Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

TEORI POLITIK KLASIK


DOSEN PENGAMPU : Very Wahyudi, M.A.

Disusun Oleh

Baiq Haviva Rizky Widiani


(NIM. 180603005)

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
November 2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
Nya kepada kami sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah “TEORI
POLITIK KLASIK” ini dengan lancar. Shalawat dan salam selalu tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang selalu di tunggu syafa’atnya.
Dalam penulisan makalah ini tentu terdapat kekurangan dan
kesalahan. Maka dari itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun
bagi kelanjutan penulisan makalah ini.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Mataram, 01 November 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................


KATA PENGANTAR .............................................................................................. 2
DAFTAR ISI ............................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 5
1.3 Tujuan .......................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................... 6


2.1 Pemikiran politik Plato ................................................................................ 6
2.2 Pemikiran politik Aristoteles ....................................................................... 8
2.3 Pemikiran politik Agustinus ........................................................................ 12
2.4 Pemikiran politik Martin Luther .................................................................. 14

BAB III PENUTUP .................................................................................................. 19


3.1 Pemikiran politik Plato ................................................................................ 19
3.2 Pemikiran politik Aristoteles ....................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 20

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Teori politik memiliki dua makna : makna pertama menunjuk teori sebagai
pemikiran spekulatif tentang bentuk dan tata cara pengaturan masyarakat yang
ideal, makna kedua menunjuk pada kajian sistematis tentang segala kegiatan
dalam masyarakat untuk hidup dalam kebersamaan. Contoh teori politik yang
merupakan pemikiran spekulatif adalah teori politik Marxis-Leninis atau
komunisme, contoh lain adalah teori politik yang berdasar pada pemikiran Adam
Smith kapitalisme. Pemikiran Tan Malaka dalam tulisannya Madilog , merupakan
contoh teori politik Indonesia. Nasakom yang diajukan Soekarno merupakan
contoh lain.
Semua phenomena politik ditafsirkan dalam rangka tujuan dan pedoman
dan patokan ini. Teori-teori semacam ini mencoba mengatur hubungan-hubungan
antara anggota masyarakat sedemikian rupa sehingga di satu pihak memberi
kepuasan perorangan, dan di pihak lain dapat membimbingnya menuju ke suatu
struktur masyarakat politik yang stabil dan dinamis. Untuk keperluan itu teori-
teori politik semacam ini memperjuangkan suatu kode etik atau tata cara yang
harus dijadikan pegangan dalam kehidupan politik. Fungsi utama dari teori-teori
politik ini ialah mendidik warga masyarakat mengenai norma-norma dan nilai-
nilai itu.
Serangkaian konsep dalam bentuk preposisi yang saling berkaitan, yang
memberi gambaran sistematis tentng suatu gejala disebut teori yang jug
merupakan abstraksi pemikiran dari fenomena politik yang kompleks menjadi
sederhana dan dapat menjelaskan fenomena politik yang terjadi. Dalam menyusun
sebuah generalisasi itu teori selalu memakai konsep-konsep. Konsep itu lahir
dalam pikiran manusai dan karena itu bersifat abstrak, sekalipun fakta-fakta dapat
dipakai sebagai batu loncatan.

4
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimana Pemikiran plato ?
1.2.2. Bagaimana Pemikiran aristoteles ?
1.2.3. Bagaimana Pemikiran agustinus ?
1.2.4. Bagaimana Pemikiran martin luther ?

1.3 Tujuan
Penulisan makalah ini selain bertujuan sebagai tugas tetapi juga sebagai
referensi tambahan ilmu pengetahuan terutama mengenai teori – teori politik
klasik.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pemikiran Politik Plato


Plato lahir di Athena pada 428 SM. Sampai Plato mencapai usia
pertengahan 20-an, Athena terlibat dalam perang dan konflik militer yang panjang
melawan Sparta, yang dikenal dengan Perang Peloponnesia.
Plato berasal dari kalangan keluarga terpandang. Ayahnya adalah
keturunan Codrus, salah satu dari raja-raja pertama Athena. Sedangkan ibunya
adalah keturunan Solon, tokoh terkemuka yang mereformasi konstitusi Athena.
Jadi, Plato secara alamiah diposisikan untuk berperan aktif dalam kehidupan
politik. Namun, sayangnya hal ini tak pernah terjadi.
Walaupun berharap bisa memainkan peran signifikan dalam komunitas
politiknya, Plato terus-menerus merasa tersisihkan. Sebagaimana diungkapkan
dalam otobiografinya Seventh Letter, Plato tidak dapat mengidentifikasikan
dirinya dengan partai politik mana pun yang ada saat itu atau dengan rezim-rezim
korup yang terus berganti. Setiap rezim itu membuat kedudukan Athena semakin
merosot.
Plato adalah murid Socrates, yang dipandang Plato sebagai orang paling
adil dan bermoral di masanya. Socrates adalah juga orang yang paling banyak
memberi pengaruh pada Plato dalam pemikiran filsafat.
Dari sebagian besar karya Plato, terlihat bahwa pemikiran politik Plato
sangat jauh dari asumsi-asumsi yang dianggap sentral bagi tradisi pemikiran
liberal dan demokratis. Padahal tradisi liberal dan demokratis ini sendiri justru
yang sekarang mendominasi filsafat politik.
Plato jelas mengeritik kesetaraan demokratis dan kebebasan dalam
Republic Buku VIII. Kritik serupa terlihat di Buku VI, dalam analogi antara
kewarganegaraan dan keterampilan kelautan, sebuah tema yang dielaborasi lewat
investigasi keterampilan politik di Statesman.
Orang harus berusaha dengan susah payah, untuk menemukan sikap ramah
Plato terhadap hal-hal seperti kesetaraan umat manusia, kebebasan kesadaran, hak
partisipasi dalam politik, pemerintahan terbatas, saluran konstitusional, dan

