Anda di halaman 1dari 11

State Building

Merupakan istilah yang digunakan dalam teori Negara. Ini menggambarkan


tersusunnya sebuah Negara.Konsep ini pertama kali digunakan berkaitan dengan
terbentuknya Negara-negara di Eropa barat dan fokus pada penegakan kekuasaan
Negara dalam masyarakat (Tilly 1975). Uraian keuntungan kebangkitan negara di
Eropa adalah sebagai berikut:

"state building” terjadi jika terbentuknya personel khusus, pengendalian atas wilayah,
loyalitas, dan keberlangsungan pemerintahan, lembaga tetap pada sebuah negara yang
tersentralisasi dan otonom menangani kerusuhan pada masyarakat tertentu."

Daftar Isi

1. Definisi
2. Membedakan "Nation Building", Intervensi Militer, Perubahan Rezim
3. Peace Building VS State Building
4. Struktur Negara Dalam Konsep State Building
5. Pendekatan State Building
5.1. Good governance
5.2. New Public Management
5.3. Desentralisasi
6. Contoh State Building
7. literatur
8. Referensi

Definisi

Terdapat dua teori pendekatan utama untuk mendefinisikan state building. Pertama,
state building dilihat dari aktivitas yang dilakukan aktor-aktor eksternal (negara
asing) yang berusaha untuk membangun, atau membangun kembali, institusi yang
melemah pasca konfilk atau Negara yang mengalami kegagalan. Ini dilihat dari luar
sudut pandang pendidikan state building sebagai kegiatan satu negara dalam
kaitannya dengan anot98990-0plopher, biasanya mengikuti beberapa bentuk
intervensi (seperti suatu operasi penjaga perdamaian PBB). Sebuah pendapat yang
muncul dimedia mengenai Irak dan Afghanistan dan telah mempengaruhi dokumen-
dokumen seperti laporan PBB: “Sebuah dunia yang lebih aman: tanggung jawab kita
bersama” laporan konferensi tingkat tinggi mengenai ancaman, Tantangan dan
Perubahan A/59/565, atau dalam RAND panduan mudah menuju Nation Building
(lihat diskusi tentang nation building vs state building).

Rangkaian kedua teori dan definisi ini mendapatkan momentum setelah


penandatanganan suatu perjanjian internasional pada tahun 2007 di antara negara-
negara donor pada aktivitas mereka di negara-negara yang terkena dampak konflik
dan labil. Perjanjian tersebut dilakukan negara kaya untuk mempertimbangkan
mendukung "state building" sebagai “tujuan utama” di negara-negara yang terkena
konflik. Hasilnya adalah adanya pendekatan dari komisi kerja baru oleh negara-
negara donor terkait dengan definisi, pengetahuan dan praktek dalam State-Building,
banyak hal yang dikoordinasikan oleh tim dari Organisasi Kerjasama Ekonomi dan
Pembangunan.Tugas ini cenderung menitik beratkan pada ilmu politik. Dia telah
menghasilkan definisi dalam memandang State-Building sebagai pemahaman
pribumi, Proses nasional digerakkan oleh hubungan State-society. Masyarakat
pribumi melihat kemungkinan Negara tersebut tidak bisa menuju state-building diluar
batasannya masing-masing, mereka hanya bisa dipengaruhi, didukung atau dihambat
prosesnya. Ilustrasi ini merupakan pemikiran singkat OCED dan study penelitian
yang dihasilkan oleh institute pembangunan luar negeri.

