Anda di halaman 1dari 12

Nama : Rahayu Oktian Siregar

NIM : 1730711006

ADMINISTRASI PUBLIK 6A

“KEPENTINGAN PUBLIK”

Istilah kepentingan publik akan tetap terus berubah sesuai dengan waktu serta kondisi di
setiap keadaan. Menjelaskan pengertian dari kepentingan publik atau kepentingan umum adalah
bukan hal yang mudah. Perdebatan tentang definisi dari kepentingan publik hingga saat sakarang
belum berakhir dan tidak akan pernah berakhir, seiring dengan adanya tuntutan perkembangan
zaman. Istilah public interest merujuk pada suatu kepentingan publik yang luas, bukan sesuatu
yang menjadi perhatian publik. Apa yang telah menjadi perhatian publik belum tentu adalah
sebagai kepentingan publik. Dan sebaliknya, apa yang menjadi kepentingan publik belum tentu
menjadi perhatian publik, akan tetapi menjadi perhatian individu yang lebih peduli pada
kepentingan publik.

Kepentingan Publik adalah suatu kepentingan yang menyangkut kepentingan dari Negara,
Bangsa serta sebagian besar warga masyarakat. Kepentingan Publik adalah suatu kepentingan
yang menyangkut dalam seluruh lapisan masyarakat, cara pandang golongan, agama, suku, status
sosial dan sebagainya. Berarti dalam Kepentingan Publik menyangkut hajat hidup orang banyak
atau dengan kata lain merupakan hajat semua orang. kepentingan publik (public
interest) merupakan suatu konsep yang cair. Istilah kepentingan publik akan terus berubah sesuai
dengan waktu dan kondisi di setiap keadaan. Menjelaskan pengertian kepentingan publik atau
kepentingan umum bukanlah hal yang mudah. Perdebatan tentang definisi kepentingan publik
hingga saat ini belum berakhir dan tidak akan berakhir, seiring dengan tuntutan perkembangan
zaman.

Istilah public interest merujuk pada kepentingan publik yang luas, bukan apa yang menjadi
perhatian publik. Hal ini berarti bahwa apa yang menjadi perhatian publik belum tentu
merupakan kepentingan publik. Begitu pula sebaliknya. Apa yang menjadi kepentingan publik
terkadang tidak menjadi perhatian publik, tetapi menjadi perhatian individu yang peduli pada
kepentingan publik. Di dalam masyarakat terdapat banyak sekali kepentingan, baik perorangan
maupun kelompok, yang tidak terhitung jumlah dan jenisnya, yang harus dihormati dan
dilindungi. Oleh karena itu, wajarlah kalau setiap orang atau kelompok mengharapkan atau
menuntut kepentingan-kepentingannya itu dilindungi dan dipenuhi. Di sinilah letak arti
pentingnya peran pemerintah. Tindakan pemerintah harus ditujukan kepada pelayanan umum,
memperhatikan dan melindungi kepentingan orang banyak (kepentingan publik), sehingga
kepentingan publik merupakan kepentingan atau urusan pemerintah. 

Menurut Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia, Nomor 55 Tahun 1993, pasal
1 ayat (3), yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah ”kepentingan seluruh lapisan
masyarakat”. Batasan ini sungguh sangat sederhana, karena hanya dibatasi satu kriteria, maka
cakupan pengertian kepentingan umum sangat luas. Ini bisa dilihat dari banyaknya jenis
kepentingan umum. Menurut pasal 5 ayat (1) Keppres tersebut, kriteria kepentingan umum
(dalam konteks pengadaan tanah) adalah kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya
dimiliki Pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Ada 14 bidang kegiatan
yang masuk katagori kepentingan umum. Ada perbedaan definisi/batasan kepentingan umum
sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (3) dengan pasal 5 ayat (1). Batasan kepentingan umum
sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (3),  adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Di
sini tidak dibatasi, apakah kepentingan seluruh masyarakat tersebut untuk mencari keuntungan
atau tidak, tetap bisa dikategorikan sebagai kepentingan umum.  Begitu juga tidak dijelaskan,
dalam konteks pengadaan tanah untuk kepentingan umum, apakah pembangunan tersebut harus
dilakukan oleh Pemerintah atau boleh juga dilakukan oleh pihak lain? 

