu:
targetnya terlalu rendah, sehingga tanpa bekerja keras pun dinas akan dapat
mencapainya. Ini bukan prestasi riil, tapi “prestasi main-mainan”.
Selain dengan data obyektif, data subyektif juga cukup bermanfaat. Kita dapat
menyebarkan kuesioner ataupun melakukan wawancara mendalam dan diskusi
kelompok untuk menggali persepsi responden/informan tentang efektivitas dinas
yang kita teliti. Informasi darinya tentu saja bersifat subyektif, tapi ini jika
diperoleh di awal bermanfaat untuk menggali lebih lanjut data obyektifnya, atau
jika diperoleh di akhir setidaknya bermanfaat untuk dikonfrontasikan dengan data
obyektif yang ada (triangulasi).
51
Biaya yang diperhitungkan bisa biaya total, yakni personel, peralatan, gedung dst.,
bisa juga hanya biaya sebagian, seperti dana yang terpakai untuk kegiatan atau
pelayanan yang bersangkutan saja, ongkos yang harus dibayar users atau warga,
besarnya retribusi dll. Bila dibandingkan dengan suatu tolok ukur, maka
penghitungan biaya disesuaikan dengan cara nilai efisiensi dari tolok ukur itu
diperoleh. Seandainya sulit dilakukan hal yang sama, maka perbandingan dengan
tolok ukur tetap dapat dilakukan, tapi harus disertai dengan penjelasan tentang
ketidaksamaan komponen yang diukur antara dinas yang bersangkutan dengan
pembandingnya. Yang penting adalah bahwa policy makers (kepala dinas, bupati,
DPRKab dst.) tahu selayang pandang, seperti apakah efisiensi dari dinas yang
bersangkutan, sehingga dia/mereka terpacu untuk mengadakan pemangkasan
biaya, sekiranya dari perbandingan itu dia/mereka merasa dinasnya boros.
Sama seperti pada produktivitas dan efektivitas, selain dengan data obyektif, data
subyektif juga cukup bermanfaat untuk menjelaskan efisiensi suatu dinas. Kita
dapat menyebarkan kuesioner ataupun melakukan wawancara mendalam dan
diskusi kelompok untuk menggali persepsi responden/informan tentang efisiensi
dinas yang kita teliti. Informasi darinya tentu saja bersifat subyektif, tapi ini jika
diperoleh di awal bermanfaat untuk menggali lebih lanjut data obyektifnya, atau
jika diperoleh di akhir setidaknya bermanfaat untuk dikonfrontasikan dengan data
obyektif yang ada (triangulasi).
4. Kualitas program, kegiatan atau layanan. Konsep yang terakhir dari kinerja
ini mencakup enam sub dimensi ataupun indikator. Adapun cara mengukur
masing-masing adalah sebagai berikut:
52
b. Responsivitas: relevansi program, kegiatan, pelayanan dengan
kebutuhan atau harapan masyarakat, termasuk di sini tingkat kegunaan
output dan outcome. Ini seharusnya diukur sendiri oleh peneliti dengan
cara: melakukan survai acak tentang kebutuhan dan harapan
masyarakat terhadap kegiatan dinas yang diteliti. Informasinya yang
diperoleh darinya dikonfrontasikan dengan kegiatan atau layanan yang
diproduksi oleh dinas. Semakin banyak yang cocok atau sama berarti
semakin responsif dinas itu terhadap masyarakat.
53
menyimpang dari suatu aturan atau kebijakan. Jika ada barulah
dilakukan pendalaman terhadap pelanggaran yang dimaksud, termasuk
mencari tahu apakah dinas menyadari pelanggaran itu, dan jika sadar,
apa argumen yang mendasarinya.
54
PENUTUP
Kiranya setiap dinas telah membuat laporan tentang kinerja mereka –sepanjang
yang mereka persepsikan. Bawasda dan BPKP kiranya juga telah mengaudit
keuangan mereka. Sekalipun demikian penilaian kinerja oleh pihak ke-tiga tetap
diperlukan, untuk menghasilkan gambaran yang lebih obyektif tentang kinerja
dinas. Semua pihak harus dimintai pendapatnya tentang kinerja dinas, yakni
mereka yang berada di atas, di bawah dan di samping. Jadi pengukurannya
bersifat 360o (lihat Gambar 1). Medianya adalah kuesioner, wawancara maupun
diskusi kelompok. Tetapi tim penilai juga harus berusaha untuk memberikan
penilaian dari data obyektif: apa yang terjadi, yang benar-benar dilakukan dinas,
dibandingkan dengan apa yang seharusnya, menurut suatu tolok ukur –aturan
maupun benchmark.
55
Gambar 1. Penilaian 360o untuk kinerja dinas
Dengan mengetahui nilai kinerja dari suatu dinas kita dapat mengusulkan
perbaikan apa saja yang harus dilakukan, dan bagaimana caranya. Karena itu,
sambil mengukur kinerja kita sebaiknya juga menelisik, faktor-faktor apa saja
yang menjadikan kondisi dari setiap unsur, komponen atau indikator kinerja
adalah seperti itu. Baik informasi obyektif maupun subyektif. Penilaian kinerja tak
akan bermanfaat jika tak diikuti upaya perbaikan atau peningkatan kinerja,
termasuk misalnya pemberian insentif.
Sekalipun penilaian kinerja adalah baik dan perlu, tampaknya akan dijumpai
beberapa pejabat dinas ataupun pihak lain yang berkeberatan dengan upaya
penilaian ini. Mereka menyembunyikan suatu kepentingan, yang aib jika
terungkap. Kalaupun orang-orang seperti ini pada akhirnya mau dinilai, mereka
tidak akan memberikan informasi secara apa adanya. Oleh sebab itu penilaian
kinerja oleh pihak independen haruslah dipaksakan oleh suatu aturan. Kesulitan
lain yang mungkin dihadapi sama dengan penelitian pada umumnya: kesulitan
menemui informan tertentu, kuesioner tidak dikembalikan, data lama tidak
tersedia dst. Para peneliti kiranya sudah familiar dengan ini.
56
57
DAFTAR PUSTAKA
Dunn, William N., Public Policy Analysis, An Introduction, 3rd ed., New Jersey:
Pearson 2004
Keban, Yeremias T., “Indikator Kinerja Pemda: Pendekatan Manajemen dan
Kebijakan”, Makalah Seminar Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fisipol
UGM, Yogyakarta, 20 Mei 1995
--------------------------, Enam Dimensi Administrasi Publik: Konsep, Teori dan
Isu, Yogyakarta: Gava Media 2008
Mahmudi, Manajemen Kinerja Sektor Publik, Yogyakarta: UPP STIM YKPN
2007
Muhammad, Fadel, Reinventing Local Government Pengalaman Dari Daerah,
Jakarta: PT Elex Media Komputindo 2008
Pranoto, Juni, “Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah:
Sudahkan Mengakomodasi Aspek Learning Organization?”, dalam Agus
Wahyuadianto, Meretas Jalan Menuju Good Governance, Bandung: LAN
2008, hal. 27-39
Rivai, Veithzal, “Evaluasi Kinerja Melahirkan Pemerintahan yang Akuntabel”,
dalam Agus Wahyuadianto, Meretas Jalan Menuju Good Governance,
Bandung: LAN 2008, hal. 57-90
Utomo, Tri Widodo W./Wismono, Fani Heru, “Pengukuran Kinerja sebagai
Upaya Membangun Pemerintah Daerah Berbasis Manajemen Kinerja”,
dalam dalam Agus Wahyuadianto, Meretas Jalan Menuju Good
Governance, Bandung: LAN 2008, hal. 103-118
Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Kinerja, dibuka 10 April 2009
Peraturan perundang-undangan
PermenPAN tentang Pedoman Umum Penetapan Indikator Kinerja Utama di
Lingkungan Instansi Pemerintah (No. 5/2007)
PP tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (No. 3/2007)
PP tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (No.
6/2008)
UU tentang Pemerintahan Daerah (No. 32/2004)
58
ADMINISTRASI NEGARA, KEBIJAKAN PUBLIK
REFORMASI DAN TRANSFORMASI
Oleh : Sri Suwitri
ABSTRAK
Ilmu Administrasi Negara adalah ilmu yang dinamis, bahkan belakangan ini
telah mengalami perkembangan pesat sejak perubahan orientasi dari birokrasi ke
publik. Terjadi pembangunan paradigm baru yaitu reinventing government dan
good governance. Berkembangnya ilmu kebijakan publik semakin memperkuat
posisi ilmu administrasi negara dalam hubungannya dengan ilmu lain seperti ilmu
politik, hokum dan ekonomi. Perkembangan mutakhir adalah kebutuhan ilmu
administrasi negara akan: 1) partisipasi, otonomi dan efisiensi; 2) pelayanan
publik dan 3) jejaring kebijakan.
Kata Kunci : Pergeseran Paradigma, Pelayanan publik, Jejaring Kebijakan,
***
Perkembangan Ilmu Administrasi Negara telah mengalami pergeseran titik
tekan dari administration of public dimana negara sebagai agen tunggal
implementasi fungsi negara/pemerintahan, yang menekankan fungsi
negara/pemerintahan dalam public service ke administration by public yang
berorientasi pada public demand are differentiated dalam arti fungsi
negara/pemerintah hanyalah sebagai fasilitator, katalisator yang bertitik tekan
pada putting the customers in the driver seat, tidak lagi sebagai faktor atau aktor
utama atau sebagai driving forces. Perubahan besar terjadi pada makna public
yaitu makna sebagai negara menjadi makna public sebagai masyarakat.
Pendekatan tidak lagi kepada negara tetapi lebih menitikberatkan pada customer”s
oriented atau customer”s approach. Sesuai tuntutan perubahan tersebut,
government yang lebih menitikberatkan kepada otoritas juga mengalami
perubahan menjadi governance yang menitikberatkan kepada kompatibilitas
diantara aktor kebijakan yaitu state (pemerintah), private (sektor swasta) dan civil
society atau masyarakat madani (Utomo, 2005: 5). Seiring perubahan tersebut,
kata public telah bergeser kearah kepentingan publik.
Makna yang terkandung dalam kata publik beragam namun tersirat satu hal
penting yaitu dalam kata publik harus berkaitan dengan kepentingan publik,
kepentingan umum, kepentingan rakyat atau kepentingan masyarakat. Karena
itulah public policy tidak diterjemahkan sebagai Kebijakan Negara melainkan
kebijakan publik, sebab public policy harus berorientasi pada kepentingan publik.
Tahun 1970-an kata Public Administration diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia sebagai Administrasi Negara, namun perkembangan terakhir sekarang
ini lebih tepat diartikan sebagai Administrasi Publik karena telah terjadi
pergeseran orientasi dari kepentingan birokrasi ke kepentingan publik.
Tumbuh kembangnya ilmu kebijakan publik sangat berkaitan dengan
perkembangan ilmu administrasi negara dalam hubungannya dengan ilmu politik.
Ilmu kebijakan publik muncul dan berperan menjembatani hubungan ilmu
administrasi Negara dengan ilmu politik. Kata publik dalam kebijakan publik
mengandung pengertian bahwa “ kebijakan tersebut berasal dari publik, disusun
59
oleh publik dan berlaku untuk publik.” Dengan demikian, kebijakan publik sangat
erat berhubungan dengan kepentingan publik.
Kebijakan publik berhubungan dengan bidang-bidang publik yang berbeda
rumusan dengan sesuatu pada bidang privat. Terjadi ketegangan antara tuntutan
publik dan tuntutan privat yang saling bertentangan. Pakar ekonomi politik
beranggapan ketegangan atau konflik antara kepentingan publik dan privat dapat
diatasi dengan kekuatan pasar, sebagai cara memaksimalkan kepentingan
individual dan sekaligus mempromosikan kepentingan publik. Peran negara dan
politik adalah menciptakan kondisi kepentingan privat sejalan dengan kepentingan
publik. Gagasan liberal mengenai perbedaan ruang publik dan privat ini
menjelang awal abad ke-20 diubah oleh liberalisme baru yang menyatakan bahwa
pasar semakin sulit menciptakan titik temu (convergence) antara kepentingan
privat dan publik. Sesudah Perang Dunia II, Laswell lebih mempertajam gagasan
liberalisme baru dengan pernyataan bahwa gagasan liberal tentang tujuan
pengambilan kebijakan dilandaskan pada keyakinan bahwa peran negara adalah
mengelola (to manage) ruang publik beserta problem-problemnya dan menangani
aspek-aspek kehidupan sosial dan ekonomi yang tak lagi mampu ditangani oleh
kekuatan pasar. Konsekuensi dari peran negara sebagai sarana merekonsiliasikan
kepentingan publik dan privat adalah berkembangnya birokrasi sebagai bentuk
yang semakin rasional (Weber, 1991: 196-252). Administrasi publik berkembang
sebagai sarana mengamankan kepentingan publik dengan memanfaatkan
kelompok pegawai negeri sipil (civil servant) yang bertugas melaksanakan
perintah dari orang-orang yang dipilih rakyat. Birokrasi publik berbeda dengan
birokrasi sektor privat sebab birokrasi publik dimotivasi untuk mengamankan
kepentingan nasional daripada kepentingan privat atau swasta. Administrasi
publik adalah cara yang lebih rasional untuk mempromosikan kepentingan publik
(Parsons, 2005: 2-7). Dewasa ini kepentingan publik menjadi fokus utama dalam
kebijakan publik. Agar kebijakan publik tidak menyimpang dari kepentingan
publik, perlu diciptakan suasana good governance dalam administrasi publik.
Good governance mengakomodasi 3 (tiga) pilar kepentingan yaitu antara
pemerintah, privat atau swasta dan masyarakat. Era good governance tidak lagi
mempertentangkan kepentingan publik dan privat melainkan mempersatukan
kepentingan pemerintah, privat dan masyarakat menjadi satu kepentingan yaitu
kepentingan publik.
Kebijakan publik adalah serangkaian tindakan berupa pilihan untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam rangka mencapai tujuan negara
yang merupakan kepentingan publik dengan memperhatikan input yang tersedia,
berdasarkan usulan dari seseorang atau sekelompok orang di dalam pemerintahan
atau di luar pemerintahan. Kebijakan publik, saat membahasnya tidaklah berada
dalam kehampaan nilai. Kebijakan publik berada pada suatu organisasi yang
kompleks dan sarat nilai dari lingkungannya (Pennen, 2005: 302). Nilai-nilai yang
ada pada masyarakat merupakan kepentingan masyarakat atau kepentingan publik.
Kepentingan publik akan menjadi desakan bagi pemerintah sebagai wakil-wakil
masyarakat untuk memformulasikan dan mewujudkan kepentingan publik tersebut
dalam suatu kebijakan publik. Kebijakan publik yang akan mengatur
pengalokasian nilai-nilai masyarakat tersebut secara paksa kepada seluruh anggota
masyarakat. Kesemua perumusan dan pengalokasian nilai-nilai masyarakat
merupakan tindakan pilihan pemerintah untuk mencapai tujuan.
60
Terdapat lima (5) sumber sistem nilai yang mempengaruhi intensitas dan
dominasi dalam kebijakan publik dan kepentingan publik (Wart, 1998: 8-23),
yakni: 1) nilai-nilai individu, 2) nilai-nilai profesional, 3) nilai-nilai organisasi, 4)
nilai-nilai legal, dan 5) nilai-nilai kepentingan publik.
Mempelajari kebijakan publik tidak akan terlepas dari pertumbuhan paradigma-
paradigma ilmu administrasi negara.
Paradigma 1 : Dikotomi Politik dan Administrasi (1900-1926).
Paradigma 2 : Prinsip-prinsip Administrasi (1927-1937)
Paradigma 3 : Administrasi sebagai Ilmu Politik (1950-1970).
Paradigma 4 : Administrasi Negara sebagai Ilmu Administrasi (1956-1970)
Paradigma 5 : Administrasi Negara sebagai Administrasi Negara (1970- ?)
Pada paradigma ini ilmu administrasi negara telah menjadi administrasi
negara dengan diketemukannya locus pada organisasi publik, yang berbeda
tujuannya dengan organisasi bisnis. Perkembangan ilmu administrasi negara
akhir-akhir ini semakin mendekatkan hubungan administratif antara organisasi
publik dan privat, hubungan antara teknologi dan sosial. Keadaan seperti ini telah
memperkuat perkembangan locus administrasi negara dengan digunakannya ilmu
organisasi bisnis pada ilmu administrasi negara.
Kaitan ilmu administrasi negara dengan ilmu politik dalam proses
perumusan kebijakan negara mendorong semakin banyak sarjana-sarjana
administrasi negara terlibat pada bidang-bidang ilmu kebijakan (policy science),
ekonomi politik (political economy); proses perumusan kebijakan negara; analisa
kebijakan negara; pengukuran keluaran kebijakan negara dan sebagainya. Hal
yang terakhir ini mendorong ditemukannya locus dan fokus administrasi negara.
Banyak buku-buku tentang paradigma ilmu administrasi negara, seperti
halnya Irfan Islamy, beranggapan bahwa terdapat lima (5) paradigma, namun saya
memberanikan diri untuk menulis bahwa paradigma ilmu administrasi Negara
telah berkembang menjadi tujuh (7) paradigma seiring dengan terjadinya
pergeseran orientasi ilmu administrasi Negara, dari berorientasi pada birokrasi
menjadi berorientasi kepada kepentingan publik.
Paradigma 6: Reinventing Government
Pada tahun 1978 (Osborne dan Ted Gaebler, 1995: 89-93), terjadi fenomena
baru dalam pemerintahan atau admnistrasi negara yang telah memaksa
administrasi negara untuk melakukan reformasi. Di California terjadi penentangan
terhadap pembayaran pajak yang disebabkan adanya inflasi dan ketidakpuasan
terhadap perusahaan negara. Di bawah tekanan finansial tersebut memaksa
pemimpin daerah dan negara bagian untuk mereformasi sistem administrasi
negaranya dengan cara membuka sistem ‘kemitraan negeri-swasta’. Inilah cikal
bakal Reinventing government atau wirausaha birokrasi. Untuk memperlancar
reformasi tersebut, administrasi negara mulai merubah pola kerja birokrasi, yang
semula berorientasi pelayanan kepada birokrat berubah ke orientasi pelayanan
kepada masyarakat.
Pada tahun 1980-an di Inggris di bawah pemerintahan Margaret Thatcher
telah terjadi hal yang serupa (Osborne dan Ted Gaebler, 1995: 359-362), yaitu
terjadinya defisit anggaran yang disebabkan banyaknya anggaran dikeluarkan
untuk memberikan hutang kepada negara berkembang dan pengembaliannya
mengalami kemacetan. Sementara di internal pemerintahan banyak institusi
pemerintah yang meminta subsidi terus menerus dengan angka yang makin lama
61
makin membesar. Thatcher mengembangkan alternatif dengan melakukan
penjualan instansi pemerintah dan berusaha meminjam ilmu-ilmu administrasi
bisnis untuk mereformasi birokrasi pemerintah agar menjadi birokrasi yang efisien
dan efektif.
Pemerintahan bergaya ‘wirausaha’ menjadi cara yang efisien dan efektif
untuk menghindari bangkrutnya suatu birokrasi. Sebagaimana dikatakan William
Hudnut (dalam David Osborne dan Ted Gaebler, 1995: 20), yaitu :
Pemerintah wirausaha bersedia meninggalkan program dan metode lama. Ia
bersifat inovatif, imajinatif, dan kreatif, serta berani mengambil resiko. Ia juga
mengubah beberapa fungsi kota menjadi sarana penghasil uang ketimbang
menguras anggaran , menjauhkan diri dari alternative tradisional yang hanya
memberikan system penopang hidup. Ia bekerja sama dengan sector swasta,
menggunakan pengertian bisnis yang mendalam, menswastakan diri,
mendirikan berbagai perusahaan dan mengadakan berbagai usaha yang
menghasilkan laba. Ia berorientasi pasar, memusatkan pada ukuran kinerja,
memberi penghargaan terhadap jasa. Iapun mengatakan, “Mari kita selesaikan
pekerjaan ini”, dan tidak takut untuk memimpikan hal-hal besar.
Merubah budaya kerja, mereformasi administrasi negara dengan meminjam
ilmu administrasi bisnis ke dalam administrasi negara itulah yang disebut
Reinventing Government atau Wirausaha Birokrasi. Pada paradigma ini
Administrasi Negara dipaksa untuk melakukan reformasi, sehingga istilah
reformasi administrasi, reformasi dan revitalisasi birokrasi serta reorganisasi
menggema dimana-mana.
Paradigma 7: Good Governance
Wirausaha birokrasi harus dijalankan berdasarkan prinsip pemerintahan yang
baik, maka muncullah prinsip-prinsip pemerintahan yang baik.
Kata Pemerintahan (Government) berasal dari sebuah kata Yunani yang
berarti “mengarahkan”. Tugas pemerintah adalah mengarahkan, bukan mengayuh
perahu. Memberikan pelayanan adalah mengayuh dan pemerintah tidaklah pandai
mengayuh. (E.S. Savas dalam Osborne dan Ted Gaebler, 1995: 29). Tugas
pemerintah memberikan pengarahan dan administrasi yang berwenang atas
kegiatan orang-orang dalam sebuah Negara, Negara bagian, kota dan sebagainya.
Konsep governance (UN ESCAP,2006) diartikan sebagai proses dari proses
pengambilan keputusan dimana keputusan diimplentasikan ataupun tidak
diimplementasikan. Fokus dari analisis governance UN ESCAP adalah aktor
yang terlibat dalam pembuatan keputusan dan implementasinya baik dari struktur
formal maupun informal. Government adalah salah satu aktor dari proses
tersebut. Demikian juga militer, sedangkan aktor lain adalah area rural seperti
group yang merupakan bagian dari masyarakat sipil. Good governance tercipta
apabila keseluruhan aktor aktif terlibat dalam proses pembuatan keputusan dan
implementasi ataupun tidak diimplementasikan. Terdapat 8 karakteristik agar
good governance yaitu partisipasi, rule of law, akuntabilitas, transparansi,
reponsif, efektif dan efisien, orientasi konsensus dan equity and inclusiveness.
Paradigma good governance beranggapan bahwa suatu pemerintahan yang
baik adalah yang berorientasi kepada masyarakat dan bukan lagi kepada birokrat
atau dengan kata lain pemerintahan yang sedang mereformasi diri melaksanakan
wirausaha birokrasi. Agar dalam pelaksanaannya terhindar dari KKN ( Korupsi,
62
Kolusi dan Nepotisme) harus mendasarkan diri pada prinsip-prinsip good
governance.
Paradigma ke 6 reinventing government dan paradigma 7 good governance
telah mengarah pada pembentukan paradigma kebijakan. Paradigma kebijakan
(policy paradigm) yaitu suatu perubahan konsep kebijakan yang besar yang terjadi
ketika pembuat kebijakan dihadapkan pada teka-teki masalah pencapaian tujuan
dan perubahan paradigma tersebut merupakan instrument bagi pencapaian tujuan.
(Hall dalam Howlett and M. Ramesh, 1995: 190)
Paradigma baru kebijakan publik dan administrasi Negara menampilkan
perkembangan beberapa konsep dalam rangka menunjang pelaksanaan
reinventing government dan good governance, yaitu :
1. Konsep Otonomi Daerah, Partisipasi Dan Efisiensi
Paradigma reinventing government, telah mendorong terjadinya
pembaharuan perekonomian pemerintah di seluruh negara di dunia. Dampak
perubahan perekonomian pemerintahan di dunia adalah kebangkitan demokrasi
baru yang ditandai dengan dua trend sejarah, yaitu (Kielberg, 1995): Pertama,
Pemerintah nasional telah memperluas otoritas mereka sampai ke Pemerintahan
lokal. Kedua, pendapatan Pemerintah sebagai bagian gross nasional product telah
tumbuh lebih cepat dari sebelum perubahan perekonomian.
Akibat pertumbuhan dua trend tersebut, muncul 2 (dua) jenis negara yaitu
negara-negara kaya dan negara-negara miskin. Negara-negara kaya dianggap
demokratis, sedangkan negara-negara miskin dianggap menguasai sektor privat.
Pada kedua negara tersebut, negara kaya dan negara sedang berkembang,
pertumbuhan Pemerintahan lokal dan sektor swasta semakin meningkat, demikian
juga tuntutan untuk mengadakan privatisasi, devaksi dan desentralisasi.
Bank Dunia juga telah menuntut ditingkatkannya sektor swasta melalui
penentuan opsi masuknya badan ekonomi International ke daerah dan
memberikan peran pada Pemerintah lokal dengan menciptakan demokratisasi
lokal, politik lokal dan globlalisasi ekonomi.
Salah satu teori negara demokratis modern menyatakan bahwa institusi-
institusi demokrasi haruslah mempunyai local fundation (dasar lokal) sebagai
kekuatan menghadapi perluasan kekuatan nasional. Keberadaan Pemerintah lokal
dan demokrasi partisipasi politik akan bermakna jelas dengan peningkatan
partisipasi lokal. Argumen yang mendasarinya adalah semakin besar unit nasional,
semakin banyak waktu yang dibutuhkan dalam membentuk koalisi politik dan
berakibat semakin besar pula perbedaan antar kelompok dan individu. Pemerintah
lokal lebih memungkinkan terjadinya partisipasi karena lebih memungkinkannya
kontak personal baik secara langsung maupun melalui jaringan siapa mengenal
siapa seperti dalam bentuk Negara Kota Yunani Kuno. Masalahnya skala
kumpulan manusia untuk memobilisasi sumberdaya dalam mencapai tujuan
ternyata lebih besar daripada ukuran partisipasi yang diberikan. Jawaban dilema
diatas adalah pembagian pemerintahan dalam beberapa tingkatan atau
pembentukan pemerintah lokal atau otonomi daerah.
Reformasi pemerintah pusat ke daerah dan reformasi pemerintah daerah
bukan hanya pembentukan di bidang administrasi biasa, melainkan suatu
restrukturisasi politik yang hakiki dari hubungan antara berbagai macam tingkatan
pemerintah. Jawaban bagi reformasi ini adalah kemunculan konsep pemerintahan
daerah yang mandiri dengan tiga rangkaian nilai-nilai penting yang terkandung
63
dalam konsep itu yaitu : “kebebasan atau otonomi, demokrasi atau partisipasi dan
efisiensi”.
Perkembangan politik lokal atau terwujudnya pemerintahan lokal
menstimulasi terbentuknya globalisasi demokratisasi lokal yang ditandai dengan
(Teune, 1995) : Pertama, hubungan lokal dengan negara asing ataupun lembaga
keuangan internasional. Kedua, hubungan antarkota dalam hubungan antar negara
yang berwujud gerakan sister-city (kota kembar).
Kedua hubungan tersebut merupakan cerminan dari demokrasi partisipatif
pemerintahan lokal yang melampaui batas nation state. Menjadi tugas pemerintah
pusat untuk mengatur hubungan ini melalui kebijakan publik agar tidak
menciptakan negara dalam negara.
2. Konsep Pelayanan Publik
Ted Gabler dan David Osborne (1992) dengan konsep reinventing
government ), telah merubah paradigma administrasi publik dimana beroperasinya
organisasi publik harus mendasarkan diri pada profesionalisme layaknya
organisasi bisnis. Kinerja organisasi publik mengalami perubahan dari orientasi
birokrat ke pelayanan epada publik. Efisiensi, efektivitas, murah, cepat,
berkualitas dalam melayani publik dengan menempatkan kepuasan masyarakat
sebagai stakeholder menjadi tujuan utama organisasi publik.
Kesadaran publik akan hak-haknya untuk menerima pelayanan publik
secara prima pada saat ini telah meningkat, sehingga perlu dilakukan transformasi
semangat kewirausahaan ke dalam birokrasi, di mana salah satunya menyangkut
bidang kualitas pelayanan yaitu prinsip pemerintahan berorientasi kepada
pelanggan ( masyarakat ), memenuhi kebutuhan dan kepuasan masyarakat, bukan
kebutuhan dan kepuasan birokrasi.
Paradigma reinventing government dan good governance menstimulasi
perkembangan konsep pelayanan publik. Implementasi otonomi daerah harus
diorientasikan kepada pelayanan publik yang prima. Keberhasilan pemerintah
daerah akan dinilai dan didukung oleh masyarakat termasuk didalamnya pelaku
bisnis selaku stakeholder dari kualitas pelayanannya. Hakim penilai baik atau
buruknya kualitas pelayanan pemerintah daerah adalah masyarakat. Dengan
otonomi daerah atau penyerahan sebagian besar kewenangan dari pemerintah
pusat kepada daerah, maka daerah akan lebih cepat dan efektif dalam merespon
tuntutan-tuntutan masyarakat. Pelayanan publik dalam otonomi daerah akan
memancing investor untuk menanamkan modalnya di daerah. Pelayanan yang
prima, cepat, tepat, mudah, murah, tidak berbelit-belit sangat dibutuhkan dunia
usaha. Standard Pelayanan perlu disusun bagi setiap instansi di daerah khususnya
yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Keluhan masyarakat
terhadap pelayanan publik juga harus diwadahi dan dikelola sedemikian rupa
dalam sebuah manajemen keluhan untuk menghindari keluhan masyarakat
berubah menjadi sengketa atau perselisihan akibat kesalahan dalam pelayanan
publik.
Pentingnya mendasarkan hakekat otonomi daerah kepada pemaknaan
pelayanan publik yang prima telah mendorong pemerintah menerbitkan beberapa
dasar hukum pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat yaitu KepMenPAN
Nomor 81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tata Laksana Pelayanan Umum;
InMenDaGri Nomor 25 Tahun 1998 tentang Pelayanan Perizinan Satu Atap di
Daerah ; Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2000 tentang Kewenangan
64
Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom. Saat ini
Pemerintah Indinesia melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara telah
menyusun Undang-Undang tentang pelayanan publik dengan manajemen keluhan
termasuk didalam UU tersebut.
3. Konsep Jejaring Kebijakan Publik
Paradigma reinventing government dan good governance bukan hanya
memicu tampilnya konsep otonomi, partisipasi, efisiensi dan pelayanan publik,
akan tetapi juga jejaring kebijakan. Good governance mempunyai tiga (3) pilar
yaitu pemerntah, swasta dan masyarakat. Jejaring kebijakan yang terbentuk
diantara tiga pilar akan semakin memperkuat pelaksanaan good governance.
Jejaring dalam kebijakan memiliki pengertian yang berbeda dengan
partisipasi. Jejaring kebijakan bukan hanya menuntut peran serta atau keterlibatan
para aktor sebagai partisipan, melainkan juga hubungan saling menguntungkan
diantara partisipan atau aktor pemerintah, swasta dan masyarakat.
Jejaring kebijakan juga berbeda dengan kata koordinasi. Dalam koordinasi
terkandung suatu agreement diantara aktor untuk mencapai tujuan bersama
dengan pemerintah sebagai aktor utama. Jejaring kebijakan justru mengandung
konflik diantara aktor karena perbedaan kepentingan, namun konflik tersebut
harus dapat dipersatukan dalam beberapa koalisi untuk mencapai tujuan dengan
aktor utama tidak selalu dari unsur pemerintah.
Kekuatan konflik dan koalisi aktor jejaring kebijakan menentukan
tercapainya kepentingan publik dalam kebijakan publik. Hubungan diantara para
aktor dalam wadah organisasi, merupakan subsistem kebijakan dan subsistem
kebijakan sebagai jejaring kebijakan ruang geraknya dibatasi oleh lingkungan.
Aktor, hubungan diantara aktor dalam wadah organisasi atau subsistem kebijakan
dalam suatu batas lingkungan tertentu melandasi pembentukan jejaring kebijakan.
Hubungan diantara aktor pemerintah, masyarakat termasuk privat akan
membentuk jejaring kebijakan (Waarden, 1992: 29-52 dalam Howlett dan
Ramesh,1995: 130). Hubungan antara pemerintah dengan kelompok kepentingan
dalam masyarakat itu disebut jaringan kebijakan. Hubungan yang erat antara
pemerintah dan stakeholders dalam jejaring kebijakan inilah yang menentukan
tercapainya kepentingan publik.
Kata network atau jejaring mengandung dua arti, pertama berarti menjalin
kontak untuk mendapat keuntungan dan kedua, dari bahasa teknologi komputer
yaitu komputer yang saling terhubung (Parsons, 2005: 186). Istilah network atau
jaringan dalam ilmu sosial pertama kali dipakai pada 1940-an dan 1950-an untuk
menganalisis dan memetakan hubungan dan dependensi personal. Dalam kasus
kebijakan publik, konsep ini memberi perhatian pada bagaimana kebijakan
muncul dari kesalinghubungan (interplay) antara orang dan organisasi dan
memberikan gambaran yang lebih informal tentang bagaimana kebijakan riil
dilaksanakan. Diversitas yang semakin besar dalam masyarakat, disesuaikannya
program kebijakan dengan target dan fungsi spesifik, dan peningkatan jumlah
partisipan dalam proses kebijakan membuat metafora jaringan dianggap lebih
cocok dalam paradigma baru kebijakan publik daripada model pluralisme ataupun
korporatisme (Parsons, 2005: 186-187).
Katzenstein (dalam Howlett dan Ramesh, 1995: 127), menyatakan bahwa
dibutuhkan suatu jaringan yang menghubungkan negara dengan aktor masyarakat
untuk menyatu dalam proses kebijakan publik sejak tahap perumusan kebijakan
65
agar tujuan kepentingan publik dapat tercapai. Hubungan ini disebutnya sebagai
Policy Networks. Rhodes (dalam Howlett dan Ramesh, 1995: 127), menyatakan
bahwa interaksi antara sejumlah departemen dan organisasi pemerintahan dengan
organisasi masyarakat merupakan policy networks yang bersifat instrumental
dalam proses kebijakan publik. Kekuatan policy networks atau jejaring kebijakan
tergantung pada tingkat integrasi, kemapanan keanggotaan, sumber daya dan
hubungan dengan publik.
Jejaring kebijakan merupakan autopoiesis atau mencipta diri, membentuk
pola jaringan yang di dalamnya setiap komponen berpartisipasi dengan komponen
lain dalam jaringan untuk menghasilkan kegiatan, produksi atau transformasi
jaringan sehingga merupakan suatu sistem (Capra, 1997, 2002: 284, Mardiyono,
2007: 763). Rod Rhodes menyatakan bahwa diperlukan penelitian struktur
dependensi di dalam jaringan kebijakan dan mengidentifikasi varietas utama dari
jaringan pada level sentral dan lokal, termasuk kalangan profesional, pemerintah
lokal dan produsen jaringan, serta mencari tahu bagaimana mereka berinteraksi
dengan pemerintah pusat (Parsons, 2005: 191). Di Eropa, Wilk dan Wright (dalam
Howlett dan Ramesh, 1995: 127) membahas kekuatan jejaring kebijakan pada
dimensi disagregatif dan interpersonal yang terwujud pada lima hal yaitu
kepentingan anggota jejaring, keanggotaan, ketergantungan antar anggota,
terisolasinya dari jaringan lain, dan distribusi sumber daya antar anggota.
Jejaring berintegrasi keanggotaan tinggi, mempunyai stabilitas keanggotaan,
saling ketergantungan anggota jejaring, dan isolasi dari jejaring lain. Semakin
besar jejaring, struktur dan link antar anggota akan mengendur. Jejaring kebijakan
akan menguat pada masyarakat pluralis.
Waarden beragumen bahwa kekuatan jejaring berbeda-beda sesuai dengan
7 kriteria yaitu jumlah dan jenis aktor, fungsi jaringan, struktur, institusionalisasi,
aturan main, hubungan kekuasaan, dan strategi aktor. Atkinson dan Coleman
(1989) telah mengembangkan konsep hubungan antara organisasi masyarakat
dengan negara atau pemerintah. Hubungan tersebut didasarkan pada apakah
kepentingan sosial diorganisasikan terpusat dan apakah negara memiliki
kemampuan untuk mengembangkan alternatif kebijakan yang independen (dalam
Howlett dan Ramesh, 1995: 130).
Kekuatan jejaring yang berbeda-beda akibat interaksi aktor akan
menyebabkan variasi tingkat pencapaian kepentingan publik yang berbeda-beda
pula. Administrasi publik dan kebijakan publik akan mengalami kematian dengan
bunuh diri (public administration suicide) apabila tidak mampu mencapai
kepentingan publik. Publik atau masyarakat yang hidup dalam kematian
administrasi publik akan mengalami nekrofilia yaitu suatu masyarakat yang
seluruh tatanannya diarahkan pada penghancuran, bersemboyan hidup
pembunuhan dan kematian, disintegrasi, terhentinya pertumbuhan serta
inhumanitas (Zauhar, 2007: 3-7). Sebaliknya, masyarakat yang hidup dalam
administrasi publik yang sehat yang dapat mencapai kepentingan publik, akan
membentuk masyarakat deliberatif. Masyarakat deliberatif adalah masyarakat
yang hidup dalam kebijakan deliberatif yaitu kebijakan publik yang dibuat
berdasarkan :1) pertukaran informasi dan argumen yang paling dapat diterima, 2)
inklusif dan terbuka untuk publik, tidak seorangpun memiliki kuasa mutlak atas
yang lain, 3) bebas dari koersi internal maupun eksternal yang mengurangi
kesetaraan partisipan, 4) pengambilan keputusan atas kesepakatan dan bukan atas
66
pengambilan suara di bawah tekanan institusi mayoritas, 5) kesetaraan dan
kesejajaran hak kelompok kepentingan untuk berpartisipasi, 6) terdapat ruang
tawar menawar dan kompromi secara adil, serta kepentingan-kepentingan anti-
generalisasi, yang mengambil tempat di luar pengaturan institusional non-
deliberatif (Zauhar, 2007: 20-21).
Jejaring kebijakan menjadi faktor penguat bagi terbentuknya kebijakan
deliberatif (berunding) yang sangat dibutuhkan good governance. Melalui
kebijakan deliberatif dengan pembentukan jejaring kebijakan akan dapat dihindari
masyarakat nekrofilia dan terbentuk masyarakat demokrasi deliberatif dimana
tidak ada yang tertindas dalam keragaman, baik mayoritas maupun minoritas,
selalu besifat contingen dan terbuka (Zauhar, 2007: 21).
67
DAFTAR PUSTAKA
68
Henry, Nicholas. 2004. Public Administration and Public Affairs. Georgia
Southern University, Pearson Prentice Hall.
----------------------. 1995. Administrasi Negara dan Masalah-masalah Publik.
Luciana D.Lontoh (penerjemah). PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Hill, Michael. 1993. The Policy Process :A Reader. Harvester-Wheatsheaf, New
York.
Home, ESCAPE. 2006. What is Good Governance. United Nations Economic and
Social Commisssion for Asia and the Pasific, Human Settlements, Oct., 11,
2006 :1-4.
Howlett, Michael and M. Ramesh. 1995. Studying Public Policy : Policy Cycles
and Policy Subsystems. Oxford University Press, Oxford.
Islamy, Irfan. 1986. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, PT. Bina
Aksara, Jakarta.
----------------, 1988, Materi Pokok Kebijakan Publik, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Universitas Terbuka, Jakarta
-----------------. 2004. Materi Pokok Kebijakan Publik, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Universitas Terbuka, Jakarta.
-----------------. 2006. Hand Out Perbandingan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu
Administrasi, Universitas Brawijaya, Malang.
Jawahar, I.M., and Gary L.Mclaughlin. 2001.Toward A Descriptive Stakeholder
Theory : An Organizational Life Cycle Approach. Academy of Management
Review, Vol. 26, N0. 3 : 397-414.
Kiellberg, Francesco. 1995. The Changing Values of Local Government, The
ANNALS of American Academy, AAPSS, 540, July : 40-50.
Kismartini, dkk. 2005. Analisis Kebijakan Publik, Buku Materi Pokok Universitas
Terbuka, Jakarta.
March, James G.and Johan P. Olsen. 1995. Democratic Governance, The Free
Press, New York.
Mardiyono. 2007. Kebijakan Publik dalam Perspektif Autopoiesis. Jurnal Ilmiah
Administrasi Publik, Vol. 9, N0. 1, September: 760-778)
Milstead, J. Andrew. 1997. Using Advanced Practice To Shape Public Policy :
Agenda Setting, Nursing Administration Quarterly, No. 21, Vol. 4: 467-471.
Osborne, David dan Ted Gaebler. Abdul Rosyid (terj). 1995. Mewirausahakan
Birokrasi, Menstranformasi Semangat Wirausaha Ke Dalam Sektor Publik,
Seri Umum No. 17. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.
69
Quade, E.S. 1982. Analysis for Public decision. Elsevier Science Publishing, New
York.
Rhodes, R.A.W. 1984. Power-Dependence, Policy Communities and
Intergovernmental Networks, Public Administration Bulletin, 49.
Sabatier, Paul A. and Hank C. Jenkins-Smith. 1993. Policy Change and Learning
: An Advocacy Coalition Approach. Westview Press, Boulder, Co.
-------------------------. 1988. An Advocacy Coalition Framework of Policy
Change and the role of policy-oriented learning therein. Policy Sciences, 21 :
129-68.
-------------------------. and N. Pelkey. 1987. In Corporating multiple actors and
guidance instrumrnts into models of regulatory policy making : an Advocacy
Coalition Framework. Administration and Society, 19 : 236-63.
-------------------------. and Daniel A. Mazmanian. 1983. Implementation and
Public Policy. Scott, Foresman and Company, U. S. A.
Savas, ES. 1994. Privatization: The Key to Better Government.
Chatam House Publisher, New Jersey.
70
E-GOVERNANCE SEBAGAI SARANA MENGUBAH BUDAYA
DAN REVITALISASI BIROKRASI
Oleh:
Falih Suaedi
(Dosen Ilmu Administrasi Negara Fisip Unair)
Pendahuluan
71
accountable? Jawabannya antara lain adalah adanya kemauan untuk melakukan
adopsi inovasi berupa teknologi yang dapat menuntun semua pihak, khususnya
birokrasi pemerintah untuk bekerja secara lebih transparan, efisien dan
professional. Adopsi dan inovasi teknologi yang dimaksud adalah melalui
penerapan E-Governance.
72
masyarakat terhadap kemampuan dan kemauan birokrasi untuk bersikap netral
juga masih dirasakan. Hal ini mengingat selama berpuluh tahun birokrasi telah
sukses menjadi alat penguasa dan sampai sekarangpun kebijakan publik yang
mengatur pembatasan hubungan partai politik terhadap birokrasi masih belum
jelas.
73
manusia, dan pembangunan secara berkelanjutan. Kini konsep good governance
itu lebih dekat dan banyak digunakan dalam reformasi sector public (Thoha,
2003). Istilah good governance sebenarnya menunjuk pada tindakan, fakta, atau
tingkah laku governing, yaitu mengarahkan atau mengendalikan atau
mempengaruhi masalah public dalam suatu negeri berdasarkan nilai-nilai yang
berkembang dalam masyarakat (Horby, 1974). Sementara itu United Nation
Development Programme (UNDP) merumuskan good governance sebagai suatu
pelaksanaan dari kewenangan economik, politik dan administrative untuk
mengatur dan mengurus seluruh urusan public atau masalah-masalah social di
semua level dalam suatu Negara . Dengan demikian good governance menjamin
adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi dan keseimbangan peran, serta
adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh tiga komponen yakni pemerintah,
masyarakat dan usahawan (Taschereau dan Campos, 1997; UNDP, 1997 dalam
Thoha, 2003).
Adapun tujuan strategis dari e-governance adalah untuk mendorong dan
menyederhanakan penyelenggaraan pemerintahan bagi semua pihak: pemerintah,
masyarakat dan privat sector (Backus, Michiel,2001). Dengan kata lain
penggunaan e-governance berarti mendorong dan menstimulasi terciptanya good
governance melalui interaksi efektif antara ketiga pilar good governance tersebut:
state, society dan privat sector. Dengan demikian tujuan dari e-governance identik
dengan tujuan dari good governance (Backus,2001).
Sebagaimana diketahui reformasi yang tengah dijalankan ini adalah dalam
rangka mewujudkan terciptanya good governance. Adapun karakteristik dari good
governance itu sendiri menurut UNDP yang dikutip oleh Lembaga Administrasi
Negara (2000) adalah sebagai berikut: (1) participation; (2) rule of law; (3)
transparency; (4) responsiveness; (5) concencus orientation; (6) equity; (7)
effectiveness dan efficiency; (8) accountability; dan (9) strategic vision.
Sementara Ganie-Rahman (2000) mengemukakan terdapat empat unsur utama
dalam penyelenggaraan good governance: (1) accountability; (2) rule of law; (3)
informasi; dan (4) tranparancy. Dengan demikian, peranan alat bantu yang
berupa teknologi informasi dan komunikasi (information communication
technologies = ICTs) menjadi sangat menentukan terwujudnya good governance
tersebut.
Information communication technologies (ICTs) ini berbeda dengan
Information technology (IT) yang selama ini telah banyak dikenal. Jika IT telah
lama digunakan di lingkungan pemerintahan di Negara-negara sedang
berkembang seperti di Indonesia ini bahkan hampir lebih dari 30 tahun, namun
belum dapat digunakan untuk memfasilitas dan mendorong kehidupan
berdemokrasi dan pemerintahan yang bersih. Hal ini dikarenakan sifat IT yang
hanya digunakan sebagai otomatisasi pengolahan data (data processing) yang
dimanfaatkan oleh pemerintah secara internal saja, sedangkan penggunaan ICTs
adalah dalam rangka mendukung proses transformasi eksternal pemerintah
melalui pemrosesan dan pengkomunikasian data yang biasa dikenal dengan istilah
digital connections. Digital connections ini meliputi: (1) hubungan antara dan
dalam pemerintahan itu sendiri dalam rangka “joint-up thinking”; (2) hubungan
antara pemerintah dengan masyarakat atau LSM dalam rangka meningkatkan
akuntabilitas pemerintah; (3) hubungan antara pemerintah dengan masyarakat
bisnis (privat) dalam rangka peningkatan pelayanan; (4) hubungan antar LSM
74
dalam rangka mendukung proses learning dan sinergi antara mereka; (5)
hubungan antar masyarakat dalam rangka pembangunan social dan ekonomi.
Dengan kata lain penerapan e-governance berarti telah terjadi pergeseran dari e-
administration (peningkatan penyelenggaraan tertib pemerintahan) menuju e-
citizens (peningkatan hubungan pemerintah dengan warga negaranya), e-services
(peningkatan pelayanan public) dan e-society (interaksi dan sinergi antara
berbagai komponen masyarakat). Ketiga domain tersebut masing-masing saling
bersinggungan atau bersinergi sebagai kekuatan bagi terciptanya good governance
melalui e-governance
Improved process:
e - Administration
External interations:
e - Society Connected Citizens:
e- Citizens &
e- Services
75
(ICTs) yang mendorong terjadinya tiga perubahan yang mendasari
terciptanya
good governance di Negara yang sedang berkembang, yang meliputi
(http://www.glowingweb.com/egov/indedth.htm):
(1) Automation: yakni pergeseran dari pemrosessan informasi secara manual
ke teknologi digital;
(2) Informatisation: yakni mempercepat proses pengolahan informasi,
misalnya dalam rangka pengambilan keputusan, dan implementasi
keputusan;
(3) Transformation: yakni penciptaan metode-metode pelayanan public yang
lebih cepat dan efisien.
Dari ketiga perubahan fundamental ini, akan membawa beberapa keunggulan bagi
pemerintah dalam menyelenggarakan pembangunan khususnya pembangunan
daerah dan pelayanan publik, yakni:
76
sebagai alat (tools) yang memungkinkan seluruh prakarsa (good will) pemerintah
dapat terlaksana sebagaimana yang diharapkan. Berikut digambarkan bagaimana
hubungan ICTs dengan fungsi pemerintah serta bagaimana proses sinergi antara
keduanya:
a) Kondisi saat ini: dimana belum terbentuk sinergi antara ICT dan pemerintah
Governance ICT
initiative initiative
Governance
Initiative ICT Initiative
e-Governance
Initiative
Information
e-Governance Initiative
77
mengetengahkan suatu gagasan yang optimis bahwa dengan
diimplementasikannya e-governance dan akhirnya e-government, akan mampu
mengubah perilaku dan budaya birokrasi secara bertahap namun pasti menuju
birokrasi yang profesional.
Dengan dimanfaatkannya potensi - potensi komunikasi dengan
menggunakan teknologi informasi dan komunikasi tersebut, secara bertahap
melalui aktivitas individu-individu di dalam dan di luar organisasi yang
menggunakan teknologi tersebut, serta meningkatnya akses terhadap pemerintah
dari berbagai kalangan telah mendorong terjadinya perubahan intelektual dan
budaya (Riley, Thomas B., 2002). Masyarakat kita saat ini memang sedang
mengalami fase evolusi dalam hal berorganisasi dan berkomunikasi. Adalah
menjadi tugas dan kewajiban bagi setiap pemerintah untuk selalu tanggap dan
menyesuaikan dengan pola-pola atau kecenderungan-kecenderungan baru yang
selalu terjadi pada masyarakat tersebut. Sehingga, mau tidak mau perubahan
yang terjadi pada lingkungan eksternal birokrasi pemerintah tersebut harus
diantisipasi dan dipahami serta selanjutnya difasilitasi dengan bentuk penyediaan
teknologi support system seperti e-governance tersebut. Bagaimana memulai
perubahan itu sendiri, diawali dengan adanya komitmen pimpinan untuk
mengadopsi dan mengimplementasikan teknologi informasi dan komunikasi
(ICTs) tersebut secara profesional. Sebaliknya jika kemauan untuk menerapkan
ICTs ini masih belum muncul maka sampai kapanpun sulit untuk mengubah
budaya dan pola intelektualitas birokrasi atau pemerintah pada umumnya. Hal ini
telah dibuktikan selama beberapa decade di beberapa negara, bahwa ketika
teknologi informasi dan komunikasi ini diterapkan maka disana akan terjadi
perubahan praktek-praktek administrasi.
Jadi dalam konteks ini, perubahan teknologi di satu sisi akan membawa
perubahan baik perubahan yang bersifat administrative maupun perubahan
cultural. Berikut diketengahkan bagaimana e-governance dapat mempengaruhi
perubahan budaya, yang pada gilirannya mewujudkan good governance.
78
ICTs = e-Governance
Pengenalan proses adopsi implementasi efektif
Karakteristik Budaya
GOOD GOVERNANCE
Gambar 3. E-governance, cultural change, dan good governance
79
pihak yang kurang mendukung terhadap adanya perubahan tersebut atau juga
pihak-pihak yang kurang optimis terhadap keberhasilan suatu perubahan. Oleh
karenanya yang perlu untuk mendapat perhatian adalah bagaimana meminimalisir
daya resistensi tersebut dan menggalang komitmen bersama untuk mensukseskan
perubahan yang dikehendaki.
Penerapan e-governance akan mendorong terjadinya perubahan cultural,
yang berarti juga perubahan system nilai, tidak saja di kalangan birokrasi
pemerintah, tetapi juga masyarakat secara menyeluruh termasuk privat sector dan
NGOs. Dari budaya birokrasi yang tertutup menuju budaya yang transparan,
dimana transparansi itu dituntut sampai pada level internasional. Hal ini jelas
sangat membutuhkan kesiapan mental serta kemampuan (skills) sumberdaya
manusia yang mamadai..
Perubahan sebagai esensi dari reformasi, seringkali mencakup dua makna
sekaligus yakni “reengineering” dan “reinventing”. Secara teoritis, reengineering
dibedakan dengan reinventing dalam hal ruang lingkup atau skala perubahannya.
Konsep reengineering lebih ditujukan pada perubahan organisasional (internal),
sedangkan konsep reinventing mengacu pada perubahan yang menjangkau
lingkungan eksternal dan masyarakat secara luas (Bovaird dan Hughes,1995).
Pada organisasi pemerintah, perubahan atau reformasi yang seringkali dilakukan
adalah dalam upaya meningkatkan pelayanan publik melalui pembenahan internal
system yang meliputi: menyediakan pelayanan yang berorientasi pada masyarakat,
penyempurnaan system dan prosedur pekerjaan, merampingkan struktur
organisasi dan meningkatkan sumberdaya manusia, meningkatkan akuntabilitas
dan disiplin, menerapkan nilai-nilai dalam praktek terbaik, serta meningkatkan
kerjasama antara sektor publik dengan sektor privat atau pihak-pihak terkait
lainnya (Abdul Karim, 1998). Sedangkan konsep perubahan dalam konteks
reinventing adalah proses pengadopsian prinsip-prinsip entrepreneurship ke
dalam penyelenggaraan pemerintahan khususnya di bidang pelayanan public
(Reyes, 1998). Namun secara praktis, seringkali kedua konsep perubahan itu tidak
dapat dibedakan secara tegas.
Terlepas dari persamaan dan perbedaan kedua konsep perubahan di atas,
pada akhirnya yang menjadi tujuan utamanya adalah terjadinya peningkatan
kinerja organisasi melalui reformasi mental dan budaya yang mewujud dalam
pelaksanaan prinsip-prinsip good governance secara efektif.
80
jenis atau karakteristik teknologi menentukan struktur organisasi yang selanjutnya
akan mengubah komponen administrative lainnya (Robbins, 1994:195-220).
Penerapan teknologi, dalam hal ini yang dimaksud adalah e-governance,
akan membawa pemerintahan menjadi lebih efisien dan efektif dalam hal
pelayanan public serta proses administrasi dan komunikasi internal. Selanjutnya,
e-government akan membawa masyarakatnya menuju ke aras internasionalisasi
atau pola-pola hubungan internasional --membangun jaringan-jaringan
internasional melalui media akses internet—(Riley,2002). Masyarakat menjadi
semakin well-informed atas segala hal menyangkut masalah - masalah public. Hal
ini jelas membawa pada perubahan budaya baik di kalangan internal pemerintahan
maupun masyarakat secara luas.
Memanajemeni proses perubahan melalui perubahan budaya memang
sangat dimungkinkan, namun dengan catatan pimpinan puncak mendukung dan
memiliki visi yang kuat tentang tujuan perubahan. Namun dalam konteks
birokrasi di Indonesia, Penulis tidak melihat adanya prakondisi seperti itu. Bahkan
fenomena menunjukkan justru letak hambatan reformasi terbesar ada pada lapis
puncak manajemen (strategic apex), bukan pada lapis bawah (operating core).
Hal ini jelas sangat sulit bagi organisasi itu melakukan proses reformasi budaya
jika tanpa diback up oleh seperangkat teknologi yang “memaksa” individu untuk
patuh mengikuti aturan mainnya mulai pejabat atau manajer puncak hingga
tingkat pelaksana.
Masyarakat yang semula tidak memiliki sarana untuk mengakses
informasi dan melakukan komunikasi dengan pemerintah, dengan adanya e-
government menjadi lebih mudah dan cepat. Sehingga tuntutan masyarakat akan
akuntabilitas pemerintah menjadi semakin tinggi pula. Pengaruh teknologi dalam
proses interaksi antara pemerintah dengan masyarakat dan antara komponen-
komponen masyarakat itu sendiri jelas lebih efektif dan dapat dirasakan secara
langsung oleh pemerintah yang mau tidak mau harus siap memenuhi tuntutan
masyarakat yang semakin tinggi tersebut. Hal ini tidak cukup hanya dengan
mewacanakan debirokrasi dan deregulasi sebagaimana telah lama menjadi wacana
di kalangan pemerintahan. Perlunya debirokrasi dan deregulasi yang menyangkut
baik aspek kelembagaan, kepemimpinan, dan system administrasi public, dalam
rangka peningkatan kualitas pelayanan public, memang tidak diragukan lagi,
namun sejauh ini proses tersebut belum menunjukkan hasilnya. Masih nampak
jelas adanya keraguan dan keengganan untuk betul-betul melaksanakan langkah-
langkah yang memang mengandung konsekwensi adanya perampingan di tubuh
birokrasi, mengingat birokrasi di Indonesia ini sudah terlanjur sangat besar.
Sementara itu pengalaman di beberapa Negara maju menunjukkan bahwa
dengan adanya penerapan e-governance dapat mengakselerasi langkah-langkah
reformasi dalam pelayanan public. Di China, misalnya, yang selama ini diketahui
bermasalah dengan implementasi strategi pembangunan berkelanjutannya karena
kurangnya informasi yang akurat serta ketersediaan informasi yang masih tersebar
di beberapa organisasi yang berbeda. Dengan menggunakan ICTs China berhasil
mengembangkan apa yang disebut dengan (National agenda 21 network) jaringan
agenda nasional 21, khususnya yang menghubungkan serangkaian kunci
pemerintahan nasional, dengan pemerintahan local dan lembaga-lembaga riset
sector publik. Sistem tersebut membantu dalam proses pengambilan keputusan
dengan sumber-sumber data yang terpercaya, dengan lebih cepat dan informasi
81
yang diterima juga lebih lengkap sehubungan dengan pengambilan keputusan
strategic di bidang lingkungan . Selain itu, Korea Utara juga telah mencoba
mengembangkan e-governance khususnya e-service dan e-citizen yang ditujukan
untuk program pemberantasan korupsi dan meningkatkan akuntabilitas
pemerintah daerah dalam hal perijinan. Teknologi ini memungkinkan terciptanya
open system (Online Procedures Enhancement for civil applications) dimana
memuat seluruh informasi yang diperlukan masyarakat yang akan mengurus
perijinan. Sehingga masyarakat benar-benar mengetahu prosedur dan standar
pelayanan yang sebenarnya tanpa harus dikelabuhi oleh pihak-pihak atau bahwa
oknum aparat yang tidak bertanggung jawab. Masyarakat juga dapat ikut
memantau proses pelayanan apakah sudah sesuai dengan standar yang ditentukan
apau belum. Masih banyak lagi pengalaman-pengalaman penerapan e-governance
yang membawa perubahan budaya kerja di lingkungan birokrasi pemerintahan
seperti di di Afrika Utara dengan system pemilunya, Chili dengan Tax return
filing nya, India dengan pengembangan masyarakat perdesaan, dan lain
sebagainya. Berikut disajikan bagaimana pola kerja e-governance dalam model:
G2G
Central Gov.
Business
☺ G2C
G2B
NGOs
Citizen G2G
Local Gov.
G2G
Keterangan:
G2G = hub. Gov. dengan Gov.
G2C = hub. Gov. dengan Citizen
G2B = hub. Gov. dengan Business
Gambar 4: Interaksi antara G2G, G2C dan G2B
Sumber: Backus, 2001.
82
misalnya, hambatan utama adalah justru terletak pada good will pemerintah untuk
menerapkan e-governance tersebut yang belum begitu nampak. Wacana untuk
melakukan restrukturisasi melalui debirokrasi dan deregulasi juga masih belum
kunjung terealisir dengan maksimal. Birokrasi yang besar dengan banyak struktur
tetapi masih miskin fungsi, masih terus diupayakan untuk menjadi miskin
struktrur dan kaya fungsi hingga dikeluarkannya PP. No. 8 tahun 2003 yang
memberikan petunjuk mengenai organisasi pemerintah daerah yang harus ramping
dan efisien. Oleh karenanya, menurut hemat penulis, masyarakat dan dunia
usaha sebagai pihak yang berkepentingan hendaknya turut membantu proses
akselerasi perubahan tersebut dengan berbagai resources yang dimiliki untuk
mendorong pemerintah mau dan mampu menjalankan proses reformasi birokrasi
ini dimulai dari reformasi administrasi public.
Referensi:
Karim, Abdul (1998), reengineering the Malaysian Public Service and the use of
IT in promoting eficiensy and quality, Asian Review of Public Administration,
Vol. X, No. 1-2, Pp.57-69
Riley, Thomas B., (2002) Change Management, E-Governance, and The
Relationship to E-Government, Commenwealth Centre for Electronic
Governance.
http://www.rileyis.com/publications/research_papers/ChangeManagement-and-
EGOV.htm
Soebhan, Syafuan Rozi (2000), Model Reformasi Birokrasi Indonesia, PPW LIPI
Thoha. Miftah (2003), Birokrasi dan Politik di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta.
83
BAB II
84
Membangun Kembali Social Capital
Dalam Rangka Reformasi Administrasi di Indonesia
Oleh
Sri Juni Woro Astuti*)
Abstrak
Social capital merupakan prasyarat bagi keberhasilan reformasi administrasi
negara, dimana esensi administrasi negara seperti citizenship, social equity, etika,
tanggung jawab, keterbukaan merupakan prinsip yang fundamental namun justru
sering terabaikan. Reformasi pada umumnya terjebak pada peningkatan efisiensi
dan efektivitas yang sesungguhnya merupakan dimensi mikro dan kurang
berorientasi pada aspek makro. Reformasi administrasi sesungguhnya tidak hanya
sekedar perubahan yang bernuansa internal manajerial, tetapi lebih merupakan
perubahan di sektor publik dan pemerintah yang bersifat terencana, instrumental
dan organisasional dalam rangka memenuhi atau menyesuaikan diri dengan
perubahan tuntutan lingkungannya terutama untuk menunjukkan seberapa besar
kemampuan pemerintah dalam memenuhi harapan-harapan dan keinginan
masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan pendekatan institusional yang
komprehensif guna membangun kembali social capital yang relatif sudah
mengalami degradasi di tengah-tengah fenomena urban politic yang semakin luas
dewasa ini.
Pendahuluan
85
lingkungannya (Caiden dan Siedentopf, 1982). Reformasi administrasi ini
diperlukan tidak saja untuk meningkatkan kinerja birokrasi pemerintah, tetapi juga
untuk menunjukkan seberapa besar kemampuan pemerintah dalam memenuhi
harapan-harapan dan keinginan masyarakat.
Untuk itu nilai-nilai yang merupakan esensi administrasi negara (publik)
dalam artian yang lebih luas seperti kewarganegaan (citizenship), keadilan sosial
(social equity), etika, tanggung jawab, keterbukaan (Frederickson,1997)
merupakan prinsip fundamental dalam reformasi administrasi-- selain nilai-nilai
manajerial seperti efisiensi dan ekonomi--.
Nilai-nilai esensial administrasi negara (publik) seperti kewarganegaan
(citizenship), keadilan sosial (social equity), etika, tanggung jawab, keterbukaan
tersebut di atas tidak lain merupakan social capital ( modal sosial ) yang
bersumber dari hubungan sosial, yang meliputi trust (kepercayaan), norms
(norma/kaidah), dan networks (jaringan ) antar berbagai assosiasi yang mewakili
beberapa kelompok yang secara konsisten berupaya mencapai tujuan bersama.
Social capital merupakan public goods yang diciptakan oleh masyarakat dan
dimiliki oleh masyarakat pula, tidak oleh individu atau pemerintah, tidak juga oleh
kelompok-kelompok yang memiliki sumberdaya melimpah.
Kapital sosial ini terbentuk dengan sendirinya dalam kurun waktu yang
relatif lama, seperti halnya proses pembentukan sistem nilai atau budaya pada
umumnya. Oleh karenanya ketika kapital sosial ini telah terbentuk, maka akan
sulit dihilangkan begitu saja (berbeda dengan kapital finansial). Namun ketika
nilai-nilai social capital itu telah terkikis, jauh lebih sulit untuk membangunnya
kembali.
86
lain sebagainya dan tujuannya adalah untuk menuntut perbaikan kinerja (Caiden,
1991:45).
Mengingat reformasi administrasi melibatkan perubahan yang berskala
besar dalam hal struktur dan proses organisasi dalam konteks politik
(Montgomery, 1969 dalam Mutahaba, 1989:26), maka tidak ada reformasi jika
perubahan yang terjadi tidak berdimensi politis atau hanya sedikit dimensi
politiknya. Dalam konteks ini, administrative reform sulit dibedakan dengan
reformasi sistem politik (political system reform). Berdasarkan pemahaman
tersebut, Mutahaba (1989) mengaku sulit untuk memahami tujuan reformasi
selain untuk pengaturan ulang hubungan-hubungan kekuasaan dalam organisasi
atau dalam suatu masyarakat, yang mana hal ini tidak akan dapat dicapai jika
nilai-nilai yang merupakan kapital sosial tersebut telah memudar.
Pudarnya kapital sosial terlihat dari perilaku dan orientasi tindakan yang
secara riil dilaksanakan oleh para pejabat dan staf di lingkungan birokrasi
pemerintah yang seringkali tidak sesuai dengan nilai-nilai etika pemerintahan
yang seharusnya dipegang teguh. Padahal nilai-nilai etika merupakan ‘jiwa’ atau
‘ruh’ yang melandasi administrasi publik (Cooper, 1990). Pentingnya dimensi
etika bahkan dapat dianalogikan dengan sistem sensor pada administrasi publik
dan dapat mempengaruhi dimensi-dimensi lain dalam sistem administrasi publik
(Keban, 2008). Namun nilai-nilai normatif tersebut semakin memudar sehingga
semakin banyak penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang birokrasi dan
pejabat-pejabat politik sebagai pengambil kebijakan yang hanya berorientasi pada
kepentingan pribadi dan golongan serta mengabaikan kepentingan rakyat.
Selain itu kondisi dilematis yang selalu dihadapi birokrasi pemerintah
terkait dengan konteks politik yang tidak dapat mereka dihindari semakin
meniadakan nilai-nilai kapital sosial tersebut. Menanggapai kondisi tersebut
Putnam (1993) menyatakan bahwa “keberhasilan untuk menyelesaikan dilema-
dilema dari aksi kolektif dan oportunisme untuk mengalahkan diri sendiri yang
mereka kembangkan tergantung pada konteks sosial yang lebih luas dimana
permainan itu terjadi. Sedangkan Coleman (1990), menyatakan bahwa fitur-fitur
organisasi yang sudah lama ada seperti adanya kepercayaan, norma-norma, dan
jaringan kerja, semua itu membentuk capital social yang mendorong kerjasama
secara spontan / langsung dan untuk kepentingan umum. Kapital sosial
membangun kepercayaan, dimana kepercayaan merupakan kunci pokok yang
menunjang dinamisme ekonomi dan kinerja pemerintah. Dalam hal ini dibedakan
antara kepercayaan sosial dengan kepercayaan personal, dimana tingkat
kepercayaan sosial meningkat sebagai konsekwensi dari penggunaan hak
kewarganegaraan dan adanya norma-norma lainnya. Hak untuk pengontrolan aksi-
aksi individu telah ditransformasikan dari hak perorangan menjadi hak kelompok,
karena aksi-aksi individu tersebut bisa mempengaruhi eksternalitas kelompok
yang tidak dapat dijelaskan dalam pertukaran pasar. Dalam hal ini penggunaan
hak kewarganegaraan yang tertuang dalam jaringan-jaringan kerja atau sejenisnya,
secara horisontal memotong pengelompokan-pengelompokan sosial (seperti
asosiasi lingkungan, komunitas masyarakat, klub olah raga, dst.). Jaringan kerja
vertikal tidak dapat meningkatkan kepercayaan yang dibangun oleh tipikal
jaringan kerja horisontal dari hirarki yang lebih rendah.
Putnam berpendapat bahwa adanya norma-norma dan jaringan-jaringan
kerja sebagai akibat dari penggunaan hak kewarganegaraan lebih dapat membantu
87
daripada menekan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan keefektifan institusi-
institusi publik. Lebih jauh lagi, pada masyarakat kompleks yang berkembang
secara ekonomis, akan lebih besar terjadinya peluang untuk melakukan kelalaian
dan kecurangan. Untuk itu, kekuatan kapital sosial dibutuhkan untuk mencegah
hal tersebut menjadi suatu budaya.
88
Demikian pula dilihat dari capaian kinerja pemerintah saat ini yang
sesungguhnya belum dapat dikatakan berhasil. Hal itu dilihat dari indikator
kinerja pemerintah yang antara lain berdasarkan indikator ekonomi utama yang
dicanangkan pada Rencana Pembangunan Jangka Mengengah (RPJM). Jika pada
RPJM ditargetkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,6 % selama kurun waktu
tahun 2005-2009, realisasinya hingga tahun 2008 baru tercapai 5,9%. Target
angka pengangguran tahun 2008 sebesar 6,6% ternyata realisasinya masih sebesar
8,4%. Demikian pula target penduduk miskin dalam RPJM sebesar 8,2 % untuk
tahun 2009, namun realisasinya hingga tahun 2008 masih sebesar 15,4%. Kondisi
capaian kinerja pemerintah Indonesia ini jauh tertinggal dibandingkan dengan
kinerja pemerintah di negara-negara tetangga seperti Laos, Kamboja, Vietnam dan
China. Sebagai contoh, untuk pengurangan tingkat penduduk miskin periode
tahun 2004-2008 di Laos sebesar 10,6 % , Kamboja turun 11,3%, Vietnam 4,8%,
China 4,2%, sadangkan Indonesia hanya 1,5 %. (Kompas, 27 April 2009).
Dengan capaian kinerja pemerintah tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
reformasi birokrasi pemerintah belum berjalan dengan baik. Padahal dalam situasi
keterpurukan negara dan masyarakat Indonesia yang dialami sejak ’pecahnya’
krisis multi dimensi sekitar 10 tahun silam, agenda reformasi birokrasi tidak dapat
ditawar lagi. Namun sejauh ini nampaknya pemerintah belum menunjukkan sence
of crisis dengan segera melakukan reformasi birokrasi secara menyeluruh. Grand
design reformasi birokrasi pasca Orde Baru belum dirumuskan dengan tujuan dan
strategi yang jelas. Salah satu pakar birokrasi, Miftah Toha menyatakan bahwa
hingga saat ini kelembagaan dan sistem administrasi belum berubah, susunan dan
struktur organisasi birokrasi pemerintah masih seperti yang dulu pada era Presiden
Suharto (2008). Demikian pula sistem nilai atau kultur yang kemudian
mempengaruhi perilaku dan kinerja birokrasi secara individu maupun
kelembagaan belum mengalami perubahan yang berarti.
Oleh karena itu diperlukan berbagai upaya yang serius dan tegas dalam
mencoba memperbaiki birokrasi kita. Kondisi ini hanya dapat diatasi dengan
membangun kembali social capital yang sudah terlanjur terkikis ini. Hal ini
memang sangat sulit untuk membangun rasa saling kepercayaan, kejujuran dan
kerjasama yang murni sangat sulit untuk dilakukan. Menurut analisis yang
dilakukan oleh Indonesia corruption watch (2000), masyarakat kita justru
semakin menuhankan materi. Status sosial pejabat yang kaya raya dengan gaya
hidup yang mewah, meskipun semua itu tidak mungkin dapat diperoleh dari
pendapatan resminya, kedudukannya di masyarakat begitu tinggi, diidolakan dan
dirubung, siapa tahu dapat kebagian limpahan rezeki. Pejabat yang royal
berderma, dianggap seorang yang tinggi ahlaknya dan karenanya senantiasa
didoakan masyarakat, tanpa pernah dipertanyakan dari mana sumber dananya. Di
dalam masyarakat yang demikian tentu semua orang menginginkan untuk
memperkaya diri karena akan mendapat posisi terhormat dimata masyarakat.
89
mencapai tujuan politis. Keseriusan untuk membenahi sistem kelembagan
birokrasi pemerintahan, peningkatan kualitas dan kompetensi sumber daya
aparatur melalui evaluasi kinerja PNS, sistem insentif yang kompetitif dan
rekruitment berbasis profesionalisme dan lain sebagainya hingga saat ini masih
merupakan konsep yang belum konkrit melainkan masih abstrak atau sekedar
sketsa (rencana).
Reformasi sistem politik dengan melaksanakan demokrasi secara langsung
terlalu jauh melangkah meninggalkan reformasi birokrasi yang masih saja jalan di
tempat. Padahal birokrasi merupakan muara dari reformasi-reformasi dalam
sistem politik, sistem administrasi negara, dan sistem hukum. Seberapa bagusnya
reformasi atau perubahan yang sudah dibuat pada ketiga sistem tersebut, apabila
tidak diimbangi dengan reformasi birokrasi maka kinerja pemerintah di bidang
pembangunan dan pelayanan publik tetap tidak akan lebih baik.
Fenomena yang justru berkembang di lingkungan pemerintahan daerah
adalah politisasi birokrasi secara terang-terangan. Kepentingan politik
mengkooptasi kepentingan pelayanan kepada masyarakat daerah secara murni.
Demikian pula politisi daerah cenderung mendominasi dan mengintervensi
domain tugas dan kewenangan birokrasi di era reformasi. Fakta tersebut
menunjukkan adanya anomali dari mainstream otonomi dan demokratisasi dalam
sistem pemerintahan. Mainstream terkait dengan otonomi adalah bahwa dengan
otonomi diyakini akan memberi peluang bagi berkembangnya local wisdom yang
selama pemerintah orde baru terkikis oleh politik penyeragaman (uniformity) yang
dipaksakan oleh pemerintah pusat (Purwanto, 2006). Demikian pula mainstream
tentang demokrasi, dimana dalam sistem pemerintahan yang demokratis akan
meningkatkan akuntabilitas pemerintah, dan memberikan landasan bagi partisipasi
warga dan kepemimpinan politik baik di tingkat lokal maupun nasional (Smith,
1985).
Kondisi ini menunjukkan bahwa pemerintah (pusat) belum berhasil
membangun prakondisi yang diperlukan guna mendukung pelaksanaan sistem
demokrasi dalam pemerintahan daerah otonom. Hal ini tidak terlepas dari
bangunan struktur dan kultur birokrasi pemerintah yang sangat kuat mengakar
semenjak era Orde Baru. Kepentingan politik mendominasi kebijakan publik
hingga keputusan – keputusan pada ranah operasional sekalipun.
Birokrasi pada dasarnya hanya ‘alat’ untuk menjalankan kebijakan dan
kehendak para atasan politiknya yang mana seringkali kehendak politik tersebut
tidak selalu sesuai dengan kepentingan masyarakat luas. Pejabat birokrasi lebih
banyak mengakomodir kepentingan – kepentingan politik penguasa. Meski diakui
bahwa peran birokrasi saat ini masih sangat kuat dalam memobilisasi sumber daya
pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan, namun perlu dilihat bahwa
semua itu dijalankan dalam koridor sistem birokrasi yang masih lemah (tidak
mandiri dan profesional). Pada era otonomi, birokrasi pemerintah semakin
terkooptasi oleh kepentingan politik dan digunakan sebagai alat untuk dapat
memenangkan pemilihan kepala daerah secara langsung.
Kedudukan birokrasi sebagai alat negara yang perlu memiliki aturan main
sendiri dan didukung oleh perundang-undangan tersendiri hingga kini belum
terealisasi. Birokrasi, sebagai organ negara yang diberi tugas menjalankan semua
kebijakan pemerintah yang terkait dengan kepentingan rakyat, seharusnya
dijalankan dalam suatu sistem yang netral dan profesional bebas dari kepentingan
90
politik. Konsep Weber tentang birokrasi yang rasional dan profesional
mengedepankan prinsip meritokrasi dalam pelaksanaan tugasnya ternyata belum
ditemui dalam sistem birokrasi pemerintah daerah yang berlangsung selama ini.
Dengan demikian, opini terhadap birokrasi yang selalu diilustrasikan
sebagai “bureaucratic kingdom”, yang cenderung menjadikan birokrasi sebagai
kekuatan yang sakral, sesungguhnya dari perspektif diskresi justru menunjukkan
sisi sebaliknya. Ketidakmampuan birokrasi dalam menolak kehendak politik
sempit dari para superior politiknya merupakan fenomena yang perlu dipandang
dari sisi sistem birokrasi (bukan hanya dari sisi personal birokrat). Pandangan dari
sisi personal, memang menunjukkan bahwa kekuasaan dalam birokrasi yang
melekat dalam jabatan seorang ‘pejabat’, bisa menjadi sesuatu yang sangat
menakutkan dan sangat sulit ditembus oleh warga masyarakat (Thoha, 2003).
Namun situasi yang sama juga dihadapi pejabat birokrasi ketika berhadapan
dengan pejabat politik, dimana mereka merasa ‘nasibnya’ diujung tanduk jika
tidak mau mematuhi kehendak politik walaupun bertolak belakang dengan nilai-
nilai etika, profesionalisme serta kepentingan rakyat.
Analisis ini berusaha merefleksikan pemikiran Weber dimana dalam
tulisannya membahas mengenai kekuasaan yang dilakukan oleh pejabat --
merupakan sesuatu yang benar-benar harus dibedakan dengan birokrasi—(dalam
Albrow,1989). Kenyataan tidak terlepasnya birokrasi dari pengaruh politik
sebenarnya juga sudah diperhitungkan oleh Weber dengan mengatakan bahwa
kemungkinan penyimpangan birokrat yang tidak mampu memisahkan perilaku
mereka dari kepentingannya sebagai individu dan anggota kelompok masyarakat
yang oleh karenanya bisa memiliki kepentingan politik tertentu. Untuk itu perlu
dibangun sistem birokrasi yang kuat sehingga mampu menolak tekanan politik
dengan pondasi profesionalisme sumber daya aparatur yang tinggi. Dengan dasar
profesionalisme (self-controll) diharapkan birokrasi dapat bekerja secara
proporsional dan lepas dari ketergantungan terhadap pejabat politik.
Benang merah analisis di atas diharapkan dapat menjelaskan bahwa
meskipun secara teoritis dan normatif, birokrasi pemerintah daerah telah memiliki
domain kewenangan yang jelas, namun ternyata dalam prakteknya birokrasi sulit
untuk melepaskan diri dari pressure pejabat politik yang menginginkan birokrat
untuk selalu memihak dan memberikan keuntungan secara politis. Terutama
dalam kebijakan pelayanan publik yang bersifat distributif, seringkali fakta yang
ada dimanipulasikan untuk mempengaruhi keputusan birokrasi demi kepentingan
politik praktis yang tidak benar-benar merepresentasikan kepentingan publik.
Sebagaimana hipotesis Mladenka (1980) tentang politik perkotaan (urban politics)
sebagai berikut:
"... urban services are political sources that can be manipulated,
redistributed, and withdrawn in the scramble for electoral advantage.
Loyal wards are rewarded with superior services. Major service decisions
are made by the machines, handed down to the bureaucracy, and
implemented in accordance with the scheme that seeks to wring maximum
political advantage from the distribution of finite service resource".
91
wilayah tertentu yang loyal secara politik. Penelitian Mladenka (1980)
menunjukkan bahwa sulit bagi birokrasi untuk mampu mengontrol distribusi
pelayanan yang sebenarnya merupakan tanggungjawabnya, dan bahwa birokrat
seharusnya menggunakan kriteria teknis dan rasional dalam menyelesaikan
permasalahan distribusi pelayanan. Yang terjadi adalah maipulasi atau pengalihan
kepentingan Namun pembelokan atau manipulasi kepentingan tersebut sebenarnya
dapat diminimalisir dengan profesionalisme birokrasi. Sebagaimana pendapat
Miranda (1994) sebagai berikut: “…that bureaucratic rules best explain the
distribution of urban services where professionalism dominates so that systematic
bias is unlikely and that distributive decisions are made by impartial
administrators who rely upon technical rational rather than political criteria”.
92
Manajemen yang efektif akan berperan banyak dalam organisasi produksi
karena kinerja aktual dan hasilnya sudah siap untuk diobservasi, dimana hal ini
juga merupakan sesuatu yang terkontrol atau bisa dihitung. Pandangan ini
disejajarkan dengan asumsi-asumsi orientasi bisnis dalam ekonomi, yang telah
menjadi motor reformasi. Schick (1996) menyatakan bahwa kontrol-kontrol
eksternal pada input telah ditiadakan, tapi ada kontrol eksternal baru pada output
(misalnya dalam bentuk kesepakatan akan form kinerja dan pembelanjaan-nya,
laporan keuangan dan pengauditan, dan sebagainya), dan New Zealand bukanlah
negara yang segala sesuatunya di jalankan oleh manajemen publik.
Bagaimanapun, usaha mereka untuk membuat pusat produksi dalam
pelayanan publik yang berdasar pada imej bisnis korporasi, dipaksakan untuk
digabungkan dengan beberapa faktor, yaitu konteks politik organisasi publik.
Masalah yang dihadapi adalah adanya kesulitan teknologi yang digunakan untuk
pencapaian outcome yang diharapkan, interdependensi, dan beberapa model
tugas-tugas yang berbeda yang harus diselesaikan.
Jika efisiensi dan pertanggungjawaban bisa diterapkan paling tidak dalam
kurun waktu yang singkat, maka dengan cara emulasi model produksi, standar
etika dalam pelayanan publik bisa bertahan dalam waktu yang lama. Akan tetapi,
tidak semua tugas yang diemban oleh organisasi publik bisa menggunakan model
produksi, dan model produksi ini bukanlah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai
jaminan standar. Sesuai dengan pendapat Wilson mengenai organisasi "asli" dan
organisasi "tiruan”, karena secara definisi kinerja orang-orang dalam organisasi
tersebut sukar untuk di observasi (dalam hal ini, pada organisasi tiruan
outcomenya juga tidak bisa di observasi, dan untuk itu akan sulit bagi mereka
untuk mengaturnya secara efektif. Jika pada organisasi bisnis sektor privat
merupakan organisasi tiruan, maka ia tidak akan bertahan lama).
Maka dari itu, dua tipe organisasi yang memiliki etika kejujuran harus di
dasarkan pada tingkat kepercayaan yang tinggi, dan didukung oleh komitmen
yang kohesif dalam norma-norma dan standar-standar profesional. Meskipun
sebuah komitmen bisa dijadikan penopang dalam organisasi-organisasi produksi
dan prosedural, sebagaimana telah diterangkan di atas mengenai pengutamaan
kontrol supervisi yang cepat, ini merupakan sebuah sine qua non dari etika
kejujuran dalam organisasi-organisasi asli dan tiruan.
Dalam pengertian yang lebih lanjut, disiplin ini merupakan orientasi misi
institusi yang kuat dan dibedakan dari organisasi yang kompeten secara teknis,
untuk itu ancaman pada etika kejujuran bisa diminimalisasikan. Observasi yang
dilakukan oleh Ostrom mempunyai hubungan yang mendasar dengan konteks
yang disebut "sebagai kesuksesan” dimana hal ini berarti, institusi-institusi privat
mampu untuk menghasilkan outcome yang produktif dalam situasi yang penuh
dengan godaan dan tindakan-tindakan ceroboh yang sering terjadi (1990). Atau
seperti pendapat Wilson dimana ia menyatakan bahwa, arti dari sebuah misi,
kemurnian sebuah komitmen, atau kepercayaan dalam norma-norma profesional,
dimana para pekerja yang tidak selalu diperiksa tidak akan melakukan kelalaian
(1989). Oleh sebab itu mereka harus terus beroperasi atas dasar tingkat
kepercayaan yang tinggi dan jika mereka diatur dengan baik, maka pengembangan
kapital sosial dalam tubuh mereka akan ada pada tingkat mikrokosmik mereka
sendiri.
93
Sama halnya dengan pertanggung jawaban, kontrol keorganisasian secara
langsung dilakukan oleh supervisi, hal ini merupakan karakteristik tipe produksi
dan prosedural dari organisasi, baik itu bagi organisasi asli maupun tiruan, pada
dasarnya bisa dioperasikan dengan efektif. Karena model-model produksi bisa
berjalan dalam kondisi yang krisis akan unsur. Maka dengan demikian
penyalahgunaan jabatan akan meningkat jika peraturan yang ada bisa diubah-ubah
dan kesalahan yang dilakukan bisa disamarkan. Orang-orang dalam organisasi
produksi bisa disebut sebagai jenis orang yang bersifat melawan, dan akan
menerima sangsi sosial yang keras dalam organisasi asli yang memiliki karakter
tingkat kepercayaan yang tinggi.
Tetapi, permasalahannya adalah bahwa pembentukan kewajiban pada
institusi ini lebih sulit dan hanya cocok diterapkan pada bentuk organisasi tiruan,
karena organisasi tersebut juga dapat menghasilkan outcome yang mudah dilihat.
Kemampuan dalam mengukur outcome dapat meningkatkan moral, dan
menunjukkan bahwa agensi tersebut bisa dikatakan berhasil dalam mencapai
moral yang tinggi. Di saat moral tetap stabil pada tingkat moral yang tinggi dalam
sebuah organisasi prosedural, maka krisis kepercayaan diri mengenai apakah
organisasinya mampu mencapai outcome yang telah dijadwalkan, akan berakhir.
Organisasi ini cenderung untuk selalu di tempatkan dalam situasi yang tidak
mengenakkan, dimana mereka dihadapkan dengan permintaan publik yang tidak
pernah ada akhirnya dan dengan sumber daya mereka yang terbatas, serta
seringkali mereka beroperasi dalam otoritas politik tingkat tinggi yang penuh
dengan kontroversi dan pengekangan. Karenanya, dalam organisasi ini terjadi
kecenderungan mengalami penurunan moral, dimana hal ini merupakan sesuatu
yang wajar dalam pelayanan publik. Seperti dalam bidang olahraga, begitu pula
yang ada dalam organisasi: akan terasa lebih baik untuk menjadi pemenang
daripada menjadi pecundang.
94
dilakukan dalam waktu yang lama dan digunakan untuk mencaai tujuan bersama
(Uphoff, 1986).
Pendekatan institusional dalam hal ini dimaknai secara luas atau
komprehensif. Sehingga tidak akan ada lagi istilah ’hilangnya memori
institusional’, dimana para pembuat kebijakan kurang memiliki pengalaman dan
pengetahuan atau kompetensi yang memadai dalam hal pembangunan
institusional. Disinilah pentingnya para institusionalis yang seharusnya menjadi
salah satu bidang kajian utama dalam khasanah studi Administrasi Negara
(Publik). Tapi ini hanya satu dari sekian banyak aspek yang juga sangat
diperlukan dalam reformasi administrasi.
Salah satu strategi institusionalisasi diutarakan oleh Ostrom (1990)
dimana ia menyatakan bahwa banyak institusi-institusi yang sukses adalah mereka
yang menggabungkan karakteristik privat dan publik (state) serta menolak adanya
dikotomi diantara kedua domain tersebut. Penekanan ekonomis terhadap
perubahan sektor publik menempatkan nilai yang tinggi pada apa yang dianggap
sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, yakni kebaikan dari model-model
privat dalam mengelola organisasi, yang digambarkan sebagai yang “lebih
produktif”, yang berbeda dengan pendekatan-pendekatan pelayanan publik yang
biasa disebut sebagai birokratik.
Referensi:
Chandler, R.C. and Plano, J.C. 1982. The Public Administration Dictionary. John
Wiley & Sons
Denhardt, Robert B. 1991. Public Administration: An Action Orientation. Pacific
Grove.California: Brooks/Cole Publishing Company.
Frederickson, H.C.,1997. The Spirit of Public Administration, San-francisco, Jose-
Bass Publisher.
Frederickson, H.C.,1997. The Spirit of Public Administration, San-francisco, Jose-
Bass Publisher.
