Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

TATA KELOLA PEMERINTAHAN

“ RELASI ATAU MEDIA ANTARA AKTOR PRIVAT DAN CIVIL SOCIETY”

DI SUSUN

KELOMPOK 3

1. NURJAYANTI

2. TRI WAHYUDIN SYAM

3. FAJAR ADHAR

4. AHMAD MIDRAR

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2018/2019
KATA PENGANTAR

Dengan Menyebut nama Allah SWT. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat dan inayah-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “ Relasi atau Media
antara Aktor Publik, Privat, dan Civil Society”.
Makalah ini, telah kami susun secara maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu, kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah
ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi kekurangan susunan kalimat maupun dari segi tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan
tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritikan dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang “ Relasi atau Media antara Aktor
Publik, Privat, dan Civil Society” dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap
pembaca.

Makassar, 24 November 2018

KELOMPOK 3

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL .................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR .............................................................................................................ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................1-2
A. Latar Belakang...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................1-2
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN .....................................................................................................3-8
A. Tiga Pilar Utama dari Goodgovernance .................................................................3-4
B. Relasi atau Kemitraan antara Aktor Publik, Privat, dan Civil Society ...................4-6
C. Penerapan Relasi atau Kemitraan antara Aktor Publik, Privat, dan Civil Society .6-8
BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 9-10
A. Kesimpulan ................................................................................................................9
B. Rekomendasi......................................................................................................... 9-10
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuntutan masyarakat terhadap pemenuhan fasilitas publik terus meningkat baik secara
kuantitas maupun kualitas. Pemerintah akan sulit mengimbangi jika hanya menggunakan
metode penyedian secara tradisional karena akan terkendala dengan sumber pembiayaan,
teknologi bahkan manjerial. Salah satu alternatif untuk mengatasi berbagai kendala tersebut
adalah penyediaan fasilitas publik melalui kerangka kerja publik privat partnership (pihak
swasta). Konsep ini telah diterapkan di berbagai negara dan daerah dengan berbagai manfaat
dan kekurangan yang ada di dalamnya. Bagi daerah, ini merupakan suatu alternatif untuk
mempercepat pembangunan infrasruktur wilayah dan optimalisasi pengelolaan aset/kekayaan
daerah sekaligus potensi sumber pendapatan daerah. Komitmen mengambil kebijakan dan
berbagai pertimbangan teknis akan sangat menentukan keberhasilan implementasinya di daerah.
Relasi atau Media sebagai hubungan yang bersifat kerja sama antara beberapa pihak baik,
antara Aktor Publik (Pemerintah), Privat (Swasta), maupun Civil Society (Masyarakat Sipil).
Yang dimana ketiga sektor itu setuju harus bekerja sama dalam meraih tujuan bersama dan
menunaikan kewajiban tertentu serta menanggung resiko, tanggung jawab, sumber daya,
kemampuan, dan keuntungan secara bersama-sama.
Dalam membangun dan memperluas akses pelaksanaan program kepada masyarakat dan
menjawab tantangan pengembangan relasi itu perlu diterapkan koordinasi, integrasi, dan
sinkronisasi seluruh program, baik secara internal maupun lintas sektoral. Penggalangan relasi
dan kerja sama yang baik dilakukan dengan seluruh pemangku kepentingann (stakeholders)
sehingga seluruh program sampai kepada masyarakat dan dapat dilaksanakan tanpa hambatan
berarti. Atas dasar itulah penulis menyusun makalah yang berjudul “ Relasi atau Media antara
Aktor Publik, Privat, dan Civil Society”

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
1. Apakah 3 pilar utama dari Good Governance?

1
2. Bagaimanakah Relasi atau Kemitraan antara Aktor Publik, Privat, dan Civil Society?
3. Bagaimanakah Penerapan Relasi atau Kemitraan antara Aktor Publik, Privat, dan Civil
Society?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui 3 pilar utama dari Good Governance.
2. Untuk mengetahui Relasi atau Kemitraan antara Aktor Publik, Privat, dan Civil Society.
3. Untuk mengetahui Penerapan Relasi atau Kemitraan antara Aktor Publik, Privat, dan Civil
Society.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tiga Pilar Utama dalam Good Governance


Dalam penyelenggaraan roda kepemerintahan di suatu negara, terdapat berbagai aktor dalam
pemerintahan yang perlu di perhatikan karena peran dan fungsinya yang sangat berpengaruh
terhadap pengelolaan negara tersebut.
Dalam pandangan good governance itu menyebutkan bahwa ada tiga pilar utama yang harus
di garis bawahi sehingga terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik di suatu negara yaitu :
1. Aktor Publik (Pemerintah)
Pemerintah merupakan keseluruhan lembaga politik dan sektor publik. Peran dan tanggung
jawabnya adalah di bidang hukum, pelayanan publik, desentralisasi, transparansi umum,
pemberdayaan masyarakat, penciptaan pasar yang kompetitif, membangun lingkungan yang
kondusif, bagi terciptanya tujuan pembangunan baik pada level lokal, nasional, maupun
internasional.
2. Sektor Privat (Swasta)
Sektor privat adalah perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi pasar, seperti : industri,
perdagangan, perbankan, dan koperasi sektor informal. Peranannya adalah meningkatkan
produktivitas, menyerap tenaga kerja, mengembangkan sumber penerimaan negara, investasi,
pengembangan dunia usaha, dan pertumbuhan ekonomi nasional.
3. Civil Society (Masyarakat Madani/Sipil)
Madani/Sipil merupakan kelompok masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik, dan
ekonomi. Dalam konteks kenegaraan, masyarakat merupakan subyek pemerintah pembangunan
dan pelayanan publik yang berinteraksi secara sosial politik dan ekonomi. Masyarakat dalam hal
ini, harus di berdayakan agar berperan aktif dalam mendukung terwujudnya kepemerintahan
yang baik.
Good governance menekankan pentingnya interaksi sinergis dan kesetaraan antara tiga
pilar/aktor di atas. Sebagaimana dalam pengembangan kapasitas tata kelola pemerintahan yang
baik, ada yang di sebut dengan perubahan dalam distribusi kewenangan yaitu telah terjadi
distribusi kewenangan menumpuk yang terjadi di pusat untuk didesentralisasikan kepada

3
daerah, masyarakat asosiasi sebagai kelembagaan yang ada di masyarakat. Sehingga dapat di
pahami bahwa saat ini pemerintah bukanlah satu-satunya aktor dalam mengambil keputusan,
masyarakat dan pihak swasta berkesempatan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan.

B. Relasi atau Kemitraan antara Aktor Publik, Privat, dan Civil Society.
Relasi atau Kemitraan (Partnership) merupakan hubungan antara pemerintah, civil society,
dan sektor privat dalam rangka mencapai suatu tujuan yang didasarkan pada prinsip
kepercayaan, keselarasan, dan kemandirian. Kemitraan terbentuk dari sebuah hubungan yang di
sebut jejaring (network), di dalam hubungan tersebut mengemukakan beberapa hal terjadi
kolaborasi antara pihak-pihak yang bermitra.
Menurut Sullivan dan Skelcher (2002) serta Chris Skelcher (2004), kemitraan merupakan
organisasi semi-otonom yang di gerakkan oleh tiga sektor yaitu pemerintah, sektor privat, dan
masyarakat sipil yang terlibat dalam proses perumusan, pembuatan dan penyampaian kebijakan
publik level nasional dan lokal yang terikat dengan tugas-tugas normatif yang harus dilakukan
serta memiliki tingkat diskresi untuk pemecahan masalah tertentu dalam pelaksanaan kebijakan
publik.
Pada ranah kebijakan, kemitraan sering muncul pada kebijakan mengenai keamanan,
peningkatan kesehatan, penanggulangan kemiskinan dan pengangguran. Hal tersebut berarti
bahwa praktik demokrasi berkaitan dengan desain institusi pemerintah dalam ruang kolaboratif,
kebijakan dan batas wilayah. Dimana publik atau masyarakat, sektor privat baik profit maupun
non-provit bergabung bersama-sama untuk membentuk, membuat, dan mengimplementasikan
sebuah kebijakan. Kemitraan merupakan manifestasi organisasional dari desain institusi
membentuk suatu kolaborasi.
Kemitraan pada negara yang sedang berkembang dapat di temui contoh di Nigeria seperti
yang dikemukakan oleh Green (1995) dalam Akmovire Mukoro (2009). Pengalaman mengenai
adanya kemitraan yang menjadi karateristik dari good governance di salah satu negara Afrika
ini berasal dari gaya yang di adopsi dari warisan negara barat yang pernah menjajah mereka.
Menurut pandangan Johnston (1998) dalam Mukoro (2009) proses ini di mulai pada akhir tahun
1970, untuk meningkatkan legitimasi pada negara-negara bagian di Afrika dan institusinya yang
dalam hal ini berarti bahwa konteks governance di Nigeria pada saat itu di awali dengan tujuan
untuk membangun dan menyediakan institusi-institusi yang dipersiapkan untuk membangun

4
suatu kemitraan lokal yang efektif dengan tujuan untuk menyediakan layanan publik yang
dimulai pada tataran lokal good governance.
Menurut Chukmuwa (2005) pelaksanaan kemitraan di Nigeria ternyata menemui beberapa
kendala atau problem yang menghambat pembangunan kemitraan yang efektif untuk
mendukung pembangunan nasional antara pemerintah, sektor privat, dan civil society. J. Ayode
(1998) dalam Chukmuwa (2005) mengidentifikasi ketiga problem tersebut dapat dikategorikan
ke dalam tiga hal yaitu : problem structural, institusional, dan individual. Hal ini, perlu
dicermati sebab ketiga problem yang menghambat proses kemitraan ini juga memungkinkan
muncul di negara-negara yang memiliki kareteristik sebagai negara berkembang lainnya seperti
halnya di Indonesia. Adejumobi (2005) dalam Chukmuwa (2005) mengemukakan problem
berupa faktor structural (structural factors) untuk kemitraan berkaitan dengan adanya kenyataan
bahwa hubungan antara pemerintah, sektor privat, dan civil society selalu berfluktuasi
(kerjasama, konflik/dukungan) tergantung pada konteks dan isu yang mempengaruhi serta
menurunnya otoritas politik yang bisa menimbulkan adanya konflik di antara pemerintah,
privat, dan civil society.
Problem faktor institusional (institusional factors) Menurut Ezeasu (2005:2) dalam
Chukmuwa (2005) berkaitan dengan adanya persaingan antara pemerintah, privat, dan civil
society dalam hal menegakkan hukum serta kesamaan dalam memperoleh akses institusional
dan informasi mengenai apa yang akan dan sedang dilakukan oleh pemerintah terhadap
masyarakat, sedangkan problem ketiga yaitu faktor individual (individual factor) dikemukakan
sendiri oleh Chukmuwa (2009). Di level ini masalah yang utama adalah kurangnya kepercayaan
dan kepatuhan pada gagasan-gagasan untuk menginstitusikan hubungan antara pemerintah dan
civil society memiliki pandangan bahwa hubungan tersebut di lakukan untuk kepentingan
beberapa pihak yang ada dalam pemerintahan, bukannya untuk kepentingan melaksanakan
pelayanan pada masyarakat, dengan kata lain masyarakat Nigeria kurang mempercayai
pemerintah mereka sendiri.
Dalam membangun sebuah kemitraan maka akuntabilitas juga harus terjamin, maka dalam
hal ini di perlukan kondisi yang diupayakan berupa membuat suatu peraturan untuk
mengantisipasi adanya konflik dalam kemitraan, memastikan legalitas aktor yang dapat
menjamin pertanggung jawaban kepada publik serta peraturan lain yang dapat melindungi
wewenang masing-masing, Berikutnya pada aktor saling berusaha memberikan dukungan yang

5
memadai serta saling mengontrol fasilitas-fasilitas yang telah di sediakan, melakukan koordinasi
internal untuk mempererat komitmen bersama dalam menangani permasalahan Dan yang
terakhir terdapat project organization yang benar-benar nyata untuk di kerjakan bersama.

C. Penerapan Relasi atau Kemitraan antara Aktor Publik, Privat, dan Civil Society.
Lingkungan hidup menjadi isu yang menjadi perhatian masyarakat dunia semenjak para ahli
lingkungan hidup memperingatkan bahaya global warming pada kehidupan manusia. Global
warming seolah menjadi hantu bagi semua manusia yang siap mengganggu hidup sepanjang
waktu. Hal ini, karena global warming dapat mengganggu stabilitas politik, ekonomi, sosial,
dan budaya masyarakat dunia. Besarnya side effect dari global warming menuntut pemerintah,
civil society, dan sektor privat untuk memikirkan cara yang terbaik dalam menyelamatkan bumi
dari cengkraman global warming.
Pengelolaan lingkungan hidup merupakan bagian terpadu dari konsep pembangunan yang
berkelanjutan. Upaya ini merupakan proses yang terus meningkat dan berlanjut, dimana
keberhasilan selalu diikuti dengan munculnya masalah dan tuntutan baru. Untuk itu,
pembangunan yang berwawasan lingkungan terus di upayakan berdaya guna dan berhasil guna
sesuai sasaran yang hendak di capai dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan,
karena lingkungan dapat mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lainnya.
Selama ini menunjukkan fakta bahwa pembangunan nasional yang lebih menekankan pada
pertumbuhan ekonomi yang tinggi memang telah berhasil meningkatkan taraf kehidupan bangsa
Indonesia, namun keberhasilan yang di capai selama ini juga disertai dengan pengorbanan yang
cukup besar, berupa deteriorasi lingkungan, pengurasan sumber daya alam yang cepat,
kesenjangan sosial yang semakin tajam dan ketergantungan masyarakat yang makin besar
kepada pemerintah (Effendi : 1991: 31).
Jawa Timur yang beribukota di Surabaya, juga termasuk sebagai salah satu Provinsi yang
mengalami perkembangan pembangunan yang cukup pesat di bidang industri, hal ini dapat di
ketahui dari banyak pembangunan kawasan industri seperti : Pasuruan Industrial Eastate
Rembang ( PIER), Surabaya Industrial Eastate Rungkut (SIER), Manyar Industrial Estate
Gresik, Ngoro Industrial Estate Mojokerto, Margomulyo Industrial Estate Surabaya, Kawasan
Industri Gresik dan lain sebagainya. Pendirian kawasan industri ini selanjutnya di ikuti dengan

6
pertambahan jumlah penduduk yang meningkat secara pesat mengikuti perkembangan industri-
industri tersebut. Memang majunya industrialisasi tentu akan di ikuti dengan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, Tetapi kemajuan ini juga mempunyai dampak negatif berupa semakin
tingginya tingkat pencemaran yang berakibat pada perusakan lingkungan.
Berikut banyaknya desa/kelurahan yang mempunyai industri menurut limbah yang di
hasilkan dan cara pengolahan limbahnya di Jawa. Dapat di ketahui untuk Jawa Timur terdapat
7.068 desa/kelurahan. 3.915 desa industri membuang limbahnya ditumpuk sekitar lokasi, 858
desa industri membuang di buang ke sungai, dan yang melakukan pengolahan limbah hanya 206
(2,91%). Hal inilah yang menyebabkan tingginya pencemaran lingkungan di defenisikan
sebagai penurunan kualitas lingkungan akibat masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup,
zat, energi, dan atau komponen lainnya ke dalam lingkungan atau berubahnya tatanan
lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai
ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan
peruntukannya ( UU No. 23 Tahun 1997 pasal 1: 6 ). Berikut berdasarkan tabel 1 diatas
diketahui bahwa tingkat keasadaran pengusaha dalam pengelolaan lingkungan masih sangat
rendah akibatnya masyarakat yang menjadi korban dengan merasakan keganasan limbah yang
dihasilkan oleh industri yang tidak bertanggung jawab tersebut. Penanganan masalah
pencemaran di negara berkembang seperti Indonesia telah menjadi suatu problema yang
kompleks, sehinggan dirasa perlu adanya pengelolaan yang serius dan terpadu untuk
mengatasinya. Fakta dan pengalaman selama ini menunjukkan bahwa seringkali penanganan
masalah pencemaran kurang memperoleh perhatian yang serius dari pihak-pihak yang
berwenang. Hal ini, dikarenakan dikalangan pejabat penegak hukum terdapat kerancuan
pehaman atas masalah hukum pencemaran lingkungan, dimana aparat kepolisian baru bertindak
menyidik setelah ada pengaduan korban.
Upaya menekan pencemaran lingkungan yang diakibatkan dari sektor industri perlu
kemitraan pemerintah, civil society dan sektor privat dalam pengelolaan lingkungan. Langkah
ini dipilih sebagaimana fakta bahwa adanya kepentingan yang sama akan meningkatkan kualitas
lingkungan hidup untuk sustainability hidup manusia. Salah satu upaya untuk mengurangi
beban pencemaran lingkungan adalah melalui Audit Lingkungan Hidup yang tertuang dalam
Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 28 dan 29 diperjelas dengan Keputusan
Mentri Negara Lingkungan Hidup KEP 42/MENLH/11/1994 tentang Pedoman Umum

7
Pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup. Lingkungan adalah suatu proses evaluasi yang dilakukan
oleh penanggung jawab usaha atau kegiatan untuk menilai tingkat ketaatan terhadap persyaratan
hukum yang berlaku dan atau kebijaksanaan standar yang ditetapkan oleh penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan (UU LH No. 23 Tahun 1997 : 3).
Audit lingkungan memuat aspek antara lain : Aspek Manajemen, Aspek Proses, Aspek
Pengelolaan Lingkungan, dan Aspek Sosial Kemasyarakatan. Proses Audit Lingkungan
didalamnya juga terdapat ketentuan industri dalam pengelolaan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) yang tertuang dalam KEP. 39/MENLH/II/1996. Pelaksanaan Audit
Lingkungan perlu dilakukan untuk mengevaluasi sejauh mana pelaksanaan AMDAL industri
tersebut. Apakah sudah sesuai dengan persyaratan atau belum.
Bagi Industri yang belum memiliki AMDAL harus segera menetapkan AMDAL-nya dengan
pemberian jangka waktu tertentu. AMDAL merupakan kajian mengenai dampak besar dan
penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan yang diperlukan bagi
proses pengambilan keputusan keputusan tentang penyelenggaraan usaha atau kegiatan (PP
Republik Indonesia No. 27 Tahun 1999 :14 ). Maksud dari Program Audit Lingkungan adalah
untuk mencegah pencemaran lingkungan dengan meminimalkan pencemaran pada lingkungan.
Audit Lingkungan adalah program yang menekankan pada pencegahan yang dikenal dengan
istilah pencegahan pencemaran menguntungkan (pollution prevention pays) Upaya ini
dipandang lebih menguntungkann sesuai dengan motto : Prevention is batter than cure.
Pembayaran yang dipersyaratkan untuk membiayai sarana pencegahan pencemaran tidak saja
menguntungkan dari segi ekonomi, tetapi juga menguntungkan dari segi biaaya sosialnya.
Beban biaya pencegahan pencemaran mungkin tinggi, tetapi dapat diimbangi dengan upaya
pengehematan sumber daya alam. Bahan baku yang keluar sebagai produk sampingan dapat
diperkecil atau di daur ulang melalui proses produksi, sehingga tercapai peningkatan efisiensi
dan efektifitas penggunnaan sumber daya alam ( Rangkuti, 2000 : 36)

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Relasi atau Media sebagai hubungan yang bersifat kerja sama antara beberapa pihak, baik
antara publik (pemerintah), privat (swasta), dan civil society (masyarakat sipil). Yang dimana
ketiga sektor itu setuju harus bekerja sama dalam meraih tujuan bersama dan menunaikan
kewajiban tertentu serta menanggung resiko, tanggung jawab, sumber daya, kemampuan dan
keuntungan secara bersama-sama.
Dalam pandangan goodgovernance menekankan pentingnya interaksi sinergis dan kesetaraan
antara tiga pilar/aktor tersebut. Sebagaimana dalam pengembangan kapasitas tata kelola
pemerintahan yang baik, ada yang disebut dengan perubahan dalam distribusi kewenangan yaitu
telah terjadi distribusi kewenangan menumpuk yang terjadi di pusat untuk didesentralisasikan
kepada daerah, masyarakat asosiasi sebagai kelembagaan yang ada di masyrakat. Sehingga
dapat dipahami bahwa saat ini, pemerintah bukanlah satu-satunya aktor dalam mengambil
keputusan, masyarakat dan pihak swasta berkesempatan untuk terlibat dalam pengambilan
keputusan.

B. Rekomendasi
Adapun rekomendasi dari makalah ini adalah sebagai berikut :
 Relasi atau Kemitraan yang dilakukan saat ini antara aktor publik, privat, dan civil
society khususnya dalam pelayanan publik perlu dilanjutkan dalam mengoptimalisasi
peran pemerintah dalam memberikan pelayanan publik.
 Relasi atau Kemitraan yang dilakukan antara aktor publik, privat, dan civil society itu
perlu dibuatkan sebuah regulasi dalam bentuk kontrak kerja sama yang bersifat formal.
Hal ini, dimaksudkan agar masing-masing aktor memahami bagaimana peran dan
tanggung jawabnya dalam penyelenggaraan layanan terutama dalam hal pelayanan
publik.

9
 Pemerintah dalam hal ini, sebagai aktor publik dapat memposisikan masyarakat dan
swasta sebagai pemilik pemerintahan (owners of government) yang dianggap mampu
bekerja secara bersama-sama dalam memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur.

10
DAFTAR PUSTAKA

Ian McDonald. 2005. Theorising Partnership : Governance, Communicative Action and


SportPolicy Journal of Social Policy. Vol:34. Oktober 2005 Cambridge University Press.
Innocent Chukmuwa. 2005, Government Civil Society in Nigeria : Problem and Prospect. Cleen
Foundation Justice Sector Reform : Kaduna
https://www.kompasiana.com/www.abadiah.wordpress.com/550015e1813311c91dfa704b/kemit
raan-pemerintah-swasta-dan-civil-society-dalam-formulasi-kebijakan-publik-sebuah-keharusan-
bersama

11

Anda mungkin juga menyukai