Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH

PATOLOGI ADMINISTRASI NEGARA

Disusun Oleh :

MUH. AZHAR RAMADAN/ 1822293


NUR IRWANSYAH/ 1822292
ANDI AMIRULLAH AMPOLEMBANG/ 1822286
INDRA RAMADAN/ 1822301
RIFALDI/ 1822280

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN


FAKULTAS IlMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SINJAI
TAHUN 2021
a. Latar Belakang
Sebagai warga negara yang menetap di suatu wilayah negara, kita tidak
bisa lepas dari yang namanya pemerintah dan pemerintahan. Mulai dari kita
lahir hingga kita mati. Mulai dari kita mengurus akta kelahiran hingga kita
mengurus surat kematian. Apabila kita membahas pemerintah dan
pemerintahan kita juga tak bisa jauh jauh dari pembahasan birokrasi. Tuntutan
reformasi setidaknya telah merubah wajah birokrasi Indonesia meskipun belum
terlalu signifikan. Agenda reformasi dalam tubuh birokrasi di Indonesia ditujukan
bukan lagi sekedar untuk membangun institusi birokrasi yang professional
secara menejerial, namun pada bagaimana birokrasi tersebut mampu
merepresentasikan konfigurasi sosial yang ada untuk menjamin keterwakilan
masing – masing komunitas sosial yang telah mengakar kuat di dalam tubuh
birokrasi. Pendeteksian penyakit birokrasi atau yang sering disebut patologi
dalam dunia medis sebaiknya juga dilakukan kepada birokrasi di Indonesia. Hal
ini dimaksudkan agar penyakit – penyakit yang ada dalam tubuh birokrasi di
Indonesia tidak menular ke yang lainnya sebagi upaya preventif bahkan lebih
dari itu bisa disembuhkan secara total meskipun membutuhkan waktu yang
lama. Upaya meminimalisir penyakit yang terjadi di birokrasi diharapkan dapt
membawa perubahan terhadap pelayanan publik yang prima.
Persoalan patologi atau penyakit birokrasi bersumber dari rekruitmen dan
penempatan birokrat yang tidak berdasarkan merit sistem (berdasarkan jenjang
karir). Selain itu keterlibatan birokrasi dalam politik dianggap sebagai hal yang
harus diwaspadai karena birokrasi bukanlah institusi atau lembaga yang bisa
mewakilkan kepentingan kelompok atau golongan tertentu. Secara makro atau
nasional persoalan birokrasi di Indonesia lebih di dominasi karena kurangnya
pemisahan yang jelas antara kepentingan politik dan administrasi. Masih sering
dijumpai birokrat terlibat secara aktif dalam kegiatan politik dan juga adanya
politisi yang selalu mendominasi proses – proses birokrasi sehinggga kebijakan
yang diambil dalam birokrasi merupakan kebijakan politik dari orang – orang
yang memiliki kepentingan tertentu. Reformasi birokrasi di Indonesia masih
bergulir namun sampai saat ini belum ada regulasi (peraturan) yang menjamin

1
depolitisasi birokrasi secara subtansial. Persoalan tersebut seperti mengurai
benang kusut karena ke depan bila model birokrasi yang seperti itu terus
dijalankan akan dapat memunculkan konflik tertutama menimbulkan praktik
kolusi dan nepotisme dalam rekruitmen, penempatan, promosi dan mutasi.
Praktek – praktek yang seperti ini pada kenyataannya sudah menjadi rahasia
umum yang pada akhirnya praktek – praktek korupsi dan pengamanan sumber
–sumber ekonomi termasuk keuangan negara dari kelompok yang sedang
berkuasa dengan menjalin kerjasama menjadi sebuah sistem yang penuh
dengan korupsi, kolusi dan nepotisme.

b. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian patologi, birokrasi dan patologi birokrasi?
2. Bagaimana asal mula dan penyebab munculnya patologi birokrasi?
3. Apa saja kategori dan ruang lingkup patologi birokrasi?
4. Bagaimana solusi untuk patologi birokrasi?

c. Pembahasan
1.1 Pengertian Patologi , birokrasi dan patologi birokrasi.

Pengertian Patologi

Patologi merupakan bahasa kedokteran yang secara etimologi memiliki


arti ilmu tentang penyakit. Patologi merupakan cabang bidang kedokteran yang
berkaitan dengan ciri-ciri dan perkembangan penyakit melalui analisis
perubahan fungsi atau keadaan bagian tubuh. Bidang patologi terdiri atas
patologi anatomi dan patologi klinik. Ahli patologi anatomi membuat kajian
dengan mengkaji organ sedangkan ahli patologi klinik mengkaji perubahan
pada fungsi yang nyata pada fisiologi tubuh. Patologi adalah kajian dan
diagnosis penyakit melalui pemeriksaan organ, jaringan, cairan tubuh, dan
seluruh tubuh (autopsi). Patologi juga meliputi studi ilmiah terkait proses
penyakit, disebut patologi umum.

2
Pengertian Birokrasi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai :

1. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena


telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan.
2. Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut
tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan
sebagainya.

Definisi birokrasi ini mengalami revisi, dimana birokrasi selanjutnya


didefinisikan sebagai
1. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak
dipilih oleh rakyat, dan
2. Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.

Berdasarkan definisi tersebut, pegawai atau karyawan dari birokrasi


diperoleh dari penunjukan atau ditunjuk (appointed) dan bukan dipilih (elected). 

Menurut Mustopadijaja AR (1999) "Bureaucracy is an organisation with a


certain position and role in running the government administration of a contry"
artinya birokrasi adalah merupakan suatu organisasi dengan peran dan posisi
tertentu dalam menjalankan administrasi pemerintah suatu negara.

Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bahasa inggris bureau + cracy),


diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan
bentuk piramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada
tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun
militer.

Pada rantai komando ini setiap posisi serta tanggung jawab kerjanya
dideskripsikan dengan jelas. Organisasi ini pun memiliki aturan dan prosedur
ketat sehingga cenderung kurang fleksibel. Ciri lainnya adalah biasanya

3
terdapat banyak formulir yang harus dilengkapi dan pendelegasian wewenang
harus dilakukan sesuai dengan hierarki kekuasaan.

Definisi menurut beberapa ahli :

1. Hegel dan Karl Marx

Keduanya mengartikan birokrasi sebagai instrumen untuk melakukan


pembebasan dan transformasi sosial. Hegel berpendapat birokrasi adalah
medium yang dapat dipergunakan untuk menghubungkan kepentingan
partikular dengan kepentingan general (umum). Sementara itu teman
seperjuangannya, Karl Marx, berpendapat bahwa birokrasi merupakan
instrumen yang dipergunakan oleh kelas yang dominan untuk melaksanakan
kekuasaan dominasinya atas kelas-kelas sosial lainnya, dengan kata lain
birokrasi memihak kepada kelas partikular yang mendominasi tersebut.

2. Bintoro Tjokroamidjojo

Menurut Bintoro Tjokroamidjojo (1984) ”Birokrasi dimaksudkan untuk


mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh
banyak orang”. Dengan demikian sebenarnya tujuan dari adanya birokrasi
adalah agar pekerjaan dapat diselesaikan dengan cepat dan terorganisir.
Bagaimana suatu pekerjaan yang banyak jumlahnya harus diselesaikan oleh
banyak orang sehingga tidak terjadi tumpang tindih di dalam penyelesaiannya,
itulah yang sebenarnya menjadi tugas dari birokrasi.

3. Blau dan Page

Blau dan Page (1956) mengemukakan ”Birokrasi sebagai tipe dari suatu
organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas - tugas administratif yang
besar dengan cara mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan dari
banyak orang”. Jadi menurut Blau dan Page, birokrasi justru untuk
melaksanakan prinsip - prinsip organisasi yang ditujukan untuk meningkatkan
efisiensi administratif, meskipun kadangkala di dalam pelaksanaannya
birokratisasi seringkali mengakibatkan adanya ketidakefisienan.

4
4. Ismani  
Dengan mengutip pendapat dari Mouzelis, Ismani (2001)
mengemukakan ”Bahwa dalam birokrasi terdapat aturan - aturan yang rasional,
struktur organisasi dan proses berdasarkan pengetahuan teknis dan dengan
efisiensi dan setinggi - tingginya. Dari pandangan yang demikian tidak
sedikitpun alasan untuk menganggap birokrasi itu jelek dan tidak efisien”.
5. Fritz Morstein Marx
Dengan mengutip pendapat Fritz Morstein Marx, Bintoro Tjokroamidjojo
(1984) mengemukakan bahwa birokrasi adalah ”Tipe organisasi yang
dipergunakan pemerintahan modern untuk pelaksanaan berbagai tugas - tugas
yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi yang
khususnya oleh aparatur pemerintahan”.
6. Riant Nugroho Dwijowijoto  
Dengan mengutip Blau dan Meyer, Dwijowijoto (2004) menjelaskan
bahwa ”Birokrasi adalah suatu lembaga yang sangat kuat dengan kemampuan
untuk meningkatkan kapasitas-kapasitas potensial terhadap hal-hal yang baik
maupun buruk dalam keberadaannya sebagai instrumen administrasi rasional
yang netral pada skala yang besar”. Selanjutnya dikemukakan bahwa ”Di dalam
masyarakat modern, dimana terdapat begitu banyak urusan yang terus -
menerus dan diam, hanya organisasi birokrasi yang mampu menjawabnya.
Birokrasi dalam praktek dijabarkan sebagai pegawai negeri sipil”.

