Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

THEORIES OF BUREAUCRATIC POLITICS


Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Teori Administrasi Publik
Dosen Pengampu : Febriomico Griando, S.Pd., M.Si

KELOMPOK IV

Disusun Oleh :

1. RILLYANTO KEFAS 193030702107

2. ANGGA CANDRA WIJAYA 193020702023

3. JAYA SETYO AJI 193020702017

4. MAYCHIEN 193030702063

5. RANDI LELUKU 193020702021

6. KIKI P. SILABAN 193010702015

7. VERONICA FEBRIANTI 193030702077

8. TIARA TERESIA 193020702053

9. TESAPONIKA PUTRI 193010702001


A. MATERITHEORIES OF BUREAUCRATIC POLITICS

Theories of bureaucratic politik atau lebih dikenal dengan teori politik birokrasi. Teori ini merupakan sebuah pendekatan dalam teori administrasi publik.
Dalam teori politik birokrasi ini menjelaskan peran pembuat kebijakan ( making policy ) dari administrasi dan birokrasi, karena birokrasi dan birokrat
terlibat dalam perilaku politik sehingga kebutuhan untuk mempertanggungjawabkan peran politik birokrasi secara teori tetap ada. Politik menurut Easton
( 1965 ) dan Lasswell ( 1936 ) yang dikutip oleh Frederickson dan Smith ( 2003 ) adalah  alokasi otoritatif nilai atau proses memutuskan siapa
mendapatkan apa, kapan dan bagaimana. sejumlah hasil studi menunjukan sebagaimana yang dinyatakan oleh Meier ( 993 ) bahwa birokrasi dan birokrat
secara rutin mengalokasikan nilai dan memutuskan siapa mendapatkan apa, atau birokrasi secara logis terlibat dalam politik tingkat satu. Sehingga dengan
demikian Waldo ( 1948 ) memberikan sebuah kesimpulan bahwa administrasi bukanlah sebuah teknis dan netral nilai yang dipisahkan dari politik dan
administrasi adalah politik.Dari teori yang telah dijelaskan bahwa teori politik birokrasi berupaya menentang pembagian atau pemisahan administrasi dan
politik. Sehingga ada upaya untuk menarik administrasi ke dalam sistematik politik, banyak pakar yang mendukung pembagian politik administrasi sangat
mengetahui peran yang dimaikan birokrasi dan rigiditas pembagian yang diterima oleh para penerusnya. Menurut Wilson dan Goodnow yang dikutip oleh
Lynn ( 2001 ) bahwa menuliskan idenya pada saat birokrasi publik mengalami kematangan patronase, tidak ada kompetisi dan korupsi menjelaskan bahwa
politik dan administrasi menggambarkan sebuah sintesis daripada dua bagian yang terpisah dari kebijakan publik.
A. POLA HUBUNGAN BIROKRASI DENGAN POLITIK

Menurut Marie Fainsond pola hubungan birokrasi dengan politik adalah sebagai berikut:

1. Representative Bureaucracy, dimana birokrasi bersikap responsive terhadap para pemimpin politik dan tentu saja terhadap kemauan politik masyarakat, setiap prakarsa yang diambil oleh birokras didasarkan
kesadaran terhadap consensusconsensus yang berlaku.
2. A part state Bureaucracy, dimana birokrasi yang terbentuk didalam negara menganut system partai tunggal. Birokrasi negara dikontrol oleh aparatur partai.
3. The military dominated Bureaucracy, dimana birokrasi yang tumbuh didalam suatu negara yang angkatan bersenjatanya mendominasi jabatanjabatan politik di bidang eksekutif.
4. A personal instrument of the Autocrative, dimana suatu kondisi hubungan yang menempatkan para birokrat semata-mata sebagai alat penguasa otokratis atau dictator. Pengaruh yang dimiliki oleh para birokrasi
secara individual akan sangat bergantung pada kualitas yang dibutuhkan oleh penguasa.
5. Colonial administration on nominal rulling person or group, dimana birokrasi dapat memerintah baik secara langsung sebagai administrator colonial atau secara tak langsung atas nama seseorang atau
sekelompok pengusaha.
Kemudian menurut Blau ( 2000 ) mendefinisikan birokrasi sebagai suatu lembaga yang sangat kuat dengan kemampuan untuk meningkatkan kapasitas-kapasitas potensial terhadap hal-hal yang baik
maupun buruk, karena birokrasi merupakan instrument administrasi rasional yang netral dan berskala besar.Dengan demikian birokrasi merupakan organisasi yang besar yang memiliki ciri-ciri khusus dan
universal antara lain mementingkan orientasi tugas, tujuan, pemenuhan tujuan perencanaan, efisiensi, menekankan sistematisasi, akurasi, menunjang verifikasi, kontrol dengan formalitas.