6
sebagainya. Ide-ide utama Plato adalah: pemerintahan oleh filsuf, penghapusan
institusi keluarga dan harta milik, dan kebohongan terhormat (noble lies).
Dengan memberi perlakuan istimewa pada satu kelompok tertentu untuk
berkuasa yakni, kaum wali dan para filsuf jelas pilihan Plato ini bertentangan
dengan semangat kebebasan dan demokratis, yang menuntut kesetaraan bagi
seluruh warganegara.
Bolehnya pemerintah atau penguasa berbohong kepada rakyat, dengan
menciptakan mitos-mitos palsu, dan menjejalkannya kepada generasi muda lewat
indoktrinasi di lembaga-lembaga pendidikan, juga tidak bisa diterima dalam
tradisi pemikiran demokratis.
Di Amerika dan sejumlah negara Eropa, ada hak warganegara untuk
memperoleh informasi yang benar. Pemberian informasi yang keliru secara
sengaja kepada warganegara akan dipandang sebagai pelanggaran etika plitik, dan
secara moral tak bisa diterima. Kasus Presiden George W. Bush, yang
membohongi rakyat Amerika tentang adanya senjata pemusnah massal di Irak,
sebagai dalih untuk invasi militer ke Irak, sampai saat ini terus nenuai kecaman
pedas.
Selain itu, institusi pendidikan yang sengaja difungsikan untuk
mengajarkan kebohongan, bukan saja bertentangan dengan hak-hak demokratis
warga, tetapi juga bertentangan dengan semangat ilmu filsafat untuk mencari
kebenaran.
Meski demikian, pemerintahan oleh para filsuf bukanlah sesuatu ide yang
mustahil diwujudkan. Republik Plato, tidak seperti Utopia-Utopia modern,
tampaknya dimaksudkan untuk betul-betul terwujud. Pada masa itu, mungkin
impian Plato ini tidak sefantastis yang kita bayangkan, jika melihat contoh yang
sudah dilakukan Sparta. Kekuasaan oleh para filsuf telah diusahakan oleh
Pythagoras. Di zaman Plato, Archytas yang menuruti ajaran Pythagoras juga
secara politik berpengaruh di wilayah Taras, ketika Plato mengunjungi Sicily dan
Italia selatan.
Adalah praktik umum bagi kota-kota waktu itu untuk mempekerjakan
seorang bijak (filsuf) untuk merancang undang-undang mereka. Solon telah
melakukan hal ini untuk orang Athena, dan Protagoras untuk Thurii. Koloni-

7
koloni pada masa itu sepenuhnya bebas dari kendali kota-kota induknya, dan
kondisi itu akan cukup memungkinkan bagi sekelompok penganut ajaran Plato
untuk mendirikan Republik (dengan pemerintahan para filsuf) di pesisir Spanyol
atau Gaul.
Sayangnya, Plato kebetulan justru pergi ke Syracuse, sebuah kota
perdagangan yang terlibat dalam perang berkepanjangan dengan Carthage. Dalam
atmosfir semacam itu, tak seorang filsuf pun yang bisa mencapai banyak hal. Pada
generasi berikutnya, bangkitnya Macedonia membuat semua negara kecil jadi
usang, dan menyebabkan kerapuhan pada setiap eksperimen politik dalam versi
miniatur.
Patut dicatat, pemikiran politik Plato sendiri sebenarnya juga mengalami
pergeseran. Dalam karyanya Laws, misalnya, Plato kemudian bersikap lebih
ramah pada demokrasi, karena ia mengadopsi metafisika tentang nilai, yang
mengakui sumber-sumber epistemologis dari kalangan non-filsuf.
Filsafat politik yang diuraikan oleh Plato sebagai cerminan teori politik.
Dalam teori ini yakni filsafat politik tentang keberadaan manusia di dunia terdiri
dari tiga bagian yaitu, Pikiran atau akal, Semangat/keberanian dan
Nafsu/keinginan berkuasa. Plato memiliki idealisme yang secara operasional
meliputi : Pengertian budi yang akan menentukan tujuan dan nilai dari pada
penghidupan etik, Pengertian matematik, Etika hidup manusia yaitu hidup senang
dan bahagia dan bersifat intelektual dan rasional, Teori tentang negara ideal, Teori
tentang asal mula negara, tujuan negara, fungsi negara dan bentuk negara,
Penggolongan dari kelas dalam negara, Teori tentang keadilan dalam negara dan
Tori kekuasaan Plato.