Gregory, Robert J., (1999), Social Capital Theory and Administrative
Reform:maintaing ethical probity in public service, Public Administration
Review, January Vol. 59 No.1.
Hughes, Owen E., 1994. Public management and administration: an Introduction,
The Macmillan press LTD. London.
Keban, Yeremias, 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep,
Teori dan Isu. Yogyakarta, Gava Media.
Masduki, Teen, 2000. Gerakan Sosial Anti Korupsi, Indonesia Corruption Watch.
Putnam, Robert D. 1993. The Properious Community: Social capital and Public
life, The American Prospect, March Vol.4,No.13.
Uphoff, Norman. 1986. Local Instutional Development; An Alatical Sourcebook.
West Hartford. Kumarian Press.
Wilson, James Q. 1989. Bureaucracy: What Government Agencies Do and Why
They Do It? New York.
95
MEMANDU PERENCANAAN PEMBANGUNAN BERBASIS
PEMAHAMAN KRITIS ATAS NILAI-NILAI KEMANUSIAAN
Mohammad Nuh, S.IP., M.Si
(Staf Pengajar di Jurusan Aministrasi Publik,
Fakultas Ilmu Adminsitrasi Universitas Brawijaya)
Abstrak
Upaya memulihkan perekonomian akibat badai krisis ekonomi yang secara dasyat
menghantam negeri pada pertengahan tahun 1997 sudah menunjukkan hasil yang
menggembirakan. Strategi pembangunan berbasis pertumbuhan yang dijalankan
oleh pemerintah dalam satu dekade terakhir cukup efektif untuk menstabilkan
perekonomian Indonesia. Setidaknya angka pertumbuhan ekonomi dari tahun ke
tahun mengalami peningkatan, angka inflasi bisa ditekan pada kisaran satu digit.
Namun demikian, peningkatan pertumbuhan makroekonomi yang dicapai tersebut
belum mampu menghantarkan rakyat Indonesia lebih sejahtera dan meningkat
kualitasnya. Angka kemiskinan dan pengangguran masih cukup tinggi dan Indeks
pembangunan manusia masih jauh tertinggal dari beberapa negara tetangga.
Kondisi demikian tidak lepas dari kecenderungan pemikiran para ekonom yang
terfokus pada investasi kapital yang selama ini menjadi pemandu perencanaan
pembangunan Di Indonesia. Oleh karenanya, ke depan perlu ada pemilihan model
pembangunan alternatif yang mampu membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa
yang berkualitas, tegaknya hak-hak azasi manusia, dan tidak terjadinya
ketidakadilan dalam proses pembangunan. Bagian pertama tulisan ini mengulas
kelemahan-kelemahan utama paradigma pembangunan bertumpu pertumbuhan,
yakni terabaikannya dimensi kemanusiaan. Bagian kedua memaparkan konsep
pembangunan dalam terminologi pengakuan nilai-nilai kemanusiaan sebagai
solusi untuk membangun Indonesia di masa depan. Model pembangunan tersebut
lebih diwarnai oleh cara pandang dari pendekatan pembangunan centre people
development dan quality of growth.
96
Pengantar
Kutipan di atas merupakan sepenggal uraian dari Prof. Dr. Moeljarto
Tjokrowinoto, M.P.A. dalam Pidato Dies Natalies ke-54 Universitas Gadjah yang
berjudul Distorsi Reformasi: Suatu Kajian Kritis Terhadap Proses
Reformasi. Dalam pidato tersebut diungkapkan bahwa perjalanan reformasi yang
dimulai ketika berakhirnya pemerintahan Presiden Soeharto pada Bulan Mei 1998
selain telah dapat mewujudkan lembaga-lembaga formal demokrasi, seperti
suksesnya pelaksaan pemiliham umum yang bebas dan pemberdayaan lembaga
legislatif, yaitu reposisi lembaga legislatif, tetapi secara umum kualitas reformasi
masih banyak mengalami distorsi. Proses demokratisasi telah melahirkan suatu
sistem politik yang memberi peluang terjadinya euphoria partisipasi dan artikulasi
kepentingan masing-masing individu atau kelompok di dalam masyarakat.
Dimensi pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi juga cenderung
kebablasan (overshoot) yang seringkali menimbulkan identitas yang bersifat
sentrifugal, menciptakan enclave yang non-sistemik. Pada dimensi lain, terkait
dengan upaya perlindungan hak-hak azasi manusia dinilai adanya kencenderungan
terjadinya proses decontextualisasi dalam pelaksanaan perlindungan hak-hak azasi
manusia.
Sekelumit ilustrasi di atas memberikan gambaran betapa kompleksitas
persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia. untuk mengembalikan citranya
sebagai bangsa yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dan
memperbaiki stabilitas sosial-politik yang sempat tercabik-cabik. Konflik antar
anggota masyarakat yang terjadi di beberapa daerah merupakan situasi sosial yang
tidak hanya merugikan kelompok yang bertikai, tetapi juga membawa dampak
pada iklim investasi nasional. Keamanan yang masih belum kondusif, dengan
indikasi masih banyaknya pertikaian atau konflik yang bersifat horisontal maupun
vertikal sangat berpengaruh terhadap pemulihan ekonomi. Upaya penegakan hak-
hak azasi manusia sebagai refleksi pengakuan nilai-nilai kemanusiaan masih
menemui jalan terjal. Oleh karenanya perlu mengoreksi kembali apakah konsep
pembangunan yang selama ini diterapkan telah memperhatikan dimensi
kemanusiaan.
Berangkat kondisi di atas tulisan ini hendak mempertanyakan kembali
seberapa jauh nilai-nilai kemanusiaan termanifestasi dalam proses pembangunan
yang berkeadilan selama periode reformasi? Apakah pilihan-pilihan strategi
pembangunan ekonomi telah menempatkan sisi kemanusian dalam posisi yang
tinggi dibandingkan dengan hanya sebagai faktor produksi? Berdasarkan
pertanyaan tersebut dan sekaligus sebagai perspektif dalam tulisan ini
dimaksudkan untuk memberikan alternatif baru dalam merancang pembangunan
yang berbasis pada keadilan yang manifestasinya adalah memanusiakan manusia
(be humanizing). Untuk menjabarkan ide-ide tersebut tulisan ini dibagi dalam tiga
bagian utama, yaitu bagian pertama menjelaskan hasil-hasil pembangunan yang
dicapai pasca krisis, terutama berkaitan dengan tercapainya social equity. Capaian
pertumbuhan ekonomi yang tinggi tampaknya masih menyisakan persoalan belum
terbangunnya skenario pembangunan berbasis penegakan keadilan sosial serta
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang dalam konteks Indonesia
mampu menciptakan situasi sosial yang berkeadilan. Bagian ini juga menganalisis
arti penting manusia dalam proses pembangunan, yang tidak hanya sebagai obyek,
97
tetapi sekaligus sebagai subyek pembangunan. Kualitas masyarakat tidak hanya
penting ditingkatkan, tetapi sekaligus modal sosial untuk proses pembangunan
menjadi lebih baik. Bagian kedua, pemaparan difokuskan pada kajian teoritis
tentang strategi merancang pembangunan berbasiskan pada dimensi keadilan yang
mengarusutamakan nilai-nilai kemanusiaan. Pembangunan pada hakekatnya
adalah untuk manusia dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Sebagaimana
yang disampaikan oleh Amartya Sen bahwa pembangunan adalah untuk
membebaskan manusia kepada kemanusiaannya agar manusia memperoleh
haknya untuk memilih kehidupan yang terbaik bagi dirinya dan lingkungannya.
Keadilan dalam Pembangunan: Dimensi kemanusiaan yang
Terlupakan
Sebagaimana adanya, kondisi perekonomian bangsa Indonesia pada masa
krisis ekonomi dan moneter pada paruh waktu tahun 1997 berada dalam titik
terendah sepanjang sejarah perjalanan bangsa. Kondisi perekonomian bangsa pada
saat itu dalam situasi terpuruk. Pertumbuhan perekonomian tidak hanya
mengalami penurunan, tetapi dalam skala mikro bahkan minus. Keterpurukan
ekonomi tidak hanya menyebabkan mandegnya roda pembangunan, tetapi
memberikan imbas kepada terganggunya situasi kehidupan sosial. Dengan
momentum jatuhnya Pemerintahan Orde Baru yang otoriter pada awal tahun 1998
sebagaimana tersebut di atas, telah dijadikan sebagai tonggak sejarah untuk
memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara secara demokrasi dan
memperbaiki sistem perekonomian nasional. Babak baru pengelolaan negara
dalam suatu era yang disebut dengan era reformasi. Era reformasi bagi semua
pihak diharapkan sebagai langkah awal untuk melakukan perubahan-perubahan
setiap sendi kehidupan bangsa, terutama pemulihan ekonomi akibat krisis. Dan
telah menjadi tekad semua elemen bangsa untuk memanfaatkan era reformasi
sebagai sarana untuk membangun bangsa ini menjadi lebih berkualitas dan
meningkatnya kesejahteraan masyarakat, serta terhapusnya jurang perbedaan
dalam mengakses hasil-hasil pembangunan atau terjadinya pemerataan.
Gelombang krisis yang menghantam perekonomian Indonesia harus
dijadikan pelajaran berharga bahwa kemajuan-kemajuan ekonomi yang dicapai
oleh Pemerintah Orde Baru yang mentitik beratkan pada aspek pertumbuhan saja
tidak mampu melawan dasyatnya badai krisis. Artinya, prestasi yang dicapai
selama tiga dasa warsa sebelum krisis belum ditopang oleh pondasi yang kokoh
untuk membawa bangsa ini ke dalam suatu kehidupan sosial yang sejahtera dan
berkeadilan. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah tekad untuk mengembalikan
kondisi perekonomian yang stabil dan mampu mensejahterakan masyarakat, serta
memposisikan manusia sebagai fokus utama dalam proses pembangunan? Bagian
ini akan membicarakan strategi pembangunan seperti apa yang sudah diterapkan
oleh pemerintah untuk mengangkat kondisi kehidupan masyarakat yang sebagian
besar berada dalam jurang kemiskinan menjadi lebih sejahtera dan terbebaskan
dari belenggu kebodohan.
Secara umum bisa dikatakan bahwa model pembangunan yang diterapkan
selama satu dasa warsa terakhir tidak ada bedanya dengan yang diterapkan oleh
Orde Baru. Strategi pembangunan yang menjadi pilihan utama adalah menitik
beratkan pada skenario pertumbuhan. Menurut hemat penulis, pemilihan model
pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan tersebut bukan tanpa alasan.
98
Situasi krisis ekonomi yang berdampak cukup dasyat terhadap perekonomian
rakyat dan berbagai sendi kehidupan masyarakat Indonesia, terutama rendahnya
tingkat daya beli masyarakat, menggelembungnya angka pengangguran, dan
meningkatnya jumlah penduduk miskin adalah sebagai alasan utama dipilihnya
pendekatan pertumbuhan. Dengan berbagai alasan tersebut, strategi percepatan
pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan dinilai ’paling tepat’
untuk mengatasi persoalan-persoalan tadi. Pemerintah yang berkuasa pada masa
reformasi dihadapkan pada dilema untuk memulihkan kembali kondisi
perekonomian Indonesia yang sedemikian terpuruk pada satu sisi, tetapi
permasalahan sosial lainnya termasuk stabilitas politik pun membutuhkan
perhatian yang tidak kalah pentingnya. Langkah-langkah yang dianggapnya
strategis pun ditempuh untuk mempercepat proses reformasi ekonomi setelah
krisis, langkah ini yang dikenal dengan sebutan ”big-bang approach” untuk
menyebut lawan darinya yang biasa disebut ”gradualist approach” (Lihat
Yustika, 2007). Pendekatan ”big-bang” melihat bahwa reformasi akan berhasil
jika dilakukan secara simultan dan cepat. Sebaliknya, pendekatan ”gradualist”
menekankan argumentasi bahwa program reformasi ekonomi akan berhasil jika
dilakukan secara berurutan dan bertahap.
Pilihan model tersebut hingga saat ini digunakan. Dalam berbagai
kesempatan, pemerintah (sebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) pun
dengan tegas menyebut bahwa strategi untuk pemulihan perekonomian atau
pembangunan perekonomian adalah menggunakan pendekatan pertumbuhan yang
mempertimbangkan pemerataan (lihat kutipan di bawah).
Sebagaimana yang sering saya sampaikan di berbagai kesempatan,
strategi dan kebijakan dasar pembangunan ekonomi yang kita pilih dan
jalankan adalah “pertumbuhan disertai pemerataan” (growth with
equity). Pilihan strategi dan kebijakan ini merupakan koreksi dan
perbaikan dari pelaksanaan pembangunan yang kita jalankan selama ini,
yang kenyataannya lebih berorientasi kepada pertumbuhan ketimbang
pemerataan. Oleh karena itulah, tiga tahun terakhir ini prioritas
pembangunan ekonomi beserta alokasi anggaran pemerintah yang
menyertainya, benar-benar diarahkan kepada peningkatan pertumbuhan,
pengelolaan inflasi, penciptaan lapangan pekerjaan, dan pengurangan
kemiskinan. Agar pembangunan ekonomi ini dapat berhasil dengan baik,
kita tidak boleh hanya menyerahkan segalanya kepada mekanisme pasar,
tetapi pemerintah (pusat dan daerah) harus berperan secara aktif dan
proporsional, agar keadilan dan pemerataan ekonomi ini dapat kita
wujudkan. (KETERANGAN PEMERINTAH TENTANG KEBIJAKAN
PEMBANGUNAN DAERAH DI DEPAN SIDANG PARIPURNA
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA, Jakarta,
23 Agustus 2007)
99
pertumbuhan ekonomi untuk pemulihan ekonomi akhirnya terwujud. kondisi
perekonomian Indonesia dinilai berbagai kalangan terus merangkak naik dari
situasi perekonomian yang rendah (pada tahun 1998 pertumbuhan ekonomi
mencapai -14,2 persen) menuju situasi perekonomian yang stabil. Tingkat
kemajuan di bidang makroekonomi dapat dilihat dari pulihnya nilai tukar mata
uang Rupiah, tingkat inflasi, posisi fiskal, dan neraca pembayaran. Stabilitas
makroekonomi yang demikian menurut Abdullah (2006) telah menciptakan iklim
yang kondusif bagi sektor riil. Pada kuartal II tahun 2008 pertumbuhan ekonomi
nasional mencapai titik tertinggi, yaitu mencapai 6, 32 persen. Dibanding dengan
pertumbuhan perekonomian pada tahun 2006 yang mencapa 5,6 persen berarti
ada peningkatan yang cukup tajam.
Dalam kacamata ilmuan sosial, realitas tingkat pertumbuhan ekonomi
yang dicapai saat ini disamping memberikan kabar yang baik, yaitu terciptanya
stabilitas perekonomi, pada sisi lain masih menyimpan kelemahan, yaitu belum
mampu memberikan dampak yang positif bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan kualitas kehidupan masyarakat. Stabilitas perekonomin nasional
yang tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut di atas, belum
secara signifikan memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan dan
kualitas kehidupan masyarakat. Pada tingkat tertentu orientasi pembangunan
ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan yang banyak diilhami oleh kerangka
berpikir dan sistem kerja perekonomian kapitalis yang sangat menekankan nilai
efisiensi tanpa ditemani oleh orientasi manusiawi telah menghancurkan karakter
manusia (Ancok, 2003). Akibat terlupakannya dimensi manusia dalam
pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan, maka kualitas kehidupan
masyarakat Indonesia cenderung rendah. Indikator yang dengan mudah dilihat
adalah angka indeks pembangunan manusia. Laporan pembangunan manusia
(human development report) menyebutkan bahwa indeks pembangunan manusia
(IPM) Indonesia masih berada dalam kategori rendah dibanding dengan negara-
negara yang ada di kawasan Asia Tenggara walaupun dari tahun ketahun
mengalami peningkatan, tahun 1999 IPM mencapai 64,3; tahun 2002 IPM
mencapai 65,8; tahun 2005 IPM mencapai 69,6 (BPS, 2004).
Masih banyak persoalan sosial lain yang belum dapat diselesaikan dengan
menggunakan pendekatan pertumbuhan semata. Warisan Orde Baru berupa
terjadinya ketimpangan sosial, Kesenjangan, dan ketidakadilan belum bisa teratasi
dengan baik. Pertumbuhan ekonomi yang cukup menggembirakan tersebut masih
dinikmati oleh segelintir orang saja. Para pengusaha besar yang persentasenya
kecil di negeri ini, justru mereka yang menguasai sebagian besar modal dan aset
pembangunan, sementara mereka yang miskin jumlahnya masih puluhan juta.
Negara yang kaya raya sumber daya alam ini ternyata hanya dikusai oleh sebagian
kecil orang saja (Faturrochman, 2002). Ketimpangan pendapatan antar golongan
di masyarakat pun belum mampu diatasi dengan baik. Pendek kata, upaya untuk
membangun perekonomian yang berkualitas sebagai jalan keluar dari jebakan
krisis ekonomi belum mampu memberikan multiplier effect bagi pembangunan
sumber daya manusia yang memiliki daya saing tinggi dan kemandirian bangsa.
Oleh karenanya, ke depan harus dirancang strategi pembangunan yang tidak
hanya menekankan pada aspek pertumbuhan, tetapi juga memberikan perhatian
pada penanaman modal bagi perbaikan kualitas dan kapabilitas kemanusiaan.
100
Model Pembangunan Berbasis Kemanusiaan: Strategi Baru
Membangun Indonesia lebih Berkualitas
Ide dasar pembangunan berbasis kemanusiaan sebenarnya bukan hal baru
atau bagi ilmuan yang menekuni bidang pembangunan sudah tidak asing lagi
(Korten 1988; Todaro 2003; Kartasasmita, 1996; Amartya Sen, 1999). Paradigma
pembangunan berbasis kemanusiaan lahir sebagai kritik dari proses pembangunan
bertumpu pada pertumbuhan semata yang tidak hanya menempatkan manusia
sebagai salah satu faktor produksi, tetapi kontribusinya dalam meningkatkan
derajat kesejahteraan manusia sangat minim. Pilihan strategi pembangunan yang
menempatkan pertumbuhan sebagai ’panglima’ hanya berorientasi pada
pengembangan industrialisasi dan teknologi. Aspek dukungan manusia hanya
sekedar sebagai faktor produksi sehingga kualitas manusia menjadi tidak
dipentingkan dalam proses tersebut. Akibatnya, indikator keberhasilan
pembangunan hanya ditekankan pada tingginya capaian materiil, yaitu tingginya
Growth Nasional Product (GNP) yang bersifat kuantitatif. Ukuran kualitatif dari
proses pemangunan yang menekankan pada pertumbuhan tersebut menjadi
terabaikan. Keterbatasan utama dari model pembangunan tersebut melahirkan
model baru pembangunan yang menekankan arti penting pembangunan manusia
yang banyak disebut dengan istilah people centered development.
Pada awal penerapan konsep pembangunan sumber daya manusia masih
bersifat konvensional. Interpretasi pembangunan sumber daya manusia masih
disandingkan dengan proses investasi physical capital (Tjokrowinoto, 1996)
sehingga cakupan pembangunan sumber daya manusia yang meliputi pendidikan
dan pelatihan, perbaikan gizi, penurunan fertilitas, dan pengembangan
entrepreneurial dimaksudkan untuk peningkatkan produktivitas manusia.
Pembangunan sumber daya manusia belum bermuara pada apa yang disebut oleh
Korten (1988) disebut sebagai perwujudan yang lebih tinggi dari potensi-potensi
manusia. Untuk mencapai mutu kehidupan yang tinggi, rasa harga diri yang
diperoleh dari partisipasinya dalam kegiatan produksi sama pentingnya dengan
rasa harga diri yang diperoleh dari partisipasinya dalam mengkonsumsi produk-
produknya. Ketimpangan dalam konsep tersebut yang dalam paper ini dimaknai
sebagai konsep pembangunan yang tidak berkeadilan. Sumber daya manusia
masih ditempatkan sebagai salah satu faktor produksi saja, kalaupun ada proses
pembangunan sumber daya manusia tidak lebih dimaksudkan sebagai penunjang
proses produksi. Pada sisi lain, akses mereka untuk menikmati hasil produksi
masih sangat terbatas. Betapa banyaknya mereka yang bekerja di perusahaan-
perusahaan besar yang memberikan keuntungan dan sumbangan tinggi terhadap
produksi nasional, tetapi kehidupan mereka dalam kondisi yang terbatas.
Sejalan dengan pemikiran Korten tersebut di atas, Amartya Sen (1999;
2000), sang pelopor pembangunan hak azasi manusia lewat bukunya yang
berjudul Development as Freedom, memformulasikan konsep pembangunan
manusia tidak hanya sebagai sebuah pembentukan ’modal manusia’ tetapi lebih
luas dari sekedar itu. Pembangunan manusia memiliki beberapa dimensi penting
tentang kebebasan manusia yang terangkum dalam kerangka kerja menciptakan
kesempatan sosial untuk memperluas kemampuan dan kualitas manusia. Dengan
memberikan contoh-contoh kesuksesan beberapa negara di kawasan Asia Timur,
Sen menegaskan bahwa perluasan akses pendidikan bagi masyarakat, pelayanan
101
kesehatan yang maksimal akan memberikan dampak yang dasyat bagi
peningkatan kualitas manusia, yang tidak hanya melahirkan banyaknya angka
melek huruf, tingginya tingkat harapan hidup, pengurangan angka kematian (yang
sering disebut sebagai indikator pencapai pembangunan manusia), juga
memberikan dampak secara tidak langsung bagi peningkatan pertumbuhan
ekonomi melalui produktivitas manusia. Dengan memberi penekanan pada
pengakuan atas kemampuan manusia yang teraktualisasikan pada pemberian
ruang yang tinggi atas potensi dan kemandirian manusia diharapkan melahirkan
kesadaran kritis dari manusia tentang kondisi lingkungannya. Model
pembangunan yang demikian oleh Friedman (1993) disebut dengan konsep
pemberdayaan (empowernment).
Pemberdayaan manusia sesuai dengan konsep humanizing adalah
memberikan penekanan pada dimensi kemanusiaan yang dalam konsepnya
Todaro (2003) disebut sebagai pembangunan lebih manusiawi yang mencakup
tiga nilai inti, yaitu kecukupan (sustenance); harga diri (self-esteem); dan
kebebasan (freedom). Pembangunan harus dilihat sebagai suatu proses perubahan
totalitas suatu masyarakat yang mencakup perubahan mendasar atas struktur
sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap
mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan
pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Pada intinya, proses pembangunan
harus memperhatikan keseimbangan diantara tiga dimensi di atas. Pada satu sisi,
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar memang harus ada
(necessery conditions) dalam proses pembangunan. Keberhasilan pembangunan
ekonomi merupakan prasyarat bagi membaiknya kualitas, tetapi hal itu tidak
menjadi satu-satunya prasyarat tersebut. Kenaikan pendapatan per kapita,
pengentasan kemiskinan absolut, perluasan lapangan kerja, dan pemerataan
pendapatan sangat diperlukan untuk menghindari kesengsaran ekonomi
masyarakat, tetapi hal itu harus dibarengi oleh peningkatan harga diri manusia.
Konsep harga diri yang dimaksud oleh Todaro adalah adanya dorongan dari diri
sendiri untuk maju, untuk menghargai diri sendiri, untuk merasa dirinya pantas
dan layak melakukan atau mengejar sesuatu. Bangsa-bangsa di dunia ketiga
menurutnya, tidak terkecuali Indonesia telah banyak kehilangan jati dirinya.
Mereka hanya mengejar kemajuan ekonomi dan teknologi modern semata yang
dianggapnya sebagai satu-satunya ukuran kemajuan bangsa, sehingga eksistensi
bangsa dan harga diri kemanusiaan terabaikan. Bahkan, kebebasan atau
kemerdekaan bangsa tidak bisa berdiri tegak karena terjebak dalam pembangunan
ekonomi semata. Kita tidak ingin terulangnya trade-off dari pembangunan yang
telah dilakukan oleh pemerintah Orde Baru, sehingga menimbulkan apa yang
disebut oleh H.W.Arndt (1987) sebagai ”pertumbuhan yang menyengsarakan”
(immiserising growth).
Model pembangunan yang berdimensi kemanusiaan memberikan alternatif
bagi keterlibatan individu atau sekelompok masyarakat dalam proses
pembangunan. Selain memberikan penekanan pada investasi pendidikan dan
pelayanan kesehatan sebagai upaya membangun kualitas sumber daya manusia.
Pendekatan ini menghendaki adanya pemberian kesempatan yang luas bagi
partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Pembangunan dengan demikian
harus membantu memperluas dan memperdalam makna intervensi pembangunan
sebagai suatu aktivitas yang mandiri dan dari dalam, sebagai suatu aspek dari
102
program-program kesejahteraan yang dimulai dari diri sendiri (Ufford, 2004).
Pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan setiap rencana program atau
proyek yang akan dilaksanakan merupakan salah satu bentuk dari upaya
memberdayakan masyarakat. Dengan pelibatan masyarakat dalam setiap aktivitas
pengambilan keputusan diharapkan mampu melahirkan kemandirian masyarakat.
Dari uraian di atas ada benang merah yang bisa dirajut untuk menambal
sobekan-sobekan kain pembangunan yang sudah setengah abad lebih terbentang
semenjak kemerdekaan, sehingga bisa membalut kerangka dari hakikat
pembangunan yang diimpikan oleh founding father pendiri negeri ini, yaitu
meningkatkan kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan bangsa (Pembukaan
Undang Undang Dasar). Konsep pembangunan yang telah dirancang oleh
pendahulu-pendahulu bangsa ini sungguh sangat mulia sebagai kerangka kerja
untuk mendudukkan diri sebagai bangsa yang memiliki jati diri dan kemandirian
bangsa. Konsep pembangunan tersebut bermuara pada pemahaman kritis atas
penghargaan pada nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusiaan yang harus
diperjuangkan adalah memberikan penekanan proses pembangunan kualitas
manusia (sebagaimana diilhami oleh paradigma Quality of Growth); menciptakan
suatu bangsa yang unggul dengan kompetensi yang dimiliki untuk bersaing
dengan negara lain.
Untuk mencetak sumber daya manusia yang unggul dan memiliki
kompetensi yang baik kalau sejak awal dari perencanaan pembangunan
difokuskan pada investasi pembangunan sumber daya manusia. Investasi
pembangunan sumber daya manusia lebih memperhatikan keleuasaan manusia
untuk memilih apa yang dianggapnya penting bagi dirinya. Artinya, pengakuan
terhadap hak-hak azasi manusia tidak lain adalah memberikan kebebasan bagi
manusia untuk memilih apa terbaik bagi dirinya dalam partisipasinya dalam
pembangunan. Yang menjadi kelemahan dalam perencanaan pembangunan
selama ini adalah tidak memberikan penekanan yang utama bagi adanya pilihan-
pilihan kemanusiaan. Fokus utama dari perencanaan pembangunan yang selama
ini dikembangkan cenderung mengutakaman model pertumbuhan (development
growth paradigm) daripada pembangunan manusia (human development
paradigm). Pendekatan pertama lebih memfokuskan bagaimana GNP (gross
national product) terus meningkat. Sementara itu, paradigma pembangunan
manusia (Ul Haq, 1995) menekankan pada upaya memperluas pilihan-pilihan
akyat sebagai refleksi atas hak-hak azasi manusia. Selanjutnya, Ul Haq
mengungkapkan ada empat komponen utama yang dikembangkan dalam
paradigma pembangunan manusia, yaitu equity, sustainability, productivity, dan
empowernment.
Aspek equity dalam konsep pembangunan manusia dipahami sebagai
pemberian kesempatan luas bagi pilihan-pilhan kemanusiaan, masyarakat harus
mudah mengakses segala kesempatan yang dimiliki. Segala hambatan yang
menghalangi kesempatan masyarakat untuk mengembangkan diri harus
diminimalisir. Equity harus dipandang sebagai pemeratan dalam berbagai
kesempatan, bukan hanya pada pemenuhan kebutuhan sebagai suatu hasil.
Masyarakat harus diberi kesempatan yang sama untuk mengakses kesempatan
dalam bidang ekonomi dan politik. Dengan pemberian akses yang sama dalam
berbagai kesempatan bagi masyarakat, salah satu unsur penegakan hak-hak azasi
manusia akan terwujud.
103
Aspek sustainability memiliki dimensi penting dalam pembagunan
manusia yang selain memperhatikan kelangsungan bagi generasi mendatang untuk
mengkases setiap kesempatan yang ada, juga memperhatikan setiap bentuk kapital
yang sudah terbangun, misalnya pembangunan fisik, lingkungan, ekonomi, dan
aspek kemanusiaan yang lain. Terutama, dalam hal kelestarian lingkungan tidak
bisa diabaikan dalam proses pembangunan. Rusaknya ekologi yang telah
menimbulkan beberapa dampak negatif bagi kehidupan sosial, ekonomi, dan
budaya yang semuanya disebabkan oleh pembangunan yang berorientasi pada
pertumbuhan. Sebagai pengakuan hak-hak azasi manusia, dalam perencanaan
pembangunan harus memperhatikan kelestarian lingkungan. Pelestarian
lingkungan tidak hanya penting untuk meningkatkan mutu kualitas kehidupan
manusia pada masa sekarang, tetapi memberikan modal bagi perbaikan mutu
kehidupan di masa mendatang. Pencemaran lingkungan yang terjadi hampir di
semua muka bumi ini tidak hanya menghasilkan pemanasan global yang sekarang
sudah dirasakan oleh manusia di muka bumi, sekaligus mengancam kelangsungan
ekosistem dan kehidupan generasi mendatang.
Aspek productivity dinilai oleh Ul Haq sebagai suatu komponen utama
yang lain dalam pembangunan manusia, terutama kaitannya dengan pertumbuhan
ekonomimakro di setiap negara. Beberapa negara menggunakan modal manusia
sebagai alat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi
penting, tetapi jangan sampai hanya mendudukkan modal manusia sebagai faktor
produksi saja; lebih jauh dari itu modal manusia harus ditempatkan sebagai tujuan
akhir dari proses pembangunan. Dengan kata lain, peningkatan produktivitas
manusia harus selaras dengan ketiga aspek lain, equity, sustainability, dan
empowernmet.
Dimensi empowernment dalam paradigma pembangunan manusia lebih
berkaitan dengan upaya-upaya yang harus dilaksanakan dalam pembangunan
adalah memberikan peluang yang besar bagi masyarakat untuk terlibat dalam
proses perencanaan dan implementasi pembangunan. Keterlibatan masyarakat
harus bersifat holistik yang mencakup semua aktivitas yang menyangkut pilihan
hidupnya, termasuk dalam bidang politik, ekonomi, dan kultural. Pemberdayaan
dengan demikian dapat dimaknai sebagai sebuah delegasi kewenangan dan
kekuasaan. Dengan demikian, pemebrdayaan dapat dimaknai sebagai suatu
penghormatan atas kebhinekaan, kehasan lokal, dekonsentrasi kekuatan, dan
peningkatan kemandirian (Lihat Priyono dan Pranaka, 1996). Upaya melibatkan
semua elemen masyarakat, baik dalam bentuk komunitas ataupun individual akan
melahirkan partisipasi aktif dari masyarakat. Ketika partisipasi aktif masyarakat
mendapat tempat dalam proses pengabilan kebijakan akan melahirkan
pembangunan yang berkualitas.
Kesadaran akan terpenuhinya hak-hak azasi masyarakat yang tertuang
dalam konsep pemangunan manusia (human development) sebagaimana yang
diformulasikan oleh Ul Haq tersebut di atas harus selalu menjadi landasan utama
membangun Indonesia. Dengan kesadaran bersama untuk mewujudkan hak-hak
azasi rakyat tersebut jalan terjal yang selama ini merintangi proses panjang
pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas akan bisa dilalui. Reduksi
atas nilai-nilai kemanusiaan yang terjadi selama ini bisa segera dikembalikan pada
konsep awal jika strategi pembangunan yang sudah menjadi prioritas utama
tersebut secara konsisten dilaksanakan oleh pemerintah.
104
Penutup
Pembangunan yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini pada
hakekatnya belum bergeser dari paradigma pertumbuhan. Orientasi pembangunan
masih berpusat pada produksi dan tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Penerapan strategi pembangunan yang berbasis pertumbuhan tersebut memang
terbukti membawa situasi perekonomian Indonesia bangkit dari keterpurukan.
Angka pertumbuhan ekonomi yang tercermin dari laju produk domestik bruto
(PDB) cukup tinggi. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi tersebut masih
menyisakan persoalan, yaitu terjadinya trade-off, berupa kesenjangan dan
terabaikannya pembangunan kualitas manusia.
Meskipun pertumbuhan ekonomi penting untuk mendongkrak
perekonomian bangsa, namun perencanaan pembangunan ke depan tidak bisa
mengabaikan aspek pengembangan kualitas manusia. Dimensi kemanusian harus
menjadi prioritas utama yang bersandingkan dengan pertumbuhan. Dengan
investasi pada upaya-upaya membangun kualitas manusia, melalui pendidikan,
pelayanan kesehatan, dan pelibatan secara aktif dalam proses pembangunan
diharapkan terjadinya perubahan menuju kualitas pembangunan. Manusia
hendaknya tidak hanya ditempatkan sebagai salah satu faktor produksi yang
berdampingan dengan faktor produksi lainnya, tetapi ditempatkan sebagai nilai
inti dari pembangunan, yaitu terbangunnya harga diri bangsa dan kemandirian,
serta kebebasan manusia untuk beraktualisasi. Untuk mewujudkan nilai dasar dari
pembangunan alternatif tersebut harus dipilih model pembangunan yang berbasis
pengembangan kualitas sumber daya manusia sebagaimana yang dikembangkan
dalam paradigma centre people growth dan quality of growth. Model yang
dibangun harus menselaraskan posisi kemanusian dengan modal manusia dalam
sistem produksi. Mereka tidak hanya berperan dalam menghasilkan produksi,
tetapi juga menikmati hasil produksi tersebut untuk menembangkan kualitas
hidupnya.
Referensi
Fananie, Zainuddin.M., 1996, Pembangunan Berwawasan Martabat Manusia,
Muhammadiyah Universuty Press, Universitas Muhammadiyah
Surakarta
Faturochman, 2002, Keadilan Perspektif Psikologi, Unit Penerbitan Fakultas
Psikologi UGM dan Pustaka Pelajar, Jogjakarta.
Sen., Amartya 1999, Development As freedom, Anchor Books, A Division of
Random House, Inc., New York
Sen., Amartya (terj), 2000, Demokrasi Tidak Bisa Memberantas Kemiskinan,
Mizan Pustaka, Jakarta
Kartasasmita., Ginandjar, 1996, Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan
Pertumbuhan dan Pemerataan, Cides, Jakarta.
Korten,. D.C. dan Sjahrir, 1988, Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta
Priyono.,Onny S. Dan A.M.W. Pranarka, 1996, Pemberdayaan Konsep,
Kebijakan dan Implementasi, Centre for Strategic and International
Studies, Jakarta
105
Tjokrowinoto, Moeljarto.,1996, Pembangunan, Dilema dan Tantanga, Pustaka
Pelajar, Jogjakarta.
Tjokrowinoto, Moeljarto., 2003, Distorsi Reformasi: Suatu Kajian Kritis Terhadap
Proses Reformasi, Pidato Dies Natalies ke-54 Universitas Gadjah,
Jogjakarta
Todaro., Michael P. Dan Stephen C. Smith (terj.), 2003, Pembangunan Ekonomi
di Dunia Ketiga, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Ufford., Philip Quarles van. dan Ananta Kumar Giri, 2004, Kritik Moral
Pembangunan (terj), Penerbit Kanisius, Jogjakarta.
Ul Haq., Mahbub, 1995, Reflectons on Human Development, Oxford University
Press, New York
Yustika., Ahmad Erani, 2007, Perekonomian Indonesia Satu Dekade Pascakrisis
Ekonomi, Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya,
Malang.
106
PERAN SDM DAN PEMERINTAH DALAM PROMOSI TANGGUNG
JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN (PRIVAT)
(ANALISIS KOMPARASI NEGARA ITALIA, INGGRIS DAN
INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUBUNGAN NEGARA)
Abstract
The purpose of this paper is to analyse the changing role of civil society
and governments promoting. Corporate Responsibility (CR) as a result of the
challenges raised by globalisation. Design/methodology/approach – CR is linked
to the restructuring of governments’ agendas in the framework of
government/private sector/civil society relationships. It is a result of the research
project that applies the Relational State Model Approach to the analysis of CR
public policies. The relational state situates the relations between the public and
private sectors, between the state and society, in the sphere of co-responsibility.
Findings – The paper concludes that in the UK a more systemic, national
government-centred and business-oriented approach prevails, while Italy has a
more extensive, multi-stakeholder and multi-level approach. Research
limitations/implications, Indonesian has centralization and role of other
stakeholders do not systemic. – Future research should complete the comparative
analysis expanding it to other European countries: northern and central European
countries to analyse the difference between all European governments in order to
promote CR. Practical implications – The analytical framework of this paper
could be used for academic, business leaders and policy makers to develop future
actions in relation to CR public development. Originality/value – The objective to
be achieved is to understand the new political and public framework incorporating
CR as a new form of governance. We compare two countries that represent two
very different models of government action. The theoretical approach of the paper
is based on the comparative analysis of CR governmental vision, objectives,
strategies and internal government CR structure.
Keywords: Italy, United Kingdom, Indonesian, Corporate Responsibility (CR),
Public policy.
1. Pendahuluan
Corporate Responsibility (CR) digambarkan sebagai suatu hal yang
memiliki pengaruh penting terkait dengan tindakan sukarela perusahaan dan
sebagai instrumen akuntabilitas dan responsibilitas perusahaan menghadapi
tantangan baru perubahan sosial. CR ini pada dasarnya menghubungkan 3 (tiga)
107
hal yang dulunya dalam strategi bisnis dianggap tidak relevan dalam mendapatkan
profit dan benefit, yaitu People (masyarakat/SDM atau sosial), Planet (Bumi atau
lingkungan hidup) dan Profit (keuntungan atau perusahaan). Singkatnya,
pembangunan sosial dan lingkungan hidup mempunyai korelasi positif dalam
strategi bisnis demi mendapatkan keuntungan. Namun, ketika semua perhatian
ditujukan pada tindakan sukarela dengan menempatkan CR pada perusahaan
bisnis, disisi lain sangat sedikit yang membicarakan tentang bagaimana peran
SDM dan pemerintah agar dapat dan bahkan seharusnya mengadopsi CR melalui
promosi dan pengembangan di masing-masing negaranya. Padahal beberapa
negara telah mempelopori kebijakan CR, seperti Inggris, Denmark dan Australia
serta usaha-usaha telah dilakukan oleh Komisi Eropa untuk menjadikan kebijakan
CR sebagai kebutuhan setiap negara. CR menjadi perhatian yang cukup serius dan
perlu menghadirkan keterlibatan negara dikarenakan berbagai tindakan sektor
bisnis, terkait dengan konteks ekonomi global, yang berimplikasi terhadap
persoalan sosial dan lingkungan. Meningkatnya isu CR sebagai konsep di dalam
agenda pemerintah secara umum disebabkan oleh kemunculan berbagai tantangan
dari globalisasi di akhir abad 20. Oleh sebab itu, dengan meningkatnya isu-isu CR
tersebut, maka bagaimana pemerintah dan menata kembali di dalam agenda
kebijakannya terkait dengan CR yang perlu melibatkan hubungannya dengan
sektor bisnis, agen-agen sosial, dan SDM/sektor masyarakat sipil (Analisis
komparasi negara Italia, Inggris dan Indonesia dalam perspektif hubungan
negara)?
108
inisiatif CR juga dilakukan oleh pemerintah lokal. Kekuatan dan Kelemahan
Kebijakan CR Pemerintah Italia. Pemerintah-Administrasi Publik. Inisiasi dan
pengembangan kebijakan CR dilakukan oleh pemerintah pusat, sehingga
melemahkan peran kewenangan regional dan lokal terkait dengan CR relatif
karena di intervensi oleh pemerintah pusat. Kelemahan lain adalah belum
terbangunnya kerangka kerja koordinatif antar menteri yang terlibat, manakala
menjalankan insiasi promosi CR. Pemerintah-Sektor Bisnis. Pada bidang ini,
kebijakan CR merupakan kebijakan yang berlaku di tingkat pemerintahan
nasional, regional dan lokal dengan tujuan : 1). Meningkatkan derajat kesadaran
perusahaan akan isu sosial, lingkungan dan keberlanjutan; 2). Mempromosikan
budaya CR dan untuk berbagi pengalaman diantara sektor bisnis; 3). Mendukung
pengembangan usaha kecil dan menengah melalui kebijakan CR; 4). Menetapkan
sebuah modul standar yang bisa digunakan bagi perusahaan dalam melakukan
aksi sosial; 5). Mempromosikan kesepakatan sukarela dengan kalangan
perusahaan; 6). Mengembangkan wadah aliran pembiayaan yang dapat digunakan
khususnya regional, agar dapat mengadopsi kualitas (ISO 9001), akuntabilitas
sosial (SA8000), pekerjaan kesehatan dan sistem manajemen keselamatan dan
lingkungan (ISO140001 dan EMAS); 7). Mendukung, melalui pemberian bantuan
fiskal dan administrasi, untuk mengadopsi sistem manajemen; 8).
Mempromosikan skema penamaan; dan 9). Mengembangkan pertukaran
pengalaman dengan berbagai negara. Tujuan bersama ini merupakan kombinasi
kekuatan kompetisi dengan peningkatkan keterpaduan sosial melalui prespektif
keberlanjutan sebagaimana didukung oleh komisi Eropa, sehingga kebijakan ini
sangat inovatif dan memberikan ruang yang luas bagi terwujudnya CR.
Pemerintahan-SDM/Sektor Masyarakat Sipil. Pemerintah nasional, regional
dan lokal memberikan perhatian yang besar kepada kalangan SDM/masyarakat
sipil, karena ini sebuah kebutuhan yang akan meningkatkan tuntutan publik akan
pelayanan publik diberbagai bidang. Pemerintah, Bisnis dan SDM/Masyarakat
Sipil. Di Negara Italia telah terbangun suatu situasi dan kondisi yang kondusif
bagi kemitraan antara tiga sektor tersebut, hal ini dibuktikan dengan adanya
berbagai kerjasama dan kesepakatan yang melibatkan aktor pemerintah, bisnis dan
SDM/masyarakat sipil untuk berbagai kegiatan sosial, keberlangsungan hidup dan
forum-forum lainnya.
109
1). Mempromosikan kegiatan bisnis yang akan membawa manfaat ekonomi,
sosial, dan lingkungan; 2). Membangun kemitraan dengan berbagai stakeholder,
kalangan bisnis dan berbagai kelembagaan sosial; 3). Mendorong penggunaan
pendekatan inovasi dan pembangunan berkelanjutan serta menerapkan dengan
cara yang terbaik; 4). Menjamin kepantasan atas kinerja minimal terhadap area
kesehatan dan keselamatan, serta lingkungan dan kesempatan yang sama; 5).
Mendorong peningkatan kepedulian, dialog terbuka yang konstruktif dan
kepercayaan; 6). Menciptakan sebuah kerangka kebijakan yang mendorong dan
memungkinkan prilaku bertanggung jawab dari perusahaan. Terkait dengan
Struktur (structure) CR Pemerintahan Inggris, di Inggris telah dibentuk
Kementrian CR yang bertanggung jawab terhadap kebijakan tersebut serta
bertugas mengembangkan strategis CR Pemerintah, kementrian ini sendiri berada
dibawah Departemen Perdagangan dan Industri. Pemerintah Inggris juga tidak
membentuk posisi baru, tetapi menyatukannya kompetensi CR ke dalam
kompetensi DTI. Prinsip kerjanya dengan asumsi kementrian CR telah menyusun
program dan koordinasi tindakan yang melibatkan antar kementerian untuk
mempromosikan kegiatan CR sehingga sangat jelas, CR ada dalam kendali dari
Departemen Perdagangan dan Industri yang akan berkoordinasi dengan berbagai
kementerian yang terkait dengan CR. Hal yang penting dari sisi aplikasi kebijakan
CR, mekanisme pelaksanaan diserahkan kepada administrasi dan bertanggung
jawab terhadap hal tersebut. Kemudian pelaksanaan kebijakan CR juga bisa
ditemui di Pemerintahan Lokal dengan berbagai strategi kemitraannya. Kekuatan
dan Kelemahan Kebijakan CR di Inggris. Pemerintah-Administrasi Publik.
Kebijakan CR Pemerintahan Inggris merupakan bagian terkait dengan tindakan
pemerintah sebagai bagian dari komitmen untuk pembangunan berkelanjutan.
Pemerintah-Sektor Bisnis. Pemerintah telah menyusun program-program untuk
memfasilitasi kegiatan CR di kalangan bisnis yang terkait dengan isu-isu umum
seperti meningkatkan kepedulian, memfasilitasi dan mempromosikan inisiatif aksi
sosial, membangun kapasitas, kesepakatan dengan stakeholder, penggalangan
dana, pertemuan dan transparansi, insentif fiskal, soft regulation dan jaringan
organisasi internasional. Pemerintah Inggris juga telah menyusun garis kerja yang
berbeda untuk terwujudnya CR di perusahaan, yaitu : 1). Mendorong organisasi
bisnis baru dan yang telah ada; 2). Pembiayaan terhadap aktivitas CR dan
organisasi yang berbeda; 3). Membangun kerangka fiskal yang menyenangkan; 4).
Membangun kerangka hukum untuk tranparansi dan keterbukaan; 5). Menetapkan
kebijakan yang akan memfasilitasi kesepakatan di dalam bisnis terhadap kerugian
yang dialami masyarakat akibat tindakannya dan memperbaharui kerusakan
lingkungan; mendukung kreasi perusahaan dan social enterpreneurship; 6).
Mendukung perusahaan dalam upaya peningkatan keahlian dan tingkat
pendidikan; dan 7). Mendukung kebijakan internal dalam memberikan contoh
yang baik. Kerangka di atas merupakan hasil dialog di antara berbagai stakeholder
government, private, civil society yang difasilitasi oleh organisasi CR. Tidak
seperti pemerintahan lainnya, Pemerintah Inggris memegang kendali program CR,
walaupun beberapa organisasi mediasi CR telah menjalankan program tersebut.
Jadi, kerangka kerja relasi paling sedikit dikembangkan yang juga sekaligus
sangat sedikit program-program yang mendapat dukungan pemerintah.
Pemerintah-SDM/Masyarakat Sipil. Terkait dengan pengembangan CR
bersama kalangan masyarakat sipil, pemerintah memfokuskan pada program-
110
program peningkatan kepedulian, melalui penghargaan dan kampanye secara
terbuka tindakan-tindakan perusahaan dan konsep CR di kalangan masyarakat
sipil. Tujuan lainnya adalah memfasilitas tindakan warga dan pekerja sosial dalam
keterlibatannyauntuk melakukan inisiatif kegiatan sosial. Pemerintah, Bisnis dan
SDM/Masyarakat Sipil. Sepanjang hubungan antara pemerintah-bisnis,
kebijakan dijalankan lengsung melalui kemitraan antara pemerintah, bisnis dan
masyarakat sipil sebagai salah satu bentuk yang tengah dikembangkan dengan
melalui kerangka kerja ini pemerintah memusatkan perhatian pada proyek
peningkatan kapasitas, memfasilitasi dan mempromosikan inisiatif kesukarelaan
dan mengumpulkan pembiayaan serta insentif pajak. Proyek kemitraan sedang
dikembangkan dan sekaligus merupakan upaya mencari solusi bersama terhadap
persoalan sosial terkait dengan isu khusus seperti pendidikan kaum remaja,
pembaharuan lingkungan dan kesepakatan masyarakat.
3.Prediction (Prediksi)
Secara garis besar prediksi paper ini akan diuraikan ke dalam beberapa
aspek berikut ini :
1. Aspek tujuan (purpose).
Tujuan paper ini adalah untuk melakukan analisis terhadap perubahan
peran SDM dan pemerintah dalam hal mempromosikan tanggung jawab sosial
perusahaan sebagai sebuah hasil dari meningkatnya tantangan globalisasi.
111
kebijakan publik Corporate Social Responsibility (CR) lebih luas (more
extensive), multi-stakeholder dan multi pendekatan.
re 1
4.Pembahasan
4.1. Dialog Teoritis Civil Society, State dan Privat (Corporate Responsibility)
Hasil analisis terhadap aksi CR di Italia, Inggris merupakan paparan
tentang relevansi teoritis masyarakat sipil (civil society), negara (state) dan
perusahaan (privat) untuk konteks Indonesia. Sebagian rumusan teori masyarakat
sipil (civil society), negara (state) dan perusahaan (privat) tidak sesuai dengan
penelitian ini. Oleh sebab itu, diperlukan suatu revisi atau reformasi teoritis atas
konstruksi teori-teori masyarakat sipil (civil society), negara (state) dan
perusahaan (privat) tersebut dalam penelitian ini merujuk konsep barat supaya
dapat dipergunakan secara tepat untuk menjelaskan kasus Indonesia. Ada dua
masalah pokok saat penulis menelusuri asal-usul dan menjelajahi gagasan
masyarakat sipil (civil society), negara (state) dan perusahaan (privat). Pertama,
tentang kemungkinan teori masyarakat sipil (civil society), negara (state) dan
perusahaan (privat) berasal dari Barat digunakan untuk menjelaskan realitas
masyarakat Indonesia. Kedua, kesesuaian teori masyarakat sipil (civil society),
negara (state) dan perusahaan (privat) dengan kelompok-kelompok sosial politik
oleh sebagian kalangan sering dirumuskan sebagai pengejawantahan masyarakat
sipil (civil society), negara (state) dan perusahaan (privat).
Gagasan masyarakat sipil (civil society), negara (state) dan perusahaan
(privat) tidak hanya hadir di Barat, tetapi juga Indonesia. Gagasan itu muncul
kembali menyusul keruntuhan negara-negara komunisme otoriter/tolaliter Eropa
Timur. Demokratisasi politik yang berlangsung di kawasan Eropa Timur sejak
akhir dasawarsa 1980-an hingga tahun 1990-an itulah yang mendorong
”kebangkitan global gagasan masyarakat sipil (civil society), negara (state) dan
perusahaan (privat)” Gagasan ini kemudian diklaim sebagai gagasan yang berakar
pada otensitas geneologis masyarakat Barat. Kalimat tersebut pada gilirannya
memunculkan pertanyaan penting apakah masyarakat non Barat juga memiliki
syarat-syarat politik yang dibutuhkan untuk mewujudkan masyarakat sipil (civil
society), negara (state) dan perusahaan (privat)? Apakah prasyarat institusional
(structural) dan cultural dalam lingkup pengalaman Eropa Timur dan umumnya
masyarakat di Barat itu dapat digeneralisasi untuk bagian masyarakat dunia
lainnya?Tidakkah upaya mengadopsi gagasan itu justru makin meneguhkan
bentuk-bentuk “imperalisme baru” atau penyimpangan nilai-nilai masyarakat non
Barat?
Banyak ilmuwan telah mencoba menjawab deretan pertanyaan tersebut.
Kemudian muncul polemik di kalangan ilmuwan. Sebagian menyambut optimis,
sebagian lagi pesimis dan ragu. Ernest Gellner mengkaji masyarakat Islam dan
komunisme termasuk salah seorang ilmuwan yang pesimis 19. Konteks historis
serta setting politik, ekonomi dan budaya yang yang melatari kelahiran teori
masyarakat sipil (civil society), negara (state) dan perusahaan (privat) di Barat
memiliki keunikan tersendiri. Komunitas yang bukan Anglo-Saxon, menurut
Gellner, sulit mengadopsi masyarakat sipil baik sebagai konsep maupun praksis.
Masyarakat non Barat tidak dapat mengakomodsi apa yang disebut oleh Alexis de
19
Ernest Gellner, Membangun Masyarakat Sipil, Prasyarat Menuju Kebebasan, terjemahan Ilyas
Hasan (Bandung: Mizan, 1995).
112
Tocqueville sebagai karakteristik masyarakat sipil, seperti nilai-nilai
individulisme, kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self generating) dan
keswadayaan (self supporting). 20 Keraguan serupa dinyatakan Serif Mardin,
sosiolog Turki yaitu:
Masyarakat sipil (civil society), negara (state) dan perusahaan (privat)
adalah mimpi Barat, aspirasi histories…Mimpi itu berdasarkan pada nilai-
nilai yang berasal dari zaman Yunani yang berujung pada gagasan otonomi
moral dan penciptaan diri praktis. Dengan genealogi kultural yang
khas...cita-cita masyarakat sipil akan memiliki keterbatasan untuk
generalisasi melampaui konteks Barat, paling tidak karena konsep kedirian
(personhood) dan pelaku (agency) yang berada pada inti konsep ini sangat
berbeda dengan gagasan kedirian dan pelaku sebagian besar masyarakat
non Barat. 21
Dalam telaah antropologi-kritis terhadap literatur mayarakat sipil Barat,
Christ Hann menyatakan pendapat senada. Antropolog ini, sebagaimana dikutif
Hefner, menegaskan ”ideal masyarakat sipil (civil society), negara (state) dan
perusahaan (privat) yang berkembang dalam kondisi sejarah (Barat) tidak bisa
direplikasi di bagian lain dunia sekarang,” khususnya apabila gagasan ini
diasumsikan sebagai ”universitas gagasan perseorangan Barat modern” 22 Namun
demikian, Robert Hefner, analisis awal Christ Hann dan Serif Mardin yang
bersifat kultural perlahan-perlahan bergeser menuju genealogi praktik dan makna
dialektis lebih kompleks. Dengan berpikir lebih luas tentang perkembangan sosial
politik Barat. Mardin akhirnya mengakui masyarakat sipil (civil society), negara
(state) dan perusahaan (privat) bukan semata-mata fantasi ideologis tetapi produk
konstelasi kekuatan sosial dan politik tertentu. Hal itu mempengaruhi institusi
sosial dalam membangun atau menciptakan tatanan politik yang pluralistik.
Demikian pula Christ Hann. Pada akhir tulisannya ”kilauan perak dalam awan
masyarakat sipil;” masyarakat sipil sama sekali bukanlah produk unik Barat sebab
masyarakat non Barat pun telah mengembangkan unsur-unsur penting darinya.23
20
Setelah mengidentifikasi perbedaan latar belakang masyarakat Barat dan masyarakat Islam,
Ernest Gellner menunjukkan masyarakat Islam sulit menerima nilai-nilai Barat yang terkandung
dalam gagasan masyarakat sipil. Sulit dibayangkan masyarakat Islam dapat menerima sekularisasi
dan individualisme yang menjadi batu landasan brkembangnya peradaban masyarakat sipil Barat.
Menurut Gellner, ada dua sub budaya yang berkembang dalam masyarakat Islam, yaitu Islam
Rendah di daerah pedalaman dengan kehidupan selalu diwarnai mitos dan komunalisme serta
Islam Tinggi yang sudah menyerap sebagian nilai-nilai modernisasi, tetapi tidak menerima
sepenuhnya nilai-nilai Barat, dan memilih untuk membangun ummah.
21
Serif Mardin, “Civil Society and Islam,” dalam John A Hall (ed.) Civil Society: Theory, History,
Comparison (Cambridge: Polity Press, 1995), Hal. 278.
22
Christ Hann, “Introduction: Political Society and Civil Antropology”, dalam Christ Hann dan
Elizabeth Dunn (eds.), Civil Society: Callenging Western Models (London and New York:
Routledge, 1996), hal.1,5,20.
23
Pada tahun-tahun terakhir, potongan-potongan organisasi politik yang tersebar ini mulai muncul
di dalam konteks non-Barat, khususnya dunia Islam. Namun Mardin mengingatkan agar jangan
tergesa-gesa menyimpulkan masyarakat sipil akan muncul di semua tempat. Meskipun banyak
Negara muslim modern mulai memperoleh kerangka institusional mirip dengan negara-negara
yang terbentuk lebih awal di Barat, ”mimpi masyarakat Barat belum tentu menjadi mimpi
masyarakat muslim”. Hal ini belum terjadi karena masyarakat muslim mewarisi “memori kolektif
kebudayaan total yang pernah memberikan suatu kehidupan ‘beradab’ yang berbeda dengan
kehidupan Barat.” Nilai inti kebudayaan muslim bukanlah indivudalisme pelaku dan penciptaan
diri, tetapi keteguhan iman dan gagasan mengenai wahyu.
113
Ernest Gellner, Serif Mardin dan Christ Hann, terdapat pandangan lain
yang cenderung menolak klaim partikularitas maupun universalitas Barat atas
gagasan masyarakat sipil (civil society), negara (state) dan perusahaan (privat).
Sebagian meragukan konsep masyarakat sipil (civil society), negara (state) dan
perusahaan (privat) yang dapat diterapkan dan dikembangkan dalam konteks yang
berbeda, sebagian lagi menegaskan gagasan itu bisa diadaptasi dan diproduksi
oleh masyarakat non Barat. Pendapat yang meragukan kemungkinan
dikembangkannya konsep masyarakat sipil (civil society), negara (state) dan
perusahaan (privat) untuk konteks Indonesia tampak dalam kutipan berikut ini:
Masih sulit memang menelusuri ada tidaknya akar masyarakat sipil (civil
society), negara (state) dan perusahaan (privat) dalam sistem sistem sosial
asli Indonesia...Kiranya perlu ditekankan konsep masyarakat sipil (civil
society), negara (state) dan perusahaan (privat)...secara orisinal
berkembang melalui pengalaman Barat, konsep ini juga dapat diterapkan
untuk masyarakat non-Barat. Tentu saja, konsep masyarakat sipil (civil
society), negara (state) dan perusahaan (privat) tidak dapat dipakai untuk
menjelaskan kenyataan yang ada pada masyarakat non Barat, namun ia
dapat digunakan untuk menginspirasikan, mendorong, dan memberdayakan
mereka dalam upaya membangun demokrasi. Terlihat dengan jelas adanya
perbedaan mendasar antara ”menjelaskan” sesuatu fenomena yang sudah
ada dan ”menciptakan” fenomena yang baru. 24
Walaupun ragu menggunakan konsep masyarakat sipil (civil society),
negara (state) dan perusahaan (privat) untuk menjelaskan masyarakat Indonesia,
apalagi memakainya untuk menciptakan suatu realitas yang bisa dijelaskan konsep
Barat, Ryaas Rasyid tidak menampik kemungkinan penggunaan konsep tersebut.
Pendapat berbeda yang kelihatan lebih optimis yang dinyatakan oleh
sejumlah pemikir dan ilmuwan. Dalam sebuah artikel, kendati tidak secara
spesifik membahas gagasan masyarakat sipil (civil society), negara (state) dan
perusahaan (privat), Maswadi Rauf menelusuri teori-teori partisipasi politik dan
menyatakan pentingnya memperhatikan kesenjangan antara teori-teori yang
bersumber dari Barat dengan realitas Indonesia. Walaupun demikian, Maswadi
Rauf tidak menampik kemungkinan ditemukannya teori baru atau teori-teori yang
sesuai dengan konteks masyarakat non Barat, termasuk Indonesia:
Teori-teori yang dihasilkan oleh penelitian terhadap masyarakat Barat
dipertanyakan keabsahannya bila digunakan bagi masyarakat non Barat.
Ada bagian-bagian dari teori (Barat) yang relevan dengan masyarakat di
negara-negara sedang berkembang, sedangkan sebagian lagi tidak relevan
sehingga perlu disesuaikan dengan karakteristik masyarakat tersebut. Hal
ini dapat dimengerti karena teori-teori (yang) dibuat oleh ilmuwan Barat
berdasarkan studi mereka atas masyarakatnya yang mempunyai nilai-nilai
budaya dan perkembangan yang berbeda dari masyarakat di negara-negara
berkembang. 25
Pandangan Maswadi Rauf secara tidak langsung membawa persoalan pada
perlunya pendekatan kritis terhadap teori-teori Barat yang selama ini diterapkan di
24
M.Ryaas Rasyid, “Perkembangan Pemikiran Tentang Masyarakat Kewarganegaraan (Tinjauan
Teoritik)”, dalam jurnal Ilmu Politik, No. 17, Jakarta, 1997, hal.9.
25
Maswadi Rauf, “Ciri-ciri Teori Pembangunan Politik: Kasus Partisipasi Politik”, dalam Jurnal
Ilmu Politik, No.9, Jakarta, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) dan Gramedia, hal.3.
114
Indonesia. Sebagaimana halnya teori atau gagasan ilmiah, wacana masyarakat
sipil (civil society), negara (state) dan perusahaan (privat) tidak menciptakan
sebuah ruang dialog pada lanskap pendefinisian dan pemaknaan istilah, baik
terminologis maupun etimologis, melainkan juga penerapan teori-teori tersebut
pada kasus aktual di luar masyarakat Barat. Perdebatan (dialog) di wilayah ini
pada gilirannya menorehkan suatu persoalan rumit, yakni universalitas dan
partikularitas wacana masyarakat sipil (civil society), negara (state) dan
perusahaan (privat) ketika diejawantahkan di luar ranah kelahirannya misalnya di
negara non Barat seperti Indonesia. Namun demikian, Maswadi Rauf menyatakan
masalah itu mungkin baru dapat diselesaikan dengan memberi alternatif
perumusan baru terhadap teori-teori Barat jika diterapkan di Indonesia.
Nada optimis juga dinyatakan Robin Bush yang menelusuri dan membedah
secara spesifik konteks teori masyarakat sipil yakni:
Apakah masyarakat sipil (civil society), negara (state) dan perusahaan
(privat) mencerminkan kekhususan pemikiran dan pengalaman Barat, atau
apakah masyarakat sipil (civil society), negara (state) dan perusahaan
(privat) itu mencerminkan nilai-nilai yang pada dasarnya...terdapat di
berbagai kultur dan seluruh konteks...tentu saja masyarakat sipil (civil
society), negara (state) dan perusahaan (privat) itu tidak dimonopoli oleh
Barat. Tentu saja masyarakat sipil (civil society), negara (state) dan
perusahaan (privat) itu suatu hal yang bisa berkembang pada kultur dan
konteks yang berbeda-beda. Suatu pengertian yang sesuai dengan konteks
kultural dan historis negara-negara non Barat, bisa dan mungkin saja
dirumuskan; tetapi pengertian masyarakat sipil (civil society), negara
(state) dan perusahaan (privat) tersebut tidak hanya berdasar pada
masyarakat sipil (civil society), negara (state) dan perusahaan (privat)
(sumber-sumber bacaan teoritis Barat...juga action and institution ...
masyarakat sipil (civil society), negara (state) dan perusahaan (privat) harus
diamati dari ”action and institution in the context of power relations”...Jadi
kalau kita ingin mencari konsep masyarakat sipil (civil society), negara
(state) dan perusahaan (privat) yang mengikuti versi Barat...harus
menganalisis tindakan playersnya dan political behavior dari semua
stakeholders. 26
Maswadi Rauf dan Robin Bush menunjukkan sikap optimis terhadap
kemungkinan diperolehnya sebuah teori masyarakat sipil (civil society), negara
(state) dan perusahaan (privat) di luar formulasi teori-teori Barat. Bagaimanapun
juga, penerapan teori masyarakat sipil (civil society), negara (state) dan
perusahaan (privat) tidak perlu menunggu waktu berabad-abad hingga suatu
masyarakat tertentu mencapai taraf masyarakat modern dan demokratis seperti
yang menjadi tolok ukur Barat. Apabila teori-teori masyarakat sipil (civil society),
negara (state) dan perusahaan (privat) versi Barat dijadikan acuan standar bagi
masyarakat non Barat, berarti Indonesia, sebagaimana dikonstatasi Ryaas Rasyid,
Christ Hann, Serif Mardin dan Ernest Gellner sama seperti negara-negara
berkembang lain yang harus menunggu waktu relatif lama untuk membangun
unsur-unsur masyarakat sipil (civil society), negara (state) dan perusahaan (privat)
dalam memperoleh persyaratan yang dibutuhkan bagi timbulnya masyarakat sipil
26
Robin Bush, “Akar Kultural Civil Society NU” dalam Burhanudin (eds.), Mencari Akar
Kultural Civil Society di Indonesia (Jakarta: Incis dan CSSP USAID,2003), hal.28.
115
(civil society), negara (state) dan perusahaan (privat) sebagaimana masyarakat
Barat. Kemandirian, keswadayaan, dan keswasembadaan adalah persyaratan bagi
timbulnya masyarakat sipil (civil society), negara (state) dan perusahaan (privat)
sesuai dengan ukuran teori-teori Barat. Demikian pula kondisi yang memberi
peluang menuju ke arah itu, misalnya kesejahteraan ekonomi masyarakat
meningkat, tingkat pendidikan makin tinggi, partisipasi masyarakat kian meluas,
dan tatanan negara yang tergolong mapan secara demokratis. Masalahnya, jika
semua persyaratan tersebut harus dipenuhi lebih dulu, entah kapan masyarakat
sipil (civil society), negara (state) dan perusahaan (privat) di Indonesia akan
terbentuk.
Harus diakui syarat-syarat terbentuknya masyarakat sipil (civil society),
negara (state) dan perusahaan (privat) di Barat tidak bisa dilepaskan dari
perjalanan sejarah masyarakat Barat itu sendiri sejak zaman Yunani Kuno.
Masyarakat Barat Modern adalah hasil dari perkembangan evolusioner selama
berabad-abad; waktu relatif lama untuk mencapai tingkat kemajuan seperti
sekarang. Tidak dapat disangkal dalam perjalanan masyarakat Barat selama
berabad-abad itu telah menghadirkan kemajuan di pelbagai bidang ilmu
pengetahuan, politik, ekonomi dan budaya yang membawa dampak besar pada
pertumbuhan dan berkembangnya paham atau sistem demokrasi di masyarakat
Barat. Seiring dengan berkembangnya demokrasi, masyarakat sipil (civil society),
negara (state) dan perusahaan (privat)pun memiliki peluang untuk muncul.
Apakah masyarakat dan negara berkembang seperti Indonesia juga harus
menunggu waktu berabad-abad untuk mencapai tatanan masyarakat modern dan
demokratis seperti Barat? Bagaimanapun juga, kriteria dan syarat terbentuknya
masyarakat sipil (civil society), negara (state) dan perusahaan (privat) seperti
dipelajari dalam teori Barat tidak harus dijadikan acuan mutlak. Artinya, harus
dikembangkan suatu gagasan baru bahwa masyarakat sipil (civil society), negara
(state) dan perusahaan (privat) dapat saja terwujud kendati persyaratan yang
dianggap standar itu belum dapat dipenuhi. Teori masyarakat sipil (civil society),
negara (state) dan perusahaan (privat) perlu direvisi, dimodifikasi atau
ditambahkan sesuatu yang baru sehingga dapat menjelaskan kasus Indonesia yang
sesungguhnya.
116
kesejahteraan telah melahirkan beberapa problem sosial, seperti kelangkaan
lapangan kerja, kemiskinan dan kerusakan sosial. Di era abad 21, globalisasi
ekonomi telah menyebabkan krisis terhadap model negara kesejahteraan, karena
ketidakmampuannya untuk menyelesaikan problem-problem tersebut. Kondisi
inilah yang kemudian menghadirkan pendekatan baru masyarakat governance
dengan model kolaborasi antara perusahaan, pemerintah dan masyarakat sipil,
termasuk CR adalah problem kontemporer yang perlu diatasi dengan model
masyarakat governance. Ketiga, Persaingan Nasional, Inovasi Perusahaan dan
CR. Kebijakan publik itu adalah suatu mekanisme sangat penting untuk
menaikkan praktek CR bisnis dan mencapai pembangunan berkelanjutan sebagai
bentuk keuntungan-keuntungan dari praktek CR. Keempat, Pembangunan
Berkelanjutan dan CR. Keberadaan (eksistensi) perusahaan dengan mengacu pada
CR, merupakan suatu bentuk kontribusi kepada pembangunan berkelanjutan dan
peran SDM/masyarakat sipil dan pemerintah menjadi penting mempromosikan hal
ini kepada kalangan bisnis.
117
Tanggung jawab sosial dan Lingkungan yang dalam istilah teknis biasa
dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR) telah menyita perhatian
kalangan pelaku usaha (pebisnis/pengusaha) dan pengamat ekonomi pada saat
konsep tersebut menjadi ketentuan wajib dalam UU Perseroan Terbatas yang baru
saja di sahkan oleh DPR, yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007.
Ketentuan CR dalam undang-undang tersebut hanya termuat dalam satu pasal,
yaitu dalam pasal 74, dalam pasal itu tidak semua perusahaan dikenakan
kewajiban untuk melaksanakan CR ini, yang dalam UU Perseroan Terbatas
disebut sebagai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Hanya perusahaan yang
kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam dan perusahaan yang kegiatan
usaha berkaitan dengan sumber daya alam saja yang dikenakan kewajiban CR.
Kewajiban ini telah dikeluhkan oleh kalangan asosiasi atau pengusaha yang
bergerak di bidang eksploitasi sumber daya alam. Bahkan ada yang menuduh
pemerintah menerapkan standar ganda atas kebijakan ini. Polemik yang muncul
lainnya justru masalah tidak seharusnya CR ini diubah dari awalnya yang bersifat
sukarela menjadi sebuah tanggung jawab yang diwajibkan. Berikut ini akan
diuraikan beberapa aspek karakter kebijakan CR di Indonesia, yaitu:
118
BAB V
TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN
Pasal 74
119
sistematika kerja kebijakan CR, karena sebelumnya tidak ada aturan terkait hal
itu, semua hanya kerelaan atau keikhlasan dari perusahaan untuk melakukan CR
atau tidak. Stakeholders juga masih lemah terkait dengan isu CR tersebut.
120
kebijakan lain yang sudah berjalan, seperti dengan kebijakan lingkungan dari
Kementerian Lingkungan Hidup dan kebijakan ketenagakerjaan yang ada. Ini
untuk menghindari terjadinya pembebanan berlebih pada perusahaan dan tumpang
tindih peraturan yang akhirnya hanya akan menciptakan kebingungan di kalangan
bisnis.
A. Penutup
Pola kemitraan dan kekeluargaan, akan tumbuh trust (rasa percaya) dari
SDM/masyarakat sipil. Sense of belonging (rasa memiliki) perlahan-lahan muncul
dari SDM/masyarakat sipil (civil society) sehingga masyarakat (civil society)
tersebut berpandangan kehadiran korporasi di daerahnya sangat berguna dan
bermanfaat. Harapannya, masa depan yang tidak begitu lama lagi akan ada
perusahaan-perusahaan di Indonesia yang kegiatannya di bidang dan atau
berkaitan dengan sumber daya alam, yang akuntabel, punya kepedulian pada
masalah sosial dan lingkungan dan berjaya dari sisi bisnis. Menjadi logis, ketika
kesadaran ini muncul, SDM/masyarakat sipil (civil society) siap untuk memberi
kontribusi kegiatan korporasi. Kalau ini menjadi kenyataan, interaksi harmonisasi
korporasi, SDM/masyarakat sipil (civil society) dan pemerintah akan terdengar
bagai irama lagu yang menyejukkan jiwa. Siapkah korporasi dengan hati yang
tulus dan konsep yang cerdas melakukan ini semua? Mudah-mudahan semua
harapan pemerintah (state), perusahaan (privat), dan SDM/masyarakat (civil
society) segera terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
121
Suryadi Culla, Adi, 2006, Rekonstruksi Civil Society, Wacana dan Aksi Ornop di
Indonesia, Jakarta: LP3ES.
Journals
Albareda, Laura, Antonio Tencati, Josep M. Lozano and Francesco Perrini, 2006,
The Government’s Role in Promoting Corporate Responsibility: A
Comparative Analysis of Italy and UK from The Relational State
Perspective, Emerald Group Publishing, Vol. 6, No. 4, 2006, pp.386-400.
Cheema, G. Shabbir, 2007, Linking Governments and Citizens through
Democratic Governance, PUBLIC ADMINISTRATION AND
DEMOCRATIC GOVERNANCE: Governments Serving Citizens, 7th
Global Forum on Reinventing Government Building Trust in Government,
26-29 June, Vienna, Austria.
Erkkila, Tero., 2004, Governance and Accountability – A Shift in
Conceptualization, Paper was first presented at the Annual Conference of
European Group of Public Administration , 1-4. September in Ljubljana,
Slovenia.
122
Tabel Perbandingan Kebijakan Publik (Versi Revisi : Kombinasi dengan Konsep Heidenheimer):
Perbandingan Peran Pemerintah dalam Promosi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Di Negara Italia, Inggris dan Indonesia
Aspek Negara
Italia Inggris Indonesia
Kebijakan Publik CR Pemerintah memandang CR sebagai upaya Visi (vision) Pemerintah memandang CR Tanggung Jawab Sosial dan
(vision) meningkatkan derajat kesadaran sebagai kontribusi perusahaan terhadap Lingkungan yang bertujuan
perusahaan terhadap isu sosial, lingkungan pembangunan berkelanjutan dan mewujudkan pembangunan
dan keberlangsungan hidup melalui mendukung strategi pemerintah dalam ekonomi berkelanjutan guna
penyebaran budaya tanggung jawab ke mengatasi berbagai persoalan. Pemerintah meningkatkan kualitas kehidupan
dalam sistem industri. Inggris juga memandang CR sebagai dan lingkungan yang bermanfaat
perhitungan yang harus dilakukan oleh bagi Perseroan itu sendiri,
perusahaan akan implikasinya terhadap komunitas setempat, dan
aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. masyarakat pada umumnya.
Struktur CR Internal Struktur (Structure) CR Pemerintah, yang CR Pemerintahan Inggris, di Inggris telah Dalam rangka pelaksanaan dan
Pemerintahan Internal bertanggung jawab adalah Menteri dibentuk Kementrian CR yang bertanggung perkembangan Undang-Undang ini
Tenaga Kerja dan Masalah Sosial, jawab terhadap kebijakan tersebut serta dibentuk tim ahli pemantauan
kemudian Direktur Umum Bidang bertugas mengembangkan strategis CR hukum perseroan yang tugasnya
Keluarga, Hak-Hak Sosial dan CR dan Pemerintah, kementrian ini sendiri berada memberikan masukan kepada
Direktur Umum Perlindungan Kondisi dibawah Departemen Perdagangan dan Menteri berkenaan dengan
Kerja. Tetapi tanggung jawab ini dibagi Industri. Pemerintah Inggris juga tidak Perseroan. Untuk menjamin
kepada Menteri Lingkungan dan Kawasan membentuk posisi baru, tetapi kredibilitas tim ahli, keanggotaan
serta Direktur Umum Penelitian menyatukannya kompetensi CR ke dalam tim ahli tersebut terdiri atas
Lingkungan dan Pengembangan. kompetensi DTI. berbagai unsur baik dari
pemerintah, pakar/akademisi,
profesi, dan dunia usaha.
CR responsibilities at Pada tahapan pelaksanaan dan Prinsip kerjanya dengan asumsi kementrian Belum ada kejelasan terkait dengan
different levels of pengembangan, kebijakan CR juga CR telah menyusun program dan koordinasi responsibilitas CR di setiap
government bersinergi dengan Menteri Perdagangan tindakan yang melibatkan antar kementrian level/tingkat pemerintahan. Dalam
dan Industri, Direktur Umum Regulasi untuk mempromosikan kegiatan CR, UU No.40/2007 tidak diatur terkait
123
Pasar dan Perlindungan Konsumen, sehingga sangat jelas bahwa CR ada dalam dengan hal ini. Peraturan
Direktur Umum Kebijakan Internasional, kendali dari Departemen Perdagangan dan Pemerintah juga belum disusun.
juga melibatkan Menteri Luar Negeri dan Industri yang akan berkoordinasi dengan
Direktur Umum Kebijakan Multilateral berbagai kementrian yang terkait dengan
dan Hak Asasi serta Kementerian CR. Hal yang penting dari sisi aplikasi
Administrasi Publik. Satu hal yang unik kebijakan CR, mekanisme pelaksanaan
pengembangan kebijakan CR adalah diserahkan kepada administrasi dan
dengan adanya desentralisasi, dimana bertanggung jawab terhadap hal tersebut.
inisiatif CR juga dilakukan oleh Kemudian pelaksanaan kebijakan CR juga
pemerintah lokal. bisa ditemui di Pemerintahan Lokal dengan
berbagai strategi kemitraannya.
Choices of Scope Kebijakan Sosial dan Ekonomi Kebijakan Sosial dan Ekonomi Kebijakan Sosial dan Ekonomi
Choices of Policy 1). Mempromosikan budaya CR dan 1). Mempromosikan kegiatan bisnis yang Pembuatan ketentuan khusus dalam
Instruments kebiasaan terbaik untuk saling memberi; akan membawa manfaat ekonomi, sosial, UU No 40 tahun 2007 dengan
2). Memberi jaminan ke warga negara dan lingkungan; 2). Membangun kemitraan memberikan kewajiban CSR bagi
bahwa laporan komitmen CR perusahaan dengan stakeholder, bisnis dan lainya; 3). perusahaan yang mengelola sumber
adalah benar dan tidak menyimpang; 3). Mendorong pendekatan inovasi dan daya alam secara langsung maupun
Menetapkan modul standarisasi yang pembangunan berkelanjutan; 4). Menjamin tidak langsung serta sanksi atas
mudah sebagai indikator utama kinerja kepantasan atas kinerja minimal terhadap pelanggaran ketentuan.
yang bisa diadopsi oleh perusahaan ketika area sosial, lingkungan dan kesempatan
melakukan aksi sosial; 4). Mendukung yang sama; 5). Mendorong peningkatan
usaha kecil dan menengah dengan kepedulian, dialog terbuka yang konstruktif
kebijakan dan strategi CR; 5). Berbagai dan kepercayaan; 6). Menciptakan kerangka
pengalaman dalam hal pengembangan di kebijakan yang mendorong-memungkinkan
antara negara-negarayang bisa aplikasikan prilaku responsibilitas dari perusahaan.
pada level/tingkat internasional.
Choices of Distribution Kalangan bisnis dan pemerintah Kalangan bisnis dan pemerintah Kalangan bisnis dan pemerintah
Skope Wilayah Nasional atau Domestik Internasional, Nasional, Regional dan Lokal Nasional
(domestic -
international)
124
Karakter Utama Peran lebih luas (more extensive), multi- lebih sistemik/teratur (systemic), berpusat Sentralistik dan peran stakeholder
Pemerintah stakeholder dan multi pendekatan pada pemerintahan nasional (national lain terlihat optimal, belum
government-centered) dan menggunakan sistematis.
pendekatan orientasi bisnis
Kekuatan dan Pemerintah-Administrasi. Pemerintah Pemerintah-Administrasi. CR hanya Memiliki daya atur, daya ikat dan
Kelemahan/choices of nasional memegang inisiatif regulasi CR, tindakan internal pemerintah sebagai bagian daya paksa. Tanggungjawab
restrain pertumbuhan peran regional dan komitmen pembangunan berkelanjutan, perusahaan yang semula adalah
kewenangan lokal terintervensi, adanya artinya merupakan kebijakan paralel. responsibility (tanggungjawab non
kesenjangan koordinasi antar kementrian Pemerintah-Bisnis. Pemerintah hukum) akan berubah menjadi
dan level pemerintahan dalam memfasilitasi dengan program untuk liability (tanggungjawab hukum).
mempromosikan CR. Pemerintah-Bisnis. kegiatan CR bagi sektor bisnis. Pelaksanaan Otomatis perusahaan yang tidak
Kebijakan CR beri ruang yang luas oleh lembaga perantara yang didukung oleh memenuhi peraturan perundang-
keterlibatan pemerintah nasional, regional, pemerintah. Jadi pemerintah mengintervensi undangan dapat diberi sanksi.
lokal melalui berbagai program. dg lunak. Tetapi, kerangka kerja relasi Kebijakan atau ketentuan CR
Pemerintah-Civil Society. Perhatian lemah, dimana sedikit sekali progam & belum menjadi kebijakan khusus,
pemerintah sangat besar terhadap CS, proyek yang didukung pemerintah. hanya salah satu pasal dalam UU
terkait peran penting CS bagi peningkatan Pemerintah-Civil Society. Pemerintah fokus No. 40/2007. Kebijakan CR ada
tuntutan sosial terhadap pelayanan dan pada proyek peningkatan kepedulian pada UU No. 40/2007 tentang PT,
barang publik. Sehingga dukungan dana melalui pemberian penghargaan atau dalam pasal 74 UU Perseroan
diberikan ke CSO. Pemerintah-Bisnis-CS. kampanye publik tindakan bisnis dan Terbatas yang baru , tidak semua
Memacu inovasi tinggi keterlibatan & konsep CR di CS. Pemerintah-Bisnis-CS. perusahaan dikenakan kewajiban
network multi stakeholder di CR. Situasi kemitraan masih dikembangkan dan untuk melaksanakan CR ini, yang
pemerintah memberikan perhatian serius dalam UU PT disebut sebagai
terhadap hal tersebut. Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan. Hanya perusahaan
yang kegiatan usahanya di bidang
sumber daya alam dan perusahaan
yang kegiatan usaha berkaitan
dengan sumber daya alam saja yang
dikenakan kewajiban CR.
125
126
DARI GOOD KE SOUND GOVERNANCE:
PENDORONG INOVASI ADMINISTRASI PUBLIK
Abstract
The concept of good governance appeared to negate the traditional forms of government.
There are two style of governance: market and participatory governance. This concept has
involved government, civil society, and private sector with some ideal principles such as
accountability, transparency, participation, and decentralization. Sound governance is used
to solve the deficiency of good governance. As a new concept, sound governance transcends
all other concept of governance and encourages new dimension: globalization, local values,
and innovation in policy and administration. Innovation is central point for sound
governance.
127
Administrasi publik diawasi oleh dan bertanggung jawab kepada pejabat politik yang
dipilih.
Gagasan kedua menyangkut nilai yang dikedepankan oleh perspektif ini,
bahwa administrasi publik seharusnya berusaha sekeras mungkin untuk mencapai
efisiensi dalam pelaksanaan tugasnya. Efisiensi ini dapat dicapai melalui struktur
organisasi yang terpadu dan bersifat hierarkis. Gagasan ini terus berkembang melalui
para pakar seperti Frederick Winslow Taylor (1923) dengan “scientific management”,
Leonard D. White (1926) dan W.F. Willoughby (1927) yang mengembangkan struktur
organisasi yang sangat efisien, dan Gullick & Urwick (1937) yang sangat terkenal
dengan akronimnya POSDCORB.
Dengan mengacu pada dua gagasan utama tersebut, perspektif ini menaruh
perhatian pada fokus pemerintahan pada penyediaan layanan secara langsung kepada
masyarakat melalui badan-badan publik. Perspektif ini berpandangan bahwa
organisasi publik beroperasi paling efisien sebagai suatu sistem tertutup sehingga
keterlibatan warga negara dalam pemerintahan dibatasi. Perspektif ini berpandangan
pula bahwa peran utama administrator publik dibatasi dengan tegas dalam bidang
perencanaan, pengorganisasian, pengelolaan pegawai, pengarahan, pengkoordinasian,
pelaporan, dan penganggaran.
Selama masa berlakunya perspektif old public administration ini, terdapat dua
pandangan utama yang lainnya yang berada dalam arus besar tersebut. Pertama adalah
pandangan Herbert A. Simon (1947) yang tertuang dalam karya klasiknya
“administrative behavior”. Simon mengungkapkan bahwa preferensi individu dan
kelompok seringkali berpengaruh pada berbagai urusan manusia. Organisasi pada
dasarnya tidak sekedar berkenaan dengan standar tunggal efisiensi, tetapi juga dengan
berbagai standar lainnya. Konsep utama yang ditampilkan oleh Simon adalah
rasionalitas. Manusia pada dasarnya dibatasi oleh derajat rasionalitas tertentu yang
dapat dicapainya dalam menghadapi suatu persoalan, sehingga untuk mempertipis
batas tersebut manusia bergabung dengan yang lainnya guna mengatasi segala
persoalannya secara efektif. Meski nilai utama yang hendak dijadikan dasar bertindak
manusia adalah rasionalitasnya, namun Simon mengungkapkan bahwa dalam
organisasi manusia yang rasional adalah yang menerima tujuan organisasi sebagai
nilai dasar bagi pengambilan keputusannya. Dengan demikian orang akan berusaha
mencapai tujuan organisasi dengan cara yang rasional dan menjamin perilaku manusia
untuk mengikuti langkah yang paling efisien bagi organisasi. Dengan pandangan ini
akhirnya posisi rasionalitas dipersamakan dengan efisiensi. Hal ini tampak dalam
pandangan Denhardt & Denhardt (2003:9) bahwa “for what Simon called
‘administrative man,’ the most rational behavior is that which moves an organization
efficiently toward its objective.”
Pandangan berbeda kedua dalam perspektif old public administration adalah
public choice (pilihan publik). Pandangan ini merupakan penafsiran baru atas perilaku
administrasinya Simon, dan yang lebih dekat dengan pandangan economic man. Teori
pilihan publik ini didasarkan pada tiga asumsi kunci. Pertama, teori ini memusatkan
perhatian pada individu dengan asumsi bahwa pengambil keputusan perorangan
adalah orang yang rasional, mementingkan dirinya sendiri, dan berusaha
memaksimalkan manfaat yang diperolehnya. Dengan demikian, seseorang senantiasa
berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya.
Kedua, teori ini memusatkan perhatian pada public goods (komoditas publik) sebagai
output dari badan-badan publik. Ketiga, teori ini didasarkan pada asumsi bahwa situasi
keputusan yang berbeda akan menghasilkan pendekatan yang berbeda dalam
penentuan pilihan. Dengan alasan ini, teori pilihan publik berupaya menstrukturasi
128
proses pembuatan keputusan sehingga dapat mempengaruhi pilihan-pilihan manusia.
Hal ini merupakan kunci beroperasinya badan-badan publik. Teori pilihan publik
inilah yang merupakan jembatan penghubung antara old public administration dengan
new public management.
Perspektif administrasi publik kedua, new public management (NPM),
berusaha menggunakan pendekatan sektor swasta dan pendekatan bisnis dalam sektor
publik. Selain berbasis pada teori pilihan publik, dukungan intelektual bagi perspektif
ini berasal dari public policy schools (aliran kebijakan publik) dan managerialism
movement. Aliran kebijakan publik dalam beberapa dekade sebelum ini memiliki akar
yang cukup kuat dalam ilmu ekonomi, sehingga analis kebijakan dan para ahli yang
menggeluti evaluasi kebijakan terlatih dengan konsep market economics, costs and
benefit, dan rational models of choice. Selanjutnya, aliran ini mulai mengalihkan
perhatiannya pada implementasi kebijakan, yang selanjutnya mereka sebut sebagai
public management. Penggunaan istilah yang berbeda ini dilakukan untuk
membedakannya dari public administration dengan mengabaikan fakta bahwa
keduanya memiliki perhatian yang sama, yakni implementasi kebijakan publik.
