Anda di halaman 1dari 545

BAB I

ILMU BUDAYA

A. Ilmu Budaya (the science of culture)


1. Mengapa Ilmu Budaya
Ilmu budaya adalah the scientific study of culture (Smith, 1990: 89). Ilmu
budaya juga sering diasosiasikan dengan ilmu kebudayaan (the sudy of
culture) yang lebih banyak mengarah pada ilmu perlambangan (semiotics).
Ilmu budaya (culture study) lebih banyak memokuskan perhatiannya pada
pembahasan budaya dan sistem-sistemnya. Ilmu budaya juga menkaji
budaya populer (cultural study), yang lebih mengarah pada kajian budaya
kekinian (sinematology, musicology, modern market, modern life style, media dan
sebagainya). Dengan demikian, ilmu budaya dekat dengan culturelogy (ilmu
tentang budaya).
Dalam Bohannan (1988: 336) disebutkan, bahwa culturelogy, seperti
White menyebutnya ilmu budaya, dianggap olehnya sebagai langkah ter-
baru dalam evolusi ilmu pengetahuan. Ini adalah budaya sebagai ilmu
pengetahuan, menurut White, yang dapat menjelaskan lebih banyak tentang
perilaku manusia dibandingkan dengan ilmu lainnya, termasuk sosiologi
dan psikologi. Perilaku manusia (human behavior) yang dimaksud White di
sini adalah salah satu bentuk perwujudan dari tiga wujud kebudayaan yaitu
perilaku budaya (cultural behavior).
Apabila dikatakan, bahwa ilmu budaya adalah the scientific study of
culture atau studi budaya (the study of culture), konsekuensi logisnya budaya
merupakan ontologi dari sebuah kajian (science). Ilmu budaya harus mem-
punyai alur dan kerangka pikir (ontologi, epistemologi, aksiologi dan teori) 1
yang berbeda dengan disiplin-disiplin ilmu lain, yang juga membahas kebu-
dayaan sebagai obyek kajiannya. Sebagai sebuah perspektif ilmiah, ilmu
budaya harus melihat budaya sebagai budaya (disipliner), bukan sebagai
hasil dari sebuah proses seperti yang dipahami dalam antropologi, sosiologi
dan psikologi (interdisipliner). Yang dimaksud memandang budaya sebagai
budaya di sini adalah mengkaji budaya sebagai sebuah hasil (cultural
artifact) dan bukan sebagai suatu proses. Ammatowa ri Kajang (Pemimpin
adat tertinggi suku Kajang) mengatakan, bahwa ada tiga hal yang harus
manusia pikirkan dalam bertingkah laku, yaitu: larie’ ripikirannu (terbesit di
pikiranmu), lakuta’namo riatinnu (tanya kata hatimu), lanugaukangngi (laku-
1
Lihat Smith (1990: 221) ontologi adalah studi ban teori keberadaan atau eksistensi.
Dalam Filsafat dan metafisik ontologi disebut sebagai asumsi tentang realitas dan sifat
dari sebuah eksistensi. Dengan demikian pengetian ontologi secaa luas adalah kajian
tentang konsep-konsep yang secara langsung berkaitan dengan eksistensi, realitas, serta
kategori dasar keberadaan dan hubungan mereka.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 1


kanlah). Menurut Ammawa lebih lanjut, bahwa ketika ketiganya saling ber-
kaitan (sebagai sistem), tidak mungkin anda melakukan kesalahan. Amma-
towa kemudian menambahkan, bahwa anjo atiyya ponggahanai panggaukang-
nga, naanjo pikirangnga ponggahanai atiyya napangngaukang, artinya ‘hati
adalah pengontrol tindakan dan pikiran sebagai pengontrol perilaku dan
tindakan’.
Antropologi dan sosiologi memandang kebudayaan sebagai suatu
bentuk rangkaian proses dari sebuah bentuk kognitif (cultural knowledge)
yang diaplikasikan kedalam bentuk tindakan atau perilaku (cultural beha-
vior) dan akhirnya menghasilkan benda budaya (cultural artifacts). Perlu juga
saya jelaskan di sini, bahwa yang dimaksud perilaku, baik dalam antropo-
logi maupun sosiologi adalah tingkah laku yang berpola dan berulang-
ulang (patterned dan regulated behavior). Tingkah laku yang berpola tersebut
bisa difahami sebagai suatu bentuk pola lingkah laku individu (individual
behavior) seperti yang menjadi pelabuhan akhir perahu Antropologi atau
pola tingkah laku kolektif (collective behavior) seperti yang dipahami dalam
Sosiologi. Psikologi, di pihak lain, memandang kebudayaan sebagai hasil
dari individu, sehingga kurang lebih konsisten dengan pola pikir dan
tingkah laku manusianya.
Jadi, perspektif ilmu budaya (study of culure) yang melihat budaya
sebagai budaya memang perlu dibedakan dengan beberapa perspektif lain
(antropologi, sosiologi, psikologi) yang juga konsen dengan kebudayaan.
Bednya, karena ilmu-ilmu tersebut melihat budaya sebagai barang jadi
(readymade atau cultural materealism). Jika, kembali mengacu pada konsep
White di atas, bahwa ilmu budaya mampu menjelaskan perilaku manusia
dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya, akan menjadi semakin jelas,
bahwa ilmu budaya harus berjalan di atas rel-rel atau koridor-koridor
kerangka pikir ilmiah tentang budaya.
Dalam beberapa cabang ilmu, seperti yang sudah dijelaskan di atas,
memahami budaya sebagai hasil dari sebuah rangkaian proses. Manusia di-
anggap sebagai the creator of culture (penghasil dan pencipta kebudayaan),
sehingga main fokus kajiannya adalah manusia individu (individual), ma-
nusia kolektif (collective people) atau masyarakat dan manusia sebagai perso-
nalitas atau kepribadian (personality). Jika terjadi ketimpangan antara pemi-
kiran (cultural knowledge), perilaku (cultural behavior) dan hasil perilaku
(cultural artifact), sudah dapat dipastikan adanya ketidakstabilan (abnormal)
hubungan ketiganya, sebagai suatu sistem. Ketidaknormalan inilah yang
menjadi indikator psikoanalisis dalam psikologi, perilaku menyimpang
dalam antropologi, konflik di dalam sosiologi, diagnosa dalam ilmu kedok-
teran dan sebagainya.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 2


Para antropolog yang berkiblat pada psikologi, misalnya, lebih banyak
membahas kebudayaan sebagai hasil perilaku, yang megarah ke pengertian
perilaku sebagai gambaran dari kepribadian (personality)2 kelompok pen-
dukung kebudayaan. Ruth Benedict (1946) dan penganut teori Gestalt,
misalnya, lebih mengarah pada bagaiman bentuk kepribadian dari sebuah
masyarakat yang dikaitkan dengan latarbelakang kebudayaan mereka.
2. Definisi Kebudayaan
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa sesungguhnya
sangat sulit untuk mencari definisi yang dapat diterima oleh semua pihak
yang berkepentingan dengan studi budaya. Hal ini disebabkan, karena hal
tersebut sangat heterogen dan universal sifatnya. Bahkan, Maran (2000: 24)
mensinyalir pernah ada usaha-usaha spekulatif untuk mendefinisikan
kebudayaan, seperti yang dilakukan oleh 0. Spengler (1880-1936) dan R. G.
Collingwood (1889-1943). Spengler ternyata memandang kebudayaan hanya
sebagai proses kehidupan fisik yang tidak sadar (unconsciousness), Menurut-
nya hanya dapat dipahami melalui suatu kepekaan instingtif belaka.
Dengan demikian, anggapan Spengler ini mengingkari peran manusia
sebagai pencipta kebudayaan (the creator of culture). Itulah sbabnya, sehingga
manusia menyandang predikat binatang berkebudayaan (cultural bound
animal). Ini pula yang membedakan manusia dari mahluk primat atau
binatang lainnya. Spengler tampaknya lupa, bahwa alam fisik-material
adalah prinsip, sehingga tidak ada hukum otomatis di alam ini yang mampu
mengubah materi menjadi kebudayaan dan peradaban. Oleh karena itu,
anggapan Spengler tersebut memang patut ditolak saja, karena tidak
memiliki dasar ilmiah yang fundamental.
Kajian spekulatif lainnya dilakukan oleh R. G. Collingwood yang me-
nelaah kebudayaan hanya sebagai gerak ide-ide spiritual belaka. Dengan
demikian, ia juga mengabaikan semua aspek fisik-material yang mengkon-
disikan proses pembentukan suatu kebudayaan. Ia pada prinsipnya tidak
menyadari, bahwa karakter alamiah dari suatu daerah ikut menentukan ciri
suatu kebudayaan (environmental determinism). Ini biasanya tampak dalam
aspek peradaban material, misalnya, dalam wujud makanan, pakaian, per-
senjataan, peralatan, tempat tinggal, permukiman, sarana transportasi dan
metode komunikasi.

2
Lihat Robbins, Stephen P., Judge, Timothy A. (2008: 126-127), bahwa kepribadian adalah
keseluruhan cara seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu lain. Lihat
pula Agus Maladi Irianto dkk. (2005), bahwa kepribadian adalah suatu totalitas psikofisis
yang kompleks dari individu, sehingga nampak dalam tingkah lakunya yang unik. Lihat
juga Gerald (2009) Personality is defined as the characteristic set of behaviors, cognitions, and
emotional patterns that evolve from biological and environmental factors.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 3


Pengertian kebudayaan atau budaya secara non-teknis (modern) adalah
seperangkat peraturan dan standardisasi, yang apabila dipenuhi oleh para
anggota masyarakat, menghasilkan perilaku yang dianggap layak (ber-
budaya) dan dapat diterima oleh para anggotanya. Sebaliknya, perilaku
yang lainnya dianggap tidak patut (tidak berbudaya) dan dijauhi oleh
anggotanya. Akan tetapi, patut atau tidaknya hal tersebut tergantung pada
nilai-nilai dan norma-norma konvensional dari masyarakat pendukung
sebuah kebudayaan yang bersangkutan. Orang Bugis, misalnya, meng-
anggap kata iyo (sama yess dalam bahasa Inggris) cenderung tidak ber-
terima. Sebaliknya, orang Tator menganggap iyo sebagai ungkapan hono-
rifik yang patut diterima. Orang Bugis-Makassar sangat tidak menginginkan
terjadinya kawin lari (ilariang atau silaring)3 dalam kelompok dan keluarga
mereka. Mereka menganggap kawin lari adalah bentuk penghilangan harga
diri (siri') kaum kerabat. Suku Dayak di Kalimantan dan suku Sasak di Nusa
Tenggara Barat menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja dan
cenderung dilakukan oleh masyarakatnya. Perempuan Bugis-Makassar
pada umumnya tidak mau dipoligami, akan tetapi masyarakat Kapauku di
Irian Jaya justru seorang perempuan rela mempunyai madu lebih dari satu
orang (poligini).
Menurut Haviland (1993: 332), bahwa definisi kebudayaan secara
teknis dan ilmiah pertama kali dikembangkan oleh para ahli antropologi
menjelang akhir abad-19. Definisi pertama yang sangat jelas dan dianggap
komprehensif dikemukakan oleh Sir Edward Burnett Tylor (1871). Tylor
mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu kompleks keseluruhan yang
meliputi pengetahuan (knowledge), kesenian (arts), hukum (laws), moral
(moralities), kebiasaan (attitude) dan kecakapan lain (other capabilities) yang
diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Pasca definisi kebudayaan
Tylor tersebut, definisi lanjutan dan pengembangan mulai menjamur dan
beragam sesuai dengan kebutuhan dan latar belakang ahlinya masing-
masing. Pengembangan konsep dan definisi tentang kebudayaan ini mem-
beri peluang kepada A. L. Kroeber dan Cluckhohn dalam bukunya Culture:
A Critical Review of Concepts and Definitions untuk mengumpulkan definisi
sebanyak 300 buah (Smith, 1990: 65). Definisi-definisi tersebut berkembang
sejalan dengan waktu dan latar belakang atau profesi dari ahli yang mende-

3
Lihat kata palariang, ilariang dan silariang dalam Gising (2009). Kata palariang mengan-
dung pengertian, seorang laki-laki membawa lari anak gadis, baik suka sama suka mau-
pun ada unsur paksaan (penculikan). Demikian pula dengan kata ilariang dapat diarti-
kan, seorang anak gadis dibawa lari oleh seorang laki-laki atas persetujuannya sendiri
atau ia diculik dan/atau dibawa paksa oleh seorang laki-laki. Sementara itu, silaring
adalah sebuah tindakan kabur oleh dua orang berbeda jenis dengan tanpa persetujuan
keluarga pihak perempuan.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 4


finsikannya. Oleh karena itu, jumlahnya hingga saat ini sudah mencapai
ribuan definisi.
Hampir semua definisi yang ada cenderung membedakan antara peri-
laku yang nyata dan perilaku yang abstrak: nilai-nilai (values), kepercayaan
(believes) dan persepsi (perception) tentang jagat raya yang melatarbelakangi
perilaku. Dengan kata lain, kebudayaan bukan hanya perilaku yang kelihat-
an (explicit culture), tetapi juga berupa nilai-nilai dan kepercayaan yang
abstrak (implicit culuture). Keduanya digunakan manusia untuk menafsirkan
pengalamannya dan menimbulkan perilaku, Perilaku itulah yang men-
cerminkan perilaku manusia dalam tindakannya. Dengan demikian, dapat
disimpulkan, bahwa semua budaya adalah kebudayaan dan tidak semua
kebudayaan adalah budaya. Kebudayaan (culture) adalah sesuatu yang tidak
tampak dan tampak. Budaya (cultures), sebaliknya, adalah sesuatu yang
tampak dalam bentuk perilaku dan hasil perilaku.
Istilah kebudayaan secara teknis mulai muncul dalam karya-karya para
ahli budaya pertengahan abad ke-19. Antropolog Inggris, Sir Edward B.
Tylor dalam bukunya Primitive Culture (1871: 1) menggunakan kata kebu-
dayaan untuk merujuk pada keseluruhan kompleks dari ide dan segala
sesuatu yang dihasilkan manusia dalam pengalaman historisnya. Termasuk
di dalamnya sistem pengetahuan (knowledge systems), sistem kepercayaan
(believes systems), seni (arts), hukum (laws), moral (moralities), kebiasaan dan
kecakapan lain (other capabilities) yang diperoleh manusia sebagai anggota
dari suatu masyarakat.
Setelah mengevaluasi dan meninjau kembali kurang lebih lima ratus
definisi dan konsep tentang kebudayaan, Krober dan Kluckhohn (1942: 181)
mendefinisikan kebudayaan:
Culture consists of patterns, explicit and implicit, of and for behavior acquired and
transmitted by symbols, constituting the distinctive achievements of human groups,
including their embodiments in artifacts; the essential core of culture consists of
traditional (i.e., historically derived and selected) ideas and especially their attached
values; culture systems may, on the one hand, be considered as products of action,
and on the other as conditioning elemen ts of further action.
Menurut Kroeber dan Kluckhohn, bahwa kebudayaan sebagai keselu-
ruhan pola-pola tingkah laku dan pola-pola bertingkah laku, baik eksplisit
(explicit culture) maupun implisit (tacit cullure). Kedua hal tersebut diperoleh
dan diturunkan melalui simbol, yang akhirnya mampu membentuk sesuatu
yang khas dari klompok manusia. Termasuk di dalamnya perwujudan
dalam benda-benda materi budaya (cultural materealisms). Pola tingkah laku
yang dimaksud oleh Kroeber dan Kluckhohn di sini adalah unsur-unsur
kognitif berupa sistem pengetahuan (cultural knowledge) yang mengandung
nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan untuk berperilaku atau sejajar

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 5


dengan konsep pola dari yang dikemukakan oleh Keesing (1999: 68). Sedang-
kan konsep pola-pola bertingkah laku mengarah pada perilaku manusia
(cultural behavior) dalam mengadaptasi lingkungan dan menciptakan segala
benda-benda budaya (cultural artifacts) dalam rangka melakukan adaptasi
diri (copying mechanism) terhadap lingkungannya. Konsep ini sejajar dengan
konsep pola untuk yang dikemukan oleh Keesing.
Robert H. Lowie (1927: 3), pakar antropologi Amerika Serikat men-
definisikan kebudayaan sebagai segala sesuatu yang diperoleh individu dari
masyarakat, yang mencakup kepercayaan (believes), adat-istiadat (customs),
norma-norma (norms), artistik (arts) dan kebiasaan makan (consumption).
Keahlian yang diperoleh bukan, karena kreativitasnya sendiri, melainkan
berupa warisan masa lampau yang didapat melalui pendidikan formal atau
informal (enculturation). Lowie melihat kebudayaan bukan sebagai hasil per
individu, melainkan sebuah hasil kolektifitas masa lampau yang diturunkan
dari generasi ke generasi melalui proses enkulturasi. Enkulturasi adalah
proses dimana budaya yang saat ini didirikan mengajarkan kepada individu
norma dan nilai. Individu dapat menjadi anggota dan memenuhi fungsi
(fungtion) dan peran (role) kelompok yang dibutuhkan. Enkulturasi meng-
ajarkan individu tentang peran mereka dalam masyarakat, serta perilaku
yang diterima dan tidak dalam masyarakat (Kottak, 1991). Jadi, kebudayaan
menurut Lowie bukan milik pribadi (individual), tetapi sifatnya milik ber-
sama (collective).
Clyde Kluckhohn (1949: 35), pakar antropologi Amerika Serikat men-
definisikan kebudayaan sebagai total dari pandagan hidup suatu bangsa
dan warisan sosial yang diperoleh individu dari kelompoknya. Kluckhohn
melihat kebudayaan sebagai suatu integritas dari tiga unsur atau wujud
kebudayaan yaitu: pengetahuan, pola perilaku dan benda-benda hasil budaya.
Ketiganya tercermin di dalam konsep totalitas Kluckhohn yang akan men-
jadi pola pandangan hidup (way of life) dari masyarakat budaya. Ketiga usur
ebudayaan tersebut dipelajari bersama dalam kelompoknya.
Pakar antropologi lain, seperti Gilling (1948: 181) beranggapan, bahwa
kebudayaan terdiri dari kebiasaan-kebiasaan yang terpola dan secara
fungsional saling bertautan dengan individu tertentu yang membentuk
kelompok-kelompok atau kategori sosial tertentu. Gilling di sini melihat
kebudayaan sebagai suatu kristalisasi nilai-nilai, aturan-aturan dan norma-
norma berbentuk kebiasaan-kebiasaan terpola sebagai hasil kesepakatan
bersama (conventional), sehingga ia berfungsi sebagai perekat individu-
individu dalam sebuah kelompok. Inilah yang menjadi dasar bagi Julian H.
Steward (1955), bahwa kebudayaan di suatu tempat cenderung berbeda
dengan kebudayaan di tempat lain. Perbedaan kebudayaan tersebut
samasekali tidak ada kaitannya dengan lingkungan dimana kebudayaan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 6


tersebut eksis, melainkan sangat ditentukan oleh inti (cultural core)4 yang
mengalami evolusi.
Leslie A. White (1949a dan 1949b) melihat kebudayaan setidak-tidak-
nya sebagai seperangkat obyek-obyek kultural (a set of cultural objects). Ia
kemudian mempertanyakan obyek seperti apa yang dimaksudkan? Apakah
obyek fisiknya? Atau obyek mentalnya? Atau bahkan keduanya? Berupa
metafor, simbol-simbol atau reifikasi? Dalam bukunya Science of Culture
(1949) Leslie A. White menyimpulkan, bahwa obyek-obyek kebudayaan
yang dimaksud adalah sui generis5 yang dimiliki oleh masyarakat pen-
dukung sebuah kebudayaan. Untuk mendifisikan hal tersebut White
kemudian menemukan sebuah aspek abstrak dari simbol yang disebutnya
sebagai the symbolate yaitu sebuah obyek yang terbentuk dari perlakuan
simbol-simbol. White kemudian mendefinisikan kebudayaan sebagai
symbolate yang dapat dipahami melalui konteks ekstra-semiotika. Kata kunci
dari definisi seperti ini adalah the discovery of the symbolate. White di sini
memandang kebudayaan sebagai suatu benda yang terefleksi dari simbol-
simbol abstrak menjadi sebuah obyek fisik. Itulah sebabnya, White dianggap
sebagai salah satu penganut aliran materealisme kebudayaan (cultural
materialism), selain Marvin Harris.
Menurut Keesing (1985: 18), bahwa kebudayaan adalah totalitas penge-
tahuan dan pengalaman manusia yang terakumulasi dan yang ditransmisi-
kan secara sosial. Singkatnya menurut dia, kebudayaan adalah tingkah laku
yang diperoleh melalui proses sosialisasi. Keesing seperti halnya dengan
ahli budaya lainnya melihat kebudayan sebagai akumulasi dari sistem
budaya (cultural systems) yang ditransmisikan secara sosial dalam perilaku
manusia untuk menciptakan sistem sosial. Sistem budaya J. J. Honigman
(1954) adalah kumpulan nilai, gagasan-gagasan dan norma-norma. Sedang-
kan sistem sosial adalah kompleks aktifitas dan tindakan berpola dalam
masyarakat dan artefak-artefak atau kebudayaan fisik.
Geertz (1992: 3) mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu pola
makna-makna yang diteruskan secara historis yang terwujud dalam simbol-
4
Inti kebudayaan (Smith, 1990, 67-68) is thearea of human culture which is most directly related
to adaptations to the environment. Lihat juga Haviland dan M. J. Herskovits dalam buku-
nya Man and His Works (Poerwanto, 2000: 76), bahwa berbagai unsur yang dalam
kebudayaan merupakan inti (cultural core) berupa unsur-unsur kebudayaan tertentu
yang menentukan berbagai bentuk kehidupan suatu masyarakat.
5
Sui generis in Oxford English Dictionary 3rd ed. (2005) is Neo-Latiu expression, literally
meaning of its own kind/genus or unique in its characteristics. The expression was effectively
created by scholastic philosophy to indicate an idea, an entity or a reality that cannot be included
in a wider concept. In the structure of genus + species a species that heads its own genus in sui
generis. This does not, however, mean that all genera with only a single member are composed of
sui generis species.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 7


simbol dan sistem konsep yang diwariskan. Kebudayaan terungkap dalam
bentuk simbolis yang dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan dan
mengembangkan pengetahuan tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap
kehidupan. Geertz memandang kebudayaan sebagai kumpulan makna yang
terwujud dalam simbol. Dengan demikian, hubungan antara domain makna
dengan sistem simbol tersebut menurut Geertz memerlukan interpretasi
untuk mendapatkan persepsi, yang akhirnya dapat dimaknai. Yang diinter-
pretasi adalah tanda (sign) berupa kenyataan untuk mendapatkan persepsi
(signifie) berupa konsep yang melatari simbol, yang akhirnya dapat disignifi-
kasi (significant) yang menentukan arti (meaning). Tidak ada benda budaya,
misalnya, yang langsung dapat diartikan tanpa melalui simbol.
Saya sering memberi contoh kepada mahasiswa, bahwa ketika anda
berkendaraan dan dapat lampu rambu-rambu lalulintas (traffict light), anda
akan melihat tiga warna dari: kuning, merah dan hijau. Lampu kuning,
merah dan hijau yang anda lihat adalah tanda (sign). Ketika anda menyaksi-
kan pergantian lampu; kuning anda harus behati-hati, merah anda harus
stop dan hijau anda harus jalan. Itu semua adalah konsep dari tanda yang
anda lihat. Ketika anda tidak pelan-pelan pada saat anda berada dalam
posisi kuning dan berjalan terus sekalipun kuning, anda berarti tidak
memahami konsep lampu kuning tersebut. Ketika anda mendapatkan
lampu merah dan langsung berhenti berarti anda memahami konsep yang
terkandung di dalam warna merah lampu merah. Akan tetapi, ketika lampu
hijau menyala dan anda tetap pelan-pelan atau masih berhenti, anda
kelewatan, karena tidak memahami konsep lampu kuning dan lampu
merah. Hampir semua simbol hati-hati dalam bentuk sinyal dan sinar
digunakan warna kuning. Ketika anda berjalan bersama dengan kendaraan
lain yang ada di depan anda, tiba menyalakan lampu wijzer dua-duanya
berati hati-hati ada masalah di depan. Ketika lampu wijzer menyalah
sebelah kiri artinya hati-hati, karena kendaraan di depan anda akan belok
kiri dan anda diminta melambungnya di sebelah kanan bukan di sebelah
kiri. Nah, ada dengan abad milenia saat ini ? Ada beberapa kendaraan roda
dua dan empat mengganti kaca lampu stop dengan warnah putih, lampu
wijzer dengan warna merah dan lampu besar dengan warna kuning atau
hijau. Katanya ini gaya anak muda jaman now. Lalu apakah ini
kesepakatan ? Kalau bukan kesepakatan, berarti ini bukan budaya. Kalau
begitu ini adalah milik idvidu, sehingga salah jika hal ini hendak
diberlakukan di tempat umum.
Koentjaraningrat (1985: 180) melihat kebudayaan sebagai keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Koentja-
raningrat, seperti halnya dengan ahli-ahli budaya lainnya, melihat kebu-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 8


dayaan sebagai suatu sistem yang terbangun dari tiga unsur, yaitu: sistem
gagasan atau pengetahuan budaya (cultural knowledge) yang tersimpan di
dalam kognitif manusia, tindakan atau perilaku budaya (cultural behauior)
yang dapat diamati melalui bentuk-bentuk tindakan manusia dan hasil
karya manusia berupa benda budaya (cultural artifact) yang nyata sebagai
obyek materil.
Louis J. Luzbetak dalam bukunya The Church and Cultures (1970: 60)
mencoba merumuskan lima karakter umum kebudayaan, yaitu: 1) suatu
pandang hidup (way of life), 2) total dari rencana atau rancangan hidup
(planning atau design of life), 3) secara fungsional kebudayaan diorganisasikan
dalam suatu sistem, 4) diperoleh melalui proses belajar dan 5) cara hidup
dari suatu grup atau kelompok sosial, bukan cara hidup individual atau
perorangan. Luzbetak, seperti halnya dengan ahli lainnya, juga membagi
kebudayaan kedalam sistem-sistem tersendiri. Kebudayaan adalah suatu
pandangan hidup (way of life) pada prinsipnya merupakan kumpulan nilai,
norma dan gagasan yang dijadikan sebagai pedoman dalam melaksanakan
rancang atau rencana hidup (planning atau design of life) manusia. Kebu-
dayaan menurutnya bukan milik peribadi, melainkan milik kelompok yang
dipelajari dari generasi ke generasi melalui enkulturasi.
Akhir-akhir ini kata kebudayaan dipakai untuk melukiskan cara khas
manusia beradaptasi dengan lingkungannya (environmental adaptation), ada-
lah cara manusia membangun alam guna memenuhi keinginannya, serta
tujuan-tujuan hidupnya. Kebudayaan dilihat sebagai proses humanisasi
dengan artian, bahwa kebudayaan merupakan cara berperilaku dan ber-
adaptasi yang dipelajari. Dengan demikian kebudayaan meruapakan lawan
dari pola-pola perilaku atau insting-insting, yang diwariskan dari nenek
moyang mereka. Julian H. Steward dengan pendekatan multilineal evolusi-
nya, Leslie A. White dengan pendekatan unilineal evolusinya, Maravin
Harris dengan pendekatan materealisme kebudayaannya, Harold Conklin
dengan pendekatan etnoekologinya dan masih banyak lagi yang lain,
merupakan nama-nama yang disejajarkan dengan kajian evolusi kebudaya-
an yang berkaitan dengan lingkungannya.
Dari definisi di atas dapat saya simpulkan, bahwa kebudayaan sebagai
sesuatu yang abstrak (tacit culture) dan yang kongkrit (explicit culture)
mempunyai wujud tersendiri, seperti berikut:
3. Konsep Budaya dan Kebudayaan
Permasalahan lain yang perlu saya jelaskan di sini adalah perbedaan
pengertian antara konsep kebudayaan (culture) dengan konsep budaya (cultu-
res). Ada dua pendapat tentang hal ini yaitu yang menyamakan budaya
dengan kebudayaan dan yang membedakan keduanya. Bapak antropologi
Indonesia Koentjaraningrat cenderung menyamakan kebudayaan dengan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 9


budaya. Sedang Andi Basrah Gising dan Hari Poerwanto cenderung mem-
bedakan keduanya.
Banyak ahli yang mengartikan culture sama dengan budaya dan sama
pula dengan kebudayaan. Budaya adalah sesuatu yang tampak dalam kasat
mata (konkrit), karena budaya adalah wujud dari kebudayaan. Kata cult,
misalnya, yang membentuk kata cultivation sangat tepat untuk dipasangkan
dengan budaya. Poerwanto (2000: 51-53) mengupas istilah kebudayaan
sebagai turunan dari istilah culture dalam bahasa Inggris. Menurutnya, kata
culture berasal dari kata kerja dalam bahasa Latin colere yang berarti ‘ber-
cocok tanam (cultivation)’. Bahkan, menurut Poerwanto, bahwa di ka-langan
penulis pemeluk agama Kristen istilah cultura juga diartikan sebagai ibadah
atau sembahyang (worship).
Perlu saya juga jelaskan di sini, bahwa kata kebudayaan tidak ada
kaitannya dengan pembentukan kata benda (denominal) dalam bahasa
Indonesia. Kata kebudayaan tidak diturunkan dari kata budaya yang
ditambahkan konfiks /ke-an/ menjadi /ke-budaya-an/. Sebaiknya, hal ini
tidak boleh dianalogikan dengan pembentukan kata adil yang ditambah
afiks /ke-an/ menjadi keadilan.
Secara etimologis dalam bahasa Indonesia, kata kebudayaan berasal
dari bahasa Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari kata buddhi (budi
atau akal) dan dhaya (daya, kemampuan, kekuatan dsb.). Ada kalanya juga
ditafsirkan, bahwa kata budaya merupakan perkembangan dari kata ma-
jemuk budidaya yang berarti ‘daya dari budi’, yaitu berupa cipta, karsa dan
rasa. Oleh karena itu, ada juga yang mengartikan, bahwa kebudayaan me-
rupakan basil dari cipta, karsa dan rasa (budaya). Koentjaraningrat (1990:
181) juga mensinyalir kata kebudayaan berasal dari kata Sanskerta bud-
dhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan
demikian, menurutnya kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang
bersangkutan dengan akal.
Banyak ahli lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkem-
bangan dari bentuk majemuk budidaya; mengartikan budaya sebagai daya
dari budi. Oleh karena itu, mereka cenderung membedakan budaya dari
kebudayaan. Dengan demikian, budaya adalah daya dari budi yang berupa
cipta, karsa dan rasa. Sedangkan kebudayaan adalah proses dari cipta, karsa
dan rasa itu sendiri. Menurut Maran (2000: 24), misalnya, bahwa para pakar
antropologi budaya Indonesia umumnya sependapat, bahwa kata kebudaya-
an berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah. Kata buddhayah adalah bentuk
jamak dari buddhi yang berarti 'budi atau akal'. Dengan demikian, menurut-
nya secara etimologis, kata kebudayaan berarti hal-hal yang berkaitan dengan
akal (Koentjaraningrat, 1974: 9). Ada pula anggapan, bahwa kata budaya
berasal dari kata majemuk budidaya yang berarti daya dari budi atau daya dari

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 10


akal yang berupa cipta, karsa dan rasa. Dengan demikian, Maran lebih
cenderung membedakan antara kebudayaan dan budaya dengan asumsi
dasar, bahwa kebudayaan lebih mengarah pada hal-hal kognitif yang tidak
materil, sementara budaya mengarah pada yang materil.
Kata kebudayaan itu, lanjut Maran sepadan dengan kata culture dalam
bahasa Inggris. Kata culture itu sendiri berasal dari bahasa Latin colere yang
berarti merawat, memelihara, menjaga, mengolah, terutama mengolah
tanah atau bertani. Jadi, semakin jelas di sini, bahwa kebudayaan adalah
hal-hal yung sifatnya kognitif yang berisi nilai-nilai (values), norma-norma
(norms), aturan-aturan (rules), serta kemampuan-kemampuan lain (other
cavacities) dalam menanggulangi segala bentuk permasalahan hidup ma-
nusia.
Koentjaraningrat (1990: 81) dalam kajiannya tentang kebudayaan ber-
pihak pada ahli yang menyamakan budaya dengan kebudayaan tersebut.
Menurutnya, bahwa dalam Antropologi budaya perbedaan istilah itu perlu
ditiadakan, karena kata budaya di sini hanya digunakan sebagai suatu
singkatan dari kebudayaan dengan arti yang sama.
Dalam buku ini tetap dianggap budaya sebagai sesuatu yang berbeda
dengan kebudayaan. Saya setuju dengan apa yang dikatakan oleh Poer-
wanto (2000: 57), bahwa kadang-kadang orang salah mengistilahkan budaya
dan kebudayaan. Istilah culture diterjemahkan sebagai budaya, sedangkan
cultural diterjemahkan kebudayaan. Padahal terjemahan yang benar adalah
culture untuk kebudayaan, sedangkan cultural untuk budaya. Selain itu,
seringkali juga dijumpai pemakaian kata kultur dalam bahasa Indonesia
yang seolah-olah searti dengan kata cultural atau kebudayaan. Padahal kata
kultur tersebut diturunkan dari kata cult yang membentuk kata kerja to
cultivate artinya 'pengolahan tanah'. Dalam hal ini, pemakaian stilah kultural
bukan diterjemahkan budaya dan istilah kultur tidak begitu saja diterjemah-
kan sebagai kebudayaan.
Agaknya, penggunaan kedua istilah di atas seringkali juga masih
rancu, karena istilah culture lebih diterjemahkan kebudayaan dan cultural
diterjemahkan budaya. Lebih rancu lagi, karena ada yang menerjemahkan
kata culture sebagai budaya dan kata cultural dengan kebudayaan dengan
dasar, bahwa kata cultural merupakan bentuk ajektiva dari culture.
Definisi kebudayaan yang diusulkan oleh Edward B. Tylor (1973: 63)
memandang kebudayaan sebagai totalitas pengalaman manusia. Kebu-
dayaan atau peradaban dalam pengertian etnografi adalah keseluruhan
kompleks yang meliputi pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat
istiadat, kapabilitas dan kebiasaan-kebiasaan lainnya, yang dimiliki o1eh
manusia sebagai anggota masyarakat. Konsep kebudayaan sapu bersih ini
lebih dominan dalam antropologi selama kurang lebih setengah abad lama-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 11


nya, mengiringi munculnya buku Taylor berjudul Primitive Culture. Robert
H. Lowie (Bohannan dan Glazer, 1988) mengatakan, bahwa sasaran teoretis
(antropologi) mestilah untuk mengetahui semua kebudayaan dengan
kedalaman yang setara dan luas tentang fenomena manusia. Kebudayaan
adalah penjumlahan total apa yang dicapai oleh individu dari masyarakat-
nya termasuk keyakinan, adat istiadat, norma-norma, artistik, kebiasaan
makan dan ukiran-ukiran yang dimilikinya sebagai warisan dari masa
lampau melalui pendidikan formal atau tidak formal.
Pada awal 1950an, Alfred Kroeber dan Clyce Kluckhohn mengumpul-
kan definisi-definisi kebudayaan yang dibuat oleh para antropolog selama
setengah abad pertama abad ke-20. Kroeber dan Kluckhohn (1963) berhasil
mengumpulkan dan menerbitkan kembali 164 definisi kebudayaan, yang
dikelompokkan menjadi enam kategori: deskriptif, historical, normatif, psiko-
logis, struktural dan genetik. Selain menghimpun definisi-definisi pokok ter-
sebut, Kroeber dan Kluckhohn juga mencatat ratusan definisi yang mereka
anggap sebagai variasi dari definisi-definisi pokok, sehingga seluruh defi-
nisi yang mereka kumpul mencapai sekitar tiga ratusan.
Ketika Kroeber dan Kluckhohn sedang menulis bukunya, perdebatan
dalam tubuh antropologi yang mempertanyakan apakah kebudayaan seha-
rusnya merupakan abstraksi atau paparan dari apa adanya (aspek realitas)
dan benar-benar terjadi. Leslie White (1959) memandang, misalnya, bahwa
perdebatan itu sifatnya sangat keliru sekali, karena kebudayaan menurut
White adalah sebuah kata yang dapat digunakan untuk melabel suatu kelas
fenomena, baik benda maupun kejadian di dunia luar. Jadi, menurut White,
bahwa apakah suatu definisi kebudayaan berguna atau tidak, tergantung
pada apakah definisi tersebut berguna dalam mengidentifikasi, mengana-
lisis dan mengeksplanasi fenomena manusia. White sendiri lebih suka men-
definisikan kebudayaan dalam pengertian entitas konkret, objektif, dapat
diamati, yang tercermin dalam aspek adaptasi kehidupan manusia terhadap
lingkungannya. Oleh karena itu, White seperti halnya dengan Marvin Harris
disejajarkan dengan studi materealisme kebudayaan (cultural materealism).
Kamum materealisme memandang kebudayaan dari segi kebendaannya.
Materialisme budaya adalah orientasi penelitian antropologis yang pertama
kali diperkenalkan oleh Marvin Harris (1968) dalam bukunya The Rise of
Anthropological Theory, sebagai paradigma teoritis dan strategi penelitian.
Menurut Maxine (2001), bahwa Harris telah mencapai pekerjaannya yang
paling abadi dalam hidupnya. Dengan demikian, menurut Elwell (2001),
Harris kemudian mengembangkan elaborasi teorinya secara penuh dan
mempertahankan paradigma teorinya dalam bukunya berjudul Cultural
Materealism (1979). Bagi Harris, perubahan sosial bergantung pada tiga
faktor: infrastruktur, struktur dan supra-struktur.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 12


Konsep materialisme budaya Harris dipengaruhi oleh tulisan-tulisan
Karl Marx dan Friedrich Engels, serta teori-teori mereka yang dimodifikasi
oleh Karl August Wittfogel dan bukunya berjudul Oriental Despotism (1957).
Akan tetapi, materialisme ini berbeda dari materialisme dialektik Marxis,
serta dari materialisme filosofis Jerry (2004). Karya Thomas Malthus men-
dorong Harris untuk mempertimbangkan reproduksi sama pentingnya
dengan produksi. Strategi penelitian Harris juga dipengaruhi oleh karya
antropolog sebelumnya termasuk Herbert Spencer, Edward Tylor dan Lewis
dan Henry Morgan, Pada abad ke-19, mereka pertama kali mengusulkan,
bahwa budaya berevolusi dari yang kurang kompleks ke yang lebih
kompleks dari waktu ke waktu. Leslie White dan Julian Steward bereperan
dalam kebangkitan kembali teori evolusi budaya (cultural evolution and
cultural ecology) di abad ke-20. Ternyata, Harris mengambil inspirasi dari
mereka dalam merumuskan materialisme budayanya.
Materealisme kebudayaan digunakan oleh Marvin Harris (1979) untuk
mengadvokasi penelitian realitas sosialnya. Ini tidak sama dengan prinsip
materealisme kebudayaan oleh Marsis, karena teori Harris tidak dialektik.
Hal ini disebabkan, karena teorinya berlandaskan pada ide pokok tentang
pentingnya reproduksi atau kepadatan penduduk, serta tekanan lingkungan
dalam menentukan sistem sosio-kultural. Menurut Harris, bahwa konstanta
bio-psikologi sifat manusia (ekonomi, seks, dsb.) menimbulkan empat
komponen universal atau level-leval organisasi sosial manusia, yaitu: a)
infrastruktur atau domain produksi dan reproduksi, b) struktur atau
domain domestik dan politik ekonomi, c) super-struktur perilaku hubungan
sosial, serta d) mental atau super-struktur: emik, tujuan, nilai, kepercayaan
dan sebagainya.
Pada tahun 1950-an dan 1960-an, para antropolog mulai mengakui,
bahwa kurangnya konsensus tentang konsep kebudayaan menyebabkan
semakin dalamnya perpecahan, yang menimbulkan kemerosotan efektivitas
disiplin. Terutama, bila konsep tersebut merupakan unsur esensial dari per-
spektif ilmu budaya, yang dimaksudkan untuk menyatukan ilmu budaya
dari pelbagai persuasi paradigmatis.
Dua dekade setelah White, Roger M. Keesing (1976: 73) justru menga-
takan, bahwa tantangan bagi ahli budaya dalam tahun-tahun terakhir
adalah timbulnya penyempitan terhadap konsep kebudayaan. Akibatnya,
konsep ini mencakup lebih sedikit, tetapi harus menggambarkan yang lebih
banyak dan lebih luas. Keesing malah memprediksi, bahwa segala upaya
untuk mempersempit konsep kebudayaan tersebut, justru memecah belah
unitas keilmuan dan bukannya menyatukan disiplin.
Keesing (1976: 74-79) setidak-tidaknya mengidentifikasi empat pende-
katan dalam menyelesaikan permasalahan kebudayaan. Pendekatan pertama

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 13


memandang kebudayaan sebagai sistem adaptif dari keyakinan dan peri-
laku yang dipelajari, yang fungsi primernya adalah menyesuaikan masya-
rakat manusia dengan lingkungannya. Pendapat tersebut diasosiasikan
dengan ekologi budaya (cultural ecology)6 dan materialisme kebudayaan
(cultural materealism). Hal tersebut dapat ditemukan di dalam kajian bebe-
rapa tokoh seperti Julian H. Steward (1955), Leslie A. White (1949 & 1959)
dan Marvin Harris (1968 & 1979). Konsep kebudayaan sebagai sistem
adaptif ini menjadi mantap dalam kajian-kajian arkeologi kontemporer
dalam tulisan-tulisan Lewis Binford dan Kent Flannery (1968).
Pendekatan kedua adalah memandang kebudayaan sebagai sistem
kognitif yang tersusun dari apa saja yang diketahui manusia dalam berpikir
menurut cara tertentu, yang dapat diterima bagi warga kebudayaan (natives)
yang diteliti. Pendekatan ini diasosiasikan dengan paradigma yang dikenal
dengan berbagai nama seperti etnosains, antropologi kognitif atau etnografi
baru. Antropologi Kognitif (Smith, 1990: 41) didasarkan pada gagasan bu-
daya sebagai sistem ideasional --- yaitu, sistem pengetahuan dan konsep,
sebaliknya --- ke materialis interpretasi budaya sebagai sistem adaptif atau
satu set perilaku yang dapat diamati. Para ahli antropologi kognitif men-
curahkan perhatian yang cukup besar pada penggambaran akurat dari
realitas etnografi. Hal ini lebih khusus dimaksudkan untuk mencatat apa
yang dikomunikasikan oleh masyarakat. Hal tersebut dapat digunakan
sebagai panduan untuk mengetahui apa yang mereka ketahui (cultural
knowledge). Para pendukungnya, terutama Harold Conklin (1955a dan
1955b), Ward Goode-nough (1956) dan Charles 0. Frake (1964).
Pendekatan ketiga memandang kebudayaan sebagai sistem struktur dari
simbol-simbol yang dimiliki bersama. Sistem struktur simbol tersebut
memiliki analogi dengan struktur pemikiran manusia. Pendekatan ini
merupakan ciri khas pendekatan strukturalisme kebudayaan (cultural
sturcturalism) yaitu paradigma yang dikonsepsikan oleh Claude Levi-Strauss
(1963 dan 1969).
Pendekatan keempat memandang kebudayaan sebagai sistem simbol.
Sistem simbol tersebut terdiri dari simbol-simbol dan makna-makna yang
dimiliki bersama, yang dapat diidentifikasi dan bersifat publik. Pendekatan
ini diasosiasikan dengan paradigma yang dikenal sebagai antropologi

6
Lihat Smith (1990: 62-63) ekologi budaya atau antropologi ekologi memusatkan per-
hatiannya pada hubungan antara populasi manusia dengan lingkungannya dan
menyiapkan seperangkat pembahasan tentang masyarakat dengan kebudayaannya
sebagai produk adaptasi dengan kondisi lingkungannya. Orlove (1980) menunjukkan,
bahwa isu sentral ekologi budaya adalah hubungan antara lingkungan, dinamika
kependudukan atau demografi dengan kebudayaan dan organisasi sosialnya.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 14


simbolik, yang dikonsepsikan oleh Gifford Geertz (1973 dan 1983) dan
David Schneider (1968).
Keesing menyimpulkan, bahwa secara esensial ada dua pendekatan
mengenai konsep kebudayaaan di kalangan ahli budaya kontemporer,
yaitu: pertama para ahli budaya yang mendefinisikan kebudayaan tidak
dalam konteks pikiran (cognitive) dan tidak pula dalam konteks perilaku
(behavior) dan kedua mereka yang mendifinisikan kebudayaan dalam konteks
pemikiran semata-mata (ideasional) dan yang hanya mendefinisi-kan kebu-
dayaan sebagai perilaku (behavioral). Secara logis, tentu saja ada pendekatan
tambahan yang dapat diajukan, yaitu yang memandang kebudayaan bukan
sebagai gabungan pikiran dan perilaku, melainkan kebudayaan semata-
mata sebagai perilaku atau pemikiran saja. Tidak se-orang pun yang
mungkin menerima yang pertama, karena sukar dibayang-kan bagaimana
mungkin suatu kebudayaan adalah bukan pikiran dan juga bukan perilaku.
Konsep bahwasanya kebudayaan terdiri dari perilaku semata-mata juga
tidak mungkin diterima, meskipun pendekatan inter-aksional yang
dipelopori Chapple dan Arensberg (1940 dan 1972) sudah agak mendekati.
Akan tetatpi, konsep ini kembali menemui jalan buntu, karena kebudayaan
sebagai suatu sistem mengandung tiga unsur yang tidak terpisahkan yaitu:
kognisi, perilaku dan hasil dari keduanya ?
Menurut Robert Murphy (1980: 45-50), bahwa tidak ada definisi peri-
laku dari kebudayaan yang dapat diterima, karena perilaku manusia tidak
mungkin menjadi perilaku budaya. Seandainya memang bisa, pasti ada
label budaya sebagai titik kecil yang melekat padanya. Tidak ada definisi
statistik dan perilaku yang murni mengenai kebudayaan yang memungkin-
kan untuk dikembangkan, kecuali apabila dipandang semua perilaku
abnormal sebagai non-budaya dan mengabaikan fakta. Sebenarnya, banyak
perilaku abnormal yang justru ingin menegaskan atau memenuhi kategori
budaya. Pendapat Murphy ini kembali menegaskan, bahwa perilaku bukan
satu-satunya yang membangun budaya, melainkan dua unsur lainnya yaitu
kognisi dan benda budaya juga turut memegang peran penting dalam
suatu budaya.
Selain Keesing, sebagian ahli budaya juga menolak pandangan yang
menjadikan isu sentral pikiran lawan perilaku. Marvin Harris (1975),
misalnya, mengeritik keras apa yang orang sebut sebagai pendekatan
ideasional terhadap kebudayaan. Harris menghubungkan hal tersebut
dengan usaha untuk pemisahan sejarah antara antropologi sosial dan
antropologi budaya melalui pandangan ideasional murni mengenai kebu-
dayaan. Sebagaimana dikemukakan Harris, bahwa etnosains (ethnoscience)7
7
Lihat Hari Poerwanto (2000: 32-33), bahwa ethnoscinece adalah pendekatan baru dalam
etnografi. Sekalipun demikian penggunaan istilah tersebut kurang tepat untuk dua

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 15


atau antropologi budaya tertarik untuk mengkaji entitas kognitif. la juga
menyebut antropologi sosial sebagi kajian statistik mengenai kejadian-
kejadian sosial yang berpola. Menurut Harris (1980: 392), bahwa sangat
sukar bila tidak bisa dikatakan mustahil, ketika menemukan seorang ahli
budaya melaksanakan misi antropologi sosial. Istilah antropologi sosial
hanyalah merupakan khayalan yang diciptakan untuk menghindari
ketidakmampuan yang tersirat dalam antropologi budaya. Ini merupakan
lambang ketidakmampuan seorang ahli antropologi untuk memecahkan
masalah keteraturan materi, konkret, historis, perilaku dari kehidupan sosial
budaya. Harris (1990: 114) selanjutnya mengatakan, bahwa antropologi
budaya seharusnya tidaklah mengkaji semua aturan yang harus diketahui
seseorang. Bila ia melakukan hal demikian, ia tidak bertindak etik (sebagai-
mana ahli etnosains memandang kebudayaan), melainkan bertindak emik
dengan sepenuhnya mengkaji pikiran, perasaan dan tindakan yang
berulang dan berpola dalam masyarakat sebagai obyeknya.
Jika mengacu pada definisi eksplisit mengenai kebudayaan yang dita-
warkan ahli budaya belakangan ini, tidak ada konsensus yang jelas
mengenai isu pikiran versus perilaku. Meskipun definisi ideasional secara
murni mengenai kebudayaan relatif jarang terjadi. Hunter dan Whitten
(1982: 103), misalnya, dalam The Encyclopedia of Anthropology mendefinisi-
kan kebudayaan sebagai perilaku berpola yang dipelajari oleh setiap
individu semenjak ia lahir. Kaplan dan Manners (2000: 1) juga mendukung
definisi kebudayaan dengan menekankan, bahwa ahli budaya tidak hanya
mempelajari perilaku manusia, tetapi juga dengan perilaku tradisional atau
pranata-pranata sosial (social institusional)8 manusia.
Definisi kontemporer tentang kebudayaan sangat bervariasi. Keesing
(1971: 509), misalnya, menyebut kebudayaan sebagai sistem pengetahuan
yang kurang lebih dimiliki bersama oleh para anggota suatu masyarakat.
Demikian pula dengan Phillip Kottak (1987: 36) menguraikan kebudayaan
sebagai keyakinan dan perilaku adat-istiadat yang diperoleh manusia

alasan: 1) seolah-olah berbagai bentuk etnografi yang ada bukan sains dan 2) karena
istilah itu mengacu pada klasifikasi dan taksonomi-suku bangsa dianggap sebagai ilmu
pengetahuan (science). Kiranya, label etnosains cukup tepat sebagaimana label yang
diberikan kepada etnobotani, etnografi dan sebagainya.
8
Lembaga sosial (social intitutions) terdiri dari sekelompok orang yang telah berkumpul
untuk tujuan bersama. Institusi-institusi ini merupakan bagian dari tatanan sosial
masyarakat dan mereka mengatur perilaku dan harapan individu. Lihat juga Mali-
nowski (1948) mendefinisikan institusi sebagai sekelompok orang yang dipersatukan
oleh kepentingan bersama, diberkahi oleh peralatan material, mengikuti peraturan
tradisi atau kesepakatan mereka (piagam) dan berkontribusi terhadap karya budaya
secara keseluruhan. Menurut Barnard (2004) lembaga adalah sistem hubungan sosial
untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 16


sebagai anggota masyarakat. Pendekatan lain, ternyata menawarkan
definisi-definisi yang kabur, karena tidak memberikan arah yang jelas
apakah kebudayaan itu pikiran atau perilaku atau bahkan keduanya. Oliver
(1981: 390), misalnya, menyebut kebudayaan sebagai ancangan (design) bagi
kehidupan atau cara hidup yang khas dari masyarakat hominid. Ia benar-
benar memberikan definisi yang kabur, karena mensejajarkan kebudayaan
dengan ancangan hidup (design of life) dan cara hidup (way of live) masya-
rakat pemilik kebudayaan. Kelemahan definisi Oliver, karena menganggap
kebudayaan hanya sebagai suatu bentuk perilaku atau sebuah hasil kebu-
dayaan. Ia tidak melihat kebudayaan sebagai suatu hasil sintetis antara
kognisi, perilaku dan hasil dari keduanya. Ia tidak melihat, bahwa kebu-
dayaan itu adalah sebuah ancangan yang terpolakan dari kognisi yang akan
mendesain semua hasil perilaku dan benda budaya. Oliver pada prinsipnya
hanya berpikir skeptis tentang budaya yaitu sebuah perilaku bukan yang
lainnya.
Pokok persoalan yang hendak disampaikan di sini, bahwa kekaburan
istilah pikiran dan perilaku itulah yang memicu timbulnya perdebatan ber-
kepanjangan mengenai status ontologisme kebudayaan. Ketika ahli budaya
mengatakan, bahwa kebudayan terdiri atas perilaku atau pola tingkah laku
yang dipelajari dan dimiliki bersama (A. L. Kroeber, C. Kluckhohn, 1952),
mereka sukar sekali mengeluarkan aspek-aspek kognitif dari transmisi
kebudayaan, retensi dan identifikasi definisi mereka. Ketika ahli budaya
simbolik juga mengatakan, bahwa sistem-sistem makna adalah publik
(Geertz, 1973 dan 1983 dan David Schneider, 1968), yang dimaksudkan di
sini adalah kebudayaan yang diekspresikan secara perilaku dan dikenal di
dalam tampilan linguistik (linguistics perforamance), gerak-gerik tubuh
(gesture language), aktifitas ritual (ritual activities), ekspresi artistik (artistic
expression) dan tindakan lain (other actions) yang dapat diamati. Murphy
(1980: 240) dengan tegas mengatakan, bahwa jika disimak lebih dalam,
semua definisi kebudayaan seharusnya mengandung sintetis tertentu antara
pikiran dan perilaku, bukan sebagai sesuatu yang terpisah. Pendapat
Murphy ini kembali mengacu pada konsep kebudayaan sebagai sebuah
sistem yang terintegrasi satu sama lain. Saya sngat setuju dengan pendapat
Murhy yang memandang kebudayaan dan budaya sebagai suatu bentuk
totalitas. Kebudayaan sebagai suatu bentuk integras dan konfigurasi,
sehingga keseluruhan unsur-unsur yang membangun sebuah kebudayaan
dan budaya tidak dapat dipihaskan satu dengan yang lainnya.
Kembali mengacu pada pendapat Keesing di atas, bahwa pada esensi-
nya ada dua pendekatan konsep kebudayaan kontemporer, yaitu: penekan-
an perilaku dan mental. Pendekatan adaptif memandang kebudayaan
sebagai suatu sistem sosial budaya yang terdiri dari perilaku dan keyakinan-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 17


keyakinan yang melekat padanya. Sedangkan, pendekatan ideasional me-
mandang kebudayaan sebagai suatu sistem simbolik yang terdiri atas
keyakinan-keyakinan dan perilaku yang melekat padanya. Sistem sosial
budaya tersusun dari bentuk-bentuk interaksi rutin, adaptif, berpola dari
interaksi di kalangan para anggota suatu masyarakat. Sistem budaya
tersebut kemudian didukung, dirasionalisasi dan ditransmisi oleh keyakin-
an dan perspektif yang dimiliki bersama. Sistem-sistem simbolik tersusun
dari perangkat-perangkat makna yang dipelajari, dimiliki bersama, berpola,
yang memberikan kemampuan bagi manusia untuk mempersepsi, meng-
interpretasi dan mengevaluasi piranti-piranti makna yang eksplisit dan
implisit. Sistem simbolik tersebut terkandung dan diekspresikan, baik dalam
keyakinan maupun perilaku. Dengan demikian, sistem-sistem simbolik
adalah perangkat sub-perangkat dari sistem sosial budaya. Binfrod (1968)
mengatakan, sesungguhnya ada preseden yang patut diperhatikan dalam
pembedaan konseptual seperti itu, karena para ahli budaya mengenal
eksistensi sistem sosial budaya dan sistem simbolik.
Ada dua pertanyaan yang muncul, ketika hendak membedakan
eksistensi kebudayaan. Pertama haruskah digunakan istilah kebudayaan
untuk mengacu kepada sistem-sistem sosial budaya? Atau haruskah kita
menyimpan saja konsep tersebut hanya pada sistem simbolik? Apabila
disepakati, bahwa masing-masing sistem sosial dan sistem simbolik itu ada,
perbedaan tersebut pada dasarnya bersifat semantik belaka. Loweli (1965:
48) mengusulkan, agar kebudayaan dapat didefinisikan sebagai pola-pola
perilaku dan keyakinan yang dimediasi oleh symbol. Simbol tersebut
kemudian dipelajari, dirasionalisasi, terintegrasi, dimiliki bersama dan yang
adaptif, tergantung pada interaksi sosial manusia demi eksistensi (to survive)
mereka. Pendekatan inilah yang tampaknya disepakati oleh semua ahli
budaya, karena merupakan inti perspektif ilmu budaya secara keseluruhan
(holistics).
Demi kejelasan konseptual, ilmu budaya mengadopsi sebuah definisi
kebudayaan yang dianggap oleh banyak kalangan sangat kosisten dan men-
cakup semua definisi kebudayaan yang ada. Antropologi simbolik, misal-
nya, yang memiliki argumen kuat untuk menyebut sistem simbolik dan
sistem-sistem sosiobudaya sebagai kebudayaan, dimediasi oleh sistem makna.
Nah, apa sebenarnya para ahli ilmu budaya ketahui tentang sistem
sosiobudaya, sistem simbolik dan signifikansi kebudayaan itu? Hall (1966:
177) sangat yakin, bahwa betapa pun kerasnya upaya manusia, namun
mustahil baginya untuk merombak diri dan kebudayaannya. Kebudayaan
tersebut merasuk hingga ke akar-akar sistem persyarafannya. Kebudayaan
tersebut juga menentukan bagaimana ia mempersepsi dunianya. Dalam al-
Qur'an surat Arra'd ayat 11 juga dikatakan, bahwa tidak berubah nasib suatu

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 18


kaum, kecuali mereka sendiri yang mengubahnya. Orang Bugis juga yakin,
bahwa kebudayaan yang dimiliki seseorang tidak mungkin berubah hingga
akhir hayatnya. Konsep Lele Bulu Tellele Abiasang (berubah bulu tapi tidak
berubah jua kebiasaan) adalah sebuah ungkapan yang menegaskan betapa
kuatnya nilai-nilai budaya yang melekat di dalam diri seseorang. Hall lebih
lanjut mengatakan, bahwa manusia tidak dapat bertindak atau berinteraksi
menurut cara yang bermakna, kecuali melalui mediasi kebudayaan.
Kebudayaan dan simbol merupakan suatu sistem jaringan yang tidak bisa
diputuskan, karena salah satu diantaranya yang tidak ada, yang lainnya pun
tidak ada artinya apa-apa. Konsep seperti inilah yang tidak diperhatikan
oleh sebagian besar ilmuwan sosial (termasuk psikolog, sosiolog dan
ekonom)Mereka hanya melandaskan kajiannya pada asumsi kebudayaan
mereka sendiri (ethnocentrisme).
Menurut Holmes D. Lowells (1965: 74), bahwa kebudayaan dalam
pengertian ilmu budaya adalah perilaku yang dipelajari dan dimiliki
bersama. Kebudayaan tersebut diperoleh manusia sebagai anggota masya-
rakat. Sekalipun kebudayaan itu menjadi konsep utama dari ilmu-ilmu
sosial, akan tetapi ahli budaya dibandingkan dengan ahli-ahli sosial lainnya
(antropolog, sosiolog, ekonom, psikolog dan sebagainya) telah merintis jalan
dalam mendefinisikan, serta mengkaji konsep abstrak, yang merupakan
faktor utama dalam menentukan perilaku dan kepribadian manusia. Pada
dasarnya definisi tersebut mengimplikasikan, hahwa sangat tidak mungkin
mempelajari kebudayaan tanpa mempelajari sifat-sifat masyarakatnya. Jadi,
dapat dilihat betapa pentingnya memelihara hubungan antara ahli budaya
dengan sosiologi. Mereka pada awalnya memokuskan perhatiannya pada
kebudayaan, namun terakhir lebih memokuskn dirinya pada studi tentang
masyarakat sebagai manusia kolektif.
Demikian pula menurut Hoebel (1972: 6), bahwa ciri pembeda ahli
budaya dengan ahli lainnya adalah pengembangan konsep kebudayaan dan
pentingnya konsep kebudayaan dalam pemikirannya. Kebudayaan adalah
sistem yang terintegrasi dari pola tingkah laku yang dipelajari. Kebudayaan
merupakan karakteristik dari anggota sebuah masyarakat. Jadi, kebudayaan
bukan hasil warisan secara biologis dari nenek moyang mereka. Kebu-
dayaan bukan pula bawaan (biological heritage), karena hal ini tidak diterima
melalui pembiasaan (habitation). Degan demikian, dapat dikatakan kebu-
dayaan merupakan hasil temuan sosial (social invention), yang ditransmisi-
kan dan dibentuk secara perlahan-lahan melalui komunikasi dan pem-
belajaran kebudayaan (enculturation).
Hal-hal yang dapat dipetik dari beberapa definisi di atas, bahwa
kebudayaan adalah perilaku yang dipelajari (learned behavior). Artinya ia
bukan warisan biologis (biologically inherited) berupa insting. Seseorang yang

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 19


lahir dari orang tua berkebudayaan Bugis tidak dapat dikatakan, bahwa ia
berkebudayaan Bugis, karena bapak atau ibunya adalah orang Bugis.
Kebudayaan yang ia miliki adalah hasil dari pembelajarannya dari
kelompok pendukung kebudayaan yang ia miliki, termasuk kedua orang
tuanya. Pembelajaran tersebut bisa dalam bentuk pengalaman hidup atau
pembelajaran informal. Hampir segala sesuatu yang manusia lakukan harus
dipelajari dari yang lainnya. Dengan demikian, hubungan sosial (social
interaction) berjalan secara konsisten. Seperti halnya dengan seorang bayi
yang tumbuh menjadi masa kanak-kanak kemudian menjadi dewasa, ia
mulai memikirkan dan bertindak sesuai dengan lingkungannya. Ia berusaha
meniru anggota keluarga, kelompok main, tetangganya dan komunitasnya.
Jika, anggota kelompoknya makan dengan menggunakan garpu, sendok
atau pisau (seperti orang-orang Eropa dan Amerika), beribadah sesuai
tradisi nasrani dan bercakap bahasa Inggris, ia pasti akan menirunya.
Menurut Margaret Mead (1970: 1), bahwa ada tiga tingkat enkulturasi
kebudayaan dengan pola meniru: 1) postfiguratif yaitu anak-anak belajar
umumnya dari nenek moyang mereka, 2) cofiguratif yaitu keduanya, baik
anak-anak maupun dewasa belajar dari kaum sebayanya dan 3) prefiguratif
yaitu orang dewasa belajar dari anak-anak mereka. Menurut Mead lebih
lanjut, bahwa postfiguratiflah yang paling banyak digunakan dalam studi
etnoekologi, khususnya pada masyarakat indigenus.
Ketika ia sudah mempelajari kebudayaannya secara menyeluruh, ia
akan berkelakuan dan berprilaku sangat mirip dengan rekan sebayanya dan
tidak terlalu jauh berbeda dengan leluhurnya. Orang Bugis-Makassar, misal-
nya, yang sejak kecil diajarkan cara makan dengan duduk bersila, membela
diri dengan selalu membawa badik, bertutur dalam bahasa Bugis-Makassar
yang sopan akan terefleksi dalam setiap tindakan dan tingkah lakunya.
Jarang sekali ditemukan orang Bugis yang duduk dengan tidak bersila
ketika sedang menikmati makannya, melakukan perjalanan ke suatu tempat
dengan tangan kosong (biasanya dengan parang, badik dan sebagainya) dan
berutur dengan menggunakan bahasa lain ketika berbicara kepada sesama
orang Bugis atau Makassar.
Seorang psikolog bernama Sigmund Freud, mengumumkan kajiannya
tentang budaya dalam hubungannya dengan insting kecintaan seorang laki-
laki kepada ibunya (oedipus complex), kenakalan (pugnacity) dan keramah-
tamahan (gregariousness). Akan tetapi, satu demi satu konsep tersebut
ditinggalkan, karena manusia yang lahir di dunia ini hanya sedikit berbekal
perilaku seperti yang dimaksudkan Freud tersebut di atas. Freud dalam
kajiannya tersebut mencoba untuk membandingkan kemampuan insting
yang dimiliki oleh mahluk lain, terutama bianatang dengan manusia. Dalam
beberapa saat, misalnya, seekor anak ayam yang baru saja menetas dapat

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 20


langsung berjalan mencari makanan. Sebaliknya, seorang bayi manusia
harus mencari makan melalui bantuan kedua orang tuanya atau anggota
kelompoknya. Pentingnya pembelajaran manusia binatang (human animal)
dilukiskan secara panjang lebar oleh A. L. Kroeber (1907: 177-78):
Take a couple of ant eggs of the right sex-unhatched eggs, freshly laid. Blot out every
individual and every other egg of the species. Give the pair a little attention as
regards warmth, moisture, protection, and food. The whole of ant societv, every one
of the abilities, powers, accomplishments, and activities of the species ….. will be
reproduced, and reproduced without diminution, in one Generation. But place on a
desert island or in a circumvallation two or three hundred human infants of the best
stock from the highest class of the most civilized nation; furnish them the neces-
sary incubation and nourishment; leave them in total isolation from their kind;
and what shall we have? ….. only a pair or a troop of mutes, without arts, know-
ledge, fire, without order or religion. Civilization would be blotted out within these
confines not disintegrated, not cut to the quick, but obliterated in one sweep.
Secara umum definisi kebudayaan mengungkapkan, bahwa kebudaya-
an adalah milik bersama. Barangkali bisa dibayangkan, bahwa anda adalah
ahli budaya yang baru saja tiba di desa-desa terpencil, semisal di Afrika
yang jauh sana. Tujuan kesana adalah meneliti dan mendeskripsikan kebu-
dayaan atau adat-istiadat masyarakat setempat. Masyarakat yang anda
temui mungkin tinggal dalam sebuah kelompok masyarakat (sejenis desa di
Indonesia). Mereka akan berinteraksi dengan yang lainnya (dengan
menepuk bahu, lalu mereka berbicara) dalam rangka berkomunikasi. Jika,
kondisi dan situasi seperti ini terjadi, anda bisa mengatakan, bahwa
masyarakat yang anda kunjungi itu sedang membentuk sebuah masyarakat.
Lalu bagaimana dengan kebudayaan mereka? Ketika pertama kali anda
menemui salah seorang masyarakat Afrika tersebut, anda sebagai seorang
ahli budaya sebaiknya ikut serta dalam berbagai aktifitas (full participation
research) dalam masyarakat yang anda kunjungi. Di salah satu desa, anda
menyaksikan seorang laki-laki sedang sibuk mengatapi rumahnya. Di desa
lain seorang perempuan mengasuh anak-anaknya (child rearing) melaui
caranya sendiri. Di luar dari desa yang anda kunjungi tersebut, seorang laki-
laki sibuk menyiangi (membajak) ladangnya.
Ketika anda tinggal beberapa hari di desa-desa tempat anda meneliti
tersebut, anda sudah mulai melihat dan mengamati, bahwa ada tendensi
seluruh manusia yang hidup berkelompok tersebut menggunakan cara-cara
yang sangat seragam dalam mengganti atap rumahnya, kebiasaan perempu-
an mengasuh anaknya dan seluruh petani menggunakan alat yang sama,
semangat perilaku budaya bersama (cultural ethos)9 dan metode yang sama
9
Etos kebudayaan (cultural ethos) adalah sifat, nilai dan adat istiadat khas yang memberi
watak kepada kebudayaan masyarakat. Etos dapat juga berarti pandangan hidup yang
khas suatu golongan sosial. Sinonim dengan etos adalah konfigurasi (cultural patterns)

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 21


dalam menyiangi sawahnya. Keseragaman perilaku yang anda saksikan
tersebut mungkin sesuai dengan apa yang diacu oleh para ahli budaya
(prinsip etik), ketika sedang membicarakan kebudayaan sebuah masyarakat.
Jadi, kesimpulannya anda sebagai calon ahli budaya sudah mulai mampu
berfikir kritis, komparatif dan holistis tentang kebudayaan masyarakat yang
anda kunjungi tersebut. Saya juga yakin, bahwa anda sudah mampu men-
deskripsikan secara ilmiah tentang apa yang anda amati dan lihat di
lapangan, baik dengan menggunakan pikiran sendiri sebagai ahli budaya
(etik) maupun sesuai dengan pikiran dan persepsi orang-orang yang anda
teliti (emik).
Kebudayan dalah sebuah abstraksi, seperti halnya dengan abstraksi
peta kasus umum. Hanya saja, sebuah peta umum lebih menggambarkan
karakteristik paling penting dari sebuah area secara geografis. Sedangkan
peta kebudayaan hanya mengacu pada aspek-aspek yang sangat siginifikan
terhadap perilaku manusia. Tentu saja, setiap ahli budaya tertarik lebih dari
sekedar karakter pokok kebudayaan. Mereka mengetahui, bahwa sering ada
penyimpangan bagi orang-orang yang tidak secara penuh mengikuti adat-
istiadat. Akan tetapi sungguh aneh, karena perilaku menyimpang tersebut
juga dipelajari, sekalipun tidak bersama-sama dengan kelompok masya-
rakat lainnya. Oleh karena itu, perilaku seperti ini tidak dapat dikelompok-
kan sebagai perilaku budaya (cultural behavior), tetapi lebih mengarah pada
hanya sekedar tindakan (actions) belaka. Jadi, ada perbedaan antara perilaku
(behavior) dengan tindakan (action). Perilaku dilakukan secara berpola
berdasarkan kesepakatan antara kelompoknya. Jadi perilaku cenderung
direncanakan sebelumnya. Sebaliknya, tindakan adalah sesuatu yang
dilakukan secara reflex dan tidak ada kesepakatan sebelumnya dengan
kelompoknya. Dengan demikian, tindakan cenderung tidak berpola dan
tidak ada aturan sosila-budaya yang mengikatnya.
Yang dimaksud sebagai perilaku abnormal di sini adalah perilaku
yang kurang berpola, sehingga tidak memenuhi kepatutan yang berlaku di
dalam masyarakat bersangkutan. Ketika anda, misalnya, sedang meneliti
atau berinteraksi dengan kelompok etnis Bugis-Makassar anda menemukan
seseorang --- yang karena lama berinteraksi dengan kelompok kebudayaan
lain --- bertingkah laku lain daripada anggota masyarakatnya. Itulah yang
dimaksud sebagai perilaku abnormal atau menyimpang (un-cultured). Se-

yang digunakan oleh R. F. Benediet (dalam Koentjaraningrat, 2003: 57). Menurut Abu
Hamid (2003), etos adalah sifat, karakter, kualitas hidup, moral dan gaya estetik, serta
suasana hati seseorang atau masyarakat. Etos berada pada lingkaran etika dan logika
yang bertumpu pada nilai-nilai dalam hubungannya dengan pola-pola tingkah laku dan
rencana-rencana manusia. Etos memberi warna dan penilaian terhadap alternatif pe-
kerjaan baik atau buruk.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 22


orang Bugis, misalnya, yang ketika makan dengan kelompoknya tiba-tiba
menggunakan sumpit atau garpu (seperti halnya dengan etnis Tionghoa dan
orang Barat), perilaku makan tersebut dianggap tidak normal, karena bukan
kebudayaan setempat. Pemakaian sumpit dalam aktifitas makan hanya
dilakukan oleh pendukung kebudayaan Timur Jauh, Jepang, Cina, Korea
dan sebagainya). Demikian pula dengan kebiasaan makan dengan meng-
gunakan sendok atau garpu hanya berlaku bagi pendukung kebudayaan
Barat. Sekali lagi saya tekankan di sini, bahwa orang Bugis akan mengalami
kesulitan dalam menikmati makanannya ketika menggunakan peralatan
makan lainnya, karena mereka hanya terbiasa dan diajarkan menikmati
makanan dengan menggunakan tangan saja. Perlu juga saya jelaskan disini,
bahwa cara makan dengan menggunakan tangan bagi orang Bugis dibeda-
kan menjadi dua: tempu datu yaitu cara makan dengan menggunakan ujung
jari jemari dan tempu leppang yaitu dengan menggunakan telapak tangan.
Sendok (senru’) bagi orang Bugis hanya gunakan untuk mengambil makan-
an dari mangkuk sayur-mayur (sanru’) dan dari tempat nasi ke piring
makannya (senro’ inanre) sendiri. Ketiga kata (senru’, sanru’ dan senro’)
tesebut memiliki fungsi masung-masing. Sangat jelas disini, bahwa ketiga
sendok di atas memang tidak digunakan untuk makan, tetapi untuk fungsi-
fungsi tersendiri.
Ketika seorang ahli budaya melukiskan sebuah peta kebudayaan
(cultural maps), ia tertarik dalam pengkarakterisasian sifat sesungguhnya
dan tidak akan pernah memperlihatkan kekecualian dalam sebuah aturan.
Maksud dari sebuah peta budaya secara umum adalah menuntun dan
mengarahkan masyarakat untuk meningkatkan pemahaman manusia ter-
hadap sebuah lokasi. Untuk melakukan hal ini peta harus akurat dan
dibangun secara ilmiah. Sama halnya dengan keakuratan analisis dari
sebuah peta kebudayaan (cultural map) yang memungkinkan manusia mene-
mukan: 1) cara hidup di sekitar masyarakatnya, 2) mengantisipasi apa yang
masyarakat akan lakukan dalam situasi tertentu dan 3) memahami keunikan
upacara-upacara dan tradisi masyarakat yang bersangkutan. Jadi, peta
kebudayaan yang dimakasud di sini adalah strategi atau ancangan hidup
(way of life) dan/atau mekanisme adaptasi (copy mechanism) seperti yang di-
perkenalkan oleh Kottak (1991: 3).
Dalam mendefinisikan perilaku budaya (cultural behavior) sebagai
perilaku bersama ada beberapa hal yang harus dipahami. Sekalipun, ada
beberapa jenis perilaku yang dimiliki bersama oleh semua orang, tetapi
tidak semua harus dipelajari. Oleh karena itu, hal-hal yang tidak perlu
dipelajari tersebut, tidak dapat dikategorikan sebagai perilaku budaya
(cultural behavior). Ketika moncong senjata, misalnya, diarahkan pada muka
beberapa orang, mereka akan bertindak refleks dan bola matanya mem-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 23


belalak, karena ia sangat kaget. Ketika kilatan disertai dengan bunyi
dentuman muncul dari moncong senjata yang ditodongkan tersebut, mereka
akan refleks melompat atau menampakkan respon sangat terkejut. Atau,
ketika kaki seseorang anda tendang tanpa sepengatahuan sebelumnya,
dipastikan kakinya akan tersentak. Reaksi-reaksi seperti ini sifatnya respon
refleks dan merupakan hasil dorongan insting manusia belaka untuk
menyelamatkan dirinya. Hal itu dimiliki memang bersama, tetapi tidak
melalui pembelajaran budaya (enculturation)10, sehingga tidak bisa dikate-
gorikan sebagai perilaku budaya (cultural behavior). Seorang pemuda India,
misalnya, memakai anting-anting tinggal di kelompok kebudayaan Bugis
dianggap bukan sebagai perilaku kebudayaan, karena anting-ating tersebut
tidak memiliki nilai di dalam kebudayaan orang Bugis. Sebaliknya, ketika
pemuda India tersebut kembali ke negaranya, hal itu bisa dianggap sebagai
perilaku budaya, karena anting-anting tersebut memiliki nilai dalam kebu-
dayaan India. Menurut E. Adamson Hoebel (1972: 6), bahwa setiap masya-
rakat yang berbeda mempunyai kebudayaan yang berbeda pula. Hal ini
mungkin sesuai dengan pepatah lain lubuk lain pula ikannya. Efek konse-
kuensinya, bahwa karakteristik perilaku dari anggota sebuah masyarakat
dalam berbagai hal memperlihatkan perbedaan secara signifikan dari
anggota kelompok masyarakat lainnya. Ilmu budaya memperlihatkan,
bahwa perbedaan perilaku dari kelompok ras manusia lainnya, misalnya,
merupakan produk spektakuler dari pengalaman budaya ketimbang di-
anggap sebagai suatu bentuk warisan budaya. Kepentingan konsep budaya
dalam ilmu budaya begitu besar, sehingga banyak perilaku tidak dianggap-
nya sebagai sifat dan manifestasi dari perilaku manusia.
Tanpa masyarakat sangat tidak mungkin ada kebudayaan. Sebaliknya
tanpa kebudayaan juga sangat tidak mungkin manusia mampu bertahan
hidup, karena kebudayaan membangun kemampuan (capacity building)
dalam menghadapi setiap tantangan hidup. Dalam istilah tradisional kebu-
dayaan adalah alat pemecah masalah mendasar manusia (means for basic
human problem), seperti: pemerolehan makanan, melindungi diri, melahirkan
dan membesarkan generasi. Sangat tidak mungkin juga untuk mempelajari
kebudayaan sebagai referensi masyarakat seperti yang dilakukan oleh se-
orang arkeolog dengan menganalisis efek-efek benda-benda budaya dari

10
Belajar harus dibedakan dengan pelatihan. Belajar (learn) adalah proses dimana suatu
mahluk menginternalisasikan berbagai macam pola kelakuan yang diperlukan untuk
hidup. Bagi mahluk manusia proses belajar itu berarti juga proses sosialisasi dan proses
enkulturasi disamping proses internalisasi (Koentjaraningrat, 2003:). Pelatihan adalah suatu
proses untuk mengubah suatu bentuk kebiasaan (habit) menjadi kebiasaan lainnya untuk
mencapai kesempurnaan. Pembelajaran umumnya mengarah pada pemahaman simbol-
simbol (symbols), sedangkan pelatihan mengarah pada tanda-tanda (sign).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 24


peradaban lama. Ilmu budaya membutuhkan data yang update, yang terjadi
pada situasi dan konsidi saat itu. Harus dicatat, bahwa tanpa masyarakat
memiliki seperangkat ide di dalam kepalanya, tanpa masyarakat dikem-
bangkan oleh aturan dan nilai, sebuah kebudayaan tidak mungkin eksis.
Jadi, manusia dan kebudayaan ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa
dipisahkan. Ketika anda berada di suatu tempat yang cuacanya sangat
dingin, yang pertama-tama anda pikirkan bagaimana tidak dingin. Secara
reflek anda berfikir membuat api unggun atau perapian (cultural knowedge),
mengumpulkan ranting kayu (cultural behavior) dan api menyala mengeluar-
kan hawa panas (cultural artifact). Jadi, apa yang anda pikirkan, apa yang
anda lakukan dan apa yang anda hasilkan merupakan suatu usaha untuk
menggunakan kebudayaan dan budaya yang anda miliki. Kebudayaan
tersebut anda gunakan untuk mengantisipasi permasalahan yang sedang
anda hadapi. Tindakan itu yang disebut sebagai kebudayaan (culture) dan
anda sebagai pencipta kebudayaan (the creator of culture).
B. Karakteristik Kebudayaan
Selain konsep dan definisi di atas, Tylor melihat kebudayaan sebagai
suatu kompleksitas utuh atau totalitas (a complex whole) yang tersusun dari
bagian-bagian yang berbeda. Dengan demikian, kebudayaan saling ter-
integrasi dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Haviland
(1993: 34-32) juga mencoba memberikan contoh integritas kebudayaan
dalam Suku Kapauku di lrian Jaya. Ia mengatakan, bahwa untuk keperluan
perbandingan dan analisis, ahli budaya biasanya menguraikan kebudayaan
menjadi sejumlah bagian (unsur) yang kelihatannya berdiri sendiri-sendiri,
tetapi pembedaan-pembedaan seperti itu bersifat sembarang (arbitrary). Ahli
antropologi yang menyelidiki salah satu aspek kebudayaan selalu merasa
perlu untuk juga menyelidiki aspek-aspek lainnya secara menyeluruh
(holistis). Tendensi semua aspek kebudayaan untuk berfungsi sebagai kesa-
tuan yang saling berhubungan disebut terintegrasi (integrated)11. Menurut
Irianto (2005), bahwa integrasi lebih berupa suatu kesadaran dan bentuk
pergaulan yang melibatkan berbagai kelompok dengan identitas masing-
masing. Menurutnya ada dua jenis intergrasi: 1) integrasi yang terbentuk,
jika ada kesamaan identitas (bahasa, budaya, politik dan agama) dan 2)
integrasi yang lebih luas yang terbentuk apabila sekelompok orang mene-
robos identitasnya dan mengambil hal-hal yang selama ini dianggap mem-
bentuk karakter atau watak kelompoknya.

11
Lihat Kuran Timur (2007) bahwa, proses integrasi budaya dapat memicu ketegangan
sosial, seperti tercermin dalam kampanye gerakan anti-globalisasi. Gerakan ini menim-
bulkan persepsi, bahwa pengaruh lintas budaya mendukung penyebaran satu budaya
tertentu dengan mengorbankan orang lain.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 25


Haviland memperlihatkan integrasi budaya dari beberapa aspek:
ekonomi, politik dan sosial dari masyarakat Kapauku. Ekonomi menurut
persepsi orang Kapauku bersandar pada tumpangsari pembudidayaan
tanaman dengan penangkaran babi (agrosylvopastural systems) berburu dan
menangkap ikan (fish pond). Meskipun pembudidayaan tanaman menghasil-
kan sebagian besar pangan penduduk, tetapi melalui penangkaran babilah
orang mendapat pengaruh politik dan kedudukan sebagai penguasa legal.
Pada orang Kapauku, penangkaran babi adalah urusan yang kompleks,
karena membutuhkan banyak pakan ternak, terutama ubi rambat, yang
ditanam di kebun. Beberapa kegiatan perkebunan tertentu hanya dilakukan
oleh wanita disamping memelihara babi. Dengan demikian, untuk memeli-
hara banyak babi harus ada banyak wanita di dalam sebuah rumah tangga.
Akibatnya, beristri banyak (poligini) bagi laki-laki Kapauku tidak hanya
diperbolehkan, tetapi sangat diingini oleh mereka. Meskipun demikian,
kaum laki-laki Kapauku mempunyai kewajiban untuk membayar harga
mempelai (bride price) yang mahal sekali. Selain itu, istri-istri mereka juga
harus diberi imbalan dalam memelihara babi. Jadi, seorang laki-laki
Kapauku perlu memiliki banyak babi sebagai ukuran kekayaan dalam
memperoleh banyak istri. Istri-istri mereka tersebut akan menjadi angkatan
kerja dalam memelihara babi.
Dengan demikian, perubahan pada satu bagian atau lini dalam kebu-
dayaan akan mengubah hubungan bagian-bagian lainnya dan akan mem-
pengaruhi keseluruhan sistem yang bersangkutan. Oleh karena itu, kebu-
dayaan tidak bisa hanya dilihat dari salah satu sudut pandang (paradigm)12
saja, karena kebudayaan merupakan suatu bentuk totalitas dari bagian-
bagian berikut ini:
1. Kebudayaan sebagai Suatu Sistem
Apabila kebudayaan dipandang sebagai suatu bentuk totalitas dari
kompleksitas sistem-sistem dari budaya yang lainnya, klasifikasi kebudaya-
an dapat dilakukan dalam bentuk kategori-kategori tertentu. Sistem me-
nurut Koentjaraningrat (2003: 218) adalah rangkaian hal, kejadian, gejala
atau unsur yang berkaitan satu dengan lain, sehingga merupakan kesatuan
organis yang tidak dapat dipisahkan. Jadi, sistem budaya adalah kesatuan
unsur-unsur budaya yang tidak dapat dipisah-pisah. Sistem budaya (cultur-
al system) adalah rangkaian gagasan, konsepsi dan norma-norma adat-isti-

12
Istilah paradigma pertama kali digunakan oleh Thomas Kuhn (1922-96) dalam buku The
Structure Of Scientific Revolution tahun 1962 untuk merujuk pada kerangka teoretis di
mana semua pemikiran dan praktik ilmiah beroperasi. Paradigma adalah persepsi atau
pandangan intelektual, yang diterima oleh individu atau masyarakat sebagai contoh,
model, atau pola yang jelas tentang bagaimana segala sesuatu bekerja di dunia

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 26


adat yang menata tingkah laku manusia dalam masyarakat dan merupakan
wujud ideologis sebuah kebudayaan.
Untuk melakukan klasifikasi tersebut, terdapat dua jenis pendekatan
sebagai pisau-pisau analisis, yaitu: pendekatan analitis dan pendekatan sintetis.
Pendekatan analitis digunakan dalam menelaah seluruh sistem kebudayaan,
sebagai suatu totalitas yang terintegrasi dan terpola. Sistem kebudayaan
tersebut kemudian dipilah-pilah menjadi unit-unit yang lebih kecil, yang
disebut sebagai ciri kebudayaan (cultural trait)13. Sebagai contoh, cincin yang
melekat di jari anda merupakan suatu bentuk unit yang kecil. Cincin
tersebut harus dikaitkan dengan suatu pola yang lebih luas. Nah, untuk
memahami makna yang terkandung di dalam sebuah cincin, anda perlu
mengetahui beberapa hal berikut ini: teknologi pembuatannya, pola-pola
ekonomis yang terkandung di dalam kebudayaan di mana cincin itu
dihasilkan dan digunakan, nilai-nilai material (bahan-bahan) dalam
menghasilkan cincin tersebut, faktor yang menentukan nilai-nilai tersebut
dan hubungan-hubungan tertentu yang disimbolkan dalam cincin tersebut,
seperti; ikatan pernikahan (marriage contracts), perubahan status (rite of the
passage) yang menyimbolkan tamatnya seseorang dari suatu perguruan
tinggi dan/atau tergabungnya seseorang (agregation) dalam suatu orga-
nisasi tertentu. Contoh lain adalah satu unit mobil, dimana mobil tersebut
terbuat dari beberapa komponen dan sistem-sistem. Sebuah sistem dalam
mobil tersebut saling mendukung satu dengan yang lainnya, sehingga
interkoneksitas antara satu unsur atau sistem sangat mutlak adanya. Sistem
suplai energi listrik, misalnya, sangat dibutuhkan dalam pembakaran bahan
bakar dan menyalakan lampu-lampu atau unsur-unsur lain yang memerlu-
kan arus listrik. Sistem listrik tersebut harus terkoneksi dengan baik mulai
dari aki, masuk ke ketot (get out) kemudian ke delku dan terakhir masuk ke
busi atau injeksi mobil. Demikian pula dengan sistem sirkulasi udara
melalui filter udara dan sistem sirkulasi air melalui radiator juga mutlak
diperlukan untuk menjaga keseimbangan panas mesin mobil. Sistem
resonansi tekanan udara yang membantu proses pembakaran bahan bakar,
yang diatur melalui pengaturan sistem pembuangan dan pemasukan udara
melalui klep atau katup (valve) perapian dan klep atau katup pembuangan
udara juga harus seimbang. Pembuangan udara yang lebih besar akan
menyebabkan pembakaran bahan bakar kurang lancar. Sebaliknya, pem-
buangan yang sedikit akan mengganggu pembakaran, karena resistensi
13
Lihat Smith (1990: 65), bahwa cultural traits are the elements of culture whiht may be material
or non-material. In the Culture area approach and in theories of Diffusion and Cross-Cultural
Comparison the concept of the culture trait has been of central importance. Traits are conceived
of as isolatable elements not necessatily linked to one another, though many theories of diffusion
and culture pattem do in fact postulate functional interrelationships between such traits.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 27


udara di dalam ruang-ruang pembakaran bahan bakar menjadi berkurang.
Apabila sistem pembuangan dan pemasukan udara dalam mesin mobil
tidak seimbang, mesin mobil dipastikan tidak akan bisa bunyi. Jadi, sangat
jelas di sini, bahwa sistem-sistem dalam satu unit mobil saling mendukung
satu sama lainnya, termasuk sistem-sistem pendukung lainnya. Jadi, apabila
sistem pengapian (aki, get out, delku dan busi) tidak seimbang dengan
sistem suplai bahan bakar (tanki bensin, filter bahan bakar dan kaburator),
mesin mobil tersebut sebagai kumpulan dari berbagai sistem dipastikan
tidak bisa bunyi.
Pendekatan sintetis, sebaliknya menaruh perhatian pada penyelidi-
kan bagaimana ciri-ciri kebudayaan itu dibangun menjadi pola-pola yang
lebih luas. Ciri-ciri yang berkaitan, mirip dan sama dikelompokkan dalam
suatu level yang lebih tinggi untuk membentuk suatu kompleks ciri pem-
beda (distinctive feature). Kompleks-kompleks ciri tersebut dikelompokkan
untuk membentuk kategori-kategori lebih luas yang disebut konfigurasi
(configuration), yang membentuk pola-pola umum dan ciri khas dari suatu
kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat (2003: 126), bahwa konfigurasi
kebudayaan adalah gambaran menyeluruh yang menggambarkan tentang
watak suatu kebudayaan. Sedangkan menurut Smith (1990: 50), bahwa teori
konfigurasi atau teori Gestalt adalah teori persepsi dan pemikiran psikologis
yang menekankan pentingnya konsistensi dan keutuhan konfigurasi mental.
Penekanannya pada integrasi pemikiran dan persepsi mempengaruhi per-
kembangan teori budaya dan kepribadian. Tokoh yang berpengaruh dalam
pengembangan teori ini adalah Sapir dan F. Benedict. Konsep pola budaya
terkait erat dengan konsep konfigurasi oleh Kluckhohn.
Pemilahan kebudayaan dalam bentuk unit-unit kecil atau membangun
pola-pola kebudayaan berdasarkan ciri-ciri tertentu tidak mudah dilakukan
seperti yang dibayangkan. Oleh karena itu, cara yang lebih praktis adalah
memandang kebudayaan sebagai susunan dua konfigurasi atau komponen
besar yang saling berhubungan yakni kebudayaan material (cultural materea-
lisms) dan kebudayaan non-material (cultural cognition). Keduanya terdiri
atas tiga komponen: 1) komponen kognitif meliputi sistem pengetahuan dan
sistem kepercayaan, 2) komponen normatif meliputi sistem norma dan
sistem nilai dan 3) komponen simbolik meliputi sistem tanda dan sistem
bahasa.
Ketiga bentuk komponen di atas dapat dikategorikan sebagai sebuah
sistem yang terkonfigurasi dan terintegrasi satu dengan yang lainnya.
Komponen kognitif berupa sistem pengetahuan dan sistem kepercayaan
tidak bisa dipisahkan dengan komponen normatif yang berisi sistem nilai
dan norma. Sistem nilai dan system normalah yang menjadi penentu antara
yang patut dan yang tidaknya patut perilaku dan tindakan. Komponen

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 28


simbolik yang dijewatahkan melalui sistem bahasa dan tanda digunakan
untuk mengkongkritkan dan mengkoseptualisasikan komponen kognitif
dan normatif yang sifanya abstrak.
2. Kebudayaan Sebagai Komponen Kognitif
Kebudayaan sebagai suatu bentuk kognisi (Koentjaraningrat, 2003:
123) adalah proses di mana suatu organisme menjadi sadar atau mem-
peroleh pengetahuan mengenai suatu objek. Proses ini mencakup proses
melihat (perceiving), mengenali (recognizing), mengerti (conceiving), me-
nimbang (judging) dan menyimpulkan (reasoning). Dengan demikian, kebu-
dayaan sangat membantu manusia untuk mengembangkan pengetahuan
dan kepercayaan tertentu yang berkenaan dengan lingkungan sekitarnya.
Sistem pengetahuan budaya (cultural knowledge system) yang tersimpan
di dalam kognisi manusia dapat berupa kompleks ide-ide, gagasan-gagasan
dan fakta-fakta tentang dunia fisik dan sosial yang bersifat relatif, objektif,
sehingga dapat diverifikasi. Sistem pengetahuan dapat diterjemahkan
menjadi teknologi, yang dipakai untuk mengontrol lingkungan alam dan
memecahkan problem-problem sosial. Salah satu sistem pengetahuan, yaitu
sistem religi dan kepercayaan cendenrung tidak dapat diverifikasi harus
diabstraksikan di dalam perilaku keagamaan (religious behavior). Dogmatik
(Koentjaraningrat, 2003: 45) studi mengenai ajaran keyakinan keagamaan,
yang tidak boleh dipersoalkan lagi. Lihat juga Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KKBI) dogmatisme adalah sifat mengikuti atau menjabarkan
suatu ajaran tanpa kritik samasekali.
Sistem pengetahuan lokal (local knowledge system) adalah sekumpulan
pengetahuan yang diperoleh seseorang melalui pengalaman selama ia
berinteraksi dengan lingkungannya. Menurut Adimihardja (2004), bahwa
komponen dari sistem pengetahuan lokal (local knowledge) cukup memberi-
kan arti dan inspirasi terhadap pengembangan suatu konsep baru yang
membahas tentang arus kebutuhan yang dihadapi oleh masyarakat. Dengan
demikian, keberadaan sistem pengetahuan lokal dapat memperbesar
kemungkinan timbulnya sebuah proses yang efektif dan manusiawi dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membuat kehidup-
an masyarakat di pedesaan lebih signifikan kedepan.
Warren (dalam Adimiharja, 1999 dan 2004) juga menggambarkan
betapa besarnya peran yang harus dimainkan oleh sistem pengetahuan lokal
dalam melengkapi ilmu pengetahuan (science), khususnya dalam memecah-
kan masalah-masalah sosial budaya (sosio-cultural). Sebagai bagian dari
budaya, sistem pengetahuan lokal berisi seperangkat ekspresi budaya yang
khusus, yang di dalamnya terdapat urutan nilai (value order), etika (ethic),
norma-norma (norms), aturan (rules) dan kemampuan masyarakat (skills of
society), yang bermanfaat dalam pemenuhan tuntutan kebutuhan hidupnya

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 29


(pangan, kesehatan, pendidikan, pengelolaan sumberdaya alam dan bebe-
rapa aktivitas sosial masyarakat pedesaan lainnya).
Gadgil (Mitchell, 2000: 298) membuktikan bagaimana ampuhnya sis-
tem pengetahuan lokal, yang terakumulasi dan mempunyai peran sangat
besar sepanjang sejarah hidup manusia. Pandangan, bahwa manusia meru-
pakan bagian terintegrasi dari alam dan sistem kepercayaannya lebih
banyak memberikan penekanan pada penghormatan terhadap keseimbang-
an lingkungan alam (environtmental equilibrium) dengan manusia yang hidup
di sekitarnya. Hal ini tentunya sangat bernilai positif, khususnya dalam
prospek kehidupan umat manusia kedepan.
Warren (dalam Adimiharja, 1999 dan 2004), lebih lanjut menggambar-
kan bagaimana eksistensi dari sistem pengetahuan lokal yang sarat muatan
urutan nilai (value order), etika (ethic), norma-norma (norms), aturan (rules)
dan kemampuan masyarakat (skills of society), yang dalam aplikasinya lebih
banyak mengarah pada unsur-unsur lain, sehingga dapat dipandang se-
bagai suatu alat pemecah masalah budaya (cultural problem solving) yang
ampuh.
Gadgil (dalam Mitchell, 2000: 298) juga menunjukkan betapa ampuh-
nya sistem pengetahuan lokal yang terakumulasi di dalam sistem kearifan
lokal dalam sejarah kehidupan manusia. Kearifan lokal (local wisdoms)
menurut Gising (2005: 13) adalah sebuah pola dan cara berfikir dalam setiap
tindakan yang didasarkan pada pertimbangan nilai (values) dan kepentingan
(interest), sehingga hasil pemikiran dan tindakan tersebut berisi keadilan
(justice) dan pencarian jati diri umat manusia. Babcock (Salle, 1999: 91)
kearifan merupakan kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar
dalam kebudayaan suatu kelompok manusia, yang merupakan hasil penga-
matan selama kurun waktu yang lama. Demikian pula menurut Arzaki
(2001: 16) kearifan tradisional atau kearifan budaya lokal adalah semua
keahlian-keahlian dan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tradi-
sional untuk memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungannya dalam
mewujudkan kehidupan yang harmonis.
Kearifa lokal (local knowledege system) memandang manusia sebagai
sesuatu yang terintegrasi dengan alam lingkungan dan sistem kepercayaan
mereka. Manusia tidak dipandang terpisah dari lingkungannya, seperti
halnya yang dipahami dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (science). Ini
menunjukkan, bahwa sistem pengetahuan lokal yang memperhatikan
keseimbangan lingkungan alam sangat bermanfaat, baik dalam pengem-
bangan lingkungan lestari (sustainable of environment) maupun penggunaan
sumberdaya secara berkelanjutan di Indonesia. Bahkan, menurut Fritjof
Capra (1991), bahwa masyarakat indigenus cenderung melihat hubungan
antara manusia dengan alam melalui tiga tingkatan atau dimensi secara

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 30


holistis: pikiran (kognisi), tubuh (fisik) dan lingkungan (alam). Pandangan
ini sangat bertentangan dengan perspektif dunia ilmu pengetahuan dan
dunia Barat, karena landasan pokoknya adalah fisika klasik. Fisika klasik
memandang manusia sebagai sesuatu yang terpisah dari lingkungannya.
Fisika klasik selalu memandang sesuatu dalam keadaan hitam dan putih
(positivism), harus empirisme, terstruktur dan sebagainya. Sedangkan pe-
mikiran masyarakat Timur, menurut Capra, lebih berorientasi pada fisika
kuantum. Fisika kuantum melihat segala sesuatu secara global, terintegrasi,
tidak terlalu logis, bahkan mistik sekalipun. Fisika kuantum selalu berusaha,
agar sesuatu yang bertentangan sedapat mungkin dapat hidup atau berjalan
bersama-sama. Pendapat ini diperkuat oleh Sutton dan Anderson (2004: 1-2),
bahwa dalam empat atau lima juta tahun sejak perkembangan mereka,
manusia telah terjajah secara praktis di setiap lingkungan terestrial di planet
ini. Manusia di setiap tempat hampir sama secara biologis, tetapi telah
mampu berevolusi ke keragaman lingkungan bumi yang luar biasa melalui
budaya. Manusia mampu melakukan mekanisme yang sangat fleksibel dan
adaptif yang tidak dimiliki oleh hewan lain. Dengan demikian, manusia
adalah spesies yang sangat sukses. Aktivitas manusia memiliki berbagai
dampak terhadap lingkungan, namun sangat kecil hingga katastropik.
Sekarang, aktivitas manusia memiliki dampak besar pada lingkungan
tempat kita manusia bergantung, pada akhirnya mengancam eksistensi diri
sendiri. Memahami dan menangani tantangan ini merupakan tugas yang
menakutkan, tetapi penting.
Menurut Sutton dan Anderson lebih lanjut, bahwa masyarakat Barat
cenderung berpandangan, bahwa manusia di atasnya dalam beberapa hal
terpisah dari lingkungan (lihat kembali pandang Fritjof Capra). Pandangan
ini dapat ditelusuri kembali ke Alkitab, yang memberi tahu kepada kita,
bahwa dunia (lingkungan) diciptakan pertama dan kemudian manusia
diciptakan dan diberi tugas menundukkan alam. Budaya lain memiliki kisah
serupa. Filosofi Western berpandangan, bahwa hidup adalah tujuan dan
misi orang untuk menaklukkan alam. Jadi, banyak orang saat ini masih
percaya, bahwa manusia bukan bagian dari lingkungan, tetapi manusia
harus mengatasinya dan mengarahkannya sesuai kehendak mereka.
Seseorang dapat berargumen, bahwa banyak masyarakat tradisional
(non-Western) adalah budaya yang tidak terindustrialisasi. Masyarakat
tradisional kadang-kadang dipandang setaraf dengan ahli ekologi, yang
selalu ingin hidup selaras dengan lingkungan mereka. Memang benar,
bahwa kegiatan di banyak masyarakat memiliki dampak yang lebih kecil
terhadap lingkungan daripada kegiatan orang lain (Barat). Juga benar,
bahwa beberapa kelompok ini memiliki filsafat kehidupan (way of life) yang
lebih ramah lingkungan daripada orang Barat secara keseluruhan.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 31


Pandangan Anderson di atas cukup menggambarkan betapa penting-
nya sistem pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat indigenus
untuk dikembangkan dan digunakan dalam menangani segala bentuk per-
masalahan sosial dan budaya. Saya teringat kembali pesan Ammatowa
kepada saya sebagai anaknya (ana’ ada’a), bahwa ako ammanrakii anjo boronga
anak. Saba’ punna lanupanraki nupanraki kalennu, sanggenna tuhusannu, artinya
‘jangan engkau merusak hutan, karena engkau merusak dirimu sendiri
hingga pada anak cucumu kelak’. Itulah sebabnya, mengapa orang Kajang
mampu melestarikan hutannya hingga saat ini.
3. Kebudayaan Sebagai Komponen Normatif
Setiap kebudayaan memiliki idenya sendiri, baik apa yang penting di
dunia maupun bagaimana manusia seharusnya bertindak. Komponen
normatif dari sebuah kebudayaan terdiri atas; aturan-aturan (rules), norma-
norma (norms) dan nilai-nilai (values). Nilai adalah ide tentang sesuatu yang
baik, diharapkan dan/atau yang penting. Ide-ide tersebut merupakan basis
pembentukan norma-norma sosial, yakni peraturan-peraturan tentang
bagaimana orang hendaknya berperilaku. Jadi, nilai adalah ide umum yang
mendukung keabsahan dari sebuah norma.
Sistem nilai dan sistem norma dalam suatu kebudayaan dapat berbeda
dengan yang lainnya, karena sifatnya yang subjektif dan konvenional.
Subyektif artinya sistem nilai dan sistem norma tersebut berlaku dalam
masyarakat tertentu sebagai penciptanya (the creator of culture). Sedangkan,
sifatnya konvensional, karena sistem nilai dan sistem norma tersebut dise-
pakati bersama oleh para pendukung suatu kebudayaan (natives). Oleh
karena itu, kadang-kadang sebuah sistem nilai dan norma pada suatu
masyarakat dapat dianggap baik, namun pada masyarakat lainnya di-
anggap biasa saja, bahkan kadang-kadang dianggap sangat buruk. Kawin
lari (sebo) menurut Raba (2002: 222) dalam kebudayaan orang Sasak di
Propinsi Nusa Tenggera Barat dianggap biasa-biasa saja. Sebaliknya
menurut Gising (2018), kawin lari pada suku Bugis-Makassar dapat
dianggap sesuatu yang sangat buruk, karena menyangkut harga diri (siri').
Menurut Abu Hamid dkk. (2003: ix), bahwa enkulturasi dan sosialisasi siri'
melekat pada pribadi tiap individu, turut memperkembangkan ego secara
ekstensif, sehingga individu itu dapat mengendalikan dirinya terhadap
situasi tertentu. Proses penjiwaan dari nilai-nilai tersebut akhirnya menjadi
superego14. Siri' bukan pandangan hidup, melainkan stabilisator pandangan
hidup yang senantiasa menginginkan harmonisasi sistem di dalam berbagai
macam interaksi. Siri'yang sudah melekat pada pribadi, memang dari satu
14
Lihat Freud (1953) dalam bukunya Introductory Lectures on Psychoanalysis, bahwa
manusia memiliki tiga dimensi di dalam dirinya: id (kebutuhan), ego (pemenuhan kebu-
tuhan) dan super-ego (pedoman penilaian).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 32


sisi mengandung nilai-nilai umum, sedangkan di sisi lain mengandung
nilai-nilai khusus. Kedua macam nilai ini berada dalam sistem budaya,
secara bersama dengan gagasan-gagasan vital, ide dan konsep-konsep
memberi bimbingan tehadap tingkah laku individu sebagai anggota
masyarakat (dalam sistem sosial). Demikian pula dengan individualisme di
Negara Barat sangat dijunjung tinggi, tetapi di Timur dipandang tidak baik,
karena acuan sistem nilai dan norma dari kedua bangsa tersebut memang
sangat berbeda.
Sistem nilai dan sistem norma yang menjadi komponen normatif dari
sebuah kebudayaan dapat mengalami perubahan seiring dengan perubahan
zaman. Konsep welang mpelang (anak gadis) orang Bugis pada masa lalu
memiliki nilai yang sangat tinggi dan selalu harus dijunjung tinggi. Oleh
karena itu, untuk menjaga nilai tersebut pendelegasian wewenang yang di-
berikan oleh orang tua si gadis kepada tomasiri (kerabat dekat) yang di-
hitung berdasarkan sistem kekerabatan. Tomasiri inilah yang menjadi pe-
negak siri’ (harkat dan martabat) keluarga. Tomasiri diberi wewenang untuk
bertindak bila sesuatu menimpa seorang gadisnya. Tomasiri pada umumnya
berupa kaum laki-laki: 1) dari keluarga batih (saudara kandung ego, paman
dari pihak ibu dan bapak ego), 2) keluarga dekat (sepupu laki-laki dari
pihak ibu dan bapak ego) dan 3) keluarga jauh (sekampung, seasal, satu
leluhur dan sebagainya). Hal ini akan dibahas lebih lanjut pada sesi
mekanisme perubahan kebudayaan pada Bab III nanti. Komponen normatif
dalam sebuah masyarakat disepakati dan dibuat sedemikian rupa, sehingga
sifatnya sakral dan mengikat untuk semua masyarakat pendukungnya
melalui pranata sosial (social institutions). Keseluruhan masyarakat pendu-
kungnya harus tunduk dan mengakui aturan yang mengikat mereka
tersebut, sehingga pelanggaran akan dikenakan sangksi ringan, sedang dan
berat. Masyarakat adat Kajang di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan,
misalnya, menerapkan sebuah aturan adat yang ketat (ada' tanayya) yang
mengikat seluruh tindakan dan perilaku masyarakatnya. Setiap pelanggaran
akan dibawa ke meja peradilan adat (abborong ada'a) dipimpin langsung oleh
Ammatowa selaku pemimpin adat tertinggi didampingi oleh beberapa
pemangku adatnya. Setiap pelanggaran akan dikenakan denda (passala),
yang diasosiasikan dengan cambuk (habbala’). Ukuran lingkaran cambuk
tersebut berbeda dari pangkal hingga ujungnya. Dengan demikian, orang
Kajang menyetarakan bentuk sangksi atau denda dengan bagian cambuk
tersebut. Pelanggaran berat dikenakan denda disosiasikan dengan pangkal
cambuk (poko' habbala'). Pelanggaran sedang diasosiasikan dengan tengah
cambuk (tangnga habbala'). Pelanggaran ringan diasosiasikan dengan ujung
cambuk (cappa' habbala'). Sanksi adat lainnya yaitu: 1) lanigelli, artinya
tersangka diberi hukuman masyarakat dengan mengucilkannya dari

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 33


pergaulan dan interaksi sosial di dalam wilayah adat Kajang, 2) lanipaoppani
tana, artinya diusir dari lingkungan adat Kajang. Demikian pula di wilayah
adat Cikoang sangat ketat dengan penggaran adat yang terjadi. Salah satu
bentuk pelanggaran berat di Cikoang adalah penikahan antara seorang
syarifah (gelar seorang perempuan turunan Sayyid) dengan non-sayyid
(orang biasa). Pelanggarnya akan diusir dari wilayah adat Cikoang dan
dihapus dari silsilah Sayyid Jalaluddin bin Muhammad Wahid Bafaqih al-
Aidit. Ia adalah seorang ulama besar dari Aceh, yang membawa Islam ke
Gowa dan Cikoang.
4. Kebudayaan Sebagai Komponen Simbolik
Istilah simbol atau simbolisme menjadi subyek dalam berbagai kegu-
naan dan interpretasi di dalam ilmu budaya. Para ahli budaya disatukan
dalam sebuah kajian khusus yaitu semiotika. Ada beberapa cabang ilmu
budaya yang menaruh perhatianya dalam analisis hubungan antara arti
(semantics) dengan kebudayaan (culture). Antropologi simbolisme, misalnya,
yang diprakarsai oleh kaum strukturalis Levi-Strauss, antropologi kognitif
D. Schneider, antropologi interpretatif Clifford Geertz dan antropologi sosial
Victor W. Turner sangat menaruh perhatiannya pada masalah simbol-
simbol budaya. Studi kontemporer simbolisme dalam ilmu budaya melibat-
kan berbagai disiplin: termasuk linguistik dan sosiolinguistik, musikologi
oleh Goffman (1967), studi folklor, kritik sastra dan semiotik atau semiologi.
Perhatian dari pendekatan-pendekatan tersebut umumnya berkenaan
dengan arti (meaning) dan komunikasi (communications). Victor W. Turner
(1967) dan Mary Douglas (1966), misalnya, yang merintis studi simbol
dalam tindakan mengacu pada hubungan antara simbol (symbol) dan tanda
(sign). Pendekatan seperti ini terfokus pada hubungan alamiah antara tanda
(signs), simbol (symbols), dunia tindakan (action) dan pengalaman (expe-
rience). Oleh karena, Turner lebih memandang simbol sebagai bahagian dari
proses social. Ia cenderung membedakan antara tanda (sign) dan simbol
(symbol). Keduanya menurut Turner mengacu pada hubungan indeksikal
dengan dunia, kemudian mengacu pada hubungan ikonik dengan kedalam-
an pengalaman (inner experience). Perbedaan antara indeks dengan ikon
selanjutnya, yang digunakan oleh Turner equivalen dengan perbedaan
antara metonimi (metonimy) dan metafora. Pada awalnya, keduanya berupa
substitusi yang simple, namun kemudian menjadi sebuah representasi yang
kompleks. Meskipun demikian, penggunaan istilah indeks, ikon, metonimi
dan metafor penggunaannya bervariasi dari satu ahli ke ahli lainnya. Hal ini
tentu saja, pada akhirnya dapat menimbulkan kebingungan, bila kegunaan-
nya tidak ditentukan sebelumnya.
Pandangan Clifford Geertz (1992: 3), bahwa kebudayaan sebagai suatu
pola makna-makna yang diteruskan secara historis yang terwujud dalam

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 34


simbol-simbol membuktikan, bahwa kebudayaan adalah sebuah sistem
simbol. Simbol atau simbolisme pada prinsipnya merupakan suatu bentuk
ciptaan manusia secara universal. Dengan demikian, symbol dapat dikata-
kan sebagai cuplikan dari kehidupan sosial mereka (Firth, 1989: 15 dan 50).
Firth lebih lanjut membagi simbol ke dalam tiga kategori, yaitu: 1) extrinsic
atau arbitrary symbols yang digunakan di dalam dunia ilmu pengetahuan, 2)
intrinsic atau descriptive symbols yang digunakan di dalam seni dan agama,
serta 3) insight symbols yang merupakan bagian penting dari poin dua.
Simbol ini tidak hanya merepresentasi karakter hubungan seni dan agama
dengan manusia, tetapi juga mampu memberi tuntunan untuk mengetahui
hubungan tersebut, seperti dalam karya sastra (apresiasi) dan agama
(fanatisme).
Kebudayaan sebagai suatu sistem simbol pemaknaannya dapat dilaku-
kan melalui dua sisi atau aspek. Aspek pertama yaitu pemahaman aspek
kognitif, yang di dalamnya tercakup sistem kepercayaan dan/atau sistem
pengetahuan. Hal ini memungkinkan para penganut suatu kebudayaan
mampu melihat dunianya (world view), bahkan dirinya sendiri sekalipun
sebagai pendukung kebudayaannya. Dengan demikian, aspek kognitif ini
menentukan orientasi atau etos kebudayaan sekelompok orang terhadap
tempat hidupnya. Etos kebudayaan (cultural ethos) adalah sifat, nilai dan
adat istiadat khas yang memberi watak kepada kebudayaan suatu golongan
sosial dalam masyarakat. Etos dapat juga berarti pandangan hidup yang
khas suatu golongan sosial. Sinonim dengan etos adalah konfigurasi (pat-
terns of culture) yang digunakan oleh R. F. Benediet (Koentjaraningrat, 2003:
57). Menurut Abu Hamid (2003), bahwa etos adalah sifat, karakter, kualitas
hidup, moral dan gaya estetik, serta suasana hati seseorang atau masya-
rakat. Etos berada pada lingkaran etika dan logika yang bertumpu pada
nilai-nilai dalam hubungannya dengan pola-pola tingkah laku dan rencana-
rencana manusia. Etos memberi warna dan penilaian terhadap alternatif
kerja, apakah pekerjaan itu dianggap baik atau buruk. Etos kerja bisa
diartikan sebagai suatu sikap dan kehendak secara sukarela, tanpa dipaksa
dan didorong oleh adanya keuntungan dan harapan. Etos berhubungan erat
dengan moralitas, meskipun tidak identik. Sikap moral mengarah pada
orientasi terhadap norma-norma yang harus ditaati. Sedangkan etos kerja
adalah sikap kehendak yang diperlukan untuk kegiatan tertentu. Menurut
Sinamo (2011: 26) etos kerja adalah seperangkat perilaku positif yang be-
rakar pada keyakinan fundamental yang disertai komitmen total pada
paradigma kerja yang integral. Demikian pula Panji Anaraga (2001: 29), etos
kerja adalah pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat terhadap kerja.
Oleh karena itu, menimbulkan pandangan dan sikap yang menghargai kerja
sebagai suatu yang luhur, sehingga diperlukan dorongan atau moti-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 35


vasi. Dengan definisi yang hampir sama Madjid (2000: 410) menyatakan,
etos kerja adalah karakteristik dan sikap, kebiasaan, serta kepercayaan dan
seterusnya, yang bersifat khusus tentang seseorang indi-vidu atau seke-
lompok manusia.
Selain aspek kognitif tersebut juga terdapat aspek kuantum kebudaya-
an (overt culture) dalam bentuk evaluatif dari sistem pengetahuan dan sistem
kepercayaan tertentu. Aspek tersebut ditransformasikan menjadi nilai-nilai,
yang pada gilirannya akan terkonfigurasi dan mengkristal menjadi sistem
nilai (value system). Sistem nilai inilah yang menentukan sikap yang akan
diambil atau diputuskan oleh seseorang terhadap perihal kehidupannya
menurut sistem makna atau sistem kognitif yang dianutnya.
Leslie A. White (dalam Bohannan, 1988: 335) mengatakan, bahwa sejak
dunia ini ada, sejak itu pula kehidupan manusia dan kebudayaan mulai ada.
Kebudayaan sendiri sangat tergantung pada simbol-simbol, karena kebu-
dayaan tidak dapat eksis tanpa kemampuan manusia (pencipta dan
pengguna) untuk menyimbolkannya. Salah satu wujud dari kebudayaan
adalah perilaku budaya (cultural behavior) yang dijewantahkan melalui
perilaku simbolik (simbolic behavior) yang dimiliki manusia. Jadi, kebudaya-
an dan simbol sifatnya mutualisme. Oleh karena itu, keseluruhan tingkah
laku budaya manusia tercermin di dalam penggunaan simbol-simbol.
Dengan demikian, dapat pula dikatakan, bahwa keseluruhan peradaban di
muka bumi ini juga dihasilkan dan timbul melalui penggunanaan simbol-
simbol.
Menurut White lebih lanjut, simbol adalah sebuah fenomena yang
mengandung pengertian yang secara konvensional diberikan oleh seke-
lompok manusia yang membutuhkannya. Jadi, pemaknaan simbol-simbol
budaya adalah konvensional sifatnya. Tanpa simbol-simbol tersebut
manusia dengan sendirinya tidak dapat disebut sebagai binatang berfikir
(the thinking animals). Bahkan, menurut White, hanya simbollah yang men-
transformasikan nenek moyang kita menjadi manusia. Adalah simbol pula
yang mentransformasi seorang anak homosapiensis menjadi manusia
(human being). Seorang anak tunarungu, misalnya, yang tumbuh dengan
tanpa menggunakan simbol-simbol adalah bukan manusia, karena tidak
mampu mengkomunikasikan dirinya kepada orang lain.
Leslie A. White (dalam Poerwanto, 2000: 60) mengatakan, pangkal dari
semua tingkah laku manusia tercermin pada simbol-simbol yang tertuang
dalam seni, religi, kekuasaan dan bahasa. Sementara itu, kebudayaan juga
merupakan fenomena yang selalu berubah sesuai dengan alam sekitarnya
dan keperluan suatu komunitas. Berdasarkan pada kerangka pemikiran
tersebut jelas, bahwa kebudayaan dapat dianggap sebagai suatu sistem yang
melingkupi kehidupan manusia pendukungnya. Kebudayaan merupakan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 36


suatu faktor yang menjadi dasar tingkah laku manusia, baik dalam kaitan-
nya dengan lingkungan fisik maupun lingkungan sosial-budaya. Oleh
karena itu, mutu suatu lingkungan fisik atau lingkungan sosial mencermin-
kan kualitas kehidupan sosial masyarakat para pendukung kebudayaan
tersebut.
Aspek simbolis yang terpenting dari kebudayaan adalah bahasa, yang
merupakan refleksi obyek kebendaan yang dilukiskan melalui; bunyi,
fonem, kata-kata dan kalimat. Stanley Salthe (1972: 402) menegaskan, bahwa
bahasa simbolis adalah fundamen tempat kebudayaan manusia dibangun.
Dengan demikian, pranata-pranata kebudayaan (struktur politik, agama,
kesenian, organisasi ekonomi) tidak mungkin ada tanpa lambang-lambang.
Keseluruhan komponen budaya --- sistem pengetahuan, sistem kepercaya-
an, norma-norma dan nilai-nilai --- tidak dapat diketahui tanpa adanya
simbol-simbol budaya tersebut. Simbol-simbol tersebut dapat berupa bahasa
lisan (oral language), gerak-isyarat (gesture language) dan hal-hal lain yang
mempunyai arti. Menurut Edward Sapir (1931: 578-584), bahwa bahasa
merupakan salah satu wahana manusia untuk menyampaikan gagasan,
emosi dan keinginannya dalam bentuk sistem lambang yang diciptakan
secara sukarela (arbitrair) dan persepakatan (convention). Melalui bahasa
manusia mampu meneruskan kebudayaannya dari generasi ke generasi
(enculturation). Simbol berduka bagi orang Jakarta, misalnya, disepakati
melalui pengibaran bendera warna kuning, orang Bugis dengan bendera
putih, suku lain dengan warna hitam atau mungkin dengan warna merah.
Hal ini merupakan suatu bentuk enkulturasi simbol berduka dari nenek
moyang mereka. Dengan demikian, jarang sekali terjadi orang Jakarta
mengibarkan bendera putih atau orang Bugis dengan bendera kuning,
ketika mereka sedang berduka. Pemilihan warna bendera duka tersebut
tentu saja tidak dengan semena-mena, melainkan lebih mengakar pada
filosofi kelompok etnis yang bersangkutan. Orang Bugis, misalnya, yang
menganggap kematian seorang manusia adalah kembali kefitrahnya yang
suci, karena umumnya dikafani ketika meninggal. Ini merupakan salah satu
bukti hubungan antara simbol dengan falsafah hidup (way of Life) atau
kosmologi orang Bugis tersebut. Konsep lesu’i ripammasena puangnge
(kembali kehariabaan-Nya) merefleksikan, ego kembali menghadap ke
Tuhannya dengan keadaan putih bersih (fitrah). Sedangkan orang Jakarta
beraggapan bahwa orang yang meninggal, karena di dalam tubunya tidak
ada lagi udara. Udara tersebut disejajarkan dengan warna kuning. Dasar
konsepsi orang Jakarta tentang kejadian manusia adalah ruh (nyawa), yang
setara dengan nyawa.
Ferdinand de Saussure (1988: 73-95) mencoba melihat hubungan
antara bahasa sebagai simbol dengan kebudayaan yang disimbolkannya.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 37


Menurut Saussure, tuturan manusia dapat dibagi menjadi tiga tingkatan,
yaitu: 1) Language yang memiliki segi individual dan sosial, 2) langue yang
direkam individu secara pasif dan 3) parole yaitu suatu tindak individual
terdiri atas; a) kombinasi-kombinasi kode bahasa (language code) yang
dipergunakan penutur untuk mengungkapkan gagasan pribadinya dan b)
mekanisme psikis-fisik yang memungkinkan penutur untuk mengungkap-
kan kombinasi-kombinasi tersebut. Saussure (1988: 11-16) dalam analisisnya
menggunakan tiga hal: sign, signifie dan significant. Signifie (penanda)
merupakan bagian lain dari bahasa berupa konsep. Saussure sendiri tidak
merinci lebih jauh tentang apa yang disebutnya konsep, kecuali menyata-
kan, konsep itu lebih abstrak daripada citra akustis sign (tanda). Konsep
bersifat pembeda semata-mata dan secara langsung bergantung pada citra
bunyi yang berkaitan. Itulah sebabnya menurut Saussure, tanda bahasa
(sign) mempunyai dua muka atau unsur yang tidak dapat dipisahkan yaitu
signifie (yang menandai atau petanda) dan citra akustis signifiant (yang
ditandai).
Perbedaan antara sign dan symbol merupakan suatu bentuk kontro-
versi. Dalam istilah C. S. Peirce (1980), yang digunakan dalam semiotika,
indeks, ikon dan simbol adalah mencakup sign. Sementara simbol dapat
dibedakan dari yang lainya melalui fakta, bahwa hubungan antara signifier
dan signified murni sifatnya manasuka. Ada beberapa istilah dalam semio-
tika yang perlu dibedakan, yaitu: indeks yang mengacu pada hubungan
ekstensial antara signifier dengan signified, misalnya, asap sebagai indeks
dari api. Ikon mengacu pada hubungan kemiripan antara signifier dengan
signified, misalnya, dalam onomatopea bunyi kokkotek untuk ayam betina.
Tanda adalah guratan yang tampak pada permukaan yang bersifat
konvensional, misalnya, lampu merah, hijau dan kuning pada lampu traffic-
light, Simbol mengacu pada konsep yang melatari tanda yang sifatnya
abstrak, misalnya, harus berhenti ketika lampu merah menyala pada
trafficlight. Meskipun demikian, Turner membedakan sign dan symbol dalam
istilah indeksikal dan hubungan ikonik: we master the world through signs ...
we master ... ourselves through symbols. Salah satu karakter kunci simbol
menurut Turner adalah sifat motivated atau hubungannya dengan alam dan
arti emotif, dengan artian tidak manasuka. D. Sperber (1975) mengeritik
keriteria simbol Turner yang dikaitkan dengan motivation sebagai salah satu
ciri pembeda symbol. Menurutnya, ini hanya memperkuat proses kognitif
dan interpretatif yang dibentuk dari berbagai hubungan sign. Oleh karena
itu, ia kemudian mengusulkan penghapusan pemisahan simbol tersebut.
Para penganut Struktural Fungsionalisme menyadari perlunya studi
simbolisme, yang hingga saat ini masih tetap mendominasi pendekatan
Antropologi Inggris dan Amerika. Geertz, misalnya, mengeritik konsep

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 38


ceberal savage yaitu analisis simbol menggunakan closed structure oleh Levi-
Strauss. Ia menggantikan analisis tersebut dengan pendekatan cryptological
text. Pendekatan ini dibangun melalui materi-materi sosial (social materials)
yang terkandung di dalam sebuah teks. Geertz (1992) kemudian mengusul-
kan pendekatan tekstual dan interpretatif (thick description) dalam sebuah
budaya sebagai hasil dokumentasi (acted document). Ceertz yakin, bahwa
arti (meaning) diturunkan dari sebuah maksud (purpose) dan bukan dari
sebuah struktur secara formal (formal structures) seperti yang diusulkan oleh
Levi-Strauss. Ia malah yakin, hubungan internal antara elemen simbol
dalam struktur itu sendiri melalui logika formal. Sahlins (1981) kemudian
menambahkan, bahwa banyak aliran antropo1ogi yang menaruh perhatian
pada hubungan antara tanda (signs) tanpa memperhatikan terlebih dahulu
keseluruhan konstitusi pilihan dari aturan simbol dan arti. Dia juga
mengatakan, dalam masyarakat borjois sistem ekonomi tidak bisa lari dari
determisnisme simbol yang kadang-kadang menjadi tuntutan. Tentu saja
simbolisme ekonomi merupakan determinsime secara struktur terhadap
masalah sosial ekonomi.
Sahlins juga menganalisis masalah hubungan antara simbolisme dalam
dunia modern dengan masyarakat tradisional. Menurutnya, bahwa tidak
semua kebudayaan mempunyai kesamaan urutan domain semiotik. Yang
paling dominan bagi dunia kita saat ini adalah jaringan yang membentuk
ide dan oposisi antara alam-budaya (nature/culture), pekerjaan-peran (work/
role), ekspresif-praktis (expressive/practical) dan sebagainya, berdasarkan
pada aplikasi simbol yang kita miliki di dalam sistem produksi.
Menurut D. Schneider (1970), bahwa studi kebudayaan sebagai sebuah
totalitas sistem arti dan simbol lebih baik daripada membahas simbol secara
tersendiri. Schneider mengembangkan disiplin ilmunya dari pendekatan
sosiologi ke studi simbolisme. Ia mengatakan, bahwa sistem simbol tidak
sepatutnya dipisahkan dari aspek-aspek yang berhubungan dengan organi-
sasi sosial, melainkan harus dipelajari secara holistis.
5. Kebudayaan Sebagai Milik Bersama
Kebudayaan adalah sejumlah cita-cita, nilai-nilai dan standar perilaku
(common denominators), yang menyebabkan perbuatan para individu dapat
dipahami oleh kelompoknya. Oleh karena kebudayaan adalah milik ber-
sama, seseorang dapat memprediksi perbuatan orang lain dalam konteks
situasi dan kondisi tertentu dan mengambil tindakan yang sesuai sebagai
jawabannya. Kebudayaan yang sudah mengkristal dalam diri setiap
individu, sebagai hasil dari pembelajaran bersama dengan individu lainnya,
dapat menjadi identitas diri15 dan kelompok tersebut. Akibatnya, kebudaya-
15
ldentitas (Koentjararungrar, 2003: 84) adalah kesadaran akan sifat khas diri sendiri,
golongan sendiri, komunitas sendiri, atau negara sendiri.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 39


an tersebut dapat menjadi sistem solidaritas di antara pendukung kebu-
dayaan (cultural natives) dalam menghadapi setiap permasalahan yang me-
nimpa kelompok mereka. Seorang Bugis, misalnya, yang dizalimi oleh
kelompok lain akan menghasilkan suatu gerakan solidaritas sosial sempugi
(satu Bugis untuk semua)16 orang-orang Bugis untuk membela harga diri
kelompoknya, melalui emosi kebudayaan (cultural emotion). Demikian pula
dengan orang-orang Islam yang mendapat penganiayaan dari penganut
agama lain akan menghasilkan konflik keagamaan (sara)Hal ini bias
dibuktikan dalam konflik berkepanjangan di Palestina (Timur Tengah),
Cheknya (bekas Uni-Sovyet), Ambon dan Poso beberapak waktu silam
(Indonesia) dan di beberapa tempat lain. Kesemuanya menibmbulkan
gejolak dimana-mana, sebagai akibat adanya isu sara, yang dipacu oleh
emosi keagamaan (religious emotion).
Sebuah kapal laut, misalnya, yang memuat sekelompok orang dari
berbagai latar belakang kebudayaan terdampar di sebuah pulau yang tidak
berpenghuni. Para penumpang tersebut mungkin memiliki kepentingan
bersama secara temporal untuk kelangsungan hidupnya, akan bekerja sama
dalam mengembangkan teknik-teknik tertentu untuk keperluan hidup
mereka selama berada di pulau tersebut. Sekalipun demikian, setiap
anggota kelompok akan tetap mempertahankan identitas dan latar belakang
kebudayaannya masing-masing dan akan bubar begitu saja setelah para
anggotanya berhasil dievakuasi dari pulau tersebut. Kelompok itu hanya
menjadi kumpulan sementara (bukan masyarakat), karena tidak menghasil-
kan kebudayaan baru (innovation).
Masyarakat (society) dapat didefinisikan sebagai kelompok manusia
yang mendiami tempat tertentu, yang demi kelangsungan hidupnya saling
tergantung satu sama lain dan memiliki kebudayaan bersama (cultural
sharing). Sistem ketergantungan mereka tersebut dapat dilihat dalam sistem
ekonomi dan dalam hubungan kekeluargaan (kindship) mereka. Selain itu,
para anggota masyarakat saling terikat oleh kesadaran identitas kelompok
(collective identities). Menurut Koentjaraningrat (1990: 135-146), masyarakat
(society) sebagai sekumpulan manusia yang saling bergaul atau saling ber-
interaksi satu sama lain. Roger M. Keesing (1999: 258) juga mendefinisikan
masyarakat (society) sebagai populasi yang ditandai oleh keadaan yang
terpisah dari populasi-populasi lain dan memiliki kebudayaan. Haviland
(1993: 333) masyarakat (society) adalah sekelompok orang yang mendiami
16
Sempugi adalah lambang solidaritas orang-orang Bugis, yang diturunkan dari sempa
artinya ‘sama' dalam kata sempatang 'sama besarnya'. Jadi, sempungi adalah kebersa-
maan orang-orang Bugis dalam suka dan cita. Konsep ini pernah digunakan Arung
Palakka La Tenritatta dalam menyatukan kerajaan-kerajaan Bugis untuk melawan
kerajaan Gowa dan sekutu-sekutunya.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 40


suatu daerah tertentu dan yang bersama-sama memiliki tradisi kebudayaan
yang sama.
Hubungan yang mengikat masyarakat dikenal sebagai struktur sosial
atau organisasi sosial (social organisation)17. Masyarakat harus dibedakan
dengan kerumunan sejumlah orang (crowd), karena kumpulan orang-orang
tersebut tidak teratur dan hanya bersifat sementara (al-Barry, 2002: 163).
Crowd atau kumpulan orang tersebut terjadi pada lokasi yang sifatnya, baik
oleh usaha pengerahan maupun secara sukarela.
6. Kebudayaan Sebagai Hasil Belajar
Semua kebudayaan adalah hasil belajar dan bukan warisan geneologis
atau biologis (genetical heritage atau biological heredity). Ralph Linton (1965:
30-31) menyebut kebudayaan sebagai suatu bentuk warisan sosial umat
manusia dari nenek moyangnya. Nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan
dan sebagainya yang terkandung di dalam kebudayaan tersebut diteruskan
melalui proses pembelajaran kebudayaan kepada manusia yang menjadi
pendukungnya. Proses penerusan dan pewarisan nilai-nilai kebudayaan ter-
sebut dari generasi ke generasi disebut enkulturasi (enculturation).
Seorang manusia mulai mempelajari kebudayaan yang akan menjadi
identitas dan kepribadian dirinya sejak ia lahir di dunia ini. Seorang bayi
yang berkembang dari waktu ke waktu, pada prinsipnya, telah berusaha
untuk mengubah warisan geneologisnya (insting) menjadi warisan sosial
(kebudayaan). Ketika seorang bayi yang baru lahir, misalnya, menangis
untuk mengungkapan rasa laparnya merupakan salah satu bentuk warisan
geneologis semua primat menyusui yang hidup di muka bumi ini. Tangisan
bayi tersebut bukan sebagai sebuah perilaku, tetapi sebuah tindakan atau
dorongan insting (instinct), seperti halnya yang umum dilakukan oleh
mahluk-mahluk primat-primat lainnya.
Kebanyakan binatang makan dan minum kapan saja timbul keingin-
annya. Tidak ada jadual pasti dan menu makan dari seekor simpanse,
karena mereka memang hanya mampu bertindak dan bukan berperilaku.
Tindakan yang mereka lakukan tidak terpola, melainkan hanya berdasarkan
dorongan instingnya. Akan tetapi, manusia biasanya makan dan minum
pada waktu-waktu tertentu yang ditentukan menurut kebudayaan dan
tuntutan biologisnya (biological needs) berupa rasa lapar. Pola makan setiap
masyarakat berbeda berdasarkan kebudayaan yang bersangkutan. Seorang
petani yang membutuhkan energi besar dalam pekerjaannya cenderung
17
Struktur sosial atau organisasi sosial adalah keseluruhan sistem yang mengatur
semua aspek kehidupan masyarakat dan merupakan salah satu dari ke tujuh unsur
univer-salisme kebudayaan atau sebuah konsep yang mula-mula dikembangkan oleh A.
R. Radcliff Brown yang berarti perumusan asas-asas hubungan antar individu dalam
kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat, 2003: 161 dan 226). Lihat juga Smith (261-262).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 41


menyantap makanan siangnya pada pukul 11.oo siang dan makan malam
jam 6.30 petang. Sedangkan para pegawai memiliki jam makan siang pada
pukul 13.oo siang dan makan malam sekitar jam 8 malam. ltulah sebabnya,
Hoebel (1972: 6) mengatakan, manusia pada prinsipnya adalah binatang
yang berbudaya (cultural bound animal). Pemenuhan kebutuhan biologis
seekor binatang umumnya dilakukan dengan refleks dan penuh dengan
insting belaka. Masa birahi primat betina yaitu kesiapan seksual binatang
selama terjadi evulasi (estrus). Sementara pemenuhan biologis manusia
khususnya cara makan diperoleh melalui pembelajaran. Seekor anjing,
misalnya, yang setiap waktu pemberian makanan dilakukan dengan cara
pembiasaan dengan membunyikan peluit. Ia akan selalu mendekati pot
makannya setiap mendengar bunyi peluit tersebut, sekalipun ketika itu pot
makanan tersebut tidak berisi apa-apa. Ketika selanjutnya pluit kembali
dibunyikan dan menyodorkan pot kosong kepadanya, ia pun serta merta
menghampiri pot tersebut. Di sini jelas, bahwa anjing tersebut hanya konsen
dengan tanda (sign) bukan dengan simbol (symbols), yang merupakan unsur
penting dari sebuah kebudayaan. Anjing tersebut tidak memiliki pengalam-
an tentang kejadian pot yang kosong, karena yang ada di dalam otaknya
bunyi peluit menandakan (tanda di sini bukan simbol) makanan. Jadi,
tataran pemaknaan bunyi pluit dari seekor anjing hanya berada pada tanda
(sign)18 belaka. Simbol memang milik manusia, yang dipelajari melalui
pengalaman hidup, yang kemudian disimpan di dalam kognisi (mental
image atau cultural knowledge) sebagai pola untuk bertingkah laku (cultural
behavior) dalam rangka menghasilkan suatu benda budaya (cultural artifacts).
Pola pemenuhan kebutuhan biologis (biological need demand), khusus-
nya dalam memenuhi konsumsi hidup manusia pun berbeda sesuai dengan
lingkungan kebudayaan dimana mereka hidup. Pola konsumsi orang
Indonesia, kecuali beberapa suku (Papua, Buton, NTT), jauh berbeda
dengan pola konsumsi orang Eropa. Perilaku makan bagi orang Indonesia
selalu diasosiasikan dengan nasi ditambah dengan lauk pauknya. Sementara
orang Eropa diasosiasikan dengan roti, daging, keju, selei, buah-buahan,
susu dan sebagainya. Orang Indonesia merasa dirinya belum makan
sebelum mengonsumi nasi dan lauk-pauknya, sekalipun ia berkali-kali
makan roti dan keju, yang menjadi makanan pokok orang Eropa. Demikian
pula dengan beberapa suku memiliki pola konsumsi makanan pokok yang
berbeda satu sama lain. Orang Papua mengonsumsi ubi jalar dan sagu
(pappeda), orang Buton mengonsumsi ubi kayu (kasuami), orang Mandar
18
Sign dan symbol perlu dibedakan, dimana sign tampak secara kasat mata dan symbol
berada di belakang tanda tersebut. Bagian lain dari tanda (sign) bahasa ialah konsep
(concepts). Saussure tidak merinci tentang apa yang disebutnya konsep, selain menyata-
kan, bahwa konsep itu lebih abstrak daripada citra akustis.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 42


mengonsumsi pisang mentah (loka anjoro), orang NTT mengonsumsi jagung
(jagung titi), orang Muna dengan jagung masak (Kambuse/kambule), ubi kayu
(kabuto), umbi hutan (kalope) dan masih banyak pola-pola konsumsi
masyarakat di Indonesia. Makanan pokok tersebut bervariasi sesuai dengan
kebudayaan mereka masing-masing. Dalam sebuah kuliah Prof. Dr. H. A.
Abu Hamid mengatakan, bahwa pola konsumsi suatu masyarakat ter-
gambar sesuai dengan apa yang terdapat di pasar-pasar tradisional. Pola
konsumsi suku-suku bangsa tersebut di atas sangat tergantung pada proses
enkulturasi yang diperoleh dari lingkungan kebudayaan mereka masing-
masing. Daging kuda di pasar sentral Makale kabupaten Tanah Toraja,
misalnya, jauh lebih sulit ditemukan dibandingkan dengan di pasar sentral
kabupaten Jeneponto. Sebaliknya, penjualan daging babi jauh lebih sulit
ditemukan di pasar sentral kabupaten Jeneponto dibandingkan dengan di
pasar sentral Makale kabupaten Tanah Toraja. Penjualan daging kuda di
pasar sentral kabupaten Jeneponto gampang ditemukan, karena konsumsi
daging kuda pada masyartakat Jeneponto lebih digemari daripada daging-
daging lainnya, terutama daging babi, karena hampir 100% penduduknya
beragama Islam. Sebaliknya, daging babi di pasar sentral Makale lebih
gampang ditemukan, karena konsumsi daging tersebut lebih digemari
daripada daging-daging lainnya. Selain itu, konsumsi daging babi bagi
penduduk kabupaten Tanah Toraja, khususnya yang beragama Kristen
dianggap sah-sah saja. Bahkan, dalam setiap upacara adat, khususnya pesta
adat kematian (rambu solo') pemotongan hewan berupa babi sangat dianjur-
kan.
Saya juga sering memberikan contoh kepada mahasiswa saya tentang
variasi pola konsumsi beberapa suku di Indonesia. Orang Padang, misalnya,
senang dengan makanan pedas (rendang) menggunakan bahan cabe
keriting sebagai bumbu utamanya. Orang Sulawesi Selatan juga senang
dengan makanan pedis (sop dan makanan lainnya) menggunakan merica
sebagai bumbu utamanya. Orang Jawa senang dengan makanan yang
manis-asin dan bau kencur (gudek dan gado-gado) menggunakan gula jawa
dan kencur sebagai bumbunya. Orang Manado juga senang dengan masak-
an pedis (rica-rica) menggunakan cabe rawit sebagai bumbu utamanya.
Orang Indonesia, misalnya, yang mengeluarkan udara di mulut
(sendawa) ketika sedang makan dianggap sesuatu yang biasa-biasa saja,
karena dianggap kenyang setelah menyantap masakan lezat. Sedangkan,
orang Eropa menganggap hal itu sebagai suatu tindakan yang kurang ajar
dan tidak sopan. Akan tetapi, orang Eropa yang mengeluarkan ingus pada
saat sedang makan justru diangap biasa-biasa saja, tetapi orang Indonesia
menganggapnya sesuatu yang tidak beradab dan tidak berbudaya, karena
sangat menjijikkan. Perbedaan persepsi dari kedua tingkah laku tersebut

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 43


ditentukan oleh enkulturasi nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan
yang telah diterima manusia Eropa dan Indonesia dari nenek moyang
mereka.

C. Wujud, Sifat dan Universalisme Kebudayaan


1. ·Wujud Kebudayaan
A. L. Kroeber pernah menganjurkan untuk membedakan antara
wujud kebudayaan sebagai suatu sistem dari ide-ide dan konsep-konsep
dengan wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktifitas
manusia yang berpola. Pendapat ini kemudian didukung Ralph Linton
(1940: 30-31) yang membagi wujud kebudayaan tersebut menjadi dua unsur:
kebudayaan yang tampak atau materil (overt culture) atau apa yang disebut
Spradley (1980: 8) sebagai kebudayaan lahiriah (explicit culture) dan kebu-
dayaan yang terselubung atau fisik (covert culture) atau kebudayaan batiniah
(tacit culture) menurut Spradley.
J. J. Honigmann (Poerwanto, 2000: 53) seperti halnya dengan James
Spradley (1980: 5) memandang kebudayaan dalam tiga wujud (cultural infe-
rence), yaitu: 1) sistem budaya yang terdiri atas; sistem nilai, sistem gagasan
dan sistem norma atau apa yang disebut Spradley pengetahuan budaya
(cultural knowledge), 2) sistem sosial terdiri atas; kompleks aktifitas dan
tindakan berpola manusia dalam masyarakat atau perilaku budaya (cultural
behavior) yaitu apa yang dilakukan oleh manusia dan 3) artefak atau
kebudayaan fisik dalam bentuk budaya materil atau menurut Spradley
kebudayaan material (cultural artifacts) yaitu segala sesuatu yang dihasilkan
manusia melalui perilaku budayanya. Honigmann melihat kebudayaan
yang tidak tampak (tacit culture) setara dengan suatu ideas yang memerlu-
kan kebudayaan yang tampak (explicit culture) berupa pola tingkah laku
(patterns of cultural behavior) dan hasil tindakan (cultural artifacts) untuk
mengabstrasikan atau mengangkatnya kepermukaan (generalisation). Kebu-
dayaan yang tampak tersebut berfungsi sebagai referensi dari simbol-simbol
kebudayaan yang tidak tampak, seperti yang selama ini menjadi perhatian
ahli antropologi simbolis, termasuk Clifford Geertz seorang antropolo
Amerika Serikat.
2. Sifat Kebudayaan
Manusia sebagai penghasil atau pencipta kebudayaan (the creator of
culture) sejak dari primat-primat primitif hingga primat modern saat ini
telah mengalami evolusi dan adaptasi terhadap lingkungannya dari zaman
ke zaman. Primat yang secara dinamis melakukan evolusi dengan lingkung-
annya dan berhasil melalui suksesi dalam mempertahankan hidupnya

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 44


(survival of the fittes). Keberhasilan tersebut dicapai, karena ia mampu ber-
adaptasi (well adaptive). Sebaliknya yang kalah atau tidak berhasil beradap-
tasi akan mengalami kepunahan (mal-adaptive). Dengan demikian, kebu-
dayaan sebagai kebutuhan manusia untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya juga ikut berubah. Manusia tidak henti-hentinya melakukan
akulturasi (aculturation) dan penemuan-penemuan baru (invention) dalam
menjalani hidupnya.
Setiap kebudayaan di muka bumi ini adalah sama (relativism) dengan
artian, bahwa tidak ada diatesis yang menyatakan kebudayaan yang satu
jauh lebih maju daripada yang lainnya (ethnocentrism). Pemakaian alat
koteka19 bagi suku Asmat di Propinsi Papua sebaiknya jangan dianggap
sebagai suatu bentuk keterbelakangan budaya. Mereka justru menganggap
koteka sebagai sebuah alat dan/atau pakaian yang memiliki nilai sakratisme
tinggi dibandingkan dengan celana yang digunakan oleh orang lain. Koteka
bagi mereka adalah simbol kekuatan, kesucian dan kesederhanaan hidup,
sehingga bila disodori sejumlah pakaian (celana, baju dan sebagainya)
mereka enggan menerimanya. Mereka menganggap pakaian tersebut tidak
memiliki nilai apa-apa dalam budaya mereka. Semua kebudayaan bergerak
melalui jenjang-jenjang anak tangga (culutral stage) berupa perkembangan
sebuah kebudayaan (cultural development) menuju ke suatu titik tingkatan
tertentu. Jadi tidak ada, sekali lagi, diatesis yang menjamin, bahwa kebu-
dayaan A jauh lebih rendah daripada kebudayaan B. Yang ada adalah pola
pengembangan suatu kebudayaan sedikit lebih lamban atau lambat dari-
pada yang lainnya. Pola pengembangan suatu kebudayaan dapat berupa
anak tangga (stages) dan dapat pula terkonfigurasi (configuration) dengan
pola melingkar dan terintegrasi (intergration). Menurut Benedict, setiap
kebudayaan memerlukan integrasi secara keseluruhan yang disebut sebagai
konfigurasi (configuration). Sebaliknya, setiap individu dalam sebuah konfi-
gurasi kebudayaan membawa karakteristik kebudayaan itu sendiri dan
bertingkah laku sesuai dengan pola kebudayaan yang ada. Dengan
demikian, maju atau tidaknya sebuah kebudayaan juga ditentukan oleh pola
kebudayaan (patterns of culture) yang ada sebagai suatu pengontrol kebu-
dayaan itu sendiri.
3. Universalisme Kebudayaan
Kebudayaan (culture) tanpa manusia kelihatannya tidak mungkin,
karena manusia dalam fitrahnya adalah pencipta kebudayaan (the creator of
culture). Sebaliknya, manusia tanpa kebudayaan juga sangat tidak mungkin,
19
Koteka adalah pakaian untuk menutup kemaluan laki-laki dalam budaya sebagian
penduduk asli Pulau Papua. Koteka terbuat dari kulit labu air, Lagenaria siceraria. Isi
dan biji labu tua dikeluarkan dan kulitnya dijemur. Secara harfiah, kata ini bermakna
"pakaian", berasal dari bahasa salah satu suku di Paniai.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 45


karena kebudayaan adalah alat bantu manusia dalam menyelesaikan
dan/atau menghadapi tantangan hidupnya. Logikanya adalah dimana ada
kehidupan manusia di situ pasti ada kebudayaan, sehingga setiap menusia
mempunyai kebudayaannya sendiri-sendiri sebagai milik bersama dan
diwariskan secara sosial oleh leluhur mereka. Kalau begitu, setiap kebu-
dayaan mempunyai karakteristik sendiri sesuai dengan manusia dan/atau
lingkungan dimana kebudayaan itu berada. Kata pepatah lain lubuk lain pula
ikannya mungkin sangat tepat untuk membicarakan karakteristik kebudaya-
an tersebut.
Akan tetapi, kekhususan dari karakter kebudayaan tersebut dapat
ditemukan pada kelompok kebudayaan lainnya, karena adanya kemiripan
lingkungan dan jenis kebutuhan sosial-budaya yang sama. Karena itu,
karateristik kebudayaan dapat terbentuk sesuai dengan lingkungan fisiknya
(lihat determinisme lingkungan) atau sebagai pengaruh lingkungan sosial
(lihat posibilisme lingkungan).
Unsur-unsur kesamaan kebudayaan tersebut dianggap berlaku secara
universal pada semua bentuk kebudayaan (cultural universalism) yang ada
di muka bumi, seperti berikut ini:
a. Bahasa
Bahasa menurut Keesing (1992: 286) memiliki fungsi: 1) kode komu-
nikasi simbolis berupa seperangkat simbol-simbol dan seperangkat per-
aturan (tata bahasa) untuk membentuk pesan-pesan dan 2) kode manusia
yang tumbuh secara alamiah untuk keperluan komunikasi vokal (bahasa
alamiah) atau sistem (misalnya, gerakan tangan) yang didasarkan atas
bahasa alamiah. Definisi tersebut kemudian diperkuat oleh Robins (1980: 9)
yang mengatakan, bahwa sebuah bahasa merupakan sebuah sistem simbol
vokal yang bersifat arbitreir yang digunakan untuk bekerjasama dalam
sebuah kelompok sosial. Dari kedua definisi tersebut didapat, bahwa bahasa
adalah sistem simbol yang menggunakan alat ucap (vocal cords atau organ of
speech) yang berlaku secara arbitreir dan digunakan sebagai alat komunikasi
dalam berinteraksi.
Hampir seluruh umat manusia di muka bumi ini mempunyai bahasa,
baik yang dilambangkan melalui simbol-simbol fonem, kata, kalimat (oral
language) maupun dengan menggunakan gerakan benda dan/atau anggota
tubuh (gesture language atau body language). Berinteraksi dan berkomunikasi
merupakan salah satu aktifitas manusia yang mutlak memerlukan bahasa
sebagai medianya. Bahasa dalam menjalankan fungsinya sebagai media
komunikasi tersebut memerlukan semantik sebagai alat bantu untuk meng-
interpretasi aspek-aspek bahasa yang disampaikan oleh seorang penutur
(speaker) kepada pendengarnya (audience), agar keduanya berada pada posisi
saling memahami (mutual intelligibelity).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 46


Bahasa yang tumbuh dan berkembang di dalam suatu masyarakat
diperoleh (language aquisation) melalui pengalaman hidup sehari-hari, yang
kemudian disepakati bersama (conventional). Pengalaman-pengalaman ba-
hasa tersebut disimpan di dalam otak (mental image) yang kemudian ter-
pendam menjadi kemampuan bahasa (language competence). Kemampuan
bahasa tersebut dijadikan sebagai acuan atau aturan-aturan, ketika manusia
berkomunikasi (language performance) dengan manusia yang lainnya.
Menurut Koentjaraningrat (1990: 339), bahwa deskripsi dari bahasa
suku bangsa dalam karangan etnografi tentu tidak perlu sama dalamnya
dengan deskripsi khusus yang dilakukan oleh seorang ahli bahasa (linguist)
tentang bahasa yang bersangkutan. Deskripsi mendalam oleh seorang ahli
bahasa dilakukan untuk mengkaji susunan sistem fonetik, fonologi, mor-
femis, sintaksis dan semantik sesuatu bahasa. Kajian tersebut kemudian
dihimpun menjadi buku khusus yaitu tatabahasa (grammar) tentang bahasa
yang bersangkutan. Sedangkan deskripsi mendalam mengenai kosakata
suatu bahasa akan menghasilkan suatu daftar leksikografi atau kosakata,
atau lebih mendalam lagi suatu kamus kecil ataupun besar. Deskripsi
khusus tentang hubungan simbol dengan makna kata dihimpun menjadi
suatu kajian yaitu semantik atau lebih khusus lagi dalam semiotika.
Seorang etnograf yang meneliti bahasa suatu bangsa (ethnolinguistics),
seperti yang dikemukakan Kontjaraningrat di atas, setidak-tidaknya hanya
melihat dan mencari ciri-ciri bahasa yang menonjol melalui klasifikasi
bahasa-bahasa (language taxonomy) yang menghasilkan rumpun atau sub-
rumpun bahasa (language descend atau proto language) dan keluarga atau sub-
keluarga bahasa (language family). Kesemuanya dapat dicapai melalui
perekaman beberapa contoh fonetik, fonologi, sintaksis dan semantik yang
direkam dari ucapan bahasa sehari-hari (oral language atau uptodate language)
penuturnya. Untuk membuat klasifikasi bahasa tersebut, sebaiknya seorang
etnograf melengkapi diri dengan daftar kata-kata dasar (basic vocabulary)
suatu bahasa yang terdiri dari 200 kata (daftar kata Swades). Daftar kata
tersebut dibuat berdasarkan: 1) anggota badan (kepala, mata, hidung,
mulut, tangan, kaki dan sebagainya), 2) gejala-gejala alam (angin, hujan,
panas, dingin, matahari, bulan, awan, langit dan sebagainya), 3) warna
(hitam, merah, hijau, putih, kuning dan sebagainya), 4) bilangan (satu, dua,
tiga, empat dan seterusnya) dan 5) kata kerja (makan, tidur, jalan, duduk,
berdiri dan sebagainya).
Menentukan luas batas penyebaran (language spread) suatu bahasa
memang tidak semudah dengan hanya membalik telapak tangan, karena di
daerah perbatasan (language border) tempat tinggal dua suku bangsa sering
terjadi hubungan komunikasi (language contacts) yang sangat intensif.
Akibatnya, hingga proses saling pengaruh mempengaruhi (language

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 47


diffusion atau language borrowing) antara unsur-unsur bahasa dari kedua
belah pihak tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, sangat sukar sekali
dalam menentu-kan daerah batas persinggungan (isogloss)20 penyebaran
bahasa tersebut. Saya ambil beberapa contoh darai hasil penelitian saya: 1)
batas isogloss yag terjadi antara bahasa Tator dengan bahasa Bugis di
Salubarani perbatasan Kab. Enrekang dengan Tator, 2) batas isogloss yang
terjadi antara bahasa Bguis dengan Makassar di Labbakkang Kabupaten
Pangkep, 3) batas isogloss antara bahasa Mandar dengan bahasa Bugis di
Polewali Mandar dan masih banyak yang lainnya. Timbulnya varian-varian
(language variant) atau percampuran bahasa (language compouding) tidak
dapat dihindari, karena batas wilayah antara tempat tinggal dua suku
bangsa tersebut dipisahkan oleh laut, gunung yang tinggi, sungai yang
lebar, atau batas-batas alam lain yang menghambat kelancaran kontak
antara dua kelompok manusia pemakai bahasa (language communities) secara
intensif.
Komunitas bahasa, terutama suku bangsa besar yang terdiri dari
berjuta-juta penduduk, menunjukkan suatu variasi bahasa. Variasi bahasa
tersebut dapat terjadi, baik berdasarkan perbedaan letak geografis pemakai-
an bahasa (geographical atau regional dialects) maupun pada lapisan
lingkungan sosial masyarakat (social atau class dialects) suku bangsa tadi.
Bahasa Jawa, misalnya, yang dipergunakan masyarakar pemakai bahasa
Jawa di Purwokerto, Tegal, Surakarta dan Surabaya cukup menunjukkan
perbedaan khusus. Perbedaan tersebut oleh para ahli bahasa disebut sebagai
perbedaan logat atau dialek (dialect). Pelapisan sosial dalam masyarakat
pemakai bahasa Jawa sangat menyolok sekali (Koentajaraningrat, 1990: 341),
misalnya, bahasa Jawa yang dipakai oleh orang di desa (kelas ngoko)
digunakan di lingkungan istana (kelas kromo), para kepala swapradia (kelas
kromo madya). Kelas-kelas penutur bahasa Jawa tersebut jelas berbeda
dengan pemakaian bahasa Jawa ditempat lain, misalnya, di Jawa Barat dan
Timur. Perbedaan bahasa menurut lapisan sosial dalam masyarakat
pemakai bahasa pada umumnya disebut tingkat sosial bahasa (social levels of
speech, sociolects atau class of speech).
b. Sistem Pengetahuan
Menurut Koentjaraningrat (1990: 369), bahwa dalam suatu etnografi
biasanya ada berbagai keterangan tentang sistem pengetahuan dalam kebu-
dayaan suku bangsa yang bersangkutan. Bahan tersebut meliputi sistem
pengetahuan mengenai teknologi dan keterangan-keterangan tentang pe-
ngetahuan yang menyolok. Hal dianggap sebagai suatu bentuk karakteristik
20
Kridalaksana (2001: 86) isoglos adalah garis dari peta bahasa atau peta dialek yang me-
nandai batas pemakaian ciri atau unsur bahasa. Glaeason, 1961: 398) isogloss is a line
indicating the limit of some stated degree of linguistic change is known as an isogloss.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 48


bagi para penciptanya. Saya ambil contoh kepandaian suku-suku bangsa
Negrito di daerah Sungai Konggo di Afrika Tengah dalam mengolah dan
memasak bisa panah yang mujarab. Sistem pengetahuan local masyarakat
Sumatra Barat dalam mengolah obat-obatan tradisional (ethnomecine).
Demikian pula, dengan pengetahuan dan teknologi tepat guna suku-suku
bangsa penduduk Polinesia dan Mikronesia dalam membangun perahu dan
kepandaian dan bakat alami mereka berlayar dengan seluruh sistem
navigasinya.
Pandangan etnosentrisme21 pada awalnya ditujukan oleh kaum kolo-
nialis Eropa kepada orang-orang atau kebudayaan yang berada di luar
Eropa. Tidak sedikit slogan-slogan khusus yang terlontar untuk melabeli-
sasi keterbelakangan suku-suku bangsa non-Erepa, seperti; suku primitif,
orang pribumi (inlander), bajak Laut (Boegimen) dan sebagainya. Mereka,
bahkan mengklaim, bahwa kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa
tidak memiliki sistem pengetahuan dan kalaupun ada itu tidak terlalu
penting dan istimewa bagi mereka. Seorang ahli filsafat bemama L. Lévy-
Brühl, misalnya, menulis sebuah buku berjudul Les Fonctions Jwentales dans
les Societes-lnferieures (1910). Ia telah mengumpulkan bukti mitologi, ilmu
gaib, ilmu dukun dari kebudayaan-kebudayaan berbagai suku bangsa di
luar Eropa. Ia kemudian menyimpulkan, bahwa cara berpikir manusia yang
hidup dalam kebudayaan atau masyarakat rendah (inferieur) serupa itu
sama-sekali berbeda dengan dasar-dasar cara berpikir dalam masyarakat
Eropa dan Amerika. Oleh karena itu, cara berpikir masyarakat yang rendah
seperti itu sangat tidak mungkin mempunyai ilmu pengetahuan seperti
dalam dunia modern. Pandangan Lévy-Brühl tersebut mendapat kritikan
hebat dari berbagai pihak, sehingga terbit sekurang-kurangnya 14 buah
tulisan antara tahun 1910 dan 1938, yang menyangga pendapat L. Lévy-
Brühl tersebut. Seorang ahli psikolog bernama H. Wemer juga ikut
meremehkan suku-suku bangsa non-Eropa dalam bukunya yang berjudul
Einfurung in der Enttwicklungs-psychologie (1926). Menurutnya, alam pikiran
bangsa-bangsa primitif (naturvoelker) mempunyai kemiripan dengan alam
pikiran anak-anak, Bahkan menurutnya, alam pikiran bangsa-bansa primitif
setara debfab pola piker seorang penderita penyakit jiwa (geisteskranker)
dalam masyarakat bangsa-bangsa Eropa.