Pengertian Patologi Birokrasi

Pada mulanya, patologi hanya dikenal dalam ilmu kedokteran sebagai


ilmu tentang penyakit. Namun dengan berjalannya waktu analogi ini dikenal
dalam birokrasi, dengan makna agar birokrasi pemerintahan mampu
menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul, baik yang bersifat politis,
ekonomi, sosio kultural, dan teknologi, berbagai penyakit yang mungkin sudah
dideritanya atau mengancam akan menyerangnya perlu diidentifikasi untuk
kemudian dicarikan terapi pengobatan yang paling efektif. Harus diakui bahwa
tidak ada birokrasi yang sama sekali bebas dari patologi birokrasi. Sebaliknya

5
tidak ada birokrasi yang menderita penyakit birokrasi sekaligus.” (Siagian,1994
dalam Ismail,2009:68).
Sementara yang dimaksud dengan birokrasi adalah : "Bureaucracy is an
organisation with a certain position and role in running the government
administration of a contry" (Mustopadijaja AR., 1999). Dengan demikian dapat
dilihat bahwa birokrasi merupakan suatu organisasi dengan peran dan posisi
tertentu dalam menjalankan administrasi pemerintah suatu negera. Prof. Dr.
Sondang P. Siagian, MPA., (1988) mengatakan bahwa pentingnya patologi
ialah agar diketahui berbagai jenis penyakit yang mungkin diderita oleh
manusia. Analogi itulah yang berlaku pula bagi suatu birokrasi. Artinya agar
seluruh birokrasi pemerintahan negara mampu menghadapi berbagai tantangan
yang mungkin timbul baik bersifat politik, ekonomi, sosio - kultural dan
teknologikal.
Risman K. Umar (2002) mendifinisikan bahwa patologi birokrasi adalah
penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai - nilai etis,
aturan - aturan dan ketentuan - ketentuan perundang - undangan serta norma -
norma yang berlaku dalam birokrasi.
Patologi Birokrasi juga diartikan dalam beberapa artian seperti sebagai
berikut:
1. Birokrasi sebagai organisasi yang berpenyakit (patologis)
2. Organisasi dan perilaku birokrat yang inefektif dan inefisien
3. Struktur dan fungsi organisasi besar yang sering melakukan
kesalahan dan tidak mampu berubah.

Pendapat yang lain mengatakan patologi birokrasi atau penyakit


birokrasi adalah “hasil interaksi antara struktur birokrasi yang salah dan variabel
- variabel lingkungan yang salah” (Dwiyanto, 2011: 63). Patologi birokrasi
muncul dikarenakan hubungan antar variabel  pada struktur birokrasi yang
terlalu berlebihan, seperti rantai hierarki panjang, spesialisasi, formalisasi dan
kinerja birokrasi yang tidak linear

6
Patologi birokrasi bisa juga diartikan sama dengan penyakit birokrasi.
peran birokrasi sebagai implementator dari kebijakan politik, atau dengan kata
lain birokrasi sebagai penyelenggara pemerintahan, maka patologi birokrasi
dapat diartikan sebagai persoalan atau permasalahan yang terjadi dalam
penyelenggaraan pemerintahan akibat kinerja birokrasi tidak mampu dalam
memenuhi kebutuhan publik dengan baik. Patologi birokrasi dapat saja terjadi
dalam ketidakmampuan pejabat politik di eksekutif (terpilih karena mandat
politik). Dalam hal ini patologi birokrasi dapat dilihat dari perspektif
kelembagaan, kepemimpinan, maupun perilaku para birokrat pelaksana itu
sendiri atau gabungan dari unsur unsur tersebut.
Menurut Taliziduhu Ndraha, Miftah Thoha, Peter M. Blau, David
Osborne, JW Schoorl) Patologi birokrasi adalah penyakit, perilaku negatif, atau
penyimpangan yang dilakukan pejabat atau lembaga birokrasi dalam rangka
melayani publik, melaksanakan tugas, dan menjalankan program
pembangunan.

Patologi Birokrasi (Bureaupathology) adalah himpunan dari perilaku-


perilaku yang kadang - kadang disibukkan oleh para birokrat. Fitur dari patologi
birokrasi digambarkan oleh Victor A Thompson seperti “sikap menyisih
berlebihan, pemasangan taat pada aturan atau rutinitas - rutinitas dan prosedur
-prosedur, perlawanan terhadap perubahan, dan desakan atas hak - hak dari
otoritas dan status.

1.2 Asal Mula dan Penyebab Munculnya Patologi Birokrasi

Birokrasi merupakan wujud terbaik organisasi karena menyediakan


konsistensi, kesinambungan, kemungkinan meramalkan, stabilitas, sifat
kewaspadaan, kinerja efisien dari tugas - tugas, hak keadilan, rasionalisme, dan
profesionalisme. Ikhtisar singkat dari keuntungan - keuntungan birokrasi
pemerintah adalah efisien, ideal dan cocok untuk memperkecil pengaruh dari
politik dan pribadi di dalam keputusan - keputusan organisasi serta wujud
terbaik organisasi karena membiarkan memilih pejabat - pejabat untuk
mengidentifikasi dan mengendalikan yang bertanggung jawab untuk siapa atas

7
apa yang dilakukan  karena orientasi lebih pada melayani pemerintah, tidak lagi
menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen politis dengan sifat sangat
otoritatif dan represif.

 Kutipan Lord Acton (1972), ”Power tends to corrupt, abolute power


corrupt absolutlely” (Kekuasan cenderung untuk berbuat korupsi, kekuasan
yang absolut berkorupsi secara absolut pula). Namun pendapat Acton bahwa
absolutism dapat menjadikan kesempatan korupsi itu lebih mudah. Hal ini tentu
karena lemahnya bahkan tidak adanya kontol dari luar. Tanpa akuntabilitas,
korupsi ‘berjamaah’ para birokrat sulit sekali diungkap. Namun, Birokrasi
Weberian yang diharapkan akan menghasilkan hal - hal yang telah tersebut di
atas, ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menurut Islamy (1998:8),
birokrasi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung
bersifat patrimonialistik, tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under
producing), tidak obyektif, anti terhadap kontrol dan kritik, tidak mengabdi
kepada kepentingan umum.

Berdasarkan uraian tersebut maka birokrasi merupakan wadah yang


menghimpun idealisme, keinginan, pemikiran, penalaran dan lain sebagainya
dari birokrat, politisi maupun akademisi yang beraneka ragam bentuk dan
karakternya dalam suatu organisasi negara. Para birokrat, politisi, akademisi
dan bahkan seluruh lapisan masyarakat adalah komunitas manusia yang
memiliki :

1. Rasionalitas yang dapat difungsikan untuk menentukan faktor - faktor  yang


positif dalam interaksi dan reaksi manusia dari seluruh aspek yang ada
disekitarnya.

2. Kebuasaan yang sangat kejam dimana binatang yang paling buas bagi
manusia dapat dipunahkan tetapi binatang tidak pernah memunahkan
manusia.

Sifat rasionalitas dan kebuasan manusia ini dalam kehidupan birokrasi


dapat dimanfaatkan dengan baik apabila pengelolaannya dan pengaturannya
sesuai dengan kaidah - kaidah dan norma yang tepat.

8
Manusia dalam birokrasi dengan kodratinya memiliki kreativitas untuk
pengembangkan birokrasi. James R Evans mengemukakan pengertian
kreativitas adalah keterampilan untuk menetukan pertalian, melihat subyek dan
perspektif baru, dan membuat kombinasi - kombinasi baru dari dua atau lebih
konsep yang telah tercetak dalam pemikiran. Berdasarkan pandangan ini kita
dapat merumuskan kreativitas birokrasi yang dapat dikatakan pertalian antara
cara berpikir dengan cara bertinadak setiap manusia individu dalam ikatan
birokrasi sehingga menghasilkan sesuatu baik yang berkaitan dengan
pemikiran atau penalaran maupun yang berkaitan dengan hasil kerja dari setiap
individu yang dapat digunakan atau dimanfaatkan untuk pertumbuhan atau
perkembangan birokrasi dan kesejahteraan anggota birokrasi.