Ternyata dalam pasal 5 ayat (1) disebutkan ”kegiatan pembangunan untuk kepentingan
umum adalah kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki Pemerintah serta
tidak digunakan untuk mencari keuntungan....”. Menurut penulis, ada dua penjelasan batasan
kepentingan umum dalam konteks pengadaan tanah. Pertama, pembangunan tersebut boleh
dilakukan oleh Pemerintah atau pihak lain, sepanjang pada akhirnya dimiliki oleh Pemerintah.
Kedua, kegiatan pembangunan tersebut tidak digunakan untuk mencari keuntungan.

Makna kepentingan umum dalam konteks pengadaan tanah sangat dimungkinkan lebih dari
14 jenis, karena dalam pasal 5 ayat (2) disebutkan ”kegiatan pembangunan untuk kepentingan
umum selain yang dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden”. Hal ini
berarti rujukan untuk menetapkan apakah kegiatan pembangunan itu termasuk kategori
kepentingan umum atau bukan, tidak hanya semata-mata ditetapkan dengan Keputusan Presiden
Nomor 55 Tahun 1993, tetapi juga bisa ditetapkan melalui Keputusan Presiden, yang secara
khusus menyebut jenis kegiatan pembangunan tertentu. Batasan kepentingan umum berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 berbeda lagi. Kepentingan umum adalah ”kepentingan
sebagian besar lapisan masyarakat”. Menurut penulis, batasan versi Perpres ini lebih rasional jika
dibandingan dengan batasan menurut Keppres Nomor 55  Tahun 1993. Fakta menunjukkan,
belum tentu semua masyarakat dapat menikmati hasil atau manfaat dari fasilitas pembangunan
yang dikategorikan sebagai kepentingan umum. Apalagi kalau lokus pembangunan tersebut
sangat jauh dan tidak mungkin terjangkau oleh sekelompok masyarakat dari daerah tertentu.

Menurut Perpres Nomor 36 Tahun 2005, ada 21 jenis kegiatan kepentingan umum (dalam
konteks pengadaan tanah) yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Sayangnya dalam Perpres
Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, bahwa jenis
kepentingan umum dalam konteks pengadaan tanah justru dipersempit dari 21 jenis menjadi
hanya 7 jenis, yaitu:

1. Jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di
ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi.
2. Waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya.
3. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal.
4. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan banjir, lahar dan lain-lain
bencana.
5. Tempat pembuangan sampah.
6. Cagar alam dan cagar budaya.
7. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

Setiap orang ataupun setiap kelompok dapat mempunyai pengertian yang berbeda tentang
public interest dan individual interest. Namun dalam tulisan ini kita batasi pengertian public
interest dalam tiga aspek, yaitu :