Denhardt & Denhardt (2003) mengakui bahwa public administration merupakan
sinonim dengan public management, namun jika antara keduanya ada yang
membedakan maka istilah public management cenderung bias pada interpretasi
ekonomi terhadap perilaku manajerial sementara istilah public administration
cenderung dipergunakan dalam ilmu politik, sosiologi, atau analisis organisasi.
Dukungan intelektual dari managerialism movement berakar dari pandangan
bahwa keberhasilan sektor bisnis dan publik bergantung pada kualitas dan
profesionalisme para manajernya. Kemajuan dapat dicapai melalui produktivitas yang
lebih besar, dan produktivitas ini dapat ditingkatkan melalui disiplin yang ditegakkan
oleh para manajer yang berorientasi pada efisiensi dan produktivitas. Untuk
memainkan peran penting ini, para manajer harus diberi “the freedom to manage” dan
bahkan “the right to manage.”
Secara praktek, gerakan manajerialis memperoleh pengaruh besar dalam
reformasi administrasi publik di berbagai negara maju, seperti Selandia Baru,
Australia, Inggris, dan Amerika Serikat. Di Inggris, reformasi administrasi publik
dijalankan sejak masa PM Margaret Thatcher. Dukungan intelektual dalam gerakan ini
di Inggris tampak dari karya Emmanual Savas dengan “Privatization”nya, Normann
Flynn dengan “Public Sector Management”nya. Di Amerika Serikat, gerakan ini
memperoleh popularitas besar berkat karya terkenal David Osborne dan Ted Gaebler,
Reinventing Government. Gerakan ini menyebar ke seluruh dunia sehingga menjadi
inspirasi utama di banyak negara dalam mereformasi administrasi publik baik dengan
melakukan privatisasi gaya Inggris atau dengan gerakan mewirausahakan birokrasi
gaya Amerika Serikat.
Perspektif ini menekankan penggunaan mekanisme dan terminologi pasar
sehingga memandang hubungan antara badan-badan publik dengan pelanggannya
sebagai layaknya transaksi yang terjadi antara penjual dan pembeli. Peran manajer
publik berubah karena ditantang untuk selalu menemukan cara-cara baru dan inovatif
dalam mencapai tujuan, atau menswastakan berbagai fungsi yang semula dijalankan
oleh pemerintah. Manajer publik didesak untuk “mengarahkan bukannya mengayuh,”
yang bermakna bahwa beban pelayanan publik tidak dijalankan sendiri tetapi sebisa
mungkin didorong untuk dijalankan oleh pihak lain melalui mekanisme pasar.
Dengan demikian manajer publik memusatkan perhatian pada akuntabilitas kepada
pelanggan dan kinerja tinggi, restrukturisasi badan-badan publik, mendefinisi ulang
129
misi organisasi, menyederhanakan proses administrasi, dan mendesentralisasi
pembuatan keputusan.
Perspektif new public management memperoleh kritik keras dari banyak pakar
seperti Wamsley & Wolf (1996), Box (1998), King & Stivers (1998), Bovaird &
Loffler (2003), dan Denhardt & Denhardt (2003). Mereka memandang bahwa
perspektif ini, seperti halnya perspektif old public administration, tidak hanya
membawa teknik administrasi baru namun juga seperangkat nilai tertentu. Masalahnya
terletak pada nilai-nilai yang dikedepankan tersebut seperti efisiensi, rasionalitas,
produktivitas dan bisnis karena dapat bertentangan dengan nilai-nilai kepentingan
publik dan demokrasi. Jika pemerintahan dijalankan seperti halnya bisnis dan
pemerintah berperan mengarahkan tujuan pelayanan publik maka pertanyaannya
adalah siapakah sebenarnya pemilik dari kepentingan publik dan pelayanan publik?
Atas dasar pemikiran tersebut Denhardt & Denhardt (2003:23) memberikan kritik
terhadap perspektif new public management sebagaimana yang tertuang dalam kalimat
“in our rush to steer, perhaps we are forgetting who owns the boat.”
Pemilik kepentingan publik yang sebenarnya adalah masyarakat maka
administrator publik seharusnya memusatkan perhatiannya pada tanggung jawab
melayani dan memberdayakan warga negara melalui pengelolaan organisasi publik
dan implementasi kebijakan publik. Perubahan orientasi tentang posisi warga negara,
nilai yang dikedepankan, dan peran pemerintah ini memunculkan perspektif new
public service (NPS). Warga negara seharusnya ditempatkan di depan, dan penekanan
tidak seharusnya membedakan antara mengarahkan dan mengayuh tetapi lebih pada
bagaimana membangun institusi publik yang didasarkan pada integritas dan
responsivitas. Pada intinya, perspektif ini menurut Denhardt & Denhardt (2003:24)
merupakan “a set of idea about the role of public administration in the governance
system that place public service, democratic governance, and civic engagement at the
center.”
Perspektif new public service mengawali pandangannya dari pengakuan atas
warga negara dan posisinya yang sangat penting bagi kepemerintahan demokratis. Jati
diri warga negara tidak hanya dipandang sebagai semata persoalan kepentingan
pribadi (self interest) namun juga melibatkan nilai, kepercayaan, dan kepedulian
terhadap orang lain. Warga negara diposisikan sebagai pemilik pemerintahan (owners
of government) dan mampu bertindak secara bersama-sama mencapai sesuatu yang
lebih baik. Kepentingan publik tidak lagi dipandang sebagai agregasi kepentingan
pribadi melainkan sebagai hasil dialog dan keterlibatan publik dalam mencari nilai
bersama dan kepentingan bersama.
Perspektif new public service menghendaki peran administrator publik untuk
melibatkan masyarakat dalam pemerintahan dan bertugas untuk melayani masyarakat.
Dalam menjalankan tugas tersebut, administrator publik menyadari adanya beberapa
lapisan kompleks tanggung jawab, etika, dan akuntabilitas dalam suatu sistem
demokrasi. Administrator yang bertanggung jawab harus melibatkan masyarakat tidak
hanya dalam perencanaan tetapi juga pelaksanaan program guna mencapai tujuan-
tujuan masyarakat. Hal ini harus dilakukan tidak saja karena untuk menciptakan
pemerintahan yang lebih baik tetapi juga sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Dengan
demikian, pekerjaan administrator publik tidak lagi mengarahkan atau memanipulasi
insentif tetapi pelayanan kepada masyarakat.
Munculnya perspektif new public service ini didukung oleh beberapa tulisan
lain yang berkembang beberapa tahun sebelumnya sebagai reaksi terhadap dominasi
perspektif new public management di berbagai belahan dunia. Pertama, Wamsley &
Wolf (1996) melakukan kritik keras atas reinventing government dengan menyunting
130
buku berjudul “refounding democratic public administration.” Wamsley & Wolf
mengumpulkan banyak tulisan yang melukiskan betapa pentingnya melibatkan
masyarakat dalam administrasi publik dalam posisi sebagai warga negara bukan
sekedar sebagai pelanggan. Buku tersebut menekankan betapa pentingnya democratic
government yang mengedepankan partisipasi masyarakat dalam administrasi publik.
Tulisan Little (1996) dalam buku tersebut yang berjudul “thinking
government: bringing democratic awareness to public administration” menjelaskan
konsepsi democratic public administration dengan memaparkan konsekuensi tiga
substansi demokrasi. Government of the people berarti pemerintahan masyarakat akan
membawa legitimasi bagi administrasi publik. Government by the people berarti
menjamin adanya representasi administrator publik dan akuntabilitas administrasi
publik terhadap masyarakat. Government for the people berarti bahwa administrasi
publik akan benar-benar menjalankan kepentingan publik, bukan kepentingan
birokrasi.
Tulisan lainnya dipersembahkan oleh King & Stivers (1998) dengan judul
‘government is us: public administration in an anti-government era.” Gagasan yang
diusung ke dua penulis tersebut adalah seyogyanya administrasi publik memandang
warga negara sebagai warga negara bukan sekedar sebagai pelanggan karena
pemerintahan itu adalah milik masyarakat. Untuk itu, tema utama buku tersebut
tertuang dalam ungkapan “Government is Us is a democratic public administration
that involves active citizenship and active administration.” Yang dimaksud dengan
active administration adalah tidak sekedar meningkatkan kekuasaan administrasi
tetapi memperkuat kerja kolaboratif dengan warga negara. Untuk itu, administrator
publik seharusnya berbagi kuasa dengan masyarakat dan mengurangi kendali terhadap
masyarakat serta meningkatkan kepercayaan kepada masyarakat melalui kolaborasi
penyelenggaraan pemerintahan dengan masyarakat. Pemerintahan masyarakat ini
merupakan partisipasi integratif antara masyarakat aktif dengan administrator aktif
untuk memenuhi kebutuhan, tujuan, dan sasaran bersama.
Perspektif NPS mengedepankan posisi masyarakat sebagai warga negara
dalam konteks governance. Perspektif ini membawa upaya demokratisasi administrasi
publik. Pelayanan kepada masyarakat merupakan tugas utama bagi administrator
publik sekaligus sebagai fasilitator bagi perumusan kepentingan publik dan partisipasi
masyarakat dalam pemerintahan. Perspektif ini juga mengakui bahkan menuntut
adanya partisipasi masyarakat dalam berbagai jenjang pemerintahan. Dalam
penyelenggaraan pemerintahan, partisipasi masyarakat merupakan unsur penting
dalam perspektif ini.
SOUND GOVERNANCE
131
Konsepsi governance yang melibatkan beragam stakeholder (pemerintah,
masyarakat dan sektor swasta) dalam administrasi publik dengan mengedepankan
prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, daya tanggap, partisipasi dan lain
sebagainya telah diakui oleh khalayak yang lebih luas dan bahkan dipaksa-terapkan
oleh berbagai lembaga donor internasional kepada terutama negara-negara sedang
berkembang. Farazmand mengungkapkan bahwa “Governance is therefore inclusive
and promotes participation and interaction in an increasingly complex, diverse, and
dynamic national and international environment.” Dengan konsepsi seperti ini maka
wajarlah jika pandangan governance melibatkan perspektif NPM maupun NPS. NPM
merupakan governance yang melibatkan utamanya sektor swasta dengan cara-cara
bisnis yang diterapkan di sektor administrasi publik. Sehingga tidak mengherankan
bila Frederickson (1997) mengungkapkan prinsip-prinsip reinventing government dari
Osborne & Gaebler sebagai governance dan menyebut OPA sebagai bureaucracy.
Sementara itu, NPS juga merupakan governance yang melibatkan utamanya kekuatan
masyarakat sebagai warga negara dengan dominasi cara-cara politik yang diterapkan
di sektor administrasi publik. Hal ini juga senada dengan Bovaird & Loffler (2003)
yang menyajikan ciri-ciri Public Governance yang mendekati karakteristik NPS dari
Denhardt & Denhardt (2003).
Bagi Farazmand (2004), (good) governance merupakan solusi untuk mengatasi
problema yang belum teratasi dan yang ditimbulkan oleh OPA (Farazmand
menyebutnya dengan traditional forms of government). Lebih lanjut ia
mengungkapkan bahwa governance memiliki dua bentuk, yakni entrepreneurial
models of government (NPM) dan social and political governance (NPS). Konsep
good governance tersebut kini menerima kritik. Sebagian karena tidak semua prinsip
good governance dapat dijalankan dengan mulus di negara-negara sedang
berkembang. Sebagian lagi karena good governance dipandang sebagai konsep yang
bersifat imperialistik karena dipaksakan oleh lembaga-lembaga internasional untuk
diterapkan di negara-negara sedang berkembang. Dalam kondisi tertentu negara maju
dipandang lebih menikmati keuntungan yang lebih besar dari terbukanya pasar bebas
di negara-negara sedang berkembang akibat penggunaan prinsip good governance.
Apa yang dinilai baik oleh negara maju dan kaya belum tentu baik pula bagi negara
sedang berkembang. “Good” bagi sebagian pihak tidak berarti “good” bagi pihak yang
lain. Bagi administrasi publik, penggunaan NPM atauNPS hanya memanfaatkan
sebahagian potensi stakeholder secara optimal dalam menyelesaikan masalah-masalah
publik dan mencapai tujuan-tujuan publik. Dalam kondisi seperti ini, Farazmand
(2004) menawarkan konsep baru bagi administrasi publik yakni sound governance.
Farazmand tetap mempertahankan konsepsi governance dengan mendasarkan
keterlibatan potensi seluruh stakeholder dalam administrasi publik. Konsepsi good
digantikan dengan sound karena dalam pandangannya:
“Soundness is used to characterize governance with superior qualities in
functions, structures, process, values, dimensions, and elements that are necessary in
governing and administration” (Farazmand, 2004:11).
Berbeda dengan konsep good governance yang melibatkan tiga aktor utama
dalam governance yang terkenal dengan konsep golden triangle (yakni pemerintah,
masyarakat, dan sektor swasta) maka sound governance menambahkannya dengan
aktor yang keempat yang juga tak kalah penting perannya bagi administrasi publik
suatu negara yakni elemen internasional. Aktor keempat ini dapat saja meliputi
kekuatan Multi-national Corporation, International Institution, International Non
Governmental Organization, international treaty, bilateral atau multilateral
132
cooperation, dan lain sebagainya. Perhatian penting terhadap elemen internasional
merupakan konsekuensi logis dari era globalisasi yang tak dapat dihindari oleh negara
manapun. Globalisasi dipengaruhi oleh perkembangan sarana transportasi dan
teknologi informasi dan komunikasi yang memudarkan batas-batas fisik negara dalam
komunikasi masyarakat internasional.
Kehadiran elemen internasional ini menyebabkan konsep good governance
berfungsi kurang positif karena menyebabkan ketimpangan yang lebih parah antara
negara maju dan negara sedang berkembang. Hubungan internasional lebih berpihak
pada negara maju saja sehingga penyempurnaannya justeru dilakukan dengan
menempatkan elemen internasional sebagai aktor yang juga harus diatur hubungannya
dalam konteks government. Pengakuan terhadap kehadiran elemen internasional ini
diikuti dengan pertimbangan normatif disamping pertimbangan rasional dan teknis
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Nilai-nilai lokal harus dipertimbangkan sebagai
counter-globalization dalam administrasi publik. Nilai-nilai lokal ini harus dihormati
oleh elemen internasional sehingga tercipta pandangan yang lebih seimbang dalam
tatanan pemerintahan. Administrasi publik berjalan dalam praktek yang sarat nilai
(value-laden) bukan dalam ruang hampa yang bebas nilai (value free). Bebas nilai
pada dasarnya hanya menghasilkan nilai tunggal yang dirumuskan oleh pihak yang
lebih kuat dengan memaksakannya kepada pihak yang lebih lemah. Dalam konteks
inilah Farazmand (2004:12) menyebutkan bahwa :
“Sound governance is used to denote a system of government that is not only
domestically sound and virtually flawless economically/financially, politically,
democratically, but is also sound internationally in its interaction with other nation-
states and their governments in an independent and self-determining fashion.”
133
kepemerintahan yang kokoh. Farazmand (2004: 19-20) mengakui hal tersebut dan
bahkan mengungkap arti penting inovasi sebagai berikut:
“Innovation is key to sound governance, and innovation in policy &
administration is central to sound governance as well. Without innovations,
governance falls into decay and ineffectiveness, loses capacity to govern, and become
a target of criticism and failure. Sound governance demands continuous innovations
in policy & administration processes, structures & value systems. Policy innovations
in governance are essential to the adaptation and adjustment to the rapidly changing
environment of the world under globalization.”
134
perusahaan yang satu lebih unggul daripada perusahaan yang lain. Namun demikian,
perjalanan waktu menunjukkan bahwa perlombaan memajukan efisiensi semata tidak
menjamin keunggulan bersaing karena masa selanjutnya persaingan dimenangkan
oleh perusahaan yang mampu menampilkan produktivitas yang lebih baik. Tahun
60an merupakan era keemasan studi-studi tentang produktivitas. Produktivitas kinerja
menjadi sangat penting di era tersebut bahkan diajarkan di berbagai universitas
ternama di dunia termasuk pula di sektor publik.
Era berikutnya menunjukkan bahwa produktivitas semata tidak menjamin
keunggulan bersaing. Perhatian terhadap kualitas mengalihkan perhatian praktisi dan
teoritisi administrasi dari sekedar efisiensi dan produktivitas. Produksi skala besar
belum tentu menjamin kualitas yang terkendali sehingga gerakan ke arah kualitas
prima dari produk dan jasa menjadi perhatian besar pada tahun 1970-1980an.
Perhatian ini ditandai dengan berkembangnya kajian tentang Total Quality
Management (TQM), Kaizen, Gemba Kaizen dan yang senada dengan hal tersebut.
Tokoh utama dalam gerakan ini seperti Juran, Deming, Imai menjadi sangat populer
karena kontribusinya dalam mendorong gerakan kualitas di berbagai penjuru dunia.
Ancangan kualitas ini berkembang ke berbagai sektor khusus seperti yang nampak
dari kajian-kajian special seperti total quality product dan juga merambah di sektor
jasa dan diadaptasi di sektor publik menjadi total quality service. Instrumen yang
selanjutnya berkembang pada isu yang terakhir tersebut terkenal dengan label
servqual (service quality) yang dikembangkan oleh Zeithaml.
Era berikutnya juga menunjukkan bahwa kualitas produk dan jasa juga pada
akhirnya tidak menjamin kemampuan memenangkan kompetisi ketika semua
organisasi juga memiliki perhatian terhadap kualitas. Era 1980-1990an menandai
berkembangnya kemampuan organisasi beradaptasi dengan lingkungan sebagai basis
keunggulan bersaing. Adaptasi terhadap perubahan lingkungan organisasi dianggap
sebagai kunci kelangsungan hidup organisasi sekaligus basis keunggulan bersaing.
Tokoh-tokoh kunci dalam era ini adalah Geert Hofstede dan Edgar M. Schein. Para
ahli ini mengembangkan teori budaya organisasi sebagai dasar utama
mengembangkan kemampuan adaptasi organisasi. Hofstede dengan kuat berusaha
menyadarkan para pihak yang terlibat dalam organisasi transnasional untuk
melakukan adaptasi terhadap budaya yang hidup di sebuah negara. Hanya dengan cara
ini, organisasi akan mampu beradaptasi dengan perubahan, kebutuhan, dan
kecenderungan di tempat tersebut sehingga akan memenangkan persaingan. Pada saat
yang sama, Schein (1985) mengembangkan kemampuan adaptasi yang berbasis
internal organisasi tersebut. Kemampuan tersebut berasal dari budaya organisasi itu
sendiri yang harus diperkuat sehingga memiliki kemampuan menyesuaikan diri
dengan lingkungannya dan mampu memunculkan sinergi kekuatan internal dalam
berinteraksi dengan lingkungan luarnya. Turbulensi perubahan lingkungan hanya akan
berhasil diatasi dengan kemampuan adaptasi yang tinggi.
Pada era berikutnya adaptasi dianggap juga tidak memadai dalam
mengembangkan keunggulan bersaing karena menempatkan posisi organisasi untuk
sekedar menyesuaikan diri dengan lingkungan dan tidak mengambil langkah proaktif
membentuk lingkungan. Kemampuan yang terakhir inilah yang dikembangkan oleh
banyak organisasi untuk memenangkan persaingan. Kemampuan membentuk
lingkungan didasarkan pada kemampuan organisasi dalam melakukan inovasi
sehingga produk dan jasa yang dihasilkan sebuah organisasi dapat diterima oleh
lingkungan. Banyak kebutuhan manusia yang belum terpenuhi oleh penawaran yang
ada sekarang, dan pada saat yang sama kebutuhan manusia bukanlah hal yang statis
namun bersifat dinamis karena terus berubah seiring dengan berkembangnya waktu.
135
Dinamika kebutuhan manusia inilah yang terus dibentuk oleh produk inovatif
organisasi. Era 1990-2000an ini ditandai dengan berkembangnya kajian knowledge
management yang mengedepankan pengelolaan pengetahuan sebagai dasar
pembentukan core competence sehingga organisasi dapat mengembangkan daya
inovasinya yang sulit ditiru oleh organisasi lainnya. Jika hal ini dimiliki maka bisa
dipastikan bahwa organisasi tersebut memiliki keunggulan bersaing. Tokoh-tokoh
utama dalam gerakan ini adalah Peter M. Senge (yang terkenal dengan bukunya yang
fenomenal the Fifth Discipline), Ikujiro Nonaka dan Hirotaka Takeuchi (Knowledge
Creating Company), Dorothy Leonard Barton (Wellsprings of Knowledge), Illka
Tuomi (Corporate Knowledge), Chun Wei Choo (Knowing Organization) dan masih
banyak lainnya.
Secara umum, kelebihan sound governance dibandingkan good governance
meliputi beberapa hal. Sound governance bersifat lebih komprehensif karena
mencakup elemen institusi global sekaligus pada saat yang sama tetap berupaya
memperkuat indigenous governance untuk menghadapi kekuatan global. Sound
governance memiliki semua karakteristik kepemrintahan yang berkualitas seperti yang
diungkapkan dalam kalimat berikut: “Sound governance reflects both governing and
administrative functions with sound organizational and managerial performance that
is not only current and maintenance-competent but also anticipatory, responsive,
accountable and transparent, and self corrective; hence strategic and long-term
oriented as well as short-term operational” (Farazmand, 2004:12). Sound governance
menggabungkan kekuatan ekonomi yang dominan ada dalam perspektif NPM (market
governance) dan kekuatan sosial politik yang dominan berada dalam perspektif NPS
(democratic governance). Sound governance mendorong inovasi administrasi publik
untuk mengatasi melorotnya kualitas administrasi publik karena perubahan cepat dan
kompleksitas dinamis yang terjadi.
PENUTUP
Administrasi publik tradisional (OPA) dipandang terlalu birokratis sehingga
tak mampu lagi menyelesaikan persoalan dan kebutuhan publik. Untuk itu dibutuhkan
keterlibatan segenap stakeholder pemerintahan dalam penyelenggaraan administrasi
publik. Pelibatan inilah yang menyebabkan terjadinya pergeseran konsep dari
government (yang semata berdasar pada pemerintah) menuju governance (yang juga
melibatkan sektor swasta dan masyarakat). Konsep good governance sebenarnya
memiliki makna ingin mengalihkan konsep lama yang dipandang menyebabkan terjadi
bad governance. Perkembangan berikutnya menunjukkan bahwa ada dua tipe
governance, yakni entrepreneurial governance (NPM) yang mengutamakan
keterlibatan sektor swasta dan mengedepankan cara-cara bisnis dalam administrasi
public, dan political atau democratic governance (NPS) yang mengutamakan
pelibatan masyarakat secara ekstensif dan mengedepankan cara-cara politik dalam
administrasi publik.
Kini good governance tak lagi dianggap memadai karena pengaruh globalisasi
yang sedemikian kuat menyebabkan ada banyak kebutuhan dan tuntutan public yang
tak dapat lagi dipenuhi. Untuk itu dibutuhkan cara baru untuk memenuhi persoalan
tersebut yang kemudian dikenal sebagai sound governance. Konsep ini menambahkan
satu aktor penting dalam administrasi publik yakni elemen internasional. Aktor ini
memainkan peran signifikan baik dalam regional dan global governance maupun
dalam local dan national governance. Selain itu, globalisasi juga membawa
kompleksitas dinamis bagi administrasi publik sehingga persoalan dan kebutuhan
yang ada hanya akan dicapai dengan adanya inovasi dalam kebijakan dan administrasi
136
publik. Inovasi merupakan kunci utama sound governance dalam mencapai tujuan
administrasi publik.
DAFTAR PUSTAKA
137
Wamsley, G.L. & Wolf, J.F. ed. (1996) Refounding democratic public administration:
modern paradoxes, postmodern challenges. Thousand Oaks, California: Sage
Publications.
138
MENCARI TITIK TEMU ADMINISTRASI NEGARA
DAN ADMINISTRASI PUBLIK :
“Tinjauan dalam Perspektif Kajian Klasik hingga Modern”
Abstrak
Perubahan makna studi administrasi negara ke administrasi publik dapat dipahami dari
berbagai konteks, pendekatan dan ruang lingkup kajian keilmuan yang digunakan.
Sudut pandang tersebut melahirkan arti dan makna yang beragam. Perubahan tersebut
dapat juga dimengerti dan ditelusuri berdasarkan kurun waktu perkembangan
keilmuannya, misalnya mulai dari kajian studi klasik sampai dengan modern.
Kategorisasi ini muncul sebagai akibat perubahan paradigma ilmu studi adminitrasi
negara yang terus berkembang. Perkembangan studi administrasi negara (public
administration) menegaskan kembali bahwa kajian ilmu ini memiliki fleksibilitas
keilmuan yang sangat tinggi. Fleksibilitas tersebut meliputi seluruh masalah
penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu negara. Perubahan makna administrasi
negara ke administrasi publik juga menyangkut perubahan paradigma dari government
ke governance yang diperkenalkan oleh UNDP. Namun demikian, domain kajian yang
lebih besar terletak tetap pada kajian sektor publik secara umum. Luasnya ruang
lingkup kajian tersebut juga telah menyebabkan munculnya kesulitan dalam
memberikan definisi tunggal makna public administration itu sendiri. Misalnya, dalam
konteks pengertian klasik public administration masih bermakna “negara”. Namun
demikian, apapun bentuk dan klasifikasinya fokus kajian llmu ini pada
penyelenggaraan pemerintahan yang meliputi kegiatan manajamen pemerintahan,
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan.
Pendahuluan
Ilmu administrasi negara sebagai suatu kajian yang multidispliner senantiasa
berada dalam proses perkembangan menuju keberbagai dimensi. Pada perkembangan
terakhir perubahan kajian administrasi negara terus berlangsung. Perubahan tersebut
memusatkan perhatian pada locus dan boundary makna “public pada
“administration” sehingga mengalami berbagai perdebatan dikalangan akademisi.
Namun demikian, hakikat dasar konsep administrasi negara memiliki pendefinisian
yang luas yang tetap menyangkut dinamika pemerintahan dan public affairs. Shafritz
dan Russel (2005) dalam bukunya “Introducing Public Administration”
memperkenalkan makna adminitrasi publik kedalam empat kategorisasi khusus.
Kategorisasi tersebut meliputi pengertian administrasi publik dalam aspek politik,
legal, manajerial, jabatan (occupation). Administrasi publik dalam pengertian politik
139
lebih dimaknakan sebagai ukuran telah sejauh manakah atau sebesar apakah
kemampuan pemerintah dalam mengatasi setiap persoalan publik yang muncul.
Sedangkan, administrasi publik dalam perspektif legal lebih memliki arti bahwa ruang
lingkup administrasi publik menyangkut aktualisasi hak masyarakat melalui
implementasi setiap kebijakan publik yang dibuat, dimana ebijakan publik tersebut
adalah produk hukum yang harus dipatuhi oleh warga negara dan pemerintah.
Selanjutnya, admnistrasi publik dapat dipahami dalam perspektif manajmen.
Perspektif ini menekankan pengelolaan sektor private sebagai bagian dari civil society
yang harus dilayani pemerintah. Dalam konteks ini, pemerintah harus mampu
membatasi dan membedakan pengelolaan dan distribusi sumberdaya organisasi yang
bersifat publik ataukah bisnis (private). Dan konsep administrasi publik sebagai
occupation berkaitan dengan kemampuan pemerintah sebagai pemilik jabatan
(authority) dalam mengevaluasi setiap program publik yang telah direncanakan
sebelumnya. Kategorisasi-kategorisasi inilah yang sesungguhnya menurut Shafritz dan
Russel (2005) sebagai “the rationale for public administration to be an academic
discpline”.
140
yang dilakukan pemerintah terutama lembaga eksekutifnya dalam mensolusikan
public cases.
141
dalam merespon fenomena-fenomena sosial yang berkembang di masyarakat.
Fenomena tersebut akan digambarkan dengan perubahan dan perbedaan tujuan, teori,
dan metodologi yang dikonstruksi secara epistimologis. Di awal perkembangannya,
studi administrasi publik mengalami perjalanan paradigma yang normatif. Hal ini
disebabkan oleh ketidakmampuan studi administrasi publik tersebut untuk menjawab
dan menjelaskan persolan publik yang berkembang. Kondisi inilah yang menyebabkan
munculnya upaya dari ilmuwan administrasi publik pada saat itu untuk menggugat dan
melakukan pendobrakan kajian administrasi publik secara terfokus. Seperti pernyataan
Caiden (1982), yang meragukan dan mempertanyakan eksistensi teori inti dari
administrasi publlik. Eksistensi teori administrasi publik dianggapnya lebih dominan
sebagai ilmu terapan yang tidak memiliki dan menciptakan grand theory tersendiri.
Nicolas Henry (1988) menjelaskan bahwa redupnya kajian adminitrasi publik tidak
terlepas dari fokus pemaknaan administrasi publik itu sendiri. Perkembangan studi
administrasi publik dianggap ilmu yang paling dinamis dan mampu mengimbangi
transformasi lingkungan. Oleh karenanya, administrasi publik harus di pandang
sebagai ilmu yang memiliki kajian paradigma yang elastis sesuai dengan peradaban
jaman. Secara tegas dalam bukunya “Public Administration and Public Affairs”,
Henry (1988) menjelaskan beberapa kondisi dan tahapan perkembangan paradigma
ilmu administrasi publik. Pertama, paradigma dikotomi antara politik dan administrasi
(1900-1926). Lahirnya paradigma ini sebenarnya merupakan reaksi dari
ketidakpuasannya terhadap pendapat dan kajian trikotomi yang sering dikenal dengan
“trias politika”, sehingga dikotomi fungsi administrasi publik yakni fungsi politik dan
administrasi dianggap sebagai syarat mutlak administrasi dalam mengemban
pelayanan kepada masayarakat. Lahirnya paradigma ini memberikan dampak yang
positif untuk menjadikan administrasi publik sebagai displin ilmu yang utuh dan
holistik. Fokus dari ilmu administrasi pun dibatasi pada masalah-masalah organisasi,
kepegawaian dan penyusunan anggaran dalam birokrasi dan pemerintahan yang
termasuk didalamnya aspek politik birokrasi.
142
pemikiran tersebut, akhirnya perkembangan ilmu administrasi publik tidak begitu
pesat. Ilmu politiklah yang seringkali digunakan untuk menafsirkan dan mengkaji
persoalan publik yang terjadi pada saat itu. Namun demikian, pada masa ini dijelaskan
bahwa fase adanya untuk menetapkan kembali hubungan konseptual antara
administrasi negara dan ilmu politik seperti yang terjadi pada pardigma sebelumnya.
Konsekuensi dari usaha ini adalah keharusan untuk merumuskan bidang paling sedikit
dalam hubungannya dalam fokus keahliannya yang esensial. Namun dalam
perkembanganya, pada fase ini telah muncul juga upaya pemberontakan para
sebagaian pakar seperti Simon dalam memperjuangkan eksisitensi ilmu adminitrasi
publik sebagai kesatuan ilmu yang utuh dan murni. Tanda kemunculan spirit ini dapat
dilihat dari meningkatnya analisis studi kasus yang menggunakan perspektif
administrasi publik dalam instrumen penyelesainnya. Kemudian juga munculnya
pemikiran dan konsep administrasi pembangunan sebagai sub kajian dari ilmu
administrasi negara. Sementara keinginan para pakar untuk menjadikan administrasi
publik sebagai imu tersendiri dan lepas dari kajian ilmu politik terus meningkat.
Keempat, paradigma administrasi negara sebagai ilmu administrasi (1970-
1990)”. Pada paradigma ini ilmu administrasi negara telah berkembang menjadi ilmu
administrasi. Adapun asumsi dasar yang menyebabkan lahirnya pandangan ini adalah
sulitnya untuk membedakan fokus kajian antara administrasi publik dan bisnis.
Namun sesungguhnya, paraigma ini lahir karena keinginan para pakar administrasi
publik pada saat itu untuk mengembalikan jati diri dan arah ilmu ini. Fokus kajian
adminitrasi dalam ilmu ini lebih di fokuskan pada teori organisasi dan manjemen.
Dalam kurun masa waktu tersebut juga muncul perdebatan tentang bagimana
memposisikan lokus ilmu ini secara nyata. Dan pada akirnya lokus ilmu administrasi
pun dianggap tidak jelas. Kelima, “administrasi negara sebagai ilmu administrasi
negara (1970-1990)”. Pada masa ini administrasi publik dianggap sebagai administrasi
publik, bukan bagian dari kajian ilmu politik atau ilmu administrasi yang selama ini
tidak memiliki fokus. Namun demikian, perlu diakui bahwa kerangka teoritik kajian
ilmu administrasi publik pada saat ini lebih banyak mengadopsi teori-teori ilmu
administrasi dan ilmu politik, seperti teori organisasi, ilmu kebijakan, dan ekonomi
politik. Oleh karenanya, hubungan dan wilayah ilmu administrasi publik, ilmu
administrasi dan ilmu politik sangatlah erat walaupun kharakteristik ilmunya tetap
menunjukan warna tersendiri. Sedangkan dalam literatur terbarunya yang berjudul “
Public Management and Public Affairs” dijelaskan perkembangan paradigma terakhir
administrasi publik telah mengarah kepada paradigma “from government to
governance” (Henry, 2004).
Penelusuran paradigma administrasi publik selanjutnya, dapat dipahami dari
pemikiran H. George Frederickson (1980) dalam bukunya yang berjudul
“Administrasi Negara Baru”. Menurutnya terdapat enam paradigma administrasi
publik. Pertama, paradigma birokrasi klasik. Fokus dari paradigma ini adalah
mengkaji persoalan organisasi publik melalui analisis struktur dan desain
organisasinya. Persoalan administrasi lebih dimaknai sebagai bagian dari fungsi
prinsip-prinsip manajemen. Lokus paradigma ini adalah berbagai jenis organisasi baik
pemerintahan maupun bisnis. Nilai pokok yang diwujudkan dalam paradigma ini
adalah efisiensi, efektivitas, ekonomi dan rasionalitas. Aktor utama paradigma ini
adalah Weber dengan konsep “Bureaucracy” (1922), tulisan Wilson yang berjudul
“The Study of Public Administration” (1887), Taylor dengan konsepnya “Scientific
Mangement”(1912) serta Gulick dan Urwick dengan artikelnya “Papers on The
Cience of Administration” . Kedua, paradigma birokrasi neo-klasik. Paradigma ini
menganut lokus yang mengacu pada teori keputusan yang dihasilkan oleh birokrasi
143
pemerintahan. Fokusnya adalah pada kajian proses pengambilan keputusan itu sendiri.
Namun demikian paradigma ini lebih fokus kepada penerapan ilmu perilaku, ilmu
manajemen, analisiis sistem dan penelitian operasional. Ilmuwan administrasi publik
yang mendukung paradigma ini antara lain Simon dengan tulisannya yang berjudul
“Administration Behaviour (1948)”, Cyer dan march dengan tulisannya yang
mengambil topik Abehavioral Theory of the Film (1963)”.
Ketiga, paradigma kelembagaan. Pardigma ini terfokus pada perilaku birokrasi
yang dipandang juga sebagai suatu organisasi yang kompleks. Sementara, masalah-
masalah yang berkaitan dengan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas organisasi
kurang mendapatkan perhatian. Salah satu perilaku organisasi yang diungkapkan oleh
paradigma ini adalah perilaku pengambilan keputusan yang bersifat gradual dan
inkremental, yang oleh Lindblom (1965) dipandang sebagai satu-satunya cara untuk
memadukan kemampuan dan keahlian birokrasi dengan perspektif kebijakan dan
berbagai kemungkinan bisa dari pejabat-pejabat politis. Adapun tokoh-tokoh dalam
paradigma ini antara lain Thompson yang menulis persoalan “Organization in Action:
The Social Science Bases of Adminitration Theory (1967), Mosher (1968) dengan
gagasan “demokrasi and the Public Service nya, dan Etzioni (1962) yang menulis
artikel yang berjudul “A Comperative Analysis of Complex Organization”. Keempat,
paradigma hubungan kemanusiaan. Fokus dari pardigma ini adalah keikutsertaan
dalam pengambilan keputusan minimasi dan perbedaan dan status hubungan antar
pribadi, keterbukaan, aktualisasi diri dan optimalisasi tingat kepuasan. Disamping itu
fokus paradigma ini juga menyangkut aspek-aspek dimensi kemanusiaan dan aspek
sosial dalam tiap jenis organisasi publik. Tokoh yang berpengaruh dalam paradigma
ini antra lain Rennis likert (1967) yang terkenal dengan tulisannya “ The Human
Organization : It’s Management and Value dan Daniel Kattz dan Robert Khan yang
terkenal dengan konsepnya “ The Social Pasycology of Organization (1966). Kelima,
paradigma pilihan publik (public choice). Fokus dari paradigma ini adalah interpretasi
dari hakikat administrasi negara sebagai bagian dari ilmu politik. Fokus paradigma ini
juga mengkaji pilihan-pilihan publik untuk melayani kepentingan publik akan barang
dan jasa yang harus diberikan oleh sejumlah organisasi yang kompleks. Tokoh dari
paradigma ini antara lain Buchanan (1962), Tullock (1968) dan Ostrom (1973).
Keenam, paradigma “adminitrasi negara baru”. Fokus dari paradigma ini adalah upaya
mengorganisasikan, menggambarkan, mendesain organisasi dalam mewujudkan nilai-
nilai kemanusiaan secara maksimal dengan menggambarkan sistem dentralisasi dan
terciptanya organisasi-organisasi yang demokratis.
Perkembangan paradigma administrasi publik dapat juga ditelusuri melalui
munculnya beberapa aliran (mazhab) studi administrasi publik itu sendiri. Gerald E.
Caiden (1982) memetakan perkembangan aliran administasi publik kedalam beberapa
kajian. Pertama, proses administrasi. Aliran ini mengandalkan kajian POSDCORB
dalam memperlancar proses administrasi publik. Kedua, empiris administrasi. Aliran
ini membahas bagaimana studi dan praktek administrasi publik tidak hanya semata-
mata mengandalkan teori dan generalisasi yang telah dihasilkan. Ketiga, prilaku
manusia. Kajian ini lebih memusatkan perhatian pada komunikasi, konflik, motivasi,
kepemimpinan, status dan interaksi sosial. Unsur-unsur ini bertujuan untuk mencapai
target organisasi yang telah ditetapkan. Keempat, analisis birokrasi. Fokus aliran ini
adalah pada penerapan prinsip-prinsip birokrasi Weberian, yang dianggap diunggul
lama didasarkan atas aturan yang rasional yang mengatur proses menurut pengetahuan
teknis dan efisiensi yang tinggi. Kelima, sistem sosial. Aliran ini melihat organisasi
publik sebagai suatu sistem sosial terbuka dan tertutup dan dalam pengembangannya
diperluas menjadi pemahaman terhadap hubungan antara administrasi publik dengan
144
publik. Keenam, pengambilan keputusan. Fokus kajian aliran ini adalah pemahaman
pada prinsip-prinsip dan teknik-teknik pengambilan keputusan dan organisasi.
Tujuannya agar menghindari kesalahan dalam pengambilan keputusan. Ketujuh, aliran
matematik. Fokus kajian ini adalah penggunaan pendekatan matematika (kuantitatif)
sehingga para administrator tidak lagi menggunakan pendekatan tradisional dalam
menganalisis kajian administrasi publik. Kedelapan, integritas daam administrasi
publik. Fokus kajian ini adalah upaya studi adminitrasi publik dalam melakukan
konsolidasi berbagai macam pandangan tentang kajian administrasi publik.
Dalam perkembangannya, paradigma administrasi publik mengalami
pergeseran makna ke arah pendekatan birokratik. Pendekatan birokratik ini mencoba
menggagas posisi administrasi publik yang sesungguhnya ada pada pelaksanaan
birokrasi. Pelopor paradigma ini adalah Barzley dan Armajani (1997). Dalam
pemikirannya, ia menggambarkan bahwa telah terjadi pergeseran paradigma
administrasi publik dari bureaucratic paradigm ke paradigma post bureaucratic
paradigm”. Bureaucratic paradigm dijelaskan sebagai kajian yang menghendaki
tercapainya tujuan organisasi publik melalui penekanan efisiensi terhadap kinerja
administrasi. Dalam rangka efisisensi ini diperlukan pengawasan dari pemerintah
dalam menjalankan birokrasi. Walaupun disisi lain, justru muncul otorisasi struktur
akibat pengawasan yang sangat ketat. Namun demikian, hal yang menjadi substansi
atau fokus pradigma ini adalah terciptanya akuntabilitas pemerintah lokal dalam
melaksanakan setiap prosedur birokrasi. Sedangkan, paradigma post bureaucratic
paradigm lebih Menekankan hasil yang dicapai dalam mewujudkan kepentingan
publik. Walaupun paradigma ini juga tetap, menggambarkan betapa pentingnya
kualitas dan nilai, produk dan keterikatan dan pengutamaan misi, pelayanan dan hasil
akhir (outcome) dari birokrasi. Esensi lainnya dari paradigma ini adalah begitu
besarnya pemahaman dan keharusan penerapan norma-norma dalam memecahkan
masalah publik secara berkelanjutan. Agar masalah publik dapat diatasi, paradigma ini
mengisyaratkan perlunya pemisahan antara pelayanan dan kontrol dengan
membangun dukungan terhadap norma dan memperluas pilihan publik yang
dibutuhkan.
Setelah berakhirnya paradigma klasik adiministrasi publik, perkembangan
paradigma administrasi publik masuk ke ranah paradigma modern. Paradigma ini
diawali dengan munculnya paradigma baru kontemporer yang lebih menggugat
eksisitensi makna publik yang dijadikan objek kajian. Perkembangan paradigma ini
diawali dengan munculnya pemikiran David Osborn dan T Gabler (1992) yang
menggagas teori “reinventing government” dalam kajian adminitrasi publik. Gagasan
ini kemudian di kembangkan lagi oleh David Osborn dan T Gabler dalam kajian yang
lebih operasional. Terdapat beberapa pemikiran dalam paradigma ini. Pertama,
keinginan untuk memposisikan pemerintah sebagai pembuat kebijakan yang berfungsi
sebagai pengarah dan pelaksana pembangunan. Kedua, kapasitas pemerintah lebih
baik berfungsi sebagai pemberdaya masyarakat ketimbang terus-menerus sebagai
pelayan masyarakat. Ketiga, pemerintah sebagai lembaga pelksana kepentingan publik
harus memiliki nilai-nilai pelayanan kompetitif dalam menangani urusan-urusan
publik. Keempat, pemerintah sebaiknya bergerak sebagai organisasi misioner yang
dapat memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menetukan pihan publiknya.
Kelima, pemerintah dalam bekerja sebaiknya berorientasi kepada hasil yang efisien.
Keenam, memuaskan pelanggan (masyarakat) adalah tujuan utama pemerintah.
Ketujuh, pemerintah sebagai katalisator harus berperan sebagai badan usaha harus
yang berjiwa enterprener dalam memperkuat birokrasi. Kedelapan, pemerintah harus
145
antisipatif dalam mencegah permaslahan publik. Kesembilan, kewenangan harusl
bergeser dari pola kerja hirakhi ke model kerja partisipasi dan kerja sama. Dan
kesepuluh, pemerintah sebagai pihak yang berorientasi kepada pasar harus menguasai
mekanisme pasar agar birokrasi mampu beradaptasi dengan lingkungannya.
Secara epistomologi kajian suatu ilmu dapat dipahami dari eksisistensi model
yang dikembangkan. Pemaknaan model sendiri terkadang bagi sekelompok ilmuwan
bukanlah definisi yang bersifat baku. Namun demikian, model secara tidak langsung
menegaskan pemaknaan dari definisi konsep yang dimiliki suatu displin ilmu tersebut.
Menurut Zauhar (1996) model lebih berfungsi sebagai kajian untuk menyederhankan
pemahaman terhadap sesuatu. Di dalam konteks ilmu administrasi publik, model
memiliki pendefinisian yang beragam dan memiliki penekanan fokus ilmu yang
berbeda satu sama lainnya. Menurut Waldo (1971) terdapat beberapa model yang bisa
dimanfaatkan sebagai alat kajian ilmu adminstrasi publik. Pertama, law as a model.
Model ini memandang administrasi publik sebagai sistem hukum yang berfungsi
meyelesaikan persoalan publik. Model ini dibungkus oleh kajian normatif hak dan
kewajiban pemerintah dalam melayani publik. Kedua, model mechanical metaphor.
Dalam model ini administrasi publik dipandang sebagai bentuk birokrasi mesin yang
selalu bergerak. Administrasi publik bergerak ibarat mesin yang tak henti-hentinya
146
melayani masyarakat. Ketiga, model analogi organis. Model ini menganggap
administrasi publik adalah manifestasi lingkungan yang ada ditengah masyarakat.
147
bagaimana hubungan pengawas dengan pekerja, bagaimana perubahan prilaku
anggota organisasi. Kajian empiris tersebut menciptakan kepuasan kerja dalam
organisasi, pengembangan kepribadian anggota organisasi dan peningkatan kualitas
harga diri individu ketika berinteraksi dengan lingkungan eksternal. Kelima, model
pilihan publik (public choice). Model ini secara empiris mengkaji persoalan
administrasi publik yang berkaitan dengan hubungan organisasi/ klien dan distribusi
barang-barang publik (public goods). Model ini juga menggagas desentralisasi
struktur oragnisasi yang tumpang tindih. Termasuk didalamnya kajian desentralisasi
dan model kepemimpinan yang ideal dalam organisasi publik. Sedangkan, nilai-nilai
administrasi publik yang dikembangkan antara lain kebebasan warga negara
(masyarakat) untuk menentukan pilihan sesuai kehendak dan tuntutan masing-masing.
Warga negara mempunyai kesempatan untuk mempergunakan dan mendapatkan
pelayanan publik yang sama. Secara khusus, Frederickson (1997) menggambarkan
perkembangan model studi administrasi publik tersebut sebagai fragmentasi civic
needs dan government task yang didapat dari akselarasi transformasi kajian
administrasi publik sebagai subjek ilmu dan masyarakat (citizen) yang berkembang
secara global. Secara epistimologis perkembangan dan kategorisasi model tersebut
telah menghantarkan perluasan makna administrasi negara ke administrasi publik.
148
mengelola negara tidak hanya aktor negara (governmental actors), tetapi juga publik
dalam arti yang luas (non- governmental actors). Apabila ruang kajian ini dipahami
sebagai titik temu peralihan konsep administrasi negara menuju administrasi publik,
maka peran ilmu administrasi publik di masa-masa mendatang sangat tergantung
bagaimana kemampuan ilmuwan mengembangkan konsep-konsep baru dalam
mewujudkan tata kepemerintahan yang baik, misalnya tata kepemerintahan yang
amanah, berkeadilan dan demokratis.
Daftar Pustaka
149
Desentralisasi dan Otonomi Asimetris:
Sebuah Pembelajaran dari Negara Lain
Oleh: Agus Pramusinto
Abstract
Praktik desentralisasi umumnya dilandasi pemikiran yang bersifat birokratik
sentralistik sehingga menerapkan keseragaman baik struktur politik, kelembagaan dan
pembagian fiskal. Realitas variasi antar daerah baik kapasitas dan potensi yang sangat
tinggi sangat tidak memungkinkan untuk diterapkan keseragaman. Selain itu, latar
belakang sejarah, masalah etnik yang linear dengan berbagai isu lain seperti agama,
budaya, bahasa dan identitas lainnya, melahirkan konflik yang menuntut penerapan
desentralisasi yang bersifat asimetris. Karena itu, paper ini mendiskusikan berbagai hal
terkait dengan perdebatan desentralisasi asimetris dan penerapannya di beberapa
negara. Kasus India untuk melihat dari perspektif negara federal yang cukup
demokratis, sementara kasus Cina adalah untuk melihat dari perspektif negara
kesatuan yang otoriter
Pendahuluan
Tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan desentralisasi asimetris di berbagai negara
dan bagaimana penerapannya di Indonesia. Secara tradisional, bangunan konstitusi
yang simetris di negara yang menganut federasi “klasik” diberlakukan untuk
keseluruhan unit teritorialnya (Bird, 2002: 8). Hal yang sama juga terjadi dalam
praktik desentralisasi di negara unitary, yang selalu diwarnai oleh asumsi bahwa tiap-
tiap daerah memiliki kewenangan dan otonomi yang bersifat simetris dan sebangun.
Praktik desentralisasi yang dijalankan oleh banyak negara bersifat birokratik-
sentralistik, di mana pembagian kewenangan atau urusan, bentuk kelembagaan,
alokasi finansial dan struktur politiknya bersifat seragam dan ditentukan oleh
pemerintah pusat.
Dalam banyak kasus, model desentralisasi seperti itu tidak bisa berjalan dengan baik
untuk semua daerah, bahkan cenderung mengalami kegagalan. Pada kenyataannya,
struktur politik dan kewenangan pusat-daerah sangat ditentukan oleh budaya, sejarah
integrasi sosial politik, tingkat ketegangan pusat-daerah, luasan daerah, jumlah
penduduk dan kepemilikan risorsis. Di Amerika, pemikiran perlunya asymmteric
federalism muncul karena variasi antar negara bagian yang sangat tinggi: California
adalah negara bagian terbesar ketiga dengan persentasi penduduk 11% dari jumlah
nasional, Wyoming merupakan negara bagian terbesar keenam dengan hanya 1% dari
jumlah penduduk nasional (Congleton, 2006: 1). Di Australia, perbedaan antara New
South Wales yang ditempati 35% penduduk Australia sangat kontras dibandingkan
dengan Tasmania yang hanya 3% (Reguejo, 1996 dalam Congleton, 2006: 1).
150
negara-negara yang memiliki situasi kemiripan dalam mengatur hubungan pemerintah
pusat dan daerah yang disertai dengan pengelompokan etnik yang cenderung
menciptakan ketegangan sosial di antara mereka. Negara-negara seperti
Czechoslovakia, Yugoslavia dan Union of Soviet Socialist Republics gagal
mempertahankan keutuhan negaranya karena salah dalam menata hubungan antara
pemerintah pusat dengan negara-negara bagiannya yang cenderung mengelompok
berdasarkan etnisitas. Sementara Switzerland, United Kingdom dan Amerika Serikat
merupakan contoh keberhasilan karena mampu meredam ketegangan konflik dalam
masyarakat dan pemerintah daerahnya. Sedangkan Canada, Spanyol dan Belgium
walaupun secara ekonomis berhasil menempatkan diri sebagai sebuah negara yang
cukup makmur, sampai saat ini masih muncul ketegangan yang mengganggu keutuhan
negara. Di Indonesia, Aceh dan Papua adalah sebuah kisah yang menegaskan perlunya
sebuah desentralisasi asimetris karena keduanya mempersepsikan berbeda dari daerah
yang lain, dan oleh sebab itu menuntut sebuah perlakuan spesifik dibandingkan
dengan daerah lain.
Dalam beberapa tahun terakhir, walaupun ada yang melihat keuntungan sentralisasi,
banyak sarjana mengakui pentingnya desentralisasi, seperti peningkatan partisipasi
oleh para implementor dan komunitas dalam pembuatan keputusan, sehingga
keputusan tersebut merefleksikan kebutuhan lokal dan menjadikan pemerintah lokal
lebih responsif (Cheema and Rondinelli, 1983; Slater 1989; Slater, 1997, Smith,
1985; Turner, 1999). Desentralisasi merupakan salah satu mekanisme yang paling
umum dipakai untuk mentransformasikan masyarakat dan menjadi bagian dari sebuah
proses reformasi politik dan ekonomi di banyak negara (World Bank, 1997).
Kebutuhan untuk melakukan desentralisasi sangat universal, terlepas dari besaran
jumlah penduduk maupun luasan area sebuah negara. Sebuah negara kecil seperi
Jamaica mungkin tidak membutuhkan desentralisasi (Prud’homme 1995: 203).
151
Sebaliknya, negara-negara Pasifik Selatan menuntut adanya desentralisasi walaupun
ukuran negaranya sangat kecil (Larmour, 1999: 149-164).
152
or corporations, area-wide, regional or functional authorities, or non-governmental
private or voluntary organisations.
Dari perspektif ini, desentralisasi bukan hanya hubungan pusat-daerah dalam sebuah sistem
pemerintah. Hal itu juga menyangkut penyerahan kewenangan kepada organisasi di luar
pemerintah, seperti badan-badan semi otonom, organisasi swasta, dan organisasi
kemasyarakatan. Turner dan Hulme (1997: 53) mengklasifikasikan turunan desentralisasi
sebagai berikut:
153
Table 1. Forms of Decentralisation
Nature of Delegation
Basis for Delegation 27
Territorial Functional
Within formal political Devolution (political Interest group 28
structures decentralisation, local government, Representation
democratic decentralisation)
Within public Deconcentration 29 (administrative Establishment of parastatals and
administrative or decentralisation, field quangos
parastatal structures administration)
From state sector to Privatisation of devolved functions Privatisation of national
private sector (deregulation, contracting out, functions (divestiture,
voucher schemes) deregulation, economic
liberalisation)
Sumber: Turner, M. and Hulme, D., 1997. Governance, Administration and Development:
making the state work, Kumarian Press, Connecticut,: 153.
27
Dalam studi ini, desentralisasi geografis, seperti pembentukan ibukota baru atau
memindahkan sebagian kantor pusat ke lokasi di luar ibukota, tidak termasuk dalam definisi
ini. Karena hal tersebut hanya merupakan aktivitas merelokasi, bukan delegasi
28
Bentuk ini belum banyak mendapatkan perhatian dari para penulis desentralisasi
sebagaimana bentuk lainnya
29
Rondinelli dan koleganya (lihat Rondinelli and Nellis 1986) sering menyebut bentuk ini
sebagai delegasi. Akan tetapi, hal ini sedikit membingungkan karena semua bentuk
desentralisasi adalah, setidaknya dalam teori, delegasi.
154
dan bertanggungjawab kepada pemerintah pusat yang memberikan otoritas kepadanya.
Parastatal dilakukan melaui perluasan desentralisasi dengan mengganti badan-badan
negara dengan sektor swasta atau lembaga non pemerintah lainnya.
Bird (2003: 8) menyebut tipe desentralisasi asimetris mencakup asimetri politik dan
asimetri administratif. Asimetri politik dijalankan karena pertimbangan non-
ekonomis; sedangkan asimetri administratif lebih merupakan pendekatan top-down
dalam desentralisasi. Sejalan dengan itu, Wehner (2000) menegaskan bahwa
pengaturan yang bersifat asimetris bisa muncul karena (1) alasan politik untuk
menyebar tekanan regional dan tekanan etnik; (2) alasan efisiensi untuk menghasilkan
manajemen makroekonomi atau untuk menciptakan kohesi administrasi atau untuk
memperkuat pemerintah daerah dengan kapasitas yang bervariasi dalam menjalankan
seluruh fungsi dan kewenangannya (Bird and Ebel, 2007: 506). Dalam bahasa lain,
Watts (2004) menyebut adanya pra-kondisi desentralisasi asimetris sebagai berikut:
yang didorong secara politis (politically driven pre-conditions) dan yang didorong
oleh kapasitas (capacity driven pre-conditions).
155
Kedua adalah pertimbangan keberagaman antar daerah. Terlepas ada tidaknya konflik
yang dipicu oleh tekanan kelompok etnis tertentu, keragaman daerah menuntut adanya
perlakukan otonomi dan desentralisasi yang variatif. Sebuah daerah dengan luas
wilayah, jumlah penduduk, dan kultur sosial politik tertentu menghasilkan preferensi
atau pilihan tertentu. Jawa adalah daerah yang berbeda dengan Sulawesi, dan Sumatra
tidaklah sama dengan Kalimantan; serta NTT sangat jelas tidak memiliki kesamaan
secara simetris dengan NTB atau Bali. Dengan begitu, asimetris dalam desentralisasi
kewenangan merupakan kebutuhan dalam menjawab persoalan “urusan apa saja” dan
“bagaimana caranya” agar sebuah pemerintah daerah mampu menjalankan misinya.
Soal “bagaimana caranya” menyangkut pilihan bahwa otonomi sebagian bisa
diberikan kepada kabupaten, tetapi di daerah lain diberikan pada tingkat provinsi.
Seperti dikatakan Watts (2004: 5), kebijakan “one size fits all” bekerja secara tidak
tepat di banyak negara.
156
Struktur politik: dari unitary ke federalism
Tuntutan politik kelompok tertentu atas kekuasaan yang lebih besar bisa dijawab
melalui perubahan model hubungan pusat-daerah. Persoalannya: apakah penerapan
otonomi yang bergeser dari unitary ke federalisme mendorong adanya disintegrasi
ataukah integrasi? Ketakutan tersebut muncul dalam perdebatan Majelis Konstituen
di India, Afrika Selatan, United Kingdom dan juga Canada. Dalam kasus Quebec di
Canada, sejarah pemberian otonomi kepada komunitas khusus dalam sebuah negara
telah membuktikan bahwa hal itu mendorong adanya integrasi. Ketika tahun 1867
Canada memberikan otonomi dengan menggantikan the Act of Union of 1840 yang
telah merubah unitary menjadi federal system, ketidakharmonisan yang terjadi di
tahun-tahun sebelumnya menjadi sangat berkurang (Watts, 2000: 48). Hal yang sama
juga terjadi di Ethiopia, di mana peran krusial terletak pada House of Federation yang
terdiri atas perwakilan regional di mana hubungan antar daerah maupun antara pusat
dan daerah dimediasi dan diselesaikan (Ghai, 2000: 11).
Desentralisasi fiskal asimetris dapat ditunjukkan melalui: (1) perbedaan dalam pola-
pola pengeluaran langsung pemerintah pusat; (2) perbedaan pajak pusat; (3) perbedaan
dalam tanggungjawab penerimaan atau fungsional pemerintah daerah; (4) perbedaan
dalam transfer. Desentralisasi fiskal secara asimetris membuat perlakuan (treatment)
mungkin menjadi lebih merata dan mungkin tidak; akan memperbaiki atau
memperburuk efisiensi dan efektivitas sektor publik secara keseluruhan; memperbaiki
atau memperburuk keseragaman pemberian layanan atau keseimbangan ekonomi
makro. Dan yang paling kritis adalah bahwa desentralisasi asimetris mungkin bisa
memperkuat, tetapi kadang memperlemah loyalitas berbagai komunitas yang
diperlakukan secara berbeda kepada kepada bangsa secara keseluruhan (Bird dan
Ebel, 2007).
157
ratusan komunitas bahasa yang tersebar di seluruh India. Terdapat penganut agama
Hindu, Islam, Kristen, Sikhs, Budha, dan sejumlah agama kecil yang membentuk
pluralitas agama di India. Hindu sebagai agama terbesar di India sendiri bersifat plural
dan terfragmentasi berdasar daerah, kasta, suku dan status sosial ekonomi.
Ada banyak variasi yang lain yang ada di India. Dilihat dari besarannya, Rajastan
merupakan state terbesar dengan luas 90 kali state terkecil, yakni Goa. Dari sisi
kependudukan, terdapat perbedaan mencolok antara Provinsi Uttar Pradesh dengan
lebih dari 100 juta dan Provinsi Sikkim yang hanya memiliki 400 ribu penduduk
(Nesiah, 2000: 54). Secara ekonomis, Goa sebagai state terkecil hanya memiliki Net
State Domestic Product sebesar Rs.44613, sedangkan Bihar jumlahnya hanya 1/9 nya
(Rs 4813) (Rao dan Sigh, 2004:10). Dengan demikian, keberagaman yang ada di India
merupakan kekuatan yang spektakuler sekaligus sebuah tantangan yang paling berat
(Watts, 2000: 53). Satu keuntungan besar keberagaman yang terjadi di India adalah
bahwa perbedaan agama, kasta, suku, bahasa dan kedaerahan tidak terjadi secara
mengerucut (converge) dalam satu garis, sehingga tidak menjadi kekuatan sentrifugal
dan menimbulkan ketidakstabilan politik 30.
Implikasi perbedaan antar negara bagian terkait dengan kondisi ekonomi di India,
membawa pengaruh pada variabel fiskal. Pertama, variasi dalam karakteristik
ekonomi menghasilkan perbedaan signifikan dalam pendapatan yang dikumpulkan di
tiap-tiap negara bagian, sebagian karena kapasitas untuk meningkatkan pendapatan,
dan sebagian karena perbedaan efisiensi dalam pengumpulan pendapatan. Kedua,
rasio pendapatan terhadap Net State Domestic Product (NSDP) lebih rendah di negara
bagian yang mendapat perlakuan khusus daripada negara bagian pada umumnya.
Ketiga, negara-negara bagian yang jurisdiksinya kecil berimplikasi pada
ketidakmampuan dalam memberikan pelayanan publik berdasarkan skala ekonomi
(economy of scale). Daerah-daerah yang berbukit menyebabkan unit cost untuk
pemberian layanan publik dibandingkan negara bagian lainnya . Kalau dibandingkan
antara special category states dan non-special category states, nampak bahwa yang
special category states kurang mampu meningkatkan pendapatan dan hanya mampu
untuk membayari pengeluaran sebesar 20% dibandingkan yang non-special yang
mencapai 50%. Akibatnya pemerintah pusat harus membiayai lebih dari 80%
expenditure dari special category states. Dalam hal per kapita, transfer pemerintah
pusat ke special category states adalah 4 kalinya dibandingkan yang diberikan ke non
special category states (Rao dan Singh, 2004: 13).
30
Hal ini sangat berbeda dengan yang terjadi di Srilanka yang memiliki pluralitas baik agama, suku,
bangsa dan sosial ekonomi yang cenderung konvergensi dan menimbulkan kekuatan sentrifugal
(perpecahan).
158
Ketika dihadapkan adanya garis diversitas yang bersifat saling bersilangan (cross-
cutting), konstitusi India menyediakan mekanisme cross cutting untuk mengatasi
diversitas tersebut. Pertama, konstitusi berusaha untuk membangun mekanisme yang
memungkinkan adanya hubungan dialogis dan inklusif antara komunitas minoritas dan
negara. Institusi-institusi federal berupaya menyalurkan keragaman regional dan
bahasa melalui skema kebijakan bahasa. Dalam hal ini bahasa Hindi menjadi bahasa
resmi, bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa pelengkap untuk hal-hal resmi; dan
yang paling penting adalah bahwa negara-negara bagian dapat menyelenggarakan
urusan mereka dengan bahasa regional masing-masing. Begitu juga, “formula tiga
bahasa” yang direkomendasikan oleh The National Integration Council pada tahun
1961 meminta agar seluruh sekolah wajib mengajarkan dengan 3 bahasa: bahasa
regional, bahasa Inggris, dan bahasa Hindi untuk negara bagian non-Hindi dan bahasa
regional lainnya untuk negara bagian yang berbahasa Hindi (Hardgrave dan
Kochanek, 1980: 131)
Kedua, konstitusi juga mendorong agar negara melakukan intervensi secara proaktif
untuk mengurangi adanya kesenjangan sosial beserta konsekuensi politiknya. Dalam
kaitan tersebut, affirmative action program merupakan kebijakan penting untuk
membantu kasta bawah maupun suku-suku tertentu. Sampai saat ini, India masih
menyimpan masalah besar terkait dengan hierarkhi kasta dan diskriminasi. Ketiga,
konstitusi menjawab persoalan diversitas melalui pembatasan kekuasaan negara dan
melindungi ruang otonomi sedemikian rupa sehingga perbedaan-perbedaan dapat
diproteksi dan ditingkatkan tanpa adanya ancaman asimilasi maupun penaklukan
pihak lain. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan diberlakukan sekularisasi
di mana agama adalah ranah pribadi yang tidak diatur oleh negara. Dalam reorganisasi
peta federalisme India, batasan wilayah hanya diberlakukan berdasarkan ethno
linguistic dan bukan pembagian secara keagamaan. Keempat, menetapkan norma
persamaan untuk individu maupun kelompok, yakni dengan memberikan panduan
untuk menerapkan jaminan dan perlindungan hak-hak fundamental warga yang sudah
diatur lengkap dalam kerangka konstitusi (Nesiah, 2000: 56).
Sampai saat ini, kekerasan sering terjadi di mana demonstrasi yang meneriakkan kata
“azadi” (kemerdekaan) sering muncul. Gerakan untuk kemerdekaan sudah dimulai
sejak tahun 1989, dan setiap saat muncul. Respon yang dilakukan atas perintah New
Delhi sering berakhir bentrok antara warga Kashmir dan tentara pemerintah.
Pemerintah India menempatkan sebanyak 600.000 tentara untuk mengamankan
159
wailayah kecil yang berpenduduk hanya 13 juta orang. Kompleksitas yang terjadi di
Kashmir sangat rumit, mengingat ada faksi muslim yang ingin bergabung dengan
Pakistan, ada yang tetap dengan India, ada yang ingin otonomi luas, dan ada yang
ingin kemerdekaan.
Kaum minoritas sendiri sangat beragam baik dari segi budaya, bahasa, agama, struktur
sosial maupun perkembangan ekonominya. Sebanyak 10 etnik minoritas beragama
Islam dengan jumlah pemeluk sebanyak 17,5 juta orang. Kelompok yang terbesarnya
adalah etnik Hui yang menyebar di seluruh Cina dan menggunakan dialek Cina lokal.
Sedangkan kelompok minoritas terbesar kedua adalah etnik Uygur yang jumlahnya
7,2 juta, yang secara politik sangat aktif dan tinggal di Xinjiang, yang juga merupakan
homeland Islam untuk minoritas Islam lainnya seperti Kazak, Kirgiz, Tadjik, Uzbek
dan Tartar.
Daerah yang ditinggali minoritas memiliki kekayaan sumberdaya mineral dan lainnya
yang sangat penting untuk pembangunan ekonomi dan modernisasi. Karena suku
minoritas ketrampilannya lebih rendah dari etnik Han, maka para teknisi dan
pengusaha dari etnik Han banyak yang berpindah ke wilayah yang ditinggali etnik
minoritas. Untuk alasan keamanan, sejumlah besar aparat keamanan ditempatkan di
daerah perbatasan, yang kemudian cenderung menaikkan posisi etnik Han dan di
banyak tempat etnik Han menjadi mayoritas.
31
Yang dimaksud bangsa atau nationalities di sini mencakup etnik yang jumlahnya 55. Selain itu,
preambul juga menyebutkan bahwa Taiwan sebagai teritorinya Cina.
160
Praktik otonomi asimetris untuk kelompok minoritas
Berdasarkan konstitusi, negara dan partai membentuk hierakhi institusi di mana
konsep dan praktik sentralisme demokratik dijalankan dengan melakukan sentralisasi
kekuasaan dan kewenangan. Otonomi untuk minoritas merupakan paket di dalamnya
yang dalam ayat 4 konstitusi tahun 1982 disebutkan sebagai berikut: (a) pemerataan
untuk semua nasionalitas; (b) perlakuan secara khusus (preferential) terhadap
minoritas untuk pembangunan ekonomi dan budaya; (c) kebebasan minoritas untuk
menggunakan dan mengembangkan bahasanya; (d) perlindungan atau reformasi
terhadap adat dan kebiasaan (folkways and customs); dan (e) otonomi regional di
daerah komunitas minoritas yang terkonsentrasi (Ghai, 2000: 83).
Walaupun tidak ada kejelasan konsep otonomi baik dalam Konstitusi tahun 1982
maupun UU Tahun 1984 tentang Otonomi Regional Nasional, secara prinsip
dikatakan sebagai berikut: (1) daerah otonomi untuk minoritas dapat dibentuk apabila
seluruh etnik tersebut menempati daerah tersebut; (2) jika ada minoritas yang lain
yang terkonsentrasi dalam sebuah distrik, maka distrik tersebut berhak membentuk
daerah otonom; (3) jika terdapat sejumlah ragam minoritas, maka daerah otonom yang
bersifat multinasionalitas bisa dibentuk. Dengan prinsip tersebut, terdapat 3 tipe
daerah otonom: region (daerah setingkat provinsi), prefecture dan county (kota).
Karena itu, dalam sebuah daerah otonom apabila terdapat konsentrasi etnik minoritas
lainnya dalam sebuah town (kota kecil), maka dapat dibentuk otonomi untuk
nasionalitas tersebut sehingga mereka mendapatkan manfaatnya. Saat ini terdapat 5
autonomous regions (Inner Mongolia, Xinjiang, Goangxi, Tibet, Ningxia); 31
autonomous prefectures; 105 autonomous counties; dan 3000 nationality townships.
Dalam hal otonomi fiskal, kewenangan yang mereka miliki mencakup: (1) kebebasan
untuk menentukan pengeluaran uang yang dialokasikan oleh negara di wilayah
mereka; (2) mendapatkan pembebasan pajak yang lebih besar dibandingkan yang
diatur oleh hukum negara. Berkaitan dengan keamanan, badan tersebut juga berhak
untuk mempertahankan pasukan keamanan lokal demi terjaminnya ketertiban umum.
Badan pengelola otonomi juga memiliki tanggungjawab khusus untuk pengembangan
budaya, bahasa dan adat-istiadat dari etnik minoritas, serta pengembangan sosial
ekonomi daerah mereka. Untuk menjamin bahwa daerah otonom bisa berkembang
dengan baik, maka organ pemerintah di tingkat atasnya wajib memfasilitasi dengan
berbagai kebijakan dan grant khusus (Ghai, 2000: 84).
Uyghur dan Tibet: dari self government sampai “one country, two systems”
Konflik yang terjadi Cina sangat keras, mulai dari masyarakat muslim Xinjiang
sampai masyarakat budha dari Tibet. Xinjiang pernah mendirikan Eastern Turkestan
Republic dan ingin memisahkan diri dari Cina. Ada upaya pemisahan tersebut, Cina
melakukan tekanan dengan mengirimkan tentara sekaligus melakukan negosiasi
161
dengan Uni Soviet yang merupakan negara tetangga agar ikut kelompok-kelompok
muslim di negaranya agar tidak mendukung gerakan muslim Xinjiang. Upaya
negosiasi dan perjanjian damai dilakukan oleh Pemerintah Kuomintang pada tahun
1946 dengan menawarkan bentuk self-government bagi muslim Xinjiang. Ketika
partai komunis berkuasa, ketegangan hubungan meningkat kembali karena pemerintah
yang baru mengabaikan kesepakatan sebelumnya dan hanya membentuk provinsi baru
pada tahun 1955. Oleh pemerintahan komunis yang baru, para elite Xinjiang diajak
bergabung dalam pemerintahan yang baru.
Upaya pemberian otonomi, nampak sekali ada perbedaan antara masyarakat Xinjiang
dengan Pemerintah Cina. Bagi masyarakat Xinjiang, otonomi mencakup kewenangan
dan kekuasaan untuk pembuatan keputusan berbagai kebijakan, kewenangan untuk
mengontrol fiskal dan penilaian batas-batas yang menjadi wilayah otonomi. Tetapi
yang diajukan oleh Pemerintah adalah hanya memberikan pengakuan atas perbedaan
budaya, meningkatkan pembangunan sosial ekonomi dan memberikan partisipasi
masyarakat untuk lokal. Selain itu, semua harus dalam kerangka hukum dan kebijakan
nasional yang membatasi secara keras terhadap diskresi masyarakat lokal. Pemerintah
mengontrol semua daerah perbatasan, dan masyarakat tidak diberi diskresi tentang
masalah keamanan perbatasan.
Rumusan otonomi yang harus tunduk pada interpretasi pusat banyak ditentang oleh
Xinjiang. Masyarakat Tibet yang beragama Budha juga mendaptkan tawaran yang
sama dan melakukan penolakan. Selain itu, isu pembangunan ekonomi cenderung
kemudian menempatkan pekerja etnik Han yang kemudian menggusur etnik Uyghur
maupun etnik Tibet. Persoalan yang lain, pembangunan ekonomi yang dikenalkan
pemerintah cenderung merusak otonomi dan juga menghancurkan alam karena
eksploitasi sumberdaya secara besar-besaran. Otonomi yang ditawarkan oleh
masyarakat lokal akan ditekan apabila tidak cocok dengan pemerintah.
Dengan kelemahan otonomi tersebut, perhatian dialihkan pada sistem yang pernah
ditawarkan kepada Taiwan pada tahun 1981. Dan model “One country, two systems”
yang akhirnya diadopsi untuk Hongkong pada tahun 1997 dengan pembentukan
Hongkong Special Administration Region, menjadi tuntutan Dalai Lama yang
memimpin gerakan Tibet. Tuntutan Tibet tersebut berupa kewenangan untuk
menyelenggarakan semua urusan kecuali yang terkait dengan pertahanan dan urusan
luar negeri. Hongkong sendiri secara praktik masih memiliki kewenangan
perdagangan dan ekonomi internasional dan berhak untuk ikut menjadi keanggotaan
ekonomi, perdagangan dan lembaga keuangan regional dan internasional. Hongkong
memiliki sistem ekonomi sendiri seperti mata uang, sistem perpajakan, dan kebijakan
fiskal. Akan tetapi, sampai sekarang tuntutan yang sama berupa sistem yang berbeda
dari Cina tidak diberikan kepada masyarakat Tibet (Ghai, 2000: 89-92).
Catatan Penutup
Persoalan hubungan pusat-daerah adalah persoalan kompleks sehingga pengaturan
melalui desentralisasi dan otonomi memerlukan rumusan yang mampu
mengakomodasi pada persoalan itu sendiri. Relasi pusat-daerah yang kemudian
diterjemahkan menjadi desentralisasi simteris tidak akan mampu menjamin
bekerjanya pemerintahan baik di pusat maupun di daerah ketika kapasitas dan potensi
lokal bervariasi antar daerah. Lebih-lebih, kerumitan akan semakin tajam ketika isu
etnisitas yang berujung pada identitas yang mengerucut (convergence) dengan bahasa,
162
budaya, sejarah sosial politik akan cenderung membangkitkan tekanan kepada pusat
untuk mendapatkan privilege tertentu yang berbeda dengan daerah lain.
Desentralisasi asimteris adalah pilihan yang harus diambil untuk mengatur pola
hubungan tersebut. Akan tetapi, pilihan konkret terhadap desentralisasi asimetris
sendiri memerlukan rumusan yang kompleks dan tidak mudah. Pelajaran dari berbagai
negara seperti India dan Cina memberikan pelajaran penting. Keragaman budaya yang
ada di Indonesia jauh lebih kompleks dibandingkan dengan India dan Cina. Dengan
demikian, meniru model mereka tanpa melihat persoalan kongkret yang kita hadapi
justru akan menghasilkan problema baru. Otonomi khusus yang sudah diterapkan di
Indonesia baik yang di Aceh dan Papua yang sudah berjalan beberapa tahun
memerlukan kajian kembali. Tanpa harus berpikir mengurangi esensi otonomi, praktik
selama ini di kedua daerah ternyata belum berjalan baik. Hal ini disebabkan bukan
hanya oleh kesalahan di tingkat Pemerintah Pusat, melainkan juga pada tingkatan
pemerintah daerah yang mendapatkan hak otonomi khusus itu sendiri.
163
Daftar Kepustakaan
Bird, R.M. and Vaillancourt, F. (eds), 1999. Fiscal Decentralization in Developing
Countries, Cambridge University Press, Cambridge.
Bird, R.M., 2003. “Asymmetric Fiscal Decentralization: Glue or Solvent?”,
International Studies Program Working Paper Series, Georgia State
University
Burki, S.J., Perry, G.E. and Dillinger, W.R., 1999. Beyond the Centre: Decentralizing
the State, The World Bank, Washington DC.
Cheema, G.S., and Rondinelli, D.A., (eds), 1983. Decentralization and Development
Policy Implementation in Developing Countries, Sage, Beverly Hills.
Cohen, S.S., Dyckman, J.W.,m Schoenberger, E., Downs, C.R., 1981.
Decentralization: A Framework for Policy Analysis, University of California,
Berkeley.
Congleton, R.D., 2006. Asymmetric Federalism and the Political Economy of
Decentralization
Conversi, D., 200. “Autonomous Communities and the Ethnic Settlement in Spain”, in
Ghai, Y., (ed.), Autonomy and Etnicity: Negotiating Competing Claims in
Multi-ethnic States, Cambridge University Press, London.
Crook, R.C. and Manor, J., 1998. Democracy and Decentralisation in South Asia and
West Africa: Participation, Accountability and Performance, Cambridge
University Press, Cambridge.
Eaton, K., 2001. 'Political Obstacles to Decentralization: Evidence from Argentina and
the Philippines', Development and Change 32(3):101-27.
Garcia-Mila, T., McGuire, T.J., 2002. Fiscal Decentralization in Spain: An
Asymmetric Transition to Democracy
Gerritsen, R. and Situmorang, S., 1999. 'Beyond Integration? The Need to
Decentralize Central-Regional/Local Relations in Indonesia' in M. Turner
(ed.), Central-Local Relations in Asia Pacific Convergence or Divergence?,
St. Martin's Press, New York:48-70.
Ghai, Y. and Regan, A., 2000. “Bouganville and the Dialectics of Ethnicity,
Autonomy and Separation”, in Ghai, Y., Autonomy and Ethnicity: Negotiating
Competing Claims in Multi-ethnic States, Cambridge University Press,
London.
Ghai, Y., (ed.), 2000. Autonomy and Ethnicity: Negotiating Competing Claims in
Multi-ethnic States, Cambridge University Press, London.
Ghai, Y., “Autonomy Regimes in China: Coping with Ethnic and Economic
Diversity” in Ghai, Y., (ed.), Autonomy and Ethnicity: Negotiating Competing
Claims in Multi-ethnic States, Cambridge University Press, London.
Litvack, J., Ahmad, J. and Bird, R., 1998. Rethinking Decentralization in Developing
Countries, The World Bank, Washington DC.
Malesevic, S., 2000. “Ethnicity and Federalism in Communist Yugoslavia and Its
Successor States” in Ghai, Y., (ed.), Autonomy and Ethnicity: Negotiating
Competing Claims in Multi-ethnic States, Cambridge University Press,
London.
164
Nesiah, V., 2000. “Federalism and Diversity in India”, in Ghai, Y., (ed.), Autonomy
and Ethnicity: Negotiating Competing Claims in Multi-ethnic States,
Cambridge University Press, London.
Pramusinto, A., 2005. The Dynamics of Change in Decentralisation: Implications for
Local Government-Business Relations: A Case Study of Decentralisation in
Sidoarjo, East Java, Indonesia, Ph.D research, ANU, Canberra.
Prud'homme, R., 1995. 'The Dangers of Decentralization', The World Bank Research
Observer, http://ideas.repec.org/a/oup/wbrobs/v10y1995i2p201-20.html,
(printed on February 28, 2001)
Rao, M.G dan Singh, N., 2004. “Asymmetric Federalism in India”, Santa Cruz Centre
for International Economics, University of California
Slater, R., 1989. “Territorial Power and the Peripheral State: The Issue of
Decentralization”, Development and Change, Vol. 20: 501-531.
Slater, R., 1997. “Approaches to Strengthening Local Government: Lesson from
Srilanka”, Public Administration and Development, Vol. 17: 251-265.
Smith, B.C., 1985. Decentralisation: The Territorial Dimension of the State, George
Allen & Unwin, London.
Turner, M. and Hulme, D., 1997. Governance, Administration and Development:
making the state work, Kumarian Press, Connecticut.
Turner, M., 1999. 'Philippines: From Centralisation to Localism' in M. Turner (ed.),
Central-Local Relations in Asia-Pacific: Convergence or Divergence?, St.
Martin's Press, New York:97-122.
Watts, R., 2005. “Autonomy or Dependence: Intergovernmental Financial Relations in
Eleven Countris”, Working Paper, Queen’s University
Watts, R.L., 2000. “Federalism and Diversity in Canada” in Ghai, Y., (ed.), Autonomy
and Ethnicity: Negotiating Competing Claims in Multi-ethnic States,
Cambridge University Press, London.
World Bank, 1994. El Salvador-Community Education Strategy: Decentralized School
Management, 13474-VE, Washington DC.
World Bank, 1997. El Salvador's Community-Managed School (EDUCO) Program: A
First Report, Washington DC.
World Bank, 1999. Peru Improving Health Care for the Poor, 18549-PE, Washington
DC.
165
CURRICULUM VITAE
Personal Identity
Name : Agus Pramusinto
Date of Birth : Pemalang, Indonesia, 10 December 1963
Nationality : Indonesian
Email : agus_pramusinto@map.ugm.ac.id; guspram2001@yahoo.com
Work Address:
1. Department of Public Administration, Faculty of Social and Political Sciences,
Gadjah Mada University, Yogyakarta. Tel: 0274-563362
2. Master of Public Policy and Administration Program, Gadjah Mada
University, Yogyakarta, Telp: 0274-563825
Home Address:
Jl. Sakura No. 1, Perumahan Pokoh Baru, Wedomartani, Ngemplak, Sleman
Yogyakarta, 55584 Telp: 0812 275 3823
Education Background:
2005 : Ph.D. in Policy and Governance, Asia Pacific School of Economics
and Government/APSEG, Australian National University, Canberra.
1997 : Master in Development Administration, National Centre for
Development Studies/NCDS, ANU, Canberra.
1996 : Graduate Diploma in Development Administration, NCDS/ANU,
Canberra.
1989 : Sarjana in Public Administration, Faculty of Social and Political
Sciences, Gadjah Mada University, Yogyakarta.
166
BAB III
167
INTERVENSI PARPOL, POLITIK UANG DAN KORUPSI:
TANTANGAN KEBIJAKAN PUBLIK
SETELAH PILKADA LANGSUNG
Wahyudi Kumorotomo 32
1. Pendahuluan
Pelaksanaan UU No.32/2004 dan PP No.6/2005 yang mengatur tentang
Pilkada langsung telah membuat sistem pemerintahan di daerah semakin demokratis.
Setidaknya, secara prosedural demokrasi telah difungsikan secara baik di daerah.
Mulai tahun 2005 pergantian kepala daerah, baik Gubernur atau Bupati/Walikota, di
seluruh Indonesia telah dilakukan secara langsung. Partai politik (parpol) berperan
dalam pencalonan pasangan kepala daerah, lalu rakyat setempat secara langsung
memilih dengan prinsip-prinsip Pilkada yang sesuai dengan Pilpres. Peran Parpol yang
menguat inilah yang kemudian juga berpengaruh terhadap sistem perumusan
kebijakan di daerah.
Bagi banyak pengamat semua variabel yang menunjukkan sistem politik yang
lebih terbuka merupakan kemajuan yang signifikan. Namun, dari perspektif kebijakan
publik gelombang demokratisasi itu ternyata menjadi tantangan tersendiri yang tidak
pernah berlaku sebelumnya. Saat ini, situasi dalam pemerintahan lebih sulit dalam
menyelesaikan perselisihan tentang kebijakan yang akan diambil. Tidak seperti pada
masa Orde Baru yang begitu cepat keputusan diambil karena terbiasa dengan
pendekatan kekuasaan, proses kebijakan publik kini lebih terfragmentasi dan untuk
sebagian terasa kurang efektif. Kenyataan ini berlaku di tingkat nasional maupun di
daerah.
Demokrasi akan menghasilkan sistem perumusan kebijakan yang lebih
partisipatif dan karena itu memberi legitimasi yang lebih kuat terhadap kebijakan yang
diambil. Tetapi proses demokrasi juga menuntut kesiapan perumus kebijakan untuk
melalui proses politik yang panjang, untuk menggunakan keterampilan negosiasi, serta
kesediaan melakukan kompromi dengan semua pemangku kepentingan. Ini karena
demokrasi mengakibatkan kecenderungan sistem interaksi yang terpencar
(divergence) dan bukannya terpusat (convergence) seperti yang dikatakan dalam studi
Hill (2005:105).
Konfigurasi politik di Indonesia kini telah dilengkapi dengan semua ciri dasar
bagi sebuah demokrasi. Pemilu yang bebas dan adil, kebebasan berpendapat dan
berserikat, hak untuk memilih, adanya sumber informasi alternatif, hak bagi semua
orang untuk menduduki jabatan publik, serta kelembagaan yang memungkinkan
rakyat bisa mengontrol pemerintahan sebagai ciri-ciri demokrasi seperti dikemukakan
oleh Dahl (1971:3) telah berlaku di Indonesia. Namun sebagai negara yang baru
belajar berdemokrasi, banyak diantara perumus kebijakan strategis yang sebenarnya
belum siap untuk menerapkan inti demokrasi (substantive democracy) karena sudah
begitu lama terbiasa dengan sistem yang otoritarian. Salah satu tantangan yang berat
di Indonesia ialah meyakinkan para perumus kebijakan agar tidak frustrasi dengan
tatanan yang demokratis lalu mengungkit nostalgia masa lalu ketika semuanya serba
32
Penulis adalah staff pengajar di Jurusan Administrasi Negara, Fisipol UGM. Makalah disajikan
dalam Konferensi Administrasi Negara, Surabaya, 15 Mei 2009.
168
pasti dan dapat diduga. Proses perumusan kebijakan yang demokratis memang
memerlukan kerja keras untuk menciptakan sebuah konsensus, tetapi itu bukan berarti
bahwa solusinya adalah kembali ke cara-cara yang tidak demokratis.
Tantangan lain yang cukup berat adalah kenyataan bahwa banyak perumus
kebijakan tidak paham mengenai tujuan pokok memiliki sistem yang demokratis.
Demokrasi bukan untuk melayani elit dengan kepentingan-kepentingannya yang
sempit tetapi untuk melayani kepentingan rakyat banyak. Ini merupakan hal mendasar
yang belum dipahami oleh kebanyakan perumus kebijakan di tingkat nasional maupun
di tingkat lokal, yang sekali lagi menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia masih
belum mapan. Tulisan ini bermaksud menunjukkan bahwa meskipun Indonesia telah
memiliki semua unsur yang diperlukan bagi sebuah demokrasi formal, proses
perumusan kebijakan belum mengarah kepada tujuan demokrasi substantif, yaitu
menjamin pembangunan yang partisipatif dan menyejahterakan semua rakyat.
Argumentasi ini dapat dijelaskan secara gamblang pada tingkat daerah. Paparan akan
dimulai dari perkembangan demokrasi di Indonesia terkini menyangkut kebijakan
desentralisasi, terbentuknya lembaga perwakilan di daerah, dan proses Pilkada.
Selanjutnya, persoalan tentang fragmentasi dan akuntabilitas kebijakan publik akan
dijelaskan dengan membandingkan proses perumusan kebijakan di dua daerah yaitu di
kota Ambon dan kabupaten Sleman.