2.2. Pemikiran Politik Aristoteles


Aristoteles adalah murid Plato yang melanjutkan tradisi gurunya sebagai
ahli filsafat yang juga memberikan pelajaran-pelajaran dengan membuka sekolah.
Lahir di kota Stagira pada tahun 384 SM. Pada umur 18 tahun ia pergi ke Athena
dan belajar pada Plato selama dua puluh tahun lamanya. Hanya setelah Plato
meninggal ia baru meninggalkan Athena. Tulisan-tulisan Aristoteles meliputi
bidang-bidang yang amat luas, di antaranya teologi, metafisika, etika, ekonomi,

8
politik, dan juga fisika. Pemikiran Aristoteles mengenai politik dapat dilihat
dalam kitabnya Politica atau Politik.
Kitab Politik Aristoteles berbeda dengan kitab gurunya Plato Republik,
yang walupun memperlihatkan unsure cita-cita tetapi lebih memperhatikan
kenyataan. Cara Aristoteles yang induksi inilah juga yang membedakannya
dengan metode gurunya yang deduktif. Perbedaan-perbedaan tersebut juga dapat
dilihat dari hasil karya masing-masing. Aristoteles mengemukakan kritiknya
terhadap Plato bahwa karya-karya Plato tersebut sangat tinggi nilainya, tetapi
sifatnya terlalu radikal dan spekulatif. Aristoteles memiliki minat dalam hal-hal
praktis, berbeda dengan Plato yang memprioritaskan bentuk-bentuk abstrak.
Aristoteles percaya bahwa dunia materi memberikan objek-objek yang sesuai
untuk studi ilmiah, bukan dari perenungan terhadap gagasan-gagasan abstrak.
Sehingga Aristoteles juga disebut sebagai Bapak Ilmu Politik yang praktis dan
realis.
Teori politik Aristoteles bernuansa filsafat politik yang meliputi : Filsafat
teoritis, Filsafat praktek dan Filsafat produktif. Teori negara yang dinyatakan
sebagai bentuk persekutuan hidup yang akrab di antara warga negara untuk
menciptakan persatuan yang kukuh. Untuk itu perlu dibentuk negara kota (Polis).
Asal mula negara, Negara dibentuk berawal dari persekutuan desa dan lama
kelamaan membentuk polis atau negara kota. Tujuan negara harus disesuaikan
dengan keinginan warga negara merupakan kebaikan yang tertinggi. Aristoteles
berpendapat sumbu kekuasaan dalam negara yaitu hukum.Oleh karena itu para
penguasa harus memiliki pengetahuan dan kebajikan yang sempurna. Sedangkan
warga negara adalah manusia yang masih mampu berperan.
Menurut Aristoteles asal usul negara tidak bisa dipisahkan dari watak
politik manusia. Manusia menurut Aristoteles adalah makhluk yang berpolitik
(Aon politicon), karena demikianlah watak alamiahnya. Negara dibutuhkan
sebagai sarana untuk aktualisasi watak manusia itu. Dilain pihak, Aristoteles
menganalogikan negara sebagai organisasi tubuh, negara lahir, dalam bentuknya
yang sederhana (primitif), kemudian berkembang menjadi dewasa dan kuat,
setelah itu hancur. Mengenai ukuran atau luas wilayah satu negara, Aristoteles
berpendapat bahwa sebuah negara hendaknya tidak terlalu luas, tetapi juga tidak