1. Public interest dapat berarti individual interest yang berkaitan dengan hal-hal umum yang
dikehendaki oleh semua orang seperti misalnya jaminan keamanan, kualitas kehidupan
yang layak, udara bersih, air bersih dan hal-hal semacam itu. Sering orang menginginkan
hal-hal yang juga merupakan kepentingan bersama namun berbeda atau bertentangan
dengan kepentingan individual. Disatu pihak mereka menginginkan pendidikan yang baik
ataupun udara yang bersih serta transportasi publik yang nyaman tetapi di lain pihak
menginginkan pajak yang harus mereka bayar serendah mungkin. Di sini tampak bahwa
masyarakat memiliki dua sisi yang berbeda, di satu sisi benar-benar kepentingan yang
bersifat self-interest dan di sisi lain kepentingan yang memiliki semangat kebersamaan.
2. Interpretasi lain tentang public interest adalah hal-hal di mana terdapat konsensus di
antara “Dialogue” JIAKP, Vol. 1, No. 3, September 2004 : 381-391 383 warga. Misalnya
programprogram ataupun kebijakan-kebijakan yang disepakati secara mayoritas oleh
sebagian besar warga. Di dalam pengertian ini public interest bukanlah suatu yang
sifatnya abadi tetapi hanya hal-hal yang dikehendaki oleh publik pada suatu saat tertentu
yang dapat berubah dengan berjalannya waktu. Dalam pengertian ini tentu saja public
interest semacam ini akan menimbulkan berbagai pertanyaan yaitu tentang masalah apa
yang dimaksud dengan konsensus serta apa benar terjadi konsensus sejati? Perdebatan
tentang masalah begini selalu timbul hampir dalam setiap sistem politik
3. Public interest dapat pula berarti hal-hal yang baik bagi suatu masyarakat sebagai suatu
masyarakat yang utuh (things that are good for community as a community). Dalam
pengertian ini setiap masyarakat tentu saja memiliki hal-hal yang menjadi tujuan semua
orang seperti misalnya, keamanan bersama, keadilan, fair play, kualitas kehidupan yang
lebih baik, dan sebagainya. Public interest semacam ini sering menjadi perdebatan yang
hangat apabila diturunkan dalam tingkat operasional, misalnya kasus senjata nuklir,
sebagian masyarakat setuju perlunya senjata nuklir untuk kelangsungan hidup mereka
karena dengan senjata itu mampu mencegah lawan untuk memulai penyerangan. Lawan
akan berpikir dua kali sebelum melakukan penyerangan, karena akan mendapatkan
balasan yang setimpal dan dapat berakibat mutual annihilation. Namun sebagian
masyarakat lain menghendaki penghapusan senjata nuklir secara total karena adanya
senjata nuklir akan mengancam kelangsungan hidup semua orang, sebab apabila terjadi
perang nuklir akan menghancurkan seluruh masyarakat dan kemungkinan lebih jauh
adalah punahnya ras manusia. Namun kita perlu pula berhatihati tentang pengertian lain
dari public interest seperti yang dinyatakan oleh Jay M. Shafritz dan E.W. Russel, dimana
public interest.
Administrator publik harus memberikan kontribusi terhadap pengembangan gagasan
kolektif bersama dari kepentingan publik. Tujuannya bukan untuk menemukan solusi cepat yang
didorong oleh pilihan-pilihan individu. Tetapi merupakan penciptaan kepentingan dan tanggung
jawab bersama. Salah satu prinsip inti dari Layanan Publik Baru adalah penguatan kembali
senetralitas kepentingan publik dalam layanan pemerintah. Layanan Publik Baru menuntut agar
proses penetapan sebuah “visi” bagi masyarakat tidak hanya diserahkan kepada pemimpin politik
terpilih atau administrator publik yang ditunjuk. Tetapi aktivitas dalam menentukan visi atau
arah, dalam menentukan nilai bersama, merupakan sesuatu yang membutuhkan dialog dan
pertimbangan mendalam sebagai sentralnya (Bryson dan Crosby 1992; Luke 1998; Stone 1988).
Bahkan yang lebih penting, kepentingan publik bukan merupakan sesuatu yang terjadi begitu
saja sebagai hasil dari interaksi antar pilihan-pilihan penduduk individual, prosedur
organisasional dan politik pemilihan. Tetapi mengungkapkan dan menyadari kepentingan publik
merupakan salah satu alasan utama adanya pemerintahan.

