Disusun oleh:
14020114120057
Paradigma administrasi negara yang muncul pertama kali ialah mengenai Dikotomi
Politik dan Administrasi. Tokoh-tokoh dari paradigma tersebut adalah Frank J. Goodnow dan
Leonard D. White dalam tulisannya yang berjudul Politics and Administration pada tahun
1990 mengungkapkan bahwa politik harus memusatkan perhatiannya pada kebijakan atau
ekspresi dari kehendak rakyat, sedang administrasi memberi perhatiannya pada pelaksanaan
atau implementasi dari kebijakan atau kehendak rakyat. Pada masa ini, dapat ditarik
kesimpulan bahwa yang ditekankan pada paradigma ini hanya aspek lokus saja yaitu
government bureaucracy, tetapi fokus atau metode yang harus dikembangkan kurang dibahas
secara jelas. Kemudian, paradigma ini mengalami perubahan kembali pada tahun 1927-1937
dimana paradigma ini dikenal sebagai paradigma Prinsip-Prinsip Administrasi. Tokoh yang
berpengaruh pada paradigma ini adalah Willoughby, Gullick & Urwick. Mereka
memperkenalkan prinsp-prinsip administrasi sebagai fokus administrasi publik yang kemudia
dituangkan dalam POSDCORB (Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordinating,
Reporting, dan Budgeting) yang menurut mereka dapat diterapkan dimana saja atau bersifat
universal, sementara lokus tidak pernah diungkapkan dimana saja.
Fase perubahan paradigma kembali terjadi pada tahun 1950-1970 dimana paradigma
ini ialah Administrasi Negara sebagai Ilmu Politik. Lokus pada masa ini kembali lagi
ditekankan pada government bureaucracy, sementara fokus paradigma ini tidak memberi jalan
keluar sehingga fokus menjadi kabur dan tidak jelas. Pada masa ini, paradigma ingin
menetapkan kembali hubungan konseptual antara administrasi negara dengan ilmu politik.
Untuk lebih mengerti bagaimana tentang paradigma ini maka akan dijelaskan lebih lanjut
mengenai sejarah, makna, dan model pelayanan administrasi pada masa itu.
PEMBAHASAN
Sejarah mengenai administrasi negara Indonesia pada masa orde lama terjadi pada
tahun 1950-1970. Pada masa itu, administrasi negara sebagai ilmu politik. Melihat sejarah di
luar mengenai admnistrasi negara sebagai ilmu politik ialah dengan diawalinya sebagai akibat
dari kritik-kritik konseptual yang muncul, administrasi negara kembali ke fase awal mengenai
pandangan terkait lokus dan fokus administrasi negara. Fase awal ini dinamakan Dikotomi
Politik dan Administrasi, hasilnya adalah lokus administrasi publik kembali ditekankan kepada
birokrasi pemeritah, sementara fokusnya dihilangkan. Konsekuensinya, studi administrasi
menjadi masalah dalam fokus analisisnya. Pada tahun 1962, administrasi negara sudah mulai
membaik yang ditandai dengan tidak dimasukkannya administrasi negara ke dalam subbidang
ilmu politik di dalam laporan Komite Ilmu Politik sebagai Disiplin Asosiasi Ilmu Politik
Amerika. Selain itu, pada tahun 1968, Waldo mengungkapkan bahwa banyak ilmuwan politik
yang tidak memihak lagi administrasi negara dan bahkan bermusuhan dengan ilmu politik. Di
antara tahun 1960-1970, hanya empat persen dari semua artikel yang diterbitkan dalam lima
jurnal politik yang terkemuka. Paling tidak, ada dua perkembangan yang terjadi selama periode
ini yang cukup mencerminkan adanya perbedaan dalam masalah cara mengurangi ketegangan
antara para ilmuwan administrasi dan ilmuwan politik secara berangsur-angsur; dan
penggunaan studi kasus administrasi negara yang mengalami pasang surut. Kasus tersebut
ditemukan dengan adanya seluruh perhatian hanya dipusatkan pada pembuatan keputusan
permasalahan dimana pembuat keputusan lebih diseleksi bagi tindakan yang melibatkan
kebijakan dibandingkan masalah-masalah teknis.
Dua tahun berikutnya, tepatnya pada 1962 KPA menerima dana keuangan dari Ford
Foundation yang secara keseluruhan kurang lebih berjumlah $500.000. Bantuan Ford
Foundation ini untuk memperbaiki taraf hidup orang-orang miskin di negara-negara dunia
ketiga melalui peningkatan efisiensi pemerintah di negara-negara berkembang. Pemberian ini
ditekankan khusus untuk meningkatkan subbidang perbandingan administrasi negara yang
disebut pembangunan administrasi. Ketua KPA ini dijabat oleh Fred W. Riggs, dimana maksud
dari perbandingan administrasi negara harus bersifat empiris, dapat digeneralisasikan,
sistematis dan non-parokial.
Lantas, bagaimana dengan negara lain yang juga ikut terkena imbasnya terhadap
praktik mengenai studi administrasi negara? Di Indonesia sendiri, masa orde lama merupakan
masa revolusioner, dibawah komando Bung Karno telah mengikrarkan suatu wilayah dari
Sabang sampai Merauke dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Politik dalam
negeri yang begitu cepat berubah tidak menggoyahkan Bung Karno sebagai Pemimpin Besar
Revolusi. Pada percaturan politik luar negeri, Bung Karno telah berhasil menjadi yang disegani
di dunia oleh kawan maupun lawan. Gerakan Non Blok dan Konferensi Asia - Afrika adalah
salah satu bukti keperkasaannya dalam percaturan politik internasional. Dalam kurun waktu
tersebut, bangsa Indonesia mengalami pergantian sistem demokrasi.
Pada tahun 1950-1959, Indonesia berada pada masa demokrasi liberal. Sistem
pemerintah Indonesia melanjutkan pada sistem pemerintahan sebelumnya, yakni sistem
parlementer. Sistem parlementer mulai diterapkan di Indonesia setelah dikeluarkannya
maklumat tanggal 14 November 1945. Dengan dikeluarkannya maklumat tersebut Indonesia
berganti menggunakan sistem pemerintahan parlementer. Sebelumnya, Indonesia
menggunakan sistem pemerintahan presidensial. Adanya ketakutan akan timbulnya kekuasaan
yang absolut, maka pada saat itu dipisahkan antara kepala negara dengan kepala pemerintahan.
Undang-undang dasar yang digunakan adalah UUDS 1950. Undang-undang ini diterapkan
untuk sementara waktu setelah RIS dibubarkan dan kembali ke bentuk NKRI. Pada saat, negara
Indonesia berbentuk RIS, UUD yang digunakan adalah UUD RIS. Maka setelah kembali ke
bentuk kesatuan, maka menggunakan undang-undang baru yang bersifat sementara. Undang-
undang yang permanen nanti akan dibuat oleh sebuah badan khusus, Konstituante.
Pada Demokrasi Liberal, sebuah kabinet sering mengalami jatuh bangun. Coba
bayangkan saja dalam rentan waktu dari 1950-1959 terdapat 7 orang Perdana Menteri. Adanya
partai oposisi yang sebenarnya bertugas sebagai partai pengkontrol jalannya pemerintahan,
akan tetapi pada prakteknya malah sering manjatuhkan kabinet. Ketujuh Perdana Menteri yang
pernah menjabat pada masa Demokrasi Liberal diantaranya Moh Natsir (1950-1951), Sukiman
(1951-1952), Wilopo (1952-1953), Ali Sastroamijoyo I (1953-1955), Burhanudin Harahap
(1955-1956), Ali Sastroamijoyo II (1956-1957), dan yang terakhir adalah Djuanda (1957-
1959). Beberapa kebijakan ekonomi yang terjadi pada masa Demokrasi Liberal antara lain
nasionalisasi de javasche Bank, Program Ekonomi Benteng, Sistem Ekonomi Ali Baba,dan
pembentukan Badan Perancang Pembangunan. Selain itu, juga terdapat Musyawarah Nasional
Pembangunan (Munap) untuk mengatasi ketegangan antara pusat dan daerah. Perekonomian
pada masa ini mengalami berbagai permasalahan antara lain, belum memiliki pengalaman
dalam menata perekonomian, hanya mengandalkan ekspor hasil perkebunan, situasi keamanan
dalam negeri yang kurang kondusif, dan sering berganti kabinet yang membuat kebijakan yang
satu belum terlaksana sudah ganti dengan kebijakan yang lainnya.
Pada Demokrasi Liberal terjadi hubungan yang kurang harmonis antara pusat dengan
daerah. Pemerintah pusat kurang memberikan perhatian terhadap daerah. Maka muncul
berbagai gerakan di daerah dikarenakan keadaan sedang bergejolak, pemerintahan yang tidak
stabil, adanya korupsi, rivalitas antara sipil dan militer, serta pertentangan mengenai konsepsi
presiden tentang Nasakom. Masalah terpenting di masa ini ialah mosi tidak percaya merupakan
awal dari runtuhnya kabinet yang memimpin lembaga pemerintah. Pemerintah di bawah
kepemimpinan partai politik yang mendominasi DPR. Kedudukan DPR kuat, dan kedudukan
pemerintah lemah. Netralitas birokrasi ikut terpengaruh oleh kondisi sosial-politik pada saat
itu sehingga birokrasi menjadi tidak profesional dalam menjalankan tugas-tugasnya, tidak
mempunyai kemandirian, dan tidak pernah melaksanakan program kerjanya karena seringnya
pergantian pejabat dan partai politik yang menguasai birokrasi tersebut.
