Anda di halaman 1dari 7

Teori Modernisasi Klasik

1. McClelland: Motivasi Berprestasi


Bagi McCelland, yang bertanggung jawab atas proses modernisasi Negara-negara
Dunia Ketiga ialah kaum wiraswastawan domestik. Bukan para politisi atau penasehat ahli,
karena kaum wiraswastawan mempunyai semangat dan sifat berdagang tinggi – bekerja
dengan tekun dan memperbaiki kesalahan agar lebih baik dikemudian. Oleh karena itu, para
investor jangan hanya menanamkan modalnya dari segi ekonomi. Melainkan melakukan
investasi pada pengembangan Sumber Daya Manusia.
Motivasi berprestasi menurut McClelland adalah keinginan yang kuat untuk mencapai
prestasi gemilang yang dikerjakannya melalui penampilan kerja yang baik, dengan selalu
berpikir dan berusaha untuk menemukan cara-cara baru untuk memperbaiki kualitas kerja
yang dicapainya. Inilah yang sesungguhnya ingin dicapai oleh kaum wiraswastawan.
Pertanyaan tertulis bukan metode bagus untuk mengukur motivasi berprestasi, karena
seseorang akan berbohong untuk itu. Oleh karenanya, McClelland mengukurnya
dengan Metode Proyeksi.
Motivasi berprestasi tingkat individu dapat diukur melalui Metode Proyeksi. Lalu
bagaimana mengukur motivasi nerprestasi suatu negara? McClelland menggunakan alat
untuk mengukur berskala nasional ini dengan mengumpulkan literatur populer; nyanyian
rakyat, buku komik, puisi, drama, dan cerita anak-anak.
Selanjutnya, setelah McClelland mengukur kebutuhan suatu Negara berskala
Nasional. Ia melihat sejauhmana kebutuhan berprestasi ini berkaitan dengan pembangunan
ekonomi nasional.
McClelland mengukurnya dengan konsumsi tenaga listrik di suatu Negara. Dari hasil
penelitian antar Negara, McClelland mengatakan bahwa semakin tinggi konsumsi tenaga
listrik suatu Negara akan memiliki derajat yang tinggi pula dalam pembangunan ekonomi.
Terakhir, McClelland mencari cara untuk menaikkan Skala Kebutuhan Berprestasi.
Caranya dengan melihat lingkungan keluarga pada saat pembimbingan anak, yakni:
 Pertama, orang tua hendaknya menentukan standard motivasi yang tinggi terhadap
anak.
 Kedua, memberikan dukungan terhadap kemampuan dan bakat anak.
 Ketiga, orang tua hendaknya tidak bersikap otoriter namun demokrasi partisipatif.

2. Inkeles: Manusia Modern


Inkeles memusatkan perhatiannya, yaitu:
 Apakah negara dunia ketiga akan memiliki sikap hidup modern setelah berinteraksi
dengan negara barat?
 Apakah ada akibat ketegangan psikologis dari manusia negara dunia ketiga setelah
mengalami modernisasi?
Lalu, Inkeles mewancarai 6000 anak muda yang dipilih dari berbagai kategori, seperti
petani, kaum migran, pekerjaan perkotaan sektor bukan industri, pekerjaan perkotaan di
sektor industri dan pelajar.
Setelah itu, menurut Inkeles, manusia modern akan memiliki berbagai karakteristik,
yakni:
1.      Terbuka terhadap pengalaman baru.
2.      Independen terhadap otoritas tradisional.
3.      Percaya terhadap ilmu pengetahuan.
4.      Manusia modern memiliki ambisi hidup yang tinggi
5.      Memiliki rencana jangka panjang.
6.      Aktif terlibat dalam percaturan politik.

Dari karakteristik itu, Inkeles menemukan pokok-pokok pikiran, yaitu:


 Pertama, bahwa pendidikan merupakan faktor terpenting yang mencirikan manusia
modern.
 Kedua, jenis pekerjaan di pabrik akan turut mempengaruhi manusia menjadi
modern.

3. Robert N. Bellah: Agama Tokugawa


Bellah menguji:
 Apa sumbangan yang diberikan oleh agama Tokugawa terhadap cepatnya laju
pembangunan Ekonomi Jepang? dan;
 Bagaimana sumbangan itu diwujudkan?

Perhatian Bellah terhadap Jepang bukan karena Jepang satu-satunya negara bukan barat
yang mampu mengembangkan industrialisasinya pada ambang pintu mamasuki abad ke-20,
tetapi juga karena jepang memiliki satu pola industrialisasi yang khas.
Awal gerak gelombang industrialisasi di jepang pada akhir abad ke-19 tidak dimulai
dari langkah kaum industriawan, pengrajin, atau pedagang, melainkan oleh
kelas samurai.  Kelas samurai inilah yang sesungguhnya membangun kembali masa kejayaan
kekaisaran Jepang, dan meletakkan dasar-dasar modernisasi Jepang.
Dengan mengikuti arah penelitian yang dikembangkan oleh Weber, Bellah mulai
tertarik untuk menguji ada tidaknya keterlibatan agama dalam kasus Jepang ini. Dengan kata
lain, “Apakah ada satu analogi fungsional dari etik protestan dalam agama Jepang?”  yang
menimbulkan lahirnya masyarakat industri modern Jepang sekarang ini.

Agama Jepang
Dalam usahanya mengamati agama di Jepang, Bellah membuat dua klasifikasi
observasi.
 Pertama, sekalipun memang terdapat banyak agama di Jepang, termasuk di dalamnya
Konfusianisme, Budhisme, dan Shinto. Hal ini tidak menghalangi untuk menganalisa
atau mengkategorikan agama-agama di Jepang tersebut sebagai entitas.
 Agama di Jepang memang sudah berbaur dan sulit dibedakan secara lebih rinci lagi.
Agama satu dengan agama yang lainnya sama-sama mempengaruhi dan memiliki
hubungan. Sehingga bisa dikatakan bahwa Konfusianisme di Jepang sangat berbeda
dengan Konfusianisme di China dan Budhisme jepang berbeda dangan Budhisme
India.
 Kedua, bahwa agama di Jepang membentuk nilai-nilai dasar masyarakat Jepang.
Dilihat dari sejarah, agama di Jepang bermula sebagai etika dari para pejuang
samurai, baru dikenal di masyarakat luas setelah melalui pengaruh agama
Konfusianisme dan Budhisme.

Bellah mengambil tiga keterkaitan antara agama dan pembangunan ekonomi di Jepang,
yakni:
a. Pengaruh Agama Secara Langsung Mempengaruhi Etika Ekonomi
b. Pengaruh Agama Terhadap Ekonomi Terjadi Melalui Pranata Politik
c. Pengaruh Agama Terjadi Melalui Pranata Kelurga

4. Lipset : Pembangunan Ekonomi dan Demokrasi


Dalam uraian ini akan dijelaskan tentang :
 Hubungan antara demokrasi politik dengan pembangunan ekonomi.

Sejak zaman Aristoteles hingga kini, teori-teori ilmu sosial memiliki kecenderungan
untuk menyatakan, bahwa ‘semakin baik derajat kehidupan ekonomis suatu negara, semakin
besar tersedia kemungkinan, bahwa negara tersebut akan memegang dan memelihara tatanan
demokrasi’.
Dalam hal ini Lipset hendak mencoba mencari bukti:
1. Pertama. Apakah hanya negara-negara atau masyarakat yang kaya saja yang mampu
mendukung dan menumbuhkan demokrasi?
2. Kedua. Apakah masyarakat miskin yang di dalamnya terdapat massa miskin yang
demikian banyak akan mendorong timbulnya pemerintahan oligarkis dan atau Tirani?

Pada dasarnya, Lipset menggunakan analisa stratifikasi untuk menjelaskan keterkaitan antara


pembangunan ekonomi dan demokrasi. Baginya, “pembangunan ekonomi, meningkatnya
pendapatan, derajat keamanan ekonomis, dan menyebarnya pendidikan banyak berpengaruh
terhadap bentuk perjuangan lapisan masyarakat yang dari padanya tersusun landasan
pembangunan demokrasi.
 Pertama, lapisan masyarakat kelas bawah di negara-negara miskin memiliki
pengalaman yang lebih inferior dibanding lapisan masyarakat yang sama di negara
maju, dengan kata lain partai politik di negara miskin memiliki kecenderungan untuk
lebih ekstrem dan radikal dibanding partai politik di negara yang telah maju.
 Kedua, pembangunan ekonomi juga mempengaruhi tingkah laku politik kelas
menengah, karena kelas menengah ini memiliki kecenderungan untuk secara aktif
terlibat dalam organisasi politik, maka mereka mampu melakukan aksi untuk ikut
mengendalikan kekuasaan negara.

Teori Modernisasi Baru


1. Wong : Familisme dan Kewiraswastaan
Berasal dari penelitian Wong. Dimulai dengan penyajian kritik terhadap interpretasi
para pakar teori modernisasi klasik tentang pemahaman dan penafsiran pranata famili
(keluarga) tradisional Cina. Wong hendak menunjukkan bahwa pranata keluarga memiliki
efek positif terhadap Pembangunan ekonomi. Pemikirannya antara lain :
 Adanya praktek Manajemen paternalistic di banyak badan usaha di Hongkong.
 Nepotisme mungkin juga memberikan andil terhadap keberhasilan berbagai badan usaha
Hongkong.
 Adanya mode pemilikan keluarga yang membantu keberhasilan usaha etnis Cina di
Hongkong.
Wong tidak memberlakukan pranata keluarga sebagai faktor yang menghambat
pembangunan ekonomi. Ia justru berpendapat sebaliknya, bahwa pranata keluarga tradisional
justru akan mampu membentuk etos ekonomi dinamis dengan apa yang disebut sebagai “etos
usaha keluarga”. Etos ini melihat keluarga sebagai unit dasar kompetisi ekonomi, yang akan
memberikan landasan untuk terjadinya proses inovasi dan kemantapan pengambilan resiko.
Menurut Wong, ada tiga karakteristik pokok dari etos usaha keluarga. Yaitu:
1. Konsentrasi yang sangat tinggi dari proses pengambilan keputusan, tetapi disaat yang
sama, juga terjadi rendahnya derajat usaha memformalkan struktur organisasi.
2. Otonomi dihargai sangat tinggi, dan bekerja secara mandiri lebih disukai.
3. Usaha keluarga jarang berjangka panjang, dan selalu secara ajeg berada dalam posisi
tidak stabil.

2. Davis: Teori Lintas Gawang dan Teori Barikade


Teori Lintas Gawang (A theory of hurdles)
Menurut Davis, Weber telah menawarkan teori lintas gawang, yakni teori yang
menyatakan bahwa pembangunan merupakan seperangkat rintangan panjang yang melintang
sejak garis permulaan sampai garis terakhir. Dalam lomba ini, peserta lomba yang berhasil
mengatasi segala rintangan hendak diberi ganjaran berupa julukan sebagai masyarakat
modern dan rasional.
          Rintangan lintas gawang yang perlu dilewati ini terdiri atas brbagai macam. Pertama,
peserta lomba hendaknya mampu menghilangkan rintangan ekonomis jika hendak mencapai
karakteristik dasar kapitalisme. Kedua, peserta lomba juga diharapkan memapu mengatasi
gawang rintangan sosial politik. Ketiga,  peserta lomba juga dihadapkan pada gawang
rintangan psikologi.
Menurut Davis, Weber dan semua pengikutnya dalam teori modernisasi yang telah
mencoba menjelaskan keterkaitan antara agama dan Pembangunan telah membuat berbagai
kesalahan berikut :
 Mereka secara agak sembarangan telah membuat asumsi, bahwa agama merupakan
satu-satunya sumber tumbuhnya “etos spiritual” atau “sistem nilai pokok” yang
diperlukan untuk mempengaruhi semua segmen masyarakat untuk bergerak kearah
yang sama dan satu tujuan.
 Telah menganggap bahwa sekularisasi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
proses modernisasi dan civilisasi.
 Pengikut Weber yang memiliki kecenderungan untuk secara berlebihan memberikan
tekanan kepada keunikan budaya Jepang dalam menjelaskan keberhasilan
pembangunan ekonominya, sama sekali gagal memperhatikan factor hubungan social
lainnya (kepentingan individu, persaingan, ketidakloyalan, konflik).
Teori Barikade
Davis menawarkan teori barunya yang disebut Teori Barikade. Dia memberikan
sanggahan kepada Weber dan pengikut teori lintas gawangnya. Menurut Davis, teori lintas
gawang pada dasarnya melihat agama dari sudut pandang peserta lomba modernisasi yang
agresif, dan berasumsi bahwa halangan dalam lari lintas gawang ini dengan pasti akan dapat
dilalui. Davis menawarkan satu argumentasi dari sudut pandang yang berbeda, yakni dari
sudut pandang tradisionalisme. Bagaimana masyarakat tradisional menyiapkan barikade
untuk melindungi dirinya sendiri dari kemungkinan gangguan yang ditimbulkan oleh
berkembangnya nilai-nilai kapitalisme. Yang ditakutkan oleh masyarakat tradisional bukan
kemajuan dan modernisasi, tetapi pada kerusuhan social dan kekejian moral yang timbul
sebagai akibat dari tiadanya batas berkembangnya tata niaga perdagangan dan kapitalisme itu
sendiri.

Davis melukiskan masyarakat tradisional dalam tiga lingkaran yang terkonsentris.


 Lingkaran terdalam merupakan representasi ekonomi dan nilai yang terkait. (kebutuhan
berprestasi dan universalitas)
 Lingkaran tengah menggambarkan wujud barikade imunisasi yang ditumbuhkan oleh
masyarakat tradisional untuk menghalangi perkembangan ekonomi. Barikade ini antara
lain termasuk nilai-nilai tabu, kegaiban, agama tradisional, nilai-nilai moral, hukum,
filosofi, dan agama rakyat.
 Lingkaran luar merupakan representasi masyarakat dan nilai-nilai yang terkait status, dan
hubungan kekuasaan.

3. Banuazizi: Revolusi Islam di Iran


Sama seperti halnya Davis, Banuazizi mengkaji peran agama dalam pembangunan. Ia
berpendapat untuk memberikan penghargaan yang lebih besar terhadap tradisi dalam
masyarakat.
Kritik Banuazizi (1987) terhadap teori modern klasik:
1. Teori modern klasik membangkitkan sebuah image ideal masyarakat barat
kontemporer;
2. Teori modern klasik mendefinisikan tradisi sebagai sesuatu yang negatif;
3. Teori modern klasik berargumen bahwa dunia ketiga harus menyingkirkan hambatan
tradisional sebelum terwujudnya modernisasi.

Inilah pemikiran Banuazizi terhadap sebuah “Tradisi”:


 Tradisi dapat sebagai reflektif, kreatif dan responsif terhadap kebutuhan individual dan
kolektif sebagai mitra modernisasi;
 Tradisi yang memiliki potensi besar dalam mobilisasi sosial dan perubahan;
 Pada 1980-an terjadi kebangkitan gerakan tradisionalis dalam bentukIslamic
Resurgence tentang penolakan nilai-nilai barat atau gaya hidup barat dan ketaatan
terhadap kode etik islam serta penegakan hukum suci.

Apa penyebab dari revolusi Iran?


Bagaimana revolusi Iran menarik untuk meningkatkan pemahaman kita tentang teori
modernisasi baru?
Di media barat, gerakan kebangkitan islam barat digambarkan sebagai ekstrimis,
anakronistik dan kemunduran. Gerakan ini dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya
eskalasi konflik etnoreligius dan disintegrasi politik. Banuazizi berpendapat bahwa
interpretasi barat tersebut menunjukan satu sisi kegagalan mereka dalam mengendalikan
faktor struktural, budaya dan agama.

Hal yang dapat dipelajari dari Revolusi Islam di Iran:


 Modernisasi tidak selalu membawa sekularisasi, di mana revolusi islam di Iran harus
dilihat dalam kaitan terjadinya kesenjangan sosial, perbedaan budaya, dan tidak
populernya rezim pemerintah di mata rakyat;
 Aktor  tradisionalis tidak terhambat oleh sifat tradisional, ideologi tradisional ini
bermanfaat dalam mengartikulasikan tuntutan gerakan perubahan sosial kelompok
sekuler modern. Hal ini berlaku untuk Syiah Islam, Ortodoks Yudaisme di Israel,
teologi pembebasan di Amerika latin, dan gereja katolik dalam gerakan buruh di
Polandia;
 Gerakan tradisional keagamaan juga dapat menarik bagi mereka yang
memiliki extensive exposure kepada lembaga modernisasi (seperti kelas menengah
baru). Akhirnya, sejak tahun 1979, Banuazizi telah mengamati kemenangan elemen
tradisionalis dan penghapusan virtual semua kelompok lain yang telah berpartisipasi
dalam koalisi revolusioner. Mengingat hasil pengamatan ini, Banuazizi menegaskan
bahwa dialog tentang tradisi dan modernitas harus dibuka kembali, kali ini dengan
penekanan pada tradisi.

Huntington: Akankah Akan Ada Lebih Banyak Negara Demokratis?


Huntington menyajikan kajian komprehensif dari berbagai faktor penting yang
berkaitan dengan pengembangan demokrasi di negara-negara dunia ketiga. Pada tahun 1960,
Lipset optimis terhadap hipotesis bahwa pembangunan ekonomi yang lebih baik akan
menyebabkan demokrasi. Pada 1970-an, peneliti di sekolah modernisasi menjadi lebih
pesimis terhadap prospek demokrasi di dunia ketiga. Pada 1980-an, prospek demokrasi
tampaknya telah cerah kembali, dan hasil penelitian cenderung menunjukan
adanya kemungkinan transisi ke demokrasi.
Dalam melakukan penelitian untuk menjawab pertanyaan “Akankah Akan Ada Lebih
Banyak Negara Demokratis?” Huntington membahas proses politik melalui pembangunan
demokrasi. Dia membahas tiga model demokratisasi, yaitu:
1. Model Linear, seperti yang terjadi di Inggris dan Swedia, di mana demokrasi
berkembang berawal dari tahap terwujudnya persatuan nasional, tahap perjuangan
politik, tahap keputusan untuk adopsi aturan demokrasi dan tahap pembiasaan kerja
sesuai aturan demokrasi
2. Model Siklus, seperti yang terjadi di negara Amerika Latin, di mana ada intervensi
militer terhadap pemerintahan terutama pada saat terjadi kekacauan ekonomi atau
kerusuhan politik
3. Model Dialektis, seperti yang terjadi di Jerman, Yunani dan Spanyol, di mana terjadi
tekanan terhadap rezim otoriter oleh kelas menengah dalam hal partisipasi politik

Huntington membahas isu urutan terbaik bagi perkembangan demokrasi, yaitu:


 Mendefinisikan identitas nasional
 Mengembangkan lembaga politik yang efektif seperti sistem pemilu dan partai
 Memperluas partisipasi politik

Anda mungkin juga menyukai