Pengembangan birokrasi pada masa periode tertentu senantiasa


mengalami perubahan secara fluktuatif, tidak ada sesuatu perubahan yang
terjadi dalam sebuah birokraasi yang selalu mengarah kepada perbahan secara
positif , misalnya selalu memperoleh keuntungan dalam berusaha atau
senantiasa memperoleh kamudahan dalam penyelesaian sesuatu kegiatan.
Tetapi kondisi negatif, misalnya mengalami kerugian, menghadapi
permasalahan dalam pelaksanaan suatu kegiatan. dikarenakan aktivitas
birokrasi banyak dipengaruhi oleh kondisi politik yang sedang bereaksi untuk
mendapatkan suatu kekuasaan yang diistilahkan dengan otoritas. Bila kita
mengidentifikasi otoritas dalam suatu birokrasi   kita dapat kemukakan
argumentasi sebagai bahan penghayatan sebagai berikut : Otoritas kharismatik,
otoritas tradisional, otoritas legal.

Kekuasaan dan kewenangan manusia yang terkait dalam sebuah


birokrasi memiliki tingkatan yang berbeda - beda, semakin tinggi posisi
seseorang maka kekuasaan dan kewenangan semakin besar, tetapi
penyelesaian dalam berbagai aktivitas semakin kecil. Demikian pula sebaliknya
bila posisi seseorang semakin rendah,  semakin kecil pula kekuasaan dan
kewenangan yang di miliki, tetapi semakin besar tanggung jawab penyelesaian
aktivitas. Fenomena ini dalam birokrasi mendorong manusia untuk berusaha

9
menciptakan kemampuan untuk dapat merebut kekuasaan dan kewenangan
yang lebih tinggi.

Perebutan kekuasaan dan kewenangan yang tidak di dasarkan pada


profesionalisme, rasionalisme, dan moralitas merupakan suatu penyakit atau
patologi dalam birokrasi.   

Dalam paradigma aktorian dinyatakan power tends to corrupt, but


absolute powers corrupt absolutely (kekuasaan cenderung korup, tapi
kekuasaan yang absolut pasti korup) secara implisit juga menjelaskan birokrasi
dalam hubungannya dengan kekuasaan akan mempunyai kecenderungan
untuk menyelewengkan wewenangnya. Dalam hal ini selain sistem , juga
aparaturnya. Karena itu perlu dipikirkan pula para birokrat yang sudah terlalu
lama berkuasa dan kecenderungan menggunakan wewenangnya. Ini juga
termasuk dari patologi birokrasi itu sendiri. Erziony Helevy (1983) melihat
kekuasaan birokrasi publik menjadi sangat kuat dan luas, karena :

1. Semakin meningkatnya ruang intervensi pemerintah dalam bidang sosial


dan ekonomi
2. Meningkatnya kompleksitas tugas pemerintahan
3. Kemampuan untuk memanfaatkan teknologi yang semakin berguna
dalam membuat keputusan politik
4. Memiliki sumber informasi
5. Pejabat politik memiliki sumber daya serta selalu ada (tidak dibatasi
waktu / pergantian)
6. Pejabat politik tidak selalu memiliki kepentingan atau kontrol terhadap
seluruh persoalan birokrasi
7. Menurunnya kekuasaan parlemen
8. Adanyaa proses pergantian kepemimpinan yang menjadi areal birokrasi
mencari peluang atau pengaruh

Secara lengkap berbagai penyebab munculnya patologi dan bentuk -


bentuk patologi tersebut dapat diuraikan dalam tabel berikut.

10
Tabel 1:  Penyebab dan Bentuk-bentuk Patologi Birokrasi
  PERSEPSI SITUASI
RENDAHNYA
DAN PELANGGA PERILAKU INTERNAL
PENGETAHU
GAYA     RAN YANG DALAM
AN
MANAJERIA TERHADAP BERSIFAT BERBAGAI
&KETERAMPI
L PARA NORMA DISFUNGSION INSTANSI
LAN
PEJABAT HUKUM AL PEMERINTA
PETUGAS
BIROKRASI HAN
Penyalahgun Ketidakmamp Penggemuk Bertindak Penempatan
aan uan an sewenang- tujuan dan
wewenang menjabarkan pembiayaan; wenang; sasaran yang
dan jabatan; kebijakan Menerima Pura-pura tidak tepat;
Persepsi pimpinan; sogo; sibuk; Kewajiban
yang Ketidaktelitian Ketidakjujura Paksaan; sosial
didasarkan ; n; Konspirasi; sebagai
pada Rasa puas Korupsi; Sikap takut; beban;
prasangka; diri; Tindakan Penurunan Eksploitasi;
Pengaburan Bertindak kriminal; mutu; Ekstorsi;
masalah; tanpa pikir; Penipuan; Tidak sopan; Tidak
Menerima Kebingungan; Kleptokrasi; Diskriminasi; tanggap;
sogok; Tindakan Kontrak fiktif; Cara kerja yang Penganggura
Pertentangan yang counter Sabotase; legalistil; n
kepentingan; productive; Tatabuku Dramatisasi; terselubung;
Kecenderung Tidak adanya yang tidak Sulit dijangkau; Motivasi yang
an kemampuan benar; Sikap tidak tidak tepat;
mempertahan berkembang; Pencurian. acuh; Imbalan yang
kan status Mutu hasil Tidak disiplin; tidak
quo; pekerjaan Inersia; memadai;
Empire yang rendah; Sikap kaku Kondisi kerja

11
Building; Kedangkalan; (tidak fleksibel) yang kurang
Sikap Ketidakmamp Tidak memadai;
bermewah- uan belajar; berperikemanus Pekerjaan
mewah; Ketidaktepata iaan; yang tidak
Pilih kasih; n tindakan; Tidak peka; kompatibel;
Ketakutan Inkompetensi; Sikap tidak Inconvenienc
pada Ketidakcekata sopan; e;
perubahan, n; Sikap lunak; Tidak adanya
inovasi dan Ketidakteratur Tidak peduli indkator
resiko; an; mutu kinerja; kinerja;
Penipuan; Melakukan Salah tindak; Kekuasaan
Sikap kegiatan yang Semangat yang kepemimpina
sombong; tidak relevan; salah tempat; n;
Ketidakpeduli Sikap ragu- Negativisme; Miskomunika
an pada kritik ragu; Melalaikan si;
dan saran; Kurangnya tugas; Misinformasi;
Jarak imajinasi; Rasa tanggung Beban kerja
kekuasaan; Kurangnya jawab yang yang terlalu
Tidak mau prakarsa; rendah; berat;
bertindak; Kemampuan Lesu darah Terlalu
Takut rendah; (anorexia) banyak
mengambil Bekerja tidak Paperasserie; pegawai;
keputusan produktif; Melaksanakan Sistem pilih
Sikap Ketidakrapian; kegiatan yang kasih (spoil
menyalahkan Stagnasi. tidak relevan; system);
orang lain; Cara kerja yang Sasaran
Tidak adil; berelit-belit (red yang tidak
Intimidasi; tape) jelas;
Kurangnya Kerahasiaan; Kondisi kerja
komitmen; Pengutamaan yang tidak
Kurangnya kepentingan aman;

12
koordinasi sendiri; Sarana dan
Kurangnya Suboptimasi prasarana
kreativitas Sycophancy; yang tidk
dan Tampering; tepat;
eksperimenta Imperatif Perubahan
si; wilayah sikap yang
Kreativitas kekuasaan; mendadak.
yang rendah; Tokenisme;
Kurangnya Tidak
visi yang professional;
imajinatif; Sikap tidak
Kedengkian; wajar;
Nepotisme; Melampaui
Tindakan wewenang;
yang tidak Vasted interest;
rasional Pertentangan
Bertindak di kepentingan;
luar Pemborosan;
wewenangny
a;
Paranoia;
Sikap
Opresif;
Patronase;
Penyeliaan
dengan
pendekatan
punitive;
Keengganan
mendelegesai
kan;

13
Keengganan
memikul
tanggung
jawab;
Ritualisme;
Astigmatisme
;
Xenophobia;

Sumber:  Siagian, 1994. Patologi Birokrasi: Analisis, Identifikasi dan


Terapinya. Jakarta, Ghalia   Indonesia: Hal. 35-145.
Salah satu faktor penyebab timbulnya penyakit birokrasi yang paling
dominan menurut penulis adalah disebabkan rendahnya akhlak aparatur. satu
contoh kasus korupsi misalnya, pada umumnya tidak dilakukan oleh rendahnya
akhlak aparatur. Korupsi pada umumnya tidak dilakukan oleh karena
pengetahuan yang rendah, tetapi justru dilkukan oleh aparatur berpendidikan
tidak rendah. Rendahnya moralitas pegawai menunjukan rendahnya atau tidak
dipergunakannya norma - norma etika sebagai acuan dalam bepikir, betindak
dan berperilaku dalam pelaksanaan tugas pekerjaan di bidangnya.

Moralitas merupakan suatu dorongan dari untuk melakukan suatu sistem


atau etika, sehingga semakin tinggi kadar moralitas seseorang semakin kuat
pula dorongan melaksanakan nilai - nilai etika dalam kehidupan sehari -
harinya. Demikian pula sebaliknya kadar moralitas yang rendah, maka
dorongan penerapan nilai - nilai etika semakin rendah pula.

