Anda di halaman 1dari 6

1.

Formulai Kebijakan Pemerintah dalam penanganan Covid-19 di Indonesia :


Awal tahun 2020, masyarakat dunia dikejutkan oleh wabah COVID-19 yang menewaskan banyak orang
di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. Beberapa negara langsung merespons penyebaran virus yang
mematikan itu dengan berbagai caranya masing-masing. Ada yang menutup jalur migrasi manusia dari
dan ke China, melakukan karantina pada orang-orang yang baru kembali bepergian dari China, hingga
melakukan rapid-test sebagai bentuk antisipasi penyebaran. Bahkan sampai pertengahan Februari,
tidak ada satu pun kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia untuk menghadapi COVID-19.
Padahal beberapa ilmuan sudah menyatakan bahwa korona sudah masuk ke Indonesia, namun
tampaknya pemerintah Indonesia masih terkesan tidak percaya dan menganggap remeh virus COVID-19
dan tidak menjadikan antisipasi atau penanganan terhadap COVID-19 bukan prioritas utama. Manakala
Pemerintah Indonesia mengonfirmasi kasus pertama COVID-19 pada 2 Maret 2020, barulah beberapa
strategi dan kebijakan diambil. Namun, hal tersebut sudah terlambat. Kepanikan yang terjadi mengubah
pola hidup masyarakat Indonesia. Yang awalnya pemerintah tenang-tenang saja berubah menjadi panik
karena masalah yang timbul setelah pengumuman kasus Covid-19 karena tidak bisa dipungkiri bahwa
permasalahan yang muncul tidak hanya masalah kesehatan namun juga bedampak ke berbagai aspek
kehidupan masyarkat baik ekonomi, sosial dan lainnya. Dalam formulasi kebijakannya pemerintah tidak
dapat hanya fokus kesehatan saja namun kebijakan itu juga harus memberikan efek postif bagi
kelansungan hidup orang banyak. Pemerintah harus menselaraskan kebijakan yang dapat menjamin
terpenuhinya kesehatan yang layak dan perekonomian yang tetap berjalan normal. Dari analisa di atas
ada dua hal yang dapat menjadi fokus kita pertama dari pemerintah dan kedua dari masyarakat itu
sendiri. Antara lain :
a. Lemahnya Koordinasi Antar-Stakeholders
Selain masalah lambatnya pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan yang
berimplikasi pada terlambatnya implementasi penanganan COVID-19, lemahnya koordinasi antar
pemangku kepentingan pun menjadi problem dalam mengendalikan penyebaran virus korona di
Indonesia. Hal ini terjadi karena sistem negara kesatuan menempatkan pemerintah pusat sebagai
pemangku kepentingan utama dalam hal kebencanaan, baik bencana alam maupun bencana non-
alam termasuk kesehatan. Selain bentuk negara kesatuan, dalam sistem politik Indonesia, Indonesia
juga mengenal konsep otonomi daerah yang mengamanatkan semua urusan dapat dijalankan oleh
pemerintah daerah kecuali, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal,
serta agama. Dan bagi pemerintah daerah, urusan kesehatan adalah urusan yang dapat ditangani
oleh mereka; meskipun secara konseptual urusan kesehatan merupakan urusan yang bersifat
concurrent yang dapat diurus bersama antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
Namun, ketika beberapa pemerintah daerah melakukan langkah proaktif untuk menyampaikan
informasi dan sosialisasi mengenai COVID-19 (di awal-awal penyebaran virus Korona), pemerintah
pusat mengkritik langkah-langkah proaktif pemerintah daerah tersebut.
Bukan hanya itu, lemahnya komunikasi dan ketidaksinkronan koordinasi antara pemerintah
pusat dan daerah terjadi juga dalam pelaksanaan kebijakan isolasi wilayah (lockdown) di beberapa
daerah. Pada pertengahan Maret 2020, pemerintah pusat sudah memutuskan untuk tidak
mengadopsi isolasi wilayah karena akan mengganggu migrasi manusia dan menghambat
perekonomian warga. Karena itu, keputusannya adalah menerapkan social atau physical distancing
di seluruh wilayah Indonesia. Lemahnya koordinasi atau komunikasi antar-stakeholder dalam
penanganan COVID-19 juga terlihat dari adanya pembatasan lokasi pemeriksaan COVID-19 “hanya”
di Jakarta yakni di Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Kesehatan (Balitbang
Kemenkes). Padahal ada puluhan rumah sakit dan laboratorium di daerah yang dapat diberdayakan
untuk melakukan pemeriksaan spesimen virus korona. Pemusatan penanganan ini membuat
pengambilan keputusan dan tindakan menjadi lamban.