2. Demokratisasi, Desentralisasi dan DPRD
Pada tahun 1997 krisis ekonomi menghantam Indonesia dan mengakibatkan
dampak luar biasa dan berkepanjangan bagi rakyat kecil sehingga meskipun tatanan
demokratis telah terwujud masih banyak masalah yang belum terpecahkan. Korupsi
yang menjangkiti para politisi dan petinggi di seluruh jenjang pemerintahan mulai
mengakibatkan sikap skeptis terhadap para presiden dari kalangan sipil setelah periode
reformasi, yaitu Habibie, Megawati dan Abdurrahman Wahid. Ini merupakan salah
satu faktor mengapa pada Pemilu tahun 2004 sebagian besar (62%) rakyat kemudian
memilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), meskipun sebelumnya banyak orang
yang anti terhadap tokoh militer karena penyalahgunaan kekuasaan selama masa Orde
Baru.
Setelah sukses Pilpres pada tahun 2004, tampaknya sebagian besar masyarakat
sudah puas dengan proses demokratisasi di Indonesia. Namun banyak pula yang mulai
kecewa dengan ide-ide demokrasi karena toh tidak memecahkan semua persoalan.
Setelah SBY dilantik sebagai presiden, optimisme merebak bahwa dia akan lebih
serius memberantas korupsi di negeri ini. SBY sendiri telah menyatakan bahwa
pemberantasan korupsi merupakan salah satu prioritas di 100 hari pertama
pemerintahannya. Namun seiring berjalannya waktu, banyak yang mulai bertanya-
tanya apakah memang dia betul-betul serius dalam hal ini. Media dan pengamat
mengkritik bahwa SBY terlalu lamban dalam bertindak kendatipun telah mendapatkan
mandat yang kuat sebagaimana tercermin dari hasil Pilpres. 33
33
Sejak awal SBY digambarkan sebagai sosok pemimpin yang kurang tegas dan lebih tepat
sebagai manajer daripada pembuat keputusan. Indikasi ini telah tampak ketika dia mengumumkan
kabinetnya; dia membiarkan dirinya menjadi bulan-bulanan politik dan tidak berani memanfaatkan
kekuatan politik dari mandat kuat yang telah diperolehnya. Republika, 22 October 2004.
169
Bagaimanapun, ada baiknya untuk menilik kembali kebijakan yang diambil
pada masa pemerintahan SBU supaya bisa memahami kemajuan proses demokrasi
yang berlangsung. Menjelang pergantian masa pemerintahan, ada beberapa kasus
korupsi yang mulai mengundang perhatian publik. Awalnya adalah ketika 43 orang
anggota DPRD Sumatra Barat, termasuk ketuanya, ditetapkan menjadi tersangka
pelaku korupsi. Untuk pertama kalinya, vonis tindak pidana korupsi terhadap politisi
akhirnya dijatuhkan ketika presiden mengijinkan para anggota parlemen daerah itu
diadili. Meskipun begitu banyak kasus serupa di Aceh, Jawa Barat, Lampung, dan
provinsi lainnya, kasus di Sumatra Barat itu merupakan awal yang baik.
Walaupun selama masa kepresidenan SBY tidak ada ratifikasi undang-undang
anti-korupsi yang baru, dia berusaha membuktikan komitmen pemberantasan korupsi
dengan ditetapkannya Inpres No. 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Dia juga mendorong terbentuknya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang
dilanjutkan dengan adanya Keppres No.11/2005 mengenai Timtastipikor (Tim
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Bersama-sama DPR juga disahkan Undang-
undang No.1/2006 mengenai Pembuktian Timbal-Balik yang akan mendukung para
jaksa dalam menuntuk perkara-perkara korupsi. Kecuali itu, terdapat pula Undang-
undang No.13/2006 mengenai Perlindungan Saksi dan Korban yang selanjutnya
didukung dengan Perpres No.13/2007 mengenai LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban.
Dukungan SBY tentang proses hukum menyangkut korupsi diuji ketika KPK
menetapkan bahwa besannya, Aulia Pohan, merupakan salah satu tersangka dalam
korupsi yang melibatkan banyak petinggi di Bank Indonesia. Sebagian orang melihat
bahwa pendirian SBY dalam kasus ini menunjukkan dukungannya yang tulus terhadap
upaya pemberantasan korupsi. Tetapi banyak pula yang berpikir bahwa itu hanya
merupakan dukungan semu kepada KPK dan bahwa SBY tidak akan mungkin
membiarkan Aulia Pohan dihukum karena kasus korupsi. 34 Kendatipun kasus-kasus
korupsi yang melibatkan anggota DPR telah ditetapkan vonisnya, kasus-kasus besar
yang lain seperti BLBI dan penggundulan hutan yang melibatkan menteri di
lingkungan kabinetnya masih belum dilakukan investigasi. Banyak yang berpendapat
bahwa kebijakan presiden menyangkut perkara korupsi masih bersifat "tebang pilih"
dan bukan "tebang habis". Dengan kata lain, presiden tidak akan mendukung
penyelesaian kasus korupsi yang bertentangan dengan kepentingan dirinya sendiri.
Dalam hal demokratisasi, masih berlangsung perdebatan yang seru mengenai
RUU Kebebasan Memperoleh Informasi. Inilah salah satu rancangan undang-undang
yang akan menjamin akses publik terhadap setiap informasi menyangkut kebijakan
pemerintah. Yang beredar sekarang adalah dua versi RUU. Sebuah versi berasal dari
DPR yang memberi tekanan kepada aspek-aspek keamanan menyangkut rahasia
negara. Versi yang lain berasal dari aliansi LSM yang memberi tekanan kepada
pentingnya menjamin kemerdekaan informasi kepada publik guna mengetahui apa
yang sedang dan akan dilakukan oleh pemerintah.
Elemen demokrasi yang telah mapan tentunya adalah sistem Pemilu lima
tahunan bagi legislatif maupun eksekutif dengan sistem multi-partai. Sesungguhnya
masih menjadi perdebatan apakah Pemilu tetap akan menggunakan sistem
proporsional atau sistem distrik. Banyak yang berpendapat bahwa Indonesia mestinya
menggunakan sistem distrik mengingat bahwa kebanyakan Caleg sekarang ini tidak
akrab dengan publik dan rumusan kebijakan publik yang mereka hasilkan tidak sesuai
34
Investigasi masih terus dilakukan oleh KPK dan proses peradilan masih terus berlangsung, tetapi
masih tidak jelas apakah pada akhirnya Aulia Pohan akan masuk penjara.
170
dengan tuntutan rakyat. Akan tetapi, sebagian besar elit politik masih bersikukuh
menggunakan sistem proporsional dengan pertimbangan bahwa sistem ini tidak akan
menghilangkan banyak suara sehingga lebih menjamin demokrasi. UU No.10/2008
yang mengatur Pemilu Legislatif untuk tanggal 9 April 2009 masih tetap
mempertahankan sistem proporsional. Satu-satunya perubahan yang dimaksudkan
untuk mengatasi persoalan keterwakilan adalah bahwa sekarang penentuan kursi
legislatif berdasarkan jumlah suara terbanyak dan tidak sekadar berdasarkan nomor
urut seperti Pemilu lima tahun lalu. 35
Sebagai negara yang punya wilayah begitu luas dengan latar belakang etnik,
sosial dan kultural yang berlain-lainan, konsekuensi logis dari demokratisasi di
Indonesia senantiasa terkait dengan kebijakan desentralisasi. Dengan menguatnya
tekanan politik dari daerah semenjak tumbangnya pemerintahan Orde Baru, UU
No.32/2004 dan UU No.33/2004 merupakan undang-undang organik yang mengatur
kebijakan desentralisasi tersebut. Kecuali itu, ada undang-undang otonomi khusus
yaitu UU No.18/2001 yang mengatur tentang Aceh dan UU No.21/2001 tentang Papua
yang menunjukkan bahwa kebijakan yang dianut adalah desentralisasi asimetris.
Semua undang-undang ini telah diperlengkapi dengan peraturan-peraturan yang lebih
teknis.
Namun demikian, banyak yang berpendapat bahwa kinerja kebijakan
desentralisasi masih mengecewakan. Sekalipun para pengamat internasional memuji
keberhasilan Indonesia karena apa yang mereka sebut sebagai kebijakan desentralisasi
"big bang" itu ternyata tidak menimbulkan kekacauan, tujuan kebijakan desentralisasi
untuk menciptakan pemerintahan daerah yang lebih bertanggungjawab dan
meningkatkan kualitas pelayanan publik masih belum terwujud. Diantara pejabat
pemerintah pusat di departemen sektoral banyak yang masih belum rela untuk
menyerahkan kewenangan kepada pemerintah daerah. Betapapun, memang tidak
mudah untuk mendesak mereka yang telah puluhan tahun memiliki kedudukan yang
istimewa agar melimpahkan kewenangannya kepada pihak lain. Sementara itu,
berbeda dengan pendapat pakar bahwa desentralisasi akan menciptakan “good local
government” (Smith, 1985; Manor, 1999), ternyata kebanyakan pejabat pemerintah
daerah juga tidak menggunakan kewenangan yang telah mereka terima untuk
memperbaiki kualitas pelayanan publik.
35
Seperti diketahui Pemilu Legislatif tanggal 9 April 2009 telah berlangsung secara aman. Hasil awal
menunjukkan bahwa Partai Demokrat yang mendukung SBY menempati peringkat teratas sedangkan
partai Golkar dan PDIP prestasinya tidak begitu bagus. Namun yang mengejutkan ialah bahwa hitung
cepat menunjukkan 28% warga yang berhak memilih tidak menggunakan hak pilihnya, karena
sengaja atau karena persoalan DPT (Daftar Pemilih Tetap). Angka Golput (Golongan Putih) ini jauh
lebih tinggi dari perolehan suara partai mana pun.
36
“Mencermati Politik Uang di Tingkat DPRD”, Kompas, 15 Maret 1999.
171
yang tentunya akan rawan terhadap politik uang selain akan menghambat proses
perumusan kebijakan (Ziegenhain, 2008:145).
Ketika pemilihan kepala daerah diserahkan sepenuhnya kepada DPRD,
pasangan calon kepala daerah tinggal "mendekati" separuh dari seluruh anggota
DPRD. Itu berarti tidak lebih dari 50 orang untuk DPRD tingkat provinsi dan tidak
lebih dari 23 orang untuk tingkat kabupaten/kota. Dengan modal uang, sepasang calon
akan mudah saja untuk membeli suara para anggota DPRD itu. Memang benar bahwa
ada keharusan bagi para calon untuk menyampaikan visi dan misi mereka. Namun
pada akhirnya hanya para anggota DPRD itu yang menentukan dan tentunya uang
akan bicara banyak ketika mereka memiliki hak mutlak untuk memilih para calon
kepala daerah. Persoalan menjadi lebih parah karena kebanyakan para anggota DPRD
ketika itu tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan yang memadai dalam hal
ketatanegaraan maupun hal-hal teknis terkait pemerintahan. 37 Ketika para anggota
DPRD yang kualitasnya kurang memadai itu memperoleh kekuasaan yang besar
seiring kebijakan desentralisasi, maka mereka akan sangat rentan terhadap
penyalahgunaan kekuasaan, politik uang, dan korupsi.
UU No.32/2004 yang merevisi UU No.22/1999 menghapus kewenangan
DPRD. Selain itu ketentuan mengenai LPJ (Laporan Pertanggungjawaban), yang
sebelumnya seringkali disalahgunakan oleh para anggota DPRD untuk memecat
kepala daerah tanpa alasan yang jelas, hanya dipandang sebagai laporan kemajuan
bagi para anggota legislatif. Ketika kepala daerah selanjutnya dipilih melalui Pilkada
langsung, dudukan eksekutif dan legislatif di daerah relatif menjadi lebih seimbang.
Namun demikian masalah kesenjangan antara perilaku DPRD dengan apa yang
dikehendaki oleh para konstituen mereka tetap belum dapat diatasi sampai sekarang.
37
Cornelis Lay, Tantangan Domestik dan Internasional DPRD, Orientasi Anggota DPRD se-
Banyumas, Baturaden, 19-22 January 2000, mimeo, p. 2. Pendapat bahwa parlemen Indonesia tidak
dapat dikatakan "kuat" dalam arti kemampuan dan pengetahuan teknis ketatanegaraan dan
perundangan juga muncul kembali dalam opini yang lebih baru menjelang Pemilu 2009. Eep
Syaifullah Fatah, “Postur DPR, Transaksi dan Pertukaran”, Tempo, 30 Maret 2009.
172
kemajuan penting dalam sistem pemerintahan di Indonesia sejak tahun 1998 dan
bahwa "meskipun kemajuan itu berjalan lambat, tetapi komitmen publik terhadap
demokrasi tetap kuat" (McLeod dan MacIntyre, 2007). Kecuali itu, sebuah studi lain
mengatakan bahwa "kendatipun elit lama tetap berada di pusat kekuasaan, lingkungan
kelembagaan yang baru telah membuat kartu terkocok sedemikian rupa sehingga tidak
mudah diatur oleh elit politik" (Michael Buehler, dalam Erb dan Sulistiyanto,
2009:101).
Yang jelas ialah bahwa apapun perubahan politik yang terjadi akan banyak
berpengaruh kepada proses pembuatan kebijakan publik. Dari perspektif para pejabat
pemerintah daerah sebagai perumus kebijakan, dalam sistem sosial yang
terdemokratisasi hampir mustahil untuk melupakan faktor-faktor politik ketika mereka
membuat keputusan-keputusan strategis. Sebaliknya, kemampuan dari pejabat
pemerintah daerah untuk melakukan reformasi sangat tergantung kepada kemampuan
mereka untuk membentuk koalisi politik yang kuat serta memperluas jaringan
dukungan publik. Dan ketika koalisi politik menjadi begitu menentukan, sangat
penting bagi pejabat daerah untuk memperhatikan konstelasi partai politik di daerah
tersebut. Bersamaan dengan reformasi, politik di Indonesia kini terbuka bagi siapa saja
untuk mendirikan Parpol. Sejak tumbangnya rejim Orde Baru yang otoriter, politik di
tingkat nasional saat ini sangat diwarnai oleh sistem multi-partai. 38
Tatkala sistem politik menjamin kebebasan ekspresi dalam sebuah sistem
multi-partai, kontras ideologis diantara partai-partai politik seperti yang berlaku di
tahun 1950-an muncul kembali. Secara umum Parpol pada masa 1950-an terbagi ke
dalam tiga kelompok, yaitu ideologi kiri (diwakili oleh PKI), ideologi tengah (diwakili
oleh PNI) dan ideologi kanan (diwakili oleh NU). Ini sejalan dengan konsep aliran
yang dikemukakan dalam karya penting Geertz (1960), di mana perbedaan ideologis
di Indonesia (terutama di Jawa) mengikuti tiga kategori, yakni: santri, abangan dan
priyayi.
Setelah reformasi, kelompok kiri diwakili oleh PIB (Partai Indonesia Bersatu),
PDS (Partai Damai Sejahtera) dan PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan).
Kelompok tengah diwakili oleh Golkar dan Partai Demokrat. Kelompok kanan
diwakili oleh PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), PAN (Partai Amanat Nasional), PKS
(Partai Keadilan Sejahtera) dan PBB (Partai Bulan Bintang). Disamping partai-partai
besar yang telah ada selama ini terdapat juga partai-partai kecil dan baru yang
munculnya naik-turun sepanjang masa menjelang Pemilu. Kesemua partai itu juga
berperan menentukan dalam politik di daerah. Sebagai contoh, untuk Pemilu tahun
2004, dapat dilihat bahwa daerah Jakarta menjadi milik PKS, Banten dan Jawa Barat
menjadi daerahnya Golkar, Jogja dan Jawa Tengah milik PDIP, dan Jawa Timur
didominasi PKB (Ananta et al, 2005:65).
Namun terkait dengan Pilkada, sekalipun kategori menurut aliran memiliki
makna bagi kebutuhan analitis, tampaknya koalisi diantara partai tidak selalu
mengikuti pola aliran tersebut. Sejak Pilkada langsung diterapkan mulai tahun 2005,
elit Parpol tampaknya siap melakukan koalisi tanpa mempertimbangkan landasan
ideologis. Setiap Parpol ternyata punya kemungkinan untuk membentuk koalisi
dengan partai apa-apa dalam proses pengusulan calon untuk Pilkada. Seorang pakar
38
Jika Pemilu pada masa Orde Baru sebagian besar diikuti hanya oleh tiga partai, Pemilu pada tahun
1999, 2004 dan 2009 masing-masing diikuti oleh 48, 24 dan 38 partai.
173
bahkan mengungkapkan proposisi tentang berakhirnya politik aliran di Indonesia
(Pratikno, dalam Erb and Sulistiyanto, 2009:65). Namun yang lebih menarik untuk
dianalisis adalah bagaimana para elit politik itu mempengaruhi proses Pilkada dan
bagaimana selanjutnya pengaruhnya terhadap mekanisme perumusan kebijakan di
tingkat daerah.
UU No.32/2004 menetapkan adanya sebuah "tiket bersama" untuk calon
kepala daerah dan wakil kepala daerah, dan bahwa rakyat di daerah akan memilih
mereka secara langsung. Banyak akademisi, LSM dan pegiat politik yang kecewa
karena undang-undang ini tidak mengakomodasi calon independen untuk bersaing.39
Meskipun ketentuan ini kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, dalam
praktik peran Parpol tetap menentikan karena calon independen tetap perlu
memperoleh semacam restu dari Parpol. 40
Kenyataan yang mengkhawatirkan ialah bahwa sebagian besar Parpol
tersangkut dengan dugaan politik uang pada masa Pemilu dan Pilkada. Sebagai negara
demokrasi yang masih muda, masalah pendanaan politik di Indonesia belum diatur
dengan begitu jelas. Tidak seperti di negara-negara maju, hampir semua Parpol
sebenarnya masih tergantung kepada dana dari pemerintah. Yang dimaksud dalam hal
ini ialah bahwa secara formal maupun informal negara sebenarnya menyediakan
subsidi kepada setiap Parpol. Untuk Pemilu tahun 2004, Departemen Dalam Negeri
menetapkan bahwa semua Parpol yang terdaftar berhak memperoleh subsidi sebesar
Rp 1 milyar. Lalu dalam Pemilu 2009 terdapat PP No.5/2009 mengenai Bantuan
Keuangan kepada Partai Politik yang mengatakan bahwa semua Parpol yang
memperoleh kursi di DPR akan disubsidi melalui anggaran pemerintah. Selain itu,
tentu masih banyak cara bagi Parpol yang kebetulan kadernya menduduki jabatan
penting di eksekutif akan bisa memanfaatkan APBD secara langsung maupun tidak
langsung kepada Parpol tersebut.
Berkenaan dengan Pilkada, data dari Indonesian Corruption Watch
memperlihatkan bahwa ada beragam cara untuk melakukan politik uang setelah
dilaksanakannya ketentuan mengenai Pilkada langsung sejak tahun 2005. Politik uang
secara langsung bisa berbentuk pembayaran tunai dari "tim sukses" calon tertentu
kepada konstituen yang potensial, sumbangan dari para Balon kepada Parpol yang
telah mendukungnya, atau "sumbangan wajib" yang disyaratkan oleh suatu Parpol
kepada para kader partai atau Balon yang ingin mencalonkan diri sebagai bupati atau
walikota. Politik uang secaa tidak langsung bisa berbentuk pembagian hadiah atau
door-prize, pembagian Sembako kepada konstituen, pembagian semen di daerah
pemilihan tertentu, dan sebagainya.
Agak sulit untuk memperoleh data faktual mengenai besarnya uang yang
berseliweran selama masa Pilkada. Tetapi, setiap orang akan tahu bahwa kasus-kasus
politik uang merupakan hal yang jamak dalam Pilkada setelah reformasi. Kendatipun
semua calon jika ditanya akan selalu mengatakan bahwa mereka tidak terlibat dalam
39
Menurut ketentuan, Balon harus dicalonkan oleh Parpol atau koalisi antar Parpol yang
menguasai sekurang-kurangnya 15 persen kursi di DPRD dan 15 suara dalam Pemilu.
40
Dengan bantuan para pakar, Departemen Dalam Negeri kini sedang menggodog revisi UU
No.32/2004. Revisi tampaknya akan menekankan pada kejelasan pembagian urusan antar-jenjang
pemerintahan. Namun tampaknya isu tentang calon kepala daerah dari kalangan independen masih
belum jelas.
174
politik uang, warga akan segera bisa menunjuk bagaimana para calon itu
menggunakan uang untuk "membeli suara" di daerah pemilihan mereka. Para calon itu
mungkin bahkan tidak bisa menghitung secara persis berapa yang mereka telah
habiskan untuk sumbangan, hadiah, spanduk, dan sebagainya, disamping biaya resmi
untuk pendaftaran keanggotaan, membayar saksi, dan kebutuhan administratif lainnya.
Akan tetapi, beberapa catatan dari pengamat mengatakan bahwa uang yang dihabiskan
untuk pencalonan bupati dan walikota berkisar antara Rp 1,8 milyar hingga Rp 16
milyar dan untuk pencalonan gubernur sekitar Rp 100 milyar. Dari jumlah ini, kira-
kira 20% masuk ke kas Parpol yang memberi dukungan kepada pencalonan mereka. 41
Diantara para pengusaha daerah, mereka tentu merasa penting untuk
menyumbang ke Parpol karena dari "investasi politik" itu mereka akan bisa
memperoleh imbalan di kemudian hari dalam bentuk peluang bisnis, kemudahan
memperoleh kontrak, atau setidaknya akses kepada informasi mengenai proyek-
proyek pemerintah. Oleh sebab itu, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa
pengaruh seorang pengusaha terhadap kebijakan Pemda merupakan bagian dari
pengembalian dana "investasi politik" yang mereka tanam pada saat Pilkada. 42 Ini
tentunya terkait dengan kesan umum bahwa kinerja Pemda setelah desentralisasi tidak
meningkat atau justru mengalami penurunan.
Hal yang sama dapat dikatakan terkait dengan kinerja Parpol. Kendatipun
demokratisasi telah memungkinkan para aktivis politik mendirikan partai dan dengan
demikian diharapkan mereka akan melayani warga pemilih berdasarkan landasan
ideologi tertentu, pada akhirnya justru kepentingan para politisi itu yang harus
dilayani. Sebuah survai tentang kemajuan demokratisasi di Indonesia menunjukkan
bahwa 81 persen dari responden mengatakan bahwa kinerja partai politik masih buruk
dalam melaksanakan tugas mereka untuk "menangani masalah-masalah penting
menyangkut kepentingan rakyat". Sebagian besar dari responden juga melihat bahwa
partai-partai politik itu rentan terhadap politik uang dan cenderung menyalahgunakan
loyalitas etnis dan agama untuk memperoleh dukungan rakyat (Priyono et al,
2007:68).
Dengan demikian, dalam situasi semacam itu, tidak mengejutkan bahwa proses
kebijakan publik di daerah tidak mampu menjawab tuntutan dari rakyat banyak.
Ketika pasangan calon terpilih untuk menjalankan pemerintahan, mereka akan selalu
menanggung beban di punggungnya karena harus melayani elit Parpol yang telah
membantu mereka meraih jabatan. Pada saat yang sama, pelaku usaha dan elit politik
yang telah "menanam" sumbangan kepada bupati atau walikota terpilih akan selalu
menagih imbalan ketika mereka membuat keputusan penting. Kepentingan publik
selalu dalam posisi yang terabaikan. Oleh karena itu, ada banyak studi tentang
kepemerintahan daerah di Indonesia yang judulnya menunjukkan situasi yang
menyedihkan, misalnya bahwa "rakyat telah dikhianati" (Collins, 2007).
Masalah yang terjadi dalam hal ini bukan hanya elit politik yang korup, tetapi
juga perwakilan politik yang buruk (poor political representation). Namun perlu
41
Sukardi Rinakit, “Indonesian Regional Elections in Praxis”, IDSS Commentaries, No.65, mimeo.
42
Dalam hal ini sudah menjadi praktik umum bahwa kepentingan pelaku usaha itu "ditanam" di banyak
Parpol untuk memastikan bahwa siapa pun yang menang mereka akan memperoleh keuntungan.
”Pengusaha Penopang Pilar Dana Politik”, Gatra, 19 Februari 2009.
175
diingat bahwa perwakilan politik bukan hanya merupakan ciri dari politik dan
demokrasi di Indonesia. Negara-negara lain yang termasuk kategori negara demokratis
baru di seluruh dunia juga mengalami masalah umum dalam hal perwakilan politik.
Untuk sebagian ini disebabkan karena demokrasi dipahami hanya dari sisi seremonial
dan bukannya dari proses kebijakan publik yang mencerminkan kegiatan politik
keseharian. Untuk memahami dinamika pembuatan kebijakan publik di Indonesia,
selanjutnya akan disajikan kasus-kasus di daerah yang berbeda-beda.
4. Kota Ambon: Merajut Kebijakan di Wilayah Konflik
Wilayah kota Ambon memiliki luas 377 km2 dengan penduduk 263.146 jiwa.
Ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi dan gelombang demokratisasi menyapu
seluruh negeri, konflik sosial meletus di kota ini. Sebuah insiden sosial pada tanggal
19 Januari 1999 telah memantik kerusuhan luas melibatkan kelompok Islam dan
Kristen yang mengakibatkan penderitaan rakyat hingga bertahun-tahun sesudahnya.
Kerusuhan tersebut mengakibatkan hancurnya fasilitas publik dan korban jiwa
hancur. 43 Hubungan sosio-ekonomis dan kultural terhenti karena masalah keamanan
mengakibatkan pengkotak-kotakan kawasan hunian berdasarkan segregasi agama dan
etnis.
Perjanjian Malino yang dihasilkan oleh para tokoh pada tahun 2002 akhirnya
mampu mengurangi konflik tetapi insiden-insiden sporadis masih tetap meletus
sampai beberapa tahun. 44 Ketegangan antar agama dan etnis itu baru dapat dihentikan
ketika situasi nasional menjadi relatif stabil dan ekonomi sudah kembali normal pada
tahun 2006. Konflik itu sendiri membawa akibat yang pada ekonomi karena distribusi
barang praktis terhenti. Hampir 4,6% penduduk mengungsi ke luar kota sedangkan
fasilitas publik hanya dapat dipakai berdasarkan segregasi sosial. Lebih dari separuh
penduduk yang masih tetap tinggal (129.068 jiwa) berubah statusnya menjadi
pengungsi. Statistik tahun 2001 menunjukkan kontraksi ekonomi sebesar 7,18%,
pengangguran melonjak 31% dan jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 29%.
Tetapi meskipun rakyat masih tercekam oleh konflik sosial, DPRD kota
Ambon mampu melakukan pemilihan walikota dan wakil walikota pada tahun 2001.
Gedung DPRD harus dijaga bukan hanya oleh polisi dan tentara tetapi juga Satgas
pengawal dari masing-masing kelompok. M.J. Papilaya (seorang Kristen) yang
didukung PDIP dan berpasangan dengan Syarif Hadler (seorang Islam) yang didukung
PPP memperoleh suara mayoritas. 45 Komposisi walikota dan wakil walikota yang
diambil dari dua kelompok agama yang berkonflik menunjukkan betapa pentingnya
mengakomodasi kepentingan dari kelompok yang bertikai di kota ini.
43
Tidak ada sumber yang menyebutkan data korban jiwa secara akurat. Namun media mengutip bahwa
selama dua tahun pertama konflik setidaknya 5.000 telah terkorban. Media Indonesia, 21 September
2007.
44
Perjanjian dihasilkan dari pertemuan tanggal 11-12 Februari 2002 di kota Malino, Sulawesi Selatan.
Perjanjian itu berisi 11 butir dan ditandatangani oleh para tokoh dari pihak-pihak yang berseteru.
45
Setelah Pemilu tahun 1999, konflik sosial mengakibatkan banyak anggota DPRD tidak aktif atau
mengungsi ke luar kota. Dari 19 kursi yang masih dijabat para anggota DPRD itu, mayoritas (16
kursi) berasal dari PDIP sedangkan sisanya (3 kursi) berasal dari partai-partai lainnya.
176
Di sebuah wilayah yang sensitif di mana insiden kecil saja bisa memicu
ledakan konflik yang luas, masalah keamanan dan pemulihan ketertiban merupakan
kebijakan pokok yang harus diambil oleh pemerintah daerah. Dari dua tahun rencana
pembangunan 2004-2006, misalnya, tercermin kebijakan strategis tersebut, yaitu: 1)
memelihara stabilitas sosial dan keamanan untuk menjamin kehidupan rakyat yang
kondusif, 2) membangun dan merehabilitasi infrastruktur publik yang hancur selama
konflik, 3) menciptakan lingkungan yang menarik dan aman untuk memancing
masuknya investor, 4) menyelesaikan masalah menyangkut pengungsi. Tampak
bahwa pemerintah kota Ambon memang terfokus pada upaya pemulihan keamanan
dan stabilitas yang ternyata bukan hanya memerlukan dukungan dari aparat keamanan
di kota ini tetapi juga polisi dan tentara yang didatangkan dari pusat.
Pemerintah daerah harus ekstra hati-hati dalam menangani setiap isu yang
sensitif dari segi agama. Dalam merekrut pegawai baru, misalnya, publik sangat kritis
terhadap pemerintahan yang selama ini selalu melakukannya dengan cara-cara yang
dipandang penuh nepotisme. Oleh sebab itu, mulai tahun 2002 pemerintah harus
melakukan serangkaian uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) dengan
meminta lembaga independen dari Universitas Padjadjaran dan Universitas Pattimur.
Wawancara dengan para pelamar untuk jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan
daerah dilakukan secara intensif di bawah pantauan media.
Kecuali harus dikonsultasikan ke publik, kebijakan rekrutmen juga harus
mempertimbangkan komposisi perwakilan agama dan etnis untuk menghindari
ketidakpuasan. Pada tahun 2008, misalnya, BKD meminta sebuah lembaga di
Universitas Gadjah Mada untuk melaksanakan seleksi sistematis terhadap pelamar
pegawai negeri untuk kota Ambon. Setelah hasilnya keluar, BKD khawatir dengan
kenyataan bahwa jumlah yang diterima timpang ke kelompok agama tertentu. Setelah
melalui debat yang panjang tentang bagaimana strategi terbaik untuk mengumumkan
hasil tersebut ke publik, termasuk meminta pendapat beberapa pejabat keamanan,
BKD baru berani mengumumkannya tanpa perubahan. Lembaga independen itu harus
benar-benar bisa meyakinkan bahwa faktor penting yang harus dilakukan untuk
menghindari ketidakpastian justru membeberkan hasilnya seobjektif dan seterbuka
mungkin. 46 Kasus ini juga merupakan ujian apakah publik di Ambon pada akhirnya
bisa menerima kriteria profesionalisme dalam seleksi pegawai negeri.
Pada tahun 2005, walikota Papilaya mengambil inisiatif untuk membangun
kawasan semenanjung Leihitu sebagai bagian integral dari pembangunan di kota
Ambon serta terminal Passo sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang baru. Leihitu,
wilayah Muslim, sebenarnya secara administratif ada di luar jurisdiksi kota Ambon
karena sudah masuk kabupaten Maluku Tengah. Passo, wilayah Kristen, adalah
sebuah kawasan yang selama ini terabaikan pada hal punya posisi strategis untuk
menghubungkan Ambon dengan pulau-pulau lain di Maluku. Banyak politisi di
DPRD provinsi keberatan dengan gagasan walikota tentang Leihitu karena wilayah ini
bukan kewenangannya. Tetapi, secara umum sebenarnya gagasan itu didukung oleh
mayoritas Muslim di kabupaten Maluku Tengah karena bukan saja pembangunan itu
46
Ketua BKD mengatakan bahwa komposisi agama diantara pegawai negeri di Ambon masih
merupakan faktor pertimbangan penting. Setelah berulangkali melakukan cek ulang terhadap hasil-
hasil seleksi dan berkonsultasi dengan aparat keamanan, dia mengaku baru lega setelah pengumuman
ditempel dan tidak banyak protes dari publik. Wawancara dengan Romeo Soplanit, 11 November
2008.
177
akan menenteramkan komunitas Muslim tetapi juga akan bisa mencegah ketegangan
antar agama karena sentimen ekonomi mengingat bahwa selama ini wilayah kota
Ambon berkembang terlalu pesat jika dibanding kawasan-kawasan lain di provinsi
Maluku.
Sementara itu, rencana untuk membangun Passo sangat didukung oleh
komunitas penduduk Kristen. Meskipun gagasan itu diam-diam ditentang oleh
komunitas Muslim karena itu akan membuat mereka harus melalui terminal Passo
sebelum masuk ke kota Ambon, walikota berulang-kali meyakinkan publik mengenai
pentingnya memecah arus lalu-lintas di kota Ambon yang belakangan menghadapi
masalah kemacetan. Kontroversi mengenai rencana pembangunan di Leihitu dan
Passo menunjukkan bahwa pemerintah kota Ambon harus mempertimbangkan
berbagai faktor yang jalin-menjalin; bukan semata-mata faktor ekonomis, tetapi juga
faktor politik, etnis, dan agama. 47
Rumusan kebijakan publik lain yang harus memperhatikan isu-isu sensitif
adalah mengenai repatriasi atau pengembalian pengungsi pasca-konflik. Ribuan
pengungsi Kristen di desa Poka dan Rumahtiga harus dikembalikan ke asalnya dengan
jaminan bahwa mereka akan bisa memperoleh kembali tempat-tinggal beserta seluruh
hak miliknya. Hal yang sama berlaku bagi para pengungsi Muslim, kebanyakan warga
asli dari Buton, yang harus dikembalikan ke tempat-tinggalnya untuk hidup
berdampingan dengan komunitas Kristen di desa Latta. Repatriasi merupakan
pekerjaan yang rumit. Pemerintah kota Ambon harus bekerjasama dengan organisasi-
organisasi sosial atau LSM dari dalam maupun luar negeri untuk meningkatkan
kesadaran mengenai pentingnya saling menghormati, toleransi beragama serta unsur-
unsur modal sosial lainnya.
Sebagai walikota dengan banyak agenda pembangunan di daerah konflik,
Papilaya juga harus mampu menjaga keseimbangan diantara berbagai kepentingan
politik dengan DPRD dan pemerintah provinsi. Setelah menghabiskan masa jabatan
pertama dengan reputasi yang relatif bagus, dia mencalonkan kembali untuk masa
jabatan kedua di mulai tahun 2006, masih dengan dukungan PDIP. Namun untuk kali
ini dia tidak lagi menggandeng Syarif Hadler sebagai calon wakil walikota.
Disamping karena Syarif Hadler sudah diambil oleh Richard Louhenapessy dari partai
Golkar untuk pencalonan kepala daerah berikutnya, Papilaya sebenarnya kurang suka
dengan mitranya sebagai wakil walikota itu. Papilaya adalah sosok pemimpin yang
punya karakter “one man show” yang lebih memandang wakil walikota sebagai
asisten ketimbang sebagai mitra. Karena itulah maka Papilaya menggandeng Olivia
Latuconsina (seorang calon wanita Muslim dan fungsionaris Golkar) dalam
pencalonan di Pilkada. Hasilnya menunjukkan bahwa Papilaya dan Olivia Latuconsina
terpilih sebagai walikota dan wakil walikota dengan perolehan suara sebesar 36,02
persen.
Elit politik di partai PDIP sebenarnya kecewa dengan Papilaya. Mereka
memandang bahwa Papilaya tidak memberi kontribusi kepada partai dengan dana
politik, konsesi, atau akses kepada proyek Pemda. Media juga meliput banyak
perdebatan politik antara Papilaya dengan Lucky Wattimuri (ketua DPRD yang
berasal dari PDIP) mengenai proyek tertentu di Ambon. Ketika proyek terminal Passo
47
Tonny D. Pariela, Political Process, Public Policy, and Peace-Building Process: Case of Ambon
City, Maluku, mimeo. 2007.
178
disetujui, tampaknya itu bukan karena DPRD secara keseluruhan mendukungnya.
Sebaliknya, itu terjadi karena Papilaya berhasil menggalang dukungan dari media dan
masyarakat, terutama komunitas Kristen, mengenai pentingnya terminal itu untuk
memecahkan masalah kemacetan di kota. Dia juga berhasil meyakinkan komunitas
Muslim karena dia memberi kesempatan kepada sebuah perusahaan milik Amir Agus
Latuconsina, seorang pengusaha Muslim yang terpandang di kota ini.
Namun bagi banyak birokrat di Pemda, langkah Papilaya itu sebenarnya
dipengaruhi oleh agenda politik pribadinya juga. Karena sering berseberangan denan
para elit politik dari PDIP dan belakangan juga berseberangan dengan Gubernur
terpilih, tampaknya dua sadar bahwa karir politiknya di PDIP sudah tidak bisa
diharapkan lagi. Pada akhir tahun 2008 dia bicara tentang kemungkinan untuk
meninggalkan PDIP. Ini merupakan salah satu alasan mengapa dia kemudian dekat
kepada Amir Agus Latuconsina yang merupakan fungsionaris partai Gerindra. 48
Walikota Ambon juga banyak berseberangan secara politik dengan gubernur
mengenai proyek infrastruktur apa yang harus diprioritaskan. Debat yang terjadi
bukan hanya menunjukkan argumentasi rasional mengenai manfaat proyek itu bagi
rakyat tetapi juga persaingan kekuatan politik serta keuntungan ekonomi pribadi yang
bisa diperoleh dari proyek-proyek tersebut. Ketika Karel Ralahalu terpilih kembali
sebagai gubernur dengan Said Assegaff sebagai wakil gubernur untuk periode 2008-
2013 dengan memperoleh suara 62,1 persen, walikota justru tampak kurang senang.
Ini karena persaingan politik yang terselubung antara gubernur Karel dengan walikota
Papilaya mengenai posisi mereka di partai PDIP serta prioritas proyek di kota Ambon
serta provinsi Maluku secara keseluruhan. Segera setelah dilantik, gubernur Karel
membuat pernyataan yang lantang bahwa akan ada proyek besar untuk membangun
jembatan yang akan menghubungkan Galala dan desa Poka di teluk Baguala. Rencana
untuk membangun jembatan Merah Putih itu dimaksudkan untuk membuat distribusi
barang di teluk ini lebih efisien serta merangsang perluasan pembangunan ekonomi di
kabupaten Maluku Tengah. Tetapi walikota Papilaya berpendapat bahwa jembatan
Merah Putih itu merupakan proyek pemborosan dan tidak langsung memberi manfaat
kepada rakyat banyak. Itulah sebabnya dia bersikeras untuk terus mengedepankan
proyek terminal Passo.
Kontroversi mengenai proyek-proyek di kota Ambon juga dapat dijelaskan
dari perspektif kepentingan elit politik. Gubernur Karel tampaknya punya kepentingan
dengan rencana pembangunan jembatan Merah Putih senilai Rp 450 milyar itu karena
telah ada kesepakatan sumber dana dari pemerintah pusat dan dia sudah punya calon
rekanan kontraktor yang akan melaksanakan proyek tersebut. Banyak yang menduga
bahwa hubungan politiknya dengan PDIP dan pejabat pemerintah pusat merupakan
faktor penentu kemenangannya dalam pemilihan gubernur yang baru lalu. Di lain
pihak, walikota Papilaya juga punya kepentingan karena hubungan pribadinya dengan
kontraktor lain dan juga konflik terselubung dengan para tokoh di PDIP.
5. Kabupaten Sleman: Politik Uang Terselubung dan Korupsi
Sleman adalah sebuah kabupaten sub-urban di provinsi Jogjakarta yang
memiliki topografi kontras, dari kawasan kepundan gunung Merapi yang masih aktif
di ketinggian 2.999 meter di utara hingga dataran kurang dari 100 meter di atas
permukaan laut di selatan. Dengan tanah yang subur dan air irigasi yang melimpah,
48
Wawancara dengan Zahrudin Latuconsina, 12 Februari 2008.
179
kabupaten Sleman ideal bagi kegiatan pertanian. Namun belakangan ada banyak
kawasan industri skala kecil dan menengah serta sektor jasa yang berkembang di
kawasan perkotaan. Luas wilayahnya adalah 574,82 km2 dengan penduduk berjumlah
859.327 jiwa. Pendidikan merupakan salah satu sektor jasa yang sangat penting karena
di kabupaten ini berdiri UGM sebagai universitas tertua di Indonesia.
Pada masa Orde Baru, Sleman merupakan salah satu kabupaten yang dijadikan
sebagai uji-coba otonomi daerah bersama 26 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Seperti diketahui, pada tahun 1995 presiden Suharto untuk pertama kalinya mengakui
pentingnya mendesentralisasikan urusan kepada pemerintah daerah. Namun
sayangnya komitmen yang berasal dari pemerintah pusat itu sifatnya setengah hati
sehingga tidak banyak mengubah sumberdaya manusia di kabupaten Sleman dalam
arti pengembangan kapasitas. 49 Meskipun Sleman dapat dipandang sebagai salah satu
kabupaten yang paling pesat perkembangannya di provinsi ini disamping kota Jogja,
tingkat pertumbuhan ekonomi sesungguhnya masih masuk kategori menengah jika
dibanding semua kabupaten paling berkembang di Indonesia.
Banyak yang prihatin bahwa kendatipun Sleman punya banyak fasilitas
pendidikan dan banyak cendekiawan yang bekerja di kabupaten ini, perilaku para
pejabat pemerintah daerah tidak banyak berbeda dengan di daerah-daerah lainnya.
Integritas, kepercayaan (trust) dan akuntabilitas masih merupakan masalah
problematis diantara para pejabat pemerintah daerah. Kenyataan ini menunjukkan
betapa pentingnya masalah kepemerintahan di Indonesia yang sudah terdesentralisasi.
Di masa Orde Baru, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan kebanyakan dilakukan
oleh para pejabat pemerintah pusat sedangkan pejabat pemerintah daerah relatif bersih
karena adanya kontrol yang ketat dari pusat. Tetapi setelah kebijakan desentralisasi
dilaksanakan perilaku korup itu juga "terdesentralisasi" ke pejabat pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupaten/kota. Bahkan dapat dikatakan kalau sesungguhnya seruan
bagi keterbukaan dan reformasi tidak banyak mengubah perilaku korup tersebut.
Ibnu Subiyanto adalah bupati Sleman yang kini merupakan kepala daerah pada
masa jabatan yang kedua. Pada tahun 2000, dia bersaing untuk menduduki jabatan
bupati berdasarkan sistem pemilihan yang mengikuti UU No.22/199. Ibnu berhasil
memperoleh dukungan dari partai PDIP dan, bersama-sama dengan H. Zailani sebagai
calon wakil bupati yang didukung oleh partai PPP, dia berusaha mendekati para
anggota DPRD dengan visi ingin mengubah kebijakan pemerintah daerah di Sleman
sehingga menjadi kabupaten yang akrab terhadap dunia usaha (business-friendly).
Sebagai seorang pengusaha dan sekaligus dosen perguruan tinggi yang mengajar
akuntansi, visinya cukup menarik perhatian para anggota DPRD.
Namun sesungguhnya faktor yang lebih penting adalah bahwa Ibnu juga
memberikan sumbangan dana kepada para anggota DPRD sebagai "penghargaan atas
dukungan PDIP". Banyak dugaan bahwa dia juga memberikan bantuan kepada partai
anggota dari partai Golkar dan partai-partai lainnya. Perlu dicatat bahwa pada masa
antara 1999-2004 sudah merupakan praktik umum bahwa seorang Balon (bakal calon)
kepala daerah selain harus mengeluarkan uang pendaftaran ke partai juga harus
memberikan sumbangan pribadi kepada Parpol atau setidaknya berjanji untuk
49
Untuk evaluasi yang lengkap mengenai uji-coba otonomi daerah pada masa Orde Baru, lihat
Departemen Dalam Negeri, Laporan Evaluasi Penyerahan Urusan kepada 26 Daerah Tingkat II
Percontohan, Jakarta, 1998.
180
"melayani" para anggota DPRD jika Balon tersebut ingin terpilih. Dalam pemilihan
yang dilakukan oleh DPRD, pasangan Ibnu and Zailani memperoleh 18 suara
sedangkan rival terdekatnya memperoleh 16 suara. Hasil perolehan suara itu tentu
bukan merupakan mandat yang kuat bagi Ibnu dan Zailani tetapi sudah cukup bagi
mereka untuk menjabat sebagai bupati dan wakil bupati.50
Pada masa jabatan Ibnu yang pertama, situasi politik di Sleman relatif stabil
dibanding kabupaten/kota lain di provinsi Jogjakarta. Tingkat pertumbuhan ekonomi
cukup mengesankan dengan 5,25% per tahun, melampaui rerata pertumbuhan provinsi
secara keseluruhan yang sebesar 5,13% per tahun. Penyumbang utama pertumbuhan
ekonomi itu adalah sektor konstruksi, perdagangan, dan jasa. Sebagian besar warga
Sleman mulai percaya dengan kepemimpinan Ibnu. Tetapi banyak pula yang khawatir
dengan kecenderungan bahwa Ibnu terlalu terobsesi denan proyek-proyek
infrastruktur besar yang sebenarnya tidak membawa perbaikan ekonomi bagi rakyat
kebanyakan. Beberapa proyek mungkin memang menghasilkan keuntungan
pengganda ekonomi yang cukup baik, tetapi kebanyakan yang lain tidak. Misalnya
saja, Ibnu menggagas proyek renovasi Selokan Mataram di desa Pogung yang terbukti
memang efektif untuk memecahkan masalah lingkungan dan menarik investasi pelaku
usaha di sekitar kawasan ini.
Akan tetapi inisiatif bupati untuk membangun sebuah stadion sepakbola besar
di Maguwoharjo mendapat kritik dari banyak pihak. Meskipun pembangunan stadion
itu tentu didukung para penggemar sepakbola, sebagian pengamat ekonomi kurang
setuju karena bangunan itu menyerap dana sekitar Rp 88 milyar dan Rp 15 milyar per
bulan untuk pemeliharaannya. Proyek ini telah mengakibatkan Pemda Sleman harus
menanggung utang selama beberapa tahun sejak pembangunannya sedangkan manfaat
dari proyek ekstravagansa ini masih dipertanyakan. Seorang pejabat mengatakan
bahwa dia sesungguhnya telah memperingatkan kalau aliran kas Pemda sebenarnya
belum siap untuk menanggung proyek ambisius itu, tetapi banyak pejabat yang tidak
memperdulikan keberatan tersebut. 51
Ketika masa jabatannya berakhir pada tahun 2005, Ibnu tidak mau
berpasangan lagi dengan Zailani karena memandang bahwa wakilnya itu terlalu
lamban dalam membuat kebijakan. Ibnu lalu menggandeng Sri Purnomo yang
didukung partai PAN. Sri Purnomo adalah seorang guru sekolah menengah yang
tampaknya oleh Ibnu dipandang lebih lunak dan moderat terutama mengenai
pendiriannya tentang "proyek-proyek strategis". Pada masa kampanye, banyak yang
sebenarnya sudah mempertanyakan alokasi dana yang mencurigakan dari anggaran
pemerintah daerah. Dari sumber anggaran yang disebut "dana gotong-royong", Pemda
mengalokasikan pembagian drum aspal (yang masing-masing senilai Rp 4 juta) ke
desa-desa di kabupaten ini. Masalahnya adalah bahwa di atas drum-drum aspal yang
dibagikan itu terdapat label dengan tulisan "Ibnu Subiyanto, Calon Nomor 1". 52 Ini
tentu dapat dikategorikan sebagai politik uang yang sifatnya tidak langsung. Dalam
hal politik uang catatan dari Indonesian Corruption Watch juga menemukan bahwa
50
Kedaulatan Rakyat, 29 Agustus 2000; Dyah Mutiarin, Pergolakan di Akar-rumput: Dinamika
Pembuatan Keputusan di Desa setelah Reformasi, Yogyakarta, Amara Book, 2006.
51
Wawancara dengan Soetrisno, Sekda Sleman, 9 Januari 2009.
52
“Pemkab Sleman Dituding Pakai APBD untuk Kampanye”, Suara Karya, 9 Juli 2005.
181
koalisi partai politik di Sleman telah menarik sumbangan sebesar Rp 10 juta dari
setiap Balon Bupati dan Wakil Bupati serta sejumlah Rp 10 juta yang lain sebagai
biaya kampanye (ICW, 2005).
Ibnu Subiyanto dan Sri Purnomo menang dalam Pilkada langsung tahun 2005
itu dengan perolehan suara sebesar 39,6 persen sedangkan pesaing terdekatnya
pasangan Hafidh Asrom dan Kusbaryanto memperoleh 33,9 persen. Meskipun ini
merupakan kemenangan tipis bagi Ibnu dan Sri Purnomo, jarak kemenangan dengan
pemilihan kepala daerah bagi Ibnu di tahun 2000 relatif lebih besar dan ini
menunjukkan mandat yang kuat karena Pilkada dilakukan secara langsung
berdasarkan UU No.32/2004 dan PP No.6/2005. Kemenangan tipis itu juga
menunjukkan bahwa Pilkada di kabupaten Sleman begitu kompetitif. Pasangan Hafidh
Asrom dan Kusbaryanto mencoba mengadukan dugaan politik uang yang dilakukan
pasangan Ibnu dan Sri Purnomo kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Tetapi
lembaga ini tidak melakukan tindakan apapun dengan alasan bahwa laporan
pengaduan oleh pasangan itu datangnya sudah terlambat. 53
Pembangunan proyek-proyek strategis terus berlanjut pada masa jabatan Ibnu
yang kedua. Kali ini, tampaknya tidak banyak tokoh yang mempertanyakan proyek-
proyek yang sebelumnya dipandang sebagai extravaganza atau gagasan mercusuar.
Setelah kondisi ekonomi nasional mulai membaik pada tahun 2005 dan kebanyakan
rakyat di Sleman merasa bahwa kehidupan mereka telah lebih baik, keberatan-
keberatan terhadap proyek-proyek yang digagas bupati semakin jarang terdengar.
Meskipun demikian, dalam sebuah kasus belakangan ini Ibnu tampaknya
sedang menghadapi masalah besar. Kejaksaan Negeri menemukan indikasi bahwa dia
terlibat dalam skandal pengadaan buku yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan di
kabupaten ini. Pada tahun 2004, bersama-sama dengan ketua DPRD Jarot
Subiyantoro, Ibnu menandatangani sebuah keputusan DPRD untuk mengadakan buku-
buku pelajaran bagi murid SD dan SMP dari PN Balai Pustaka dengan dana APBD
sebesar Rp 29,9 milyar. Ternyata ditemukan bahwa proses pengadaan itu tidak
memenuhi ketentuan dalam Kepres No.80/2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa
oleh Pemerintah sedangkan kualitas buku yang diperoleh tidak memenuhi standar.
Kecuali itu, dana sebesar Rp 12,1 milyar ternyata menguap dalam transaksi yang
melibatkan Ibnu, Jarot, serta beberapa pejabat di lingkungan Dinas Pendidikan. Pada
tahun 2006, pengadilan menyatakan bahwa Jarot, mantan ketua DPRD Sleman,
terbukti bersalah dan divonis 5 tahun penjara. Enam orang pejabat dari Dinas
Pendidikan juga terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan divonis 4,5 tahun
penjara.
Meskipun beberapa kali berhasil mengelak dari penyidikan, Ibnu berada dalam
posisi sulit ketika presiden SBY mengirim surat ijin kepada Kejaksaan Negeri untuk
menyidik Ibnu. Pada tanggal 6 Januari 2009, Kejaksaan Negeri telah menginterogasi
Ibnu mengenai keterlibatannya dalam skandal buku pelajaran di kabupaten Sleman.
Setelah penyidikan, Ibnu memang tidak ditahan oleh Kejaksaan dan dia kembali
melakukan pekerjaannya sehari-hari sebagai kepala daerah. Tetapi investigasi akan
terus berjalan dan tampaknya kali ini dia akan sulit berkelit. Satu-satunya yang pasti
53
Hafidh Asrom dan Kusbaryanto tidak mendesak lebih lanjut, boleh jadi karena mereka pun
sesungguhnya melakukan hal-hal yang sama. Suara Karya, 18 Juli 2005; KPUD, Laporan Pilkada
Kabupaten/Kota se Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Desember, 2006.
182
ialah bahwa karir politik Ibnu mungkin harus terhenti dengan kasus yang memalukan
ini.
6. Kesimpulan
183
Namun demikian, demokrasi ternyata juga membawa berbagai tantangan bagi
para perumus kebijakan. Satu hal yang secara teoretis bersifat umum, dan didukung
oleh kasus-kasus di Indonesia, ialah bahwa perumus kebijakan harus lebih siap untuk
mengakomodasi berbagai macam kepentingan dan kedudukan. Para cendekiawan
mengatakan ini sebagai kecenderungan penyebaran dalam demokrasi (tendency of
divergence under democracy) (Dahl, 1971; Hill, 2005). Oleh sebab itu, setiap perumus
kebijakan di tingkat daerah di masa mendatang harus memiliki bekal keterampilan
komunikasi dan negosiasi selain tuntutan keterampilan profesional dan teknis yang
dibutuhkan dalam kepemerintahan modern. Kebijakan publik yang terfragmentasi
bukan merupakan akibat buruk dari demokrasi. Justru sebaliknya, ini merupakan
tantangan dari demokrasi yang harus dijawab oleh para perumus kebijakan guna
memastikan bahwa proses kebijakan mampu mengakomodasi sebagian besar
kepentingan yang ada. Jika harus menghadapi resistensi yang kuat terhadap proyek
yang digagas, misalnya, Walikota M.J. Papilaya dari kota Ambon atau Bupati Ibnu
Subiyanto dari kabupaten Sleman tidak lagi bisa menggunakan pendekatan kekuasaan
karena itu justru akan menurunkan kepercayaan publik terhadap mereka.
Interaksi diantara unsur eksekutif, legislatif dan Parpol di kedua daerah
menunjukkan bukti bahwa demokrasi di Indonesia masih bersifat elitis. Intervensi
Parpol dan para elit politik di dalamnya tampak sangat kuat di dalam proses
perumusan kebijakan di daerah. Karena kontrol publik terhadap eksekutif dalam masa
pasca-Pilkada masih begitu lemah sedangkan kebanyakan politisi tidak benar-benar
mencerminkan wakil rakyat, maka kebijakan publik juga bersifat elitis. Fenomena
melayani kepentingan Parpol atau, lebih tepatnya, melayani para elit politik berarti
bahwa masih banyak hal yang harus dilakukan di Indonesia menyangkut kaitan
langsung antara landasan (platform) partai dan relevansinya dengan kebijakan publik
sehari-hari dalam pemerintahan daerah.
Kurangnya pemahaman mengenai pondasi dan substansi demokrasi
mengakibatkan sebagian besar rakyat Indonesia melihat demokrasi sekadar sebagai
ritual (Pemilu, pemungutan suara, voting, kebebasan berpendapat, dan sebagainya)
sedangkan relevansinya terhadap perbaikan kualitas kebijakan publik cenderung
diabaikan. Inilah penyebab mengapa politik uang masih merajalela seolah-olah tidak
ada yang salah dengan itu. Ada dua hal yang harus dilakukan untuk mengubah ini di
masa mendatang. Pertama, harus ada kontrol yang lebih kuat dalam proses rekrutmen
politik sedangkan langkah-langkah kuratif bagi pemberantasan korupsi dan penegakan
hukum harus terus digalakkan. Kedua, bagi unsur-unsur masyarakat madani (civil
society), sangat mendesak perlunya kesadaran tentang dampak buruk dari politik uang.
Setelah unsur-unsur demokrasi formal diterapkan, masih begitu berat tugas yang harus
dilakukan dalam melaksanakan pendidikan politik bagi masyarakat banyak.
Kasus di kedua daerah juga menunjukkan hal yang mengkhawatirkan bahwa
akuntabilitas merupakan salah satu unsur yang hilang dalam sistem pemerintahan di
Indonesia yang telah terdesentralisasi. Ketika pejabat pemerintah daerah menganalisis
beberapa alternatif dan selanjutnya merumuskan kebijakan publik tertentu,
kebanyakan masih didasarkan pada penilaian pribadi serta kepentingan mitra politik
mereka ketimbang pada kepentingan rakyat jelata atau publik pada umumnya.
Walikota Papilaya di Ambon dan bupati Ibnu di Sleman tentu akan menolak
pernyataan ini. Tetapi dari kasus-kasus yang disajikan kita dapat melihat begitu
banyaknya bukti yang mendukung pernyataan ini. Karakteristik menyangkut
"responsivitas terhadap kebutuhan rakyat" pada Tabel 1 terisi dengan catatan yang
184
mengecewakan, yaitu "rendah" atau "sedang". Ini untuk menunjukkan argumentasi
bahwa akuntabilitas merupakan salah satu agenda yang penting bagi perbaikan
kebijakan publik di Indonesia.
****
Reference
Arifianto, S. (ed). Kebijakan, Politik Lokal, dan Media Massa. Yogyakarta, Balai
Pengkajian dan Pengembangan Informasi. 2008.
Camilleri, J.A., K. Malhotra and M. Tehranian. Reimagining the Future: Towards
Democratic Governance. Melbourne, La Trobe University. 2000.
Collins, E.F. Indonesia Dikhianati. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama. 2008.
Dahl, R. A. Polyarchy: Participation and Opposition. New Haven, Yale University
Press. 1971.
Erb, M. and P. Sulistiyanto (eds). Deepening Democracy in Indonesia? Direct
Elections for Local Leaders (Pilkada). Singapore, Institute of Southeast Asian
Studies. 2009.
Geertz, C. Religion of Java. Boston, Free Press. 1960.
Hadiz, V.R. and R.Robison. Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of
Oligarchy in an Age of Markets. New York and London, Routledge-Curzon. 2004.
Manor, J. The Political Economy of Democratic Decentralization. New York, World
Bank Publication. 1999.
Hill, M. The Public Policy Process. Harlow, Pearson Education Limited. 2005.
Liddle, R.W. (ed). Crafting Indonesian Democracy. Bandung, Penerbit Mizan. 2001.
Marijan, K. Demokratisasi di Daerah: Pelajaran dari Pilkada Secara Langsung.
Surabaya, Pustaka Eureka. 2006.
McLeod, R.H. and A. MacIntyre (eds). Indonesia: Democracy and the Promise of
Good Governance. Singapore, Institute of Southeast Asian Studies. 2007.
Priyono, A.E., W.P. Samadhi and O. Tornquist. Making Democracy Meaningful:
Problems and Options in Indonesia. Jakarta, Demos. 2007.
Samuel, H. and H.S. Nordholt. Indonesia in Transition: Rethinking Civil Society,
Region and Crisis. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. 2004.
Soesastro, H., A.L. Smith and M.L. Han. Governance in Indonesia: Challenges
Facing the Megawati Presidency. Singapore, Institute of Southeast Asian Studies.
2003.
Ziegenhain, P. The Indonesian Parliament and Democratization. Singapore, Institute
of Southeast Asian Studies. 2008.
185
186
EKSISTENSI SUMPAH JABATAN DALAM
MENCEGAH DAN MENGATASI PERILAKU KORUPTIF BIROKRASI;
PERSPEKTIF ADMINISTRASI SYARI’AH
Upaya pemberantasan KKN merupakan salah satu tuntutan penting pada masa
sekarang ini. Namun prevalensi KKN semakin meningkat dan menjadi permasalahan
di seluruh lini pemerintahan dari pusat hingga daerah. Tuntutan akan peningkatan
profesionalisme sumber daya manusia aparatur negara yang berdaya guna, produktif
dan bebas KKN, serta sistem yang transparan, akuntabel dan partisipatif masih
memerlukan solusi tersendiri. Ini berkaitan dengan semakin buruknya citra dan kinerja
birokrasi dan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan
pemerintahan. KKN telah menjadi extraordinary state of affairs di Indonesia. Laporan
terakhir di penghujung tahun 2003 mengukuhkan Indonesia di urutan ke-6 negara
terkorup didunia. Berdasarkan hasil survei Transparency International (TI) dari 133
negara, Indonesia berada di urutan ke-122 dari 133 negara terkorup. Peringkat
Indonesia yang sangat parah tersebut disebabkan karena korupsi telah menjamur
hampir di semua lapisan masyarakat. Artinya, aktivitas korupsi dilakukan oleh
pemerintah, swasta,maupun masyarakat luas, mulai dari level aparatur tertinggi
sampai level terendah, kelompok terpelajar maupun berpendidikan rendah (Bappenas,
2005).
Sedangkan menurut survey lembaga pemeringkat yang berbasis di Hongkong,
Poitical and Economic Risk Consultancy (PERC), saat ini Indonesia tidak lagi
menjadi negara terkorup. Meski belum sampai tuntas, namun usaha pemberantasan
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di Indonesia mulai menunjukan hasil.
Dalam publikasi hasil survei terhadap 1.500 pengusaha ekspatriat itu, PERC
menempatkan Indonesia di urutan kedua bersama Thailand. Sedangkan predikat
negara terkorup di Asia, menurut responden survei, adalah Filipina. Pada survei yang
sama tahun lalu, Indonesia berada di urutan pertama alias berpredikat negara paling
korup di Asia.
Menurut lembaga yang memberikan konsultasi bagi perusahaan dan
pemerintah itu, Indonesia mencatat kemajuan yang berarti dalam penindakan terhadap
pelaku korupsi. "Ada niat kuat dari pemerintah Indonesia untuk memberantas korupsi,
meskipun hasilnya belum terlihat banyak oleh responden," komentar PERC dalam
laporan hasil surveinya.
Apa yang dilakukan pemerintah Indonesia, menurut PERC, dinilai lebih baik
oleh responden survei dibanding yang dilakukan oleh pemerintah Filipina dan
Thailand. "Komitmen Indonesia lebih baik, sedangkan junta militer di Thailand dan
pemerintah Filipina masih jalan di tempat," lanjut PERC. Rakyat Filipina dan
Thailand, tulis laporan PERC, sudah bosan dengan janji-janji pemerintah untuk
memberantas korupsi.
Hasil survei PERC itu mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Penasehat
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua, mengungkapkan bahwa
kenaikan tingkat dalam survei PERC itu belum berarti apa-apa. "Itu bukan berarti
pemberantasan korupsi sudah berhasil," ujarnya. Meski demikian, diakuinya gebrakan
pemberantasan korupsi sudah mulai ada hasilnya. (Sumber:
http://www.rakyatmerdeka.co.id)
187
PERAN BIROKRASI
Gejala korupsi dengan berbagai bentuk seperti suap, penggelapan, pemalsuan,
pemerasan, pilih kasih, penyalahgunaan wewenang/jabatan, nepotisme, komisi,
sumbangan ilegal, internal trading telah menggerogoti kehidupan birokrasi dewasa
ini. Walaupun mungkin pada awalnya penyalahgunaan dilakukan dengan terpaksa
untuk dapat bertahan hidup, berbagai bentuk KKN tersebut memiliki daya rusak yang
dahsyat yang dapat mengganggu sendi kehidupan serta menghancurkan tatanan semua
aspek berbangsa dan bernegara saat ini. Citra buruk tersebut semakin diperparah
dengan isu yang sering muncul ke permukaan, yang berhubungan dengan kedudukan
dan kewenangan pejabat publik, yakni korupsi dengan beranekaragam bentuknya,
serta lambatnya pelayanan, dan diikuti dengan prosedur yang berbelit-belit atau yang
lebih dikenal dengan efek pita merah (red-tape). Keseluruhan kondisi empirik yang
terjadi secara akumulatif telah meruntuhkan konsep birokrasi Hegelian dan Weberian
yang memfungsikan birokasi untuk mengkoordinasikan unsur-unsur dalam proses
pemerintahan. Birokrasi, dalam keadaan demikian, hanya berfungsi sebagai
pengendali, penegak disiplin, dan penyelenggara pemerintahan dengan kekuasaan
yang sangat besar, tetapi sangat mengabaikan fungsi pelayanan masyarakat (Suacana,
2003).
Buruk serta tidak transparannya kinerja birokrasi bisa mendorong masyarakat
untuk mencari ''jalan pintas'' dengan suap atau berkolusi dengan para pejabat dalam
rekrutmen pegawai atau untuk memperoleh pelayanan yang cepat. Situasi seperti ini
pada gilirannya seringkali mendorong para pejabat untuk mencari ''kesempatan'' dalam
''kesempitan'' agar mereka dapat menciptakan rente dari pelayanan berikutnya.
Selanjutnya, peran birokrasi memiliki kedudukan dan fungsi yang sangat
signifikan dalam penyelenggaraan pemerintahan, dan tidak dapat digantikan fungsinya
oleh lembaga-lembaga negara lainnya dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam
kondisi Indonesia yang masih dihadapkan berbagai permasalahan ekonomi, sosial dan
politik yang serba komplek dan rumit, birokrasi masih tetap diyakini sebagai mesin
utama untuk memutar roda kegiatan di berbagai sektor pembangunan.
Dalam kaitan dengan hal tersebut, maka peranan birokrasi di dalam suatu
masyarakat yang senantiasa mengadakan perubahan-perubahan ke arah pembaharuan
menjadi sangat vital. Namun demikian, birokrasi akan menjadi alat pembaharu, jika
mesin-mesin penggerak lainnya memiliki kemauan dan kemampuan untuk melakukan
prinsip-prinsip good governance dengan baik. Oleh karena itu, masyarakat akan dapat
memahami dan merasakan peran dan fungsi birokrasi yang sesungguhnya pada saat
mendapatkan pelayanan. Di samping itu, masyarakat yang memahami dengan baik
akan peran dan fungsi birokrasi, akan menjadi kekuatan yang baik dalam melakukan
perubahan secara efisien, namun juga bisa terjadi sebaliknya menjadi kelemahan dan
bahkan penghambat dalam melakukan perubahan.
Menghadapi berbagai gejala empirik patologi dalam birokrasi, sudah saatnya
diupayakan agar birokrasi memiliki ''daya tahan'' yang semakin tinggi terhadap
berbagai 'penyakit' yang menyerangnya. Berbagai perbaikan, bahkan transformasi juga
diperlukan, sehingga gejala patologi yang sudah muncul tidak meluas dan bisa segera
dieliminasi.
Pengembalian citra birokasi ke arah yang ideal, seperti dikatakan Suacana
(2003), sudah pernah dianjurkan sebelumnya dengan sebutan yang berbeda, seperti:
New Public Management (Hood), Market Based Public Administration (Peters),
Reinventing Government (Osborne dan Gaebler), Post Bureaucracy (Heckscher dan
Donelon) dan Reengineering Management (Champy).
188
Namun dari semua itu, pemberantasan KKN memang pelik dan rumit untuk
dilaksanakan bila tidak ada kemauan kuat dari semua pihak atau stakeholders yang
terkait. Kerumitan ini tercermin bahwa “pemberantasan korupsi tersebut diibaratkan
lingkaran setan. Ada yang mengetahui telah terjadi kebocoran keuangan negara tetapi
tidak rela melaporkannya kepada penegak hukum. Ada yang tahu tetapi berlagak tidak
tahu atau tidak mau tahu. Ada juga yang tahu tetapi tidak mampu. Ada yang mampu
tetapi tidak boleh. Ada yang boleh tetapi tidak berani. Ada yang berani tetapi tidak
punya kuasa. Ada yang punya kuasa tetapi tidak mau. Sebaliknya ada pula yang punya
kuasa, punya kemauan dan keberanian tetapi tidak tahu” (Ismail Saleh dalam
Bappenas, 2004).
ISU STRATEGIS REFORMASI BIROKRASI
Pada dasarnya Indonesia telah berupaya untuk melakukan komitmen dan
implementasi pelaksanaan bebas dan bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
tersebut. Dan perangkat hukum dan perundang-undangan dalam rangka bersih dan
bebas KKN sebagai mana tersebut dalam tabel 1 di bawah ini, antara lain (Bappenas,
2005):
Tabel 1
Perangkat Hukum dan Perundangan Dalam Rangka Bersih dan bebas KKN
189
10. PP Nomor 19 tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
11. Kepres Nomor 127 tahun 1999 tetang Pembentukan Komisi Pemeriksa
Kekayaan Penyelenggara Negara
190
Memahami kompleksnya faktor-faktor determinan yang mempengaruhi
tegaknya good governance dan clean government, tidak bisa tidak maka peran
masyarakat dalam pengawasan sangat dibutuhkan (Abdul Wahab, 2002). Pada tahap
awal upaya-upaya untuk memberikan dukungan terhadap individu-individu bersih dan
konsisten yang berjumlah sedikit dalam organisasi harus mulai dilakukan. Di sisi lain
maka upaya mendorong proses akuntabilitas, transparansi, keterbukaan, dan
penguatan kerangka hukum menjadi bagian yang tidak terelakkan. Pada akhirnya
modal kesaling kepercayaan akan memberikan penguatan untuk melaksanakan kontrol
secara bersama, sehingga keseimbangan peran antara pemerintah, masyarakat, dan
swasta dapat diwujudkan.
KEDUDUDUKAN SUMPAH JABATAN
Dalam rangka menjalankan amanat undang-undang dan komitmen untuk
memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat, dibutuhkan tata
pemerintahan yang baik dan efektif (good governance). Untuk kepentingan tersebut,
pergantian, pertukaran posisi, maupun pengangkatan pegawai baru dalam organisasi
pemerintahan dan birokrasi diperlukan sebagai upaya melakukan penyegaran bukan
saja terhadap personil tetapi juga kegairahan, keingingan, dan harapan menciptakan
jalannya pemerintahan yang lebih efektif, solid, dan dipercaya.
Memang sudah menjadi rahasia umum jika pergantian posisi atau jabatan
tertentu sering mengusung interest politis tertentu yang menyebabkan menempatkan
seseorang dalam suatu posisi atau jabatan menodai kaidah the right man and right
place. Untuk menghindari penyalahgunaan wewenang oleh pejabat maka
diberlakukan berbagai aturan dan sistem pengawasan di lingkungan birokrasi seperti
presiden, wakil presiden, menteri, eselon I, II, III, IV, seluruh PNS, dan jabatan
strategis lainnya.
Salah satu mekanisme yang harus dilalui pejabat yang baru diangkat, pegawai
negeri sipil (PNS), para profesional, dan lain sebagainya, adalah adanya pengambilan
sumpah jabatan di bawah persaksian kitab suci, pada saat pejabat yang bersangkutan
dilantik sebelum memulai penunaian tugasnya. Sumpah jabatan adalah suatu ikrar
yang ditujukan untuk menegaskan komitmen kesetiaan, dan kesanggupan dirinya--
atas nama Tuhan--bahwa jabatan yang dipangkunya tidak akan disia-siakan, tetapi
dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Dengan demikian,
diharapkan potensi penyimpangan dan penyelewengan jabatan dapat dikontrol, bahkan
ditekan, dari dalam karena ikatan sumpah yang pernah diucapkannya.
Secara normatif penyampaian sumpah jabatan memiliki konsekuensi yang
tidak ringan. Karena di situ seorang calon pejabat menyampaikan komitmennya di
bawah sumpah untuk menjalankan tugasnya dengan baik yang akan
dipertanggungjawabkan tidak saja kepada negara sebagai institusi tertinggi, tetapi juga
kepada Allah yang mewajibkan pelaksanaan amanat dengan jujur dan adil.
Namun, kenyataan seringkali menyuguhkan fakta bahwa sumpah jabatan tidak
lebih dari sekedar seremonial belaka. Sehingga sumpah yang diucapkan dengan
dengan hikmat atas nama Allah itu menjadi tidak membawa makna apa-apa dalam
realitas birokrasi dan pemerintahan. Maraknya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme
adalah bukti yang tidak terbantahkan bahwa sumpah jabatan hanyalah permainan
formalitas.
Tentu banyak harapan, sumpah jabatan membawa efek normatif dan etis yang
cukup efektif untuk mencegah penyimpangan maupun penyalah-gunaan jabatan. Dan
sampai sekarang, memang sulit menemukan formulasi yang benar-benar memberikan
efek pengendalian terhadap prilaku pejabat.
191
Adalah Pythagoras orang yang pertama kali menggagas dan mempraktikkan
sumpah jabatan ini. Pada waktu itu dia meminta kepada seluruh calon politikus dan
ilmuwan bersedia diambil sumpahnya supaya menjalankan jabatan yang disandangnya
secara benar. Semangat yang dibangun di dalamnya adalah menjaga moralitas jabatan,
yaitu pengabdian dan pelayanan. Sumpah jabatan ini kemudian dipraktikkan dari
zaman ke zaman--sampai sekarang-dengan semangat yang kurang lebih sama, yaitu
menyatakan kesanggupan untuk tidak mementingkan diri sendiri, tetapi mengabdi
kepada kepentingan dan kebaikan masyarakat luas (Effendi, 2005).
Bagi para pejabat negara, pegawai negeri, profesional, dan lain sebagainya,
sumpah jabatan memang sebuah keharusan. Pasalnya, dengan ilmu dan keahliannya,
mereka menjadi memiliki hak dan kewajiban yang tidak dipunyai oleh warga negara
biasa, atau setidaknya mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga
negara biasa, tetapi dalam taraf yang berbeda.
Sebagai misal saja, seorang yang berprofesi sebagai advokat, dengan keunggulan
penguasaan ilmu hukumnya, membuat klien banyak bergantung dalam soal
penyelesaian sengketa-sengketa atau masalah-masalah hukum yang dihadapinya.
Dengan otoritas yang dimiliki inilah seorang advokat--atas nama kebaikan klien--
memiliki hak dan kewajiban seperti menahan informasi, menyimpan barang bukti,
membuat kesepakatan, dan tindakan-tindakan hukum lainnya. Sebaliknya, seorang
klien--demi mencapai tujuan yang diinginkan--mengikhlaskan dirinya diintervensi dan
didikte sedemikian rupa.
Begitu pula dengan profesi lainnya, dokter, misalnya. Biasanya, karena
keterbatasan ilmu kesehatan yang dimiliki oleh seorang pasien, ia akan menyerahkan
sepenuhnya kepada dokter cara-cara menyembuhkan penyakit yang dideritanya.
Dengan otoritasnya inilah seorang dokter kemudian memiliki hak dan kewajiban
membuat resep dalam rangka penyembuhan. Dapat dibayangkan akan seperti apa
nasib para pasien dan klien jika kepercayaan yang diserahkan itu dikhianatinya.
Mereka pasti akan sangat menderita, bahkan celaka. Dampak penyalahgunaan jabatan
yang tidak kalah bahayanya lagi adalah yang dilakukan oleh para penyelenggara
negara, baik yang duduk di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Masalahnya
mereka dapat menggunakan fasilitas negara atas nama kepentingan publik meskipun
sebenarnya untuk kepentingan pribadi maupun kroni.
Di Indonesia, sumpah jabatan sudah menjadi bagian acara wajib dalam
sebuah seremoni pelantikan jabatan. Kehadirannya pun sakral karena di dalamnya
mengandung unsur religiusitas. Hal ini dapat dilihat dari teks yang harus dilafalkan,
yaitu diawali dengan berjanji kepada Tuhan Yang Maha Esa, "Demi Allah, saya
bersumpah/berjanji bahwa saya,?" Di sinilah sumpah menjadi raison d`etre
'pewahyuan' jabatan yang menuntut agar dijalankan secara benar dan penuh tanggung
jawab. Oleh sebab itu, penting--sebelum pelantikan dilaksanakan--terlebih dahulu
dihadirkan para rohaniawan masing-masing agama guna menjelaskan arti, makna, dan
konsekuensi sumpah jabatan itu sendiri (Effendi, 2005).
Ada dua kemungkinan utama yang menyebabkan sumpah jabatan tidak
memberikan dampak signifikan. Pertama, adalah karena pribadi yang bermasalah.
Yaitu kepribadian yang rakus, serakah, tidak taat pada asas, dan sifat-sifat ataupun
perilaku negatif lainnya. Yang demikian ini adalah cermin buruk serta rendahnya
kadar moralitas. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa moralitas rendahan tidak
dapat mengantarkan pada pencapaian cita-cita ataupun tujuan, baik tujuan negara,
organisasi, perusahaan, dan lain sebagainya.
Problemnya adalah ada gejala yang mengisyaratkan bahwa moralitas
rendahan itu kurang--bahkan tidak lagi--dipandang sebagai sesuatu yang tabu.
192
Barangkali, inilah zaman yang oleh Ronggo Warsito disebut zaman edan. Yaitu,
sebuah zaman di mana orang-orangnya tidak lagi mengagungkan nilai-nilai luhur
demi sebuah pencapaian tujuan. Kedua, sistem tata kehidupan berbangsa dan
bernegara tidak mendukung. Karena itu, dibutuhkan penyehatan secara
komprehensif di berbagai dimensi kehidupan (sosial, ekonomi, politik, hukum,
budaya, maupun sektor-sektor yang lain). Khusus untuk pegawai negeri sipil,
ketentuan konduite perlu diterapkan secara jujur dan tepat sebagai dasar pembinaan
karier berlandaskan sistem merit.
Istilah sumpah jabatan dikenal di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
kemudian dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-
Pokok Kepegawaian, seperti ketika seseorang mau diangkat menjadi pegawai negeri
sipil, atau seseorang diangkat untuk menduduki suatu jabatan (struktural, fungsional)
maupun jabatan politis, maka hal semacam ini telah ada mekanisme hukum yang
mengaturnya melalui pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 jo
pasal (1) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1975, berbunyi :
“Setiap calon pegawai negeri sipil pada saat pengangkatannya mejadi pegawai negeri
sipil wajib mengangkat sumpah/janji pegawai negeri sipil menurut agama dan
kepercayaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa”
Dengan demikian, setiap pejabat publik dan pegawai negeri sipil (PNS) di
Indonesia senantiasa mengawali karirnya dengan sebuah sumpah jabatan sebagai salah
satu tugas konstitusional. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa
yang mempercayai Allah Yang Mahaesa. Dan bahkan melibatkan-Nya sejak dari awal
193
jabatan. Namun demikian nampaknya tidak terdapat bahkan sekadar efek psikologis
yang signifikan dari sebuah sumpah. Indonesia tetap menduduki posisi parah dalam
rekor KKN.
FORMULASI SYARI’AT UNTUK SUMPAH JABATAN
Sampai saat ini belum ditemukan ketentuan syari’at Islam yang secara
langsung melegitimasi pelaksanaan sumpah jabatan. Namun, meskipun ada perbedaan
pendapat, sumpah jabatan sering disamakan dengan bai’at dalam Islam.
Secara etimologis al-bai’ah diartikan ”menjual” yang merupakan lawan dari
”membeli” (asy-syira’) dan juga berarti ”jual beli”. (Lisanul ’Arab, Juz. 8, Hal. 23. Al
Maktabah As Syamilah). Juga diartikan at-tauliyah wa ‘aqduha yaitu menjadikannya
sebagai wali (pemimpin) dan ikatan terhadapnya (Munjid Fil Lughah wal A’lam, Hal.
57). Ada pula yang mengartikan ”perjanjian” dan ”saling bersepakat”. Jika dikatakan
baaya’ahu ‘alaihi mubaaya’atan maka artinya adalah saling mengadakan perjanjian.
(Lisanul ‘Arab, Juz. 8, hal. 23. Al Maktabah Asy Syamilah)
Sedang secara terminologis Ibnu Khaldun mengatakan bahwa bai’at adalah
berjanji dalam ketaatan. Seakan seorang yang berbai’at tidak akan menentang
sedikitpun serta akan selalu mentaatinya dalam semua perkara yang dibebankan baik
dalam keadaan giat maupun malas. Dan mereka ketika berbai’at kepada seorang
pemimpin serta mengokohkan ikatan janjinya meletakkan tangan mereka dalam
tangannya sebagai penguat atas janji mereka. Yang demikian itu sama dengan perilaku
penjual dan pembeli, maka disebutkan bai’at yang merupakan bentuk masdar dari
bai’a, sehingga proses bai’at akhirnya selalu dilakukan dengan berjabat tangan. Inilah
landasan bai’at dalam dalam konteks bahasa dan syari’at sebagaimana yang
dimaksudkan dalam hadits bai’at. Lafadz ini juga tampak dalam beberapa riwayat di
antaranya bai’atul Khulafa (pembaiatan para pengganti Rasulullah) dan aimaanul
bai’ah (sumpah setia) seakan-akan para pengganti Rasulullah bersumpah setia dalam
janji dan mereka memahami bahwasanya sumpah setia seluruhnya hanyalah untuk
baiat itu, pemahaman inilah yang akhirnya dikenal dengan sebutan aimaanul bai’ah.
(Imam Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal. 229)
Secara hukum, bai’at memiliki landasan sebagai sesuatu yang disyari’atkan
dalam Islam. Bai’at merupakan salah satu proses penting dari pengangkatan seorang
pemimpin di dalam Islam. Bai’at adalah janji setia dan taat yang ditujukan kepada
pemimpin.
Ada dua kepemimpinan dalam Islam yaitu Imamah Al Kubra (kepemimpin
besar) yang dipegang Khalifah yang memimpin seluruh umat Islam dan Imamah Al
Sughra (kepemimpinan kecil) yaitu pemimpin selain itu, seperti pemimpin rombongan
haji (amirul haj), pemimpin dalam safar, pemimpin dalam jihad, pemimpin dalam
organisasi, dan lain-lain.
Berbaiat kepada pemimpin yang menaungi seluruh umat Islam hukumnya
wajib berdasarkan hadits riwayat Imam Muslim:“Barangsiapa yang mati dan di
lehernya tidak ada bai’at, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.” Ketaatan kepada
khalifah juga bersifat mutlak. Namun khalifah sebagaimana yang dijelaskan oleh hadis
di atas, saat ini belum ada.
Sedangkan berbai’at kepada Imamah As-Sughra (kepemimpinan kecil) seperti
pemimpin haji, jihad, perjalanan, organisasi, jamaah, atau direktur, diakui
keberadaannya oleh syariat. Karena mereka hakikatnya bukanlah negara di dalam
Negara. Kita mengetahui bahwa pegawai ketika awal memasuki masa kerja pun
memiliki sumpah jabatan, yang hakikatnya adalah bai'at. Nah, bai'at kepada mereka
hukumnya mubah, bukan wajib. Ada beberapa dalil yang menunjukkan pengakuan
syariat atas kepemimpinan kecil.
194
Nah, dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa kepemimpinan kecil memang
diakui syariat Islam. Namun, bai’at kepada mereka bukan wajib syariat, melainkan
boleh boleh saja. Sekali pun wajib, itu hanyalah kewajiban yang sifatnya administratif
organisasi, seperti kontrak kerja dengan perusahaan, pada hakikatnya itu adalah bai’at
seorang pegawai terhadap pimpinan perusahaannya.
Berbai’at kepada mereka dalam rangka beramal memperjuangkan Islam dan
berjihad, boleh-boleh saja, selama tidak dianggap berbai’at sebagaimana kepimpinan
besar (Imamatul Kubra). Namun, demikian juga tidak ada kewajiban. Tetapi, jika
sudah membai’at, maka dia wajib memenuhi tuntutannya yakni memperjuangankan
Islam dan berjihad. Semua itu merupakan perjanjian (mubaya’ah) antar manusia yang
harus ditepati, dalam rangka ketaatan kepada Allah dan RasulNya. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berkata: ”Demikian juga dalam syarat-syarat jual beli, hibah, wakaf,
nazdar, baiat kepada para imam dan para tokoh agama, perjanjian persaudaraan, akad
anggota keluarga, suku atau kabilah serta perkara-perkara yang lain, semua itu wajib
dalam kerangka mentaati Allah dan Rasul-Nya dalam segala hal, serta menjauhi
kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk
untuk mendurhakai Khaliq. Dan wajib mencintai Allah dan RasulNya lebih
dicintainya di atas segalanya. Dan tidak ada ketaatan kecuali bagi siapa saja yang
beriman kepada Allah dan RasulNya. (Majmu Al Fatawa, Juz. 9, Hal. 211. Al
Maktabah Asy Syamilah)
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bai’at kepada Khalifah tidak
dapat dianalogkan dengan sumpah jabatan dalam realitas birokrasi maupun
pemerintahan saat ini. Sebaliknya yang dapat diambil adalah bai’at dalam kemimpinan
kecil (imamah al-sughra).
RELEVANSI BAI’AT ”KEPEMIMPINAN KECIL” DALAM SUMPAH
JABATAN
Bai’at kepemimpinan kecil yang menyangkut jabatan maupun tugas tertentu
sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah adalah boleh selama dalam
kerangka mentaati Allah dan RasulNya adalah boleh. Artinya selama janji setia dan
taat dalam melaksanakan tugas maupun menyangkut jabatan tertentu selama bukan
untuk maksiat diakui secara syar’i. Sedangkan penunaian dari bai’at dalam bentuk
janji setia dan taat terkait tugas atau jabatan tersebut adalah wajib. Karena memenuhi
sumpah dan janji untuk kebenaran dan menunaikan amanah diwajibkan:
”Wahai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul serta
ulil amri di antara kamu...” (QS. An-Nisa’: 59).
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27)
Maka selama kewajiban yang harus ditunaikan dari sumpah jabatan tidak
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah RasulNya, bahkan sumpah itu merupakan
195
ikrar dan komitmen untuk menunaikan amanah, apalagi sumpah itu dilakukan di
bawah Kitab Suci Al-Qur’an, maka sama dengan mengangkat bai’at kepada Allah dan
RasulNya. Apabila dikhianati maka resikonya akan kembali kepada pelakunya sendiri.
”Bahwa orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji
setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Maka barangsiapa
melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya
sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan
memberinya pahala yang besar.” (QS. Al-Fath: 10)
Kalau kita menganalisis sumpah jabatan yang biasa dibaca oleh para pejabat
publik yang diambil sumpahnya selama ini, maka nampak jelas bahwa yang
bersangkutan hanya berjanji kepada Allah Yang Maha Esa untuk melaksanakan
amanah dengan sebaik-baiknya dan tanpa pernah menyatakan meminta sanksi dari
Tuhan-Nya seandainya yang bersangkutan melanggar amanah. Maka walaupun
seseorang tersebut melanggar sumpah, namun Allah YME masih akan tetap
melimpahkan kasih sayang dan rahmat-Nya. Allah YME menunda azab dan bala’nya
sampai nanti di akherat.
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang
sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan
sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang
lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain . Sesungguhnya Allah hanya menguji
kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya
kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu. (QS 16: 92). Baca juga QS 16: 94,
QS 58: 16, dan QS 63: 2.