9
terlalu kecil. Sebab negara yang kecil sulit mempertahankan diri, mudah dikuasai
negara lain. Sedangkan negara yang luas atau terlampau besar akan sulit menjaga
kontrol atas negaranya. Negara ideal menurutnya adalah seperti polis (kota) atau
city States (Negara-kota).
Menurut Aristoteles, negara adalah lembaga politik yang paling berdaulat.
Meski bukan berarti negara tidak memiliki batasan kekuasaan. Negara memiliki
kekuasaan tertinggi hanyalah karena Ia merupakan lembaga politik yang memiliki
tujuan yang paling tinggi dan mulia. Tujuan dibentuknya negara adalah untuk
mensejahterakan seluruh warga negara, bukan individu- individu tertentu (Seperti
Plato).
Aristoteles menerapkan beberapa kriteria dalam melihat bentuk negara,
antara lain :
1. Berapa jumlah orang yang memegang kekuasaan, apakah dipegang satu orang,
beberapa orang, ataukah banyak orang.
2. Apakah tujuan di bentuknya negara, apakah untuk mensejahterakan dan demi
kebaikan umum, ataukah hanya untuk si penguasa saja.
Berdasarkan kriteria tersebut, Aristoteles mengklasifikasikan negara ke
dalam beberapa kategori, yaitu:
1. Monarki, Apabila kekuasaan terletak ditangan satu orang, seorang penguasa
yang filsuf, arif, dan bijaksana, bertujuan untuk kebaikan kesejahteraan semua.
Ini bentuk pemerintah terbaik, negara ideal namun Aristoteles menyadari
bahwa monarki nyaris tidak mungkin ada dalam realitas.
2. Tirani/otoriter, Dimana kekuasaan ditangan satu orang dan kekuasaan demi
kepentingan pribadi dan sewenang – wenang.
3. Aristokrasi, Apabila kekuasaan dikuasai oleh beberapa orang dan bertujuan
baik untuk kepentingan bersama/umum.
4. Oligarkhi, dimana kekuasaan dipegang oleh beberapa orang dan bukan untuk
kesejahteraan bersama, tapi untuk pengumpulan harta dan kekayaan semata.
5. Politea, Apabila kekuasaan terletak ditangan orang banyak/rakyat dan bertujuan
demi kepentingan semua masyarakat. Tetapi apabila negara dipegang oleh
banyak orang (miskin dan kurang terdidik).

10
6. Demokrasi, dimana kekuasaan dipegang oleh banyak orang/rakyat, dan hanya
bertujuan untuk kepentingan mereka. (Demokrasi seakan memiliki konotasi
negatif dan Aristoteles tidak menyebutnya sebagai bentuk negara ideal).
Aristoteles menyebutkan terdapat tiga bentuk pemerintah baik, yang
sanggup memanusiakan manusia, yakni monarki, aristokrasi, dan
politeia/demokrasi konstitusional. Monarki adalah bentuk pemerintahan dengan
kekuasaan tertinggi dalam negara berada pada satu tangan orang dan tujuan
pemerintahan adalah kepentingan, kebaikan, dan kesejahteraan umum. Aristokasi
merupakan bentuk pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan
beberapa orang dan tujuan memerintah adalah kepentingan, kebaikan, dan
kesejahteraan umum. Sedangkan politea meletakkan kekuasaan tertinggi pada
kepentingan banyak orang dan tujuan memerintahnya adalah untuk kepentingan,
kebaikan, dan kesejahteraan umum.
Bagi Aristoteles bentuk negara yang paling ideal adalah monarki yang
diperintah oleh seorang filsuf raja. Oleh karena seorang filsuf raja adalah dia yang
paling unggul dalam kebajikan, maka negara yang diperintah oleh seorang filsuf
raja ini tidak memerlukan hukum sebab kebajikan berada di atas hukum. Namun
bentuk monarki yang sedemikian ideal menurut Aristoteles sangatlah sulit dalam
kenyataan karena sulitnya pula menemukan seseorang yang benar-benar paling
unggul dalam kebajikan dan kearifan yang merupakan kualitas dari sang filsuf
raja. Jikapun ditemukan kualitas tersebut dia patut disebut sebagai dewa di antara
manusia. Sehingga bagi Aristoteles bentuk yang demikian hanya memungkinkan
secara teoritis. Oleh sebab itu bagi Aristoteles yang ideal belum tentu benar-benar
bermanfaat bagi manusia. Apa artinya bia sesuatu itu sangat baik, indah, dan
menawan hati (seperti gagasan Plato) tetapi hanya berada dalam khayalan belaka?
Yang dibutukan manusia adalah yang realistis. Pemikiran inilah yang kemudian
mendorongnya jatuh pada pilihan yang ketiga, yaitu bentuk politeia dengan
kekuasaan tertinggi berada di tangan seluruh warga negara dan pelaksanan
pemerintahan oleh pemerintah berdasarkan kontitusi demi kebaikan, kepentingan,
dan kesejahteraan umum. Kendati politeia bukan negara yang ideal, namun itu
bentuk yang paling realistis dan sangat dianjurkan.

