Anda di halaman 1dari 5

KASUS PELANGGARAN HAM DI

KABUPATEN SINJAI
“Bachtiar bin Sabang, Petani yang Divonis Penjara 5 Tahun dan
Denda Rp1 Juta karena Menebang Pohon di Kebun Milik
Sendiri”

Indonesia merupakan negara hukum yang sudah berdiri kurang lebih


72 tahun dengan berbagai aturan perundang-undangan yang komplit dan
fundamental, termasuk aturan perundang-undangan mengenai Hak Asasi Manusia
(HAM). Namun sampai saat ini kasus-kasus tentang pelanggaran masih banyak
terjadi di berbagai wilayah Indonesia, khusunya di wilayah kabupaten Sinjai,
provinsi Sulawesi Selatan.
Salah satu kasus pelanggaran HAM yang baru-baru ini terjadi adalah
penangkapan terhadap warga bernama Bachtiar bin Sabang seorang petani dari
komunitas adat Turungan, Sinjai, Sulawesi Selatan. Bahtiar dituduh menebang
pohon 40 buah dalam kawasan hutan produksi terbatas (HPT). Awalnya, dia
dijerat UU Kehutanan. Oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), didakwa melanggar
UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UUP3H).
Awalnya, Bahtiar bin Sabang dijemput paksa tujuh personil polisi dari
Polres Sinjai di rumah, desa Turungan Baji, Sinjai Barat, Sinjai, pada 13 Oktober
2014. Polisi beralasan penjemputan karena Bahtiar tidak mengindahkan dua kali
pemanggilan.
Bahtiar berdalih, menolak pemanggilan polisi karena merasa tidak
bersalah. Dia mengakui menebang beberapa pohon, namun berada di kebun dan
dia sendiri yang menanam. “Saya tebang karena menghalangi tanaman di kebun
saya. Itupun dulu saya yang tanam.” [1]
Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN) menilai tindakan penjemputan ini jauh dari rasa keadilan, “Tindakan
penjemputan paksa ini merupakan bentuk penegakan hukum yang sama sekali
jauh dari rasa keadilan. Bahtiar adalah korban kriminalisasi, korban ketidakadilan
hukum kehutanan warisan kolonial. Bagai AMAN, Bahtiar adalah seorang
pahlawan yang memperjuangkan hak asasi kolektif masyarakat adatnya,” ungkap
Abdon, Senin (05/04/2016).
Wahyullah, aktivis Gerakan Anti Perampasan Tanah Rakyat (Gertak)
Sinjai menilai banyaknya kerancuan terkait objek yang disengketakan tersebut.
“Di atas objek tersebut terdapat tiga bentuk klaim, pertama SK Penataan Batas,
lalu ada SPPT PBB, dan kemudian muncul SK Penunjukan Kawasan. Kenapa
pemerintah terbitkan SPPT PBB diatas objek yang ditata batas tersebut, dan
kenapa ada terbit SK Penunjukan diatas objek yang telah ditata batas pada tahun
1982? Sementara dalam aturan penunjukkan kawasan dinyatakan bahwa wilayah
yang akan ditunjuk sebagai kawasan hutan syaratnya tidak pernah ditunjuk
sebelumnya?” ungkap Wahyullah, Senin (05/04/2016).
Wahyullah juga menyoroti keberadaan kawasan yang disengketakan
tersebut adalah wilayah adat yang seharusnya tidak lagi dipersoalkan
pengelolaannya, meski hingga saat ini belum ada Perda Masyarakat Adat sebagai
syarat pengakuan. [2]
Menurut Wahyullah, Pengurus AMAN Sinjai, Bahtiar mungkin diincar
sejak lama. Dia pernah punya masalah dengan Disbunhut Sinjai. Beberapa tahun
lalu, dia pernah menolak rencana Disbunhut penanaman puluhan ribuan pohon
pinus. Penolakan disampaikan ke DPRD Sinjai.
DPRD Sinjai meminta Disbunhut membatalkan rencana karena sebagian
besar lokasi kebun warga. Gagal menanam pinus di Turungan Baji, Disbunhut
memindahkan lokasi penanaman di Desa Terasa, masih berdekatan Turungan
Baji.
Sejak 1995, kawasan hutan Turungan Baji diambil alih oleh pemerintah
dan dijadikan sebagai hutan pinus. Sejak saat itu akses masyarakat terhadap hutan
mulai dibatasi. Belasan warga menjadi korban kriminialisasi Disbunhut dan
kepolisian.
Selama ini, Disbunhut Sinjai mengklaim HPT di enam desa, antara lain
Turungan Baji, Terasa, Bonto Salama, Bontokatute, Sao Tanre dan Gunung Perak.
Sejak 1994, upaya kriminalisasi warga terjadi belasan kali. Korban lain, kepala
dusun di Desa Terasa meninggal minum racun setelah ancaman penangkapan dari
polisi hutan 2007. Terakhir, Najamuddin, Warga Tassosso, Desa Gunung Perak,
Kecamatan Sinjai Barat, vonis lima bulan dan denda Rp1 juta karena menebang
dua pohon di kebun sendiri.
Keluarga Bachtiar sempat mengajukan penangguhan penahanan, namun
tidak dikabulkan.
Pada persidangan 12 Februari 2015, seorang saksi pelapor, Katu memberi
kesaksian berbeda dengan BAP.
Dalam BAP, melihat langsung Bahtiar menebang pohon dan hanya dalam
satu waktu. “Saya tidak melihat langsung,” katanya setelah dicecar pertanyaan
Majelis Hakim.
Ketika diminta kejelasan kedua kesaksian berbeda, Katu terdiam dan
refleks menepuk tepuk jidat setengah bergumam namun terdengar jelas peserta
sidang.“Duh susah karena kita sudah disumpah.”
Sempat ditahan selama beberapa bulan Rutan kelas III Sinjai, pada 6
Februari 2015, lalu menjadi tahanan rumah.
Kasus Bachtiar ini menggugah solidaritas banyak pihak. Pada tanggal
12 November 2014, Kontras, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
Sulsel, Walhi, Anti-Corruption Committee (ACC), Kontras, Agra, LBH Makassar
dan Jurnal Celebes menggelar jumpa pers bersama mengecam penangkapan ini.
Sejumlah aktivitis dan komunitas adat dari berbagai daerah juga
menyampaikan solidaritas melalui Facebook menuntut pembebasan Bachtiar.
Dukungan lain ditunjukkan ratusan mahasiswa, warga komunitas adat di Sinjai
dan aktivis tergabung dalam Gertak yang ke jalan dan teaterikal 26 November
2014. [1]
Dalam kasus Bachtiar ditemukan banyak kejanggalan yang menunjukkan
bahwa penekagakan HAM masih lemah muali dari tindakan penangkapan sampai
putusan pengadilan dalam sidang.
Nursari, kuasa hukum Bachtiar, juga Kordiantor Biro Advokasi Hukum
AMAN Sul-Sel, melihat banyak kejanggalan dalam kasus ini, mulai penangkapan
sampai persidangan. Dakwaan dari awal UU Kehutanan, berubah menjadi UU
P3H. Hal lain, pemeriksaan tak didampingi kuasa hukum hingga memungkinkan
terdakwa memberi keterangan di bawah tekanan. “Kemudian banyak fakta
terungkap di persidangan tidak sesuai BAP”, ungkap Nursari.
Polisi berdalih, katanya, tindakan itu karena berkas perkara segera
dilimpahkan ke Kajari Sinjai hingga tak sempat menghubungi kuasa hukum
tersangka. “Ini tidak sesuai ketentuan hukum pidana dan melanggar fair trial.
Pemeriksaan tanpa dihadiri atau konfirmasi ke kuasa hukum tersangka
bertentangan dengan hak tersangka sebagaimana dalam ketentuan-ketentuan
hukum acara”, ungkapnya.
Kejanggalan lain, status hutan lokasi perkara ternyata masih ‘penunjukan’
belum penetapan.
Bagi Nursari, kawasan hutan berstatus “penunjukan” seharusnya tidak
memiliki kekuatan hukum. Begitu juga tapal batas ternyata baru akan diusulkan
ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Ini menandakan, batas
kawasan hutan masih bermasalah”, ungkapnya.
Penolakan permohonan penangguhan penahanan atas Bachtiar dinilai
Nursari sebagai bukti adanya intervensi dari luar terait kasus ini. “Ini pesanan.”
Belum lagi, keterangan saksi pelapor berubah-ubah, berbeda dengan BAP, serta
diizinkan staf Disbunhut Sinjai sebagai saksi ahli.“Ini seperti jeruk makan jeruk”,
ungkapnya. [2]

Cara Menanggulangi Kasus Pelanggaran HAM Diatas


Setelah mengikuti contoh kasus pelanggaran HAM diatas, ada beberapa
cara penyelesaian antara lain:
Pertama, pihak pemerintah daerah seharusnya mendata atau mngumpulkan
beberapa syarat hukum adat yang berlaku di daerah tersebut. Pemda harus
menetapkan peraturan daerah yang sesuai dengan keadaan hukum adat yang
berlaku. Seperti yang dikatakan oleh Sandra Moniaga, Komisioner KOMNAS
HAM terkait peneguhan hasil temuan inquiri nasional masyarakat adat bahwa
persoalan penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat terganjal
kinerja dan political will pemerintah daerah, “Jadi Pemda Sinjai memang tidak
pernah inventarisasi dan penyidikan keberadaan syarat hukum adat dan wilayah
adat”, ungkapnya. Dalam kesaksiannya ketika itu, Sandra menyatakan bahwa
tanah tempat Bahtiar berkebun, tempat dituduh mencuri kayu, bisa jadi tanah hak
adat dan tak perlu surat-surat untuk pembuktian. [3]
Kedua, pemda seharusnya mengukuhkan atau menetapkan batas kawasan
hutan dalam wilayah suatu daerah agar masyarakat mengetahui batas tanah atau
wilayah untuk bertani dan berkebun. Karena kasus ini terlihat pemda, termasuk
polisi dan jaksa masih melihat, kawasan hutan belum dikukuhkan.
Ketiga, UUP3H seharusnya direvisi kembali supaya tidak dimanfaatkan
untuk kriminalisasi masyarakat, apalagi untuk masyarakat kecil. Karena pasal-
pasal, tidak mengoreksi problem dasar pelanggaran HAM dari kawasan hutan.
Sebagaimana diungkapkan oleh Sandra Moniaga bahwa kasus Bahtiar ini
menyakinkan dia memang UUP3H mudah dimanfaatkan untuk kriminalisasi
masyarakat. Karena pasal-pasal dalam UUP3H tidak mengoreksi problem dasar
pelanggaran HAM dari kawasan hutan. [3]
Selain itu, pihak pengadilan dalam persidangan harus tetap adil dalam
memberikan keputusan, tidak memandang siapa yang diadili. Jangan menjadikan
hukum negara ini menjadi tumpul ke atas dan runcing ke bawah. Pihak
pemerintah seharusnya lebih mengawasi lagi penegakan HAM di Indonesia,
supaya tidak terjadi lagi kasus-kasus pelanggaran HAM seperti di atas.

Sumber:
[1]
Izhar, “Penangkapan Bahtiar bin Sabang, Menuai Protes dari Aktivis Sinjai”,
diakses dari http://www.bugiswarta.com/2016/04/penangkapan-bahtiar-bin-
sabang-menuai.html, pada tanggal 5 Maret 2018 pukul 20.19.
[2]
Wahyu Chandra, “Kasus Penebangan Pohon Milik Sendiri, Petani di Sinjai
Dijemput Paksa Polisi”, diakses dari
http://www.mongabay.co.id/2016/04/08/kasus-penebangan-pohon-milik-sendiri-
petani-di-sinjai-dijemput-paksa-polisi/, pada tanggal 5 Maret 2018 pukul 20.31.
[3] ]
Wahyu Chandra, “Jadi Saksi Ahli Sidang Warga Sinjai, Apa Kata Komnas
HAM?”, diakses dari http://www.mongabay.co.id/2015/04/10/jadi-saksi-ahli-
sidang-warga-sinjai-apa-kata-komnas-ham/, pada tanggal 5 Maret 2018 pukul
20.35.

Anda mungkin juga menyukai