Pada 2008 lembaga pemerintahan Inggris untuk pembangunan Internasional


mengeluarkan makalah terkait State building yang membantu memberikan pemikiran
baru dalam bidang ini dan menjadikannya identik dengan pandangan masyarakat
pribumi. Ini lebih menarik dibandingkan pengetahuan yang lalu, dan juga dalam
sudut pandang konferensi para ahli akademik. Makalah ini membawa perdebatan
yang lebih maju dengan menawarkan model tentang bagaimana indigenous state-
building dinamis mungkin berfungsi dalam kenyataan (the whaites model). Makalah
ini berpandangan bahwa state-building lebih mengutamakan proses politik dan bukan
semata-mata tentang bertambahnya kemampuan teknis. State-building dipandang
melibatkan tiga pandangan yang berkembang yaitu :transaksi politik (biasanya oleh
kalangan elite), prioritas dari kebijakan pemerintah pusat dan kemauan untuk
memenuhi tuntutan masyarakat.( lihat juga kesepakatan politik)

Perselisihan dua teori yang umum dan menuliskan terdapat consensus yang lebih luas
yang dipelajari tentang bagaimana mendukung proses State-Building yang belum
dipahami sepenuhnya. Beberapa mempercayai dukungan terhadap State-Building
diperlukan bertambahnya legitimasi dan kelanjutan dari institusi Negara, namun
banyak yang setuju bahwa cara untuk mencapai hal itu belum sepenuhnya
dikembangkan. Sedikitnya dorongan pasca konflik menuju State-Building yang
selama ini dijalankan masih jauh dari keberhasilan. Dari sudut pandang exogenous
bisa dikatakan bahwa inti selanjutnya dalam mendukung State-Building cenderung
terjadi di Negara yang memiliki karakteristik masyarakat sipil yang brutal,
kehancuran ekonomi, lembaga, infrastruktur, lingkungan, mudahnya masyarakat
mendapatkan senjata, besarnya jumlah tentara yang tidak puas yang kemudian
bergabung dan dimobilisasi, atau etnis dan pemeluk agama yang dipecah belah.
Rintangannya terbentuk oleh sulitnya memasukkan dasar demokrasi dan nilai-nilai
hak asasi manusia kedalam Negara-negara yang memiliki perbedaan politik, budaya,
dan agama keturunan.

Keduanya aliran pemikiran ini menghasilkan kritik dan pelajaran guna menguji
proporsi yang dibuat. Endogenous model, dengan penekanan pada proses
pembentukan State-Building, akan memiliki implikasi yang besar terhadap program
donor, diplomasi dan menjaga perdamaian. Dilaporkan bahwa OECD telah menjadi
sponsor dalam pengujian beberapa pemikiran yang terkait dan DFID mengikuti
makalah asli dengan mengeluarkan daftar panduan bagi program yang dijalankannya.
Kritikan penting di kembangkan oleh NGO’s seperti Conciliation resources dan the
asia Foundation, dengan fokus utama pada whites proposisi sebuah persetujuan
politik mendorong State-Building. Juga terdapat upaya untuk menguji tesis dengan
melihat wilayah indivudi yang di sediakan oleh Negara, terutama dibidang kesehatan.

Sedangkan pendekatan dengan whaithe model (DFID) telah mencoba berargumen


State-Building itu terjadi disemua Negara dan banyak yang bisa di pelajari dari State-
Building yang berhasil disana terdapat kecenderungan untuk mengalihkan diskusi
menuju pada konteks utama permasalahan. Hasilnya banyak literature terkait state-
building sibuk dengan isu-isu pasca konflik. Misalnya: (Dahrendorf, 2003), (The
Commision on post Conflict Reconstruction, 2003), (Collier, 2003), (Fukuyama,
2004), (Paris, 2004), (Samuels, 2005). Kebanyaka kritikan pada kedua teori terkait
dengan strategi yang kurang memadai dan kurangnya koordinasi, lemahnya staf, dan
dana yang kurang memadai atau waktu yang tidak tepat. Selain itu, semakin diakui
bahwa target yang ingin dicapai sebenarnya sangat kompleks dan hanya terdapat
sedikit keterangan tentang cara yang terbaik untuk menjalankannya. Sebagai contoh,
sangat sulit menciptakan lingkungan yang aman diwilayah konflik, atau melucuti
senjata yang ada, tentara berhasil disatukan dan dimobilisasi. Hampir tidak mungkin
untuk mengatasi pengangguran dinegara yang perekonomiannya hancur dan
tingginya angka buta huruf, atau memperkuat aturan hukum dimasyarakat yang
sebelumntya aturan ini telah runtuh. Selain itu, tidak diinginkannya konsekuensi
negative dari bantuan internasional yakni lagi dan lagi. Ini berkisar pada distorsi
ekonomi untuk memperbaiki hubungan akuntability oleh elit politik lebih condong ke
pihak internasional dibandingkan dengan penduduk dalam negeri.

Pendekatan pertama pendekatan dari luar terhadap state-building, (aktivitas yang


dilakukan oleh actor-aktor eksternal/ Negara), mungkin yang paling controversial dari
dua aliran pemikiran. Itu terlihat seperti memiliki konotasi dengan imperialism dan
kolonialisme, dimana masyarakat sekitar melihat bahwa kekuatan asing merupakan
penjajah yang mencoba memaksakan budaya dan system dari luar. Dalam hal ini
muncul pernyataan berupa kritik yang menyatakan bahwa perangpun bisa
diperpanjang guna menimbulkan kerusakan tambahan terkait infrastruktur musuh.
Dalam hal ini, pengkritisi menyatakan, kepentingan ekonomi muncul. Contoh
kejadian yang diutarakan oleh para pendukung teori ini meliputi rekonstruksi Jerman
setelah perang dunia II melalui marshall plan, dan rekonstruksi jepang setelah di
bombardier amerika melalui operasi militer, dan masih banyak lagi, yang
menggunakan perusahaan pribadi.

Bagian kedua dari pemikiran pribumi (sebuah proses adat dari hubungan state
society) memiliki nuansa kurang menekan dan membuat jelas bahwa kepemimpinan
nasional dan visi pusat penting. Memang, bagaimanapun, berpotensi meninggalkan
kesenjangan dalam hal strategi bagi masyarakat internasional untuk mendukung
positif state building di Negara-negara miskin, paska konflik dan Negara yang labil.
pekerjaan lebih lanjut diperlukan untuk mengubah ide dan model dari kedua aliran
pemikiran yang terkait kebijakan yang bersih untuk membantu negara-negara yang
terkena dampak konflik.

Membedakan “Nation Building, Intervensi Militer, Perubahan Rezim

Dalam konteks amerika, beberapa komentator menggunakan konsep “nation


Building” dan “State Building” secara bergantian ( contoh dalam laporan RAND
tentang peran amerika dalam Nation Building). Namun di kedua teori utama yang
biasa dipakai tetap menggunakan state sebagai pemikiran utama dibandingkan Nation
( Nation konvensional mengacu pada penduduk , yang dipersatukan oleh kesamaan
identitas, sejarah, budaya dan bahasa). Isu yang diperdebatkan berkaitan dengan
struktur Negara (dan hubungannya dengan masyarakat) dan hasil dari State Building
itu menghasilkan istilah yang bisa lebih diterima. Dalam ilmu politik “nation
Building” memiliki arti yang berbeda, yang didefinisikan sebagai proses yang
mendorong rasa memiliki kesamaan identitas dalam suatu kelompok tertentu, definisi
ini lebih cenderung mengarah pada sosialisasi masyarakat dibandingkan kapasitas
Negara.

Demikian pula, State building (nation building) pada waktu yang lalu bercampur
dengan intervensi militer dan perubahan rezim (sering terjadi di Amerika). Sebagian
berasal dari aksi militer di German dan Jepang di perang dunia II dan Negara-negara
yang dihasilkannya, dan menjadi biasa terutama setelah intervensi militer di
Afganistan (oktober 2001) dan Irak (maret 2003). Bagaimanapun, penggabungan
kedua konsep ini sangat controversial, dan telah digunakan oleh kelompok oposisi
dan kekuatan politik sebagai sebuah pembenaran, atau penolakan terhadap
pendudukan militer yang illegal, atas tindakan di Iraq dan Afganistan. Oleh karena
itu, perubahan rezim dan tekanan dari luar harus dibedakan dari state building.

Peace Building Vs State Building

State building mungkin tidak secara otomatis menciptakan peace building dank arena
menuju state building secara inherent lebih bersifat politis, itu mungkin sesbenarnya
merupakan bagian dari konflik selanjutnya. Upaya-upaya yang dilakukan untuk
memuaskan atau ‘buy off’ kelompok kepentingan tertentu untuk kepentingan
perdamaian kemungkinan akann melemahkan state building, yang kemudian berujung
pada pembagian kekuasaan melalui mekanisme kesepakatan politis, namun lembaga
Negara menjadi tidak efektif. Turunnya peace building terkadang merupakan strategi
Negara dalam menciptakan pendamaian dan pembangunan dalam waktu yang lebih
cepat, misalnya, banyak NGO’s di Republik Demokratik Kongo sedang membangun
sekolah tanpa keterlibatan negara. Negara juga bisa mendapatkan masalah ketika ia
terlalu bergantung dengan actor internasional yang bisa memperburuk keadaan
disuatu Negara.
Struktur Negara Dalam Konsep State Building
Istilah Negara bisa digunakan untuk memaknai entitas geografis politik yang
berdaulat dengan penduduk, sebuah wilayah, pemerintahan, dan kapasitas dalam
hubungan antar negara, seperti yang didefinisikan oleh hukum internasional
(konvensi Montevideo tentang hak dan kewajiban negara, 26 Desember 1933, pasal
1), dalam satu set institusi sosial memonopoli penggunaan kekuatan yang sah
didaerah tertentu (Max weber, 1919).

Tujuan dari State-Building dilingkungan yang tidak stabil, sub-struktur Negara bisa
didefinisikan sebagai sebuah rezim politik (atau system pemerintahan), tata
pengelolaan pemerintahan (Konstitusi), dan perangkat institusi Negara (atau
organisasi) contohnya angkatan bersenjata, parlemen dan system peradilan. Kapasitas
Negara mengacu pada ketangguhan dan kemampuan lembaga negar. Secara
konvensional, bangsa mengacu pada penduduk itu sendiri, yang disatukan oleh
kesamaan identitas, sejarah, budaya dan bahasa.
Pendekatan terhadap State building

Meskipun terdapan banyak cara khusus yang menjadi strategi agar state building
berhasil terbentuk, terdapat tiga pendekatan khusus yang berhasil di identifikasi oleh
laporan UNRIST pada 2010 yang lalu. Ketiga pendekatan itu secara keseluruhan ada
dibawah teori yang berkaitan dengan peran internal, yaitu : Pemerintahan yang baik,
manajemen public yang baru, dan desentralisasi.

Good Governance (Tata pemerintahan yang baik)

Good governance merupakan istilah yang sangat sering digunakan untuk


menggambarkan seberapa sukses pemerintah menyediakan lembaga public yang
melindungi hak-hak masyarakat. Telah ada pergeseran tujuan dari terciptanya tata
pemerintahan yang baik sebagaimana yang dinyatakan oleh Kahn “ paradigma yang
dominan berkembang lebih pada mengidentifikasikan kemampuan tata keola
pemerintahan agar terlihgat sebagai Negara yang lebih ramah terhadap pasar.
Termasuk didalamnya kemampuan untuk tetap melindungi hak atas kepemilikan
property, penegakan supremasi hukum, penerapan kebijakan anti korupsi yang lebih
efektif, dan memastikan akuntabilitas pemerintah”. Good governance ini merupakan
sebuah prose peningkatan pasar yang muncul pada tahun 1990-an. Pendekatan ini
berkaitan dengan penegakan aturan hukum, menciptakan perlindungan kepemilikan,
dan mengurangi korupsi. Dengan memfokuskan pada 3 hal ini, sebuah Negara
mampu meningkatkan efisiensi pasar. Terdapat teori siklus kegagalan pasar yang
menjelaskan bagaiman tidak ada jaminan terhadap kepemilikan dan gencarnya
korupsi, selain masalah yang lain menyebabkan kegagalan pasar.