1.3 Kategori, Macam dan Ruang Lingkup Patologi Birokrasi

Prof. Dr. Sondang  P Siagian MPA dalam bukunya ”Patologi Birokrasi:


Analisis, Identifikasi dan Terapinya” (1994) menyebut serangkaian contoh

14
penyakit (patologi) birokrasi yang lazim dijumpai. Penyakit – penyakit tersebut
dapat dikategorikan yakni :
1. Persepsi gaya manajerial para pejabat dilingkungan birokrasi yang
menyimpang dari prinsip prinsip demokrasi. Hal ini mengakibatkan bentuk
patologi seperti penyalahgunaan wewenang dan jabatan menerima sogok
dan nepotisme
2. Rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana
berbagai kegiatan operasional mengakibatkan produktivitas dan mutu
pelayanan yang rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan
3. Tindakan pejabat yang melanggar hukum dengan penggemukan
pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan sebagainya.
4. Manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif seperti
sewenang wenang, pura pura sibuk dan diskriminaitf
5. Akibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif
terhadap birokrasi seperti imbalan dan kondisi kerja yang kurang memadai,
ketiadaan deskripsi dan indikator kerja dan sistem pilih kasih.

Senada dengan sumber lain menurut Bambang Noorsetyo dalam


ceramahnya di depan peserta program megister Universitas Merdeka Malang
(15 oktober 2000) menyatakn bahwa  patologi birokrasi dapat dikelompokkan
ke dalam 5 (lima) kelompok yaitu:

a. Persepsi dan gaya manajerial pejabat birokrasi antra lain:


 Penyalagunaan wewenang dan jabatan
 Persepsi sebagai dasar prasangka dalam pengambilan keputusan
 Pengabur masalah
 Praktik menerima suap,
b. Rendahnya pengetahuan dan keterampilan petugas pelaksanaan
misalnya:
 Tidak mampu menjabrkan policy pimpinan
 Kurang teliti
 Rasa puas diri

15
 Bertindak tanpa berpikir matang
 Kenerja rendah
 Bingung
c. Pelaku birokrasi yag melanggar hukum, antra lain adanya:
 Boros
 Praktek suap-menyuap
 Kejujuran kurang
 Korupsi
 Kriminal
d. Perilaku birokrasi yang bersifat disfungsioal dan negatif,     
 Sewenang-wenang
 Pura-pura sibuk
 Pemaksaan
 Konspirasi
 Diskiminasi
 Tak acuh
 Sulit di jangkau
 Disiplin rendah
e. Situsi internal instansi/birokrasi, antra lain
 Tujuan dan saran tidak tepat
 Kewajiban social sebgai beban
 Eksploitasi
 Pengangguran terselubung
 Imbalan tidak memadai
 Kondisi kerja kurang memadai
 Misinformasi

Selain kategori patologi birokrasi yang disebutkan tersebut, penulis juga


mengemukakan ruang lingkup patologi birokrasi. Adapun ruang lingkup patologi
birokrasi dengan menggunakan terminologi Smith (1998) berkenaan dengan
kinerja birokrasi yang buruk, dapat dipetakan dalam dua konsep besar, yaitu :

16
1. dysfunction of bureaucracy, yakni berkaitan dengan struktur, aturan, dan
prosedur atau berkaitan dengan karakteristik birokrasi atau birokrasi
secara kelembagaan yang jelek sehingga tidak mampu mewujudkan
kinerja yang baik, atau erat kaitannya dengan kualitas birokrasi secara
institusi.

2. Mal – administration , yakni berkaitan dengan ketidakmampuan atau


perilaku yang dapat disogok, meliputi : perilaku korup, tidak sensitif,
arogan, mis - informasi, tidak peduli dan bias, atau erat kaitannya
dengan kualitas sumber daya manusianya atau birokrat yang ada di
dalam birokrasi.

Bentuk patologi yang ditinjau dari perspektif perilaku birokrat


merefleksikan bahwa birokrat sebagai pemilik kewenangan menyelenggarakan
pemerintahan tertentu memiliki kekuasaan relatif yang sangat rentan terhadap
dorongan untuk melakukan hal – hal yang menguntungkan diri dan
kelompoknya yang diwujudkan dalam berbagai perilaku buruk.

Suatu perilaku itu dikatakan baik bila secara universal semua orang
bersepakat mengakui suatu perbuatan yang menunjukkan tingkah laku
seseorang memang baik. Sedangkan sebaliknya perilaku itu dikatakan buruk
bila secara universal semua orang sepakat menyatakan bahwa tingkah laku
seseorang itu buruk. Karena hakikatnya hanya dua jenis perilaku yang ada
dalam diri manusia sendiri. Dikaitkan dengan patologi birokrasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dalam perspektif perilaku, maka yang dijadikan
indikator adalah berbagai perilaku buruk dari birokrat itu sendiri.

Birokrasi diharapkan dapat mewujudkan suatu tata pemerintahan yang


mampu menumbuhkan kepercayaan publik, karena bagaimanapun pada
akhirnya pelayanan publik produk dari suatu pemerintahan adalah terciptanya
kepercayaan publik. Birokrasi tidak hanya sekedar melaksanakan kekuasaan,

17
tetapi juga memiliki tujuan moral, sebuah birokrasi yang menghargai hak hak
masyarakat (Teruna, 2007).

Proses patologi birokrasi yang akut di indonesia ini bukan sesuatu yang
datang tiba tiba, tetapi terpelihara sejak lama. Birokrasi sudah terbiasa menjadi
simbol kemakmuran dan kerajaan bagi aparatnya untuk mendapat
pelayanandari masyarakat. Kultur pangreh praja (rakyat mengabdi pada
pemerintahan/raja) ada di birokrasi yang diciptakan untuk melayani penguasa
terjadi di zaman penjajahan (Teruna,2007).

Membangun sistem kontrol dan akuntabilitas publik menjadi signifikan


dalam memerangi patologi birokrasi. Sebagai eksekutor kekuasaan birokrasi
sangat mudah tergoda untuk melakukan abuse of power. Dalam penelitian
Teruna (2007) dinyatakan bahwa salah satu ruang yang rentan terhadap
patologi birokrasi berkenaan dengan proses pembangunan, khususnya
penjabaran program ke dalam proyek – proyek pembangunan atau dikenal
dengan istilah pengadaan barang dan jasa, seperti tindakan mark up,
penggelapan, manipulasi, suap, penyunatan, dan sebagainya. Birokrasi secara
langsung ataupun tidak terlibat dalam proses pembangunan, khususnya bagi
pengadaan barang dan jasa, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Adapun macam - macam patologi birokrasi antara lain:

a) Paternalistik, yaitu atasan bagaikan seorang raja yang wajib dipatuhi dan
dihormati, diperlakukan spesial, tidak ada kontrol secara ketat, dan pegawai
bawahan tidak memiliki tekad untuk mengkritik apa saja yang telah dilakukan
atasan. Seakan - akan nyawa mereka ada dalam genggaman atasan /
penguasa sehingga segala sesuatunya dilakukan untuk atasan. Hal tersebut
menjadikan pelayanan publik kurang maksimal dikarenakan sikap bawahan
yang terlalu berlebihan terhadap atasan sehingga birokrasi cenderung
mengabaikan apa yang menjadi kepentingan masyarakat sebagai warga
negara yang wajib menerima layanan sebaik mungkin.

18
b) Pembengkakan  anggaran, terdapat beberapa alasan mengapa hal ini sering
terjadi yaitu: semakin besar anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan
semakin besar pula peluang untuk memark-up anggaran, tidak adanya
kejelasan antara biaya dan pendapatan dalam birokrasi publik, terdapatnya
tradisi memotong anggaran yang diajukan pada proses perencanaan
anggaran sehingga memunculkan inisiatif pada orang yang mengajukan
anggaran untuk melebih-lebihkan anggaran, dan kecenderungan birokrasi
mengalokasikan anggaran atas dasar input. Pembengkakan anggaran akan
semakin meluas ketika kekuatan civil society lemah dalam mengontrol
pemerintah.

c) Prosedur yang berlebihan akan mengakibatkan pelayanan menjadi berbelit -


belit dan kurang menguntungkan bagi masyarakat ketika dalam keadaan
mendesak.

d) Pembengkakan birokrasi, dapat dilakukan dengan menambah jumlah


struktur pada birokrasi dengan alasan untuk meringankan beban kerja dan
lain - lain yang sebenarnya struktur tersebut tidak terlalu diperlukan
keberadaannya. Akibatnya banyak dana APBN (Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara) yang dikeluarkan oleh pemerintah yang secara tidak
langsung dapat merugikan negara. Sehingga anggaran menjadi kurang tepat
sasaran.

e) Fragmentasi birokrasi, banyaknya kementerian baru yang dibuat oleh


pemerintah lebih sering tidak didasarkan pada suatu kebutuhan untuk
merespon kepentingan masyarakat agar lebih terwadahi tetapi lebih kepada
motif tertentu.