PENUTUP
Tuntutan terhadap aparat birokrasi untuk meningkatkan akuntabilitas mereka
dalam era reformasi saat ini tidak dapat terhindarkan, karena hal itu merupakan salah
satu jawaban dalam menghadapi era globalisasi. Selama ini masyarakat
mengkonotasikan pemerintah/birokrasi cenderung berperilaku koruptif. Hal ini dapat
196
dilihat dari masih banyaknya pengaduan dan pengungkapan kasus-kasus korupsi yang
dilakukan oleh aparat birokrasi.
Melihat kenyataan di atas maka tidak ada cara lain untuk mengatasi masalah
korupsi dan derivasinya tersebut. Kita harus mampu mencarikan jalan keluar bagi
patologi yang ada pada tubuh birokrasi publik kita. Antara lain misalnya melakukan
perubahan paradigma birokrasi publik dari yang semula terlalu condong pada
paradigma birokrasi type ideal Weberian, manajeman ilmiah Taylorian dan Fayolian,
menuju ke paradigma birokrasi yang lebih mengedepankan the art of governance dan
the craft of management (Jabbra dan Dwivedi, 1989; Hughes, 1994). Disamping itu,
dalam hal penyakit birokrasi yang sangat kronis itu, meminjam istilah dari Arif
(2008), maka perlu dilakukan brain wash (cuci otak) untuk mengindoktrinasikan cara
berpikir yang jernih dan positif untuk membela kebenaran dan kepentingan rakyat;
blood wash (cuci darah) untuk membersihkan penyakit korup dan sikap serta perilaku
yang tidak jujur dan tidak bertanggung jawab; dan heart wash (cuci hati) untuk
mengobati penyakit arogan sok kuasa menangnya sendiri, pemarah dan anti
perbedaan.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, kiranya dapat ditarik benang merah bahwa
masalah akuntabilitas moral pejabat publik adalah masalah yang sangat konfiguratif.
Jadi tidak bisa persoalan ini hanya disorot dari satu dimensi saja. Di samping itu,
apabila kita melihat kasus Indonesia, maka kesimpulannya adalah bahwa mekanisme
untuk melakukan jaminan akuntabilitas terhadap para pejabat publik itu sudah diatur
dengan rinci dan baik, tapi dalam implementasinya ternyata sampai hari ini pun
persoalan non-mekanik (seperti moralitas) kerap menghambat mekanisme
pertanggungan jawab yang sudah tersusun rapi itu (Etzioni, 1975).
Untuk penyimpulan yang bersifat rekomendatif sebagai saling-silang gagasan
(cross-fertilization). dapat dikatakan di sini bahwa akuntabilitas pejabat publik
merupakan landasan bagi proses penyelenggaraan pemerintahan. Untuk itu,
diperlukan perubahan teks sumpah jabatan bagi pejabat publik, dimana dalam teks
sumpah jabatan tersebut haruslah disebutkan tentang permintaan agar segera
dijatuhkan laknat, azab dan bala’ dari Allah Yang Maha Esa jika ternyata yang
bersangkutan di kemudian hari melanggar amanah dan melakukan korupsi. Insya
Allah, sumpah yang sedemikian lebih berbekas dalam jiwa para birokrat pejabat
publik sebagai pengucapnya.
REFERENSI
Abdul Wahab, Solichin, Fadillah P & Saiful A., 2002, Masa Depan Otonomi
Daerah (kajian sosial, ekonomi, dan politik untuk menciptakan sinergi dalam
pembangunan daerah), Surabaya: Penerbit SIC
Anie, Yurnalis M., 2008, Eksistensi Sumpah Bagi Muslim Ditinjau Dari Aspek
Yuridis Dalam Konteks Negara Hukum Pancasila, makalah, Pengadilan
Agama Palembang
Arif, Saiful, 2008, Reformasi Perilaku Birokrasi, Averroes Community, diakses
dari www.saifularif.com
Bappenas;, 2004, Kajian Rencana Tindak Untuk Mewujudkan Reformasi
Birokrasi, Direktorat Aparatur Negara
Dwivedi, J.G.& Jabra, O.P., (1989) Public Service Accountability: A Comparative
Perspective, Kumarian Press Library: USA.
Effendi, Taufiq, Melaksanakan Sumpah Jabatan, Media Indonesia Selasa, 12
197
April 2005
Etzioni, Amitai, 1975, Active Society: A Theory of Societal and Political Process,
New York: Free Press
Hughes, O.E. (1994) Public Management and Administration, An Introduction, The
MacMillan Press Ltd.: London.
Kumorotomo, Wahyudi, 2008, Budaya Upeti, Suap, Dan Birokrasi Publik,
makalah, Jurusan Administrasi Negara, Fisipol, UGM
Lingkarluar, 2008, Sumpah Jabatan: Awal Pemberantasan KKN, Blog,
WordPress.com
Suacana, I Wayan Gede, Melacak Gejala Patologi dalam Birokrasi, Bali Post
online, 4 Desember 2003
http://www.rakyatmerdeka.co.id
Al Qur’anul Karim dan Terjemahannya
Imam Ibnu Khaldun, 1982, Muqaddimah, Darul Fikr: Beirut
Lisanul ’Arab, 1996, Al Maktabah As Syamilah.
Munjid Fil Lughah wal A’lam, 1989
Majmu Al Fatawa, Juz. 9, Al Maktabah Asy Syamilah
198
KEBIJAKAN SUNSET POLICY:
SEBUAH PERDEBATAN FILOSOFI
Oleh
Bintoro Wardiyanto
Abstract
In many countries thinking about tax amnesty or sunset policy is currently in mainstream. Trend of the
cross-national experience shows that the implementation of a tax amnesty or sunset policy is successful
in short term, but the long term is debatable in which the relationship with tax compliance. Tax
compliance is a complex behavioral issue. To fully understand differences in compliance behavior
across cultures one needs to understand differences in tax administration and citizen attitudes toward
governments. To measure the long run effects of an amnesty on compliance, to analyze the relationship
between tax compliance and subjects’ possibility to vote for or against an amnesty. Tax compliance
only increases after voting, when people get the opportunity to discuss prior to ballots. Thus, voting
with discussion induces a kind of civic duty, as taxpayers become aware of the importance to contribute
to the provision of public goods. Beside that, tax compliance levels can be explained by differences in
the fairness of tax administration, in the perceived fiscal exchange, and in the overall attitude towards
the respective governments. If overall can be understood and hold of individual or institutional actor in
policy making, we predict that possibilities have successful implementation tax amnesty or sunset policy
base on UU No 28/2007 in period December 31, 2008.
Keywords: tax amnesty, sunset policy, tax compliance, public good, implementation
Pendahuluan
199
jenis pengampunan yang diberikan, yakni: Pertama adalah pengurangan atau
penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pembetulan SPT Tahunan untuk
tahun pajak sebelum tahun 2007. Pengampunan jenis ini diberikan kepada semua
Wajib Pajak, baik Badan maupun Orang Pribadi yang membetulkan SPT Tahunan
(PPh Badan, PPh Orang Pribadi dan PPh Pasal 21) untuk tahun pajak sebelum tahun
pajak 2007 dan hasil pembetulan tersebut ternyata menyebabkan pajak yang harus
dibayar bertambah. Kedua adalah penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang
tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib
Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang mendaftarkan diri secara sukarela untuk
mendapatkan NPWP.
Jika kita cermati secara bijaksana, bahwa penduduk Indonesia kurang
lebih berjumlah 225 juta jiwa dan sebagian besar dari penduduk tersebut tentunya
merupakan potensi sebagi wajib pajak. Namun ironisnya, tahun 2004 jumlah wajib
pajak/ pembayar pajak hanya mencapai 3.670.060 jiwa dengan perincian 2.622.184
pembayar pajak orang pribadi dan 1.047.876 lainnya pembayar pajak badan.
Sementara pada tahun 2008, telah bertambah dan tercatat ada 5,95 juta wajib pajak
yang membayar pajak dalam jumlah kecil, dan ada 50.500 WP aktif yang menjadi
andalan penerimaan negara dari sektor pajak, dimana 50.000 WP dilayani oleh 250
unit kantor pajak modern dan 500 WP dilayani oleh Pelayanan Pajak Besar dan LTO
(Large Tax Payer Officer) (Darmin Nasution, Kompas 15 Juli 2008).
Fenomena problem rendahnya penerimaan negara dari aspek pajak yang ada di
negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia, nampaknya tidak sekedar dipicu
oleh rendahnya rasio jumlah wajip pajak dengan jumlah penduduk, tetapi juga
dipengaruhi oleh faktor dominant lainnya seperti tingginya praktik penggindaran pajak
(tax avoidance), pelarian pajak (tax evasion), moralitas pajak (tax morality), kesadaran
pajak (tax compliance), kerumitan administrasi (administration complexity),
kepercayaan pada institusi (institutional trust), kemampuan untuk menerapkan
(capacity to implement). Khususnya untuk mendiskusikan kebijakan implementasi
sunset policy”, maka ada beberapa pertanyaan yang menarik untuk diajukan sebagai
entri point, antara lain: Perdebatan filosifi apa yang melataribelakangi ?, dan Faktor
pengungkit apa saja yang memungkinkan sunset policy ini berhasil ataupun gagal?
200
Persepsi yang hampir senada bahwa pelarian pajak (tax evasion) dan
penghindar an pajak (tax avoidance) yang semakin berkembang dan intensif meluas di
negara –negara berkembang cenderung disebabkan oleh sanksi dan hukuman sangat
ringan, dan dipihak lain kurangnya law enforcement. Seiring dengan kenyataan
tersebut, banyak pemerintah berupaya mengukuhkan pendekatan legal menjadi
rujukan dengan memaksimalkan sanksi dan hukuman. Analisis teoritis ini dibenarkan
oleh Becker (1968) dan Allingham dan Sandmo (1972), dimana pelarian pajak yang
sangat ambisius yang ada dinegara berkembang, hanya dapat dikurangi dengan
menerapkan hukuman yang tinggi, dan untuk memperkuat hal tersebut, desain
kebijakan pemerintah diupayakan untuk memperkuat optimalisasi penggunaan
hukuman secara maksimal. Meskipun desain kebijakan telah memasukkan
penggunaan sanksi dan hukuman secara maksimal, namun dalam praktiknya acapakali
diabaikan, karena sifat kebijakan tersebut dipandang ambiguity. Dilihat dari contens
policy pada tax amnesty (sunset policy) disatu sisi mengkonstruksikan sanksi dan
hukuman secara tegas, namun dipihak lain justru mengkonstruksikan adanya usaha
penganjuran penyikapan kesukarelaan atas pelarian pajak ataupun penghindaran pajak
dimasa lalu yang sebagian besar dilakukan dengan sengaja. Ada pandangan bahwa,
keputusan penetapan sanksi dan hukuman dipandang merupakan tindakan rasional,
sementara penganjuran penyikapan kesukarelaan atas pelarian pajak atau
penghindaran merupakan tindakan irasional dan bersifat sangat politis (kompromi,
tawar-menawar, akomodasi). Jika demikian, maka upaya mengurangi penghindaran
dan penggelapan pajak bukanlah merupakan urusan yang sederhana dengan
melaksanakan sanksi dan hukuman yang tinggi ataupun dengan meningkatkan
frekuensi audit. Hukuman boleh dilakukan sebagai shock terapi atau efek jera melalui
penciptaan seperangkat norma hukun yang lazim digunakan dalam kasus penyogokan
dan korupsi, akan tetapi hasil akhirnya mungkin justru akan menurunkan kepatuhan
pajak dan menghilangkan kepercayaan terhadap institusi public (Knack dan Keefer,
1997).
Disamping realitas historis tersebut, terlihat bahwa kebiasaan dikebanyakan
pemerintahan dalam mensikapi dan mengambil kebijakan tax amnesty disebabkan
empat hal pengungkit, antara lain : 1) Kegiatan Underground Economy. Kegiatan
ekonomi bawah tanah adalah perbuatan yang disengaja oleh aktor institusi atau aktor
individu yang secara sengaja menyembunyikan, menghindari dan menggelapkan
pembayaran kuwajiban pajak yang berlangsung dinegara tersebut. Hal ini sering
disebut sebagai penggelapan pajak (tax evasion). Menurut Schneider, bahwa kegiatan
penggelapan pajak dinegara maju bisa mencapai 14-16% dari PDB, sementara di
negara berkembang bisa mencapai 35-44% dari PDB. 2) Pelarian modal ke luar negeri
(capital flight). Pemerintahan kesulitan untuk memajaki dana atau modal yang telah
dibawa atau diparkir diluarnegri. 3) Rekayasa Transaksi Keuangan. Kemajuan
intrumen keuangan internasional telah mendorong perusahaan besar melakukan illegal
profit shifting ke luar negeri. 4) Politik Penganggaran. Dalam kecenderungan saat ini,
kebijakan sunset policy yang diambil cenderung dilekatkan pada kebijakan politik
penganggaran utamanya untuk menghadapi kontraksi anggaran negara yang sedang
terjadi. Kenyataan ini seperti yang dinyatakan oleh Cowel (1990), bahwa isu
penghindaran pajak dan beberapa kegiatan illegal lainnya, tidak dapat dipisahkan dan
sangat berkaitan dengan instrument kontrol fiskal dimana pemerintahan berusaha
untuk menggunakan dalam penyelesaian kebijakan ekonomi.
Meskipun kebijakan tax amnesty (sunset policy) memiliki aspek positif,
seperti negara dapat memperoleh tambahan penerimaan dari uang tebusan dan
pembukuan perusahaan dapat dimulai dari angka-angka baru yang bersih dari praktik
201
penggelapan pajak, akan tetapi melekat juga aspek negatifnya. Aspek negatifnya,
yakni mereka yang menggelapkan pajak justru memperoleh fasilitas dan perlakuan
khusus yang dirasakan tidak adil bagi mereka yang membayar pajak secara benar dan
jujur. Keadaan ini dapat mendorong pembayar pajak yang jujur, akan melakukan
praktik penggelapan pajak, karena mereka berpikir pemerintah pada suatu saat tentu
akan memberikan fasilitas pengampunan pajak lagi. Fenomena tersebut nampaknya
telah menjadi perdebatan umum seperti disinyalir oleh Alm, James dan Beck (1993),
bahwasannya pengampunan pajak (tax amnesty) sering berhadapan dengan kepatuhan
pajak (tax compliance). Meskipun dalam waktu singkat, tax amnesty mampu
menghasilkan penerimaan negara seperti contoh di Italia yang mampu mengumpulkan
penerimaan sebesar 1.4 milyard euro diakhir program ini dan mengurangi biaya
administrasi serta memecahkan pengindaran pajak untuk kembali kejalan kejujuran,
tetapi dalam jangka panjang seringkali justru akan menurunkan tingkat kepatuhan
pajak (tax compliance). Para pembayar pajak yang jujur mungkin merasa terganggu
melalui pengampunan ini dan cenderung menggambarkan bahwa pengampunan
sebagai sesuatu yang tidak adil dan rasa kurang dimotivasi untuk tunduk atau patuh
kedepannya. Mereka mengintepretasikan pengampunan sebagai penanda bahwa
penghindaran pajak adalah dapat dimaafkan dan tidak berdosa (Leonard dan
Zackhauser, 1986). Isu tersebut menjadi berdimensi moral semenjak hal itu
menyinggung sentimen para pembayar pajak. Jika demikian, kesuksesan tax amnesty
tidak hanya tergantung pada dampak penerimaan pada waktu pendek (filosofi
ekonomi), tetapi juga tergantung pada dampak jangka panjang yakni pada tax
compliance (filosofi sosial). Sementara menurut Slemrod (1992), kepatuhan pajak
diperlukan untuk efisiensi dan keadilan sebaik membangun modal sosial.
Mendasarkan kenyataan teoritis tersebut, maka desain kebijakan (sunset policy) yang
efektif untuk dapat mengurangi penghindaran pajak mensyaratkan pemahaman
terhadap aspek perilaku kepatuhan pajak. Jika, sikap individu mengarah pada
kepatuhan sebagai fungsi social dan norma kultural, maka norma ditempatkan pada
posisi yang penting dalam instrument kebijakan sebagai pelengkap yang dapat
digunakan untuk menguatkan usaha.
Kepatuhan pajak merupakan isu perilaku yang kompleks. Perilaku akan
menyang kut persoalan norma, etika, sikap, nilai, budaya, etnisitas, moral, agama.
Kenyataan ini seperti apa yang diungkapkan oleh Steenbergen, McGraw, dan Scholz
(1992) bahwa etika personal yang didasarkan pada agama dan norma kultur
memungkinkan ber pengaruh terhadap perilaku kepatuhan pajak secara bebas dari
pertukaran fiskal antara pemerintah dan pembayar pajak. Sementara dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Ronald Cummings, Jorge Martinez-Vasquez (2005),
menjelaskan bahwa kepatuhan pajak meningkat melalui persepsi individu terhadap
sistem perpajakan yang adil dan bahwa pemerintahan menyediakan barang dan jasa
yang dihargai dengan penerimaan. Didalam setting kultural, kepatuhan meningkat
dengan usaha-usaha penguatan, namun ketika regim pajak digambarkan tidak fair dan
tidak adil, maka dampak terhadap kepatuhan menjadi berkurang. Konstruksi tersebut
dikuatkan oleh Elster (1989) dan Naylor (1989), bahwa kepatuhan terhadap aturan
dapat dipengaruhi melalui norma-norma sosial dan tindakan kolektif. Secara spesifik
dapat diilustrasikan bahwa dalam proses interaksi antara pembayar pajak dan
pemerintah, jika pemerintah mampu berlaku adil dan bertanggung jawab, maka akan
memberi dampak positif pada perilaku pelaporan pajak sebaik yang dipersepsi bahwa
pemerintah telah menggunakan penerimaan pajak untuk tujuan social yang diinginkan.
Dan inipun berlaku sebaliknya, jika pembayar pajak mempersepsi pemerintah tidak
berlaku adil dan tidak dapat mempertanggungjawabkan penerimaan pajak sesuai
202
dengan tujuan sosial yang diinginkan, maka akan berpengaruh terhadap perilaku
pelaporan pajak yang tidak jujur ataupun melakukan penghindaran pajak sama sekali.
Pada kenyataannya, kepatuhan pembayar pajak tidak sekedar dipengaruhi oleh
persepsi individu terhadap kemampuan dan tanggung jawab pemerintah dalam
mengelola dan penggunaan sumber penerimaan seperti yang dipersepsi para pembayar
pajak untuk tujuan sosial semata, tetapi juga dipengaruhi faktor lainnya, seperti cara
penyediaan barang publik, gaya penguatan maupun keterlibatan dalam keputusan.
Menurut hasil penelitian Alm, Jack dan McKee (1993), dikatakan bahwa ’cara dan
proses keputusan terhadap angaran publik memiliki efek pada tingkat kepatuhan’. Ia
menemukan bahwa kepatuhan meningkat, ketika penyediaan barang publik dilakukan
melalui pemilihan daripada melalui ketetapan yang telah ditentukan, dan ketika hasil
kebijakan tersebut diketahui secara meluas untuk memperoleh dukungan. Sementara
dalam penelitian lainnya, bahwa gaya didalam penguatan aturan yang ditetapkan dapat
juga mempenga ruhi kepatuhan (Alm, McClelland, dan Schulze, 1999).
Perdebatan tax amnesty juga menyentuh pada filosofi politik. Menurut hasil
penelitian yang dilakukan McClelland, dan Schulze (1999) dan Feld dan Tyran
(2002), menunjukkan bahwa voting pada isu dan agenda pajak memiliki dampak
positif pada kepatuhan pajak guna mendesain non-amnesty. Leonard dan Zackhauser
(1986) mencatat bahwa beberapa orang menjadi penunggak atau penjahat pajak (tax
delinguents) hanya melalui sebuah kesalahan pelaporan administratif. Tentunya
dengan kondisi tersebut individual masih mungkin untuk dapat memperbaiki perilaku
mereka untuk menjadi warganegara yang jujur ketika, mereka tidak dihadapkan
dengan mekanisme tuntutan hukuman. Sementara menurut hasil kajian Pommerehne
dan Weck-Hannemann (1996) menyatakan bahwa penghindaran pajak rendah di
wilayah/daerah tingginya tingkat kontrol politik secara langsung. Hal yang sama
ditunjukkan oleh hasil penelitiaannya Alm, James, Torgler (2004) yang melakukan
penelitian di USA dan Eropa, dimana kekuatan dan penegakan demokrasi yang
ditetapkan didalam yuridiksi/kewenangan di kedua negara telah memunculkan
tingginya tax morale. Hal senada juga diketemukan dari hasil penelitiannya Feld dan
Frey (2002), yang menyimpulkan bahwa perbedaan dalam penanganan pembayar
pajak melalui kewenangan perpajakan secara tegas menjadi sangat penting. Secara
institusional, hubungan antara pembayar pajak dan pemerintah harus dikonstruksikan
dan dapat dipahami sebagai ”psychological contract”. Sebagian besar pembayar pajak
dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik melalui ”popular
rights”, dimana sebagian besar kontrak ini didasarkan pada kepercayaan (trust). Jika
’psychological contract’ mampu membangun sebuah kepercaya an diantara agen
pemerintah dan pembayar pajak, maka sangat membantu dalam mengembangkan
pembentukan ’tax morale’.
203
Kemudian, diskusi dilangsungkan sebelum voting merupakan esensi yang diutamakan
untuk meningkatkan kerjasama antar kelompok. Itu akan mempertinggi nilai moral
dari penumpang gratis (free-riding) dan kemudian meningkatkan norma sosial pada
kepatuhan dan menggerakkan kepatuhan pajak secara lebih tinggi.
Sementara kepatuhan pajak juga dapat dikaitkan dengan institusi dan
kepercayaan politik. Institusi politik dikatakan berpengaruh terhadap kepatuhan para
pembayar pajak, jika para pembayar pajak merasa memiliki kepentingan terhadap
terpilihnya wakil masyarakat dalam institusi politik dan pantas untuk mewakilinya
serta mereka merasa kepentingan dan keinginannya sejalan. Pengkondisian hubungan
tersebut cenderung akan meningkatkan kemauan dan kesadaran mereka untuk
membayar pajak. Dilain pihak, jika institusi politik cenderung koruptif, secara
langsung maupun tidak langsung akan mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat
selaku pembayar pajak, dan implikasinya akan menurunkan kemauan untuk
bekerjasama. Meskipun semuanya mengamini bahwa pajak merupakan harga yang
harus dibayar untuk pelayanan pemerintah, akan tetapi dari perspektif para pembayar
pajak menjadi sangat sensitif terhadap bagaimana cara pemerintah untuk
menggunakan atau memanfaatkan pendapatan dari pajak tersebut. Jika para pembayar
pajak merasa atau meyakini bahwa apa yang telah dibayarkan tidak digunakan secara
jelas sesuai dengan peruntukannya dan justru disalh gunakan, baik peruntukan ataupun
dikorupsi oleh aparat, maka sangatlah wajar jika para pembayar pajak akhirnya
berfikir ulang untuk menjadi patuh. Oleh karenanya, perasaan hubungan mereka
dengan negara tidak hanya merupakan hubungan paksaan (relationship of coercion),
tetapi juga salah satunya adalah hubungan pertukaran. Individu akan merasa ditipu
jika pajak tidak dibelanjakan secara efisien atau dengan kata lain ketika negara tidak
dapat menjaga atau memegang janji, kepatuhan pajak akan menurun.
Meskipun kebanyakan hasil penelitian cenderung memperkuat pandangan
bahwa pengampunan akan meningkatkan kepatuhan pajak, akan tetapi menurut hasil
kajian lebih lanjut dari Alm, McKee dan Beck (1990) menunjukkan bahwa
pengampunan tidak otomatis akan meningkatkan kepatuhan pajak. Menurut kajian
yang dilakukan pasca-pengampunan, terlihat bahwa mungkin pada pengampunan
pertama, ada indikasi pengaruh positif terhadap kepatuhan pajak, akan tetapi pada
pengampunan kedua, terlihat bahwa kepatuhan pajak justru menurun. Untuk itu,
tidaklah salah jika mereka kemudian mengusulkan bahwa jika negara bermaksud
meningkatkan dampak dalam waktu panjang pada pengampunan pajak, negara harus
memiliki komitmen yang dapat diandalkan atau dipercaya, dan hanya ada satu
pengampunan yang diadakan pergenerasi.
204
persekongkolan antara pegawai pemerin tah dengan kelompok-kelompok kuat yang
tindakannya harus mereka atur.
Jika mendasarkan filosofi teoritik diatas, nampaknya memprediksikan tingkat
keberhasilan implementasi tax amnesty (sunset policy) yang akan berakhir 31
Desember 2008 menjadi sesuatu yang sangat menarik. Paling tidak, dengan
mendasarkan kesalahan dan kegagalan sunset policy yang pernah diterapkan tahun
1979 dan 1986, tentunya kita berharap bahwa implementasi sunset policy ditahun
2008 tidak demikian halnya. Membicarakan implementasi kebijakan sunset policy
sebenarnya tidaklah sesederhana yang dibayangkan, karena konstruksi implementasi
sunset policy sebenarnya bersifat kompleks, rumit dan berdimensi politik. Seperti
dalam pandangan Merilee S. Grindle (1980) bahwa model konseptual implementasi
kebijakan merupakan suatu proses politik (political process) dan proses administrasi
(administration process) yang memfokuskan diri pada tiga komponen, yaitu: tujuan
kebijakan, aktivitas penerapan, dan hasil (out come). Tujuan kebijakan menunjuk
pada pemerincian tujuan dan sasaran secara jelas, , sementara aktivitas penerapan
menunjuk pada proses politik dan administratif dalam penerapan kebijakan untuk
mencapai tujuan kebijakan, sementara hasil (outcome) lebih diartikan sebagai dampak
perubahan yang terjadi setelah kebijakan tersebut dilaksanakan dan tingkat
penerimaannya. Dengan meminjam perspektifnya Grindle tersebut, kita dapat
memahami secara lebih rinci aktivitas implementasi kebijakan sunset policy yang
dilihat dalam dua sisi, yakni isi kebijakan (contents policy) dan konteks
implementasinya (contexs implementation). Jika dilihat dari Isi kebijakan (contents
policy) ada enam aspek, yakni:
a) Kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan. Dalam konteks ini, kepentingan
yang dipengaruhi dalam tax amnesty (sunset policy) adalah para individu atau badan
yang yang sengaja atau tidak sengaja menghindari pajak dan atau menggelapkan
pajak. Jika demikian, kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan ini sangat terkait
dengan harapan banyaknya pengembalian sejumlah denda penerimaan pajak tahun
lalu. Seiring dengan hal itu, maka kapasitas dan kemampuan aparat pajak untuk dapat
mengidenti- fikasikan secara rinci, jelas dan tepat jumlah dan persebaran para
penghindar dan penggelapan pajak menjadi sesuatu yang penting. Jika aparat pajak
tidak mampu melihat secara jelas dan tepat terhadap kepentingan yang dipengaruhi
dalam kebijakan ini, terutama sekali banyaknya para penghindar pajak atau penggelap
pajak serta persebarannya, maka jangan diharapkan sunset policy dapat dilaksanakan
secara memadai.
b) Jenis manfaat yang akan diperoleh. Kejelasan terhadap kemanfaatan atas kebijakan
sunset policy akan mempengaruhi sikap dan tindakan yang akan diambil oleh para
penghindar dan penggelap pajak. Jika jenis kemanfaatan ini dipandang, dipersepsi dan
dipercaya para penghindar dan penggelap pajak dapat memberi nilai rasa keadilan
dan keamanan bagi dirinya, maka kebijakan ini cenderung akan dimanfaatkan sebaik-
baik nya, akan tetapi jika kemanfaatan kebijakan ini dipandang, dipersepsi dan
dipercaya tidak memberi nilai rasa keadilan dan keamanan bagi dirinya, kebijakan ini
cenderung tidak akan diambil atau diabaikan. Konstruksi kemanfaatan bagi
penghindar dan penggelap pajak biasanya cenderung dipertimbangkan dari tiga aspek
yang saling melengkapi, yakni: yuridis, ekonomis dan administratif. Dari aspek
yuridis, pertanyaan yang dapat diajukan: apakah sanksi dan hukuman yang
dikonstruksikan negara bersifat ringan atau memberatkan ?, Melalui program ini,
apakah institusi negara mampu menjamin tidak ada gugatan hukum dari aktor institusi
negara lain ?. Dari aspek ekonomis, pertanyaan yang dapat diajukan, apakah jenis
205
denda yang dirancang dinilai sangat memberatkan ataukah cukup ringan?, apakah
denda yang diberikan akan menjadi beban tetap yang masih bersifat produktif ataukah
menjadi tidak produktif ?. Sementara dari aspek administratif pertanyaan yang dapat
diajukan adalah jenis kemudahan administrasi apa yang diberikan negara ?. Jika
institusi negara mampu mendiskripsikan secara jelas dan transparan terhadap
kemanfaatan yang akan diperoleh para penghindar pajak atau penggelap pajak, baik
mencakup aspek yuridis, ekonomis dan administratif, maka penghindar pajak atau
penggelap pajak secara sukarela cenderung mau membayarkan kembali pajak yang ter
hutang beserta denda dan bunganya. Namun, jika tiga aspek tersebut dinilai dan
dipercaya tidak memberi manfaat bagi para penghindar pajak, maka dimungkinkan
jumlah pelarian pajak dan penghindar pajak justru semakin besar.
c) Derajad perubahan yang akan diinginkan. Seiring dengan kebijakan ini,
sebenarnya perubahan apa yang ingin dikehendaki. Dalam perspektif teoritik, ada dua
alasan utama, yakni: perubahan penerimaan negara dan perubahan perilaku wajib
pajak. Pada umum nya, kebijakan tax amnesty (sunset policy) cenderung diarahkan
untuk menambah dan meningkatkan pendapatan negara. Dalam pemerintahan yang
sedang mengalami kekcauan, seringkali jumlah penghindaran dan penggelap pajak
meningkat dan ini akan memperburuk perekonomian nasional, karena total
penerimaan negara menjadi berkurang. Dalam masyarakat modern yang menganut
azas demokrasi, sektor pajak telah menjadi andalan penerimaan negara, sehingga
tingginya penghindar ataupun penggelap pajak berarti menodai negara. Dengan dua
alasan tersebut sangat jelas bahwa faktor ekonomi, teruatama peningkatan pendapatan
nasional dijadikan alasan perubahan yang dikehendaki. Meskipun demikian, menurut
penelitiannya Hasseldine (1998) tingginya sejumlah uang yang dapat dikumpulkan
melalui tax amnesty tidak melebihi dari 2,6% dari total penerimaan pajak, sementara
pengumpulan yang paling kecil menunjukkan angka 0.008% nya. Seiring dengan
kenyataan tersebut, pertanyaan yang perlu dijawab oleh DJP adalah seberapa besar
target perubahan tambahan penerimaan pajak seiring dengan adanya program ini ?.
Disamping derajat perubahan pada aspek ekonomi, nampaknya derajat perubahan
diharapkan dapat menjangkau pada aspek perilaku, yakni peningkatan kesukarelaan
dan peningkatan kesadaran wajib pajak itu sendiri. Diharapkan dengan meningkatnya
kesadaran wajib pajak, maka semakin rendah kelompok individu atau institusi yang
menggelapkan pajak atau melarikan pajak. Seiring dengan hal ini, pertanyaan yang
perlu dijawab oleh DJP adalah berapa persen peningkatan kesadaran wajib pajak yang
diharapkan dengan selesainya program sunset policy ini ?
d) Kedudukan pembuat kebijakan. Kedudukan dapat dilihat dari dua aspek, yakni
legalitisas kebijakan dan tempat dimana kebijakan itu dibuat. Dalam tata urutan
legalitas, sebuah kebijakan akan memiliki kekuatan hukum tinggi dan mengikat jika
kebijakan tersebut diatur dalam UU. Pertanyaannya adalah apakah tax amnesty (sunset
policy) di Indonesia diatur dalam undang-undang tersendiri, ataukah sekedar
menempel undang-undang lain. Tentunya tingkatan legalitas, akan mempengaruhi
daya terap dan persepsi bagi masyarakat yang dikenai kepentingan. Kedua terkait
dengan tempat dimana kebijakan tersebut dibuat. Apakah kebijakan ini merupakan
kebijakan nasional ataukah kebijakan daerah. Jika tax amnesty (sunset policy) menjadi
kebijakan nasional, implikasinya menjadi lebih rumit dan kompleks, jika
dibandingkan dengan kebijakan yang dibuat ditingkat daerah.
e) Pelaksana program. Pelaksanaan program sunset policy tidak sekedar ditentukan
oleh entitas pelaksaaan itu sendiri, tetapi mencakup kesiapan sebelum program
dijalankan dan kemampuan penganggaran. Kesiapan program dapat dilihat dari proses
sosialisasi yang dijalankan, menyangkut alat, metode, sarana media yang digunakan,
206
intensitas maupun jangkauan sosialisasi serta image yang ingin dibangun maupun
pesan yang akan disampaikan. Untuk menunjang program sosialisai yang mampu
menjangkau serta menggerakan kesadaran pembayar pajak, maka kemampuan
penyediaan dana sebagai pendamping pelaksanaan menjadi faktor penting. Disamping
itu, kemudahan administrasi (ease administration) seperti ketersediaan jaringan
maupun kemudahan dalam proses penyelesaian administrasi menjadi faktor penting
lainnya.
f) Sumber daya yang dikerahkan. Sumberdaya menunjuk pada kapasitas dan
kemampuan individu dalam melaksanakan program. Terkait dengan sunset policy,
maka kemampuan dan kapasitas pelaksana program tersebut harus dapat dipenuhi,
baik dilihat dari aspek ketrampilan, profesional maupun keahlian mereka serta
kecukupan sumberdayanya.
Sementara dilihat dari konteks implementasinya, dapat dilihat dari tiga aspek,
yakni: a) Kekuasaan dan kepentingan. Dalam konteks ini, kekuasaan dan kepentingan
apa yang sebenarnya berada dibalik tax amnesty/sunset policy. Dilihat dari perspektif
institusi, kekuasaan kebijakan ini berada dibawah kendali Direktorat Jenderal Pajak.
Melalui kekuasaan dan kewenangannya, institusi ini bertujuan untuk menambah atau
memperoleh kembali penerimaan negara yang sempat tidak terdeteksi dari sektor
pajak dalam waktu relatif pendek dengan jalan memberi pengampunan bagi para
pembayar pajak yang dinilai secara sengaja ataupun tidak sengaja tidak melunasi
kuwajiban pembayaran pajaknya pada tahun lalu. Sementara kepentingan tax
amnesty/sunset policy di tahun 2008 adalah upaya sementara untuk membantu
penyediaan anggaran negara yang sedang dilanda kontraksi akibat dampak resesi
global terutama kenaikan harga minyak dunia. b) Karakteristik lembaga penguasa.
Karakteristik lembaga birokrasi yang dicirikan oleh kekauan birokrasi, tidak adaptif,
prosedur berbelit-belit dan tidak efisien acapkali menjadi bagian yang melekat dari
kendala penerapan kebijakan itu sendiri. Nampaknya, karakteristik tersebut telah
tergambar dalam proses pelaksanaan sunset policy saat ini. Meskipun lembaga
berwenang telah merencanakan sunset policy pada tahun anggaran 2007, namun
terlihat bahwa pelaksanaan sosialisasi baru dimulai bulan Juni 2008, dan sifat
sosialisasi yang dilakukan terkesan tidak terencana dengan baik secara lebih awal,
gaung dan jangkauan sosialisasinya kurang meluas. c) Kepatuhan dan daya tanggap.
Kebijakan Tax amnesti/sunset policy, tidak sekedar bertujuan untuk memperoleh
kembali penerimaan pajak yang hilang, tetapi dimasa mendatang diharapkan dapat
membangun kepatuhan pajak (tax complaince). Bagaimanapun juga untuk
membangun kepatuhan pajak sangat sulit karena tergantung beragam variabel, seperti
eksistensi partisipasi pembayar pajak dalam proses pengambilan kebijakan, perbaikan
sistim layanan pajak, keadilan dan konsistensi dalam penerapan sanksi dan hukuman,
kemauan dan keberanian pemerintah untuk menjamin keamanan legal para
penghutang/ penghindar pajak setelah program ini, perilaku aparat pajak, kepercayaan
institusi yang bersih dan berwibawa, transparansi penggunaan dan alokasi sumber
penerimaan pajak untuk barang publik. Jika variabel tersebut dapat dipenuhi, maka
dimungkinkan kepatuhan wajib pajak akan terjadi, dan sebaliknya jika variabel
tersebut tidak dipenuhi, maka pelarian pajak atau penghindaran pajak justru akan
semakin semarak. Disamping hal tersebut, daya tanggap birokrasi yang mengarah
pada upaya lebih efisiensi, lebih mudah, lebih ramah, lebih cepat, lebih transparan,
lebih bertanggungjawab tentu menjadi faktor lainnya yang berpengaruh pada akses
membentuk kepatuhan pajak dikemudian hari.
207
Daftar Pustaka
Alm, James, and Benno Torgler, (2004), Culture Differences and Tax Morale in the
United States and in Europe, paper presented at the Public Choice Society and
Economic Science Association Meetings, Baltimore (USA), March, 2004.
Alm, James, and William Beck, (1993), Tax Amnesties and Compliance in the Long
Run: A Time Series Analysis, National Tax Journal. 46: 53-60.
Alm, James; Michael McKee and William Beck, (1990), Amazing Grace, Tax
Amnesties and Compliance, National Tax Journal. 43: 23-37.
Allingham, M.G. and A. Sandmo, (1972), “Income Tax Evasion: A Theoretical
Analysis,” Journal of Public Economics, vol 1, pp 323-338.
Alm, J., B.R. Jackson, and M. McKee, (1993), “Fiscal Exchange, Collective Decision
Institutions, and Tax Compliance,” Journal of Economic Behavior and
Organization, vol 22, 1993, pp 285-303.
Alm, J., G.H. McClelland, and W.D. Schulze, (1999), “Changing the Social Norm of
Tax Compliance by Voting,” Kyklos, 52, 141-171.
Alm, J., G.H. McClelland, and W.D. Schulze, (1992), “Why Do People Pay Taxes?”
Journal of Public Economics, 48, 21-38.
Alm, J. and J. Martinez-Vazquez, (2003), "Institutions, Paradigms, and Tax Evasion in
Developing and Transition Countries," in Public Finance in Developing and
Transition Countries, eds. J. Martinez-Vazquez and J. Alm, Edgar Elgar: 146-
178.
Becker, G.S., (1968). “Crime and punishment: An economic approach,” The Journal
of Political Economy, 76 (2), 169-217.
Cowell, F.A., (1990), Cheating the Government: The Economics of Evasion, MIT
Press, Cambridge, MA.
Feld, Lars P and Bruno S, Frey, (2002), Trust Breeds Trust: How Taxpayer are
treated, Economic of Government, 3: 87-99
Feld, Lars P and JB Tyran, (2002), Tax Evasion and Voting: An Experimental
Analysis, Kyklos. 55: 197-222.
John, Hasseldine, (1998), Tax Amnesty: An International Review, Bulletin for
International Fiscal Decomentation, 52: 303-310
Leonard, Herman B, and Richard J, Zeckhauser, (1986), Amnesty, Enforcement and
Tax Policy, NBER, Working Paper Series, N0 2096, National Bureau of
Economic Research, Cambridge.
Pommerehne, Werner W, and HW Hannemann, (1996), Tax Rates, Tax
Administration and Income Tax Evasion in Switzerland, Public Choice, 88:
161-171.
Knack, S. and P. Keefer, (1997), “Does Social Capital Have an Economic Payoff? A
Cross country Investigation,” Quarterly Journal of Economics, 112, pp 1251-
88.
Merille S Grindle, (1980), Politics and Policy Implementation in Third Word,
Princeton University Press.
Ronald G Cummings, Jorge Martinez-Vasquez, McKee, Benno Torgler, (2005),
Effects of Tax Morale on Tax Compliance: Experimental and Survey
Evidence, CREMA.
Slemrod, J. (ed.), (1992), Why People Pay Taxes: Tax Compliance and Enforcement,
University of Michigan Press, Ann Arbor, MI.
Steenbergen, M. R., K. H. McGraw, and J. T. Scholz, (1992), “Taxpayer Adaptation
to the 1986 Tax Reform Act: Do New Tax Laws Affect the Way Taxpayers
208
Think About Taxes?” in Slemrod, J. (ed.), (1992), Why People Pay Taxes: Tax
Compliance and Enforcement, University of Michigan Press, Ann Arbor, MI:
9-37.
209
REFORMASI BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
Oleh : Drs. Gatot Pramuka, M.S *)
PENDAHULUAN
Mengapa birokrasi? Sebab salah satu bentuk organisasi yang digunakan oleh
pemerintah untuk melaksanakan pelayanan publik adalah organisasi birokratik.
Mengapa demikian? Bermula ketika Max Weber mengenalkan pengamatannya
tentang Bureaucrationally, yang melihat sosok birokrasi sebagai alat yang bermanfaat
bagi pelaksanaan rationalitas terhadap tugas-tugas administrasi sehingga bisa
mencapai efisiensi – sungguhpun Weber tidak pernah mendefinisikan birokrasi yang
dimaksud secara jelas – akan tetapi hasil pengamatan Weber tersebut kemudian
dikukuhkan Hegel yang memandang birokrasi tersebut dapat dijadikan sebagai alat
penghubung antara negara dan masyarakat (Moeljarto, 1987). Sehingga sampai
dengan dewasa ini birokrasi pemerintah menjadi alat yang sangat utama dan paling
dominan peranannya dalam pelaksanaan tugas-tugas negara (Sofian, 1987).
Konsekuensi logis dari kondisi tersebut adalah birokrasi pemerintah kemudian
menjadi satu-satunya organisasi yang memiliki akses penguasaan atas seluruh sumber-
sumber negara (Saul M. Katz, 1984). Hal ini dapat terjadi oleh karena birokrasi
dianggap mampu untuk menangani segala macam tugas-tugas pemerintah dan
berbagai bentuk pelayanan publik (Amitai Etzioni, 1982). Namun, ironinya studi-studi
yang dilakukan oleh Sjoberg, Brymer dan Farris (1966); Letin dan Tanbe (1972);
Gurrslin dan Reach (1958); Rein (1958), mereka memperoleh kesimpulan bahwa
organisasi birokratik ternyata tidak mampu dan tidak cocok untuk memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi masyarakat (Sofian, 1987), karena betapapun baik
dan efisiennya suatu birokrasi, selalu mengandung di dalamnya ciri dan keterbatasan
yang tidak selalu cocok untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan, karena birokrasi
telah mempunyai pola kerja yang sudah mapan, dan langkah-langkah tindakannya
harus selalu mengikuti kebijaksanaan umum atau menunggu petunjuk dari atasan,
serta dilakukan melalui jalur-jalur formal dan jenjang hierarkhis yang panjang,
membuat aparat birokrasi tidak cukup punya kegiatan untuk mengambil keputusan
atau bertindak kurang cepat, kurang punya fleksibilitas untuk menyesuaikan dengan
kondisi setempat, dan kurang punya kepekaan untuk memperhatikan masalah khusus
dan kebutuhan khas kelompok masyarakat yang sering muncul silih berganti (Ismi
Hadad, 1983).
Menyebabkan seringkali para aparat birokrasi tidak mampu menemukan
problem-problem khusus dalam masyarakat dengan baik karena kapasitas mereka
terbatas, dan seringnya mereka terjebak ke dalam gejala masalah atau fenomena sosial
yang tampak di permukaan kemudian dipandang sebagai masalah yang sebenarnya,
sehingga kesalahan dalam mengidentifikasikan masalah ini akan berakibat juga
salahnya keputusan yang diambil (William N. Dunn, 1981). Karena keterbatasan-
keterbatasan yang dimiliki oleh para pelaku dalam organisasi birokrasi tersebut
mengakibatkan kecenderungan dalam keputusannya ke arah penyeragaman dan
210
mengabaikan pluralitas, sehingga menyebabkan banyak kebijakan dalam pelayanan
publik yang diselenggarakan oleh birokrasi pemerintah kurang dapat memenuhi
aspirasi masyarakat banyak, sulitnya mengadopsi kepentingan masyarakat dalam
birokrasi pemerintah diakibatkan oleh sifat-sifat birokrasi pemerintah yang stabil dan
mekanistik.
Kondisi ini menyebabkan sejumlah peneliti menyelidiki tentang adanya saling
hubungan antara lingkungan masyarakat dengan struktur organisasi, dalam mencari
format struktur yang tepat, salah satu di antara mereka yang melakukan penelitian
tentang hubungan struktur organisasi dengan lingkungan masyarakat ini adalah Burn
dan Stalker yang menyatakan bahwa lingkungan masyarakat yang berbeda
menghendaki struktur organisasi yang berbeda pula (Burns and Stalker, 1981 dan
Kast, Fremont E. Rosenzweig, James E., 1970). Mereka dalam penelitiannya
menemukan dua struktur organisasi yang relatif berbeda dan kedua jenis struktur
tersebut masing-masing disebut mekanistik dan organik yang memiliki ciri-ciri
sebagai berikut :
MEKANISTIK ORGANIK
1. Tingkat pembagian dan spesialisasi tugas 1. Lebih banyak saling ketergantungan antara
sangat tinggi, hanya sedikit perhatian tugas penekanan pada kaitan tugas dengan
ditujukan untuk menjelas-kan hubungan sasaran organisasi.
antara tugas dengan sasaran organisasi.
2. Tugas-tugas cenderung tetap didefi-nisikan 2. Tugas terus menerus disesuaikan dan
secara kaku, kecuali jika diubah secara resmi didefinisikan kembali melalui interaksi para
oleh manajemen puncak. anggota organisasi.
3. Definisi peranan yang terinci (hak-hak,
kewajiban dan metode teknis sudah 3. Definisi peranan bersifat umum (para anggota
ditentukan bagi setiap anggota organisasi). menerima tanggung jawab umum untuk
penyelesaian tugas melampaui definisi,
4. Mempunyai struktur hirarki dalam ketentuan peranan individu).
pengendalian wewenang dan komunikasi, 4. Mempunyai struktur jaringan kerja dalam
kekuasaan, pengesah-an berdasarkan kontrak pengendalian, wewenang dan komunikasi.
kerja antara pekerjaan dan organisasi. Pengesahan lebih banyak berdasarkan
kebersamaan kepentingan daripada
5. Informasi yang relevan bagi situasi dan berdasarkan hubungan kontrak.
operasi organisasi secara resminya dianggap 5. Pimpinan tidak dianggap serba mengetahui,
tanggung jawab eksekutif. pusat-pusat keterang-an diakui di mana saja
dapat ditemui di seluruh organisasi.
6. Komunikasi terutama bersifat vertikal antara
atasan dengan bawahan. 6. Komunikasi bersifat vertikal dan horisontal,
bergantung pada tempat informasi yang
7. Komunikasi terutama berbentuk instruksi dan diperlukan.
keputusan dari para atasan, berdasarkan
informasi dan permohonan keputusan yang 7. Komunikasi kebanyakan berbentuk informasi
berasal dari bawahan. dan saran.
8. Menekankan kesetiaan pada organisasi dan
ketaatan pada atasan.
9. Kepentingan dan prestasi di-hubungkan
dengan identifikasi dengan organisasi dan 8. Keikatan pada tugas dan tujuan organisasi
seluruh anggota. lebih dihargai daripada kesetiaan dan
ketaatan.
9. Kepentingan dan prestasi di-hubungkan
dengan afiliasi dan pengalaman di lingkungan
luar.
211
Maka tampak sistem mekanistik dianggap sebagai kesatuan yang relatif tetap
dan baku, sedang sistem organik dipandang lebih luwes dan mampu menyesuaikan
diri dengan lingkungan masyarakatnya.
Akan tetapi pada kenyataannya, perubahan-perubahan pranata sosial yang
terjadi di lingkungan masyarakat, seringkali tidak diikuti dengan perubahan-perubahan
mekanisme kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanannya, sehingga acapkali kita
mendengar “kalo bisa dipermudah mengapa dipersulit?” atau sebaliknya, “Kalo bisa
dipersulit, mengapa dipermudah?”, sehingga banyak anggapan bahwa birokrasi sangat
lamban dan tidak efisien dalam menanggapi perubahan, kurang dapat menyesuaikan
diri dengan tuntutan pembangunan dan anggapan yang lebih keras birokrasi dianggap
menghambat proses pembangunan. Pada era reformasi, birokrasi dituntut untuk
berubah sikap dan perilaku agar dapat melayani masyarakat dengan baik. Perubahan-
perubahan sosial yang terjadi baik yang berlangsung cepat (revolusi) maupun yang
berlangsung dengan lambat (evolusi) menuntut pada organisasi birokrasi untuk dapat
menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut, sebab bukankah perubahan
selalu mengandung unsur perbedaan.
Namun, di dalam mengamati kondisi lingkungan masyarakat di mana
organisasi birokrasi itu berada, bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan, sebab
kondisi lingkungan masyarakat memiliki ciri-ciri spesifik yang berbeda-beda satu
dengan yang lainnya. Oleh karena itu untuk memahami kondisi lingkungan tersebut
maka Ducan dalam penelitiannya mengidentifikasikan beberapa ciri dari berbagai
lingkungan yang dihadapi organisasi (Ducan, 1972) sebagai berikut.
KONDISI
SEDERHANA RUMIT
LINGKUNGAN
Statis Tingkat ketidakpastian rendah: Tingkat ketidakpastian agak rendah:
a. Jumlah faktor dan kom-ponen a. Jumlah faktor dan kom-ponen
dalam lingkungan kecil. dalam lingkungan besar.
b. Faktor dan komponen agak mirip b. Faktor dan komponen tidak mirip
satu sama lain. satu sama lain.
c. Faktor dan komponen pada c. Faktor dan komponen pada
dasarnya tetap sama dan tidak dasarnya tetap sama.
berubah.
Dinamis Tingkat ketidakpastian agak tinggi : Tingkat ketidakpastian tinggi :
a. Jumlah faktor dan kom-ponen
dalam lingkungan kecil. a. Jumlah faktor dan kom-ponen
b. Faktor dan komponen agak mirip dalam lingkungan besar.
satu sama lain. b. Faktor dan komponen tidak mirip
c. Faktor dan komponen selalu satu sama lain.
dalam proses perubahan. c. Faktor dan komponen selalu
dalam proses perubahan.
212
Kalau kita amati kembali ciri-ciri tersebut di atas, maka keadaan lingkungan
dapat dibedakan menjadi tiga dimensi utama sebagai berikut :
213
Sehingga semakin rasional proses pemilihan dalam arti pemilihan berbagai
alternatif yang ada, maka semakin besar kemungkinan bahwa tanggapan yang dipilih
akan cocok dengan tuntutan lingkungannya. Dari uraian tersebut di atas maka dapat
dibuat bagan sebagai berikut,
Ketepatan Persepsi
Mengenai keadaan
Lingkungan
Sederhana Ketepatan
Tingkat tanggapan
keterdugaan organisasi Efektivitas
keadaan terhadap organisasi
lingkungan rangsangan
lingkungan
Lingkungan
Rumit
Tingkat rasionalitas
organisasi
Atas dasar uraian tersebut di atas, maka kalau kita memperpadukan jenis
struktur organisasi hasil temuan Burns dan Stalker dengan kondisi lingkungan hasil
temuan Ducan, maka akan tampak bahwa struktur organisasi yang mekanistik
merupakan rancangan yang lebih tepat digunakan dalam kondisi lingkungan statis
sederhana yang memiliki tingkat ketidakpastian lingkungan rendah karena lingkungan
dengan kondisi seperti itu gerakannya mudah diduga. Sehingga tugas-tugas bisa dibuat
rutin dan teratur, sedangkan struktur organisasi yang organik merupakan rancangan
yang lebih tepat digunakan dalam kondisi lingkungan dinamis-rumit yang memiliki
tingkat ketidakpastian lingkungan yang tinggi karena lingkungan dengan kondisi
seperti itu, gerakannya sulit diduga. Sehingga organisasi harus terus menerus
mengubah arah untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut.
Berangkat dari studi yang dilakukan Saxena dan Bennis, menghilangkan
keseluruhan sifat-sifat birokrasi yang stabil dan mekanistik itu adalah pekerjaan yang
sulit dilakukan, akan tetapi sifat tersebut hanya dapat dikurangi yang lebih bersifat
organis dan adaptif (Sofian Effendi, 1989) yang beroirientasi pada proses, sehingga
menciptakan organisasi yang lebih mementingkan kesesuaian antara organisasi
dengan kondisi lingkungan sosial masyarakatnya. Dengan demikian, pelayanan publik
akan lebih mampu untuk melaksanakan tugasnya, dan lebih terbuka terhadap gagasan
peningkatan kapasitas, yang pada akhirnya akan dapat menciptakan akses yang lebih
214
terbuka pula baik dari bawah (bottom-up) maupun dari atas (top-down) untuk terlibat.
Perubahan orientasi dan proses birokrasi yang demikian pada akhirnya akan
bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan.
Indikator
Sumber
Berorientasi Hasil Berorientasi Proses
Mc. Donald & Lawton ( 1977 ) a. Efficiency
b. Effectiveness
Salim & Woodword ( 1992) a. Economy
215
b. Efficiency
c. Effectiveness
d. Equity
Lenvinne ( 1990 ) a. Responsivitas
b. Responsibilitas
c. Akuntabilitas
Zeithaml, Parasuraman & a. Tangibles a. Reability
Berry ( 1990 ) b. Responsiveness
c. Assurance
d. Empathy
Standar Pelayanan Publik a. Waktu Penyelesaian a. Prosedur Pelayanan
( Kep. MENPAN 63/ 2004 ) b. Biaya Pelayanan b. Sarana Prasarana Pelayanan
c. Produk Pelayanan c. Kompetensi Petugas Pemberi
Pelayanan
Asas Pelayanan Publik a. Transparansi
( Kep. MENPAN 63/ 2004 ) b. Akuntabilitas
c. Kondisional
d. Partisipatif
e. Kesamaan hak
f. Keseimbangan hak dan
kewajiban
Prinsip Pelayanan Publik a. Ketepatan waktu a. Kesederhanaan
( Kep. MENPAN 63/ 2004 ) b. Akurasi b. Kejelasan
c. Keamanan
d. Keterbukaan
e. Tanggungjawab
f. Kelengkapan sarana & prasarana
g. Kenyamanan
h. Kedisiplinan, kesopanan,
keramahan
i. Kemudahan akses
Gibson, Ivancevich a. Kepuasan a. Perkembangan
Donelly ( 1990 ) b. Efisiensi b. Keadaptasian
c. Produksi c. Kelangsungan hidup
Untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik, maka kita harus dapat
memandang produk atau jasa layanan kita sebagaimana pengguna/ konsumen kita
memandang produk atau jasa layanan tersebut.
216
Kesesuaian antara ketiga faktor inilah yang di sebut oleh Albrecht dan
Bradford sebagai Moment of Truth atau Momen Kritis Pelayanan dalam membentuk
opini konsumen atau pengguna jasa pelayanan. Tentang kualitas pelayanan yang di
berikan oleh organisasi penyelenggara pelayanan tersebut yang di gambarkan dalam
Lingkaran Pelayanan ( The Cycles of Services ) yang di ilustrasikan dengan
Pelayanan yang dilakukan oleh swasta di sebuah Plaza sebagai berikut :
217
Sumber : Albrecht & Brad Ford (1990)
218
CEO
Manajemen
Karyawan
IMPLEMENTASI
Akan tetapi kalau kita bandingkan dengan studi yang di lakukan Zeithaml yang
di kenal dengan SERVQUAL, di mana pengukuran kinerja pelayanan di ukur dari:
219
(Akses) b. Apakah prosedur yang diterapakan sederhana?
c. Apakah informasi untuk konsumen mudah didapat dan jelas?
9 Cummunication a. Bagaimana petugas menjelaskan prosedur / mekanisme untuk
(Komunikasi) mendapatkan pelayanan ?
b. Apakah klien bisa mendapatkan respon jika terjadi kesalahan?
c. Apakah keluhan atau pengaduan akan dijawab dengan segera dan
jika perlu keluhan atau pengaduan diberi follow-up secara detail?
d. Ketersediaan feedback lewat radio (feedback interactive)
10 Understanding The a. Apakah providers tanggap terhadap kebutuhan klien ?
Customer
(pengertian)
IMPLEMENTASI
Karyawan
Manajemen
CEO
220
REFORMASI BIROKRASI DALAM MELAKUKAN PELAYANAN
PUBLIK
Kalau dilihat dari keluhan masyarakat tentang pelayanan birokrasi
pemerintahan itu sudah lama ada sejak pemerintahan itu sendiri ada, dan kalau dilihat
dari kurun waktu dalam upaya untuk memperbaiki pelayanan birokrasi itu usianya
juga sudah sangat tua. Meskipun demikian masalah pelayanan birokrasi sampai
dengan dewasa ini, masih saja tetap hangat dipersoalkan oleh banyak pihak. Mengapa
pelayanan birokrasi dipermasalahkan? Sebab, birokrasi kalau dilihat dari sudut
pandang administrasi sebagai suatu sosok organisasi pelayanan, di mana kriteria
utama untuk menilai sebuah organisasi yang tidak menghasilkan keluaran fisik
tersebut adalah dengan performance atau penampilan organisasi itu (Ralph M.
Stogdill, 1971). Sedangkan konsep penampilan sendiri mengarah pada pelaksanaan
operasi, kegiatan, program atau misi suatu organisasi (Interplan, 1969) sehingga,
Jenegreen mengartikan penampilan organisasi adalah seberapa jauh tingkat
kemampuan pelaksanaan tugas-tugas organisasi dari suatu sistem yang telah
ditentukan berdasar faktor situasional pada proses pelaksanaan dalam organisasi
(Jenegreen and Ivancevich, 1971). Atas dasar asumsi-asumsi tersebut di atas, maka
penampilan sebuah organisasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu : faktor internal
organisasi dan faktor eksternal yang berupa lingkungan (Interplan, 1969:8) yang erat
kaitannya dengan karakteristik atau jenis organisasi tersebut dalam mencerminkan
misinya (Warren G. Bennis, 1967).
Adapun misi yang diemban oleh birokrasi dapat dilihat dari kegiatan
pelayanannya, di mana keberhasilan pelaksanaan tugas-tugas birokrasi dalam
memberikan pelayanan tidak terlepas pada suatu pola interaksi antara dua pihak yang
saling berhubungan, yaitu organisasi birokrasi yang menyediakan jasa pelayanan di
satu pihak dan masyarakat (klien) sebagai pemanfaat jasa pelayanan di lain pihak.
Oleh karenanya keberhasilan pelayanan seperti ini sangat ditentukan oleh hubungan
kedua pihak tersebut yang menurut Syahrir ada dua cara dalam melihatnya.
Pertama, kualitas pelayanan seperti : apakah yang diberikan sudah memuaskan atau
belum bagi masyarakat, dan apakah pelayanan yang dilaksanakan sudah efisien atau
belum.
Kedua, kuantitas pelayanan, dalam bentuk angka apakah masyarakat yang dilayani
meningkat atau tidak, apakah hasil yang diperoleh mengalami kenaikan atau tidak
(Syahrir, 1986).
Mengacu pada uraian tersebut maka tampak determinan utama keberhasilan
pelayanan dari sebuah organisasi adalah bagaimana menciptakan delivery mechanism
yang tepat pada masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan, yang dinyatakan
Warren G. Bennis sebagai kemampuan organisasi di dalam mendistribusikan jasa
pelayanan pada konsumen (Warren G. Bennis, 1967).
Namun, pada realitanya menentukan suatu distribusi pelayanan yang adil dan
merata bagi masyarakat adalah pekerjaan yang sulit dilakukan. Karena kesulitan inilah
maka masalah pemerataan pelayanan pada masyarakat merupakan fenomena yang
sering muncul dalam kaitannya dengan distribusi pelayanan publik yang acapkali
dikaitkan pula pada kinerja organisasi penyedia jasa pelayanan tersebut.
221
REFORMASI DALAM PELAYANAN BIROKRASI
Dalam mereformasi pelayanan birokrasi, maka kita harus mengenali
permasalahan pelayanan birokrasi yang ada, mengapa jenis pelayanan birokrasi harus
dikenali? Sebab, organisasi jenis seperti ini memiliki keterbatasan dalam memberikan
pelayanannya pada masyarakat. Berangkat dari keterbatasan inilah biasanya organisasi
pelayanan membentuk pola pelayanan yang bagi sebagian masyarakat dianggap tidak
masuk akal – persyaratan prosedur yang berbelit dari mekanisme yang ditentukan oleh
birokrasi pemerintah dalam mendapatkan pelayannya, dan sebagainya – dan tambah
tidak masuk akal lagi kalau kita berharap bahwa birokrasi akan dapat menyelesaikan
segala persoalan yang dihadapi oleh masyarakat akan dapat diselesaikannya.
Pupusnya harapan masyarakat bahwa birokrasi akan dapat memberikan pelayanan
untuk dapat menyelesaikan persoalannya, menyebabkan masyarakat enggan berurusan
dengan birokrasi pemerintah terbukti dengan adanya “jalan belakang”, “uang pelicin”,
“jalan tol” dan sebagainya yang mereka sebut dengan “birokrasi amplop” di mana
pada intinya memotong prosedur untuk mendapatkan pelayanan atas prosedur yang
panjang dari birokrasi pemerintahan itu. Dan kita tidak akan pernah habis
membicarakan seluk-beluk ruwetnya mekanisme dari prosedur birokrasi pemerintah
itu di sepanjang masa kalau kita tidak pernah bisa memahami keterbatasan yang
melekat pada organisasi birokrasi pemerintah itu sendiri tanpa harus “permisive”
terhadap pelayanan yang diberikan, tapi bukankah mau tidak mau, terpaksa atau tidak
terpaksa kita tetap berurusan dengan birokrasi pemerintah dalam kehidupan bernegara
ini.
Jumudnya, kinerja birokrasi pemerintahan dalam memberikan pelayanan pada
masyarakat ini, menggambarkan bahwa betapa kompleks persoalan organisasi
birokratik yang begitu mekanistik dihadapkan pada persoalan masyarakat yang begitu
heterogen, kondisi demikian menyebabkan organisasi birokrasi membentuk sejumlah
pola yang digunakan untuk membagi-bagikan pelayanan pada masyarakatnya.
Pertama, pola pelayanan yang sama bagi semua, dalam pola ini terbatas daya
serapnya, karena kemampuan pelayanan pemerintah terbatas sehingga tidak bisa
digunakan secara sama oleh semua warga negara. Hal ini menyebabkan tipe pelayanan
pada pola ini yang pada mulanya untuk semua. Oleh karena keterbatasan yang ada
justru merancang pola yang hanya untuk memenuhi kebutuhan sekelompok
masyarakat tertentu saja.
Kedua, pola pelayanan yang sama secara proporsional bagi semua, dalam pola ini
menyarankan suatu distribusi pelayanan yang didasarkan atas suatu ciri tertentu yang
berhubungan dengan kebutuhan. Kondisi ini tampak lebih pragmatis sebab pola
pelayanan seperti ini menyediakan dasar yang kongkrit dan lebih obyektif untuk
dibagikan pada masyarakat, di sisi lain pola pelayanan seperti ini memungkinkan
dapat disediakannya pelayanan yang lebih banyak sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.
Ketiga, pola pelayanan yang tidak sama bagi individu-individu bersesuaian dengan
perbedaan yang relevan, dalam pola pelayanan ini perbedaan pelayanan berdasarkan
pada ciri-ciri yang dimiliki oleh para penerima pelayanan (Chitwod, 1984).
Menyimak pola pelayanan tersebut di atas, maka akan tampak dua dimensi
dalam melihat masalah keadilan distribusi pelayanan organisasi birokrasi
pemerintahan pada masyarakatnya,
Pertama, memberikan pelayanan di antara orang-orang yang beraneka ragam itu harus
ditentukan lebih dahulu kriteria dalam membagikan pelayanan-pelayanan di antara
kelompok masyarakat yang berbeda.
222
Kedua, pemberian pelayanan itu harus dilakukan dengan memberikan perlakuan yang
sama pada pihak-pihak yang sama.
223
informasi seperti ini justru akan lebih memburukkan kinerja organisasi birokrasi
pemerintah tersebut dalam memberikan pelayanannya dan tanpa disadari oleh
sekelompok orang tersebut bahwa dirinya telah menjebak organisasi birokrasi itu pada
posisi yang sangat dilematis dengan mengaburkan informasi di satu sisi sambil
menyalahkan kinerja organisasi birokrasi itu di sisi yang lain. Kondisi ini
menunjukkan bahwa lingkungan masyarakat di satu sisi menyediakan sumber daya
yang sangat diperlukan oleh organisasi birokrasi itu, dan di sisi lain lingkungan
masyarakat menawarkan batas dan hambatan bagi aktivitas organisasi birokrasi
tersebut (Coralie Bryant and L.G. White, 1987). Kondisi tersebut juga menyebabkan
organisasi birokratik mengalami kekaburan peran dan fungsinya dalam melakukan
tugasnya sebab di posisikan pada posisi yang sangat sulit.
Masalahnya terletak pada bagaimana masyarakat mampu memposisikan
organisasi birokrasi tersebut menjadi pelayan yang baik dengan segala keterbatasan
yang ada – bukankah setiap bentuk layanan apapun yang kita terima di dalamnya
selalu mengisyaratkan batasan-batasan tertentu – di satu sisi sedangkan di sisi lain
bagaimana organisasi birokrasi mampu memuaskan semua pihak – bukankah setiap
individu dalam masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan yang
terbaik – pada posisi seperti ini akan tampak dua kutub yang berseberangan yaitu
tuntutan masyarakat akan mendapatkan pelayanan yang terbaik dengan keterbatasan
kemampuan organisasi birokrasi sebagai penyedia jasa pelayanan tersebut. Tarik
menarik di antara dua kutub inilah yang menjadi permasalahannya dan meminimalkan
pertentangan di antara kedua kutub, tersebut mungkin menjadi salah satu sebab
terjadinya alternatif kompromistis yang berlaku di antara keduanya, Citra pelayan
adalah orang yang tunduk, menerima perintah dan melakukan sebagaimana yang di
suruhkan kepadanya, tetapi bukankah birokrat atau pelayan itu juga manusia, punya
hati, punya rasa. Ibaratnya, bukankah pelayan itu apabila “merasa” lebih tahu dalam
pekerjaannya daripada majikannya akan memberikan layanan yang sifatnya instruktif,
dan pertanyaannya adalah, bisakah kita beradaptasi dengan pelayan kita yang sudah
tua usianya, merasa lebih tahu, susah diberitahu, rutin tidak berubah, pikun, tenaga
dan kinerjanya sangat terbatas, tapi sudah lama ikut dan bersama dengan kita
semenjak kita lahir di dunia ini. Tegakah kita mengganti pelayan yang tua tersebut
dengan pelayan yang cerdas, cepat dan memuaskan, ataukah kita memang sudah
terbiasa dengan pelayanan yang buruk.
224
terkecuali pada organisasi pemerintah, sehingga memunculkan fenomena baru yang di
sebut dengan nama Electronic Governance.
Sebagai konsep baru, Electronic Governance masih sering di pahami sama
dengan konsep Electronic Goverment atau Information Technology Bureaucracy,
maupun Internetworked Government yang mana secara konseptual sebenarnya
masing-masing konsep tersebut memiliki karakteristik dan fokus yang berbeda.
Konsep Fokus
Electronic Fokus pada jejaring inter, intra dan antar pemerintah dengan masyarakat
Governance a. Penggunaan teknologi informasi di tujukan untuk membangun
(Tap Scott, 1996, memperbaiki proses, dan memperlancar hubungan dalam organisasi
Grag, 2002) pemerintah dan antar organisasi pemerintah dengan masyarakat.
b. Terdapat tiga lingkup yang terintegrasi satu dengan lainnya yaitu
lingkup inter, intra dan antar pemerintah dengan masyarakat.
Electronic Fokus pada Layanan Pemerintah
Penggunaan teknologi informasi di tujukan untuk meningkatkan
Government a. efisiensi,
(Karim, 1996) kecepatan dan kelancaran layanan pemerintah kepada publik.
IT Bureaucracy Fokus pada struktur Birokrasi
(Pinchot & Birokrasi teknologi informasi fokus pada karakter struktur birokrasi
Pinchot, a. yang
1999) berubah sebagai akibat dari Revolusi teknologi informasi.
Internetworked Fokus pada modedl organisasi berbasis teknologi informasi , yang
Government Merupakan model organisasi era digital.
(frederickson,
1999)
225
yang harus diterapkan System. Application b. Electronic
Payment Facilities
b. Integrated b. The Development
Messaging System Planning c. Online Information
Application
c. Electronic Bulletin d. Electronic
Board c. The Budgeting Communication
Application
d. Electronic Library e. Electronic Polling
d. The Integrated
e. Enterprise Wide f. Electronic Customer
Inventory
Document Care Management
Management
Management
Application g. Electronic Publik
f. Meeting Complain
Management
g. Discusion Forums
h. Web Information
Filter
Pemanfaatan yang a. Pimpinan dan a. Pimpinan a. Pemerintah
menggunakan karyawan organisasi,
b. Masyarakat
Aplikasi Teknologi organisasi dalam karyawan
Informasi satu organisasi organisasi dalam c. Investor/ swasta
atau unit kerja beberapa
organisasi secara
vertical maupun
horizontal
Tingkat Pemanfaatan Utilisasi sistem Utilisasi sistem Utilisasi teknologi
Aplikasi teknologi informasi teknologi informasi informasi telah
telah mampu telah mapu mampu
meningkatkan: meningkatkan meningkatkan:
efisiensi, efektivitas koordinasi, efisiensi, keterbukaan,
kelancaran proses efektivitas dan partisipasi dan daya
komunikasi dan kelancaran tanggap masyarakat
distribusi informasi pelaksanaan pekerjaan dan investor/ swasta
dalam satu organisasi beberapa organisasi dalam organisasi
secara vertical dan pemerintah
horizontal
Area Pemanfaatan Dalam satu organisasi Dalam beberapa Organisasi
Teknologi Informasi atau unit kerja organisasi atau unit Pemerintah, sektor
kerja swasta dan publik
Sumber : Renu Budhiraja, Electronic Governance & Key Issue in the 21 century,
paper e-Government, London School of Economic.
Sejalan dengan kajian Budhiraja (2002), maka hasil temuan beberapa peneliti
tentang aplikasi teknologi informasi telah di bangun oleh para implementor yang
tergabung dalam Electronic Government Resources Planned (e-group), yang sudah
tersebar di berbagai instansi pemerintah untuk mewujudkan Good Governance
menunjukkan korelasi yang signifikan (Gatot,dkk,2005), hasil penelitian yang terbagi
dalam tiga lingkup system aplikasi menunjukkan dampak yang luas sebagai berikut :
A. PUBLIC/ BUSINESS to GOVERNMENT
Aplikasi electronic governance pada lingkup ini berdampak pada :
a. Peningkatan partisipasi masyarakat dan sector bisnis dalam penyelenggaraan
pemerintah melalui media system teknologi internet dan internet yang
disediakan.
226
b. Peningkatan kuantitas dan kualitas layanan informasi yang diberikan oleh
organisasi pemerintah.
c. Peningkatan keterbukaan penyelenggaraan pemerintahan.
d. Peningkatan daya tanggap pelaksanaan kegiatan pembangunan.
Web Information Filter Sistem Informasi Pendidikan Sistem Infromasi Rumah Sakit
B. INTER AGENCY
Aplikasi electronic governance pada lingkup tersebut secara positif berdampak
pada :
a. Peningkatan kecepatan dan kelancaran komunikasi dan distribusi informasi
antara satu organisasi pemerintah dengan organisasi pemerintah lain.
b. Peningkatan ketepatan pelaksanaan dan hasil pekerjaan yang dilaksanakan
secara bersama-sama oleh beberapa organisasi pemerintah.
c. Peningkatan keterbukaan antar organisasi pemerintah dalam pelaksanaan
program/ proyek.
Developed By : e-Group
Developed By : e-Group Developed By : e-Group
227
Management
Application
C. INTRA AGENCY
Aplikasi electronic governance pada lingkup ini berdampak :
a. Peningkatan koordinasi antar unit/ bagian dalam organisasi
b. Peningkatan kecepatan dan kelancaran pelaksanaan pekerjaan
c. Peningkatan ketepatan hasil dan pelaksanaan pekerjaan
d. Efisiensi waktu, tenaga dan dana pelaksanaan pekerjaan
Sebagaimana diuraikan di atas, ada beberapa elemen yang harus diperhatikan dengan
sungguh-sungguh dalam penerapan aplikasi seperti ini adalah :
A. SUPPORT :
Merupakan elemen yang paling krusial yang harus di miliki oleh pemerintah
yakni berupa keinginan dari berbagai kalangan pejabat public dan politik untuk
benar-benar menerapkan konsep teknologi informasi, tanpa adanya Political
Will ini mustahil program tersebut dapat terlaksana mengingat bahwa budaya
birokrasi selama ini masih menggunakan model Top-down.
B. CAPACITY :
Adalah kemampuan atau keberdayaan dari pemerintah setempat dalam
mewujudkan teknolgi informasi seperti ini, ada tiga hal yang harus di miliki
pemerintah yaitu :
a. Ketersediaan sumberdaya yang cukup terutama sumberdaya finansial
b. Ketersediaan infrastruktur teknologi informasi
c. Ketersediaan sumberdaya manusia yang memiliki kompetansi di bidang ini
C. VALUE :
Berkaitan dengan manfaat yang dapat di petik dengan adanya penerapan
teknologi informasi bukan hanya pemerintah tetapi juga oleh Stakeholder.
228
PUSTAKA
229
Pinchot, Giforth and Robert Pinchot, Bureaucracy in Information Technology Era
(New Delhi, Mc Graw Hill Publishing Company Ltd.1999).
Tapscott, Don, The Digital Economy Promise and Peril in The Age of Networked
Intelligen, (New York, Mac Graw Hill,1996).
Vittal, N, E-Governance : The Next Chapther, (India, Central Vigilance Commisioner
IT,2002).
Anon, C, Implementing Electronic Governance : A Critical Success, (New Delhi, BV,
Inc, 1997).
McCay, Angus, Model Of Electronic Governance (New York, Cambridge University
Press, 2001).
Gronroos, C. Service Management and Marketing Managing the Moment of Truth in
Services Competition, (Massachusetts, Lexington, 1990).
Salim, G.M and S.A Woodward, The Manager Monitor in L.Willcocks And J.
Harrow (eds) Rediscovering Public Services Management, (London, McGraw
Hill,1992).
Albrecht, K and L.J Bradford, The Services Advantage : How to Identify and Fullfill
Customer Needs, (Illionis, Homewood, 1990)
Ivancevich, Lorenzi, Skinner and Crosby, Management Quality and Competitiveness,
(Chicago, Irwin,1997).
Zeithaml, V.A, Parasuranman and L.L Berry, Delevering Quality Services : Balancing
Custemer Perseptions and Expectation, (New York, The Free Press, 1990).
Ratminto, Kinerja administrasi Pemerintahan di Bidang Perijinan, (Yogyakarta,
UGM, 2003).
Ratminto dan Atik Septi Winarsih, Manajemen Pelayanan, Pengembangan Model
Konseptual, Penerapan Citizen’s Charter dan Standar Pelayanan Minimal,
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005)
Pramuka, Gatot, dkk, Modul Aplikasi electronic Governance : Studi Kasus Di
Berbagai Daerah (Laporan Penelitian Tidak dipublikasikan, 2005)
230
OPTIMALISASI PENGELOLAAN DATA KEPENDUDUKAN
DI KABUPATEN BANYUMAS
Oleh: Wahyuningrat
Staf Pengajar Fisip Unsoed Purwokerto
ABSTRAK
Carut marut data kependudukan pada berbagai program pembangunan yang
membutuhkan input data kependudukan, hingga mengakibatkan program salah
sasaran, menunjukkan pengelolaan data kependudukan belum optimal, tidak terkecuali
di Kabupaten Banyumas. Untuk itu Pemerintah Kabupaten Banyumas terus
melakukan berbagai upaya optimalisasi antara lain dengan menerapkan SIAK on-line
dan off-line, membentuk instansi pelaksana, melakukan koordinasi dengan instansi
terkait, dan meningkatkan sarana serta sumber daya aparatur. Terdapat beberapa
faktor yang mendukung upaya optimalisasi, namun juga terdapat beberapa faktor yang
menghambat dan juga terdapat beberapa ketidakpatuhan Pemerintah Kabupaten
Banyumas terhadap peraturan perundangan yang relevan, sehingga pengelolaan data
kependudukan belum optimal.
PENDAHULUAN
Pengelolaan data kependudukan di tanah air ini mungkin dapat diibaratkan
sebagai suatu ladang pemborosan. Sejak era Orde Baru dan setiap ganti pimpinan
yang berkuasa ganti pula kebijakan pengelolaan kependudukan, namun sampai saat ini
pula belum mendapatkan hasil yang optimal. Carut marut data penerima Bantuan
Langsung Tunai (BLT), penerima kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas),
penerima Beras Miskin (Raskin), perselisihan hasil Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) sampai dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilihan anggota legislatif
tahun 2009 adalah sebuah cerminan ketidakefektifan pengelolaan data kependudukan
di negeri ini.
Sejak kemerdekaan 63 tahun yang lalu, masalah data kependudukan masih
dirasakan tumpang tindih, tidak ada keterkaitan dalam administrasi antara keberadaan
penduduk dengan kebutuhan lain yang sebetulnya atas dasar kependudukan itu sendiri
(Indrajit, 2002). Data yang paling mutakhir sebenarnya berada pada kegiatan
pencatatan sipil, namun demikian belum ada yang secara otomatis dapat mengalir
datanya ke dalam pendaftaran penduduk. Masing-masing masih mementingkan
kepentingan sektoralnya dari pada lebih memperhatikan kepentingan bersama secara
koordinatif. Misalnya data pencatatan perkawinan bagi yang beragama Islam, berhenti
di Kantor Urusan Agama (KUA) hanya sebagai laporan data ke departemen agama.
Sedangkan kantor pencatatan sipil di wilayah yang sama tidak memiliki akses dan
tidak memperoleh data sama sekali dari KUA, sehingga fungsi kantor pencatatan sipil
seolah-olah hanya berlaku bagi yang bukan beragama Islam. Demikian pula masalah
perceraian yang diputus baik oleh pengadilan agama (bagi yang beragama Islam)
maupun pengadilan negeri bagi yang beragama selain Islam). Data dari ke dua
lembaga tersebut tidak ditransfer secara otomatis kepada kantor pencatatan sipil. Oleh
karenanya wajar jika data dari dinas kependudukan dan pencatatan sipil dengan Biro
Pusat Statistik (BPS) atau lembaga lain yang relevan tidak sama.
231
Uraian di atas merupakan gambaran ketidakjelasan mekanisme pengelolaan
data kependudukan. Terakhir pemerintah mengarahkan pengelolaan data
kependudukan ini melalui Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan dan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam
Peraturan Pemerintah tersebut ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan pengelolaan
data kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam
penerbitan dokumen dan data kependudukan melalui pendaftaran penduduk,
pencatatan sipil, pengelolaan informasi administrasi kependudukan serta
pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain. Untuk
itu, maka pemerintah kabupaten/kota berwewenang melaksanakan koordinasi,
membentuk instansi pelaksana, pengaturan teknis, pembinaan dan sosialisasi,
memberikan pelayanan, penugasan kepada desa atas dasar asas tugas pembantuan,
pengelolaan dan penyajian data berskala kabupaten/kota serta pengawasan.
Seiring dengan era otonomi daerah dan berangkat dari permasalahan tersebut
di atas, maka menarik dilakukan penelitian tentang pengelolaan data kependudukan di
tingkat lokal. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Banyumas, berawal dari
ketertarikan peneliti terhadap ketidakvalidan (masalah validitas) dan
ketidakkonsistenan (masalah reliabilitas) data kependudukan di Kabupaten Banyumas.
Pada tahun 2007 implementasi program Jamkesmas mengalami hambatan akibat dari
data penduduk miskin (sebagai target group) tidak konsisten antara data yang dimiliki
oleh PT Askes Regional VI Jawa Tengah dengan data yang dimiliki oleh BPS dan
Badan Kependudukan, Catatan Sipil dan Keluarga Berencana (BKCKB). Versi PT
Askes jumlah penduduk miskin Kabupaten Banyumas sebanyak 400.000 jiwa, versi
BKCKB sebanyak 372.000 jiwa dan versi BPS 523.000 jiwa. Ketidakvalidan dan
ketidakkonsistenan data tersebut kemudian berdampak buruk terhadap efektivitas
perencanaan, implementasi dan evaluasi program Jamkesmas di Kabupaten
Banyumas. Hal ini dibenarkan oleh Bupati Banyumas (Suara Merdeka, 6 April 2007)
data masyarakat miskin berbeda-beda karena pendataan yang dilakukan beberapa
lembaga kriterianya tidak sama, bahkan jumlahnya kadang tergantung pada
kepentingan, misalnya untuk apa data itu dikumpulkan.
Kejadian ditemukannya seorang teroris di salah satu wilayah kecamatan di
Kabupaten Banyumas juga menunjukkan kesemrawutan pengelolaan data
kependudukan di Kabupaten Banyumas. Yang termudah saja, seorang teroris bisa
masuk ke wilayah Banyumas karena begitu mudahnya mengakses nomor induk
kependudukan di wilayah tersebut. Jadi sangat mungkin disitu terjadi identitas ganda.
Selain itu, hasil penelitian terdahulu yang relevan yakni tentang pendaftaran
penduduk melalui pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP), meskipun Kabupaten
Banyumas telah menerapkan electronic-government dalam pelayanan KTP, namun
belum banyak memberikan perbaikan. Pelayanan KTP on-line misalnya. Program ini
dimaksudkan untuk mewujudkan pelayanan riel time, namun praktiknya justru
memakan waktu yang lebih lama, ada yang sampai 3 (tiga) bulan. Sementara itu waktu
yang dijanjikan paling lama 3 (tiga) hari sebagaimana ditetapkan dalam Perda
Kabupaten Banyumas No. 9 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Penyelenggaraan
Pendaftaran Penduduk. Selain itu, juga permasalahan persyaratan pelayanan yang
menjadi lebih rumit, biaya yang tidak pasti serta prosedur yang tidak jelas
(Wahyuningrat, 2007).
Uraian di atas adalah sebuah fenomena yang menunjukkan permasalahan
efektivitas pengelolaan data kependudukan di Kabupaten Banyumas. Disinilah
urgensitas penelitian ini dilakukan, karena permasalahan data kependudukan tersebut
232
berdampak pada semua program pembangunan yang membutuhkan data
kependudukan di Kabupaten Banyumas.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan
penelitiannya adalah:
1. Bagaimana optimalisasi pengelolaan data kependudukan di Kabupaten
Banyumas ?
2. Bagaimana kepatuhan pengelolaan data kependudukan di Kabupaten
Banyumas terhadap peraturan perundangan yang relevan ?
3. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat dan pendukung bagi
Pemerintah Kabupaten Banyumas dalam optimalisasi pengelolaan data
kependudukan ?
Sesuai dengan permasalahan penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan optimalisasi pengelolaan data kependudukan di Kabupaten
Banyumas
2. Mendeskripsikan kepatuhan pengelolaan data kependudukan di Kabupaten
Banyumas terhadap peraturan perundangan yang relevan
3. Mengidentifiksi dan mendeskripsikan faktor-faktor penghambat dan
pendukung yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Banyumas dalam
optimalisasi pengelolaan data kependudukan
METODE PENELITIAN
Sebagaimana dijelaskan di latar belakang masalah, penelitian ini dilakukan
di Kabupaten Banyumas. Situs penelitiannya adalah pihak-pihak yang terkait dengan
pengelolaan data kependudukan, yakni lembaga legislatif, eksekutif terutama
BKCKB, unsur-unsur masyarakat dan stakeholders yang berkepentingan dan menaruh
perhatian terhadap pengelolaan data kependudukan di Kabupaten Banyumas. Sesuai
dengan permasalahan penelitian yang lebih bersifat sebagai proses, maka pendekatan
penelitiannya adalah kualitatif yakni berupaya mengembangkan konsep dan
menghimpun fakta tetapi tidak melakukan pengujian hipotesis, melainkan akan
menghasilkan data deskriptif yang holistic. Fokus penelitian menyesuaikan dengan
permasalahan penelitian yakni optimalisasi pengelolaan data kependudukan,
kepatuhan pengelolaan data kependudukan terhadap peraturan perundangan yang
relevan, dan faktor-faktor penghambat maupun pendukungnya. Data dikumpulkan
melalui in-depth interview, focussed group discussion, observasi dan dokumentasi,
kemudian dianalisis dengan metode sebagaimana dikemukakan oleh Strauss dan
Corbin (1990) yakni open coding, axial coding, dan selective coding. Selanjutnya
keabsahan data ditetapkan dengan teknik pemeriksaan (Moleong, 1990).
233
penataan penyelenggaraan dan penertiban dokumen kependudukan secara terpadu,
terarah dan terkoordinasi serta berkesinambungan. Satu perubahan besar yang
dimunculkan dalam Permendagri ini adalah diberlakukannya Nomor Induk
Kependudukan (NIK) yang berlaku seumur hidup, terdiri 16 digit didasarkan pada
variabel kode wilayah, tanggal lahir dan nomor seri penduduk, diberikan oleh
pemerintah setelah biodata penduduk direkam dalam bank data kependudukan
nasional dengan menggunakan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK).
Berbagai peristiwa kependudukan yang diatur dalam Permendagri ini adalah pindah
datang penduduk Warga Negara Indonesia (WNI) dan orang asing dalam wilayah
Negara Indonesia, tinggal sementara, perpindahan penduduk antar negara, kelahiran,
kematian, perkawinan, pembatalan perkawinan, perceraian, pengangkatan anak,
pengakuan anak, pengesahan anak, perubahan nama, dan perubahan kewarganegaraan.
Dengan mengacu Permendagri tersebut, Pemerintah Kabupaten Banyumas
menetapkan beberapa peraturan perundangan antara lain Perda Kabupaten Banyumas
No. 9 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk, Perda
Kabupaten Banyumas No. 10 Tahun 2005 tentang Retribusi Penggantian Biaya Cetak
Pendaftaran Penduduk, Peraturan Bupati Banyumas No. 5 Tahun 2005 tentang
Prosedur dan Tata Cara Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk, dan Surat Edaran
Bupati Banyumas tanggal 24 Pebruari 2006 No. 474/1127 perihal Proses Pembuatan
KTP atau Kartu Keluarga (KK) di BKCKB. Beberapa peraturan perundangan yang
dihasilkan oleh Pemerintah Kabupaten Banyumas tersebut ditetapkan satu bulan
setelah Permendagri No. 28 Tahun 2005 ditetapkan. Dengan demikian sangat terkesan
beberapa peraturan perundangan di Kabupaten Banyumas tersebut tampak kurang
matang, sehingga implementasinya mengalami banyak permasalahan.