21
Etnosentrisme (Keesing, 1992: 250) memandang cara hidup bangsa lain berdasarkan
asumsi, kebiasan, dan nilai-nilai budaya sendiri. Haviland (1993: 355) melihat etnosen-
trisme sebagai kepercayaan, bahwa kebudayaan sendiri dalam segala hal lebih tinggi
daripada semua kebudayaan lain. Lawan dari etnosentrisme adalah relativisme budaya
(Keesing, 1992: 250) yaitu pandangan etis yang memperjuangkan, bahwa budaya hanya
dapat dipahami dan dinilai berdasarkan norma dan nilai-nilainya sendiri. Lihat pula
Haviland dan Soekardjo (1993: 355) tentang relatifisme kebudayaan.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 49


Pada abad ke-21 para ahli budaya mulai sadar, bahwa prinsip etno-
sentrisme seperti di atas sudah tidak sesuai lagi dengan kenyataan, Menueut
pendapat para ahli abad ke-21, bahwa sekecil apa pun suatu masyarakat,
tidak mungkin dapat bertahan hidup tanpa pengetahuan tentang alam
sekelilingnya dan sifat-sifat dari peralatan yang dipakainya. Pengetahuan
suku-suku bangsa di sekitar Amazon, misalnya, tidak dapat hidup bila
mereka tidak memiliki pengetahuan lokal tentang musim perpindahan
berbagai jenis ikan dari hilir ke hulu. Sebakiknya mereka harus memahami
musim perpindahan jenis-jenis ikan lain dari hulu ke hilir sungai. Masya-
rakat agraris Indonesia yang belum tersentuh irigasi teknis tidak mampu
memperoleh hasil panen maksimal tanpa memiliki sistem pengeta-huan
lokal22 tentang musim hujan dan musim kemarau. Pengetahuan lokal ter-
sebut sangat berguna untuk menentukan waktu memulai menggarap sawah
mereka. Keahlian orang Bugis dalam meramalkan dan memprediksi turun-
nya hujan dan datangnya musim kemarau melalui sebuah perhitungan
kalender pananrang atau lontara' bilang. Di kalangan suku Makassar dikenal
dengan sistem kalender bilang allo atau kotika. Kedua bentuk system
kalender tersebut merupakan salah satu bukti keampuhan dan manfaat
sistem pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat. Demikian pula dengan
masyarakat pendukung suatu kebudayaan (natives) tidak mungkin mampu
membuat peralatan hidup, tanpa mengetahui secara teliti dengan peng-
gunaan sistem pengetahuan lokalnya.Mereka harus menyesuaikan ciri-ciri
dari bahan mentah yang mereka pakai untuk membuat alat-alat itu. Pem-
buatan gagang cangkul, misalnya, harus menggunakan kayu jati atau kayu
bitti (vitex copassus). Pembuatan bingkai ani-ani (alat potong padi) sebaiknya
menggunakan bahan yang tingan ditangan dan sebagainya. Oleh karena itu,
setiap kebudayaan selalu mempunyai suatu kompleks himpunan pengetah-
uan tentang gejala-gejala alam, segala tumbuh-tumbuhan, binatang, benda
dan manusia di sekitarnya. Keseluruhan system pengetahuan tersebut,
terakumulasi di dalam pengalaman-pengalaman mereka, yang kemudian
diabstraksikan menjadi konsep-konsep, teori-teori substantif dan pendirian-
pendirian dalam rangka menghadapi setiap tantang hidup.
Sistem pengetahuan lokal dalam beberapa aspek berkaitan erat dengan
ilmu gaib (magy) dan ilmu sihir. Timbulnya faham sakratisme terhadap
Sanghiyang Seri (dewa padi) dalam budaya Bugis erat kaitannya dengan
mitologi dewa padi yang melambangkan kesuburan dan sumber kehidup-
22
Orang Bugis menggunakan ilmu perbintangan Pananrang, orang Kajang menggunakan
perhitungan hari-hari baik Bilang Allo dan orang Makassar menggunakan kotika dalam
memperkirakan perubahan musim. Ketiga bentuk pengetahuan lokal tersebut justru
kadang-kadang memiliki keakuratan perkiraan cuaca lebih tinggi dibanding dengan
perkiraan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 50


an. Sanghyang Seri menurut orang Bugis dapat tampil dalam berbagai
bentuk dan wujud. Dewi padi dapat muncul dalam wujud rumpun padi
yang khas daripada rumpun padi yang tumbuh di sekitarnya. Kemunculan
dewi padi tersebut bisanya diberitahukan melalui mimpi seseorang. Dewi
padi tersebut juga biasa muncul dalam wujud seekor kucing warna
kecoklatan bercampur bulu hitam (meompalo karella'e) bagi masyarakat Bugis
Soppeng dan sekitarnya. Kucing tersebut juga biasa muncul dalam wujud
kucing hitam (meompalo lotongnge) bagi masyarakat adat Karampuang dan
sekitarnya. Oleh karena itu, kesakralan dewa padi tersebut sering dilu-
kiskan dalam epos meompalo karella'e atau meompalo lotongnge yang men-
ceritrakan kehidupan seekor kucing dalam bentuk epos fabel 23. Dalam
perkembangan kebudayaan bangsa-bangsa Eropa, misalnya, ilmu kimia
mula-mula muncul, karena para ahli nujum mencoba mencampuradukkan
berbagai zat dengan tujuan membuat emas. Demikian pula banyak bagian
dari pengetahuan manusia mengenai kedokteran, pada awalnya bersifat
ilmu nujum saja. Jadi, dapat saya simpulkan, bahwa kemunculan ilmu
pengetahuan (science), karena adanya sistem pengetahuan local sebagai
landasannya. Jadi, sangat tidak arif bila para pencetus ilmu pengetahuan
tidak mengakui keberadaan system pengetahuan lokal yang muncul dari
masyarakat primitif.
Koentjaraningrat (1990: 371) mengusulkan penggunaan istilah sistem
pengetahuan (knowledge system) dalam bingkai pembahasan kebudayaan
sebagai pembeda dari ilmu pengetahuan (science). Sistem pengetahuan
menurutnya dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu: 1) sistem penge-
tahuan tentang alam sekitar, 2) sistem pengetahuan tentang alam flora dan
ekosistemnya, 3) sistem pengetahuan tentang alam fauna dan ekosistemnya,
4) sistem pengetahuan tentang zat-zat, bahan mentah dan benda-benda
dalam lingkungannya, 5) sistem pengetahuan tentang tubuh manusia, 6)
sistem pengetahuan tentang sifat-sifat dan tingkah laku sesama manusia
dan 7) sistem pengetahuan tentang ruang dan waktu. Keseluruhan sistem
pengetahuan tersebut diperoleh dan dipelajari, baik melalui lingkungan
fisik maupun lingkungan sosial-budaya.
Dalam perkembangan ilmu budaya, yang akhir-akhir ini memasuki
aspek pengelolaan lingkungan (environmental management) yang dikemas di
dalam sebuah konsep sistem pengetahuan lokal (local atau indigenous know-
ledge), mulai diminati oleh beberapa ahli budaya terapan. Basrah Gising
(2005) --- dalam tesisnya berjudul Manfaat Sistem Pengetahuan Lokal dalam
Sistem Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Kawasan Adat Karampuang
dan dalam disertasinya (2008) berjudul Kearifan Ekologis Tu' Kajang dalam
23
Fabel (El-Santoso, 2001: 118) adalah ceritra yang menggambarkan watak dan budi
manusia yang pelakunya diperankan oleh binatang.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 51


Pengelolaan Hutan Adat di Kawasan Adat Kajang --- memaparkan bagaimana
keampuhan sistem pengetahuan lokal (local knowledge) masyarakat adat
Karampuang dan masyarakat adat Kajang dalam mengelola lingkungannya
secara arif dan bijaksana. Menurut Gising, sistem pengetahuan lokal
tersebut jauh lebih asli dan berdaya guna dalam hal sistem pengelolaan
lingkungan dibandingkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (science).
Hal ini disebabkan, karena sistem pengetahuan lokal dibangun berdasarkan
pengalaman masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya. Sementara itu,
ilmu pengetahuan menyusun teorinya berdasarkan hasil penelitian secara
generalisasi. Akibatnya hasil penelitian dan kebijakannya sangat tidak cocok
untuk wilayah-wilayah tertentu. Setiap kebudayaan mempunyai ciri ter-
sendiri, sehingga cenderung berbeda dengan kebudayaan lainnya atau lain
lubuk lain pula ikannya. Sangat tidak cocok, demikian Gising lebih lanjut,
apabila masalah lingkungan atau kebudayaan orang Batak diselesaikan
dengan menggunakan konsep-konsep atau pendekatan yang disusun
berdasarkan fenomena-fenomena sosial Bugis-Makassar (etik). Yang benar
adalah kebudayaan Batak diselesaikan secara Batak dan Bugis diselesaikan
secara Bugis (emik). Seorang ahli budaya sebaiknya dan memang sangat
dilarang, tidak mengintervensi data (etik) masyarakat obyeknya. Sungguh
sangat tidak etis, misalnya, bila anda sebagai seorang ahli budaya Tator
memaksakan penerapan konsep-konsep kebudayaan yang ke dalam kebu-
dayaan Papua. Menurut Gising lebih lanjut, bahwa seorang peneliti profe-
sional sebaiknya jangan meneliti bahasa yang merupakan bahasa ibunya
(mother language), karena rentang akan memanipulasi data berdasarkan
kemauannya sendiri. Ia merasa mengetahui bahasa yang menjadi obyeknya,
sehingga tidak perlu melibatkan orang lain sebagai sumber datanya. Peneliti
seperti ini cenderung manjadikan dirinya sebagai informan penelitan.
Sebaliknya, seorang peneliti yang menghidari obyek penelitian di dalam
lingkungannya sendiri, akan menghasilkan pene-litian yang profesional,
karena ia terhindar dari tindakan untuk mengubah data sesuai yang
diinginkan.
Menurut Adimihardja (2004), bahwa komponen dari sistem penge-
tahuan lokal cukup memberikan arti dan inspirasi terhadap pengembangan
suatu konsep baru yang membahas tentang arus kebutuhan yang dihadapi
masyarakat. Dengan demikian, keberadaan sistem pengetahuan lokal dapat
memperbesar kemungkinan timbulnya sebuah proses yang efektif dan
manusiawi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini
sangat diperlukan dalam rangk membuat kehidupan masyarakat lokal lebih
signifikan.
Warren (Adimiharja, 1999 dan 2004) juga menggambarkan betapa
besarnya peranan yang harus diemban sistem pengetahuan lokal dalam

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 52


melengkapi ilmu pengetahuan (science), khususnya dalam memecahkan
masalah-masalah sosial budaya (socio-cultural problems). Sebagai bagian dari
sosial budaya, sistem pengetahuan lokal berisi seperangkat ekspresi budaya
khusus, yang di dalamnya terdapat urutan nilai (value order), etika (ethic),
norma (norms), aturan (rules) dan kemampuan masyarakat (skills of society),
yang bermanfaat dalam pemenuhan tuntutan kebutuhan hidupnya: pangan,
kesehatan, pendidikan, pengelolaan sumberdaya alam dan beberapa akti-
vitas sosial masyarakat pedesaan lainnya.
Gadgil (Mitchell, 1997: 298) juga turut membuktikan bagaimana
ampuhnya sistem pengetahuan lokal, yang terakumulasi dan mempunyai
peran sangat besar sepanjang sejarah hidup manusia. Pandangan, bahwa
manusia merupakan bagian terintegrasi dari alam dan sistem kepercaya-
annya lebih banyak memberikan penekanan pada penghormatan terhadap
keseimbangan lingkungan alam (environtment equilibrium). Hal ini tentunya
bernilai positif, khususnya dalam prospek pembangunan lingkungan ber-
kelanjutan (sustainable of environmental management) di masa yang akan
datang.
Dutton (1998) juga lebih jauh memandang, bahwa keberadaan sistem
pengetahuan lokal di samping ilmu pengetahuan sebaiknya jangan di-
pandang sebagai dua kubu yang saling bertentangan. Sudah selayaknya
diterima, bahwa sistem pengetahuan lokal patut mengambil bagian dan
peranan aktif dalam pengembangan lingkungan. Sekalipun demikian
peranannya masih bersifat ambigu, karena aplikasinya dalam memecahkan
masalah teknologi memang selalu hanya dipandang sebagai pendukung
saja. Dutton (1998) kemudian beranggapan, bahwa sistem pengetahuan
lokal harus dipadukan dengan ilmu pengetahuan dalam rangka pembentu-
kan kapasitas dan kompetensi lokal, agar masing-masing deskripsi yang
dihasilkan mampu memberi efek dukungan adaptasi dalam perubahan
lingkungan alam dan sosial-ekonomi masyarakatnya.
c. Organisasi Sosial
Setiap kehidupan masyarakat diorganisir atau diatur oleh adat-istiadat
dan aturan-aturan mengenai kesatuan dimana mereka hidup dan berinter-
aksi setiap hari. Kesatuan sosial yang paling dekat dan akrab adalah sistem
kekerabatan (kindship systems) yaitu kesatuan hidup terdiri atas keluarga inti
(basic family) dan keluarga luas atau kerabat (extended familiy). Menurut
Koentjaraningrat (2003: 111) keluarga batih atau inti adalah kelompok
kekerabatan yang terkecil, terdiri atas ayah, ibu dan anak atau anak-anak
yang belum menikah. Fungsi utama sebuah keluarga batih antara lain
memberi perlindungan, afeksi, perasaan aman, pengasuhan, pendidikan
kepada anggota keluarga. Keluarga batih dapat merupakan rumah tangga
ataupun kesatuan produksi. Sedangkan keluarga luas (extended family)

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 53


keluarga besar yang terdiri atas lebih dari satu keluarga batih, menem-
pati rumah yang sama atau tinggal dalam satu pekarangan. Kesatuan sosial
ini sering merupakan suatu rumah tangga. Berdasarkan adat menetap
setelah nikah dapat dikelompokkan menjadi, yaitu: 1) Berdasarkan lokasi,
yaitu: a) Adat utrolokal, yaitu adat yang memberi kebebasan kepada se-
pasang suami istri untuk memilih tempat tinggal, baik di sekitar kediaman
kaum kerabat suami ataupun di sekitar kediamanan kaum kerabat istri, b)
Adat virilokal, yaitu adat yang menentukan, bahwa sepasang suami istri
diharuskan menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami, c) Adat
uxurilokal, yaitu adat yang menentukan, bahwa sepasang suami istri harus
tinggal di sekitar kediaman kaum kerabat istri, d) Adat bilokal, yaitu adat
yang menentukan, bahwa sepasang suami istri dapat tinggal di sekitar pusat
kediaman kerabat suami pada masa tertentu dan di sekitar pusat kediaman
kaum kerabat istri pada masa tertentu pula (bergantian), e) Adat neolokal,
yaitu adat yang menentukan, bahwa sepasang suami istri dapat menempati
tempat yang baru. Artinya, tidak berkelompok bersama kaum kerabat suami
maupun istri, f) Adat avunkulokal, yaitu adat yang mengharuskan sepasang
suami istri untuk menetap di sekitar tempat kediaman saudara laki-laki ibu
(avunculus) dari pihak suami dan g) Adat natalokal, yaitu adat yang
menentukan, bahwa suami dan istri masing-masing hidup terpisah dan
masing-masing dari mereka juga tinggal di sekitar pusat kaum kerabatnya
sendiri, 2) pola mukim berdasarkan otoritas, yaitu: a) Patriarkal, yakni
otoritas di dalam keluarga dimiliki oleh laki-laki (laki-laki tertua, umumnya
ayah), b) Matriarkal, yakni otoritas di dalam keluarga dimiliki oleh
perempuan (perempuan tertua, umumnya ibu dan c) Equalitarian, yakni
suami dan istri berbagi otoritas secara seimbang.
Sistem Kekerabatan dalam masyarakat industri, dimana kesatuan-
kesatuan hidup seperti yang dijelaskan di atas tampak berubah. Fungsi-
fungsi kekerabatan yang sebelumnya sangat penting dalam banyak sektor
kehidupan seseorang, mulai berkurang seiring dengan mengendornya
pranata-pranata sosial yang mengatur kehidupan kekerabatan sebagai suatu
kesatuan. Di pihak lain, kesatuan hidup dalam beberapa masyarakat agraris
(Afrika, Asia, Oseania dan Amerika Latin) masih menganggap hubungan
kekerabatan dalam rangka kehidupan masyarakatnya masih sangat penting.
Di beberapa pelosok pedesaan, seperti masyarakat adat Karampuang
Kabupaten Sinjai Propinsi Sulawesi Selatan, sistem gotong royong (assitulu-
tulungeng) masih dianggap penting, sekalipun memang beberapa aspek
kehidupan sistem kerjasama seperti ini mulai berkurang. Bahkan di
beberapa tempat di Sulawesi Selatan memang sudah tidak ada. Masyarakat
lokal di Kabupaten Soppeng dan Sidrap, misalnya, sistem gotong royong
dalam membangun tempat pelaksanaan pesta pernikahan (baruga atau

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 54


sarappo) diganti dengan penyewaan tenda besi, sistem tolong menolong
membajak sawah (mappadakkala) diganti dengan penggunaan jasa traktor,
penanaman padi (mappataneng) digunakan kelompok penanam padi
(pattaneng), menuai padi (mapparingngala) diganti dengan menggunakan jasa
kelompok penuai padi (paddaros). Bahkan saat saat ini mereka menggunakan
mesin penuai padi dan sebagainya. Dalam kasus seperti ini, sistem
kekerabatan benar-benar tidak lagi menjadi perekat, karena umumnya
penjual jasa berasal dari tempat lain. Dengan demikian, sistem jaminan
sosial (sosial security) seorang petani terhadap kerabatnya mulai berkurang,
bahkan sudah tidak ada sama-sekali. Dalam Undang-Undang Dasar 1945,
disebut jaminan sosial (social sequrity) sebagai bentuk perwujudan dari
seluruh sistem perlindungan dan pemeliharaan kesejaheraan sosial bagi
warga negara oleh pemerintah atau masyarakat guna memelihara taraf
kesejahteraan sosial anggotanya. Lihat juga Pasal 22 dalam Deklarasi
Universal tentang Hak Asasi Manusia disebutkan, bahwa:  Setiap orang,
sebagai anggota masyarakat, memiliki hak atas jaminan sosial dan berhak
atas realisasi, melalui upaya nasional dan kerjasama internasional dan
sesuai dengan organisasi dan sumber daya masing-masing Negara, hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya yang sangat diperlukan untuk martabat dan
perkembangan kepribadiannya yang bebas.
Pertengahan abad ke-19, J. J. Bachofen, E. B. Taylor dan lain-lain
(dalam Koentjaraningrat, 1990: 367) banyak melakukan penelitian tentang
aneka-warna sistem kekerabatan yang ada di dunia ini. Dengan demikian,
timbul kesadaran dalam diri para ahli budaya tersebut, bahwa bentuk
masyarakat keluarga inti berdasarkan monogami yang lazim dalam
masyarakat Eropa Barat bukan satu-satunya kemungkinan bentuk sistem
kekerabatan yang ada di atas dunia ini. Di samping prinsip keturunan
bilateral yang lazim dalam hubungan kekerabatan masyarakat Eropa Barat,
prinsip keturunan patrilineal (hubungan dihitung melalui kerabat pria),
matrilineal (hubungan dihitung melalui kerabat wanita) dan juga prinsip-
prinsip kombinasi keduanya bilineal atau ambilineal (hubungan dihitung
melalui kerabat perempuan dan laki-laki).
Selain itu, L. H. Morgan dalam penelitiannya tentang sistem kekeraba-
tan menemukan, bahwa aneka warna sistem kekerabatan erat hubungan-
nya dengan istilah kekerabatan. Suatu sistem kekerabatan tertentu dengan
suatu struktur tertentu sangat terkait, sehingga untuk membuat suatu
deskripsi tentng sistem kekerabatan suku bangsa seorang peneliti pertama-
tama harus mencatat semua istilah kekerabatan suku bangsa tersebut. Dari
daftar tersebut menyesuaikan temuannya. Tulisan-tulisan etnografi zaman
sesudah Morgan pun membuktikan, bahwa daftar istilah-istilah kekerabatan
tidak pernah ketinggalan dalam penelitian mengenai sebuah kelompok

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 55


masyarakat. Demikian pula dengan beberapa penelitian Gising: 1) ) My
Forest is My Soul: A Presentative of the People of Karampuang Enviromental
Awareness (2016), 2) Tedong Bonga: As It Self Identity for Tatojanese (2017), 3)
Kajangnese: The Last Fortes for Indonesian Cultivation (2018) dan 4) Cikoang:
One for All (2019). Keseluruhan penelitian Gising tersebut di atas meletakkan
sistem kekerabatan sebagai embahasan khusus. Menurut Gising, bahwa
sistem kekerabatan adalah ruh dari sebuah penelitian sosial, khususnya
penelitian-penelitian kebudayaan. Melalui sistem kekerabatan peneliti akan
menemukan: 1) Bentuk interkasi sosial yang berlaku di dalam masyarakat
yang sedang diteliti, 2) Kekenyalan hubungan antar individu di dalam
masyarakat yang sedang diteliti, 3) Orientasi visi dan misi kebudayaan yang
hendak dicapai oleh kelompok, 4) Bagaimana bentuk distribusi kedudukan
(strata) dan peran (role) dalam masyarakat yang sedang diteliti dan 5)
Bentuk kelembagaan sosia-budaya yang berlaku di dalam masyarakat yang
sedang diteliti,
Sistem organisasi sosial yang juga mendapat perhatian ahli budaya
adalah organisasi dan susunan masyarakat desa dan komunitas kecil, yang
mencakup: a) pembagian kerja (devisions of labour atau job descriptions) dalam
komunitas, berbagai aktivitas kerjasama atau gotongroyong dalam komu-
nitas, b) masalah kepemimpinan (leadership) yaitu hubungan dan sikap
antara pemimpin dengan pengikutnya dalam komunitas (prosedur peng-
ambilan keputusan bersama, membantah pimpinan dan sebagainya) dan c)
suksesi penggantian kepemimpinan dan masalah wewenang dan kekuasa-
an seorang pemimpin.
Hal-hal lain yang ada kaitanya dengan sistem organisasi sosial adalah
penggolangan masyarakat kedalam kelas-kelas horisontal yang seolah-olah
berlapis-lapis dengan golongan masing-masing dipandang lebih tinggi atau
lebih rendah daripada golongan lain (ethnosentrism). Di Sulawesi Selatan,
misalnya, dikenal adanya beberapa pelapisan masyarakat (social stratum): 1)
golongan bangsawan atau Arung untuk Bugis (Pajung di Luwu, Mangkau di
Bone, Datu di Soppeng, Arung Matowa di Wajo dan Addatuang di Sidenreng
Rappang, Arungnge ri Aganiojong di Barru), 2) Karaeng untuk Makassar, 3)
Maraddia untuk Mandar, 4) To Makaka untuk orang tator, 5) tomaraddeka
golongan orang merdeka dan 6) ata golongan hamba sahaja.
d. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Pembahasan tentang sistem peralatan hidup dan teknologi mencakup
masalah: produksi, pemakaian dan pemeliharaan segala peralatan hidup
dari suatu suku bangsa. Pembahasan tentang sistem peralatan hidup dan
teknologi harus dilakukan dalam bingkai teknologi tradisional (indigenous
technology). Teknologi tradisonal adalah sistem teknologi konvensional dari

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 56


peralatan hidup dari suatu kelompok manusia, yang tidak dipengaruhi
teknologi kebudayaan Eropa-Amerika atau kebudayaan Barat.
Buku-buku etnografi abad ke-19 hingga awal abad ke-20 umumnya
mencakup sistem teknologi dan sistem peralatan dari suku bangsa yang
menjadi pokok bahasannya. Hal itu disebabkan, karena para ahli budaya
saat itu masih terfokus pada pembahasan kebudayaan fisik atau benda-
benda budaya (cultural materealism). Jadi, tidak mengherankan, jika beberapa
buku etnografi yang membahas sistem peralatan hidup dan teknologi, lebih
banyak melukiskan bentuk pakaian tradisional, bentuk rumah tradisional,
bentuk dan pemakaian senjata tradisional, bentuk dan pemakaian alat trans-
portasi tradisional dan sebagainya. J. J. Honigmann (1973: 290) dalam buku-
nya berjudul The World of Man, yang dimaksud teknologi adalah segala
tindakan baku dengan apa manusia merobah alam, termasuk badannya
sendiri atau badan orang lain. Sistem teknologi juga mencakup masalah cara
manusia dalam membuat, memakai dan memelihara seluruh peralatannya.
Bahkan mengenai cara manusia berperilaku dan bertindak dalam keseluruh-
an hidupnya.
Buku-buku etnografi sesudah tahun 1930-an, terutama yang ditulis
oleh para ahli budaya Inggris atau Amerika, fokus pembahasan tentang
sistem teknologi menjadi kurang penting. Perhatian para ahli budaya ter-
hadap unsur kebudayaan fisik mulai berkurang. Bahkan, sama sekali tidak
mendapat tempat dalam penelitian ilmu budaya mereka ketika itu, sehingga
pembahasan tentang unsur kebudayaan fisik juga ditinggalkan sepenuh-
nya.
Menurut Koentjaraningrat (1990: 343), bahwa paling sedikit ada 8 (de-
lapan) macam sistem peralatan hidup dan unsur kebudayaan pisik berupa
teknologi tradisional. Bentuk teknologi seperti ini, khususnya masyarakat
kecil yang berpindah-pindah (slash and burn) atau masyarakat pedesaan
yang hidup dari pertanian, yaitu: 1) alat-alat produksi (cangkul, mesin giling
jagung dan beras, sabit, bajak dan sebagainya), 2) senjata (keris untuk
orang Jawa, badik, tappi, poke, bessi dan duru’ untuk orang Bugis, cerulit
untuk orang Madura, busur panah dan pisau belati untuk orang Papua,
mandau untuk orang Dayak, rencong untuk orang Aceh, Salawaku atau
Kalawai untuk orang Maluku, Wamilo untuk orang Gorontalo, keris untuk
orang Tolaki, pasa timpo untuk orang Palu, Peda atau Sabel untuk orang
Manado, Lunjuk Sumpit Randu untuk orang Kalimantan tengah, Sundu untuk
orang NTT, Sampari atau Sondi untuk orang NTB, Kujang untuk orang
Banten, golok untuk orang Jakarta, Rudus untuk orang Lampung, Siwar
Panjang untuk orang Bangka Belitung, Tombak Trisula untuk orang Sumatera
Selatan, Badik Tumbuk Lada untuk orang Jambi, Pedang Jenawi atau Badik
Tumbuk Lado untuk orang Riau, Karih dan Ruduih untuk Sumatera Barat,

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 57


Piarit untuk orang Sumatera Barat, 3) wadah (gerabah bagi orang Banyu
Mulek NTB, kuningan bagi orang Jawa, maja, tempurung dan timpo (ruas
bamabu) orang Bugis dan sebagainya), 4) alat-alat menyalakan api
(masyarakat tradisional mengesekkan tongkat pada kayu lapuk (gulinra),
meggesekkan dua batu (api) di dekat sabuk kelapa atau kapas dan colo’
sumbung (korek api yang menggunakan batu api dan sumbu pembakaran),
5) makanan, minuman, bahan pembangkit gairah dan jamu-jamuan, 6)
pakaian dan perhiasan (blangkon untuk orang Jawa, baju bodo wanita Bugis,
passapu atau ikat kepala orang Makassar, kebaya wanita Jawa, songket orang
Batak dan sebagainya), 7) tempat berlindung dan perumahan (bola orang
Bugis, balla makassar, banua orang Tator, Rumoh Aceh di Aceh, nuwa(o) atau
lamban di Lampung, Kaomu dan Walaka di Buton, Uma Lengge di Bima,
Honai di Papua dan sebagaiya), serta 8) alat-alat transportasi: delman di
Jakarta, cidomo di Nusa Tenggara Barat, bendi di Bugis, andong di
Yogyakarta, Jalo trans-potarsi air di Aceh Pinggiran, geurubhak (pedati), guda
(kuda) dan gritangen (sepeda) suku Kluet di Aceh Darat atau Aceh Selatan,
perahu kelotok di Banjarmasin dan sebagainya.
e. Sistem Mata Pencaharian Hidup
Perhatian para ahli budaya tentang berbagai macam sistem mata pen-
caharian atau sistem ekonomi hanya terbatas kepada sistem-sistem yang
bersifat tradisional saja, terutama dalam rangka perhatian mereka terhadap
kebudayaan suatu suku bangsa secara holistik. Khusus di bidang ekonomi,
para ahli budaya hanya memperhatikan sistem ekonomi subsistensi yaitu
ekonomi yang berkaitan dengan produksi yang dikonsumsi sendiri oleh
suatu masyarakatnya. Berbagai sistem yang juga mendapat perhatian para
ahli budaya, seperti: 1) berburu dan meramu (hunter and gathering), 2) be-
ternak (pastoral), 3) bercocok tanam di ladang (cultivation), 4) menangkap
ikan (fishing) dan 5) bercocok tanam menetap dengan irigasi (irrigated
agriculture).
Dari kelima sistem mata pencaharian hidup di atas, ahli budaya hanya
memperhatikan sistem produksi lokalnya saja, termasuk sumber daya alam
(natural resourches), cara mengumpulkan modal (basic capital collecting), cara
pengerahan dan pengaturan tenaga kerja (division of labour atau job
description), teknologi produksi (means of production), sistem distribusi ke
pasar-pasar (market suplay) yang dekat saja dan proses konsumsinya
(consumptions). Ada pun proses dan sistem distribusi dan pemasaran hasil ke
pasar-pasar di luar komunitas yang menjadi lokasi penelitiannya, biasa-nya
tidak mendapat perhatian dari seorang ahli budaya.
Hal-hal lain yang juga turut diperhatikan oleh ahli budaya adalah
masalah anggaran pendapatan dan pengeluaran rumah tangga petani yang
biasanya diabaikan oleh para ahli ekonomi. Akhi-akhir ini bermunculan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 58


penelitian mengenai aktivitas-aktivitas pedagang di kota (urban trades), yang
kadang-kadang meliputi sistem distribusi yang cukup luas dengan volume
atau nilai modal yang terbatas. Menurut Abu Hamid (2003 dan 2004), bahwa
sistem distribusi ekonomi orang Bugis Makassar saat ini sudah meluas,
bahkan sudah mampu mendistribusikan hasilnya ke pasar antar pulau dan
ekspor ke manca negara. Di Makassar, misalnya menurut beliau, tidak
jarang ditemukan pabbalu'-balu' yaitu orang yang menjual pada lokasi
tertentu di sebuah los pasar resmi dengan omset jualan cukup besar.
Seorang pabbalu’-balu’ biasanya hanya menjual satu produk tertentu (pakai-
an, daging, ikan dan sebagainya). Selain itu juga terdapat paggadegadde yaitu
orang yang menjual barang di sembarang tempat dan biasanya di luar lokasi
pasar secara resmi (istilah saat ini adalah pasar tumpah). Omset Barang
dagangannya juga lebih kecil dibandingkan dengan pabbalu'-balu', karena
jenis barang dagangan umumnya bercampur baur. Artinya seorang
paggadde-gadde tidak terfokus menjual salah satu produk (makanan,
minuman, sembako dan sebagainya), melainkan bisa lebih dari satu produk.
Sistem persedian barang (ready stock) umumnya disesuaikan dengan
permintaan di pasar (market demand).
f. Sistem Religi
Sebelum saya membahas lebih mendalam tentang sistem religi dan
sistem kepercayaan, terlebih dahulu saya harus menetapkan skop utama
(main scope) studi agama dalam bingkai kebudayaan. Studi agama atau studi
tentang sistem kepercayaan yang dimaksudkan dalam buku ini adalah peri-
laku keagamaan (religious behavior) yang dikaitkan dengan dunia keseharian
penganutnya. Studi agama dan kepercayaan tidak mempelajari agama dan
sistem-sistem dogmatis24nya. Akan tetapi, yang menjadi pusat perhatiannya
adalah perilaku keberagamaan dari seseorang atau sekelompok orang.
Jauh sebelum ilmu budaya dan antroplogi ada sebagai suatu disiplin
ilmu tersendiri sistem religi telah menjadi suatu pokok bahasan penting
dalam beberapa buku mengenai suku-suku bangsa di dunia ini. Setelah
revolusi ilmu pengetahuan terjadi secara besar-besaran, perhatian terhadap
sistem religi semakin besar, terutama dalam hal: a) upacara keagamaan
dalam kebudayaan suatu suku bangsa, yang biasanya berupa unsur
kebudayaan yang tampak secara lahiriah (explicit culture) dan b) bahan
etnografi upacara keagamaan diperlukan untuk menyusun teori-teori
tentang asal-mula religi yang sudah ada.

24
Dogmatis adalah sikap atau perilaku seseorang yang didasari oleh kepercayaan tertentu
dengan sangat kuat dan tidak dapat diubah atau tidak dapat disesuaikan dengan Kenya-
taan yang ada, sehingga orang tersebut tidak toleran dan terbuka dengan keberadaan
ataupun pendapat yang berbeda dari orang lain atau lingkungan sekitarnya.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 59


Para pengarang etnografi yang mendatangi suku bangsa tertentu, akan
segera tertarik dalam hal upacara-upacara keagamaan suku bangsa tersebut,
karena pada lahiriahnya tampak jauh berbeda dengan upacara keagamaan
bangsa-bangsa Eropa, yaitu agama Nasrani. Pada awalnya, hal-hal yang
berbeda tersebut dianggap sebagai sesuatu yang aneh, namun justru
keanehannya itulah yang menarik perhatian mereka untuk mengkajinya
lebih lanjut.
Perilaku-perilaku agama, pada prinsipnya, sudah lama menjadi pusat
perhatian, baik orang Eropa maupun dunia ilmiah pada umumnya. Dalam
usaha untuk memecahkan masalah asal-mula religi, para ahli budaya
biasanya menganggap religi suku-suku bangsa di luar Eropa sebagai sisa-
sisa (artefak) dari bentuk-bentuk religi kuno (animism). Sistgem religi
tersebut dianut oleh seluruh umat manusia purba atau setidak-tidaknya
ketika kebudayaan tersebut masih berada pada tingkat yang primitif.
Dengan demikian, bahan etnografi mengenai upacara keagamaan dari
berbagai suku bangsa di dunia sangat diperhatikan dalam rangka
menyusun teori-teori asal mula agama.
Perhatian para ahli budaya tentang religi umumnya dibagi menjadi
dua, yaitu: 1) sistem religi (religion) dan 2) sistem ilmu gaib (magy). Semua
aktivitas manusia berdasarkan atas suatu getaran jiwa atau emosi keagama-
an (moods atau religious emotion) disebut sebagai perilaku agama (religious
activities atau religious behavior). Getaran jiwa atau emosi keagamaan tersebut
merupakan faktor penting dalam semua aktivitas manusia yang bersangkut-
an dengan religi. Seateis apapun manusia, masih pernah juga mengalami
apa yang disebut getaran emosi keagamaan (mood). Sekalipun getaranjiwa
tersebut hanya berlangsung beberapa detik saja, sebelum kemudian meng-
hilang lagi. Emosi keagamaan inilah yang mendorong manusia melakukan
tindakan-tindakan yang bersifat religi. Jika frekuensi getarannya sangat
tinggi menyebabkan sesuatu benda, suatu tindakan atau suatu gagasan,
memiliki nilai keramat (sacred value). Sebaliknya, frekuensi getaran yang
sangat rendah menyebabkan benda-benda, tindakan-tindakan, atau
gagasan-gagasan menjadi tidak keramat atau biasa-biasa saja (profane).
Sakral (sacred) menurut Keesing (1992: 192) adalah yang berhubungan
dengan kekuatan-kekuatan tertinggi atau yang melebihi kekuatan manusia.
Kekuatan tersebut menurutnya terdapat di dalam alam semesta. Lawan dari
sakral adalah profane yaitu hal-hal yang biasa-biasa saja. Durkheim (Pals,
2001: 276) melihat yang sakral sebagai yang sosial, yang memiliki arti bagi
klan. Menurut Keesing (1992: 280), bahwa klan (clan) adalah kelompok
kekerabatan yang berdasarkan asas keturunan unilineal. Keesing juga
menambahkan, bahwa klan adalah kelompok atau kategori keturunan uni-
lineal yang anggota-anggotanya menghubungkan keturunannya secara

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 60


patrilinineal (patri-clan) atau secara matrilineal (matri-clan) dengan seorang
leluhur pertama. Akan tetapi tidak mengetahui urutannya secara geneologis
yang menghubungkannya dengan leluhur pertama tersebut. Sebaliknya,
yang profan menurutnya adalah yang memiliki arti bagi individu. Menurut
Durkheim lebih lanjut, bahwa ada kaitan erat antara simbol dan ritual
dengan suprnatural, sekalipun semua itu hanya merupakan penampakan
luar saja. Tujuan simbol adalah sekedar untuk menyadarkan orang akan
tugas sosial yang mereka lakukan dengan menyimbolkan klan, sebagai
dewa totem mereka. Sebaliknya, Eliade melihat tidak ada hubungan antara
sakral dengan bentuk pemujaan, karena agama menurutnya adalah yang
supernatural, yang jelas dan sederhana. Meskipun Eliade menggunakan
konsep Durkheim, namun padangan Eliade tentang agama lebih dekat
dengan Tylor dan Frazer. Keduanya (Tylor dan Frazer) melihat agama
sebagai kepercayaan yang bermuara pada supernatural.
Sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu berusaha sekuat mungkin
untuk memelihara emosi keagamaan pengikut-pengikutnya. Dengan de-
mikian, emosi keagamaan merupakan unsur panting dalam suatu religi
bersama dengan tiga unsur lainnya, yaitu: 1) sistem keyakinan, 2) sistem
upacara keagamaan dan 3) umat yang menganut religi itu. Sistem keyakin-
an secara khusus mengandung banyak sub-unsur lagiL 1) konsepsi tentang
dewa-dewi (baik, jahat, sifat-sifat dan tanda-tandanya), 2) konsepsi tentang
mahluk-mahluk halus lainnya (roh-roh leluhur, roh-roh lain yang baik
maupun yang jahat, hantu dan lain-lain), 3) konsepsi tentang dewa tertinggi
dan pencipta alam (terciptanya dunia dan alam dalam bentuk pemahaman
kosmogoni, serta bentuk dan sifat-sifat dunia dan alam dalam pemahaman
kosmologi) dan 4) konsepsi tentang hidup dan maut dan konsepsi tentang
dunia roh dan dunia akhirat dan lain-lain.
Sistem upacara keagamaan secara khusus mengandung empat aspek,
yaitu: a) tempat upacara keagamaan dilakukan: b) saat-saat upacara keaga-
maan dilaksanakan; c) benda-benda dan alat upacara dan d) orang-orang
yang melakukan dan memimpin upacara. Aspek pertama berhubungan
dengan tempat-tempat keramat di mana upacara dilakukan, yaitu makam,
candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau, masjid dan sebagainya. Aspek
kedua mengenai saat-saat beribadah, hari-hari keramat, hari suci dan seba-
gainya. Aspek ketiga mengenai benda-benda budaya (cultural ornaments)
yang dipakai dalam upacara termasuk patung-patung yang melambangkan
dewa-dewi, alat-alat bunyi-bunyian seperti lonceng suci, seruling suci,
genderang suci dan sebagainya. Aspek keempat mengenai para pelaku
upacara keagamaan, yaitu alim ulama, para pendeta, biksu, shaman, dukun
dan lain-lain.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 61


Selain itu, upacara keagamaan (religious ceremonial) juga mempunyai
banyak unsur, yaitu: 1) bersanji, 2) berkorban, 3) berdoa, 4) makan bersama
makanan yang telah disucikan dengan doa, 5) menari tarian suci, 6)
menyanyikan nyanyian suci, 7) berprosesi atau berpawai, 8) memainkan
seni drama suci, 9) berpuasa, 10) intoksikasi atau mengaburkan pikiran
dengan obat bius untuk mencapai keadaan mengawan-awan (trance), 11)
bertapa dan 12) bersemedi.
Hal yang paling esensial sifatnya adalah umat yang menganut agama
dan sistem kepercayaan itu, terutama bentuk hubungan antara seorang
pengikut dengan yang lainnya, hubungan pengikut dengan pemimpin
agama dan sistem kepercayaanya, baik pada saat prosesi upacara keagama-
an berlangsung maupun dalam kehidupan sehari-hari. Hal lain yang
dianggap penting bagi penganut suatu agama dan sistem kepercayaan
adalah keberadaan wadah atau organisasi para umat, kewajiban-kewajiban-
nya, serta hak-hak para anggotanya dalam rangka menjalangkan agama dan
kepercayaannya.
g. Kesenian
Kesenian yang dimaksud di sini adalah kesenian lokal (indigenous
arts) yang mencakup deskripsi tentang benda-benda seni, seni rupa (patung,
seni ukir, atau seni hias) dan pada peralatan sehari-hari. Deskripsi-deskripsi
tersebut lebih memperhatikan bentuk, teknik pembuatan, motif perhiasan
dan gaya dari benda-benda seni tadi, yang terhimpun di dalam suatu kajian
seni arsitektur (arts architecture). Selain benda hasil seni rupa di atas, unsur-
unsur kesenian lain yang juga mendapat perhatian para etnograf adalah seni
musik, seni tari dan drama.
Kesenian sebagai hasil ekspresi manusia akan keindahan dapat dinik-
mati atau diapresiasi melalui dua hal, yaitu: a) seni rupa, atau kesenian yang
dapat dinikmati dengan mata, karena bentuk penyajiannya melalui seni
rupa (patung, relief atau ukir, lukis atau gambar, rias dan gerak atau seni
tari) dan b) seni suara, atau kesenian yang dinikmati melalui telinga, karena
bentuk penyajiannya melalui seni musik (vokal dalam bentuk nyanyian dan
instrumentalia, dengan alat bunyi-bunyian dan seni sastra, termasuk prosa
dan puisi.
Perhatian terhadap kesenian, atau segala ekspresi manusia akan
keindahan dalam kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa, pada awal-
nya hanya bersifat deskriptif belaka. Para pengarang etnografi akhir abad
ke-19 dan permulaan abad ke-20 seringkali memuat suatu deskripsi
mengenai benda-benda hasil seni, seni rupa, terutama seni patung, seni ukir,
atau seni hias dan benda alat-alat sehari-hari dalam karangan-karangannya.
Deskripsi-deskripsi tersebut terutama memperhatikan bentuk, teknik pem-
buatan, motif perhiasan dan gaya dari benda-benda kesenian tadi. Selain

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 62


seni rupa di atas, seni musik, seni tari, dan drama juga menjadi pusat
perhatian para etnograf. Seni musik deskrepsinya biasanya terbatas pada: 1)
alat bunyi-bunyian, 2) jalan atau alur suatu tarian dan 3) seni drama sebatas
pada uraian mengenai dongengnya.

REFERENSI

Abu, Hamid. 2003. Metodologi Penelitian Sosial: Suatu Strategi, Teknik dan
Taktik Wawancara. Makassar: Program Pasca Sarjana Unhas.
______. 2003. Siri' & Pacce: Harga Diri Manusia Bugis. Makassar, Mandar dan
Tatot. Makassar: Pustaka Refleksi.
Adimihardja, Kusnaka. 2004. Dampak Teknologi Terhadap Kebudayaan di Indo-
nesia: Sistem Pengetahuan Lokal dan Pembangunan Masyarakat Desa.
Bandung (diakses Desember 2004).
______. 1999. Sistem Pengetahuan Lokal dan Pembangunan Masyarakat Desa Di
Indonesia, Jurnal Ekologi dan Pembangunan (Ecology and Develop-
ment) No 2 terbitan bulan Mei 1999 – Ekologi Industri: Menuju Pem-
bangunan Ekonomi Berkelanjutan (Industrial Ecology: Towards a
Sustainable Economic Development). Bandung: PPSDAL.
Agus Maladi Irianto. 2005. Pencarian Identitas dan Integrasi Kebudayaan pada
Masyarakat Multikultural. Seminar Internasional Keanekaragaman
Budaya Sebagai Perekat Keutuhan Bangsa Menuju Indonesia Baru.
Lustrum VIII Fakultas Sastra UNDIP di Semarang tanggal 8
September 2005.
Alan Barnard. 2004. History and Theory in Anthropology. United State of
America : Cambridge Press.
Al-Barry Yacub Dahlan, M.. 2000, Kamus Sosiologi dan Antropologi.
Surabaya: Indah.
Arensberg C. 1940. Theoretical Contribution of Industrial and Development
Studies. In Applied Anthropology in America, ed. E. M. Eddy and
W. Patridge, pp. 49-78 New York: Columbia University Press.
Arzaki Djalaluddin, dkk..2001. Nilai-Nilai Agama dan Kearifan Budaya Lokal:
Suku Bangsa Sasak dalam Pluralisme Kehidupan masyarakat. Nusa Teng-
gara Barat: Relawan untuk Demokrasi dan HAM (REDAM).
Benedict, Ruth. 1946. The Chrysanthemum and the Sword. Boston: Houghton
Mifflin.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 63


Binford, L. R.. 1968. Post-Pleistocene Adaptation. In New Perspectives in Archeo-
logi, ed. S. R. binford and L. R. Binford pp. 313-341. chicago: Aldine.
Bohannan, Paul & Glazer, Mark. 1988. High Points in Anthropology (Second
Edition), New York : Alfred A, Knopf.
Corr, Philip J.; Matthews, Gerald (2009). The Cambridge handbook of personality
psychology. Cambridge, U.K.: Cambridge University Press.
Charlotte, Seymour Smith. 1990. Macmillan Dictionary of Anthropology.
London and Basingstoke. The Macmillan Press Ltd.
Capra Fritjof. 1991. The Tao of Physics. London: Flaminggo.
______. 1997. The Web of Life A New Synthesis of Mind and Mater. London:
Harper Collins Publisher.
Collingwood, R. G.. The Idea of History. Oxford: Oxford University Press.
Douglas, Mary. 1966. Purity and Danger: An Analysis of the Concepts of Pollu-
tion and Taboo. London: Routledge & Kegan Paul.
Dutton, Roderic. 1998. Local Knowledge in Tropical Agricultural Research and
Development (Peper on Tropical Agriculture Association Seminar),
United Kingdom : University of Durham.
El-Santoso dan Prianto S. 2001. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya:
Terbit Terang.
Firth, Raymond. 1975. Speech-making and Authority in Tikopia. In Maurice
Bloch, ed. Political Language and Oratory in Traditional Society.
London: Academic Press.
______. 1989. Symbols Public and Private. New York. Cornell University Press.
Frake. O. Charles. 1964. A Structural Description of Subanun. Religious Beha-
vior. In Gooenough, 964: 111-29. Reprinted in Frake.
Frank. Elwell. 2001. Harris on the Universal structure of societies, archived from
the original on 2015-09-30.
Freud Sigmund. 1953. Introductory Lectures on Psychoanalysis. New York:
Doubleday.
Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.
______. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.
______. 1992. The Religion of Java. Chicagi dan London: The University of
Chicagi Press.
Gising Basrah. 2005. Manfaat Sistem Pengetahuan Lokal dalam Pengelolaan
Hutan Berbasis Masyarakat di Katoasan Hutan Adat Karampuang (Tesis).
Makassar: Pascasarjana Unhas.
______. 2009. Spektrum Kebudayaan Bugis: Sebuah Tantangan di Era Globalisasi.
Makassar : Alfaroby Press.
______. 2009. Kearifan Ekologis Pasang ri Kjang dalam Sistem Pengelolaan Hutan
Adat di Wilayah Adat Kajang (Disertasi). Makassar: Pascasarjana
Unhas.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 64


Gelason. 1961. An Introduction to Descreptive Linguistics. (Revised Edition).
New York : Holt. Rinehart and Winston.
Goodenough, Ward H. 1956. Componential Analysis and The Study of Meaning.
Language 32: 195–216
Hall, E. T. 1966. TheHidden Dimension. Garden City, N.Y.: Dobleday
Harold Colyer Conklin. 1955a Hanunóo Color Categories. South-western
Journal of Anthropology, Vol. 11, No. 4. pg. 339-344
______. 1955b. The Relation of Hanunoo Culture to the Plant World
Harris, Marvin. 2001a. [First published 1968]. The Rise of Anthropological
Theory: A History of Theories of Culture, Walnut Creek, California: Alta
Mira Press.
______. 2001b, [First published 1979]. Cultural Materialism: the Struggle for a
Science of Culture (Updated ed.), Walnut Creek, California: AltaMira Press.
______. 1979. Cultural Materialism: The Struggle for a Science of Culture. New
York: Random Hous
______. 1968. The Rise of Anthropological Theory. New York: Thomas Y.
Crowell.
Haviland A. William. 1993. Antroplogi, Edisi Kempat, Jilid 1 dan 2. Jakarta :
Erlangga.
Hoebel Adamson E.. 1972. Anthropology: A Study of Man (fourth edition).
New York: MacGraw-Hill Book Company.
Holmes D. Lowell. 1965. Anthropology: An Introduction. New York: The
Ronald Press Company. Harcourt Brace Jovanovich. Inc.
Honingmann J. J.. 1973. The Development of Anthropological Ideas. Homewood
Clifft :Dorsey Press.
Hunter K. E. And Whitten Philip. 1982. Anthropology Contemporary Perspec-
tive. (Third edition). Boston Little, Brown and Company.
Kaplan, David dan Manners, A. Albert. 2000. Teori-Teori Budaya. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar.
Keesing, M. Roger. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer
Jilid I dan II. Jakarta: Erlangga.
______. 1971. New Perspectives in Cultural Anthropology. Holt, Rineheart and
Winston, (coauthored with Felix M. Keesing).
______. 1985. Kin Groups and Social Structure. Holt, Rinehart and Winston.
Thomson Learning,
______. 1976. Cultural Anthropology: A Contemporary Perspective. Holt,
Rinehart and Winston. 2nd ed. CBS College Publishing, 1981. 3rd ed.
Wadsworth, 1997 (edited by Andrew Strathern).
______. 1992. Custom and Confrontation: Kwaio Struggle for Cultural Autonomy.
University of Chicago Press, 1992.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 65


______. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif. Jilid I dan II. Jakarta:
Erlangga.
Kaplan, David dan Manners, A. Albert. 2000. Teori-Teori Budaya. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar.
Khun Thomas S.. 1962. The Structure Of Scientific Revolution: a Brilliant,
Original Analysis of Revolutions Consequences of Revolutions in Basic
Scientific concepts. Cichgi : University of Chicago Press.
Kluckhohn, C. 1942. Myth and Rituals: an general Theory. United States of
America: Havard Theological Reviews.
Kottak Philip. 1991. Anthropology: The Exploration of Human Diversity edisi
V, New York: McGraw-Hill, Inc ..
Kuran Timur. 2007. Cultural Integration and Its Discontents. Department of
Economics of Duke University 213 Social Sciences Building, NC
27708, Durham : Duke University
Koentjaraningrat, 1972. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta.
_______. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta.
_______. 1992. Beberapa Poko Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
_______, dkk., 2003. Kamus Istilah Antropologi. Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional.
_______. 2004. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Djambatan.
Kridalaksana Harimurti. 2001. Kamus Linguistik; Edisi Ketiga. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Kroeber A. L. 1907. Indian Myths of South Central California, in University of
California Publications in American Archaeology and Ethnology 4:167-
250. Berkeley (Six Rumsien Costanoan myths, pp. 199–202); online at
Sacred Texts.
_______, 1907. The Religion of the Indians of California, in University of
California Publications in American Archaeology and Ethnology 4:6.
Berkeley, sections titled Shamanism, Public Ceremonies, Ceremonial
Structures and Paraphernalia, and Mythology and Beliefs; available
at Sacred Texts
_______, dan Kluckhohn C.. 1952. Culture: A Critical Review of Concept and
Definitions. Peabody Museum Papers 47. 1. Cambridge: Havard
University Press.
_______. dan Kluckhohn C. 1952 The Nature of Culture (1952). Chicago.
_______, dan Kluckhohn C. 1963. Anthropology: Culture Patterns & Processes
(1963). New York: Harcourt, Brace & World (earlier editions in 1923
and 1948).
Levi-Strauss, Claude. 1968. Structural Anthropology. New York: The Penguin
Press, 1968. (Originally published in 1958.) Levine, George, ed.
Constructions of the Self.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 66


Linton Ralph, 1965. The Cultural Background of Personality, New York:
Appleton Crosta.
______. 1940. The Study of Man. New York: Appleton.
Lowie, Robert H. [1927] 1962. The Origin of the State. Reprint, New York:
Russell and Russell
_______. 1973. Primitive Society. New York: Liveright.
Luzbetak. Louis J.. 1970. The Church and Cultures. Illionis: Devine Word
Publication Techny.
Madjid, N. 2000. Masyarakat Religius. Jakarta: Pavamadina.
Mead Margaret. 1970. Culture and Commitment: A Studi of the Generation Gap.
New York: Natural History Press.
Malinowski, B. 1948. Magic, Sciensce and Religion. Boston: Beacon Press.
Margolis, Maxine L (2001). Introduction, in Marvin Harris, The Rise of Anthro-
pological Theory: A History of Theories of Culture, 2001a (first published
1968).
Moore, Jerry D.. 2004. Marvin Harris: Cultural Materialism, Visions of Culture:
An Introduction to Anthropological Theories and Theorists (2nd ed.),
Walnut Creek, CA: AltaMira Press.
Mitchell, Bruce, Setiawan B. & Rahmi Hadi Dewita. 1997. Pengelolaan Sumber
Daya dan Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
_______. 2003. Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Murphy E. Robert. 1980. Food end Population: Global Concern. Washinton,
D.C.: U.S. Government Printing Office, Office of Educations Oxford
English Dictionary (3rd ed.). September 2005. Oxford University Press.
Orlove Benjamin S.. 1980. Ecological Anthropology: Annual Review of Anthro-
pology, Vol. 9 (1980), pp. 235-273. Published by: Annual Reviews.
Pals L. Daniel. 2001. Seven Theory of Relgion: Dari Animisme E. B. Tylor,
Materialisme Karl Marx Hingga Antropology Budaya Geerzt. Yogya-
karta: Qalam.
Panji Anaraga. 2001. Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta.
Peirce C. S.. 1980. Semiotic: The Study of Culture and Meaning. New York:
Cambridge University Press
Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan: Dalam Perspektif Antropo-
logi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Raba Mangga dan Asnawati. 2002. Fakta-Fakta Tentang Nusa Tenggara Barat
(Lombok & Sumbawa). Kerjasama antara Yayasa Pembangunan Insan
Cipta dan Pemprop. Nusa Tenggara Barat. Mataram: Insan Cipta
Press.
Radcliffe-Brown, A.R. 1965 [1952]. Structure and Function in Primitive Society.
New York: The Free Press

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 67


Rafael Raga Maran, 2000. Manusia & Kebudayaan: Dalam Perspektif Ilmu
Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.
Robins R. H. 1980. General Linguistics: An Introductorq Survey; Third
Edition. London UK : Longman Group Ltd.
Robbins, Stephen P.; Judge, Timothy A. (2008). Perilaku Organisasi Buku 1,
Jakarta: Salemba Empat.
Schneider, 1968. Sociological Approaches to Religion. New York: Holt, Rinehart
and Winston.
Sahlins, Marshall. 1976. The Use and Abuse of Biology: An Anthropological
Critique of Sociobiology. Ann Arbor: University of Michigan Press.
_______. 1981. Culture and Pratical Reasons. Chicago : Chicago University
Press.
Salle, Kaimuddin. 1999. Kebijakan Lingkungan Menurut Pasang: Suatu Kajian
Hukum Lingkungan Adat pada Masyarakat Ammatowa Kecamatan
Kajang Dati II Bulukumba (Disertasi), Makassar : Pasacasarjana
Universitas Hasanuddin.
Salthe N. Stanley. 1972. Evolutionary Biology. New York: Holt, Rinehart and
Winston.
Sapir Edward. 1931. Conceptual Categories in Primitive Languages. Majallah
Science 74: 578-584.
Saussure de Ferdinand. 1988. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta : Gajah
Mada University Press.
Sinamo Jansen. 2011. Delapan Etos Kerja Profesional. Jakarta: Institut Mahar-
dika.
Sperber D.. 1975. Rethinking Symbolism. New York: Cambride University
Press.
Spradley, P. James. 1980. Participation Observation. New York: Holt, Rinehart
and Winston.
______. 1979. The Ethnographic Interview. New York: Holt, Rinehart and
Winston.
______. 1997. Metode Etnografi (diterjemahkan oleh Dr. Amri).
Steward, Julian. 1955. The Theory of Culture Change. Urbana. University of
Illionis Press.
Sutton Q. Marks and Anderson E. N.. 2004. Introduction to Cultural Ekology.
New York: BERG.
Tylor, E.B. 1958 [1871]. Primitive Culture. New York: Harper Torch-books
Turner, Victor. 1967. The Forest of Symbols: Aspects of Ndembu Ritual. Ithaca
and London: Cornell University Press
White, Leslie. 1949. The Symbol: The Origin and Basis of Human Behavior.
Philosophy of Science 7 (4): 451–63.
_______. 1949. The Science of Culture. New York: Grove.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 68


BAB II
PERSPEKTIF ILMU BUDAYA

A. Pendekatan Holistis dan Pendekatan Komparatif


Hampir semua bidang ilmu memiliki cara pandang yang berbeda
dalam menganalisis dan menentukan nilai ilmiah dari obyek yang ia kaji.
Perbedaan cara pandang tersebut menghasilkan pendekatan (perspective)
pula. Perbedaan tersebut sangat ditentukan oleh obyek yang sedang diteliti
atau diamati. Perspektif seorang dokter terhadap pasiennya sangat berbeda
dengan perspektif seorang psikolog dan ahli gizi. Demikian pula perspektif
seorang budayawan dengan seorang antropolog dan sosiolog tentang
manusia dan kebudayaannya juga sangat berbeda. Perbedaan-perbedaan
tersebut tergantung pada ontologi masing-masing bidang ilmu. Seorang
budayawan menekankan penelitiannya pada kebudayaan dan budaya yang
dihasilkan oleh manusia, antropolog lebih menekankan manusianya sebagai
pencipta kebudayaan dan sosiolog menekankan penelitiannya pada manu-
sia yang berkelompok.
Pendekatan holistis sangat memerlukan pendekatan komparatif di
dalam mencapai tujuannnya. Seorang peneliti yang holisme harus mengkaji
seluruh rangkaian (sistem) yang membangun sebuah fenomena dengan
mengedepankan prinsip emik bukan etik. Seorang peneliti harus berfikir
sentrifugal atau induktif untuk mencari kesamaan atau kemiripan fenomena
yang ada. Fenomena-fenomena tersebut kemudian direkonstruksi untuk
menguji tingkat kebenaran rangkaian fenomena yang ada. Rekonstruksi
yang saya maksud disini sangat membutuhkan prinsip periperial atau
deduktif untuk membanding-bandingkan fenomena yang satu dengan yang
lainnya. Pembandingan fenomena tersebut dimaksudkan untuk mencari
tingkat kedekatan antar fenomena dengan memperhatikan ciri-ciri pem-
bedanya (distinctive feature). Pada saat inilah seorang peneliti sangat mem-
butuhkan prinsip etik untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang telah
diperoleh melalui emik.
1. Pendekatan Holistis dalam Ilmu Budaya
Kata holisme berasal dari holos bahasa Yunani yang berarti ‘semua,
keseluruhan, total’. Holisme adalah sebuah gagasan, bahwa semua sifat dari
sistem yang diberikan (fisik, biologis, kimia, sosial, ekonomi, mental, bahasa,
dll.) tidak dapat ditentukan atau dijelaskan oleh komponennya sendiri.
Sebaliknya, sistem secara keseluruhan menentukan dengan cara yang
penting bagaimana bagian-bagian berperilaku bisa dijelaskan secara
totalitas. Penggunaan pendekatan holistik berarti, semua faktor harus
diperhitungkan secara keseluruhan. Semuanya harus dipandang sebagai

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 69


sesuatu yang saling bergantung satu sama lain untuk kepentingan semua.
Holistik adalah salah satu pola gaya berpikir orang-orang yang bergelut di
dunia Psikologi dan ilmu-ilmu humaniora lainnya (ilmu budaya, antro-
pologi, sosiologi dan sebagainya). Berpikir holistik berarti berpikir secara
menyeluruh dengan mempertimbangkan segala aspek yang mungkin mem-
pengaruhi tingkah laku manusia atau suatu kejadian. Pendekatan Holistic
dalam bidang antropologi dan ilmu budaya memandang kebudayaan secara
utuh atau holistik. Kebudayaan di pandang sebagai suatu yang holistik,
setiap unsur di dalamnya dapat dipahami dalam keadaan terpisah. Para
antropolog dan budayawan mengumpulkan semua aspek (sejarah, ekonomi,
geografi, teknologi serta bahasa) untuk medapatkan generalisasi mengenai
suatu kebudayaan yang kompleks.
a. Perinsip Holistis dalam Ilmu Budaya
Ilmu budaya adalah ilmu yang mempelajari kebudayaan yang diha-
silkan oleh manusia (cultural artifact). Dengan demikian, ilmu budaya se-
baiknya dibedakan dengan antropologi (lihat pembahasan di atas), yang
juga mempelajari kebudayaan, tetapi melalui manusianya sebagai pencipta
budaya (the creator of culture). Saya sering menyampaikan kepada maha-
siswa, bahwa ilmu budaya melihat kebudayaan sebagai kebudayaan. Jadi,
ilmu budaya menjadikan kajian kebudayaan sebagai disiplin ilmu (discip-
lines) bukan sebagai kajian interdisipliner (interdisciplines). Kebudayaan
menjadi kajian sentral dari ilmu budaya, yang kemudian dihubungkan
dengan kajian-kajian interdisipliner lainnya: antropologi dari segi manusia-
nya, psikologi dari segi kepribadiannya, sosiologi dari segi stratumnya,
kedokteran dari kesehatannya, ekonomi dari segi bentuk-bentuk transaksi-
nya dan masih banyak lagi yang lainnya. Sekalipun hampir seluruh pem-
bahasan antropologi juga menjadi pokok bahasan ilmu budaya, namun
perbedaannya tetap ada: ilmu budaya mengkaji kebudayaan sebagai
kebudayaan (disipliner) dan antroplogi mengkaji kebudayaan melalui
manusiannya (interdisipliner). Perbedaannya, sekali lagi saya katakan di
sini, justru hanya terletak pada sudut pandangnya (paradigm) saja. Antro-
pologi mengkaji kebudayaan melalui manusianya (athropos), sedangkan
ilmu budaya mempelajari kebudayaan (culture) yang dihasilkan oleh
manusia. Sasaran utama antropologi budaya adalah kebudayaan manusia,
serta bagaimana kebudayaan tersebut terwujud di dalam kehidupan sosial
dan berfungsi sebagai alat bantu (tools) dalam memecahkan tantangan
hidupnya. Jadi, pada prinsipnya dapat dikatakan, bahwa kebudayaan tanpa
manusia tidak mungkin, karena tidak ada yang menciptakan. Sebaliknya,
manusia tanpa kebudayaan juga mustahil, karena tidak ada alat untuk
mengantisipasi permasalahan yang mereka alami.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 70


Secara sederhana kebudayaan dapat didefinisikan sebagai keseluruh-
an pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang digunakan untuk
menginterpretasi dan memahami lingkungan. Manusia juga menggunakan
kebudayaan untuk dihadapi dan menciptakan, serta mendorong terwujud-
nya kelakuan (perilaku) yang terpola. Bila disimak dengan baik akan
tampak, bahwa dalam definisi tersebut di atas, pengertian kebudayaan
hanya mencakup pengetahuan: yaitu sistem pengetahuan yang dimiliki oleh
manusia. Dengan demikian, kebudayaan pada hakekatnya ada pada alam
pikiran manusia dan dimiliki oleh indi-vidu-individu atau para anggota
masyarakat. Jadi saya dapat katakan, bahwa kebudayaan adalah milik
masyarakat sepenuhnya tanpa memperhatikan individu yang menggunak-
an dan sumbernya, seperti yang dipahami oleh ahli budaya dan antropolog.
Penggunaan definisi kebudayaan yang hanya mencakup pengertian
pengetahuan sifatnya sangat operasional, karena dalam definisi tersebut
pengetahuan atau satuan ide dibedakan dari kelakuan dan hasil kelakuan,
yang tidak termasuk dalam kategori kebudayaan. Kebudayaan (atau ide)
memang perlu dibedakan dari kelakuan dan hasil kelakuan. Akan tetapi,
ketiga-tiganya masih saling berkaitan dan saling pengaruh mempengaruhi
dalam kegiatan kehidupan manusia. Bila kebudayaan kognitif (cultural
knowledge), kelakuan (cultural behavior) dan hasil kelakuan (cultural artefact)
tersebut dikategorikan sebagai satu pengertian yaitu kebudayaan, maka
hakekat saling kait mengkait dan saling mempengaruhi diantara ketiganya
dalam kehidupan manusia memang ada. Ketiga unsur kebudayaan di atas,
pada dasarnya, muncul dari permasalahan hidup yang sedang dihadapi
manusia. Ketika manusia tidak memiliki masalah, maka kebudayaan di-
pastikan tidak ada, karena memang keberadaanya hanya untuk membantu
manusia menyelesaikan masalahnya. Keterkaitannya dapat dilihat dalam
bagan berikut:

Culture

Cultural
knowledge
Cultural
behavior

Cultural
artifact

Dari bagan di atas dapat diketahui, bahwa kebudayaan muncul kerena


Phenomenon
adanya fenomena. Fenomena berasal dari bahasa Yunani phainomenon arti-
nya ‘apa yang terlihat atau apa yang menjadi kenyataan’. Fenomena dalam
bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai gejala atau hal-hal yang dirasakan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 71


dengan pancaindra. Menurut Freud (1923), bahwa fenomena adalah sesuatu
yang muncul dari kenyataan (realities) dan harapan (expectations). Fenomena
sebagai sesuatu kenyataan sama dengan yang diharapkan, dipastikan tidak
ada permasalahan. Akan tetapi, fenomena yang bertentangan dengan yang
diharapkan itu yang bermasalah. Menurut Freud seseorang dapat menjadi
stres berat (neurosis), karena fenomena tidak sama dengan harapan (kenyata-
an). Jadi, kebudayaan muncul dari fenomena yang sedang dan akan
dihadapi oleh manusia. Munculnya pertama kali penggunaan sepeda erat
kaitannya dengan kenyataan, bahwa manusia membutuhkan alat transport-
tasi dari suatu tempat ke tempat lain. Munculnya ide untuk menggerakkan
sepeda dari suatu tempat tertentu membutuhkan roda, yang bentuknya
bundar bukan yang segi empat. Fenomena, bahwa benda yang bulat jauh
lebih gampang menggelinding atau berputar pada suatu sumbu jari-jari
dibandingkan dengan benda yang segi empat. Mengapa, karena garis
penampangnya tidak sama, sehingga tidak membentuk jari yang berfungsi
sebagai titik sumbu putar. Setelah melalui serangkaian analisa melalui
pengalaman, pencipta akhirnya dapat memenuhi harapan alat transportasi
melalui sebuah lingkaran yang memiliki titik sumbu putar. Pencipta sepeda
tersebut akhirnya menemukan sesuatu (invention) untuk memecahkan
fenomena alat transportasi.
Munculnya fonemena yang berbeda dapat memunculkan kebudayaan
yang berbeda, ide yang berbeda, perilaku yang berbeda dan hasil perilaku
yang berbeda pula. Saya ambil contoh makanan yang terbuat dari sagu.
Orang Bugis mengkonsumsi sagu hanya sebatas sebagai makanan tambahan
saja: didorok tawaro (dodol sagu) dan cindolo’ tawaro (cendol sagu). Akan
tetapi kebudayaan lain, yang menjadikan sagu sebagai makanan pokoknya,
seperti Luwu memiliki banyak variasi tentang kuliner yang tebuat dari sagu:
kapurung (sagu dicampur dengan sayuran) dange olahan dari sagu yang
menyerupai roti kering. Dange biasanya disajikan dengan pacco’, lawa’,
parede (semacam sup ikan). Pocco’ adalah makanan khas orang Luwuk
berbahan baku ikan segar, yang diolah tanpa proses pemanasan. Sebagai
gantinya, pacco’ memanfaatkan asam cuka. Pacco’ sendiri dalam pengolah-
annya menggunakan banyak sekali cabai rawit yang telah dihaluskan ter-
lebih dahulu dengan tanpa menggunakan blender. Lawa’ merupakan olahan
lanjutan dari pacco’, namun rasanya sudah tidak sepedas pacco’. Lawa’
sendiri biasanya berbahan baku olahan pacco’ yang kemudian dicampur
dengan sayuran dan parutan kelapa yang agak muda. Sama seperti pacco’,
lawa’ tidak melalui proses pemanasan (dimasak, digoreng, dikukus dan
diasapi). Lawa’ biasa disajikan dengan pacco’ dan dange, namun biasa juga
dengan nasi hangat. Munculnya variasi pengolahan kuliner tersebut berkait-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 72


an erat dengan pola ide-ide, perilaku dan hasil perilaku pendukung dari
masing-masing kebudayaan.
Seperti halnya dengan orang Luwu di atas, orang Bugis juga kaya akan
khasanah kuliner, yang berpangkal pada kata pule’ atau nanre. Orang Bugis
mengenal kuliner-kuliner berikut: 1) pule’ otti yaitu makanan yang berbahan
dasar beras ditambahkan pisang (musa acuminata) yang dipotong kecil-kecil,
2) pule’ lame yaitu makanan yang berbahan dasar beras ditambahkan ubi
(anihot utilissima) yang dipotong kecil-kecil, 3) pule’ baka yaitu makanan yang
berbahan dasar beras ditambahkan sukun (artocarpus altilis) yang dipotong
kecil-kecil, 4) pule’ barelle yaitu makanan yang berbahan dasar beras
ditambahkan beras jagung (zea mays ssp). Makanan seperti ini juga sering
disebut nanre lelu (nasi jagung). Kadang-kadang juga disebut nanre pule’ bila
beras dicampur dengan jagung yang sudah direbus lalu ditumbuk hingga
berbentuk pipih, 5) pule’ siapa atau nanre siapa yaitu makanan yang berbahan
dasar beras ditambahkan ubi hutan (dioscorea hispida dennst). Ubi tersebut
kemudaian dipotong-potong kecil-kecil lalu direndam di air mengalir, agar
kandungan racunnya hilang dan masih banyak lagi kuliner khas orang
Bugis yang lainnya.
Bahkan, dengan menggunakan pengertian hakikat benda dari gejala
sebagai tolok ukurnya, perbedaan kebudayaan dan kelakuan, serta hasil
kelakuan tersebut dapat dilihat sebagai perbedaan antara satuan ide (kebu-
dayaan) dengan satuan gejala (kelakuan dan hasil kelakuan). Kedua hal
tersebut merupakan dua satuan yang pada hakekatnya berbeda, karena
satuan ide berada di dalam kepala manusia (cultural knowledge), sehigga
tidak bisa dilihat. Sedangkan satuan gejala adanya pada tingkat atau tataran
kenyataan (cultural behavior), sehingga bisa dilihat dan diraba (cultural
artefact).
Bila dikatakan, bahwa kebudayaan itu berupa pengetahuan manusia
sebagai mahluk sosial, kebudyaan tersebut diperoleh melalui warisan
genetika (genetical herritage), pendapat itu tidak benar. Kebudayaan tidak
pernah diturunkan melalui gen seperti halnya dengan binatang. Burung beo
pintar berbicara, karena memang ada unsur gen yang diwarisi melalui
instingnya. Tindakan tersebut ditransmisikan melalui pembiasaan (habita-
tion). Sedangkan kebudayaan bagi manusia diturunkan dari generasi ke
generasi melalui pembudayaan (enculturation). Jadi, manusia memperoleh
kebudayaannya melalui kedudukannya sebagai mahluk sosial. Hal ini
berarti, bahwa kebudayaan tersebut mereka peroleh melalui lingkungannya
dengan cara belajar. Dengan proses balajar seperti ini manusia mampu
memperoleh, menambah dan mengurangi berbagai macam pengetahuan-
nya, sesuai dengan yang dibutuhkan untuk memecahkan permasalahn
hidupnya.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 73


Terdapat tiga cara untuk mempelajari dan menerima kebudayaan
sebagai milik seseorang yaitu; 1) melalui pengalaman dari hidup dalam
menghadapi tantangan lingkungannya. Dari Pengalamannya tersebut ma-
nusia dapat memilih suatu tindakan yang setepat-tepatnya sesuai perma-
salahan lingkungan yang dihadapi, serta sesuai keinginan yang ingin di-
capai; 2) Melalui pengalaman dalam kehidupan sosial, yang pada prinisip-
nya sama dengan nomor 1 di atas. Akan tetapi, penekanannya agak berbeda,
dimana nomor satu lebih menekankan faktor ransangan atau stimulus
lingkungan fisik sebagai sumbernya. Sedangkan pada nomor dua faktor
stimulus tersebut sumbernya lebih banyak dari kehidupan sosial manusia.
Dalam kahidupan sosial kedua lingkungan tersebut bisa memainkan peran-
nya dalam proses belajar kebudayaan, baik secara bersama-sama maupun
secara sendiri-sendiri. Demikian pula, pemisahan dari keduanya dimaksud-
kan untuk kepentingan analitis mengenai peran masing-masing lingkungan
tersebut, 3) Melalui petunjuk-petunjuk atau sering juga dinamakan melalui
komunikasi simbolik. Artinya, berbagai pengetahuan yang didapat oleh
mananusia telah diperoleh melalui suatu komunikasi dengan orang lain
(ungkapan dan kata-kata serta isyarat-isyarat simbol tindakan dan ungkap-
an gerak tubuh) yang mempunyai pengertian. Dalam proses penerimaan
pengetahuan melalui komunikasi simbolik tersebut, petunjuk-petunjuk atau
petuah-petuah lebih ditekankan daripada pengalaman dari sipenerima
pesan komunikasi.
Meskipun, pada hakekatnya kebudayaan dimiliki oleh warga masya-
rakat atau warga suatu kesatuan sosial, kebudayaan yang dimiliki oleh
individu, pada prinsipnya, juga dimiliki bersama oleh individu lain yang
tergabung di dalam warga suatu masyarakat. Tentu saja hal ini dimungkin-
kan oleh adanya saling komunikasi di antara mereka dengan menggunakan
simbol-simbol kebudayaan yang dapat dimengerti bersama (conventional).
Dengan demikian, dapat dikatakan mereka mempunyai kebudayaan yang
sama. Pelaksanaan ritual kematian Bugis, misalnya, agak berbeda pelaksa-
naannya dalam kebudayaan orang Toraja (rambu solo’). Orang Bugis lebih
memilih binatang kurban berupa sapi dan kambing, karena orang Bugis
jarang yang mengkonsumsi kerbau. Sebaliknya, orang Tator lebih memilih
kerbau dan babi dibandingkan dengan sapi dan kambing. Akan tetapi,
keduanya membutuhkan binatang korban (kerbau, babi, sapi dan kambing)
untuk disembelih dalam upacara kematian keluarga mereka. Keduanya
memilih binatang korban tersebut dengan harapan dan keyakinan, bahwa
binatang tersebut kelak menjadi kendaraannya menuju akhirat (ahera’) bagi
orang Bugis dan surga (puya) bagi orang Tator. Orang Tator membutuhkan
banyak binatang korban (kerbau dan babi), agar roh leluhur mereka secepat-
nya sampai di tujuannya. Sedangkan orang Bugis hanya membutuhkan satu

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 74


ekor sapi atau kambing saja sebagai kendaraan roh untuk sampai ke tujuan-
nya. Almarhumah mama saya, suatu ketika berpesan kepada saya, agar
kelak kalau beliau meninggal minta dipotongkan seekor sapi sebagai
kendaraannya kelak menuju ketempat tujuannya (akhirat).
Oleh karena itu, kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan
manusia yang digunakan untuk menginterpretasi dan memahami lingkung-
annya. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu: 1) Bagaimana
corak pengetahuan tersebut, sehingga dapat berfungsi demikian dan 2)
Bagaimana secara operasional penggunaan kebudayaan untuk menginter-
pretasi dan memahami lingkungannya.
Hampir semua ahli budaya sepakat, bahwa kebudayaan (culture) itu
sifatnya abstrak. Yang tampak adalah perilaku (cultural behavior) dan hasil
dari kebudayaan itu sendiri yaitu benda (cultural artifact). Selain wujud
kebudayaan dalam bentuk lahiriah (eksplicit culture), juga terdapat dalam
bentuk batiniah (tacit culture). Perlu dijelaskan di sini, bahwa kebudayaan
yang tampak berupa perilaku (cultural belurovir) dan dalam bentuk materi
atau kebendaan (cultural artefact), pada prinsipnya merupakan perwujudan
dari kebudayaan yang tidak tampak berupa: gagasan, ide-ide dan nilai-nilai.
Semuanya terangkum di dalam mental imajinasi manusia berupa kognisi
(culural knowledge). Jadi, kebudayaan yang tampak tersebut merupakan
refleksi apa yang ada di dalam pikiran pencipta dari hasil budaya tersebut.
Sebagai contoh perbedaan bentuk gagang cangkul orang Bugis dengan
orang Jawa pada umumnya. Gagang cangkul orang Bugis agak panjang
dengan tujuan, agar rileksasi dalam mencangkul tetap ada. Artinya, orang
Bugis dapat melakukan aktifitas mencangkul dalam keadaan dan posisi
badan tetap tegap. Sebaliknya, gagang cangkul orang Jawa pendek-pendek
dengan tujuan, agar energi yang digunakan dalam melakukan aktifitas
mencangkul tidak banyak terbuang. Artinya, orang Jawa memilih men-
cangkul dalam posisi agak telungkup dengan tujuan energi yang digunakan
dalam mengayun cangkulnya tidak terlalu banyak. Contoh lain dengan
adanya refleksi kognisi pencipta kebudayaan terhadap ciptaannya adalah
bentuk dan struktur rumah orang Bugis-Makassar.
Rumah bagi orang Bugis pada umumnya dan masyarakat adat Kajang
pada khususnya merupakan salah satu bentuk prestise tersendiri. Dengan
demikian, setiap warga masyarakat adat Bugi-Kajang menjadikannya
sebagai suatu bentuk kebutuhan dasar (basic atau primary need), selain
kebutuhan-kebutuhan lainnya. Bila orang Kajang ditanya impian dan tujuan
hidupnya, mereka akan menjawab dengan penuh sederhana dan simpel
sebagaimana dalam pasang (pesan lisan dari leluhur), bahwa a'ra'ki' nganre
narie', riek care-carenna, riek bolana situju-tuju, riek galunna na kokonna, riek
pammali juku'-na, anjomi nikua katallassang ganna'mi artinya ‘kita mau makan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 75


ada makanan, mau berpakaian ada pakaian, mau berteduh ada rumah yang
sederhana, butuh pangan ada sawah dan ladang, serta mau membeli
ikan ada uang, itulah yang dimaksud dengan kehidupan sesungguhnya’.
Jawaban tersebut mencerminkan prinsip hidup kamase-maseyya (hidup
bersahaja) yang merupakan tuntunan dari Tu' Rie' A'ra'na (sang Pencipta).
Rumah bagi orang Bugis-Makassar dianggap sebagai suatu bentuk
tolok ukur kesatriaan dan tanggung jawab seorang laki-laki dalam kapasi-
tasnya sebagai kepala rumah tangga. Seorang laki-laki yang mampu
membuatkan rumah untuk istri dan anaknya disebut sebagai orowane sulapa'
eppa’ artinya 'laki-laki yang satria dan bertanggung jawab’. Seorang laki-laki
yang tidak mampu membangun tempat tinggal buat keluarganya dan tetap
menumpang pada keluarga digelar sebagai makkunrane atau calabai artinya
‘seorang laki-laki yang tidak bertanggung jawab atau diseja-jarkan dengan
bencong atau waria’.
Rumah adalah mikrokosmos dari alam jagad raya ini. Oleh karena itu,
pembagian tata ruang orang Bugis Makassar menyerupai dengan tata ruang
jagad raya ini. Bagian atas rumah disebut sebagai rakkiang (loteng atas),
tengah rumah disebut ale bola (lantai tengah) dan bawah rumah disebut sao
bola (bagian bawah rumah). Pembagian seperti ini didasarkan pada pem-
bagian susunan bumi menurut persepsi orang Bugis-Makassar, yaitu: Langi'
(langit), liu atau lino (dunia tempat kita hidup) dan buri' liu (dunia bawah).
Konsep kosmologi dunia atas (langit) dianggap sebagai tempat bersema-
yamnya para dewa bagi penganut Hindu dan langit tujuh susun dalam
kosmologi orang Islam. Hampir semua benda yang disimpan pada loteng
atas rumah orang Bugis adalah benda-benda yang dianggap memiliki nilai
sakral. Padi, misalnya, dianggap jelmaan dari dewa padi (Sang Hyng Sri)
selalu harus disimpan di atas loteng. Kesakralannya terletak pada sebuah
ritual adat penyimpanan padi di loteng (mappaenre’ ase). Di loteng ini pula
sering disimpan benda-benda budaya (cultural oranaments), seperti: harta
pusaka, bakul tempat uang, tempat tinggal kucing dan lumbung padi.
Sedangkan bagian tengah rumah (ale bola) digunakan sebagai tempat inter-
aksi sosial sehari-hari. Ruang tengah rumah orang Bugis juga memiliki tiga
kosmos, yaitu: bagian depan rumah (latte’ riyolo) dijadikan sebagai tempat
atau ruang tamu, bagian tengah rumah (latte’ ritengnga) dan bagian belakang
rumah (latte’ riboko’atau jongke’) tempat memasak dan membuang air kecil
dan gudang persiapan konsumsi. Dibagian bawah rumah (sao bola) yaitu
tempat penyimpanan alat-alat pertanian, bahan ramuan rumah dan tempat
ternak. Pada masa lampau seseorang yang dilarang keras melewati drainase
rumah (passiring), karena dianggap melanggar privasi pemilik rumah 25.
25
Lihat Gising (2008) dalam bukunya Sejarah Kerajaan Bulo-Bulo Tondong Lamatti: Mani-
pestasi Sinjai Bersatu, yang mengulas kasus Arung Laganing yang dibunuh oleh I

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 76


Seseorang yang hendak melewari kolong rumah seseorang harus meminta
izin kepada pemiliki rumah melalui pesan lisan: punna bola lalowa’ riyawa
bolamu artinya ‘wahai tuan rumah saya numpang lewat di kolong rumah-
mu’.
Selain itu rumah juga dianggap sebagai mikrokosmos dari tubuh
manusia. Hal ini tercermin di dalam pembagian ruang rumah, seperti;
bagian depan disebut ulu bola (kepala rumah), bagian tengah rumah watam-
pola (tubuh atau badan rumah) dan bagian belakang rumah disebut uri'
bola (pantat rumah). Jadi, sangat jelas di sini, bahwa rumah dipersonifikasi
sesuai dengan bentuk tubuh manusia. Kepala dianggap sebagai bagian
tubuh yang paling mulia, karena di kepalalah sebagaian panca indera ada:
1) telinga untuk mendengar, 2) mata untuk melihat, 3) lidah untuk menge-
cap dan 4) hidung untuk penciuman. Di dalam kepala juga terdapat otak,
yang digunakan untuk berfikir. Badan rumah diasosiasian dengan badan
manusia, dimana terdapat dua tangan untuk berbuat sesuatu. Di bagian
belakang rumah (uri’ bola) tempat, dimana hal-hal yang berkenaan dengan
anus yaitu tempat kotoran-kotoran terbuang. Di bagian belakang rumah
terdapat tempat buang air kecil dan kadang-kadang tinja, ketika pemiliki
rumah dalam keadaan sakit. Kolong rumah terdapat comberan untuk
menampung dan mengalirkan air sisa pembuangan konsumsi ke parit besar.
Penganut aliran strukturalis, seperti Claude Levi-Strauss (1968) yang
melihat kebudayaan sebagai suatu struktur sosial (social structure) memang
selalu menjatuhkan pilihannya pada kebudayaan yang tampak di atas.
Akan tetapi, pengertian struktur di sini jangan dikacaukan dengan struktur
(structure) dalam pengertian awam yaitu sesuatu yang dapat dilihat atau
sesuatu yang terstruktur. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan
struktur oleh Levi-Strauss? Ia melihat struktur itu sebagai sesuatu yang
tidak nyata dan manifestasinya tidak ril, karena hal itu berupa model-model
kognitif dari sebuah kenyataan. Struktur yang dimaksud adalah berupa
seperangkat norma (norms), nilai (values) dan aturan (rules) yang tersusun
menjadi sebuah model mental imaginasi (cognition).
Selain itu, menurut pandangan teori strukturalisme, bahwa di dalam
keanekaragaman budaya ada sebuah struktur pembentuk yang sifatnya
universal, yang sama dimanapun dan kapanpun juga. Claude Levi-Strauss
adalah pendiri faham strukturalisme, yang pertama kali menjelaskannya

Massalinri. I Laganing marah kepada I Massalinri yang melewati kolong rumahnya


tanpa seizin dengannya terlebih dahulu. Keduanya terlibat adu mulut yang berujung
pada kematian Arung Laganing. Ia didatangi oleh I Massalinri di tengah malam buta
dengan hujan gerimis memberi kesempatan seluas-luasnya kepada I Massalinri untuk
membunuh Laganing, yang teridur pulas dengan buaian desis angin sepoi-sepoi
ditambah percikan air di selokan istana Arung Laganing.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 77


secara lebih rinci dan detail tentang prinsip-prinsip dasar struktural. Ia
adalah seorang ahli antropologi Prancis, yang konsisten menggunakan
paradigma struktural dalam pemahaman atas fenomena sosial-budaya yang
beraneka ragam.
Pada prinsipnya, ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam
mengkaji, menginterpretasi dan mempelajari fenomena-fenomena kebuda-
yaan: 1) evolusi, 2) difusi, 3) fungsionalisme, 4) strukturalisme dan 5) mate-
rialisme. Teori-teori tersebut mengalami pasang-surut sejalan dengan
waktu. Kekuatan dari masing-masing teori tersebut akan diuji melalui
realitas kehidupan manusia. Ketangguhan sebuah teori akan terbukti
apabila ia memiliki daya guna bagi manusia dalam mencapai kemaslahatan.
Dengan demikian, adakalanya sebuah teori harus hilang (anomali), lalu
digantikan oleh teori baru, karena teori itu dianggap sudah tidak relevan
lagi dengan realita kehidupan. Menurut Thomas S. Kuhn (1962) dalam
bukunya The Structure Of Scientific Revolution, bahwa paradigmalah yang
membimbing peneliti untuk menjelaskan temuannya secara ilmiah. Akan
tetapi, ketika yang bersangkutan tidak bisa menjelaskan temuannya dengan
menggunakan prinsip-prinsip ilmiah, itulah yang disebut anomali. Jadi,
anomali artinya ketika sebuah temuan konsep atau teori terbantahkan,
karena tidak sesuai dengan hasil temuannya dengan fakta dan fenomena di
lapangan.
Pendekatan kajian teks dan konteks, saat sedang naik daun. Kajian
tekstual merupakan kajian yang memandang fenomena budaya sebagai
suatu teks yang relatif berdiri sendiri. Kajian kontekstual, di pihak lain,
merupakan kajian yang menempatkan fenomena tersebut dalam konteks
yang lebih luas, yaitu konteks sosial-budaya masyarakat tempat fenomena
budaya tersebut muncul dan berkembang.
Menurut Ahimsa Putra (2000), bahwa kajian kontekstualistik tampak-
nya akan semakin didominasi oleh pendekatan ekonomi dan politik yang
sedikit banyaknya bersangkut paut dengan fenomena budaya tersebut.
Dalam kajian tekstualistik boleh dikatakan didominasi oleh pendekatan
hermeneutik (interpretative) dan pendekatan struktural ala Lévi-Strauss.
Akan tetapi, saya perlu jelaskan disini, bahwa pendekatan hermenutik, tidak
banyak saya jelaskan dalam buku ini. Mengapa, ketika saya berbicara
tentang pedekatan strukturalisme, saya pasti akan berhadapan dengan
prinsip-prinsip teori strukturalisme Lévi-Strauss.
Menurut Levis-strauss masyarakat bersahaja dianggapnya sebagai
contoh dari masyarakat elementer dan manusia yang hidup di dalamnya
tentu berfikir secara elementer pula (la pensee sauvage). Masyarakat bersahaja

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 78


biasanya didominasi oleh sistem kekerabatan (kindship)26. Warga-warganya
berinteraksi berdasarkan sistem simbolik yang menentukan sikap mereka
terhadap paling sedikit tiga kelas kerabat, yaitu: a) kerabat karena hubung-
an darah, b) kerabat karena hubungan kawin dan c) kerabat karena hubung-
an keturunan. Hubungan antara saudara sekandung dan hubungan karena
perkawinan, menurut Levi-strauss secara universal selalu bertentangan satu
dengan yang lainnya berdasarkan kebutuhan mereka. Seorang individu
biasanya akan bersikap positif dalam hubungannya dengan iparnya.
Kehidupan kekerabatan menurut Levi-strauss dianggap hubungan positif,
berdasarkan sikap bersahabat, mesra dan cinta-mencintai. Sedang-kan, yang
dianggap hubungan negatif adalah hubungan berdasarkan sikap sungkan,
resmi dan menghormati. Hubungan ini biasanya terlihat di dalam hubung-
an mertua-menantu dan kemanakan-paman.
Salah satu bentuk kelebihan teori strukturalisme, karena mampu
menjelaskan sistem kekerabatan dan mitologi. Hubungan keduanya dapat
dijelaskan melalui sistem simbolis, sehingga sistem kekerabatan secara
simbolik dibuat dalam bentuk berpasang-pasangan (system biner), yaitu:
bapak-ibu, adik-kakak, tante-paman, anak kandung-anak tiri, nenek-kakek
dan sebagainya. Selain itu, teori strukturalisme mampu membedakan tiga
hubungan kekerabatan secara primer, yaitu: matrilineal, patrilineal dan
parental. 
Keseluruhan fenomena di atas harus dilihat sebagai satu rangkaian
secara totalitas (holistis). Saya dan juga teman-teman budayawan lainnya
akan mengkaji fenomena tersebut dengan menggunakan kacamata elang,
bukan dengan kacamata bendi. Masalah sagu, misalnya, bagi orang Luwu
tentu harus dibedakan dengan masalah sagu di kalangan orang Bugis.
Rangkaian fenomena bagi orang Luwu tentang sagu sangat panjang diban-
dingkan dengan rangkaian fenomena sagu orang Bugis. Orang Luwu me-
ngonsumsi sagu sebagai makanan pokok, sedangkan orang Bugis men-
jadikan sagu sebagai makan tambahan. Ketika orang Luwu dan ahli kuliner
Luwu meneliti tentang kuliner sagu, tentu saja tidak sedalam dengan orang
Bugis yang tidak ahli dalam kulier sagu. Saya ambil contoh kapurung
(makanan khas Luwu), yang dibuat oleh orang Luwu jauh lebih enak
dibandingkan dengan kapurung yang dibuat oleh orang luar Luwu. Meng-