Layanan Publik Baru melihat sebuah peran vital bagi pemerintah dalam proses
menyatukan orang ke dalam setting yang memberikan kesempatan bagi munculnya wacana tak
terbatas dan otentik terkait dengan arah yang harus diambil oleh masyarakat. Didasarkan pada
pertimbangan mendalam ini, sebuah visi berbasis-luas bagi komunitas, negara atau bangsa bisa
ditetapkan dan dapat memberikan serangkaian ide petunjuk (atau ideal) bagi masa depan. Tujuan
yang dihasilkan oleh proses ini kurang penting jika dibandingkan dengan melibatkan
administrator, politis dan penduduk dalam proses berpikir mengenai masa depan yang
diharapkan bagi komunitas dan bangsanya. Selain perannya sebagai pemberi bantuan
(memfasilitasi), pemerintah juga memiliki kewajiban moral untuk memastikan bahwa solusi
yang dikembangkan melalui proses tersebut sepenuhnya sesuai dengan norma-norma keadilan
dan kejujuran, dan dicapai melalui sebuah proses yang sepenuhnya sesuai dengan norma dan
etika demokrasi. Pemerintah akan berperan dalam memfasilitasi solusi bagi masalah-masalah
publik, tetapi juga bertanggung jawab dalam memastikan bahwa solusi-solusi tersebut sesuai
dengan kepentingan publik – baik dalam substansi maupun prosesnya (Ingraham dan Ban 1988;
Ingraham dan Rosenbloom, 1989). Dengan kata lain, peran dari pemerintah salah satunya adalah
memastikan bahwa kepentingan publik benar-benar dominan bahwa baik solusi maupun proses
pengembangan solusi bagi masalah-masalah publik sesuai dengan norma dan nilai demokratis
yang berupa keadilan, kejujuran dan kesetaraan.
Dalam Layanan Publik Baru pemerintah memainkan sebuah peran penting dan aktif
dalam menciptakan arena di mana penduduk melalui wacana dapat mengungkapkan nilai-nilai
bersama dan mengembangkan sebuah rasa kolektif terhadap kepentingan publik. Administrator
publik tidak hanya merespons suara-suara berbeda melalui pembentukan kompromisasi, tetapi
akan saling melibatkan penduduk agar mereka saling memahami kepentingannya dan pada
akhirnya menggunakan pemahaman kepentingan komunitas dan masyarakat secara lebih luas
dalam jangka panjang. Selain itu melakukan hal ini sangat penting bagi realisasi nilai-nilai
demokratis dalam proses pemerintahan. Isu ini sangat kompleks yang tidak hanya melibatkan
sifat dari kepercayaan penduduk dan responsivitas pemerintah, tetapi juga tujuan dan tanggung
jawab dari pemerintah itu sendiri. Yang menjadi sentralnya adalah pertanyaan mengenai apakah
penduduk percaya atau tidak terhadap pemerintahannya dalam menjalankan kepentingan publik.
Seperti yang dinyatakan oleh Kenneth Ruscio, “Resep dalam membentuk kepercayaan dan
pemahaman kita mengenai bagaimana kepercayaan ini dibutuhkan membutuhkan posisi bagi
sifat manusia, makna dari kepentingan publik dan alasan untuk terlibat dalam kehidupan politik”
(1996, 471).
Dalam seratus tahun terakhir, konsep kepentingan publik mendapatkan cemoohan,
penghargaan, lenyap dan bertahan menyisakan sedikit konsensus mengenai apa yang dimaksud
dengan kepentingan publik atau bahkan ini merupakan konsep yang berguna. Walter Lippman
mendefinisikan kepentingan publik sebagai “apa yang dipilih oleh manusia jika mereka melihat
secara jelas, berpikir rasional dan bertindak obyektif dan bijak” (1955,42). Tetapi Glendon
Schubert menyatakan bahwa konsep kepentingan publik “secara operasional tidak masuk
akal....ilmuwan politik mungkin menghabiskan waktunya untuk mendefinisikan konsep yang
menawarkan janji yang lebih besar untuk menjadi alat yang berguna dalam studi ilmiah dari
tanggung jawab politik” (1962,176). Frank Sorauf menyatakan bahwa istilah tersebut “terlalu
terhambat dengan makna ganda bagi penggunaan yang bernilai” (Sorauf, 1957, 624). Di sisi lain
Howard Smith mengatakan bahwa meskipun kepentingan publik merupakan sebuah mitos, ini
merupakan mitos yang berguna (1960). Dan yang lainnya menyatakan bahwa apapun
ambiguitasnya “tidak pernah ada masyarakat yang tidak diarahkan oleh ide ini” (Bell dan Kristol
1965,5). Meskipun muncul perselisihan ini, konsep kepentingan publik masih tetap penting
dalam wacana publik dan literatur akademis.
Di satu sisi berusaha menentukan “kepentingan publik” seperti sebuah usaha dalam
mendefinisikan “cinta”. Juga sangat jelas bahwa cinta berarti hal-hal yang berbeda pada orang-
orang berbeda dalam kondisi yang berbeda pula. Definisi ini bisa berubah dari waktu ke waktu
baik dalam bentuk maupun substansinya. Definisi ini juga mengubah kita bagaimana kita
berpikir dan berperilaku. Meskipun melihat dampaknya sering kali bisa dilakukan, akan sulit
mengamatinya secara langsung. Definisi ini secara simultan bisa dilihat sebagai kondisi dan
proses berkelanjutan. Kualitas dan signifikansinya terikat pada proses untuk mencarinya dan
dalam realisasi yang ingin dicapai. Sehingga definisi ini menentang kuantifikasi dan pengukuran
yang bermakna, sehingga sulit digunakan dalam jenis-jenis analisis tertentu. Beberapa orang
menyimpulkan dari kompleksitas ini, fluiditas dalam makna dan kesulitan pengukuran bahwa
cinta bukan merupakan konsep yang sangat berguna. Yang lainnya mungkin mempertanyakan
apakah cinta itu ada. Dan yang lainnya lagi mengakui bahwa cinta mungkin ada, tetapi
menambahkan bahwa cinta tidak dapat dan tidak harus menjadi subyek dari studi empiris dan
ilmu sosial karena cinta tidak dapat dioperasionalisasikan secara tepat. Tetapi sebagian dari kita
setuju bahwa penjelasan mengenai pengalaman manusia apakah itu personal, ilmiah sosial,
filosofis sangat kurang tanpa menggunakan konsep cinta.
Kepentingan publik, seperti cinta, berarti hal-hal berbeda bagi orang-orang yang berbeda,
berubah dari waktu ke waktu, memotivasi perilaku, membentuk pemikiran kita, menentang
pengukuran dan melibatkan substansi serta proses. Karena memahami pengalaman manusia
secara virtual membutuhkan pengakuan akan peran cinta, akan sulit atau bahkan mustahil
memahami kedalaman dan rentang dari layanan publik tanpa mengakui peran dari kepentingan
publik. Kesulitan dan ambiguitas yang dihadapi dalam usaha menentukan dan menempatkan
batas-batas konseptual dalam kepentingan publik melebih beban kekayaan yang dibawa bagi
pemahaman kita mengenai kewarganegaraan, pemerintahan dan layanan publik. Kami mengakui
bahwa kepentingan publik itu ambigu dan mengalir pada waktu yang sama dengan ketika kita
mendukung sentralitasnya bagi pemerintahan demokratis.
 Dinamika Media Massa dan Kepentingan Publik