           Selanjutnya dapat ketahui macam Patologi Birokrasi menurut Sondang


P. Siagian (1988) ada beberapa patologi birokrasi yang dapat dijumpai, antara
lain :

1. Penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab

19
2. Pengaburan masalah
3. Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme
4. Indikasi mempertahankan status quo
5. Empire bulding (membina kerajaan)
6. Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko
7. Ketidakpedulian pada kritik dan saran
8. Takut mengambil keputusan
9. Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi
10. Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang imajinatif
11. Minimnya pengetahuan dan keterampilan, dll.

Terdapat juga jenis patologi dalam sistem organisasi. Berikut adalah


pembahasannya. Birokrasi “parkinsonian”, dimana terjadinya proses
pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara
tidak terkendali. Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi, tetapi
semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur dan kekuasaan. Birokrasi ini
disebut dengan istilah birokrasi “orwellian” yakni proses pertumbuhan
kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi
dikendalikan oleh birokrasi. Contohnya adalah promosi dan rotasi bukan atas
dasar kompetensi dan kebutuhan organisasi tetapi kepentingan kekuasaan dan
dilakukan sekedae untuk hal – hal sebagai berikut :

1. Ritualisme / simbolisme. Berbagai kegiatan seremonial yang


berlebihan.
2. Kinerja yang  rendah (tokenisme) atau paling tinggi mediocre
pemborosan, tidak efektif.

Ada beberapa hal lain yang termasuk kedalam patologi birokrasi


Organisasi atau kelompok antara lain :

1. Terlalu percaya pada presiden, padahal tuntutan telah berubah.


2. Formalisme dan kurang inisiatif (takut membuat kesalahan)

20
3. Inertia (lamban dalam berbagai urusan/keputusan) duplikasi kegiatan
dan departementalisme

4. Red tape (cara kerja yang berbelit - belit dan ditunda - tunda)

5. Peraturan dijadikan tujuan dan menjadi senjata para birokrat untuk


melindungi kepentingannya dan mempertahankan status quo.

6. Budaya  korupsi ( korupsi berjamaah )

a. discretionary corruption: diskriminasi, spoil  system, kolusi

b. illegal corruption: menyalahi aturan yang ada

c. mercenary corruption: penggelapan uang, komisi, suap, kuitansi


fiktif,mark up, ruislag,

d. ideological corruption: Kebijakan yang memihak partai/ideologi

Jenis Patologi Perilaku Birokrat yaitu :

1. Penyalahgunaan wewenang dan jabatan (korupsi): menerima suap,


markup, menetapkan imbalan, kontrak fiktif, penipuan.
2. Tindakan sewenang-wenang: ekstorsi (pemerasan  secara kasar/halus).
Misalnya: pemotongan insentif, rapel, gaji dsb
3. Empire Building  dengan menciptakan para aktor dependent
disekelilingnya: promosi (pangkat dan jabatan) , bonus dsb.
4. Nepotisme/primordialisme : perekrutan dan  penempatan posisi atas
dasar  “pertalian darah” /kesukuan kedaerahan bukan kompetensi.
5. Sycophancy (kecenderungan ingin memuaskan atasan dengan cara
yang counter productive) 
6. Konsumerisme dan hedonisme
7. Takut mengambil keputusan/mengambil resiko (Decidiophiobia):
8. Mutu Pelayanan terhadap pelanggan rendah: acuh tak acuh , pura-pura
sibuk,  tidak sopan, diskriminasi.

21
9. Disiplin dan Semangat kerja umumnya rendah
10.Armandiloisme : mamalia penggangsir yang melindungi diri dengan
memo, rapat dan perangkat peraturan
11.Hyperpolysyllabicomia: gemar memakai kata-kata  jargon (samar) dan
yang muluk untuk menutupi kelemahannya.

Adapun beberapa jenis penyakit birokrasi yang sudah sangat dikenal dan
dirasakan masyarakat yaitu ketika setiap mengurus sesuatu dikantor
pemerintah, pengurusannya berbelit-belit, membutuhkan waktu yang lama dan
biaya yang besar, pelayanannya kurang ramah, terjadinya praktek kolusi,
korupsi dan nepotisme dan lain-lain. Sedangkan penyakit birokrasi yang lebih
sistemik banyak sebutan yang diberikan  terhadapnya yaitu antara lain;
politisasi birokrasi, otoritarian birokrasi, birokrasi katabelece (Istianto,
2011:143).

Menurut pelajaran teori birokrasi yang diampu oleh dosen bapak


fernandes simangunsong diterangkan bahwa beberapa macam patologi
birokrasi termasuk hal hal sebagai berikut :

 AIDS (alfa ijin dikit dikit sakit)


 Batuk (banyak ngantuk)
 Flu (facebookan melulu)
 Kurap (kurang rapi)
 Kudis (kurang disiplin)
 TBC (tidak bisa komputer)
 Asma (asal mengisi absen)
 Kram (kurang trampil)
 Asam urat (asal sampai kantor uring uringan atau tidur)
 Kejang – kejang (kerja jarang kerja lambat)
 Pucat pasi (pulang cepat padahal masih pagi)
 Magh (makan gaji buta)
 Jantung (kerja suka itung itungan)

22
 Panu (piket asal tulis)
 Kutil (kurang teliti)
 Bisul (bisanya hanya siul siul)
 Muntaber (mundur tanpa berita)

Dalam buku Patologi Serta Terapinya Dalam Ilmu Administrasi Dan


Organisasi mengatakan bahwa patologi birokrasi adalah sebagai berikut :

1. Penyakit nepotisme, istilah nepotisme pada mulanya lebih banyak di


bicarakan dalam materi administrasi kepegawaian personal manajemen,
kemudian berkembang lebih lanjut kedalam berbagai aspek kehidupan
pada manusia lainnya. Karena tidak tercapainya kepuasan yang diharapkan
semula, tetapi justru yang terjadi adalah ketidakpuasan karena tidak
terpenuhinya kebutuhan, sebagai faktor utama dalam menciptakan
kepuasan manusia. Namun demikian bahwa pemikiran yang seimbang dan
tindakan yang seimbang akan melahirkan tingkat kepuasan secara adil dan
merata dalam kehidupan manusia yang terlibat dalam ikatan kerja sama.
Ketidakseimbangan aktivitas manusia dalam administrasi sangat mudah
diserang oleh virus penyakit nepotisme yang merugikan dirinya sendiri.
2. Penyakit nepotisme dalam administrasi juga menciptakan suatu perubahan
dalam sebuah bentuk kerja sama, tetapi perubahan yang diciptakan
tersebut berorientasi kepada perubahan negatif. Penyakit nepotsime dalam
administrasi sangat berpengaruh negatif dalam pengembangan konseptual
teoritis, aktual empiris, dan etika administrasi sehingga wawasan keilmuan
untuk menciptakan kecerdasan beripikir dan keterampilan untuk
menciptakan kemahiran bertindak akan menjadi kabur serta suatu saat
akan terkubur.
3. Penyakit kolusi, kolusi adalah suatu tindakan dari kedua belah pihak untuk
menciptakan kesepakatan yang sesungguhnya bertentangan dengan etika,
moralitas, rasionalitas, keimanan dan peraturan yang berlaku dalam suatu
bentuk ikatan kerjasama. Pengertian kolusi ini jelas bahwa sangat
merugikan bagi orang-orang yang berprilaku berdasarkan tindakan

23
moralitas, etika, rasionalitas, keimanan dan peraturan yang berlaku dalam
ikatan kerjasama. Dan kemudian menguntungkan secara konkert atau
secara realita bagi orang-orang yang perbuatan atau tindakannya
bertentangan dengan moralitas, etika, rasionalitas, keimanan dan peraturan
yang berlaku dalam bentuk ikatan kerjasama.
4. Penyakit atau patologi kolusi administrasi telah menjangkit hampir disemua
lini dalam adminstrasi Negara maupun administrasi pemerintahan. Mulai
dari tingkat pusat sampai kepada tingkat daerah kabupaten atau kota,
bahkan sampai kepada desa - desa. Penyakit atau patologi kolusi
administrasi ini secepatnya perlu diagnosis sehingga dapat kembali sehat.
5. Penyakit korupsi, penyakit atau patologi korupsi administrasi merupakan
suatu penyakit yang sangat ditakuti oleh semua ikatan bentuk kerjasama
manusia melalui organisasi internasional , negara, pemerintah, sampai
kepada organisasi swasta pun, semuanya ketakutan bila terjangkit virus-
virus penyakit atau patologi korupsi yang dapat mematikan aktivitas
administrasi. Penyakit korupsi yang begitu ditakuti oleh semua pihak mulai
dari anggota ikatan kerjasama yang terendah sampai kepada anggota yang
tertinggi, atau mulai dari anggota masyarakat terendah sampai kepada
anggota masyarakat yang tertinggi.
6. Korupsi adalah suatu perbuatan atau tindakan seseorang atau beberapa
orang baik statusnya sebagai bawahan maupun pejabat dalam suatu
organisasi yang melakukan pelanggaran etika, moralitas, rasionalitas,
keyakinan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan
mendapatkan sesuatu keuntungan dalam rangka memenuhi keinginan dan
kebutuhan seseorang atau beberapa orang yang dapat berakibat
merugikan orang lain atau Negara.
7. Menurut Kartini Kartono korupsi adalah tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan pribadi,
merugikan kepentingan umum dan Negara. Jadi korupsi merupakan gejalah
salah pakai, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan Negara dengan
menggunakan wewenang dan kekuatan formal untuk memperkaya dirinya

24
dengan jalan menggunakan segala kekuatan yang dimiliki terutama
bersumber dari jabatan kewenagan.
8. Penyakit keserakahan, penyakit atau patologi keserakahan dalam
pelaksanaan ativitas adminsitrasi adalah suatu metode teknik dan taktik
yang dilakukan seseorang anggota yang terkait dalam ikatan bentuk
kerjasama berpikir dan bertindak untuk dapat menguasai sebagian atau
bahkan kalau bisa keseluruhan faktor - faktor kenikmatan khususnya yang
berupa material dengan mengorbankan orang lain.
9. Penyakit atau patologi keserakahan manusia sebenarnya adalah suatu
penyakit yang sangat kejam karena dapat menghancurkan ikatan
kerjasama dan bahkan mematikannya.
10. Penyakit atau patologi keserakahan bukan semata-mata hanya
mengumpulkan harta benda yang melimpah untuk memenuhi kebutuhan,
tetapi lebih banyak diarahkan kepada pemenuhan keinginan. Keinginan
yang berlebihan hanya menimbun harta benda saja dengan
memperolehnya tidak wajar.
11. Penyakit egoisme, penyakit atau patologi egoism terhadap pelaksanaan
kegiatan atau aktivitas administrasi adalah sifat - sifat manusia yang terkait
dalam bentuk kerjasama yang selalu ingin menang sendiri ketika
mendiskusikan sesuatu pemikiran, baik secara ilmiah maupun pemikiran
terhadap suatu penyelesaian permasalahan atau kegiatan. Egoism
sebenarnya adalah suatu virus penyakit atau patologi dalam pelaksanaan
setiap aktivitas administrasi. Jika terlalu kuat pengaruh manusia yang
memiliki sifat egoisme sangat memungkinkan aktivitas yang dilakukan
dalam bentuk kerjasama itu akan bersifat negative dan tidak mustahil dapat
mematikan atau membubarkan suatu bentuk kerjasama yang dituntuk oleh
administrasi.
12. Persekongkolan jabatan, jabatan dari sudut pandang pengaturan dari
berbagai aktivitas sering juga diistilahkan dengan pemimpin, sedangkan
jabatan yang melakukan aktivitas diistilahkan sebagai yang dipimpin.
Persekongkolan adalah suatu bentuk usaha yang dilakukan oleh dua orang

25
manusia atau lebih untuk melakukan kesepakatan yang tersembunyi guna
mendapatkan sesuatu yang diinginkan kedua belah pihak walaupun
bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dalam
komunitas masyarakat tertentu.
13. Persekongkolan jabatan adalah suatu usaha yang dilakukan dua orang
manusia atau lebih dengan menciptakan kesepakatan guna
mempertahankan atau memperoleh suatu jabatan tertentu dalam organisasi
dengan mengorbankan orang lain. Persekongkolan jabatan yang
senantiasa terjadi dalam kehidupan manusia dalam suatu organisasi
sebenarnya merupakan bagian penyakit yang dapat menciptakan
ketidakstabilan dan bahkan mungkin kematian suatu organisasi.
14. Persekongkolan pekerjaan, dalam suatu ikatan organisai ada berbagai jenis
pekerjaan ada jenis pekerjaannya ringan tetapi hasilnya besar dan ada juga
sebaliknya pekerjaan nya sulit tapi hasilnya kurang. Fenomena inilah yang
merupakan penyebab utama persekongkolan pekerjaan. Persekongkolan
pekerjaan kenyataanya semakin menambah panjangnya jerit tangis
anggota ikatan kerjasama maupun naggota masyarakat pada umumnya
yang tidak memiliki kemampuan dalam rangka melakukan suatu tindakan
persekongkolan.
15. Persekongkolan status adalah usaha mempertahankan status yang
dimilikinya dengan menyebabkan melemahkan ataupun merugikan
organisasi. Persekongkolan status  yang di miliki oleh manusia dalam
sebuah organisasi jika dibiarkan tumbuh dan berkembang akan merusakn
norma-norma social, moralitas masyarakat, rasionalitas keilmuan.
16. Persekongkolan kolega, sasaran manusia dalam melakukan
persekongkolan dalam kolega atau sering diitilahkan dengan pertemanan
ini senatiasa bertujuan untuk menciptakan keeratan pertemanan atau ikatan
keprofesian yang kuat, sehingga kepuasan dalam kehidupan kedua belah
pihak senatiasa dapat terjamin walaupun mungkin dapat merugikan pihak-
pihak tertentu. Tindakan merugikan orang lain kerena persekongkolan
kolega merupan suatu tindakan yang dapat menciptakan penyakit

26
administrasi bila tidak ditangani dan diarahkan kepada yang positif
kemungkinan dapat menghambat atau merusak dalam pertumbuhan
organisai maupun perkembangan administrasi baik dalam arti keilmuan
maupun profesionalitas.
17. Persekongkolan keluarga, virus patologi persekongkolan dalam berbagai
anggota keluarga terhadap proses aktivitas administrasi dalam sebuah
ikatan kerjasama janganlah dianggap bahwa persepsi dan pandangan
anggota keluarga merupakan salah satu ancaman yang dapat mengangu
tatapi juga dapat merupakan penyebab utama lahirnya kekhawatiran
keberlangsungan hidup administrasi.
18. Kekeliruan dan kesalahan terhadap penanganan virus patologi ini dalam
administrasi akan dapat menciptakan kekacauan dan ketidakstabilan
kondisi pelaksanaan aktivitas setiap anggota birokrasi tersebut.
19. Menerapi virus patologi ini bukan saja dilakukan oleh dokter konsultan yang
memiliki kemampuan spesialisasi dari berbagai jenis virus yang handal
tetapi juga harus didukung oleh pengalaman terhadap penanganan
penaggualan virus patologi persekongkolan yang sebenarnya bukan saja
merugikan manusia lain tetapi merugikan dirinya sendiri. Oleh sebab itu
harus dilibatkan seluruh jajaran anggota birokrasi yang mulai dari tingkat
pimpinan yang tertinggi sampai pada yang terendah.

1.4 Solusi untuk Patologi Birokrasi

Untuk mengatasi patologi birokrasi, sebaiknya seluruh lapisan


masyarakat saling bahu - membahu bekerjasama untuk melaksanakan proses
pemerintahan dengan sebaik-baiknya. Solusi dari Patologi Birokrasi tidak akan
menjadi obat yang mujarab jika seluruh lapisan masyarakat tidak saling
mendukung. Karena setiap element baik dari pemerintah, dunia bisnis,
masyarakat kecil, dan pihak swasta memiliki keterkaitan yang sangat pokok
dalam berjalannya pemerintahan. 

27
Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi Patologi Birokrasi yaitu: 
Yang pertama, perlu adanya reformasi administrasi yang global. Artinya
reformasi administrasi bukan hanya sekedar mengganti personil saja, bukan
hanya merubah nama intansi tertentu saja, atau bukan hanya mengurangi atau
merampingkan birokrasi saja namun juga reformasi yang tidak kasat mata
seperti upgrading kualitas birokrat, perbaikan moral, dan merubah cara
pandang birokrat, bahwa birokrasi merupakan suatu alat pelayanan publik dan
bukan untuk mencari keuntungan. 
Yang kedua pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan
yang jelas. Kekuatan hukum sangat berpengaruh pada kejahatan-kejahatan,
termasuk kejahatan dan penyakait-penyakit yang ada di dalam birokrasi. Kita
sering melihat bahwa para koruptor tidak pernah jera walaupun sering keluar
masuk buih. Ini dikarenakan hukuman yang diterima tidak sebanding dengan
apa yang diperbuat. Pembentukan supremasi hukum dapat dilakukan dengan
cara:
1. Kepemimpinan yang adil dan kuat
2. Alat penegak hukum yang yang kuat dan bersih dari kepentingan politik

3. Adanya pengawasan tidak berpihak dalam pelaksanaan kegiatan


pemerintahan dalam birokrasi.

Yang ketiga ialah dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan


transparansi. Kurangnya demokrasi dan rasa ber-tanggung jawab yang ada
dalam birokrasi membuat para birokrat semakin mudah untuk menyeleweng
dari hal yang semstinya dilakukan. Pengawasan dari bawah dan dari atas
merupakan alat dari penciptaan akuntabilitas dan transparansi ini.
Pembentukan E-Government diharapkan mampu menambah transparansi
sehingga mampu memperkuat akuntabilitas para birokrat. Merubah Patologi
Birokrasi Melalui Prinsip Good Governance Mar'ie Muhammad (Media
Transparansi 1998) menyatakan bahwa good governance itu ada jika
pembagian kekuasaan ada.  Jadi ada disperse of power, bukan concentrate of
power. Good governance sama dengan disperse of power, pembagian

28
kekuasaan di tambah akuntabilitas publik dan transparansi publik. Jadi kalau
tidak ada prinsip ini, good governance perlu untuk menekan penyalahgunaan
kekuasaan atau kewenangan yang biasanya itu menimbulkan korupsi. Dan
korupsi itu selalu abuse of power. Semakin tinggi kualitas dari good
governance, semakin rendah korupsi. Sebaliknya semakin rendah kualitas
good governance, korupsinya semakin tinggi. Dari penyataan di atas tergambar
dengan jelas betapa prinsip - prinsip good governance dapat mencegah
patologi birokrasi terutama dalam hal korupsi, kolusi dan nepotisme. 

Untuk lebih detailnya prinsip - prinsip good governance dapat merubah


patologi birokrasi, maka dapat diuaraikan sebagai berikut:
1. Participation. Melalui prinsip ini akan masyarakat terlibat dalam
pembuatan keputusan yang bangun atas dasar kebebasan berasosiasi
dan berbicara serta berpartsipasi secara konstruktif, sehingga dengan
demikian maka pemerintahan tidak menjadi otoriter dalam mengambil
keputusan. Keputusan yang dihasilakan merupakan representasi dari
keinginan masyarakat dan tidak dapat diintervensi oleh pihak-pihak yang
ingin memanfaatkan pemerintah.
2. Rule of law. Supremasi hukum merupakan langkah yang harus diambil
untuk meminimalisir atau menghilangkan praktek-praktek patologi dalam
birokrasi. Dengan penegakan hukum yang baik maka indikasi untuk
melakukan kesalahan akan terhapus karena para birokrat akan merasa
takut dengan ancaman hukum.

3. Transparansi. Melalui prinsip transparansi maka segala hal yang


dilakukan oleh pemerintah atau birokrat dapat di kontrol oleh masyarakat
melalui informasi yang terbuka dan bebas diakses. Transparansi ini
mendorong birokrasi untuk senantiasa menjalankan aturan sesuai
ketentuan dan perundang-undangan, karena bila tidak sasuai
masyarakat pasti mengetahui dan melakukan penututan.

29
4. Responsiveness. Pradigama baru birokrasi menekanakan bahwa
pemerintah harus dapat melayani kebutuhan masyarakat umum dan
memberi respon terhadap tuntutan pembangunan. Patologi yang selama
ini terjadi dimana pemerintah dilayani oleh masyarakat, maka dengan
prinsip responsiveness pemerintah harus sedapat mungkin memberikan
pelayanan kepada stakeholders.

5. Effectiveness and efficiency. Pemborosan yang terjadi dalam praktek


pengelolaan organisasi birokrasi dapat diminimalisir oleh prinsip ini.
Terutama dalam pengelolaan anggaran pemerintah.

6. Accountability. Melalui pertanggungjawaban kepada publik maka


birokrasi menjadi hati-hati dalam bertindak, dengan akuntabilitas publik
pemerintah harus memberikan keterangan yang tepat dan jelas tentang
kinerjanya secara keseluruhan.

7. Strategic vision. Melalui straegi visi maka akan tumbuh dalam setiap
birokrat akan nilai-nilai idealisme dan harapan-harapan organisasi dan
negara untuk masa yang akan datang. Nilai-nilai dan harapan-harapan
ini akan memeberikan kesan praktek pelaksaan pekerjaan birokrasi. 

Ada beberapa cara penanganan yang dilakukan untuk virus Patologi


Birokrasi antara lain sebagai berikut. Penanganan virus penyakit nepotisme
dalam administrasi seharusnya dilakukan secara terus menerus, karena
kemungkinan akan berkembang apabila kita tidak waspada. Tindakan yang
dilakukan itu merupakan suatu permulaan karena diawali oleh pemikiran yang
dilandasi wawasan keilmuan,  ketangguhan moralitas, dan keteguhan iman.
Oleh sebab itu kita semua harus senantiasa menjunjung tinggi niali kebenaran
sehingga virus-virus penyakit nepotisme itu tidak akan mengancam kehidupan
kita setiap saat. Sebaikanya semua manusia yang terlibat dalam kerja sama
untuk melakukan aktivitas adminsitrasi saling mengontorol dan mengingatkan
antara satu dengan yang lainnya tentang bahanya virus penyakit nepotisme.

30
Penaganan virus patologi kolusi dalam berbagai aktivitas admnistrasi
diharapkan dapat tercipta sebuah pengaturan hubungan dan keharmonisan
kerja antar sesame manusia yang terkait dalam bentuk kerja sama. Diharapkan
pula terciptanya keteraturan kerja yang dilakukan oleh seluruh unsur yang ada
dalam administrasi. Tindakan penanganan virus tersebut bukanlah menjadi
akhir persoalan, malainkan akan berdinamisasi sesuai dengan tuntutan
perubahan kebutuhan anggota yang terkait dalam kerjasama. Penaganan virus
patologi kolusi dalam administrasi yang tidak tepat terutama konsultan yang
bukan ahli dalam rangka menerapi virus patologi kolusi sebenarnya bukan saja
merugikan manusia yang terkait dalam kerjasama tetapi mungkin manusia
lainnya yang berada diluar ikatan kerjasama.
Untuk pengobatan atau menerapi penyakit atau patologi korupsi dapat
dilakukan langkah - langkah :
 penyadaran etika
 penyadaran moralitas
 peningkatan keimanan
 kelayakan hidup
 penegakan peraturan
 pemberian pemahaman
 pemberian sanksi

Penanganan virus patologi keserakahan dalam administrasi diperlukan


ketegasan dan kejujuran secara individual disamping harus pula diperlakukan
atau dengan katalain dispesialisasikan untuk dapat memahami bahwa
keserakahan dengan merampas hak orang lain disamping mendapat hukuman
moral juga mendapatkan jeratan hukum yang berlaku.
Untuk memerangi patologi egoisme yang menyerang dalam pelaksanaan
aktivitas administrasi sebenarnya banyak cara yang dapat dilakukan agar hasil
yang diharapkan dalam ikatan kerjasama itu dapat terwujud dengan baik.
Langkah-langkah untuk memerangi patologi tersebut adalah :

31
 melalui interaksi social
 melakukan keterbukaan
 malalui penididikan dan pelatihan
 melalui kelompok informal dan kelompok formal
Berikut ini adalah langkah-langkah untuk mencegah berkembang
biaknya virus patologi persekongkolan jabatan :
 Pengisian atau rekrutmen jabatan
 Batasan kewenagan dan tanggung jawab dalam jabatan
 Persyaratan jabatan
 Penghasilan jabatan.
Bagaimana mengurangi atau menghilangkan persekongkolan pekerjaan
dalam suatu ikatan dalam bentuk kerjasama yang dewasa ini dimana - mana
terdengar jerit tangis manusia yang tidak memiliki kemampuan itu. Yang perlu
diciptakan adalah :
 Menciptakan kondisi sosial yang baik
 Menciptakan emosional yang cerdas
 Menciptakan intelektualitas yang baik
 Menciptakan karakter yang baik
 Menciptakan spiritualitas yang baik

Terhadap manusia yang mengalami atau menderita virus penyakit


persekongkolan status ini sebaiknya memberikan langkah - langkah :

a. Menanamkan pengertian pemahaman tentang virus penyakit


persekongkolan status dalam aktivitas administrasi yang
sesungguhnya bukan saja akan merugikan sekelompok orang
melainkan lebih pada perkembangan dan penguatan proses
administrasi itu sendiri dan pencapaian tujuan yang efektif, efisian
dan rasional.
b. Memberikan kesadaran bahwa hasil yang dicapai akibat dari virus
penyakit ini akan lebih banyak kerugian dan kesengsaraan bila
dibandingkan dengan manfaat dan keuntungan yang diterima

32
c. Memberikan teknik atau cara menghindari sehinggga semua anggota
dalam proses kerjasama aktivitas dapat terindar dari virus penyakit
ini.

Sumber lain yang juga berupaya memberantas patologi birokrasi


menyebutkan berikut alternatif pemecahan masalah patologi di tubuh birokrasi
di Indonesia dalam membangun pelayanan publik yang efisien, responsif, dan
akuntabel dan transparan perlu ditetapkan kebijkan yang menjadi pedoman
perilaku aparat birokrasi pemerintah sebagai berikut:
 Dalam hubungan dengan berpola patron, klien tidak memiliki standar
pelayanan yang jelas/pasti, tidak kreatif. Perlu membuat peraturan
perundang - undangan pelayanan publik yang memihak pada rakyat.

 Dalam hubungan dengan struktur yang gemuk, kinerja berbelit – belit,


perlu dilakukan restrukturisasi brokrasi pelayanan publik.

 Untuk mengatasi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme selain hal diatas


diharapkan pemerintah menetapkan perundangan dibidang infomatika
(IT) sebagai bagian pengembangan dan pemanfaatan e - goverment
agar penyelenggaraan pelayanan publik terdapat transparasi dan saling
kontrol.