11
2.3. Pemikiran Politik Agustinus
Agustinus lahir di Tagaste, Numaida, Afrika Utara, pada 13 November
354 Masehi. Agustinus anak dari Patricius merupakan seorang penganut
Paganisme, sedangkan ibunya bernama Monica merupakan seorang penganut
Katolik yang taat.
Agustinus merupakan anak yang tergolong cerdas, pada masa dewasa ia
menjadi seorang penganut ajaran Manicheisme. Manicheisme merupakan sebuah
ajaran spiritualisme, ajaran ini dikembangkan oleh Mani, seorang rasul di zaman
Babilonia kuno.
Inti dari ajaran Manicheisme adalah keyakinan bahwa dalam kehidupan ini
selalu terjadi konflik permanen antara penguasa terang dengan penguasa
kegelapan, antara kerajaan kegelapan dengan kerajaan terang.
Manicheisme juga menolak gagasan mengenai dosa dalam agama
Kristiani, aliran ini merupakan suatu aliran Gnosis yang dualistik, ia menganut
aliran Manicheisme selama bertahun-tahun. Selain itu Agustinus juga memperoleh
pendidikan kebudayaan Latin yang terbaik.
Ketika remaja, sekitar tahun 370 M Agustinus menetap di Carthago. Di
kota tersebut kehidupan Agustinus penuh dengan dosa, hidup tanpa status
pernikahan dengan seorang perempuan selama 14 tahun, dari hubungan tersebut
melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Adeodatus, dan diakui oleh
Agustinus bahwa anaknya merupakan buah dari dosanya.
Kemudian pada tahun 383 M ia pergi ke Roma dan Milan. Di sana ia
menjadi seorang guru, Agustinus juga meninggalkan keyakinan yang dianutnya,
yakni ajaran Manicheisme. Hal tersebut dilakukan oleh Agustinus setelah
mengalami pergulatan batin dan krisis spiritual-moralitas.
Pada saat krisis spiritual-moralitas, Agustinus mengalami sikap skeptis
yang berdampak pada jiwanya yang selalu resah dan menolak kebenaran yang
datang dari ajaran agama. Agustinus juga dalam penerawangan batinnya untuk
mencari suatu kebenaran yang hakiki.
Setelah Agustinus mengalami sikap skeptis yang berdampak pada jiwanya,
kemudian ia menemukan kebenaran yang datang dari ajaran pemikir Yunani
Kuno, seperti Plato dan Aristoteles.

12
Plato memiliki pengaruh khusus terhadap pemikiran-pemikiran Agustinus.
Karena pemikiran Plato memberikan kesan mendalam terhadap Agustinus, hal ini
yang menjadikan Agustinus seorang Neo-Platonis. Pengaruh tersebut sangat kuat
hingga masa ia menjadi seorang uskup Katolik beberapa tahun setelah itu, dan
akhirnya ia bertemu dengan Santo Ambrosius.
Santo Ambrosius merupakan seorang teolog yang berasal dari kota Hippo.
Kehidupan Ambrosius penuh dengan pengabdian dan perjuangan bagi perjalanan
agama Kristiani. Bukan hanya sekedar menjadi seorang yang netral terhadap
persoalan politik, ia juga seorang teolog yang memiliki prinsip politik yang tegas.
Filsafat sangat memikat hati Agustinus, oleh sebab itu sangat
mempengaruhi alam pikirannya ialah filsafat Plato dan Neo-Platonisme.
Pemikiran-pemikiran filsafat Agustinus sangat dipengaruhi oleh Platonisme dan
Neo-Platonisme, tetapi pemikiran Agustinus juga dipengaruhi oleh Aristotelisme
dan Stoisisme.
Sedangkan pemikiran teologis Agustinus dapat terlihat dari perdebatan
melawan ajaran-ajaran sesat. Paparan pokok-pokok pemikiran Agustinus, hendak
menunjukkan betapa pemikiran filsafat dan teologis Agustinus telah berbaur
menjadi satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan.
Bagi Agustinus, filsafat haruslah mengabdi kepada teologi filsafat, tidak
diperbolehkan memiliki otonomi iman kristiani. Filsafat hanya memungkinkan
mengenal dan mencapai kebenaran sejati, jika dilakukan sebagai filsafat Kristiani
atau kebijaksanaan Kristiani.
Menurut Agustinus, dalam filsafat Kristiani haruslah terlihat jelas bahwa
tindakan iman adalah tindakan rasional manusia. Agustinus juga mengatakan
bahwa manusia percaya agar ia mengerti.
Di dalam bukunya yang berjudul, De Doctrina Christiana, ia menjelaskan
bagaimana cara-cara berbagai disiplin intelektual dapat melayani serta membantu
orang-orang percaya untuk memahami imannya.
Agustinus melihat perbandingan Negara sekuler dan negara Tuhan. Negara
sekuler dianggap sebagai penyelewengan oleh para penguasa yang arif dan
bijaksana sehingga kekuasaan bagaikan keangkuhan dengan berbagai kejahatan.
Sedangkan negara Tuhan menghargai segala sesuatu yang baik dan

13
mengutamakan nilai kebenaran. Perkembangan negara sekuler dalam bentuk
negara modern dimana penguasa berupaya untuk menggunakan cara paksa
menurut kehendak pribadi. Sedangkan perkembangan negara Tuhan didasarkan
atas kasih Tuhan. Masalah politik negara sekuler yang membawa ketidakstabilan
dari konflik kepentingan yang dominan, rakus kekuasaan, ketidakadilan dalam
pengadilan, peperangan. Keadilan politik dalam negara Tuhan karena ditopang
oleh adanya nilai kepercayaan dan keyakinan tentang :
1. Tuhan menjadi raja sebagai dasar Negara
2. Keadilan diletakkan sebagai dasar Negara
3. Kehidupan warga negara penuh kepatuhan
4. Penguasa bertindak selaku pelayan dan pengabdi masyarakat.

2.4. Pemikiran Politik Martin Luther


Dalam karyanya, Address to the Christian Nobility, diterbitkan pada tahun
1520, Luther menunjukkan penerimaanya akan prinsip tradisional bahwa
kekuasaan politik terletak pada semua orang dan bahwa mereka yang akan
menjalankan harus melaksanakanya dengan persetujuan rakyat. Karena semua
orang kristen “mempunyai kedudukan yang sama, tidak hanya orang
melaksanakan kepuasaan diri berkuasa dan, tanpa persetujuan dan keputusan
orang lain, merasa bisa melakukan segala sesuatu yang diatasnya kita mempunyai
kekuasaan yang sama. Hanya dengan persetujuan dan penunjukkan masyarakatlah
individu bisa menjalankan apa yang dimiliki secara bersama oleh semua orang.”
Pada saat yang sama, Luther juga berpegangan pada proposisi bahwa kekuasaan
politik ditentukan oleh wahyu sebagaimana pemikir abad sebelumnya, ia tidak
melihat adanya inkonsistensi dalam teori bahwa kekuasaan politik pada saat yan
sama adalah dari Tuhan dan dari rakyat. Namun demikian, karena ia lebih
tergantung pada raja untuk mendapatkan dukungan, ia cenderung menekankan
asal usul keagamaan dari otoritas politik dan mengabaikan peran persetujuan
rakyat.
Sebelum menjelaskan hubungan antara gereja dan negara, Luther berusaha
menunjukkan bahwa baik pendeta atau orang awam, sebagai individu tunduk pada
yuridiksi penuh negara dalam semua masalah yang tidak hanya terbatas pada

14
masalah agama dan spiritual. Karena kekuasaan sekuler ditentukan oleh Tuhan
untuk menghukum pelaku kejahatan dan melindungi mereka yang mematuhi
hukum kita harus membiarkan mereka bebas melakukan pekerjaan mereka di
negara-negara kristen dan tanpa pilih kasih apakah bagi paus, pendeta, pastur,
biawaran, biarawati, dan orang lain. Otoritas penguasa sekuler ini bahkan
mencakup koreksi terhadap berbagai penyelewengan yang ada dalam organisasi
gereja jika reformasi masih dibutuhkan oleh gereja dan paus gagal menjalanknya
maka biarkan orang yang menjadi anggota sejati dari masyarakat kristen
mengambil langkah-langkah sedini mungkin untuk membangun lembaga yang
benar-benar bebas. Tidak ada orang yang mampu melakukan ini secara lebih baik
daripada otoritas sekuler, khususnya karena mereka adalah sama-sama orang
kristen, sama pendeta dan sama mempunyai otoritas dalam semua hal.
Umumnya karena perkembangan cepat Lutheranisme di Jerman pendirinya
sampai menyatakan supremasi yurisdiksi negara dalam wiayah gereja meskipun
pernyataan-pernyataan Luther tidak sepenuhnya eksplisit dalam masalah ini,
tindakanya adalah jelas. Ketika keberadaan seorang menteri yang terlatuh secara
khusus merupakan keharusan dan beberapa bentuk organisasi diperlukan untuk
menjaga integritas doktrinal dan memacu pertumbuhan agama baru ia berpaling
pada pemerintah sekuler untuk dukunganya. Karena kesulitan membangun
hierarki gereja yang disebebkan oleh pandanganya yang bias terhadap institusi,
dan tidak menerima organisasi gereja demokratis murnikarena
ketidakepercayaanya pada kekuasaan rakyat ia ahirnya memilih alternatif sekuler.
Di bawah sistem Luther ini sebagaimana yang pada ahirnya berjalan
pengawas dipilih oleh raja untuk mengunjungi dan mengawasi jemaah gereja dan
memberi pada pastur-pastur lokal dalam masalah dogma dan administrasi. Terkait
erat dengan wilayah yang selama ini adalah persoalan apaka kekuasaan sekuler
perlu digunakan untuk menekankan bid’ah. Luther pertama-tama mempunyai
pandangan negatif dengan alasan bahwa penguasa tidak mempunyai hak
mencampuri kehidupan spiritual seseorang. Ini merupakan tugas pendeta karena
dengan kekuatan duniawi. Namun demikian, kemudian ia meninggalkan
pandangnya ini ketika beberapa sekte fanatik seperti anabaptis, memahami
formula agama baru ”kebebasan individu keristen” secara harpiah dan

15
mengancam setabilitas agama dinegara-negara dimana luther lanisme menjadi
agama mapan. Kemudian iya mulai berpendapat bahawa pemerintah tidak boleh
membiarkan keyakinan agama subversif karena hal ini menimbulkan sengketa
sivil. Otoritas publik harus menetapkan batas-batas toreransi bagi keyakinan yang
menyimpang dan harus menggunakan kekuatan ketika batas tersebut dilanggar.
Dukungan Luther pada otoritas sekuler untuk mengatasi gereja dan
menentukan tingkat keseragaman religius mempunyai konsekuensi penting.
Agama yang dulunya mempunyai kekuasaan organisasi gereja sekarang harus
mengandalkan kekuasaan politik yang tidak dihalangi oleh hambatan intitusi
keagamaan tradisional sebagai akibat dari orientasi baru mengenai persoalan
gereja agama ini gereja-gereja luther sebenarnya menjadi gereja negara yang
diatur oleh raja-raja, sangat mirip lembaga sekuler pemerintah akibat yang jauh
dari perkiraan pendirinya. Raja-raja jerman masih mengaambil keuntungan dari
teori baru ini dengan tujuan dengan meningkatkan serta aspirasi nasionalistik
mereka.
Mungkin aspek terpenting dari teori luther dengan aksi-aksi politiknya
adalah doktrinya tentang non restritensi pada kekuasaan politik. Warga negara,
yang menyatakan kewajiban untuk patuh kepada pemerintah mereka bahkan
penguasa tersebut adalah tirani atau menyalah gunakan jabatanya mereka tidak
berhak memberontak. Tidak dibenarkan bagi seseorang keristen untuk menentang
pemerintah dengan alasan apapun. Jika penguasa mentut kepatuhan dalam hal-hal
yang berada di daerah duniawi waraga tidak mempunyai kewajiban moral untuk
mematuhinya. Tetapi bahkan dalam kasus ini ia tidak melakukan perlawanan
secara aktif tetapi harus menerima hukuman yang dijatuhkan padanya atas
ketidakpatuhanya.
Kenyataan banhwa pangeran-pangeran Jerman melakukan aliansi politik
dengan kaisar menunjukkan kesulitan teoritis akan doktrin kpatuahan pasif. Pada
ahir tahun 1529 Luther dengan jelas menunjukkan bahwa ia tidak setuju dengan
eksistensi sekarang pangeran kepada kaisar karena kaisar adalah raja dan
pemerintah yang diatas pangeran. Menentanganya dengan kekuasaan senjata
merupakan bentuk penghianatan pemberontakan persoalan ini menjadi kenyataan
pada tahun 1530 ketikan kaisar khatolik Charles V mengancam untuk memerangi

16
pangeran-pangeran protestan yang membangkang. Mereka sekarang keberatan
dengan restriksi yang ditetapkan Luther untuk menetapkan eksistensi. Mereka
beragumentasi bahwa kaisar dipilih oleh rakyat Jerman dan menjalankan
kekuasaan dengan bekerjasama dan konsekuensinya dia tidak berhak memaksakan
kehendaknya sendiri kepada mereka yang tidak setujui rakyat. Dengan alasan ini
Luther menyatakan bahwa masalah antara para pangeran dan kaisar adalah
masalah legal dan konstitusional yang paling baik diputuskan oleh hakim daripada
teolog perbedaan ini kemudian bersifat samar tetapi dengan perbedaan ini Luther
berusaha mempertahankan integritas doktrin kepatuhan, meskipun pada saat yang
sama mengakui kesulitan politik yang dihadapinya.
Luther sering sekali dituduh dengan pemikiran politiknya meski begitu,
kita harus inget ia adalah teolog pertama-pendiri besar keagamaan-dan apapun
teori politik yang dikemukakanya sepenuhnya terkait dengan tujuan keagaamnya.
Pemisahan dramatisnya dengan Roma tidak bisa dibandingakan dengan filsafat
sosial dan politik baru manapun baginya hubungan jiwa manusia dengan Tuhan
yang lebih penting daripada kedudukan manusia ia merasa bahwa jika manusia
berada dalam manusia yang sejati dengan sang pencipta, hubunganya dengaan
masyarakat akan beres dengan sendirinya. Tetapi ia tahu bahwa dalam pencapuran
historis antara politik dan agama pada abad ke-16 pembaruan agama akan tercapai
dengan mengabaikan samaseklai konsiderasi politik.
Radikalisme kegamaan Luther berada dalam pertentangan yang janggal
dengan konserpatisme ekstrimnya dalam masalah politik dengan semangat ia
mempertanyakan dan bahkan menyerang otoritas gereja tetapi terus menekaknkan
kewajiban seseorang untuk mematuhi secara ikhlas perintah negara. Pada segi
agama ia menganjurkan reformasi yang menyeluruh, tetapi pada segi politik ia
mendorong kesabaran dan kepasifan. Namun kontradiksi yang nampaknya ini
bukanya tidak logis dalam sinaran ajaran Luther. Doktrin teologisnya mungkin
bertentangan dengan otoritas gerejawi tetapi konsep watak mannusianya
menuntuk kekuasaan sipil yang kuat. Manusia secara spiritual berkuasa atas jiwa
mereka tetapi pada dasarnya mereka mengalami deprivasi. Perlu kiranya untuk
tetap mengalungkan pedangnya dileher mereka dan meminta mereka untuk tunduk
secara penuh. Karena kan membahayakn tatanan stabilitas jika orang diberi hak