Perkembangan media massa Pasca Orde Baru kian didominasi oleh peran media
komersial/private. Di tengah melemahnya media publik, media komersial pun telah menjadi
referensi utama bagi publik dalam memperoleh informasi. Dengan sejumlah inovasi yang
dilahirkannya, jumalisme media komersial pun kian mampu memukau mata publik. Isu-isu
krusial dengan cepat dihadirkan oleh media komersial setiap saat. Publik pun kian tergantung
pada pemberitaan media komersial. Watak media komersial ditandai dan dipengaruhi oleh
entitasnya sebagai institusi bisnis. Dapat kita saksikan bagaimana arus kepentingan kekuasaan
politik dan ekonomi terus merubah watak jumalisme tidak hanya pada media komersial, akan
tetapi juga menjadi referensi bagi style trend jumalisme di Indonesia. Pertama, dominasi arus
kepentingan kekuasaan dan modal pada akhimya berdampak pada logika kinerja media (media
logic) dalam proses news gathering dan news producing. Kedua, komersialisasi
informasi/pemberitaan media juga kian menjadikan media terjebak dalam dramatisasi fakta.
Fakta yang dihadirkan kian bias karena konstruksi realitas dramatis terns dilakukan akibat
tuntutan kompetisi pasar. Fakta yang dihadirkan di sini semata-mata dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan pasar/konsumen, bukan untuk kepentingan publik. Dalam keseluruhan
proses pemberitaan, media seharusnya mampu mengedepankan empat hal, yaitu :

1) Aspek akurasi (accurate)

2) Media harus mampu menyampaikan pemberitaan secara lengkap (completeness)

3) Media dalam pemberitaan harus mampu menyajikan hal-hal yang relevan (relevance)

4) Media dalam pemberitaan hams mampu menyajikan realitas secara obyektif


(impartiality)

Oleh karena itu, media hams mampu menghindari bias dalam setiap framing pemberitaan
yang dilakukannya. Bagaimana secara ideal media massa menyajikan realitas kekerasan atas
nama agama, atau menyajikan realitas yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan di
Indonesia? Bagi institusi dan pekerja media, pertanyaan ini tentu tidak mudah untuk dijawab dan
diwujudkan.Secara normative, media dituntut mampu menyajikan realitas yang lengkap dan
obyektif. Media massa dengan kerangka normative ini tentu cenderang berasumsi bahwa setiap
realitas adalah setara di mata media dan bebas nilai. Akan tetapi, dalam kenyataanya tidak seperti
itu.

