Anda di halaman 1dari 16

Tinjauan Buku

Masalah Kepercayaan

Trust: The Social Virtues and the Creation


of Prosperity
Oleh: Francis Fukuyama
London: Penguin Books. [English ed.],1996.

Ditinjau oleh: Iwan Dzulvan Amir


(The Australian National University)

Hambatan utama dalam upaya menghubungkan teori tentang trust (kepercayaan) dengan
keberhasilan ekonomi adalah terlalu banyaknya faktor yang harus diperhitungkan. Trust bukanlah
sebuah konsep yang bisa dengan mudah menjelaskan keberhasilan ekonomi secara keseluruhan.
Ada bermacam-macam faktor yang menyebabkan keberhasilan ekonomi. Upaya apa pun yang
mencoba menghubungkan teori trust dengan perilaku ekonomi harus selalu disesuaikan dengan
konteks. Tulisan Francis Fukuyama tentang trust (1995) adalah contoh yang baik untuk
menggambarkan permasalahan yang ada dalam analisis lintas-budaya tentang trust. Fukuyama
secara kasar bisa digolongkan—mengikuti Braithwaite (1998)—sebagai teoris persamaan identitas
(shared identity theorist). Premis dasar Fukuyama adalah bahwa kemampuan mengambil risiko
dalam bentuk perilaku ekonomi yang kooperatif akan bervariasi tergantung pada kondisi awal
yang spesifik. Ringkasnya, trust adalah faktor ekonomi yang sudah baku (fixed economic fac-
tor).

Tesis Fukuyama
Elemen pertama dari hipotesa Fukuyama adalah definisi trust: ‘[Trust is] the expectation
that arises within a community of regular, honest and cooperative behavior, based on com-
monly shared norms, on the part of other members of that community. Those norms can be
about deep ‘value’ questions like the nature of God or justice, but they also encompass secular
norms like professional standards and codes of behavior.’ (hal.26) Pendeknya, ia melihat trust
itu bermanfaat untuk ekonomi karena mampu menekan biaya (costs). Dalam bisnis, trust
mengurangi kebutuhan merumuskan kontrak yang berkepanjangan, mengurangi keinginan
menghindari situasi tidak terduga, mengurangi pertikaian, dan mengurangi kebutuhan proses
hukum seandainya terjadi pertikaian (hal.151). Trust mengurangi biaya dan waktu yang sering
dikaitkan dengan sistem pengawasan tradisional dan kontrak hukum yang formal, hal-hal yang
sangat penting dalam organisasi yang mementingkan pengetahuan. Dalam konteks itu orang-
orang enggan menyampaikan pendapat karena takut idenya dicuri (The Economist 1995:61).
104 ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
Sebagai tambahan, Fukuyama menyatakan bahwa trust membantu orang-orang bekerja sama
dengan lebih efektif, karena mereka lebih bersedia menempatkan kepentingan kelompok di atas
kepentingan individu. Jika bawahan merasa bahwa hal tersebut adil, mereka bersedia
mengorbankan hak-hak pribadi demi kebaikan organisasi (The Economist 1995:61).
Untuk mendukung hipotesanya, Fukuyama mengajukan kategori masyarakat yang dikotomis:
masyarakat high-trust dan masyarakat low-trust. Jenis pertama menunjukkan tingkat trust yang
tinggi dan terus berkelanjutan di bawah otoritas politik yang sudah didesentralisasi pada tahap
pra-modern (Fukuyama 1995:361). Organisasi kecil yang punya banyak koneksi bisa memanfaatkan
ekonomi skala sambil menghindari biaya overhead dan birokrasi yang membebani organisasi
besar. Ekonomi masyarakat yang demikian mempunyai keunggulan fleksibilitas yang tinggi,
karena rakyatnya mempunyai tingkat kepercayaan tinggi bahwa sistem sosial mereka akan selalu
adil (hal.341). Contoh masyarakat high-trust adalah Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat.
Masyarakat ini mempunyai solidaritas komunal sangat tinggi yang mengakibatkan rakyat mereka
mau bekerja mengikuti aturan, sehingga ikut memperkuat rasa kebersamaan (hal.210). Sementara
itu masyarakat jenis kedua, masyarakat low-trust, dianggap lebih inferior dalam perilaku ekonomi
kolektif. Contoh masyarakat low-trust adalah Cina, Korea, Perancis dan Italia. Dalam kasus-
kasus tersebut Fukuyama kelihatannya mengubah uraiannya menjadi lebih bersifat normatif
dengan mengatakan bahwa sukses ekonomi masyarakat sampel tersebut disebabkan oleh etika
kerja yang mendorong perilaku ekonomi kooperatif.
Dalam argumen di atas, Fukuyama mencampur-baurkan structural trust dengan interper-
sonal trust (konsep ini sudah lama dibahas teoris trust seperti Luhmann 1979; Dunn 1984 dan
Seligman 1997). Akibatnya, Fukuyama menarik kesimpulan secara tidak konsisten. Di satu pihak
ia memberi kredit sukses masyarakat high-trust pada struktur, sementara menyalahkan ‘kegagalan’
masyarakat low-trust pada hubungan non-struktural. Kesimpulan ini konsisten dengan teori
modernisasi tentang model perubahan sosial yang menyatakan bahwa sistem tradisional perlahan-
lahan akan ‘berkembang’ menjadi sistem yang lebih modern. Dalam model ini interpersonal trust
yang dianggap Fukuyama konservatif (tradisional), jelas lebih jelek dari structural trust yang
lebih mendukung inovasi baru (modern). Terlihat pula dengan jelas mengapa Fukuyama percaya
bahwa sistem ekonomi kolektif masyarakat high-trust lebih superior daripada yang low-trust.

Tiga perangkap
Sejauh ini tampak bahwa buku ini merupakan perpanjangan dari debat klasik antara konsep
budaya lawan struktur sosial (culture vs structure). Kesan yang diperoleh dari membaca buku
ini adalah Fukuyama mencoba membuktikan superioritas struktur sosial dengan memakai argumen-
argumen budaya. Premis ini cukup menarik. Sangat disayangkan Fukuyama tidak mengolahnya
dengan baik, bahkan jatuh ke perangkap-perangkap epistemologis yang fatal dan menurut
kacamata teori budaya seharusnya bisa dihindarkan sebab sudah sering dibahas, terutama oleh
teoris pascamodernis, pascastrukturalis, gender, dan teoris budaya marginal lainnya.
Pertama, Fukuyama terjebak perangkap esensialisme budaya (cultural essentialism). Ia telah
mengambil posisi tempat budaya sudah dianggap serba menentukan. Konsep trust berulang-
ulang dilihat sebagai ‘a stable cultural factor’ (misalnya di hal. 15, 28-29, 31, 52-53, 361-362, dll.)
Misalnya, ia berbicara tentang ‘the nature of Chinese Confucianism’ (hal.31) seolah-olah itu

ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000 105


adalah sebuah peraturan yang sudah mati. Padahal, terlepas dari usaha Fukuyama
menghomogenisasi budaya tersebut, Konfusianisme itu sudah berulangkali diinterpretasi ulang
sepanjang sejarah Cina daratan (Brook 1997:43-44) dan penerapannya lebih beraneka-ragam lagi.
Dengan membakukan budaya, Fukuyama melupakan proses interaksi dan negosiasi, baik di
dalam maupun di luar budaya yang bersangkutan dengan menganggap remeh peran aktor atau
agen budaya dalam menyikapi dan mengubah berbagai aspek budaya itu sendiri. Lebih parah
lagi, Fukuyama kerap mengontradiksikan argumennya sendiri. Di satu pihak ia melihat budaya
secara deterministik, di lain pihak, ia mengakui bahwa budaya itu kabur. Ketidakkonsistenan ini
semakin mendukung dugaan bahwa Fukuyama telah menelantarkan proses pergulatan kekuasaan
(power struggle), dan ini adalah cacat epistemologis yang cukup berat.
Kedua, Fukuyama terlalu menggeneralisasi identitas (identity overgeneralization). Kekeliruan
ini adalah konsekuensi dari kesalahan pertama di atas. Masalah ini terjadi karena unit identitas
yang dipakai Fukuyama adalah negara nation-state modern. Ia memakai kasus dengan frame-
work identitas yang terlalu luas, padahal ia mencoba memakai kasus-kasus sejarah. Akibatnya,
analisis Fukuyama terlalu umum dan kurang kredibilitas historis (misalnya Amerika Serikat dan
Italia sendiri sudah sering berubah bentuk selama dua abad terakhir). Ia tidak melihat perbedaan
antara kelompok etnis dengan nasionalisme negara. Misalnya, ia mencoba menyama-ratakan
Cina daratan dengan Cina perantauan dengan menekankan bahwa Cina perantauan itu semuanya
konservatif dan fanatik akan nilai-nilai Cina daratan. Ia tidak memakai analisis kontekstual dan
tidak menghiraukan bahwa ide budaya yang statis itu sendiri sudah ditinggalkan berbagai ilmuwan
sosial (Geertz 1973; Foucault 1976; Yang 1994; Eisenstadt 1995, dll.) Salah satu alasan Fukuyama
tentang homogenisasi identitas ini adalah keberadaan praktek nepotisme di kalangan Cina
perantauan yang ia lihat sebagai warisan Cina daratan (hal.76). Alasan ini sangat lemah, karena
praktek nepotisme ini ada di semua masyarakat yang dipakainya sebagai kasus, baik high-trust
maupun low-trust.
Ketiga, Fukuyama menganggap remeh konsep networking dan teori world system. Ia
menganggap berbagai perkembangan ekonomi di berbagai masyarakat itu terjadi secara terisolasi
dan tidak berhubungan satu sama lain (umpamanya kemajuan negara maju tidak ada
hubungannya dengan kemunduran negara lain). Fukuyama juga tidak mengindahkan analisis
pembentukan identitas, pergulatan antarkelas, dan efek ekonomi global. Hal ini menunjukkan
bahwa ia tidak tertarik dengan perbedaan (difference). Ia mengatakan bahwa perbedaan (diver-
sity) itu berguna sampai satu titik tertentu, selebihnya akan menghalang-halangi komunikasi dan
kooperasi dengan dampak ekonomi dan politis yang parah (hal.270). Ia menyalahkan teknologi
pasca Perang Dunia II sebagai penyebab berkurangnya interaksi sosial (hal.316) dan
menganjurkan meningkatkan proses asimilasi melalui kebijakan bahasa dan pendidikan (hal.306).
Dengan kata lain, ia menganjurkan homogenisasi masyarakat. Keseragaman menurut Fukuyama
adalah sifat yang lebih menguntungkan secara ekonomi daripada perbedaan (diversity). Ia lupa
bahwa perbedaan adalah produk reproduksi budaya itu sendiri dan berbagai usaha
menghomogenisasi masyarakat akan selalu menghasilkan perlawanan yang seimbang (lihat Fou-
cault 1976; Baudrillard 1979; Lyotard 1979; Spencer 1998). Anjuran Fukuyama tersebut masih
terjebak dalam perangkap positivis pencerahan (Enlightenment).

106 ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000


Fukuyama sang ideolog
Inti utama berbagai kritik di atas adalah Fukuyama belum bisa melepaskan diri dari
permasalahan definisi. Akibatnya, dalam mengajukan kesimpulan, ia setengah-setengah. Dengan
memakai theoretical framework sendiri pun Fukuyama masih gagal menjelaskan bagaimana
trust bisa dibentuk atau diubah dengan kebijakan struktural. Dalam menulis bukunya, terkesan
Fukuyama terlalu terburu-buru dalam menarik kesimpulan. Pendekatannya kadang utilitarian
(hal.345-346) dan kadang etis (hal.34). Definisinya tentang budaya (hal.33-34) sangat rapuh,
karena menganggap budaya sebagai sesuatu yang statis. Prediksinya terlalu modernistik, terlalu
progress-oriented, dan terlalu optimis.
Dari berbagai kritik di atas, kelihatan jelas bahwa Fukuyama adalah seorang ideolog dan
buku Trust-nya adalah sebuah manifesto superioritas struktur sosial modernis. Hal ini sangat
disayangkan sebab premis awalnya—bahwa trust itu memiliki basis budaya—masih bisa
dibuktikan, seandainya tingkatan kasus lebih dipersempit (misalnya kelompok kecil dan bukan
negara), metode analisis diperluas (misalnya memasukkan sisi relasi kekuasaan dan identitas),
dan fokus analisis dialihkan dari produk akhir budaya menjadi proses produksi dan reproduksi
budaya itu sendiri. Hal ini perlu dilakukan sebab kalau tidak dilaksanakan, maka trust lagi-lagi
bisa direduksi menjadi ideologi belaka.

Kepustakaan
Braithwaite, V.
1998 ‘Communal and Exchange Trust Norms: Their Value Base and Relevance to Institutional
Trust’, dalam V. Braithwaite, and M. Levi (peny.) Trust and Governance . New York: Russel
Sage Foundation. Hal. 46-74.
Baudrillard, J.
1990 Seduction, London: Macmillan.
Brook, T.
1997 ‘Profit and Righteousness in Chinese Economic Culture,’ dalam T. Brook, and Hy V., Luong
(peny.) Culture and Economy: The Shaping of Capitalism in Eastern Asia . Ann Arbor: The
University of Michigan Press. Hal. 27-44.
Dunn, J.
1984 ‘The Concept of Trust in the Politics of John Locke’, dalam R. Porty dkk. (peny.) Philoso-
phy in History . Cambridge: Cambridge University Press. Hal. 279-301.
The Economist
1995 ‘Trust in Me,’ The Economist . 16 December. Hal. 61.
Eisenstadt, S.N.
1995 Power, Trust, and Meaning: Essays in Sociological Theory and Analysis. Chicago: The
University of Chicago Press.
Foucault, M.
1976 The History of Sexuality I: An Introduction. Harmondsworth: Penguin.
Geertz, C. J.
1993 orig.1973 The Interpretation of Cultures. London: FontanaPress.

ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000 107


Luhmann, N.
1979 Trust and Power. Chichester: Wiley.
Lyotard, J.F.
1984 orig.1979 The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Manchester: Manchester
University Press.
Seligman, A.B.
1997 The Problem of Trust. Princeton: Princeton University Press.
Spencer, L.
1998 ‘Postmodernism, Modernity, and the Tradition of Dissent’, dalam S. Sim, (peny.) The Icon
Critical Dictionary of Postmodern Thought . London: Icon Books. Hal. 158-173.
Yang, M.M.
1994 Gifts, Favors, and Banquets: The Art of Social Relationships in China . Ithaca, N.Y.: Cornell
University Press.

A Cognitive Theory of Cultural Meaning


Oleh: Claudia Strauss dan Naomi Quinn
Cambridge: Cambridge University Press
1997 xii + 290 hlm. + Bibliografi + Indeks

Ditinjau oleh: Ezra M. Choesin


(Universitas Indonesia)

Claudia Strauss dan Naomi Quinn mengawali buku mereka dengan mengatakan bahwa teori
kebudayaan sedang menghadapi impasse. Sementara ahli-ahli antropologi menyadari bahwa
dunia ini tidak bersifat homogen, usaha-usaha menjelaskan variasi yang ada dengan menciptakan
entitas-entitas yang berdiri sendiri—masing-masing dengan kebudayaannya sendiri, sebagaimana
lazimnya tercermin dalam tulisan-tulisan yang mempergunakan ungkapan-ungkapan seperti
‘kebudayaan X’ atau ‘kebudayaan masyarakat Y’—dianggap tidak memadai lagi. Meminjam
istilah yang dipakai oleh Mikhail Bakhtin, Strauss dan Quinn mengatakan bahwa teori kebudayaan
harus dapat menjelaskan adanya daya sentripetal dalam kehidupan sosial—yang tampak dari
reproduksi budaya dan kecenderungan bertahannya pemahaman-pemahaman tertentu dalam
diri manusia dan sekelompok manusia—sekaligus menjelaskan adanya daya sentrifugal, yang
terlihat dari adanya variasi serta perubahan budaya. Berangkat dari masalah inilah kedua penulis
mengajukan pemikiran mereka tentang teori makna yang baru.
Perhatian kedua penulis terhadap makna bermula dari pengamatan bahwa (pembicaraan
mengenai) kebudayaan pada umumnya menyangkut masalah makna. Dengan demikian, Strauss
dan Quinn mengajukan pertanyaan yang sangat mendasar dalam pendahuluan buku mereka: apa
sesungguhnya yang dimaksud dengan makna?
Dalam bab pendahuluan, kedua penulis menyatakan keberatan mereka dengan definisi-definisi

108 ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000


makna yang selama ini ada, baik yang telah dikemukakan oleh kaum behavioralist, strukturalis,
maupun pascastrukturalis. Strauss dan Quinn mengatakan:
Meaning-as-use pretends that people act without having anything in mind.Meaning-as-emerging-
from-a-system-of-signs assigns a reality to these abstract systems that they do not have. Finally,
meaning-as-endlessly-deferred delights in the ceaseless play of signs, forgetting that in the meantime
people need some meanings to get them through the day. (hal. 5)
Hal yang menarik adalah apa yang mereka tawarkan, yaitu sebuah teori makna yang meminjam
pokok-pokok pikiran dari pendekatan behavioralistic klasik dan pendekatan ideasional—dua
pendekatan yang selama ini lebih sering dianggap bertentangan. Mengikuti para kaum
behavioralist, Strauss dan Quinn mengartikan makna sebagai ‘interpretasi yang muncul dalam
diri seseorang ketika berhadapan dengan suatu obyek atau peristiwa pada suatu saat tertentu’
(hal. 6). Dengan demikian, mereka melihat makna sebagai sesuatu yang bersifat sesaat dan
tergantung pada konteks tertentu. Namun demikian, mereka menambahkan bahwa makna ini
muncul sebagai hasil interaksi antara dua jenis struktur yang relatif stabil, yaitu struktur-struktur
intrapersonal dan ekstrapersonal. Struktur-struktur ekstrapersonal adalah segala yang bersifat
sosial—segala apa yang terjadi dalam masyarakat qua masyarakat—yang menjadi pusat perhatian
antropologi pada umumnya. Di lain pihak, struktur-struktur intrapersonal bersifat mental, dan
dengan memperhatikan masalah ini Strauss dan Quinn membedakan diri dari ahli-ahli lain yang
mengikuti pendekatan-pendekatan tersebut di atas.
Kritik Strauss dan Quinn terhadap teori-teori makna yang ada dijabarkan dalam Bab II buku
mereka. Pandangan pengikut aliran interpretivisme, pascastrukturalis dan pascamodern,
materialisme historis, dan ahli-ahli kognitif lainnya dibahas satu demi satu. Kritik yang mereka
lontarkan berkenaan dengan aspek psikologi yang hilang atau ditinggalkan dalam penjelasan-
penjelasan tentang makna dan pemaknaan. Sejalan dengan Melford Spiro, mereka mempertanyakan
pemahaman tentang kebudayaan seperti apa yang mungkin diperoleh bila kita mengabaikan the
human mind (hal. 10). Bagi mereka, teori-teori makna yang ada telah terlalu banyak memperhatikan
struktur-struktur ekstrapersonal dan mengabaikan yang bersifat intrapersonal, tanpa
sesungguhnya memberikan argumen yang kuat atau konsisten bagaimana makna bisa muncul di
luar diri individu.
Strauss dan Quinn melihat bahwa masalah yang dihadapi teori antropologi kini banyak
bersumber dari anti-psikologisme yang berkembang dari sejak tahun 1970an, yang paling kuat
tercermin dalam pernyataan Clifford Geertz bahwa ‘culture is public because meaning is.’
Pernyataan ini menunjukkan bahwa Geertz menempatkan makna di luar apa yang terjadi dalam
benak manusia. Strauss dan Quinn mengutip lagi sebuah kalimat dari Geertz: ‘Culture, this acted
document, thus is public…. Though ideational, it does not exist in someone’s head; though
unphysical, it is not an occult entity…’ (penekanan dari Strauss dan Quinn). Mereka
mempertanyakan bagaimana Geertz bisa memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang tidak
bersifat fisik, namun dengan mudahnya mengatakan bahwa kebudayaan tersebut adalah sama
secara ontologis dengan hal-hal yang jelas bersifat konkrit (hal. 19). Kedua penulis berpendapat
bahwa dengan menempatkan makna di luar diri individu, maka Geertz menemui kesulitan mencari
tempat baru bagi makna yang sekaligus memberikan makna tersebut status ontologis yang
diinginkannya.

ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000 109


Teori-teori makna lain yang dibahas oleh Strauss dan Quinn dikemukakan oleh pengikut
pascastrukturalisme dan pascamodernisme. Di sini, penolakan terhadap berbagai penjelasan
yang bersifat psikologis juga tampak. Psikologisme ditolak karena ada kekhawatiran bahwa
penjelasan tentang makna yang terkait pada proses-proses internal dalam diri manusia akan
menghasilkan kesimpulan makna sebagai sesuatu yang statis. Sebaliknya, ahli-ahli yang mengikuti
aliran ini melihat bahwa kebudayaan senantiasa dikonstruksi oleh para pelaku, untuk kepentingan-
kepentingan politis yang muncul sesaat. Strauss dan Quinn setuju dengan pendapat ini; hanya
saja, mereka mengatakan bahwa hal ini tidaklah bertentangan dengan penjelasan psikologis
yang mereka ajukan (hal. 24). Bagi kedua penulis, manusia tidak bisa menciptakan bentuk-bentuk
budaya baru dari kehampaan. Berbagai reinterpretasi selalu tergantung pada pemahaman-
pemahaman yang telah dipelajari sebelumnya. Dengan pemahaman-pemahaman yang
terinternalisasi inilah manusia mendefinisikan kepentingan-kepentingannya (hal. 25).
Materialisme historis juga melihat sistem-sistem pengetahuan dan praktek keseharian sebagai
hal-hal yang senantiasa mengalami perubahan. Pengikut aliran ini menolak penjelasan-penjelasan
psikologis karena adanya kecenderungan untuk menjelaskan perilaku dari nilai-nilai yang
terinternalisasi, serta kecenderungan melihat usaha-usaha resistensi terhadap sistem-sistem yang
eksploitatif sebagai perilaku menyimpang (hal. 37). Strauss dan Quinn beranggapan bahwa kritik
seperti ini hanya bisa diarahkan pada kajian-kajian antropologi psikologi yang dilakukan hingga
pertengahan abad XX, dan tidak berlaku bagi kajian-kajian antropologi psikologi akhir-akhir ini
yang telah banyak berkembang. Namun demikikan, Strauss dan Quinn melihat bahwa perhatian
pengikut materialisme historis terhadap makna budaya—yang memisahkan mereka dari pendahulu
mereka—merupakan perkembangan yang baik. Kedua penulis menyambut baik gagasan-gagasan
dari, antara lain, John dan Jean Comaroff, yang membedakan antara gambaran-gambaran tentang
realita yang bersifat hegemonik, yang begitu kuat tertanam dalam diri manusia, sehingga kekuatan
pengaruhnya terhadap diri manusia sudah tidak disadari adanya—dan ideologi yang selalu
diartikulasi secara sadar oleh manusia. Walaupun Strauss dan Quinn tidak menyebutkan secara
eksplisit, kiranya mereka juga melihat kesesuaian antara pemikiran Comaroff dan Comaroff tentang
kekuatan-kekuatan yang bersumber pada individu dan yang bukan (yang disebut sebagai agentive
power dan non-agentive power), dengan pemikiran mereka sendiri tentang kekuatan-kekuatan
intrapersonal dan ekstrapersonal.
Perhatian kedua penulis pada arus perkembangan lain dalam antropologi kognitif, yang
sering disebut sebagai cognition in practice, terpusat pada masalah bagaimana tindakan terwujud
melalui interaksi dengan orang lain dan linkungan fisik (hal. 42). Strauss dan Quinn setuju
dengan pendapat ini; akan tetapi mereka menolak anggapan banyak pengikut aliran ini bahwa
segala pembahasan tentang proses-proses internalisasi akan berimplikasi pada adanya aturan-
aturan bertindak yang bebas dari konteks. Menurut mereka, anggapan ini muncul dari penggunaan
model yang kurang tepat untuk memahami proses internalisasi itu sendiri. Strauss dan Quinn
bermaksud menawarkan sebuah model yang dapat menjelaskan proses-proses belajar, model
yang sekaligus menjelaskan bagaimana makna bergantung pada konteks (hal. 42).
Strauss dan Quinn beralih ke pemikiran Pierre Bourdieu, yang mereka anggap paling baik
dalam menjelaskan masalah makna dan tindakan. Secara khusus, mereka mengacu ke konsep
habitus dari Bourdieu—pengetahuan yang terinternalisasi dalam diri individu, namun tidak selalu
dalam bentuk yang pasti karena diperoleh melalui praktek sehari-hari yang bisa bervariasi dalam
110 ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
batas-batas tertentu (hal. 44). Gagasan Bourdieu bahwa habitus terstruktur oleh pengalaman
seseorang dengan obyek dan praktek-praktek yang ia temui sehari-hari, dan bahwa sebaliknya
habitus tersebut memberi struktur pada kebudayaan melalui praktek-praktek yang diwujudkan
individu, sesungguhnya memperlihatkan interaksi antara struktur-struktur intrapersonal dan
ekstrapersonal yang dimaksudkan oleh Strauss dan Quinn. Walaupun demikian, kedua penulis
melihat beberapa kelemahan dalam uraian Bourdieu, misalnya ketika ia mengatakan bahwa
pengetahuan dalam habitus tidak diungkapkan (unsayable, atau doxa) karena memang tidak
bisa diungkapkan. Strauss dan Quinn tidak sependapat, dan mengatakan bahwa walaupun manusia
tidak selalu menyadari bahwa ia sedang belajar, hal ini tidak berarti bahwa apa yang telah ia
pelajari akan selalu berada di luar kesadarannya. Berkaitan dengan proses belajar ini, Strauss dan
Quinn juga menilai Bourdieu kurang tepat dalam mengatakan bahwa pengenalan (familiarity)
dengan praktek-praktek sosial cukup untuk habitus. Mereka mengatakan bahwa tidak semua
keteraturan dalam praktek-praktek sosial teringat oleh individu, karena individu tersebut
mempunyai motivasi-motivasi yang mengarahkan perhatiannya pada hal-hal tertentu saja (hal.
46-47).
Kritik Strauss dan Quinn terhadap Bourdieu memperlihatkan pijakan mereka pada teori-teori
yang berkembang dalam psikologi, khususnya teori-teori tentang proses belajar. Dalam Bab III
buku ini, Strauss dan Quinn menjabarkan model yang mereka tawarkan untuk menjelaskan
bagaimana individu belajar, dan bagaimana makna (sebagaimana telah mereka definisikan) muncul
sebagai hasil interaksi antara pengetahuan yang ada dalam benak individu dan situasi yang
dihadapinya. Strauss dan Quinn tidak hanya mengacu pada teori-teori psikologi, tetapi juga
pada perkembangan-perkembangan terakhir dalam bidang artificial intelligence. Bab ini memuat
pembahasan yang cukup teknis, dengan berbagai bagan dan rumus yang tidak terlalu sering
dijumpai dalam buku-buku antropologi. Bagi pembaca yang telah terdidik dalam antropologi à la
Geertz atau aliran pascamodern, mungkin uraian dalam bab ini akan terkesan aneh, sulit,
membosankan, atau bahkan menjengkelkan dan ‘tidak antropologis’. Kedua penulis merasa
perlu untuk menyusun uraian mereka menjadi dua bagian. Bagian pertama berupa pembahasan
tentang prinsip-prinsip pendekatan yang mendasari model kedua penulis, termasuk perbandingan
dengan model-model lain yang pernah dan sedang digunakan oleh ahli-ahli psikologi, artificial
intelligence, maupun antropologi untuk menjelaskan kognisi. Bagian kedua adalah uraian yang
bersifat teknis dan rinci tentang model ini, yaitu bagaimana pengetahuan terstruktur dan diproses.
Strauss dan Quinn mengatakan bahwa pembaca yang tidak ingin lebih mendalami pendekatan
mereka bisa melewatkan bagian ini. Walaupun begitu, pembaca yang tidak menyempatkan diri
membacanya akan sangat rugi, sebab di sinilah—dengan contoh-contoh sederhana yang mereka
berikan—kedua penulis memperlihatkan keunggulan dari model yang mereka tawarkan.
Inti dari Bab III adalah sebuah model yang menggambarkan bagaimana manusia memproses
berbagai rangsangan yang diperolehnya dari lingkungan, dan bagaimana pengetahuan yang
ada dalam otak manusia diorganisasikan untuk mewujudkan sebuah tanggapan. Model ini
didasarkan pada pendekatan connectionism. Model pengorganisasian pengetahuan manusia
dijelaskan dengan menggunakan metafor jaringan syaraf: setiap neuron secara terpisah diaktifkan
oleh rangsangan dari luar dan meneruskannya ke neuron-neuron pada lapisan berikutnya. Neu-
ron yang berada pada lapisan kedua ini mengombinasikan masukan yang diperolehnya dari
sejumlah neuron peraba (sensory neurons). Bila masukan yang diterima oleh neuron-neuron di
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000 111
lapisan kedua melampaui ambang batas tertentu, barulah rangsangan diteruskan ke lapisan
neuron berikutnya hingga akhirnya sampai ke otot atau kelenjar.
Model ini berbeda dari model-model lain yang disebut symbolic processing models, di mana
pemrosesan pengetahuan digambarkan sebagai rangkaian peristiwa decoding dan encoding.
(Individu menerima lambang melalui inderanya, kemudian mengaitkannya pada konsep yang
tepat. Sebaliknya, konsep-konsep yang ingin diungkapkan dikaitkan dengan lambang-lambang
yang tepat untuk diwujudkan dalam tindakan atau ujaran.) Sebagaimana dikatakan kedua penulis,
metafor yang digunakan dalam model symbolic processing adalah merangkai kata-kata menjadi
sebuah kalimat (hal. 51).
Dalam memperbandingkan kedua model di atas, Strauss dan Quinn melihat bahwa model
yand didasarkan pada connectionism mempunyai keunggulan. Neuron-neuron pada lapisan
atas memroses dan mengombinasikan masukan dari sejumlah besar neuron yang berada pada
lapisan di bawahnya secara bersamaan. Menurut Strauss dan Quinn, dalam sebuah model
connectionist seperti ini pengetahuan diproses secara holistik (hal. 53), karena saling keterkaitan
antarsatuan-satuan pengetahuan (yang selam ini mereka ibaratkan sebagai neuron) pada berbagai
lapisan yang ada. Mereka memberi contoh keunggulan model mereka dengan membandingkannya
dengan model lain yang sering digunakan untuk menggambarkan proses kognisi manusia, yaitu
sebuah flowchart. Dalam sebuah flowchart, individu menetapkan pilihan-pilihan berdasarkan
informasi yang tersedia. Setiap pilihan menentukan pilihan-pilihan berikut. Bila kita ikuti garis-
garis dalam sebuah flowchart, maka proses kognisi ini seharusnya terhenti ketika informasi yang
diperlukan untuk membuat sebuah pilihan tidak tersedia. Hal ini menjadi masalah bagi Strauss
dan Quinn, yang menganggap bahwa sebuah model harus dapat menjelaskan bagaimana individu-
individu tetap bisa menanggapi sebuah situasi, sekali pun informasi yang tersedia bagi masing-
masing individu tidak selalu lengkap. Di lain pihak, sebuah model connectionist bisa
memperlihatkan apa yang terjadi bila individu menghadapi situasi seperti tersebut di atas. Tidak
tersedianya informasi tertentu tidak akan berakibat terhentinya proses kognitif individu, karena
apa yang tersedia saja yang dicoba dikombinasikan. Hal ini sekaligus menjelaskan bagaimana
makna yang muncul akan berbeda, tergantung pada konteks kejadian.
Selanjutnya, Strauss dan Quinn mengatakan bahwa model connectionist ini lebih tepat
menggambarkan proses belajar individu. Menurut mereka, individu tidak memperoleh
pengetahuan sepenuhnya dari instruksi formal sebagaimana tercermin dalam sebuah flowchart
(‘Jika Ya, maka X; jika Tidak, maka Y’ dst.). Bahkan, kebanyakan dari pengetahuan tersebut
diperoleh melalui pengamatan atas kejadian sehari-sehari. Di sinilah terlihat pemikiran Bourdieu
tentang habitus, maupun pendapat para ahli lain tentang cognition in practice.
Dalam bagian kedua buku ini (mencakup Bab IV dan V), Strauss dan Quinn menjabarkan ciri-
ciri (properties) dari kebudayaan. Pembahasan mereka mengacu pada pemikiran-pemikiran yang
telah mereka sebutkan di awal buku, yaitu tentang adanya kekuatan-kekuatan sentripetal dan
sentrifugal dalam kebudayaan. Mereka menunjukkan bagaimana pemahaman-pemahaman budaya
cenderung bertahan dalam diri individu, mempunyai kekuatan untuk memotivasi individu, bertahan
dari masa ke masa atau dari satu generasi ke generasi berikutnya, bersifat tematik dan dimiliki
bersama—kecenderungan-kecenderungan sentripetal dari kebudayaan tersebut. Namun, mereka
memperlihatkan juga bagaimana pemahaman-pemahaman tersebut dapat berubah-ubah—baik
dalam diri individu maupun antargenerasi—semua dalam suatu kerangka yang terpadu, yang
banyak didasarkan pada pendekatan connectionism.
112 ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
Untuk memberikan sebuah ilustrasi lengkap tentang berbagai ciri kebudayaan ini, Strauss
dan Quinn mengetengahkan pengalaman-pengalaman seorang tokoh khayal, yang mereka
ciptakan berdasarkan ciri-ciri banyak wanita dewasa di Amerika. Sementara itu, uraian mereka
tentang bagaimana model-model yang mereka tawarkan diterapkan pada penelitian empirik terdapat
pada bagian ketiga buku ini.
Bagian ketiga memuat hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Strauss dan Quinn secara
terpisah. Quinn meneliti tentang makna perkawinan dan cinta bagi pasangan-pasangan nikah
dalam masyarakat Amerika, sedangkan Strauss menaruh perhatian pada sistem jaminan sosial
(welfare) yang ada di Amerika. Kedua penulis sadar bahwa masing-masing memberikan penekanan
yang berbeda dalam penelitian. Quinn lebih banyak memperhatikan kecenderungan-
kecenderungan sentripetal dari kebudayaan, sementara Strauss melihat pada aspek-aspek
sentrifugal. Namun, kedua-duanya mempelajari proses-proses internalisasi dalam penelitian
mereka, yaitu bagaimana pemahaman-pemahaman lama bertahan dan bagaimana pemahaman-
pemahaman baru dipelajari oleh individu.
Quinn menceritakan bagaimana Strauss dan dirinya sendiri melihat perbedaan di antara
mereka. Secara bergurau mereka mengatakan bahwa Quinn melihat pada kecenderungan
sentripetal, karena ia mengikuti pendidikan dalam antropologi ketika banyak ahli lain berbicara
tentang kebudayaan sebagai sesuatu yang dimiliki bersama. Di lain pihak, Strauss—yang jauh
lebih muda dari Quinn—terlatih di masa saat banyak ahli antropologi justru berbicara sebaliknya
(hal. 137). Adalah penting untuk memperhatikan masa-masa perkembangan antropologi dan
teori-teori yang dikembangkan pada setiap masa, sehingga Strauss dan Quinn menutup buku
mereka dengan sebuah bab mengenai pertentangan pendapat yang ada dalam antropologi kini,
dan yang mungkin akan berlanjut di masa depan.
Dalam bab penutup buku ini, Strauss dan Quinn mengingatkan bahwa segala kritik yang
mereka lontarkan terhadap pendekatan-pendekatan lain dalam antropologi tidak dimaksudkan
untuk menafikan apa yang telah dicapai oleh ahli-ahli antropologi lain. Maksud mereka adalah
bahwa pendekatan apa pun yang diikuti akan berimplikasi pada penelitian yang dilakukan—dan
bahwa hal yang sangat kurang mendapat perhatian dalam penelitian-penelitian terdahulu adalah
proses-proses internalisasi atau aspek intrapersonal dari kebudayaan. Mereka menegaskan bahwa
memang model connectionist yang mereka tawarkan tidaklah menjelaskan segalanya (hal. 50,
252). Akan tetapi, model ini bermanfaat sebagai sebuah alat bantu (heuristic) dalam melihat
bagaimana makna terbentuk dalam interaksi antara struktur-struktur intrapersonal dan
ekstrapersonal. Strauss dan Quinn bahkan mengatakan bahwa model connectionist ini harus
diletakkan dalam sebuah kerangka teori yang lebih menyeluruh. Mereka menunjukkan bagaimana
mereka telah mempergunakan model ini bersamaan dengan, antara lain, teori-teori dari Bourdieu
dan teori-teori psikoanalisa.
Strauss dan Quinn sadar bahwa dalam suasana saat anti-psikologisme masih terasa sangat
kental, buku mereka akan sulit diterima oleh banyak ahli antropologi. Bahkan, mereka mengaku
berpikir dua kali untuk memakai kata cognitive dalam judul buku mereka, karena begitu kuatnya
kata itu tertanam dalam wacana psikologi. Strauss dan Quinn telah menawarkan sebuah teori
makna yang memperbaiki atau melengkapi teori-teori yang telah ada, dalam buku yang tersusun
dalam bahasa yang cukup mudah. Kiranya setiap orang yang mempermasalahkan makna dan
kebudayaan harus menyempatkan diri membacanya.

ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000 113


Menyoal Peran State Law
dan Kemajemukan Hukum

Hukum dan Kemajemukan Budaya:


Sumbangan Karangan Untuk Menyambut
Hari Ulang Tahun ke-70 Prof.Dr. T.O. Ihromi
Penyunting: E.K.M. Masinambow
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
2000. xv + 427 halaman.

Ditinjau Oleh: Djaka Soehendera


(Universitas Pancasila)

Buku tebal ini berisi 20 bab yang merupakan bunga rampai karangan—yang rata-rata—
membahas kenyataan dan proses hukum dalam berbagai masyarakat di Indonesia. Seperti yang
diuraikan dalam bagian Kata Pengantar, secara ringkas isinya mengenai: a) kajian hukum yang
merupakan salah satu aspek dari kebudayaan1 , dan b) kajian hukum sebagai obyek otonom yang
terpisah dari kebudayaan.2
Repotnya, bila para pengamat maupun pembaca ‘mendengar’ mengenai hukum, asosiasi
yang lazim muncul adalah: suatu bahasan yang kering, yang normatif, yang tidak jarang ‘berjalan
sendiri’ di luar konteks sosial-budaya masyarakatnya. Padahal, tidak semua kajian hukum—
apalagi yang bertajuk ‘hukum dan masyarakat’—itu berisi uraian-uraian das sollen belaka.
Paling tidak, untuk kebanyakan karangan dalam buku ini mencoba menguraikan dan membicarakan
kajian hukum dalam bentuk das seinnya. Dalam sub judul ‘Tradisi dan Pengaturan Sosial’ ada
bab yang berisi tulisan—yang sebetulnya menarik—mengenai pola sosialisasi anak, namun
tidak berkait langsung dengan bahasan antropologi hukum yang menjadi ‘benang merah’ dari
bunga rampai buku ini.
Bila disimak, sumbangan tulisan dalam bunga rampai ini terdiri dari beberapa tema (umum)
yang diwacanakan oleh antropologi hukum, antara lain: penyelesaian sengketa, informal justice,
hukum adat, akses kaum perempuan ke dalam pranata hukum, dan kemajemukan hukum. Bahkan,
beberapa penulis (Franz dan Keebet von Benda Beckmann) menguraikan masalah hubungan
kemajemukan hukum dengan hukum transnasional.
1
Dalam kajian antropologi hukum, hukum ditanggapi sebagai bagian dari pranata pengawasan sosial. Pranata
pengawasan sosial adalah bagian dari pranata sosial (social institution) yang bertugas sebagai penggagas, pencipta
dan penjaga ketertiban sosial (Ihromi 1984; Spradley dan McCurdy 1975).
2
Beberapa karangan dalam buku tebal ini juga mengkaji dengan pendekatan law in the books untuk beberapa
permasalahan hukum. Sayangnya antarkeduanya jarang sekali dikaitkan, baik secara metodologis maupun
analisisnya.
114 ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
Sebagian besar karangan dalam bunga rampai ini berisi tinjauan yang memperlihatkan adanya
gejala kemajemukan hukum (legal pluralism) yang belakangan ini memang menjadi trend di
kalangan para pengkaji antropologi hukum. Hukum, dalam pandangan mereka, tidaklah hanya
yang berasal dari hukum negara (state law), tetapi juga hukum-hukum yang hidup dan berkembang
dalam kehidupan masing-masing masyarakat dan kebudayaan.
Selama ini, yang terjadi, bila meminjam istilah Spradley dan McCurdy (1975), ialah adanya
sikap legal ethnocentrism, yakni: the tendency to view the law of other cultures through the
concepts and assumptions of Western. Padahal, sikap legal ethnocentrism itu mengundang
kritik, antara lain: a) cenderung meniadakan eksistensi dari hukum pada pelbagai masyarakat;
dan b) cenderung mengambil bentuk sistem hukum barat sebagai dasar dari penelaahan dan
penyusunan kebijakan.
Pada beberapa karangan dalam buku ini—misalnya tulisan Saidin, Sulistyowati Irianto, Ahmad
Ubbe, Valerine J.L. Kriekhoff, Sulastriyono dan sebagainya—diperlihatkan bagaimana sistem
hukum negara (state law) seringkali mendominasi lingkup kehidupan masyarakat, sehingga secara
sengaja maupun tidak terencana, digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul.
Padahal, penggunaan state law tanpa melihat konteks sosial-budaya serta efektivitasnya akan
memunculkan beberapa permasalahan, yakni: a) masyarakat semakin mempertanyakan fungsi
dan wewenang state law; b) masyarakat—paling tidak sebagian darinya—lebih ‘sreg’
menggunakan sistem hukumnya sendiri (agar permasalahan mereka dapat teruraikan) dan
mencampakkan state law; dan c) dominasi semu state law menjadi semakin terkuak pada pelbagai
proses hukum.
Sejatinya, fokus utama dari antropologi hukum (kini) adalah pada perubahan fundamental
yang berlangsung pada negara sedang berkembang sebagai hasil dari perubahan politik, ekonomi
dan sosial di dunia, dan hal itu memberikan efek yang mendalam pada sistem-sistem hukum
negara berkembang. Dengan demikian, antropologi hukum memberi perhatian pada perubahan
dalam sistem-sistem hukum yang kompleks di negara-negara berkembang tersebut.3
Beberapa kajian hukum sebetulnya sudah mencoba memaparkan gejala (dan perubahan)
hukum yang terjadi selama kurang lebih tiga puluhan tahun belakangan di tanah air. Munculnya
berbagai peraturan perundangan yang sentralistik justru mematikan kinerja, proses maupun
dinamika hukum-hukum masyarakat dan kebudayaan. Sekedar menyebut contoh, UU NO. 4/1974
Tentang Pemerintahan di Daerah, lalu UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa adalah dua UU
penting yang menyebabkan terjadinya dominasi state law terhadap hukum-hukum masyarakat
setempat (adat/tradisional). Lebih jauh lagi, karena kedua UU tersebut terjadilah penyeragaman
institusi-insitusi maupun aturan (pemerintahan) lokal. Akibatnya, terkikislah banyak institusi
lokal.
Contoh lain mengenai ‘sentralisasi’ hukum ini terlihat pada tulisan salah seorang penyumbang
karangan dalam buku ini yang membahas UU No. 16 tahun 1964 (seperti juga UU lainnya)
sebagai ‘law in the books’. Ia mengaitkannya dengan usulan mengenai upaya penggalian nilai-
nilai hukum melalui studi Antropologi Hukum. Nampaknya yang bersangkutan secara implisit
hendak menuliskan bahwa peraturan yang sentralistik seperti itu efektivitasnya menjadi problema

3
Lihat silabus Anthropology of Law dari Erasmus Universiteit Rotterdam 1998/1999 yang disajikan oleh
Prof.Dr. K. von Benda-Beckmann.

ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000 115


besar. Karena itu, sebaiknya proses ke arah kemajemukan hukumlah yang lebih tepat untuk
dilakukan. Tujuannya agar masyarakat-masyarakat dapat lebih terlindungi sebagai pelaku utama
sistem hukumnya; bukan sekedar sebagai penonton, atau malah sebagai ‘orang lain’ yang sama
sekali tidak mengetahui, atau tidak peduli adanya peraturan tertentu.
Dalam konteks negara, sebetulnya para pengkaji antropologi hukum—minimal yang
dipaparkan dalam buku ini—sudah mencoba untuk mengetengahkan interaksi maupun friksi
antara sistem hukum lokal (adat atau lainnya) dengan sistem hukum nasional yang diupayakan
penegakannya dengan sengaja, terus-menerus dan terkonsentrasi. Mereka juga memperlihatkan
ketidakberdayaan masyarakat menghadapi tekanan state law , namun sekaligus juga
memperlihatkan kekusutan dan problema yang muncul karena digunakannya state law dalam
pelbagai peristiwa hukum. Daripada menjadi penyelesai sengketa maupun pengurai friksi (sosial),
penggunaan state law justru menambah munculnya kendala pada pelbagai pihak yang
menerapkannya.
Walaupun kemudian beberapa UU ‘terpusat’ tersebut di atas—sejak proses reformasi
berlangsung (1998)—mulai digantikan dengan UU baru, misalnya dengan UU No. 22/99 dan UU
No. 25/99, namun kendala klasik justru menghadang, yakni: belum lengkapnya peraturan
pelaksanaan untuk dua UU yang dianggap oleh beberapa pihak memberi harapan tersebut. Di
sisi lain, kritik akan materi dan sajian kedua UU tersebut telah muncul. Utamanya mengenai
penggunaan istilah ‘desentralisasi’ yang lebih diartikan secara formal sebagai pengalihan
wewenang dan kewajiban kepada pemerintah Kabupaten dan Kota (d/h Kota Madya) dibanding
dengan penggunaan istilah desentralisasi secara luas. Maksudnya: dalam proses reformasi,
peran dan wewenang masyarakat setempat (lokal/adat/tradisional) seharusnya lebih diberi
kesempatan untuk mengemuka, dibanding sekedar peningkatan peran dan wewenang Pemda
setempat.
Belum lama berselang, ternyata telah dibuatkan Juklak (petunjuk pelaksanaan) untuk UU
No. 22/99, yakni Peraturan Pemerintah No. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Dalam PP ini antara lain dimuat mengenai:
kewenangan (yang agak lebih rinci) dari Propinsi dan Kabupaten/Kota pada pelbagai bidang
kegiatan. Namun, kembali lagi, bila membahas peraturan perundangan, hal yang paling mengganjal
adalah: bagaimana mengenai penegakannya (law enforcement)? Bila menyangkut law enforce-
ment, maka hal-hal berikut ini menjadi masalah yang rumit: a) masyarakat dan kebudayaannya
(karena sesungguhnya mereka memiliki sistem hukum yang majemuk); b) para aparat/penegak
hukumnya (yang dianggap tak juga meningkat kinerja serta aspek moralnya); c) sarana dan
prasarana penegakannya hingga; d) ‘mutu’ peraturan perundangan itu sendiri.
Walaupun konteks pembicaraan buku tebal ini mengenai kemajemukan hukum, hal berikut—
yang berkait—ini, penting untuk memperoleh perhatian. Sistem hukum negara (maupun sistem
hukum lain) sesungguhnya menghadapi banyak kendala dalam penerapannya. Seperti diulas
pada alinea di atas, hal itu kembali pada beberapa masalah hukum yang berkait (butir a hingga
butir d di atas). Padahal, bila ingin ditarik lebih jauh, masalahnya berpangkal pada wacana ‘law
and development’ (hukum dan pembangunan), yakni bagaimana peran dan posisi hukum dalam
kancah pembangunan 4 . Gerak pembangunan, seperti sudah diulas oleh banyak pihak,
4
Pertanyaan kritisnya adalah: betulkah hukum diupayakan secara de-facto sebagai ‘panglima’, atau sekedar
sebagai wacana, atau upaya seolah-olah agar terkesan ditegakkan?

116 ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000


sesungguhnya tidak netral. ‘Ia’ memihak—terang-terangan maupun secara tersamar, untuk
sebagian maupun keseluruhannya—dan didasarkan pada suatu (sebutlah) filosofi tersendiri.
Dengan demikian, meminjam istilah para pengkaji gejala sosial-ekonomi-politik, pembangunan
itu tidaklah netral. Hukum, sebagai pilar penegak dan pendukung serta penjaga pembangunan,
sulit diharapkan agar bersikap netral.
Pergerakan Hukum dan Pembangunan sebenarnya mengadopsi prinsip dasar dari Teori
Modernisasi, yakni bahwa kemajuan evolutif akan terjadi pada pemikiran hukum dan lembaganya
seperti halnya di Barat. Dalam teorinya, hukum adalah hal yang amat penting bagi pembangunan
ekonomi, karena menghasilkan elemen-elemen yang diperlukan untuk menfungsikan suatu sistem
pasar (cf. Tamanaha, 1998). Hukum adalah alat bagi pemerintah meraih tujuannya, menyediakan
pengendalian atas perubahan, atau melakukan tindakan yang oppressive. Dengan demikian,
dapat dipahami mengapa sejak kurang lebih 30 tahun, pemerintah—yang melakukan modernisasi—
mengedepankan wacana hukum formal dalam kegiatan sehari-hari5 . Masalahnya kemudian, apakah
benar bahwa hukum memang perlu—secara tulus dan benar—ditegakkan, atau justru sebaliknya?
Beberapa penulis seperti Adelman dan Paliwala (1993) menyatakan: terjadi semacam krisis
(serius) pada hubungan ‘hukum dan pembangunan’. Dalam meneropong krisis tersebut, bisa
disimak sebuah teori yang pernah terkenal di tahun 1970an-80an, yakni teori ketergantungan.
Teori ini sebenarnya kurang memberi perhatian pada hukum, alasannya: karena ‘legal forms and
ideas are secondary and ulitmately derivative’. Namun, teori ini menjadikan munculnya inspirasi
akan apa yang disebut sebagai ‘international law of development’. Intinya, international law
of development meliputi dorongan untuk menjamin bagi perlakuan-perlakuan dan hak-hak istimewa
dari negara-negara yang sedang berkembang pada bantuan pembangunan, khususnya yang
berkait dengan hak perdagangan, bantuan program pembangunan, bantuan-bantuan yang tak
mengikat dsb6 (yang berasal dari negara-negara maju). Hukum sendiri rupanya tidak memiliki
kemampuan memunculkan solusi apa pun, walaupun ia mungkin diperlakukan sebagai alat utama
untuk menolong dan melengkapi solusi dan keputusan untuk hal-hal lainnya.
Bila kemudian dalam kenyataan sehari-hari hukum tidak berdaya—dalam konteks teori
ketergantungan—hal itu memang dapat dipahami. Catatan penting yang dapat diberikan
berkenaan dengan Law and Development tersebut ialah:
a. hukum modern (dalam hal ini state law) itu perlu, tapi tidaklah cukup untuk pembangunan
ekonomi;
b.adanya ‘the rule of law’ cukup menolong, namun belum mencukupi untuk melaksanakan
pembangunan politik;
c. di antara kondisi minimum tersebut, hukum bukan hal penting yang utama. Pusat kegawatan
utama adalah pada campuran antara: sejarah negara yang unik, aspek kultural, ekonomi,
politik serta sumberdaya alam dan manusia; dan
d.negara berkembang akan beruntung bila mereka dapat mengembangkan variannya sendiri
mengenai isi dari ‘the rule of law’ (Tamanaha 1998).

5
Pengertian mengedepankan wacana hukum tentunya bisa berbeda dengan menegakkan rule of law secara
konsekuen dan konsisten.
6
Hubungan antara Indonesia dan IMF—terutama di saat terjadinya krisis ekonomi—dalam banyak hal
tergambarkan dalam kalimat tersebut.

ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000 117


Dalam konteks yang ‘merisaukan’ inilah banyak pihak masih berupaya agar ‘the rule of law’
dapat ditegakkan. Padahal, masalahnya, bila menyitir uraian di atas bukanlah melulu pada ‘sistem
hukum’, namun lebih ke dalam ‘filosofi’ pembangunan itu sendiri, serta pada arah perubahan
sosial-ekonomi-politik di dunia. Di sinilah muncul dilema peran state law. Dalam permasalahan
ini seharusnya hukum-hukum lain di negara berkembang (the other laws) ditempatkan.
Problemanya adalah: a) eksistensi mereka terancam oleh state law (maupun peraturan
perundangan daerah7 ); b) sementara itu pengikisan akan hukum-hukum lain tetap terjadi (baik
dari luar maupun dari dalam masyarakat sendiri); dan c) masih menjadi pertanyaan besar apakah
kemudian the other laws itu memadai dan signifikan untuk diperjuangkan setelah begitu lama
terkikis dan tertekan?
Kajian hukum dengan pendekatan antropologi hukum sesungguhnya masih jarang dilakukan,8
apalagi bila sebagian pengarangnya mencoba mengaitkan analisis maupun cara pandang antara
kenyataan dan proses hukum dengan ‘law in the books’. Dalam konteks inilah, buku yang
dipersembahkan untuk Prof.Dr. T.O. Ihromi 9 menemukan arti pentingnya. Walaupun variasi—
tema, cakupan maupun pendekatan—dari para penyumbang karangan nampak menonjol, namun
upaya penyuntingnya untuk mengategorisasikan, bahkan mencantumkan beberapa komentar
atas beberapa karangan cukup membantu pembaca untuk menyimak isinya.
Sementara itu, materi mengenai kemajemukan hukum (dan budaya) adalah hal penting untuk
ditelaah lebih jauh dan mendalam. Alasannya: sekitar tiga tahun belakangan, gejala friksi dan
konflik antar masyarakat dan budaya merebak di mana-mana. Masalah—yang cenderung semakin
rumit dan mengancam integrasi nation—itu perlu dicarikan pemecahannya. Sudut pandang
maupun konsep yang dipaparkan oleh beberapa pengarang dalam buku ini semoga dapat dijadikan
awal yang cukup bernas untuk turut mengurai permasalahan tersebut.
Sayangnya—seperti yang juga dikemukakan oleh salah seorang penyumbang tulisan—
artikel-artikel yang membahas mengenai kemajemukan hukum di tanah air ‘terasa’ belum beranjak
jauh dalam sepuluh tahun belakangan. Di sisi tertentu state law (sebagai gejala) tetap saja
diupayakan—terutama oleh institusi formal—agar terus mendominasi (walaupun berdinamika
dan keropos), dan menekan hukum-hukum lain yang masih terhimpit. Di sisi lain, alternatif pemikiran
maupun prakarsa yang bernas dan signifikan agar hukum-hukum lain tersebut lebih diberi
kesempatan dan tampil secara memadai, belum begitu terlihat. Barangkali, ada baiknya kajian-
kajian antropologi hukum, khususnya sub kajian kemajemukan hukum, di masa mendatang bisa
turut memberi analisis dan solusi alternatifnya. Berbagai pihak masih menantinya dengan tidak
sabar dan harap-harap cemas akan hasil dari sub kajian yang sebenarnya potensial ini.

7
Bila di masa lalu benturan sering terjadi antara hukum nasional (‘pusat’) dengan masyarakat dan hukum
lokalnya, maka di masa mendatang benturan nampaknya masih akan tetap terjadi, hanya bergeser pada masyarakat
versus pemerintah daerah (yang perangkat, organisasi maupun landasannya masih mirip dengan apa yang terjadi
sebelumnya), antarmasyarakat sendiri serta antara institusi pemda.
8
Di negara maju saja antropologi hukum disebut sebagai “a small subject that is taught in a few university,
especially in America (lihat The Law and Economics of Anthropology, Literature Review 0640 oleh Robert
Cooter 1997).
9
Meminjam istilah Franz dan Keebet von Benda-Beckmann (2000), T. Omas Ihromi adalah ilmuwan untuk
beberapa dekade di Indonesia yang secara konstan mengupayakan perkembangan dan pembentukan kajian
antropologi hukum.

118 ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000


Kepustakaan
Adelman, S. dan A. Paliwala (peny.)
1993 Law and Crisis in the Third World . London, New York: Hans Zell.
Von Benda-Beckmann, K.
1998 Silabus di Erasmus Universiteit Rotterdam, Anthropology of Law (RK66) Studiegids 1998/
1999.
Von Benda-Beckmann, F. dan K. von Benda-Beckmann
2000 ‘The Law of Things. Legalization and Delegalization in the Relationship between the First
and the Third World’, dalam E.K.M. Masinambow (peny.) Hukum dan Kemajemukan
Budaya. Sumbangan Karangan untuk Menyambut Hari Ulang Tahun ke-70 Prof.Dr. T.O.
Ihromi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Cooter, R.
1997 ‘Literature Review 0640: The Law And Economics of Anthropology ’. Berkeley: University of
California.
Spradley J.P. dan D. McCurdy
1975 Anthropology: The Cultural Perspective. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Ihromi, T.O. (peny.)
1994 Antropologi dan Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Tamanaha, B.
1998 The Lesson of Law-and-Development Studies. Leiden: Van Vollenhoven Institute Publication
Series.

ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000 119

Anda mungkin juga menyukai