26
Lihat Fox, Robin (1967: 30) sistem kekerabatan adalah jaringan hubungan sosial yang
membentuk bagian penting dari kehidupan semua manusia di semua masyarakat,
meskipun arti persisnya bahkan dalam disiplin ini sering diperdebatkan. Menurut Robin,
studi tentang kekerabatan adalah studi tentang apa yang dilakukan manusia dengan fakta-
fakta dasar kehidupan: pernikanan, reproduksi, kehamilan, orang tua, sosialisasi,
persaudaraan, dan sebagainya.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 79


apa demikian, karena khasanah kebudayaan orang Luwu tentang kapurung
jauh lebih banyak dibandingkan dengan orang luar Luwu.
Jadi, kesimpulan saya di sini, bahwa ketika kita (anda dan saya) ber-
fikir holisme tentang kebudayaan, maka kita harus menggunakan prinsip-
prinsip holisme ilmu budaya dan bukan holisme antropologi (lihat pem-
bahasan selanjutnya). Menurut saya, sangat salah ketika kita berada di
bawah naungan ilmu budaya (the science of culture) masih tetap mau ber-
naung dibawah payung raksasa antroplogi. Ada perbedaan ranah kajian
antara ilmu budaya dengan antropologi dalam menjamah masalah kebu-
dayaan. Perbedaannya terletak pada perspektif yang digunakan. Sekali lagi
saya katakan disini, bahwa ilmu budaya membedah kebudayaan dengan
menggunakan pisau-pisau kajian kebudayaan bukan kajian manusia
(anthro-pos). Jadi, menurut saya sangat salah ketika anda harus mengupas
sebiji mangga dengan menggunakan kapak atau parang, karena yang cocok
adalah pisau dapur yang tajam. Demikian pula ketika anda hendak
membelah kelapa, yang dibutuhkan adalah kapak atau parang dan bukan
lagi pisau dapur.
b. Holisme dalam Antropologi
Holisme adalah suatu pemikiran yang menyatakan, bahwa sistem alam
semesta, baik yang bersifat fisik, kimiawi, hayati, sosial, ekonomi, mental-
psikis, maupun kebahasaan, harus dipandang sebagai sesuatu yang utuh
dan bukan merupakan sesuatu yang terpisah. Sistem alam, yang begitu
rumit dan kompleks tidak dapat dipahami bila kita hanya mempelajarinya
dengan cara parsial-parsial. Sistem tersebut harus dipejari secara utuh dan
menyeluruh. Perlu saya tekankan disini, bahwa holisme pada perinsipnya,
harus dibangun di atas sebuah sistem. Sistem adalah sebuah rangkaian yang
saling mendukung satu sama lain, sehingga bila ada salah satu sistem yang
rusak, yang lainnya juga ikut bermasalah. Saya dapat analogkan disini,
bahwa holisme yang tidak bersistem dapat dipastikan gagal, karena holisme
adalah kesatuan dan keutuhan dari semua fenomena kajian yang ada.
Kata holisme pertama kali diperkenalkan pada tahun 1926 oleh Jan
Smuts dalam bukunya yang berjudul Holism and Evolution. Ia adalah seorang
negarawan asal Afrika Selatan. Menurutnya asal kata holisme diambil dari
bahasa Yunani holos, yang berarti ‘semua atau keseluruhan’. Smuts mende-
finisikan holisme sebagai sebuah kecenderungan alam untuk membentuk
sesuatu yang utuh, sehingga sesuatu tersebut lebih besar daripada sekadar
gabungan-gabungan dari hasil evolusi. Salah satu cabang dari antropologi
yaitu etnologi mutlak menggunakan prinsip holisme dalam kajiannya. Se-
orang etnografer, sekaligus misionaris dari Perancis bernama Maurice Leen-
hardt, mencetuskan istilah cosmomorfisme untuk mengindikasikan adanya
hubungan timbal-balik yang sempurna antara seseorang dengan lingkung-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 80


annya. Ia melakukan penelitian, sekaligus melakukan misinya di Melanesia,
khsusnya di Kaledonia Baru. Ia mengalami sedikit masalah, karena masya-
rakat di daerah tersebut tinggal secara teripisah. Akibatnya, individu teriso-
lasi dari individu lainnya dan tidak memiliki status yang jelas, sekalipun ia
hidup di lingkungan Kaledonia Baru. Dengan hanya mengenal seorang
individu, tentu saja Maurice Leenhardt tidak dapat mengambil sebagai
patokan untuk mengenal sebuah komunitas. Ia kemudian menggunakan
perspektif holisme dengan cara mengumpulkan data (kognisi, perilaku dan
hasil perilaku) dari seluruh warga yang berdomisili di wilayah Melanesia,
khsusnya di Kaledonia Baru. Itulah sebabnya, ia mencetuskan cosmomorfisme
sebagai sinyal kepada semua peneliti, bahkan misionaris lainnya, agar
meletakkan perinsip holisme sebagai paradigma penting dalam kajiannya.
Lawan dari holisme adalah reduksionisme, yaitu paham yang menya-
takan, bahwa suatu sistem yang kompleks dapat dijelaskan dengan cara
mempelajari hal-hal yang menjadi dasar sistem tersebut (reduction). Saya
ambil contoh, proses biologis dapat dijelaskan melalui proses kimiawi.
Proses kimiawi tersebut kemudian dapat diterangkan melalui proses fisika.
Akibatnya, proses fisika dapat menjelaskan proses kimiawi yang menjadi
dasar terjadinya proses biologis. Akan tetapi, pekerjaan seperti ini sangat
sulit, karena peneliti diperhadapkan pada dua bidang ilmu (biologi dan
fisika), yang masing-masing memiliki wilayah kajian tersendiri. Bisa
dibayangkan berapa waktu dibutuhkan untuk mereduksi fenomena bilogi
menjadi yang sekecil-kecilnya. Berapa lama pula waktu yang dibutuhkan
untuk mereduksi fenomena biologi menjadi yang sekecil-kecilnya. Saya juga
akan mengutip pendapat Nicholas A. Christakis, bahwa dalam beberapa
abad terakhir, proyeksi Cartesius dalam ilmu pengetahuan berhasil
memisahkan suatu permasalahan hingga menjadi bagian-bagian yang lebih
kecil dengan tujuan untuk memperoleh suatu pemahaman. Sekalipun ia
berhasil dalam memisah-misahkan sesutu hingga pada batasan-batasan
tertentu, namun ia tidak mampu menyatukan kembali bagian-bagian kecil
tersebut menjadi suatu kesatuan yang utuh (Auyang, 1999).
Istilah holisme dipakai, baik dalam antropologi sosial maupun budaya,
untuk menjelaskan keadaan suatu masyarakat dimana masyarakat dipan-
dang sebagai suatu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dibagi menjadi
komponen-komponen yang lebih kecil. Berdasarkan konsep holisme, se-
orang antropolog tidak boleh menganggap, bahwa batas-batas institusional
yang ditetapkan dalam masyarakat obyeknya tidak boleh diberlakukan
untuk masyarakat yang lain.
Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, bahwa salah satu perbedaan
antara pendekatan holisme di dalam ilmu budaya dan antropologi adalah
terletak pada paradigma dari kedua bidang ilmu tersebut. Ilmu budaya

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 81


melihat kebudayaan sebagai kebudayaan (disipliner), tetapi antropologi
melihat kebudayaan lewat pintu manusianya (interdisiplnier). Jadi, saya
dapat berkesimpulan, bahwa holisme dari kedua bidang ilmu tersebut pasti
berbeda, karena keduanya berangkat dari ontologi yang berbeda. Ontologi
ilmu budaya adalah kebudayaan (the science of culture), sementara ontologi
antropologi adalah manusia (the study of man). Permasalahan yang kemu-
dian timbul adalah manusia menciptakan kebudayaan demi untuk mem-
permudah penyelesaian masalahnya. Jadi, ketika seorang antropolog
hendak menerapkan holisme kajiannya dalam masalah manusia (anthropos),
maka secara otomatis harus menukik lebih kedalam yaitu kajian kebu-
dayaan dan budaya. Hasil kajian seorang antropolog dianggap tidak
holistis, ketika hanya membahas masalah manusia sebagai individu yang
terpisah dari kebudayaannya. Ketika para antropolog mengatakan, bahwa
ontologi antropologi adalah manusia dan kebudayaan, berarti kajiannya
tersebut dipastikan bias (rancu), karena salah satu label keabsahan ilmu
pengetahuan adalah tidak memiliki lebih dari satu ontologi. Demikian pula
ketika seorang budayawan hendak mengkaji kebudayaan secara holistis
harus menetapkan kebudayaan (juga budaya) sebagai ontologinya.
Saya sendiri sangat menyayangkan ketika seseorang yang melabel
dirinya sebagai budayawan, tetapi kajian-kajiannya masih tetap tergantung
pada studi manusia (antropologi). Akibatnya, hasil kajian antara budaya-
wan dan antropolog menjadi rancu, karena keduanya tidak memperhatikan
perinsip mayor-minor dalam domain kajian masing-masing. Saya ambil
contoh dua mata kuliah yang secara sepintas lalu sama, namun kajian
mayor dan minornya sangat berbeda. Mata kuliah linguistik antropologi dan
antropolinguistik memiliki prinsip minor dan mayor yang sangat berbeda,
sehingga membutuhkan paradigma dan perspektif yang berbeda pula.
Linguistik antropologi main major kajiannya adalah manusia dan main
minornya adalah bahasa. Artinya, seorang peneliti harus meletakkan studi
manusia sebagai main fokusnya, dengan menggunakan pisau-pisau ilmu
bahasa dalam kajiannya. Sebaliknya, antropolinguistik memiliki wilayah
kajian mayor bahasa dan minornya adalah antropologi. Artinya, seorang
peneliti antropolinguistik harus menggunakan pendekatan antropologi
dalam mengkaji bahasa sebagai ontologinya. Jadi, sebelum kita (saya dan
anda) melakukan penelitian pada kedua bidang kajian tersebut di atas,
terlebih dahulu harus menentukan: ontologi (obyek formal), epistemologi
(proses dan cara oengkajian) dan aksiologi (hasil kajian). Bila tidak, berarti
saya dan anda akan menghasilkan kajian yang tidak jelas, bahkan kajian
yang bias.
c. Perspektif Holisme dalam Penelitian

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 82


Hampir seluruh kajian ilmu budaya dan ilmu-ilmu sosial lainnya,
terutama kajian tentang kebudayaan selalu membutuhkan pendekatan
holisme dan komparasi guna mendapatkan esensi dari hubungan antara
manusia dengan kebudayaan. Manusia sebagai pencipta kebudayaan harus
dipandang secara totalitas dalam hubungannya dengan kebudayaan.
Hubungan antara manusia dengan kebudayaan sangat kompleks, sehingga
kajian parsial sangat tidak memungkinkan. Oleh karena itu, di dalam buku
berjudul Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar, betul-betul mengantar para pem-
bacanya guna memahami perinsip-prinsip dasar dalam studi kebudayaan
dan budaya.
c.1 Pandangan Antropologis
Ada dua pendekatakan dalam antropologi budaya kontemporer, yang
saat ini lagi naik daun: materialisme budaya dan antropolog interpretatif.
Pakar materialisme budaya Marvin Harris memandang kebudayaan sebagai
gaya hidup yang diperoleh secara sosial dari sekelompok orang. Definisi ini
mempertahankan penekanan pada holisme yang ditetapkan oleh Tylor.
Sebaliknya, Clifford Geertz, yang berbicara tentang penafsiran kebudyaan,
mendefinisikan kebudayaan sebagai sesuatu yang terdiri dari simbol,
motivasi, suasana hati dan pikiran. Para penganut interpretatif menge-
nyampingkan perilaku (karsa) dari hasil perilaku (rasa) sebagai bagian
utama dari analisis interpretatif kebudayaan. Dengan demikian, dapat
disimpulkan, bahwa para penganut interpretatif lebih mengarah pada
bagaimana menginterpetsi sistem pengetahuan (cultural knowledge) yang
dimiliki oleh manusia. Penganut interpretatif memokuskan analisisnya pada
simbol-simbol budaya sebagai representasi dari tanda (sign). Simbol pula
yang menjadi acuan persepsi yang kemudian berakhir pada pengertian
(referent).
Perlu juga saya jelaskan di sini, bahwa pendekatan holistik memung-
kinkan para antropolog untuk mengembangkan pemahaman tentang
masyarakat yang kompleks. Antropologi juga menambahkan dimensi lain
dari analisisnya melalui perbandingan lintas budaya (multy cultural systems).
Ketika seorang antropolog, misalnya, meneliti masyarakat tertentu, ia pasti
tertarik untuk meneliti bagaimana masyarakat itu mirip atau berbeda dari
yang lainnya. Hal ini memungkinkan para antropolog untuk mengkaji apa
yang tampak (nyata atau alami) di dalam dunia kebudayaan tempat mereka
meneliti. Sebagai contoh, seorang antropolog yang sedang mempelajari
konflik Hutu-Tutsi di Rwanda akan memahami kasus-kasus kekerasan
sosial yang mirip atau serupa di tempat lain. Ia harus memahami esensi
konflik yang terjadi di Serbia-Kroasia-Albania di negara bekas Yugoslavia,
yang juga memiliki tendensi kekerasan sosial. Kedua bentuk konflik ini
menyebakan terjadinya kekerasan, bahkan berakhir pada pembersihan etnis

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 83


(genocide)27. Istilah genosida diperkenalkan oleh Raphael Lemkin dalam
bukunya Axis Rule in Occupied Europe 1944 (dalam Schabas, 2000; Geoffrey,
2018). Itu telah diterapkan pada Holocaust dan banyak pembunuhan massal
lainnya: genosida masyarakat adat di Amerika, Armenia, Yunani, Asyur,
Serbia, Holodomor, Indonesia, Guatemala, Bangladesh 1971 dan genosida
Kamboja. Pembunuhan massal yang terjadi setelah tahun 1980: genosida
Bosnia, Kurdi, Darfur dan genosida Rwanda. Pendalaman dari kedua kasus
ini menghasilkan kajian holisme, karena keduanya memang memiliki ciri
dan sifat konflik yang sama. Akan tetapi, untuk memperoleh hasil yang
maksimal, antropolog yang bersangkutan harus membandingkan dengan
kasus yang mirip yaitu gerakan separatisme di Quebec, yang ternyata tidak
menyebabkan terjadinya kekerasan massal.
c. 2 Holisme Sebagai Pendekatan dan Strategi Penelitian
Holisme juga dilihat sebagai strategi penelitian yang memisahkan
antropologi budaya dari disiplin lainnya. Holisme adalah pencarian
hubungan sistematis antara dua atau lebih fenomena. Salah satu keuntung-
an dari periode kerja lapangan yang panjang (long term researches)dan
observasi partisipan penuh (full participation research) adalah memberi
kesempatan kepada antropolog untuk melihat hubungan timbal balik antara
berbagai aspek budaya. Salah satu contohnya adalah penemuan hubungan
antara kondisi ekologis, pola subsistensi dan organisasi sosial. Pendekatan
holistik memungkinkan untuk mendokumentasi hubungan sistematis antara
variabel-variabel ini, sehingga memungkinkan terungkapnya ber-bagai
hubungan dalam sistem, yang pada akhirnya menuju ke pemahaman
prinsip-prinsip umum dan konstruksi teori.
Dalam istilah praktis, holisme juga mengacu pada pendekatan multi-
fase untuk mempelajari kebudayaan. Antropolog yang bekerja di lingkung-
an kebudayaan tertentu biasanya memperoleh informasi tentang topik yang
tidak terlalu penting, atau bahkan sangat menarik, untuk proyek penelitian-
nya. Akan tetapi, ketika antropolog menggambarkan kebudayaan yang
mereka kerjakan, biasanya tidak dapat menghindari diskusi tentang sejarah
kebudayaan, linguistik, sistem politik dan ekonomi, pola pemukiman, ideo-
logi dan agama. Seorang antropolog harus melihat rangkaian variabel ini
dalam satu kesatuan yang utuh (holisme). Selain itu, seorang antropolog
harus pandai-pandai menyeimbangkan antara pendekatan emik dan etik
dalam pekerjaan mereka. Mereka juga harus memahami masalah teoritis
tertentu, karena kebudayaan merupakan landasan yang baik untuk penguji-
27
Genosida adalah tindakan yang disengaja untuk menghancurkan orang (biasanya
kelompok etnis, nasional, ras, atau agama) secara keseluruhan atau sebagian. Etimologi
kata genosida adalah kombinasi dari kata Yunani génos (ras, orang) dan Latin suffix-cide
(tindakan membunuh).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 84


an teori. Perspektif holistik antropologi membantu pekerja lapangan mema-
hami pola ini. Holisme berarti, bahwa antropolog melihat seluruh konteks
masyarakat ketika menganalisis fitur tertentu. Saya ambil contoh, ketika
anropolog bermaksud untuk memahami kebiasaan minum teh di Jepang.
Seorang antropolog dalam menghadapi obyeknya, terlebih dahulu menyeli-
diki agama, estetika dan sejarah Jepang, ekonomi, hubungan sosial, politik
dan gender. Antropolog lain yang sedang meneliti medis di Jepang meng-
anggap, bahwa upacara minum teh merupakan salah satu bentuk terapi
alternatif bagi orang Jepang, yang selama ini tergantung pada dokter.
2. Pendakatan Komparasi dalam Ilmu Budaya dan Antropologi
Kebesaran dan keunggulan ilmu budaya terletak pada kedalaman
komitmen-komitmennya dalam rangka menggunakan metode komparatif
(comparative method) dalam pencapaian tujuannya. Para ahli budaya berbeda
dengan ahli lainnya, karena ia tidak melihat obyeknya hanya pada satu
sisi saja, melainkan melihat sesuatu dengan seluas-luasnya dengan meng-
gunakan ketajaman analisisnya. Jadi, tidak salah bila dikatakan, bahwa
seorang ahli budaya menggunakan kacamata elang28 dan bukan kacamata
bendi, yang hanya mampu melihat ke depan saja. Seorang ahli budaya tidak
mau menerima beberapa bentuk generalisasi sifat manusia yang diangkat
dari pengalaman mereka dalam masyarakat tertentu, bahkan dengan dua
atau tiga masyarakar lainnya. Jika, seseorang sedang berbicara tentang
manusia dan sifat manusia, seseorang perlu mengetahui keseluruhan fosil-
fosil tubuh manusia (rang of human biology), perilaku manusia (human beha-
vior) dan bentuk sosial (social forms) yang ditampakkannya melalui metode
komparatif ini.
Antropologi yang lebih dekat dengan ilmu budaya, sejak awal kajian-
nya tentang manusia dengan kebudayaannya, memang telah menggunakan
metode komparatif ini. Sebut saja nama, seperti J. J. Bachofen, Herbert
Spencer, L. H. Morgan, E. B. Tylor dan masih banyak yang lainnya. Dalam
memulai studi budayanya, mereka telah melakukan perbandingan
berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus kebudayaan yang ada di muka bumi
ini. Mereka termasuk perintis aliran evolusi uniliniar (uniliniar evololution)
yaitu suatu metode yang berusaha membandingkan tingkat perkembangan
suatu kebudayaan. Dengan demikian, terciptalah istilah kebudayaan

28
Penggunaan istilah kacamata elang di sini mengacu pada ketajaman penglihatan
seekor elang yang mampu mengindentifikasi mangsanya dalam jarak pandang yang
sangat jauh. Ketajaman penglihatan tersebut disebabkan oleh adanya kebebasan untuk
mem-bidik mangsanya dalam berbagai sudut. Sebaliknya, pemakaian istilah kacamata
bendi di sini dimaksudkan untuk menggambarkan pemahaman yang sempit dan hanya
satu arah oleh seseoang, seperti halnya seekor kuda yang dipasangi alat pembatas
penglihatan ketika sedang menarik gerobak yaitu hanya depan dan belakang saja.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 85


primitif dan kebudayaan modern atau populer (popular culture)29. Spencer
dalam bukunya The Evolution of Society, Lewis Henry Morgan dalam
bukunya Ancient Society dan Edward Burnett Tylor (1871) dalam bukunya
Primitive Culture, merupakan salah satu bukti kehebatan metode komparatif
yang mereka gunakan.
Meskipun demikian, tidak sedikit pula ahli budaya yang sangat jijik,
bahkan alergi dengan penggunaan metode ini. Sebut saja ahli antropologi
Inggris Levi-Strauss dan pengikut-pengikutnya, yang dengan terang-terang-
an menolak metode komparatif yang sedang dikembangkan di Inggris.
Mereka sangat yakin, bahwa upaya untuk memahami masyarakat dan
kebudayaan manusia pada umumnya harus melalui pendekatan holistic.
Artinya, semua unsur kebudayaan, hingga pada aspek yang sekecil-kecilnya
pun mempunyai fungsi yang bermakna bagi kehidupan masyarakat yang
bersangkutan dalam arti umum. Dalam analisis komparatif, menurut
mereka, seorang peneliti hanya mencabut unsur-unsur kebudayaan dari
konteks masyarakat yang hidup untuk dijadikan satu-satuan bandingnya.
Bronislow Malinowski juga ikut menentang metode komparatif ini dengan
melakukan penelitian observasi berpartisipasi langsung (full participation
observations) pada masyarakat Trobriand di Papua New Guinea. Bahkan,
untuk menjalin keintiman dengan informan-informannya di lapangan,
Malinowski menyempatkan diri belajar bahasa Trobriand dan berinteraksi
dengan informannya. Edmund Leach (1961: 4) seorang guru besar antropo-
logi di universitas London Inggris dalam bukunya The Thinking Anthropology
benar-benar mengecam metode komparatif ini. Leach, bahkan mengasosia-
sikan ahli-ahli budaya yang menggunakan metode komparatif melakukan
suatu pekerjaan segampang dengan pekerjaan seorang anak yang me-
nangkap dan mengumpulkan kupu-kupu di lapangan terbuka. Kecaman
keras pun dilontarkan Leach terhadap cara kerja A. R. Radcliffe Brown
(1900) yang membuat generalisasi dari beberapa pranata sosial melalui studi
komparatifnya. Brown memaksa para peneliti untuk menerobos dan meng-
isolasi pranata-pranata tersebut dari masyarakatnya yang masih hidup.
Kritik Leach lebih lanjut, bahwa pranata-pranata yang tidak dipahami
fungsinya adalah pranata yang sudah mati dan tidak mengandung makna
apa-apa lagi. Dengan demikian, kajian generalisasi seperti ini adalah
pekerjaan sia-sia dan tidak bersifat ilmiah. Satu-satunya, menurut Leach
lebih lanjut, yang mungkin mereka lakukan adalah generalisasi-generalisasi
yang bersifat tautologis. Tautologis adalah membuat pernyataan yang sudah

29
Lihat Alan Barnard (2004: 196), cultural studies the discipline concerned with the study of
mass culture, popular culture, etc. Although it touches on anthropological interests, it has its
origins in and its most direct links with literary criticism and sociology.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 86


diketahui umum, tapi itu pun masih pekerjaan yang menghabiskan waktu
dan menjengkelkan saja.
Kecaman yang tidak kalah pedasnya dilontarkan oleh Franz Boas
(1896). Boas sempat mempublikasikan kritikannya terhadap metode kompa-
ratif ini dalam artikel yang berjudul The Limitations of the Comparative Method
of Anthropology. Menurut Boas dalam prinsip relatifisme kebudayaan, semua
kebudayaan adalah sama dan tidak dapat dibandingkan antara satu dengan
yang lainnya. Oleh karena itu, tidak akan mungkin ada kebudayaan ter-
kebelakang dan kebudayaan yang lebih maju. Semua kebudayaan harus
dipandang sebagai dirinya sendiri, tanpa harus membandingkan dengan
yang lainnya. Oleh karena itu, sangat tidak mungkin pula menurut Boas
untuk mengatur oktaf tinggi atau rendahnya derajat sebuah kebudayaan
dalam jalur evolusi dan sejarah sebuah kebudayaan.
Boas kemudian memperlihatkan beberapa bentuk kelemahan metode
komparatif berikut ini: 1) sangat tidak mungkin mengetahui keseluruhan
tipe budaya dengan hanya mengklaim, bahwa kebudayaan itu sama, karena
adanya kesamaan berpikir manusianya, 2) penemuan kesamaan karakter
dalam sebuah kebu-dayaan tidak terlalu penting bagi para ahli budaya
yang akan memakainya dan 3) kesamaan karakter yang ada boleh
dikembangkan untuk berbagai alasan dalam kebudayaan yang berbeda dan
4) pandangan yang menyata-kan, bahwa perbedaan-perbedaan kebudayaan
sangat mengakar, juga tidak terlalu berdasar, karena perbedaan kebudayaan
itu hanya penting bagi penelitian etnografi, bukan ilmu budaya.
Franz Boas berusaha mengubah dan menjawab kelemahan metode
komparatif tersebut dengan penekanan berikut: 1) adat-istiadat harus
dipelajari dalam bentuk detail dengan melihatnya sebagai bagian dari
kebudayaan secara menyeluruh dan 2) distribusi adat-istiadat terhadap
kebudayaan sekitar juga harus dianalisis, tetapi tidak melalui sebuah per-
bandingan.
Dengan adanya perseteruan dua kubu di atas, A. J. F. Kobben (1952
dan 1970) guru besar antropologi di Amsterdam membagi dua kelompok
ahli budaya, yaitu: 1) orang-orang yang merintis dan menggunakan metode
komparatif dalam kajiannya disebut komparatifis (comparativist) dan 2) yang
tidak percaya atau tidak pernah mau kompromi dengan metode komparasi
disebut anti-komparatifis (non-comparativist). Kobben sendiri sangat setuju
dan tidak apriori pada salah satu kubu di atas. Ia, bahkan melihat beberapa
keuntungan yang dapat diperoleh dari perseteruan tersebut, karena menu-
rutnya keduanya saling menunjang, serta keduanya mempunyai kelebihan
dan kekurangan masing-masing. Keuntungan yang mungkin dapat dipetik
dari yang komparasi adalah tersedianya bank data dari berbagai kebu-
dayaan dari suku bangsa di atas dunia ini melalui sistem komparasi dari

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 87


kebudayaan-kebudayaan yang ada. Seorang ahli budaya yang memilih
menggunakan metode komparasi tersebut, secara otomatis harus mem-
pelajari sekurangnya dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan tuju-
an untuk mencari generalisasi. Sebaliknya, keuntungan yang dapat diper-
oleh dari penganut metode anti-komparasi adalah tersedianya data yang
betul-betul akurat dan sahih dibandingkan dengan anti-komparasi tersebut.
Seorang anti-komparasi dalam melakukan kajiannya cenderung tidak
melirik kebudayaan lain selain yang ada di depannya. Konsekuensi logisnya
dia melihat kebudayaan itu sebagaimana adanya, sehingga pembahasannya
cenderung tidak bias dengan prinsip-prinsip budaya lainnya.
Menurut Gopala Sarana (1975), bahwa dalam ilmu antropologi kurang
lebih ada empat macam penelitian komparatif, yaitu: (1) penelitian kompa-
ratif dengan tujuan menyusun sejarah kebudayaan manusia secara infe-
rensial, (2) penelitian komparatif untuk menggambarkan suatu proses per-
ubahan kebudayaan, (3) penelitian komparatif untuk taxonomi kebudayaan
dan (4) penelitian komparatif untuk menguji korelasi-korelasi antar unsur,
antar pranata dan antar gejala kebudayaan. Poin 4 (empat) dilakukan guna
membuat generalisasi tentang tingkah-laku manusia pada umumnya.
B. Pendekatan Emik dan Etik
Hunter (1982: 274) mendefinisikan etik sebagai the perspective of Western
social science in general and anthropology in particular, as applied to the study of
different cultures. Dalam Bohannan (1988: 378) juga disebutkan, bahwa
beberapa ahli budaya, khususnya Marvin Harris mendekati problematika
budaya melalui pendekatan etik. Ia melihat dasar-dasar keobyektifan dan
memberikan alasan materealis terhadap fenomena yang ada. Kebudayaan
yang kita miliki dalam menjawab pertanyaan adalah salah bila menggu-
nakan emik, karena itu tidak dapat diterima oleh semua kalangan. Orang
India tidak memakan daging sapi, misalnya, karena alasan ekonomi bukan
agama. Memakan daging sapi berarti akan memutus mata rantai suplai
susu, karena berkurangnya binatang peliharaan secara drastis. Alasan
agama merupakan representasi dari alasan emik dalam kebudayaan orang
India, yang tidak memakan daging sapi. Pendekatan inilah mungkin yang
secara umum digunakan oleh ahli-ahli materialisme kebudayaan lainnya.
Hal ini pulalah yang menjadi perbedaan cukup signifikan dengan ahli-ahli
budaya lainnya, yang cenderung menggunakan emik dan menghindari etik
di lapangan.
Menurut Smith (1990: 92) bahwa emics is the culturally organized cogni-
tive constructs of a people being investigated (the folk perspective). Awalnya, isti-
lah ini diperkenalkan oleh seorang linguis (ahli bahasa) bernama Kenneth L.
Pike (1967) yang diturunkan dari kata fonetik dan fonemik. Fonetik mem-
perhitungkan bahasa berdasarkan pada pengukuran fisik bunyi, berbeda

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 88


dengan fonemik yang memokuskan diri pada model-model perbedaan
bunyi yang diucapkan oleh penutur secara sadar atau tidak sadar (conscious
or unconscious). Perbedaan antara emik dan etik dalam ilmu budaya menjadi
hangat beberapa waktu, ketika digunakan untuk mengkontraskan antara
model realitas indigenus dari eksplikasi (explication) dan presentasi (presen-
tation) di salah satu pihak dibandingkan dengan deskripsi dan perbanding-
an sistem sosial menurut keriteria si peneliti di pihak lain.
Oleh karena itu, analisis emik yang menekankan pada arti subyek
(subject meaning) yang tergabung di dalam kelompok sosial dan kebudaya-
annya membentuk model pengalaman. Sementara analisis etik mengacu
pada pengembangan dan aplikasi dari model-model yang diangkat dari
analis-analis teori formal dan kategori formal. Kontras seperti ini dihubung-
kan dengan perdebatan relativisme budaya (cultural relativism) dan posisi
kontroversinya (cultural ethnocentrism) dalam ilmu budaya. Meskipun demi-
kian, dalam pandangan umum, perbedaan emik dan etik itu bukanlah
sesuatu yang perlu diperdebatkan dalam ilmu budaya. Apa yang dibedakan
dalam disiplin ilmu ini, justru kombinasi perbedaan model masyarakat
budaya (natives model), termasuk di dalamnya model natif data kebudayaan
dari peneliti sendiri. Model natif tersebut diangkat dari kebudayaan dan
masyarakatnya dengan penekanan sintetis teori atau generalisasi (generali-
zation). Perbedaan emik dan etik, sebaliknya tidak dapat digunakan untuk
mengklasifikasi atau membagi pendekatan ilmu budaya ke dalam kategori
formal. Mengapa, karena hal itu tidak pernah mengacu pada area kontro-
versi yang kursial. Hak ini juga tidak penah menjadi sesuatu yang sangat
penting di dalam ilmu budaya.
Kaplan dan Manner (2000: 29-31) menyebut prinsip emik dan etik
sebagai pandangan dari dalam terhadap kebudayaan (emik) dan pandangan
dari luar terhadap suatu budaya (etik). Pandangan yang didasarkan pada
kategori konseptual warga budaya yang bersangkutan disebut sebagai pen-
dekatan emik. Sedangkan pemerian menurut susunan kategori konseptual
dalam ilmu budaya atau sebagaimana kebudayaan itu dipandang dari luar
disebut pendekatan etik. Menurut B. Malinowski (1992), hendaknya tujuan
yang dijangkau oleh etnografi adalah penangkapan hal-hal yang harus
diketahui seseorang, agar mampu mengenal dan menjelajahi seluk beluk
suatu kebudayaan tertentu. Sekalipun demikian, pendekatan emik juga
memiliki beberapa kekurangan, karena; 1) Kebanyakan orang memiliki
pandangan sangat terbatas mengenai cara kerja sistem tempatnya hidup, 2)
Seringkali orang memandangnya dari titik yang menguntungkan menurut
posisi strukturnya sendiri, 3) Penafsiran terhadap budaya sendiri penuh
dengan rasional, 4) Penelitian ilmu budaya yang pantas dan patut adalah
tidak hanya melalui cara pandang orang pribumi (emik), tetapi juga me-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 89


nyingkapkan bagaimana hal-hal tersebut terkait dengan konstruk-konstruk,
pemahaman, dan teori ilmu budaya yang tidak terkait dengan konteks
(etik) dan 5) Secerdas apapun seorang peneliti tidak akan pernah menya-
dari sepenuhnya bagaimana sistem dan struktur mempengaruhi dan
mengungkung perilakunya.
Hampir seluruh buku pengantar ilmu budaya dan pengantar antropo-logi
menyebut disiplin ini bersifat holistik dan komparatif. Perspektif ilmu budaya
adalah holistik, karena mencoba mengkaji pengalaman manusia secara
keseluruhan (Ember dan Ember, 2014). Bahwa sanya, berbeda dari
pemahaman politik, sosiologi, atau ekonomi, ahli budaya selalu berupaya
keluar dari perilaku politik, sosial, atau ekonomi. Budayawan cenderung
mempelajari saling keterkaitan di antara semua faktor kehidupan manusia
tersebut. Tentu saja, ahli budaya berupaya menggabungkan lebih banyak
faktor ke dalam analisis holistik mereka, termasuk ekologi biologi, sejarah
linguistik dan ideologi. Perspektif ilmu budaya dikatakan komparatif,
karena disiplin ini mencari informasi dan menguji eksplanasinya di
kalangan semua kebudayaan primitif, sejarah dan kontemporer terhadap
kebudayaan-kebudayaan yang masih eksis. Prinsip komparasi dalam ilmu
budaya bukan menyamakan semua kebudayaan yang ada, tetapi mencari
ensensi data hakiki dari masing-masing kebudayaan yang dibandingkan.
Oleh karena itu, prinsip komparasi ini harus dikombinasikan dengan
penelitian grounded (grounded reseach). Grounded Research adalah penelitian
yang menggunakan analisis perbandingan dengan tujuan untuk membuat
generalisasi empiris, menetapkan konsep-konsep, membuktikan teori, dan
mengemukakan teori baru. Dalam grounded research, pengumpulan dan
analisis data dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Penelitian grounded
merupakan sebuah metodologi riset atau penelitian ini juga biasa dipahami
sebagai sebuah pendekatan penelitian dimana data lapangan menjadi
sumber formulasi teori. Dengan kata lain, penelitian ini menggunakan teori
yang muncul kemudian, disaat atau setelah data lapangan terkumpul. Oleh
karena itu, keseluruhan data yang terkumpul melalui grounde research
keabsahannya tidak diragukan lagi, karea dalam aplikasinya mengunakan
metode melingkar berjenjang. Artinya, keabsahan data dilakukan dengan
melakukan perbandingan melingkar sebanya lima items. Kelima item
tersebut disusun secara berjenjang ke atas, sehingga data yang dianggap
benar hanyalah satu. Jika kelima items tersebut, hanya dua yang benar dari
kelima peebandingan, data tersebut dicurigai salah. Sebaliknya, jika kelima
items tersebut tiga yang benar, data tersebut dicuragai benar. Lima items
pertama dibandingkan dengan lima items lainnya dan hasilnya menyunjuk-
kan: 1) tiga yang benar dan dua yang salah, data pertama dan kedua benar
adanya, 2) jika data pertama dan kedua memang menunjukkan dua yang

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 90


salah, maka maka data yang pertama dengan yang kedua adalah sama; tiga
yang benar dan dua yang salah, 3) Jika data yang pertama berbeda dengan
data kedua, diperlukan data ketiga sebanyak lima items pula dan 4) Data
yang dianggap benar adalah yang memiliki kesamaan antara data pertama,
kedua dan ketiga. Alnalisis grounded memang memerlukan waktu yang
cukup lama, tetapi hasilnya cukup maksimal. Oleh karena itu, banyak
diantara peneliti kualitatif menghindari penggunaan metode ini, karena
dianggap kurang efisien dan efektif.
Pendekatan ilmu budaya mungkin tidak selalu holistik dan komparatif
dalam praktiknya, tetapi ilmu budaya adalah satu-satunya disiplin ilmu
sosial yang membangun holisme dan pembandingan sebagai sasaran ideal
yang hendak dicapai. Oleh karena itu, ilmu budaya merupakan satu-
satunya disiplin ilmu sosial yang secara sistematik memperhatikan perbeda-
an antara pengetahuan emik dan etik.
Pembedaan antara emik dan etik, pada prinsipnya, merupakan analog
dengan pembedaan antara fonemik dan fonetik dalam ilmu bahasa. Konsep
ini diperkenalkan oleh Kenneth L. Pike (1967), yang membangun istilah
emik dan etik dari analogi ilmu bahasa (fonetik dan fonemik). Secara sangat
sederhana, emik mengacu kepada pandangan warga masyarakat yang dikaji
(native's viewpoint). Sedangkan etik mengacu kepada pandangan sipeneliti
(scientist's viewpoint). Konstruksi emik adalah deskripsi dan analisis yang
dilakukan dalam konteks skema dan kategori konseptual yang dianggap
bermakna oleh partisipan dalam suatu kejadian atau situasi yang dides-
kripsikan dan dianalisis. Konstruksi etik adalah deskripsi dan analisis yang
dibangun dalam konteks skema dan kategori konseptual yang dianggap
bermakna oleh komunitas pengamat ilmiah.
Dalam pengantar teori antropologi yang sifatnya ringkas, namun
berbobot. Robert Lawless (1979) membahas istilah emik dan etik dalam
kerangka model folk dan model analitis. Model folk, menurut Lawless, adalah
representasi stereotipikal, normatif dan kurang kritikal dari realitas yang
dimiliki bersama oleh para anggota (natives) suatu kebudayaan. Model
analitis, di pihak lain, adalah representasi profesional, eksplanatoris dan
komprehensif dari realitas yang diakui oleh komunitas ilmiah. Pembedaan
yang dibangun oleh Lawless antara model-model folk dan analitis adalah
identik dengan pendekatan emik dan etik. Akan tetapi, tentu saja istilah folk
dan analitis itu tidak perlu digunakan secara intensif dalam buku ini, karena
istilah emik dan etik sudah baku dalam kepustakaan ilmu budaya. Saya
memang sering memakainya dalam mendekati beberapa kasus penelitian
yang pernah saya lakukan (lihat riwayat hidup terlampir). Setiap penelitian
saya, selalu menggunakan kedua pendekatan (emik dan etik) tersebut dalam
rangka mencapai tujuan penlitian saya. Emik saya gunakan ketika saya

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 91


menumpulkan data dan etik saya gunakan dalam mengalisis data yang
terkumpul. Saya selalu berusaha mengilmiahkan (etik) dari semua pandang-
an hidup masyarakat sebagai ontologi penilitian saya (emik). Saya tidak
pernah merasa aneh dan lucu dari setiap pendapat dan pandangan, ketika
saya berhadapan dengan obyek atau informan saya. Prinsip saya adalah
mengapa ia katakan hal itu, bukan apa yang informan katakan kepada saya.
Perkataan informan saya anggap tanda (sign) dan apa ia katakana merupa-
kan representasi dari apa yang ada dibenaknya (signifier atau symbol). Apa
yang ia simbolkan dari perkataanya, saya arahkan ke arti secara hakiki (deep
structure atau the meaning of meaning). Jadi, saya bermain pada dua sisi dari
perkataan informan saya. Sisi pertama adalah struktur permukaan (surface
structure) dan strukutur batiniah (deep structure). Apa yang ada dipermuka-
an (perkataan) selalu berkaitan dengan apa yang ada dibelakangnya (arti).
Hubungan keduanya harus dianalisis dengan menggunakan pendekatan
interpretative untuk membaca dan menginterpretasi simbo-simbol yang
ada. Saya tidak akan pernah berpegang pada suatu teroi, konsep dan
pendapat, selama saya melakukan pengumpulan data. Mengapa, karena
saya sharus memperlakukan data dari informan saya sesuai dengan fakta
dan kenyataan yang ada di dalam kebudayaan mereka (kognisi, perilaku
dan artefak).
Dapat dikatakan, bahwa konsep emik dan etik itu menjadi objek
diskusi semantik yang hampir sama hangatnya dengan diskusi tentang
konsep kebudayaan. Para ahli budaya sibuk saling menyalahkan, karena
dianggap keliru menggunakan konsep emik dan etik itu. Dalam buku ini
saya menganjurkan, agar kita tidak terjerumus untuk menyalahkan salah
satu pihak, melainkan berupaya merumuskan dari suatu sintesa kepustaka-
an yang ada menjadi seperangkat definisi yang berdaya guna dan produktif
untuk digunakan di lapangan. Tidak ada gunanya kita saling menyalahkan,
karena memang itu tidak perlu. Apa yang harus dilakukan adalah memper-
lakukan data sesuai apa adanya. Jangan gunakan emik ketika memang
belum dipelukan dan jangan pula gunakan etik jika belum saatnya. Pakailah
sepatu bila anda hendak berjalan di aspal panas dan pakailah topi ketika
anda berjalan diterik matahari. Jangan melakukan justru sebaliknya, karena
dipastikan anda akan mengalami kesulitan.
Meskipun demikian, saya sendiri menghadapi kesulitan untuk mem-
bahas kontroversi antara emik dan etik secara menyeluruh, karena emik dan
etik tidak ada kaitannya dengan isu-isu ontologi 30. Ada tiga hal yang anda
30
Ontologi menurut Michaël Devaux and Marco Lamanna (2009) is the philosophical study
of being. More broadly, it studies concepts that directly relate to being, in particular becoming,
existence, reality, as well as the basic categories of being and their relations. Traditionally listed
as a part of the major branch of philosophy known as metaphysics, ontology often deals with

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 92


hadapi di dalam menekuni filsafat keilmuan: 1) Ontologi adalah cabang
ilmu filsafat mengenai sifat (wujud) atau fenomena yang ingin diketahui
manusia. Dalam ilmu sosial ontologi berkaitan dengan sifat pada interaksi
sosial atau komunikasi sosial. Ontologi merupakan terjadinya pengetahuan
dari sebuah gagasan tentang realitas. Bagi ilmu sosial ontologi memiliki
keluasan eksistensi kemanusiaan, 2) Epistemologi adalah salah satu cabang
filsafat yang mempelajari tentang asal, sifat, metode dan batasan pengetahu-
an manusia, sehingga epistemologi kadang-kadang disebut sebagai teori
pengetahuan dan 3) Aksiologi yaitu teori nilai yang berhubungan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang didapatkan. Ilmu ini terbagi menjadi tiga
bagian yaitu: a) moral conduct: yaitu tindakan moral yang melahirkan etika,
b) esthetic expression: ekspresi keindahan dan c) sosio-political life: kehidupan
sosial politik.
Sangat tidak mungkin bagi kita untuk membicarakan deskripsi emik,
atau analisis etik, bahkan eksplanasi emik atau etik, kecuali hanya untuk
membicarakan fakta, benda-benda, entitas atau kejadian yang tidak ada
hubungannya dengan emik dan etik tersebut. Kajadian-kejadian dan entitas
yang termasuk ke dalam dunia empiris semata-mata hanya berupa kejadian
dan entitas status ontologis yang tetap dan tidak pernah berubah, karena hal
tersebut selalu merupakan konstruksi epistemologis.
Marvin Harris (1979: 32) adalah salah satu pendukung utama pem-
bedaan pendekatan emik atau etik dalam kajian antropologi. Ia menawar-
kan suatu bentuk pemikiran yang berguna dalam membedakan pernyataan-
pernyataan emik dan etik atas dasar epistemologi ilmu pengetahuan (episte-
mological science). Harris, lebih lanjut mengatakan, bahwa kerja emik yang
dianggap mencapai tingkat tertinggi tatkala mengangkat peran informan
pada status penilaian tertinggi dalam kecukupan deskripsi dan analisis
pengamat. Pengujian kecukupan dari analisis emik adalah kemampuannya
menghasilkan pernyataan-pernyataan yang dapat diterima informan seba-
gai sesuatu yang nyata, bermakna atau sesuai dengan yang mereka ketahui.
Kerja etik mencapai tingkat tertinggi tatkala mengangkat peran pengamat ke
status penilaian tertinggi dari kategori-kategori dan konsep-konsep yang
digunakan dalam deskripsi dan analisis.
Sekalipun emik dan etik adalah konstruksi epistemologi, keduanya
tidak ada kaitannya dengan metode penelitian, melainkan dengan struktur
penelitian (lihat Pelto dan Pelto, 1989). Dengan kata lain, pengujian episte-
mologi yang kritis bukanlah bagaimana pengetahuan itu diperoleh, melain-
kan bagaimana pengetahuan itu divalidasi. Adalah mungkin untuk menyu-
sun pertanyaan-pertanyaan kedalam suatu kerangka untuk memperoleh
questions concerning what entities exist or may be said to exist and how such entities may be
grouped, related within a hierarchy, and subdivided according to similarities and differences.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 93


interpretasi etik dari informan. Sama halnya kemungkinan untuk mem-
peroleh interpretasi emik mengenai kejadian-kejadian atau sekurang-
kurangnya membangun prediksi-prediksi yang beralasan mengenai respon-
respon emik melalui pengamatan bebas (independent observation). Oleh
karena itu, pembedaan antara data yang diperoleh atas dasar wawancara
dan pengamatan saja tidak dengan sendirinya mencukupi untuk mem-
bangun status emik atau etik terhadap deskripsi dan analisis yang akan
dilakukan. Akan tetapi, deskripsi dan analisis tersebut harus diukur dengan
menggunakan standar-standar lain, yakni: penilaian dari natives (untuk
emik) dan evaluasi dari antropolog (untuk etik).
Aspek lain dari karya Harris umumnya berkarakter non-evolusi.
Berbeda dengan ahli-ahli evolusi lainnya yang tertarik dalam pengembang-
an sebuah kebudayaan. Harris tidak tertarik untuk menjelaskan bagaimana
sebuah kebudayaan dapat berkembang. Dia lebih tertarik untuk men-
jelaskan karakter pengembangan kebudayaan tertentu dalam suatu masya-
rakat melalui penggunaan pendekatan etik dan aplikasi dari konsep materia-
lisme kebudayaannya. Harris tertarik dalam meneliti dan menemukan jawab-
an pertanyaan seperti kenapa orang India tidak makan lembu? Ini merupa-
kan pertanyaan khusus mengenai sebuah karakter kebudayaan secara
spesifik dan bukan merupakan isu dalam evolusi kebudayaan secara global.
Sekalipun memang dapat juga dikatakan, bahwa hal itu merupakan per-
tanyaan yang berkenaan dengan evolusi dan adaptasi secara spesifik, tetapi
tidak untuk evolusi yang berlaku umum. Harris mendekati hal ini dan
problematika lainnya melalui pendekatan etik. Ia melihat dasar-dasar ke-
obyektifan dan pemberian alasan meterialis terhadap fenomena yang ada.
Jika, anda menggunakan kebudayaan yang anda miliki, misalnya, untuk
menjawab pertanyaan di atas sudah barang tentu salah. Mengapa, karena
hal itu tidak dapat diterima. Orang India tidak memakan daging, karena
alasan ekonomi, bukan agama. Sekali lagi saya kemukakan di sini, bahwa
memakan daging berarti orang India memutus mata rantai dan suplai susu
dari berkurangnya binatang peliharaan secara drastis. Alasan agama
merupakan representasi dari alasan emik dalam kebudayaan orang India
tersebut, yang tidak memakan daging. Pendekatan inilah mungkin yang
secara umum digunakan oleh ahli-ahli materialisme kebudayaan lainnya.
C. Metode Observasi dan Penelitian Lapangan
1. Metode observasi
Ilmu budaya dan antropologi adalah cabang dari bentuk besar ilmu
pengetahuan, yang mempelajari: 1) tingkah laku manusia, 2) tatacara kehi-
dupan dan 3) proses perjalanan hidup manusia itu sendiri. Antropologi
sendiri tidak hanya berbicara tentang hal yang berkaitan dengan budaya,
namun antropologi juga berbicara mengenai topik fisik manusia, sebagai-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 94


mana dijelaskan secara khusus dalam antropologi ragawi. Dalam dunia
akademis dikenal metode penelitian observasi partisipasi, yang apabila
disederhanakan akan menjadi dua buah kalimat, yaitu observasi yang
berasal dari kata observe yang berarti ‘pengamatan secara tekun’. Sedangkan,
partisipasi diartikan sebagai ‘suatu proses usaha ikut serta atau meng-
ikutkan diri dalam suatu kegiatan’. Sedangkan dari segi etimologi kata,
dapat dikatakan, bahwa metode observasi partisipasi adalah metode yang
menekankan bagi diri peneliti untuk melakukan pengamatan secara tekun
dimana peneliti melibatkan atau meleburkan diri pada permasalahan
penelitian yang sedang dilakukan. Metode observasi partisipasi merupakan
hal mutlak yang harus dilakukan oleh seorang budayawa dan antropolog
dalam melakukan kegiatan etnografi penelitian sosial.
Metode observasi partisipasi langsung (full participation research) meru-
pakan hal mutlak yang harus dilakukan oleh seorang budayawan dan antro-
polog dalam melakukan kegiatan etnografi. Antropologi adalah satu disi-
plin ilmu dari cabang ilmu pengetahuan sosial yang memusatkan kajian
pada manusia. Sedangkan ilmu budaya (the science of culture) adalah cabang
ilmu yang memokuskan dirinya untuk mempelajari kebudayaan sebagai
kebudayaan (disipliner). Antropologi dapat dilacak pada era penjajahan
pada abad-abad yang lalu yang dilakukan terhadap bangsa Asia, Afrika,
Amerika Latin dan suku-suku Indian oleh para penjajah. Penjajahan tersebut
disertai dengan penyebaran agama nasrani di luar Eropa. Oleh karena itu,
tokoh-tokoh di dalam antropologi pada awal periodenya berasal dari bangsa
Barat, meskipun hingga sekarang banyak sarjana Barat yang ber-kecimpung
di antropologi. Pada awalnya mereka tertarik pada laporan dari negera-
negara asing yang mereka jajah, karena mereka memperoleh informasi yang
menurutnya aneh-aneh. Bahkan, tidak jarang mereka memandang bangsa-
bangsa yang mereka jajah sebagai bangsa primitif (negara Afrika) dan
inlander (sapaan untuk orang Indonesia dari Belanda).
a. Definisi Observasi
Metode observasi adalah teknik pengumpulan data, dimana peneliti
melakukan pengamatan, baik secara langsung maupun tidak langsung ke
objek penelitiannya untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan oleh
obyeknya (Gising, 2008). Metode observasi juga sering diartikan sebagai
pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak
pada obyek penelitian. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh
seorang peneliti dalam rangka melakukan observasi, yaitu: 1) Memiliki
pengetahuan budaya (cultural concept vocabulary) yang cukup terhadap
obyek yang hendak diteliti, 2) Pemahaman (compentence) akan tujuan umum
dan tujuan khusus penelitian yang dilaksanakannya, 3) Penentuan cara dan
alat (methodes) yang dipergunakan dalam mencatat data, 4) Penentuan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 95


kategori penemuan gejala yang diamati, 5) Pengamatan dan pencatatan
harus dilaksanakan secermat mungkin, 6) Pencatatan setiap gejala harus
dilaksanakan secara terpisah, agar tidak saling mempengaruhi dan 7)
Memiliki pengetahuan dan keterampilan (performance) yang cukup terhadap
alat dan cara mencatat hasil observasi.   
Teknik obeservasi pada dasarnya digunakan untuk melihat dan
mengamati perubahan fenomena–fenomena sosial yang tumbuh dan
berkembang. Menurut Margono (2007: 158), bahwa seorang peneliti harus
jeli melihat data yang benar-benar diperlukan (data primer) dan data yang
merupakan tambahan atau pendukung data primer (data sekunder).
Margono kemudian memperlihatkan bagan berikut untuk membuktikan
sikap dan perilaku dari seorang peneliti ketika berada di lapangan.

Selain metode observasi yang sifatnya umum di atas, seorang peneliti


sangat disarankan untuk melakukan obsevasi partisipatif penuh (full partici-
vation reseach) guna melihat langsung, ikut merasakan dan mengobservasi
langsung permasalahan demi permasalahan yang dihadapi dalam kesehari-
an obyeknya. Dalam observasi tersebut peneliti mengedepankan perspektif
emik dalam mengumpulkan data yaitu melihat data sebagaimana pandang-
an informan penelitian dan bukan etik menurut peneliti. Seorang peneliti
diwajibkan untuk ikut berpartisipasi di dalam setiap aspek kehidupan
obyeknya. Peneliti harus ikut merasakan apa yang sedang dipikirkan oleh
obyeknya (cultural knowledge), apa yang dilakukan obyeknya (cultural
behaviour) dan apa yang dihasilkan oleh obyeknya (cultural artifact).
Metode seperti ini sangat cocok untuk penelitian kualitatif, sekalipun
penelitian kuantitatif juga dapat direkomendasikan. Metode obeservasi
partisipatif sebaiknya disertai dengan teknik-teknik pengumpulan data: 1)
Wawancara (interview) yaitu mewawancarai informan dengan mengajukan
pertanyaan secara terjadual dan terkontrol (wawancara terstruktur) dan
pernyataan yang biasa-biasa saja (wawancara lepas), 2) Mencatat untuk
kesahihan dan keamanan data rekaman, khususnya data dalam bentuk
narasi. Peneliti harus mencatat kembali segala bentuk percakapan, baik
sebagian dengan membuat poin-poin hasil wawancara (condensed account)

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 96


maupun mencatat atau menulis keseluruhan hasil penelitian secara lengkap
setelah wawancara selesai dilakukan (expanded account), 3) perekaman yaitu
merekam segala bentuk data, baik dalam bentuk audio (perekaman suara)
melalui penggunaan alat perekam suara maupun dalam bentuk visual
(pengambilan gambar) melalui kamera dan 4) Semua data yang dikumpul-
kan melalui wawancara, pencatatan dan perekaman didiskusikan dengan
kelompok-kelompok informan secara terfokus (FGD). Kelompok tersebut
telah dibentuk sebelumnya berdasarkan topik-topik yang akan dibahas
dalam diskusi tersebut.
Metode observasi (pengamatan langsung) adalah metode pengumpul-
an data dengan mengamati secara langsung di lapangan. Mengamati bukan
berarti hanya melihat saja, melainkan juga merekam, menghitung, meng-
ukur dan mencatat kejadian-kejadian yang ada. Observasi dapat digolong-
kan sebagai teknik mengumpulkan data, jika memenuhi kriteria-kriteria
berikut ini: 1) Digunakan untuk meneliti dan telah direncanakan secara
sistematik sebelumnya, 2) Harus berkaitan dengan tujuan penelitian yang
telah direncanakan, 3) Dicatat secara sistematis dan dihubungkan dengan
proporsi umum dan bukan dipaparkan sebagai suatu set yang menarik
perhatian saja, 4) Dapat diperiksa dan dikontrol validitas dan realibilitasnya.
b. Ciri Umum Observasi
Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, bahwa observasi memiliki
beberapa bentuk. Di dalam sub-pembahasan berikut, metode observasi akan
saya bagi kedalam beberapa kategori dan bentuk sesuai dengan teknik dan
keterlibatan penelitinya. Dengan demikian, pelaksanaan observasi di lapa-
ngan dapat digolongkan dengan ciri-ciri berikut ini: 1) Obyek penelitian
yang akan diamati sangat jelas (valid), 2) Perilaku dibuat dalam bentuk
pengkategorian, sehingga yang dipermasalahkan adalah perilaku terpola
(pattern of behavior), 3) Unit yang digunakan dalam pengukuran perilaku
harus ada, 4) Derajat inferensi yang digunakan harus jelas, 5) Jenis serta
besar sampel harus ditentukan dan 6) Pengamatan harus reliabel dan valid.
c. Bentuk-bentuk Observasi
Metode observasi dapat dikelompokkan menjadi beberapa bentuk
sesuai dengan keterlibatan penelitinya, sebagai berikut:
c.1 Observasi Biasa
Pengamat merupakan orang yang sepenuhnya melakukan observasi di
lapangan. Selain itu, pengamat juga dapat melakukan observasi seperti ini
dengan tanpa tujaun apa-apa. Artinya pengamat tidak memiliki keterlibatan
apapun dengan objek penelitiannya. Peneliti hanya sekedar datang melihat
atau jalan-jalan di suatu tempat dengan keinginan untuk mengetahui se-
suatu. Hal seperti ini biasa dilakukan oleh seorang peneliti, ketika hendak
memulai penelitiannya (observasi awal).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 97


c.2 Observasi Terkendali
Observasi terkendali adalah observasi yang sama dengan observasi
biasa. Akan tetapi, sasaran penelitian ditempatkan dalam suatu ruangan
yang terbatas untuk diamati dan diadakan berbagai percobaan oleh peneliti
atau pengamat. Terkendali artinya, data yang terkumpul dikendalikan dan
diatur sedemikian rupa, sehingga penelitian yang dilakukannya terstruktur
dan bersistem. Peneliti harus mengatur skala prioritas data yang dicarinya,
bukan penelitian yang acak-acakan. Segala bentuk alat penelitian (research
instrument) harus digunakan sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Penggunaannya dimaksimalkan demi kesahihan dan validasi data yang
dicari.
c.3 Observasi Terlibat (Partisipasi)
Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, bahwa observasi jenis ini
memaksa seorang peneliti terlibat dan ikut berpartisipasi langsung kedalam
kegiatan masyarakat yang dijadikan objek penelitiannya. Maksudnya, pene-
liti datang dan tinggal di tengah masyarakat tersebut selama jangka waktu
tertentu. Bahkan, beberapa peneliti yang menikahi dan dinikahi oleh infor-
mannya. Wyn Sargent seorang jurnalis asal Amerika Serikat menikah
dengan kepala suku Dani bernama Obahorok. Cheryl Massou asal Inggris
juga menikah dengan Daniel Lekimenju seorang prajurit suku Maasai
Kenya. Demikian pula Sarah Begun dari Inggris, akhirnya menikah dengan
kepala suku Huaorani Amazon bernama Gento. Pernikah mereka tersebut
dimaksudkan untuk lebih mendekatkan diri dengan obyek penelitiannya
melalui penyatuan diri dengan obyek penelitiannya. Keuntungan metode
seperti ini adalah pengumpulan data bisa berlangsung dengan cepat, tepat
dan akurat. Artinya, data yang terkumpul memberi kesempatan kepada
peneliti untuk mengkaji obyeknya secara holisme, karena data yang ter-
kumpul memang total menggambarkan fenomena-fenomena di lapangan.
2. Penelitian Lapangan (field reseach)
Studi lapang (field research) adalah bentuk penelitian yang bertujuan
membuka tabir makna yang diberikan oleh anggota masyarakat, yang ter-
bungkus di dalam perilakunya dan kenyataan yang ada di sekitar masya-
rakat tersebut. Studi lapang adalah sebuah teknik pengumpulan data yang
terjun langsung ke pusat komunitas sasaran menawarkan solusi untuk
mengeliminasi keterbatasan-keterbatasan penelitian yang disisakan metode
lain. Studi lapang menurut Neuman (2006) haruslah mampu berpikir sembari
berdiri. Maksudnya, seorang peneliti, yang sekaligus bertindak sebagai in-
strumen penelitian harus mampu menghadapi kejadian yang serba tidak
pasti di lapangan, sehingga ia harus bertindak cepat, tepat dan akurat dalam
menganstisipasi permasalahan yang dihadapinya. Seorang peneliti harus
tanggap dan sigap dalam menghadapi setiap tantangan yang muncul di

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 98


lapangan. Keadaan yang tidak pasti kadang-kadang pula dibarengi dengan
informasi yang sangat besar jumlahnya, sehingga dapat menjadi beban
psikologis dan fisik penelitinya.
Metode penelitian lapang pertama kali diperkenalkan pada pertengah-
an abad ke-19, yang diperkenalkan oleh Bronislaw Malinoski. Ia adalah
salah seorang pelopor metodologi penelitian lapangan pada tahun 1920an.
Ia sangat menganjurkan, agar para peneliti sosial harus berinteraksi secara
langsung (full patcipation research) dan hidup bersama masyarakat pribumi
sebagai obyek penelitiannya. Tujuannya, agar peneliti: 1) mempelajari adat
istiadat secara langsung bukan yang pernah dijamah oleh orang lain dan 2)
sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya dan proses interaksi
sosial yang berlangsung di dalam masyarakat obyek penelitian. Dalam
perkembangannya, penelitian lapang mulai diadopsi oleh disiplin ilmu lain,
seperti; sosiologi, psikologi, ekonomi, kedokteran dan sebagainya. Oleh
karena itu, dalam buku saya berjudul Metodologi Penelitian: Sebuah Perspektif
dalam Ilmu Budaya (2008; 2018) lebih banyak memaparkan keefektifan
penelitian lapangan, tertuma dengan penelitian yang berhubungan dengan
data-data kualitatif (antropologi, sosiologi, psikologi dan sebagainya). Saya
juga anjurkan di dalam buku saya tersebut, agar studi lapang sebaiknya
digunakan, baik secara terpisah maupun dikombinasi dengan metode survai
ataupun eksperimen, ketika keduanya dirasakan tidak praktis lagi. Saya
juga anjurkan, agar studi lapang dapat diposisikan sebagai pembuka jalan
kepada metode survei dan eksperimen atau metode-metode lainnya.
a. Langkah-Langkah Penelitian Lapangan
Metode penelitian lapangan (field reseach) adalah kegiatan untuk
mengumpulkan data di lapangan dengan menggunakan langkah sistematis,
agar peneliti tidak mengalami masalah dan menghadapi tantangan yang
serius. Saya menganjurkan kepada seluruh mahasiswa saya, baik yang
hendak menyusun skripsi (S-1), menyusun tesis (S-2) maupun yang akan
menulis disertasi (S-3), bahwa seorang peneliti yang handal adalah peneliti
yang sudah mempersiapkan diri sematang mungkin. Ia harus mengatur
jadual dan ancangan penelitiannya secermat dan sebaik mungkin. Oleh
karena itu, saya membagi tahapan penelitian kedalam beberapa fase, yaitu:
1) Pra-penelitian yaitu mempersiapkan segala sesuatunya (isin meneliti,
alat-alat penelitian, bekal, keuangan, fisik, psikis, kesehatan, penelitian
pustaka, kontak person, konsultasi dengan ahli dan sebagainya). Persiapan
seperti ini harus selesai sebelum betul-betul memasuki lokus penelitian, 2)
Penelitian lapangan yaitu peneliti memasuki arena penelitian dengan mem-
persiapkan (informan, melakukan wawancara, perekaman, pencatatan, elisi-
tasi dan analisis awal) dan 3) pasca-penelitian yaitu merangkum dan
mengalisis data lanjutan (data primer, data sekunder, draft hasil penelitian

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 99


dan sebagainya). Semua hal tersebut harus rampung sebelum kembali ke
rumah untuk selanjutnya menyusun hasil penelitiannya. Menurut Neuman
(2006), bahwa ada beberapa langkah dalam penelitian lapang sebagai ber-
ikut: 1) Peneliti mempersiapkan diri, membaca literatur dan fokus, 2) Cari
lapangan penelitian dan dapatkan akses ke dalamnya, 3) Masuki lapangan
penelitian, kembangkan hubungan sosial dengan anggota komunitas, 4)
Adopsi sebuah peran sosial ke dalam diri, bergaul dengan anggota komu-
nitas, 5) Lihat, dengar, cermati dan kumpulkan data kualitatif, 6) Mulai
menganalisis data dan mengevaluasi hipotesa kerja, 7) Fokus pada aspek
spesifik dan gunakan sampling teoritikal, 8) Gunakan wawancara lapangan
dengan anggota komunitas dan informan, 9) Putuskan hubungan dan
tinggalkan lapangan penelitian secara fisik dan 10) Sempurnakan analisis
dan tuliskan laporan penelitian.
Sebagaimana halnya penelitian kualitatif lainnya, penelitian lapang
meneliti permasalahan dalam seting yang natural dalam upaya untuk
memaknai, menginterpretasi fenomena yang teramati (Groat & Wang, 2002).
Ia kemudian memberikan 4 (empat) komponen kunci berkaitan dengan
penelitian lapang sebagai bagian dari penelitian kualitatif: 1) Penekanan
pada seting natural. Seting natural berarti subjek penelitian tidak berpindah
dari tempat asli kejadiannya. Peneliti harus menerapkan berbagai taktik
untuk menempatkan diri dalam konteks penelitiannya, karena konteks tidak
boleh berubah dalam pelaksanaan penelitian, 2) Fokus pada interpretasi dan
makna. Peneliti tidak hanya mendasari penelitiannya pada realitas empiris
dari observasi dan wawancara yang dilakukannya. Akan tetapi, ia juga
memainkan peran penting dalam menginterpretasi dan memaknai data
melalui simbol-simbol budaya (cultural symbols), 3) Fokus pada cara
responden atau informan dalam memaknai dirinya. Tujuan dari peneliti
adalah mempresentasikan dan mengabstrasikan gambaran menyeluruh dari
seting atau fenomena studi, sesuai dengan pemahaman dari responden
sendiri (emik), 4) Penggunaan beragam taktik dan strategi. Sebagai bagian
dari pengamatan realitas yang cenderung cair, penelitian lapang tidak
memiliki kecenderungan untuk hanya mengandalkan taktik atau strategi
tunggal, melainkan beragam sebagai paduan dari berbagai taktik (longitudial
methods) sesuai keadaan lapangan.
b. Problem dan Tantangan Penelitian Lapangan
Masalah waktu sering menjadi kendala di dalam pelaksanaan peneliti-
an lapangan, karena membutuhkan waktu yang cukup panjang (long term
reseach). Neuman (2006) memperkirakan rentang waktu penelitian lapangan
yaitu antara beberapa minggu hingga bertahun-tahun. Hal ini bisa dipa-
hami, karena obyek penelitian lapangan ilmu-ilmu sosial umumnya me-
miliki karakteristik yang berubah secara evolusi. Akibatnya, peneliti harus

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 100


menelusuri arah (dicetion of evolution) dan tingkatan (stage) perubahan (evolu-
tion) sosial yang telah terjadi. Sangat tidak dibenarkan seorang peneliti yang
terjun ke lapangan dengan hanya mengambil sepenggal dari keseluruhan
sistem evolusi social yang telah terjadi. Mereka benar-benar harus ber-
perinsip komparatif dan holistis, bukan parsial-parsial. Penelitian yang
dilakukan mengenai inkulturasi, misalnya, dilakukan dalam rentang
puluhan tahun. Peneliti datang dan tinggal bersama sebuah komunitas
masyarakat selama beberapa bulan hingga satu tahun, untuk kemudian
menuliskan laporan awal penelitiannya. Sepuluh tahun kemudian si peneliti
kembali ke lokasi yang sama dan memulai lagi penelitiannya. Dari sinilah
peneliti membandingkan inkulturasi yang terjadi pada saat ini dan sepuluh
tahun silam. Hasilnya berkisar pada proses apakah yang berlangsung, siapa
yang terlibat, bagaimana saluran-saluran inkulturasi tercipta serta bagai-
mana reaksi masyarakat terhadap perubahan dalam jangka waktu sepuluh
tahun tersebut. Untuk mempersingkat masalah ini, saya selalu menganjur-
kan kepada mahsiswa saya, agar melakukan studi kombinasi penelitian
lapangan dan studi kepustakaan.
Permasalahan selanjutnya adalah biaya, yang sangat ditentukan oleh
jangka waktu penelitian yang dilakukan. Studi lapang, dalam hal ini mem-
butuhkan dana yang cukup besar, karena peneliti lebih banyak meng-
habiskan waktunya di lapangan. Sesuai dengan pengalaman saya selama
melakukan penelitian di berbagai tempat di Indonesia, sekitar 80% biaya
penelitian saya habiskan untuk biaya penelitian lapangan (konsumsi,
akomodasi, transportasi dan alat pendukung penelitian, termasuk tips-tips
bagi informan). Sedangkan 20% selebihnya saya gunakan untuk penyusun-
an hasil penelitian (ATK, biaya seminar, konsumsi seminar dan sebagainya).
Itulah sebabnya mengapa saya anjurkan kepada peneliti lapangan, agar
mengefisienkan dan mengefektifkan pelaksanaan penelitiannya untuk me-
ngurangi biaya yang mereka harus keluarkan.
Banyak peneliti yang gagal dalam melaksnakan penelitiannya, karena
tidak memperhatikan etika yang harus ditaati oleh seorang peneliti. Oleh
karena itu, dalam seluruh penelitian yang pernah saya lakukan masalah
etika selalu menjadi prioritas saya. Saya harus mengedepankan pendekatan
good rapport yaitu melakukan penjajakan dan pendekatan kepada seluruh
anggota masyarakat yang saya ingin teliti. Dalam survai dan eksperimen di
lapangan, etika jarang memang disebut-sebut, namun etika menjadi kendala
yang mencolok dalam studi lapang. Kendala yang paling besar, ketika
penelitian dilakukan pada kelompok atau individu yang sifatnya tertutup.
Untuk memperoleh informasi mengenai ruang dan arsitektur yang dibentuk
oleh ritual dari kelompok tersebut, peneliti mau tidak mau harus masuk
menjadi bagian (inner circle) dari kelompok yang hendak diteliti. Kelompok

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 101


semacam ini kebanyakan sangat tertutup dan tidak ramah terhadap orang
luar. Dengan demikian untuk mengatasi kesulitan akses, peneliti kerap
terpaksa melakukan penyamaran atau kamuplase. Hal ini merupakan
permasalahan tersendiri, karena penelitian seharusnya dilandasi dengan
sikap jujur penuh keterbukaan. Sebaliknya, berterus terang mungkin pula
bukan solusi yang tepat, karena dapat membatasi akses peneliti, atau
bahkan dapat menimbulkan sikap reaktif. Padahal, studi lapang menuntut
keadaan senatural mungkin, yang hanya dapat dicapai dengan keadaan non
reaktif dari informan penelitian. Beberapa kasus penelitian yang pernah
saya lakukan adalah terkait dengan masalah etika (keamanan, kenyamanan
dan keintiman antara peneliti dengan obyeknya) memaksa saya untuk
merahasiakan nama-nama infor-man saya. Hampir 3 bulan saya bolak-balik
Sinjai – Karampunag (jarak 32 km), pada tahun 2003 untuk mengumpulkan
data tesis S-2, ternyata tidak membuahkan hasil apa-apa. Hampir semua
informan saya menutup diri dengan hanya memberikan data sekunder
belaka. Empat bulan berikutnya saya ubah taktik dan strategi penelitian
saya melalui berpartisipasi penuh dalam semua kegiatan masyarakat
Karampuang. Hasilnya mereka membukakan pintu selebar-lebarnya kepada
saya. Saya juga teringat waktu saya meneneliti Pasang ri Kajang untuk
pengumpulan data disertasi saya, yang saya mulai dengan good rapport. Saya
bisa mengatakan, bahwa hampir tidak ada masalah apa-apa. Tidak cukup
satu tahun pengumpulan data disertasi saya dianggap mencapi 90%. Setiap
ada pelaksanaan ritual saya berusaha hadir, duduk bersama (tudang ade’),
makan bersama (angnganre ada’a), bercengkrama dan minum sesuai dengan
adat-istiadat mereka. Akhirnya, pada kedua masyarakat adat (Karampuang
di wilayah adat mereka masing-masing.
Banyak peneliti, dengan berbagai faktor, cenderung berubah jati
dirinya. Peneliti yang sebelumnya terlalu radikal tiba-tiba menjadi peneliti
yang lemah dalam perinsipnya. Keobyektifan penelitian yang sebelumnya
menjadi keharusan baginya tiba-tiba menjadi peneliti asal jadi (arm chair
philosophy), karena dia telah mengubah data sesuai kehendaknya. Karak-
teristik dari studi lapang, yang saling pengaruh-memengaruhi antara pene-
liti dengan obyek penelitian, mungkin menjadi penyebab utama kendornya
perinsip ilmiah dalam diri seorang peneliti. Seiring lamanya waktu di
lapangan, objektivitas peneliti dapat saja meluntur disertai hilangnya sikap
keasingan. Peneliti menjadi kehilangan jati dirinya sebagai peneliti dan ber-
ubah menjadi orang dalam. Menurut Neuman (2006), bahwa bagi peneliti
teradopsinya nilai-nilai lokal secara berlebihan oleh peneliti, termasuk di
antaranya pindah agama atau menikah dengan salah seorang informannya.
Bila hal ini terjadi tentu saja kurang menguntungkan. Untuk mengatasinya,

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 102


saya menyarankan kepada peneliti, agar memiliki mawas diri untuk selalu
menjadi orang luar dari obyek penelitiannya.
Ada beberapa masalah lainnya, yang secara umum menuntut peneliti
dalam banyak hal untuk lebih tangguh dibandingkan dengan peneliti
metode lain, baik fisik maupun mental. Secara intelektual, peneliti membu-
tuhkan kondisi yang prima, karena beberapa kesulitan yang akan timbul
dalam pelaksanaan studi lapang. Salah satunya adalah proses generalisasi
yang dilakukan selama di lapangan adalah jauh lebih sulit dibandingkan
penelitian lainnya. Studi lapang sangat terkait dengan tradisi si peneliti
sendiri yang dibenturkan dengan tradisi masyarakat subjek penelitian.
Selain itu, kejadian-kejadian yang timbul juga banyak yang bersifat kebetul-
an, meskipun banyak pula yang dibangun dengan kesengajaan. Secara
mental, studi lapang pada fase awal memang sangat berat, karena sering
terjadi penolakan dari pihak masyarakat penerima (obyek). Saya teringat
ketika saya dan mahasiswa saya hendak melakukan penelitian di wilayah
adat masyarakat Tolotan di Amparita Kabupaten Sidrap pada tahun 1985.
Waktu itu, kampanye pemilihan umum dan anti Tolotang sedang berke-
camuk di sana, sehingga kami pun tidak mau diterima.
c. Studi Kasus
Studi kasus adalah sebuah penelitian yang benar-benar memerlukan
perinsip-perinsip penelitian lapang untuk mencari keabsahan dan kejelasan
dalam sebuah contoh kasus. Dapat dikatakan, bahwa studi kasus bukan
merupakan metode ilmiah yang spesifik, tetapi lebih merupakan suatu
metode yang lazim diterapkan untuk memberikan penekanan pada spesifi-
kasi dari unit–unit atau kasus–kasus yang diteliti. Dengan kata lain, metode
ini berorientasi pada sifat–sifat unik (casual) dari unit–unit yang sedang
diteliti berkenaan dengan permasalahan–permasalahan yang menjadi fokus
penelitian. Menurut Patton (2004: 447), bahwa studi kasus merupakan upaya
mengumpulkan dan kemudian mengorganisasikan. Data yang sudah
terorganisasi kemudian dianalisis berdasarkan kasus–kasus tertentu yang
berkenaan dengan permasalahan. Perhatian peneliti kemudian memban-
dingkan dan menghubungkan satu kasus dengan yang lainnya dengan tetap
berpegang pada perinsip holistik dan kontekstual. Hal yang dapat diangkat
menjadi kasus adalah individu, keluarga, kelompok organisasi, institusi
nilai atau corak budaya atau bahkan wilayah. Penerapan studi kasus
sebagaimana yang lazim adalah menggunakan metode standar seperti
observasi, interview, FGD atau penggabungan dari beberapa metode
(longitudial methods).
Dalam konteks penelitian komunikasi, studi kasus memiliki karakter
dinamis di dalam penggunaannya untuk memperoleh gambaran mengenai
berbagai persoalan menarik dalam kehidupan sosial. Dalam kaitan ini, studi

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 103


kasus memiliki semacam keistimewaan yakni bukan hanya studi kasus
dalam penelitian komunikasi yang telah lama dikembangkan dalam studi
sosiologis dan antropologis. Akan tetapi, yang saya maksudkan di sini ada-
lah studi kasus dalam penelitian komunikasi, yang juga digunakan untuk
meneliti gejala–gejala humaniora. Studi kasus dalam hal ini digunakan
untuk melacak nilai–nilai yang terkandung di dalam berbagai bentuk
naskah cerita seperti novel dan darama. Palacakan terhadap teknik–teknik
retorika yang dikembangkan oleh para elit kekuasaan dan tokoh–tokoh
masyarakat juga dapat dilakukan dengan meggunakan studi kasus ini. Hal
ini dapat dianalisis di dalam beberapa lokus yang menggunakan bahasa;
metafor, ironi, paradoks, anekdot dan eufeminisme.
Menurut Creswell (2005), bahwa ada beberapa karakteristik dari suatu
studi kasus yaitu: 1) Mengidentifikasi kasus untuk suatu studi, 2) Kasus ter-
sebut merupakan sebuah sistem yang terikat oleh waktu dan tempat, 3) Studi
kasus menggunakan berbagai sumber informasi dalam pengumpulan
datanya untuk memberikan gambaran secara terinci dan mendalam tentang
respons dari suatu peristiwa dan 4) Menggunakan pendekatan studi kasus,
peneliti akan menghabiskan waktu dalam menggambarkan konteks atau
seting untuk suatu kasus.
Pengumpulan data dalam studi kasus dapat diambil dari berbagai
sumber informasi, karena studi kasus melibatkan pengumpulan data yang
kaya untuk membangun gambaran yang mendalam dari suatu kasus.
Menutu Yin (2004), bahwa terdapat enam bentuk pengumpulan data dalam
studi kasus yaitu: 1) dokumentasi yang terdiri dari surat, memorandum,
agenda, laporan-laporan suatu peristiwa, proposal, hasil penelitian, hasil
evaluasi, kliping, artikel, 2) rekaman arsip yang terdiri dari rekaman layan-
an, peta, data survei, daftar nama, rekaman-rekaman pribadi seperti buku
harian, kalender dsb, 3) wawancara biasanya bertipe open-ended, 4) obser-
vasi langsung, 5) observasi partisipan dan 6) perangkat fisik atau kultural
yaitu peralatan teknologi, alat atau instrumen, pekerjaan seni dan sebagai-
nya. Creswell (2005) menampilkan pengumpulan data melalui matriks
sumber informasi untuk pembacanya. Matriks ini mengandung empat tipe
data yaitu: wawancara, observasi, dokumen dan materi audio-visual
E. Etnografi dan Etnometodologi
1. Etnografi (ethnography)
Secara etimologis Etnografi berasal dari bahasa Yunani ethnos, yang
artinya ‘rakyat (folk), orang (people), bangsa (nation)’ dan grapho artinya ‘saya
tulis (I write)’. Jadi, etnografi adalah uraian tentang bangsa-bangsa dan suku
yang diabadikan dengan tulisan. Dengan demikian, dapat pula dikatakan,
bahwa etnografi lebih dekat dengan etnologi (studi agama dan kepercayaan)
dan filologi (studi tentang naskah-naskah). Etnografi adalah studi sistematis

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 104


tentang orang dan budaya. Pendekatan ini dirancang sedemikian rupa
untuk mengeksplorasi fenomena budaya di mana peneliti harus mengamati
masyarakat dari sudut pandang subjek penelitian dan bukan menurut
pandangan peneliti. Etnografi adalah sarana untuk merepresentasikan
secara grafis dan secara tertulis budaya suatu kelompok. Menurut Geerzt
(1973), bahwa studi lapangan atau laporan kasus yang mencerminkan
pengetahuan dan sistem makna dalam kehidupan kelompok budaya disebut
etnografi.
Etnografi merupakan kajian lapangan yang yang sering digunakan
dalam kajian ilmu budaya, sosiologi dan antropologi. Menurut Sabitha
Marican (2005), bahwa etnografi juga dianggap sebagai satu kajian
yang paling asas dalam penyelidikan sosial. Etnografi juga kadang-kadang
didefinasikan sebagai penjelasan tertulis mengenai sesuatu budaya tentang
adat, kepercayaan, tingkah laku yang berdasarkan pada aturan-aturan yang
dikumpulkan dari kajian lapangan. Etnografi juga merupakan kajian
deskriptif terhadap kebudayaan, sub-budaya, institusi atau kumpulan
sesebuah masyarakat. Hal-hal yang yang menjadi fokus dalam penyelidikan
etnografi, seperti; apakah kebudayaan itu milik bersama? Oleh karena itu,
etnografi menggambarkan apa yang dilakukan oleh masyarakat dalam
kehidupan sehafi-hari mereka. Ia merupakan potret atau gambaran
mengenai manusia. Dengan demikian, kajian etnografi merupakan kajian
yang memokuskan diri pada penggambaran yang terperinci dan tepat
(Marican, 2005). Menurut Creswell (2005), etnografi merupakan bentuk
kajian yang praktis untuk mengkaji suatu kumpulan, seperti; pendidikan,
kepercayaan, tingkah laku dan bahasa. Kajian etnografi merupakan bentuk
kajian kualitatif yang digunakan untuk menerangkan, menganalisa dan
menginterpretasi bentuk kebudayaan milik bersama (culture-sharing) dari
suatu kumpulan, seperti: tingkah laku, kepercayaan, bahasa, ekonomi,
struktur politik, interaksi, kehidupan dan bentuk interaksi sosial.
Etnografi adalah uraian dan penafsiran suatu budaya atau sistem
kelompok sosial. Peneliti menguji kelompok tersebut dan mempelajari pola
perilaku, kebiasaan dan cara hidup. Etnografi adalah sebuah proses dan
hasil dari sebuah penelitian. Sebagai proses, etnografi melibatkan pengama-
tan yang cukup panjang terhadap suatu kelompok, dimana dalam peng-
amatan tersebut peneliti terlibat dalam keseharian hidup responden atau
melalui wawancara satu per satu dengan anggota kelompok tersebut.
Peneliti mempelajari arti atau makna dari setiap perilaku, bahasa dan
interaksi dalam kelompok.
Metode ini cenderung meneliti suatu kebudaayan di sebuah wilayah
tertentu. Bentuk penelitiannya adalah: apa yang dilakukan masyarakat dan
apa tujuannya mereka melakukan hal tersebut. Hal ini sesuasi dengan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 105


pernyataan Crang dan Cook (dalam Marshal, 1995), bahwa secara historis,
penelitian etnografi telah mengembangkan suatu perhatian untuk
memahami pandangan dunia dan cara hidup manusia dalam konteks
pengalaman hidup sehari–hari mereka. Secara harafiah, etnografi berarti
tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa yang ditulis oleh seorang
antropolog atas hasil penelitian lapangan (field work) selama sekian bulan
atau sekian tahun. Etnografi, baik sebagai laporan penelitian maupun
sebagai metode penelitian dianggap sebagai asal-usul ilmu antropologi.
Margareth Mead (1999) menegaskan, bahwa anthropology as a science is
entirely dependent upon field work records made by individuals within living
societies. Menurut James Spardley dalam buku Metode Etnografi, perjalanan
etnografi dari awal sampai pada bentuk etnografi baru. Oleh karena itu,
menurut dia langkah-langkah praktis untuk mengadakan penelitian
etnografi, itulah yang dimaksud sebagai sebagai etnografi baru ini.
Etnografi dekat dengan kebudayaan. Bahkan merupakan hal yang
pokok dalam studi etnografis. Oleh karena itu, kalangan budayawan dan
antropolog yang telah merintis kajian tentang kebudayaan, lebih banyak
yang menggunakan istilah ini. Mereka sangat yakin, manusia hidup
berkelompok dan saling berinteraksi antara satu individu dan individu
lainnya, pada akhirnya membentuk kebudayaan. Kebudayaan dalam
konteks ini dapat dimaknai sebagai kumpulan dari pola–pola perilaku dan
keyakinan. Pola-pola inilah, yang kemudian menentukan patokan (standard)
tentang: sesuatu itu apa (what is it), kemungkinannya apa (what can be), Apa
yang harus kita lakukan (what we have to do), keputusan bagaimana untuk
merespons (how can be) dan bagaimana cara menentukan dan memilihnya
(how to choose).
Istilah etnografi kerapkali digunakan untuk menunjukkan dua hal
yang sebenarnya berbeda, yakni: a) Metode Penelitian dan b) hasil laporan
penelitian atau kajian. Dalam arti metode, istilah etnograf biasanya diartikan
sebagai fildwork conducted by a single investigator who lives with and lives like
whose who are studies, usually for a  year or more (Penelitian lapangan, kata lain
dari metode observasi terlibat, yang dilakukan oleh seorang peneliti yang
untuk itu ia tinggal bersama dan hidup sebagaimana layaknya orang–orang
yang diteliti, untuk waktu satu tahun atau lebih). Dalam arti hasil penelitian,
etnografi berarti the written respresention of a culture (suatu bentuk laporan
tertulis mengenai suatu kebudayaan). Maenen (1996: 263-265), bahwa
kendati demikian, secara umum istilah etnografi biasa dipakai untuk
menunjuk a study of the culture that a given group of people more or less share
(studi tentang kebudayaan yang ada pada kelompok masyarakat tertentu).
Menurut Manen lebih lanjut, bahwa ada tiga momen dalam kajian etno-
grafi: a) Kegiatan pengumpulan informasi atau data mengenai suatu kebu-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 106


dayaan yang diteliti, b) penyusunan laporan etnogarfi dan c) bacaan dan
penerimaan (reading and reception) karya etnografi oleh khalayak yang
relevan dan beraneka ragam.
Entografi pada dasarnya adalah ancangan yang berawal dari disiplin
antropologi budaya. Etnografi pada pokoknya bertujuan mengkaji bagai-
mana bentuk budaya sekelompok manusia. Metode pengumpulan premier
yang digunakan ialah observasi partisipatif, yang menuntut kerja lapangan
yang intensif dengan peneliti yang terlibat penuh di dalam kebudayaan
yang dikajinya. Etnografi mementingkan asas relativisme (kenisbian)
budaya: setiap kelompok manusia akan mengembangkan budayanya dan
budaya itu dihargai sebagaimana adanya tanpa membawa nilai–nilai dari
budaya si peneliti. Ini juga menuntut penghargaan penuh (termasuk upaya
empati) dari seorang etnograf terhadap kelompok manusia yang hendak di
teliti.
2. Etnometodelogi
Etnometodelogi bersumber dalam disiplin sosiologi mokro dan dipe-
lopori oleh Harold Garfinkel (1967). Etnometodologi mempersoalkan:
bagaimana orang bisa memahami kegiatan sehari–hari, sehingga perilaku-
nya dapat diterima oleh masyarakatnya? Berbeda dengan penyelidikan
hueristis yang memperhatikan pengalaman intens, entnometodelogi lebih
memperhatikan hal-hal yang begitu lumrah dalam kehidupan sehari–hari,
sehingga tidak pernah terpikirkan secara mendalam oleh para pelakunya.
Berakar dalam fenomenologi, etnometodelogi berusaha memahami secara
akal sehat (common sense) yang digunakan oleh sekelompok manusia untuk
dapat berfungsi dalam suatu kelompok yang hendak mencapai suatu tujuan
tertentu.
Istilah etnometodologi (ethonomethodology), yang berakar pada bahasa
Yunani berarti ‘metode’ yang digunakan untuk menyelesaikan masalah
kehidupan sehari-hari. Yang dimaksud dengan kehidupan sehari-hari di sini
adalah secara praktis dunia dipandang sebagai penyelesaian masalah
berkelanjutan. Manurut Ramlan Surbakti (2010: 185), bahwa manusia di-
pandang rasional, tetapi dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-
hari, mereka menggunakan penalaran praktis, bukan formula logika.
Etnometodologi adalah studi tentang metode yang digunakan untuk
memahami dan menghasilkan tatanan sosial (social institutions) dimana
mereka tinggal. Etnometodologi, secara umum mencari alternatif dari
pendekatan sosiologis makro. Menurut Muhammad  Zeitlin (1998: 128),
bahwa etnometodologi dalam bentuknya yang paling radikal, ia menimbul-
kan tantangan bagi ilmu-ilmu sosial secara keseluruhan. Di sisi lain,
penyelidikan awal etnometodologi mengarah pada pembentukan analisis
percakapan. Bentuk analisis tersebut telah diterima sebagai disiplin dalam

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 107


dunia akademik. Etnometodologi menyediakan metode yang telah diguna-
kan dalam studi etnografi untuk menghasilkan akun tentang metode
penelitian berkenaan situasi sehari-hari. Ini adalah disiplin yang secara
mendasar bersifat deskriptif. Ia tidak terlibat dalam penjelasan atau evaluasi
tatanan sosial tertentu sebagai topik studi. Akan tetapi, aplikasinya banyak
ditemukan dalam berbagai disiplin ilmu terapan; desain perangkat lunak
dan studi manajemen.
Etnometodologi adalah studi tentang kumpulan pengetahuan berda-
sarkan akal sehat (common sense). Etnometodologi merupakan rangkaian
prosedur, serta pertimbangan (metode) yang dengannya masyarakat bisa
memahami, mencari tahu dan bertindak. Ketiganya berdasarkan situasi
dimana mereka menemukan dirinya sendiri (Heritage, 1984: 4). Pemahaman
lebih mendalam tentang sifat dasar etnometodologi, memberi peluang bagi
kita untuk memahami pikiran Garfinkel. Granfinkel, seperti halnya dengan
Durkheim, menganggap fakta sosial (social fact) sebagai fenomena sosiologi
yang fundamental. Perlu saya jelaskan di sini, bahwa pengertian fakta sosial
menurut Garfinkel sangat berbeda dengan fakta sosial yang dipahami
Durkheim. Menurut Duekheim, bahwa fakta sosial berada di luar dan
sifatnya memaksa individu. Pakar yang menerima pemikiran demikian
cenderung melihat aktor dipaksa atau ditentukan oleh struktur dan pranata
social. Akibatnya, actor memiliki sedikit sekali kemampuan untuk membuat
pertimbangan. Seperti halnya sosiolog, para pakar etnometodologi juga
cenderung membicarakan aktor yang tidak bisa memberikan pertimbangan-
nya. Sebaliknya, etnometodologi membicarakan objektivitas fakta sosial
sebagai prestasi anggota sebagai produk aktivitas metodologis anggotanya.
Garfinkel melukiskan sasaran perhatian etnometodologi sebagai berikut: 1)
Realitas objektif fakta sosial bagi etnometodologi adalah fenomena funda-
mental sosiologi, karena setiap produk masyarakat setempat yang dicipta-
kan dan diorganisir secara alamiah. Garfinkel (1991: 11), etnometodologi
dapat dijelaskan secara reflektif. Penjelasan berisi cara aktor mendeskripsi-
kan, mengkritik dan mengidealisasikan situasi tertentu. Penjelasan
(caunnting) adalah proses yang dilalui aktor dalam memberikan penjelasan
untuk memahami dunia. Pakar etnometodologi menekankan perhatiannya
untuk menganalisis penjelasan aktor, termasuk penekanan yang diberikan
dan diterima (atau ditolak) orang lain. Inilah salah satu alasan mengapa
pakar etnometodologi memusatkan perhatian pada analisis percakapan.
Satu contoh, ketika seorang mahasiswa menerangkan kepada profesornya
mengapa ia gagal lulus dalam ujian. Ia sebenarnya memberikan penjelasan
kepada dosennya, kenapa ia tidak lulus ujian. Mahasiswa tersebut mencoba
mengemukakan pemikirannya mengenai suatu peristiwa kepada dosennya.
Hakikat pertanyaan mahasiswa kepada profesornya adalah sebuah fakta

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 108


yang dialami oleh mahasiswa yang direfleksikan kepada profesornya,
sehingga yang patut menjawab adalah mahasiswa itu sendiri. Seorang pakar
etnometodologi tentu saja tertarik pada sifat dasar dari panjelasan maha-
siswa tadi, termasuk cara penjelasan kepada profesornya yang berpotensi
menerima atau menolak penjelasan mahasiswa tersebut. Dalam meng-
analisis penjelasan, pakar etnometodologi menganut pendirian ketakacuhan
metodologis. Artinya mereka tidak menilai sifat dasar penjelasan, tetapi lebih
menganalisis penjelasan itu dilihat dari sudut pandang bagaimana cara
penjelasan itu digunakan dalam suatu tindakan praktis.
a. Munculnya Etnometodologi
Etnometodologi sendiri adalah suatu studi tentang praktek sosial
keseharian yang diterima secara baik berdasarkan akal sehat (common sense).
Etnometodologi mulai berkembang pada tahun 1950 dengan tokoh peng-
gagasnya adalah Harold Garfinkel. Garfinkel sendiri adalah dosen Ucla di
West Coast University. Akan tetapi, ia baru terkenal pada akhir 1960-an dan
awal 1970-an (Poloma, 1994: 281). Garfinkel memunculkan etnometodologi
sebagai bentuk ketidaksetujuannya terhadap pendekatan-pendekatan sosio-
logi konvensional, yang dianggapnya mengekang kebebasan peneliti. Pene-
litian konvensional selalu dilengkapi dengan asumsi, teori, proposisi dan
kategori yang membuat peneliti tidak bebas dalam memahami kenyataan
sosial (social fact) sesuai dengan kenyataannya. Garfinkel sendiri mende-
finisikan etnometodologi sebagai penyelidikan atas ungkapan-ungkapan
indeksikal dan tindakan-tindakan praktis lainnya sebagai kesatuan penye-
lesaian praktek-praktek kehidupan sehari-hari yang terorganisir. Etnometo-
dologi Garfinkel ditujukan untuk meneliti aturan interaksi sosial ber-
dasarkan akal sehat. Apa yang dimaksudkan dengan dunia akal sehat disini
adalah sesuatu yang biasanya diterima begitu saja. Inti dari etnometodologi
Granfikel adalah mengungkapkan dunia akal sehat dari kehidupan sehari-
hari (Furchan, 1992: 39-41). Dalam prakteknya, etnometodogi Garfinkel
menekankan pada kekuatan pengamatan atau pendengaran dan eksperimen
melalui simulasi. Pengamatan atau pendengaran digunakan Garfinkel,
ketika melakukan penelitian pada sebuah toko. Di toko tersebut Garfinkel
mengamati setiap pembeli yang keluar dan masuk di toko tersebut, serta
mendengar apa yang dipercakapkan orang-orang tersebut. Sementara untuk
eksperimen (simulasi), Garfinkel melakukan beberapa latihan pada
beberapa orang. Latihan ini terdiri dari beberapa sifat, yaitu: responsif,
provokatif dan subersif. Pada latihan responsif yang ingin diungkap adalah
bagaimana seseorang menanggapi apa yang pernah dialaminya. Pada
latihan provokatif yang ingin diungkap adalah reaksi orang terhadap suatu
situasi atau bahasa. Sementara latihan subersif menekankan pada per-
ubahan status atau peran yang biasa dimainkan oleh seseorang dalam

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 109


kehidupan sehari-harinya. Pada latihan subersif, seseorang diminta untuk
bertindak secara berlainan dari apa yang seharusnya dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari. Latihan pertama (responsif) adalah meminta orang-
orang tersebut menuliskan apa yang pernah mereka dengar dari para
familinya lalu membuat tanggapannya. Latihan kedua (provokatif) dilakukan
dengan meminta orang-orang bercakap-cakap dengan lawannya dan
memperhatikan setiap reaksi yang diberikan oleh lawan mereka tersebut.
Sementara latihan ketiga (subersif) adalah menyuruh mahasiswanya untuk
tinggal di rumah mereka masing-masing dengan berprilaku sebagai seorang
indekos. Lewat latihan-latihan ini orang menjadi sadar akan kejadian sehari-
hari yang tidak pernah disadarinya. Latihan ini adalah strategi dari
Garfinkel untuk mengungkapkan dunia akal sehat. Dunia yang diwarnai
oleh masing-masing orang tanpa pernah mempertanyakan mengapa hal
tersebut harus terjadi. Kemunculan Garfinkel membuat beberapa pakar ikut
mengembangkan studi etnometodologi, di antaranya; Jack Douglas, Egon
Bittner, Aaron Cicourel, Roy Turner, Don Zimmerman dan D. Lawrence
Wieder. Di antara para pakar tersebut, Jack Douglaslah yang paling lengkap
pembahasan etnometodologinya. Douglas menggunakan etnometodologi
untuk menyelidiki proses yang digunakan para koroner (pegawai yang
memeriksa sebab-musabab kematian seseorang, termasuk karena bunuh
diri). Douglas mencatat, bahwa untuk menentukan hal itu, koroner harus
menggunakan pengertian akal sehat yaitu apa yang diketahui oleh setiap
orang tentang alasan orang bunuh diri sebagai dasar untuk menetapkan
adanya unsur kesengajaan (Furchan, 1992: 39). Di sini seorang koroner
mengumpulkan bukti-bukti berupa peristiwa hidup terakhir dari seseorang
yang mati tersebut. Apakah ia mengalami peristiwa yang memungkinkan ia
bunuh diri atau tidak. Jika ia tidak menemukan bukti-buktinya, ia akan
menyimpulkan, bahwa kematian tersebut bukanlah suatu tindakan bunuh
diri. Padahal mungkin saja ia telah melakukan bunuh diri. Atau sebaliknya,
jika ia menemukan bukti, ia akan menyimpulkan kematian tersebut adalah
suatu tindakan bunuh diri, Pada hal belum tentu seseorang melakukan
tindakan bunuh diri. Pendekatan ini sangat berbeda dengan apa yang
pernah dilakukan oleh Durkheim tentang bunuh diri (suicide) yang dilaku-
kannya dengan pendekatan statistikal. Di sini tampak, bahwa etnometodo-
logi adalah suatu studi atas realitas kehidupan manusia atau masyarakat
yang secara radikal menolak pendekatan-pendekatan sosiologi.
Etnometodologi dapat didefenisikan sebagai suatu cabang dari studi
sosiologi itu sendiri. Seperti yang telah dikemukakan di atas, etnometodo-
logi sebagai sebuah cabang studi sosiologi berurusan dengan pengungkapan
realitas dunia kehidupan (lebenswelt) dari individu atau masyarakat.
Menueut Talcott Parsons (dalam Poloma, 1994: 283 & Coulon, 2003: 1),

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 110


bahwa sekalipun etnometodologi dipandang sebagai sebuah studi pem-
baharuan dalam sosiologi, etnometodologi memiliki kesamaan dengan
beberapa pendekatan sosiologi sebelumnya yaitu fenomenologi dan
interaksionis simbolik. Garfinkel pada awalnya, sebelum memunculkan atau
mengembangkan studi etnometodolgi telah mendalami fenomenologi dari
Alfred Schutz di New School For Social Research. Ada dugaan kuat, bahwa
fenomenologi Schutz mempengaruhi etnometodologi Garfinkel. Ini terbukti
dari asumsi, sekaligus pendirian dari etnometodologi itu sendiri. Bagi
Schutz, dunia sehari-hari merupakan dunia intersubjektif yang dimiliki
bersama orang lain dengan siapa kita berinteraksi. Dunia intersubjektif
terdiri dari realitas-realitas yang sangat berganda di mana realitas sehari-
hari tampil sebagai realitas yang utama. Schutz memberikan perhatian pada
dunia sehari-hari yang merupakan common sense. Realitas seperti inilah yang
kita terima secara yakin dimana kita mengenyampingkan keragu-raguan,
kecuali realitas yang dipermasalahkan. Yang dimaksudkan dengan realitas
sosial (social reality) oleh Schutz adalah keseluruhan objek dan kejadian di
dunia kultural dan sosial, yang dihidupkan oleh pikiran umum manusia
bersama dengan sejumlah hubungan interaksi. Itu adalah dunia objek
kultural dan institusi sosial, dimana kita semua lahir, saling mengenal,
berhubungan satu dengan yang lainya. Sejak permulaan para aktor di atas
panggung sosial, menjalani dunia sebagai suatu dunia budaya, sekaligus
dunia alam. Hal itu bukan sebagai suatu dunia pribadi, tetapi dunia antar
subjektif. Artinya, sebagai suatu dunia yang umum untuk kita semua yang
dibentangkan di hadapan kita atau yang secara potensial dapat dinikmati
oleh siapa saja dari kita. Hal ini berimplikasi pada komunikasi dan bahasa
(Coulon, 2003: 4). Pembahasan realitas akal sehat (common sense), Schutz
kemudian memberi Garfinkel suatu perspektif untuk melaksanakan studi
etnometodologi, sekaligus sebagai dasar teoritis bagi riset-riset etno-
metodologi lainnya (Poloma, 1994: 284). Pandangan Schutz tentang dunia
sehari-sehari sebagai dunia intersubjektif, yang dimiliki bersama melalui
proses interaksi. Hal ini senada dengan interaksionisme-simbolik yang
diperkenalkan Herbert Mead. Menurut asumsi interaksionisme-simbolik,
bahwa proses interaksi antar manusia dalam masyarakat dilangsungkan
dengan simbol-simbol (signifie) atau tanda (sign). Simbol atau tanda yang
hadir dalam interaksi tersebut lalu dimaknai bersama oleh mereka yang
terlibat dalam interaksi tersebut. Pemaknaan ini diperoleh dengan proses
tafsir (interpretation) berdasarkan situasi atau konteks sosial (social context) di
mana interaksi itu terjadi. Asumsi itu setara dengan pendirian pokok dari
etnometodologi yang hendak mengungkapkan dunia sosial berdasarkan
makna akal sehat yang diterima oleh setiap individu dari situasi sosial di
mana mereka hidup. Lain pula halnya dengan pengaruh Talcott Parsons

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 111


dalam etnometodologi. Parsons memperkenalkan teori aksi atau tindakan.
Dalam teori tindakannya, Parson berpendapat, bahwa motivasi yang
mendorong suatu tindakan individu selalu berdasarkan pada aturan atau
norma yang ada dalam masyarakat dimana seorang individu hidup.
Motivasi aktor tersebut menyatu dengan model-model normatif yang
ditetapkan dalam sebuah masyarakat, yang ditujukan untuk mempertahan-
kan stabilitas sosial itu sendiri. Asumsi Parson ini senada dengan pendirian
etnometodologi, terutama Garfinkel dan Douglas. Menurut keduanya
mengatakan, bahwa seseorang di dalam menetapkan sesuatu apakah
tindakan atau perilaku, bahasa, respon atau reaksi selalu didasarkan pada
apa yang sudah diterima sebagai suatu kebenaran bersama dalam masya-
rakat (common sense). Etnometodologi dalam keseluruhan studi sosiologi
sendiri, sekalipun dianggap sebagai bentuk kritik terhadap pendekatan
sosiologi konvensional, namun tetap saja tidak bisa melepaskan diri dari
pendekatan-pendekatan sosiologi terdahulu. Keunggulan etnometodologi
adalah secara radikal membiarkan setiap situasi berbicara tentang dirinya,
tanpa melakukan intervensi seorang peneliti kedalamnya. Etnometodologi
sendiri skeptis terhadap setiap definisi mengenai dunia sosial yang dibuat
oleh sosiologi. Etnometodologi membebaskan setiap situasi untuk mendefe-
nisikan dirinya sendiri. Seorang etnometodolog di dalam menghadapi
realitas hanya bisa melihat dan mendengar lalu melukiskan apa yang
sedang terjadi di sana. Etnometodologi dalam metode penelitian kualitatif,
didefinisikan secara luas sebagai proses, prinsip serta prosedur yang
digunakan oleh seorang peneliti untuk mencari jawaban atas masalah
tersebut. Terdapat dua perpektif pokok dalam ilmu sosial yaitu positivisme
dan fenomenologi. Postivisme, terutama dari Auguste Comte dan Emile
Durkheim adalah paham yang ingin mencari fakta atau sebab-musabab
sebuah gejala sosial dengan tidak mempertimbangkan keadaan subjektif.
Fakta sosial atau gejala sosial sebagaimana didefenisikan oleh Durkheim
adalah sesuatu yang bersifat eksternal, sekaligus mengatasi individu itu
sendiri. Apa yang disebut kebenaran oleh para penganut positivisme adalah
fakta sosial itu sendiri dan bukannya apa yang dialami atau dirasakan oleh
individu. Sementara fenomenologi menekankan studi mereka pada individu
itu sendiri. Fenomenologi berusaha memahami perilaku manusia dari ke-
rangka berpikir pelaku itu sendiri. Jack Douglas, seorang etnometodolog
menuliskan, bahwa kekuatan yang menggerakkan manusia sebagai ma-
nusia, bukan sebagai badan yang nyata, melainkan sesuatu yang abstrak
tapi berarti. Kekuatan-kekuatan itulah yang disebut gagasan, perasaan dan
motif yang internal (Furchan, 1992: 18). Perbedaan paradigma ini kemudian
serta-merta mempengaruh metodologi yang dipakai oleh masing-masing
aliran terebut. Kaum positivis di dalam studi atau penelitiannya dilalui

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 112


dengan metode kuesioner, survei, inventori yang menghasilkan data
kuantitatif. Sebaliknya, kaum fenomenologis mencari pemahaman lewat
metode kualitatif dengan metode participant observation, open-ended
interviewing dan dokumen pribadi. Ada anggapan, bahwa penelitian yang
dilakukan terhadap keluarga dan komunitas di Eropa oleh Frederick LePlay
pada abad ke-19 adalah asal mula dari penelitian kualitatif. Akan tetapi,
penggunaan metode kualitatif sendiri menjadi populer di dunia sosiologi
Amerika yang dipelopori oleh pakar-pakar dari Chicago. Metode kualitatif
seperti yang didefenisikan oleh Bogdan dan Tylor adalah prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskreptif: ucapan atau tulisan dan
perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini langsung menunjukkan seting
dan individu-individu secara keseluruhan, individu dalam batasan yang
sangat holistik (Furchon, 1992: 19-20 & Maleong, 2004: 4). Sementara Jane
Richie mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai upaya untuk menyajikan
dunia sosial, dari segi konsep, perilaku, persepsi dan persoalan tentang
manusia yang diteliti (Maleong, 2004: 6). Maleong sendiri membatasi
penelitian kualitatif sebagai penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, seperti: perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain. Hal tersebut dideskripsikan
secara holistik dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks
khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah
(Maleong, 2004: 6). Defenisi Maleong tersebut dengan tegas menghantar kita
untuk melihat hubungan antara penelitian kualitatif dan etnometodogi.
Etnometodologi sebagai studi tentang praktek sosial keseharian yang
diterima secara penuh. Etnometpdologi sebagai pengungkapan dunia akal
sehat yaitu dunia yang digeluti individu dalam kesehariannya. Dengan
demikian, hubungan antara etnometodolgi dengan metode penelitian kuali-
tatif erat sekali. Dalam kerangka penelitian kualitatif, etnometodologi dipo-
sisikan sebagai sebuah landasan teoritis dalam metode tersebut (Maleong,
2004: 14-24).
Etnometodologi adalah salah satu teori yang dipayungi oleh para-
digma ilmu sosial. Paradigma tersebut dilandasi analisis Weber tentang
tindakan sosial (social action). Analisis Weber dan Durkheim terlihat dengan
jelas. Durkheim memisahkan struktur dan institusisosial. Sebaliknya Weber
melihat hal tersebut dalam satu kesatuan yang membentuk tindakan
manusia yang penuh arti atau makna. Menurut Weber, tindakan sosial
merupakan tindakan individu yang mempunyai makna atau arti subjektif
bagi dirinya, yang kemudian diarahkan kepada tindakan orang lain.
Sebaliknya, tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati sebagai
obyek fisik, tanpa dihubungkan dengan tindakan orang lain, yang bukan
berupa tindakan sosial (Ritzer, 2009: 38).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 113


b. Tantangan Etnometodologi
          Kemunculan etnometodologi sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap
pendekatan-pendekatan sosiologi konvensional, karena penekatan tersebut
dianggapnya mengekang kebebasan peneliti. Seperti yang sudah saya
sebutkan di atas, bahwa peneliti konvensional selalu dilengkapi hal-hal
yang sifatya membatasi kebebasan peneliti dalam memahami kenyataan
sosial yang sebenarnya. Etnometodologi ditujukan untuk meneliti aturan
interaksi sosial sehari-hari yang berdasarkan akal sehat, yang biasanya
diterima begitu saja.
          Para sosiolog memandang etnometodologi terlalu memusatkan per-
hatian pada masalah sepele dan mengabaikan masalah yang sangat penting.
Menurut Atkinson (dalam Ritzer, 2009), bahwa etnometodologi terus
menghanyutkan diri pada ketidak-pahaman dan permusuhan yang tidak
ada ujung pangkalnya. Pada hal keseluruhan apa yang ditinggalkannya
perlu diperhitungkan apabila menyangkut teori, metode dan tindakan
empiris dalam penelitian sosiologi. Ia yakin, bahwa etnometodologi telah
melupakan akar fenomenologisnya dan mengurangi perhatiannya terhadap
kesadaran dan proses kognitif. Etnometodologi lebih memusatkan perhatian
pada ciri struktur percakapan itu sendiri.
          Etnometodologi mendapat kritik keras dari Pollner, karena kehilangan
refleksivitas radikal aslinya. Refleksivitas mengarah pada pandangan,
bahwa semua aktivitas sosial adalah prestasi, termasuk aktivitas pakar etno-
metodologi. Etnometodologi berada di pinggiran sosiologi. Artinya, ketika
keberadaannya semakin diterima, pakar etnometodologi cenderung meng-
abaikan kebutuhan menganalisis karya mereka. Akibatnya, etnometodologi
terancam kehilangan kemampuan menganalisis dan mengkritik dirinya
sendiri. Akibatnya, etnpmetodologi hanya menjadi bidang lain dari teori
yang sudah mapan.    
          Menurut Raho (2007), bahwa dalam mengembangkan dan memper-
luas ide-ide, etnometodologi  memberikan pandangan yang berbeda tentang
dunianya. Akibatnya, ia bisa menjadi paradigma alternatif dalam sosiologi.
Akan tetapi, untuk melihat pandangan yang berbeda tersebut dari konsep
yang telah ada perlu menghubungkan antara etnometodologi dengan akar-
akar intelektualnya. Dengan demikian, etnometodologi perlu menentukan
sikap, seperti berikut ini: Pertama, jika interaksionisme simbolik menekan-
kan proses penciptaan makna, maka ia harus mengakui adanya keberadaan
dunia eksternal yang bersifat obyektif dalam bentuk norma, nilai, peran dan
struktur sosial. Akan tetapi, bila etnometodologi memusatkan perhatiannya
pada bagaimana interaksi menciptakan perasaan diantara para aktor akan
dunia faktual yang berada di luar sana. Kedua, Analisis dramaturgi yang
digagas oleh Erving Goffman, menekankan betapa pentingnya proses

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 114


manajemen kesan dan tidak peduli dengan tujuan atau sasaran yang hendak
dicapai dari aksi tersebut. Analisis ini berpusat pada bentuk interaksi itu
sendiri. Bukan pada struktur-struktur yang diciptakan, dipertahankan dan
diubah. Goffman tertarik membuat analisa tentang bagaimana aktor
mengesahkan konsep tentang dirinya dan membenarkan tindakannya
melalui isyarat: a) bagaimana mereka menjaga jarak dengan obykenya dan
b) bagaimana melakukan manipulasi untuk memperlancar keadaan. Meski-
pun etnometodologi setuju dengan konsep Goffman tentang teknik aktor
untuk menciptakan kesan dalam dunia sosial, namun minat etnometodologi
bukanlah tertuju pada manajemen kesan individu tersebut. Etnometodologi
memokuskan perhatiannya pada bagaimana aktor-aktor menciptakan pera-
saan akan realitas yang sama. Ketiga, Harus diakui, banyak konsep etnome-
todologi yang diambil dari fenomenologi Husserl dan Schutz. Akan tetapi,
etnometodologi menyesuaikan analisis fenomenologi dengan isu tentang
bagaimana keteraturan sosial dipertahankan dengan praktek-praktek yang
biasa dilakukan aktor untuk menciptakan sense.
E. Determinisme dan Posibilisme Kebudayaan
Franz Boas dan Alfred Koeber (Marquette, 1977: 2) adalah dua ahli
yang berhasil mengangkat isu posibilisme lingkungan (environmental possibi-
lisme). Perspektif terhadap lingkungan alam seperti ini dapat menimbulkan
kemungkinan (possibilities) atau opsi tertentu, dimana sebuah kebudayaan
dapat dikondisikan dan ditentukan melalui sejarah dari budaya-budaya
tertentu. Pandangan posibilistik tentang hubungan antara kebudayaan dan
lingkungan dapat dikategorikan sebagai sebuah bentuk kompromi antara
budaya (hanya budaya yang dapat menentukan budaya) dan determinisme
lingkungan (hanya lingkungan yang dapat menentukan budaya). Posibi-
lisme lingkungan dalam berbagai hal dapat menandai adanya sebuah
paradigma penting yang lebih mengarah pada sebuah lingkungan integratif
dan dialektif daripada ke arah padangan deterministik yaitu lebih memen-
tingkan hubungan antara kebudayaan dan lingkungannya. Pendekatan
posibilistik tersebut banyak mewarnai pendekatan ekologi kebudayaan
(cultural ecological approaches) saat ini.
Perbedaan kedua pendekatan tersebut di atas dengan jelas diuraikan
oleh Poerwanto (2000: 79-84). Pendekatan posibilis dan determinis tidak lain
hanya merupakan upaya untuk melihat manusia dengan latar belakang
habitat mereka, yang merupakan cerminan dari hasil adaptasi makhluk
manusia itu sendiri. Menurut kaum posibilisme, pada hakikatnya perilaku
dalam suatu kebudayaan dipilih secara selektif, atau jika tidak, secara tak
terduga merupakan hasil adaptasi dengan lingkungannya. Dengan
demikian, kaum posibilis sangat yakin, suatu lingkungan tertentu tidak
dapat dipandang sebagai penyebab utama munculnya perbedaan kebudaya-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 115


an, melainkan hanya sebagai pembatas atau penyeleksi saja. Kaum posibilis
juga beranggapan, pada dasarnya faktor geografis tidak mungkin mem-
bentuk suatu kebudayaan manusia, karena pembentukannya merupakan
suatu gejala yang sepenuhnya bersifat historis, bahkan superorganis.
Dengan kata lain, bahwa keadaan alam lingkungan tidak sepenuhnya
merangsang timbulnya suatu pola kebudayaan tertentu. Itulah sebabnya,
mengapa kaum possibilis yakin seratus persen, bahwa hampir semua
praktek-praktek kebudayaan bersifat khas dan spesifik. Mengapa, karena
kebudayaan tidak langsung berkaitan secara logika dengan keadaan alam
habitat geografisnya.
Kaum antropogeografis (Poerwanto, 2000: 79-84), di pihak lain, lebih
berdasar pada suatu pendekatan yang menekankan sejauh mana dan bagai-
mana cara-cara kebudayaan manusia itu dibentuk oleh kondisi lingkungan-
nya. Pendapat ini tampak pada teori klimatologi Elsworth Huntington.
Sekalipun demikian, kaum antropogeografis juga masih mengakui, bahwa
ada berbagai variasi dalam kebudayaan manusia yang dapat terlepas dari
pengaruh geografis. Jika hal itu terjadi, variasi yang ada seringkali di-
anggap sebagai akibat kebetulan saja, karena adanya faktor ras. Para
penganut antropogeografis yakin, bahwa faktor geografislah yang seringkali
tampak atau memainkan peranan dinamis. Bukan pasif dalam perkembang-
an kebudayaan manusia.
Julian Steward (dalam Marquette, 1977: 2), merupakan salah satu murid
Kroeber. Ia telah meneliti kelompok masyarakat pribumi di Amerika Barat
Daya. Dalam penelitiannya tersebut ia mengembangkan sebuah prinsip
umum yang oleh banyak pihak dipandang sebagai landasan eksplisit dan
penting dalam studi ekologi kebudayaan (cultural ecology). Steward dalam
studinya memokuskan kajiannya pada bagian-bagian kebudayaan (part of
culture) atau pada inti kebudayaan (culture core). Menurutnya, inti kebu-
dayaan mempunyai hubungan paling dekat dengan alam semesta (physical
world). Ini merupakan subsistensi atau strategi produktif dalam sebuah
kebudayaan. Inti kebudayaan sebagai pola subsistensi banyak berhubungan
dengan eksploitasi dari bagian-bagian yang relevan dengan lingkungan
tertentu atau lingkungan yang efektif (tanah, iklim dan sebagainya). Sebalik-
nya, inti kebudayaan sebagai suatu ciri kebudayaan (cultural trait), dapat
membentuk wajah baru dalam kebudayaan itu sendiri seperti organisasi
sosial (social organization). Oleh karena itu, ide pokok dari inti kebudayaan
adalah untuk menandai sebuah peran interaktif, baik lingkungan maupun
kebudayaan dalam rangka pembentukan perubahan budaya (cultural
change).
Tidak berlebihan, jika Geertz (1992) berpendapat, bahwa analisis eko-
logis hanya relevan pada aspek inti kebudayaan. Melalui inti kebudayaan,

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 116


analisis ekologi akan mampu menunjukkan konstelasi unsur-unsur penting
dalam penyelenggaraan atau pengaturan kehidupan dan penyusunan
ekonomi. Secara empirik, pola-pola sosial, politik dan agama diduga
berkaitan dengan pengaturan pola-pola kehidupan dan ekonomik. Oleh
karena itu, ekologi budya meusatkan perhatiannya ada pengalaman
empirik, terutama yang ada hubungannya dengan pemanfaatan lingkungan
(Poerwanto, 2000: 76-77).
Menurut Gadgil dan Berkers (dalam Mitchell, 2000: 299), bahwa seper-
tinya telah menjadi suatu ketentuan, bahwa sepanjang sejarah manusia
selalu ada sekelompok masyarakat yang masih peduli terhadap pengguna-
an sumberdaya alam yang berkelanjutan. Kelompok tersebut rela mem-
praktekkan sistem konservasi sumber daya alamnya dengan tepat. Praktek-
praktek seperti ini biasanya didasarkan pada beberapa aturan sederhana,
namun menjamin adanya penggunaan sumberdaya alam jangka panjang.
Aturan-aturan tersebut secara alamiah didapat melalui proses uji-coba (trial
and error) dengan meneruskan sistem pengelolaan yang dianggap mampu
mempertahankan sumberdaya alam. Mereka akan meninggalkan pengelola-
an yang dianggap dapat menimbulkan kerusakan lingkungan. Dengan
demikian, dapat dikatkan sistem pengetahuan lokal sangat besarnya sum-
bangsihnya di dalam pengelolaan lingkungan, khususnya sumberdaya
hutani. Koentjaraningrat (1990: 372-375) kemudian mengusulkan, agar
pemakaian istilah sistem pengetahuan lokal (local knowledge) perlu dibeda-
kan dengan konsep ilmu pengetahuan (science atau know1edge). Mengapa,
karena isi sistem pengetahuan yang terkandung di dalam suatu kebudayaan
menurut Koentjaraningrat, meliputi: 1) Pengetahuan alam sekitarnya, 2)
Pengetahuan alam flora, 3) Pengetahuan alam fauna, 4) Pengetahuan zat-zat
bahan mentah dan benda-benda dalam lingkungannya, 5) Pengetahuan
tubuh manusia, 6) Pengetahuan sifat-sifat dan tingkah laku sesama manusia
dan 7) Pengetahuan ruang dan waktu: perhitungan jumlah dan pengukuran
volume atau waktu (tanggalan) dan penimbangan berat.
Bannet (dalam Kartasubrata, 2003: 137-140) juga memperlihatkan
bagaimana kedekatan hubungan antara kebudayaan dengan masalah ekologi.
Hubungan keduanya, dikembangkan dalam suatu bentuk studi khusus
yaitu ekologi kebudayaan (cultural ecology). Ekologi kebudayaan tersebut
memiliki 5 (lima) pendekatan, berikut ini: 1) Antropogeografi (determinisme
lingkungan), 2) Posibilisme lingkungan, 3) Ekologi kebudayaan, 4) Ekosiste-
misme kebudayaan, dan 5) Dinamika adaptif.
Menurut Bennet (1976), bahwa salah satu model yang paling banyak
digunakan dalam studi ekologi adalah dinamika adaptif. Hal tersebut
melihat hasil-hasil tingkah laku sebagai suatu bentuk konsekuensi dari
keputusan dan pilihan manusia. Bukan sebagai akibat-akibat yang tidak

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 117


dapat dihindarkan dari fenomena-fenomena yang ada. Model adaptasi
tersebut mampu mengubah sistem wawasan dalam artian, bahwa pengen-
dalian atau keseimbangan dianggap dapat tercapai. Pencapaian tersebut
disebabkan dengan adanya keputusan atau persetujuan (conventional)
manusia. Jadi, bukan proses-proses otomatis yang terjadi di luar kesadaran,
sekalipun hal ini kadang-kadang memang bisa terjadi.
F. Etnosentrisme dan Relativisme
Jauh sebelum para penjajah (colonialist) mengembangkan sayapnya
untuk menjajah bangsa-bangsa lain, persiapan demi persiapan mutlak
dilakukan. Persiapan tersebut, terutama untuk mempelajari watak dan
kebudayaan masyarakat yang akan dijajahnya. Tidak sedikit mereka
mengirim ahli-ahli budaya yang ketika itu dijuluki sebegai etrnograf dan
misionaris keagamaan untuk mengubah pandangan dan kosmologi masya-
rakat calon jajahannya. Sebagai seorang peneliti atau ahli yang belum cukup
berpengalaman, sebahagian dari mereka mengambil kebudayaan miliknya
sebagai pembanding kebudayaan yang menjadi obyeknya. Dari sinilah
muncul streotipe31 dalam diri mereka. Akibatnya, mereka pun menciptakan
istilah-istilah yang bukan pada tempatnya. Timbullah istilah masyarakat
primitif (primitive society) yang ia bandingkan dengan masyarakat maju
(modern society), yang konon miliki peradaban maju. Istilah masyarakat
primitif tersebut diindentikkan dengan keterbelakangan (mental, ekonomi,
spiritual dan sebagainya). Sedangkan masyarakat modern diidentikkan
dengan kemajuan dalam segala hal. Kalangan kaum konglomerat Perancis,
misalnya, menurut Max Weber diciptakan dalam dua golongan masyarakat:
proletar yang diduduki oleh para buruh dan pekerja biasa. Mereka tidak
memiliki saham atau modal. Sebaliknya golongan borjois yang memiliki
segala-galanya. Dalam era pos-modern timbul istilah lain seperti negara
Barat dan negara Timur (Timur Dekat, Timur Tengah dan Timur Jauh), yang
melahirkan pandangan-pandangan dan penilaian-penilaian baik-buruknya
sebuah masyarakat dan kebudayaannya. Pandangan-pandangan seperti ini
disebut etnosentrisme (enthnocentrism). Padangan ini berupa kepercayaan,
bahwa kebudayaan sendiri dalam segala hal lebih tinggi daripada semua
kebudayaan orang lain. Boas sendiri sangat yakin dan menyimpulkan,
bahwa variasi dari fenotipe (phenotype)32 dalam sebuah ras tidak memung-
31
Streotipe menurut Koentjaraningrat (2003: 225) adalah konsepsi mengenai sifat-sifat
suatu golongan bedasarkan prasangka subyektif dan tidak tepat. Fenotipe Koentja-
raningrat (2003: 62) adalah ciri-ciri fisik yang nampak dari luar sebagai akibat evolusi
biologi pada orgamsme.
32
Fenotipe adalah suatu karakteristik (baik struktural, biokimiawi, fisiologis, dan perilaku)
yang dapat diamati dari suatu organisme yang diatur oleh genotipe dan lingkungan serta
interaksi keduanya. Pengertian fenotipe mencakup berbagai tingkat dalam ekspresi gen
dari suatu organisme.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 118


kinkan untuk menjustifikasi adanya tingkatan kemajuan suku bangsa
(ethnocentrsim) sebagai yang terkebelakang (inperio) dan yang cukup maju
(superior).
Relatifisme, di pihak lain, adalah sebuah pandangan yang sangat jauh
dari penilaian-penilaian suatu kebudayaan. Relatifisme merupakan tesis
yang menyatakan, bahwa setiap kebudayaan bersifat karakteristik, sehingga
kebudayaan hanya dapat dinilai berdasarkan norma-norma (norms) dan
nilai-nilainya (values) sendiri. Relatifisme kebudayan melihat manifestasi
dari sebuah kebudayaan dapat berbeda sesuai dengan tempatnya, sehingga
dalam pengertian ilmu budaya tidak ada seorang yang lebih berbudaya
dibandingkan dengan yang lainnya. Semua kebudayaan unggul pada
tempatnya sendiri-sendiri. Orang Papua yang berasal dari suku Asmat,
misalnya, begitu sangat bangga dengan pakaian adatnya berupa koteka
bagi kaum adam dan gaun rok rumbai yang terbuat dari kulit kayu bagi
kaum hawa.
Franz Boas (1896) dalam bukunya The Limitations of the Comparative
Method of Anthropology menganjurkan, agar prinsip penilaian suatu kebu-
dayaan melalui metode perbandingan (comparative methods) sebaiknya
jangan dilakukan, karena hal itu sangat rentan dengan perspektif etnosen-
trisme. Dengan dasar inilah, Boas mengajukan sebuah konsep baru yang
melihat kebudayaan dalam level yang sama. Artianya, tidak ada keunggul-
an yang dapat dicapai antara satu dengan yang lainnya, sehingga semua
kebudayaan sama sesuai dengan kondisinya (cultural relativism).

REFERENSI

Alan Barnard. 2004. History and Theory in Anthropology. United State of


America : Cambridge Press.
Auyang, Sunny Y.. 1999. Foundations of Complex-system Theories: in Economics,
Evolutionary Biology, and Statistical Physics. Cambridge University
Press.
Bailey Kanneth D.. 1982. Methods of Social Research, New York: A Division of
Macmillan Publishing Co. Inc..
Barry Oshry, 2008, Seeing Systems: Unlocking the Mysteries of Organizational
Life, Berrett-Koehler Publishers.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 119


Benedict, Ruth. 1934. Patterns of Culture. New York: The New American
Library
_______. 1946. The Chrysanthemum and the Sword. Boston: Houghton Mifflin
Bennet W. John. 1976. Anticipation, Adaptation, and the Concepts of Culture in
Anthropology. Science vol. 192. number 4242, 28 May 1976.
Boas, Franz. 1896. An Anthropologist’s Credo, The Nation 147 (1938): 201–4.
Bogdan, Robert. Participant Observation in Organizational Settings.
Syracuse, NY: Syracuse University Press, 1972.
Bohannan, Paul & Glazer, Mark. 1988. High Points in Anthropology (Second
Edition), New York : Alfred A, Knopf.
Charlotte, Seymour Smith. 1986. Dictionary of Anthropology. Boston: G. K.
Hall and Company.
______. 1990. Macmillan Dictionary of Anthropology. London and Basingstoke.
The Macmillan Press Ltd.
Catherine Marquette. 1997. Turning but not Toppling Malthus: Boserupian
Theory on Population and the Environment Relationships. Working pa-
per. Chr Michelsen Institute Development Studies and Human
Rights. Bergen Norway
______. 1977. Cultural Ecology Working paper. Chr Michelsen Institute
Development Studies and Human Rights. Bergen Norway
Carol R. Ember and Melvin R. Ember. 2014. Cultural Anthropology. Publisher:
Pearson Press.
Creswell, J. W. 1998. Qualitatif Inquiry and Research Design. Sage Publications,
Inc: California.
Doug Maynard & Steve Clayman, The Diversity of Ethnomethodology, ASR,
V.17, pp. 385–418. 1991. A survey of various ethnomethodological
approaches to the study of social practices.
Freud Sigmund. 1913. Totem and Taboo. London: MacMillan.
Fox, Robin. 1967. Kinship and Marriage. Harmondsworth, UK: Pelican Books.
Furchan Arief 1992. Metode Penelitian Kualitatif, Usaha Nasional, Surabaya.
Geertz Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius.
______. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta : Kanisius.
George Ritzer dan Douglas J.Goodman. 2008. Teori Sosiologi Dari Teori
Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Muktahir Teori Sosial Postmodern.
Penerjemah Nurhadi, Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Gopala Sarana 1975. The Methodology of Anthropological Comparisons: An
Analysis of Comparative Methods in Social and Cultural Anthropology
(Viking Fund Publications in Anthropology), Dallas USA: University of
Arizona Press
George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 1989. Teori Sosiologi Dari Teori
Sosiologi Corporation.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 120


Groat, L. & Wang, D. (2002). Architectural Research Methods. New York: John
Wiley & Sons. Inc.
Harold Garfinkel, 1984. Studies in Ethnomethodology, Malden MA: Polity
Press/Blackwell Publishing.
_______1967. Ethnomethodology, Penguin, Harmondsworth.
_______. 1984. Studies in Ethnomethodology, Polity Press, Cambridge.
_______. 2002. Ethnomethodology's Program. New York: Rowman and
Littlefield.
_______. 1992. Two Incommensurable, Asymmetrically Alternate Technologies of
Social Analysis', in G. Watson & R. M. Seiler (eds.), Text in Context,
Sage, London, pp. 175–206.
_______. 1984. Studies in Ethnomethodology, Malden MA: Polity Press atau
Blackwell Publishing
Harris, Marvin. 1979. Cultural Materialism: The Struggle for a Science of Culture.
New York: Random Hous
Haviland A. William. 1993. Antroplogi, Edisi Kempat, Jilid 1 dan 2. Jakarta :
Erlangga.
Heddy Shri Ahimsa Pustra, Wacana Seni Dalam Antropologi Budaya:
Tekstual, Kontekstual dan Post-Modernistis, dalam Ketika Orang
Jawa Nyeni (Yogyakarta: Galang Press
Heritage, J. (1984). Garfinkel and ethnomethodology. Cambridge, U.K: Polity
Press. Page 5.
_______. 1991. Garfinkel and Ethnomethodology, Cambridge: Polity. Garfinkel,
H. 1974)/'The origins of the term ethnomethodology', in R.Turner (Ed.)
Hunter K. E. And Whitten Philip. 1982. Anthropology Contemporary Perspec-
tive. (Third edition). Boston Little, Brown and Company.
Irwan Djamal Zoer’Aini. 2003. Prinsip-Pinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem
Komunitas & Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara.
Kaplan, David dan Manners, A. Albert. 2000. Teori-Teori Budaya. Yogya-
karta : Pustaka Pelajar.
Kartasubrata, Junus, 2003. Social Forestry dan Agroforestry di Asia (Buku I &
II). Bogor: Lab. Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan Fak.
Kehutanan, IPB.
Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Kesejah-
teraan Sosial Komunitas Adat Terpencil, Jakarta: Skretaris Negera.
Keesing, M. Roger. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer
Jilid I dan II. Jakarta : Erlangga.
Khun Thomas S.. 1962. The Structure Of Scientific Revolution: a Brilliant,
Original Analysis of Revolutions Consequences of Revolutions in Basic
Scientific concepts. Cichgi : University of Chicago Press.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 121


Kobben, AJ. (1952) ‘The New Ways of Presenting an Old Idea: The Statistical
Method in Anthropology’, Journal of the Royal Anthropological
Institute, 83:129–46
Kroeber A. L. dan Kluckhohn C.. 1952. Culture: A Critical Review of Concept
and Definitions. Peabody Museum Papers 47. 1. Cambridge: Havard
University Press.
Koentjaraningrat, 1972. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta
_______. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta : Rineka Cipta.
_______. dkk., 2003. Kamus Istilah Antropologi. Jakarta: Pusat Bahasa Depar-
temen Pendidikan Nasional.
Kottak Philip. 1991. Anthropology: The Exploration of Human Diversity
edisi V, New York: McGraw-Hill, Inc ..
Leach, Edmund R. 1954. Political Systems of Highland Burma. Boston: Beacon
Press
Levi-Strauss, Claude. 1968. Structural Anthropology. New York: The Penguin
Press, 1968. (Originally published in 1958.) Levine, George, ed. Cons-
tructions of the Self.
________. 2008 [1997]. The Culinary Triangle. In Carole Counihan and Penny
Van Esterik. Food and Culture: A Reader. Peter Brooks (trans.) (2nd ed.).
New York: Routledge. pp. 36–43 (28–35 in first edition). Originally
published.
Leach, Edmund R.. 1961. Rethinking Anthropology. London: Athlone Press
Harris, Marvin. 1968. The Rise of Anthropological Theory. New York:
Thomas Crowell Co.
Maleong, Lexy J., 2007, Motodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja
Malinowski, Bronislaw.. 1922. Argonauts of the Western Pacific, London:
Routledge & Kegan Paul.
_______. 1926. Myth in Primitive Psychology, London, reprinted in B.
Malinowski, Magic, Science and Religion, and Other Essays, 1948.
_______. 1939. ‘The Group and the Individual in Functional Analysis’, in
American Journal of Sociology 44:938–64.
_______.1948. Magic, Science and Religion, and Other Essays, Glencoe, Ill.: Free
Press.
_______. 1989. A Diary in the Strict Sense of the Term, Stanford, Calif.: Stanford
University Press.
Margaret M. Poloma, 1994. Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers
Margono S. Drs. 2007. Metologi Penelitian Pendidikan Komponen MKDK.
PT. Rineka Cipta, Jakarta.
McGee, Robert W.: 2006. Three Views on the Ethics of Tax Evasion, Journal
Melalatoa, M. J.. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta: Indo-
nesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 122


Michaël Devaux and Marco Lamanna, The Rise and Early History of the
Term Ontology (1606–1730), Quaestio.Yearbook of the History of the
Metaphysics, 9, 2009, pp. 173-208 (on Leibniz pp. 197-198).
Miller, Barabra. Cultural Anthropology. 4th ed. Boston: Pearson Education
Inc., 2007.
Mitchell, Bruce, Setiawan B. & Rahmi Hadi Dewita. 2000. Pengelolaan Sumber
Daya dan Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Mulyana.  Metodologi. 2002. Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya..
Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto. 2005. Teori-Teori Kebudayaan.
Yogyakarta: Kanisius.
Neuman Lawrence W.. 2006. Social Research Methods (Qualitative and
Quantitative.
Oshry Barry .2008. Seeing Systems: Unlocking the Mysteries of Organizational
Life. Berrett-Koehler.
Pelto, P. J., and G. H. Pelto, 1978. Anthropological Research: The Structure of
Inquiry, 2nd ed. New York: cambridge University press.
Pike. K. 1967. Language in Relation to A Unified Theory Of Human Behavior.
Mouton. The Hague.
Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan: Dalam Perspektif
Antropologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Quine. 1953. From Logical Point of View: New York. Harper & Row.
Radcliffe-Brown, A.R. 1965 [1952]. Structure and Function in Primitive Society.
New York: The Free Press
Raho Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Pub-
lisher.
Ramlan Surbakti. 2010. Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial, Malang:
Aditya Media Publishing.
Ritzer, George. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana
Ritzer George, J. Goodman Douglas. 2019. Teori Sosiologi.  Jakarta: Kencana.
Robert K. Yin, Case Study Research Design and Methods.(Washington :
COSMOS Corporation, 1989).hlm103
Robinson, Geoffrey B.. 2018. The Killing Season: A History of the Indonesian
Massacres, 1965-66. Princeton University Press.
Sabitha Marican 2005. Kaedah Penyelidikan Sains Sosial. Petaling Jaya: Prentice
Hall
Steward, Julian. 1953. Evolution and Process. In Alfred Kroeber, ed.
Anthropology Today. Chicago: The University of Chicago Press, 313–
26.
______. 1955. The Theory of Culture Change. Urbana. University of Illionis
Press.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 123


Sunny Y. Auyang, 1999, Foundations of Complex-system Theories: in Economics,
Evolutionary Biology, and Statistical Physics, Cambridge University
Press
Tania Murray Li, 1999. Comparison Powe: Development, Culture, and Rule in
Indonesi, Dalhousie Iniversity: Department of Sociology and Social
Anthropology
Tylor, E.B. 1958 [1871]. Primitive Culture. New York: Harper Torchbooks
White, Leslie. 1940. The Symbol: The Origin and Basis of Human Behavior.
Philosophy of Science 7 (4): 451–63.
______. 1949. The Science of Culture. New York: Grove
William Schabas. 2000. Genocide in international law: the crimes of crimes.
Cambridge University Press, 2000, p. 25: Lemkin's interest in the
subject dates to his days as a student at Lvov University, when he
intently followed attempts to prosecute the perpetration of the
massacres of the Armenians."
Yin, Robert K. Case Study Research Design and Methods, Washington:
COSMOS
Zeitlin, Muhammad. 1998. Memahami kembali Sosiologi. Yogyakarta: Gadjah
MadaUniversity Press.

BAB III
MEKANISME PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN

A. Evolusi Kebudayaan Lintas Waktu


1. Teori Darwin, Darwinisme, Anti Darwin
a. Charles Robert Darwin dan Darwinisme
Charles Darwin adalah seorang naturalis berkebangsaan Inggris. Ia
menyatakan, bahwa evolusi berlangsung karena adanya proses seleksi alam
(natural selection). Yang dimaksud seleksi alam adalah proses pemilihan
yang dilakukan oleh alam terhadap variasi makhluk hidup di dalamnya.
Hanya makhluk hidup yang memiliki variasi sesuai dengan lingkungan
yang bisa bertahan hidup, sedangkan yang tidak sesuai akan punah
(survival of the fittest)33. Organisme yang bisa hidup inilah yang selanjutnya

33
Seleksi alam memiliki konsep: spesies yang berhasil beradaptasi dengan baik akan
terus bertahan hidup, sedangkan yang tidak dapat beradaptasi akan punah. Seleksi alam
yang dimaksud dalam teori evolusi adalah teori bahwa makhluk hidup yang tidak
mampu beradaptasi dengan lingkungannya lama kelamaan akan punah. Yang tertinggal
hanya-lah mereka yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Sesama makhluk

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 124


akan mewariskan sifat-sifat yang sesuai dengan lingkungan pada generasi
beri-kutnya.
Ada dua macam evolusi: evolusi progressif dan evolusi regressif.
Evolusi progressif merupakan proses evolusi yang menuju ke kemungkinan
dapat bertahan hidup, sehingga menghasilkan spesies baru. Evolusi re-
gressif merupakan evolusi menuju ke kemungkinan mengalami kepunahan.
Evolusi pertama menurut Gising (2008) kemungkinan bisa berhasil bertahan
hidup, karena mereka berhasil melakukan adaptasi dengan baik (wel-
adaptive). Sedangkan evolusi kedua tidak mampu bertahan atau mengalami
kepunahan, karena mereka tidak mampu beradaptasi (mal-adaptive) dengan
leingkungannya.
Menurut Lamarck dalam teorinya use and disuse, bahwa bagian tubuh
makhluk hidup dapat berubah baik ciri, sifat maupun karakternya, karena
pengaruh lingkungan hidupnya. Apabila bagian tubuh dari makhluk hidup
tersebut sering digunakan, sangat mungkin bagian tubuh tersebut berubah,
karena ada kesesuaian kegunaannya pada lingkungan tersebut. Sebaliknya,
bagian tubuh yang jarang digunakan, bagian tubuh tersebut akan meng-
hilang (rudimenter). Akan tetapi, perlu saya jelaskan di sini, bahwa bagian
tubuh yang telah mengalami perubahan dan sudah sesuai dengan lingkung-
annya, dapat dipastikan memiliki ciri atau karakter yang berbeda dengan
aslinya. Sifat perolehan inilah yang akan diwariskan kepada keturunannya
dari generasi ke generasi. Suatu saat nanti muncul makhluk hidup yang
lebih maju daripada moyangnya. Saya ambil contoh rusa kutub dengan rusa
hutan tropis. Bulu rusa kutub lebih lebat dan panjang dibandingkan dengan
rusa-rusa di daerah tropis. Demikian pula beruang kutub dengan bulu putih
dan lebat berbeda dengan bulu beruang yang ada di daerah tropis. Perbeda-
an bentuk bulu dan warna bulu kedua binatang yang satu spesies di atas
sengat berkaitan dengan keadaan lingkungannya. Bulu putih sering diguna-
kan untuk membuat kamuplase bagi binatang buruannya. Bulu yang tebal
dan tipis digunakan untuk mengantisipasi perubahan temperature yang ada
di dalam habitatnya. Bulu tebal untuk mengatisipasi cuaca dingin. Sedang-
kan bulu tipis digunakan untuk mengatur temperature tubuhnya dengan
keadaan cuaca yang ada di sekitarnya.
Darwin adalah ikon besar dalam evolusi biologi manusia dan mahluk
hidup lainnya. Tidak sedikit dari beberapa ahli kenamaan yang terpengaruh
dan mengikuti kiblat teori evolusi biologi (biological evolutions). Darwin
memperkenalkan teori evolusi di dalam bukunya berjudul On The Origin of
Sepecies, yang ditebitkan pada tahun 1858. Sebaliknya, tidak sedikit pula ahli
dari berbagai bidang ilmu yang mengecam dan menentang habis-habisan

hidup akan saling bersaing untuk mempertahankan hidupnya.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 125


teori evolusi Darwin tersebut. Melalui sub-bab evolusi biologi ini, saya ingin
menjelaskan, bahwa sebenarnya pro-kontra teori Darwin pada prinsipnya
tidak perlu terjadi. Siapapun tidak bisa menyalahkan pendapat-pendapat
Darwin, karena memang dia berangkat dari ilmu pasti, yang positifistik
sifatnya. Jika, yang memprotesnya dari kalangan ahli ilmu eksakta, sudah
dapat dipastikan dia tidak terlalu mendalami prinsip-prinsip seleksi alam
(survival of the fittest) dan hanyutan genetika (Genetic Drift). Apa lagi kalau
anda, saya dan kita semua berangkat dari kacamata (paradigm) ilmu sosial,
yang relatifis sifatnya, sangat tidak mungkin mampu mengikuti alur konsep
dan pemikiran evolosi biologi yang diperkenalkan oleh seorang Darwin.
Teori dan Konsep Charles Darwin, pada prinsipnya bukan asli sebagai
hasil renungannya sendiri. Jauh sebelumnya, abad ke-6 SM seorang filsuf
Yunani, Anaximander, telah menghasilkan renungan filsafat tentang nenek
moyang bersama dan transmutasi spesies (Wright, 1984). Kajian filsafat Biologi
Anaximander tersebut kemudian diikuti oleh Empedokles, Lucretius,
biologiawan Arab Al Jahiz, filsuf Persia Ibnu Miskawaih, Ikhwan As-Shafa
(Muhammad Hamidullah dan Afzal Iqbal, 1993) dan filsuf Cina Zhuangzi
(Zirkle C., 1941). Pada abad ke-18, pemikiran evolusi mulai ditelusuri oleh
beberapa filsuf seperti Pierre Maupertuis tahun 1745 dan Erasmus Darwin
tahun 1796 (Terrall M., 2002). Pemikiran ahli biologi Jean-Baptiste Lamarck
tentang transmutasi spesies memiliki pengaruh yang luas. Charles Darwin
merumuskan pemikiran seleksi alamnya pada tahun 1838 hingga pada
tahun 1858. Alfred Russel Wallace kemudian mengirimkan teori yang mirip
dengan teori Darwin, dalam suratnya Surat dari Ternate. Keduanya diaju-
kan ke Linnean Society of London sebagai dua karya yang terpisah (Wallace
dan Darwin, 1858). Pada akhir tahun 1859, publikasi Darwin, On the Origin
of Species, yang menjelaskan seleksi alam secara mendetail membuktikan,
jika teori evolusi Darwin diterima dikalangan komunitas ilmiah.
b. Pengikut Darwin (Darwinisme)
Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, bahwa teori kontroversial
Darwin menjadi anutan beberapa ahli. Sekalipun, di pihak lain, teori Darwin
tersebut banyak yang kontra. Beberapa ahli berikut ini adalah penganut
teori evolusi Darwin:
b.1 Herbert Spencer
Herbert Spencer seringkali menganalisis masyarakat sebagai sistem
evolusi. Ia juga menjelaskan definisi tentang hukum rimba dalam ilmu sosial.
Oleh karena itu, ia lebih banyak berkontribusi di dalam berbagai macam
subyek; etnis, metafisika, agama, politik, retorik, biologi dan psikologi.
Sekalipun Spencer menerima banyak kecaman dari beberapa ilmuan,
namun masih tetap eksis di dalam pengembangan teori evolusi warainnya
dari Charles Darwin.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 126


Pada tahun 1879 Spencer memperkenalkan teori tentang Evolusi Sosial
yang hingga kini masih dianut banyak ahli, meskipun terjadi perubahan di
sana-sini. Ia juga menerapkan secara analog dengan teori evolusi karya
Charles Darwin dengan konsep utama manusia berasal dari kera. Ia yakin,
bahwa masyarakat mengalami evolusi dari masyarakat primitif ke masya-
rakat industri. Herbert Spencer memperkenalkan pendekatan analogi organic.
Menurutnya masyarakat seperti tubuh manusia, sebagai suatu organisasi
yang terdiri atas bagian-bagian yang tergantung satu sama lain.
Herbert Spencer yaitu tokoh fundamental yang lahir di masa Victorian.
Perannya di bidang sosiologi, bahkan juga evolusi memiliki pemikiran–
pemikiran yang tajam dan mendetail. Untuk itu seorang ilmuan yang kerap
disapa dengan nama Spencer ini menarik untuk dipelajari. Herbert Spencer
adalah seorang tokoh filsuf sosiologi, evolusi, antropologi, psikologi. Ia
bahkan namanya mendunia di bidang politik pada masanya. Hingga
sekarang pun nama Spencer masih sering disebut–sebut dalam buku pandu-
an referensi di bidang biologi, sosiologi dan psikologi.
Seorang laki-laki yang tidak pernah duduk dibangku sekolah ini, me-
ngenyam pendidikan dari ayahnya, yang selanjutnya diteruskan oleh
pamannya. Di usia 17 tahun, pria yang kerap dipanggil Spencer ini sudah
menjadi insinyur di pembangunan jalan kereta api. Ketertarikannya pada
biologi muncul dari pekerjaannya di Birmingham sebagai insyinyur jalan
kereta api. Hal inilah yang selanjutnya menarik perhatiannya di bidang
evolusi. Suatu ketika ia menemukan fosil manusia dan menelitinya. Fosil
tersebut ditemukannya dari serpihan-serpihan peroyek perintisan jalan
(land clearing) proyek pembangunan jalan atau rel kereta api. Dari situkah ia
mendapatkan ilham, dan ia mencoba menusun formulasi tentang evolusi
yang terjadi, terutama hasil perbandingan dari fosil yang sitemukan dengan
manusia saat ini.
Tahun 1855, ia bergerak di bidang psikologi dan evolusi, kemudian
pikiran–pikirannya tertuang dalam bukunya berjudul The Principle of
Psychology edisi pertama. Tahun selanjutnya 1858, Spencer memiliki minat
di bidang sosiologi. Dia menyusun gagasan survei di bidang biologi,
psikologi, sosiologi dan etika dari sudut pandang evolusi. Kemudian pada
tahun 1862 dia menulis bagian pertama dari Synthetic Philosophy atau
disebut dengan filsafat sintetik dengan judul First Principles, yang banyak
membahas tentang prinsip-prinsip evolusi.
Buku-buku karya Spencer banyak dibaca di belahan dunia ini.
Pandangan-pandangannya mendapat perhatian besar, misalnya, buku The
Principles of Biology telah diadopsi sebagai buku panduan biologi di Oxford
University. Demikian pula dengan Principles of Psychology juga digunakan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 127


oleh William James sebagai buku ajar untuk dua mata kuliah. Pada saat itu
Spencer menjadi pusat perhatian di dunia akademik.
Spencer memiliki bakat dan talenta, karena ia mampu menjabarkan
beberapa bidang ilmu, sekalipun ia tidak pernah mengenyam pendidikan
formal. Ia mampu mendiskripsikan evolusi dan menerapkan konsep evolusi
secara sistematik, baik pada alam semesta pada umumnya maupun masya-
rakat manusia pada khususnya.  Baginya alam semesta ini pada dasarnya
terdiri atas materi dan energi. Menurutnya, evolution is a change from a state
of relatively indefinite, incoherent, homogeneity to a state of relatively definite,
coherent, heterogeneity. Ia pun dalam konsepnya tersebut bermaksud, bahwa
perubahan dari keadaan yang relatif terbatas dan tidak pasti homogenitas,
dapat menjadi keadaan yang relatif pasti, masuk akal dan heterogenitas.
Menurut Spencer, sebuah evolusi harus dilihat sebagai suatu bentuk
proses yang berpangkal dari suatu hal yang paling sederhana menuju hal-
hal yang lebih rumit. Hal tersebut berangkat dari sebuah proses yang
berturut-turut dengan pembedaan-pembedaan tertentu. Dengan demikian,
evolusi manusia harus dilihat melalui struktur lapisan tanah dan iklim
bumi. Kemudian dilihat pada kumpulan ras, peradaban individu, segi
politik, agama, ekonomi dan tingkat aktivitas manusia dari kegiatan konkrit
hingga yang abstrak.
Jadi, bagi Spencer evolusi itu dimulai dari hal yang sederhana hingga
pada hal-hal yang kompleks. Evolusi tersebut dipengaruhi oleh berbagai
faktor, seperti; adanya seleksi alam (survival of the fittest). Menurutnya
evolusi harus pula dilihat dari proses sebab dan akibatnya (causative). Hanya
sesuatu yang kuat atau yang mampu mempertahankan adaptasinya, yang
memiliki kesempatan untuk hidup. Sedangkan, yang lemah dan malas, akan
tersisih dan dengan sendirinya kurang berhasil dalam hidupnya.
Pandangan–pandangan evolusi Spencer lebih menjurus pada evolusi
tingkah laku manusia, sehingga ia dalam hal ini mengarah pada sosiologi. Ia
telah menerbitkan tiga jilid buku berjudul The Principles of Sociology. Spencer
memiliki gagasan yang jelas mengenai ilmu perbandingan masyarakat yang
didasarkan pada prinsip-prinsip evolusi. Ia berpendapat, bahwa kemajuan
organisme dari jenis rendah ke tinggi adalah jenis kemajuan dari kesera-
gaman struktur. Ia juga mempertahankan pola sebab akibat dalam me-
mandang suatu masalah, misalnya, dalam kaitannya dengan perilaku sosial
manusia dan semua hal yang berasal dari alam.
Spencer melihat struktur sosial (social structure) yang timbul berawal
pada sebab, kemudian berkembang mempunyai akibat, sehingga struktur
sosial tersebut dapat terbentuk. Prinsip sosiologi dikhususkan untuk
menelusuri pengkhususan fungsi dan menyertai pengkhususan yang lebih

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 128


detail. Spesifikasi struktur menjadi suatu yang baru. Hal inilah yang men-
jadi ciri evolusi budaya dari seorang jenius bernama Spencer.
Spencer pernah menyebutkan hal-hal yang terkait dengan super-
organic, yaitu sebuah penunjuk dari elemen atau bagian unik, yang berbeda
dalam perilaku manusia. Perilaku inilah, yang selanjutnya memiliki
kesamaan arti dengan budaya. Tidak hanya budaya manusia, tetapi juga
hal-hal lain yang ada di alam.
Pandangan Sepencer dalam bidang sosiologi, bahwa fenomena sosial
(social phenomenon) tergantung dari sebagian sifat individual dan sebagian
pada kekuatan, yang terkait dengan apa yang ada di sekitarnya. Kemung-
kinan bertahan hidup terletak pada akar dari solidaritas sosial manusia
(social solidarity). Hidup bersama-sama dalam bentuk kelompok jauh lebih
menguntungkan daripada hidup terpisah. Hal ini akan terus berjalan, jika
dibarengi dengan komunikasi dan pemeliharaan solidaritas yang baik pula.
Bagi Spencer, kebenaran terdalam bisa tercapai melalui pernyataan dari
keseragaman terluas atau terbanyak dalam hubungan manusia.
Menurut Spencer energi sangat dibutuhkan dalam evolusi budaya. Ia
adalah salah satu dari para ilmuan yang pertama kali menyebutkan, bahwa
perubahan budaya lebih baik dijelaskan dalam hal kekuatan sosial (social
capital) budaya daripada akibat tindakan-tindakan manusia. Spencer juga
menghargai adanya perkembangan ekonomi dalam sebuah negara yang
kemudian mempengaruhi perkembangan adat istiadat (civilization) dan
lembaga pemerintahan. Hal ini tidak hanya merujuk, baik pada polotik
maupun sosiologi. Baginya, peran penting ada dalam perekonomian,
khusunya di bidang perdagangan dan industri. Hal ini mampu merubah,
baik tatanan masyarakat maupun lembaga pemerintahan.
Spencer dianggap sebagai pelopor teori evolusi. Ide yang memiliki
kontribusi penting dalam teori-teori social, sering dicampakkan begitu saja
oleh banyak kalangan, Terutama konsep sintetis filsafatnya (synthetic
philosophy) betul-betul telah terlupakan. Mengapa Spencer masih terus
diingat, karena ia banyak membuat formulasi teori yang masih digunakan
hingga saat ini. Dialah yang pertama-tama menggunakan konsep: super-
organic, function, structure dan system.
Keaslian fungsionalisme struktur juga dapat ditemukan dalam karya-
karya Spencer. Menurutnya, evolusi dan fungsionalisme adalah dua hal
yang saling bertentangan. Spencer sebagai penggagas konsep filsafat sintetis
tidak hanya tertarik pada ilmu sosial saja, akan tetapi pada semua bidang
ilmu. Dia juga telah menaruh perhatian khusus pada bidang studi biologi.
Adalah Spencer (bukan Darwin), yang telah memperkenalkan konsep
persaingan hidup (the survival of the fittest), sekalipun Wallace dan Darwin

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 129


memang menggunakan konsep tersebut dalam studinya tentang meka-
nisme biologi.
Menurut Spencer, keuniversalan hanya dapat dibahas dalam istilah-
istilah evolusi. Ia juga mengklaim, bahwa masyarakat sebagai sesuatu yang
tidak terpecah-pecah (undifferentiated atau unity) dan merupakan sebuah
sistem yang simple (organic). Melalui evolusi masyarakat ia telah mengem-
bangkan struktur-struktur tertentu (misalnya, pemerintahan) untuk mem-
bentuk fungsi-fungsi khusus (misalnya, koordinasi semua sistem). Menurut-
nya semakin terstruktur dan berfungsinya sebuah diferensiasi dalam masya-
rakat, semakin jelas pula taksonomi-taksonomi proses evolusi yang terjadi
di dalamnya.
Selain Spencer memberikan pengabdiannya secara total pada peng-
konseptualisasian teori evolusi, teori-teori evolusi modern Morgan jauh
lebih langsung daripada apa yang sudah dilakukan Spencer. Struktural
funsionalisme mucul untuk memperkuat landasan pikir Spencer tentang;
structure, junction, organism dan evolution.
b.2 Lewis Henry Morgan
Morgan adalah seorang etnologi Amerika Serikat yang terkenal, karena
penelitiannya mengenai hubungan kekeluargaan (kinship). Peneliti-annya ini
sebagai bagian dari usahanya untuk membuktikan, bahwa bangsa Amerind
telah melakukan migrasi ke Amerika Utara. Tujuannya, agar publik bisa
mengetahui dan menentukan asal mula kediaman bangsa ini. Hasil dari
penelitiannya ini kemudian dikenal sebagai teori evolusi sosial (social
evolutions). Pada awal tahun 1840an, ia mulai mengembangkan studi-nya
mengenai perjuangan masyarakat asli Amerika dalam menghadapi
kolonialisasi dan penindasan. Ia melakukan survai melalui metode historis,
organisasi sosial dan kebudayaan. Hasil dari pengembangan studi ini ditulis
di dalam bukunya The Leaguw of the Ho-dé-no-sau-nee or Iroquois pada tahun
1851. Karya lainnya yang menarik adalah penelitiannya mengenai masya-
rakat Anglo-Amerika pada tahun 1856. Ia kemudian menulis hasilnya di
dalam bukunya berjudul Systems of Consanguinity and Affinity of the Human
Family pada tahun 1871. Bukunya berjudul In Ancient Society yang terbit
pada tahun 1877. Buku ini memiliki pengaruh besar terhadap karya Karl
Marx dan Friedrich Engels. Berkat karya-karyanya ini, ia dikenal sebagai
Bapak Antropologi Budaya.
Selain itu, putra penemu Jedediah ini juga menunjukkan ketertarikan-
nya untuk meneliti berbagai faktor pemicu terjadinya perubahan sosial.
Pemikiran Morgan, mempengaruhi beberapa tokoh dan pelopor ilmu
pengetahuan tingkat dunia generasi berikutnya. Mereka setidak-setidaknya
membaca, teori sosial Lewis Morgan. Karl Marx dan Friedrich Engel,
misalnya, dua pendiri paham komunisme Eropa, tertarik membaca karya

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 130


Morgan terkait pemetaan dan perubahan struktur sosial dan budaya
materil. Bahkan, dua tokoh peletak dasar ilmu pengetahuan modern,
Charles Darwin (sang evolusionis) dan Sigmund Freud, (sang psikoanalis),
juga tidak segan-segan mengutip teori antropolog kelahiran Aurora, New
York, Amerika Serikat ini.
Radcliffe-Brown A. R. (1953) menggunakan tahapan evolusi tersebut di
atas untuk menyusun unsur-unsur kebudayaan dari berbagai suku bangsa
Indian di Amerika. Akan tetapi, beberapa antropolog di Amerika justru
meragukan teori Morgan tersebut, karena dianggapnya terlalu mengabaikan
unsur-unsur kebudayaan yang turut berpengaruh di dalamnya. Mereka
menuduh Morgan telah mengabaikan karakteristik atau keistimewaan per-
kembangan setiap masyarakat. Sayangnya, karena saat ini justru Franz Boaz
yang diakui sebagai the father of American anthropology (bapak antropologi
Amerika) ketimbang Morgan. Akan tetapi, Morgan sangat dihargai oleh
kaum komunis, berkat teorinya mengenai evolusi dianggap menjadi peno-
pang bagi ajaran Karl Marx dan F. Engels. 
Meskipun demikian, konstribusi pemikiran Morgan dalam pengem-
bangan teori-teori antropologi yang ia sebut sebagai pendekatan materealis
untuk evolusi dan masyarakat, sangat banyak. Oleh karena itu, Morgan
dianggap sebagai penganut teori materealis. Bukunya pun merajalela di
berbagai kampus yang ada di Eropa. Ketika Engels, misalnya, menemukan
dan menganggap buku ini sebagai sebuah dialektika norma yang berdasar-
kan prinsip materealisme (dialectical materealism), buku ini justru dianggap
cocok sebagai dasar faham komunis yang Engels sedang kembangkan.
Morgan juga mampu mempengaruhi beberapa arkeolog, baik aliran Marxist
maupun non-Marxist, sebagai akibat dari pendekatan materealismenya
tersebut. Kebesaran pengaruhnya tersebut, saat ini dapat ditemukan di
dalam aliran materealisme kebudayaan (cultural materealism).
Melalui bukunya Acient Society ia berusaha memahami masyarakat
melalui sistem teknologi dan sistem ekonomi. Inilah yang membuat Morgan
memiliki pengaruh besar pada Engels, Gordon Childe, Leslie A. White dan
Marvin Harris. Tidak dapat dipungkiri, bahwa memang data-data Morgan
tidak selamanya yang terbaik, tetapi hal itu tidak terlalu melenceng dari
nilai-nilai prinsip, yang melatari teori Morgan.
Melalui Ancient Societynya Morgan mengusulkan sebuah skema
evolusi, dimana setiap jenjang evolusi (evolution stage) berkorespondensi
dengan tipe-tipe teknologi dan subsitensi tertentu. Saya ambil contoh,
jenjang perkembangan orang-orang Middle Barbarian yang mulai dengan
mengembangkan pembuatan busur dan anak panah dan berakhir pada
pembuatan gerabah (pottery). Dengan kata lain, setiap jenjang evolusi harus
ada teknologi khusus yang menyertai atau menandainya. Seperti halnya

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 131


dengan sebuah tipe kehidupan sosio-kultur juga harus berkorespondensi
dengan teknologi tertentu dalam pengembangannya. Sekarang, teori
penjenjangan Morgan, yang mengacu pada salah satu bentuk teknologi
sebagai indikatornya, dianggap salah oleh banyak kalangan. Akan tetapi,
jika kita melihat lebih mendalam, pada prinsipnya Morgan benar dalam hal
ini. Mengapa, karena penemuan teknologi dan penemuan perubahan
homeostasis sosial diperlukan untuk mengembangkan karakter sosio-kultur
yang baru. Inilah yang kemudian menjadi sebuah kebutuhan mutlak
manusia untuk tetap bertahan hidup.

b.3 Sir Edward Burnett Tylor


Tylor dikenal melalui jasanya dalam penelitian evolusi kebudayaan.
Dalam karyanya Primitive Culture and Anthropology, ia mendefinisikan
konteks penelitian ilmiah dalam antropologi, yang didasari oleh teori
evolusi Charles Darwin. Dia percaya, bahwa ada sebuah basis fungsional
dalam perkembangan masyarakat dan agama, yang bersifat universal. Ia
juga yang memperkenalkan kembali istilah animisme (kepercayaan terhadap
jiwa dan roh-roh nenek moyang) yang ia anggap sebagai sebuah fase awal
dalam perkembangan agama dengan skema: Jiwa  Mahluk  Halus (Roh)
 Dewa-Dewa ( animism)  Satu Tuhan.
Tylor adalah Antropolog dari Inggris yang mewakili evolusionisme
budaya. Posisi Tylor tersebut tercermin dalam bukunya berjudul Primitive
Culture and Anthropology. Ia mendefinisikan konteks penelitian ilmiah antro-
pologi berdasarkan teori evolusi Charles Lyell. Tylor percaya, bahwa ada
sifat universal dalam setiap kebudayaan, terutama dalam masyarakat dan
agama. E. B. Tylor dianggap oleh banyak orang sebagai tokoh pendiri ilmu
antropologi sosial. Ia memiliki banyak kontribusi ilmiah dalam disiplin
Antropologi yang mulai terbentuk di abad ke-19. Ia percaya penelitian yang
menjadi sejarah dan prasejarah manusia dapat digunakan sebagai dasar bagi
perubahan agama dalam masyarakat.
Dia memperkenalkan kembali istilah animisme (iman di dalam jiwa
individu atau anima segala sesuatu dan manifestasi alam). Faham ini
umumnya digunakan dalam masyarakat primitif. Ia beranggapan, animisme
dalam evolusi religi merupakan tahap awal dari terbentuknya sebuah
agama. Menurut Koentjraningrat (2003), bahwa tahapan tertua dalam
evolusi religi adalah kepercayaan, bahwa mahluk-mahluk halus memang
ada.
Tylor sangat terkenal sebagai akibat terbitnya dua buku dari tangan-
nya berjudul Primitve Culture dan The Origins of Culture. Dalam The Origins
of Culture, ia memberikan pemahaman berbagai aspek: etnografi, evolusi
sosial, linguistik dan mitos. Bagi Taylor, seorang ahli antropolog semestinya

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 132


mempelajari sebanyak mungkin tentang kebudayaan yang sangat beragam
di muka bumi. Mereka harus mengumpulkan semua unsur-unsur kebu-
dayaan. Unsur-unsur kebudayaan tersebut kemudian diklasifikasi berdasar-
kan persamaan unsur-unsur yang ada di dalamnya, agar tahapan-tahapan
evolusi kebudayaan dapat tampak dengan jelas, seperti berikut: Animism 
Dinamism  Politheism  Monotheism  Atheism.
Teori evolusi Tylor dipandang berbeda dengan teori evolusi, baik
Spencer maupun Morgan. Keduanya (Spencer dan Morgan) tertarik pada
perkembangan organisasi sosial dan kompleksitas yang menyertai pengem-
bangan itu. Tylor, malah sebaliknya, lebih tertarik pada masalah kebudaya-
an ketimbang masyarakatnya, terutama perkembangan agama melalui
animisme. Perlakuannya langsung pada basis-basis kognitif. Argumen
utama Tylor dalam menelusuri jejak evolusi agama tampak dalam tiga
jenjang perkembangan agama: animisme, politeisme dan monoteisme. Usaha
untuk membangun kembali pola kognitif evolusi ternyata sangat sukar
dibandingkan dengan usaha untuk membangun teori materealisme atau
teori organisasi. Mengapa demikian, karena penetapan apakah kognitif
melibatkan nilai dalam pengambilan keputusan, memang sulit adanya.
Teori evolusi animisme Tylor mengklaim, bahwa tidak ada kaitan langsung
antara kompleks atau tidaknya agama yang mereka miliki dengan tingkat kompleks
atau tidaknya pemikiran yang mereka miliki. Hal ini berbeda dengan postulat-
postulat yang mengkalim, bahwa masyarakat yang menganut agama yang
simpel berarti memiliki pemikiran yang simpel pula. Tylor juga mengklaim,
bahwa masyarakat dengan kebudayaan yang cukup berkembang tetap
dapat memakai item-item primitive dalam kebudayaannya. Ia menyebut
item-item seperti itu sebagai sumber kehidupan (survival).
b. Evolusi Kreatif Anti Darwin
Evolusi biologi merupakan penelusuran perubahan pada sifat-sifat
terwariskan suatu populasi organisme dari satu generasi ke generasi beri-
kutnya. Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh kombinasi tiga proses
utama: variasi, reproduksi dan seleksi. Sifat-sifat yang menjadi dasar evolusi
ini dibawa oleh gen yang diwariskan kepada keturunan suatu makhluk
hidup. Gen inilah yang bervariasi dalam suatu populasi. Ketika organisme
bereproduksi, keturunannya akan mempunyai sifat-sifat yang baru. Sifat
baru dapat diperoleh dari perubahan gen akibat mutasi ataupun transfer gen
antar populasi dan antar spesies. Pada spesies yang bereproduksi secara
seksual, kombinasi gen yang baru juga dihasilkan oleh rekombinasi gene-
tika. Hal tersebut dapat meningkatkan variasi antara organisme. Evolusi
terjadi ketika perbedaan-perbedaan terwariskan ini menjadi lebih umum
atau langka dalam suatu populasi.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 133


Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, bahwa evolusi di-
dorong oleh dua mekanisme utama: seleksi alam dan hanyutan genetik.
Seleksi alam merupakan sebuah proses yang menyebabkan sifat terwaris-
kan. Ini berguna untuk keberlangsungan hidup dan reproduksi organisme
menjadi lebih umum dalam suatu populasi. Sebaliknya, sifat yang merugi-
kan menjadi lebih berkurang. Hal ini terjadi karena individu dengan sifat-
sifat yang menguntungkan lebih berpeluang besar bereproduksi, sehingga
lebih banyak individu pada generasi selanjutnya yang mewarisi sifat-sifat
yang menguntungkan ini (Futuyma dan Douglas, 2005, Lande, 1983).
Setelah beberapa generasi, adaptasi terjadi melalui kombinasi perubahan
kecil dari sifat yang terjadi secara terus menerus, yang berlangsung secara
acak dengan seleksi alam (Ayala, 2007). Sementara itu, hanyutan genetik
(genetic drift) merupakan sebuah proses bebas yang menghasilkan perubah-
an acak pada frekuensi sifat suatu populasi. Hanyutan genetik dihasilkan
oleh probabilitas; apakah suatu sifat akan diwariskan ketika suatu individu
bertahan hidup dan bereproduksi.
Meskipun perubahan yang dihasilkan oleh hanyutan dan seleksi alam
kecil, namu perubahan ini akan berakumulasi dan menyebabkan perubahan
yang substansial pada organisme. Proses ini mencapai puncaknya dengan
menghasilkan spesies yang baru (Kutschera dan Niklas, 2004). Akan tetapi,
kemiripan antara organisme yang satu dengan organisme yang lain mem-
beri sugesti, semua spesies yang kita kenal berasal dari nenek moyang yang
sama melalui proses divergen34. Proses evolusi seperti ini terjadi secara
perlahan. Hal ini pulalah yang menjadi pijakan dan acuan Darwin, bahwa
manusia berasal dari kera. Parlu saya jelaskan di sini, bahwa pendapat
Darwin memang benar ketika ia berbicara tentang arus evolusi (evolusionary
netwark), dimana semua mahluk hidup di muka bumi ini berasal dari satu
nenek moyang yang sama. Darwin salah ketika ia hanya berbicara tentang
potongan-potongan arus evolusi. Ketika ia menyatakan, bahwa manusia
berasal dari kera, ia sebenarnya memotong arus evolusi menjadi kera
sebagai moyang manusia, tanpa melihat arus pewarisan gen. Dengan
demikian pandangan kesamaan keturunan menusia-kera ala Darwin tidak
benar dalam evolusi sosial.
Dokumentasi fakta-fakta terjadinya evolusi dilakukan oleh cabang
biologi evolusioner. Cabang ini juga mengembangkan dan menguji teori-

34
Evolusi divergen terjadi ketika dua spesies yang berbeda berbagi nenek moyang yang
sama tetapi memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain. Ini mungkin adalah
jenis evolusi yang pertama terlintas dalam pikiran ketika topik evolusi muncul.
Sebaliknya, Evolusi konvergen adalah proses organisme tidak berhubungan, dan
mengalami evolusi ciri yang mirip sebagai hasil beradaptasi dengan lingkungan.Ini
adalah kebalikan dari evolusi divergen, yang merupakan evolusi ciri yang berbeda.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 134


teori yang menjelaskan penyebab evolusi. Kajian catatan fosil dan keaneka-
ragaman hayati organisme-organisme hidup telah meyakinkan para ilmu-
wan pada pertengahan abad ke-19, bahwa spesies berubah dari waktu ke
waktu (Johnston, 1999); Bowler, Peter, 2003). Namun, mekanisme yang
mendorong perubahan ini tetap tidak jelas sampai pada publikasi tahun
1859 oleh Charles Darwin dalam bukunya On the Origin of Species yang
menjelaskan dengan detail teori evolusi melalui seleksi alam (Darwin, 1859).
Karya Darwin dengan segera diikuti oleh penerimaan teori evolusi dalam
komunitas ilmiah (AAAS Council, December 26, 1922; The Interacademy
Panel on International Issues, 2006). Pada tahun 1930, teori seleksi alam
Darwin digabungkan dengan teori pewarisan Mendel, membentuk sintesis
evolusi modern (Niklas, 2004). Penggabungan ini menghubungkan satuan
evolusi (gen) dengan mekanisme evolusi (seleksi alam). Kekuatan penjelasan
dan prediksi teori ini mendorong riset yang secara terus menerus menim-
bulkan pertanyaan baru, dimana hal ini telah menjadi prinsip pusat biologi
modern. Teori sintesis evolusi modern mampu memberikan penjelasan secara
lebih menyeluruh tentang keanekaragaman hayati di bumi (The Interacademy
Panel on International Issues. 2006.; New Scientist, 2008).
B. Neo-Evolusi
Ada tiga nama tokoh, yang paling terkenal di era neo-evolusi ini yaitu
Julian H. Streward, Lesie A. White dan Marshall David Sahlins.
b.1 Julian Haynes Steward
Julian Haynes Steward adalah seorang antropolog Amerika, yang
terkenal dalam perannya sebagai perintis the concept and method of cultural
ecology dan juga pencetus teori culture change. Ia kemudian menjadi populer
dan mendapatkan ketenaran jurusan atau ketenaran dirinya sebagai pribadi.
Pada tahun 1930 Steward pindah ke Universitas Utah, yang memberi
kesempatan baginya untuk menjalin kedekatan dengan Sierra Nevada dan
memberi kesempatan kerja lapangan baginya dalam bidang arkeologi di
California, Nevada, Idaho dan Oregon.
Penelitian Stewards terfokus pada subsistence --- dinamik interaksi
antara manusia dengan lingkungannya (environment), teknologi (technology),
struktur sosial (social structure) dan oganisasi pekerja (worker orgnisation) ---
sebuah pendekatan yang awalnya diperkenalkan oleh Kroeber sebagai
eccentric dan innovative (Ethno Admin, 2003). Pada tahun 1931 ia meneliti di
Great Basin Shoshone di bawah survei utama Kroeber berjudul Culture
Element Distribution (CED). Pada tahun 1935 dia menerima tawaran dari
Smithsonian’s Bureau of American Ethnography (BAE), yang kemudian
menerbitakan beberapa penelitiannya yang berpengaruh. Beberapa dianta-
ranya: Basin-Plateau Aboriginal Sociopolitical Groups (1938), yang sepenuhnya

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 135


menjelaskan paradigma ekologi budaya dan menandai pergeseran dari
orientasi difusi antropologi Amerika.
Steward mencari keteraturan lintas budaya dalam upaya membedakan
hukum perubahan budaya dan budaya. Ia dalam karyanya menjelaskan
variasi dalam kompleksitas organisasi sosial, karena terbatas pada berbagai
kemungkinan dari lingkungan. Dalam istilah evolusi, ia menemukan
pandangan ekologi budaya ini sebagai multilinear, berbeda dengan model
tipologis yang tidak diuji yang populer di abad ke-19 dan pendekatan uni-
versal oleh Leslie White.
Selain perannya sebagai guru dan administrator, Steward paling di-
kenang, karena metode dan teori ekologi budayanya. Selama tiga dasawarsa
pertama abad ke-20, antropologi Amerika mencurigai adanya generalisasi
dan seringkali tidak mau menarik kesimpulan yang lebih luas dari mono-
graf yang cermat terperinci yang diproduksi oleh antropolog. Steward me-
megang peranan penting dalam perubahan arah antropologi dari pendekat-
an yang lebih khusus menuju pengembangan arah ilmiah dan monotetis
yang lebih nampak. Teorinya tentang evolusi budaya multilinear, yang inti-
nya meneliti bagaimana masyarakat menyesuaikan diri dengan lingkungan
mereka. Pendekatan ini lebih bernuansa daripada teori evolusi universal
rintisan Leslie White, yang lebih dipengaruhi oleh Lewis Henry Morgan.
Kepentingan Steward dalam evolusi masyarakat juga membawanya untuk
memeriksa proses modernisasi. Dia adalah salah satu antropolog pertama
yang meneliti cara dimana tingkat masyarakat nasional dan lokal saling
terkait satu sama lain. Dia mempertanyakan kemungkinan untuk mencipta-
kan sebuah teori sosial yang mencakup keseluruhan evolusi kemanusiaan.
Selain itu, dia juga berpendapat, bahwa antropolog tidak terbatas pada
deskripsi budaya spesifik. Steward percaya, bahwa dimungkinkan untuk
menciptakan teori yang menganalisa budaya umum dan spesifik sebagai
perwakilan dari era atau wilayah tertentu. Sebagai faktor yang menentukan
perkembangan budaya tertentu, ia menunjuk pada teknologi dan ekonomi,
sambil mencatat, bahwa ada faktor sekunder yang ikut berpengaruh, se-
perti; sistem politik, ideologi dan agama. Faktor-faktor ini mendorong
evolusi masyarakat tertentu dalam beberapa arah pada saat bersamaan.
Berlatarbelakang keilimiahan, Steward pada awalnya fokus pada eko-
sistem (ecosystem) dan lingkungan fisik (physical environments), tetapi selan-
jutnya mengalihkan perhatiannya pada bagaimana lingkungan ini dapat
mempengaruhi kebudayaan (Clemmer, 1999: ix).
Steward berkarya dalam sebuah era yang penuh dengan peroble-
matika, yang memperhadapkannya pada posisi yang sangat sulit, terutama
setelah kembalinya beberapa antropolog menggunakan cultures menjadi
culture. Bandul teori evolusi memang telah diayunkan sejauh mungkin, akan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 136


tetapi problem demi problem selalu membayangi kebesaran sang evolu-
sionis (Charles F. Darwin dan pengikutnya). Problematika yang dihadapi
Steward adalah menemukan konsep evolusi yang berterima tanpa harus
menghilangkan -s dari culture(s), yang mengakibatkan Steward kurang
diperhitungkan di dalam teori evolusi ketika itu.
Steward mencurahkan seluruh perhatiannya pada ekologi (ecology),
tipe budya (cultural types) dan multilinial evolusi (multilinear evolution) yang
memberi anternatif para antroplog (1930-1940-an), terutama yang masih
menggunakan pendekatan tradisional untuk mempelajari evolusi kebudaya-
an (cultural evolution). Berbeda dengan penganut evolusi klasik, karya
Steward memusatkan perhatiannya pada perbedaan kebudayaan secara
individual. Ia mengklaim, bahwa keseluruhan pengalaman manusia tidak
pernah bisa direduksi ke dalam seperangkat pembeda tingkatan stage dalam
perkembangan suatu kebudayaan. Mulitilinear evolusi, demikian Steward
menyebut pendekatannya, tidak memaksakan, bahwa tingkatan pengem-
bangan kebudayaan harus ada. Secara metodologis, hal itu berkenaan
dengan regularitas dalam perubahan sosial dan memang merupakan tujuan
dari sebuah hukum perkembangan kebudayaan secara empiris.
Teori Multilinier evolution juga mengacu kepada pola pengembangan
budaya secara paralel, yang dianggap sebagai sebuah tipe budaya (cultural
types) dengan intervaliditas budayanya yang menunjukkan karakteristik
berikut ini: 1) Elemen budaya kadang-kadang menyerupai sebuah elemen
pilihan dari sebuah budaya daripada sebagai budaya secara keseluruhan, 2)
Elemen-elemen budaya seperti ini harus diseleksi dalam hubungannya
dengan sebuah problem dan bentuk referensi dan 3) Elemen kebudayaan
pilihan tersebut harus mempunyai hubungan fungsi yang sama dalam
setiap kebudayaan sesuai dengan tipenya.
Kelompok patrilinial merupakan hal pertama yang dianggap sebagai
tipe kebudayaan oleh Steward. Berikut ini akan saya berikan beberapa
bentuk elemen pilihan: 1) patrilinial (patrilineality), 2) patrilokal (patrilocal).
3) eksogami (exogamy), 4) kepemilikan (ownership) dan 5) komposisi ter-
tentu dari tipe linial (a certain type of lineage composition). Seleksi-seleksi
seperti ini merupakan elemen-elemen kebudayaan, yang menurut Steward
merupakan jaringan lintas budaya (cross-culturally current). Hal ini dapat
ditemukan pada masyarakat Bushmen di Afrika Selatan, Australia,
Tasmania, beberapa kelompok Shoshonean dan beberapa bentuk variasi
kebudayaan lainnya.
Inti budaya (cultural core) yang memerlukan basis dari kelompok
patrilinial (patrilinial band) sebagai sebuah tipe yang dihasilkan melalui
adaptasi lingkungan. Kesamaan tipe eksploitasi lingkungan pada semua

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 137


anggota kelompok, mungki dapat diperbesar, sehingga tidak dapat
diorganisir kategori evolosi yang luas sekalipun.
Tipe budaya, selanjutnya, menjadi adaptasi budaya terhadap lingku-
ngannya, sehingga setiap tipe budaya merepresentasikan seperangkat level
integrasi sosio-cultural. Dengan demikian, adaptasi manusia terhadap
lingkungannya, cenderung berbeda dengan organisme yang lainnya.
Manusia beradaptasi lebih lancar, karena bantuan kebudayaannya, yang
diangkat dari organismenya.
Konsep Steward terhadap adaptasi budaya secara teoretis sangat
penting, yang kemudian dituangkan ke dalam sebuah argumentasi, bahwa
hanya kebudayaan yang dapat menjelaskan kebudayaan. Kunci utama
dalam adapatasi budaya adalah teknologinya, sehingga metode ekologi
budaya yang dikembangkan Steward ditekankan pada teknologi. Metode
tersebut mempunyai tiga aspek, berikut ini: 1) analisis dari cara produksi
di dalam lingkungan harus ikut dianalisis dan 2) pola tingkah laku
manusia yang merupakan bahagian dan cara ini harus dianalisis dalam
rangka 3) memahami hubungan teknik produksi terhadap elemen-elemen
kebudayaan lainnya. Oleh karena itu, Steward menekankan, bahwa
perluasan aktifitas produksi akan mempengaruhi sebuah kebudayaan.
Steward juga mempunyai pengaruh besar, baik pada pemikiran evolusi
maupun pendekatan ekologi terhadap manusia.
b.2 Leslie Alvin White
Leslie Alvin White adalah seorang Antopolog Amerika yang sangat
terkenal dengan teori-teorinya: cultural evolution, sociocultural evolution, serta
peranannya dalam pendirian department of anthropology di University of
Michigan Ann Arbor. Beliau adalah pemimpin American Anthropological
Association pada tahun 1964.
Periode di Buffalo menandai titik balik dalam biografi White. Saat
itulah ia mengembangkan pandangannya dalam dunia antropologis, politis,
etis yang akan dijalaninya sampai akhir hayatnya. Tanggapan siswa ter-
hadap doktrin anti-kolonial dan antirasis para pengikut Boasian yang
kontroversial membuat White terpanggil untuk membantu merumuskan
pandangannya sendiri mengenai evolusi sosio-kultural. Pada tahun 1929,
dia mengunjungi Uni Soviet dan saat kembali ia bergabung dengan Partai
Buruh Sosialis. Ia kemudian menulis artikel dengan nama samaran John
Steel untuk koran mereka.
Pandangan White diformulasikan secara khusus melawan penganut
Boasian, yang secara institusional dan intelektual bertentangan dengannya.
Antagonisme ini sering dilakukan dalam bentuk serangan secara pribadi.
White kadang-kadang, mengolok gaya prosa Franz Boas sebagai sesuatu
yang dangkal, seperti yang ditulisnya dalam American Journal of Sociology.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 138


Robert Lowie, seorang murid relativis arch-cultural dari Boas, merujuk pada
karya White sebagai sebuah aliran pemikiran metafisik yang belum matang, yang
dibentuk berdasarkan kekuatan obsesif fanatisme yang secara tidak sadar dapat
mengelabui orang.
Salah satu penyimpangan terkuat dari ortodoksi Boasian, menurut
pandangan White adalah sifat antropologi dan hubungannya dengan ilmu
pengetahuan lainnya. White memahami dunia ini terbagi ke dalam feno-
mena budaya, biologi dan fisik. Pembagian seperti itu merupakan refleksi
dari komposisi alam semesta dan bukan alat heuristik belaka. Dengan
demikian, White bertentangan dengan Alfred L. Kroeber, Kluck-hohn dan
Edward Sapir. White melihat penggambaran obyek belajar bukan sebagai
pencapaian kognitif antropolog, namun sebagai pengakuan atas fenomena
yang sebenarnya dan digambarkan sebagai sesuatu yang membentuk dunia.
Perbedaan antara ilmu-ilmu alami dan sosial tidak selamanya didasarkan
pada metode, namun pada sifat objek penelitian. Menurut White fisikawan
mempelajari fenomena fisik, fenomena biologi (oleh para ahli biologi) dan
fenomena budaya oleh budayawan (istilah White).
Objek studi tidak digambarkan oleh sudut pandang peneliti atau minat
(ethics), tapi metode yang dengannya dia bisa mendekati mereka (emics).
White percaya, bahwa fenomena dapat dieksplorasi dari tiga sudut pandang
yang berbeda: sejarah, formal-fungsional dan evolusionis (atau formal-
temporal). Pandangan sejarah pada dasarnya adalah wilayah Boasian, yang
didedikasikan untuk memeriksa proses budaya secara diakronis. Fungsi
formal, pada dasarnya, adalah pendekatan sinkronis yang dianjurkan oleh
Alfred Radcliffe-Brown dan Bronisław Malinowski, yang mencoba mem-
bedakan struktur formal masyarakat dan keterkaitan fungsional komponen-
nya. Pendekatan evolusionis, tidak hanya pendekatan formal, generalisasi,
tetapi juga diakronis, melihat kejadian tertentu sebagai contoh umum dari
tren yang lebih besar.
Boas mengklaim, bahwa sains mempromosikan visi budaya yang
kompleks dan saling tergantung. Sebaliknya, White berpikir, bahwa hal itu
akan mendelegitimasi antropologi ketika menjadi posisi dominan. Ia
kemudian mengeluarkannya dari wacana yang lebih luas mengenai sains.
White memandang pendekatannya sendiri sebagai sintesis pendekatan
historis dan fungsional, karena menggabungkan lingkup pandangan diakro-
nis dengan generalisasi untuk saling berkaitan secara formal dengan pan-
dangan pihak lain. Jika demikian, hal itu dapat mengacu pada perkembangan
budaya pada masa lampau dan masa yang akan datang, yang menjadi tugas
mulia dari seorang antropologi.
Akibatnya, White sering memperjuangkan evolusionis abad kesem-
bilan belas dalam penelitiannya yang diklaim atau dikecam tingkat keinte-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 139


lektualannya oleh Boasians, karena dianggap hanya sebagai penelitian
plagiat dari pendahulu White. Sikap ini dapat dilihat dengan jelas dalam
pandangan White tentang evolusi, yang berakar dari tulisan-tulisan Herbert
Spencer, Charles Darwin dan Lewis H. Morgan. Meskipun dapat dikatakan,
bahwa eksposisi White tentang Morgan dan Spencer bersifat tendensius,
namun dapat pula dikatakan konsep ilmu pengetahuan dan evolusi White
memang berakar dari karya-karya mereka. Kemajuan dalam biologi kepen-
dudukan dan teori evolusi White, tidak seperti Steward, karena konsepsi
tentang evolusi dan kemajuan tetap berakar kuat pada abad kesembilan
belas.
Bagi White, kebudayaan adalah entitas superorganis yang sui generis
dan hanya dapat dijelaskan melalui dirinya sendiri. Ini terdiri dari tiga
tingkatan: teknologi, organisasi sosial dan ideologis. Setiap tingkat ber-
tumpu pada yang sebelumnya. Meskipun mereka semua berinteraksi,
namun pada akhirnya tingkat teknologinya yang menentukan, yang oleh
White disebut The hero of our piece dan the leading character of our play. Faktor
terpenting dalam teorinya adalah teknologi, karena sistem sosial ditentukan
oleh sistem teknologi, demikian White dalam bukunya, yang menggemakan
teori Lewis Henry Morgan.
Menurut White, ia memandang kebudayaan sebagai fenomena manusia
secara umum dan mengaku tidak berbicara budaya dalam bentuk jamak
(cultures). Teorinya, yang diterbitkan pada tahun 1959 dalam bukunya The
Evolution of Culture: The Development of Civilization to the Fall of Rome, mem-
bangkitkan kembali minat akan evolusionisme sosial dan dicatat secara
mencolok di kalangan neo-evolusionis. Dia sangat percaya, bahwa budaya
--- yang diartikan sebagai totalitas semua aktivitas kebudayaan manusia di
planet ini --- berkembang. Dia juga berpendapat, bahwa komponen tekno-
logi yang memainkan peran utama atau merupakan faktor penentu utama
dalam volusi kebudayaan. Pendekatan materialisnya tergambar dalam
kutipan berikut: manusia sebagai spesies hewan, yang membutuhkan kebudayaan
secara keseluruhan, yang bergantung pada bahan, sarana mekanis penyesuaian diri
dengan lingkungan alamnya. Komponen teknologi ini dapat digambarkan
sebagai bahan, mekanik, fisik dan instrumen kimia, serta cara orang
menggunakan teknik tersebut. Argumen White tentang pentingnya tekno-
logi berjalan dengan prosedur berikut:
Leslie A. White juga memberikan kontribusi penting dalam pemaham-
an kita terhadap sifat dan tujuan antropologi sebagai suatu aktifitas ilmiah.
Dia menemukan sebuah hukum dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Menurut hukum ini, ilmu pengetahuan mulai dan berkembang lebih pesat
dalam area dimana tindakan manusia pada prinsipnya tidak penting dan
menjadi lamban di dalam sebuah area dimana tindakan manusia menjadi

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 140


rumit. Astronomi adalah area pertama menjadi sebuah ilmu pengetahauan.
Ilmu budaya dimulai dan dikembangkan kemudian. Kulturologi, seperti
yang disebutkan oleh White sebagai ilmu budaya (science of culture) diang-
gapnya sebagai langkah terakhir dalam ilmu evolusi. Kulturologi sebagai
studi kebudayaan, yang menurut White, dapat mengungkapkan lebih
banyak tentang perilaku manusia dibandingkan dengan cabang-cabang
ilmu lainnya, seperti sosiologi dan psikologi.
Reakasi pengikut Boas terhadap ahli-ahli komparatif dan teori evolusi
begitu kuatnya, sehingga selama lebih setengah abad lamanya tidak ada
teori evolusi yang dikembangkan di Amerika Serikat. Adalah White dengan
teori energinya dalam kaitannya dengan teknologi dan kebudayaan, yang
membangun kembali pemikiran teori-teori evolusi di Amerika Serikat.
White, berbeda dengan Steward, karena berterima pada semua jenis teori
evolusi. Dialah mengusulkan penghilangan afiks /-s/ pada kata cultures
menjadi culture, serta membicarakan kembali kebudayaan dan evolusinya.
White dikenal sebagai penemu landasan baru dalam teori evolusi
kebudayaan. Pondasi baru dari teori evolusi ini merupakan perluasan peng-
gunaan energi dalam kebudayaan melalui evolusi teknologi. Menurut
White, bahwa sejarah peradaban manusia merupakan dasar dalam upaya
mengontrol alam melalui kebudayaan. Pendekatan inilah yang menekankan
penggunaan energi dalam kebudayaan melalui tekonologi dari waktu ke
waktu, sehingga semakin banyak energi yang mampu diserap dari alam,
semakin berkembang pula sebuah kebudayaan. Dalam formulasi teori evo-
losi dikatakan, bahwa pengembangan kebudayaan dapat terwujud, baik
melalui penggunaan energi dari alam maupun melalui efisiensi pengem-
bangan teknologi. White sangat yakin, bahwa penggunaan teknologi dan
energi sebagai hasil proses dalam evolusi sebuah kebudayaan, memainkan
peranan penting dalam penentuan organisasi sosial dan idiologi masyara-
katnya.
Sesuatu yang berkenaan dengan perilaku manusia yang membuatnya
menjadi manusia adalah fungsi dari penggunaan simbol (symbols). Menurut
White, bahwa keseluruhan perilaku manusia adalah perilaku simbolis dan
hal ini merupakan satu poin yang paling dekat dengan antropolog kognitif
saat ini. Simbol menurut White adalah sebuah fenomena dimana arti
diberikan oleh sekelompok manusia yang menggunakan simbol itu. Tanpa
simbol sepertinya manusia tidak dapat dianggap sebagai bintang berfikir
(animal tinker). Jadi, kebudayaan itu sendiri, yang sangat tergantung pada
simbol, tidak dapat eksis tanpa kemampuan manusia untuk menyimbolkan-
nya. Sekalipun demikian, jangan diinterperatsikan dengan artian, bahwa
White menggunakan pendekatan psikologi dalam rangka memahami
perilaku manusia. Sangat kontradiktif memang, karena White termasuk

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 141


salah seorang yang menolak pembahasan kebudayaan yang dikaitkan
dengan perilaku manusia secara individual melalui pendekatan super-
organik, akan tetapi ia sendiri membahas perilaku manusia sebagai sebuah
simbol. Saya akan mengambil kasus, misalnya, timbulnya perbedaan peri-
laku manusia, yang diperlihatkan oleh adanya perbedaan masyarakatnya
merupakan sebuah hasil dari tradisi budaya. White, dalam pembahasannya
mengenai simbol kembali menggunakan afiks /-s/ pada penggunaan kata
cultures.
b.3. Marshall David Sahllins
Marshall David Sahlins memulai karyanya di bawah bimbingan Leslie
A. White, seorang pendukung antropologi materialis dan evolusioner di
University of Michigan, tercermin dalam karya awalnya. Dalam Evolusi dan
Budaya (1960), dia menyentuh bidang evolusi budaya dan neo-evolusinisme.
Dia membagi evolusi masyarakat menjadi umum dan spesifik. Evolusi umum
adalah kecenderungan sistem budaya dan sosial untuk meningkatkan
kompleksitas, organisasi dan adaptasi terhadap lingkungannya. Oleh karena
ada berbagai budaya yang tidak terisolasi, maka kualitas interaksi dan difusi
dapat tergambar di dalam penemuan teknologi. Hal ini menyebabkan
budaya berkembang dengan cara yang berbeda dengan evolusi spesifik,
karena berbagai elemen diperkenalkan pada mereka dalam kombinasi yang
berbeda dengan tahap evolusi yang berbeda pula. Konsep Moala adalah
monografi utama pertama Sahlins, yang mencontohkan pendekatan ini.
Sekalipun ia pernah menjadi murid White, namun ternyata Sahlins
sangat membenci bila disebut sebagai penganut teori neo-evolusionisme.
Menurutnya tidak ada kata neo dalam membahas masalah evolosi. Ia lebih
suka dengan istilah evolusi unilinial (unilial evolution), yang kamudian
diperlunak oleh Steward dalam karya-karyanya menjadi universal evolusi
(universal evolutions). Steward kemudian menghubungkannya dengan ting-
katan evolusi kebudayaan manusia dalam bentuk pemandangan umum.
Sahlins meminta, agar kembali mengacu pada pendapat, bahwa tidak semua
masyarakat melalui tingkatan pengembangan kebudayaan yang sama.
Pendapat ini kemudian mendiskreditkan pendekatan evolusi uni-lineal
yang mengatakan, bahwa kebudayaan itu melalui jalan pengembang-an
yang sama (unity). Dalam kasus universal evolusi, mereka menganggap
hubungan antara kebudayaan yang tampak --- kembali menggunakan
afiks /-s/ pada kata cultures --- dengan tingkatan evolusi terjadi dengan
tidak menentu (acak). Aspek inilah yang membuat hipotesis Sahlins tentang
sepsi-fik dan evolusi umum menjadi terkenal.
Menurut Sahlins, bahwa baik evolusi biologi maupun evolusi kebu-
dayaan sebenarnya berjalan pada dua arah secara bersamaan. Evolusilah
yang menciptakan perbedaan dan pengembangan dari keduanya. Perbeda-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 142


an (diversity) dalam evolusi mengacu pada perubahan adaptif yang melibat-
kan bentuk baru dari yang sudah ada sebelumnya. Sedangkan pengembang-
an (progress) mengacu pada sebuah fakta, bahwa evolusi menciptakan
bentuk yang lebih kompleks lagi. Adalah evolusi umum (general evolution)
yang menyediakan dasar-dasar tingkatan dalam evolusi. Oleh karena itu,
evolusi spesifik dan umum tidak dapat dianggap sebagai sebuah fakta yang
berbeda, tetapi sebagai bagian dari proses evolusi itu sendiri. Evolusi
spesifik mengacu pada adaptasi kebudayaan tertentu terhadap lingkungan-
nya, yang disebut sebagai evolusi kebudayaan (cultural evolutions). Sedang-
kan evolusi umum mengacu pada cara pengembangan sebuah kebudayaan
dalam masyarakat yang dapat memberi pertimbangan kepada kita, bahwa
sebuah masyarakat jauh lebih maju (advanced) dan masyarakat tersebut
dianggap telah mencapai level evolusi kebudayaan yang cukup tinggi.
Pada tahun 1992, ia pun mengeluarkan statemen, bahwa: The world's
most 'primitive' people have few possessions, but they are not poor. Poverty is not a
certain small amount of goods, nor is it just a relation between means and ends;
above all it is a relation between people. Poverty is a social status. As such it is the
invention of civilization. It has grown with civilization, at once as an invidious
distinction between classes and more importantly as a tributary relation.
Setelah diterbitkannya Cultural and Practical Reason pada tahun 1976,
fokusnya beralih ke hubungan antara sejarah dan antropologi, serta bagai-
mana budaya yang berbeda dapat dimengerti dan dibuat sejarahnya. Isu
sentral dalam pekerjaan ini adalah masalah transformasi historis, yang
pendekatan strukturalisnya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
memadai dan ilmiah. Sahlins mengembangkan konsep structure of the
conjuncture untuk bergulat dengan masalah struktur dan agensi, dengan
kata lain masyarakat dibentuk oleh konjungtur kompleks dari berbagai
kekuatan, atau struktur. Sebaliknya, model evolusi sebelumnya mengklaim,
bahwa budaya muncul sebagai adaptasi terhadap lingkungan alam. Krusial,
dalam rumusan Sahlins, individu memiliki agensi untuk membuat sejarah.
Kadang-kadang posisi mereka memberi kekuatan dengan menempatkan
mereka di puncak hierarki politik. Pada posisi lain, struktur konjungtur,
campuran kekuatan yang kuat atau kebetulan, memungkinkan orang meng-
ubah sejarah. Unsur kesempatan dan kontingensi membuat sains dari
konjungtur ini tidak mungkin, walaupun studi perbandingan memungkin-
kan beberapa generalisasi. Historical Metaphors and Mythical Realities (1981),
Islands of History (1985), Anahulu (1992) dan Apologies to Thucydides (2004),
karya-karya Sahlins yang cukup memiliki kontribusi penting dalam antro-
pologi historis.
Karya Sahlins berjudul Islands of History memicu perdebatan penting
dengan Gananath Obeyesekere mengenai rincian Kematian Captain James

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 143


Cook di Kepulauan Hawaii pada tahun 1779. Inti perdebatannya adalah
bagaimana memahami rasionalitas masyarakat lokal. Obeyesekere berkeras,
bahwa orang-orang pribumi pada dasarnya menganggapnya sama seperti
orang Barat dan khawatir mereka dilukiskan sebagai masyarakat irrational
and uncivilized. Sebaliknya, Sahlins berpendapat, bahwa setiap budaya
memiliki jenis rasionalitas yang berbeda, yang memahami dunia dengan
memusatkan perhatian pada pola yang berbeda pula untuk menjelaskan
narasi budaya tertentu. Shalins kemudian berasumsi, bahwa semua budaya
mengarah pada pandangan rasional tunggal adalah sebuah bentuk etno-
setrisme (ethnocentrism).
B. Proses Perubahan Kebudayaan
Sebelum saya jelaskan perubahan kebudayaan (cultural change) atau
evolusi kebudayaan (cultural evolution), terlebih dahulu saya akan mengutip
tiga wujud kebudayaan yang dikemukakan oleh James Spradley (1980: 9),
yaitu: 1) apa yang masyarakat lakukan (cultural behavior), 2) apa yang
masyarakat ketahui (cultural knowledge) dan 3) apa yang masyarakat cipta-
kan dan gunakan (cultural artifacts). Sekaitan dengan hal tersebut Talcott
Parsons dan A.L. Kroeber juga membedakan kebudayaan dalam tiga wujud
(Koentjaraningrat, 1990: 185-186), yaitu: 1) sebagai suatu kompleks dari ide-
ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, 2) sebagai
suatu kompleks aktivitas, serta tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat dan 3) sebagai benda-benda hasil karya manusia. Jadi, ketiga
wujud kebudayaan tersebut cenderung dan wajib hukumnya melalui
sebuah proses adaptasi, apabila ia tetap ingin eksis. Dapat pula dipastikan,
bahwa evolusi kebudayaan hanya berlaku pada umat manusia, karena
hanya manusia jualah yang mempunyai kebudayaan (cultural animal).
Evolusi kebudayaan menurut Bennet sifatnya umum (general), karena
hal itu berkenaan dengan sikap dan perilaku (attitude dan behavior) bukan
dengan genetika (genetics). Jadi, evolusi kebudayaan sebenarnya berpusat
pada perubahan kognitif (cultural cognition evolutions) dari sebuah individu
atau kelompok yang mampu menimbulkan perubahan tingkah laku
(cultural behavior) dan menghasilkan variasi benda-benda hasil budaya
(cultural artifacts) yang mereka miliki dan gunakan.
Manusia dalam melakukan adaptasi terhadap lingkungannya melibat-
kan serangkaian proses mekanisme penyesuaian diri (copying mechanism)
yaitu suatu bentuk proses yang menyebabkan manusia harus melakukan
adaptasi kebudayaannya (cultural adaptation) melalui perubahan unsur-
unsur kebudayaannya, sehingga unsur-unsur tersebut berfungsi lebih baik
bagi dirinya (Al-Barry, 2000: 10). Jadi, pendukung kebudayaan (natives)
harus melakukan seleksi yang ketat terhadap unsur-unsur kebudayaan yang
adaptif dengan lingkungan dan perlu tetap dipertahankan. Kebudayaan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 144


adalah sebuah sistem yang terkait antara satu dengan yang lainnya,
sehingga unsur-unsur kebudayaan yang tidak adaptif terhadap perubahan
lingkungannya perlu segera diganti atau dihilangkan saja.
Salah satu sifat kebudayaan adalah dinamis dan memang tidak pernah
statis. Kedinamisan kebudayaan tersebut disebabkan oleh adanya
perubahan lingkungan, termasuk perubahan pada manusia sebagai pencipta
(creator) dari kebudayaan tersebut. Kebudayaan sebagai alat (tools) manusia
untuk menghadapi dan menyelesaikan lingkungannya selalu harus eksis
dan fleksibel sesuai dengan tuntutan (demand) dan kebutuhan (needs)
manusia sebagai penciptanya dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan-
nya. Untuk menjelaskan besarnya ketergantungan manusia akan kebudaya-
annya, saya akan mengutip kembali tesis universalime kebudayaan di atas,
bahwa kebudayaan (culture) tanpa manusia kelihatannya tidak mungkin,
karena manusia dalam fitrahnya adalah pencipta kebudayaan (the creator of
culture). Sebaliknya, manusia tanpa kebudayaan juga sangat tidak mungkin,
karena kebudayaan adalah alat bantu (devise atau tools) manusia dalam
menyelesaikan atau menghadapi tantang hidupnya. Hubungan keduanya
ibarat dua sisi mata uang. Saya ambil contoh kelompok manusia yang naik
perahu dari satu pulau ke pulau lainnya, namun di tengah perjalanan
mereka tedampar di sebuah pulau yang tidak bertuan. Mereka kehabisan
bekal diperjalanan, tetapi ada di antara mereka yang membawa sedikit beras
dan ikan kering. Nah, tantang pertama sudah muncul yaitu mereka punya
beras dan ikan, yang dapat dokonsumi setelah melalui proses pemanasan
(dimasak). Pikiran yang pertama yang muncul adalah bagaimana mencipta-
kan energi berupa api, sementara tidak satupun di antara mereka yang
membawa korek api. Ketika menoleh di suatu tempa, seseorang melihat
sebatang kayu lapuk tergeletak di pinggir laut yang kering. Di sebelahnya
jega tergeletak sepontong bambu kecil, yang juga sudah kering. Disebelah
kanan kayu tersebut juga terdapat sabuk kelapa yang kering.
Perjalanan evolusi manusia, seperti semua binatang atau primat-
primat lainnya, terus-menerus menghadapi masalah untuk beradaptasi
dengan lingkungannya. Istilah adaptasi mengacu pada suatu proses yang
menyebabkan suatu organisme berhasil menyesuaikan diri dengan baik
pada lingkungan yang ada dan hasil proses tersebut menghasilkan karak-
teristik-karakteristik yang menyebabkan organisme itu mampu menghadapi
bahaya dan menjamin kelangsungan (sustainable) sumber daya yang mereka
butuhkan di lingkungan tertentu, dimana mereka hidup. Kecuali manusia,
organisme pada umumnya beradaptasi dengan mengembangkan karak-
teristik-karakteristik anatomi dan fisiologi yang diperlukan. Tumbuhnya
bulu lebat, misalnya, ditambah dengan beberapa mekanisme fisiologi lain-
nya dimaksudkan untuk melindungi mamalia dari iklim yang sangat

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 145


dingin. Ada beberapa hal yang terbentuk bagi mahluk hidup dalam rangka
melakukan adaptasi, misalnya; tumbuhnya gigi-gigi yang khas bagi seekor
singa membantu mereka untuk memperoleh makanan yang mereka perlu-
kan. Tumbuhnya bulu yang tebal dan lebat bagi beruang kutub untuk
melindungi diri dari cuaca dingin, tajamnya kuku dan panjang kuku macan
Afrika dibutuhkan untuk menyergap mangsanya, kulit tebal bagi kadal
gurun pasir untuk menghindari terik matahari dan sebagainya. Keseluruh-
an kejadian tersebut berlangsung sejalan dengan adaptasinya terhadap
lingkungan dimana mereka berada. Perbedaan bulu antara beruang kutub
dengan beruang madu Sumatera, disebabkan karena mereka hidup pada
lingkungan yang berbeda. Keseluruhan hal tersebut terjadi, karena adanya
seleksi alam (lihat pembahasan tentang teori Darwin di atas).
Sistem adapatasi manusia sangat berbeda dengan adaptasi mahluk
hidup lainnya. Mahluk hidup dibentuk oleh alam melalui adaptasi ling-
kungan (environmental adaptation), sedangkan manusia melakukan perubah-
an sesuai dengan tantangan lingkungan yang ia hadapi melalui adaptasi
kulturalnya (cultural adapatations). Manusia --- bebeda dengan mahluk hidup
lainnya --- makin lama makin tergantung pada adaptasi kulturalnya, karena
ia tidak memiliki mekanisme adaptasi fisiologis, seperti mahluk-mahluk
lainnya. Manusia es Eskimo di kutub Utara, misalnya, tidak mempuyai
struktur tubuh yang menyolok dibandingkan dengan manusia kulit hitam
di Afrika dan manusia kulit berwarna di Asia. Orang Afrika yang pergi ke
kutub Utara tidak perlu harus mengganti kulitnya menjadi orang Eskimo
dan sebaliknya, karena keduanya memiliki unsur-unsur kebudayaan yang
mampu beradaptasi. Orang Afrika yang ke kutub Utara hanya dianjurkan
memakai pakaian tebal dan sepatu salju dan orang Eskimo yang datang ke
Afrika dianjurkan memakai payung atau alat pelindung lainnya dari terik
matahari. Jadi, sekali lagi saya katakan di sini, bahwa mereka tidak pernah
mengandalkan unsur-unsur biologinya untuk mendapatkan kulit berbulu
secara alami guna melindungi diri mereka dari hawa dingin. Sebaliknya,
mereka sendiri membuat pakaian, membuat api dan mendirikan tempat
berlindung untuk melindungi diri dari hawa dingin, yang mereka harus
siasati. Di samping itu, kebudayaan menyebabkan manusia dapat meman-
faatkan lingkungan yang sangat beragam. Oleh karena itu, umat manusia
mampu memanipulasikan lingkungannya melalui sarana kebudayaan,
sehingga mereka berhasil pindah ke daerah Antartika, ke gurun Sahara dan
bahkan sampai ke bulan. Dengan kebudayaannya pula, umat manusia tidak
hanya menjamin kelestarian sumberdayanya, tetapi juga pemakaiannya
secara berkelanjutan (sustainable).
Ada beberapa suku yang berhasil melestarikan lingkungannya dengan
menggunakan pranata-pranata sosialnya, berikut ini:

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 146


1. Dayak Iban
Suku yang mendiami pulau Kalimantan ini patut dijadikan contoh
dalam mengurus bumi ini. Suku Dayak Iban sendiri tinggal di Dusun
Sungai Utik Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten
Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Tempat tinggal Suku Daya Iban memiliki
hutan cadangan di Sungai Utik, yang ditumbuhi kayu meranti, kapur, ladan
dan beragam jenis rotan. 
Sistem pengelolaan hutan tersebut diatur oleh perangkat adat dengan
mengedepankan perinsip lestari. Hak konsesi yang diberikan oleh dewan
adat Suku Dayak Iban terhadap warganya terbatas hanya 30 pohon bagi
setiap keluarga dengan waktu konsesi satu tahun. Setiap pelanggaran akan
dikenakan denda Rp. 500.000,-.
Mereka menolak semua bentuk pengelolaan hutan secara ekspolitatif,
karena mereka yakin hutan adalah bagian dari diri mereka. Akibatnya,
mereka selalu mempersonifikasi hutan, sehingga menurut persepsi mereka
merusak hutan berarti merusak diri sendiri. Hutan menurut mereka adalah
titisan yang mahaesa untuk dijaga dan dilestarikan, karena hutan memberi
kami air bersih, sehingga darah kami bersih. Tanah kami utuh, tanah menua dan
tidak dibabat. Hutan kami menangkap karbon, gas yang beracun sehingga kami ter-
lindung dan kami tidak terkena penyakit.
2. Suku Rejang Jurukalang
Suku Rejang Jurukalang memiliki kearifan tersendiri dalam melestari-
kan hutan di daerahnya. Mereka memiliki UU yang dinamakan UU Simbur
Cahayo. Undang-Undang ini dibuat oleh Bangsa Belanda bernama Van
Bossche. Undang-Undang ini kemudian dilakukan beberapa kali perubahan
di dalamnya. Dalam perkembangannya sekarang Undang Undang Simbur
Cahayo menjadi salah satu sumber undang-undang adat yang tertulis.
Undang-Undang ini banyak dijadikan sebagai referensi dalam penyelesaian
sengketa yang terjadi di masyarakat Jurukalang 
Hutan Taneak Tanai adalah hamparan tanah yang berada di dalam
lingkup komunitas adat, yang dimiliki secara komunal. Hutan ini merupa-
kan bagian wilayah kelola warga (hak ulayat)35. Setiap pihak yang mengelola
di kawasan tertentu di dalam taneak tanai wajib untuk menanam tanaman-
tamanan keras yang bernilai konservasi dan ekonomi, seperti; petai, durian
dan lainnya sebagai. Hal ini dimaksudkan sebagai tanda, bahwa wilayah
tersebut telah dimiliki oleh seseorang dan keluarga tertentu.

35
Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat
hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, di mana
kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya
alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 147


Hutan keramat Imbo Piadan adalah kawasan hutan yang dipercayai
meiliki penunggu gaib. Akibatnya, ada beberapa prasyarat untuk membuka
kawasan ini. Tidak ada warga yang berani membuka hutan larangan ini,
yang berada di kawasan Bukit Serdang, karena diyakini sebagai kawasan
yang mempunyai kekuatan gaib yang memelihara kawasan tersebut.
Penebangan pohon madu (sialang) adalah pohon yang ditempati lebah
madu bersarang, dilarang keras untuk menebangnya. Dasar larang pene-
bangan pohon ini, karena dianggap akan merusak ekosistem hutan. Pem-
balak akan dikenakan denda setengah bangun atau setengah dari denda
ketika membunuh orang. Begitu juga dengan penebangan pohon di sekitar
pohon sialang dianggap sebagai pelanggaran aturan adat, karena sialang
dianggap sebagai hak komunal. Hasil pemanenan madu di atas pohon ter-
sebut biasanya dibagikan kepada masyarakat sekitar. Sebagian dari hasil
panen, tetap dibiarkan tinggal di sekitar pohon, karena dianggap itu adalah
hak gaib penunggu pohon. Proses pemanenan madu tersebut disertai
dengan ritual adat dengan nyayian-nyayian, baik pujian terhadap kayu
maupun pujian terhadap penunggunya.
3. Suku Wana
Suku Wana (Tau Taa Wana Bulang) di Sulawesi Tengah memiliki
setidaknya 14 ritual yang dilakukan untuk kekuatan gaib. Kekuatan-keuatan
gaib seperti ini, diyakini bertempat tinggal di dalam hutan. Ritual-ritual
tersebut menghasilkan dampak positif terhadap konservasi hutan yang
berada di sekitar domisili masyarakat Wana. Ke-14 ritual adalah ritual
Manziman Tana (mohon izin), Monguyu sua (ritual penanaman pertama),
Mpopondoa Sua (memberikan kekuatan hidup pada pohon), Palampa Tuvu
(menolak bahaya), Nunju (mengusir roh jahat), Ranja (mengusir wabah) dan
Polobian (pengobatan).
Suku Wana atau Tao Taa Wana mendapat pengakuan terhadap hak
masyarakat adat dalam mengelola hutan (hak ulayat). Hak-hak suku Wana
tersebut ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor: SK. 6747/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016, ter-tanggal
28 Desember 2016. Surat Kepmen Lingkungan Hidup dan Kehutan-an
tersebut berisi Penetapan Hutan Adat Wana Posangke seluas ± 4.660 Ha di
Kecamatan Bungku Utara Kabupaten Morowali Utara Sulteng. Hutan
tersebut dibagi menjadi: Hutan Adat Wana Posangke seluas ±3.988 Ha dari
kawasan CA Morowali dan ± 672 Ha dari kawasan Hutan Produksi. Salah
satu model Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sul awesi Tengah
tahun 2018 adalah Pengelolaan Bersama atau Swakelola Hutan Adat Di CA
Morowali yang berada di hutan Paosangke dengan Masyarakat Adat Wana
Posangke.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 148


Suku atau Tao Taa Wana berdomisili di kawasan hutan adat Cagar
Alam Morowali, Mereka mendiami lembah dan bukit-bukit di sepanjang
aliran Sungai Salato. Secara administrasi pemerintahan, wilayah adat Wana
Posangke masuk ke dalam Desa Taronggo, Kecamatan Bungku Utara,
Kabupaten Morowali Utara. Pola mukim yang mereka lakukan adalah
berkelompok (komunal). Hingga saat ini, menurut sensus dan Morowali
dalam Angka, teridentifikasi 14 satuan mukim (lipu), yaitu: Vyautiro,
Pu’mbatu, Sumbol, Likubae, Vatungkaya, Vomboyombe, Pantol, Pattuja-
lanjo, Latampe, Vatuno’a, Sankiyoe, Posanke, Rapambavang. Jumlah pen-
duduk yang menghuni lipu-lipu tersebut berjumlah 104 kepala keluarga atau
sekitar 592 orang.
Suku Wana sangat bergantung pada lahan berupa sawah dan kebun
yang berada di dalam kawasan hutan Cagar Alam Morowali. Kebanyak
suku wana menerapkan sistem ladang berpindah-pindah (slash and burn).
Ladang-ladang tersebut dikelola selama kurang lebih 1-2 tahun, sebelum
mereka memilih lokasi ladang baru untuk dikelola. Lahan tersebut mereka
tinggal kurang lebih 3-5 tahun untuk mengembalikan unsur hara tanah
mereka. Untuk menandai bekas lahan mereka, si pemilik lahan sebelum
meninggalkan lahan mereka menanam pohon, yang bias menjadi penanda
bekas lahan mereka (pohon kelapa, durian, sukun, manga dan sebagainya).
Selain menanam komoditas dosemestik, padi dan palawija, mereka juga
mengenal tanaman industri seperti coklat dan nilam. Hasil hutan, yang
mereka pereleh umumnya dikonsumsi sendiri (subsistensi), kecuali damar
dijual di pasar terdekat.
Suku Wana pada masa lampau sangat menjunjung tinggi adat
istiadat mereka. Keseluruhan kebudayaan (cipta, karsa dan rasa) orang
Wana saat itu, sangat tergantung pada kearifan lingkungan alam (ecological
wisdoms dan environmental awareness) yang ada di sekeliling domisili mereka.
Oleh karena itu, mereka sangat mempercayai adanya ruh (spirit) yang men-
jaga atau memelihara setiap jengkal tanah dan hutan di wilayah domisili
mereka. Seperti halnya dengan beberapa suku lin (Kajang, Baduy, Dayak
Iban dan sebagainya), mereka mengkeramatkan (sacred) alam lingkungan
mereka. Tujuannya, agar hutan mereka tidak dirusak, baik dari kalangan
mereka sendiri mapun orang luar. Setiap kerusakan lingkungan ataupun
perubahan siklus alam yang tidak berjalan tidak normal, dipercayai sebagai
tanda murkanya ruh sang penjaga hutan. Oleh karena itu, setiap warga suku
Wana bersedia menerima segala bentuk larang pengrusakan lingkung-an,
serta pelanggarn adat lainnya yang berimplikasi ke kejadian-kejadian alam
(bencana alam, penyakit mewabah, gagal panen dan sebaginya).
Saat ini, adat istiadat suku Wana yang dijunjung tinggi oleh masya-
rakat, dari generasi ke genarasi mulai terdegradasi. Sebahagian ritual adat

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 149


suku Wana sudah mulai ditinggalkan. Hanya sebagian saja di antara
mereka, terutama generasi tua, yang masih melakukan tradisi adat istiadat
suku Wana. Sebagian masyarakat Wana saat ini mulai berfikir ekonomis,
dalam kerangka pemenuhan kebutuhan (basic needs) ekonominya. Tentu saja
hal ini berimplikasi pada orientasi pemikiran masyarakat Wana demi meng-
gapai keuntungan. Oleh karena itu, mereka harus berfikir pasar. Suku Wana
yang dulunya berfikir ekonomi subsistensi, kini serta merta berorientasi
ekonomi pasar. Dorongan ekonomi inilah, yang menyebabkan beberapa dari
warga suku Wana rela melanggar adat istiadat mereka, sekalipun itu meru-
pakan warisan dan hal-hal yang disakralkan oleh generasi sebelumnya.
Dengan demikian, adat istiadat masyarakat suku Wana yang masih berlaku
hingga saat ini: upacara pernikahan, perceraian, pembukaan lahan untuk
berladang dan aturan menebang pohon.
4. Suku Naga
Nama kampung Naga lebih banyak dihubungkan dengan mitos. Dengan
demikian, kampung naga dihubungkan dengan sosok naga. Ada juga
pendapat, karena di kampung naga banyak ditanam buah naga (hylocereus
polyrhizus). Akan tetapi, kedua mitos tersebut kurang benar, karena nama kampung
naga tidak ada kaitannya dengan sosok binatang apapun, termasuk kata
naga di dalam kata buah naga. Kata. naga dalam kampung naga diturunkan dari
bahasa sunda Gawier yang berarti kampong, yang dikelilingi tebing. Ini pun masih
pendapat awam dari masyarakat sekitar.
Menurut info dari Mang Ndut Suganda berumur sekitar 45 tahun, bahwa
kampung naga administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu,
Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari
jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Jarak tempuh
dari kota Tasikmalaya ke kampung naga kurang lebih 30 kilometer atau 45 menit.
Sedangkan dari kota Garut jaraknya 26 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 30
menit. Luas wilayah areal kampung naga sekitar 1,5, dibatasi oleh pagar yang
dipasang mengelilingi kampung. Penduduk setempat dilarang mendirikan rumah di
luar pagar tersebut. Kampung naga tekenal, karena masyarakatnya masih memegang
teguh adat istiadat. Mereka juga masih tetap mempertahankan cara hidup bersahabt
dengan alam, meskipun dikepung oleh peradaban modern. Sarana menuju kampung
naga dari jalan besar Tasikmalaya-Garut, harus menaiki anak tangga sejumlah 439.
Anak tangga tersebut sudah dicor beton hingga ke tepi sungai Ciwulan.
Kemiringannya mencapai 45 derajat. Kira-kira 500 meter sebelum sampai di tepian
sungai Ciwulan, harus menelusuri lalan setapak, diapit kali Ciwulan dan hamparan
persawahan masyarakat kampung naga.
Pada sisi sebelah Barat kampung naga dibatasi oleh hutan keramat (sacred
forest). Di sebelah Selatan berbatasan dengan sawah-sawah penduduk. Sedangkan di

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 150


sebelah Timur berbatasan dengan hutan larangan. Sebelah Utara adalah parit-parit
tempat mengalirnya air ke persawahan penduduk.
Bentuk rumah di kampung naga dibuat seragam dengan menggunakan
bahan baku ramah lingkungan. Seperti umumnya suku sunda, rumah-rumah di
kampung naga berupa rumah panggung. Dinding dan langit-langit rumah terbuat
dari bambu dan kayu. Atap rumah hampir seragam karena menggunakan bahan;
daun nipah, ijuk dan alang-alang. Lantai rumah dianjurkan dari ramuan bambu
(pilahan bambu) dan kayu (papan). Hadapan rumah harus menghadap ke utara atau
ke sebelah selatan dan memanjang kearah barat-timur.
Suku Naga atau lebih dikenal sebagai kampung naga berada di Jawa
Barat. Secara geografis kampung naga diapit dua buah hutan: 1) Pertama
terletak di sisi sungai Ciwulan disebut Leuweung Biuk. Hutan ini merupakan
hutan larangan, sehingga kawasan tersebut tampak hijau dan lesatri dengan
berbagai jenis tumbuhan. Tetumbuhan yang tumbuh di dalamnya dibiarkan
tumbuh secara alami. Tidak seorang pun anggota masyarakat Suku Naga,
yang berani merusaknya, karena kedua areal hutan itu dikeramatkan (hutan
keramat) dan 2) Kedua leuweung larangan yang luasnya kurang lebih tiga
hektar. Hutan ini dikeramatkan, karena di sana terdapat makam leluhur
warga kampung naga bernama Sembah Dalem Eyang Singaparana.
Kearifan ekologis masyarakat kampung naga membuat masyarakat hidup
berdampingan dengan lingkungan hutan yang tetap lestari (sustainable).
Mengapa, karena mereka menerapkan sistem nilai dan norma keramat pada
semua hutan yang ada disekitarnya. Hutan dan lingkungan yang dikera-
matkan membuat warga kampung naga taat dan menjunjung tinggi nilai-nilai
yang diwarskan oleh leluhur mereka. Dengan demikian, lahirlah beberapa
langang: tidak boleh mengambil apapun dari hutan yang ada di sekitar tempat
tinggal mereka. Oleha karena itu, peristiwa-peristiwa seperti banjir, kekeringan,
serangan hama dan penyakit tanaman padi yang mengakibatkan panen
gagal atau berkurang produksinya, misalnya, dianggap sebagai peristiwa
yang tidak lepas dari hukum sebab akibat. Dengan demikian, ketika terjadi
perambahan tanah adat yang kemudian dijadikan hutan industri dan
perkebunan, masyarakat adat Suku Naga sudah memperkirakan apa yang
akan terjadi selanjutnya.
5. Suku Kajang
Suku Kajang disebut juga orang Kajang. Mereka bertempat tinggal di
Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Mereka
mengelola sumberdaya hutannya secara lestari, meskipun secara geografis
wilayahnya tidak jauh (sekitar 50 km) dari pusat kegiatan ekonomi dan
pemerintahan Kabupaten Bulukumba. Hal ini disebabkan oleh hubungan
orang Kajang dengan lingkungan hutannya didasari atas pandangan hidup

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 151


yang arif, yaitu memperlakukan hutan seperti seorang anrong (ibu
kandaung) yang harus dihormati dan dilindungi.
Mereka mempraktekkan cara hidup sangat sederhana dengan menolak
segala sesuatu yang berbau teknologi. Bagi mereka, benda-benda teknologi
dapat membawa dampak negatif bagi kehidupan mereka, karena dapat
merusak kelestarian sumber daya alam. Komunitas yang selalu mengenakan
pakaian serba hitam inilah yang kemudian disebut sebagai orang Kajang.
Orang Kajang berhasil melestarikan hutannya hingga saat ini, karena
mereka mengelola hutannya secara totalitas dan bijaksana (ekological
wisdoms). Mereka hidup secara harmonis dengan alamnya, sehingga seluruh
cipta, karsa dan rasa mereka benar-benar digunakan untuk melestarikan
lingkungan mereka. Penanaman kesadaran akan arti penting lingkungan
(environmental awareness) benar-benar dilakukan melalui sosialisasi dan
internalisasi kepada seluruh pendukung adat istiadat Kajang. Banyak istilah
dalam pasang (pesan lisan), seperti: ako ammanraki boronga, nupanraki boronga
lanupanraki kalennu sanggenna tuhusennu artinya ‘jangan rusak hutan, karena
merusak hutan merusak diri sendiri hingga anak cucumu’. Penanaman akan
ketergantungan orang Kajang pada lingkunnya, juga dilukiskan di dalam
pasang ri Kajang (pesan lisan dari Kajang): anjo raung kajua anggontaki bosiya,
naanjo aka’ kajua annampungi tumbusu’. Jari, punna anre’mi anjo borongnga
anre’tommi antu raungkaju, anre’ tommi poeng aka’ kajua. Kama’mi antulinoa
arenna, artinya ‘Dedaunan itulah yang mendatangkan hujan dan akar kayu
pula yang menampung mata-air. Jadi, kalau sudah tidak ada hutan artinya
sudah tidak ada juga daun kayu dan akar kayu, yang mendatangkan hujan
dan menampung sumber air. Itulah yang disebut hari kiamat. Untuk
melengkapi larangan merusak hutan, mereka mempersonifikasi hutan: anjo
boronga paru-parunnai linowa. Naanjo kale’lenga pattambannai linowa, artinya
‘hutan adalah paru-paru dunia dan liliana sebagai penyeimbang dunia’.
Ada empat hal yang sangat dilarang demi tetap mepertahankan
keutuhan ekosistem hutan: tabbang kaju (menebang pohon), tatta’ uheya
(mengambil rotan), rao doanga (menangkap udang gala) dan tunu baniyya
(memanen madu). Pelanggaran dari larangan tersebut akan dikenakan
sanksi adat, berupa: 1) lanigelli yaitu pengucilan tersangka di dalam
interaksi sosial masyarakat adat Kajang, 2) Tunu anroli’ yaitu tersangka
disuruh memegang linggis membara, sebagai uji nyali yang bersangkutan,
3) tunu passau’ yaitu pembakaran sarang madu atau kemenyan disertai
dengan sumpah dan kutukan kepada tersangka yang in-absentia dalam
proses persidangan dan 4) lanipaoppani tana yaitu pengusiran.
Bahkan, peringatan keras ditujukan kepada peminpin adat pada saat ia
dilantik dan diambil sumpahnya: Pallengeri haji-haji, nijojjoloma’kinni Tu’ Rie’
A’ra’na, addongkoki barumbunga, mingka naiyaji iya punna tanapa’loloangko

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 152


raung kaju, tannapalolorangko ere’ bosi, tannakajariangko tinanang, tannapamma-
tiangko tuha’, tannapanaikangko juku’ sumahe’, pettai kalennu, kamaseangngi
kulantu’nu. Naiya barumbunga bola-bola pa’lettekang, artinya ’dengarkan baik-
baik. Engkaulah yang ditunjuk oleh Rie’ A’ra’na (yang maha pencipta),
karena di bahumu ayam bertengger. Akan tetapi, ketika ia membuat
dedaunan layu, tidak menurunkan hujan, tanaman tidak tumbuh, air nira
tidak menetes, ikan-ikan kecil menghilang, sungguh sangat disayangkan.
Segeralah mengundurkan diri dan kasihani rakyatmu, karena ayam tersebut
memang suka berpindah-pindah’.
Orang Kajang mampu menunjukkan kritalisasi kebudayaan lingkung-
an mereka melalui perjuangan Kajang Berdarah. Mereka mengorbankan
segala-galanya demi untuk mempertahankan wilayah adat mereka yang
direbut oleh perkebunan karet PT. London Sumatera (PT. Lonsum). Selain
perjuangan fisik, orang Kajang juga melakukan perjuangan melalui proses
hukum dengan kemenangan ditangan mereka melalui Surat Keputusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2553.K/Pdt/1987 sebagai
legalitas kemenangan orang Kajang.
Hal ini tidak berarti, bahwa apa saja yang dikerjakan oleh manusia
selalu bersifat adaptif terhadap lingkungannya. Yang jelas, manusia tidak
berinteraksi dengan lingkungannya begitu saja, karena ia harus memahami
lingkungan yang sama dengan cara-cara yang sangat beragam satu sama
lain. Selain itu, manusia juga berinteraksi dengan hal-hal yang tidak
berkaitan langsung dengan lingkungannya, seperti: sifat biologinya, keper-
cayaan, sikap dan konsekuensi perilaku mereka untuk orang lain. Kesemua-
nya menghadapkan manusia pada suatu bentuk permasalahan, sehingga
mereka cenderung memelihara dan menggunakan kebudayaannya untuk
memecahkan masalah yang mereka hadapi. Dengan demikian, kebudayaan
mereka harus melahirkan perilaku yang mampu beradaptasi.
Permasalahan lain adalah relatifitas setiap adaptasi dengan artian,
bahwa apa yang adaptif dalam konteks tertentu mungkin tidak cocok dalam
konteks yang lain. Saya ambil contoh, kebiasaan tidak bersih para pemburu
dan peramu adalah tepat dalam konteks jumlah penduduk yang kecil dan
tempat hunian yang berpindah-pindah (nomaden). Bangsa Nomaden atau
bangsa pengembara, adalah berbagai komunitas masyarakat yang memilih
hidup berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Mereka memilih
hidup di padang pasir atau daerah bermusim dingin. Masyarakat yang ber-
pindah-pindah tempat tetapi bukan di padang pasir atau daerah bermusim
dingin, disebut sebagai kaum gipsi36. Terdapat tiga macam kehidupan
36
Bangsa atau kaum Gipsy merupakan bangsa yang nomaden, yang artinya suka
berpindah tempat. Kaum gipsy ini pernah memiliki masa kelam sewaktu kepemimpinan
Hitler di eropa, karena mereka diolongkan kedalam salah satu suku yang dianggap

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 153


nomaden, yaitu sebagai pemburu-peramu (hunter-gatherers), penggembala
(pastoral nomads) dan pengelana (peripatetic nomads). Akan tetapi, hal serupa
merupakan sebuah kendala kesehatan yang cukup besar bagi mereka.
Ketika mereka hidup dalam konteks penduduk yang berjumlah besar dan
menetap (urbanisations), disitulah masalahnya. Perilaku adapatif dalam
jangka pendek mungkin memang bisa verhasil, namun dalam jangka
panjang dapat menjadi tidak mampu lagi. Saya ambil contoh, keberhasilan
peternakan (ranch) pada sebuah lokasi padang rumput, yang dalam waktu
singkat dapat mengakibatkan penggundulan padang rumput tersebut. Nah,
di sini jugalah menjadi kendala bagi para nomaden di padang pasir dan
daerah musim dinging. Berbagai contoh kasus terjadi di bagian pantai
Afrika Utara, yang akhirnya mengubah padang rumput menjadi padang
pasir dalam waktu sekejap mata. Contoh lain adalah pengelolaan lahan
pertanian di Amerika Serikat bagian Timur untuk keperluan bukan
pertanian, membuat orang Amerika semakin tergantung pada pangan yang
ditanam di daerah-daerah pinggiran. Kejadian serupa juga dialami oleh para
masyarakat di beberapa kota besar di Indonesia, yang sebelumnya pelaku
produser pangan berubah menjadi konsumen pangan, karena seba-hagian
dari lahan mereka disulap menjadi lokasi perumahan, perkantoran dan
gedung-gedung pencakar langit dan sebagainya. Kehidupan seperti inilah
yang paling dihindari oleh para nomaden. Mereka tidak ingin kebu-dayaan
mereka diatur dan diubah oleh alam, tetapi justru kebudayaanlah yang
harus menyiasati lingkungan melalui proses adaptifn.
Selain unsur-unsur perubahan kebudayaan tersebut di atas dianggap
dapat menguntungkan, justru beberapa di antaranya sebaliknya menda-
tangkan petaka bagi umat manusia. Jadi, kebudayaan bukan lagi sebagai
alat untuk mencapai kemaslahatan umat manusia, tetapi berubah menjadi
alat penghancur paling mutahir bagi manusia. Di Bali beberapa waktu yang
lalu dilakukan sebuah Konfrensi Tingkat Tinggi yang membicarakan
tentang pemanasan global. Ini merupakan salah satu bukti kegagalan umat
manusia dalam mendayagunakan kebudayaannya. Pemanasan terjadi,
karena adanya parubahan kebiasaan umat manusia dari menggunakan
kipas angin menjadi AC dan pembangunan rumah dan gedung tinggi
dengan menggunakan bahan-bahan yang dapat memantulkan cahaya ke
atmosfir bumi. Menurut beberapa penelitian, bahwa Freon Air Condition
merupakan penyebab paling utama menipisnya lapisan ozon. Cahaya-
cahaya pantulan dari dinding kaca dan atap seng juga diyakini menjadi pe-
nyebab menipisnya lapisan ozon. Akibatnya, lapisan yang semula dicipta-
kan Tuhan untuk menyelimuti dan melindungi bumi dari terik matahari

berbahaya bagi Hitler, selain orang Jews, orang Slavia dan kaum homoseksual.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 154


sudah tidak berfungsi maksimal lagi. Demikian pula dengan terjadinya
polusi udara, sebagai akibat pemakaian kendaraan bermotor yang ber-
lebihan, juga menjadi akset besar terjadinya pemanasan global yang akan
mencelakakan umat manusia itu sendiri. Orang Kajang sendiri telah
mewanti-wanti umat manusia dengan pesannya jangan engkau rusak hutan
(lingkungan), jika engkau merusaknya akan merusak dirimu sendiri hingga anak
cucumu kelak.
Menurut hasil diskusi yang dilakukan di dalam konfrensi Tingkat
Tinggi tentang Pemanasan Global tersebut di atas disinyalir, bahwa pem-
balakan dan eksploitasi hutan secara berlebihan, terutama di negara-negara
tropis, menjadi faktor utama terjadinya pemanasan global. Hutan yang
dulunya menjadi paru-paru dunia sudah tidak mampu lagi menjalankan
fungsi sebagaimana mestinya. Penyerapan C2-0 yang dilakukan tumbuhan
di dalam potosintesisnya dan pelepasan H2-0 yang sangat dibutuhkan oleh
manusia sudah tidak seimbang lagi. Jumlah C2-0 yang dilepaskan oleh
kendaraan bermotor dan mahluk bernyawa lainnya sudah tidak terserap
seluruhnya, karena hutan dimana-mana sudah gundul. Akibatnya, polusi
udara pun tidak dapat dihindari lagi. Orang Kajang dengan kearifan
ekologisnya lagi-lagi berpesan kepada umat manusia, bahwa hutan itu
berfungsi sebagai paru-paru dunia. Liliana itu penyeimbang dunia. Jadi, kalau
sudah tidak hutan dan liliana kiamatlah dunia ini, tamatlah riwayat hidup manusia.
Hasil panen yang berlimpah kini dapat diusahakan dengan meng-
gunakan teknologi canggih nan mahal, tetapi lapisan atas tanah terus-
menerus menyusut. Tingkat keasaman tanah meningkat, karena penguapan
air irigasi dan pengendapan lumpur di saluran-saluran irigasi, ditambah
dengan semakin berkurangnya unsur hara tanah, yang menyebabkan panen
dalam jangka panjang tidak mungkin dilakukan. Kesuburan tanah persa-
wahan sudah tergantung seratus persen pada penggunaan pupuk non-
organik yang menggunakan unsur-unsur kimiawi, yang pada ambang atas
normal sangat membahayakan kesehatan konsumennya. Belum lagi dengan
penggunaan traktor untuk efisiensi pembajakan sawah, yang selama ini
dilakukan dengan menggunakan tenaga hewan (sapi, kerbau dan kuda).
Manusia tidak menyadari betapa besarnya efek setetes bahan bakar traktor
terhadap keseimbangan biota tanah di area persawahan. Biota-biota tanah
tersebut berfungsi untuk mengurai dan menyeimbangkan tingkat keasaman
tanah (pH tanah). Mereka juga tidak sadar akan manfaat setetes air seni dan
tinja hewan yang dapat menjadi pupuk organic, yang sangat dibutuhkan
untuk meningkatkan kesuburan tanah. Dulu saya masih ingat (sekitar tahun
70-an), sehabis panen para pengembala sapi, kerbau dan kuda melepaskan
binatang peliharaanya merumput di lahan yang baru selesai dipanen. Tidak
bisa dibayangkan berapa besar air seni dan tinjai binataan peilharaan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 155


mereka tersebut dapat menyumbangkan unsur hara tanah, yang akan segera
ditanami kembali. Memang betul saat ini para petani bisa panen tiga kali
bahkan lebih setahun, tetapi kesempatan bagi tanah untuk bernafas sudah
tidak ada lagi. Apa yang saya maksud bernafas di sini adalah kesempatan
tanah mengisap unsur organic dan oksisgen dari udara melalui celah-celah
retakan tanah persawahan. Inilah yang merupakan petaka besar bagi kaum
petani saat ini. Mereka sangat tergantung pada pemburuan keuntungan,
tetapi tidak pernah berfiker bagaimana tidak merugi. Perhitungan mereka
sangat melest, karena keuntungan yang mereka buruh tidak seimbang
dengan efek yang bisa timbul. Beberapa efek yang paling besar: 1) Efek
kesehatan para konsumen yang mengonsumsi beras atau hasil panen lain-
nya yang sudah terkontaminasi dengan zat-zat kimiawi, 2) Efek kesuburan
tanah37 tidak lagi menjadi prioritas utama, karena ketesedian bahan pen-
dukung (irigasi, pupuk, tenaga kerja) sudah tersedia, 3) Efek ekonomi bagi
para petani penggarap juga kurang mendapat perhatian. Sebagai akibat dari
adnya mekanisasi, khususnya dalam pertanian di sawah menyebabkan para
petani krang pendapatannya. Mengapa, dengan sistem pertanian ter-padu
dan mekanisasi cenderung meningkatkan biaya (high cost) bagi para petani
penggarap. Akibatnya, animo masyarakat untuk menjadi petani penggarap
juga semakin rendah, 4) Efek Sosial-Budaya juga sangat penting untuk
diperhatikan. Hubungan interkasi antara manusia juga mengalami degra-
dasi yang cuku besar. Pada masa lampau angkat kerja dalam mena-nam
padi dan menuai padi melibatkan keluarga dan orang sekampung, bahkan
dari luar daerah (lasu dari kata lao su artinya keluar mencari rezeki). Akibat-
nya, jaminan social (social security) bagi keluarga, orang sekampung, bahkan
orang luar sudah tidak ada lagi. Mengapa, hubunga gift (memberi bantuan)
dan reciprocal (saling memberi balasan jasa) sudah tidak ada lagi. Angkatan
kerja menanam padi (pattaneng) diganti dengan menggunakan jasa kelom-
pok penanam padi. Demikian pula dengan menuai padi, justru menghilang-
kan bali reso (kerjasama atas dasar inverstasi social-budaya), karena mereka
cendrung menggunakan jasa pa’daros (jasa kelompok pemanen). Bahkan,
terakhir para petani di Sulawesi Selatan menggunakan jasa pemanen denga
menggunkan traktor pemanen padi.

37
Kesuburan tanah adalah kemampuan suatu tanah untuk menghasilkan produk tanaman
yang diinginkan, pada lingkungan tempat tanah itu berada. Kesuburan tanah adalah
terdapatnya cuku unsur hara tanah di dalamnya. Unsur hara adalah adalah beberapa
nutrisi yang sangat penting bagi tanaman yang meliputi unsur hara makro maupun mikro.
Unsur hara yang terkandung di dalam tanah akan memberikan nutrisi penuh, sehingga
tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 156


Ada beberapa cara untuk menyikapi perubahan kebudayaan, seperti
berikut ini:
1. Antisipasi
Antisipasi adalah emosi yang melibatkan kesenangan, kegembiraan,
atau kecemasan dalam mempertimbangkan kejadian yang diharapkan.
Antisipasi adalah sesuatu yang ada dalam diri manusia berupa: tujuan
(purpose), kebutuhan (needs), keinginan (desire) dan masa depan (foresight).
Hal ini dapat diartikan secara sederhana sebagai kesadaran untuk melanjut-
kan keberadaan dan mempertahankan kehidupannya. Antisipasi seperti ini
sejajar dengan konsep id dalam teori Sigmund Freud (1860-1939) yaitu se-
suatu yang ada dalam diri manusia sebagai suatu insting ego berupa
kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi. Salah satu bentuk dari insting
ego tersebut (selain kebutuhan seks yang menjadi inti studi Freud) adalah
kebutuhan dasar (basic needs): sandang, pangan, rasa aman dan rasa nya-
man. Antisipasi pada umumnya berupa proses kognisi, sehingga hal ini
dapat pula dikatakan sebagai suatu bentuk dari perwujudan kebudayaan.
Banyak ahli budaya yang menggunakan dan mengasosiasikan antisi-
pasi sebagai suatu bentuk strategi dalam bertahan hidup (copying mecha-
nism). Manusia dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya selalu ber-
usaha untuk; a) mempelajarinya, b) memanipulasi dan 3) mengubahnya
dalam rangka pencapaian tujuan. Ketiganya berfunsi untu pemenuhan
kebutuhan dan meningkatkan kebebasan memilih dan bertindak. Menurut
Al-Barry (2000: 10), manusia dalam rangka menyesuaikan diri dengan
lingkungannya mempunyai dua jenis kemampuan, yaitu: 1) daya adaptasi
yaitu kemampuan manusia untuk dapat menyesuaikan diri dengan keadaan
(kondisi) lingkungan, adat istiadat dan sebagainya dan 2) daya antisipasi
yaitu kemampuan manusia untuk melakukan tindakan antisipasi terhadap
segala sesuatu yang kemungkinan akan terjadi atau dihadapinya.
2. Adaptasi Kebudayaan
Konsep dan teori tentang adaptasi, pada prinsipnya, populer dan
berawal ketika Darwin dalam bukunya mengatakan, bahwa di dalam setiap
generasi, lebih banyak individu yang dihasilkan daripada dapat bertahan hidup
(karena sumber daya terbatas) dan persaingan antar individu muncul. Hanya
individu dengan karakteristik yang menguntungkan, atau variasi, yang mampu
bertahan hidup untuk bereproduksi. Bahkan, Maltus (dalam Seymour-Smith,
1990: 87), seorang ahli kependudukan juga mengatakan; timbulnya
persaingan antar mahluk hidup (terutama manusia), karena meningkatnya jumlah
populasi dan menurunnya ketersediaan sumberdaya alam di sekitar mereka.
Akibatnya, persaing-an diantara mereka cenderung meningkat. Bahkan, di lain
pihak, persaingan tersebut justru membutuhkan adaptasi diri. Jadi, tidak
salah, jika hampir seluruh ahli budaya, khususnya para pengikut Darwin

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 157


menggambarkan, bahwa adaptasi sebenarnya serupa dengan rangkaian rel
kereta api, yang terdiri atas untaian-untaian adaptasi. Artinya, adaptasi
adalah untaian yang terjadi dalam sebuah evolusi. Untaian tersebut dapat
terjalin terus menerus (well-adapted) dan kadang-kadang pula harus terputus
(mal-adapted), karena berbagai faktor, situasi dan kondisi.
Adaptasi adalah suatu proses dimana organisme berhasil dengan baik
menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan hasil dari proses tersebut
berupa ciri-ciri organisme yang menyebabkan mereka cocok dengan
perangkat khusus kondisi lingkugan, dimana mereka pada umumnya
berada (Haviland, 1993: 45). Menurut Al-Barry (2000: 10), bahwa adaptasi
pada prinsipnya adalah suatu proses penyesuaian diri terhadap lingkungan,
pekerjaan dan sebagainya.
Bennet (1969) memandang proses adaptasi ke dalam dua arah yang
berbeda yaitu: 1) Berkaitan dengan evolusi genetik yang merupakan umpan
balik (feed backs) dari interaksi sebuah kelompok gen (the gene pool) dengan
lingkungannya yang mengarah pada keabadian (the persistence) atau penge-
mbangan karakter yang memungkinkan sebuah populasi mampu bertahan
hidup dan 2) Berkenaan dengan pertemuan antara perilaku sepanjang
rentang waktu kehidupan dari sebuah organisme yang memberi kemampu-
an untuk mempetahankan (copy mechanism) kondisi lingkungannya. Peri-
laku ini dioperasikan oleh sebuah proses kognitif atau persepsi. Dengan
demikian, Bennet memberikan pengertian dasar dari adaptasi dalam
kerangka ilmu perilaku manusia, yang diturunkan dari salah satu dari dua
konsep biologis yaitu: copying mechanisms berupa utilisasi organisme se-
panjang hidupnya dan copying adaptation pengaruh nilai dari sebuah kepu-
tusan harus diambil dalam rangka mempertahankan diri manusia.
Menurut Keesing (1993: 5), di pihak lain, proses adaptasi menghasil-
kan keseimbangan yang dinamis antara kebutuhan penduduk dan potensi
lingkungannya. Hal ini dapat dilihat dalam kasus suku Tsembaga di
pegunungan Irian. Mereka umumnya hidup sebagi pekebun dengan
menanam tanaman pangannya menggunakan peralatan tangan yang
sederhana. Selain itu, mereka juga memelihara babi untuk keperluan ritual
pada saat sakit, luka, peperangan atau pada waktu perayaan upacara adat.
Pada waktu-waktu seperti itu, babi dikorbankan kepada arwah para leluhur
dan dagingnya dimakan oleh orang-orang yang ikut serta dalam upacara
tersebut. Dengan demikian, timbullah jaminan sosial (social security) dan
penyebaran sumber gizi, karena adanya persediaan protein berkualitas di
dalam pelaksanaan upacara adat tersebut. Hal yang serupa juga terjadi di
dalam ritual adat rambu solo (upacara kematian) bagi orang Toraja. Prosesi
upacara kematian tersebut dilakukan pemotongan hewan tedong bonga
(kerbau belang) dan babi dalam jumlah banyak. Para tetamu dan masya-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 158


rakat sekitar yang datang membantu pelaksanaan ritual adat tersebut di-
jamu dengan sajian makanan bergizi dan kadang-kadang mereka mendapat
jatah daging untuk dibawa pulang kerumah masing-masing.
Pada jaman pra-kolonial, suku Tsembaga dan tetangganya terikat
dalam suatu lingkaran kurban babi yang unik, yang menandai berakhirnya
permusuhan antar kelompok. Berkali-kali timbul permusuhan di antara
mereka, karena jumlah populasi babi menjadi meningkat dan tidak
terkendali, karena dalam keadaan normal hanya sedikit sekali babi yang
disembelih. Sementara kebutuhan pakan ternak babi mereka meningkat,
sehingga hama babi secepatnya menghabiskan tanaman umbi-umbian
masyarakat setempat. Perlunya memperluas produksi pangan untuk keper-
luan babi yang memberi kewibawaan dan status sosial, sangat mendesak
ketersediaan lahan yang cocok untuk pertanian. Oleh karena itu, apabila
kelompok yang satu mengusir kelompok yang lain dari daerahnya, per-
musuhan akan berhenti dan penduduk yang menang bersama dengan
sekutu-sekutunya akan merayakan kemenangannya melalui pesta adat
penyembeliban babi. Bahkan, kadang-kadang pesta pemotongan babi sering
dilakukan tanpa adanya perayaan kemenangan apa-apa untuk menekan laju
peningkatan populasi babi.
Istilah adaptasi juga mengacu pada proses interaksi timbal balik antara
perubahan dan organisme. Penyebaran gen anemia sel bulan sabit merupa-
kan salah satu contoh kasus. Pada zaman dahulu kala, di daerah tropis di
Benua Lama di sebelah Barat India, muncul sebuah mutasi genetika pada
populasi manusia, yang menyebabkan terbentuknya sel darah merah ber-
bentuk bulan sabit dalam kondisi tekanan oksigen rendah. Disebut bulan
sabit, karena parasit sel darah merah tersebut berbentuk bulan sabit.
Manusia yang menerima gen tersebut sebagai warisan genetik dari kedua
orang tuanya, umumnya akan menderita anemia yang mematikan pada usia
kanak-kanak. Untuk mencegah hal itu, tindakan-tindakan selektif harus
segera dilakukan, agar gen tersebut tidak meluas ke dalam lingkungan gen
lokal. ·
Kebudayaan manusia dalam mengelola lingkungannya melalui sistem
berkebun di ladang secara berpindah-pindah (slash-and-burn horticulture)
yang umum dilakukan di daerah tropis, mampu menekan pengembang
biakan jentik nyamuk yang mematikan tersebut. Dengan adanya sistem
pengolahan lahan yang mengandalkan sistem tebas-bakar (slash-and-burn)
mampu membunuh jentik jamuk penyebar gen bulan sabit melalui sistem
pembakaran kayu-kayu yang sudah ditebang. Akan tetapi, seseorang yang
mewarisi gen sel bulan sabit hanya dari salah seorang orangtuanya, namun
dari orangtua yang lainnya ia menerima gen yang normal, terbukti memiliki
daya tahan alamiah terhadap parasit tersebut. Apabila sel itu beredar

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 159


melalui limpa, yang secara rutin menyaring semua sel darah merah yang
rusak, maka sel-sel tersebut bersama dengan parasit lainnya dapat dihancur-
kan. Oleh karena itu, manusia yang sudah mencapai keadaaan heterozigot
akan menjadi semakin kebal terhadap malaria, karena frekuensi sifat sel
bulan sabitnya makin lama makin besar di dalam populasi sel-sel darah
merahnya.
Keesing (1993: 350) memberikan contoh yang baik bagaimana faktor
budaya itu terlibat dalam adaptasi manusia. Orang-orang Yanomamo di
Venezuela dan Brasilia menurut Keesing memandang adaptasi mereka
terhadap lingkungan sosiopolitiknya sama pentingnya dengan adaptasi
mereka terhadap lingkungan alamnya, karena adaptasi mereka dengan
lingkungan sosio-politik tersebut dapat mempengaruhi penyebaran mereka
di suatu daerah dimana mereka bermigrasi. Keesing mempertimbangkan
adaptasi yang harus dipersiapkan oleh orang-orang Yanomamo sebelum
melakukan migrasi.
Orang Yanomamo adalah orang-orang yang keras dan suka berperang,
mendiami desa-desa di hutan tropis. Mereka hidup berkelompok dengan
jumah anggota sekitar 40 sampai 250 orang. Sumber penghidupan mereka
adalah menanam pisang di kebun dan berperang melawan desa-desa
tetangga. Dengan alasan, keamanan yang tidak terjamin, mereka harus
selalu siap siaga untuk mengungsi dan pindah ke lokasi baru atau ke desa
induknya. Akan tetapi, dilihat dari segi ekonomi kebun-kebun mereka
sangat penting, sehingga meninggalkannya dan membuat yang baru
dipandang sebagai pekerjaan yang amat berat. Selain itu, kehadiran mereka
juga selalu ditentang oleh kelompok lain yang ada di sekitarnya, sehingga
perpindahan tersebut sulit dilakukan, kecuali dalam keadaan yang sangat
darurat. Oleh karena itu, untuk menghindari hal-hal yang memberatkan
tersebut, mereka mengadakan persekutuan dengan desa-desa tetangga,
sehingga desa yang satu bergabung ke desa yang lain, yang sedang ber-
perang atau menerima penduduk desa lain bila keadaan memungkinkan.
Kebudayaan tidak mungkin lestari, kalau tidak memenuhi kebutuhan
pokok tertentu para pendukungnya. Jadi, ada korelasi antara seberapa jauh
suatu kebudayaan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan pendukung-
nya, sebegitu besar pula kesuksesan yang dapat digapai sebuah kebu-
dayaan. Dengan demikian, kesuksesan diukur dengan nilai-nilai kebudayaan
itu sendiri dan bukan dengan nilai-nilai yang berasal dari luar. Kebudayaan
harus mampu memproduksi dan mendistribusikan barang-barang dan jasa,
yang diperlukan anggotanya untuk tetap bertahan hidup. Kebudayaan
harus menjamin kelestarian biologis melalui reproduksi anggota-anggota-
nya. Para pendukung yang baru harus dienkulturasikan, sehingga dapat
mengikuti jejak perilaku orang dewasa dalam kelompoknya sebagai hasil

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 160


dari proses pembelajaran yang dilaluinya. Kebudayaan juga harus meme-
lihara ketertiban, baik di antara para pendukungnya maupun dengan orang
luar. Akhirnya, kebudayaan harus memberi motivasi kepada para pen-
dukungnya untuk tetap bertahan hidup dan mengadakan kegiatan-kegiatan
yang perlu untuk kelangsungan hidup mereka.
Dalam jangka waktu tertentu, semua kebudayaan akan mengalami
perubahan (cultural change) untuk menanggapi hal-hal seperti masuknya
orang luar atau terjadinya modifikasi perilaku dan nilai-nilai di dalam
sebuah kebudayaan. Salah satu contoh perubahan kebudayaan, baik di
negara-negara Barat maupun di non-Barat adalah perubahan cara berpakai-
an. Pada waktu lampau para kaum hawa menggunakan pakaian-pakain
yang tertutup dan penuh kesopanan, sehingga bagian-bagian tertentu
tubuhnya terbungkus rapi dengan pakaian adat mereka. Akan tetapi, dalam
beberapa dasawarsa terakhir ini kebudayaan mengizinkan orang membiar-
kan lebih banyak bagian tubuhnya tidak bertutup, tidak hanya pada saat
mereka berenang, tetapi juga pada waktu bepergian. Perempuan Jawa pada
masa lampau akrab dengan kebaya yang dipadu dengan kain batik, kini
sudah jarang ditemukan. Demikian pula orang Bugis-Makassar pada masa
lampau terkenal dan bangga dengan stelan jas tertutup dipadu dengan
sarung sutra, serta kaum hawa memadu baju bodo dengan lipa’ sabbe (sarung
sutra) dan simpolong tenttong (sanggul). Semuanya kini hampir hilang,
terutama ketika pelaksanaan pesta adat (pernikahan). Kebudayaan seolah-
olah memberi kelonggaran dan kebebasan yang berlebihan, sehingga
kesetiaan (cultural loyalities) pendukung sebuah kebudayaan kini hampir
luntur. Yang lebih fatal lagi, karena hampir semua tetamu dalam pesta adat
pernikahan Bugis memakai baju batik (kaum adam) dan baju gamis (kaum
hawa), yang secara historis merupakan pakaian adat orang Jawa dan
Minangkabau. Dengan kelonggaran pula, pendapat orang tentang tubuh
dalam foto dan film juga menjadi lebih longgar. Akibatnya, sikap dan
kebiasaan seksual orang-orang Amerika Utara dalam tahun-tahun belakang-
an ini juga ikut menjadi lebih longgar. Sangat jelas, bahwa perubahan
tersebut berkaitan antara satu dengan yang lainnya dan mencerminkan
suatu perubahan sikap yang berlatar belakang peraturan-peraturan dalam
hal seks bagi orang Barat.
Seperti yang sudah saya katakan di atas, bahwa selain perubahan
kebudayaan yang mendatangkan kemaslahatan bagi pendukungnya, per-
ubahan yang terjadi di dalam sebuah kebudayaan juga dapat menimbulkan
akibat-akibat yang tidak terduga dan sering merusak. Saya ambil contoh,
untuk orang Yir-Yoront di Australia, dimana kapak batu merupakan alat
teknologi yang pokok dan lambang mitos yang sangat penting, kini hampir
punah. Kapak batu tersebut merupakan totem suku dan lambang kejantan-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 161


an seorang laki-laki di suku Yir-Yoront. Artinya, kapak tersebut menduduki
tempat yang istimewa di dalam kosmologi Yir-Yoront. Di samping itu,
kepala kapak merupakan mata dagangan yang penting yang diperoleh
setiap tahun pada waktu seluruh suku berkumpul untuk keperluan upacara.
Oleh karena barang tersebut termasuk barang langka, kapak-kapak batu
tersebut biasanya hanya dimiliki oleh orang-orang tua atau orang-orang
tertentu saja. Akan tetapi, beberapa waktu lalu sejumlah misionaris
beritikad baik mengganti kapak-kapak batu tersebut dengan kapak besi
kepada orang Yir-Yoront, sehingga jumlah dan status orang yang mampu
memiliki kapak besi tersebut menjadi besar, termasuk kaum wanita dan
anak-anak sudah mampu memilikinya. Akibatnya, adalah runtuhnya nilai
yang terkandung di dalam kapak batu sebagai lambang kejantanan seorang
laki-laki suku Yir-Yoront.
Akibat lain perubahan tersebut, karena kapak besi tidak dapat dihu-
bungkan dengan totem38 suku, maka seluruh sistem ideologi Yir-Yoront
mulai runtuh. Pertemuan tahunan suku yang sering dilakukan suku Yir-
Yoront semakin berkurang, karena perdagangan guna memperoleh kapak
batu sudah tidak diperlukan lagi. Dengan demikian, masuknya kapak besi
tersebut mampu menggerogoti seluruh struktur nilai, norma dan aturan
masyarakat Yir-Yoront dan belum ditemukannya pengganti pranata lama,
yang mampu mengatur segala bentuk kehidupan masyarakat Yir-Yoront.
Jadi, kejadian inilah yang menjadi konskuensi berat bagi sebuah perubahan
kebudayaan yang harus dibayar mahal.
D. Unit-Unit Adaptasi
Ada dua hal yang menjadi unit dalam sebuah adaptasi, yaitu: orga-
nisme dan Adaptasi lingkungan.
1. Adaptasi Organisme
Adaptasi oragnisame adalah sebagai anggota populasi, yang juga
harus memiliki fleksibilitas untuk menyesuaikan diri dengan variabi-litas
dan perubahan di dalam lingkungannya. Secara biologis ini berarti, bahwa
berbagai organisme yang ada di dalam sebuah populasi memiliki warisan
bawaan yang berbeda-beda. Secara kultural, hal ini juga berarti, bahwa ada
variasi dalam hal keterampilan, pengetahuan dan kepribadian individu.
Organisme dan lingkungan merupakan suatu sistem interaksi. Setiap orang
mungkin mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi petani atau

38
Totem menurut William A Haviland (1993: 117) adalah lambang yang mengandung
arti religius, biasanya berupa binatang, tetapi kadangkadang, tumbuhan, unsur unsur
alam, atau benda alam. Lihat juga Koentjaraningrat (2003 238) totemisme sebagai suatu
sistem religi yang terdiri dari kelornpok-kelompok kekerabatan unilinea dan
berdasarkan keyakinan bahwa warga kelompok-kelompok unilineal tersebut keturunan
dewa-dewa nenek moyang dan sistem kekerabatan yang sama

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 162


nelayan, namun tidak pernah kita harapkan menemukan petani di sebelah
Utara Laut Arktik atau menemukan seorang nelayan menangkap ikan di
Gurun Sahara. Jadi, dapat disimpulkan, bahwa unit-unit adaptasi itu harus
mempunyai karakter tersendiri sesuai dengan peruntukan dalam rangka
adaptasi diri. Seorang nelayan, misalnya, memiliki unit adaptasi untuk
menangkap ikan di air (laut) dan bukan di gurun. Sebaliknya seorang petani
unit adaptasinya adalah menanam sesuatu di gurun bukan di laut. Artinya,
unit adaptasi bagi seorang nelayan dengan seorang petani tidak mungkin
ditukar satu sama lain, karena masing-masing mempunyai karakter.
Semua unit-unit adaptasi kebudayaan harus membuat jaringan antara
satu unit dengan unit lainnya, karena unit-unit tersebut merupakan sistem-
sistem kebudayaan. Hal ini tentunya tidak berati, bahwa unit adaptasi
seorang nelayan dengan petani pada contoh di atas samasekali lepas atau
tidak ada hubungannya samasekali, meskipun hubungan keduanya tidak
terlalu dekat. Saya ambil contoh sebagai ilustrasi keterkaitan antar unit-unit
adaptasi berikuti ini: sekelompok orang yang hidup di tepi danau, yang
hidup dengan mengkonsumsi ikan dan ikan itu sendiri hidup dari orga-
nisme-organisme yang lebih kecil. Binatang-binatang kecil ini selanjutnya
memakan tumbuh-tumbuhan atau planton-planton, yang menyedot dan
mengambil mineral dari air dan lumpur, yang dengan bantuan tenaga
matahari ia mampu mengubahnya menjadi protein dan karbohidrat. Bahan-
bahan dari binatang dan tumbuh-tumbuhan yang mati dihancurkan oleh
bakteri dan zat-zat kimia kembali ke dalam tanah dan air. Energi tertentu
lepas dari sistem ini dalam bentuk panas. Penguapan (evavoloration) dan
hujan terus-menerus menimbulkan sirkulasi air (hidrolic circulation)39.
Manusia menambah zat-zat kimia pada sistem itu dalam bentuk sampah
dan kalau bijaksana mereka dapat membantu mengatur keseimbangan
antara hewan dan tumbuh-tumbuhan tersebut yang membentuk sirkulasi
kehidupan (mutualism). Ilsutrasi tersebut memperlihatkan betapa besar
ketergantungan antar unit adaptasi yang ada (simbiosis).
Saya hendak menjelaskan masalah sirkulasi hidrolis di atas, karena hal
tersebut sudah berakar dalam pasang ri Kajang. Beratus-ratus tahun silam
orang Kajang telah mampu memprediksi sifat alam yang ada di sekitar
mereka. Mereka mempelajari lingkungan mereka berdasarkan pada
pengalaman-pengalaman mereka selama berinteraksi dengan lingkungan-
nya. Oleh karena itu, tidak salah jika mereka membuat pernyataan, bahwa
merusak hutan adalah merusak diri sendiri hingga anak cucumu. Saya juga ingin
menunjukkan, seberapa besar kebudayaan mempengaruhi pola pikir orang
39
Sirklusi hidrologi (Hidrolic circulation) adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti
dari atmosfir ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi
dan transpirasi.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 163


Kajang, khususnya dalam memperlakukan lingkungannya secara arif dan
bijaksana. Yang saya maksud dengan sirkulasi hidrolis di sini adalah jatuh-
nya air dalam berbagai bentuk dari atmosfir ke bumi dan kembali lagi ke
atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi.
Orang Kajang mampu membuat formulasi terjadinya sirkulasi peng-
uapan air dari bumi ke atmosfir lalu kembali lagi kebumi berupa hujan. Hal
ini sesuai dengan konsep sirkulasi hirdrolis oleh beberapa ahli lingkungan
(lihat pembahasan di bawah ini). Pada perjalanan menuju bumi beberapa
presipitasi dapat berevaporasi kembali ke atmosfir. Sebagian lang-sung jatuh
kebumi (hujan) yang kemudian diintersepsi oleh tanaman sebelum mencapai
tanah. Setelah mencapai tanah, siklus hidrologi terus bergerak secara
kontinu dalam tiga cara yang berbeda: 1) Evaporasi atau transpirasi: Air
yang ada di laut, di daratan, di sungai, di tanaman dan sebagainya menguap
ke angkasa (atmosfer) dan kemudian akan menjadi awan. Pada keadaan
jenuh uap air (awan) itu akan menjadi bintik-bintik air yang selanjutnya
akan turun (precipitation) dalam bentuk hujan, salju, es, 2) Infiltrasi atau
Perkolasi ke dalam tanah: Air bergerak ke dalam tanah melalui celah-celah
dan pori-pori tanah dan batuan menuju permukaan air tanah. Air dapat
bergerak akibat aksi kapiler atau air dapat bergerak secara vertikal atau
horizontal dibawah permukaan tanah hingga air tersebut memasuki
kembali sistem air permukaan, 3) Air Permukaan: Air bergerak diatas
permukaan tanah dekat dengan aliran utama dan danau. Semakin landai
lahan atau tanah permukaan, semakin sedikit pula pori-pori tanah, sehingga
aliran permukaan semakin besar. Aliran permukaan tanah dapat dilihat
biasanya pada daerah urban. Sungai-sungai bergabung satu sama lain dan
membentuk sungai utama yang membawa seluruh air permukaan di sekitar
daerah aliran sungai menuju laut. Inilah yang dimaksudkan oleh prang
Kajang
Air permukaan, baik yang mengalir maupun yang tergenang (danau,
waduk, rawa) dan sebagian air di bawah permukaan akan terkumpul dan
mengalir membentuk sungai dan berakhir ke laut. Proses perjalanan air di
daratan itu terjadi dalam komponen-komponen siklus hidrologi yang
membentuk sistem Daerah Aliran Sungai (DAS). Perlu saya jelaskan di sini,
bahwa jumlah air di bumi secara keseluruhan relatif tetap. Perubahannya
hanya terjadi pada wujud dan tempatnya.
Presipitasi terjadi dalam berbagai bentuk (salju, hujan batu es, hujan
dan lain-lain), yang jatuh ke atas vegetasi, batuan gundul, permukaan tanah,
permukaan air dan saluran-saluran sungai (presipitasi saluran). Air yang
jatuh pada vegetasi diintersepsi (yang kemudian berevaporasi atau mencapai
permukaan tanah dengan menetes atau jatuh langsung ke tanah (through
fall). Sebagian presipitasi berevaporasi selama perjalanannya dari atmosfer

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 164


dan sebagian pada permukaan tanah. Sebagian dari presipitasi yang mem-
basahi permukaan tanah berinfiltrasi ke dalam tanah dan bergerak menurun
sebagai perkolasi ke dalam mintakat (zone) jenuh di bawah muka air tanah.
Air ini secara perlahan berpindah melalui akifer ke saluran-saluran sungai.
Beberapa air yang berinfiltrasi bergerak menuju dasar sungai tanpa men-
capai permukaan air tanah sebagai aliran bawah permukaan. Air yang
berinfiltrasi juga memberikan kehidupan pada vegetasi sebagai lengas
tanah. Beberapa dari lengas ini diambil oleh vegetasi dan transpirasi
berlangsung dari stomata daun.
Setelah bagian presipitasi yang pertama yang membasahi permukaan
tanah dan berinfiltrasi, suatu selaput air yang tipis dibentuk pada permuka-
an tanah yang disebut dengan detensi permukaan (lapis air). Selanjutnya,
detensi permukaan menjadi lebih tebal (lebih dalam) dan aliran air mulai
dalam bentuk laminer. Dengan bertambahnya kecepatan aliran, aliran air
menjadi turbulen atau arus (deras). Air yang mengalir ini disebut limpasan
permukaan. Selama perjalanannya menuju dasar sungai, bagian dari limpas-
an permukaan disimpan pada depresi permukaan dan disebut cadangan
depresi. Akhirnya, limpasan permukaan mencapai saluran sungai dan
menambah debit air sungai.
Air pada sungai mungkin berevaporasi secara langsung ke atmosfer
atau mengalir kembali ke dalam laut dan selanjutnya berevaporasi. Kemu-
dian, air ini nampak kembali pada permukaan bumi sebagai presipitasi.
Perlu juga saya jelaskan di sini, bahwa beberapa hal yang ikut mendukung
terjadinya sirkulasi hidrolis, yaitu: 1) Evaporasi yaitu suatu proses yang
mengubah air dalam wujud cair menjadi air dalam wujud gas (uap). Siklus
ini pertama diawali dengan penguapan air di permukaan bumi, baik itu
sungai, danau, laut maupun dari permukaan tanah. Dengan adanya bantuan
matahari, air di permukaan bumi kemudian menguap. Semakin panas terik
di siang hari, semakin banyak pula jumlah penguapan ke angkasa, 2)
Transpirasi yaitu penguapan, yang bukan hanya terjadi pada air tanah, tetapi
juga penguapan yang terjadi dari jaringan mahkluk hidup (manusia, hewan
dan tumbuhan). Selain itu, transpirasi juga mengubah air yang berwujud
cair dalam jaringan mahluk hidup menjadi uap air menuju atmosfer. Setelah
itu, air berubah menjadi uap melalui proses transpirasi yang sedikit jauh
lebih umum dibandingkan jumlah uap air yang dihasilkan melalui proses
evaporasi, 3) Kondensasi yaitu perubahan dari uap air men-jadi titik-titik air
(pengembunan), akibat terjadinya penurunan salju. Partikel es yang
terbentuk ini akan mendekati satu sama lain, sehingga terbentuknya embun
atau awan. Apabila semakin banyak partikel yang menyatu, awan tersebut
akan semakin tebal dan hitam, 4) Sublimasi yaitu proses naiknya uap air ke
atas atmosfer bumi. Saya perlu jelaskan disini, bahwa yang membedakan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 165


antara proses subliminasi dengan evapolorasi adalah, subliminasi yaitu
terbentuknya proses perubahan es di kutub atau puncak gunung yang
membentuk uap air tanpa terlebih dahulu melalui proses pencairan, 5)
Adveksi yaitu awan yang terbentuk dari proses kondensasi. Adveksi adalah
proses perpindahan awan dari satu titik ke titik lain dalam satu horizontal
akibat arus angin atau perbedaan tekanan udara. Adveksi memungkinkan
awan akan menyebar dan berpindah dari atmosfer lautan menuju atmosfer
daratan. Perlu diketahui bahwa, tahapan adveksi tidak terjadi pada siklus
hidrologi pendek, 6) Run Off (limpasan) yaitu proses terjadinya siklus
hidrologi sebagai akibat proses pergerakan air dari tempat tinggi menuju
tempat rendah dipermukaan bumi. Proses pergerakan air ini berlangsung
melalui saluran air (danau, got, muara, sungai, laut) sampai samudra. Pada
tahap inilah air yang mengalami siklus hidrologi akan kembali ke lapisan
hidrosfer, 7) Infiltrasi yaitu proses dimana tidak semua air hujan yang
terbentuk setelah proses presipitasi akan mengalir di permukaan bumi
melalui proses run-off. Sebagian kecil dari air yang jatuh ke bumi akan
bergerak ke pori-pori tanah, merembes dan menumpuk menjadi air tanah
(mata air). Proses pergerakan air ke dalam pori tanah disebut proses
infiltrasi. Proses infiltrasi perlahan akan membawa air tanah kembali ke laut.
Untuk lebih jelasnya, lihat gambar berikut:

Masyarakat adat Kajang adalah sekelompok orang yang hidup


bersama di dalam suatu kawasan adat yaitu Kajang. Mereka sangat ketat
mengawasi kelesatarian hutannya, karena mereka sadar akan fungsi-fungsi
hutan, berikut ini: a) Fungsi hidrolis (hydrolics functions) hutan mencakup
sistem tata-air hutan dan sirkulasi penguapan air hingga menjadi hujan dan
b) Fungsi sosial hutan (social functions) meliputi fungsi hutan sebagai arena
sosial dan tempat pelaksanaan ritual-riatual adat.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 166


Sekali lagi saya katakan, bahwa penjelasan berikut ini, saya ingin
memperlihatkan kemampuan dan kesadaran ekologis (ecological awarness)
yang dimiliki oleh orang Kajang. Keseluruhan kebijakan dan kearifan dalam
memperlakukan alam seratus persen bersumber dari sistem pengetahuan
lokal (local knowledge) yang mereka miliki. Sistem pengetahuan lokal tersebut
bersumber dari Pasang ri Kajang yaitu sebuah pranata sosial berupa pean
dari leluhur, yang menjadi satu-satunya palsafah hidup bagi mereka. Pasang
tersebut memuat tata-nilai, tata-norma, tata-aturan dan tata-cara
perikehidupan berupa hubungan manusia dengan Tuhan Yang Mahapen-
cipta (Tu’ Rie’ A’ra’na). Pasang tersebut juga mengatur hubungan manusia
dengan alamnya. Kedua bentuk hubungan dalam prikehidupan manusia
tersebut disebut pedoman pannuntungan (pedoman). Kata pannuntungan
juga dapat berarti puncak atau ujung atas (ketinggian) mencapai puncak
sesuatu. Selain itu, kata pannuntungan dapat berarti ‘pencari’ atau ‘seseorang
yang mencari sesuatu dengan mempunyai kemauan keras dan tekad yang
bulat didorong keyakinannya untuk mendapatkan sesuatu yang dicarinya’.
Arti pannuntungan secara denotatif adalah ‘pedoman atau pandangan
hidup’. Jadi, pannuntungan berarti pemberi tuntunan atau petunjuk berupa
pengetahuan (pa’ngissangan), yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
berperilaku dan bertindak.
Ammatowa (pemimpian adat Kajang) diwajibkan untuk melakukan
sosialisasi perencanaan umum (general planning) tentang pelestarian hutan
adat kepada seluruh warganya melalui Pasang. Sosialisasi tersebut men-
cakup peruntukan, penyediaan dan pengelolaan hutan adat secara tepat
guna, bijak dan lestari. Hutan adat menurut fungsinya dalam pasang dibagi
tiga, yaitu: a) boronga ada’a, b) borong karama’ dan c) borong tattakang. Borong
ada’a (hutan adat) tidak bisa dieksploitasi, kecuali hasilnya diperuntukkan
untuk adat. Semua bentuk konsesi yang diberikan terhadap hutan adat
adalah dibatasi (pohon hanya maksimal 3 batang, rotan hanya maksimal 5
ikat, udang gala maksimal 10 ekor dan sarang lebah hanya satu sarang).
Borong karama’a (hutan lindung atau keramat) tidak diizinkan sama sekali
untuk melakukan eksploitas, termasuk memasuki kawasan hutan tersebut.
Borong tattakkang (hutan rakyat) diberi izin untuk melakukan eksplotasi,
tetapi konsesinya tetap harus diawasi oleh dewan adat Kajang.
Kearifan ekologis Pasang ri Kajang merupakan salah satu bentuk trans-
formasi pengetahuan lokal (local knowledge) yang diabadikan dalam pasang.
Salah satu pesan ekologi yang tertera di dalam pasang, yaitu: Punna nitab-
bangngi kajua riboronga, angngurangi bosi, appaka anre timbusu’, artinya ’mene-
bang pepohonan di hutan berarti mengurangi hujan dan menghilangkan
mata-air. Frasa angngurangi bosi diinspirasi oleh pengalaman ekologis
mereka, bahwa daun kayulah yang mendatangkan hujan. Melalui daun-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 167


daun kayu embun-embun atau ion-ion air dilepas ke udara melalui proses
transpirasi (lihat gambar di atas) dalam bentuk embun (lani). Kumpulan-
kumpulan air tersebut kemudian menyatu dan membentuk gumpalan air
melalui proses presipitasi berupa awan (olong), yang pada suhu tertentu
meleleh dan turun menjadi hujan (pahosi). Sedangkan frasa appaka anre
timbusu’ diyakini terjadi ketika tidak ada lagi akar-akar kayu (aka’ kajuwa)
yang berfungsi sebagai penampungan air. Pengalaman ekologis mereka
menunjukkan, bahwa ketika pohon (pokok’ kajua) bernapas (berpotosintesis),
sebagian air di dalam batang pohon turun ke akar sebagai kantong-kantong
persediaan air. Sisa atau kelebihan stok penyimpanan meresap ke dalam
tanah (infiltirasi) dan keluar menjadi sumber mata-air (timbusu’). Larangan
di atas kemudian diperkuat dalam pasang, bahwa: Punna nitabbangi kajuwa
nipappinrangngangngi, nasaba anggurangi borong, appakanre timbusu ere’, na-
kuwa turiolowa, artinya ’Penebangan pepohonan dilarang, karena dapat
mengurangi hujan dan menghilangkan sumber mata-air, sebagaimana pesan
leluhur kita. Inti dari pasang di atas menunjukkan, bahwa ada keterkaitan
langsung antara ketidakadaan pohon dengan sistem hidrolis alam semesta
ini. Jika, melakukan penebangan berarti mengurangi populasi pohon di
dalam hutan, sehingga akar-akar kayu sebagai sumber mata-air juga
berkurang. Konsekuensi logisnya menurut pasang adalah debet sumber
mata-air yang meresap ke dalam tanah juga mengalami kekurangan.
Akibatnya, sungai-sungai (kaloro’) yang mengalir (runoff) dari hutan menjadi
kering dan pepohonan akan menjadi layu, karena mengalami dehidrasi.
Bahkan, dalam pasang di atas tersirat, bahwa apabila pepohonan tidak ada
dapat berdampak pada menurunnya curah hujan, sekaligus mengurangi
kemampuan daya tangkap atau serap tanah (infiltirasi) terhadap air hujan.
Efeknya adalah meningkatnya suhu atmosfir bumi (global warming), se-
hingga tidak terjadi pendinginan (kondensasi) alam.
Kepekaan ekologis (ecological awareness) orang Kajang sangat berdasar,
karena di kawasan adat Kajang Dalam (ilalang embayya) hanya terdapat dua
sumur yang mensuplai kebutuhan air bersih layak konsumsi ke seluruh
warganya. Dengan demikian, tegakan pohon besar (poko’ kajua) pohon
rendah (kaju ca’di-ca’diyya) dan semak belukar (kale’lenga) perlu dijaga ketat
kelestariaannya. Tumbuh-tumbuhan tersebut menurut orang Kajang me-
miliki beberapa fungsi ekologi: 1) daunnya mendatangkan hujan (angngotaki
bosiyya), 2) akarnya sebagai pensuplai mata-air (annampungi timbusu’), 3) O2
yang diproduksi melalui potosintesanya dibutuhkan manusia dan 4) daun
yang jatuh menjadi humus sangat bermanfaat sebagai media penyerapan air
tanah ketika terjadi hujan dan mampu mengendalikan terjadinya banjir.
Orang Kajang di dalam pasang melarang keras setiap bentuk pengsu-
rakan hutan, karena hutan menurut pemahaman berupa lingkungan fisik

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 168


juga non fisik. Menurut Koentjaraningrat (2003: 137), bahwa lingkungan
fisik (natural environment) yaitu semua keadaan, kondisi dan kekuatan alam
sekitar suatu organisme atau suatu kolektif organisme yang mempengaruhi
perkembangan dan tingkah lakunya. Sedangkan lingkungan non-fisik (social
environment) adalah semua kekuatan masyarakat, serta berbagai sistem
norma sekitar seorang individu atau suatu kolektif manusia, yang mempe-
ngaruhi tingkah laku mereka dan interaksi antar mereka. Hutan adat bukan
hanya dipandang sebagai pemberi manfaat sosial dan spiritual (social
ecology)40 belaka, tetapi lebih dari itu sebagai tiang penyangga kehidupan
dalam arti luas (human ecology)41. Mengubah fungsi dan status hutan berarti
merusak pula sendi-sendi kehidupan mereka, karena dedaunan dan akar-
akar kayu diyakini penampungan air hujan juga ikut rusak. Hutan diper-
caya sebagai sumber kehidupan, sehingga ketika menebang pohon berarti
mematikan sumber kehidupan dan mengganggu musim (Media Kareba,
2001).
Lingkungan fisik yang dipahami mereka adalah hutan yang ditumbuhi
oleh kompilasi antara tumbuhan (pohon tinggi, pohon rendah, semak be-
lukar, rotan, tumbuhan merambat, melilit, memanjat dan rumput-rumputan
dan ekosistem satwa dan binatang (rusa, kera, babi hutan, kucing hutan,
ayam hutan, udang gala, burung elang, kelelawar, serangga, lebah hutan
dan sebagainya sebagai pendukung habitat hutan (forest ecology).
Orang Kajang, baik melalui kepekaan naluri lingkungannya maupun
proses adaptasi mereka terhadap lingkungannya (environmental adaptations),
secara turun temurun telah melakukan gerakan konservasi secara sukarela
dan bijaksana (wisdom of nature atau environmental). Pranata-pranata sosial
mereka, baik langsung maupun tidak, selalu dikaitkan dengan masalah
kehutanan, khususnya konservasi sumberdaya alam. Seorang warga,
misalnya, yang memperoleh izin penebangan (legal logging) dari dewan adat
Kajang di dalam hutan produksi terbatas (borong tattakkang) diharuskan
menanam sekurang-kurangnya 3 pohon yang sama dengan jenis pohon
yang ditebangnya (previnance). Hal ini dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya kepunahan spesies kayu di hutan adat Tanatowa.
Menurut Aliardi (2001: 3) masyarakat yang memiliki pengetahuan
lokal tentang konservasi, baik genetik, spesies atau jenis maupun ekosistem
mempunyai kapasitas untuk melaksanakan strategi konservasi, berupa: 1)

40
Ekologi sosial (social ecology) menurut Koentjaraningrat (2003: 49) ekologi sosial adalah
ilmu yang mempelajari penduduk dengan lingkungan alamnya, teknologinya, dan
masyarakat manusianya.
41
Ekologi manusia (human ecology) menurut Koentjaraningrat (2003: 49) adalah ilmu yang
mempelajari proses adaptasi manusia terhadap lingkungannya sejak 1,5 juta tahun yang
lalu, yaitu sepanjang sejarah kehidupan homonimid.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 169


perlindungan sistem penyangga kehidupan, 2) pengawetan keanekaragam-
an hayati dan 3) pelestarian pemanfaatan sumberdaya alam. Hal ini jelas
tertera di dalam pasang: bahwa ada aturan penebangan yang berlaku di
hutan tebangan (borong tattakkang) yaitu tidak boleh menebang secara
berlebihan. Jika menebang sebatang pohon kayu kecil sekalipun wajib
hukumnya diganti satu dua pohon atau lebih. Karena hutan itu sama halnya
dengan kehidupan manusia harus ada regenerasi.
Pasang di atas menggambarkan, bahwa regulasi konservasi tumbuhan
dalam hutan harus tetap dijaga kelangsungannya. Bahkan, hutan diibarat-
kan sama dengan kehidupan manusia, dimana harus ada pergantian atau
regenerasi untuk menghindari kepunahan spesies. Menurut mereka, bahwa
untuk mengganti pohon yang tumbuh di dalam hutan membutuhkan waktu
yang cukup lama dibandingkan dengan waktu ketika menebangnya.
Dengan demikian, dalam pasang di atas diberi batasan, bahwa sebaikanya
jangan dilakukan penebangan secara berlebihan.
Tidak mengherankan pula bila aturan penebangan kayu bagi orang
Kajang diatur sedemikian ketatnya. Setiap orang yang membutuhkan
sebatang atau dua batang kayu bermohon kepada Ammatowa dengan
prosedur-prosedur yang sudah ditetapkan secara adat. Pemohon sebelum-
nya harus mengajukan permohonan secara lisan kepada penjaga khusus
hutan (forest kipper). Pemohon bersama dengan jagawana memasuki hutan
untuk memastikan jenis dan jumlah tegakan kayu yang dipohon. Bila yang
dibutuhkan tiang rumah, jenis kayu yang dipilih adalah kayu Na’nasa (bitti)
dan sulur yang dipilih adalah kayu Balatung (rambutan hutan), Ara’ (nyato)
dan sebagainya.
Penelitian lebih lanjut dilakukan berdasarkan fungsi dan posisi tiang
rumah yang dibutuhkannya. Bila yang dibutuhkan tiang pusar (benteng
tangnga), kayu yang dipilih adalah lurus, umurnya cukup tua, dapat mem-
bentuk sudut delapan dan tidak mempunyai mata hidup atau busuk. Jenis
kayu-kayu seperti ini disebut (kaju ganna’ suka’na).
Penelitian selanjutnya adalah berbagai dampak yang ditimbulkan
dalam proses penebangan kayu tersebut. Kayu yang dipilih adalah tegakan
yang berada di sekitar tegakan-tegakan kayu besar atau di celah hutan
berupa semak-semak. Arah mata angin juga turut diperhitungkan mereka
untuk menjaga, agar pohon yang ada di sekitar tidak tertimpa akibat
penebangan. Bila musim timo’ (musim Timur) sangat diyakini kayu tebang-
an akan jatuh ke Barat, sehingga resiko kerusakan di sebelah barat tegakan
harus diperhitungkan. Selain itu, waktu yang tepat untuk melakukan
penebangan adalah musim Timo’ (kemarau) atau setelah musim panen, agar
ekosistem serangga, khususnya lebah madu (apiscerana), tidak terganggu.
Hal ini disebutkan dalam Pasang, bahwa sebaiknya penebangan dilakukan pada

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 170


saat kemarau, ketika panen sudah dilakukan. Lebah itulah yang melakukan per-
kawinan silang bagi tetumbuhan. Baik pula jika engkau menebang pohon yang
kurang anakan kayu di sebelah Baratnya, karena dikhwatirkan akan tertimpa bila
penebangan kayu dilakukan pada waktu kemarau (angin berhenbus dari arah
Timur.
Jarak tegakan yang akan ditebang dengan sumber mata-air (sumur
batu dan kali-kali kecil) juga perlu dipertimbangkan. Tegakan pohon ber-
jarak kurang dari sipaddempakkang (satu kali jangkauan lemparan orang
dewasa) 15 meter tidak boleh ditebang, karena dianggap sebagai kawasan
penyangga Daerah Aliran Sungai (DAS).
Permohonan yang lolos seleksi dilanjutkan ke pertemuan adat
(abborong ada’a). Galla Puto dalam pertemuan adat seperti ini bertindak
selaku tokoh sentral didampingi oleh Lombo Ada’ (pembantu Ammatowa). Ia
bertindak selaku Pa’ranrang Bicarayya (hakim ketua) untuk memutuskan
diterima atau tidaknya pemohon tersebut berdasarkan ada’ tanayya (hukum
adat tentang peruntukan hutan).
Pemohon yang dikabulkan permohonan konseninya harus berkon-
sultasi dengan penjaga hutan dimana tegakan pohon tersebut berada. Ia
kemudian mengumpulkan para handai tolan dan kerabatnya untuk mem-
bagi tugas dalam penebangan pohon tersebut, mulai dari penebangan,
pengolahan dan pengangkutan dari dalam hutan 42. Sebelum memasuki
hutan rombongan penebang terlebih dahulu melakukan A’nganro (permo-
honan doa restu) kepada Ammatowa. Pada saat seperti ini, Ammatowa
didampingi dewan adatnya memberi wejangan dan nasehat kepada
pemohon dan rombongannya, agar sedapat mungkin menghindari peng-
rusakan hutan.
Saya kembali ke pembahasan tentang fungsi pasang sebagai pedoman
tentang Fungsi Hidrolis Hutan. Pemahaman seperti ini jelas di dalam
pasang, brerikut ini hutanlah yang mampu mendatangkan hujan, sebab di
kawasan adat Kajang tidak ada pengairan atau irigasi teknis. Dengan demikian,
hutanlah yang mampu berfungsi selaku pengairan, karena hanya hutan pula yang
dapat mendatangkan hujan. Pasang di atas menggambarkan, hutan
mempunyai ke-mampuan untuk mendatangkan hujan. Oleh karena itu,
tidak mengheran-kan bila hutan dipersonifikasi sebagai sesuatu yang bisa
42
Menurut Butong (hasil wawancara), bahwa kayu yang sudah ditebang tidak dibenarkan
diolah di dalam hutan. Kayu-kayu tersebut harus diangkut keluar dari kawasan hutan
dan diolah di pinggir hutan atau jalan. Ini berkaitan erat dengan kemungkinan timbul-
nya pembalakan liar (illegal logging) dengan menebang tegakan pohon melebihi
konsensi. Hal serupa juga dilakukan oleh masyarakat adat Karampuang melalui prosesi
Maddui’ yaitu menarik kayu dari dalam hutan adat untuk mengganti ramuan rumah
adat yang sudah lapuk. Selain itu, bentuk pengolahan seperti ini juga dimaksudkan,
agar ekosistem hutan tidak mengalami gangguan dari para pekerja di dalam hutan.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 171


mengontak hujan. Hutan disejajarkan dengan manusia yang mampu
memanggil dan mendatangkan hujan. Dengan demikian, menurut mereka
ketidakadaan hutan (deforestation) dapat pula menyebabkan ketidakadaan
hujan. Hutan tidak ada berarti tidak ada hujan dan tidak ada hujan berarti
tidak ada pula mata-air yang mengalir ke dalam sungai.
Penggunaan kata anggontaki (mengontak) di sini dikaitkan dengan
pengalaman ekologis selama berinteraksi dengan hutan di sekitar mereka.
Mereka memahami betul sirkulasi hidrolis terjadinya hujan. Menurut
mereka ketika suhu udara meningkat berarti tanah sedang melakukan
pernapasan (annapassaki buttayya) atau evapotranspirasi. Peningkatan suhu
tersebut mengakibatkan terjadinya penguapan air tanah (assauki buttayya)
menjadi kantong-kantong embun (lani) dipagi hari. Kantong-kantong
embun tersebut akan mengalami evaporasi ke atmosfir dan membentuk
kumpulan awan pekat (olong). Pada suhu tertentu awan tersebut akan
meleleh dan jatuh menjadi hujan (presitipasi). Hujan yang turun sebagian
ditangkap oleh tumbuhan dan sebagian pula langsung meresap ke dalam
tanah. Sumber air resapan tersebut mengalir (runoff) sebagai sumber mataair
melalui sungai yang mengalir ke tempat lebih rendah. Air tersebut kembali
menguap (evaporasi) ke udara dan menjadi embun, awan dan kembali
menjadi hujan.
Mereka juga sangat yakin, bahwa pohon melakukan pernapasan pada
malam hari (annappasaki kajuwa). Menurut Soerjani (2003: 37-38), bahwa
sirkulasi O2 dan CO2 umumnya melalui potosintesis tumbuhan. Tumbuhan
dalam potosintesisnya mengisap CO2 dari udara dan melepaskannya
kembali menjadi unsur-unsur O2. Demikian pula dengan pendapat
Soemarwoto (1985: 235), bahwa CO2 merupakan bahan pokok tumbuhan
untuk potosisntesisnya. Gas CO2 ditambah dengan unsur H2O terbentuk
melalui proses potosisntesis tumbuhan menghasilkan unsur O2 yang
dibutuhkan manusia dalam melakukan pernapasannya. Jadi, alam --- dalam
hal ini tumbuhan hijau --- telah memungkinkan udara dengan mengolah
CO2 menjadi O2 yang di butuhkan mahluk hidup. Daun-daun kayulah yang
mengisap kembali embun-embun atau gumpalan-gumpalan partikel air
yang sudah terlepas ke udara menjadi hujan. Pohon ketika melakukan
potosintesis, menurut persepsi mereka, mengisap udara dan kemudian
melepaskannya kembali, seperti halnya ketika manusia melakukan
pernapasan. Hal ini mereka buktikan ketika tumbuhan di sekitar tempat
tinggal mereka mengeluarkan ion-ion air yang membentuk embun malam di
malam hari.
Selain fungsi ekologis (ecological functions), hutan dalam sistem keper-
cayaan orang Kajang juga memiliki fungsi-fungsi sosial-budaya (socio-
cultural functions). Fungsi yang dimaksud adalah sebagai arena sosial,

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 172


seperti; tempat pelaksanaan ritual adat dan manfaat sosial dan budaya
lainnya. Salah satu dampak sosial yang paling nyata adalah kekompakan
orang Kajang dalam mempertahankan kelestarian hutan dan ekosistemnya.
Menurut Rasyid (2002: 124-136), lestarinya hutan adat Tanatowa tidak
terlepas dari keberhasilan sosialisasi program memasyarakatkan hutan
keramat sebagai hutan yang harus dilindungi dan dikonservasi melalui
pengajaran informal Pasang ri Kajang secara turun termurun.
Sosialisasi pengajaran informal Pasang di wilayah adat dilakukan
secara berjenjang sejak masa balita melalui larangan untuk tidak mendekati
hutan. Untuk memperkuat larangan tersebut orang tua biasanya menakut-
nakuti anaknya, bahwa di dalam hutan terdapat mahluk halus bernama I
Boek atau Nene’ Pakande. Mahluk tersebut sering menyembunyikan anak-
anak di hutan. Pada usia penggembala (berumur 5 s.d. 7 tahun) anak-anak
diwanti-wanti, agar tidak membawa ternaknya merumput di dalam hutan
keramat. Larangan ini juga mencakup pengambilan kayu atau rotan sebagai
cambuk ternaknya. Pelanggaran tersebut dapat berupa Bala (mala petaka),
bahkan kadang-kadang berujung pada kematian. Pengajaran isi pasang,
termasuk tataruang dan fungsi-fungsi hutan adat secara umum diajarkan
ketika seorang anak berumur 10 s.d. 15. Mereka umumnya dianjurkan
untuk mempelajari pasang secara mendalam melalui sosialisasi dan
internalisasi, baik di rumah tangganya sendiri maupun interkasi dengan
orang Kajang lainnya.
Setiap zona hutan menurut pandangan orang Kajang mempunyai
keistimewaan tersendiri, serta sarat dengan nilai sejarah dan nilai-nilai
sosial. Hutan Tanatowa I (Borong Iraja), misalnya, diyakini sebagai pusat dan
awal penciptaan bumi oleh TRA (Tuhan Yang Mahaesa). Penghuni pertama
tempat ini adalah Ammatowa I (Bohe Tomme) yang turun dari langit. Oleh
karena itu, tempat ini sering disebut Borong Iraja atau Pa’rasangang Iraja
(perkampungan sebelah Barat). Lokasi ini terletak di kawasan hutan Tupalo
di dusun Balangbina Desa Tanatowa, sekitar 600 meter dari pusat
pemerintahan adat Benteng.
Di kawasan Borong Iraja terdapat hutan Parukku (tempat suci) yang
disejajarkan dengan tanah suci Makkah (Mekah al-Mukarramah). Selain itu,
di tempat ini juga terdapat Pa'kombengang Doanga yaitu tempat penangkap-
an kepiting dan udang untuk upacara adat Appanganro dan upacara adat
lainnya. Pa’lengkerang Uhea yaitu tempat pengambilan rotan untuk pengikat
pembuatan baruga adat juga terapat di kawasan hutan ini.
Di kawasan hutan Tanatowa I dijumpai banyak anak sungai mengalir
ke sungai-sungai utama untuk mengairi persawahan orang Kajang. Di
dalam kawasan hutan tersebut juga dijumpai beraneka ragam satwa liar
(rusa, babi hutan, kera, kucing hutan, ular dan sebagainya) dan flora (kayu

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 173


bitti, rotan, rambutan hutan, kedao, enau, saingon hutan, kesambi, pudek,
angsana, kenari, kalumpang, pulai, putat, kapok hutan, asam karanji, johar,
pohon beringin, ketapang, pohon damar, cempaka, kayu kertas dan
sebagainya).
Hutan Tanatowa II, III dan IV sering disebut Borong Ilau yaitu hutan
yang terletak di sebelah Timur dusun Benteng. Kawasan hutan ini meliputi
Borong Karanjang (Tanatowa II), Borong Tombolo (Tanatowa III) dan Borong
Tode (Tanatowa IV). Hutan Keranjang dijadikan sebagai tempat upacara
pemilihan dan pelantikan calon Ammatowa ri Kajang. Hutan ini sangat
dikeramatkan, karena dianggap tempat tinggal roh nenek moyang orang
Kajang, termasuk TRA.
Menurut Ammatowa hutan Tombolo merupakan tempat suci bagi orang
Kajang, karena sering dikunjungi setelah melakukan pesta hajatan, terutama
Akkattere’. Mereka menganggap tempat ini sama dengan tanah Suci Mekah
dan Medina untuk melakukan ziarah ke makam salah seorang leluhur
mereka. Prosesi ziarah dilakukan mirip ketika calon jema’ah haji melakukan
ziarah ke makam Nabiullah Muhammad S.A.W.. di tanah Suci Madina al-
Munawwarah.
Hutan Tode yang luasnya diperkirakan 2 Ha dipercaya sebagai penye-
imbang bumi (patambanna linowa). Morfologi hutan ini lebih padat di-
banding dengan hutan adat lainnya (Tanatowa I, II dan III). Hutan ini
memilki pesona flora dan fauna yang mengagumkan, karena terdapat
pohon besar dengan ketinggian ratusan meter dan berdiameter ± 2.5 meter.
Di dalam hutan ini juga terdapat tegakan rotan yang panjang dan
berdiameter ± 40 cm. Itulah sebabnya, hutan ini disebut sebagai penye-
imbang dunia (pattambanna linowa), karena pohon-pohon besar diikat lilitan
rotan besar dan panjang. Penggunaan kata penyeimbang (pattambang) di sini
diasosiasikan dengan berat volume isi hutan tode mencapai jutaan ton.
Mereka khawatir bila hutan ini dirusak bola dunia akan mengalami
ketidakseimbangan dan berujung pada pecahnya planet dunia tempat kita
hidup saat ini.
Beberapa ahli budaya meminjam istilah ekologi yaitu ekosistem 43, yang
baru saja saya jelaskan di atas. Sebuah ekosistem terdiri atas lingkungan
43
Pengertian ekosistem menurut Zoer'aini Djamal Irwan (2003: 75) yaitu interaksi dan
saling pengaruh mempengarui antara mahluk hidup dan tidak hidup di dalam suatu
lingkungan. Menurut Soerjani (2006: 67), bahwa ada empat tingkatan ekosistem yang
harus dijaga untuk kelangsungan hidup di bumi ini, yaitu: 1) Atmosfer yaitu ruang
angkasa berisi ozon yang menjaga sinar ultra violet matahari yang berbahaya bagi
kehidupan ekosistem di dunia, 2) ekosfer adalah alam jagad berupa bumi tempat
manusia dan mahluk bidup darat lainnya melangsungkan kehidupannya, 3) Hidrosfe
yaitu dunia kehidupan di dalam air tawar dan laut dan 4) Litosfer yaitu kehidupan
di dalam tanah dan lapisan pada bumi.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 174


fisik berikut organisme-organisme yang hidup di dalamnya. Sistemnya akan
terpelihara oleh kegiatan organisme itu sendiri dan oleh proses-proses fisik
seperti erosi dan penguapan (evaporasi). Para ahli ekologi manusia pada
umumnya mencurahkan perhatiannya pada mikro-studi yang terinci dari
ekosistem manusia tertentu. Mereka menekankan, bahwa semua aspek
kebudayaan manusia harus diperhatikan dan tidak hanya terbatas pada
aspek-aspek teknik yang tampak saja. Sikap orang Tsembaga terhadap
peningkatan populasi babi dan lingkaran upacaranya memiliki fungsi
ekonomi yang penting. Kita melihatnya seperti itu, tetapi orang Tsembaga
mungkin tidak. Motivasi mereka untuk memiliki dan memelihara babi
berasal dari sistem kepercayaan mereka tentang kekuasaan dan kebutuhan
arwah leluhur mereka. Meskipun babi dimakan oleh orang yang hidup,
tetapi babi disajikan untuk leluhur mereka. Kasus yang mirip (sudah
dijelaskan di atas) dapat ditemukan ketika orang Tator melaksanakan pesta
adat rambu solo (pesta kematian) yang bagi orang luar --- yang mengguna-
kan kacamata ekonomi --- menganggapnya sebagai suatu bentuk kemu-
basiran saja. Betapa tidak, karena pesta yang dilakukan oleh keluarga Tator
yang biasanya mampu memotong puluhan kerbau dan ratusan ekor babi.
Satu ekor tedong bonga (kerbau belang) harganya bisa mencapai puluhan,
bahkan ratusan juta rupiah. Akan tetapi, pemikiran orang Tator yang
melakukan pesta adat tersebut bukan pada segi ekonomi, tetapi lebih kearah
penghargaan kepada keluarga dan luluhur mereka. Kasus yang sama juga
dapat dilihat ketika hari raya Idul Adha tiba, dimana semua umat Islam
yang dewasa dan mampu diwajibkan melakuka qurban untuk menyimbol-
kan pengorbanan nabi Ibrahim AS terhadap anaknya yang bernama Ismail.
Harga sapi yang mereka potong tidak menjadi beban ekonomi, karena hal
itu dianggap sebagai suatu kewajiban untuk memenuhi nilai-nilai spiritual
yang terkandung pada saat hari raya Idul Adha tiba.
b. Adaptasi Lingkungan
Adaptasi harus juga dipahami dari sudut pandangan historis. Agar
dapat menjadi serasi dengan ekosistem, organisme harus mempunyai
kemampuan yang potensial untuk menyesuaikan diri atau menjadi bagian
dari ekosistem yang ada sebagai pendukungnya. Orang-orang Comanche,
yang sejarahnya merupakan sebuah suku yang berasal dari daerah Idaho
Selatan, yang gundul dan kering dapat dijadikan contoh dalam menjelaskan
adaptasi evolusioner ini. Di daerah asalnya, mereka hidup dari tanaman
liar, binatang buruan kecil dan kadang-kadang binatang besar. Peralatan
hidup mereka tergolong masih sangat sederhana dan terbatas pada barang-
barang yang dapat diangkut oleh para wanitanya. Kelompok mereka relatif

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 175


kecil dan kekuasaan sosial dipegang oleh seorang Shaman44, yang merupa-
kan kombinasi dari dukun dan penasihat spiritual mereka.
Pada suatu saat dalam hidup pengembaraannya, orang-orang Coman-
che sampai di Great Plains, tempat bison melimpah rua dan potensial.
Kebiasaan orang Indian sebagai pemburu yang ulung dapat tersalurkan
sepenuhnya di sana. Oleh, karena persediaan pangan yang baru itu dapat
memenuhi kebutuhan kelompok yang lebih besar, maka mereka memilih
menetap di sana. Dari sanalah timbul kebutuhan akan organisasi politik
yang lebih kompleks pula, untuk mengatur tata kehidupan kelompok
mereka. Dengan demikian, berburu merupakan sarana untuk memperoleh
kekuasaan politik.
Akhirnya orang Comanche memperoleh kuda dan senapan dari orang
kulit putih, sehingga dapat lebih meningkatkan kemampuan berburu
mereka. Akibatnya, kepala suku dari masyarakat pemburu tersebut menjadi
penguasa penuh. Orang Comanche akhirnya menjadi perampok untuk
memperoleh seekor kuda, karena mereka sendiri tidak terampil dalam
berternak kuda. Panglima suku Comanche yang pada awalnya sebagai
pemimpin dalam berburu berubah menjadi panglima perang dalam
melakukan aksi kebejatannya. Mereka yang sebelumnya adalah pemburu-
peramu (hunter and gathering) yang miskin dan cinta damai di Great Basin,
tiba-tiba berubah drastis menjadi perampok yang kaya raya dan kejam.
Mereka menguasai daerah Barat Daya mulai dari perbatasan New Spain
(Meksiko) di Selatan sampai di Perancis Baru (Louisiana), serta wilayah
Amerika Serikat yang baru di sebelah Timur dan Utara. Dalam perpindahan
dari lingkungan yang satu ke lingkungan yang lain dan dalam mengem-
bangkan cara hidup yang satu menjadi cara yang lain, orang Comanche
memanfaatkan sebaik-baiknya potensi yang mereka miliki untuk ber-
kembang atau setidak-tidaknya menjadi potensi untuk pra-adaptasi kultural
mereka.
Banyak masyarakat yang berbeda berkembang, baik secara inde-
penden maupun tidak secara independen. Kelompok lain, misalnya, yang
memasuki wilayah Great Plains dan mampu memperoleh bentuk kebudaya-
an Plains Indian, yang dalam banyak hal sama dengan kebudayaan
Comanche, yang asal-usulnya orang Cheyenne. Akan tetapi, latar belakang
kebudayaan mereka sangat berbeda. Sebelumnya, mereka adalah petani
yang menetap, dengan lembaga sosial, politik dan keagamaan yang sangat
berbeda dengan orang Comanche. Pertumbuhan adaptasi kultural yang
sama terhadap kondisi lingkungan yang sama oleh bangsa-bangsa dengan
44
Shaman (Keesing, 1981: 293) adalah seseorang dalam masyarakat tribal yang dianggap
memiki kemampuan khusus untuk berhubungan dengan mahluk atau kekuasaan
supernatural, yang melakukannya untuk orang lain.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 176


latar belakang kebudayaan yang sangat berlainan disebut sebagai evolusi
konvergen (covergen evolution)45.
Evolusi konvergen tersebut mempunyai gejala dan karakteristik yang
sama dengan evolusi paralel (parallel evolution)46. Perbedaannya hanya
terletak pada asumsi, bahwa adaptasi yang sama tersebut dicapai oleh
bangsa-bangsa dengan latar belakang kebudayaan yang agak sama. Lahir-
nya peradaban besar di daerah-daerah yang begitu terpencar seperti Cina,
Mesopotania Barat Laut dan sebagian besar Peru dimungkinkan, karena
secara independen terjadi penemuan pertanian irigasi di semua daerah
tersebut. Masalah-masalah yang berhubungan dengan penerapan pertanian
irigasi dalam usaha mata pencaharian di lingkungan yang memiliki sungai
--- yaitu masalah tenaga kerja dan distribusi --- memainkan peranan
penting dalam pengembangan sejumlah penemuan paralel di dalam semua
masyarakat tersebut.
C. M Perubahan Kebudayaan
Proses dalam sebuah perubahan kebudayaan dapat berjalan lamban
(memakan waktu lama) atau cepat (hanya memakan waktu yang relatif
singkat). Proses-proses atau mekanisme yang terlibat dalam perubahan
kebudayaan itu adalah penemuan baru (inventtion), difusi (diffusion), hilang-
nya unsur kebudayaan (deculturation) dan akulturasi (acculturation).
Menurut Sugeng (2006: 258), bahwa semua kebudayaan suatu saat
akan melakukan perubahan, karena adanya perubahan lingkungan yang
menuntut perubahan secara adaptif pula. Perubahan tersebut dapat terjadi
secara kebetulan (casually changes), direncanakan (programmed change) atau
karena adanya kontak (cultural contacts) dengan unsur-unsur kebudayaan
lainnya. Dengan demikian, seperti yang sudah saya jelaskan di atas, bahwa
perubahan suatu kebudayaan dapat berasal dari dalam diri masyarakat
(inner change) atau dari luar (external change) masyarakatnya. Selain itu,
penentuan perubahan kebudayaan berdasarkan sumber-sumber perubahan
(source of change), perubahan juga dapat dibedakan berdasarkan aspek
waktu. Artinya, selain perubahan kebudayaan yang berlangsung lamban,
juga terjadi perubahan kebudayaan yang sangat cepat. Per1u juga saya
jelaskan di sini, bahwa dalam rangka perubahan kebudayaan, baik lambat

45
Evolusi konvergen Evolusi konvergen adalah munculnya individu dengan bentuk
morfologi yang mirip walaupun berasal dari garis keturunan yang berbeda.
46
Evolusi paralel atau divergen adalah munculnya individu yang memiliki bentuk
morfologi berbeda walaupun berasal dari garis keturunan yang sama. Evolusi paralel
juga dapat diartikan sebagai kelangsungan terdapatnya perbedaan mantap dalam
evolusi ciri antara dua garis filogeni yang tidak berkerabat dan pemerolehan secara
terpisah sifat ciri turunan berasal dari leluhur bersama oleh dua atau lebih keturunan.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 177


maupun cepat, dapat mengakibatkan hilangnya unsur-unsur kebudayaan
(deculturation).
Perubahan suatu kebudayaan yang melalui rangkaian sebuah proses
cukup panjang dan lama yang disebut evolusi sosial (social evolutions)47.
Menurut Parsons (1966) struktur setiap masyarakat adalah hasil sejarah dari
siklus perubahan yang berulang, tetapi cukup progresif. Siklus yang dimak-
sudkan di sini tidak berarti, bahwa semua masyarakat yang mengalami
perubahan seragam sifatnya antara satu kebudayaan dengan yang lainnya.
Akan tetapi, setiap kebudayaan mempunyai jalur transformasi tersendiri.
Siklus tersebut harus dilakukan melingkar dan berulangkali, sehingga
menampakkan perbedaan yang jelas antara kebudayaan yang kurang maju
(primitive) dan kebudayaan yang berkembang (modern atau advanced).
Menurut Sugeng (2006: 259) siklus-siklus proses perubahan kebudayaan
dapat dibedakan menjadi empat fase, yaitu: 1) Diferensiasi yaitu pembagian
struktur kolektivitas atau kelompok menjadi dua proses yang saling ber-
tentangan (binary). Ketika terjadi evolusi industri di negara-negara Eropa,
misalnya, terjadi perbedaan yang begitu menyolok antara industri rumah
tangga (home industries) yang dianggap sangat sederhana dengan industri
dengan sistem mekanisasi (mechanical industries) yang dianggap maju
dan efisien. Demikian pula masyarakat yang terlibat dalam industri ketika
itu juga terbagi menjadi masyarakat industri skala keci1 yang identik
dengan industri rumah tangga yang kurang profesional dan tidak memiliki
modal (capital) yang memadai. Sedangkan masyarakat industri maju (mecha-
nical atau advanced industries) dianggap profesional, memiliki banyak modal
dan menggunakan alat-alat produksi (means of production) yang cukup mu-
takhir, sehingga sangat efisien dalam pelaksanaannya. Max Weber dalam
bukunya berjudul Erika Protestan (1958) melihat kedua bentuk diferensiasi
tersebut sangat menyolok dalam rangka revolusi industri di Inggris, dimana
golongan yang kurang dalam segala hal akan menjadi klien atau kaum
pekerja (proletar), sedangkan golongan masyarakat yang mapan cenderung
menjadi patron atau penguasa dalam segala hal (borjois), 2) Perbaikan adaptif
yaitu masyarakat menjalankan kontrol yang lebih besar atas lingkungannya,
karena setiap kolektivitas dapat berfungsi lebih baik melalui spesialisasinya
daripada melalui diferensiasi di atas. Sistem industri memindahkan sistem
domistikasi produksi yang terfokus di dalam rumah tangga menjadi sistem
industri pabrikasi, yang dianggap lebih efesien dan mampu memberikan
kemaslahatan kepada semua orang, 3) Integrasi yaitu adanya penyatuan
47
Perubahan sosial (Social evolution) adalah perubahan yang terjadi sebagai suatu variasi
dari cara hidup yang telah diterima karena adanya perubahan kondisi geografi, kebu-
dayaan material, komposisi penduduk, ideologi, maupun adanya difusi atau penemuan-
penemuan baru dalam masyarakat.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 178


industri rumah tangga dengan industri pabrikasi. Sebagai contoh, kontrak
kerja yang diberikan kepada seseorang yang memaksanya untuk bekerja di
pabrik, sehingga ia mendapat upah dari pabrik untuk membeli suatu
produk yang dihasilkan oleh pabrik, termasuk produk yang ia buat sendiri
di pabrik tempat ia bekerja. Dengan demikian, upah dapat berfungsi sebagai
integrator dari hubungannya dengan tempat ia bekerja, 4) Generalisasi nilai
yaitu mekanisme proses kebudayaan dalam bentuk siklus dapat terjadi
karena adanya penemuan baru, difusi kebudayaan, hilangnya unsur kebu-
dayaan dan terjadinya proses akulturasi. Nilai di sini identik dengan
konsepsi Durkheim tentang solidaritas organik (organic solidarities) berupa
rasa bersatu antara warga komunitas berdasarkan kekeluargaan yang sering
dikuatkan oleh agama (Koentjaraningrat, 2003: 221). Nilai-nilai tersebut
diterapkan kepada kolektivitas baru, yang ditafsirkan sebagai spesifikasi
dari nilai-nilai yang sudah ada. Oleh sebab itu, nilai-nilai tersebut dibuat
lebih abstrak dan umum. Selain melalui siklus tersebut di atas, mekanisme
atau proses perubahan kebudayaan dapat terjadi karena adanya penemuan
baru (new inentions), difusi kebudayaan (cultural difusion), hilangnya unsur
kebudayaan (deculturation) dan terjadinya proses akulturasi (aculturation),
seperti yang akan saya jelaskan berikut ini:
1. Penemuan Baru (inventions)
Istilah penemuan baru (invention) mengacu pada penemuan cara kerja,
alat, atau prinsip baru oleh seorang individu, yang kemudian diterima
(conventional) oleh orang-orang lain, sehingga hal tersebut menjadi milik
bersama masyarakat (Haviland, 1988: 253). Istilah penemuan (baru), pada
prinsipnya, dapat dibagi menjadi dua ketegori, yaitu: penemuan primer
(primary invention) dan penemuan sekunder (seondary invention). Penemuan
primer adalah penemuan yang biasanya diperoleh secara kebetulan dan
baru pertama kalinya, sedangkan penemuan sekunder (innovation) adalah
proses perbaikan dengan menerapkan prinsip-prinsip yang sudah diketahui
melalui pengalaman. Penemuan primer lebih asli sifatnya, karena langsung
dari sumbernya. Sedangkan penemuan sekunder cenderung mangalami
perubahan, perbaikan dan penyesuaian dengan lingkungannya, sehingga
keasliannya tidak terjamin lagi. Penemuan sekunder sering juga disebut
sebagai inovasi (inovation) Sebagai contoh penemuan alat penetak (kapak
bermata satu di beberapa suku Papua) pada zaman batu, yang kemudian
mengalami proses perubahan menjadi alat-alat pemotong yang terbuat dari
bahan lainnya, seperti tulang binatang dan besi. Penyempurnaan bentuk
dan fungsinya dilakukan berdasarkan kebutuhan masyarakat pemakainya.
Contoh lain, adalah penemuan proses pembakaran tanah liat dari lembek
menjadi keras dan seterusnya. Sangat memungkinkan, bahwa pada zaman
dahulu kala pernah terjadi pembakaran tanah liat secara tidak disengaja,

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 179


yang digunakan sebagai wadah untuk memasak sesuatu. Perlu saya jelaskan
di sini, bahwa tidak semua kejadian secara kebetulan itu dapat dianggap
sebagai suatu penemuan (invention), selama penemunya tidak mengetahui
manfaat atau fungsi dari penemuannya tersebut. Kira-kira 25.000 tahun
yang lalu, orang menemukan adanya penerapan sistem pembakaran tanah
liat yang dilakukan oleh manusia purba, karena beberapa artefak patung-
patung kecil yang terbuat dari tanah liat yang dibakar, dapat ditemukan.
Akan tetapi, apakah penemuan yang sama dapat terjadi di beberapa tempat,
seperti di Timur Tengah. Jawabannya adalah tidak, karena penggunaan
wadah seperti itu belum mengakar di sana. Nanti sekitar tahun 7.000 dan
tahun 6.500 sebe1um masehi, barulah penerapan pembakaran tanah liat di
Timur Tengah mulai dikenal melalui pembuatan wadah-wadah dan bejana
memasak yang tebuat dari tanah liat --- yang murah, awet dan mudah
dibuat --- ditemukan.
Sebuah penemuan, seperti halnya dengan alat penetak dan tembikar di
atas dapat berubah dari penemuan primer menjadi sekunder. Banyak bukti
(arkeologi) yang dapat ditemukan dari perubahan bentuk penggunaan
tanah liat menjadi bentuk kentongan untuk menyimpan air, kendi untuk
menyimpan air minum, belanga untuk memasak, piring tanah untuk
makan, tungku tanah untuk memasak dan sebagainya, yang mengalami
perubahan bentuk sesuai dengan fungsinya. Kegiatan pembuatan grabah di
Banyumulek di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), misalnya, merupakan
salah satu bukti riel perubahan tersebut. Kendi atau kentongan yang
dulunya difungsikan sebagai alat memasak atau wadah penyimpanan air,
·saat ini dijadikan sebagai cendera mata khas Lombok dengan sentuhan-
sentuhan seni asesorisnya. Kendi atau kentongan tersebut dibungkus
dengan menggunakan anyaman rotan kecil atau kadang-kadang diukir dan
dibuat menyerupai guci yang berasal dari negeri cina.
Selain perubahan bentuk dan fungsi di atas, perubahan dan efesiensi
proses pembuatannya pun juga ikut terjadi. Harang tembikar, misalnya,
yang dibuat oleh masyarakat purba dengan menggunakan tangan dan/atau
alat sederhana lainnya, sejalan dengan perkembangan waktu mengalami
perubahan yaitu dengan menggunakan alat-alat tepat guna. Para peng-
rajin gerabah waktu lampau melakukan pekerjaannya dengan mengaduk-
aduk atau menginjak-injak tanah liat untuk membuat adonan, saat ini dapat
dilakukan dengan menggunakan alat pengaduk yang menggunakan mesin
atau dinamo pemutar. Para pengrajin tembikar pada waktu silam mem-
buat tembikarnya dengan tanpa wadah dan harus berputar dari salah satu
sisi ke sisi lain, ketika membuat tembikarnya. Kini dapat dilakukan dengan
menggunakan sebuah meja putar, sehingga pembuatnya tidak perlu lagi
mengelilingi tembikar buatannya. Perlu juga saya kemukakan di sini, bahwa

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 180


tidak tertutup kemungkinan proses perubahan dari penemuan primer ke
penemuan sekunder dapat menimbulkan penemuan baru lainnya. Pembuat-
an tungku pembakaran tanah liat di Timur Tengah, misalnya, yang juga
diterapkan ke dalam proses-proses lainnya, seperti pembakaran batu cadas
menjadi kapur, peleburan biji tambang (iron ore) menjadi lempengan logam
(pig iron) dan lain sebagainya, merupakan salah satu bukti penemuan lain
tersebut. Ketika, missalnya, pembakaran tanah liat di Timur Tengah ma-
nusia dikagetkan oleh temuan baru berupa kapur atau biji logam, maka ia
berusaha membuat percobaan-percobaan khusus dengan membakar batu
cadas dan tanah tambang yang dianggap mengandung logam.
Penemuan primer dapat mengakibatkan perubahan kebudayaan yang
cepat dan merangsang penemuan-penemuan lain, seperti tergambar dalam
contoh di atas. Hal ini disebabkan oleh adanya sifat dinamis kebudayaan,
yang memungkinkan terjadinya penemuan-penemuan. Darwin, misalnya,
dengan teori evolusinya menemukan sebuah bukti, bahwa manusia itu
dalam perkembangan evolusi fisiknya berasal dari kera. Temuan ini akhir-
nya menjadi kontrovesial hingga saat ini, karena temuan tersebut tidak
sesuai dengan nilai-nilai, pola kebutuhan dan tujuan-tujuan masyarakat.
Oleh karena itu, tidak salah apabila Benedict (1934) mengatakan, bahwa
peluang penemuan untuk diterima (oleh masyarakat) sangat kecil, kalau
penemuan tersebut tidak berhasil menyesuaikan diri dengan pola kebu-
tuhan, nilai dan tujuan-tujuan yang sudah mapan di dalam masyarakat.
Faktor lain yang dapat menghambat penerimaan sebuah temuan adalah
kebiasaan (habit) masyarakat penerimanya. Dengan demikian, manusia pada
umumnya akan tetap berpegang pada kebiasaannya dan cenderung eng-
gang menerima sesuatu yang baru, yang menurutnya tidak terlalu adaptif
dalam menghadapi lingkungannya. Jadi, peluang besar sebuah penemuan
untuk dapat diterima, apabila penemuan tersebut lebih baik daripada apa
yang digantikannya. Selain itu, prestise dan status si penemu juga menentu-
kan diterima atau kurang berterimanya suatu temuan. Apabila temuan itu
didapat oleh orang-orang yang berprestise atau berpengaruh, maka temuan
tersebut cenderung cepat diterima dibandingkan dengan penemu biasa atau
orangorang yang tidak berpengarub atau ahli dalam bidangnya.
2. Difusi Kebudayaan
Dalam proses perubahan suatu kebudayaan, seorang penemu kadang-
kadang memasukkan unsur baru dari kebudayaan dalam temuannya,
sehingga terjadi tiru-meniru kebudayaan yang membentuk difusi. Menurut
Sugeng (2006: 261-262) difusi kebudayaan adalah penyebaran adat atau
kebiasaan dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain. Proses
difusi kebudayaan disebabkan oleh beberapa faktor; adanya proses migrasi
oleh kelompok-kelompok manusia, adanya individu-individu yang mem-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 181


bawa unsur-unsur kebudayaan ke dalam masyarakat lain, serta adanya
pertemuan antara individu-individu dalam suatu kelompok manusia. Jadi,
difusi, pada prinsipnya adalah proses saling mempengaruhi antara dua
kebudayaan atau lebih.
Menurut Koentjaraningrat (1990: 244), bahwa penyebaran unsur-unsnr
kebudayaan dapat terjadi melalui berbagai cara, seperti: 1) penyebaran dan
migrasi kelompok-kelompok manusia di muka bumi, yang membawa serta
unsur-unsur kebudayaan dalam perpindahannya, 2) penyebaran unsur-
unsur kebudayaan dapat juga terjadi tanpa perpindahan kelompok-
kelompok manusia dan/atau bangsa-bangsa dari satu tempat ke tempat
lain, akan tetapi disebarkan oleh individu-individu tertentu yang membawa
unsur-unsur kebudayaan itu hingga jauh sekali, terutama oleh para sauda-
gar dan pelaut, 3) penyebaran unsur-unsur kebudayaan yang berdasarkan,
pertemuan antara individu-individu dalam suatu kelompok manusia
dengan individu-individu kelompok tetangga, yang berlangsung dengan
berbagai cara. Sebagai contoh dari bentuk penyebaran pertama adalah ada-
nya pengaruh adat-istiadat orang Bugis-Makassar di pulau Sumbawa Besar,
terutama orang Bima yang mendapat pengaruh dari orang Bugis dan
orang Sumbawa yang mendapat pengaruh dari orang Makassar. Menurut
Gising (2002), bahwa keduanya pernah dijajah dan ditaklukkan oleh Keraja-
an Bugis (Bone) dan Gowa (Makassar). Kerjaan Bone dibantu kerajaan
Tellulimpoe Sinjai berhasil menaklukkan Tambora dan Gima (saat ini Bima)
menjadi daerah kekuasaannya, sehingga bahasa dan kebudayaan mereka
mirip dengan orang Bugis. Sedangkan kerajaan Gowa berhasil menaklukkan
Sumbawa dan suku Sasak di pulau Lombok, sehingga bahasa dan kebu-
dayaan mereka banyak memiliki kemiripan dengan orang Makassar.
Untuk saat ini, kita dapat melihat bagaimana kebudayaan orang-orang
Tionghoa mulai berdifusi dengan kebudayaan nasional Indonesia. Pemakai-
an sumpit (dua serpihan batang kayu atau bambu berbentuk bulat panjang)
menggantikan pemakaian tangan dan sendok, ketika anda makan di
restoran atau warung-warung tionghoa, khususnya yang berlabel Hoka-
Hoka Bento. Demikian, pula dengan mie bakso 48, tahu dan tempe telah
berdifusi dengan beberapa kebudayaan yang ada di Indonesia, bahkan di
luar negeri. Khususnya, mie bakso yang dapat anda temukan hingga ke

48
Banyak kuliner orang Jawa yang merasuk kemana-mana dibawah oleh para pedagang
kaki lima hingga kepelosok-pelosok tanah air. Berbagai macam produk, seperti bakso
tahu goreng (batagor), bakso tusuk (cilok), tahu isi, mie bakso, nasi goreng bakso,
pangsit, mie goren atau kuah, kwiteau, gado-gado, tempe goreng, pisang molen dan
sebagainya. Bahkan terakhir diperkenalkan beragam nasi: nasi kuning, nasi goreng
merah, nasi hijau, nasi uduk, nasi tumpeng, nasi bakar, nasi campur, nasi remes dan
sebagainya.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 182


pelosok-pelosok, terutama di Sulawesi (Selatan) saat ini, mengganti sayur
atau lauk-pauk masyarakat setempat.
Sebagian masyarakat Indonesia, yang awalnya hanya mengenal agama
leluhur (animisme, dinamisme dan politeisme) berubah menjadi agama-
agama tertentu (Islam, Kristen, Hindu dan Budha) sebagai akibat dari
adanya orang-orang tertentu (misionaris, penyebar agama Islam, biksu dan
sebagainya) yang membawa ajaran tersebut kepada masyarakat lain.
Khusus penganut Islam, yang sebelumnya mengenal penyembahan berhala
dan leluhur mereka berubah menjadi penyembahan kepada Tuhan Yang
Mahaesa, melalui sholat lima waktu ditambah dengan pelaksanaan rukun-
rukun dan syariat Islam lainnya. Sebahagian ritual-ritual adat diubah
menjadi ritual-ritual menurut syariat agama Islam. Tidak sedikit pula ritual-
ritual lama masih tetap dipertahankan dan diintegrasikan dengan unsur-
unsur baru, seperti ketika seorang penganut Islam melakukan acara
selamatan, yang masih tetap menggunakan kemenyan, sesajen dan sebagai-
nya disertai dengan pembacaan al-Fatiha atau bacaan ayat-ayat suci al-
Qur'an lainnya.
Penyebaran unsur-unsur kebudayaan yang mungkin cepat terjadi
adalah yang disebabkan oleh adanya pertemuan antar dua kelompok
budaya. Orang Jawa yang lama tinggal di lingkungan orang Bugis atau
Makassar dan sebaliknya, akan melakukan difusi kebudayaan keluar (ex-
ternal diffusion) yaitu dengan mempengaruhi kelompok budaya lain dan
difusi kebudayaan kedalam (intenal diffusion) yaitu mengadaptasikan kebu-
dayaannya dengan kebudayaan lain yang ada di sekelilingnya. Perempuan
Jawa, misalnya, yang terkenal dengan pakaian khasnya kebaya dan sarung
batik sebagian sudah terganti dengan model-model baju yang lagi trendi
saat ini. Akhir-akhir ini lagi tren pemakaian baju (jangkist) dan celana
panjang (sepinggang) bagi kaum hawa, yang mempertontonkan perut dan
celana dalamnya, mulai menggeser budaya Timur yang penuh dengan
kesopanan. Anak muda harapan bangsa dengan gaya rock and roll dan/atau
jetsetnya dengan bangga menggunakan anting-anting, tato di badan, celana
jeans yang robek di bagian lutut, rambut dijambul dan dipirang dan
sebagainya, juga merupakan salah satu bukti adanya difusi kebudayaan
melalui media televisi dan alat-alat audio-visual lainnya. Jadi, arus
globalisasi dan informasi sebenarnya juga dapat merupakan media untuk
mempercepat perubahan unsur-unsur kebudayaan suatu kelompok masya-
rakat.
Murdock (1956) menyebut para kolonialis Eropa, yang datang ke
Amerika tidak hanya meniru pemanfaatan jagung, labu dan buncis sebagai
bahan konsumsi bagi orang Indian Amerika, tetapi juga meniru (cultre
imitations) seluruh rangkaian proses yang dilakukan orang Indian dalam

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 183


menghasilkan olahan bahan tersebut. Menurut Malinowski (1945), bahwa
meniru sutu kebudayaan apa adanya, sama kreatifnya dengan bentuk-
bentuk inovasi kebudayaan lainnya. Linton (1940) juga menyatakan, bahwa
sekitar 90% isi kebudayaan (cultural core) berasal dari peniruan. Sebuah
kebudayaan tidak pernah meniru semua inovasi yang ada, tetapi mene-
rapkan seleksi ketat dengan membatasi pilihan mereka pada hal-hal yang
dapat disesuaikan dengan kebudayaan mereka. Guatemala (Indian Maya),
misalnya, yang lebih dari setengah penduduknya, akan meniru nilai-nilai
Barat (orang Amerika) selama hal itu tidak bertentangan dengan cara-cara
dan nilai-nilai tradisional, seperti: penggunaan bajak di lingkungan per-
tanian, penggunaan sekop dalam pengambilan pasir dan parang untuk alat-
alat rumah tangga dan senjata. Peniruan tersebut sudah lama menjadi baku,
karena lebih baik daripada alat-alat batu. Di samping itu sesuai dengan
penanaman jagung secara tradisional yang dikerjakan dengan hanya meng-
gunakan alat-alat genggam saja dianggap sudah kurang efesien lagi. Seba-
liknya, nilai-nilai modernisasi orang Amerika, yang kemungkinan tidak
menguntungkan bagi orang Maya cenderung ditolak (rejection)49, karena di-
anggap tidak terlalu menguntungkan dalam kebudayaan suku Indian Maya.
Menurut Robert H. Lowie (1973), bahwa tendensi sebuah kebudayaan
berpotensi untuk meniru kebudayaan asing, sehingga kebudayaan menurut-
nya tidak ubahnya dengan barang sobekan-sobekan dan tambalan-tambalan
dari unsur-unsur yang ditiru, yang telah dimodifikasi sedemikain rupa
dalam rangka penyesuaian (adaptations) dengan unsur-unsur kebuda-yaan
yang meniru. Beals (1973: 296) sendiri yakin, bahwa kebanyakan barang-
barang yang oleh orang Amerika ditiru dari orang-orang Indian Amerika
telah dimodifikasi, seperti tanaman pangan pribumi (kentang, buncis,
gambas dan umbi-umbian) telah didomestikasi menjadi sumber pangan
rakyat Amerika Serikat pada khususnya dan dunia pada umumnya. Demi-
kian pula dengan tanaman-tanaman hortikultura dan tanaman obat-obatan
lainnya (herbal) --- tembakau untuk bahan rokok, coca dalam bentuk kokain
(narkoba), ephedra dalam bentuk ephredrine, datura dalam bentuk obat-
obat penangkal sakit, dan cascara sebagai minyak urut --- juga banyak
ditanam dan ditiru pemanfaatannya oleh orang luar. Keseluruhan tanaman
yang didomestikasi tersebut, pada prinsipnya, telah dikenal dan digunakan
masyarakat Indian Maya sejak dari nenek moyang mereka. Penggunaan dan
pemanfaatan sekitar 200 spesies tumbuhan obat-obatan lokal (local medicine
plantations), yang dilanjutkan melalui enkulturasi dengan menggunakan
49
Lihat Haviland (1988: 263) penolakan dalam akulturasi adalah perubahan-perubahan
yang tetjadi begitu cepat, sehingga sejumlah besar orang tidak dapat menerimanya,
yang menyebabkan penolakan (total). Penolakan (rejection) tersebut biasanya
menimbulkan pemberontakan atau gerakan kebangkitan.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 184


sistem pengetahuan lokal (local knowledge systems), hingga saat ini masih
tetap lestari.
Selain bentuk difusi di atas, orang Amerika juga melakukan imitasi
budaya (cultural imitations) dalam bentuk seni. Beberapa bentuk kesusastra-
an Amerika Utara, seperti Hiawatha arahan Longfellow dan Leather Stocking
Tales karangan James Fenimore Cooper, telah dimodifikasi sedemikian rupa
oleh seniman-seniman Amerika melalui sentuhan-sentuhan seni kontempo-
rernya, sehingga unsur-unsur lama berubah menjadi hal-hal yang baru
sifatnya berupa penggantian (sinceretism).50 Perubahan dan difusi tidak
hanya terjadi dalam karya-karya sastra, tetapi bahkan telah merasuki seni
musik tradisional orang-orang Indian Amerika. Sistem musik orang-orang
India Amerika yang telah dimodifikasi dengan menggunakan sentuhan-
sentuhan musik kontemporernya, juga telah memberi kontribusi besar
dalam musik dunia, seperti adanya interval yang tidak biasa, skala yang
bebas (arbitrary), irama yang saling berlawanan dan sifat yang monoton
yang mengakibatkan audiensnya akan terhipnotis (hipnose). Oleh karena,
terintegrasinya hasil tiruan yang dilakukan oleh musisi Amerika tersebut,
sehingga banyak orang yang tidak sadar dan tidak mengetahui lagi asal
dari unsur-unsur seni yang baru tersebut.
Menurut Smith (1990: 77-78), bahwa difusi yang digunakan sebagai
sebuah istilah ilmiah dalam antropology oleh E. B. Tylor (1958; 1871), meng-
acu pada transmisi lintas waktu dari unsur-unsur kebudayaan atau ciri/sifat
kebudayaan (cultural traits). Transformasi elemen-elemen kebudayaan se-
perti ini, baik material maupun non-material, melakukan migrasi untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, atau melalui sebuah proses
transfer dalam sebuah kontak budaya (cultural contacts). Dalam perkem-
bangan antropologi akhir abad-19 dan awal abad-20, terjadi perdebatan
sengit antara para penganut teori difusi dan penganut teori evolusi tentang
independensi penemuan. Teori evolusi mengatakan, bahwa ciri pembeda
psikologis yang berlaku, umumnya mempunyai kesamaan temuan dalam
berbagai tempat di dunia ini. Kaum difusionis, di pihak lain beranggapan,
bahwa unsur-unsur kebudayaan yang penting telah ditemukan di beberapa
tempat atau bahkan hanya di suatu tempat tertentu di bagian dunia ini dan
telah tersebar melalui difusi kebudayaan. Antropolog Inggris G. Elliot
Smith dan W. Perry, misalnya, menganjurkan kepada penganut teori
heliocentris51, bahwa kebudayaan hanya ditemukan di tempatnya di Mesir
50
Lihat Haviland (1998: 263), bahwa sinkeretisme dalam akulturasi berarti percampuran
unsur-unsur lama menjadi sistem-sistem baru.
51
Teori ini dipelopori G. Elliot Smith dan W. Perry (2006) yang mengatakan, bahwa
peradaban asli di dalam kebudayaan Mesir Kuno telah berdifusi hampir keseluruh
penjuru dunia.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 185


dan dari sanalah kebudayaan berdifusi ke negara-negara lainnya. Versi teori
difusi yang agak lunak adalah yang dikembangkan oleh budayawan
berkebangsaan Jerman dan para sarjana sejarah kebudayaan di Amerika
Serikat. Kedua bentuk teori ini dengan teliti mengacu pada analisis hubung-
an kebudayaan secara historis-geografis antara satu kebudaayan dengan
area kebudayaan lainnya, yang telah dibahas oleh kaum evolusionis melalui
prinsip sejarah secara spekulatif (speculative history). Dalam ilmu budaya
kontemporer hal-hal yang menyangkut rekonstruksi historis dan perdebat-
an antara kaum difusionis dengan evolusionis menghasilkan berbagai
bentuk studi tentang struktur sosial (social structure) dan proses per-
kembangan secara historis, melalui studi akulturasi membentuk sebuah
interes dalam sebuah proses dimana unsur-unsur kebudayaan dapat di-
transfer dari salah satu kelompok ke kelompok lainnya dan tatacara dimana
elemen-elemen kebudayaan ditransfer dan diadopsi kedalam sebuah
konteks baru (additions).52
F. Hilangnya Unsur-Unsur Kebudayaan
Umumnya orang yang berfikir, bahwa perubahan kebudayaan
(culture change) yang terakumulasi di dalam berbagai inovasi, dimana ada
unsur-unsur penambahan terhadap unsur-unsur kebudayaan (culture ele-
ments) yang sudah ada diubah melalui substitusi (substitutions)53. Perlu saya
jelskan di sini, bahwa selain perubahan kebudayaan yang lebih banyak
mengarah kepada penambahan, percampuran atau pemutahiran dan pene-
muan (inventions), juga perlu diperhatikan proses hilangnya sebuah atau
beberapa unsur kebudayaan (deculturation) yang sedang mengalami per-
ubahan tersebut. Proses hilangnya unsur-unsur penting kebudayaan ter-
sebut dapat terjadi, karena adanya penggantian dari unsur-unsur lama yang
dianggap sudah tidak relevan lagi. Haviland (1988: 262) mencoba mem-
berikan contoh menghilangnya dan berubahnya fungsi tembikar bagi suku
India Amerika. Oleh karena, adanya kebiasaan bagi suku Indian Amerika
untuk selalu berpindah-pindah tempat dari suatu tempat ke tempat lainnya,
wadah-wadah tembikar yang sebelumnya mereka gunakan diganti dengan
wadah yang terbuat dari kulit kayu atau binatang. Rupa-rupanya pemikiran
efisiensi telah mulai merasuk ke dalam sistem kognisi mereka, karena selain
tembikar mudah pecah juga sangat berat untuk di bawa kemana-mana,
sementara wadah dari kulit kayu atau binatang tidak gampang pecah dan

52
Lihat Haviland (1988: 263), bahwa adisi (additions) merupakan proses akulturasi yang
mengakibatkan terjadinya penambahan unsur-unsur atau kompleks-kompleks baru
dalam kebudayaan lainnya.
53
Lihat Haviland (1988: 263), bahwa substitusi dalam akulutrasi merupakan pergantian
atau unsur atau kompleks yang sudah ada oleh ynng lain ynng mengambil alih
fungsi, dengan perubahan struktur minimal.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 186


sangat simpel untuk dibawa kemana-mana. Saya masih ingat waktu kecil
jual beli alat-alat dapur sangat ramai di pasar Tajuncu (desa kelahiran saya)
dengan beragai bentuk, kareba pada saat itu desa saya dalam keadaan
kacau, akibat pemberontakan DI/TII. Alat-alat tersebut saya kelompokkan
menjadi: a) Terbuat dari tanah liat: dapo (anglo), dapa-dapo (peduapaan),
Uring tana (periuk), pamuttu tana (wajan tanah), bempa (tempayan), b) Ter-
buat dari logam yaitu: uring (periuk), panci (panci), cerei (ceret), pamuttu
(wajan), piso (pisau), bangkung (parang), attunung bale (alat bakar ikan), sode’
(alat goreng ikan) baki (nampan), taring bessi (tungku besi), c) Terbuat dari
bambu: pabberung (alat peniup), paccipi (penjepit), pattapi (niru), rakki
(tempat mengeringkan bahan makanan), jamba’ (baku-bakul nasi), pajero
(tampi belobang untuk memisahkan beras dengan gabah), assajing nanre
(bakul tempat nasi tambahan), d) Terbuat dari kayu: dulang (tempat nasi),
onrong penne (tempat piring), e) Terbuat dari tempurung kelapa: kaddaro
innungeng (gelas tempurung), cimbokang (kebokan), sanru (sendok tem-
purung), penne kaddaro dan f) Terbuat dari anyaman: assok-koreng (kukusan),
baku-baku (bakul nasi untuk bekal), baku datu (bakul tempat benda-benda
berharga), pattapi santang (tapisan santan), paberesseng (tempat beras), tappere
(tikar), pappapi (kipas).
Yang paling sering terjadi, bahwa kita berfikir tentang perubahan
sebagai akumulasi berbagai inovasi, ada hal-hal baru yang ditambahkan
kepada yang sudah ada. Akan tetapi, hanya sedikit yang menyadari, bahwa
penerimaan temuan baru itu kadang-kadang menyebabkan hilangnya
unsur-unsur yang lama. Penggantian semacam itu bukan hanya ciri dalam
kebudayaan Barat saja, tetapi juga di berbagai tempat dan kebudayaan. Jadi,
dalam proses tersebut timbul unsur-unsur baru berupa pemakaian bahan-
bahan tertentu (kulit) untuk memenuhi kebutuhan yang berbeda melalui
orijinasi kebudayaan (cultural origination), sehingga unsur-unsur penting
berupa gerabah dan tembikar menghilang (deculturation) dan ditinggal oleh
pemakainya.
Hal-hal lain yang juga sering mendapat perhatian para ahli budaya
adalah hilangnya sebuah unsur kebudayaan, tetapi unsur-unsur yang hilang
tersebut tidak ada penggantinya. William Haviland (1988: 262) kembali
memberikan contoh hilangnya fungsi perahu di gugusan kepulauan Kanari,
yang tepencil di sekitar laut ganas di Afrika Barat. Secara logika dapat
dipastikan, bahwa nenek moyang mereka ulung dalam menggunakan
perahu sebagai alat transfortasi dalam mendistribusi kebutuhan sandang
dan pangan di pulau itu. Oleh karena hilangnya perahu tersebut yang
membuat penduduk pada gugusan kepulauan Kanari tidak bisa berkomu-
nikasi dengan yang lainnya, maka hilang pulalah sebuah unsur kebudayaan
yang sangat penting yaitu mata kapak dari batu, yang akibatnya distribusi

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 187


kayu sebagai bahan pembuatan perahu mengalami kesulitan. Hal ini pula-
lah yang menjadi faktor penyebab hilangnya perahu di pulau Kanari yang
berupa unsur-unsur kebudayaan. Sugeng (2006: 262) memberikan contoh
hilangnya alat transportasi delman di kota-kota metropolitan menjadi salah
satu unsur budaya yang hilang (deculturation), karena fungsinya sudah
digeser oleh alat transportasi yang lebih maju, canggih dan modern. Sepeda
motor, bajai, bis kota, kereta api telah menggeser keberadaan delman se-
bagai alat transportasi di masa silam. Delman dalam beberapa hal menjadi
unsur budaya yang hilang. Di sisi lain, agar delman tidak tergeser atau
hilang dari kebudayaan masyarakat metropolitan, keberadaan delman di-
batasi operasionalnya pada daerah wisata. Penambahan item, seperti
kantong kotoran kuda, kantong makanan kuda, rute delman, jam operasi
merupakan bentuk usaha untuk tetap mempertahankan (revitalization) unsur
kebudayaan delman, agar tidak hilang.
1. Akulturasi
Menurut Haviland (1988: 263), bahwa proses akulturasi mendapat
perhatian khusus dari para budayawan dan antropolog. Akulturasi terjadi
bila kelompok-kelompok individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda
saling berhubungan secara langsung dan intensif. Hubungan tersebut
menyebabkan timbulnya perubahan-perubahan besar pada pola kebudaya-
an dari salah satu atau kedua kebudayaan yang bersangkutan. Di antara
variabel-variabelnya yang banyak itu, termasuk tingkat perbedaan kebu-
dayaan, keadaan, kondisi, intensitas, frekuensi dan semangat persaudaraan.
Dengan demikian, terjadi dua kubu yaitu yang dominan dan yang tunduk,
serta kemungkinan ada atau tidaknya saling pengaruh secara timbal balik
dari kedua kebudayaan atau lebih yang melakukan kontak. Perlu saya
jelaskan di sini, bahwa istilah akulturasi dan difusi kebudayaan merupakan
dua bentuk pemakaian istilah yang bertolak belakang. Akulturasi menurut
Koentjaraningrat (2003: 7) adalah proses dimana para individu warga suatu
masyarakat dihadapkan pada pengaruh kebudayaan lain dan asing. Dalam
proses itu sebagian mengambil alih secara selektif sedikit atau banyak unsur
kebudayaan asing itu dan sebagian pula berusaha menolak pengaruh itu.
Sedangkan difusi kebudayaan (Koentjaraningrat, 2003: 41), di pihak lain,
adalah persebaran unsur-unsur kebudayaan di muka bumi. Kalau persebar-
an itu merupakan akibat pengaruh suku bangsa yang satu pada suku
bangsa yang lain, proses difusi itu disebut difusi meransang (stimulus
diffusion) yaitu proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan akibat penga-
ruh gagasan yang menimbulkan unsur-unsur itu. Akibatnya, sebuah kebu-
dayaan dapat mengambil anasir dari kebudayaan lain tanpa melalui akultu-
rasi sama sekali sebagai akibat dari salah satu atau sejumlah proses tersebut,
akulturasi dapat tumbuh melalui beberapa jalur (Haviland, 1988: 263).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 188


Percampuran atau asimilasi unsur-unsur budaya (cultural assimilations)54
dapat terjadi bila dua kebudayaan kehilangan identitas masing-masing dan
menjadi satu kebudayaan baru. Inkorporasi (incorporation) terjadi kalau
sebuah kebudayaan kehilangan otonominya, tetapi tetap mempunyai
identitas sebagai sub-kultur, seperti kasta, kelas atau kelompok etnis.
Kejadian seperti ini terjadi di beberapa daerah taklukan, yang umumnya
menjadi budak dari penguasanya. Ekstinksi (extinction) atau kepunahan
adalah gejala di mana sebuah kebudayaan kehilangan orang-orang yang
menjadi anggotanya, sehingga tidak berfungsi lagi. Kepunahan budaya juga
dapat terjadi bila anggotanya mati atau bergabung dengan kebudayaan lain.
Dalam adaptasi dapat tumbuh sebuah struktur baru dalam keseimbangan
yang dinamis. Perlu saya jelskan di sini, bahwa perubahan sebuah
kebudayaan dapat berjalan terus, akan tetapi bentuk pertumbuhan bersama
biasanya agak lamban.
Haviland (1988: 264) memberikan contoh kasus masyarakat Indian di
bagian Utara New England pasca terjadinya invasi dan kolonialisasi oleh
orang-orang Inggris. Dari luar memang tampak, bahwa orang-orang Indian
umumnya berperilaku mirip dengan para kolonisnya, yang juga hidup
berdampingan dengan mereka. Mereka, misalnya, senang memakai pakaian
gaya Eropa, menggunakan alat-alat besi dan bukan alat-alat batu lagi, ber-
tempur dengan menggunakan senapan atau senjata api dan tidak lagi meng-
gunakan busur dan anak panah, menekankan cara patrilineal dalam
pembagian warisan harta benda, yang mengakui adanya perbedaan kedu-
dukan antara laki-laki dan perempuan. Mereka pada umumnya lancar
mengunakan salah satu bahasa Eropa (Perancis) dan bahkan memeluk
agama Kristen (Katolik). Kebiasaan-kebiasaan sesuai adat-istiadat orang
Indian, seperti: berburu, menangkap ikan, menanam jagung, buncis dan
gambas, menggunakan kano dan sepatu salju, serta menghisap rokok sudah
lama dijadikan kebiasaan kaum kolonis, sehingga hal tersebut tidak lagi
menjadi ciri khas orang Indian. Dengan demikian, perbedaan antara orang
Indian dan bukan Indian hampir tidak terlihat lagi, meskipun mereka tetap
memelihara nilai-nilai inti (value cores) dan tradisi (customs), khusus sebagai
milik mereka sendiri. Inilah yang akan menjadi ciri pembeda satu-satunya
bagi mereka dengan kaum kolonis dan pasukannya.
Menurut Smith (1990: 1), bahwa istilah akulturasi telah digunakan

54
Asimilasi (cultural assimilations) adalah pembauran dua kebudayaan yang disertai
dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru.
Suatu asimilasi ditandai oleh usaha-usaha mengurangi perbedaan antara orang atau
kelompok. Untuk mengurangi perbedaan itu, asimilasi meliputi usaha-usaha mem-
pererat kesatuan tindakan, sikap, dan perasaan dengan memperhatikan kepentingan
serta tujuan bersama.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 189


sejak abad ke-19 untuk menggambarkan proses akomodasi dan perubahan
yang terjadi di dalam kontak budaya. Akan tetapi, selama tahun 1930-an
penggunaannya semakin meningkat, terutama oleh para antropolog Ame-
rika Serikat yang tertarik di dalam studi perubahan kebudayaan dan per-
ubahan sosial, serta pada problematika kerancuan sosial dan kemunduran
budaya. Mereka mendefinisikan akulturasi sebagai fenomena-fenomena
yang dihasilkan, ketika sekelompok manusia yang berasal dari latar kebu-
dayaan berbeda berada dalam kontak langsung. Hal tersebut akan meng-
akibatkan perubahan secara sufisien dari kedua belah pihak. Memulai dari
sebuah pola dasar kebudayaan (culutral baseline) pra-kontak, studi akulturasi
kemudian berusaha mempelajari, menggambarkan dan menganalisa proses
perubahan. Dalam aplikasinya, mereka lebih mengkonsentrasikan diri pada
kontak antara masyarakat industri dengan masyarakat bersahaja (native
population), dengan menekankan pengaruh satu arah dari yang lama hingga
selanjutnya, seperti yang terimplikasi di dalam antropologi terapan (Applied
Anthropology). Mereka dibesarkan oleh terpaan kritikan, karena keterbuka-
annya pada proses pengembangan dan latar belakang kelompok kebudaya-
an dominan dan perubahan yang muncul di dalamnya sebagai hasil dari
situasi politik baru, ekonomi dan bentuk sosial. Studi khusus dalam per-
spektif akulturasi termasuk di dalamnya mekanisme perubahan dan
resistensi dalam melakukan perubahan dan kreasi tipologi dari hasil sebuah
perubahan, seperti: asimilasi, reinterpretasi, sinkeretisme, revitalisasi dan
sebagainya. Studi akulturasi akhir-akhir ini cenderung menghindari
pembahasan yang berkenaan dengan pola kebudayaaan (cultural pattern)
dan latar belakang analisis struktur dominasi sosial, ekonomi dan politik
atau interaksi etnik dan strategi penggunaan elemen kebudayaan (cultural
elements) dalam kontak kebudayaan yang sedang berlangsung.