Periode 1960-1970 (Demokrasi Terpimpin)
Pada tahun 1959-1966, lembaga pemerintah sudah mulai memihak kepada kekuatan
politik yang ada. Atau lebih tepatnya lembaga pemerintah kita yang sudah terperangkap ke
dalam jaring yang dipasang oleh kekuatan politik Nasakom. Hal ini terbukti ketika terjadi
tragedi politik G30/S PKI pada 1965. Dari data yang diungkap ternyata kekuatan politik PKI
telah menyusup ke hampir semua departemen pemerintah. Sementara itu, kekuatan agama dan
nasionalis mendominasi departemennya masing-masing. Pada periode ini dengan upaya PKI
untuk menguasai lembaga pemerintahan, dan peran partai politik yang semakin bersaing satu
dengan lainnya kurang mampu menghasilkan profesionalitas pemerintahan sipil yang netral
dan kompeten. Akibatnya, militer masuk ke dalam pemerintahan untuk menggantikan
pemerintahan sipil yang telah kandas oleh konflik dan perpecahan akibat kepentingan
pragmatis tiap-tiap kelompok partai politik di dalam pemerintahan.
Pada masa demokrasi terpimpin birokrasi cenderung dijadikan sebuah alat mobilisasi
polical religion[19]. Nasakom yang merupakan representasi dari kekuatan politik pada masa
demokrasi terpimpin. Bentuk politisasi pada masa ini bersifat setengah terbuka karena
politisasi birokrasi tidak sebebas pada masa demokrasi parlementer. Meskipun terlihat lebih
halus, politisasi birokrasi tetap berjalan dengan terbentuknya blok-blok di departemen birokrasi
pemerintahan. Dikatakan setengah terbuka karena politisasi birokrasi hanya diperuntukkan
bagi parpol-parpol yang mewakili golongan-golongan Nasionalis, Agama, dan Komunis
(Nasakom). Namun, golongan yang terakhir ini di satu pihak secara formal memiliki hak untuk
menempatkan beberapa pemimpin atau tokohnya ke dalam kabinet dan kemudian melakukan
politisasi birokrasi. Tetapi di lain pihak, golongan Komunis tidak pernah menikmati hak
tersebut karena masuknya PKI ke dalam kabinet selalu ditentang oleh dua golongan yang lain
(nasionalis & agama). Selain itu juga ditentang pihak militer. Tampaknya Sukarno juga tidak
bisa berbuat apa pun terhadap penolakan itu. Bahkan dalam banyak hal, Sukarno mengikuti
sikap golongan non-komunis. Sebagai jalan tengah, Sukarno menempatkan pemimpin atau
tokoh organisasi satelit PKI, misalnya Baperki, untuk memimpin sebuah kementerian dan
kemudian melakukan politisasi. Dengan demikian secara tidak langsung PKI dapat melakukan
politisasi birokrasi melalui Baperki.
KESIMPULAN
Administrasi negara pada masa orde lama menggunakan paradigma administrasi negara
sebagai ilmu politik. Pengaruh politik dalam penyelenggaran pemerintahan masih sangat kental
sehingga pemisahan politik dan administrasi sebagai suatu yang tidak mungkin atau tidak
realistis. Dalam konteks paradigma ini, administrasi negara bukannya value free atau dapat
berlaku dimana saja, tapi justru selalu dipengaruhi nilai-nilai tertentu. Administrasi negara pada
masa ini mengalami masalah dalam birokrasi yang dikatakan tidak profesional dalam
menjalankan tugasnya karena seiring bergantinya pejabat dan partai politik yang menguasai
birokrasi tersebut. Campur tangan muatan politik menjadi berkuasa ketika partai politik yang
mengusung memiliki idealisme yang tinggi untuk duduk di pemerintahan.
Anggara, Satya. 2012. Ilmu Administrasi Negara: Kajian Konsep, Teori dan Fakta dalam
Upaya Menciptakan Good Governance. Bandung: CV Pustaka Setia
Keban, T. Yeremias. 2014. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Konsep, Teori dan
Isu Edisi Ketiga. Yogyakarta: Gava Media