Arah dalam kontrol politik birokrasi yang telah menurut Steven Maynard moody et.al., (1995) yang dikutip oleh Frederickson dan Smith (2003) sebagian mereka mempelajari norma keputusan dari
birokrat street level dan mempelajari keadilan bahwa:
6. Birokrat street level cenderung menggunakan norma keadilan untuk memecah dilemma ketika ada tiga kondisi organisasi yaitu:
a. Birokrat street level merasa dia punya kontrol untuk menyelesaikan dilema.
b. Dia bekerja dalam budaya kerja yang mendorong proses diskresi birokrat street level.
c. Budaya kerja lokal menciptakan visi klien yang sebanding dengan cara birokrat stree level dalam hubungan dengan klien.
1. Birokrat street level yang bekerja dalam sebuah budaya kerja lokal yang mendorong penggunaan diskresi akan menggunakan beragam strategi untuk menentukan hasil ketika identifikasi klien cenderung kuat,
tetapi berkonflik dengan budaya kerja lokal.
2. Birokrat street level yang dijalankan dalam lingkungan yang menghambat diskresi dan memberikan batasan pada kemampuan birokrat street level untuk mengontrol situasi bisa menggunakan strategi tindak
lanjut untuk memenuhi kebutuhan kerja.
3. Birokrat street level yang bekerja di organisasi berbeda dalam area kebijakan yang sama akan menunjukan pola berbeda dalam menyelesaikan dilemma keadilan karena perbedaan budaya kerja dan identitas
lokal.
A. PARADIGMATHEORIES OF BUREAUCRATIC POLITICS
Paradigma teori politik birokrasi dituangkan oleh Graham Allison (1971) dalam karyanya “ Essence of decision”, yang direvisi bersama Morton Halperin (1972), fokusnya
pada essence of decision yang menjadi usaha pertama secara serius dan komprehensif membangun kerangka kerja tawar-menawar dan negosiasi dalam pengambilan keputusan.
Melalui pertanyaan besar tentang pemicu utama dari kebijakan demokratis yakni why do governments do what they do? In other words, how is policy made, and who determines or
influence it? Allison memberikan jawaban melalui tiga model teoritisasi. Ketiga model teoritisasi Allison meliputi:
1. Pertama, model the actor rational (model aktor rasional) atau Model I (the classical model). Model I ini menjelaskan bahwa keputusan pemerintah dipahami sebagai hasil dari single
actor dalam membuat keputusan untuk kepentingan strategis mereka sendiri.
2. Kedua, model yang didasari oleh paradigma proses organisasional (the organizational process paradigm) atau Model II. Model II ini mengakui bahwa terdapat berbagai aktor yang
harus terlibat dalam pengambilan keputusan, dan proses pengambilan keputusan sangat terstrukutur melalui standart operational procedural (SOP) yang disepakati.
3. Ketiga, model politik birokrasi (the bureaucratic politics paradigm) atau Model III. Model politik birokrasi atau paradigma politik birokrasi Allison ini didasari oleh beberapa asumsi,
antara lain:
1) Cabang eksekutif terbentuk dari bermacam-macam organisasi dan individu, yang masing-masing memiliki sasaran dan agenda yang berbeda-beda, serta aktor-aktor tersebut
membawa isu-isu tertentu yang menarik perhatian dengan motivasi dan kepentingan masing-masing;
2) Tidak ada aktor dalam cabang eksekutif tersebut yang mampu bertindak sendiri-sendiri atau sepihak;
3) Keputusan akhir adalah akibat dari politik (political resultant) dengan kata lain apa yang diputuskan pemerintah adalah hasil dari proses tawar-menawar atau kompromi dari proses
politik; dan
4) Terdapat perbedaan antara policy-making dengan pelaksanaannya.
5) Teori politik birokrasi juga diakui sebagai komponen fundamental administrasi, dan sebaliknya. Meskipun pengakuan ini mungkin telah membunyikan lonceng hegemoni teoritis
dalam administrasi public. Menurut Waldo, kerangka kerja intelektual administrasi public adalah sebuah filsafat politik normative, sehingga setiap teori administrasi telah menjadi
teori politik.
A. PERKEMBANGAN BIROKRASI DI INDONESIA
B. Birokrasi Pada Masa Kemerdekaan
Setelah memperoleh kemerdekaan, negara ini berusaha mencari format pemerintahan yang cocok untuk kondisi saat itu. Berakhirnya masa