Dengan political will yang dituangkan dalam beberapa peraturan tersebut,
Pemerintah Kabupaten Banyumas menyelenggarakan pendaftaran penduduk dengan
sistem SIAK baik yang on-line maupun SIAK off-line (semi elektronik). Dan saat itu
pula Pemerintah Kabupaten Banyumas memberanikan diri menggunakan NIK. Namun
karena keterbatasan berbagai sumberdaya, sistem on-line (langsung secara on-line
terhubung dengan server di Depdagri guna mengakses NIK), baru diujicobakan di 2
(dua) kecamatan yakni Kecamatan Purwokerto Timur dan Kecamatan Purwokerto
Utara. Sedangkan 25 kecamatan lainnya masih off-line tetapi juga sudah menggunakan
NIK 16 digit. Bagi penduduk yang berada di dua kecamatan yang sudah on-line,
pengurusan KTP langsung dilaksanakan ke BKCKB, sedangkan yang off-line
pengurusannya juga ke BKCKB tetapi bagi masyarakat cukup sampai ke kecamatan
masing-masing. Dari kecamatan itu kemudian berkas dilanjutkan oleh para petugas
Unit Pelaksana Teknis yang berada di kecamatan ke BKCKB.
Perubahan menuju SIAK tersebut ternyata implementasinya banyak sekali
kendala sehingga belum optimal. Seperti pengurusan KTP on-line yang semestinya
lebih cepat penyelesaiannya (riel time), tetapi justru sebaliknya hingga ada yang 3
(tiga) bulan baru selesai. Sementara itu waktu yang dijanjikan dalam Perda No. 9
Tahun 2005 adalah 3 (tiga) hari kerja kecuali KTP massal. Masyarakat mengalami
kebingungan yang luar biasa ketika harus mengisi beberapa form sebagaimana
diamanatkan dalam Permendagri. Selain jumlahnya yang cukup banyak, form ini juga
sulit pengisiannya dan sama sekali berbeda dengan form yang sebelumnya ketika
SIAK belum diterapkan. Akibatnya, banyak sekali masyarakat yang menyerahkan
pengisiannya kepada orang lain yang dianggap lebih mampu. Dampaknya selain biaya
semakin mahal karena harus membayar orang yang diminta mengisikan form, juga
sering terjadi kesalahan data. Dari sisi biaya, masyarakat menghitung dan menyatakan
bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk mengurus KTP jauh lebih mahal dengan
234
biaya yang ditetapkan dalam Perda No. 10 Tahun 2005 yakni KTP SIAK on-line
sebesar Rp 7.500 dan KTP SIAK off-line sebesar Rp 5.000. Masyarakat
menghitungnya tidak hanya dari biaya yang dipungut oleh BKCKB, melainkan
termasuk biaya yang untuk membayar calo maupun petugas UPT yang harus
mengantar berkasnya ke BKCKB, sehingga ada masyarakat yang harus mengeluarkan
Rp 125.000 untuk membayar sebuah KTP.
Kondisi sebagaimana digambarkan di atas merupakan cerminan
ketidakmatangan perencanaan pengelolaan penyelenggaraan pendaftaran penduduk di
Kabupaten Banyumas. Pemerintah Kabupaten Banyumas tidak berfikir jika sistem dan
prosedur yang dipaksakan menyesuaikan dengan Permendagri No. 28 Tahun 2005
ternyata sangat rumit pelaksanaannya. Lembaga terlihat belum siap, baik dari aspek
sarana prasarana, finansial maupun sumber daya manusianya. Implementasi beberapa
peraturan perundangan tersebut juga tidak didahului dengan sosialisasi, sehingga
pengetahuan masyarakat terhadap perubahan sistem pendaftaran penduduk sangat
terbatas.
Meskipun ujicoba SIAK on-line belum menunjukkan hasil yang optimal,
tetapi sejak pertengahan tahun 2008 Pemerintah Kabupaten Banyumas justru
memperluas cakupan SIAK on-line. Perluasan itu diperlakukan kepada 10 kecamatan
lain yang secara geografis jauh dari pusat kota kabupaten dan relatif sulit dijangkau.
Sepuluh kecamatan yang dimaksud adalah Kecamatan Lumbir, Gumelar, Ajibarang,
Kedungbanteng, Kemranjen, Purwojati, Pekuncen, Somagede, Sumpiuh dan Tambak.
Konsep ini memang dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat,
sehingga diharapkan pelayanan menjadi lebih dekat, cepat dan murah.
SIAK on-line tetap belum mampu mencapai tujuan sebagaimana di atas
karena masih banyak terkendala teknis. Di Kecamatan Lumbir misalnya, pelayanan
KTP/KK sering sekali tutup lebih awal karena koneksi on-line dari server Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil (DKPS) tidak berfungsi. Akibatnya terjadi
penumpukan pemohon KTP/KK, yang tentunya menyebabkan cita-cita pelayanan
menjadi cepat, tidak pernah tercapai. Bahkan karena beberapa lama fungsi on-line
tetap tidak jalan akhirnya berkas kembali dikirim secara manual ke DKPS.
Permasalahan yang hampir sama juga terjadi di Kecamatan Ajibarang. Kecamatan ini
merasakan kekurangan personil pelayanan KTP/KK, petugas yang dimiliki hanya 3
(tiga) orang, sementara itu idealnya adalah 4 (empat) orang, sehingga ketika terjadi
penumpukan pemohon KTP/KK kecamatan ini merasa kewalahan. Selain itu
kecamatan ini juga mengalami kesulitan untuk mewujudkan pelayanan yang murah.
Hal ini disebabkan karena saat ini berkas pembuatan akta kelahiran tidak lagi berada
di kecamatan, melainkan sudah ditarik ke DKPS. Sementara itu cukup banyak berkas
untuk pembuatan akta dari pemohon belum lengkap, akibatnya biaya operasional yang
dikeluarkan menjadi semakin besar.
Berbeda yang terjadi di wilayah Banyumas Selatan yakni Kecamatan
Tambak, Sumpiuh dan Kemranjen. Setelah pelayanan KTP SIAK on-line diresmikan,
pemohon KTP baru maupun yang akan memperpanjang KTP dan KK terus
mengalami peningkatan setiap harinya. Di Kecamatan Sumpiuh misalnya, sebelum
on-line pemohon hanya berkisar 2 (dua) sampai 5 (lima) orang per hari, tetapi setelah
on-line meningkat menjadi 5 (lima) sampai 15 orang per hari. Sedangkan di
Kecamatan Tambak rata-rata sampai 10 orang per hari dan di Kecamatan Kemranjen
rata-rata 16 orang per hari.
Untuk optimalisasi pendaftaran penduduk ini, Pemerintah Kabupaten
Banyumas terus melakukan sosialisasi. Terakhir untuk memperpendek ranting
sosialisasi, Pemerintah Kabupaten Banyumas melaksanakan sosialisasi dengan mobil
235
keliling (mobiling). Dengan model mobiling diharapkan informasi langsung
menyentuh kepada masyarakat. Mereka sangat menyadari bahwa sosialisasi yang
dilakukan belum maksimal, karena SIAK on-line di Kabupaten Banyumas sifatnya
mendadak, sehingga belum ada sosialisasi secara khusus.
Pasca diimplementasikannya UU No. 23 Tahun 2006 dan PP No. 37 Tahun
2007, Pemerintah Kabupaten Banyumas terus berupaya mengoptimalkan pengelolaan
data kependudukan, apalagi menjelang Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Salah
satu wujud nyata upaya tersebut adalah dibentuknya instansi pelaksana administrasi
kependudukan yakni DKPS. Setelah lembaga ini terbentuk segera menjalankan
beberapa fungsinya sebagaimana yang dapat dilihat pada rencana kerja yakni: (1)
melaksanakan koordinasi penyelenggaraan administrasi kependudukan dengan
instansi terkait; (2) melaksanakan koordinasi pengawasan penyelenggaraan
administrasi kependudukan; (3) menyajikan data kependudukan berskala Kabupaten
Banyumas; (4) melaksanakan sosialisasi; dan (5) memberikan pelayanan administrasi
kependudukan
236
Pemerintah Kabupaten Banyumas sampai saat ini masih menggunakan Perda
dan Peraturan Bupati yang masing-masing diterbitkan pada tahun 2005 yang
masih mendasarkan pada Permendagri No. 28 Tahun 2005 belum pada UU No.
23 tahun 2006 dan PP No. 37 Tahun 2007.
2. Kelembagaan. Kelembagaan di Kabupaten/Kota yang menangani
Kependudukan dan Pencatatan Sipil agar disesuaikan menjadi Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Dengan mendasarkan UU No. 23 Tahun
2006 dan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan antara
Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan PP No.
41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, sejak pertengahan tahun
2008 Kabupaten Banyumas membentuk Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil.
3. Sumber Daya Aparatur. Dalam memenuhi standar kualifikasi aparat pelaksana
administrasi kependudukn kabupaten/kota, perlu penyediaan dan peningkatan
kapasitas aparat melalui pemenuhan persyaratan akademis maupun diklat yang
terstruktur. Salah satu spesifikasi aparatur yang dibutuhkan dalam
penyelenggaraan administrasi kependudukan adalah tersedianya pranata
komputer yang memadai. Kabupaten Banyumas belum memiliki spesifikasi
aparatur sebagaimana yang dimaksudkan. Namun program pelatihan terutama
tentang electronic literacy sudah dilakukan secara rutin.
4. Penerapan SIAK. Bagi kabupaten/kota yang belum menerapkan SIAK agar
segera menerapkan SIAK sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 23 Tahun
2006. Kabupaten Banyumas bahkan sejak diimplementasikannya Permendagri
No. 28 Tahun 2005 telah menyelenggarakan SIAK. Sampai saat ini SIAK yang
on-line telah mencakup 12 kecamatan.
5. Koordinasi dengan instansi terkait. Pemerintah Kabupaten/kota harus
melakukan koordinasi dengan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota
dan Pengadilan Agama berkaitan dengan pencatatan nikah, talak, cerai, dan
rujuk bagi penduduk yang beragama Islam yang dilakukan oleh Kantor Urusan
Agama Kecamatan. Pemerintah Kabupaten Banyumas pada prinsipnya telah
melakukan koordinasi tersebut, namun demikian belum terlihat ada mekanisme
yang pasti dan jelas. Sebenarnya apabila dilihat dari aspek kepentingan, yang
lebih membutuhkan adalah pihak Pemerintah Kabupaten Banyumas, sehingga
seharusnya Pemerintah Kabupaten Banyumas membuat mekanisme tersebut.
Selama ini hanya meminta data yang relevan dengan pencatatan sipil yang
dilakukan baik di pengadilan agama maupun di Kantor Urusan Agama, itupun
hanya bersifat insidentil ketika Pemerintah Banyumas merasa membutuhkan.
Dengan demikian DKPS yang diharapkan mampu menyajikan data yang
mutakhir belum terwujud.
237
jumlah dan kualitas komputer dan peralatan elektronik pendukung lainnya, termasuk
soft ware untuk on-line sangat mengganggu kelancaran pengelolaan data terutama
yang berasal dari pendaftaran penduduk; (3) teknologi informasi dan komunikasi. Hal
ini terutama dirasakan oleh kecamatan-kecamatan yang telah menerapkan SIAK on-
line. Sambungan on-line antara kecamatan dengan DKPS sering tidak connect,
akibatnya baik pelayanan maupun pengelolaannya menjadi tertunda; (4) sosialisasi.
Sosialisasi yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Banyumas sangat kurang, sehingga
pengetahuan dan kesiapan masyarakat menghadapi era on-line masih sangat kurang;
(5) struktural. Koordinasi DKPS dengan Kantor Departemen Agama dan Kantor
Urusan Agama sering terkendala struktural antara instansi vertikal dengan SKPD
pemerintah kabupaten
b. Faktor-Faktor Pendukung
Faktor Pendukung yang ditemukan antara lain: (1) political will. Pemerintah
Banyumas meskipun dengan segala keterbatasan tetapi memiliki komitmen yang
tinggi untuk meningkatkan pengelolaan data kependudukan; (2) perkembangan pola
bisnis. Banyak sekali pola bisnis yang menuntut masyarakat untuk menyertakan
dokumen kependudukannya, sehingga hal ini mendorong masyarakat untuk
mendaftarkan dirinya; (3) semangat kerja aparatur. Meskipun dengan segala
keterbatasan peralatan maupun insentif yang diperolehnya, aparatur baik yang berada
di dinas maupun di UPTD memiliki semangat kerja yang tinggi
b. Rekomendasi
Agar optimalisasi pengelolaan data kependudukan segera memberikan
hasil, maka Pemerintah Kabupaten Banyumas hendaknya segera menyesuaikan Perda
ataupun Peraturan Bupati dengan peraturan perundangan di atasnya, meningkatkan
kualitas spesifikasi sumber daya aparatur, memperbaiki mekanisme koordinasi dengan
instansi vertikal maupun SKPD terkait, meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana,
meningkatkan kualitas sarana on-line dan meningkatkan sosialisasi kepada
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Indrajit, Richardus Eko, 2002, Electronic-Government Strategi Pembangunan dan
Pengembangan Sistem Pelayanan Publik Berbasis Teknologi Digital, Andi,
Yogyakarta
238
Moleong, Lexy J., 1990, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT, Remaja Rosdakarya,
Bandung
Perda Kabupaten Banyumas No. 10 Tahun 2005 tentang Retribusi Penggantian Biaya
Cetak Pendaftaran Penduduk
Strauss, Anseln I, and Yuliet Corbin, 1990, Basic of Qualitative Research, Sage
Publication, London
239
PELUANG DAN TANTANGAN
ELECTRONIC GOVERNMENT PROCUREMENT DI
INDONESIA
(Studi Kasus 55 Instansi Pemerintah)
Oleh: Rino A Nugroho, S.Sos, M.T.I
Abstrak
Electronic Government Procurement (e-GP) adalah salah satu subsistem electronic
Government (e-Gov) yang digunakan untuk mengadakan barang/jasa. E-GP sudah
diterapkan di beberapa negara di dunia untuk meningkatkan efisiensi dalam
pengadaan barang/jasa. Makalah ini disusun untuk memberikan gambaran tentang
peluang dan tantangan implementasi e-GP di Indonesia. Untuk memberikan gambaran
tersebut, penulis melakukan pengamatan terhadap 55 instansi yang ada di Indonesia.
Hasilnya 53 % instansi sudah menerapkan e-GP sedangkan sisanya 47 % belum
menerapkan. Instansi yang belum menerapkan tersebar di beberapa wilayah di
Indonesia mulai dari pemerintah provinsi sampai dengan pemerintah kabupaten/kota.
Kata Kunci: Implementasi, Electronic Government Procurement, Indonesia
A. Pendahuluan
Electronic government procurement (e-GP) atau disebut juga dengan Electronic Public
Procurement (e-PP), adalah penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
dalam pengadaan barang dan jasa di organisasi public. Definisi yang paling lengkap
tentang istilah ini dikeluarkan oleh World Bank (2003), sebagai berikut: “is the use of
Information & Communications Technology (especially the Internet) by
governments in conducting their procurement relationships with suppliers for the
acquisition of goods, works, and consultancy services required by the public sector ”.
Tidak cukup sampai di situ, World Bank juga memberikan pantahapan dari
implementasi e-GP. Tahap pertama adalah definisi yang sudah dituliskan tadi,
sedangkan tahap kedua dan ketiga e-GP terdiri dari e-Tendering dan e-Purchasing.
Untuk makalah kali ini penulis menggunakan istilah tahap pertama dari e-GP yang
sudah diutarakan di atas.
Sejak era 2000-an E-GP mulai banyak diimplementasikan. Australia mempunyai satu
lembaga yang mengurusi Teknologi Informasi (TI), yang diberi nama AGIMO, di
dalamnya juga tersedia informasi tentang pelelangan barang/jasa organisasi
pemerintah di seluruh wilayah negara tersebut (AGIMO, 2006). Serupa dengan
Australia negara-negara Uni Eropa juga mengembangkan satu sistem pengadaan
barang/jasa elektronis, yang diberi nama SIMAP. Tak ketinggalan juga negara jiran
Malaysia yang sudah menerapkan e-Perolehan sejak 1999 (Kaliannan & Awang,
2008). Di Indonesia keberadaan e-GP gencar dibicarakan pada tahun 2006 sesuai
dengan Perpres No 8 Tahun 2006 yang merupakan perubahan keempat dari Keppres
No 80 Tahun 2003, dalam penjelasan pasal 1 angka 2 perpres ini dinyatakan dengan
jelas bahwa pengadaan nasional harus diumumkan melalui website yang beralamat di
www.pengadaannasional-bappenas.go.id. Lebih jauh pada tahun 2007 dibentuk
lembaga khusus pengadaan barang/jasa yang diberi nama Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Salah satu tugas pokoknya adalah
pembinaan dan pengembangan sistem electronic procurement (www.LKPP.go.id).
240
B. Peran e-GP
241
Tahun Target
2005 Aplikasi e-GP yang diberi nama SEPP (Sistem E-Procurement
Pemerintah) selesai dibangun
2006 20 instansi sudah menerapkan e-GP secara bertahap
2007 40% instansi di pusat dan 10% di daerah sudah menerapkan e-GP
2008 50% instansi di pusat dan 15% di daerah sudah menerapkan e-GP
2009 60% instansi di pusat dan 20% di daerah sudah menerapkan e-GP
Tabel 1 Rencana Strategis e-GP Depkominfo (diolah dari www.ebizzasia.com)
Berdasarkan pengamatan peneliti dapat dinyatakan bahwa, ada 2 jenis sistem e-GP
yang diimplementasikan di seluruh instansi, yaitu e-Announcement dan e-
Procurement. Sistem pertama mengacu pada penggunaan website instansi hanya
sebatas pada pengumuman pengadaan barang/jasa saja. Sistem ini juga sudah
dikembangkan oleh Depkominfo dengan nama SEPP. Selanjutnya Sistem kedua
mengacu pada penggunaan website instansi tidak sebatas pada pengumuman saja,
tetapi juga proses perkembangan dari pengadaan barang/jasa. Selain instansi yang
sudah mengimplementasikan e-GP berupa dua sistem tadi, masih ada juga instansi
yang tidak menerapkan e-GP sama seksali
242
Instansi yang menerapkan e-Announcement, e-Procurement maupun yang tidak ada e-
GP, tersebar mulai dari pusat sampai dengan kabupaten/kota. Persebaran di ketiga
instansi tersebut, ditabelkan dalam tabel 2 berikut ini:
Pusat Provinsi Kabupaten/Kota Total
e- 7 4 9 20
Announcement
e-Procurement 4 2 4 10
Tidak Ada 0 4 21 25
Tabel 2. Perbandingan penggunana e-GP di 55 Instansi di Indonesia
Jika sistem dan infrastruktur sudah tersedia, maka penulis menduga ketiadaan sistem
e-GP tersebut berkaitan dengan faktor Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di
lingkungan instansi pemerintah. Ini tampak dari meratanya instansi yang tidak
menerapkan e-GP termasuk di wilayah yang infrastruktur telekomunikasinya sudah
lengkap, seperti halnya di Pulau Jawa.
Dugaan penulis didukung oleh temuan tambahan yang menunjukkan bahwa sebagian
besar instansi yang diteliti tidak merespons keluhan publik. Hasil ini didapat penulis
dengan melakukan uji sederhana terhadap 55 instansi tersebut. Penulis mengirimkan
email ke 55 instansi yang menjadi sampel dan hasilnya hanya 12 instansi (22%) yang
membalas email dalam jangka waktu kurang dari 7 hari, sedangkan sisanya 38 instansi
(69 %) tidak membalas sama sekali. Website instansi yang sudah menyediakan jalur
komunikasi tetapi tidak dapat berkomunikasi dengan baik menunjukkan adanya
kendala SDM dalam implementasi e-Gov di instansi terkait.
243
Electronic Government Procurement (e-GP) adalah salah satu subsistem electronic
Government yang digunakan untuk mengadakan barang/jasa. Beberapa negara di
dunia sudah menerapkan sistem ini untuk menciptakan transparansi dan efisiensi
dalam pengadaan barang/jasa. Di Indonesia e-GP mulai diterapkan secara nasional
sejak tahun 2006. Tiga tahun sejak implementasi e-GP secara nasional, ternyata masih
ditemui kendala. Kendala itu berupa kendala SDM. Untuk memperkuat dugaan
penulis masih perlu diadakan penelitian lanjutan yang mengikusertakan instansi yang
lebih banyak, dan menjawab secara rinci kendala SDM yang dihadapi.
E. Daftar Pustaka
244
MENGGAGAS INOVASI TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH
DI ERA DESENTRALISASI:
PENGALAMAN PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT 54
Oleh:
Ida Widianingsih 55
Abstrak
A. Pendahuluan
245
Desentralisasi di Indonesia, pada dasarnya bukan konsep baru dalam tata
kelola pemerintahan. Namun, walaupun proses desentralisasi di Indonesia telah
dilaksanakan sejak masa pemerintahan colonial Belanda, upaya tersebut belum
memberikan hasil yang memuaskan (Widianingsih 2005; Lerche 2005). Beberapa ahli
mengemukakan bahwa pendekatan ‘big bang’ dalam desentralisasi di Indonesia
memberikan kontribusi atas munculnya berbagai persoalan dalam tata kelola
pemerintah daerah dewasa ini (Larche 2005) 56.
Terlepas dari berbagai masalah yang muncul, setelah sepuluh tahun
pelaksanaan format baru desentralisasi di Indonesia beberapa daerah mampu
memanfaatkan ‘ruang gerak’ dalam melakukan berbagai inovasi dalam tata kelola
pemerintahan di daerahnya (Widianingsih 2005;McCarty 2004; Sjaifudian 2003). Hal
ini terbukti dengan adanya beberapa Best Practices tata kelola pemerintah muncul di
berapa daerah, seperti Provinsi Gorontalo, Kabupaten Jembrana, Kota Solo,
Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Takalar, Kota Mataram, dan
sebagainya (DSF 2009;Jawa Post 2009;GTZ GLG 2008;USAID 2008).
Dalam konteks pelaksanaan program desentralisasi di Indonesia, peran
lembaga-lembaga donor cukup siginifikan. Sjaifudian berpendapat, sampai tahun
2003, setidaknya terdapat 11 lembaga donor yang berperan dalam mendorong proses
inovasi, partisipasi dan pelaksanaan Good Governance di tingkat local 57 (2003, 54).
Bahkan Center for Local Government Innovation (CLGI) mencatat adanya 23
lembaga donor yang melakukan asistensi teknis dalam pelaksanaan desentralisasi di
seluruh Indonesia (2005, 2). Walaupun belum ada penelitian independen sejauh mana
efektivitas program bantuan donor tersebut, sampai saat ini program-program bantuan
donor dalam mendukung desentralisasi Indonesia tetap dilaksanakan pada berbagai
level pemerintahan (DSF 2006; DSF 2007; Hasil penelitian lapangan 2009).
Paper ini menyajikan temuan awal hasil penelitian terkait program
desentralisasi yang dibiayai donor di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Khususnya
program Good Local Governance GLG) yang dilaksanakan Deutsche Gessellsaft fur
Technische Zusammenarbeit (GTZ). Program ini telah dilaksanakan sejak tahun 2006
dan sedianya akan dilaksanakan sampai 2016 58. Dibandingkan program lain di bidang
yang sama, program ini memiliki jangka waktu pelaksanaan yang paling lama yaitu 10
tahun 59 (DSF 2009). Fokus program asistensi teknis dalam GTZ GLG ini adalah
upaya peningkatan kapasitas pemerintah daerah melalui 3 komponen utama program,
yaitu: perencanaan dan penganggaran (planning and budgeting), penyediaan
pelayanan public (provision of public services) dan managemen resiko bencana
(Disaster Risk Management) 60.
56
GTZ melihat pendekatan ‘big bang’ sebagai proses perubahan yang fundamental dari pemerintah yang sangat
tersentralistis menjadi pemerintahan yang memiliki otonomi politik dan ekonomi. Pada satu sisi pendekatan ini
mampu ‘memaksa’ pemerintah pusat untuk mendelegasikan berapa kewenangannya pada daerah dan meningkatan
kewenangan pemerintah daerah untuk mengontrol sumberdaya local dan bertanggungjawab dalam
menyelenggarakan pelayanan public (GTZ GLG 2009, 1).
Kerangka hokum desentralisasi pada Era Orde Baru diatur dalam UU No. 5/74, setelah reformasi pemerintah
mengeluarkan UU No, 22/1999. Dalam perjalanannya, kontroversi pelaksanaan otonomi daerah melahirkan
peraturan baru, yaitu UU 32/2004.
57
Diantaranya adalah United Nations, International/City Council Association, World Bank, ADB, UNDP, USAID, GTZ,
CIDA, JICA, DFID, British Council, Ford Foundation, Tifa Foundation. Selain itu terdapat pula keterlibatan LSM
internasional seperti: NDI, PACT, Care dan the Asia Foundation.
58
GTZ adalah salah satu lembaga donor dari Pemerintah Jerman yang telah aktif memberikan asistensi teknis pada
pemerintah Indonesia, khususnya Depdagri sejak tahun 1970an. Kerjasama GTZ dengan Pemerintah NTB pada
tahun 1992-2005 melalui pelaksanan Support for Decentralization Measures (SFDM) di Kabupaten Bima dan
Dompu.
59
Dari 32 program yang sedang berjalan saat ini, rata-rata dilaksnakan dalam waktu 2-5 tahun. Hanya 3 program
yang memiliki jangka waktu panjang, yaitu ASSD (GTZ), GLG (GTZ), dan access (AusAID).
60
Program ini merupakan pelengkap dari program Advisory Services Support for Decentralization (ASSD) yang
bergerak pada tataran kebijakan (governance policy framework). Mitra kerja GTZ di tingkat pusat adalah Departemen
246
Selama 3 tahun pelaksanaan program GTZ GLG (2006-2009) di NTB, telah
dilakukan beberapa kegiatan untuk mengembangkan instrumen tata kelola pemerintah
daerah, termasuk: Pro Poor Value Chain Analysis (PCA) 61, Local Economic
Governance Forum (LEG) 62 dan Good Governance Award (GGA) 63. Paper ini tidak
akan membahas semua kegiatan yang dilakukan GTZ GLG dalam mendukung
pelaksanaan desentralisasi di NTB, namun menyajikan salah satu kegiatan asistensi
teknis GTZ yang terkait dengan gagasan inovasi tata kelola pemerintah daerah NTB
dalam pelaksanaan Proses Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Provinsi tahun
2010.
Dalam Negeri, Direktorat Pembangunan Daerah dan Administrasi Pemerintahan Umum. GLG sendiri dilaksanakan di
4 Provinsi, yaitu Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
61
Merupakan sebuah pendekatan dalam pengembangan ekonomi local untuk mengidentifikasi dan memahami
hubungan antar actor mulai dari penyedia bahan baku sampai pada konsumen serta mendisain program untuk
menciptakan pertumbuhan ekonomi dan nilai tambah melalui peningkatan daya saing rantai nilai.
62
Secara teoretis forum ini ditujukan untuk mewadahi proses komunikasi antar stakeholder pembangunan di daerah.
Pada prakteknya, setidaknya ada model forum ekonomi local yang dikembangkan di NTB, yaitu: Forum berbasis
Pemerintah yang dilegitimasi oleh Kepala Daerah, Forum berbasis sector swasta, forum multistakeholder yang
dilegalisasi dengan SK walikota, Forum multistakeholder yang berbadan hukum serikat orang (Legalisasi akte
notaries) dan forum tematik spontan (Dendi, A, dkk 2007a, 42)
63
Kegiatan yang didisain untuk mendorong lahirnya gagasan dan inovasi pemerintah daerah dalam perencanaan,
penganggaran dan penyediaan pelayanan public di Provinsi NTB (Dendi A., dkk 2007b, 1).
64
UNDP melaksanakan kurang lebih 250 program pendukung desentralisasi & Good governance di Negara-negara
berkembang. Hal yang sama dilakukan AusAID dengan 60 bah program. Selain itu Kanada melaksanakan 3
program Good Governance di Philippine Local Governance Support Program), Brazil (Citien Advancement and
Participatory Budgeting) dan Albania (Urban and Social Development Innitiatives).
65
Bank Dunia menekankan pada pentingnya manajemen sector public, kerangka hokum pembangunan, dan
akuntabilitas sector public. Sementara itu UNDP menekankan pada tata kelola pemerintahan pada berbagai level.
Dilain pihak JICA memfokuskan diri pada perilaku dan fungsi pemerintah (Hideaki 2003, 6)
247
diantaranya menjadikan good governance sebagai prasyarat utama bagi Negara-
negara yang menerima bantuan (Takeshi 2005; Edi & Setianingtyas 2007) 66. Sebagian
besar lembaga donor mempercayai bahwa tanpa adanya strukur ‘Good Governance’,
Negara-negara berkembang tidak akan bisa melaksanakan roda pemerintahan secara
efektif dan efisien (Singh 2003, 2).
Dengan demikian, hal ini menunjukkan bahwa menguatnya penerapan konsep
good governance di berbagai belahan dunia ini tidak terlepas dari peran berbagai
lembaga bantuan donor (Kautza 2003; DSF 2006; Smoke, Gomez et.al 2-6, Duncan
2007). Prasodjo, dkk memiliki pendapat yang sama tentang peran lembaga donor
dalam tata kelola pemeritah daerah di Indonesia, menurut Praspdjo, dkk transformasi
system pemerintahan di Negara-negara berkembang diantaranya didorong oleh
adanya pengaruh dan tekanan internasional (2007, 1).
Hasil-hasil kajian terdahulu mengungkapkan bahwa perkembangan pemerintah
daerah di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh lembaga internasional yang
memainkan peran penting dalam mendorong terjadinya proses inovasi, partisipasi dan
pelaksanaan good governance (Silver 2003; Damayanti 204; DSF 2007; Edy &
Setyaningtias 2007). Namun demikian, penelitian-penelitian tersebut belum bisa
menyimpulkan bahwa bantuan luar negeri dalam mendukung proses desentralisasi
dalam mewujudkan good governance di tingkat local telah efektif dilaksanakan. Hal
ini terkait dengan banyak factor, diantaranya masalah koordinasi antar departemen,
ketidakjelasan mekanisme bantuan luar negeri yang dilaksanakan di daerah, lemahnya
manajemen pengelolaan bantuan, dsb. Berdasarkan hasil penelitian awal yang
dilakukan penulis, problematika asistensi teknis donor dalam mendukung
desentralisasi di Indonesia terjadi pada berbagai level pemerintahan, mulai dari pusat,
provinsi, kabupaten kota, bahkan pada level komunitas.
Pada tataran nasional, sebelum tahun 2007, jumlah data akurat mengenai
berapa banyak lembaga donor yang terlibat, dalam program desentralisasi di Indonesia
belum bisa diperoleh. Lembaga-lembaga atau individu yang terkait dengan isu ini
menyajikan data yang berbeda tentang program apa saja yang difasilitasi oleh berbagai
donor (DSF 2007; Edy & Setyaningtias 2007). Decentralization Support Facility
(DSF) melihat hal ini disebabkan oleh lemahnya koordinasi antar pelaku utama
program desentralisasi Indonesia dan lemahnya kerangka kebijakan desentralisasi di
tingkat pusat 67 (DSF 2006, 3). Kondisi tersebut mendorong Departemen Dalam
Negeri (Direktorat Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah) berinisiatif membuat
data base program-program bantuan donor di bidang desentralisasi (DSF 2007, 1). 68
Data ini diharapkan dapat memberikan informasi terbaru mengenai program
desentralisasi yang dibiayai donor, baik yang sedang maupun akan dilaksanakan
sebagai bahan pelaksanaan monitoring di daerah (DSF 2007, 2).
Berdasarkan pemetaan awal yang dilakukan oleh DSF pada tahun 2007,
aktivitas donor dalam mendukung desentralisasi di Indonesia terdiri dari 30 proyek
yang dibiaya oleh ADB, AUsAID, BMZ, CIDA, DFID, GTZ, UNDP, USAID dan
Bank Dunia. Proyek tersebut dilaksanakan di 26 dari 33 provinsi (81.8%) dan 310 dari
440 kabupaten dan kota (70%) di Indonesia 69. Proyek-proyek ini pada umumnya
66
Lembaga donor Bilateral seperti USAID, DFID dan SIDA mendukung pelaksanaan program good governance di
negara-negara berkembang.
67
Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan dan Bappenas.
68
Program desentralisasi dimaksud adalah program-program yang mendukung terjadinya proses transfer
kewenangan untuk merencanakan, membuat kebijakan atau mengelola fungsi-fungsi public dari pemerintah pusat
pada pemerintah daerah (DSF 2007, 1). Donor mapping database dilaksanakan oleh DSF office Jakarta.
69
Data ini diperoleh dari ‘Donor Mapping Database: Narrative Report’ (DSF 2007, 4), menariknya pada dokumen
yang sama data kabupaten dan kota yang terlibat aktivitas donor terdiri dari 308 wilayah (hal. 9). Peneliti masih perlu
melakkukan klarifikasi mengenai akurasi data yang tersedia.
248
meliputi tiga tema utama, yaitu pelayanan public, perencanaan dan penganggaran, dan
manajemen keuangan (DSF 2007, 3-4). Pada perkembangannya database tersebut
terus menerus disempurnakan.
Data terbaru (2009) dari donor mapping database menunjukkan bahwa tema-
tema bantuan donor yang terkait bidang desentralisasi meliputi spectrum yang cukup
luas. Saat ini, berdasarkan tema program tercatat setidaknya 20 jenis program yang
terdiri dari: kerangka hukum kebijakan, reformasi territorial, pembagian peran dan
fungsi pemerintah, peran Gubenur dan pemerintah provinsi, hubungan keuangan
antara pusat dan daerah, pedoman pengawasan oleh pemerintah pusat, struktur
organisasi daerah, administrasi kepegawaian, pelayanan public, perencanaan dan
penganggaran, manajemen keuangan, dukungan terhadap pemerintah daerah, kepala
daerah, partai politik, partisipasi masyarakat sipil, pemerintahan desa, Asosiasi
pemerintah daerah/legislative daerah, koordiansi donor dan kategori lainnya. Dari 20
jenis tema yang diusung lembaga donor tersebut, pelayanan public merupakan tema
yang paling banyak diminati donor (26 buah proyek terkait dengan tema ini), diikuti
oleh tema perencanaan dan penganggaran (17 buah proyek), manajemen keuangan (15
proyek). Informasi lengkap mengenai aktivitas donor di bidang desentralisasi dapat
dilihat pada table berikut ini:
249
NO Tema Program Proyek jm
Organizations / media / university KalTim/ProBANGKIT, DIALOG, DSF, GLG, GRADE, IASTP,
networks / other) LEAD, LGSP, SfGG, USDRP
18 Village Governance CB KalTim/ProBANGKIT, KDP3
19 Regional Government/DPRD ALGAP II, DIALOG, IASTP
Associations
20 Donor Coordination in decentralization Aceh Justice Project, ALGAP II, ANTARA, ASSD, BASICS, CB
KalTim/ProBANGKIT, DSF, DTF, GRS II, LGSP, SfGG, USDRP
21 Other ACCESS, ANTARA, BRiDGE, GFMRAP, GLG, GRS II, ILGR,
KDP3, LEAD, P3B, PGRI, SCBD, SPADA
Meskipun saat ini sudah ada upaya-upaya dari beberapa pihak untuk membuat
database tentang aktivitas donor di bidang desentralisasi dan pelaksanaan Good
Governance di Indonesia, data tersebut belum tentu merefleksikan gambaran
sebenarnya 70. Hal ini terjadi karena walaupun donor mapping database telah
dikembangkan sejak tahun 2007, sampai saat ini DSF sendiri mengakui bhwa data
yang ada masih perlu diverifikasi. Data ini juga dipastikan memiliki keterbatasan
karena baru bisa menyajikan beberapa proyek/program dari lembaga donor anggota
DSF saja. Di lapangan, peneliti menemukan ada beberapa proyek dari member DSF
yang belum dimasukkan ke dalam database, misalnya: Peach (AusAID) di Papua.
Disamping itu, peneliti menemukan adanya kelemahan system database donor
di daerah. Keberadaan DSF di Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang diwakili oleh
Decentralization Support Facility for Eastern Indonesia (Sofei) yang sedianya
difungsikan untuk melaksanakan koordinasi dan harmonisasi lembaga donor di KTI
belum mampu menjalankan fungsinya secara maksimal 71. Eksistensi Sofei sendiri
menjadi perdebatan pada level pusat, pertemuan Steering Committee DSF di Jakarta
memutuskan bahwa manajemen Sofei harus dilepaskan dari DSF 72.
Di lain pihak, pemerintah provinsi sendiri masih memiliki kesulitan untuk
memastikan berapa banyak program-program desentralisasi yang dibiayai donor di
wilayah kerjanya. Selama ini kegiatan-kegiatan lembaga donor di NTB dilakukan
secara parsial di beberapa SKPD baik di level provinsi maupun Kabupaten dan Kota.
Walaupun secara umum selama ini Bappeda Provinsi berfungsi mengkoordinasikan
kegiatan pembangunan, termasuk aktivitas lembaga donor di NTB, manajemen yang
diterapkan selama ini belum bisa membangun data base kegiatan-kegiatan donor di
wilayah kerjanya. Hal ini disebabkan oleh banyak factor, diantaranya: ada beberapa
70
DSF membuat Donor Mapping Database didasarkan pada program desentralisasi yang dilakukan oleh 9 lembaga
donor yang tergabung dalam DSF. Kegiatan lembaga-lembaga donor lainnya yang bukan member DSF tidak bisa
dipetakan keberadaannya. YPID juga melakukan upaya yang sama, data yang disajikan kedua lembaga ini berbeda.
71
Wawancara dengan beberapa officer Sofei di Makassar (17-24 Maret 2009) menunjukkan adanya peran Sofei
yang cukup signifikan di Sulawesi dan beberapa wilayah. Namun, berdasarkan wawancara dengan beberapa pelaku
pembangunan di Nusa Tenggara Barat (27 Maret-21April 2009) kurang bisa merasakan peran dan fungsi Sofei
dalam mendukung pelaksanaan program desentralisasi yang didukung lembaga donor di NTB. Secara manajemen
kelembagaan, jaringan Sofei di NTB diwakili oleh Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) Universitas Mataram.
Namun, kontak person yang ada di lembaga tersebut bukanlah lembaga yang memiliki jaringan dan kerja sama yang
kuat dengan pelaku pembangunan di NTB, sehingga fungsi koordinasi donor di NTB belum berjalan dengan baik
(Hasil observasi & wawancara Maret-April 2009).
72
Pertemuan ini dilaksanakan di Bappenas, 12 Maret 2009. Pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan-perwakilan dari
Pemerintah RI (Bappenas, Departemen Dalam Negeri dan Departemen Keuangan), lembaga-lembaga donor yang
tegabung dalam DSF, termasuk Bank Dunia, GTZ, CIDA, UNDP, dsb. Salah satu poin penting dari pertemuan ini
adalah rencana pelepasan manajemen Sofei dari DSF office Jakarta dalam kurun waktu 12 bulan, salah satu alasan
pemisahan manajemen ini adalah perbedaan visi, misi dan aktivitas DSF Jakarta dengan Sofei.
250
lembaga donor yang langsung berhubungan dengan pemerintah daerah dalam
melaksanakan programnya tanpa mengkomunikasikan terlebih dahulu dengan
Bappeda Provinsi. Disamping itu, kerjasama internasional di daerah diadministrasikan
oleh salah satu unit kerja yang tidak memiliki kewenangan koordinasi 73.
Kelemahan administrasi bantuan luar negeri ini disadari sepenuhnya oleh
pihak Pemda, sejak Bulan Oktober 2008 dibuat bidang kerjasama yang diantaranya
memiliki tugas untuk membuat data base kerjasama yang dilakukan provinsi dengan
berbagai pihak. Namun, keterbatasan sumber daya menyebabkan lembaga ini belum
berfungsi secara maksimal 74. Sulitnya memperoleh angka pasti tentang berapa banyak
program desentralisasi yang dibiayai donor di suatu wilayah dikonfirmasikan dengan
data dari Yayasan Inovasi Pemerintah Daerah (YPID), Provinsi Nusa Tenggara Barat
merupakan salah satu wilayah yang termasuk lima besar penerima bantuan luar negeri
untuk program desentralisasi dan Good Governance sebagaimana yang tergambar
dalam grafik berikut:
Gambar 1. Provinsi di Indonesia yang Memperoleh Bantuan Luar Negeri
Terbanyak
Menurut data DSF, saat ini ada 7 program desentralisasi yang dibiayai donor
di wilayah NTB 75. Data ini berbeda dengan informasi dari Bidang Kerjasama Luar
Negeri, Depdagri menyebutkan hanya ada 3 program desentralisasi yang didukung
lembaga donor di NTB 76. Peneliti sendiri mengidentifikasi lebih banyak program
bantuan donor di NTB. Dengan keterbatasan informasi tentang eksistensi program
donor di daerah, agaknya sulit untuk melihat sejauh mana bantuan lembaga donor di
suatu wilayah bisa efektif apalagi berkelanjutan. Beberapa informan penelitian sebagai
73
Wawancara dengan bagian kerjasama Provinsi NTB (21 April 2009)
74
Hasil wawancara dengan pejabat provinsi NTB, Senin 21 April 2009.
75
Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme (Phase II), Support for Poor and
Disadvantaged Areas Project, Sustainable Capacity Building for Decentralization, Indonesia Australia Specialised
Training Phase III, Kecamatan Development Project 3B, Good Local Governance, Support for Good Governance
(SfGG)
76
GTZ GLG, Access dan Antara (AusAID).
251
pelaku program di daerah bahkan menyebutkan kalau bantuan luar negeri di bidang
desentralisasi seperti ‘menaburkan garam di laut’ 77 karena masing-masing donor
memiliki cara masing-masing tanpa adanya koordinasi yang memadai.
Pernyataan ini masih perlu diklarifikasi kebenarannya, mengingat pada level
provinsi maupun kabupaten dan kota, lembaga-lembaga donor bekerja dengan
mekanisme yang berbeda. Ada lembaga donor yang bekerja di dalam system
pemerintahan seperti yang dilakukan GTZ GLG, ada juga yang masuk melalui SKPD
tertentu, bahkan melalui LSM local. Dalam upaya mendorong terjadinya praktek
Good Governance di tingkat local, fokus asistensi teknis sendiri sangat variatif,
beberapa donor memfokuskan donor pada upaya peningkatan kapasitas pemerintah
daerah, ada juga lembaga donor yang menekankan pada upaya penguatan peran civil
society.
Fenomena lemahnya database donor ini terjadi pula pada level kabupaten dan
kota di NTB, hasil wawancara dengan pejabat Bappeda di salah satu Kabupaten di
NTB mengungkapkan bahwa selama ini aktivitas donor di wilayah kerjanya belum
bisa diidentifikasi dengan baik. Pemda belum memiliki mekanisme pelaksanaan
bantuan luar negeri yang dilaksanakan selama ini. Akibatnya tidak semua lembaga
donor melakukan koordinasi dengan Bappeda Kabupaten ketika program
dilaksanakan. Terkadang Bappeda baru tahu ada aktivitas donor jika ada masalah di
lapangan, atau melalui hubungan informal dengan pelaksana program.
Lebih lanjut informan di Bappeda mengakui bahwa ada beberapa lembaga
donor yang ‘memaksakan’ program di daerah sehingga menyebabkan masalah.
Misalnya program pengembangan peternakan ayam dari salah satu lembaga donor
yang tidak berlanjut karena menggunakan teknologi yang kurang sesuai dengan
kemampuan kelompok sasaran program. Tidak adanya komunikasi intensif dengan
Bappeda menyebabkan program ini berakhir tanpa hasil. Bantuan teknologi yang
diberikan sekarang hanya menjadi ‘sampah’ yang tidak bermanfaat karena
masyarakat tidak mampu mengelolanya 78. Informan juga memberikan beberapa
contoh program lain yang berakhir tanpa ada manfaat yang jelas 79. Namun demikian,
ada juga lembaga donor yang telah berupaya membangun komunikasi dari awal
dengan pihak Bappeda.
Terlepas dari banyaknya masalah yang terjadi dalam pelaksanaan asistensi
lembaga donor dalam mendukung desentralisasi di daerah. Dalam konteks asistensi
teknis yang dilakukan GTZ GLG di Provinsi NTB. Peneliti menemukan ada beberapa
kecenderungan baru dalam tata kelola pemerintahan daerah yang didorong oleh proses
asistensi dari lembaga donor, misalnya : upaya replikasi program Good Governance
Award yang diasistensi GTZ GLG di Kota Mataram yang melakukan Commuity
Action Planning Worshop dalam menyelenggarakan perencanaan pembangunan pada
level komunitas 80. Upaya lain dalam mendorong inovasi di daerah dilakukan dengan
mendorong pelaksanaan gagasan baru dalam proses perencanaan pembangunan di
daerah melalui aktivitas Pra Musrenbang Provinsi NTB 2010.
77
Peneliti belum bisa menyajikan hasil penelitian terkait jumlah donor , jenis kegiatan dan lokasi
program-porgram desentralisasi dan Good Governance di NTB, Proses identifikasi data masih
dilakukan sampai bulan Juli 2009.
78
Wawancara dengan pejabat Bappeda Kab. Sumbawa (1 Mei 2009)
79
Nusa Tenggara Agricultural Area Development Project (NTAADP) yang dilaksanakan Bank Dunia (1999-2002)
berhasil membangun beberapa lembaga ekonomi local, namun lembaga tersebut tidak berfungsi ketika program
berakhir. Saat ini dilakukan revitalisasi fungsi lembaga keuangan ini melalui GTZ Profi.
80
Observasi di Lingkungan Karang Rundun, Kecamatan Bertais, Mataram 24-25 April2009.
252
C. Dinamika Pembangunan dan Tata Kelola Pemerintahan Di Provinsi Nusa
Tenggara Barat
Pembangunan yang dilaksanakan di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
menunjukkan fenomena yang terjadi relative menarik. Dalam kurun waktu 10 tahun
terakhir, berdasarkan indicator makro pembangunan (Indeks Pembangunan Manusia,
IPM), provinsi ini selalu berada pada lima besar terendah di Indonesia81. Tahun 1999,
BPS mencatat posisi NTB berada pada urutan ke 26 dari 27 Provinsi di Indonesia
(DPRD NTB 1999, 1). Hingga saat ini, ketika jumlah provinsi di Indonesia bertambah
menjadi 33, IPM NTB menempati urutan ke 32 dari 33 Provinsi di Indonesia (BPS
2009). Kondisi ini melahirkan kontroversi bagi beberapa stakeholders pembangunan
di NTB, penelitian yang dilakukan UNDP (2007), menunjukkan adanya ketidakpuasan
dari berbagai pihak di Provinsi NTB yang melihat penilaian IPM kurang fair. 82 Hasil
wawancara terakhir dengan beberapa infoman di Bappeda juga menunjukkan bahwa
penempatan posisi IPM NTB pada posisi kedua dari bawah masih mengundang
kontroversi 83 .
Terlepas dari kontroversi urutan nilai IPM, pada dasarnya pemerintah daerah
mengakui bahwa masalah-masalah pembangunan di NTB terkait erat dengan
indicator-indikator IPM yang terdiri dari masalah pendidikan, kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat (tingkat kemiskinan). (DPRD NTB 1999;Renstrada NTB
2003-2008; UNDP 2007; Mubarok 2008). Terkait dengan hal tersebut, tidak
mengherankan jika Pemerintah Daerah sejak lama melakukan berbagai upaya untuk
meningkatkan nilai IPM melalui program-program pembangunan. Pada masa
pemerintahan Gubernur Harus Al Rasyid pemerintah provinsi NTB mencanangkan
‘Gerakan Mengubah Perilaku Masyarakat (GEMA PRIMA)’. Gerakan ini diarahkan
pada upaya mendorong posisi IPM NTB menjadi ranking ke 18 dalam kurun waktu 5
tahun (1999-2004) (DPRD NTB 1999, 2). Selanjutnya, NTB dibawah kepemimpinan
Lalu Serinata menggagas ‘Gerbang E-mas Bangun Desa’, yaitu gerakan masyarakat
Nusa Tenggara Barat membangun ekonomi, social, budaya, keamanan, dan ketertiban
(Satriawan 2007, 12).
Pemegang tampuk kekuasaan saat ini juga menempatkan isu peningkatan IPM
sebagai salah satu focus utama dalam pembangunan melalui program NTB bersaing 84
(Pemda NTB; Bappeda NTB 2009; Lombok Post 2009). Tantangan pemerintahan
pasangan BARU (Bajang-Badrul) yang dilantik tahun 2008 lalu sangat besar, bukan
hanya IPM yang masih tetap rendah, namun dari sisi Indeks Pembangunan Gender
(IPG) masih menduduki peringkat 24, dan Indeks pemberdayaan Gender (IDG)
menduduki posisi 33 (Bappenas 2009, 7). Dari sisi peningkatan IPM, pada umumnya,
semua pimpinan daerah pada decade ini memiliki tujuan yang sama, yaitu
meningkatkan peringkat IPM dari level bawah menjadi level menengah pada masa
kepemimpinannya masing-masing. Sayangnya, dari dua masa kepemimpinan
Gubernur terdahulu, belum menampakkan hasil sesuai dengan harapan. Era
81
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menjadi indikator penting utk mengukur keberhasilan dalam upaya
pembangunan kualitas hidup manusia (masyarakat/penduduk). IPM digunakan sbg salah satu ukuran kinerja
daerah, khususnya dalam hal evaluasi proses pembangunan SDM (BPS 2009)
82
Keraguan akan akurasi data dasar untuk IPM di NTB diantaranya dengan membandingkan dengan IPM di Maluku
dan Aceh yang lebih tinggi posisinya disbanding NTB. Asumsi yang berkembang adalah adanya kemungkinan
penarikan sampel di NTB yang lebih representative karena hamper seluruh wilayah di NTB, terutama Lombok sangat
mudah diakses, sementara di wilayah-wilayah paska konflik seperti Aceh dan Maluku, ada kemungkinan hanya
menyajikan data dari daerah urban yang ‘relatif aman’ (UNDP 2007, viii)
83
Hasil Wawancara dengan informan dari Bapeda NTB, 22 April 2009.
84
Visi pemerintaha BARU yaitu ‘Mewujudkan NTB yang beriman dan Berdayasaing’. Dalam 99 hari masa
Pemerintahan BARU, telah dilakukan berbagai upaya peningkatan pelayanan pendidikan dan kesehatan, ketahanan
pangan dan gizi, pengembangan investasi danpariwisata, pengembangan infrastruktur dan aksesibilitas wilayah,
pemantapan otonomi daerah dan pemberantasan korupsi, reformasi birokrasi dan pelayanan public.
253
kepemimpinan NTB sekarang mengarah pada upaya cita-cita yang sama melalui
beberapa program pembangunan baik dilaksanakan secara mandiri, maupun melalui
dukungan pemerintah pusat dan lembaga donor.
Beratnya masalah pembangunan di NTB ini dikonfirmasi oleh data dari
Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT). Hanya dua dari 9 Kabupaten
Kota yang ada di wilayah ini yang masuk dalam kategori maju. Bahkan dengan
adanya pemekaran wilayah baru Kabupaten Lombok Barat (kab Induk) dan
Kabupaten Lombok Utara (Kab baru) pada desember 2008. sampai BErdasarkan data
dari Kementrian PDT, walaupun beum dilakukan analisis terhadap Kabupaten
Lombok Utara dan Lombok Barat pasca pemekaran wilayah, saat ini kemungkinan
besar kedua kabupaten tersebut akan masuk pada kategori wilayah yang tertinggal 85.
Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Utara mengakui bahwa sebagai daerah
otonom baru, berbagai persoalan masih dihadapi, diantaranya rendahnya kualitas
SDM, derajat kesehatan, dan pertumbuhan ekonomi; belum optimalnya hasil
produksi pertanian, sarana dan prasarana infrastruktur; lambatnya pembangunan
perdesaan; kualitas pelayanan umum tidak memadai; pemberdayaan perempuan dan
penanggulangan kemiskinan belum maksimal (Bappeda Kab. Lombok Utara 2009, 2).
Di lain pihak, Kabupaten Lombok Barat sebagai Kabupaten induk dihadapkan
pada masalah yang pembangunan terkait dengan Pembenahan Pengelolaan
Pemerintahan dan Pembangunan Pasca Pemekaran Wilayah sebagai dampak
Pembentukan Kabupaten Lombok Utara. Secara ringkas masaah tersebut terkait
dengan optimalisasi pengelolaan dan penggunaan anggaran untuk program-program
prioritas yang menyentuh langsung pada masyarakat; Pencapaian target IPM;
Permasalahan pengelolaan SDA,;Penurunan Kemampuan Fiskal Nasional; dinamika
politik tingkat lokal dan nasional (Taufik 2009, 2).
Tabel 2.
85
Fenomena pemekaran wilayah di Indonesia perlu menjadi bahan kajian lebih mendalam, walaupun
argument awal pembentukan daerah otonom baru umumnya untuk ‘mendekatkan pelayanan publik’,
pada prakteknya proses politik lebih berperan. Tidak mengherankan jika setelah sebuah wilayah
dimekarkan akan melahirkan masalah baru Peneliian yang dilakukan Bank Dunia (2008)
merekomendasikan……..
254
Kondisi Ketertinggalan Kab/Kota di Provinsi NTB Tahun 2007 Per Aspek
Aspek
Aspek Aspek Aspek Aspek Aspek
Nama Karakteristik Total
No Ekonomi SDM Infrastruktur Celah Fiskal Aksesibilitas STATUS
Kabupaten Daerah Index
Indek Status Indek Status Indek Status Indek Status Indek Status Indek Status
LOMBOK Agak Agak Agak Agak Agak Sangat
1 0,27 0,17 0,04 0,02 -0,02 Maju 0,01 1,19
BARAT Tertinggal Tertinggal Tertinggal Tertinggal Tertinggal Tertinggal
LOMBOK Agak Agak Agak Agak Agak
2 0,17 0,13 0,07 0,03 -0,09 Maju 0,05 0,89 Tertinggal
TENGAH Tertinggal Tertinggal Tertinggal Tertinggal Tertinggal
LOMBOK Agak Agak Agak Agak Sangat
3 0,21 0,16 0,07 0,08 -0,08 Maju -0,04 Maju 1,00
TIMUR Tertinggal Tertinggal Tertinggal Tertinggal Tertinggal
Agak Agak Agak Agak Agak
4 SUMBAWA 0,07 0,05 0,01 0,06 0,06 -0,03 Maju 0,53 Tertinggal
Tertinggal Tertinggal Tertinggal Tertinggal Tertinggal
Agak Agak Agak Agak
5 DOMPU 0,19 0,05 0,11 0,09 -0,02 Maju -0,04 Maju 0,92 Tertinggal
Tertinggal Tertinggal Tertinggal Tertinggal
Agak Agak Agak Agak
6 BIMA 0,09 0,11 0,07 -0,01 Maju 0,06 -0,01 Maju 0,76 Tertinggal
Tertinggal Tertinggal Tertinggal Tertinggal
SUMBAWA Agak Agak Agak
7 -0,03 Maju 0,25 0,11 0,08 -0,07 Maju -0,04 Maju 0,76 Tertinggal
BARAT Tertinggal Tertinggal Tertinggal
KOTA Agak
8 -0,04 Maju 0,23 -0,05 Maju -0,04 Maju -0,14 Maju -0,01 Maju -0,05 Maju
MATARAM Tertinggal
Agak Agak
9 KOTA BIMA -0,02 Maju 0,08 0,09 -0,10 Maju -0,13 Maju -0,07 Maju -0,14 Maju
Tertinggal Tertinggal
LOMBOK
10 - - - - - - - - - - - - - -
UTARA
86
Ada komitmen untuk menjadikan Iman sebagai landasan membangun masyarakat yang religious dan
komitmen membangundaya saing sebagai pemicu menuju daerah yang kompetitif.
87
Dasar hokum lain dalam pelaksanaan Musrenbang adalah UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah,
PP 8/2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian & Ev. Pelaks. Renc Pembangunan
255
berpeluang untuk memperkuat daya saing daerah melalui inovasi dalam proses
perencanaan pembangunan yang dianggap kurang relevan (Anonim 2009a, Anonim
2009b, Sayuti 2009). Pada Musrenbang Provinsi NTB kali ini, ada perbedaan
signifikan dalam pendekatan pembangunan yang dilakukan, Pemprov NTB
menggagas pendekatan baru dalam proses perencanaan pembangunan di provinsi
melalui pendekatan pembangunan spasial. Dalam hal ini Pemprov NTB mengeluarkan
kebijakan penyusunan Rencana Strategis Daerah yang berdasarkan system spasial.
Kebijakan ini mengubah pendekatan pembangunan sebelumnya yang mengedepankan
aspek sektoral dalam pembangunan (Anonim 2009a; Sayuti 2009).
Sayuti mengemukakan bahwa pembangunan yang berbasis sektoral telah
menimbulkan ego sector yang kontra produktif terhadap pelaksanaan pembangunan
(2009, 2). Pendapat yang sama dikemukakan oleh Dendi yang menilai pendekatan
sektoral tidak efektif dan efisien dalam penggunaan anggaran di daerah (Anonim
2009c, 7). Pendekatan Perencanaan Pembangunan yang berbasiskan kawasan akan
membuka ruang yang lebih interaktif dan integrative dalam memahami masalah
bersama. Lebih jauh pendekatan ini mendorong terjadinya sinergi dalam kebijakan
dan program pembangunan di derah yang pada gilirannya dapat meningkatkan
efisiensi anggaran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota (Anonim 2009c, 7).
19
Daerah dan SE Mendagri No. 640/751/SJ tgl. 12 Maret 2009 Perihal Penyusunan& Musrenbang RKPD
Tahun 2010 (Ditjen PUM 2009, 1)
256
Skema di bawah ini menggambarkan bagaimana Visi & Misi NTB bersaing
diterjemahkan ke dalam program pembangunan dengan mengadopdi pendekatan ini
spasial.
Gambar 3.
NTB
DAERAH UNGGULAN
AGROBISNIS & PARIWISATA
RUMPUN HIJAU
(BUMI SEJUTA SAPI) LECI
(LOMBOK as
ECO-CITY
ISLAND)
RUANG HIJAU NTB
HIJAU
(HARMONIS –
MAJU-
PERMATA SEJAHTERA)
SuEZ
(SUMBAWA
ECO ZONE)
VISIT LOMBOK-
SUMBAWA 2012
257
KAWASAN LOMBOK KAWASAN SUMBAWA KAWASAN KAWASAN BIMA
DAN SEKITARNYA DAN SEKITARNYA PERAIRAN LAUT NTB DAN SEKITARNYA
SEKTOR UNGGULAN : SEKTOR UNGGULAN : SEKTOR UNGGULAN : SEKTOR UNGGULAN :
1. Pariwisata 1. Pertanian 1. Perikanan 1. Perikanan
2. Pertanian 2. Perikanan 2. Pariwisata 2. Pertanian
3. Perikanan 3. Pariwisata 3. Pariwisata
4. Industri 4. Industri 4. Industri
5. Pertambangan 5. Pertambangan
258
Orientasi - Pembukaan, keynote speaker
/
Presentasi dan klarifikasi
Diskusi
panel - Kebijakan umum pembangunan NTB
berbasis spasial
- Tanggapan dan usulan dari kabupaten/Kota
Diskusi
Pleno - Pengembangan kesepakatan
dan Rumusan hasil
Penutupan - penutupan
Sumber: Modifikasi dari Bahan Lokakarya Pra Musrenbang Prov NTB 2009
259
o Apakah gambaran ideal tersebut sesuai dengan konsep kebijakan dari
kabupaten/kota?
o Dalam gambaran ideal tersebut, sektor unggulan apa yang sudah
dimiliki dan diprioritaskan di kawasan strategis tersebut?
o Komoditas/produk unggulan apa yang perlu diakselerasikan pada
sektor unggulan dan apa pertimbangannya?
o Upaya (program/kegiatan) apa yang harus dilakukan untuk
mengoptimalkan dan mencapai gambaran ideal pada setiap kawasan
strategis tersebut?”(Anonim 2009d, 6)
260
pembangunan di NTB, pembahasan program dalam Musrenbang Provinsi
dilakukan berdasarkan wilayah pembangunan pada sidang klinis. Musrenbang
yang dilakukan selama 3 hari ini diawali dengan pemaparan dari Pemerintah
Pusat 88terkait dengan pembangunan nasional dan keterkaitannya dengan
provinsi NTB. Hal ini dilakukan agar proses perencanaan provinsi selaras
dengan program-program pembangunan nasional. Selain itu dilakukan
presentasi oleh Pemerintah Provinsi terkait dengan program-program
pembangunan yang akan dilaksanakan di NTB dan hasil Pra Musrenbang di 3
kawasan pembangunan NTB. Program-program yang telah dilakukan oleh
PNPM Mandiri dan PNPM Pisew dipresentasikan untuk berbagi pengalaman
dengan stakeholder pembangunan di NTB. Bapeda dari 10 kabupaten dan Kota
di NTB diberikan kesempatan untuk mempresentasikan rencana pembangunan
daerahnya.
Proses Musrenbang yang menggunakan pendekatan berbeda ini
menjadi tantangan tersendiri, masih ada perbedaan-perbedaan dari Stakeholder
pembangunan dalam melihat dan menyikapi masalah pembangunan di NTB.
Sayangnya, keterbatasan waktu presentasi dan diskusi menjadi salah satu
hambatan dalam pelaksanaan Musrenbang Provinsi. Akibatnya masih banyak
isu-isu penting yang belum selesai didiskusikan. Misalnya: Program Bumi
Sejuta Sapi (BSS).
Selain dalam diskusi panel dan proses Tanya jawab dengan panelis,
masalah juga muncul pada proses sidang klinis. Proses diskusi yang dilakukan
pada siding klinis menjadi penting karena terjadi negosiasi dan verifikasi
program-program pembangunan yang dilakukan di kawasan masing-masing.
Dengan pendekatan spasial, sidang klinis dimanfaatkan untuk
mengintegrasikan beberapa program di daerah, terutama program-progrm yng
bersift lintas sektoral. Sayangnya, belum semua daerah mampu
menterjemahkan makna pendekatan spasial ini, sehingga program-program
mereka masih cenderung bersifat sektoral. Provinsi NTB dharapkan mampu
memprbaiki proses Pra Musrenbang dan Musrenbang agar persepsi pelaku
pembangunan selaras.
Pada proses awal sidang klinis di Kawasan Bima, terjadi perdebatan
yang cukup panjang mengenai program pembangunan di bidang sosial.
Beberapa peserta merasa tidak puas dengan proses perencanaan yang
dilakukan karena masih belum bisa menjawab masalah di daerah. Secara
umum proses Musrenbang telah dilaksanakan sesuai dengan target awal, hanya
saja perlu dilakukan evaluasi ulang mengenai teknik-teknik perencanaan yang
dilakukan agar lebih mampu mengakomodasikan kepentingan para pihak yang
terlibat.
D. Catatan Penutup
Dari temuan awal penelitian di Provinsi NTB, ada beberapa catatan
penting yang bisa menjadi bahan pembelajaran (lesson learned): Pelaksanaan
Program Desentralisasi di daerah yang didukung lembaga donor masih
menghadapi tantangan terkait dengan kejelasan mekanisme kerjasama,
koordinasi antar pihak, perilaku birokrasi dan dinamika social, ekonomi politik
masyarakat. Sekecil apapun peran lembaga donor dalam mendukung
88
Pemerintah Pusat diwakili oleh Bappenas, Dtjen PUM Depdagri, Kementrian PDT, Dirjen
Peternakan Deptan. Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau kecil Departemen Kelautan dan Perikanan
RI, KEmntrian Negara Perumahan Rakyat, Departemen Pariwiata, dan Menteri PekerjaanUmum
261
desentralisasi untuk mewujudkan good governance, merupakan sumberdaya
yang perlu dikelola dengan baik agar dapat memberikan dampak yang lebih
signifikan di daerah.
Keterbukaan daerah dalam melakukan inovasi tata kelola pemerintahan
perlu didukung oleh adanya komitmen pimpinan daerah dalam mengawal
proses perubahan yang dilakukan. Mengenalkan ide-ide baru atau gagasan
inovasi di pemerintah daerah bukan hal yang mudah dilakukan. Resistensi dari
beberapa pelaku pembangunan bisa muncul, terutama terkait dengan
pemahaman yang dimiliki selama ini. Beberapa pelaku pembangunan masih
terikat pada pola lama dan memiliki pemahaman yang berbeda tentang
pendekatan pembangunan yang dilakukan.
Dalam konteks pelaksanaan Pra Musrenbang dan Musrenbang Provinsi
NTB, upaya melibatkan perguruan tinggi, LSM dan lembaga donor dalam
proses perencanaan dinilai sesuatu yang positif. Namun demikian, mengamati
beberapa masalah yang muncul pada proses perencanaan tersebut, perlu
dilakukan evaluasi proses untuk menyempurnakan pelaksanaan perencanaan
pembangunan di masa yang akan datang.
Referensi
Anonim, 2009a, NTB Bersaing Formulakan Konsep Spasial: Wagub BM Semaikan
Password ‘PIN’, Info Bappeda NTB, Mataram hal. 1
Anonim, 2009b, Pendekatan Sektor Tak Efektif Dalam Pembangunan, Info Bappeda
NTB, Mataram,hal. 7
Anonim, 2009c, Topik, Info Bappeda NTB, Mataram, hal. 8.
Anonim, 2009d, Lokakarya Pra Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah
(Pra Musrenbang) Provinsi NTB tahun 2009. Mataram, 8 April 2009 Power
Point Presentation.
Asia Research Center, 2001, Decentralization and Development Cooperation: Issues
for Donors, Perth, Asia Research Center, Murdoch University.
BPS NTB, 2009, Indeks Pembangunan Manusia, disampaikan pada Musrenbang
Provinsi NTB, 16 April 2009, Power Point Presentation.
Bappeda Kab. Lombok Utara, 2009, Pembangunan Kabupaten Lombok Utara, .
Mataram, 8 April 2009 Power Point Presentation
Brautigam, D. A. and S. Knack (2004). "Foreign Aid, Institutions, and Governance in
Sub-Saharan Africa." Economic Development and Cultural Change 52(2):
255-285.
Chowdhury, A. and I. Sugema ,2005, "How Significant and Effective Has Foreign
Aid to Indonesia Been?", ASEAN Economic Bulletin 22(2): 186-216.
CLGI, 2005, Innitiatives for Strengthening Local Government Capacity, Jakarta,
CLGI-URDI
Crawford, G. ,2003, . "Partnership or power? Deconstructing the'Partnership for
Governance Reform'in Indonesia." Third World Quarterly, 24(1): 139-159.
Damayanti, M. (2004). Sustaining Participation at Local Governance: Case of PDPP
(Participatory Medium Term Development Planning) in Indonesia. Sustaining
Participation in Local Governance, 40th ISoCaRP Congress 2004.
Dendi, A., dkk, 2007a, Forum Pengembangan Ekonomi Lokal: Konsep, Strategi, dan
Metode-Perspektif dan Pengalaman Nusa Tenggara, GTZ Manual Handbooks,
GTZ, Kerjasama Indonesia Jerman, Depdagri,Pemprov NTB, CNB,
Universitas Mataram, dan Cedes, Mataram.
262
Dendi, A., dkk (eds), 2007b, Sayembara Good Governance Provinsi Nusa Tenggara
Barat 2007: Panduan Proses Penyelenggaraan dan Metode GTZ, Kerjasama
Indonesia Jerman, Depdagri,Pemprov NTB, Mataram.
Ditjen PUM Depdagri, 2009, Peningkatan Daya Saing Daerah dalam Percepatan
Penanaman Modal di Provinsi NTB, disampaikan pada Musrenbang Provinsi
NTB, Mataram, 16 April 2009, Power Point Presentation.
DPRD NTB, 1999, ‘Saran Opersonalisasi Gema Prima di Nusa Tenggara Barat’,
dalam Dinamika Pemikiran Gema Primama Prima, Jurnal Gema Prima,
Bappeda Provinsi NTB, Mataram.
DSF, 2007, Donor Mapping Database Narative Report: Report to the Government of
Indonesia: Ministry of Home Affairs. Jakarta, Decentralization Support
Facilities
DSF, 2006, Aid Effectiveness Case Study. Jakarta, Decentralization Support Facility,
Indonesia: 1-9
Edi, J. & A. Setianingtias, 2007, Donor proliferation and donor coordination in
Indonesia: the case of governance reform. Centre for the Future State, Institute
of Development Studies, University of Sussex.
GTZ GLG, 2009, Good Local Governance-GLG: Developing Capacities for Improved
Public Services Indonesia 2006-2009, Jakarta, GTZ, Depdagri, Pemda Jawa
Tengah, DI Yogyakarta, NTB, dan NTT.
Hoffman, B. & Kaisar, K., 2006. ‘Decentralization, Democratic Transition, and
Local Governance in Indonesia’, dalam Decentralization and Local
Governance in Developing Countries: A Comparative Perspective,
Jan, P. P., 2004, ‘Aid as Catalyst’ dalam Catalysing Development? Debate on Aid, J.
P. Pronk, K. B. James, E. Louiset al. Malden, USA
Kautza, J.M., 2003, ‘Strengthening Local Governance Capacity for Participation’
dalam Reinventing government for the twenty-first century : state capacity in a
globalizing society, D. A. Rondinelli and G. S. Cheema. Bloomfield, CT :,
Kumarian Press 181-194.
Korah, L., 2009, Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Dalam Mendukung
Kawasan Andalan di Nusa Tenggara Barat, Kementrian Pembangunan Daerah
Tertinggal, disampaikan pada Musrenbang Provinsi NTB, Mataram, 16 April
2009, Power Point Presentation.
Lerche, D., 2005, Decentralization, Intergovernmental Fiscal Relations and
Regional/Local Taxation: Case Study Province NTB and Selecterd Regencies,
Mataram, Bappeda NTB.
Lombok Post, 2009a, Daya Saing NTB Terwujud Dengan PIN: Hari ini Digelar
Musrenbang 2009, Lombok Post 16 April 2009, hal. 1
Lombok Post, 2009b, Tawarkan Konsep Forum Perencanaan Kawasan, Lombok Post
16 April 2009, hal. 9
Lombok Post, 2009c, PIN NTB Bersaing Badrul Munir, Lombok Post 16 April 2009,
hal. 16
Mubarok, Z.M, 2008, TGB Gubernur NTB Sketsa 100 Hari Pemerintahan Gubernur
Terpilih: Potret Pemberitaan Media Massa, Lembaga Riset Sosial, Politik,
dan Agama (Larispa), Mataram
263
Munir, B., 2009, PIN NTB Bersaing, Info Bappeda NTB, Mataram,hal 4.
Satriawan, L.Y, 2007, ‘Pelaksanaan dan Pengembangan Program Keluarga Berencana
Provinsi NTB melalui Gerbang E-mas’, Bulletin Bappeda, Edisi ke Delapan,
Bappeda Provinsi NTB, Mataram .
Sayuti, R., 2009a, Kebijakan Umum Pembangunan Berbasis Kawasan di Nusa
Tenggara Barat Tahun 2010, Bappeda Provinsi Nusa Tenggara Barat,
disampaikan pada Pra Musrenbang Provinsi NTB, 6-8 April 2009, Power
Point Presentation.
Sayuti, R., 2009b, Membangun Berbasis Kawasan, Info Bappeda NTB, Mataram,hal
2.
Silver, C. (2003). "Do the donors have it right? Decentralization and changing local
governance in Indonesia." The Annals of Regional Science 37(3): 421-434.
Shimomura, Y. ,2003, ‘Introduction’ dalam The role of governance in Asia. Y.
Shimomura. Singapore, Institute of Southeast Asian Studies: 1-5.
Singh, K., 2003, Aid and Good Governance, A Discussion Paper for the Reality of
Aid, Public Interest Group: India
Sjaifudian, H., 2003,, . Inovasi, Partisipasi Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif
dan Partisipatif di Indonesia. Jakarta, Yayasan Obor.
Smoke, P. J., E. J. Gómez, et al., 2006, . Decentralization in Asia and Latin America :
towards a comparative interdisciplinary perspective. Cheltenham, UK ;
Northampton, MA, Edward Elgar.
Suzetta, P, 2009, Rancangan Awal Rencana Kerja Pemerintah tahun 2010,
Disampaikan pada Musrenbang Provinsi NTB, 16 April 2009, Power Point
Presentation.
Takeshi, I., 2005, The Dynamics of Local Governance Reform in Decentralizing
Indonesia: Participatory Planning and Village Empowerment in Bandung,
West Java.
Tufik, M, 2009, Pembangunan Lombok Barat Dalam Perspektif Kewilayahan:
Tantangan, Masalah dan Kebijakan, Disampaikan pada Pra Musrenbang
Provinsi NTB, Mataram 8 April 2009, Power Point Presentation.
Widianingsih, 2005, The Practice of Participatory Planning in Indonesia after the
Reform Era: Case Study in Solo Municipality, Discussion Paper No. 31 July
2005, the Center for Development Studies, Flinders University, Australia.
264
BAB III
265
PENDIDIKAN: LANGKAH PERTAMA
UPAYA REPOSISI ADMINISTRASI NEGARA
DI INDONESIA
(Refleksi di Hari Pendidikan Nasional)
Oleh:
Ario Wicaksono 89
Pendahuluan
“Repositioning Public Administration in Indonesia…?? Get real…what you
need is to turn around…”. Demikian salah satu komentar yang muncul. Apa yang mau
direposisi? Semuanya kah? Bagaimana caranya? Lalu mulai dari mana? Sungguh
tidak mudah untuk menjawabnya. Tapi baiklah, mari dijawab, dijawab dengan
mengawali, menjalani dan mengakhirinya dengan niat yang semestinya. Niat untuk
mendudukkan kembali profesi admistrator publik yang “sadar diri” dengan posisinya
untuk melayani masyarakat kewargaan dalam iklim democratic governance.
Ketika warga negara Indonesia ditanya tentang tanggapan mereka atas kinerja
birokrasi, maka hanya wajah mengkerut yang didapatkan. Mungkin publik bingung
harus mulai dari mana menumpahkan segala keluhannya Jangan jauh-jauh berharap
menemukan birokrasi yang melayani, memberdayakan, atau birokrasi yang fasilitatif,
dll. Dalam fungsi pelayanan publik yang paling sederhana saja, bukankah publiklah
yang selama ini harus melayani birokrasi? Siapa yang butuh, itu yang repot. Kalau
bisa dipersulit, kenapa dipermudah? Harap dimaklumi, banyak birokrat “bertahan
hidup” dari insentif yang berasal dari buah kegiatan mempersulit proses itu.
Tapi baiklah, terus menerus berburuk kata tidak akan menjadi solusi.
Berlomba menampilkan data dan membuat daftar nilai rapot merah birokrasi, hanya
akan menghabiskan kertas saja. Mari dimulai saja mencari solusi dengan merunut
sebab apa semua itu berasal. Banyak pendapat mengatakan bahwa itu merupakan
warisan kultural yang bisa dilacak dari birokrasi jaman kerajaan berdaulat, jaman
kolonialisme, jaman kemerdekaan awal, orde lama, sampai puncaknya pada jaman
orde baru yang mengejawantah dalam wajah “negara birokrasi”. Tapi tidak sedikit
yang mengawali analisisnya dengan melihatnya dari sudut pandang dinamika
paradigma dalam administrasi negara, yang selama ini dianggap dipraktikkan dalam
konteks yang keliru.
Lalu setelah sibuk menelaah sebab musabab dari fenomena ini, tibalah saatnya
berikhtiar mencari panduan untuk mempraktikkan tawaran solusi-solusi yang
mungkin. Solusi itu diyakini harus berpijak pada nilai-nilai yang kuat dan mengakar,
sebagai bentuk mengukuhkan kembali pijakan upaya reposisi, agar sesuai dengan
kondisi batin masyarakat yang sesungguhnya. Dan kondisi batin masyarakat sekarang
adalah kondisi yang terilhami keinginan untuk diakuinya kedaulatan publik (yang
tercermin dalam konstitusionalisme dan demokrasi), serta keinginan untuk diakuinya
kembali nilai-nilai lokal (seperti nilai kolektivisme dan partisipasi), yang selama ini
memudar karena terlalu lama dipinggirkan oleh praktika serba “Weberianisme” dalam
birokrasi kita.
89
Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fisipol UGM; Disampaikan pada Konferensi Administrasi
Negara, 8-9 Mei 2009, di Universitas Airlangga Surabaya
266
Kalau memang pengukuhan kembali nilai-nilai itu diperlukan sebagai langkah
awal proses reposisi birokrasi kita, maka pertanyaan selanjutnya menjadi: dengan cara
apa hal itu dilakukan? Baiklah, karena tulisan ini disajikan di depan majelis pendidik-
pengabdi (semoga), serta di bawah bayang refleksi Peringatan 2 Mei, maka tidak
pelak lagi, intervensi pertama upaya reposisi itu diyakini harus berawal dari:
pendidikan! Tapi bisakah? Untuk menjawab itu, mari didiskusikan kembali keyakinan
tentang sejauh mana idealisme pendidikan dan idealisme seorang pendidik bisa
menginspirasi tumbuhnya critical consciousness di diri para pembelajar studi
administrasi negara. Karena hanya dengan praktisi administrasi negara yang sejak
awal diintroduksi dengan sikap kritis itulah, maka nasib reposisi administrasi negara
itu bergantung.
267
birokrasi, lebih cenderung berperilaku sebagai “tuan” daripada sebagai
“pelayan” (Niskanen, 1973). Mereka lebih cenderung memperbanyak kegiatan
daripada memikirkan resiko (Blau, 1956), dan mereka memiliki tradisi
membuat organisasi berskala besar tanpa alasan yang masuk akal
(Schumacher, 1973). Mereka bahkan tidak memiliki komitmen untuk
menegakkan human dignity karena mereka tidak meyakininya (Thayer, 1973).
Di era pembangunan, birokrasi yang diharapkan sebagai fasilitator
pembangunan, justru menjadi penghambat pembangunan (Turner and Hulme,
1997). (Keban, 2007: 5).
Ketika birokrasi masih dilihat sebagai lokus utama administrasi negara, tak
pelak lagi maka bahagian terbesar pembicaraan soal reposisi administrasi negara akan
menyentuh soal reposisi birokrasi.
Tapi sekali lagi, mari memulai diskusi dengan mendudukkan isu ini pada
tempat yang jelas. Mari mengawalinya dengan melihat bagaimana sebenarnya posisi
studi administrasi negara, dan bagaimana sebenarnya ketepatan/relevansi
mengkaitkannya dengan reposisi birokrasi.
268
menggambarkannya. Baru pada era belakangan ini, konsep tersebut sudah mulai
mewujud dan beroleh bentuk.
Prof. Agus Dwiyanto (2007) menggambarkannya dengan sangat menarik
dalam pidato pengukuhannya. Bahwa ada kebutuhan untuk memperluas lokus dari
administrasi negara (nomenklatur yang digunakan Prof. Agus Dwiyanto adalah
“administrasi publik”), bukan lagi terbatas pada lembaga pemerintah, tetapi meliputi
semua lembaga/organisasi yang misi utamanya mewujudkan publicness. Organisasi-
organisasi ini mencakup organisasi yang peduli pada shared problems dan beroperasi
untuk mencapai public purposes. Organisasi semacam ini boleh dikatakan tidak mesti
terpaku pada bentuk tertentu, apalagi dipatok sebagai dalam bentuk lembaga-lembaga
birokrasi pemerintah yang memonopoli fungsi-fungsi tersebut.. Artinya konsep publik
dalam administrasi negara tidak lagi diartikan secara kelembagaan, tetapi lebih pada
orientasi atas nilai-nilai publicness.
Penjelasannya, apabila konsep negara/publik hanya dimaknai dari sudut
pandang kelembagaan, maka administrasi negara jatuhnya hanya akan sebagai
administrasi pemerintah. Definisi administrasi negara dalam konteks kelembagaan,
bila dilihat dari fokusnya hanya menjadi proses administrasi yang terjadi pada lokus
lembaga-lembaga pemerintah. Tetapi fokus studi yang semula merupakan adopsi dari
prinsip-prinsip ilmu manajemen/administrasi swasta/bisnis, lama-kelamaan makin
mendekatkan dengan ilmu politik, karena administrasi negara tak bisa tidak pasti
berkaitan dengan kebijakan.
Sementara itu lokusnya juga semakin tidak jelas, mengingat sekarang banyak
lembaga non pemerintah yang menjalankan misi dan fungsi yang dulunya secara
tradisional dilakukan oleh pemerintah, dan juga sebaliknya. Apalagi sekarang
bermunculan pula organisasi hybrid. Ini semua terjadi sebagai respon terhadap makin
meningkatnya kompleksitas masalah dan kepentingan publik, yang tidak sebanding
dengan kapasitas aktor (baik pemerintah, privat maupun masyarakat itu sendiri), bila
masing-masing berdiri sendiri untuk menyelenggarakannya. Pembagian kerja tidak
lagi bisa sesederhana itu dan bisa dimonopoli oleh aktor tertentu.
Sedangkan bila konsep publik dimaknai dari sudut pandang nilai, maka akan
memunculkan pendefinisian ulang ilmu adminitrasi negara sebagai studi governance.
Kelembagaan akan menjadi meluas, lokusnya tidak lagi menjadi lembaga
pemerintah/birokrasi semata, tapi meliputi semua governance bodies yang dapat
menjadi subyek dari administrasi publik, sejauh beroperasi untuk merespon masalah
dan kepentingan publik (publicness) (Dwiyanto, 2007: 119-127).
Dinamika orientasi nilai juga bisa terlihat dari perubahan paradigma
administrasi publik dari Old Public Administration (OPA), ke New Public
Management (NPM), lalu terakhir ke paradigma New Public Service (NPS) :
1. Old Public Administration (OPA), berintikan pentingnya aplikasi nilai-nilai
profesionalisme birokrasi yang apolitis guna mendukung efisiensi dan
efektifitas.
2. New Public Management (NPM), yang teoritisasinya berbasis pada nilai public
choice, yang diimplementasikan dengan pentingnya responsifitas administrator
publik terhadap tuntutan serta kebutuhan pelanggan (putting customers first)
melalui aksi-aksi yang dijiwai semangat kewirausahaan.
3. New Public Service (NPS), yang mengajak reorientasi nilai dari
mengutamakan “pelanggan” beralih ke warganegara (citizens), melalui
pendekatan pemberdayaan peranserta masyarakat yang kini didudukkan
sebagai subyek aktif (Keban, 2007: 7-14).
269
Perbedaan paradigma/doktrin diatas tidak perlu dipertentangkan, tapi mestinya
ditempatkan sesuai perbedaan konteks dan tipe sektor/bidang yang ditangani. Prinsip-
prinsip OPA misalnya, akan lebih pas bila diterapkan pada sektor kehidupan politik
dan penegakan hukum, yang memang menuntut “kekakuan prosedural”. Sementara
nilai-nilai NPM akan menjadi sangat berguna bila diperkenalkan pada sektor
pembangunan ekonomi yang memang membutuhkan semangat entrepreneurship.
Dan nilai-nilai NPS tentunya harus diaplikasikan ketika administrator publik
bersentuhan dengan isu demokrasi dan governance (Keban, 2007: 13). Namun yang
seringkali terjadi adalah aplikasi dogma tersebut sering tidak sesuai dengan
konteksnya. Sehingga timbul analisis yang menengarai timbulnya potret buram dalam
penyelenggaraan administrasi negara kita berawal dari aplikasi paradigma dan nilai
dalam administrasi negara yang selama ini dipraktikkan dalam konteks yang keliru.
Seperti misal, kekakuan menerapkan model birokrasi Weberian ala OPA, yang
notabene dikonstruksi dalam setting masyarakat industrialis barat yang individualistik,
diterapkan secara serta merta tanpa melakukan adaptasi. Akibatnya, muncullah wajah
birokrasi yang justru alih-alih menjadi kaku, berbelit dan menjadi sarang para pencari
rente, serta rentan dikooptasi oleh kekuatan politik yang kala itu menjadi principal
birokrasi. Akhirnya local wisdom yang telah hidup dan berkembang di masyarakat,
seperti kesetaraan, partisipasi, informalitas. (yang sebenarnya sejalan bahkan menjadi
nilai inti ajaran NPS-pun) menjadi tergusur. Dan situasi bertambah runyam lagi,
ketika dari sudut pandang kelembagaanpun paradigma yang dianut adalah paradigma
yang masih secara tradisional menempatkan birokrasi pemerintah sebagai aktor
tunggal, yang menyebabkan semakin terdistorsinya posisi publik yang malah merosot
sebagai “pelayan” birokrasi, sementara birokrasi malah berubah wajah menjadi “yang
dilayani.
Ketika akhirnya tiba pada kesimpulan bahwa pangkal soal keruwetan posisi
administrasi negara adalah berangkat dari kekeliruan menerapkan dimensi
kelembagaan, dan terutama dimensi nilai, maka dari situlah upaya reposisi bisa
dimulai.
270
praktek-praktek lokal yang positif, dan menerapkan “pluralistic strategy” yang
memperhitungkan kebhinekaan dalam setiap negara sedang berkembang. Strategi ini
penting untuk menghindari prismatic contradictions, yaitu tumpang tindih antara
sistem budaya tradisional (negara sedang berkembang) dengan sistem budaya modern
(barat) (Keban, 2007: 6).
Secara substansial, reformasi administrasi negara harus diarahkan pada
revitalisasi konsep publik, yang berlandas pada kepatuhan terhadap konstitusi,
pemahaman tentang virtuous citizen, dan pemahaman tentang kepentingan publik
(Kartasasmita, 2007: 26). Konsep citizenship dan publicness menjadi titik tekan
reposisi nilai. Atau menurut istilah Denhardt & Denhardt disebut sebagai citizen-
centered government, yang menjadi inti paradigma NPS. Tapi sebelum serta merta
“latah” lagi mengadopsi konsep NPS, ada baiknya melihat kesesuainnya dengan
konteks lokal, yaitu konstruksi nilai-nilai yang sudah ada.