 Setiap daerah provinsi dan kabupaten dituntut membuat Perda yang


jelas mengatur secara seimbang hak dan kewajiban dari penyelenggara
dan pengguna pelayanan publik.

 Setiap daerah diperlukan lembaga Ombusman. Lembaga ini bisa


berfungsiingin mendudukan warga pada pelayanan yang prima.
Ombusman harus diberikan kewenangan yang memadai untuk
melakukan investigasi dan mencari penyelesaian yang adil terhadap

33
perselisihan antara pengguna jasa dan penyelenggara dalam proses
pelayanan publik.

 Peran kualitas sumber daya aparatur sangat mempengaruhi kualitas


pelayanan, untuk itu kemampuan kognitif yang bersumber dari
intelegensi dan pengalaman, skill atau ketrampilan, yang didukung oleh
sikap (attitude) merupakan faktor yang dapat digunakan untuk
memecahkan masalah patologi atau penyakit birokrasi yang
berhubungan dengan pelayanan publik di Indonesia. Untuk itu pelatihan
diharapkan mampu menjadi program yang berkelanjutan agar sumber
daya aparatur memeliki kecerdasan inteltual,emosional dan spiritual
sebagai landasan dalam pelayanan publik.

Kutipan Lord Acton (1972), ”Power tends to corrupt, abolute power


corrupt absolutlely” (Kekuasan cenderung untuk berbuat korupsi, kekuasan
yang absolut berkorupsi secara absolut pula) secara implisit menjelaskan
hubungan bagaimana seseorang yang berkuasa terlalu lama akan mempunyai
kecenderungan untuk menyelewengkan kekuasannya. Manifestasinya dalam
bentuk KKN.
Sehingga langkah strategis pertama yang harus diambil adalah
menempatkan para birokrat yang sudah terlalu lama berkuasa berkecimpung di
dalam urusan pelayanan ke posisi yang lain (tour of duty). Baik itu rotasi
horisontal ataupun promosi vertikal.
Langkah strategis yang kedua adalah dengan sedini mungkin
mengenalkan teknologi informasi di lingkungan Pemerintah. Yang pertama
dengan menghindarkan interaksi/transaksi uang cash antara pelanggan dan
pelayan. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa semakin sering seseorang
mengadakan kontak langsung dengan uang tunai, semakin besar pula
kesempatan orang itu untuk mengadakan KKN. Walaupun katakanlah sudah
secara ekspilist diterangkan biaya serta waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan proses pelayanan, akan tetapi praktek di lapangan akan
berbicara lain. Hal seperti ini dapat disiasati dengan menyediakan mesin.

34
Contoh kongkrit yang mungkin bisa diaplikasikan adalah dengan
pengadaan mesin pencetak perangko ataupun kupon sebagai pengganti uang
tunai (stamp vending machine) seperti yang telah dilaksanakan di Jepang.
Maksudnya, setiap formulir aplikasi permohonan pelayanan hanya butuh
sehelai “perangko” ataupun “kupon” bertuliskan besaran biaya yang dibutuhkan
untuk proses penyelesaiannya. Hal ini akan membawa konsekuensi bahwa
seseorang yang bertugas melayani pelanggan tidak akan disibukkan atau
direpotkan dengan urusan uang tunai di sekitar loket mereka. Mereka hanya
akan berkonsentrasi di seputaran urusan administrasi persuratan saja, tidak
ada yang lain. Hal ini cukup efektif dalam menekan angka kolusi di Jepang
yang biasa disebut dalam ungkapan shuden no shita (lengan baju bawah baju
kimono). Dampak seperti inilah diharapkan dapat menekan angka KKN di
dalam proses birikrasi pelayanan publik kita.
Cara lain dapat berupa transfer uang di bank dengan sistem online
dengan mengadakan kerjasama antara pihak penyedia layanan (Pemerintah
Daerah) dengan pihak bank. Yang kedua, ditinjau dari sudut pandang
pengguna jasa pelayanan, yaitu dengan memperkenalkan budaya antri yang
tersistematis melalui pengadaan mesin antri (queuing machine). Kenapa
budaya antri? Karena masyarakat Indonesia pada umumnya masih belum
menganggap antri sebagai pola atau gaya hidup yang efektif. Sistem ini telah
banyak diaplikasikan di instansi - instansi swasta dan hasilnyapun cukup efektif
untuk menciptakan suasana yang tertib dan kondusif.
Kemudian berkenaan dari pihak birokrat sendiri sebagai penyedia
monopoli pelayanan publik, sebagai wujud pertanggungjawaban langsung
(direct responsibility) kepada pengguna jasa layanan, alangkah lebih baiknya
apabila di luar loket pelayanan dipasang nama petugas pelayanan yang
bertugas pada hari itu sehingga langkah strategis ketiga ini diharapkan apabila
terjadi ketidakpuasan pelanggan kepada penyedia jasa layanan akan langsung
dapat dicatat nama petugasnya dan segera bisa ditindaklanjuti.
Ketiga langkah strategis di atas hanyalah beberapa cara di antara sekian
banyak cara yang dapat ditempuh Pemerintah dalam mengeliminasi tindakan

35
KKN yang sudah berakar di setiap lini kehidupan bangsa kita. Memang
sebenarnya akar dari tindakan KKN ini tidak terlepas dari belum terpenuhinya
kesejahteraan aparatur negara, kaitannya dengan pendapatan take home pay
mereka. Akan tetapi, berdasarkan penelitian dari The World Bank Development
Research Group Public Service Delivery (Juni, 2001) meragukan mengenai gaji
kecil aparatur negara merupakan alasan untuk melakukan korupsi. Hanya
disebutkan disana bahwa merubah struktur penggajian mungkin suatu bagian
yang penting dalam reformasi birokrasi, tapi seharusnya jangan dilihat sebagai
alat utama untuk melawan korupsi.
Kita bersyukur bahwa RUU Pelayanan Publik yang sedang digodok di
DPR saat ini merupakan bentuk political will dari pihak Pemerintah dan DPR
dalam mengakomodasi hak serta kewajiban baik untuk birokrat maupun
masyarakat. Dan juga dengan naiknya gaji PNS mulai awal tahun depan
diharapkan dapat mendongkrak semangat aparatur negara untuk lebih giat dan
semangat dalam melayani publik sesuai dengan fungsi pamong prajanya.

d. Kesimpulan

Dari materi yang telah terurai di atas dapat di simpulkan bahwa patologi
birokrasi adalah penyakit di dalam birokrasi yang sangat menggagu jalannya
aktivitas di dalam birokrasi tersebut. Penyakit birokrasi yang terjadi bukan saja
membahayakan manusia di dalam organisasi tersebut yang melakukannya
tetapi juga orang lain di dalam organisasi tersebut akan merasakan bahaya
patologi birokrasi tersebut, bahkan lebih dari itu patologi dalam birokrasi dapat
mendatangkan bahaya bagi seluruh masyarakat.

Risman K. Umar (2002) mendifinisikan bahwa patologi birokrasi adalah


penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis,
aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta norma-
norma yang berlaku dalam birokrasi.

36
Menurut Sondang P. Siagian (1988) ada beberapa patologi birokrasi
yang dapat dijumpai, antara lain :

1. Penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab


2. Pengaburan masalah
3. Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme
4. Indikasi mempertahankan status quo
5. Empire bulding (membina kerajaan)
6. Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko
7. Ketidakpedulian pada kritik dan saran
8. Takut mengambil keputusan
9. Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi
10. Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang imajinatif
11. Minimnya pengetahuan dan keterampilan, dll.

Solusi untuk mengatasi Patologi Birokrasi yaitu:

1. Perlu adanya reformasi administrasi yang global.


2. Pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang jelas
3. Dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan transparansi.

3.2 Saran

Dari materi diatas saran dari penulis mari bersama-sama jangan terlibat
atau sekali-kali berada di dalam patologi birokrasi, tetapi marilah kita sama-
sama mencegah bahkan memberantas patologi yang ada di dalam birokrasi.

37
DAFTAR PUSTAKA

Mustafa Delly.2013. Birokrasi Pemerintahan. Penerbit Alfabeta. Bandung.


Miftah Thoha.2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Penerbit Raja Grafindo.
Jakarta.
Siagian, Sondang. P.1994.Patologi Birokrasi: Analisis, Identifikasi dan
Terapinya. Jakarta. Ghalia Indonesia
Arrosyadi.Wordpress.Com/2009/02/06/Patologi-Birokrasi
Blog.Unila.Ac.Id/Denden/Files/2009/07/Patologi-Biro.Ppt
Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Birokrasi
Http://Kerajaan-Semut.Blogspot.Com/2010/03/Teori-Birokrasi.Html
Rismankudratumar.Blogspot.Com/.../Perubahan-Patologi-Birokrasi-Ke
Etika_10.Html
V318.Wordpress.Com/2007/11/08/Patologi-Birokrasi/

38

Anda mungkin juga menyukai