pemerintahan kolonial membawa perubahan sosial politik yang sangat berarti bagi kelangsungan sistem birokrasi pemerintahan. Perbedaan
pandangan yang terjadi diantara pendiri bangsa di awal masa kemerdekaan tentang bentuk negara yang akan didirikan, termasuk dalam pengaturan
birokrasinya, telah menjurus ke arah disintegrasi bangsa dan keutuhan aparatur pemerintahan.
Perubahan bentuk negara dari kesatuan menjadi federal berdasarkan konstitusi RIS melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur
pemerintah. Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut birokrasi pada saat itu. Pertama, bagaimana cara menempatkan pegawai
Republik Indonesia yang telah berjasa mempertahankan NKRI, tetapi relatif kurang memiliki keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua,
bagaimana menempatkan pegawai yang telah bekerja pada Pemerintah belanda yang memiliki keahlian, tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal
terhadap NKRI.Selain perubahan bentuknegara, berganti-gantinya kabinet mempengaruhi jalannya kinerja pemerintah. Seringnya terjadi pergantian
kabinaet menyebabkan birokrasi sangat terfragmentasi secara politik.
Kinerja birokrasi sangat ditentukan oleh kekuatan politik yang berkuasa pada saat itu. Di dalam birokrasi tejadi tarik-menarik antar berbagai kepentingan
partai politik yang kuat pada masa itu.Banyak kebijakan atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik dari partai
yang sedang berkuasa atau berpengaruh dalam suatu departemen.  
a. Birokrasi Pada Masa Orde Baru
Pada masa antara 1965 sampai masa Orde Baru (era pemerintahan  Soeharto), birokrasi lebih jelas kepemihakannya kepada kekuatan sosial politik yang dominan. Kesadaran politik di masa awal kemerdekaan yang memandang
birokrasi sebagai alat pemersatu bangsa yang sangat ampuh, rupanya dipakai pula pada masa tersebut. Politik  floating-mass  (masa mengambang) menjadikan birokrasi dapat menjangkau ke seluruh wilayah pelosok desa-desa di
tanah air kita ini.
Pada masa orde baru tersebut terlihat sekali terjadinya politisasi terhadap birokrasi yang seharusnya lebih berfungsi sebagai pelayan masyarakat. Jajaran birokrasi diarahkan sebagai instrument politik kekuasaan Soeharto pada
saat itu.Seperti dalam pandangan William Liddle, bahwa Soeharto sebagai politisi yang mempunyai otonomi relatif, merupakan pelaku utama transformasi meski puntidak penuh model pemerintahan yang bersifat
pribadi kepada yang lebih terinstitusionalisasi. Pada masa orde baru, pemerintahan yang baik belum terlaksana. Misalnya, saja dalam pelayanan dan pengurusuan administrasi masih saja berbelit-belit
danmemerlukan waktu yang lama. Membutuhkan biaya tinggi karena ada pungutan- pungutan liar. Pembangunan fisik pun juga masih sering terbengkalai atau lamban dalam perbaikan.b
b.. Birokrasi Era Reformasi
Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi,tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi diIndonesia. Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan
bahwa arogansi birokrasi sering kali masih terjadi. Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis, dalam kenyataannya masih saja dijadikan alat politik yang efektif bagi kepentingan - kepentingan golongan atau partai politik
tertentu. Terdapat pula kecenderungan dari aparat yang kebetulan memperoleh kedudukan atau jabatan strategis dalam birokrasi, terdorong untuk bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindak KKN.
b. Reformasi Birokrasi
Untuk dapat meluruskan kembali birokrasi pada posisi dan misi atau perannya yang sebenamya selaku “pelayan publik”(public servant), diperlukan kemampuan dan kemauan kalangan birokrasi untuk melakukan langkah-
langkah reformasi birokrasi yang mencakup perubahan perilaku yang mengedepankan “netralitas, professionalitas, demokratis, transparan, dan mandiri”, disertai perbaikan semangat kerja, cara kerja, dan kinerja terutama dalam