Pasca reformasi, kebutuhan untuk mengaplikasikan praktika governance dalam
dimensi kelembagaan, serta publicness dalam dimensi nilai, menemukan
momentumnya kembali. Kini semakin disadari bahwa ternyata ada kompatibilitas
antara kebutuhan untuk memecahkan masalah/kepentingan publik, dengan nilai-nilai
lokal, serta paradigma NPS, yang tercermin dari hausnya kita akan nilai-nilai
demokrasi, kewargaan (citizenship), serta partisipasi publik (publicness).
Nilai-nilai demokrasi, kewargaan serta partisipasi sebenarnya bukan hal yang
baru bagi Indonesia. Pancasila jelas-jelas mengakomodasi dan mengamanatkan nilai-
nilai itu, yang mestinya selama ini dijadikan pedoman dalam tata kelola pemerintahan.
Hanya sayang kita terlalu silau atas/dan lebih memilih untuk mengadopsi nilai-nilai
yang belum tentu memiliki kesesuaian, apalagi pijakan yang kuat, dengan akar budaya
bangsa. Akibatnya praktika administrasi publik kita pun akhirnya tidak menapak pada
fondasi yang kuat.
Di samping Pancasila sebagai sumber nilai dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan administrasi publik di Indonesia, kita juga memiliki tujuan nasional
yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu:
1. melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia,
2. memajukan kesejahteraan umum,
3. mencerdaskan kehidupan bangsa,
4. ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Tujuan inilah yang mestinya ditempatkan sebagai visi dalam pembangunan birokrasi.
Birokrasi Indonesia mestinya hadir untuk mewujudkan visi-visi tersebut di atas,
bukannya berpegang pada visi jangka pendek yang tertuang dalam naskah GBHN atau
RPJP yang amat bergantung pada periodisasi kepemimpinan politik.
Kembali ke akar, demikian pesan utamanya. Reposisi administrasi negara
(termasuk reposisi birokrasi di dalamnya) harus dilandasi oleh nilai Pancasila (dan
turunannya), dan diarahkan untuk menciptakan postur administrasi negara yang
mengabdi pada pencapain visi kebangsaan sebagaimana termaktub dalam Pembukaan
UUD 1945 tersebut.
271
persoalan nilai yang mewujud dalam perilaku dan kultur. Untuk memperbaiki perilaku
dan kultur, dibutuhkan kerja kultural. Dan kerja kultural yang paling efektif adalah
melalui pendidikan. Melalui pendidikan, nilai-nilai diintroduksi dan disemai. Melalui
pendidikan kita bisa berharap muncul para administrator publik yang benar-benar bisa
menginternalisasikan nilai-nilai demokrasi, citizenship dan publicness (sebagaimana
sudah termuat dalam Pancasila), dalam perilaku yang bisa mengarah ke pembentukan
kultur yang akomodatif terhadap pencapaian visi kebangsaan. Melalui pendidikan
diharapkan muncul para administrator publik yang berpostur trustee (memenuhi dan
mengutamakan kepentingan publik; patriotism of benevolence-Frederickson and Hart,
1985), yaitu yang mengayomi dan mengutamakan kepentingan publik, ketimbang
yang berpostur politico (melayani ideologi) dan berpostur delegates (mengadopsi
kepentingan politik) (Keban, 2007: 17).
Apalagi administrasi negara itu sendiri sudah diakui sebagai sebuah disiplin
ilmu, seni dan profesi. Lepas dari kebingungan dalam diskusi awal tadi berkait dengan
upaya pendefinisiannya, administrasi negara disebut sebagai disiplin ilmu karena di
dalamnya digunakan pengetahuan yang sistematis, dan dilengkapi dengan metode-
metode serta teknik ilmiah. Sedangkan administrasi negara dianggap sebagai seni
karena keberhasilan administrator seringkali didukung oleh bakat serta intuisi tertentu
yang menuntut seorang administrator harus sensitif dan responsif terhadap berbagai
masalah, yang belum tentu dapat dimiliki oleh semua orang (Keban, 2004: 68). Oleh
karena itu, menjadi tugas lembaga pendidikan administrasi negara untuk menyiapkan
para mahasiswanya untuk memiliki kompetensi di ketiga wilayah tersebut. Setiap
lembaga pendidikan dapat merancang kurikulum, metoda pembelajaran dan karakter
khas yang dibayangkan untuk para lulusannya. (Kartasasmita, 2007: 30).
Lantas bagaimana peran institusi pendidikan tinggi, khususnya pendidik
(dosen) administrasi publik dalam menjalankan misi ini?
1. Yang pertama harus dipahami adalah bahwa pendidikan itu bukan
sekedar transfer of knowledge, tapi terutama transfer of values. Disiplin
administrasi negara sebagai ilmu bukanlah hal yang sulit untuk
dipelajari, secara otodidakpun setiap siswa pembelajar dapat
melakukannya secara mandiri melalui akses terhadap literatur-literatur
yang tersedia. Tetapi pembelajaran terhadap nilai menjadi persoalan
yang harus lebih serius ditangani, dan karenanya tanggung jawab
pendidik lebih berat pada dimensi ini.
2. Internalisasi nilai kebajikan (virtues) yang diharapkan dimiliki setiap
administrator publik, tidak mungkin didapat bila yang dianut adalah
”banking education systems”, dimana mahasiswa/pembelajar disuruh
“mangap” dan menelan mentah-mentah tanpa mencerna segala
konsepsi pengetahuan dan nilai tersebut. Yang dibutuhkan adalah
keteladanan, karena seperti halnya para sarjana ilmu sosial lainnya,
kompetensi seorang administrator publik terlihat dari kemampuannya
untuk bersikap peka dan belajar dari pemahaman (bukan hapalan).
3. Sebagaimana filosofi yang diperkenalkan Paulo Freire (1974), bahwa
pendidikan haruslah diabdikan untuk menumbuhkan kesadaran kritis si
pembelajar, kesadaran kritis untuk menilai dirinya sendiri, menilai
orang lain, dan menilai lingkungan di sekitarnya. Pendidikan semacam
ini untuk menghindari dehumanisasi, masifikasi dan terciptanya
“unthinking manageable agglomeration”, atau sekedar barisan robot-
robot mekanik yang bergerak dalam logika mesin dan pasar. Ini sejalan
dengan semangat yang digarisbawahi oleh Ki Hadjar Dewantara,
272
bahwa pendidikan harus diarahkan untuk memerdekakan manusia,
yaitu merdeka dalam definisi mampu berdiri sendiri (zelfstandig), tidak
tergantung orang lain (onafhankelijk), dan dapat mengatur diri sendiri
(vrijheid, zelfbeschikking), dalam kapasitasnya sebagai anggota
persatuan rakyat (Darmaningtyas, 2009).
4. Lalu bagaimana metodenya? Dengan menciptakan ruang yang leluasa
bagi model student centered learning. Ruang yang leluasa bagi setiap
siswa pembelajar untuk ikut serta merasakan dan bersentuhan dengan
persoalan nyata di lapangan, lalu belajar untuk mencari solusinya.
Pelibatan dalam kegiatan ilmiah berkala, seperti kegiatan penelitian dan
penulisan ilmiah, menjadi cara yang efektif mengajak siswa
bersentuhan dengan realita. Seperti dinyatakan oleh Galileo Galilei,
bahwa fungsi pendidik “bukanlah memberikan sesuatu kepada
seseorang, tapi membantu seseorang menemukan sesuatu pada dirinya
sendiri”.
5. Lalu bagaimana posisi si pendidik/dosen? Dharma seorang pendidik di
perguruan tinggi adalah mengajar, meneliti dan mengabdi.
Keseluruhannya harus utuh, tidak bisa berat di kompetensi mengajar
saja, atau di kompetensi meneliti saja, atau di lapangan pengabdian
saja. Harus all in. Yang pertama dan utama: dosen adalah pendidik,
maka harus memiliki tiga kompetensi yang lengkap itu, agar bisa
transfer of values melalui keteladanannya di depan mimbar. Sulit
tentunya mengharapkan keteladanan itu muncul bila dosen hanya
bertindak di depan kelas sebagai pengajar, namun melupakan fungsinya
sebagai pendidik karena lebih sibuk mengurusi proyek-proyeknya. Tapi
yang sebenarnya maha penting diamping penguasaan komptensi itu
adalah adakah kita memiliki pendidik/dosen yang berjiwa mengabdi?
Mengabdi kepada nilai-nilai kebenaran? Mengabdi kepada tanggung
jawabnya untuk “menciptakan” para lulusan yang sepanjang karir
mereka ke depan akan selalu teringat dengan nilai kebajikan yang pada
masa belajarnya dibantu difasilitasi perolehannya oleh sang pendidik?
Sayangnya pendidik di perguruan tinggi tidak banyak lagi yang
berpostur seperti itu, karena banyak dosen yang berasumsi bahwa
model pembelajaran di universitas adalah model pembelajaran yang
mandiri, sehingga involvement mereka untuk melakukan fasilitasi
terhadap proses tersebut hanya dalam kadar minimal.
6. Sementara content apa yang disampaikan? Mungkin tidak perlu
“banyak-banyak”, karena siswa pembelajar bisa diasumsikan sebagai
pembelajar mandiri. Si pendidik hanya perlu memberikan arahan dan
garis besar cara studi mandiri, mendampingi dan memfasilitasi, serta
terutama memberi keteladanan dalam nilai dan makna sebuah integritas
dalam profesinya kelak. Intinya, yang perlu lebih diperhatikan mungkin
subject yang berkaitan dengan pembentukan karakter seperti Etika,
Kepemimpinan, Perilaku Organisasi, dan yang lainnya.
Penutup
Tidak banyak yang perlu disimpulkan dari diskusi dalam tulisan ini. Bahwa yang jelas
reposisi administrasi negara dimulai dari reposisi nilai. Reposisi nilai dimulai dari
proses pendidikan. Dan keberhasilan proses pendidikan merupakan kolaborasi dari
kapasitas serta integritas pendidik-pengabdi, dengan ketepatan penggunaan strategi
273
yang memungkinkan internalisasi nilai itu bisa membekas pada diri pembelajar ketika
sudah menjalankan profesinya sebagai seorang administrator publik. Akhirnya, untuk
menjawab skeptisisme komentar: “Repositioning Public Administration in
Indonesia…?? Get real…what you need is to turn around…”, kita kini boleh
menggantinya dengan frase: “Repositioning Public Administration in Indonesia…??
Of course…what you have to do is just looking into yourself…”.
Kepustakaan:
Darmaningtyas. 2009. Hilangnya Sistem Pendidikan Nasional, Artikel Kompas, 2 Mei
2009.
Denhardt, Janet V., and Denhardt, Robert B. 2003. The New Public Service, Serving
not Steering. New York: ME Sharpe, Inc.
Dwiyanto, Agus. 2007. Reorientasi Ilmu Administrasi Publik: Dari Government ke
Governance. Kumpulan Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Gadjah
Mada: Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Dwiyanto, Agus. 2008. Reformasi Birokrasi Pemerintah Sebagai Instrumen
Pengendalian Korupsi di Indonesia. Makalah pada Seminar Nasional
Governance Reform: Reformasi Tata Kepemerintahan dalam Menghadapi Era
Demokrasi dan Pasar Terbuka, Yogyakarta, 28 Agustus 2008.
Hoadley, Mason C. 2006. Quo Vadis Administrasi Negara Indonesia: Antara Kultur
Lokal dan Struktur Barat. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Henry, Nicholas. 1997. Administrasi Negara dan Masalah-masalah Publik. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Kartasasmita, Pius Suratman. 2007. Bringing The Public Back In.
http://home.unpar.ac.id/~pius/BRINGING%20THE%20PUBLIK%20BACK%2
0IN/BAB%202.doc
Keban, Yeremias T. 1994. Pengantar Administrasi Publik, Modul untuk Matrikulasi
Administrasi Publik. Yogyakarta: MAP UGM.
Keban, Yeremias T. 2007. Pembangunan Birokrasi di Indonesia: Agenda
Kenegaraan Yang Terabaikan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada
FISIPOL UGM. Yogyakarta: MGB UGM.
274
TEORI ADMINISTRASI DAN METODOLOGI
ADMINISTRASI PUBLIK
Mas Roro Lilik Ekowanti*
Pendahuluan
275
60 tahun dan telah menyumbangkan lebih dari 40 buku dengan 150 artikel secara
teratur dituangkan dalam Public Administration Review. Adapun prinsip kerja
Dimock mengembangkan filosofi administrasi dapat bertahan lama dengan
memfokuskan pada ketidak pastian masyarakat modern kedepan. Orientasi
administrasi kedepan pada individu bukan birokrasi, oleh karena individu dapat
mengintegrasikan dan memvitalisasi demokrasi industrial pada masyarakat abad 21.
Selanjutnya, perkembangan filosofi administrasi publik adalah menjawab
pertanyaan besarnya yaitu: dapatkah kesejahteraan masyarakat luas terjamin
selanjutnya menjadi tujuan administrasi? Sebagaimana dikemukakan oleh ilmuwan
lainnya Ordway Tead, Mary Parker Follett, Elton Mayo Chester Barnard dan Philip
Selznick. Pada periode ini administrasi dikaitkan dengan solusi administrasi secara
khusus, sedangkan Dimock lebih memfokuskan pada manajemen secara universal
seperti kepemimpinan dan motivasi pegawai. Dimock selanjutnya mengemukakan
cara terbaik memahami filosofi administrasi dengan memfokuskan pada definisi dari
4 (empat) konsep kunci yaitu: Administrasi, organisasi, administrator dan prinsip
administratif.
Administrasi
Definisi administrasi sebagai integrasi kegiatan yang membentuk masyarakat
(Harper and Brother dalam James (1990). Secara khusus, administrasi adalah ilmu
dan seni yang mendudukkan lembaga bersama dalam menetapkan macam-macam
kehidupan masyarakat yang akan dicapai. Adapun hakekat integratif dari administrasi
meliputi dimensial temporal yaitu integrasi administrasi sekarang dan masa datang.
Selanjutnya terintegrasinya kelompok dan teknologi baru dan secara efektif
dimobilisasi dalam mengejar tujuan yang dapat dicapai. Integrasi administrasi menjadi
penting dalam dinamika masyarakat kearah masyarakat yang lebih kompleks.
Organisasi
Dimock secara konsisten mengamati dua distorsi teori organisasi disebabkan
oleh dua hal yaitu: pertama, bahwa impersonal dalam birokrasi sebagaimana
dikemukakan oleh Max Weber yang secara ketat menggunakan aturan sebagai aspek
mendasar dari organisasi. Kedua, peran kepemimpinan dalam organisasi. Dimock
mengkritisi Weber dengan menunjukkan bahwa organisasi tidak bersifat mekanistik,
lembaga yang dibatasi oleh aturan saja, akan tetapi kedepan lembaga diharapkan lebih
kearah membangun image. Thesisnya bahwa birokrasi sekarang dalam persoalan besar
dan perusahaan atau kegiatan bersifat birokrasi atau birokratisasi akan kehilangan
kekuatan atau mati, untuk itu perlu dilakukan perbaikan.
Konsekwensi dari kegagalan mengembangkan paradigma teori baru untuk
teori organisasi publik selama ini dalam prakteknya menggunakan pendekatan
ortodoks. Perspektif organisasi kontemporer lebih menekankan pada pentingnya
orientasi hasil dan menolak pendekatan ortodoks serta menerapkan strategi cost
effective performance (Rosenbloom and Roberts (2005)). Keberhasilan administrasi
mensyaratkan kejelasan tujuan dan fleksibilitas proses untuk mencapai tujuan. Oleh
karenanya, struktur organisasi kedepan harus didesain memfasilitasi kinerja, informasi
dan sumberdaya daripada mengontrol pegawai. Organisasi disusun bersifat buttom up
daripada top down, seharusnya mengalir kebutuhan pengiriman layanan (delivery
services). Tugas manajemen operasi dalam desain struktur organisasi yang baru adalah
mengidentifikasi tanggungjawab operasional bersifat spesifik dari lembaga
pemerintah, mendisain organisasi dan alur kerja dengan memaksimumkan
produktifitas tanpa mengabaikan pentingnya politik dan undang-undang. (Stephen
dalam Roosenbloom (2005)). Di Indonesia komitmen produktifitas dari birokrasi
276
masih kurang, pertanyaan besarnya loncatan teori yang harus dibangun ilmuwan
Indonesia dalam rangka pengembangan teori administrasi.
Administrator
Manajer atau administrator (istilah yang digunakan silih berganti) adalah
katalis yang menjamin vitalitas organisasi. Dimocks mengemukakan bahwa individu
top menjamin kesatuan secara nyata dan terintegrasi bahwa secara personal individu
ini menguraikan dengan baik pencapaian hasil (Dimock, 1940 dalam James 1990).
Visi administrator sebagai katalis dengan agenda radikal dari reformasi administrasi
sebagaimana dikemukakan oleh Thorstein dan James Burnham dalam Dimock (1945)
dalam James (1990). Selanjutnya, administrator muncul dari esensi melayani
masyarakat. Meskipun mereka memiliki saluran formal dan informal sebaiknya
bergiliran, artistik terintegrasi ke individu. (Dimock, 1986 dalam James 1990).
Mereka memfasilitasi struktur organisasi modern didasarkan oleh insentif bukan oleh
posisi.
Dalam pendekatan kontemporer, tugas management operasi yaitu
mengumpulkan informasi untuk sebagai sarana menyusun perencanaan dan
mengalokasikan sumberdaya organisasi secara efisien, menganalisis jaringan
organisasi dan mengidentifikasi potensi kekacauan dalam lingkungan.
Lewis (1993) mengeksplorasi hubungan antara usaha-usaha meningkatkan
produktifitas dilakukan administrator dan faktor yang mempengaruhi kegiatannya
meliputi lingkungan eksternal (peran budaya politik) dan lingkungan internal
meliputi: penekanan pada perubahan, berbagai tujuan, menciptakan hubungan kerja
yang baik, keberhasilan penyusunan kebijakan. Untuk itu, perlu personal yang
profesional yaitu yang mempunyai komitmen tinggi terhadap pencapaian
produktivitas. Kemudian, persiapan kondisi struktural, oleh karena peran struktur
organisasi membentuk tindakan manajer dan memfasilitasi output organisasi dalam
melakukan reformasi pada struktur sekaligus perubahan perilaku. Selanjutnya, respons
administrator atau kepemimpinan dalam style manajemen ditunjukkan dalam bentuk
perilaku manajerial yang inovasi yaitu kemampuan mengambil kegiatan beresiko
tinggi.melalui kegiatan kognitif.
Prinsip Administrasi
Dimock’s menganggap bahwa masyarakat modern dan individu harus
menyusun prinsip administrasi. Konsep Greek secara fundamental menyeimbangkan
antara individu dan lembaga. Seperti, kepemimpinan yang ideal dalam tindakannya:
The executive is balanced when he comes to posses a personality that qualifies
him for a position of leadership, for inspiring confidence in others because he
is interested in them and does not treat them merely as pawn in his own selfish
design. He is balanced when his sense of fairness imparts to his employees the
assurance that their fortunes, both individual and collective, are safe in his
hands. (Dimocks, 1945 dalam James 1990).
277
dalam asosiasi. (Dimock, 1951 dalam James 1990). Keseimbangan juga sulit
dilakukan dalam tekanan struktural dalam organisasi, seperti pegawai berhadapan
dengan manajemen. Oleh karenannya, administrator harus menemukan dan
mengintegrasikan tekanan struktural kedalam keberlanjutnya organisasi. (Dimock,
1945 dalam James 1990).
Prinsip administrasi sebagaimana dikemukakan oleh Gulick’s PODSCORB
(1937) dalam Denhardt (2000) merupakan job dari administrasi publik, administrasi
tidak hanya berperan dalam proses kebijakan dan pemerintahan akan tetapi juga
dihadapkan pada efisiensi implementasi dari pencapaian tujuan kebijakan, nilai dalam
administrasi publik adalah efisiensi dan rasionalitas.
Dalam konteks politik, pemerintah yang ideal menurut Aristotle konsepsi
manajemen elemen esensi dalam masyarakat modern tetapi dengan asumsi bahwa
bukan apriori secara substantif, struktur organisasi dapat diantisipasi, selanjutnya
dilakukan antisipasi respon organisasi spesifik ke situasi khusus sebagai kasus yang
diharapkan mennyatakan esensi dari kualitas administrasi. Esensi utama dari
manajemen adalah pemahaman, spesifik, solusi yang bersifat substansi dapat lebih
cerdas dan efektif.
Akhirnya, Dimock mengemukakan bahwa aadministrasi yang baik memiliki
kualitas ditemukan pada komitmen organisasi kepada kepercayaan dan kejujuran.
Untuk kasus Di Indonesia, komitmen organisasi kepada kepercayaan dan kejujuran
sangat dipengaruhi oleh budaya organisasi dan komitmen kepemimpinan dalam
melakukan perubahan.
278
Simon menekankan kembali pada kegiatan administrasi adalah kegiatan
kelompok. Oleh karenanya, organisasi menempatkan beberapa individu dalam
otonomi keputusan dan menggantikan organisasi dalam proses pembuatan keputusan
(Charles Lindlom dan David Easton). Masing-masing memandang bahwa kecerdasan
manusia dan penilaian secara integral dalam membangun lembaga atau sistem
Menurut Dimocks organisasi era setelah modern, para manajer mentransfer
visinya ke organisasi selanjutnya menuangkan dalam serangkaian komunikasi kepada
bawahannya. Mereka berinteraksi dengan bawahan secara sukarela dan mendasarkan
transaksi atau hubungan melalui etika. Dimock, in the Executive in Action
memandang delegasi merupakan tindakan kritis menuju ke keberhasilan administrasi.
Delegasi dilakukan dari orang ke orang tumbuh rasa kepercayaan (trust) dan
tanggungjawab (responsibility). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa vitalitas
organisasi dapat dibangun dengan rasa kepercayaan diantara pemimpin dan pengikut
dalam organisasi. Ditegaskan kembali oleh Dimock bahwa sedikit sekali manajer yang
mempunyai kemampuan mengembangkan kepercayaan dalam organisasi. Mayoritas
tergantung pada hirarkhi impersonal. Kegagalan organisasi diawali dari tidak
berfungsinya hubungan antar personel diatas kepercayaan ( trust) dan loyalitas
(loyalty). Dimocks menegaskan: Loyalty to a system rather than to the executive
responsible for unifying and leading the organizations, constitutes one of the most
serious bureaucratic handicaps. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, pemimpin
tidak dapat membuat symbol keabsahan organisasi dan menciptakan loyalitas kepada
simbol. Orang lebih loyal kepada orang daripada kepada sistem dan orang tidak
merespon dengan baik ke perlakuan dari komponen sistem.
Definisi administrator adalah kemampuan individu atau intuisi apakah yang
dibutuhkan untuk melakukan sesuatu untuk mencapai integrasi yang baru. Dimocks
menekankan efektifitas administrator ditekankan pada kemampuan kreativitasnya.
Administrator memiliki kualitas visi, memiliki berbagai perlakuan, memiliki kualitas
spesifik membentuk karakter yang kuat atau personalitas (berkepribadian). Karakter
manajer yang kuat merupakan variabel penting dalam organisasi. Dimock mengamati
dalam A Philosophy of Administration: that people tend to admire and follow those
who are not only principled but who feel deeply about these principles. Artinya,
pandangan administrator mengedepankan prinsip universal dan tidak terpengaruh
dengan pandangan pragmatis sebagaimana dikemukakan oleh Dewey, Veblen,
Lippmann dan Follett, oleh karena manajer sebagai agen perubah.
Pragmatis bersifat relatif dan tidak percaya pada prinsip universal, manajer
seharusnya tidak dibatasi situasi, mereka seharusnya menerapkan prinsip-prinsip
universal dari manajemen ke masing-masing area untuk dikembangkan. Jadi, manajer
dihadapkan pada tantangan spesifik ke variasi manajemen akan tetapi tetap
terintegrasi kedalam tugas dan prinsip-prinsip yang sama.
Masalah yang dihadapi oleh manajer dalam abad 20 adalah mengelola
ekonomi sesuai dengan kepentingan publik. Mereka harus menciptakan
keseimbangan, integrasi politik ekonomi yang dihadapkan pada pengaruh teknologi
dan tidak dapat dihindarinya kompleksitas.
Masalah Politik Ekonomi
Dimock mengembangkan teori politik ekonomi yaitu bisnis dan pemerintah.
solusi yang diberikan olehnya tentang ketidakstabilan eknonomi ada dua yaitu:
pertama, administrator harus memahami kasus-kasus yang menyebabkan
ketidakstabilan dan campurtangan ke perbaikan menuju keseimbangan melalui
penelitian kedalam prinsip-prinsip politik ekonomi. Kedua, administrator menghindari
kekacauan ekonomi dan kontribusi solusinya. Secara bisnis, administrator menahan
279
terhadap pertumbuhan organisasi yang tidak perlu karena pertumbuhan cenderung
mengkonsentrasikan kekuatan ekonomi disatu tangan perusahaan besar. Resiko yang
diambil terutama pada membatasi manajemen sektor publik dan swasta mengatasi dan
antisipasi konsekwensi tindakan organisasi. Alternatif pilihan terhadap solusi politik
ekonomi adalah melakukan desentralisasi ekonomi. Perusahaan bebas, kompetitif
ekonomi lebih stabil dan batasan yang kecil pada sektor publik dan sektor swasta oleh
manajer. Pilihan manajer yang memberi batasan lebih leluasan pada perusahaan baik
swasta maupun publik merupakan filosofi administratifnya.
Berdasarkan kerja empiris dan teoritis dari bidang manajemen unum Ickis
dalam Korten dan Alfonso (1983), bahwa pencapaian strategi memusatkan pada
pendekatan teknikal ekonomi mencakup ide pemerataan, kesehatan fisik dan
partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan tergantung pada kepemimpinan
dan kejelasan perencanaan. Pemimpin yang efektif seringkali tidak dapat diramalkan
dan perilakunya sulit untuk dijelaskan dengan logika analisis ekonomi konvensional.
Akan tetapi, perencana pembangunan dapat merencanakan preskripsi pembangunan
dengan menciptakan visi baru dan pedoman bertindak secara komprehensif dan
menekankan pada skill dan konsepsinya atas pembangunan. Fokus peran pemimpin
mempedomani dari hari ke hari sehatnya struktur organisasi dan tugas dari
implementasi programnya.
Untuk itu, dinamika sistem dalam mana orang-orang bekerja dan secara alami
dibutuhkan mereka yang memiliki skill, seperti: pengumpulkan data based, penguatan
kelembagaan, perencanaan partisipatoris dalam pengambilan keputusan, pelaporan
berbasis analisis berdasarkan jenjang struktur, monitoring dalam implementasi,
penerapan standard kinerja menentukan keberhasilan kerja dan kemampuan
melakukan evaluasi sehingga diperoleh masukkan atau rekomendasi terhadap kegiatan
diteruskan, di tunda atau disesuaikan. Konsekwensinya, kemauan dan kemampuan
politik disetting dalam kerangka yang jelas baik produk kebijakan maupun batasan
manajemennya.
Metodologi Administrasi Publik
Kajian tentang pengembangan Teori Administrasi Publik di Indonesia tidak
banyak dilakukan oleh ilmuwan administrasi publik. Berbagai buku-buku pegangan
terbanyak berasal dari Barat. Dengan demikian, pengembangan teori administrasi
publik berbasis penelitian sangat terbatas beberapa penelitian dilakukan dengan
menggunakan pendekatan positivistik.
Untuk itu menjadi amat penting dilakukan upaya penelitian teori administrasi
dengan mengamati dan memahami tentang tema dan topik. Bermacam-macam tema
atau topik dikembangkan oleh mahasiswa administrasi publik, para praktisi dan
peneliti akademik. Semua peneliti administrasi publik dikelompokkan kedalam dua
kategori besar: generic research dan mission-specific research (David, 2002).
Penelitian generic disusun pengetahuan advanced atau memahami proses manajemen
dan mempunyai kemampuan untuk menerapkan (applicability). Sedangkan penelitian
dengan misi spesifik memfokuskan pada tujuan spesifik, program agensi atau policy
dan bukan hanya terbatas pada penelitian terapan tetapi ke bidang penelitian umum.
Sejumlah kajian tentang skope dan fokus dari penelitian administrasi publik
telah dipublikasikan tetapi banyak telah dikritisi. Penelitian administrasi publik
cenderung kurang oleh karena kurang mengikuti tiga metodologi penting yaitu: (1).
Kurangnya menguji teori, (2). Kurangnya kumulatif penelitian, oleh karena rendahnya
kajian awal dan rendahnya usaha membangun teori melalui kerja awal, (3). Publikasi
penelitian jarang dilakukan. Beberapa pengamat mengemukakan mereka percaya
280
bahwa banyak penelitian administrasi publik disusun mempunyai kualitas rendah
(David, 2002).
Peneliti cenderung lebih menekankan kepada aspek praktikal daripada
penelitian teori administrasi publik. Penelitian praktikal dalam administrasi bersifat
terapan ini terutama memusatkan pada pemecahan isu dan masalah, khususnya
menemukan solusi yang dihadapi administrator dalam lembaga pemerintahan kota dan
lokal. Menurut Garson dan Overman (1983) fokus penelitian praktikal dalam
administrasi publik memiliki bermacam-macam topik. Oleh karenanya, menuntut
metode penelitian yang berbeda. Penelitian dalam administrasi publik meliputi semua
metode yang dikembangkan oleh ilmu natural, ilmu sosial, ilmu human dan ilmu
administrasi. Perbedaan hanya pada fokus penelitian yang tidak berubah
bagaimanapun masih dalam kategori penelitian terapan untuk resolusi dari masalah
praktikal yang dihadapi oleh administrator dari organisasi publik dan organisasi non
profit.
Para akademisi dan paraktisi sangat sedikit menyusun penelitian teoritis atau
murni teori, meskipun pada saat terakhir ini penelitian murni teori (bangun teori)
sudah mulai meningkat dalam administrassi publik. Sebagaimana dikemukakan oleh
Stivers (2000):
“ in may view, the field of public administration has been marked since
the early twentieth century by a largely fruitless search for scientific
truth.I say ”fruitless” because the attempts to identify generalizations
about administrative practice that hold across all or even most situations
evitably runs up against what seems to me to be an undeniable aspect of
our subject matter – that is, any practicular situation is simultaneously
similar to and different from any ather situation.”
281
manajer gagal berusaha membangun “a learning organization”, kegagalan ini
disebabkan gagal dalam memahami budaya organisasi dan berbagai subbudaya.
Selanjutnya dikatakan jika organisasi akan maju maka diamati dan diukur tentang
implikasi dari budaya.
Berbagai uraian tentang teori, pendekatan maupun paradigma serta isu yang
berkembang dalam administrasi publik sebagai pengetahuan dan bahan pemikiran
untuk mengembangan berbagai teori, pendekatan maupun paradigma administrasi
publik mendatang, khususnya metode penelitian yang digunakan dalam penelitian
administrasi publik dipaparkan pada bagian berikut.
Beberapa peneliti mengemukakan kuatnya penggunaan pendekatan positivistik
untuk administrasi publik. Strategi atau pendekatan terbaik dalam mengkaji masalah
administrasi publik adalah kuantitatif (Houston and Delevan, 1990). Sedangkan,
White dalam David (2002), mengemukakan pendekatan valid untuk penelitian dalam
ilmu sosial dan administratif diantara deduktif dan induktif (model kuantitaif dan
kualitatif).
A. Strategi Penelitian
1. Strategi Kualitatif
Strategi kualitatif memiliki 3 (tiga) teknik yaitu: eksplanatori, interpretasi, dan
kritikal White dalam David (2002). Pendekatan yang digunakan berbeda meliputi:
etnografi, kinetics (studi tentang gerak), atmosfir, fenomenologi, proximics (studi
tentang ruang dalam lingkungan sosial). Adapun metode yang digunakan untuk
mengumpulkan data: interview melalui focus group dan elit group dan menggunakan
ukuran unobtrusive. Pengumpulan data secara tipikal menggunakan interview,
partisipan atau pengamatan unobtrusive, atau melakukan analisis dokumen dan
artifacts.
Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ilmu sosial dan
administrative kualitatif seringkali ada 2 (dua) yaitu pendekatan ethnografi dan studi
kasus. Metode ethnografi dikembangkan oleh peneliti antropologi digunakan oleh
sosiolog dan peneliti administratif. Metode yang digunakan sejarah dalam bisnis dan
studi pemerintahan, tetapi jarang digunakan dalam penelitian ekonomi. Sedangkan,
studi kasus digunakan secara ekstensif dalam administrasi publik dan bisnis
manajemen.
Ethnografi mengarahkan peneliti mengumpulkan informasi bertindak sebagai
partisipan. Pendekatan ini digunakan utamanya untuk mengidentifikasi pola-pola
kegiatan manusia. Gill and Johnson (1991), memfokuskan pada cara orang
berinteraksi dan bekerjasama. Ethnografi mempertimbangkan unobtrusive, termasuk
perilaku subyek diamati tetapi tidak dimanipulasi atau diekspos ke metode penelitian.
Studi kasus terdapat dua tipe digunakan dalam ilmu sosial dan ilmu administrasi
yaitu pendekatan kasus tunggal dan penggunaan sejumlah kasus berhubungan
tertutup. Menurut Van Evera (1997) dalam David (2002) kedua pendekatan
mengidentifikasi lima keguanaan utama studi kasus dalam ilmu politik dan
administrasi publik: menciptakan teori, menguji teori yang telah ditetapkan,
mengidentifikasi kondisi antesenden, menguji pentingnya kondisi antesenden dan
menjelaskan kasus penting secara intrinsik.
2. Strategi Kuantitatif
Penelitian kuantitatif menggunakan angka-angka dalam menggambarkan sesuatu
dan menggunakan analisis data statistik. Interpretasi data didasarkan pada prinsip
kemungkinan. Uji statistik digunakan untuk menetapkan perbedaan respon kelompok
terhadap stimuli secara nyata (statistik signifikan). Eksperimen mengidenfikasi
282
hubungan antar variabel. Penelitian ini populer pada tahun 1920 dan 1930 pada waktu
logika positivistik sebagai sebuah prasyarat prinsip dari penelitian ilmiah (Philips,
1987) atau obyektif. Dalam ilmu organisasi dan manajemen dihasilkan balanced
scorecard.
Philips melanjutkan bahwa tumbuh tekanan paradigma kuantitatif dan kualitatif
berbasis filsafat ilmu dan literatur metode penelitian.
3. Strategi Kombinasi.
Studi menggunakan kombinasi metode kuantitatif dan kualitatif, yaitu studi
archival, media dan artifact. Teknik yang digunakan meliputi: hermenitika dan analisis
isi dalam analisis dokumen, in situ analisis dan paling tidak memiliki 3 tipe
multivariate alat statistik yaitu: korelasi, analisis kluster dan analisis faktor.
Hermenetika adalah analisis dokumen dan teks menggunakan kualitatif dan kuantitatif
dalam desain studinya. Teknik kualitatif merupakan desain hermenitika. Hermenetika
adalah ilmu menginterpretasi isi teks maupun dokumen secara subyektif atau analisis
materi tekstual (Myers, 1997). Dalam filosofi memberi dasar untuk konsep
interpretivism. Sebagai metode analisis, fokusnya menjawab pertanyaan: apakah
makna teks atau bahasa? Meliputi pemahaman teks secara keseluruhan kemudian
melakukan interpretasi dari setiap bagian dan ditetapkan secara keseluruhan.
Analisis isi adalah komponen dari analisis dokumen digunakan untuk
menggambarkan atribut isi dalam dokumen dan bentuk pesan. Prosesnya peneliti
membuat kategori atau unit. Holsti (1969) mendefinisikan proses sebagai teknik untuk
membuat inferensi secara obyektif dan secara sistematis mengidentifikasi karakteristik
spesifik dari pesan. Analisis isi menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif dan
saling melengkapi masing-masing. Kombinasi aspek dari hermenitika dengan
interpretasi kuantitatif tradisional dari analisis isi.
In Situ Analisis, prosesnya menguji artefak dan invensi dari manusia dan
budaya organisasi dalam lingkungan dimana mereka ada. Contoh studi seperti:
penggunaan produk, generasi waste, dan rata-rata konsumsi. Teknik mempunyai
potensi luas digunakan dalam penelitian administrasi, tetapi tidak diadopsi secara luas.
In Situ analisis meliputi interpretif dan analisis kuantitatif. Untuk pemahaman
menyeluruh peneliti harus memaknai peristiwa atau perilaku yang dikaji. Sejumlah
kesimpulan dapat digambarkan dari laporan ini. Pertama, menekankan pada topik
yang ditujukan pada isu administrasi organisasi sebagai pengembangan teori.
Admnistrasi publik juga memusatkan pada isu ditemukan dalam organisasi sektor
swasta. Ketiga, peneliti administrasi publik menggunakan penelitian kuantitatif dan
kualitatif secara umum sama meskipun mayoritas kearah pendekatan kualitatif.
Simpulan
Kontribusi intelektual tentang cara memahami teori administrasi dengan
memahami ontologi yaitu hakekat ilmu administrasi dan pemahaman terhadap struktur
pengetahuan yaitu definisi ilmu administrasi disusun berdasarkan empat kunci yaitu
administrasi, organisasi, prinsip administrasi, administrator. Esensi dari filosofi
administrasi adalah kepercayaan dan tanggungjawab. Nilai kepercayaan dan
tanggungjawab kedepan menjadi penting bagi pengembangan ilmu administrasi
disamping nilai efektifitas, efisiensi, rasionalitas dan keadilan.
Dalam konteks epistemologi, penelitian administrasi publik jumlahnya kurang
oleh karena kurang mengikuti tiga metodologi penting yaitu: (1). Kurangnya menguji
teori, (2). Kurangnya kumulatif penelitian, oleh karena rendahnya kajian awal dan
rendahnya usaha membangun teori melalui kerja awal, (3). Publikasi penelitian jarang
dilakukan. Batasan metodologi terkait dengan batasan dan perkembangan teori
283
administrasi secara epistemologi. Pilihan terhadap strategi penelitian baik kualitatif
dan kuantitatif relevan untuk pengembangan teori administrasi publik kontemporer.
Berbagai masalah publik dan isu administrasi publik memberi ruang bagi
penggunaan metode dalam administrasi publik, pilihan menggunakan kombinasi
metode kedepan menjadi pilihan yang rasional guna mendapatkan validitas dan
reliabilitas dalam menemukan generalisasi sekaligus kedalaman analisis sehingga
diperoleh simpulan yang representasi. Dengan metodologi administrasi publik yang
lebih mudah untuk dipahami oleh ilmuwan administrasi diharapkan pengembangan
ilmu administrasi dapat dihasilkan teori administrasi negara yang kondusif bagi negara
sedang berkembang khususnya bagi Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Denhardt, Robert B., 1981. In The Shadow of Organization, Lawrence, KS: Regents
Press of Kansas.
______________, 2000. Public Administration Review, Volume 60, Number 6.
Garson, G. David and Samuel Overman.1983. Public Management Research in The
United States, New York: Praeger.
Gill, John and Phil Johnson.1991. Research Methods for Managers. London.
Chapman
Holsti, Ole R. 1969. Content Analysis for the Social Sciences and Humanitics,
Addison-
Wesley.
Houston, David, J., and Sybil M. Delevan, 1990. Public Administration Research: An
Assessment of Journal. Public Administration Review 50: 674-681
Korten, David, C., dan Felipe B. Alfonso, 1983. Bureaucracy and The Poor: Closing
The Gap, Kumarian Press, USA.
Lewis, Edward, B., 1993. Precursors of Productivity Improvement Efforts by
Appointed
County Administrators, Public Productivity & Management Review
Journal,
Volume XVI, Number 3.
Mc Nabb, David, E., 2002, Research Methods in Public Administration and
Nonprofit
Management, M.,E. Sharpe, Inc., USA.
Myers, M.D. 1997. Qualitative Research In Information System. MIS Quarterly 21,
No.2
(June).
Marshall, Dimock, An Intelectual Portrait, 1990. Public Administration Review,
Volume 50, Number 6. (November/December)
Roosenbloom, David H., and Roberts S. Kravchuk. 2005. Public Administration:
Understanding Mamanagement, Politics and Law in the Public Sector, Sixth
Edition, Mc Graw Hill, Boston
284
PERLUNYA PERUBAHAN DALAM
STUDI ADMINISTRASI NEGARA
Oleh
Dewi Casmiwati, S.IP., M.Si 90
ABSTRACT
State (Public) Administration has challenges along side with the society
dynamics and environment changes. There are four important changes in the society
that pushes a need to reform the state administration substation and curricula. They
are: first, the liberalization in all public sectors such us education, economy and
politics. The second, the openness of politics or democratization. The third,
decentralization’s policy that gives the authority for local district to regulate their own
local interest. The Fourth, the spirit to serve the people.
To adjust the changes here I recommend to reform the public administration’s
curricula. 1) Each subject that is given in public administration must give priority
bigger in practice, not teoritical. 2) There are new subjects mut be considered to be
part of public administration study: Morality and Ethics Code in public administration,
Decentralization, Legal Drafting and State Management.
Pendahuluan
Ilmu Administrasi Negara telah mengalami perkembangan yang pesat baik
secara teoritis maupun praktis, termasuk di Indonesia. Ilmu AN dirasa semakin
diperlukan dalam proses pembangunan negara ini sejalan dengan semakin
dibutuhkannya pengetahuan dan para ahli yang menguasai pengelolaan negara dengan
baik. Hal ini salah satunya dibuktikan dengan dibukanya Jurusan Ilmu AN di mana-
mana, tidak hanya universitas negeri dan sudah populer seperti UGM, UI dan UNAIR
tetapi juga universitas negeri di daerah dan universitas swasta. Jumlah peminatnyapun
beragam mulai dari lulusan SMU, birokrat yang sudah bekerja di instansi pemerintah
sampai LSM. Bahkan di beberapa universitas, Jurusan AN sudah mengalami
perkembangan dengan dibukanya Program Studi Strata 2 atau setingkat Master dan
Strata 3 atau Doktor. Hal ini sebagai bukti bahwa minat masyarakat terhadap Ilmu AN
semakin berkembang dan secara otomatis mencerminkan kebutuhan masyarakat untuk
ilmu tersebut.
Namun yang menjadi masalah adalah Ilmu AN di negeri ini masih menemui
tantangan. Banyak fenomena di lapangan mencerminkan kacaunya tertib administrasi,
tertib kebijakan dan tertib pembangunan yang selama ini menjadi 3 konsentrasi paling
populer di Ilmu AN. Berkaitan dengan tertib administrasi, ambil misal carut marutnya
DPT (Daftar Pemilih Tetap) dalam Pemilu Legislatif yang baru saja dilaksanakan,
merupakan cermin tidak tertibnya administrasi kependudukan yang ada. Terdapat satu
penduduk memiliki double KTP. Beberapa faktor yang diindikasikan menyebabkan
hal ini adalah para administrator yang kurang disiplin dalam membuat KTP. Aparat
mau menerima sejumlah imbalan agar orang yang minta KTP ”tembakan” bisa
mendapat KTP. Fenomena lain misal dalam pengadministrasian tanah, kita
dihadapkan banyak masalah pertanahan seperti tidak adanya Sertifikat atau Pethok
90
Penulis adalah Staf Pengajar di Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Univeritas Hang Tuah Surabaya.
Makalah disampaikan dalam Konferensi Nasional Administrasi Negara, tanggal 8-9 Mei 2009 di
Univeritas Airlangga, Surabaya.
285
sehingga jika ada masalah, BPN tidak punya pegangan untuk menyelesaikan.
Berkaitan dengan tertib kebijakan, masih adanya kebijakan yang tidak pro-masyarakat
dalam koridor proses KP. Misalnya kejadian yang melanda Situ Gintung
mencerminkan gagalnya implementasi dan evaluasi kebijakan, di mana dalam
peraturan sudah ditegaskan untuk tidak bermukim di sekitar Situ tetapi masyarakat
banyak yang bermukim di sekitarnya bahkan mendapat fasilitas listrik dari PLN dan
fasilitas umum lainnya, sehingga ketika tanggul jebol, masyarakat yang di bawah Situ
terkena dampaknya. Berkaitan dengan tertib pembangunan ambil misal pembangunan
sekarang yang dikuasi oleh paradigma liberal dibanding proteksionis sehingga terjadi
liberalisasi pada aset-aset yang seharusnya dikuasai oleh negara.
Atas dasar fenomena tersebut, maka penulis berani menjustifikasi Ilmu AN
telah gagal menata kehidupan kenegaraan di negeri ini, dan merasa perlu
mendudukkan kembali ilmu AN sebagai pemecahan masalah dengan menguatkan dan
mengembangkan keilmuan AN yang ada sekarang. Namun sebelum mengulas hal ini
lebih lanjut, lebih baik melihat bagaimana perkembangan Ilmu AN sejauh ini.
286
ASPA (American Political Science Association) yang memberi petunjuk tentang
merosotnya minat terhadap ilmu AN dalam fakultas ilmu politik, dan tahun 1967 AN
benar-benar dicoret dari program pertemua tahunan ASPA. Dwight Waldo memprotes
keadaan demikian, namun seolah ilmu politik sudah meninggalkan ilmu AN. Namun
demikian teradap dua perkembangan yang patut dicatat pada masa ini, yakni: pertama,
tumbuhnya penggunaan studi kasus sebagai suatu sarana yang bersifat epistimologis
dan kedua, timbulnya studi perbandingan dan pembangunan administrasi sebagai
salah satu bagian dari administrai negara .
Pada kurun waktu paradigma ke-3 ini, muncul paradigma ke-4 yang mana ilmu
AN kembali ke ilmu administrasi untuk menunjukkan isi dan fokus pembicaraan.
Dalam periode (tahun 1956-1970) ini terdapat pembahasan tentang teori organisasi
dan ilmu manajemen. Teori organisasi Pada periode ini fokus mengenai teknik-teknik
yang bisa diterapkan dimana saja dengan lokus birokrasi pemerintah. Pada awal tahun
60-an, pengembangan organisasi berkembang pesat sebagai satu spesialisasi dari ilmu
administrasi. Kendati demikian yang menjadi masalah pada periode ini adalah jika
admnistrasi menjadi fokus tunggal dari ilmu AN, lalu bagaimana dengan penggunaan
kata publik atau negara diterapkan?. Masalah yang lain muncul ketika melihat
kenyataan bahwa banyak aturan pemerintah yang mengatur sektor swasta sehingga
hubungan antara administrasi negara dengan administrasi bisnis tidak bisa diindahkan,
dan dirasa perlu diperhatikannya pengaruh ilmu AN terhadap kepentingan masyarakat.
Pada perkembangan berikutnya akhirnya ilmu AN menjadi dirinya sendiri
sebagai AN di tahun 1970, atau dikenal dengan Paradigma ke-5. Lokus ilmu AN
meluas, meliputi ilmu murni administrasi, teori organisasi, ilmu kebijaksanaan,
politik ekonomi, proses pembuatan kebijaksanaan pemerintah dan analisisnya, dan
cara pengukuran dari hasil kebijaksanaan yang telah dibuat. Lokus ilmu AN pada
periode ini di birokrasi pemerintahan dan persoalan-persoalan masyarakat (public
affairs) dan ilmu AN terus berkebang hingga kini.
287
mendorong perubahan-perubahan ke arah yang dianggap lebih baik untuk suatu
masyarakat di masa depan, serta administator dalam aparatur pemerintah bisa
bertindak sebagai penggerak perubahan.
Selanjutnya AN di Indonesia berkembang lebih dipengaruhi oleh sifat-sifat
administrasi modern yang banyak dikembangan di AS, yang bersifat praktis dan
pragmatis, yang tidak terbatas pada ilmu hukum melainkan memperhatikan pengaruh
dari ilmu sosial maupun non sosial.
Lalu pertanyaannya sekarang adalah apakah cakupan ilmu AN sudah
menjawab kebutuhan sekarang? Untuk menjawab pertanyaan ini, berikut akan
dipetakan perkembangan kontemporer kondisi lingkungan yang melingkupi ilmu dan
penerapan AN di Indonesia.
Pertama, fenomena liberalisasi di semua bidang sehingga keadaan masyarakat
semakin tidak menentu, diantaranya: kesenjangan kesejahteraan antara pemilik modal
yang notabene tinggal di kota-kota besar dengan mereka yang tinggal pedesaan, aset
negara yang banyak dikuasai oleh institusi asing sehingga Indonesia tidak memiliki
bargaining position yang memadai dalam menentukan arah pembangunan dan sektor
pertanian dan pendidikan yang tidak bisa ketemu dengan kebutuhan mayarakat untuk
sejahtera.
Kedua, di bidang politik, sejak kran reformasi dibuka, dunia politik menjadi
incaran penting bagi sebagian warga untuk hidup. Dunia politik membuka peluang
kerja yang jauh menjanjikan dengan birokrasi yang notabene diperuntukkan bagi
lulusan AN. Pamor politik lebih ungul dibanding pamor AN. Untuk Pemilu Legilatif
yang baru aja dilakanakan oleh pemerintah RI, telah membuka lowongan pekerjaan
sekitar 13.000 dengan masa ”kontrak” 5 tahun.
Ketiga, berjalannya tata kelola pemerintahan dengan sistem desentralisasi. Hal
ini memberi corak baru praktik AN di Indonesia, yang dulunya sentralisasi. Pertama,
daerah memiliki kewenangan untuk mengatur urusannya sendiri. Hal nini sekaligus
menuntut aparat daerah memiliki keahlan dalam mengelola pemerintahannya sendiri.
Ilmu AN semakin dibutuhkan dengan adanya keadaan demikian.
Keempat, semangat semua fihak (pemerintah dan masyarakat) untuk
memperbaiki pelaksanaan kenegaraan di negeri ini, diantaranya ditunjukkan dengan
upaya pemberantaan KKN, mengembalikan fungi birokrasi sebagai pelayan
masyarakat, bukan diayani masyarakat sebagai nilai yang diturunkan dari masa
kerajaan di Indonesia.
Perubahan yang terjadi di masyarakat Indonesia tersebut mustinya menjadi
pertimbangan d dalam mengembangkan perkembangan ilmu AN, yang lebih dekat
dengan kebutuhan masyarakat. Bukannya dalam paradigme ke-5 sudah ditekankan
lokus ilmu AN adalah public affairs dengan fokus banyak dipengaruhi oleh ilmu-ilmu
sosial lainnya.
288
Berbagai mata kuliah yang berada di dalam ke-3 rumpun tersebut adalah:
Konsentrasi Manajemen Publik, diantaranya:
o Manajemen Pelayanan Publik
o Manajemen Strategi Sektor Publik
o Perilaku Organisasi
o Pengembangan Organisasi
Konsentrasi Kebijakan Publik, diantaranya:
o Kebijakan Publik
o Formulasi Kebijakan Publik
o Implementasi dan Evaluasi Kebijakan Publik
Konsentrasi Administrasi Pembangunan, diantaranya :
o Perencanaan Pembangunan
o Administrasi Pembangunan
o Gender dan Pembangunan
(data lengkapnya dapat dilihat pada Buku Panduan Akademik Fakultas Ilmu
Administrasi Tahun Akademik 2007-2008)
Jika dikaji lebih lanjut mata kuliah yang ditawarkan sudah sangat bagus dan
memadai, namun yang menjadi masalah adalah aplikasi ilmu AN di lapangan masih
belum optimal. Hal ini ditunjukkan dengan masih adanya pelayanan publik yang
belum ”memuaskan” publik sebagai konsumen, banyaknya pelaksana pemerintah
yang terjerat kasus korupsi, kebijakan yang tidak bisa diterapkan dengan baik, dan
masih banyak lagi. Kondisi ini perlu pemikiran mendalam, sebenarnya apa yang
menjadi masalah di dalam AN baik secara keilmuan maupun praktek.
289
Kendati di beberapa univesitas mata kuliah ini telah diberikan dengan label seperti
etika AN namun di dalam implementasinya, sulit menegakkan etika dan moral
administrasi negara secara benar. Barangkali perlu kata sepakat untuk membangun
kode etik aparat penyelenggara negara, seperti halnya dokter atau psikiater secara
eksplisit dan internalisasi perlu dilakukan selama mahasiswa menempuh studinya.
Mata kuliah lain yang perlu diwadahi dalam studi ilmu AN ialah Otonomi Daerah,
Manajemen Kenegaraan dan Legal Drafting. Dasarnya adalah ketiganya merupakan
social affair yang sekarang dibutuhkan masyarakat Indonesia dan menjadi salah satu
fokus studi AN.
Otonomi daerah perlu diberikan sebagai dasar kepada mahasiswa mengenai
tata kelola pemerintahan yang harus dikuasai seorang aparatur negara. Legal Drafting
saat ini sangat diperlukan, dan dapat diletakkan sebagai rangkaian dari proses
kebijakan publik. selama ini lazimnya konsentrai kebijakan publik terdiri dari mata
kuliah formulasi, imlementasi dampai evaluasi kebijakan publik, yang sifatnya lebih
ke analisa. Ketika sudah sampai kepada saran, akademisi AN memiliki kelemahan
untuk membuat perundang-undangan. Legal drafting memang merupakan bagian dari
ranah hukum, namun ketika administrator negara tidak bisa membuat legal drafting,
atau minimal tahu ilmunya untuk menyuun legal drafting maka sama halnya
administrator tidak tahu apa-apa. Masukannya hanya akan sebatas dekriptif normatif
yang merupakan hasil analisa. Mustinya analisa ini bisa dituntaskan sampai pada
pembuataan rekomendasi berupa legal drafting.
Yang terakhir adalah manajemen negara yang lebih diarahkan pada bagaimana
mengarahkan jalannya pembangunan yang ideal. Hal ini mengingat perkembangan
kontemporer yang menunjukkan arah pembangunan bangsa tidak jelas. Pertanian dan
perikanan yang menjadi aset bangsa belum ditempatkan sebagai prioritas utama, dan
hal ini mengindikasikan lemahnya manajemen dalam mengatur negara ini. Bangsa
Indonesia kehilangan arah dan sudah menjadi tugas para ilmuwan AN untuk tidak
sekedar melaksanakan pembangunan tapi juga mengelola pembangunan, dengan kata
lain memanaj negara. Oleh karena itu pengetahuan mengenai manajemen negara perlu
diberikan kepada mahasiswa AN.
290
DAFTAR PUSTAKA
Fakih, Mansour, 2001, Sesat Pikir. Teori Pembangunan dan Globalisasi, Pustaka
Pelajar Offset, Yogyakarta
291
REVITALISASI KURIKULUM ADMINISTRASI PUBLIK DI ABAD 21 91
Abstrack
Aktivitas pembaharuan kurikulum Ilmu Administrasi Publik sudah seharusnya menjadi hal
yang tidak terpisahkan dalam dinamika kehidupan kita sebagai sebuah institusi yang bergerak
dalam bidang pendidikan. Hal itu disebabkan oleh dinamisnya perubahan lingkungan, baik
lokal, regional, nasional maupun global terkait dengan lokus dan fokus bidang keilmuan kita.
Departemen atau Jurusan Ilmu Administrasi Publik yang tidak memperhatikan hal tersebut
sama saja dengan upaya secara sadar untuk mengkerdilkan kualitas lulusan dari Jurusan Ilmu
Administrasi Publik sekaligus mematikan institusinya sendiri. Oleh karena itu, menghadapi
dinamika perubahan lingkungan, masyarakat, dan perubahan paradigma ilmu administrasi
yang berjalan begitu cepat, sudah menjadi pilihan kebijakan yang sine qua non bagi kita
untuk terus menerus melakukan pembaharuan terhadap kurikulum jurusan yang sama-sama
kita banggakan. Sehingga dari waktu ke waktu aspek keilmuan dan praktikal dari disiplin ilmu
kita selalu up to date dan mampu menjawab tuntutan perubahan lingkungan, bahkan lebih dari
itu mampu menentukan perubahan lingkungan itu sendiri.
A. PENDAHULUAN
Alvin Toffler (1980) pernah berpendapat bahwa: “…The illiterate of the 21st
century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn,
unlearn and relearn”, yang bila diinterpretasikan mengandung makna bahwa siapapun
(individu, organisasi, negara) yang tidak dapat maju dan berkembang di abad 21 ini
bukanlah mereka yang tidak dapat membaca dan menulis, tetapi adalah mereka yang
tidak bisa belajar, dan tidak bisa melupakan atau melepaskan apa yang sudah
dipelajari, serta tidak bisa mempelajari kembali sesuatu hal yang sudah dilupakan. Ini
adalah peringatan betapa urgennya beradaptasi dengan perubahan. Oleh karena itu,
belajar bagi setiap manusia merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendasar, karena
manusia pada dasarnya akan mampu mempertahankan hidupnya hanya jika ia mampu
belajar (berubah). Belajar merupakan syarat untuk dapat hidup, sama mendasarnya
dengan kebutuhan makan dan minum untuk memenuhi kebutuhan fisik. Dengan kata
lain, hanya orang yang mau dan mampu belajar yang akan berubah, sehingga ia
mampu hidup di alam yang selalu berubah. Sebaliknya dapat dikatakan bahwa orang
yang tidak mau dan tidak mampu belajar, ia tidak akan mampu berubah, dan pada
hakekatnya, orang yang tidak mampu berubah adalah orang yang sudah mati
(Tjakraatmadja, dkk., 2006). Demikian juga hal tersebut berlaku bagi organisasi,
termasuk organisasi pendidikan tinggi.
Dalam konteks yang demikian itu, sebagai perguruan tinggi (fakultas dan/atau
jurusan) yang bergelut dalam ranah Ilmu Adminisrasi Publik kiranya menjadi
perhatian. Mengapa? Karena perkembangan dan perubahan lingkungan global dewasa
ini bergerak begitu cepat (fastest), tidak menentu (unpredictable) dan penuh dengan
91
Makalah ini ditulis untuk Konferensi Nasional Administrasi Negara, FISIP Universitas Airlangga
Surabaya.
92
Pengajar STIA-LAN Bandung
292
pergolakan (turbulence). Perguruan tinggi perlu mengantisipasi dengan terencana,
terarah dan berkesinambungan, baik dalam aspek kelembagaan, kurikulum maupun
sumber dayanya. Jika tidak demikian, maka perguruan tinggi akan dianggap sebagai
institusi yang tidak peduli pada perubahan lingkungan (”institusi menara gading”),
khususnya pada kebutuhan dan harapan masyarakat lokal, nasional maupun
internasional.
Fenomena global menunjukkan banyak negara yang sedang membangun,
pemerintahnya mengalami kegagalan untuk menjalankan misi mulianya, yakni
membuat bangsanya menjadi sejahtera. Para pakar yang konsen pada administrasi
publik mengatakan bahwa sebab utama kegagalan negara dan pemerintahannya
selama ini dikarenakan oleh keterbelakangan dan salah-urus dalam administrasi atau
manajemen pemerintahan (Peter Drucker:1999). Barzelay (1982) juga berpendapat
bahwa kehancuran negara berkembang karena birokrasinya bekerja lambat dan
korupsi. Oleh karena itu, disarankan untuk dilakukan pembaharuan administrasi atau
manajemen pemerintahan. Demikian juga Osborne dan Gaebler (1992). Keduanya
mengatakan bahwa kegagalan pemerintah saat ini bukan pada apa (what) yang
dikerjakan pemerintah, melainkan bagaimana (how) caranya pemerintah mengerjakan.
Hal itu apabila diinterpretasikan lebih lanjut bermakna bahwa kegagalan pemerintah
disebabkan oleh kegagalan pemerintah dalam aspek administrasi, yaitu cara
pemerintah mengelola pemerintahannya. Lebih lanjut, Osborne yang ”berduet”
dengan Plastrik (1996) juga menekankan hal yang mirip, dengan memberikan saran
untuk dilakukannya pemangkasan birokrasi sehingga menjadi ramping dan efektif atau
tidak menimbulkan red-tape.
Fenomena tersebut menjadikan pembaharuan administrasi (administrave
reform) menjadi topik yang hangat sekaligus menjadi tindakan kebijakan yang diambil
oleh negara-negara berkembang di Abad 21, seperti yang diutarakan oleh Guy Peters
(2002) dan Ali Farazmand (2002), dan sebagainya, guna memperbaiki dan mencapai
kemajuan bangsa. Bagi bangsa Indonesia, pembaharuan dan perbaikan administrasi
pemerintahan juga dilakukan sebagai dampak dari kegagalan administrasi
pemerintahan seperti yang digambarkan McLeod (1998). Ia mengemukakan bahwa
krisis multidimensional yang terjadi di Indonesia, sebagian besar disebabkan oleh
salah urus pada semua sektor, termasuk sektor pemerintahan sehingga negeri yang
kaya dengan sumber daya alam itu terpuruk dan bangkrut serta menanggung hutang
luar negeri yang amat besar. Pemerintah tidak berperan baik sebagai organisasi publik
yang berkompoten dalam mengurusi permasalahan publik di negeri ini.
Untuk melakukan pembaharuan itu, beberapa konsep yang berkembang di
dunia dan berhasil diterapkan seperti sistem demokrasi (globalisasi politik), penerapan
pasar bebas dan reduksi peran pemerintah (globalisasi ekonomi), serta penerapan good
governance (globalisasi administrasi publik) juga berdampak bagi Bangsa Indonesia,
dan untuk mengoperasionalkan konsep-konsep pembaharuan dan/atau perbaikan itu,
secara signifikan, salah satunya menjadi tanggungjawab dunia pendidikan tinggi,
khususnya bagi pendidikan tinggi yang core businessnya adalah Ilmu Administrasi
Publik. Mengapa dikatakan demikian? Jawabannya jelas, karena salah satu sebab
utama (causa prima) dari kegagalan negara kita dalam menjalankan misinya itu adalah
kelemahan dalam administrasi negara. Karena itu, sudah selayaknya apabila para ahli
dan akademisi administrasi publik di Indonesia harus menyusun konsep-konsep
pemikiran yang kontekstual (dalam kurikulum pembelajarannya) yang dapat
diterapkan oleh bangsa ini, selain dalam rangka pengembangan ilmu juga merupakan
tangung jawab sosial dan moral perguruan tinggi untuk menciptakan sumber daya
manusia dan calon-calon pemimpin bangsa yang berkualitas untuk membangun
293
bangsa di tengah perubahan lingkungan global yang berjalan begitu cepat dan dinamis
serta perubahan lingkungan nasional yang tak terelakkan lagi.
B. TUNTUTAN PERUBAHAN
Jika memperhatikan perkembangan lingkungan di Abad 21 ini, maka secara
umum pendidikan tinggi Ilmu Administrasi Publik di Indonesia dihadapkan pada 3
tuntutan perubahan, yang perlu diantisipasi, selain berbagai kegagalan manajemen
pemerintahan sebagaimana dipaparkan di atas, yaitu pertama, berkaitan dengan
perubahan paradigma dalam Ilmu Administrasi Publik; kedua, globalisasi; dan ketiga,
kebijakan pendidikan nasional.
294
pemerintah atau organisasi publik di belahan dunia saat ini mulai menerapkan
berbagai pendekatan atau paradigma-paradigma baru yang berkembang di lingkungan
global dalam rangka menjawab tantangan global. Beberapa paradigma penting dan
dominan yang berkembang dan diterapkan oleh bangsa-bangsa di belahan dunia pada
Abad 21 ini, antara lain adalah (1) Reinventing Government (Osborne dan Gaebler:
1992), (2) Banishing Bureaucracy (Osborne dan Plastrik: 1996), (3) Good
Governance (UNDP dan Bank Dunia: 1990-an) New Public Management (Pollit;
1990 & Hood;1991) dan (4) New Public Services (Denhardt and Denhardt: 2003).
Dari keempat penerapan paradigma tersebut,---dengan memperhatikan strategi,
prinsip-prinsip, dan aspek-aspek yang ditekankan---, pada intinya mengarah pada
upaya perbaikan administrasi negara guna pemecahan masalah-masalah
pembangunan, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik yang terjadi di
negara berkembang, seperti yang diungkapkan Denhardt dan Denhardt dalam New
Public Services-nya. Mereka menyarankan agar suatu bangsa dapat maju dan
mengatasi berbagai kegagalan dalam penyelenggaraan pemerintahan maka perlu
meninggalkan prinsip administrasi tradisional dan beralih ke prinsip New Public
Services. Menurut mereka, agar administrasi negara dapat berhasil maka harus (1)
melayani warga masyarakat bukan sebagai pelanggan lagi (serve citizen, not
customers). Artinya bahwa administrsi publik bekerja untuk kepentingan publik dan
bukan untuk kepentingan diri sendiri. Kepentingan publik merupakan hasil dari
sebuah dialog tentang nilai bersama daripada merupakan agregasi dari kepentingan
individu. Oleh karena itu, pegawai pemerintah tidak semata-mata merespons tuntutan
pelanggaran yang beragam dan saling berupaya memaksimalkan kepentingan dirinya
tetapi seharusnya lebih memusatkan diri kepada upaya membangun hubungan saling
percaya dan kolaborasi yang kuat antar warga negara sebagai pemilik dan penjaga hak
dan kewajiban bagi komunitas yang lebih luas; (2) mengutamakan kepentingan publik
(seek the public interest). Artinya administrasi publik harus berperan aktif
membangun paham bersama dan kolektif tentang kepentingan publik. Tujuannya
bukan untuk menemukan solusi yang cepat atas dasar pilihan individu tetapi untuk
membangun kreasi lahirnya kepentingan dan tanggung jawab bersama; (3) lebih
menghargai warga negara dari pada kewirausahaan (value citizenship over
entrepreneurship). Maksudnya bahwa kepentingan publik dapat dicapai dengan lebih
baik jika dilakukan oleh pegawai pemerintah bersama warga negara yang terikat
dengan komitmen untuk memberikan kontribusi terbaik bagi masyarakat daripada oleh
para manajer wirausaha yang bertindak seolah-olah organisasi dan uang publik itu
adalah miliknya;(4) berpikir strategis dan bertindak demokratis (think strategically,
act democratically); (5) menyadari bahwa akuntabilitas bukan merupakan sesuatu
yang mudah (recognize that accountability is not simple); (6) melayani daripada
mengendalikan (serve rather than steer) dan (7) menghargai orang, bukannya
produktivitas semata (value people, not just productivity).
Berangkat dari pemaparan di atas maka di abad 21 ini agar administrasi
negara suatu bangsa yang sedang membangun, termasuk Indonesia bisa berhasil, maka
perlu dilakukan perubahan dalam pembelajaran ilmu dan praktek administrasi atau
manajemen pemerintahannya, meliputi aspek manajemen, kelembagaan, kualitas dan
perilaku sumber daya, dengan mempertimbangkan perkembangan mutakhir teori dan
paradigma administrasi publik yang berkembang. Untuk maksud tersebut, PT
Akademik dan Kedinasan yang memiliki Jurusan Ilmu Administrasi Publik
mempunyai peran yang penting dan besar dalam konteks tersebut.
295
2. Globalisasi
Di samping pergeseran paradigma seperti yang disampaikan di atas, pada abad
21 ini, kita dihadapkan pada tuntutan perkembangan globalisasi. Kemajuan teknologi
yang pesat menyebabkan informasi di belahan dunia tersebar begitu cepat dan
membawa dampak pada ragam sektor, termasuk dalam sektor pemerintahan.
Teknologi dapat dikatakan sebagai primary change driver dalam lingkungan global.
Salah satu teknologi yang sangat berpengaruh adalah teknologi informasi. Teknologi
ini membuat dunia menjadi tak memilik batas atau dunia tanpa batas (borderless
society). Informasi dapat diperoleh oleh siapa, di mana dan kapan pun.
Walter B. Wriston (1992) menuliskan bahwa revolusi informasi dengan
perangkat komunikasi internet dan sistem komputer modern telah membawa pengaruh
yang signifikan pada kehidupan manusia, organisasi dan negara. Kemampuan
manusia, organisasi, atau negara untuk bertahan hidup tergantung sepenuhnya pada
sumber kekayaan baru, yaitu informasi, pengetahuan yang diterapkan pada pekerjaan
untuk menciptakan suatu nilai. Siapa yang memiliki informasi yang unggul dan
terbaru, ia akan menjadi yang terbaik. Konsekuensinya, jika suatu negara atau
organisasi di era globalisasi ingin mempertahankan daya saingnya, maka harus
mampu membangun kualitas sumber daya manusia yang melek teknologi informasi,
sehingga mampu mengelola informasi.
Kemampuan untuk mengelola informasi ini menurut Choo (1998) disebut
sebagai Knoweledge Management. Sehingga pada titik ini, Perguruan Tinggi,
khususnya Ilmu Administrasi Publik, harus mengambil peran sedemikian rupa
sehingga peserta didik yang dididik juga mampu mengelola informasi secara
profesional. Dengan pernyataan lain peserta didik dapat mengoperasionalkan dan
memanfaatkan teknologi tersebut, guna peningkatan kualitas lulusan juga kemajuan
organisasi dan bangsa. Jika tidak demikian maka individu, organisasi dan negara akan
kalah bersaing dalam percaturan global yang menuntut persaingan.
296
Adapun upaya pembaharuan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada institusi
perguruan tinggi bersangkutan. Karena berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan, UU No.20/2003, pasal 50 ayat (6) dan pasal 51 ayat (2), mengatakan bahwa
perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi (kemandiran) dalam
mengelola pendidikan di lembaganya, dengan berpegang teguh pada prinsip
akuntabilitas, jaminan mutu dan evaluasi yang transparan, selain prinsip otonomi itu
sendiri.
93
Pure Public Administrative Science lebih menekankan pada pengembangan keilmuan dari Ilmu
Administrasi Publik, sedangkan Applied Public Administrative Science, menekankan pada
tools/instrument untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam administrasi negara, sehingga
administrasi negara menjadi efektif, efisien dan berkinerja baik. Berapa tools tersebut antara lain:
Balanced Score Card, Strategic Management, E-Government, Organization Learning, Benchmarking,
dsbnya.
297
Administrasi Publik yang baik dan kompetitif. Itu berarti berkaitan dengan kompetensi
lulusan.
Untuk membentuk kompetensi lulusan yang berkualitas maka langkah yang
harus dilakukan antara lain adalah menyusun kurikulum yang berbasis kompetensi.
Adapun kompetensi yang dibangun adalah kompetensi yang dapat berkompetisi.
Benyamin S. Bloom, menyarankan tiga aspek utama berikut yang perlu dijadikan
acuan untuk menyusun kurikulum pembelajaran. Pertama aspek kognitif (kognitive
aspect) dengan penekanan pada aspek intelektualitas. Disini, kurikulum pembelajaran
harus memampukan peserta didik untuk dapat mengingat (remember), memahami
(understanding), menerapkan (apply), menganalisis (analyze), mengevaluasi
(evaluate) dan menciptakan (create) terhadap apa yang disebut dengan dimensi
pengetahuan (knoweledge dimension), berupa: factual knoweledge, conceptual
knoweledge, procedural knoweledge dan meta-cognitive knoweledge dari disiplin ilmu
yang dipelajari. Kedua, aspek afektif (affective aspect). Dalam aspek ini diharapkan
agar kurikulum pembelajaran memampukan peserta didik dalam hal sikap (attitude),
nilai-nilai (values), minat (interest) dan apresiasi (appreciation) atau dengan kata lain
agar peserta didik dapat berinteraksi dengan lingkungannya. Ketiga, aspek
psikomotorik (psychomotoric aspect), dimana peserta didik diharapkan dapat
memiliki ketrampilan (skill), kemampuan (ability), kebiasaan serta ketrampilan fisik
dan mental (habits and physical and mentality skill).
Dengan pandangan lain, bila kita menyitir pemikiran UNESCO (1997; dalam
Sindhunata: 2000), dikatakan bahwa pembaharuan kurikulum yang dilakukan oleh
institusi pendidikan di abad 21 (termasuk Jurusan Ilmu Administrasi Publik) harusnya
mendasari pada empat pilar pendidikan (the fours pillars of education) berikut: (1)
learning to know,(2) learning to do,(3) learning to be dan (4) learning to living
together. Artinya, jika diinterpretasikan, yang pertama, bahwa kurikulum dan/atau
materi pembelajaran yang disusun dalam suatu disiplin ilmu harus membuat peserta
didik dapat belajar untuk mengetahui (learning to know) ilmu pengetahuan yang
dipelajari (atau benar-benar menguasai ilmu tersebut dalam tataran filosofi/ grand
theory /mata kuliah inti disiplin ilmu bersangkutan). Untuk itu maka tiga hal berikut
perlu diperhatikan dalam pembuatan kurikulum, yaitu: materi pembelajarannya,
proses pembelajaran dan si pembelajar. Kedua, Learning to Do, bahwa kurikulum
yang disusun harus dapat membentuk kompetensi personal dari peserta didik. Artinya,
peserta didik dapat menerapkan apa yang ia dapat dari disiplin ilmu yang dipelajari di
dunia pendidikan dengan kondisi atau tuntutan pasar. Kompetensi personal tersebut
mencakup: ketrampilan dasar (membaca,menulis, berbicara, mendengarkan dan
berhitung); ketrampilan berpikir (kreatif, kemampuan mengambil keputusan,
penyelesaian masalah, memvisualisasikan, belajar dan menggunakan nalar); kualitas
kepribadian (self-esteem, tanggung jawab, kemampun bersosialisasi, self management,
integritas dan kejujuran). Ketiga, Learning to be, bahwa kurikulum yang disusun
harus bisa “menciptakan” atau tercapainya perkembangan yang semaksimal dan
seutuhnya dalam kepribadian peserta didik, baik sebagai pribadi maupun sebagai
anggota masyarakat, atau dengan kata lain lulusan dari perguruan tinggi harus dapat
menyadari siapa dirinya dalam hubungannya dengan orang lain, mengetahui apa yang
harus dilakukan, dan melakukannya dengan baik bagi masyarakat dari disiplin ilmu
yang digelutinya. Keempat, Learning to living together. Ketiga pilar di atas menjadi
fondasi untuk terlaksananya pembelajaran nilai-nilai kehidupan dalam kebersamaan.
Artinya kurikulum yang disusun harus mampu juga mengakomodasi nilai-nilai yang
berkembang di lingkungan, seperti: hak asasi manusia, demokrasi, keadilan,gender
dan sebagainya.
298
Dari kedua gagasan tersebut kita bisa melihat bahwa kurikulum yang ideal
yang dapat membentuk kompetensi lulusan, secara ringkas harus mencakup tiga
dimensi utama, yaitu pengetahuan (ilmu dari disiplin ilmu yang dipelajari),
keterampilan (berkaitan dengan keahlian untuk mengaplikasikan teori), dan sikap
(berperilaku yang baik dalam menerapkan ilmu dan berinteraksi dengan lingkungan).
Ketiga dimensi tersebut boleh dikatakan menyerupai apa yang diharapkan oleh
pemerintah terhadap kurikulum pendidikan nasional kita, termasuk kurikulum dalam
disiplin Ilmu Administrasi Publik. Menurut UU Sistem Pendidikan Nasional (UU
No.20/2003, pasal 36 ayat 3) dan Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional
Pendidikan (PP No.19/2005, pasal 25 ayat 4 dan pasal 26 ayat 4), yang dimaksudkan
dengan kompetensi adalah mencakup akhlak mulia, memiliki pengetahuan,
ketrampilan, kemandirian dan sikap untuk menemukan, mengembangkan,serta
menerapkan ilmu, teknologi dan seni yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Oleh karena
itu, kurikulum yang disusun harus memperhatikan: (1) peningkatan iman dan taqwa;
(2) peningkatan akhlak mulia; (3) peningkatan potensi, kecerdasan dan minat; (4)
keragaman potensi daerah dan lingkungan; (5) tuntutan pembangunan daerah dan
nasional; (6) tuntutan dunia kerja; (7) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni; (8) agama; (10) dinamika perkembangan global; dan (11) persatuan nasional dan
nilai-nilai kebangsaan.
Artinya kita bisa menginterpretasikan dan membahasakan dengan konsep yang
lain bahwa kurikulum yang disusun dalam ranah Ilmu Administrasi Publik, idealnya
mencakup atau dapat menampung tiga misi utama, yakni: (1) perilaku etis (ethical
conduct); (2) kemampuan untuk melayani masyarakat (ability to serve people); dan (3)
profesionalisme (profesionalism). Perilaku etis, maksudnya Jurusan Ilmu Administrasi
Publik, harus menghasilkan lulusan yang mampu bersikap dan bertindak sesuai
standar etika yang berlaku; Kemampuan untuk melayani masyarakat, maksudnya
Jurusan Ilmu Administrasi Publik menghasilkan lulusan yang dengan bakat dan
ketrampilan yang dimilikinya, mampu memperbaiki kualitas masyarakat; dan
profesionalisme, maksudnya Jurusan Ilmu Administrasi Publik mampu menghasilkan
lulusan yang memiliki standar profesionalisme yang tinggi, mampu bersaing di tingkat
lokal, nasional dan internasional.
Idealisasi yang diharapkan ini harus menjadi komitmen dari seluruh Perguruan
Tinggi Akademik dan Perguruan Tinggi Kedinasan yang memiliki Jurusan Ilmu
Administrasi Publik untuk diwujudkan. Pertanyaannya adalah bagaimana bentuk
pembaharuan kurikulum, aksentuasi kurikulum Jurusan Ilmu Administrasi Publik di
Perguruan Tinggi Akademik dan Kurikulum Jurusan Ilmu Administrasi Publik di
Perguruan Tinggi Kedinasan?
Pertanyaan tersebut muncul karena menurut kami ada perbedaan yang kuat
mengenai aspek-aspek kompetensi yang ditransformasikan kepada peserta didik, di
lingkungan Perguruan Tinggi Akademik dan Perguruan Tinggi Kedinasan. Secara
umum, menurut penulis, Jurusan Ilmu Administrasi Publik di Perguruan Tinggi
Akademik, kurikulumnya lebih menekankan pada pengembangan keilmuan dari Ilmu
Administrasi Publik (Pure Public Administrative Science). Sementara itu pada Jurusan
Ilmu Administrasi Publik di Perguruan Tinggi Kedinasan, lebih menekankan pada
aplikasi dari Ilmu Administrasi Publik (Applied Public Administrative Science).
Keduanya secara institusional berbeda. Perbedaannya pada: pendidikan akademik
dengan peserta didiknya adalah dari masyarakat umum yang belum bekerja, yang
299
lainnya adalah pendidikan profesi 94 dengan peserta didik yang telah bekerja
(aparatur). Atau bila kita meminjam pendapat Bloom di atas, maka pada Perguruan
Tinggi Akademik, boleh dikatakan bahwa prosentase kompetensi yang ditekankan
adalah pada aspek kognitif dan afektif ketimbang aspek psikomotorik, sedangkan pada
Perguruan Tinggi Kedinasan, prosentase kompetensi ditekankan pada aspek
psikomotorik dan kognitif ketimbang aspek afektif.
Meskipun demikian, apa yang menjadi state of the art of public administration
science tetap menjadi jiwa dari kurikulum yang dibuat oleh Jurusan Ilmu Administrasi
Publik di Perguruan Tinggi Akademik maupun di Perguruan Tinggi Kedinasan.
Dengan perkataan lain kurikulumnya tidak pernah lepas dari ranah Ilmu Administrasi
Publik. Hal-hal yang menjadi ruh dan ruang lingkup dari disiplin ilmu, tetap harus
diakomodasikan dalam kurikulum, dengan berbagai inovasi di dalamnya. Antara lain:
(1) Perkembangan teori organisasi dan manajemen; (2) Lingkungan politik dalam
Ilmu Administrasi Publik, berkaitan dengan proses kebijakan publik; (3) Budaya
organisasi publik; (4) Hubungan antar kelembagaan pemerintahan; (5) Perilaku
organisasi; (6) Revolusioner managerialisme dalam organisasi publik; (7) Manajemen
kinerja; (8) Manajemen Strategis pada sektor publik; (9) Kepemimpinan; (10)
Manajemen personalia dan hubungan kerja; (11) Akuntabilitas pada sektor publik;
(12) Manajemen keuangan publik; (13) Auditing dan Akuntansi dalam sektor publik;
(14) Evaluasi program; (15) Penerapan reinventing government; dan (16) Etika dalam
administrasi publik (Shafritz dan Russel:1997), harus dimuat dalam kurikulum yang
dikembangkan.
Demikian juga hal-hal seperti: (1) Apa yang dilakukan oleh sarjana Ilmu
Administrasi Publik; (2) Metodologi penelitian Administrasi Publik; (3) Ilmu sosial
dan politik yang terkait dan menunjang analisis sarjana Ilmu Administrasi Publik; (4)
Kecenderungan-kecenderungan mutakhir perkembangan dunia seperti teknologi
informasi, juga perlu dimasukkan ke dalam kurikulum. Sehingga mata kuliah yang
menjadi ciri khas atau identitas dari Ilmu Administrasi Publik selalu saja sama dan
harus ada (kalau tidak disebut dengan nama yang berbeda), antara Perguruan Tinggi
Akademik dan Perguruan Tinggi Kedinasan yang memiliki Jurusan Ilmu Administrasi
Publik. Meskipun dalam perundang-undangan telah diatur, bahwa perguruan tinggi
memiliki otonomi untuk menentukan kerangka dasar dan struktur kurikulum yang
dikembangkan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. (UU No.20/2003,
pasal 38 ayat 3,4) .
Mata kuliah yang dimaksud di atas dalam Jurusan Ilmu Administrasi Publik
disebut sebagai mata kuliah inti/wajib bagi Jurusan Ilmu Administrasi Publik, yang
menurut kami dengan memperhatikan berbagai kurikulum yang di berbagai jurusan
Ilmu Administrasi Publik di berbagai PT adalah sebagai berikut:
a. Pengantar Ilmu Administrasi Publik
b. Teori Administrasi Publik
c. Teori Organisasi Publik
d. Pengantar Ilmu Kebijakan Publik
e. Teori Kebijakan Publik
f. Hukum Administrasi Negara
g. Etika Birokrasi
h. Teori dan Perilaku Organisasi
i. Metodologi Penelitian Administrasi
94
Pendidikan profesi menurut UU SISDIKNAS, No.20/2003, pasal 15 (dalam penjelasannya) adalah
pendidikan tinggi setelah sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan
persyaratan KEAHLIAN KHUSUS
300
j. Kepemimpinan dalam Organisasi Publik
k. Statistik Sosial; dsbnya.
301
Drafting, Kebijakan Publik, dan Logistik, dan sebagainya. Sehingga pada akhirnya
lulusan STIA LAN dapat memiliki “profesi”, katakanlah sebagai ”Administrator”
yang memiliki keahlian dalam bidang perencanaan (Profesi Perencana); Administrator
yang memiliki keahlian dalam bidang logistik (Profesi Logistor); Administrator yang
memiliki keahlian dalam bidang keuangan daerah/negara, Administrator yang
memiliki keahlian dalam bidang kebijakan publik (Profesi Analis Kebijakan Publik),
dan sebagainya. Untuk hal ini, kami mengharapkan PERSADI sebagai organisasi
profesi yang mewadahi sarjana lulusan Ilmu Administrasi (Publik maupun Bisnis),
dapat memberi masukan dan dukungan terhadap upaya pemberian gelar atau jabatan
profesi tersebut.
Uraian tentang persamaan dan perbedaan kurikulum antara PT Akademik dan
Kedinasan di atas, secara visualisasi dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 1.
Gambar 2.
302
Kemampuan konseptual Berpikir filosofi dan stratejik
(di tingkat corporate)/ (level S3)
level S3
1
E.PENUTUP
Perkembangan lingkungan global yang begitu cepat, memaksa kita untuk
melakukan pembaharuan dalam institusi pendidikan kita. Oleh karena itu, hal yang
perlu kita lakukan adalah melakukan reformasi kelembagaan, secara khusus mengenai
kurikulum Ilmu Administrasi Publik kita, sehingga lulusan yang kita hasilkan dapat
bersaing di pasar lokal, nasional dan global. Dengan perkataan lain, bagaimana
kurikulum Ilmu Administrasi Publik dapat mempertahankan tujuan mencerdaskan
kehidupan bangsa di tengah arus pragmatisme global yang berorientasi pada
kepentingan pasar?
Untuk maksud tersebut, maka pengembangan kompetensi yang dapat
berkompetisi, sudah menjadi keharusan bagi PT Akademik maupun Kedinasan yang
memiliki Jurusan Ilmu Administrasi Publik. Hal ini selain dalam rangka meningkatkan
kualitas lulusan juga dalam rangka membantu pemerintah mengatasi kegagalan dalam
mengelola pemerintahan yang selama ini terjadi.
Guna mewujudkan kompetensi yang diharapkan tersebut, maka beberapa hal
berikut meskipun sebagai pendukung, harus dipersiapkan secara matang, seperti
tenaga pendidik dan kependidikan, proses pembelajaran juga sarana prasarana umum
dan penunjang proses pembelajarannya.
Selanjutnya, hal yang penting dan yang perlu diperhatikan pula dalam sistem
pendidikan tinggi kita adalah bahwa kita tidak perlu terjebak dalam dilema nilai antara
mendidik peserta didik agar menguasai teori dan mengenyampingkan praktek atau
mendidik peserta didik yang mampu menguasai praktek dan mengenyampingkan teori. Jika
kita menekankan yang nilai yang kedua, menguasai praktek dan mengenyampingkan
teori, maka pendidikan menjadi training oportunistic. Mahasiswa hanya mau cepat-
cepat dapat ijazah atau gelar lalu selesai. Dan dunia kerja akan segera menerimanya
sebagai pekerja yang mungkin agak terampil tapi tidak pasti berpandangan luas,
kreatif dan dapat membawa organisasi dan/atau negara ke masa depan yang baru.
Sebab mereka ini hanya akan dapat menyesuaikan dengan pembangunan yang sudah
tersedia, bukannya sebagai pembaharu masyarakat. Sebaliknya pilihan jatuh pada nilai
yang pertama, lebih mengedepankan penguasaan teori ketimbang praktek, maka
barangkali tak segera mungkin kita mendapat pekerja-pekerja praktis bagi dunia kerja.
Namun dalam jangka waktu yang panjang kita akan mempunyai orang-orang kreatif
yang bisa menciptakan sesuatu yang berguna bagi organisasi dan bangsa tercinta ini.
303
Meskipun dilema itu dirasakan, secara konseptual seperti yang dikatakan
Bloom, sebaiknya dunia pendidikan tinggi, khususnya departemen dan/atau jurusan
Ilmu Administrasi Publik perlu menciptakan keseimbangan antar kemampuan
kognitif, afektif dan psikomotorik atau istilah sekarang adalah kemampuan intelektual,
kemampuan untuk berelasi, keahlian dan kemampuan spritual. Sejaumana idealisme
itu terwujud? Jawabannya tergantung pada pendidik dan tenaga kependidikan yang
ada di PT Akademik maupun Kedinasan yang memiliki Jurusan Ilmu Administrasi
Publik dalam mengelola sistem atau penyelenggaraan proses pembelajaran di
institusinya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Denhardt Janet W. & Denhardt, Robert B., (2003), The New Public Services, New
York: M.E. Sharpe
Osborne, David, & Ted Gaebler, (1992), Reinventing Government : How The
Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector, terj., Pustaka
Binaman Presindo, Jakarta
Osborne, David, & Plastrik, P., (1992), Banashing Bureaucracy : The Five Strategies
for Reinventing Government , Massachussetts, Addison Wesley,
Publishing Company
Peters, Guy B., (2001), The Future of Governing, 2nd ed. Rev., University Press of
Kansas
Peter Drucker (1999), Management Challenges for The 21st Century, New York:
Harper Bussiness
Shafritz, J.M & E.W. Russel, (1997), Introducing Public Administration, New York:
Addison-Wesley Educational Publishers Inc.
304
Tjakaraatmadja, Jann Hidayat, dkk., (2006), Knowledge Management dalam Konteks
Organisasi Pembelajar, SBM ITB, Bandung.
Toffler, Alvin, (1980), The Third Wave, Pan Books, London, 1981 edition.
Peraturan Perundang-undangan
305
REGIONALISASI, KERJASAMA DAN KOLABORASI DALAM
INTERGOVERNMENTAL MANAGEMENT 95
Abstraksi
Pergeseran paradigma desentralisasi dari sentralisasi serta prinsip-prinsip
networking dalam praktek kerjasama antar daerah belum diikuti sepenuhnya oleh
pelaksana birokrasi. Kerjasama antar daerah masih cenderung birokratis dan kurang
fleksibel. Pada proses perubahan regionalisasi (pembentukan region) menjadi
kerjasama regional prakarsa awal dari proses pembentukan regionalisasi yang
mencirikan regionalisasi sentralistis tidak berpengaruh pada perkembangan sebuah
regionalisasi menjadi lembaga kerjasama regional atau tetap sebatas region keruangan.
Banyak faktor lain yang lebih menentukan.Secara keseluruhan model komunikasi dari
Goggin (1990), yakni : The Communications Model of Intergovernmental Policy
Implementastion, yang mengemukakan sejumlah faktor inducement dan constraint
dari pemerintah dari tingkat atas dan dari kabupaten/kota serta lembaga pelaksana
kerjasama sendiri dapat dijadikan rujukan. Sementara itu faktor pembentukan
regionalisasi dari Weichhart (2004), lebih menegaskan beberapa variable : egoisme
lokal, keterbatasan kemampuan daerah, dan lain sebagainya dalam kerjasama regional.
Kesalahan umum adalah menerapkan prinsip-prinsip birokrasi Weberian dalam format
kerjasama antar daerah. Pengembangan lembaga kerjasama antar daerah mestinya
dilakukan dengan pendekatan inter organisasi yang mengedepankan konsep
networking.
Kata Kunci : Regionalisasi, Kerjasama Antar Daerah, dan Kolaborasi.
A. Pendahuluan
Pasca orde baru banyak harapan tertumpu pada otonomi daerah yang
diperoleh oleh kabupaten / kota di Indonesia. Kreativitas dan inisiatif daerah
makin berkembang, kesejahteraan masyarakat diharapkan juga makin meningkat
dengan makin dimengertinya kemauan masyarakat oleh penyelenggara pelayanan
public, dan sederet harapan lainnya yang tertumpu pada penguatan otonomi
daerah. Dalam pelaksanaannya, penguatan otonomi daerah ini memiliki sisi
negatif antara lain, sinergi pembangunan regional yang dikawatirkan makin
menjauh akibat lemahnya koordinasi diantara mereka. Kabupaten kota bukannya
menjalin kerjasama untuk berbagi peran dalam penyelesaian masalah bersama,
atau meningkatkan daya saing dengan bersinergi tetapi membiarkan kondisi tanda
komunikasi, tanpa koordinasi bahkan tanpa kerjasama di tingkat regional. Semua
masalah diupayakan penanganannya sendiri-sendiri. Ada beberapa fenomena
pasca orde baru terkait makin perlunya memperhatikan manajemen regional.
Pertama, melemahnya koordinasi pembangunan tingkat regional. Kesan
berjalan sendiri-sendiri dan kurang terkoordinasi secara regional pada
penyelenggaraan pembangunan antar kabupaten / kota sangat nampak sejak
dilaksanakannya Undang-Undang Pemerintahan di Daerah tahun 1999 yang
kemudian mendapatkan revisi tahun 2004. Menurunnya intensitas koordinasi
manajemen regional ini mendapat penguatan dari kenyataan bahwa titik berat
95
Makalah disarikan dari sebagian materi disertasi penulis
96
Staf Pengajar pada Jurusan Adm Publik Undip, Alumnus Program Doktor Administrasi Negara
Fisipol UGM
306
pelaksanaan otonomi daerah berada di kabupaten / kota. Kendali pemerintah
provinsi sebagai koordinator pembangunan kabupaten / kota mengendor seiring
penguatan otonomi di tingkat kabupaten kota. Akibat selanjutnya isu-isu
pembangunan regional menjadi kurang mendapatkan perhatian yang optimal.
Kedua, kurangnya ruang untuk manajemen regional pada hirarkhi
perundangan. Tata penyelenggaraan pemerintahan menurut Undang-Undang No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kurang memberikan tempat yang
tegas pada pengurusan permasalahan regional tersebut. Hal ini nampak pada dua
fenomena berikut. Pertama, pembagian wilayah administratif di Indonesia tidak
secara eksplisit menunjukkan pengurusan wilayah antar kabupaten / kota. Undang-
undang tersebut menyebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi
atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan
kota yang masing-masing mempunyai pemerintah daerah (pasal 2 ayat (1)).
Kedua, kurangnya tempat bagi penyelenggaraan pembangunan lintas
kabupaten/kota ini juga diperkuat dalam Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional (SPPN) yang diundangkan tahun 2004 i. Aturan tersebut tidak secara
jelas memberikan tempat bagi forum perencanaan pembangunan kewilayahan
yang berada pada lebih dari satu wilayah kabupaten / kota dalam satu wilayah
provinsi. Sementara itu banyak isu kewilayahan mendesak untuk terus
diselesaikan melalui mekanisme koordinasi dan kerjasama antar daerah yang
berdekatan.
Ketiga, kurang tertanganinya dengan baik masalah atau konflik
horizontal antar kabupaten / kota yang berdekatan. Menguatnya otonomi menjadi
perubahan yang fenomenal di Indoensia, sejak tahun 1999. Tanpa pembagian
kewenangan dan ruang gerak yang cukup bagi pemerintah lokal merupakan ciri
utama dari sentralisasi pemerintahan. Karakteristik tersebut juga dikemukakan
Harry Friedman ii yang menegaskan bahwa ”adanya pembagian kewenangan serta
tersedianya ruang gerak yang memadai untuk memaknai kewenangan yang
diberikan kepada unit pemerintahan yang lebih rendah merupakan penanda adanya
desentralisasi”. Namun dalam catatan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia,
unsur etnosentrisme yang membentuk egoisme lokal menyertai kebebasan
tersebut iii. Dengan makin menguatnya otonomi daerah pada tingkat
kabupaten/kota menyebabkan masing-masing pemerintah lokal merasa semua
harus dan bisa ditentukan dan dilakukan sendiri. Implikasi lanjut banyak potensi
konflik dibiarkan berkembang tanpa kerjasama dalam penanganan bersama.
Fenomena etnosentrisme yang mengekspresikan egoisme lokal ini makin menjadi-
jadi seiring makin melemahnya koordinasi antar daerah yang dulunya secara
intensif dilakukan oleh Pemerintah Provinsi. Fenomena ego lokal terlihat pada
kasus-kasus penanganan konflik yang terjadi karena hubungan dua atau lebih
daerah kabupaten kota yang berdekatan pada isu-isu tertentu, baik isu pemanfaatan
sumberdaya alam khususnya penanganan isu lingkungan.
Terdapat beberapa jenis/ bentuk kerjasama di Indonesia antara lain,
kerjasama antar daerah yang tidak berdekatan, kerjasama dengan pihak ketiga dan
kerjasama yang bersifat massal. Dari jenis kerjasama antadaerah tercatat antara
lain APKASI, APKESI, APPSI, ADKASI, ADEKSI, ADEPSI, Sister City serta
kerjasama kawasan-kawasan khsusus yang menggunakan pendekatan cluster . Dari
lokasinya ada kerjasama regional dalam batas wilayah provinsi (Kartomantul,
Barlingmascakeb dll), dan ada kerjasama regional lintas batas provinsi seperti :
Pancimas (Jateng-DIY), Java Promo (Jateng-DIY), Jabodetabek (Jakarta dan
sekitarnya), ataupun Ratubangnegoro (Jateng-Jatim).
307
B. Rumusan Masalah
Banyak manajemen kerjasama regional terjebak pada formalism, yakni banyak
regulasi dan banyak kesepakatan dibuat, tetapi tidak ada program bersama yang
dilaksanakan. Fenomena stagnasi kerjasama ini mewarnai pelaksanaan kerjasama
regional di berbagai tempat. Kenapa fenomena kemandekan manajemen regional
ini mendominasi kondisi kerjasama antar daerah yang berdekatan di Indonesia?
308
pemberlakuan model organisasi konvensional berakibat fatal pada manajemen
kerjasama antar daerah, yakni jebakan birokratisme dalam kerjasama antar daerah.
Pendekatan konvensional memandang organisasi dengan pendekatan birokrasi
Weberian (intra organization), sedangkan kerjasama antar daerah bersifat
intergovermental networking lebih tepat didekati dengan konsep inter
organization.
Topik intergovernmental management mulai mengemuka pada literature
dan tulisan para pakar public management mulai pertengahan abad 20
(O,Toole,2004;McGuire vi, 2006). Secara khusus ada 2 fenomena teoritis, yakni
pertama, pentingnya pergeseran pendekatan organisasi kerjasama antar daerah
dari konsep intra organization ke arah interorganization. Kedua, pendekatan
kerjasama antar daerah yang karena struktur hubungannya yang merupakan
“relasi horisontal” dari bersifat voluntary ke arah semangat kolaborasi yang
lebih punya kekuatan dalam collective action. Kajian tentang regionalisasi dan
kerjasama antar daerah, khususnya kerjasama antar daerah yang berdekatan di
Indonesia belum banyak mendapat perhatian, sehingga diharapkan kajian ini
mengisi kekurangan kajian Management and Intergovernmental di Indonesia.
D. Semangat Kolaborasi dalam Kerjasama Regional
Dalam bahasa Indonesia, istilah kerjasama dan kolaborasi masih digunakan
secara bergantian, dan belum ada upaya untuk menunjukkan perbedaan dan
kedalaman makna dari istilah tersebut. Secara umum lebih dikenal istilah
kerjasama dari pada kolaborasi, dan tidak ada pemahaman yang lebih mendalam
tentang paradigma apa yang seharusnya dianut.
Kerjasama antar pemerintah daerah (intergovernmental cooperation),
didefinisikan sebagai “an arrangement between two or more governments for
accomplishing common goals, providing a service or solving a mutual problem”
(Patterson vii, 2008). Dalam definisi ini tersirat adanya kepentingan bersama yang
mendorong dua atau lebih pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan
bersama atau memecahkan masalah secara bersama-sama. Atau dengan kata lain,
pengaturan ini bersifat pengaturan bersama (joint), yang tentu saja berbeda
karakteristiknya dibandingkan dengan pengaturan sendiri (internal daerah). Sifat
kerjasama sering ditafsirkan sebagai sukarela, tetapi bukan berarti semaunya,
karena kerjasama memiliki tujuan dan target tertentu yang harus dicapai oleh
pihak-pihak yang bekerja sama. Karenanya, aspek-aspek yang dikerjasamakan
dituangkan dalam program resmi dengan manfaat yang dinikmati bersama, serta
biaya dan risikonya ditanggung bersama. Sementara itu, kerjasama dalam kamus
besar Bahasa Indonesia viii terbitan Departemen Pendidikan Nasional kerjasama
dimaknai sebagai kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh beberapa orang atau
lembaga untuk mencapai tujuan bersama (2001;544). Jadi dalam kerjasama ada
unsur kegiatan, beberapa pihak dan pencapaian tujuan.
Kolaborasi dapat dirunut pemahamannya dari Ann Marie Thomson ix
(2006) dalam tulisannya yang berjudul ”Collaboration Processes : Inside the
Black Box”. Dijelaskan bahwa ada sebuah konsep yang mirip dengan kerjasama
tetapi memiliki makna yang lebih dalam, yakni kolaborasi. Kooperasi, koordinasi
dan kolaborasi berbeda dalam hal tingkat kedalaman interaksi, integrasi,
komitmen dan kompleksitasnya. Sebuah kerjasama (co-operation) yang
menggabungkan 2 sifat, yakni saling memberi atau bertukar sumberdaya dan
sifat saling menguntungkan akan mengarah pada sebuah proses kolaborasi.
Definisi ini menunjukkan adanya tindakan kolektif dalam tingkatan yang lebih
309
tinggi dalam kolaborasi daripada kooperasi dan koordinasi. Kolaborasi
merupakan proses kolektif dalam pembentukan sebuah kesatuan yang didasari
oleh hubungan saling menguntungkan (mutualisme) dan adanya kesamaan tujuan
dari organisasi atau individu-individu yang memiliki sifat otonom. Mereka saling
berinteraksi melalui negosiasi baik bersifat formal maupun informal dalam suatu
aturan yang disepakati bersama dan rasa saling percaya. Walaupun hasil atau
tujuan akhir dari sebuah proses kolaborasi tersebut mungkin bersifat pribadi,
tetapi tetap memiliki hasil atau keuntungan lain yang bersifat kelompok.
Walaupun kooperasi dan koordinasi dapat dilihat dalam awal sebuah proses
kolaborasi, kolaborasi merupakan perwujudan dari proses integrasi antar individu
dalam jangka waktu panjang melalui kelompok-kelompok yang melihat aspek-
aspek berbeda dari suatu permasalahan. Kolaborasi mengeksplorasi perbedaan-
perbedaan diantara mereka secara konstruktif . Mereka mencari solusi yang
mungkin dan mengimplentasikannya secara bersama-sama. Kolaborasi berarti
pihak-pihak yang otonom berinteraksi melalui negosiasi baik secara formal
maupun informal. Mereka bersama menyusun struktur dan aturan pengelolaan
hubungan antar mereka. Mereka merencanakan tindakan atau keputusan untuk
mengatasi isu-isu yang membawa mereka bersama-sama. Mekanisme tersebut
merupakan interaksi yang menyangkut sharing atas norma dan manfaat yang
saling menguntungkan. Pengertian di atas merupakan definisi kolaborasi yang
dikembangkan Thomson dari Wood dan Gray x (1991).
Di masa mendatang, perbedaan makna dan paradigma ini seharusnya
diakomodasikan tidak hanya dalam tulisan ilmiah tetapi juga dalam naskah
peraturan hukum karena secara konseptual kerjasama dalam arti “collaboration”
jauh lebih efektif dibandingkan dengan “cooperation”, dan harus diarahkan dan
dimanfaatkan untuk kepentingan bersama yang lebih besar.
Ada dua pola hubungan antar pemerintah daerah, yakni intergovernemental
relation dan intergovernmental management yang keduanya mengedepankan
karakter networking. Intergovernmental relations merupakan sebuah pola
oraganisasi antar daerah yang hanya memungkinkan koordinasi dalam aspek
umum di seluruh wilayah kerjasama, sedangkan Intergovernmental Management
merupakan sebuah pola organisasi antar daerah yang memberikan kemungkinan
penyelenggaraan manajemen yang terkendali penuh dengan sektor kerjasama
yang jelas (mis : pengelolaan transportasi umum di Washington State).
Networking merupakan format kelembagaan jejaring yang terdiri dari beberapa
unit organisasi yang menjalin hubungan dengan pola yang relatif flexible. Dalam
format networking, beberapa jenis intergovernmental networks, sesuai urutan
derajat networksnya dikemukakan oleh Robert Agranoff xi (2003), mulai dari (i).
information networks, yakni jenis jaringan kerjasama yang paling ringan
derajatnya. Pada jenis ini beberapa daerah kabupaten / kota dapat membuat
sebuah forum yang berfungsi sebagai pertukaran kebijakan dan program,
teknologi dan solusi atas masalah-masalah bersama (ii) developmental networks,
yakni kaitan antar daerah terlibat lebih kuat, karena selain pertukaran informasi
juga dibarengi dengan pendidikan dan pelayanan yang secara langsung dapat
meningkatkan kapasitas informasi daerah untuk mengatasi masalah di daerah
masing-masing, (iii) outreach networks adanya penyusunan program dan strategi
untuk masing-masing daerah yang diadopsi dan dilaksanakan oleh daerah lain
(biasanya melalui fasilitasi organisasi partner) serta (iv) action networks : yang
merupakan bentuk intergovernmental networks yang paling solid. Dalam bentuk
310
ini daerah-daerah yang menjadi anggota secara bersama-sama menyusun program
aksi bersama sesuai proporsi dan kemampuan masing-masing.
Kerjasama regional dapat dirunut dalam pokok-pokok bahasan manajemen
publik, khususnya intergovernmental management dalam literartur dunia.
Bahasan tentang intergovernmental management dan intergovernmental relations
banyak mengemuka pada literature dan tulisan para pakar public management
mulai pertengahan abad 20 (McGuire xii, 2006; O,Toole xiii,2004). Michael
McGuire seorang associate professor dalam public and environmental affairs di
Universitas Indiana Bloomington yang juga pengajar Public Management and
Intergovernmental Management mengungkapkan bahwa “intergovernmental
management is more than just intergovernmental relationships”. Pendapat yang
lebih tegas menyebutkan bahwa managemen antar daerah adalah inti dari
hubungan antar daerah.
Selain pendekatan manajemen dalam pengelolaan kerjasama antar daerah,
terjadi transisi pendekatan dalam melihat lembaga kerjasama antar daerah.
Lembaga kerjasama dalam pengeloaan program dan kegiatan untuk mencapai
tujuan kerjasama seringkali masih terpengaruhi oleh paradigma klasik. Cara
pandang yang melihat lembaga kerjasama antar daerah dalam kerangka intra
organization, dengan pola weberian type bureaucarcy. Cara pandang ini
tercermin dari 10 prinsip birokrasi Weberian seperti yang dikemukakan oleh
Martin Albrow xiv (2004). Ciri menonjol dari birokrasi Weberian ini adalah
hirarkhial yakni pola hubungan yang terstruktur antara beberapa level/ tingkatan.
Penerapan prinsip-prinsip Weberian seperti span of controll, rasionalitas,
impersonal ini cenderung inward looking atau dengan parameter intra
organization. Cara pandang terhadap lembaga kerjasama antar daerah ini menjadi
kurang tepat karena sifat yang terbentuk dari kerjasama antar daerah
(intergovernmental management), adalah relasi horisontal yang lebih
mengedepankan networking / inter organization.
Seperti dikemukakan di depan, bahwa terjadi sejumlah perubahan
pandangan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Perubahan-perubahan tersebut
antara lain : perubahan dari orientasi lembaga pemerintahan yang kuat, besar dan
otoritarian menjadi berorientasi pada small dan less government, egalitarian dan
demokratis, perubahan dari orientasi sistem pemerintahan yang sarwa negara ke
orientasi sistem pasar (market), perubahan dari sentralistis kekuasaan menjadi
desentralisasi kewenangan, perubahan menajemen pemerintahan yang
menekankan batas-batas dan aturan yang berlaku hanya untuk satu negara saja, ke
arah boundaryless organization, akibat globalisasi, perubahan dari tatanan
birokrasi Weberian menjadi tatanan birokrasi yang post bureucratic government
(Rouke xv, 1992), dan post bureucartic organization (Heckscher dan Donnellon xvi,
1994), atau perubahan dari manajemen pemerintahan yang mengikuti struktur
fisik (physical structure) ke tatanan manajemen pemerintahan yang berdasarkan
logical structure (Henry Lucas, 1996 (dalam Keban,2009), dan perubahan dari a
low trust society ke arah a high trust society (Fukuyama xvii, 1995).
Karakter kerjasama antar daerah dengan relasi horisontal yang berbasis
intergovernmental network pada tingkatan daerah sangat berbeda karakter
dengan organisasi yang berbasis dan berpola organisasi rasional. Pola organisasi
rasional menekankan pola hubungan hierarkhis yang melihat organisasi kerjasama
sebagai unit yang koheren dengan tujuan yang jelas, prosesnya terstruktur dari
atas, keputusan organisasi didominasi kewenangan yang terpusat. (Arie Ruhyanto
dalam Pratikno, 2007;50). Kerjasama antar daerah yang berpola networking
311
didasarkan pada inter-relasi yang dilakukan oleh daerah yang bersifat bebas dan
mandiri dalam berhubungan dengan daerah lain. Dalam pola networking tidak ada
struktur kewenangan sentral. Semua tujuan dihasilkan dari kesepakatan dari
semua anggota yang tergabung dalam forum kerjasama antar daerah sebagai
perwujudan aksi bersama (collective action) (Klijn dalam Kickert xviii, dan kawan-
kawan,1999). Perbedaan karakter organisasi ini sering rancu dalam pelaksanaan
kerjasama antar daerah di Indonesia yang memiliki sejarah birokrasi sentralistis
cukup lama.
Pendapat tentang bekerjanya beberapa faktor dalam regionalisasi dan
kerjasama regional dapat dirunut dari proses regionalisasi dan model komunikasi
antar daerah. Dari runutan waktu dapat disebutkan beberapa pioner dalam
pembahasan regionalisasi dan kerjasama antar daerah, antara lain, Goggin (1990),
Weicchart (2002); O 'Toole (2004); Thomson (2006); Rendell serta
Yablonsky xix (2006) dan Bryson, Crosby dan Stone dalam Keban (2009) xx,
(2006). Bila Goggin belum mengidentifikasikan wujud dari faktor-faktor
pendukung dan penghambat kerjasama antar daerah yang bekerja pada beberapa
level pemerintahan, Weicchart (2002) telah secara tegas menyebut antara lain :
tekanan global, tekanan keterbatasan kemampuan dan potensi serta tekanan ego
lokal.
312
antar daerah dengan memberikan saran tentang tahapan membangun kerjasama
dan unusr-unsur yang harus diperhatikan dalam kerjasama antar daerah.
Dari penelusuran praktek kerjasama antar daerah di beberapa Negara dapat
ditemukan bentuk kerjasama dan pola kelembagaannya xxi. Bentuk dan metode
kerjasama antar daerah meliputi (1) intergovernmental service contract; (2) joint
service agreement, dan (3) intergovernmental service transfer (Henry xxii, 1995).
Jenis kerjasama yang pertama dilakukan bila suatu daerah membayar daerah yang
lain untuk melaksanakan jenis pelayanan tertentu seperti penjara, pembuangan
sampah, kontrol hewan atau ternak, penaksiran pajak. Jenis kerjasama yang kedua
biasanya dilakukan untuk menjalankan fungsi perencanaan, anggaran dan
pemberian pelayanan tertentu kepada masyarakat daerah yang terlibat, misalnya
dalam pengaturan perpustakaan wilayah, komunikasi antar polisi dan pemadam
kebakaran, kontrol kebakaran, pembuangan sampah. Dan jenis kerjasama ketiga
merupakan transfer permanen suatu tanggung jawab dari satu daerah ke daerah
lain seperti bidang pekerjaan umum, prasarana dan sarana, kesehatan dan
kesejahteraan, pemerintahan dan keuangan publik.
Pengalaman kerjasama antar daerah yang diberlakukan di: SALGA di
Afrika Selatan, Sound Transit di Washington, LAA di Korsel, LCP di Philipina
dan Cor di Uni Eropa xxiii memberikan beberapa kesimpulan antara lain :
paradigma penyelenggaraan pemerintahan nasional sangat berpengaruh pada
karakter kerjasama antar daerah. Hanya pada negara dengan praktek demokrasi
yang baik, kepentingan lokal dapat diperjuangkan pada asosiasi kerjasama antar
daerah yang bersifat regional, dan kemudian dapat dicatat juga bahwa kerjasama
antar daerah memerlukan payung hukum yang kuat mulai dari tingkat nasional
sampai ke level daerah serta kejelasan aturan kelembagaan Sangat diperlukan
dalam kesinambungan kegiatan kerjasama.
Saat ini di negara-negara maju mencanangkan kerjasama dalam konteks
kolaborasi bidang perencanaan dan manajemen emergensi, bahkan menjadi
fundasi penting dalam menangani bencana alam dan krisis lingkungan.
Kolaborasi bahkan menjadi model alternatif untuk menggantikan model birokrasi
klasik yang bersifat top down karena merupakan model yang mengandalkan
jejaring yang fleksibel dan dinamis xxiv ( Waugh & Streib, 2006). Fungsi
kolaborasi menjadi lebih diandalkan dari pada fungsi atau upaya melakukan
adaptasi dalam menghadapi berbagai perubahan xxv (Jenkins, 2006).
Pelajaran yang diperoleh dari praktek kerjasama antar daerah di berbagai
negara tersebut adalah adanya beberapa format lembaga kerjasama yang dapat
menjadi referensi bagi pengembangan kerjasama regional antara lain;
a. Ada dua (dua) format lembaga kerjasama, yakni : IGR dan IGM. Konsep IGR
yang memungkinkan koordinasi dalam aspek umum di seluruh wilayah
kerjasama (tidak disebutkan secara spesifik di Amerika, dan di Afrika Selatan),
sedangkan IGM memberikan kemungkinan penyelenggaraan manajemen yang
terkendali penuh dengan sektor kerjasama yang jelas (mis : pengelolaan
transportasi umum di Washington State).
b. Arah pengembangan peran lembaga kerjasama berpolar dalam dua arah, yakni
: sebagai interest group dari kepentingan regional terhadap pemerintah pusat
(seperti Philipina) atau sebagai kepanjangan pemerintah pemerintah pusat dan
sebagai pengendali kepentingan pusat di level regional (seperti di Korea
Selatan).
c. Ada kecenderungan menguatnya semangat kolaborasi dalam literatur dan
praktek kerjasama antar daerah
313
E. Kesimpulan dan implikasi
E.1. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan (Policy Implicatons)
Sebagian besar kerjasama di Indonesia terkotak-kotak dalam kerjasama
ekonomi atau pelayanan publik. Mengingat kebutuhan kerjasama sudah
merambah pada pelayanan publik dan ekonomi, ke depan sebaiknya cakupan
kerjasama tidak sebatas pada salah satu bidang seperti yang selama ini terjadi,
tetapi mencakup 2 bidang utama, yakni kerjasama ekonomi dan pelayanan
publik.
Perlunya konsistensi dan dukungan kebijakan yang tegas mulai dari
tigkat nasional, provinsial sampai ke tingkat pelaksanaan kerjasama regional,
dengan skenario yang tegas. Di Indonesia, dukungan kebijakan / aturan hukum
berawal dari UU No 32 Tahun 2004, dilanjutkan Surat Edaran Nomor
120/1730/SJ tanggal 13 Juli 2005, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah, dan
Permendagri Nomor 69 Tahun 2007 : Kerjasama Pembangunan Perkotaan.
Namun demikian kebijakan di atas menjadi tidak konsisten dengan penjabaran
kebijakan / aturan lanjut. Biang inkonsistensi aturan tersebut adalah
Permendagri No. 13 Tahun 2006 (meskipun telah ada revisi dengan
Permendagri nomor 59 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah, terutama pasal 42 sampai 44 khususnya tentang hibah). Tiadanya
kejelasan pos anggaran pada peraturan pengelolaan keuangan daerah membawa
dampak psikis bagi penyelenggara kerjasama berupa ketakutan untuk
penganggaran di APBD.
E.2. Implikasi Teori (Theory Implications)
Cara pandang klasik (intra organisasi) pada organisasi lembaga kerjasama
antar daerah tidak relevan lagi dengan karakter lembaga kerjasama yang
mengkolaborasikan daerah-daerah otonom ke dalam hubungan kerjasama antar
daerah (intergovernmental organization). Birokrasi Weberian (Albrow, 2005)
yang memiliki pola hubungan strukturalis – hierarkhis (kewenangan terpusat,
span of controll ketat, impersonal dan sebagainya) menjadi kurang sesuai
dengan karakter networking yang flexible dalam semangat kolaborasi (Robert
Agranoff, 2003 dan Klijn dalam Koppenjam, 1999). Untuk tercipta kolaborasi,
ada 5 dimensi dari Thomson yang harus diperhatikan, yakni : (i) dimensi
pemerintahan (Governance dimension), (ii) dimensi administrasi (administration
dimension), (iii) dimensi otonomi (Autonomy dimension), (iv) dimensi saling
menguntungkan (mutually dimension) serta (v) dimensi kepercayaan dan saling
memberi (Trust and reciprocity dimension).
Ada dukungan teori dari Weicchart yang melengkapi teori Goggin dalam
pembahasan regionalisasi dan kerjasama antar daerah. Weicchart mengisi
kekosongan informasi atas variabel pendukung dan penghambat implementasi
kebijakan antar daerah dalam model Goggin. Kedua teori nampak saling
memperkuat. Sementara sejumlah variabel yang diberikan O’Toole nampak
kurang seirama dengan kedua pendapat tersebut. O”Toole justru
mengedepankan dimensi stabilitas struktural (indeks stabilitas/ kemapanan
struktur) dalam kerjasama antar daerah. O”Toole meyakini tanpa
memperhatikan faktor ini hubungan kerjasama yang dilakukan tidak akan
mampu meningkatkan kinerja manajerial.
314
Ada 4 (empat) bentuk networking dari Robert Agranoff xxvi yang dapat
dipilih ketika dua atau lebih daerah kabupaten / kota akan mengadakan
kerjasama. Ke empat bentuk networking tersebut adalah : (a). information
networks : beberapa daerah dapat membuat sebuah forum tetapi hanya berfungsi
sebagai pertukaran kebijakan, program, teknologi dan solusi atas masalah-
masalah bersama. (b). developmental networks : antar kabupaten/ kota memiliki
kaitan lebih kuat, karena selain pertukaran informasi juga dibarengi dengan
pendidikan dan pelayanan yang secara langsung dapat meningkatkan kapasitas
informasi daerah dalam mengatasi masalah di daerah masing-masing. (c).
outreach networks : kabupaten/kota yang tergabung dalam networking
menyusun program dan strategi untuk masing-masing daerahnya yang diadopsi
dan dilaksanakan oleh daerah lain (biasanya melalui fasilitasi organisasi
partner), dan (d). action networks : daerah-daerah yang menjadi anggota secara
bersama-sama menyusun program aksi bersama, dilaksanakan bersama atau oleh
pelaksana lembaga kerjasama.
Selain 4 (empat) bentuk networking yang dapat dipilih oleh daerah
yang merintis kerjasama antar daerah secara umum, bagi daerah yang
berdekatan dapat juga mempertimbangkan 2 (dua) bentuk kelembagaan
kerjasama yang lebih serius (diambil dari pengalaman praktek di beberapa
negara), yakni : intergovernmental relation (IGR) atau intergovernmental
management (IGM yang dibarengi dengan pengembangan semangat kolaborasi
Catatan akhir:
315
KONFLIK KEPENTINGAN
DALAM SISTEM KEPEGAWAIAN PUBLIK
Ambar Teguh Sulistiyani 97
Conflict of interest everytimes still exist in several public organizations. The specifict
conflict that develops in the public organizations is objective conflict between
organizations and members as other side. Every person has differen background in
knowledge, skills, social and motive, so that they can create differences of objectives.
The latest development, the conflict of objectives are primary and specifically can
cause conflict between person and organization. Person and also groups are often
involved in conflict. Some types of conflict are objective conflict, intrapersonal
conflict, interpersonal conflict and group conflict. Manager and leader probably
difficult to create mediator for solving the conflict, because eventually many tipes of
conflicts were happened in crosscutting one and others.
Kata-kata kunci:
Konflik kepentingan
Organisasi publik
konflik tujuan
konflik intrapersonal
konflik interpersonal
konflik antar kelompok
Sistem organisasi akan berjalan dengan baik manakala didukung oleh semua
komponen organisasi secara integratif. Terjadinya integrasi antar komponen organisasi
sangat ditentukan oleh sejauhmana homogenitas kepentingan anggota di satu sisi, dan
sejauhmana kepentingan anggota identik dengan kepentingan organisasi di sisi lain.
Semakin homogen kepentingan antar anggota, semakin memungkinkan terjadinya titik
temu dan semakin mudah untuk terjadinya kerjasama. Sebaliknya, jika terjadi
heterogenitas kepentingan dan motif anggota, dapat menjadi hambatan bagi terjadinya
kerjasama. Pada kasus ini setiap orang terbelenggu oleh kepentingan serta motif
pribadi sehingga sulit melakukan integrasi. Konflik semacam ini merupakan
manifestasi konflik tujuan. Ada banyak jenis konflik yang lain di luar konflik tujuan,
diantaranya adalah konflik intrapersonal, konflik interpersonal, dan konflik antar
kelompok (Nugroho, Pradjarto & Kana, 2004:xxii).
Konflik intrapersonal lebih tepat dimaknai sebagai konflik diri, karena terjadi
dalam percaturan batin, alam pikir, maupun perasaan seseorang itu sendiri.
Pertentangan dalam diri seorang pegawai pada hakikatnya dapat menghambat
kontinuitas dalam menjalankan tugas. Konflik diri dapat diketahui dari perubahan
97
Penulis adalah dosen di Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Konferensi Administrasi Negera, Unair Surabaya, 8-9 Mei 2009
316
sikap seorang pegawai, misalnya sering menyendiri, termenung, tidak konsentrasi
apabila diajak berbicara atau ketika sedang bekerja, sering gagap dan stres.
317
Tabel 1.
Hubungan Tujuan Individu dengan Tujuan Organisasi dalam Menentukan
Dukungan pada Pencapaian Tujuan Organisasi
Tabel 1 menunjukkan bahwa kondisi yang paling ideal adalah ada kesamaan
antara tujuan pegawai dengan tujuan organisasi. Pegawai pada kondisi semacam ini
akan memberikan dukungan dan kontribusi yang besar dalam pencapaian tujuan. Jika
terdapat perbedaan sebagian saja antara tujuan pegawai dengan organisasi, maka
kekuatan dukungan dan kontribusi pencapaian tujuan besar, dan masih mudah
mencapai tujuan yang identik. Kondisi yang tidak diharapkan adalah adanya
perbedaan banyak atau bahkan bertolak belakang, sehingga organisasi akan terjebak
pada lingkaran permasalahan yang tidak berujung. Rasa memiliki dan komitmen
pegawai terhadap organisasi menjadi sangat rendah.
A
B
C
318
akan diikuti oleh sub-sistem B dan C. Jika sistem tersebut berjalan normal, artinya
tidak ada konflik kepentingan, maka semua berjalan searah dengan jarum jam,
mengikuti sistem gerak yang berjalan pada A. Maka roda sistem berjalan penuh
harmoni, saling mendukung sehingga dapat menghasilkan pencapaian tujuan secara
efektif, sebagaimana tampak pada Gambar 2.
1 2
Pada kasus yang berbeda, yakni dalam sistem organisasi yang dihinggapi
konflik kepentingan, maka roda sistem tidak akan dapat berputar menurut fungsinya.
Ketika sub-sistem pimpinan mengalami disharmoni kepentingan dengan organisasi,
maka di dalam memotori sistem dapat berbalik arah (berlawanan dengan arah jarum
jam), dengan demikian sub-sistem lainnya dapat terjebak pada kepentingan subyektif
pimpinan, sehingga berbalik arah mengikuti kehendak pimpinan. Secara sekilas
karena semua sistem bergerak berlawanan arah dengan jarum jam, maka akan
menghasilkan harmoni. Dalam konteks tidak dapat dipahami demikian, karena gerak
sistem tersebut kendati berjalan searah, namun menjauhi tujuan. Kasus lain dapat
terjadi, ketika inti sistem tetap memiliki komitmen terhadap gerak normal, tetapi sub-
sistem lain berbalik arah, karena adanya perbedaan kepentingan, maka hal ini
berimplikasi pada terjadinya tabrakan antar sub-sistem. Selain menciptakan
disharmoni, juga berisiko pada polarisasi organisasi serta menjauhkan diri dari
pencapaian tujuan.
Pada setiap organisasi sering dijumpai adanya suatu konflik kepentingan antara
organisasi dengan anggota yang ada di dalamnya. Bahkan semua orang dapat terjebak
dalam konflik kepentingan ketika berada dalam suatu organisasi tertentu.
Bagaimanapun setiap orang memiliki motif, harapan dan keinginan individual di
samping juga disampiri kewajiban dan tugas oleh organisasi. Bertemunya
kepentingan individual dengan tugas dan kewajiban yang menjadi tanggung jawab
yang diterima dari organisasi akan menghasilkan perpotongan kepentingan antara
pegawai di satu sisi dengan organisasi di sisi lainnya. Adanya perpotongan
kepentingan dari kedua belah pihak menimbulkan konflik. Besar atau kecil luasan
konflik kepentingan dapat dilihat dari berapa besar potensi yang ada. Gambar berikut
memperlihatkan bagaimana perpotongan konflik kepentingan yang terjadi antara sub-
sistem A, B dan C. Perbedaan kepentingan tersebut telah menghasilkan penciutan
wilayah integrasi antar sub-sistem. Ruang integrasi yang sesungguhnya menjadi
sangat terbatas, terlihat pada perpotongan tiga sub-sistem yang terletak di bagian
319
tengah. Hal ini menunjukkan betapa kecil kemungkinan terjadinya harmoni gerak dan
arah sistem. Masing-masing sub-sistem memiliki wilayah yang luas dalam berpihak
pada kepentingan klik yang bersifat subyektif group, artinya lebih mengabdi kepada
kelompok kepentingan. Hal ini masih diperlemah lagi oleh bagian sub-sistem yang
terintegrasi secara parsial, misalnya integrasi sebagai sub A dengan sebagian sub B,
sebagian sub A dengan sebagai sub C, dan seterusnya. Sangat kecil bagian energi,
konsentrasi dan komitmen yang terintegrasi dari ketiga sub-sistem tersebut yang
digunakan untuk mengelola dan mencapai tujuan organisasi. Sedangkan kekuatan
dominan lebih terkonsentrasi pada klik masing-masing, sehingga cenderung ke luar
dari gerak sistem yang seharusnya. Jika dibiarkan terus-menerus ketiga sub-sistem
tersebut akan bergerak menurut kemauan sendiri, sehingga tidak terjadi apa yang
disebut dengan sinkronisasi dan sinergi. Hal ini terlihat pada gambar berikut.
C B
320
Soeharto. Pada hakikatnya konflik kepentingan selalu eksis karena tidak ada tindakan
yang riil atas semuanya. Bahkan dari konflik kepentingan kemudian berkembang
menjadi kepentingan keluarga (family interests), karena meluas ke dalam kepentingan
bisnis keluarga yang memasuki birokrasi pemerintah. Keadaan ini dapat semakin
eksplisit manakala ditindaklanjuti dengan pemberian kemudahan-kemudahan
memperoleh legalitas, seperti perijinan, lisensi, dll. Jika demikian yang terjadi konflik
kepentingan tersebut dapat menjadi konflik peraturan.
321
dengan berbagai alasan agar dapat memperoleh bagian melalui pintu belakang, dan
masih banyak bentuk konflik kepentingan lainnya.
Jenis-jenis Konflik
Pengertian konflik menurut Stoner & Wankel (dalam Sigit, 2003) adalah
segala macam interaksi pertentangan atau antagonisme. Menurut Robbins (2002),
konflik adalah proses yang terjadi apabila satu pihak merasakan bahwa pihak lain
telah mempengaruhi secara negatif, atau akan segera mempengaruhi secara negatif,
sesuatu yang menjadi perhatian pihak pertama. Ada dua sudut pandang tentang
konflik yaitu dari aliran tradisional dan aliran interaksionis. Menurut Handoko
(1995:346-347), pandangan tradisional tentang konflik adalah dapat dihindarkan;
konflik disebabkan oleh kesalahan-kesalahan manajemen dalam perancangan dan
pengelolaan organisasi, konflik mengganggu dan menghalangi pelaksanaan optimal.
Menurut pandangan interaksionis, konflik tidak dapat dihindarkan; konflik timbul
karena banyak sebab termasuk struktur organisasi, perbedaan tujuan, perbedaan
persepsi dan nilai-nilai pribadi; konflik dapat membantu atau menghambat
pelaksanaan kegiatan organisasi. Berkenaan dengan manajemen konflik menurut
pandangan tradisional, pimpinan berkewajiban menghilangkan konflik. Aras
pemikiran ini memiliki perspektif negatif terhadap konflik karena setiap konflik
diartikan disfungsional.
Manajemen konflik dalam aliran interaksionis lebih akomodatif terhadap
adanya konflik, sehingga pimpinan cenderung mengelola konflik; konflik dapat
diarahkan untuk mencapai batas yang dapat ditoleransi, saling memahami dan menjadi
fungsional. Menurut Lawton dalam ICAC (1991:79) faktor penyebab konflik adalah
kompetisi dalam mendapatkan sumber-sumber (competition of resources), kompetisi
dalam memperebutkan tujuan-tujuan (competition of goals), kompetisi dalam
memperebutkan wilayah (competition for teritory). Dalam kehidupan masyarakat,
organisasi swasta, publik, dalam dunia bisnis maupun politik konflik kepentingan
nyata-nyata terjadi.
Pertarungan antar kubu dalam politik, perebutan kursi di DPR, pencalonan pejabat
merupakan cerminan adanya konflik. Ada banyak tipologi konflik yang sering
melanda suatu organisasi. Berdasarkan sudut pandang yang digunakan untuk melihat
konflik, maka jenis-jenis konflik dapat diklasifikasikan, sebagai berikut:
322
atasnya. Konflik horizontal dalam konteks organisasi dapat terjadi antar pegawai,
antar kelompok, atau antar bagian yang berada pada level yang sama.
Konflik tertutup atau laten merupakan konflik yang bersifat tersembunyi, sulit
untuk diidentifikasi dan diketahui oleh pihak lain. Sumber konflik tidak jelas, dan
materi pokok yang dikonflikkan juga tidak jelas. Contoh di atas yang merupakan
konflik laten adalah inefisiensi (misalnya slow down), mengurangi output,
melambatkan pengiriman. Wujud lain konflik tersembunyi adalah penurunan moril
dan menahan informasi. Bentuk konflik ini sekaligus juga merupakan bentuk konflik
vertikal, yang dilancarkan oleh anak buah kepada pimpinan. Pada umumnya anak
buah tidak berani menyampaikan secara terus terang terhadap pimpinan apabila ada
beberapa hal yang dirasakan bertentangan dengan dirinya. Kebijakan yang dilancarkan
pimpinan mungkin tidak sesuai dengan harapan, maka secara diam-diam melakukan
respon yang kontraproduktif, misalnya dengan cara sering ijin, mangkir atau pasif.
Konflik tertutup yang berlangsung secara vertikal sering dilancarkan oleh pimpinan
kepada bawahan misalnya dalam bentuk distrust (ketidakpercayaan).
Baik dalam organisasi publik maupun privat seringkali dihinggapi oleh konflik
kepentingan. Karena konflik kepentingan sifatnya omnipresent (ada di mana saja)
melekat pada tiap aktivitas hidup bermasyarakat dan mustahil dibinasakan. Bahkan
rezim yang paling otoritarian atau penganut totalitarian sekalipun tidak akan pernah
menghapuskan atau membinasakan konflik, kecuali hanya menekan ke bawah sadar
dengan tanpa mengusahakan resolusi. Di dalam praktek konflik kepentingan
seringkali muncul dalam proses yang melekat pada pengambilan keputusan di semua
bidang. Pada umumnya setiap organisasi memiliki ketentuan standar untuk membatasi
323
orang/pegawai supaya tidak berperilaku konflik. Contoh berikut ini adalah ketentuan
Pejabat Kepala Kepatuhan SGS Group (2005) dengan melarang pegawainya untuk:
Manajemen Konflik
324
asertif, bekerja dengan cara menentang keinginan pihak lain, berjuang untuk
mendominasi dalam situasi menang-kalah. Gaya akomodasi yaitu bersikap cukup
kooperatif dan asertif tetapi tidak sampai pada tingkat ekstrim. Gaya kolaborasi yaitu
bersikap kooperatif dan asertif; setiap pihak yang berkepentingan benar-benar
berupaya untuk mencapai kepuasan dengan jalan bekerja melalui perbedaan yang ada,
mencari dan memecahkan masalah sehingga para pihak mencapai keuntungan sebagai
hasilnya. Menurut Schlesinger, Eccles & Gabarro (1983) pengelolaan konflik dapat
melalui bargaining, controlling dan confrotion perilaku membangun iklim yang sehat.
325
dan keseimbangan, karena ada persaingan di kedua belah pihak. Cara manajemen
konflik seperti ini juga hanya memungkinkan untuk mengatasi masalah yang bersifat
darurat, artinya konflik tersebut harus segera diatasi dengan cepat dan tegas.
Pada kuadran ketiga, secara sadar pihak bersengketa secara bijak mengambil
langkah untuk mengalah, sedang pihak yang berhadapan dimenangkan. Langkah ini
merupakan sisi perdamaian satu pihak yang secara sadar perlu mengakomodasi
kepentingan pihak yang sedang berhadapan. Dengan pendekatan manajemen konflik
semacam ini diharapkan situasi yang tegang dapat mengendur. Untuk melakukan
manajemen konflik semacam ini diperlukan jiwa besar, untuk memahami
permasalahan orang lain, dan sementara menyisihkan kepentingan sendiri. Tidak
mudah untuk menerapkan teori ini, karena pelaku organisasi perlu memiliki kesabaran
dan kesadaran dalam mengerti/memahami pihak lain. Sedangkan dalam praktek di
banyak organisasi adalah sebaliknya, yaitu hal yang ditonjolkan adalah kepentingan
sendiri. Semakin tinggi kedudukan seseorang pada umumnya semakin besar
membawanya ke arah perilaku dominan. Dalam istilah Jawa seringkali dikenal
hambeg kumawasa. Sedangkan untuk bisa menyelesaikan konflik melalui kuadran
kalah-menang seorang pemimpin harus memiliki hambeg paramarta, yaitu sifat yang
merakyat.
326
Netralitas Birokratik dalam Sistem Manajemen Pegawai
327
untuk mengakomodasi kepentingan secara sehat, sejauh yang dapat dipenuhi oleh
organisasi. Upaya memberikan larangan memang diperlukan, tetapi harus disertai
dengan pengakuan dan kompensasi moral, psikologis, maupun materiil secara
konsisten.
Daftar Pustaka
328
Sigit, S. (2003). Perilaku Organisasi. Yogyakarta: BPFE Universitas Sarjana Wiyata.
Sulistiyani, A. T. (2006). Sistem Administrasi Negara Indonesia, Modul. Yogyakarta:
Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIPOL UGM (tidak diterbitkan).
Sulistiyani, A. T. (2003). Teori Organisasi, Modul. Yogyakarta: Jurusan Ilmu
Administrasi Negara FISIPOL UGM (tidak diterbitkan).
Syamsuddin, M. S. (2004). “Pengembangan Hubungan Industrial dalam Rangka
Meningkatkan Produktivitas dan Kesejahteraan Pekerja”, dalam Info Hukum,
Majalah Buletin, Vol.5/vi/2004.
Thoha, M. (2003). Pembinaan Organisasi: Proses Diagnosa dan Intervensi. Jakarta:
Rajawali Press.
Walton, R. E. (1987). Managing Conflict: Interpersonal Dialogue and Third-Party
Roles. Canada: Addison-Wesley Publishing Company.
Winardi (1994). Manajemen Konflik (Konflik dalam Perubahan dan Pengembangan).
Bandung: CV Mandar Maju.
329
MODEL ADVOCACY COALITIONS FRAMEWORK (ACF)
DALAM ANALISIS SUBSISTEM KEBIJAKAN PADA
FORMULASI KEBIJAKAN
Oleh:
Farida Nurani, S.Sos.,M.Si
ABSTRAK
330
Pendahuluan
Secara ideal, lahirnya kebijakan publik merupakan upaya untuk
menanggulangi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat (publik) di suatu wilayah.
Karena kebijakan publik merupakan upaya untuk menanggulangi masalah publik,
maka sepatutnya kebijakan itu berorientasi pada kepentingan publik. Partisipasi
masyarakat dianggap penting dalam penyusunan kebijakan, karena warga
masyarakatlah yang paling memahami dan merasakan langsung kebutuhan dan
masalah yang dihadapinya. Dengan bersandar pada kondisi riil di masyarakat,
kebijakan yang dibuat juga akan diterima oleh masyarakat secara wajar, sekaligus
memiliki daya berlaku efektif.
Salah satu bentuk kebijakan publik di daerah adalah Kebijakan Anggaran
Publik Daerah seperti APBD. Kebijakan ini mengikat seluruh pihak yang berada di
wilayah yurisdiksi suatu daerah, yaitu propinsi ataupun kabupaten/kota. Meski secara
ideal, perumusan kebijakan daerah sepatutnya melibatkan masyarakat, namun
kenyataannya jauh berbeda. Selama ini, penyusunan kebijakan lebih dianggap urusan
pembuat kebijakan semata (pemerintah daerah dan DPRD). Hampir tak ada peran
masyarakat dalam proses itu. Masyarakat hanya menjadi pihak yang terkena dampak
langsung dari penerapan kebijakan itu, tanpa mengetahui apa dan bagaimana
kebijakan itu disusun dan disahkan. Semua proses berlangsung tertutup dan hanya
menjadi urusan eksekutif dan legislatif daerah saja. Sementara warga tak
diperhitungkan, selain karena dipinggirkan oleh kedua pihak ini, juga karena
masyarakat tidak paham bahwa mereka memiliki hak untuk terlibat.
Tulisan ini memusatkan telaah pada penerapan model Advocacy Coalicy
Framework (ACF) dalam menganalisis partisipasi Civil Society terhadap perumusan
kebijakan begitu sangat penting dan mendesak (urgen) untuk dilakukan, terutama
dalam kepentingannya untuk mendapatkan suatu model perumusan kebijakan publik
yang tepat dan efektif bagi masyarakat. Dalam hal perumusan yang dilakukan oleh
pengambil kebijakan untuk mendapatkan keputusan yang tepat dan berpihak pada
masyarakat, tidak bisa hanya dilakukan oleh pembuat kebijakan tersebut (sebagai
subjek policy maker), tetapi juga oleh objek kebijakan yang akan merasakan langsung
outcome (dampak) dari kebijakan itu sendiri.
Kebijakan inisiatif yang diusung warga masyarakat meski sebenarnya bukan
hal yang baru, namun relatif masih asing baik dalam pandangan masyarakat maupun
pembuat kebijakan (DPRD selaku badan legislatif dan pemerintah kabupaten/kota
selaku eksekutif).
Model dan instrumen penyelesaian masalah masyarakat terutama yang
menyangkut perumusan kebijakan diusahakan melalui proses yang partisipatif
sehingga kebijakan tersebut dapat dipastikan merupakan usulan yang berkenaan
langsung dengan kebutuhan masyarakat di daerah ini. Oleh karena itu dengan analisis
serta temuan model yang tepat dan optimasi yang mengarah pada hasil yang solutif
dapat membantu untuk menyelesaikan masalah masyarakat melalui kebijakan publik.
Partisipasi masyarakat sangat penting karena pada dasarnya bentuk kebijakan
otonomi dan desentralisasi harus tetap mengedepankan aspirasi dan kepentingan
masyarakat. Jika partisipasi masyarakat di daerah tinggi, maka proses terciptanya
otonomi dan desentralisasi akan terlaksana dengan lancar dan baik. (Najih, dkk,
2006:178).
331
Realita yang ada, meskipun sekarang telah banyak kebijakan yang melibatkan
partisipasi aktif masyarakat, tapi masih ada kebijakan yang kurang mengakomodasi
kepentingan masyarakat. Dengan jabaran di atas, disinilah peran aktif civil society
sangat dibutuhkan sebagai saluran partisipasi untuk mendesakkan (pressure)
kepentingan masyarakat. Civil society sendiri dimaknai sebagai kumpulan institusi
atau organisasi diluar pemerintah dan sektor swasta, atau sebagai ruang tempat
kelompok-kelompok sosial dapat eksis dan bergerak (Sumarto, 2004:5). Partisipasi
aktif civil society ini akan menentukan keberlanjutan dari sebuah proses kebijakan.
Model aktivitas Advocacy Coalitions Framework (ACF)
Di Amerika Serikat, Paul Sabatier dan rekannya menguji kegiatan para
pelaku kebijakan dalam subsisitem kebijakan. Sebuah koalisi advokasi adalah pelaku
(tokoh) dalam subsistem kebijakan. Jenkins-Smith mengatakan bahwa dalam
subsisitem kebijakan
“sebuah koalisi advokasi tediri dari berbagai lapisan masyarakat pada semua
tingkat pemerintah yang memiliki persamaan dasar kepercayaan (tujuan kebijakan,
sebab-sebab dan persepsi) dan bersama-sama mencari jalan untuk memanipulasi
aturan, anggaran dan orang-orang yang duduk dalam pemerintahan. Dengan demikian
tujuan mereka terdapat tokoh-tokoh masyarakat dalam sebuah negara. Koalisi ini juga
menggabungkan peranan pengetahuan dari beragam kepentingan dalam proses
kebijakan”
Dalam tulisannya yang berbeda, Jenkins-Smith dan Sabatier, 1994 dalam Sato
(1999: 29) mengatakan:
“Koalisi advokasi terdiri dari orang-orang yang memliki susunan normatif dan
sebab musabab keyakinan serta orang-orang yang sering berkoordinasi dalam tindakan
mereka. Sistem kepercayaan ini terdiri dari beberapa tingkat struktur, norma
fundamental dan nilai-nilai, persepsi terhadap distribusi sumber daya yang sesuai dan
otoritas pembuat kebijakan di masyarakat, serta hubungan persoalan kebijakan pada
area tertentu.”
“perekat yang menjaga koalisi advokasi tatap bersama dan bersatu adalah
berasal dari anggotanya sendiri yang selalu berbagi kepercayaan dan wawasan mereka
terhadap inti dari permasalahan kebijakan yang mereka hadapi. Dalam koalisi
advokasi sendiri menganggap adanya sesuatu asumsi bahwa beberapa anggota dari
sejumlah koalisi akan tidak setuju dalam menyelesaikan masalah-masalah yang minor,
namun ketidaksetujuan tersebut akan dapat diatasi. Kerangka kerja yang ada
didalamnya menolak berbagai macam kemungkinan bahwa kebebasan yang dimiliki
koalisi dapat dimotivasi oleh kepentingan sepihak selama beberap waktu tertentu yang
nantinya akan memberikan dampak pada pengarahan atau pelaksanaan kebijakan.
Berbagai tindakan dan interaksi dari berbagai macam koalisi advokasi dapat dipantau
sebagai satu cara pembentukan kebijakan yang sangat penting dan menentukan.
Tempat aktivitas-aktivitas semacam ini adalah subsistem kebijakan (Sabatier dan
Jenkins-Smith, 1993 dalam Mintrom dan Vergari, 1996: 421).
Sabatier (1993) dalam Mintrom dan Vergari (1996: 422) mengambarkan
subsistem kebijakan sebagai sebuah jaringan kerja individu-individu yang berasal dari
berbagai lapisan masyarakat dan organisasi-organisasi swasta yang mempunyai
kepentingan secara aktif terhadap persoalan dan evaluasi kebijakan didalam domain
tertentu. Beberapa subsistem kebijakan sangat luas jangkauannya dan dengan durasi
waktu yang mereka miliki tidak menutup kemungkinan terdiri dari beberapa koalisi
332
advokasi yang dominan dan dengan satu atau dua subordinat.
Setiap anggota koalisi meliputi berbagai tingkatan pemerintah, jurnalis,
peneliti, analis dan kelompok sosial lainnya. Koalisi advokasi berkompetisi untuk
menjabarkan sistem kepercayaan yang mereka anut pada kebijakan publik dengan cara
memobilisasi sumber daya politik dan dibantu oleh perilaku kelompok ketiga yang
disebut policy broker (pialang kebijakan) (Jeninkins-Smith, 1999 dalam Sato, 1999:
29; Sabatier, 1998 dalam Mintrom dan Vergari, 1996: 421).
Sebagai subsistem kebijakan, koalisi advokasi yang satu dengan koalisi
advokasi yang lain dapat dibedakan menurut kepercayaan dan sumber daya yang
mereka miliki. Tujuan koalisi advokasi adalah mencari berbagai cara untuk merubah
perilaku institusi pemerintah guna mencapai tujuan kebijakan dalam perspektif inti
kebijakan yang mereka inginkan. Mereka juga mengharapkan suatu perubahan dengan
beberapa petunjuk instrumen baik secara langsung ataupun tidak (Sabatier dan
Jenkins-Smith, 1993: 227; Sabatier dan Pelkey dalam Parsons, 1997: 198).
Selanjutnya Sabatier (dalam Schalager dan Blomquist, 1996: 656)
mengemukakan metode operasi yang dilakukan koalisi advokasi dalam mencapai
tujuan mereka meliputi: 1) menggunakan dan mengembangkan informasi dalam sebab
metode pembelaan guna membujuk pembuat keputusan agar mengangkat alternatif-
alternatif kebijakan yang didukung oleh koalisi; 2) memanipulasi pilihan forum
pembuat keputusan; 3) berusaha mendapat dukungan pegawai negeri (birokrat) yang
memiliki wewenang publik dengan berbagai pandangan bahkan menjadikannya
sebagai anggota kuat.
Di Indonesia, pernah pula kuat sekali pemahaman bahwa advokasi merupakan
pekerjaan para pengacara dan umumnya hanya berkaitan dengan praktek-praktek
pembelaan oleh para praktisi hukum di mahkamah peradilan. Lantas, lahirlah
pengertian advokasi yang amat sempit sebagai kegiatan beracara di peradilan (litigasi).
Advokasipun dianggap sebagai urusan dan monopoli organisasi yang kaitannya
dengan ilmu dan praktek hukum. Tetapi sebenarnya advokasi lebih merupakan suatu
usaha sistematik dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya
perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap maju (incremental). Dan hal inilah
yang banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga non pemerintah di Indonesia
(Topatimassang, et.al, 2000: 7-10)
Untuk meneliti dan mengkaji koalisi advokasi, perubahan kebijakan dan policy
oriented learning serta pertanyaan-pertanyaan yang muncul selama implementasi
digunakan Advocacy Coalition Framework. Advocacy Coalition Framework Sabatier
dipandang sebagai sutau fungsi interaksi. Advocacy Coalition dalam subsistem
kebijakan, perubahan ekternal anggota koalisi untuk bertindak bersama berdasarkan
pada sistem kepercayaan yang mereka miliki dan bangun untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Advocacy Coalition Framework menekankan pada peranan informasi dan
pengetahuan dalam proses kebijakan (Sabatier dalam Schalager dan Blomquist, 1996:
655). Pertama-tama adalah penting untuk menjalin stabilitas koalisi selama dan
sepanjang proses kebijakan dengan cara membandingkan muatan output kebijakan
dengan sistem-sistem keyakinan dari para partisipan subsistem. Karena sistem
kepercayaan sulit dirubah, maka bisa diasumsikan kebijakan bisa mencerminkan
kekuatan relatif dari masing-masing koalisi (Sabatier, 1986; Davis dan Davis, 198’
Jenkins-Smith dam Sabatier, 1994 dalam Ellison, 1998: 11-13).
Ide dasar dari model ini berpendirian bahwa aliansi diantara para aktor formal
dan informal diperlukan dalam proses kebijakan publik. Konsep subsistem kebijakan
333
meliputi peran pemerintah dan non pemerintah yang membentuk alinasi sektor
keyakinan inti (core belief), atau nilai-nilai mengenai apa yang dilakukan pemerintah.
Berdasarkan alsaan yang dikemukakan Heclo (1987) subsistem kebijakan atau
keterlibatan aktor kebijakan, bisa membantu kita memperluas pemikiran menganai
aliansi informasi dengan fokus utama adalah ketegasan para anggota mengenai issue
network (Advocacy Coalition Framework). Advocacy Coalition Framework
menawarkan suatu meknisme untuk menjelaskan perubahan kebijakan (policy change)
setiap saat, dan didasarkan pada premis bahwa subsistem kebajakan merupakan
refleksi dari sistem kepercayaan yang didalamnya memasukkan niali-nilai, norma-
norma, teori-teori, kausal-kausal dan sebagainya, dari para partisan subsistem yang
berbeda.
Unit analisis dari Advocacy Coalition Framework adalah subsistem kebijakan.
Subsistem-subsistem merupakan kelompok-kelompok aktor formal dan infromasi
yang terlibat aktif dalam persoalan inti kebijakan (Heclo, 1978 dalam Ellison, 1998:
11), yang membentuk aliansi sekitar kepercayaan inti (core belief), atau nilai-nilai
mengenai apa yang dilakukan pemerintah.
Sistem kepercayaan beroperasi berdasarkan hirarkis, dimana kepercayaan
paling dasar bersifat menekan terhadap posisi kebijakan dan keyakinan operasioanl
yang spesifik (Jenkins-Smith, et.al, 1991). Kepercayaan inti kebijakan (policy core
belief) merupakan perekat yang mengikat Advocacy Coalition dan mencerminkan
persepsi kausal serta komitmen normatif pihak koalisi (Jenkins-Smith dan Sabatier,
1994). Akhirnya aspek sekunder (secondary aspect) dari sistem kepercayaan
mencerminkan masalah opeasional dan institusioanal yang berkaitan dengan
implementasi dan desain kebijakan. Aspek sekunder dari sisitem kepercayaan
merupakan yang paling lemeh dalam hirarki, dan kebijakan diasumsikan atau
dimodifikasi guna mengatasi tantangan dan kesulitasn yang muncul (Sabatier, 1986).
Advocacy Coalition Framework menawarkan sejumlah hipotesis menganai
sistem kepercayaan, antara lain meliputi; a) stabilitas koalisi; b) perubahan kebijakan;
dan c) pembelajaran yang berorientasi pada kebijakan
334
Mereka mengembangkan suatu sistem dukungan yang sah menguntungkan dalam
hubungan mutualisme yang konstan pada hal-hal yang bersifat legislatif dan regulatif.
Disimpulkan “segitiga besi” sebagai cerminan awal yang kaku “segitiga besi” atau
subgovernment menuju ke arah jaringan (network) yang luas atau koalisi advokasi.
Persoalan yang mendasar adalah diperlakukannya aliansi antara pelaku formal dan
informal dalam pembuatan kebijakan publik (Cater, 1964; Freeman, 1965; Grifith,
1939; Heclo, 1978 dalam Ellison, 1998: 11).
Unit koalisi pada Advocacy Coalition Framework adalah subsistem kebijakan
dimana subsistem kebijakan merupakan kelompok aktor atau pelaku formal dan
informal yang terlibat secara aktif dalam proses kebijakan (Heclo, 1978; Sabatier,
1987 dalam Ellison, 1998: 12).
Subsistem kebijakan dapat pula berupa organisasi-organisisi pribadi atau
umum yang relatif aktif menaruh perhatian pada masalah-masalah kebijakan (Sabatier,
1988: 13 dalam Schalager dan Blomquist, 1996: 657). Ide dasar Advocacy Coalition
Framework adalah pelaku atau subsitem kebijakan yang membentuk aliansi
berdasarkan kepercayaan atau nilai-nilai yang disepakati bersama tentang apa yang
sebenarnya dilakukan pemerintah. Aliansi ini bernama koalisi advokasi dan tetap
bertahan selama satu periode atau lebih (Sabatier, 1987: 651 dalam Ellison, 1998: 13).
7. Subsistem Kebijakan merupakan titik utama analisa (Focus Point of
Analisys) dalam Advocacy Coalition Framework. Menurut ACF, subsistem
kebijakan adalah forum dimana policy-making terjadi. Subsistem kebijakan
muncul dan dilatarbelakangi oleh kebutuhan tertentu atau ketidakpuasan dengan
fora yang ada dalam debat politis, dimana subsistem ini terdiri atas para aktor
politis dari masyarakat dan individu, serta dari berbagai tingkatan pemerintah.
Dalam hal ini, subsistem dapat menolak atau memisahkan diri dari area kebijakan
yang ada, atau justru bergabung dan mempengaruhi institusi pemerintah kunci
yang menyediakan forum untuk pengembangan kebijakan.
8. Sabatier melihat subsistem sebagai unit analisa paling penting untuk
melihat “perubahan kebijakan" (policy change) (1988:131). Dengan cara seperti
ini, subsistem, seperti yang dikemukakan Griffith, merupakan sebuah "pusaran
air/whirlpool" dalam proses pembuatan kebijakan. Sabatier sendiri melibatkan
individu yang memang berkompeten, seperti akademisi, analis, wartawan, serta
pihak lain yang menghasilkan dan menggerakkan informasi di sekitar subsistem ke
dalam lingkungan politis yang lebih luas, sebagai bagian dari subsystem.
Sedangkan Heclo memasukkan individu sebagai "policy watcher/pemerhati
kebijakan", dan predikat ini justru memberikan kesan dan peran yang lebih pasif
untuk individu dibandingkan dengan konsep ACF itu sendiri. Oleh karena itu,
subsistem kebijakan harus dapat dilihat sebagai metode yang jauh lebih kompleks
dimana di dalamnya terdiri dari individu dan organisasi/kelompok, yang dapat
dilihat melalui pengamatan atau sumber data sekunder.
Gambar berikut akan menjelaskan tentang subsistem kebijakan yang
dilingkupi dan dipengaruhi oleh lingkungan eksternal. Sebagai suatu subsistem, tentu
saja akan berhubungan dengan lingkungan politis yang lebih luas (sistem) dan
berdampak pada sumber daya serta tindakan anggota subsistem. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh Hofferbert (1974) tentang dampak faktor historis, kondisi-kondisi
sosial ekonomi, dan peristiwa dalam policy-making process sebagai wujud hubungan
pengaruh dan mempengaruhi dari berbagai faktor eksternal. Hal ini seperti tampak
pada sisi kiri gambar 2 yang menjelaskan rangkaian kondisi eksternal dari hubungan
yang terjadi pada berbagai faktor dan kemudian akan membentuk area kebijakan.
335
Kondisi ini juga akan menentukan distribusi sumber daya serta kultur politik pada
organisasi formal serta juga akan menentukan perannya dalam kehidupan publik.
Unsur-unsur dalam subsistem tersebut secara relatif statis dari waktu ke waktu
akan mengalami: (1) perubahan jangka pendek dan dalam komposisi yang lebih luas
akan mendorong pada perubahan "governing coalition" (yaitu, keseimbangan antara
legislatif atau dan yudikatif), (2) perubahan pendapat umum, (3) siklus ekonomi yang
akan membuat posisi kelompok yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan
berubah. Utamanya adalah terjadinya re-contextualise terhadap pembuat kebijakan
menjadi unsur-unsur systemic yang lebih luas dan mempengaruhi cara mereka dalam
melakukan kerjasama.
Gambar 1. The Policy Subsystem and External Influences
Secara singkat, gambar di atas dapat dijelaskan bahwa pada sisi sebelah kiri
ada dua set variabel eksogen, yaitu yang satu relatif stabil (karakteristik wilayah
masalah, distribusi sumber-sumber alam, nilai sosio kultural dan struktur sosial, serta
struktur konstitusi) dan yang satunya lagi lebih dinamis (perubahan kondisi sosial-
ekonomi dan teknolologi, perubahan sisitem koalisi pemerintahan dan kebijakan serta
dampak kebijakan dari subsistem yang lain. Dimana kedua-duanya bisa
mempengaruhi desakan dan sumber-sumber yang ada pada aktor-aktor subsistem.
Para aktor subsistem terkelompokkan ke dalam beberapa koalisi advokasi
(misalnya A1 dan B1) yang masing-masing terdiri dari para politisi, pejebat eksekutif,
para pimpinan kelompok kepentingan, dan para intelektual dimana mereka saling
berbagi sistem kepercayaan dasar dalam mengkaji atau mengkritisi pelbagai isu
kebijakan.
Mereka (koalisi A1 dan B1) saling beradu strategi, dan bila terjadi konflik
yang tajam ditengahi oleh pialang kebijakan (policy brokers) yang tugasnya
menengahi konflik dan mencari kompromi untuk mereduksi konflik.
336
Hasil akhir dari proses Koalisi Advokasi para aktor subsisitem tersebut adalah
adanya: legislasi atau dekrit pemerintah untuk menyusun atau mengubah atau
mengubah satu atau lebih program aksi/kebijakan pemerintah (pada tingkat pilihan
kolektif), yang pada akhirnya akan menghasilkan dampak kebijakan (pada tingkat
operasional).
Advocacy Coalition Framework dan Perubahan Kebijakan
Dalam mengkaji perubahan kebijakan, Parsons bertitik tolak atas dasar
kesepakatannya dengan pandangan Lindblom yang mengatakan bahwa proses
kebijakan itu bukan merupakan rational machine. Dengan demikian, tidak selamanya
benar pendapat yang mengatakan bahwa setelah dilakukan evaluasi maka hasil-hasil
evaluasi itu akan berdampak langsung terhadap kebijakan yang bersangkutan (baik
perbaikan maupun penghentian). Proses kebijakan terlalu kompleks jika dipandang
sebagai proses linier formulasi, implementasi dan reformulasi, namun proses
kebijakan yang sebenarnya merupakan proses politik. Dari perspektif politik, evaluasi
kebijakan hanya merupakan bahan tambahan dalam kancah politik, artinya ia berperan
sebagai penyeimbang pertarungan kepentingan yang dianalisis dan kemudian terjadi
keputusan-keputusan politik tertentu (Parsons, 1997: 569).
Dalam mengkaji perubahan kebijakan, Parsons memfokuskan pada dua aspek,
yiatu: 1) perubahan dalam ruang lingkup kebijakan (policy change), yang menyangkut
bagaimana perubahan dalam tujuan kebijakan, nilai, kepercayaan dan prioritas itu
terjadi; 2) perubahan dalam lingkup organisasinya (organizational space), yang
dengan konteks organisasi pengambilan kebijakan itu.
Untuk melihat bagaimana kedua aspek perubahan itu terjadi, digunakan 3
pendekatan siklus kebijakan (policy cycle approach), pendekatan organisasional
(organizational approach) serta perubahan kebijakan dan pembelajaran kebijakan
(policy change dan policy learning).
Dengan digunakan pendekatan siklus kebijakan, akan dapat dilihat perubahan
pada aspek pertama yaitu perubahan dalam ruang lingkup kebijakan (policy space),
yang lebih menekankan pada penghentian kebijakan (policy termination). Konsep
policy cycle yang dianggap Hogwood dan Peters menganggap ada suatu proses linier
pada sebuah kebijakan, yaitu: policy innovation, policy succession, policy
maintenance dan policy termination. Policy Innovation adalah saat dimana pemerintah
berusaha memasukkan sebuah problem baru yang diambil dari beragam tuntutan dan
beragam kepentingan yang ada di masyarakat, yang kemudaian dari konstruksi
menjadi sebuah kebijakan yang relevan dengan konteks tesebut. Policy succession,
setelah aspirasi itu ditangkap maka pemerintah akan mengganti kebijakan yang ada
dengan kebijakan yang baru yang dibuat tersebut untuk keep the policy on track.
Policy termination adalah pada saat kebijakan yang ada tersebut sudah tidak sesuai
dan diberhentikan.
Pendekatan kedua, dalah pendekatan organisasional (Organizational
Approach), dimana dengan pendekatan ini akan dilihat bagaimana perubahan terjadi
pada aspek organisasinya (organizational change). Dan tentunya organisasi yang
dimaksud adalah organisasi publik. Organisasi publik yang pada awalnya mengacu
pada konsep-konsep Weberian, akhirnya pada organisasi post modern mengalami
perubahan yang lebih menekankan pada konteks directions, seperti mengurangi
birokrasi, mengurangi hirarki, lebih menekankan pada pemberdayaan, pengambilan
fleksibilitas dan interaksi intra organisasi.
Pendekatan terakhir yang digunakan Parsons dalam melihat perubahan
kebijakan dalah policy change dan policy learning. Persoalan ini faktor nilai (value)
harus banyak mewarnai dalam setiap kerangka analisis, sebagaimana yang dikatakan
337
Parsons, Sabatier dan Jenkin-Smith “policy change is the dynamics of belief dan
policy learning”. Dalam menyikapinya, pertanyaan-pertanyaan mendasar yang harus
dijawab yaitu bagaiamna pembuat kebijakan “belajar”?. Bagaimana sebuah kebijakan
publik itu difasilitasi oleh proses pembelajaran organisasi? Bagaimana sebuah
kebijakan itu dipicu oleh social learning yang lebih luas? Dan bagaimana proses
belajar itu bisa dipercepat?
Social learning approach sangat menekankan pada komunitas dan keinginan-
keinginan mereka akan bentuk baru atas tatanan pembangunan sosial ekonomi yang
ada. Disini pembuat kebijakan tidak bisa berjalan sendiri dan mengabaikan debat
publik, sehingga perlu adanya mutual antara pengambil kebijakan dengan masyarakat
secara umum.
Pada tataran perubahan kebijakan, Advocacy Coalition Framework
menamakan mekanisme untuk menjelaskan perubahan kebijakan yang berdasarkan
pada premis atau alasan, dengan subsistem kebijakan sebagai alat analisisnya, serta
dibutuhkan perspektif waktu selama dekade atau lebih untuk memahami perubahan
kebijakan (Jenkisn-Smith dan Sabatier, 1993 dalam Ellison, 1998: 11).
Dalam pandangan Advocacy Coalition Framework perubahan kebijakan dan
pembuatan kebijakan akan dijelaskan dari berbagai hasil yang timbul serta kompetisi
diantara keduanya. Model ini melakukan penilaian terhadap berbagai peristiwa dan
menawarkan forum yang mengetengahkan masalah kebijakan yang tujuannya
menyelesaikan dan mengantisipasi perubahan yang terjadi pada nilai-nilai penting dari
struktur yang ada.
Advocacy Coalition Framework memberikan kesempatan guna mempelajari
pergerakan subsistem selama minimal satu siklus formulasi,, implementasi dan
reformulasi, dan hal ini akan memberikan ciri atau pertanda akan terjadi perubahan
kebijakan apabila timbulnya tak tentu atau perpecahan terhadap stabilitas subsistem
(Mazmanian dan Sabatier, 1989 dalam Ellison, 1998: 11). Sebab bagaimanapun juga
kebijakan publik merupakan refleksi sistem kepercayaan dimana terdapat perpaduan
antara nilai, prioritas dan sebab teoritis dari subsistem yang ada (Jenkisn-Smith dan
Sabatier, 1994: 178-180).
Advocacy Coalition Framework menjelaskan perubahan kebijakan terjadi
dalam 2 cara, yaitu: 1) perubahan kebijakan terkadang memunculkan perubahan
sistem eksternal menuju subsistem, seperti naiknya koalisi pemerintah baru (melalui
pemilu) atau juga perubahan ekonomi (Jenkisn-Smith dan Sabatier, 1994: 183;
Ellison, 1998: 13); 2) Perubahan kebijakan juga bisa muncul apabila koalisi advokasi
menekankan sikap dalam merespon aktivitas subsistem. Advocacy Coalition
Framework berasumsi bahwa policy oriented learning dalam subsistem kebijakan
sebagai “instrumental (as) members of various coalitions seek to better understand
the world in order to futher their policy objectives” (Jenkisn-Smith dan Sabatier,
1997: 10).
Advocacy Coalition Framework memberikan beberapa hipotesis mengenai
sistem kepercayaan, stabilitas koalisi, perubahan kebijakan dan pemahaman kebijakan.
338
keresahan yang dirasakan rakyat memiliki potensi “marah” (Kurniawan, dkk,
2008:86-87).
Tidak berpihaknya negara kepada rakyat banyak faktor yang melatarbelakangi,
salah satunya adalah intervensi pasar atau pemilik modal. Dalam konsep bernegara
dikenal 3 elemen, yaitu; negara, rakyat, dan pasar. Akan tetapi ketika dalam proses
menjalankan pemerintahan, negara tidak berpihak kepada rakyat, maka sebagai civil
society muncullah peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGO) sebagai elemen
keempat. Posisi keempat inilah yang berperan sebagai pressure group dalam setiap
perumusan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Hal ini diperkuat oleh Fowler
yang berpendapat bahwa posisi keempat bagi LSM atau Organisasi Masyarakat Sipil
adalah sebuah keniscayaan untuk mengambil peran-peran aktif dalam masyarakat,
terutama sebagai entitas yang berkorelasi dengan ketiga sektor yaitu negara, pasar dan
rakyat (Fowler, dalam Lewis, 2007:xxxvi).
Pressure group atau dapat diartikan “kelompok penekan/pendorong” sejatinya
adalah gerakan masyarakat sipil atau civil society pada umumnya yang memiliki
solidaritas sosial dan kesadaran kritis akan hak-hak ekonomi, politik, sosial dan
budaya (ekosobud), yang kemudian dikenal sebagai gerakan penyeimbang kekuatan
negara dan pasar. Kemunculan gerakan civil society adalah akibat dari ketidakadilan
negara dalam mensejahterakan rakyatnya. Locke berpendapat bahwa seharusnya
masyarakatlah yang membentuk negara, dan ketika negara tidak mampu
mensejahterakan warganya maka sah hukumnya apabila warga tidak mengindahkan
negara, bahkan bila perlu memberontak dan menjatuhkan pemerintahannya (Locke,
dalam Kurniawan, dkk. 2008:10). Disinilah yang kemudian melahirkan konsep
“kontrak sosial”.
Civil society dalam mendorong perubahan sosial menuju tatanan sosial baru
yang lebih baik, membutuhkan suatu proses panjang untuk membangun sebuah
keyakinan bagi individu dan kelompok atau masyarakat secara utuh. Keyakinan ini
tentu akan berkontribusi bagi terjadinya bangunan yang lebih strategis dan cukup
makna, yaitu adanya kesadaran kritis di kalangan mereka. Dengan dua bangunan
kesadaran inilah yang kemudian mampu menjadi modal utama bagi civil society untuk
sebuah pekerjaan yang cukup rumit dan besar namun sangat bermakna bagi
berjalannya proses menuju kesejahteraan rakyat, yaitu adalah pekerjaan untuk
mempengaruhi kebijakan negara.
Dalam hal ini NGO sebagai pressure groups memposisikan diri sebagai policy
broker (pialang kebijakan) yang akan mendorongkan kepentingan umum dan yang
mengawal kebijakan sesuai dengan tujuan semula. Dia yang akan berusahan menjaga
stabilitas kebijakan sesuai tujuan kebijakan anggaran yang hendak dicapai dan sebagai
penyeimbang antara kepentingan umum dan aktor kebijakan khususnya yang
berkaiatan dengan anggaran daerah.
PENUTUP
Advocay lebih merupakan usaha sistematik dan terorganisir untuk
mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara
bertahap maju (incremental). Dengan kata lain, advokasi memang bukan revolusi,
tetapi memang merupakan suatu usaha perubahan sosial melalui semua saluran dan
piranti demokrasi perwakilan,proses-proses politik dan legislasi yang terdapat dalam
sistem yang berlaku. Oleh karena itu, melakukan advokasi sesungguhnya adalah
mempersoalkan hal-hal yang berada di balik suatu kebijakan yang secara tidak
langsung mulai mencurigai adanya bibit ketidakadilan yang tersembunyi. Persoalan
ini layak dicermati tidak hanya terbatas pada para pakar, kaum profesional dan aktivis
339
saja,melainkan akar rumput yang sebelumnya menjadi korban ketidakadilan suatu
kebijakan publik.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, James E. 1979. Public Policy Making, New York. NJ: Holt
Reinhartnwinston.
340
John Chen, Peter. 2000. Australia's Online Censorship Regime: The Advocacy
Coalition Framework and Governance compared, The Australian
National University.
Mazmanian, Daniel and Paul A, Sabatier (eds). 1981. Effective Policy Implementation,
Lexington MassDC: Health.
Mintrom, Michael dan Vergari, Sandra. 1996. Advocacy Coalition: Policy
Enterpreneurers and Policy Change, In Policy Studies Journal. vol.
24. No. 3. p. 420-434.
Parsons, Wyne. 1997. Poublic Policy: An introduction to the Theory and Practice of
Policy Analysis, Queen Mary Westfield Collage University: London:
Sabatier, P. 1978. The Acquisition and Utilization of Technical Information by
Administrative Agencies, Administrative Sciences Quarterly, 23,
September, pp. 396– 417.
---------------.1986. Top Down and Bottom-up Approach to Implementation Research:
a Critical Analysis and Suggested Synthesis: Journal of Public Policy,
No. 6. Pp. 21-48.
Sabatier, P., and N Pelkey. 1987. Incorporating Multiple Actors and Guidance
Instruments into Models of Regulatory Policymaking, Administration
and Society, 19(2), August, pp. 236–63.
Sabatier, P. 1988. An Advocacy Coalition Framework of Policy Change and Policy-
Oriented Learning Therein, Policy Sciences, 21, pp. 129–168.
Sabatier, P. 1991a. Two Decades of Implementation Research From Control to
Guidance and Learning, in The Public Sector: Challenge for Co-
ordination and Learning, Kaufmann (ed.), Walter de Gruyter: Berlin.
---------------. 1991b. Towards Better Theories of the Policy Process, PS: Political
Science and Politics, June, pp. 147–56.
Sabatier, P., and S Hunter. 1989. The Incorporation of Causal Perceptions into Models
of Elite Belief Systems, Western Political Quarterly, 42(3), pp. 229–
61.
Sabatier, P., and HC Jenkins-Smith (eds.). 1993. Policy Change and Learning: An
Advocacy Coalition Approach, Westview Press: San Francisco.
Sato, Hejime. 1999. The Advocacy Coalition Framework and the Policy Process
Analysis: The Caseof Smoking Control in Japan, Policy Studies
Journal, Vo. 27, No. 1, Pp. 28-44.
Scalager, Edella and Blomquist, William. 1996. A comparisn of Three Emerging
Theories of teh Policy Process, Political Research Quarterly, Vol.
49. No. 3, Pp. 651-372.
Tjokroamidjojo, Bintoro. 2001. Reformasi Administrasi Publik, MIA– UNKRIS:
Jakarta.
Topatimassang, et.al. 2000. Merubah Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar Offset:
Yogyakarta.
341
i Lihat penjelasan Undang-Undang RI No 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional Pasal 2 ayat (4) huruf a, adalah Pemerintah (Pusat, Provinsi,
kabupaten dan Kota), dunia usaha dan masyarakat. Musrenbang dalam sistem
perencanaan pembangunan tersebut hanya dilakukan pada tingkat kelurahan,
kecamatan, dan Forum SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) baik tingkat kabupaten /
kota maupun Provinsi.
ii
Lihat Cheema, Shabbir and Dennis Rondinelli, 1983, Decentralization and Development, Beverly Hills, CA : Sage
Publications
iii
Lihat Djohan, Djohermansyah, 2002, "Fenomena Etnosentrisme Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah"
(makalah dalam Workshop Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, UNDIP,
Semarang
iv Goggin, L., Malcolm, Ann O'M Bowman, James P. Lester and L. J. O'Toole, Jr., 1990,
Implementation Theory and Practice Toward a Third Generation, Foresman and Company,
Weichhart P., 2002, Globalization Die Globalisierung und ihre Auswirkungen auf die
Regionen. In : H. DACHS und R.FLOIMAIR, Hrsg., Salzburger Jahrbuch fur Politik 2001.
Salzburg (Schritenreihe des landespresseburos, sunderplublikationen, Nr. 180)Glenview,
Illionis London, England
v Weichhart P., 2002, Globalization Die Globalisierung und ihre Auswirkungen auf die Regionen. In
: H. DACHS und R.FLOIMAIR, Hrsg., Salzburger Jahrbuch fur Politik 2001. Salzburg
(Schritenreihe des landespresseburos, sunderplublikationen, Nr. 180)Glenview, Illionis
London, England
vi Lihat Mc Guire (20060 : Kajian disertasi ini masuk dalam domain Public Management
and Intergovernmental (sesuai klasifikasi Michael McGuire seorang associate
professor dalam public and environmental affairs di Universitas Indiana
Bloomington).
vii
Patterson, D.A. 2008. Intergovernmental Cooperation. Albany, NY: New York State Department of State
Division of Local Government Services
viii Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001 Edisi Ketiga, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, Balai Pustaka, Jakarta
ix
Thomson, Ann Marie and James L. Perry (2006), “Collabotration Processes : Inside the Black Box”, paper presented
on Public Administration Review; Dec 2006; 66, Academic Research Library pg.20
x
Wood, Donna, and Barbara Gray, 1991, “Toward a Comprehensive Theory of Collaboration”, Journal of Applied
Behavioral Science 27 (2):139-62
342
xiii
O’Toole, Laurence J., Jr., Meier, Kenneth J., 2004, "Intergovermental Management", Journal of Public
Administration Research and Theory, 01 – Oct - 2004
xiv
Albrow, Martin, 2005, Birokrasi, Tiara Wacana, Jakarta
xv
Rouke, Francis E., 1965, Bureucratic Power in Natioanal Politics, Little Brown, Boston, MA.
xvi
Heckscher, Charles and Donnellon, Anne (Edt. 1994), The Post Bureaucratic Organization, new perspective on
organization change, Sage Publication, thousand Oaks, CA.
xvii Fukuyama, Francise, 1995, Trust, The Social Vertues And The Creation Of Prosperity, The Free
Press, New York, NY
xviii Klijn, Erik-Hans and Joop F.M. Koppenjan, 1999, Managing complex Networks Strategies for
xxi Lihat Pratikno (Ed.), 2007, Kerjasama Antar Daerah : Kompleksitas dan Tawaran Format
Kelembagaan, Jogja Global Media, Yogyakarta. Buku ini banyak menjelaskan tentang
format kerjasama antar daerah yang salah satu bahasannya mendeskripsikan
praktek kerjasama antar daerah di beberapa negara antara lain : Afrika Selatan,
Amerika Serikat, Korea Selatan dan Philipina.
xxii Henry, N. 1995. Public Administration and Public Affairs. Sixth Edition. Englewood Cliffs, N.J. :
Prentice –Hall.
xxiii
Pratikno (Ed.), 2007, op cit.
xxiv
Waugh Jr, W.L. and G.Streib. 2006. “Collaboration and Leadership for Effective Emergency Management”.
Public Administration Review, 66 (December), pp. 131-140
xxv
Jenkins, W.O. 2006. “Collaboration over Adaptation”. Public Administration Review, 66, 3 (May/June), pp. 319 –
321.
343