17
yang bisa diakukan seenaknya untuk menentukan kapan dan dengan syarat apa
mereka tunduk pada kekuasaan sekuler. Tatanan harus dijaga dengan cara apapun
bahkan dengan kejahatan manusia dunia.

18
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Pada dasar nya setiap pandangan parah ahli politik mengenai teori politik
pada perkembangan era moderen tentunya pandangan nya pasti berbeda beda
masing – masing memiliki pemikiran tersendiri akan teori politik tetapi intinya
bahwa pandangan mereka tidak akan jauh berbeda karena konsep teori politik
ruang lingkupnya tidak jauh dari kekuasan,keputusan, kebijakan,, masyarakat,
kelas sosial, kedaulatan, hak dan kewajiban, kemerdekaan , mordenisasi,
perubahan social, pembangunan politik, negara dan lainya. Tinggal bagaiman
mana kita memahami teori tersebut. Dan pada dasarnya sama bahwa politik itu
intinya untuk memperbaiki atau menggapai kehidupan manusia kearah yang lebih
baik.

3.2. Saran
Karena banyaknya teori politik dari para tokoh dan parah ahli dalam
menerapkanya dalam suatu Negara perlu disesuiakan dengan berbagai aspek yang
ada dalam Negara tersebut dan tentuya kita juga harus paham terhadap teori
tersebut sehingga dalam pelaksanaanya paling tidak bias mendekati yang
diharapkan.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Bertens, K. 1999. “Sejarah Filsafat Yunani”. Kanisius: Yogyakarta


2. Budiardjo, Miriam. 2008. “Dasar-Dasar Ilmu Pol itik”. Gramedia: Jakarta
3. Ebenstein, Wiliam. 2006. “Isme-Isme Yang Mengguncang Dunia; Komunisme,
Fasisme, Kapitalisme, Sosialisme. PT. Agromedia Pustaka: Yogyakarta
4. El-Affendi, Abdelwahab. 1994. “Masyarakat Tak Bernegara”. LkiS :
Yogyakarta
5. Enam, Muhammad Abdullah. 2013. “Biografi Ibnu Khaldun: Kehidupan Dan
Karya Bapak Sosiologi Dunia”. Zaman: Jakarta
6. Gerald F. Gaus, Chandran Kukakthas. 2012. “Handbook TEORI POLITIK”.
Nusa Media: Bandung
7. Hardiman, F. Budi. 2007. “Filsafat Modern Dari Machiavelli Sampai
Nietzsche”. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
8. Hidajat, Imam. 2001. “Teori-Teori Politik”. Setara Press: Malang
9. Iqbal, Muhammad. Nasution, Amin Husain. 2010. “PEMIKIRAN POLITIK
ISLAM: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer”. Kencana:
Jakarata
10. Kristeva, Nur Sayyid Santoso. 2015. “Sejarah Ideologi Dunia”. Lentera
Kreasindo: Yogyakarta
11. Maarif, Ahmad Syafii. 1996. “Ibnu Khaldun Dalam Penulis Barat Dan
Timur”. Bema Insani: Depok
12. Michael G. Roskin,dkk. 2016. “Pengantar Ilmu Politik”. Kencana: Jakarta
13. Subakti, Ramlan. 1992. “Memahami Ilmu Politik”. PT. Grasindo: Jakarta
14. Shapiro, Ian. 2006. “Evolusi Hak Dalam Teori Liberal”. PT. Bumi Grafika
Jaya: Jakarta
15. Suhelmi, Ahmad. 2007. “POLITIK BARAT, Kajian Sejarah Perkembangan
Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan”. PT. Gramedia Pustaka
Utama: Jakarta
16. Suseno. Franz, Magnis. 2005. “PEMIKIRAN KARL MAX, Dari Sosialisme
Yutopis ke Perselisihan Revisionisme”. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta

20

Anda mungkin juga menyukai