pengelolaan kebijakan dan pemberian pelayanan publik, serta komitmen dan pemberdayaan akuntabilitas instansi pemerintah.
c. Contoh Politik Birokrasi di Indonesia
Indonesia termasuk salah satu negara yang menjalankan sistem politik birokrasi. Dulu Indonesia bukan negara yang menggunakan sistem politik birokrasi. Penerapan politik birokrasi menjadi penyebab konstitusi diubah dari
RIS kembali ke UUD 1945. Sistem politik ini dinilai sesuai dengan karakteristik negara kesatuan yang dimiliki oleh Indonesia.
1. Pengurus Partai Politik dari Daerah ke Pusat
Contoh politik birokrasi yang pertama adalah pengurus partai politik yang dimiliki oleh partai politik dari pusat hingga ke daerah. Adanya pengurus dari pusat hingga ke daerah ini bahkan menjadi salah satu persyaratan suatu
partai politik bisa ikut pemilu atau tidak. Susunan pengurus dari partai politik adalah DPP (Dewan Pimpinan Pusat) yang berkedudukan di ibukota negara. DPW (Dewan Pimpinan Wilayah) yang berkedudukan di ibukota provinsi.
Lalu, ada DPD (Dewan Pimpinan Daerah) yang berkedudukan di ibukota kabupaten atau kota. Kemudian di tingkat kecamatan ada DPC (Dewan Pimpinan Cabang). Hingga yang paling bawah adalah PAC (Pimpinan Anak Cabang)
yang ada di setiap kelurahan atau desa. Namun, contoh politik birokrasi ini tidak diterapkan oleh semua partai politik dengan alasan SDM yang terbatas.
2. Sistem Pemerintahan Dari Pusat Hingga Ke Daerah
Contoh politik birokrasi ini bisa dilihat dari tampuk pimpinan tertinggi hingga yang paling rendah. Pimpinan tertinggi di Indonesia adalah presiden, lalu gubernur, walikota/bupati, camat, lurah/kepala desa, ketua RW, ketua RT,
dan berakhir pada kepala keluarga.
Itulah contoh politik birokrasi yang paling mudah ditemukan di Indonesia. Memiliki sistem pemerintahan yang menerapkan politik birokrasi menjadi salah satu ciri-ciri integrasi nasional di bidang pemerintahan. Pemerintahan
di Indonesia dapat menjalankan tugasnya untuk melayani masyarakat sesuai dengan fungsinya masing-masing.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Theories of bureaucratic politik atau lebih dikenal dengan teori politik birokrasi. Teori ini merupakan sebuah pendekatan dalam teori administrasi
publik. Dalam teori politik birokrasi ini menjelaskan peran pembuat kebijakan ( making policy ) dari administrasi dan birokrasi, karena birokrasi dan
birokrat terlibat dalam perilaku politik sehingga kebutuhan untuk mempertanggungjawabkan peran politik birokrasi secara teori tetap ada. Dari teori yang
telah dijelaskan bahwa teori politik birokrasi berupaya menentang pembagian atau pemisahan administrasi dan politik.
Administrasi harus menjelaskan mengenai politik, keduanya dibutuhkan dalam menjalankan peran yang nyata dari birokrasi, terutama di
pemerintahan pusat dan daerah, serta menjadi elemen yang penting untuk membangun kerangka pemikiran dari kajian disiplin keilmuan tersebut. Relasi
birokrasi dan lembaga politik seharusnya dipisahkan antara domain masing agar dapat bertugas dan berfungsi sebagai sebagaimana mestinya sesuai system,
norma, dan regulasi yang ada.

Birokrasi sebagai suatu lembaga yang sangat kuat dengan kemampuan untuk meningkatkan kapasitas terhadap hal yang baik maupun buruk, karena birokrasi
merupakan instrument administrasi rasional yang netral dan berskala besar. Dengan demikian birokrasi merupakan organisasi yang besar yang memiliki ciri ciri
khusus dan universal antara lain mementingkan orientasi tugas, tujuan, pemenuhan tujuan perencanaan, efisiensi, menekankan sistematisasi, akurasi, menunjang
verifikasi, kontrol dengan formalitas. Birokrasi berusaha memahami hubungan kekuasaan dan otoritas dalam merumuskan otoritas sebagai kekuasaan yang sah
Daftar Pustaka

MH Bisri - Publisia: Jurnal Ilmu Administrasi Publik, 2017 -


jurnal.unmer.ac.id

Thoha, Miftah. 2004 . “Birokrasi dan Politik di Indonesia”.


Jakarta: Cetakan ke 3 (15 Oktober 2015) – academia.edu
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai