Masalah Kepercayaan
Hambatan utama dalam upaya menghubungkan teori tentang trust (kepercayaan) dengan
keberhasilan ekonomi adalah terlalu banyaknya faktor yang harus diperhitungkan. Trust bukanlah
sebuah konsep yang bisa dengan mudah menjelaskan keberhasilan ekonomi secara keseluruhan.
Ada bermacam-macam faktor yang menyebabkan keberhasilan ekonomi. Upaya apa pun yang
mencoba menghubungkan teori trust dengan perilaku ekonomi harus selalu disesuaikan dengan
konteks. Tulisan Francis Fukuyama tentang trust (1995) adalah contoh yang baik untuk
menggambarkan permasalahan yang ada dalam analisis lintas-budaya tentang trust. Fukuyama
secara kasar bisa digolongkan—mengikuti Braithwaite (1998)—sebagai teoris persamaan identitas
(shared identity theorist). Premis dasar Fukuyama adalah bahwa kemampuan mengambil risiko
dalam bentuk perilaku ekonomi yang kooperatif akan bervariasi tergantung pada kondisi awal
yang spesifik. Ringkasnya, trust adalah faktor ekonomi yang sudah baku (fixed economic fac-
tor).
Tesis Fukuyama
Elemen pertama dari hipotesa Fukuyama adalah definisi trust: ‘[Trust is] the expectation
that arises within a community of regular, honest and cooperative behavior, based on com-
monly shared norms, on the part of other members of that community. Those norms can be
about deep ‘value’ questions like the nature of God or justice, but they also encompass secular
norms like professional standards and codes of behavior.’ (hal.26) Pendeknya, ia melihat trust
itu bermanfaat untuk ekonomi karena mampu menekan biaya (costs). Dalam bisnis, trust
mengurangi kebutuhan merumuskan kontrak yang berkepanjangan, mengurangi keinginan
menghindari situasi tidak terduga, mengurangi pertikaian, dan mengurangi kebutuhan proses
hukum seandainya terjadi pertikaian (hal.151). Trust mengurangi biaya dan waktu yang sering
dikaitkan dengan sistem pengawasan tradisional dan kontrak hukum yang formal, hal-hal yang
sangat penting dalam organisasi yang mementingkan pengetahuan. Dalam konteks itu orang-
orang enggan menyampaikan pendapat karena takut idenya dicuri (The Economist 1995:61).
104 ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
Sebagai tambahan, Fukuyama menyatakan bahwa trust membantu orang-orang bekerja sama
dengan lebih efektif, karena mereka lebih bersedia menempatkan kepentingan kelompok di atas
kepentingan individu. Jika bawahan merasa bahwa hal tersebut adil, mereka bersedia
mengorbankan hak-hak pribadi demi kebaikan organisasi (The Economist 1995:61).
Untuk mendukung hipotesanya, Fukuyama mengajukan kategori masyarakat yang dikotomis:
masyarakat high-trust dan masyarakat low-trust. Jenis pertama menunjukkan tingkat trust yang
tinggi dan terus berkelanjutan di bawah otoritas politik yang sudah didesentralisasi pada tahap
pra-modern (Fukuyama 1995:361). Organisasi kecil yang punya banyak koneksi bisa memanfaatkan
ekonomi skala sambil menghindari biaya overhead dan birokrasi yang membebani organisasi
besar. Ekonomi masyarakat yang demikian mempunyai keunggulan fleksibilitas yang tinggi,
karena rakyatnya mempunyai tingkat kepercayaan tinggi bahwa sistem sosial mereka akan selalu
adil (hal.341). Contoh masyarakat high-trust adalah Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat.
Masyarakat ini mempunyai solidaritas komunal sangat tinggi yang mengakibatkan rakyat mereka
mau bekerja mengikuti aturan, sehingga ikut memperkuat rasa kebersamaan (hal.210). Sementara
itu masyarakat jenis kedua, masyarakat low-trust, dianggap lebih inferior dalam perilaku ekonomi
kolektif. Contoh masyarakat low-trust adalah Cina, Korea, Perancis dan Italia. Dalam kasus-
kasus tersebut Fukuyama kelihatannya mengubah uraiannya menjadi lebih bersifat normatif
dengan mengatakan bahwa sukses ekonomi masyarakat sampel tersebut disebabkan oleh etika
kerja yang mendorong perilaku ekonomi kooperatif.
Dalam argumen di atas, Fukuyama mencampur-baurkan structural trust dengan interper-
sonal trust (konsep ini sudah lama dibahas teoris trust seperti Luhmann 1979; Dunn 1984 dan
Seligman 1997). Akibatnya, Fukuyama menarik kesimpulan secara tidak konsisten. Di satu pihak
ia memberi kredit sukses masyarakat high-trust pada struktur, sementara menyalahkan ‘kegagalan’
masyarakat low-trust pada hubungan non-struktural. Kesimpulan ini konsisten dengan teori
modernisasi tentang model perubahan sosial yang menyatakan bahwa sistem tradisional perlahan-
lahan akan ‘berkembang’ menjadi sistem yang lebih modern. Dalam model ini interpersonal trust
yang dianggap Fukuyama konservatif (tradisional), jelas lebih jelek dari structural trust yang
lebih mendukung inovasi baru (modern). Terlihat pula dengan jelas mengapa Fukuyama percaya
bahwa sistem ekonomi kolektif masyarakat high-trust lebih superior daripada yang low-trust.
Tiga perangkap
Sejauh ini tampak bahwa buku ini merupakan perpanjangan dari debat klasik antara konsep
budaya lawan struktur sosial (culture vs structure). Kesan yang diperoleh dari membaca buku
ini adalah Fukuyama mencoba membuktikan superioritas struktur sosial dengan memakai argumen-
argumen budaya. Premis ini cukup menarik. Sangat disayangkan Fukuyama tidak mengolahnya
dengan baik, bahkan jatuh ke perangkap-perangkap epistemologis yang fatal dan menurut
kacamata teori budaya seharusnya bisa dihindarkan sebab sudah sering dibahas, terutama oleh
teoris pascamodernis, pascastrukturalis, gender, dan teoris budaya marginal lainnya.
Pertama, Fukuyama terjebak perangkap esensialisme budaya (cultural essentialism). Ia telah
mengambil posisi tempat budaya sudah dianggap serba menentukan. Konsep trust berulang-
ulang dilihat sebagai ‘a stable cultural factor’ (misalnya di hal. 15, 28-29, 31, 52-53, 361-362, dll.)
Misalnya, ia berbicara tentang ‘the nature of Chinese Confucianism’ (hal.31) seolah-olah itu
Kepustakaan
Braithwaite, V.
1998 ‘Communal and Exchange Trust Norms: Their Value Base and Relevance to Institutional
Trust’, dalam V. Braithwaite, and M. Levi (peny.) Trust and Governance . New York: Russel
Sage Foundation. Hal. 46-74.
Baudrillard, J.
1990 Seduction, London: Macmillan.
Brook, T.
1997 ‘Profit and Righteousness in Chinese Economic Culture,’ dalam T. Brook, and Hy V., Luong
(peny.) Culture and Economy: The Shaping of Capitalism in Eastern Asia . Ann Arbor: The
University of Michigan Press. Hal. 27-44.
Dunn, J.
1984 ‘The Concept of Trust in the Politics of John Locke’, dalam R. Porty dkk. (peny.) Philoso-
phy in History . Cambridge: Cambridge University Press. Hal. 279-301.
The Economist
1995 ‘Trust in Me,’ The Economist . 16 December. Hal. 61.
Eisenstadt, S.N.
1995 Power, Trust, and Meaning: Essays in Sociological Theory and Analysis. Chicago: The
University of Chicago Press.
Foucault, M.
1976 The History of Sexuality I: An Introduction. Harmondsworth: Penguin.
Geertz, C. J.
1993 orig.1973 The Interpretation of Cultures. London: FontanaPress.
Claudia Strauss dan Naomi Quinn mengawali buku mereka dengan mengatakan bahwa teori
kebudayaan sedang menghadapi impasse. Sementara ahli-ahli antropologi menyadari bahwa
dunia ini tidak bersifat homogen, usaha-usaha menjelaskan variasi yang ada dengan menciptakan
entitas-entitas yang berdiri sendiri—masing-masing dengan kebudayaannya sendiri, sebagaimana
lazimnya tercermin dalam tulisan-tulisan yang mempergunakan ungkapan-ungkapan seperti
‘kebudayaan X’ atau ‘kebudayaan masyarakat Y’—dianggap tidak memadai lagi. Meminjam
istilah yang dipakai oleh Mikhail Bakhtin, Strauss dan Quinn mengatakan bahwa teori kebudayaan
harus dapat menjelaskan adanya daya sentripetal dalam kehidupan sosial—yang tampak dari
reproduksi budaya dan kecenderungan bertahannya pemahaman-pemahaman tertentu dalam
diri manusia dan sekelompok manusia—sekaligus menjelaskan adanya daya sentrifugal, yang
terlihat dari adanya variasi serta perubahan budaya. Berangkat dari masalah inilah kedua penulis
mengajukan pemikiran mereka tentang teori makna yang baru.
Perhatian kedua penulis terhadap makna bermula dari pengamatan bahwa (pembicaraan
mengenai) kebudayaan pada umumnya menyangkut masalah makna. Dengan demikian, Strauss
dan Quinn mengajukan pertanyaan yang sangat mendasar dalam pendahuluan buku mereka: apa
sesungguhnya yang dimaksud dengan makna?
Dalam bab pendahuluan, kedua penulis menyatakan keberatan mereka dengan definisi-definisi
Buku tebal ini berisi 20 bab yang merupakan bunga rampai karangan—yang rata-rata—
membahas kenyataan dan proses hukum dalam berbagai masyarakat di Indonesia. Seperti yang
diuraikan dalam bagian Kata Pengantar, secara ringkas isinya mengenai: a) kajian hukum yang
merupakan salah satu aspek dari kebudayaan1 , dan b) kajian hukum sebagai obyek otonom yang
terpisah dari kebudayaan.2
Repotnya, bila para pengamat maupun pembaca ‘mendengar’ mengenai hukum, asosiasi
yang lazim muncul adalah: suatu bahasan yang kering, yang normatif, yang tidak jarang ‘berjalan
sendiri’ di luar konteks sosial-budaya masyarakatnya. Padahal, tidak semua kajian hukum—
apalagi yang bertajuk ‘hukum dan masyarakat’—itu berisi uraian-uraian das sollen belaka.
Paling tidak, untuk kebanyakan karangan dalam buku ini mencoba menguraikan dan membicarakan
kajian hukum dalam bentuk das seinnya. Dalam sub judul ‘Tradisi dan Pengaturan Sosial’ ada
bab yang berisi tulisan—yang sebetulnya menarik—mengenai pola sosialisasi anak, namun
tidak berkait langsung dengan bahasan antropologi hukum yang menjadi ‘benang merah’ dari
bunga rampai buku ini.
Bila disimak, sumbangan tulisan dalam bunga rampai ini terdiri dari beberapa tema (umum)
yang diwacanakan oleh antropologi hukum, antara lain: penyelesaian sengketa, informal justice,
hukum adat, akses kaum perempuan ke dalam pranata hukum, dan kemajemukan hukum. Bahkan,
beberapa penulis (Franz dan Keebet von Benda Beckmann) menguraikan masalah hubungan
kemajemukan hukum dengan hukum transnasional.
1
Dalam kajian antropologi hukum, hukum ditanggapi sebagai bagian dari pranata pengawasan sosial. Pranata
pengawasan sosial adalah bagian dari pranata sosial (social institution) yang bertugas sebagai penggagas, pencipta
dan penjaga ketertiban sosial (Ihromi 1984; Spradley dan McCurdy 1975).
2
Beberapa karangan dalam buku tebal ini juga mengkaji dengan pendekatan law in the books untuk beberapa
permasalahan hukum. Sayangnya antarkeduanya jarang sekali dikaitkan, baik secara metodologis maupun
analisisnya.
114 ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
Sebagian besar karangan dalam bunga rampai ini berisi tinjauan yang memperlihatkan adanya
gejala kemajemukan hukum (legal pluralism) yang belakangan ini memang menjadi trend di
kalangan para pengkaji antropologi hukum. Hukum, dalam pandangan mereka, tidaklah hanya
yang berasal dari hukum negara (state law), tetapi juga hukum-hukum yang hidup dan berkembang
dalam kehidupan masing-masing masyarakat dan kebudayaan.
Selama ini, yang terjadi, bila meminjam istilah Spradley dan McCurdy (1975), ialah adanya
sikap legal ethnocentrism, yakni: the tendency to view the law of other cultures through the
concepts and assumptions of Western. Padahal, sikap legal ethnocentrism itu mengundang
kritik, antara lain: a) cenderung meniadakan eksistensi dari hukum pada pelbagai masyarakat;
dan b) cenderung mengambil bentuk sistem hukum barat sebagai dasar dari penelaahan dan
penyusunan kebijakan.
Pada beberapa karangan dalam buku ini—misalnya tulisan Saidin, Sulistyowati Irianto, Ahmad
Ubbe, Valerine J.L. Kriekhoff, Sulastriyono dan sebagainya—diperlihatkan bagaimana sistem
hukum negara (state law) seringkali mendominasi lingkup kehidupan masyarakat, sehingga secara
sengaja maupun tidak terencana, digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul.
Padahal, penggunaan state law tanpa melihat konteks sosial-budaya serta efektivitasnya akan
memunculkan beberapa permasalahan, yakni: a) masyarakat semakin mempertanyakan fungsi
dan wewenang state law; b) masyarakat—paling tidak sebagian darinya—lebih ‘sreg’
menggunakan sistem hukumnya sendiri (agar permasalahan mereka dapat teruraikan) dan
mencampakkan state law; dan c) dominasi semu state law menjadi semakin terkuak pada pelbagai
proses hukum.
Sejatinya, fokus utama dari antropologi hukum (kini) adalah pada perubahan fundamental
yang berlangsung pada negara sedang berkembang sebagai hasil dari perubahan politik, ekonomi
dan sosial di dunia, dan hal itu memberikan efek yang mendalam pada sistem-sistem hukum
negara berkembang. Dengan demikian, antropologi hukum memberi perhatian pada perubahan
dalam sistem-sistem hukum yang kompleks di negara-negara berkembang tersebut.3
Beberapa kajian hukum sebetulnya sudah mencoba memaparkan gejala (dan perubahan)
hukum yang terjadi selama kurang lebih tiga puluhan tahun belakangan di tanah air. Munculnya
berbagai peraturan perundangan yang sentralistik justru mematikan kinerja, proses maupun
dinamika hukum-hukum masyarakat dan kebudayaan. Sekedar menyebut contoh, UU NO. 4/1974
Tentang Pemerintahan di Daerah, lalu UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa adalah dua UU
penting yang menyebabkan terjadinya dominasi state law terhadap hukum-hukum masyarakat
setempat (adat/tradisional). Lebih jauh lagi, karena kedua UU tersebut terjadilah penyeragaman
institusi-insitusi maupun aturan (pemerintahan) lokal. Akibatnya, terkikislah banyak institusi
lokal.
Contoh lain mengenai ‘sentralisasi’ hukum ini terlihat pada tulisan salah seorang penyumbang
karangan dalam buku ini yang membahas UU No. 16 tahun 1964 (seperti juga UU lainnya)
sebagai ‘law in the books’. Ia mengaitkannya dengan usulan mengenai upaya penggalian nilai-
nilai hukum melalui studi Antropologi Hukum. Nampaknya yang bersangkutan secara implisit
hendak menuliskan bahwa peraturan yang sentralistik seperti itu efektivitasnya menjadi problema
3
Lihat silabus Anthropology of Law dari Erasmus Universiteit Rotterdam 1998/1999 yang disajikan oleh
Prof.Dr. K. von Benda-Beckmann.
5
Pengertian mengedepankan wacana hukum tentunya bisa berbeda dengan menegakkan rule of law secara
konsekuen dan konsisten.
6
Hubungan antara Indonesia dan IMF—terutama di saat terjadinya krisis ekonomi—dalam banyak hal
tergambarkan dalam kalimat tersebut.
7
Bila di masa lalu benturan sering terjadi antara hukum nasional (‘pusat’) dengan masyarakat dan hukum
lokalnya, maka di masa mendatang benturan nampaknya masih akan tetap terjadi, hanya bergeser pada masyarakat
versus pemerintah daerah (yang perangkat, organisasi maupun landasannya masih mirip dengan apa yang terjadi
sebelumnya), antarmasyarakat sendiri serta antara institusi pemda.
8
Di negara maju saja antropologi hukum disebut sebagai “a small subject that is taught in a few university,
especially in America (lihat The Law and Economics of Anthropology, Literature Review 0640 oleh Robert
Cooter 1997).
9
Meminjam istilah Franz dan Keebet von Benda-Beckmann (2000), T. Omas Ihromi adalah ilmuwan untuk
beberapa dekade di Indonesia yang secara konstan mengupayakan perkembangan dan pembentukan kajian
antropologi hukum.