b. Ketidakacuhan Warga Atas Imbauan Pemerintah


Satu masalah lain yang menyebabkan Indonesia kurang berhasil mengendalikan penyebaran
virus korona adalah ketidakacuhan warga terhadap imbauan atau instruksi pemerintah. Masalah ini
tampak dari masih ramainya orang-orang berkumpul di kedai-kedai kopi, cafe, mall, bioskop,
ataupun tempat-tempat yang telah dilarang oleh pemerintah. Padahal sejak awal pemerintah telah
memberikan arahan kepada warga untuk melakukan physical atau social distancing menjaga jarak
dengan orang lain. Ini karena penyebaran virus korona, salah satunya adalah, melalui percikan
ludah. Jika orang tidak menjaga jarak, dan diketahui bahwa orang yang sedang diajak berbicara
terinfeksi atau carrier (“pembawa”) virus, maka hal ini sangat berpotensi untuk menularkan kepada
orang lain dan menyebarkan lagi pada pihak ketiga, keempat, dan seterusnya.
Oleh karena itu, physical atau social distancing adalah salah satu jalan keluar untuk
menghambat penyebaran COVID-19. Arahan pemerintah hanya tinggal arahan ketika sebagian besar
masyarakat masih juga berimpitan di terminal, stasiun, shelter, pasar, dan lainnya. Warga seolah
tidak khawatir dengan virus tersebut karena lebih mementingkan aktivitas harian mereka. Sama
halnya dengan physical atau social distancing, imbauan pemerintah akan penggunaan masker pun
tak jarang dilanggar oleh masyarakat luas. Ajakan mencuci tangan setelah keluar rumah juga tidak
banyak dituruti oleh warga.

2. a. Leadership
Di tengah kemelutnya kondisi saat ini, dibutuhkan sosok pemimpin yang memiliki keahlian
dalam crisis leadership. Crisis leadership dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan untuk
membuat seluruh pihak beradaptasi dengan ketidakpastian dengan cara membuat titik
tengah untuk melaksanakan perintah dan kontrol sehingga masing-masing pihak dapat
berhubungan, berkolaborasi, dan berkoordinasi satu sama lain untuk menghasilkan nilai bagi
masyarakat. Sedangkan secara umum, crisis leadership dapat diartikan sebagai usaha yang
dilakukan oleh seorang pemimpin saat menghadapi keadaan yang memiliki kesulitan atau
berbahaya, dan bagaimana secara efektif dan efisien sosok pemimpin tersebut dapat
menekan dampak buruk dari kondisi crisis  tersebut terhadap organisasi yang dipimpinnya.
Disamping itu, pemerintah perlu terbuka memberikan informasi secara jujur kepada masyarakat
terkait informasi Covid-19, Pemerintah harus dapat memberikan keyakinan bahwa apapun kebijakan
yang diambil adalah yang terbaik  bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Hal tersebut diperlukan
agar tidak ada kepanikan atau teror ditengah situasi yang tidak menentu saat ini. Informasi yang jujur
dan jelas akan menciptakan kepercayaan dan meningkatkan solidaritas sosial sebagai bangsa yang
dapat menjadi kekuatan dalam pemberantasan virus Covid-19. Diatas semuanya, semua langkah
harus didasarkan untuk  keselamatan manusia, walau tidak dapat dibantah bahwa kestabilan
ekonomi juga penting. Disinilah kematangan leadership presiden sebagai kepala negara untuk
memilih dan menentukan langkah-langkah yang paling tepat dan terbaik bagi masyarakat. Terlebih
lagi di saat seperti ini, masyarakat membutuhkan rasa aman, kepercayaan pada pemerintah dan
solusi dari keadaan yang tidak menentu ini. Artinya, semua bentuk tindakan pemerintah harus
mengedepankan kepentingan masyarakat, atas dasar nilai kemanusiaan,  bukan untuk uji coba
seperti kasus pembelian  obat virus Corona yang ternyata obat untuk penyakit malaria.

b. Delegasi kewenangan
Penyebaran Virus Korona (Covid-19) telah menimbulkan berbagai persoalan di Indonesia. Selain
persoalan kesehatan, Covid-19 telah menimbulkan persoalan ekonomi, sosial, budaya, keamanan,
bahkan di bidang pemerintahan. Persoalan yang muncul dalam bidang pemerintahan yaitu terkait
administrasi pemerintahan, khususnya mengenai relasi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
dalam menghadapi situasi penyebaran Covid-19 dikaitkan dengan urusan kesehatan yang
didesentralisasikan. Berikut bentuk-bentuk kebijakan dalam penanganan Covid-19 baik dilakukan
oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah :
 Persoalan dimulai pada saat Presiden Joko Widodo memutuskan untuk memilih Pulau Natuna
sebagai tempat karantina bagi 238 orang Warga Negara Indonesia (WNI) yang dievakuasi dari
Kota Wuhan, sebagai tempat penyebaran Covid-19. Dipilihnya Pulau Natuna sebagai tempat
karantina telah menimbulkan aksi demonstrasi warga Natuna pada tanggal 1 Februari 2020.
Sebagai bentuk protes, Pemerintah Kabupaten Natuna membuat Surat Edaran (SE) Sekda Natuna
tanggal 2 Februari 2020 mengenai kebijakan meliburkan kegiatan belajar mengajar di Kabupaten
Natuna.
 Persoalan selanjutnya pada saat Presiden Joko Widodo tanggal 2 Maret 2020 mengumumkan dua
orang WNI yang tinggal di Indonesia positif terinfeksi Covid-19, tanpa menyebutkan identitas
pasien. Namun, tidak lama berselang Walikota Depok menyampaikan informasi pasien, lengkap
dengan nama dan alamat, yang telah merugikan pasien karena data pribadi pasien menjadi
konsumsi publik. Perbedaan perilaku aparat baik di pusat maupun di daerah dalam memberikan
informasi pasien kepada publik memperlihatkan belum adanya satu pintu dari pihak pemerintah
untuk menyampaikan informasi kepada publik terkait Covid-19 di Indonesia. Merespons
pengumuman Presiden Joko Widodo, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil segera menyatakan
Jawa Barat Siaga I Covid-19 . Bahkan Gubernur Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan pernyataan
Jakarta dalam keadaan genting serta mengeluarkan prosedur tindakan yang harus dilakukan
masyarakat dalam hal terindikasi terinfeksi Covid-19. Situasi yang dinilai kurang sigapnya
pemerintah pusat dalam merespons Covid-19 yang sudah masuk ke Indonesia, yang ditandai
dengan munculnya banyak berita simpang siur, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah, telah menimbulkan berbagai aksi negatif di masyarakat.
 Kemudian presiden dalam pernyataannya pada video yang disiarkan Sekretariat Presiden pada
tanggal 16 Maret 2020, menegaskan bahwa lockdown, baik skala nasional maupun daerah,
sepenuhnya kewenangan pemerintah pusat yang tidak boleh diambil pemerintah daerah.
Berbagai reaksi dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah seperti yang telah diuraikan
sebelumnya menimbulkan perdebatan siapa sesungguhnya yang berwenang menangani urusan
Covid-19. Oleh karena itu, ketidakseragaman dalam merespons pandemi ini perlu
dikoordinasikan antara pemerintah pusat dan daerah. Pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (Selanjutnya disingkat UU Kekarantinaan Kesehatan)
antara lain mengatur terkait tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, hak dan
kewajiban, Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan di
Pintu Masuk, penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan di wilayah, Dokumen Karantina
Kesehatan, sumber daya Kekarantinaan Kesehatan, informasi Kekarantinaan Kesehatan,
pembinaan dan pengawasan, penyidikan, serta ketentuan pidana. Ketentuan Pasal 4 UU
Kekarantinaan Kesehatan menetapkan bahwa : “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau Faktor Risiko
Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
melalui penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan”.
 Sedangkan untuk membangun pola hubungan pusat dan daerah, Kemendagri memiliki prinsip,
yaitu (1) melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau faktor resiko kesehatan
masyarakat merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah (urusan konkuren); (2)
penentuan pelaksana urusan berbasis kriteria eksternalitas (dampak yang dirasakan), efektivitas
dan akuntabilitas; (3) kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah; dan (4) Presiden sebagai
komandan tertinggi dari seluruh urusan eksekutif. Untuk itu, saat ini telah dibuat gugus tugas
untuk menangani pandemi COVID-19.

c. Pembatasan dan pembagian tugas


Urusan kesehatan dalam Pasal 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah merupakan urusan pemerintahan wajib yang masuk dalam urusan
pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi/kabupaten/ kota. Itu
sebabnya, dalam kasus Covid-19 pemerintah daerah menganggap bahwa ketika sebuah kasus Covid-
19 terjadi di daerahnya, maka pemerintah daerah merasa berkewajiban untuk memutuskan
penanganan yang tepat, termasuk tindakan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil menetapkan Provinsi
Jawa Barat Siaga Satu Covid-19. Itu pula sebabnya Bupati Natuna sempat menolak daerahnya
dijadikan tempat karantina bagi 238 orang WNI yang dievakuasi dari Kota Wuhan. Bupati Natuna
menganggap bahwa menjadi tugasnya untuk memastikan warganya merasa aman dari Covid-19.
Dalam konteks urusan kesehatan dalam kategori normal, tindakan tersebut tidak menyalahi aturan.
Namun demikian, dalam kaitannya dengan wabah Covid-19, yang telah menjadi ancaman bagi
seluruh dunia, urusan ini sudah tidak tepat menjadi urusan pemerintah daerah semata. Hal ini
mengingat Covid-19 sudah dinyatakan WHO sebagai pandemi, meningkat setelah sebelumnya
dinyatakan sebagai darurat global atau darurat kesehatan publik yang menjadi perhatian
internasional. Dalam kondisi ini, undang-undang yang tepat diberlakukan adalah Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Undang-undang tersebut menyebutkan
bahwa dalam hal terjadi kedaruratan kesehatan masyarakat, pemerintah pusat dan pemerintah
daerah mempunyai tanggung jawab melindungi masyarakat dari penyakit yang berpotensi
menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Pemerintah daerah bersama-sama dengan
pemerintah pusat bertanggung jawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan, misalnya
menyediakan fasilitas kesehatan yang bermutu serta tenaga kesehatan yang memadai dan
berkualitas. Pemerintah daerah juga harus melakukan pengawasan terhadap kegiatan yang berkaitan
dengan Covid-19. Dalam konteks Covid-19, Pemerintah Kabupaten Natuna telah memperlihatkan hal
tersebut. Puskemas yang menjadi andalan masyarakat di daerah dalam urusan kesehatan masih
belum efektif berjalan, yang ditandai dengan kekurangan tenaga kesehatan atau tenaga kesehatan
yang ada tidak sesuai standar; ketersediaan obat/ vaksin/alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
yang kurang memadai; serta ketersediaan anggaran/dana yang tidak tepat waktu (Bappenas, 2018).
Dengan melihat status Covid-19 menurut WHO dan ancaman yang diakibatkannya bagi kesehatan
masyarakat, sudah seharusnya Covid-19 ditetapkan oleh pemerintah pusat sebagai kedaruratan
kesehatan masyarakat. Selanjutnya, sesuai dengan peran masing-masing, pemerintah pusat
melibatkan pemerintah daerah sesuai kapasitasnya, dengan mempertimbangkan bagaimana urusan
kesehatan selama ini dilaksanakan dalam konteks desentralisasi di Indonesia.

3. Menyelenggarakan pemerintahan dalam masa bencana tentunya tidak mudah; diperlukan langkah-
langkah tepat dengan melakukan sinkronisasi perencanaan dan pelaksanaan guna menetapkan
sebuah kebijakan sebagai dasar dilakukan penanggulangan bencana. Perencanaan dan pelaksanaan
dalam hal ini adalah semua yang menjadi urusan wajib baik tentang pelayanan dasar maupun non
pelayanan dasar, mulai dari kesehatan, pendidikan, sosial, pekerjaan umum, perumahan rakyat, dan
lainnya perlu diatur dengan tepat. Pelayanan publik pada situasi saat ini, terjadi banyak perubahan
dalam program pemerintah, secara umum hal ini perlu diinformasikan dengan baik kepada
masyarakat, mulai dari revisi anggaran hingga program dan bentuk kegiatan yang akan dilakukan.
Keterbukaan informasi ini penting sehingga masyarakat mengetahui program atau kegiatan apa saja
yang akan diubah, dan bagaimana perubahan itu dapat memberikan jaminan kepada masyarakat
selama masa pandemi ini. Layanan dasar kepada masyarakat harus menjadi prioritas selama masa
(pandemi) ini, mulai dari layanan kesehatan, perlu ditegaskan bagaimana mekanisme pelayanan
terhadap masyarakat dengan keluhan umum selain covid-19, setelah pemerintah menetapkan
sejumlah rumah sakit menjadi pusat rujukan covid-19. Termasuk layanan bagi sejumlah masyarakat
yang harus menunggu berakhirnya pandemi ini barulah dapat mencari pekerjaan. Masyarakat
memerlukan jaminan terhadap pemenuhan layanan dasar, terutama berhubungan dengan
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga pemerintah mulai dari tingkat bawah harus
melakukan langkah-langkah untuk memastikan jumlah warga yang layak menerima dukungan
memperoleh haknya. Berhubungan dengan mayoritas warga miskin dan warga terdampak pandemi
covid-19 yang minim informasi dan akses terhadap sejumlah layanan yang disediakan oleh
pemerintah, diperlukan data yang akurat terhadap jumlah warga tersebut untuk mempermudah
pendistribusian dan meminimalisir konflik antarwarga. Aparatur pemerintah dari tingkat bawah
hingga ke pemerintah daerah wajib berkoordinasi dengan baik, sehingga masyarakat di wilayahnya
dapat terdata dengan jelas setelah diberikan bantuan sesuai dengan jenis bantuan tersebut, agar
semua warga miskin dan warga terdampak pandemi covid-19 dapat terbantu dengan baik.
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pelayanan Publik, standar pelayanan bukan hanya
berfungsi sebagai penataan pelaksanaan pelayanan publik, tetapi lebih dari itu untuk mendukung
terciptanya penyelenggaraan pelayanan publik yang prima dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar
dan hak sipil setiap warga negara atas barang publik, jasa publik dan pelayanan administratif.
Menghadapi situasi pandemi saat ini diharapkan fokus atas pelayanan publik tidak berkurang
mengingat kebijakan pemerintah untuk melakukan percepatan penanganan dan pencegahan covid-
19 telah dilaksanakan dengan pembatasan sosial.

4. a. Menghadapi dampak pandemi global Covid-19, Presiden mengajak kerja sama antara pemerintah
pusat dan daerah. Sinergi erat antara keduanya amat dibutuhkan untuk mencegah penyebaran lebih
lanjut dari Covid-19 hingga ke daerah-daerah.
Fungsi Pengorganisasian paling penting menurut saya bagaimana kerja sama antara pemerintah
pusat sampai pemerintah daerah yang paling bawah. Dari struktur pemerintah yang paling atas yaitu
Presiden sampai pada Kepala Desa.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan disebut Presiden dapat
dijadikan acuan dan pedoman bagi pemerintah pusat dan daerah agar berada dalam satu garis visi
yang sama. Sebelumnya, pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang
Pembatasan Sosial Berskala Besar dan Keppres (Keputusan Presiden) Penetapan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat yang menjadi aturan pelaksanaan dan landasan kebijakan bagi pemerintah
dalam menangani dampak Covid-19. Pemerintah harus memastikan bahwa langkah-langkah,
kebijakan atau program yang kini ditempuh oleh pemerintah merupakan langkah yang telah
diperhitungkan dan disesuaikan dengan kondisi yang ada di Indonesia, baik kondisi geografis,
demografi, karakter budaya, kedisiplinan, maupun kemampuan fiskal. Pemerintah bahkan juga harus
belajar dari langkah-langkah dan kebijakan yang ditempuh sejumlah negara dalam menangani kasus
Covid-19. Sinergitas antara setiap OPD di tingkat Provinsi hingga Kabupaten/Kota dan jajaran
pemerintah hingga tingkat bawah harus menjadi arah kerja agar ikut mendorong ketersediaan dan
kestabilan harga bapok (bahan pokok). Dalam hal ini pemerintah pemerintah sudah mengambil
langkah-langkah kebijakan dan program yang di butuhkan oleh masyarakat dengan mengeluarkan
program dan kebijakan dengan memberikan keamanan ketentraman dan ketertiban.

b. Menurut William F. Ogburn, perubahan sosial mencakup unsur-unsur kebudayaan baik yang
bersifat materiil maupun yang immaterial dengan menekankan pengaruh yang besar dari unsur-
unsur kebudayaan yang materiil terhadap unsur-unsur materiil, Kebudayaan materiil adalah sumber
utama kemajuan. Aspek kebudayaan non-materiil harus menyesuaikan diri dengan perkembangan
kebudayaan materiil, dan jurang pemisah antara keduanya akan menjadi masalah sosial. Menurut
Ogburn, teknologi adalah mekanisme yang mendorong perubahan, manusia selamnaya berupaya
memelihara dan meyesuaikan diri dengan alam yang senantiasa diperbaharui oleh teknologi. Ogburn
memusatkan perhatian pada perkembangan teknologi dan ia menjadi terkenal karena
mengembangkan ide mengenai ketertinggalan budaya dan penyesuaian tak terelakkan dari faktor-
faktor kebudayaan terhadap teknologi. “Teori ketertingalan kebudayaan” ini melibatkan dua variable
yang telah menunjukkan penyeswuaian pada waktu tertentu. Tetapi karena penciptaan atau
penemuan baru, salah satu variabel berubah lebih cepat daripada varuiabel lain. Dengan kata lain,
bila laju perubahan bagian-bagian yang saling tergantung dari satu kebudayaan tidak sama, maka kita
berhadapan dengan kondisi ketertinggalan kebudayaan, dan penyesuaian selanjutnya “kurang
memuaskan” dengan tujuan yang dicapai mula-mula, (Lauer, 1993: 209). Ketidakmampuan
menyesuaikan diri yang dikemukakan Ogburn ini berakibat bagi kualitas hidup manusia. Ia
menyatakan ada dua jenis penyesuaian sosial. Pertama, penyesuaian antara berbagai bagian
kebudayaan. Kedua, enyesuaian antara kebudayaan dan manusia. Masalah penyesuaian manusia
terlihat dalam berbagai jenis ketegangan dan perampasan hak, kejahata, pelacuran, dan berbagai
masalah sosial lain yang merupakan tanda-tanda ketidakmampuan menyesuaikan diri dalam
kehidupan sosial, (Lauer, 1993: 210). Teori Materialis yang disampaikan oleh William F. Ogburn pada
intinya mengemukakan bahwa :
- Penyebab dari perubahan adalah adanya ketidakpuasan masyarakat karena kondisi sosial yang
berlaku pada masa yang mempengaruhi pribadi mereka.
- Meskipun unsur-unsur sosial satu sama lain terdapat hubungan yang berkesinambungan, namun
dalam perubahan ternyata masih ada sebagian yang mengalami perubahan tetapi sebagian yang
lain  masih dalam keadaan tetap (statis). Hal ini juga disebut dengan istilah cultural lag,
ketertinggalan menjadikan kesenjangan antar unsur-unsur yang berubah sangat cepat dan yang
berubah lambat. Kesenjangan ini akan menyebabkan kejutan sosial pada masyarakat.
Ketertinggalan budaya menggambarkan bagaimana beberapa unsur kebudayaan tertinggal di
belakang perubahan yang bersumber pada penciptaan, penemuan dan difusi. Teknologi,
menurut Ogburn, berubah terlebih dahulu, sedangkan kebudayaan berubah paling akhir.
Dengan kata lain kita berusaha mengejar teknologi yang terus menerus berubah dengan
mengadaptasi adat dan cara hidup kita untuk memenuhi kebutuhan teknologi. Teknologi
menyebabkan terjadinya perubahan sosial cepat yang sekarang melanda dunia. Perubahan
teknologi akan lebih cepat dibanding dengan perubahan pada perubahan budaya, pemikiran,
kepercayaan, nilai-nilai, norma-norma yang menjadi alat untuk mengatur kehidupan manusia.
Oleh karena itu, perubahan seringkali menghasilkan kejutan sosial yang yang apada gilirannya
akan memunculkan pola-pola perilaku baru, meskipun terjadi konflik dengan nilai-nilai
tradisional.

Anda mungkin juga menyukai