1. Siklus dimulai dengan perekonomian yang stagnan, yang dapat meningkatkan


dan menyebabkan ketidak efisienan dari pemerintahan yang labil dan aturan
hukum yang tidak mampu menanggapi masalah dengan efektif.
2. Karena pemerintah yang tidak akuntabel atau lemah, menyebabkan kelompok-
kelompok kepentingan dalam skala kecil bisa menyalahgunakan pemerintah,
sehingga menimbulkan rentenir dan munculnya korupsi.
3. Korupsi dan rentenir dari kelompok kepentingan akan menghasilkan
lemahnya hak atas kepemilikan dan tidak adanya jaminan keamanan dalam
hukum Negara terhadap warga Negara dan pengusaha kecil. Selain itu korupsi
juga mempengaruhi berkurangnya kesejahteraan.
4. Lemahnya jaminan kepemilikan dan rendahnya tingkat kesejahteraan
mempengaruhi tingginya biaya transaksi pasar.
5. Tingginya biaya transaksi pasar mengarahkan kepada perekonomian yang
stagnan.

Bisa dipahami bahwa meningkatkan supremasi hukum dan menekan korupsi


merupakan metode penting untuk menaikkan stabilitas dan legitimasi pemerintah,
tidak ada yang bisa memastikan apakah metode ini merupakan dasar yang baik
menuju state building. Peneliti menemukan bahwa hal yang berkaitan dengan
kepemilikan, kualitas peraturan, korupsi, saran dan akuntabilitas, ternyata memiliki
hubungan dengan peningkatan pendapatan perkapita.

New Public Management (Manajemen public baru)

Pendekatan ini pertama kali muncul di selandia baru dan Inggris pada 1980-an. New
public manajemen menggunakan pasar selayaknya reformasi dalam pelayanan public
yang memberikan kekuatan kepada pemerintah untuk menjalankan rencan
pembangunan ekonomi yang dijalankan dengan dasar system pasar yang kompetitif
untuk merubah sector produksi masyarakat. Pada pendekatan ini pemerintah
memberikan kontrak yang berbasiskan kinerja kepada koorporasi swasta untuk
beroperasi dibidang industri. Hal ini meningkatkan terciptanya industri yang berdaya
saing namun tetap berada dibawah pengawasan pemerintah, sehingga bisa
mengefektifkan industri dan pengeluaran pemerintah. Salah satu kelemahan dari
pemerintaha yang labil. Jika perusahaan pribadi yang besar mengambil alih
kepentingan industri, pertumbuhan industri bisa terancam ditangan kepentingan
perusahaan swasta. Untuk melihat contoh dari State Building, singapura adalah
contohnya.

Desentralisasi

Referensi yang menyatakan kedekatan dengan state building itu menguntungkan


karena “ ia berusaha untuk mengurangi kebiasaan meminjam dan alokasi sumber
daya yang tidak efisien terkait terpusatnya kekuasaan dengan membagi kekuasaan
hing tingkatan pemerintahan yang paling bawah, dimana masyarakat kelas bawah
cenderung bisa terpengaruh dan banyak actor yang terlibat didalam penyediaan
layanan.

Masalah yang berpotensi muncul dengan berlakunya desentralisasi secara berlebihan


adalah tidak efisiennya sumber pendistribusian karena ketidakmampuan untuk
mengkoordinasikan pemerintah daerah. Jika sector pelayanan masyarakat juga terlalu
besar cenderung akan menurunkan kualitas dan mengabaikan kapasitas pemerintah.

Contoh State-Building

1. Haiti 1995

2010- menyusul gempa bumi 2010, Haiti menjadi sebab kepopuleran pilantropi.
Negara anggota PBB menjanjikan dana 5,3 milyar dollar dalam jangka 18 bulan
menyusul terjadinya gempa bumi. Terdapat lebih dari 3000 NGO beroperasi di
Haiti. Ini bermanfaat untuk pemulihan jangka pendek, namun banyak
kekhawatiran terkait penolakan media yang juga menolak bantuan filantropi
kepada Negara yang diantaranya disebut “Republik NGO’s”. pemerintah bekerja
untuk mengorganisir bantuan yang datang kenegara menjadi rencana jangka
panjang yang dijalankan oleh pemerintah. Sebuah studi yang baru diserahkan oleh
RAND corporation memperlihatkan temuan para peneliti yang membahas tentang
apa yang dibutuhkan untuk investasi jangka panjang. Para peneliti mengutip
beberapa inisiatif penting yang perlu diambil dalam proses rebuilding: 1.
Menciptakan stabilitas melalui system peradilan yang tegas dan melindungi hak-
hak warga Negara, dan kepolisian yang kuat untuk menegakkan hukum. 2.
Administrasi yang transparant. Hal ini dapat berjalan dengan mencari prosedur
yang bersih bagi pegawai administrasi, memberikan insentif terkait kinerja, dan
memberikan pekerjaan yang jelas fungsinya. Ini akan menghapus setiap posisi
pemerintah yang tidak jelas dan menempatkan orang yang tanggung jawab
terhadap Negara, meningkatkan efisiensi kerja dalam pemerintahan. 3.
Membuang reruntuhan dari tengah-tengah port-au-prince untuk mengembalikan
kebanggaan nasional Negara ini. 4. Memudahkan pendaftaran untuk bisnis dan
property guna mempromosikan tatanan bisnis dan system kepemilikan property
yang stabil. 5. Di sector pendidikan dan kesehatan, pemerintah mengeluarkan
perjanjian terhadap banyak NGO’s yang beraktifitas di Haiti. Hal ini bukan hanya
terkait pemanfaatan sumber daya NGO’s, namun juga memberikan ijin kepada
pemerintah untuk mengontrol setiap tindakan, menciptakan tindakan yang
terkoordinir dalam pembangunan.

Korea selatan telah melaksanakan reformasi dengan cara membuka akses


perekonomiannya kepada investor asing dan berusaha menjadikan eksport sebagai
orientasi ekonominya. Saat ini mereka memimpin dalam otomotif jauh
dibandingkan sebelumnya, industri teknologi maju. Korea selatan mencapai
pertumbuhan ekonomi ini dengan memberikan izin untuk meliberalkan
perekonomian mereka, sekaligus menjaga control dari bank sentralnya. Hal ini
memungkinkan mereka mengatur industri dan perusahaan mendapatkan pinjaman
lunak. Aturan ini telah memberikan kekuasaan kepada pemerintah Korea Selatan
untuk menetukan arah kebijakan perekonomiannya, selain itu juga
memungkinkan mereka untuk berkembang dibawah kebijakan ekonomi liberal.
Korea Selatan bukan merupakan Negara yang kaya mineral, juga tidak memiliki
sumber daya alam yang signifikan yang dapat digunakan untuk membangun
perekonomiannya.selain itu, Korea Selatan, saat ini menggunakan pasar yang
lebih bebas, terus mengembangkan rencana terpadu untuk pertumbuhan bangsa
dan terus mengontrol bank sentral untuk membantu memandu rencana tersebut.

2. Singapore 1989- sekarang

Sejak 1989, singapura telah menjalankan reformasi manajerial yang dikenal


dengan pelayanan public menuju abad ke-21 menggunakan system administrasi
public, dikenal dengan meritocracy, level atas dan etika professional, untuk
menciptakan system manajemen public. Sebagian besar pelayanan public
dijalankan oleh lembaga eksekutif

Anda mungkin juga menyukai