 Konstuksi Kepentingan Publik dan Kekerasan Atas Nama Agama


Pola hubungan antara ’’kepentingan publik” di sam sisi dengan media di sisi yang lain menjadi
akar persoalan dibalik relasi antara media massa dan perilaku kekerasan atas nama agama.
McQuail mendefinisikan bagaimana pola ubungan ini dengan istilah ’’akuntabilitas media”. Dari
berbagai kasus sengketa- sengketa yang terjadi antara publik dengan media kita bisa melihat
bagaimana para pihak (stake holder) selama ini memahami kebebasan pers dan aturan
perundang-undangan yang menjamin kebebasan pers. Apakah masing-masing pihak mempunyai
titik acu yang sama, baik dalam memandang kebebasan pers maupun upaya penyelesaian
sengketa ketidakpuasan publik dengan isi media. Secara umum, ada tiga teori tentang
kepentingan public, yaitu :

1) kepentingan publik sebagai penjumlahan kepentingan pribadi (preponderance theory)

2) kepentingan umum (common interest theory) dan kesatuan (unitary theory)

3) kepentingan publik sebagai penjumlahan kepentingan pribadi (preponderance theory)

Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa kepentingan publik adalah penjumlahan dari
kepentingan-kepentingan individu.Kepentingan publik karenanya tidak bertentangan dengan
kepentingan individu, karena kepentingan publik pada dasamya adalah agregat dari berbagai
macam kepentingan- kepentingan perseorangan. Teori ini kerap juga disebut teori mayoritarian,
karena kepentingan publik digambarkan sebagai kumpulan pendapat dari banyak orang.
Kepentingan publik di sini menekankan pada “apa yang diinginkan oleh orang banyak”.
Kepentingan publik di sini bisa dicerminkan dan diketahui dari hasil polling, rating dan berbagai
data lain yang menunjukkan apa yang diinginkan oleh banyak orang. Kririk terhadap teori ini
berkaitan dengan hak dari kelompok minirotas. Khaiayak pemirsa televisi yang menyukai
program acara kesenian tradisional (wayang, ketoprak) tidak akan mendapatkan tayangan
tersebut, karena acara kesenian tradisional tersebut dinilai bukan acara yang berhubungan
kepentingan public disukai banyak orang.

Kepentingan publik bukanlah penjumlahan dari pendapat individu, karena posisi dari
kepentingan umum itu sendiri berbeda dengan kepentingan pribadi. Acara sinetron atau hiburan
di suatu televisi, bukanlah program yang berkaitar dengan kepentingan publik dalam teori ini.
Acara ini meski ditonton oleh banyak orang hanya mencerminkan selera atau keinginan orang.
Sebaliknya acara yang berkaitan dengan informasi politik, berita mengenai kompsi yang
dilakukan oleh pejabat negara, adalah contoh dari program yang berkaitar dengan kepentingan
publik. Acara-acara ini berkaitan dengan maasalah-masalah bersama warga atau komunitas.

Teori ini tidak melihat kepentingan umum dalam konsepsi mayoritarian. Teori ini
percaya bahwa ada kepentingan bersama (common interest), dan ini tidak berkaitan dengan
selera atau pendapat dari individu-individu. Salah satu ilustrasi dari penerapan teori ini adalah
adanya aturan mengenai kewajiban media (dalam masa kampanye Pemilu) untuk memberikan
kesempatan yang sama kepada partai politik. Atau kewajiban agar media memberikan perhatian
lebih kepada kelompok minoritas dan marjinal perempuan, buruh dan penyandang cacat. Dalam
konsepsi teori penjumlahan preponderance theory), upaya ini tidak berkaitan sama sekali dengan
kepentingan publik. Jika konsumen media (dibuktikan lewat survei atau rating televisi) memang
tidak menginginkan menonton berita-berita tersebut, tidak ada kewajiban media untuk
memberitakan kelompok tersebut Tetapi dalam konsepsi teori kepentingan bersama (common
interest), masalah yang berkaitan dengan kelompok minoritas atau marjinal adalah masalah
bersama sebagai warga. Media hams memberi tempat kepada mereka, biarkan pun berita
mengenai kelompok ini tidak disukai oleh khalayak penonton.

 Agama dan Konstruksi Kepentingan Publik

Rezim Orde Baru mempakan salah satu contoh sebuah rezim politik yang secara cerdas
membangun konstruksi social budaya harmoni dan kekeluargaan untuk menjaga stabilitas dan
kepentingan politiknya. Karena itu, Rezim Orde Baru sangat takut dengan potensi apapun di
dalam masyarakat yang bisa mereproduksi resistensi, perlawanan, dan konflik atas nama kelas,
etnis, agama dan budaya yang bermuara pada kekerasan. Karena itu, Rezim Orde Baru tanpa
lelah mereproduksi konstruksi budaya social harmoni dan kekeluargaan untuk melawan arus
konstruksi budaya kekerasan yang bersumber dari manapun.

Pasca Orde Baru, kontestasi para elit yang berebut kekuasaan senantiasa bertarung ke
puncak inri kekuasaan. Modal politik, modal social dan modal kultural yang digunakan adalah
daya dukung legitimasi social, politik, dan budaya yang ada pada masyarakat local. Masyarakat
local yang berakar dari ideology, budaya etnis, agama, dan kelas social tertentu ini kembali
menjadi obyek kostruksi social dalam tagam identitas yang ditempelkan dari iuar dirinya.Ragam
konstruksi social ini dibangun bisa melalui nilai-nilai yang disebarkan, interaksi dan jejaring para
elit local dengan elit nasional hingga mewujud dan mengental dalam identitas organisasi
masyarakat dan keagamaan. Ragam konstruksi social yang dibangun oleh para elit ini pun
direproduksi oleh masyarakat local secara intens. Kesadaran keberbedaan identitas antara
kelompok pun terns menerus menguat secara horizontal di tengah-tengab masyarakat. Maka
tidak heran tiba-tiba ledakan kekerasan horizontal atas nama Agama terjadi di Pandegelang,
Temanggung dan Pasuruan. Mereka adalah obyek konstruksi social dari ambisi para elit di
panggung kekuasaan.Konstruksi social yang menggiring pada logika kekerasan, pada mulanya
merupakan kekerasan cultural. Pada arena kekerasan cultural ini, identitas keberbedaan terus
dipergunjingkan secara negative dari fase halus hingga kasar Ekspresi dari ucapan hingga
tindakan dalam mencacimaki keberbedaan ini kemudian mewujud menjadi kekerasan psikologis.
Kehadiran elit dan Negara dengan memaksakan sejumlah regulasi yang meminggirkan kelompok
keagamaan merupakan bentuk kekerasan structural. Dasar legitimasi regulasi Negara dan juga
legitimasi teologis dari para elit agama yang mendominasi ini pada akhimya memicu ekspresi
bentuk kekerasan langsung. Pada fase inilalah kemudian ledakan kekerasan horizontal antas
penganut agama Islam dengar Ahamdiah di Pandegelang, antara Islam dan Kristen di
Temanggung dari masyarakat yang menyerang pesantren YAPI Pasuruan tak dapat dibendung.

Barangkali banyak elit yang tidak menyadari bahwa arus konstruksi social yang
dibangunnya dalam rangka memperkuat identitas agama dan ideologi keagamaannya dalam
jangka panjang terns menyimpan bahaya besar Konstruksi social para elit yang mampu
mendominasi tafsir dan ideology keagamaan (termasuk dalam agama Islam) kian menjadikan
masyarakat terkotak-kotak secara sem pit dalam jejaring social yang kian eksklusif. Akibatnya,
masyarakat local seperri menjadi obyek permain catur dari jejaring kuasa elit dalam panggung
konstruksi sosialnya untuk menopang legitimasi kekuasaan. Agama merupakan nilai-nilai yang
hidup dalam ruang publik. Sebagai nilai universal, dominasi nilai-nilai keagamaan tum buh,
berkem bang dan menguat secara beragam dalam ruang publik. Adakalanya, nilai-nilai agama
mampu mendominasi nilai-nilai budaya dalam masyarakatnya. Bahkan karena dominasi nilai-
nilai agama tertentu ini pada akhimya susah membedakan antara nilai-nilai budaya dan agama.
Tidak hanya itu nilai-nilai agama ini bahkan mampu menggantikan atau mengisi atau bahkan
mengkonstruksikan nilai-nilai budaya tertentu. Sebagai contoh selama beberapa abad terakhir,
kita sulit sekali membedakan antara budaya melayu dengan nilai-nilai Islam. Perkembangan
budaya melayu baik di Indonesia, maupun di negara-negara Asia Tenggara tampak diwamai
dengan budaya Islam. H al ini berbeda dengan budaya Jawa dimana nilai-nilai Islam tak mampu
sepenuhnya menggantikan dan menggeser budaya tersebut.

Anda mungkin juga menyukai