2. Enkulturasi
Menurut Smith (1990: 92), bahwa enkulturasi pertama kali diperkenal-
kan di Amerika Serikat, yang dalam antropologi budaya sebagai pengganti
atau alternatif dari pemakaian istilah sosialisasi (socialization). Sosialisasi
menurut Koentjaraningrat (2003: 221) merupakan prosese seorang individu
belajar berinteraksi dengan sesamanya di dalam suatu masyarakat menurut
sistem nilai, norma dan adat istiadat yang mengatur masyarakat yang ber-
sangkutan. Dalam aplikasinya, kedua istilah tersebut tidak terlalu menam-
pakkan perbedaan yang menyolok. Enkulturasi digunakan untuk menjaga
kelasiman dari konsep budaya di dalam antropologi Amerika Serikat

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 190


tentang struktur sosial (social structure) atau sistem sosial (social system)55,
yang dinyatakan di dalam sosialisasi. Hal ini mungkin juga tidak terlalu
penting untuk membedakan secara rinci antara kedua konsep tersebut,
selama dalam proses peran dan pembelajaran (role and learning), serta per-
kembangan kepribadian. Seseorang dapat dikatakan mencapai taraf ber-
hasil, baik berbudaya maupun bersosialisasi. Konsep enkulturisasi meng-
implikasikan, bahwa proses untuk menjadi terkorporasi di dalam sebuah
kebudayaan tertentu dan mempelajari norma-normanya dan pola-polanya
(Patterns), berarti seseorang sedang berusaha mengubah statusnya dari masa
kanak-kanak memasuki kehidupan dewasa. Enkulturasi bisa saja mencakup
para migran atau perseorangan dalam situasi interaksi. Enkulitri tersebut
akan berubah menjadi konfigurasi budaya yang baru dalam suatu saat
dalam hidupnya. Seperti halnya dengan pembelajaran formal di sekolah, se-
seorang dalam mempelajari kebudayaannya sendiri tidaklah dibatasi dalam
masa kanak-kanak saja, tetapi harus dilanjutkan hingga menjelang kede-
wasaan atau sampai seseorang tergabung di dalam sebuah peran dan status
baru. Status dan peran tersebut tercermin di dalam jaringan kekeluargan,
kekerabatan atau peran dan status umum dalam struktur politik dan
sebuah pekerjaan. Sama halnya dengan sosialisasi, enkulturasi umumnya
disejajarkan dengan sistem pembelajaran formal, yang berusaha meningkat-
kan interaksi sosial. Inilah yang membedakannya dengan praktek pen-
didikan formal atau sekolah. Dengan demikian, pemahaman umum tentang
sosialisasi dan enkulturasi akan mencakup, baik mekanisme informal mau-
pun formal.
Menurut Holmes (1965: 78), bahwa segala sesuatu yang mengangkat
derajat manusia dari tingkat binatang atau primat paling rendah menjadi
seorang kreator yang unik, karena ia sudah mampu menggunakan bahasa
dan mengembangkan kebudayaanya. Ia telah memperoleh kemampuan ter-
sebut melalui proses belajar (enculturation). Dalam ilmu budaya, pem-
belajaran terhadap sebuah bahasa dan tradisi dikenal sebagai enkulturasi.
Hal itu merupakan sebuah kekhususan bagi manusia, karena hanya
manusialah yang memiliki kebudayaan. Melalui enkulturasi perilaku anak-
anak yang masih acak diarahkan menjadi jaringan perilaku yang berterima.
Enkulturasi juga dapat dikatakan sebagai sebuah proses pembiasaan di-
mana nilai-nilai, persepakatan dan arti-arti simbolik ditransmisikan kepada
yang lebih muda atau, dalam beberapa kasus, kepada orang yang baru
mencapai tingkatan kedewasaan yang tergabung di dalam masyarakat.
Selama proses ini berlangsung, nilai-nilai, ide-ide dan etika-etika sebuah
55
Sistem budaya(cultural system) menurut) J. J. Honigman (1954) adalah kumpulan nilai,
gagasan-gagasan dan norma-norma. Sedangkan sistem sosial adalah kompleks aktifitas
dan tindakan berpola dalam masyarakat dan artefak-artefak atau kebudayaan fisik.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 191


masyarakat diinternalisasikan, sehingga kepribadian secara otomatis ter-
operasikan di dalam nilai-nilai masyarakat tertentu, sekalipun yang ber-
sangkutan tidak bersama-sama dengan masyarakat tersebut. Nilai-nilai
masyarakat menjadi nilainya juga dan berusaha membangun inti sosial
(social conscience) yang kemudian akan menjadi landasan yang akan ia ajar-
kan kepada anak-anaknya kelak, jika sudah tiba saatnya.
Sebagai tambahan, bahwa tidak ada duanya pembelajaran melalui
enkulturasi dalam rangka mengembangkan kepribadian manusia. Sosiali-
sasi mempunyai ciri tersendiri, dalam pembelajarannya cenderung melalui
pengalaman, yang bejalan dari manusia satu ke manusia lainnya melalui
enkulturasi. Berbeda dengan enkulturasi, sosialisasi tidak hanya dilakukan
pada orang-orang tertentu saja, tetapi kepada semua mahluk sosial (social
animals) pada umumnya. Enkulturasi, di pihak lain, harus dilakukan dalam
kaitannya dengan pembelajaran sebuah tradisi kebudayaan, sementara
sosialisasi mengacu pada pembelajaran yang berhubungan dengan tipe
kepribadian yang diangkat dari kelompok sosial ke dalam kepribadian,
dimana seseorang dilahirkan dan yang akan dimasuki. Tidak ada dua
keluarga yang betul-betul sarna di atas dunia ini. Seorang ayah mungkin
keras sedangkan ibunya lemah lembut, atau sebaliknya kedua-duanya keras
atau kedua-duanya lemah lembut.
Tidak ada pula perbedaan perhatian kepada yang si bungsu, yang
sulung atau hanya pada seorang anak saja. Sepanjang waktu seorang anak
harus mempelajari dan membedakan antara kepribadian dengan penye-
suaian perilakunya di dalam masyarakat.
3. Perubahan Paksa
Perubahan paksa adalah sebuah perubahan yang dipaksakan, sehingga
sebuah unsur-unsur budaya akan berubah menjadi bentuk budaya lainnya.
Perubahan paksa dilakuka, karena adanya kebutuhan di dalam masyarakat
itu sendiri. Perubahan seperti ini dapat berupa usaha suatu masyarakat
untuk beradaptasi secara ekonomis dengan revolusi teknologi yang me-
landa seluruh dunia, meskipun dampak perubahan itu mungkin terasa
dalam masyarakat seluruhnya. Perubahan peranan wanita di Afrika, misal-
nya, yang sebenarnya juga terjadi di Amerika Serikat, dapat dianggap
sebagai contoh perubahan paksa. Akan tetapi, perlu juga saya jelaskan di
sini, bahwa perubahan paksa juga dapat terjadi, karena adanya paksaan
yang timbul luar kebudayaan itu sendiri. Perubahan seperti ini biasanya
berupa kolonialisme dan penaklukan, pemberontakan dan revolusi.
Penduduk asli yang ditaklukkan tidak mampu menolak perubahan
yang dipaksakan oleh penguasa atau penjajah. Kegiatan-kegiatan tradisional
di bidang ekonomi, politik, agama, sosial dibatasi dan dipaksa untuk mela-
kukan kegiatan-kegiatan baru yang cenderung mengisolasikan individu dan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 192


merusak integrasi sosialnya. Perubahan kebudayaan secara paksa melalui
kolonialisme dan penaklukan terjadi pada abad ke-19 sampai awal abad ke-
20. Politik kolonilalisme dikembangkan oleh negara-negara maju, seperti;
Belanda, Portugal, Inggris, Perancis, Spanyol dan Amerika Serikat. Tidak
mengherankan, jika unsur-unsur budaya negara penjajah sampai sekarang
masih ditemukan dan diterapkan di negara-negara bekas jajahan. Unsur-
unsur bahasa, agama dan sistem politik negara kolonial dapat ditemukan
di negara bekas jajahannya.
Apabila kolonialisme dan penaklukan merupakan bentuk perubahan
kebudayaan secara paksa yang berasal dari luar, pemberontakan dan
revolusi dapat timbul dari dalam masyarakat itu sendiri. Pemberontakan
dan revolusi muncul karena kondisi-kondisi yang dianggap kurang meng-
untungkan bagi sebagian besar masyarakat. Kondisi tersebut bisa berupa
ketidakadilan dalam distribusi (kekayaan dan kekuasaan), munculnya pe-
rasaan benci pada kelompok yang dianggap sebagai penindas dan hilang-
nya kepercayaan penguasa. Menurut Haviland (1988: 268) terdapat lima
kondisi sebagai pencetus timbulnya pemberontakan dan revolusi, yaitu: 1)
hilangnya kewibawaan pejabat-pejabat yang kedudukannya mantap, sering
sebagai kegagalan politik luar negeri, kesulitan keuangan, pemecatan
menteri yang popular, atau perubahan kebijakan yang popular, 2) Bahaya
terhadap kemajuan ekonomi yang baru dicapai. Di Perancis dan Rusia,
golongan penduduk (golongan profesi dan pekerja di kota-kota) yang nasib
ekonominya mengalami perbaikan sebelumnya, tertimpa oleh kesulitan-
kesulitan yang tidak terduga, seperti tajamnya kenaikan pangan dan tingkat
pengangguran, 3) Ketidaktegasan pemerintah, seperti kebijaksanaan yang
tidak konsisten. Pemerintah yang demikian kelihatannya ia yang dikendali-
kan dan tidak mengendalikan peristiwa, 4) Hilangnya dukungan dari kelas
cendekiawan. Kehilangan seperti itu oleh pemerintah-pemerintah pra-
revolusi di Perencis dan Rusia menyebabkan pemerintah kehilangan
dukungan falsafahnya, yang menyebabkan mereka kehilangan popularitas
di lingkungan cendekiawan dan 5) Pemimpin atau kelompok pemimpin
yang memiliki kharisma cukup besar untuk menggerakkan sebagian besar
rakyat, melawan pemerintah.
Kelima kondisi di atas dapat dijadikan sebagai acuan untuk meng-
analisis perubahan kebudayaan melalui pemberontakan dan revolusi yang
terjadi di Indonesia pada tahun 1997-1998 (masa reformasi). Pada saat itu
Presiden Soeharto, kabinet serta kroninya sudah kehilangan kewibawaan di
mata rakyatnya, karena dianggap gagal membenahi persoalan ekonomi
politik yang terjadi. Tingkat inflasi yang tinggi, korupsi, kolusi dan nepo-
tisme yang merajalela mengakibatkan kehidupan rakyat semakin sengsara.
Rakyat semakin tidak percaya dengan rezim orde baru. Kalangan cendekia-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 193


wan dan akademisi mulai mencabut dukungannya serta menuntut Soeharto
untuk segera mundur. Munculnya pemimpin-pemimpin informal yang
kharismatik, seperti Amin Rais, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, Sri
Sultan Hamengkubuwono X yang memiliki pengaruh besar untuk meng-
gerakkan rakyat. Dimotori oleh gerakan mahasiswa dan didukung oleh pe-
mimpin karismatik, akhirnya terjadilah perubahan besar-besaran di Indo-
nesia yang diawali dengan mundurnya Soeharto dari jabatan Presiden pada
21 Mei 1998.
4. Kolonialisme dan Penaklukan
Salah satu produk sampingan kolonialisme adalah tumbuhnya antro-
pologi terapan dan digunakannya teknik, serta pengetahuan antropologi
untuk keperluan praktis. Dengan demikian, tidak salah bila antropologi
Inggris sering dipandang sebagai hamba politik kolonial negara tersebut,
karena mereka umumnya dipaksa menyediakan informasi yang berguna
untuk tetap mempertahankan kekuasaan pemerintahan kolonial di daerah
jajahannya. Di Amerika Serikat, para ahli budaya dari abad-19 sangat men-
dambakan kegunaan disiplin mereka dan tidak jarang mereka turun tangan
membantu orang-orang Indian Amerika, tempat mereka bekerja. Awal abad
ini, karya Franz Boas, yang hampir seorang diri melatih satu generasi ahli
antropologi di Amerika Serikat, telah membantu pemerintah untuk meng-
ubah politik imigrasi negara tersebut. Dalam tahun 1930-an para ahli
budaya menanggapi sejumlah studi yang dilakukan di lingkungan industri
dan lembaga-lembaga lainnya, untuk tujuan-tujuan terapan. Timbulnya
Perang Dunia II menyebabkan pekerjaan-pekerjaan khusus di bidang
administrasi kolonial di luar perbatasan benua Amerika, khususnya di
daerah Pasifik, yang dikerjakan oleh pegawai-pegawai yang telah mendapat
latihan di bidang ilmu budaya.
Timbulnya kebangkitan orang-orang Jepang untuk melawan tentara
sekutu juga disebabkan oleh pengaruh dari para ahli budaya dalam menen-
tukan struktur pendudukan Amerika Serikat. Eksperimen-eksperimen
Amerika Utara yang dimaksudkan untuk memadu kebudayaan kolonial
dengan struktur pribumi dengan kekacauan yang sekecil mungkin, juga
telah berhasil. Meskipun banyak di antara studi itu diakui memang untuk
kepentingan sandi militer, akan tetapi itu semua juga bermanfaat untuk
program pengembangan ilmu pengetahuan hingga saat ini.
Akan tetapi, seperti yang tercermin dalam beberapa kepustakaan awal
tentang hubungan antara bangsa-bangsa Eropa dengan kelompok-kelom-
pok penduduk asli, tidak mengandung pengertian antropologis dan sering
tidak ada perikemanusiaan samasekali. Pertemuan antara kolonialis dengan
penduduk pribumi di beberapa tempat sering mengakibatkan kematian
besar-besaran, kesengsaraan yang memilukan dan keruntuhan komunitas

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 194


atau yang lebih dikenal sebagai kerusakan kebudayaan (culture crash).
Keruntuhan tradisi komunitas seperti di atas ditandai dengan terjadinya
khaos atau ketidakstabilan sosial dan kecemasan setiap individu, sering
diikuti dengan terjadinya intervensi atau pendudukan kolonial. Perlawanan
kaum pejuang Islam Checnya, Sandikistan dan sebagainya merupakan salah
satu contoh cepatnya negara adikuasa Unisovyet runtuh. lni tidak berarti,
bahwa masyarakat tradisional tidak mengenal bentrokan sebelum ber-
hubungan dengan peradaban lain, tetapi pertentangan-pertentangan ter-
sebut masih dapat diatasi melalui lembaga-lembaga kebudayaannya atau
konsolidasi melalui musyawarah dan mufakat.
Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan, meletus sejak tahun 1951
dan dipimpin oleh Kahar Muzakar, merupakan salah satu contoh dari
terjadinya kehancuran budaya di Sulawesi Selatan. Munculnya gerakan
DI/TII tersebut bermula dari usulan Kahar Muzakar untuk menempatkan
laskar-laskar rakyat Sulawesi Selatan ke dalam lingkungan APRIS (Angkat-
an Perang Republik Indonesia Serikat). Usulan tersebut ditolak oleh
Pemerintah Pusat. Kahar Muzakkar mengusulkan, agar seluruh anggota
Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dimasukkan ke dalam satu
brigade yang disebut Brigade Hasanudin dan ia sendiri yang menjadi
komandan Brigade Hasanudin di Sulawesi Selatan.
Sebagai buntut dari kekecewaan tersebut, Kahar Muzakar beserta
pengikutnya melarikan diri pada saat pelantikannya sebagai Pejabat Wakil
Panglima Tentara dan Tetorium VII. Kahar Muzakar beserta para pengikut-
nya melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan
mengadakan pengacauan. Kahar Muzakar mengubah nama pasukannya
menjadi Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari
DI/TII yang dipimpin oleh Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953.
Kebudayaan asli pada awal-awal terjadinya pendudukan umumnya
berantakan, karena lembaga-lembaga tradisional yang diciptakan untuk
mengatasi ketegangan atau pertentangan diantara masyarakat pendukung
sebuah kebudayaan tidak diperbolehkan oleh para penguasa kolonial untuk
menangani perubahan baru yang cepat dan tidak pada tempatnya dalam
konteks sistem tradisional itu. Perubahan yang terlalu cepat dalam sistem
nilai, misalnya, menyebabkan bagian-bagian lain dari kebudayaan menjadi
ketinggalan. Unsur-unsur kebudayaan asli daerah taklukannya diganti,
diubah dan dihilangkan demi untuk menguatkan cengkeraman kekuasaan-
nya. Gelar bangsawan La (Latenri Tatta, Lapangerang Daeng Mangati dan
sebagainya) di kalangan orang Bugis diganti menjadi andi (andi Mappa-
nyukki, Andi Base, Andi Langkaco dan sebagainya), agar timbul kesan
bahwa penjajah dianggap berjasah dalam pembentukan sistem gelar ke-
bangsawanan Bugis. Ini juga dilakukan untuk mengganti semua raja-raja

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 195


Bugis yang membangkang melalui penggantian gelar dengan tujuan pe-
nentuan walayah dan pelantikan rajanya menjadi andi. Gelar Andi yang
tertera di depan nama orang Bugis diciptakan Belanda untuk menandai
kaum bangsawan yang terpelajar. Gelar atau sebutan ini baru dibudayakan
di masa kekuasaan pemerintahan kolonial. Selain itu, gelar Andi tersebut
juga bertujuan untuk menandai bangsawan-bangsawan yang pro-Belanda.
Dengan siasat bulusnya, pemerintah kolonia memperlihatkan berbagai
keuntungan dan kemudahan yang diperoleh bagi Bangsawan yang me-
makai gelar Andi didepan namanya, akhirnya setahun kemudian secara
serentak seluruh raja Bugis serta merta menggunakan Gelar tersebut.
Kadang-kadang penduduk pribumi memperlihatkan kekuatan dan
daya tahan yang besar dalam menghadapi dominasi Eropa, dimana mereka
menemukan dan melakukan cara-cara yang kreatif dan cerdik untuk
mengkounternya. Penduduk yang dimaksud adalah orang-orang Trobriand
yang berada di bawah pemerintahan kolonial Inggris. Para misionaris suatu
ketika memperkenalkan sebuah permainan tradisional Inggris bernama
cricket kepada masyarakat Trobriand yang menjadi daerah jajahan negara-
nya. Akan tetapi, semua penduduk berusaha dan sepakat untuk mem-
bendung masuknya permainan Inggris secara utuh dengan menjadikannya
sebagai suatu pertandingan yang benar-benar bersifat Trobriand. Permainan
tersebut tidak primitif dan juga tidak terlalu sesuai dengan bentuk aslinya di
Inggris. Cricket ala Trobriand yang kreatif ini disejajarkan dengan kegiatan-
kegiatan yang khas, yang tetap mempertahankan pentingnya pandangan-
pandangan pokok dalam kebudayaan pribumi itu. Semua orang yang
berkepentingan dengan permainan itu kelihatan gembira dan bangga dan
para pemainnya sama semangatnya untuk memamerkan siapakah diantara
mereka itu mampu mencetak nilai. Mulai dari mengecat mukanya sebagai
tanda persiapan untuk bermain, nyanyian tim yang membawakan lagu-lagu
yang bernada kasar, tari-tarian rombongan yang saling memberi semangat.
Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa setiap pemain bermain demi kepenting-
annya sendiri, demi kemasyhuran timnya dan demi ratusan gadis-gadis
cantik yang biasanya menonton dalam pertandingan itu.
Kasus-kasus akulturasi yang paling ekstrim biasanya terjadi sebagai
akibat dari kemenangan militer dan pemindah-tanganan kekuasaan politik
tradisional ke tangan para penakluk, yang tidak mengetahui apa-apa ten-
tang kebudayaan yang mereka kuasai. Rakyat pribumi, yang tidak mampu
menolak perubahan-perubahan yang dipaksakan, karena kegiatan-kegiatan
tradisional mereka di bidang sosial, agama dan ekonomi juga turut dibatasi,
sehingga mereka dengan terpaksa melakukan kegiatan-kegiatan baru, yang
cenderung mengisolasikan individu dan mengoyak-koyak integrasi sosial-
nya. Sistem perbudakan di Amerika Serikat pada masa koionialnya, meru-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 196


pakan contoh yang paling terkenal, yang memberi penjelasan tentang
masalah hubungan antar-ras yang dahulu dikemas dalam istilah inferioritas
rasial. Perlu juga saya kemukakan di sini, bahwa sistem perbudakan yang
terjadi di Amerika pada awalnya tidak hanya terjadi di Amerika Serikat saja,
tetapi juga hingga ke negara-negara bagian, seperti di daerah-daerah
perkebunan di kepulauan Karibia dan di daerah-daerah pantai Amerika
Selatan hingga ke bagian tenggara Amerika Serikat. Masalah-masalah rasial
yang diwarisi Amerika Serikat dari zaman perbudakan itu juga terdapat di
daerah-daerah Amerika yang pernah menjalankan praktek-praktek perbu-
dakan.
5. Modernisasi
Modernisasi merupakan salah satu istilah yang paling banyak diguna-
kan untuk menggambarkan perubahan sosial seperti yang sedang terjadi
dewasa ini. Istilah ini menjadi semakin jelas bila didefinisikan sebagai
proses perubahan kebudayaan dan sosio-ekonomis yang meliputi segala-
galanya dan terdapat di seluruh dunia, di mana masyarakat-masyarakat
berkembang berusaha mendapatkan karakteristik umum yang terdapat
dalam kebanyakan masyarakat industri maju. Apabila anda perhatikan
definisi tersebut lebih saksama, anda dapat menemukan bahwa yang di-
maksud dengan menjadi modern lebih disejajarkan dengan menjadi seperti
orang Barat dengan implikasi yang jelas, bahwa tidak seperti orang Barat
itu adalah ketinggalan zaman dan kumo. Hal ini tentunya tidak hanya men-
cerminkan aspek etnosentris saja, tetapi juga mengandung pengertian,
bahwa masyarakat yang lain harus diubah hingga mencapai taraf derajat
lebih dari orang Barat, tanpa ada pertimbangan-pertimbangan lain. Sayang-
nya, karena istilah modernisasi tetap saja digunakan begitu luas, sehingga
yang paling baik dilakukan saat ini adalah mengakui ketidaktepatan istilah
tersebut, meskipun kita tetap harus menggunakannya.
Menurut Haviland (1988: 272), bahwa proses modernisasi dapat dipa-
hami melalui empat sub-proses: 1) perkembangan teknologi. Dalam proses
modernisasi, pengetahuan dan teknologi tradisional yang sederhana ter-
desak oleh penerapan pengetahuan ilmiah dan teknologi, yang awalnya
dipinjam dari negara-negara Barat, 2) pengembangan pertanian, yang be-
rupa pergeseran dari pertanian untuk keperluan sendiri (subsistensi)
menjadi pertanian untuk ekonomi pasar. Orang tidak membudidayakan
tanaman dan hewan untuk keperluan sendiri (subsistensi), tetapi mereka
makin lama makin banyak mengadakan budidaya untuk dipasarkan,
dengan lebih banyak bersandar pada ekonomi uang dan pasar sebagai alat
dan tempat transaski jual-beli hasil pertanian mereka dan untuk mengada-
kan pembelian-pembelian bahan-bahan kebutuhan mereka, 3) industrialisasi
dengan lebih mengutamakan bentuk energi non-hewani (inanimate),

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 197


khususnya bahan bakar fosil. Tenaga manusia dan hewan menjadi kurang
penting, sama halnya dengan kerajinan-kerajinan, 4) urbanisasi yang di-
tandai terutama oleh perpindahan penduduk dari permukiman perdesaan
ke kota-kota.
Selama tejadinya modernisasi dapat diharapkan pula akan terjadi
perubahan-perubahan lain. Di bidang politik, sering lahir partai-partai
politik dan suatu bentuk mekanisme pemilihan, bersama-sama dengan
tumbuhnya birokrasi. Di bidang pendidikan, terdapat suatu perluasan
kesempatan untuk belajar, lebih banyak orang yang melek huruf dan
tumbuhlah suatu elit terpelajar pribumi. Hak dan kewajiban yang ber-
hubungan dengan kekerabatan berubah, kalau tidak hilang, khususnya
kalau mengenai kerabat jauh. Akhirnya, di mana ada faktor stratifikasi, di
situ pula mobilitas bertambah besar. Hal ini disebabkan, karena status
yang diperoleh (scribed status) menjadi kurang penting dibandingkan
dengan prestasi yang lebih dihargai.
Terdapat dua gejala modernisasi yang mengiringi sub-proses moder-
nisasi tersebut di atas, yaitu diferensiasi struktural dan mekanisme integrasi.
Diferensiasi structural adalah pembagian tugas-tugas tradisional yang
tunggal, tetapi mengandung dua fungsi atau lebih, menjadi dua tugas atau
lebih, masing-masing dengan sebuah fungsi yang khusus. lni merupakan
fragmentasi yang harus ditanggulangi dengan menggunakan mekanisme
integrasi baru, jika masyarakatnya tidak ingin berantakan menjadi unit
yang berdiri sendiri-sendiri. Mekanisme baru itu mendapat bentuk seperti
ideologi baru, struktur pemerintahan formal, partai-partai politik, kode
hukum, serikat buruh dan asosiasi kepentingan. Semuanya menembus
batas-batas pembagian sosial lainnya. Dengan demikian, hal ini akan
berfungsi sebagai penangkal kekuatan-kekuatan pemecah. Diferensiasi
struktural dan mekanisme integrasi bukanlah kekuatan tunggal yang saling
berlawanan. Oleh karena itu, perlu ditambahkan kekuatan ketiga, yaitu
tradisi. Tradisi kadang-kadang mempermudah terjadinya modernisasi. Se-
bagai contoh, seseorang yang berasal dari pedesaan dan pindah ke kota,
akan mendapatkan bantuan (material maupun non-material) dari sanak
keluarganya yang terlebih dahulu berada di kota. Bahkan, tidak jarang
saudara yang telah sukses di kota, mencarikan pekerjaan saudaranya yang
berasal dari desa. Hal ini dikarenakan adanya tradisi kekerabatan yang
masih dipegang dan dianut sebagai salah satu aspek modernisasi. Moderni-
sasi adalah eksploitasi teknologi, yang membuka kemungkinan untuk
memindahkan manusia dari tempat yang satu ke tempat yang lain (mig-
rations) dengan cepat dan dalam jumlah yang menakjubkan. Sistem-sistem
budaya yang sebelumnya bebas dan terasing kini terkena sentuhan dari
kebudayaan lainnya (aculturation). Perbedaan kultural antara New York dan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 198


Puka-Puka menjadi berkurang sebagai akibat adanya sentuhan tersebut.
Sebaliknya, perbedaan antara penangkap ikan dan ahli fisika bertambah
besar. Tidak ada orang yang tahu apakah sentuhan tersebut terjadi untuk
kebudayaan seluruhnya. Akan tetapi, untung rugi dari penyebaran kebu-
dayaan, baik dalam bentuk tindakan maupun gagasan baru, setidak-tidak-
nya harus dicermati maksud dan tujuannya. Manusia dan kebudayaannya
yang berbeda-beda merupakan suatu argumen yang paling menarik.
Meskipun demikian, kehancuran keanekaragaman adalah implisit dalam
penyebaran komunisme, kapitalisme, atau apa saja ke seluruh dunia. Apa-
bila sebuah nyanyian dilupakan, atau sebuah upacara adat tidak dijalankan
lagi, sebagian warisan umat manusia telah hancur untuk selama-lamanya.
Itulah salah satu bukti dari adanya sentuhan antar kebudayaan dalam
bentuk modernisasi.
Contoh kasus di atas memperlihatkan, bahwa beberapa kebudayaan
tradisional yang terkena dampak modernisasi atau perubahan kebudayaan
lain dapat membantu para antropolog untuk menunjuk masalah-masalah
yang dihadapi oleh kebudayaan orang Indian Pueblo di Barat Daya
Amerika dan orang Lapp Skolt di Finlandia.
Menurut Sugeng (2006: 267-270), bahwa dibandingkan dengan proses-
proses lainnya, modernisasi mendapat perhatian besar dari para antropolog
untuk menganalisis perubahan kebudayaan dan sosial yang terjadi di dalam
sebuah masyarakat. Modernisasi merupakan proses perubahan kultural dan
sosio-ekonomis dimana masyarakat sedang berkembang memperoleh
sebagian karakteristik dari masyarakat industri Barat. Istilah modernisasi
paling sering dipergunakan untuk mendeskripsikan adanya perubahan
kultural dan sosio-ekonomis. Sebenarnya pengertian modernisasi di atas,
jika dicermati lebih mendalam mengandung makna, bahwa yang modern
adalah status yang diduduki oleh orang Barat. Pengertian seperti ini
berimplikasi, bahwa hal-hal yang tidak kebarat-baratan adalah kuno atau
ketinggalan jaman. Apabila pemaknaan modernisasi seperti ini, modernisasi
identik dengan westernisasi dan ini mengandung pengertian etnosentris.
Orang Barat dianggap lebih modern, lebih maju, sementara masyarakat
lainnya yang tidak seperti Barat dianggap ketinggalan jaman, kuno dan
tidak maju. Satu kata yang perlu dicermati dalam definisi modernisasi di
atas adalah penggunaan kata masyarakat industri. Ini menunjukkan, bahwa
proses modernisasi adalah sebuah proses perubahan kebudayaan dari
tradisional menuju modern dengan indikasi adanya industrialisasi. Hal ini
disebabkan, karena kata industri tersebut identik dengan modern. Jika,
peristilahan ini yang dipakai, modernisasi tidak identik dengan wester-
nisasi, karena banyak negara lain, seperti Jepang, Korea dan sebagainya
yang mengarah pada industrialisasi tersebut. Modernisasi lebih mengarah

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 199


pada perubahan kultural yang meliputi sosio-ekonomi-politik, sementara
westernisasi lebih mengarah pada gaya hidup (life style).
Menurut Selo Soemardjan (1974), bahwa masyarakat akan mengalami
tahap-tahap modernisasi mulai dari taraf yang paling rendah ke tingkat
yang paling tinggi. Tahapan yang dimaksud meliputi: a) Modernisasi
tingkat alat. Tahapan ini ditandai dengan masuk dan diterimanya peralatan
dan teknologi tinggi pada masyarakat tradisional (traktor, mesin penggiling
padi, mobil, televisi, listrik, handphone, telepon dan sebagainya). Pada
tahapan ini masyarakat baru bisa menggunakan peralatan sesuai dengan
petunjuk yang ada. Seringkali peralatan yang masuk hanya sebatas
pemakaian barang-barang konsumsi berteknologi tinggi tanpa memperhati-
kan dampak atas keberadaan peralatan tersebut, b) Modernisasi tingkat
lembaga. Pada tingkat ini ditandai dengan masuknya jaringan sistem kerja
modern di kalangan masyarakat lokal, misalnya, pasar terbuka yang
menerima produk yang dihasilkan oleh industri multi nasional. Masuknya
bengkel motor atau mobil dengan jaringan suku cadang asli dari pabrik
perakit atau pembuat juga merupakan suatu proses modernisasi tingkat alat
ini. Pada tataran kelembagaan modernisasi dapat terjadi dengan masuknya
kelembagaan birokrasi modern yang melayani kepentingan negara (state), c)
Modernisasi tingkat individu (sudah mulai mendarah daging di kalangan
masyarakat). Masyarakat penganut modernitas fisik sudah dapat memper-
baiki sendiri peralatan yang dimiliki, menyempurnakan atau menambah
dengan peralatan lain. Komputer, misalnya, sudah dapat dianggap sebagai
perangkat keras yang telah mencapai tingkat modernisasi individu. Sudah
banyak orang yang dapat memperbaiki, merakit, bahkan memproduksi
sendiri melalui perakitan perangkat keras yang tersedia di pasaran dalam
kondisi terjual bebas. Begitu pula dengan handphone yang saat ini sedang
menjadi kebutuhan sekunder individu yang paling utama dan d)
Modernisasi tingkat inovasi (modernisasi yang bersifat orisinal). Pada
tingkatan ini masyarakat dicirikan, karena dapat menciptakan sendiri
barang teknologi yang dibutuhkan, meskipun masih harus melalui jaringan
kerja dengan masyarakat yang lebih luas.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 200


REFERENSI

Abdulsyani, 1992, Sosiologi Skematika Teori dan Terapan, Jakarta, Bumi


Aksara. Hlm. 10-36
Andrian, Charles F, 1992, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial,
Yogyakarta, Tiara Wacana.
Al-Barry, Yacub, Dahlan, M.. 2000, Kamus Sosiologi dan Antropologi.
Surabaya: Indah.
Aliardi, Arif, 2001. Memahami Pengetahuan Lokal: Etika, Prinsip dan Metode.
Bogor : Pustaka Latin.
Ayala FJ (2007). Darwin's greatest discovery: design without designer. Proc. Natl.
Acad. Sci. U.S.A. 1
Avise JC, Hubbell SP, Ayala FJ. (2008). In the light of evolution II: Biodiversity
and extinction. Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A.
Benedict, Ruth. 1934. Patterns of Culture. New York: The New American
Library
Bennet J. W. 1946. The Chrysanthemum and the Sword. Boston: Houghton
Mifflin.
______. 1969. Nothern Plainsman: Adaptive Strategy and Agrarian Life. Chicago:
Aldine Publishing Company.
______. 1976. Anticipation, Adaptation, and the Concepts of Culture in
Anthropology. Science vol. 192. number 4242.
Belas L. Ralph dan Hoijer Harry, 1959. An Introduction to Anthropology
(Second Edition). New York: The Macmillan Company.
Bowler, Peter J. (2003). Evolution:The History of an Idea. University of
California Press..
________. 1989. The Mendelian Revolution: The Emergence of Hereditarian
Concepts in Modern Science and Society. Baltimore: Johns Hopkins
University Press.
Charlotte, Seymour Smith. 1986. Dictionary of Anthropology. Boston: G. K.
Hall and Company.
______. 1990. Macmillan Dictionary of Anthropology. London and Basingstoke.
The Macmillan Press Ltd.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 201


Clemmer, Richard O., L. Daniel Myers, and Mary Elizbeth Rudden, eds. .
1999. Julian Steward and the Great Basin: the Making of an
Anthropologist. University of Utah Press, 1999.
Darwin, Charles. 1859. On the Origin of Species (1st ed.). London: John
Murray. Related earlier ideas were acknowledged in Darwin,
Charles (1861). On the Origin of Species (3rd ed.). London: John
Murray. xiii
Draghi J Turner P.. 2006. DNA secretion and gene-level selection in bacteria.
Microbiology (Reading, Engl.)
Elliot Smith, Sir Grafton. 1871–1937. Australian anatomist based at Manchester
and London. The leading figure of the British diffusionist school, he held
the eccentric belief that virtually all high culture the world over diffused
from ancient Egypt. Works include The Migrations of Early Culture
(1915), The Search for Man’s Ancestors (1931), The Evolution of Man
(1927) and The Diffusion of Culture (l933)
Freud, Sigmund. 1913. Totem and Taboo. London: MacMillan.
Futuyma Douglas J. (2005). Evolution. Sunderland, Massachusetts Sinauer
Associates, Inc.
Ghiselin, Michael T. (1994), Nonsense in schoolbooks: The Imaginary Lamarck,
The Textbook Letter, The Textbook League (dipublikasikan
September/Oktober 1994), diakses pada 23 Januari 2008.
Gising Basrah. 1986. Proses Morfofonemik Bahsa Tolaki Dialek Mikongga.
Makassar: Era Media Press
______. 2002. Sejarah Kerajaan Bulo-Bulo Tondong Lamatti: Manifestasi Sinjai
Bersatu. Makassar : Eramedia.
______. 2005. Manfaat Ilmu Pengetahuan Lokal dalam Pengelolan Hutan
Berbasis Sosial di Wilaya Adat Karampuang (tesis), Makassar:
Pascasarjana Unhas.
______. 2009. Kearifan Ekologis Pasang ri Kjang dalam Sistem Pengelolaan Hutan
Adat di Wilayah Adat Kajang (disertasi). Makassar: Pascasarjana
Unhas.
Harwood AJ (1998). Factors affecting levels of genetic diversity in natural
populations. Philos. Trans. R. Soc. Lond., B, Biol. Sci.
Haviland A. William. 1988. Antroplogi, Edisi Kempat, Jilid 1 dan 2. Jakarta :
Erlangga.
Hooguelt, Ankle MM, 1995 Sosiologi Sedang Berkembang, Jakarta, Raja
Grafindo Persada.
Ian C. Johnston (1999). History of Science: Early Modern Geology. Malaspina
University-College.
Irwan Djamal Zoer’Aini. 2003. Prinsip-Pinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem
Komunitas & Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 202


Keesing, M. Roger. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer
Jilid I dan II. Jakarta : Erlangga.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta.
______. dkk., 2003. Kamus Istilah Antropologi. Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional.
Kutschera U, Niklas K. 2004. The modern theory of biological evolution: an
expanded synthesis. Naturwissenschaften.
Lande R, Arnold SJ (1983). The measurement of selection on correlated characters.
Evolution 37.
Linton Ralph, 1965. The Cultural Background of Personality, New York:
Appleton Crosta.
______. 1940. The Study of Man. New York: Appleton.
Lowie R. H. 1973. Primitive Society. New York: Liveright. Luzbetak.
Mayeux R (2005). Mapping the new frontier: complex genetic disorders. J. Clin.
Invest.
Magner, LN (2002). A History of the Life Sciences, Third Edition, Revised and
Expanded. CRC.
Malinowski, Bronislaw. 1961 [1945]. The Dynamics of Culture Change: An
Inquiry into Race Relations in Africa. New Haven and London: Yale
University Press
______. 1948. Magic, Science, and Religion and Other Essays. Garden City, NY:
Doubleday Anchor Books.
Mallet J (2007). Hybrid speciation. Nature 446 (7133): 279–83.
Media Kareba Edisi 2 Mei 2001. Makassar-ORNOP Sul-Sel bekerjasama
dengan Fiet Indonesia.
Rasyid, Achmad, 2002. Studi Manajemen Pelestarian Alam Hutan Adat
Ammatowa Kajang Melalui Pendidikan Kearifan Lokal. Makassar:
Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar.
Muhammad Hamidullah and Afzal Iqbal (1993), The Emergence of Islam:
Lectures on the Development of Islamic Worldview, Intellectual Tradition
and Polity, p.
Murdock P. George. 1956. How Culture Change, dalam Harry L. Sapiro ed.
Man, Culture and Society. Chicago: Chicago University Press.
Oetting WS, Brilliant MH, King RA (1996). The clinical spectrum of albinism in
humans. Molecular medicine today.
Oxford English Dictionary (3rd ed.). Spetember 2005. Engeland: )xford
University Press.
Parsons. 1966. The Development of A Prehistoric Complex Society: A Regional
Perspektif from the Valley of Mexico. Journal of Field Archeology.
Peaston AE, Whitelaw E (2006). Epigenetics and phenotypic variation in
mammals. Mamm. Genome

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 203


Pujileksono Sugeng. 2006. Petualangan Antropologi: Sebuah Pengantar Ilmu
Antropologi. Malang: UPT Penerbit Universitas Muhammadiyah
Malang.
Quammen, D. (2006). The reluctant Mr. Darwin: An intimate portrait of Charles
Darwin and the making of his theory of evolution. New York, NY: W.W.
Norton & Company.
Radcliffe-Brown, A.R. 1965 [1952]. Structure and Function in Primitive Society.
New York: The Free Press
Rasyid, Achmad, 2002. Studi Manajemen Pelestarian Alam Hutan Adat
Ammatowa Kajang Melalui Pendidikan Kearifan Lokal. Makassar:
Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar.
Robert M.Z. Lawang,1985. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi Modul 4–6,
Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas
Terbuka.
Soekanto, Soerjono, 1987, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali Press.
Susanto, Astrid, 1985, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bandung.
Sahlins, M. (1968) Tribesmen, Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
_______. 1972) Stone Age Economics, Chicago: Aldine.
_______. 1976) Culture and Practical Reason, Chicago: University of Chicago
Press.
_______. 1994) ‘Goodbye to Tristes Tropes: Ethnography in the Context of
Modern World History’, in R.Borofsky (ed.) Assessing Cultural
Anthropology, New York: McGraw-Hill.
_______. 1996) Waiting for Foucault, Cambridge: Prickly Pear Press.
_______. 1999) ‘Two or Three Things I Know about Culture’ JRAI 5.
Soemardjan Selo dan Soeleman Soemardi, 1974, Setangkai Bunga Sosiologi,
Jakarta, Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia
Soemawoto Otto. 1985. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta:
Djambatan.
Soerjani Muhammad, dkk. Ilingkungan Hidup (The Living Environment)
Pendidikan Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan, Jakarta:
Yayasan Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan
(IPPL).
Spradley, P. James. 1980. Participation Observtion. New York : Holt, Rinehart
and Winston.
Sturm RA, Frudakis TN (2004). Eye colour: portals into pigmentation genes and
ancestry. Trends Genet.
Suriani. 2006. Memperjuangkan Kemerdekaan dan Keadilan Kebenaran dan
Perdamaian Berdasarkan Kasih No. 5221: Tanah Laksana Ibu bagi
Suku Kajang..

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 204


Terrall, M (2002). The Man Who Flattened the Earth: Maupertuis and the Sciences
in the Enlightenment. The University of Chicago Press..
Tylor, E.B. 1958 [1871]. Primitive Culture. New York: Harper Torchbooks
Wright, S (1984). Evolution and the Genetics of Populations, Volume 1: Genetic
and Biometric Foundations. The University of Chicago Press.
Weiling F (1991). Historical study: Johann Gregor Mendel 1822–1884. Am. J.
Med. Genet.
Wu R, Lin M (2006). Functional mapping - how to map and study the genetic
architecture of dynamic complex traits. Nat. Rev. Genet.
Zirkle C (1941). Natural Selection before the Origin of Species. Proceedings of the
American Philosophical Society..

BAB IV
IIMU BUDAYA DAN KAJIAN INTERDISIPLINER

A. llmu budaya dan Antropologi

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 205


1. Konsep Antropologi
Antropologi budaya pertama kali diperkenalkan di bangku kuliah di
Universitas Vermon Amerika Serikat pada tahun 1886. IImu budaya pada
awalnya selalu diasosiasikan dengan studi tentang masa lampau dan
cenderung mempelajari fosil-fosil dan manusia primitif (Kottak, 1991: 2).
Menurut Kottak lebih lanjut, bahwa sejalan dengan perkembangan waktu
dan zaman, ilmu budaya berkembang pesat dengan pendekatan-pendekat-
annya yang lebih luas, komparatif dan holistis (hollistics)56, karena selain
mempelajari masyarakat lampau (primitive) yang sedikit simpel, ia juga
mempelajari manusia sekarang (contemporary atau modern) yang lebih
komplek. Bahkan, ilmu budaya juga mempelajari masyarakat yang akan
datang (future) yang mungkin lebih kompleks lagi. IImu budaya tidak hanya
mempelajari manusia sebagai disiplin utama (main discipline), akan tetapi
lebih dari itu ilmu budaya juga membangun hubungan interdisipliner
dengan bidang ilmu lain yang mempelajari manusia dan hasil ciptaannya
(culture). Cabang antropologi yang paling banyak membahas keterkaitan
antara antropologi dengan cabang-cabang disiplin lainnya dalam bentuk
aplikasi adalah antropologi terpan (applied anthropology)57.
Istilah antropologi diturunkan dari bahasa Latin (Greek) anthropos
artinya ‘man’ dan logos yang artinya ‘science’ atau ‘study’. Jadi, Antropologi
adalah the study of man (Hoebel, 1972: 5). Demikian pula Berremen (1971:
350) mendefinsikan anthropologi sebagai the scientific study of man based on
the comparative analysis of and subsequent generalization about his physical and
behavioral characteristics. Koentjaraningrat (2003: 13), dengan definisi yang
hampir sama di atas mengatakan, bahwa antropologi sebagai ilmu yang
berusaha mencapai pengertian tentang mahluk manusia dengan mempe-
lajari aneka warna bentuk fisik (phisical anthropology), kepribadian (persona-
lity anthropology), masyarakat (social anthropology), serta manusia dengan
kebudayaannya (cultural anthropology). Menurut Hunter (1982: 1), bahwa
anthropology is a way --- or rather a colection of many different ways --- of
studying human beings and their closest primate relatives. Sedangkan Johnson
56
Holistic (Kottak, 1991: 17) interested in the whole of the human condition, past, present and
the future; biology, society, language and culture. Lihat Oshry Barry (2008) dan Auyang
Sunny Y (1999), bahwa holism is the idea that systems (physical, biological, chemical, social,
economic, mental, linguistic, etc.) and their properties should be viewed as wholes, not just as a
collection of parts.
57
Lihat Keesing (1999: 246), bahwa Applied Anthropology adalah penggunaan penge-
tahuan dan keahlian untuk menggarap masalah-masalah umum yang nyata, misalnya
dalam menerapkan inovasi teknologi, kesehatan rakyat atau skema pengembangan
ekonomi (atau, dalam antropologi fisik, rancangan tempat duduk di pesawat terbang
atau kokpit). Lihat juga Kottak (1991: 403), bahwa applied anthropology is tlte use of
anthropological findings, cencepts, data, and methods to identify and solve problems.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 206


(1986: 691) yang mendefinisikan antropologi dalam kaitannya dengan
sosiologi mengatakan, bahwa anthropology is the study of culture in small, pre-
industrial society.
Sebagai suatu bentuk ilmu pengetahuan (science) antropologi, seperti
halnya dengan disiplin ilmu lainnya, mempunyai cabang-cabang disiplin
berikut ini: antropologi fisik (physical anthropology), arkeologi (archaeology),
ilmu bahasa (linguistics) dan antropologi budaya (cultural anthropology).
a. Antopologi Fisik
Antropologi fisik (physical anthropology) adalah studi tentang fisik
(organ-organ tubuh) manusia, namun tidak sepenuhnya sama dengan ilmu
biologi. Antroplologi mempelajari fosil-fosil peninggalan pendahulu kita,
distribusi genetik dari populasi-populasi dunia saat ini, mekanisme pewa-
risan genetik, perbedaan bentuk dan warna karakteristik masyarakat di
berbagai daerah, mempelajari pola tingkah laku manusia dan hubungan
mereka dengan primat-primat lainnya. Antropologi fisik berkenaan dengan
cara dimana keseluruhan hal tersebut dibubungkan dengan alam dan
lingkungan sosial tempat manusia hidup. Jadi, antropologi fisik ber-
landaskan pada kajian proses biologi manusia dan hubungan primat yang
hidup di dalam alam ini dengan konteks sosial atau lingkungan tempat
mereka berinteraksi.
Antroplogi Fisik adalah studi sistematis tentang mahluk manusia
sebagai organisme biologis. Antropologi fisik lebih banyak berkenaan
dengan evolusi manusia (human evolutions), khususnya yang berhubungan
dengan fisik manusia (biology). Oleh karena itu, antropologi fisik berusaha
untuk melacak nenek moyang manusia melalui analisis fosil-fosil (paleo
anthropology) dalam rangka mengetahui: bagaimana, kapan dan mengapa
kita bisa menjadi manusia saat ini.
Wilayah kajian antropologi fisik berkembang pesat menjadi suatu
disiplin tersendiri yang terpisah dari antropologi budaya dan antropologi
sosial. Perkembangan tersebut dicapai melalui hubungan dengan teori-teori
lain, khususnya teori ekologi dan teori evolusi dan dengan disiplin yang
sangat berhubungan seperti arkeologi. Hubungan seperti ini lebih dikem-
bangkan di dalam antropologi biologi kontemporer, yang dengan secara
luas didasarkan dan merupakan kajian interdisipliner dari ilmu alam
(nature). Sekalipun demikian, banyak ahli antropologi budaya dan sosial
menolak dan mengklaim, bahwa antropologi fisik atau antropologi biologi
atau sering disebut sosio-biologi hanya diadakan untuk melengkapi pem-
bahasan signifikan terhadap sifat dan variasi kebudayaan dan sosial
manusia. Sebagian dari itu juga dimaksudkan untuk memperbesar determi-
nisme biologi dan determinisme rasisme yang secara biologis berorientasi
pada teori-teori yang dipelajari sebagai suatu hasil dari publikasi yang

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 207


berlebihan dan memberi sedikit kontribusi ilmiah di lapangan. Meskipun
demikian, hasil akhir di lapangan dari antropologi biologi mulai mengatasi
tantangan dan kritikan ini dengan menunjukkan, bahwa ada kontribusi
besar dalam studi kebudayaan manusia dan masyarakat sebagai adaptasi
terhadap lingkungan dan tantang evolusinya.
Sebelumnya Antropometri58 berupa antropologi, pengukuran fisik
didominasi oleh perbedaan karakteristik fisik, yang dimiliki oleh individu
atau kelompok. Selanjutnya, dominasinya bergeser menjadi studi tentang
evolusi manusia. Kajian tentang hominid dan sisa-sisa fosil manusia yang
sebelumnya tertinggal, saat ini meningkat tajam, baik skop maupun kemu-
tahiran metodologinya. Para antropolog fisik telah mengembangkan teknik
dalam rangka merekonstruksi informasi tentang indiviual dan penduduk
melalui sisa-sisa organ tubuh yang tidak lengkap; tulang belulang, gigi dan
bagian-bagian lainnya. Sekalipun, antropometri yang pada awalnya hanya
sibuk dengan perbandingan karakertistik perbedaan kelompok-kelompok
ras saja, namun lambat laun berkembang menjadi studi mutahir tentang
variasi manusia secara kontemporer. Dalam antropologi fisik kontemporer
variasi manusia tidak dilakukan dalam bentuk ras sebagai siginifikasi unit-
unit studi, tetapi dalam bentuk penduduk lokal, yang digambarkan dalam
bentuk distribusi gen-gen.
Studi demografi59 yang menyelidiki faktor-faktor; interaksi, penyakit,
gisi, lingkungan dan studi genetika penduduk semuanya menjadi perbenda-
haraan konseptual dari para ahli antropologi fisik kontemporer dalam
memahami mikro-evolusi: variabelitas dan evolusi dari penduduk lokal.
b. Arkeologi atau Paleoantropologi
Arkeologi (archaeology) adalah ilmu yang mempelajari sejarah kebu-
dayaan zaman kuno sebelum kebudayaan menjadi sasaran penelitian,
sumber-sumber tercatat dan tertulis dalam bahasa yang berasal dari Eropa
(Koentjaraningrat 2003: 15). Arkeologi adalah pencarian kembali dan studi
tentang peninggalan manusia. Tidak hanya mencakup peninggalan jasad-
jasad mereka (yang tentunya dapat menceritakan kembali sejumlah besar
tentang bagaimana mereka hidup dan mati) saja, tetapi juga segala bentuk
peninggalan yang mereka bangun, produksi dan pergunakan. Dengan kata
58
Antropometri (Koentjaraningrat, 2003: 14) metode dalam antropologi fisik untuk meng-
ukur bagian-bagian tubuh manusia, antara lain untuk keperluan klasifikasi aneka warna
ras manusia.
59
Kependudukan atau demografi adalah ilmu yang mempelajari dinamika kependudu-
kan manusia. Demografi meliputi ukuran, struktur, dan distribusi penduduk, serta
bagaimana jumlah penduduk berubah setiap waktu akibat kelahiran, kematian, migrasi,
serta penuaan. Lihat juga istilah demografi (Koentjaraningrat, 2003: 36) cabang ilmu
sosial yang menghususkan studinya tentang jumlah dan komposisi penduduk serta
wilayah sebarannya.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 208


lain, para arkeolog berusaha untuk menemukan dan mempelajari jejak atau
sisa yang telah ditinggalkan oleh sekelompok manusia (tentang diri mereka
sendiri dan aktifitas-aktifitasnya) dan mereka berusaha untuk memahami
alur dari peninggalan ini dihubungkan dengan masing-masing lingkungan
dimana mereka berinteraksi.
Arkeologi adalah studi mengenai obyek material, biasanya dari masa
lampau, untuk menguraikan dan menjelaskan perilaku manusia. Tentu saja
ada sebagian ahli arkeologi yang memusatkan studinya pada benda-benda
dalam hubungannya dengan masa kini (contemporary archeology). Oleh
karena itu, arkeologi menurut Smith (1990: 15) dapat dibagi menjadi dua
tradisi utama: arkeologi klasik dan prehistoris. Arkeologi klasik umumnya
menyangkut studi peradaban Yunani dan Romawi kuno. Arkeologi pre-
historis memusatkan perhatiannya, baik pada kekinian (cotemporer) maupun
secara geografis (geographically), selama hal itu digunakan untuk merekon-
struksi cara hidup (way of life) masyarakat di seluruh jagat raya ini melalui
kemunculan manusia sebagai pencipta tulisan. Arkeologi prehistoris berada
pada rangking atas dari keseluruhan ilmu-ilmu sosial yang ada, selama
arkeolog tidak hanya untuk memahami sisa fisik (artefacts) yang dipelaja-
rinya. Jadi cabang arkeologi ini memahami tradisi sosial dan budaya yang
diciptakan manusia dan berusaha untuk merekonstruksi proses sosial ter-
sebut yang menjadi alur perubahan dari suatu bentuk masyarakat ke bentuk
masyarakat lainnya.
Terdapat banyak hubungan teori dan metode antara arkeologi pre-
historis dengan studi antropologi. Hubungan-hubungan ini diperbanyak
selama dua dekade, terutama tercermin dalam sifat arkeolog sebagai se-
orang ahli yang mempelajari topik-topik seperti fomasi urbanisme dan
negara yang menunjukkan peningkatan kemutahiran penggunaan teori-
teori ilmu sosial. Arkeologi baru tidak hanya membatasi dirinya untuk
mendeskripsikan dan mengklasifikasi sisa-sisa material (material artefacts)
dalam rangkaian kronologis dan regional, tetapi lebih dari itu ia juga
mengadopsi cara sistemis populasi masa lampau dalam mengadap-tasi
lingkungannya, serta peroses perubahan sosiokultur dan pengembangan-
nya. Dalam perspektif baru ini, teori-teori ekologi dan demografi, seperti
halnya dengan teori-teori sosiologi dan antropologi lainnya, akan meme-
gang peranan penting dalam mengangkat dan mengklasifikasi sistem tekno-
logi tradisional yang umumnya diasosiasikan dengan para arkeolog. Pada
waktu yang bersamaan pula, pendekatan ilmiah baru ini dalam menandai
(dating) artifak prehistoris (penandaan dengan menggunakan radiokarbon)
kelihatannya lebih memungkinkan lebih baik dari rangkaian teknik-teknik
yang ada. Teknik-teknik baru ini memberi kemampuan para arkeolog untuk
menentukan umur temuannya melalui presisi yang mutakhir. Penggunaan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 209


model-model matematik yang paling mutahir, termasuk dengan pengguna-
an piranti komputer, dalam sistem analisis dan teknik analisis temuan lain-
nya, juga telah meningkatkan kemampuan para arkeolog untuk menya-ring
informasi dari keterbatasan data yang ia proses. Jadi, arkeolog modern
sanggup membentuk teori yang jauh labih kaya dan mutahir terhadap
model-model kehidupan masa lalu beserta dengan pengembangannya dari-
pada akeolog sebelumnya.
c. Antropolinguistik dan Linguistik Antropologi
Ilmu bahasa (linguistics) adalah kajian dan analisis yang berkenaan
dengan sistem komunikasi manusia, khususnya yang berkaitan dengan
bahasa. Para linguis berusaha untuk merekonstruksi bentuk-bentuk proto
bahasa (proto languages) dengan bahasa yang sedang digunakan saat ini
(contemporary language). Di pihak lain, studi bahasa kekinian dimaksudkan
untuk mempelajari bagaimana mereka mengkodifikasi rangkaian pengalam-
an manusia, bagaimana tatabahasa (grammar) dapat membentuk ciri tertentu
sebuah bahasa dan bagaimana kita mampu membedakan bahasa dari sistem
komunikasi dari spesies lain. Beberapa linguis terkonsentrasi pada apakah
penggunaan bahasa dapat mengungkapkan perbedaan kelompok sosial
dalam sebuah masyarakat atau tidak? Sedangkan linguis lainnya mungkin
tertarik dalam masalah: apakah yang dapat dipelajari tentang sifat alam
pikiran manusia melalui studi bahasanya? Jadi, dapat saya simpulkan di
sini, bahwa linguistik tidak hanya terfokus pada apa yang diucapkan oleh
banyak orang, tetapi lebih dari itu melakukan penelitian kebahasaan guna
mengetahui sifat dan perilaku bahasa (speech acts) manusia sebagai sebuah
bentuk spesies.
Menurut Koentjaraningrat (2003: 137), bahwa linguistik adalah ilmu
yang mempelajari bahasa dengan tujuan memperoleh pengetahuan tentang:
a) ciri-ciri strukturnya, baik yang bersifat universal maupun yang bersifat
khas bagi suatu bahasa atau suatu keluarga bahasa (language family) tertentu,
b) bagaimana struktur itu berfungsi di dalam komunikasi antar manusia
(crosscultural communication) dan c) bagaimana struktur itu berubah dari
suatu periode ke periode lainnya (historical comparative)
Antropolinguistik yang merupakan gabungan perspektif antropologi
dan linguistik, berusaha untuk mengungkap hubungan antara bahasa
(language) dan kebudayaan (culture) dalam domain arti melalui sistem per-
lambangan (semiotics). Ketika seorang antropolog yang hendak melakukan
penyelidikan terhadap obyeknya (manusia), misalnya, pasti memerlukan
bantuan linguistik untuk menyimbolkan ide-ide dan gagasan-gagasan pe-
makainya. Tujuh unsur universalisme kebudayaan (cultural universalism)
oleh Kluckhohn (Koentjaraningrat, 1990: 203) memperlihatkan, bahwa ba-
hasa dan kebudayaan memiliki hubungan. Ketujuh unsur tersebut, meliputi:

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 210


bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan
teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi dan kesenian, meru-
pakan salah satu bukti kedekatan hubungan kedua cabang ilmu tersebut.
Bukti lain dari adanya kedekatan antara ilmu bahasa (linguistik)
dengan antropologi tercermin dalam penelitian etnografi yang dilakukan
oleh generasi antropologi kognitif yang handal, seperti: Harold C. Conklin,
Charles O. Frake dan Stephen A. Tyler. Para tokoh aliran antropologi kogni-
tif tersebut berasumsi, bahwa setiap masyarakat mempunyai satu sistem
yang unik dalam mempersepsikan dan mengorganisasikan fenomena
materialnya, seperti; benda-benda, kejadian, perilaku dan emosi. Akan
tetapi, yang menjadi objek kajian antropologi kognitif bukanlah fenomena
material tersebut, melainkan cara fenomena tersebut diorganisasikan dalam
pikiran manusia (human mind). Jadi, dapat saya katakan di sini, bahwa
budaya dalam perspektif kognitif, pada prinsipnya, ada di dalam pikiran
(mind) seorang manusia, yang berbentuk organisasi pikiran tentang feno-
mena material yang ada. Oleh karena itu, Noam Chomsky dalam bukunya
Language and Mind membedakan dua bentuk bahasa: internalisasi bahasa (I-
language) dan eksternalisasi bahasa (E-langugae). I-language berada pada
tataran kognisi (comptence), sedangkan E-language berada pada tataran
ujaran (performance). Nah, tugas penting dari seorang etnografer adalah
menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran tersebut. Jalan yang
paling mudah dan paling tepat untuk memperoleh dan menggambarkan
budaya tersebut adalah melalui bahasa atau lebih khusus lagi, melalui daftar
kata-kata (vocabularies) yang ada dalam satu bahasa. Jadi, dapat pula saya
katakan, bahwa studi bahasa yang dilakukan dalam suatu masyarakat
merupakan titik masuk --- sekaligus aspek utama --- dalam etnografi aliran
antropologi kognitif ini. Spradley (1979; 1980) berpendapat, bahwa pende-
katan apapun yang digunakan oleh sang etnografer; pengumpulan data
lualitatif di lapangan atau satu strategi campuran, bahasa pasti muncul
setiap fase dalam proses penelitiannya. Oleh karena itu, Spradely (1980: 19)
yakin, bahwa seorang etnografer selalu bertanya pada dirinya bahasa apa
yang harus saya gunakan untuk mengajukan pertanyaan dan mencatat makna yang
saya temukan? Demikian pula ketika Spradley sendiri melakukan penelitian,
pertanyaan serupa juga muncul ketika saya bekerja dengan para informan lepas
saya menemukan mereka tidak hanya berbicara bahasa mereka sendiri, tetapi mereka
telah memperoleh kemampuan yang saya sebut kompetensi penerjemahan. Ini
adalah kemampuan untuk menerjemahkan makna dari satu budaya ke dalam bentuk
yang sesuai dengan budaya lain. Dari pernyataan tersebut saya simpulkan,
bahwa penelitian bahasa dan penelitian antropologi hendaknya harus selalu
sejalan dan sebaiknya memang tidak dipisahkan. Nancy (1980: 2) pun
kemudian dengan tegasnya mengatakan, bahwa tentu saja, kemudian

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 211


antropolog harus mempertimbangkan bahasa dan harus mempelajari bahasa untuk
menganalisis dan menggambarkan populasi manusia dan perilaku sosial mereka.
Studi bahasa adalah, seperti yang telah kita lihat, salah satu sub-bidang utama
antropologi modern. Untuk melengkapi penjelasan saya tentang keterkaitan
antara linguistik dengan antropologi, saya juga akan mengutip pendapat
Duranti (1980: 10), yang mengajukan konsep Ethnomethodology60 yang
dikemukakan oleh Garfinkel. Etnometodologi atau dengan istilah populer
ethnology dalam cabang antropologi ekologi (ecological anthropology), adalah
sebagai studi tentang metode yang digunakan oleh aktor sosial dalam menafsirkan
kehidupan sehari-hari mereka, juga menawarkan beberapa ide penting dan inovatif
bagi para peneliti yang tertarik dalam menerapkan metode etnografi tradisional
untuk mempelajari percakapan sehari-hari. Dari pendekatan fenomenologis ini,
antropolog linguistik dapat belajar atau melihat menegaskan beberapa intuisi
berulang tentang konstitusi budaya dan masyarakat dalam pertemuan komunikatif.
Jadi, antropo-linguistik adalah cabang antropologi yang selalu berusaha
memahami ide-ide dan gagasan-gagasan manusia melalui interpretasi
keseharian masyara-katnya, yang umumnya tergambar di dalam padangan-
pandangan hidup (way of life) yang mereka miliki.
d. Antropologi Budaya
Antropologi budaya mempelajari kebudayaan (culture) dan budaya
(cultures). Kebudayaan (culture) berisi tentang pola tingkah laku dan penya-
tuan pemahaman, bahwa masyarakat belajar dan berpartisipasi di dalam
sebuah kelompok yang mereka miliki. Setiap kelompok, direduksi menjadi
kelompok kekeluargaan, mempunyai kebudayaannya sendiri-sendiri dan
setiap kebudayaan adalah unik sifatnya.
Tentu saja banyak kebudayaan mirip satu dengan yang lainnya, akan
tetapi sekali lagi hal itu tidak mungkin sama betul. Ambil contoh kebu-
dayaan pengembala (nomadic) bagi orang Arab dan di Eskimo. Perhatikan
juga perilaku orang Indonesia dan orang Barat yang memberikan sesuatu
dengan menggunakan tangan kiri kepada seseorang. Orang Timur meman-
dang pemberian sesuatu dengan tangan kiri itu tidak sopan, karena tangan
kiri lebih banyak berhubungan dengan hal-hal yang kotor. Sedangkan orang
Barat memandangnya biasa-biasa saja, sebab nilai tangan kiri dan kanan

60
Lihat Garfinkel (1974) ethnomethodology adalah studi tentang metode yang digunakan
orang untuk memahami dan menghasilkan tatanan sosial di mana mereka tinggal. Ini
secara umum mencari alternatif dari pendekatan sosiologis arus utama. Dalam
bentuknya yang paling radikal, ia menimbulkan tantangan bagi ilmu-ilmu sosial secara
keseluruhan. Di sisi lain, penyelidikan awal mengarah pada pembentukan analisis
percakapan, yang telah menemukan tempatnya sendiri sebagai disiplin yang diterima di
dalam akademi. Menurut Psathas, adalah mungkin untuk membedakan lima
pendekatan utama dalam keluarga disiplin ethnomethodologi.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 212


sama saja. Sebagian antropolog tertarik mempelejari kebudayaan secara
umum berkenaan dengan manusia, tetapi yang lainnya malah tertarik untuk
mempelajari kebudayaan spesifik seperti kebudayaan kebaharian di sebuah
desa di Norwegia atau kebudayaan barrier61 di kota Meksiko. Kebudayaan
dengan kelengkapannya sebagai pola hidup (designs for living) memberi
kemampuan kepada manusia untuk menjadi lebih fleksibel dan kemampu-
an berfikir dalam menyelesaikan setiap probelamatika lingkungan yang
mereka hadapi. Dengan demikian, manusia dianggap sebagai spesies yang
paling unik, karena mampu menyesuaikan diri dengan tempat yang telah
dibentuk oleh alam di atas planet ini. Semakin dipahami kebudayaan secara
sempurna, semakin dekat pula untuk memahami apa arti dari keberadaan
manusia sesungguhnya.
Antropologi Budaya adalah cabang antropolgi yang mengkhususkan
diri pada pola-pola kehidupan masyarakat. Antropolinguistik, misalnya,
merupakan cabang antropologi budaya yang mengadalkan studi tentang
bahasa-bahasa manusia dengan menyusun geneologi bahasa dalam rangka
mempelajari kehidupan masa lampau manusia. Linguistik diakronik (lingu-
istik komparatif), sebagai bagian dari linguistik komparatif, digunakan
untuk menentukan hubungan kekerabatan bahasa yaitu dengan mengguna-
kan 3 metode: a) kuantitatif dengan teknik leksikostatistik dan teknik
grotokronologi, 2) metode kualitatif dengan teknik rekonstruksi dan, 3)
metode sosiolinguistik. Melalui studi seperti ini, kita mampu mengetahui
distribusi suatu bahasa atau merekonstruksi kembali bahasa melalui kores-
pondensinya (fonologi, morfologi dan sintaksis). Penelitian serupa dilaku-
kan oleh Basrah Gising pada tahun 1992 dengan judul Rekonstruksi Dialek
Hete-Hete Melalui Korenspondensi Fologisnya. Penelitian ini dilakukan mulai
dari bahasa Makassar Dialek Layolo di Kabupaten Selayar, bahasa Makassar
dialek Konjo di Kajang Kabupaten Bulukumba, bahasa Bugis-Makassar
dialek Konjo di Kabupaten Sinjai, bahasa Bugis-Makassar dialek Dentong di
Kabupaten Maros dan bahasa Bugis-Makassar dialek Bentong di Kabupaten
Barru.
Etnologi, kebalikan dari arkeologi, yang juga merupakan cabang antro-
pologi budaya memusatkan perhatiannya pada kebudayaan zaman se-
karang ini. Kalau arkeologi mengkhususkan diri pada benda-benda budaya
(cultural materealism), etnologi mengkhususkan diri pada perilaku budaya
manusia (cultural behavior) sebagaimana yang dapat disakasikan, dialami
dan didiskusikan dengan orang-orang yang kebudayaannya hendak diteliti.
Para etnograf berusaha menjadi pengamat yang terlibat langsung (full
61
Panggunaan kata barrior di sini merujuk pada sebuah situasi, dimana sebuah kebu-
dayaan dalam masyarakat betul-betul telah mengalami kekacauan, sehingga kebu-
dayaan tersebut mengalami kekakacauan (barrier).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 213


participation observation) dalam kebudayaan yang sedang dipelajarinya.
Sedangkan para arkeolog sibuk menggali dan mengkaji sisa kebudayaan
masa lampau melalui pencarian fosil-fosil budaya (cultural artefact) yang
tampak dan masih terkubur di dalam tanah.
Perlu juga saya jelaskan di sini, bahwa antropologi budaya sering di-
sejajarkan dengan antropologi kognitif (cogitive anthropology) atau etnografi
(enthnography). Antropologi kognitif memokuskan diri pada hubungan
antara bahasa, kebudayaan dan kognisi. Dalam perkembangannya dipenga-
ruhi oleh psikologi kognitif dan linguistik strukturalis. Antropologi kognitif
juga mendapat pengaruh dari antropologi struktural, sekalipun kemudian
hal itu berbeda dengan ranah studinya. Antropologi sistem ideasional ---
sebuah sistem pengetahuan dan konsep --- bertentangan dengan interpretasi
kebudayaan material sebagai suatu bentuk sistem adaptif atau seperangkat
perilaku yang tampak. Para ahli antropologi kognitif mencurakan semua
perhatiannya pada keakuratan deskripsi etnografi, khususnya merekam apa
yang masyarakat komunikasikan (cultural behavior) dan memperhatikan hal-
hal yang dapat menuntun kearah apa yang masyarakat ketahui (cultural
knowledge). Frake (1964), misalnya mengklaim, bahwa sebuah rekaman
komunikasi akan memberikan sebuah sistem kognisi kepada masyarakat
dalam rangka mengatur aktifitas sehari-harinya. Ketika mendekati subyek,
kata-kata masyarakat dengan penuh kehati-hatian, dalam rangka mensigni-
fikasi obyek-obyek komunikasi dan fenomena-fenomenanya harus direkam
dan seterusnya. Termasuk di dalamnya arti-arti altematif dari kata-kata
tersebut (polysemy), variasi arti sesuai dengan konteks
B. Ilmu Budaya dan Sosiologi
Menurut Koentjaraningrat (2003: 222) sosiologi adalah ilmu yang
mengkaji perkembangan, organisasi, asas-asas dan masalah-masalah sebagai
mahluk kolektif. Demikian pula al-Barry (2000: 315) mendefinisikan sosio-
logi sebagai ilmu yang mempelajari perkembangan dan prinsip-prinsip
organisasi sosial dan umumnya tingkah laku kelompok sebagai perbedaan
dari tingkah laku individual atau individu-individu dalam kelompok atau
ilmu yang mempelajari sifat, perilaku dan perkembangan masyarakat.
Manurut John Biezan (1969: 1), bahwa sosiologi adalah the scientific study of
human relationships. Sosiologi adalah sebuah kajian, yang dibedakan berda-
sarkan fokus interes, konsep dan prosedurnya. Seorang sosiolog memokus-
kan perhatiannya pada manusia (human being) dalam kelompok dengan
hubungannya dengan yang lainnya, seperti halnya dengan hubungan antar
kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, termasuk kelompok dalam
bentuk masyarakat (society).
Ilmu yang sering dihubungkan dengah antropologi fisik adalah sosio-
logi, karena keduanya berusaha mengambarkan dan menerangkan perilaku

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 214


manusia dan konteks sosialnya. Hanya saja sosiologi selalu berbicara dalam
konteks orang yang masih hidup di dalam masyarakat atau setidak-tidak-
nya pada jaman baru, sehingga teori-teori mereka tentang perilaku manusia
cenderung terikat pada kebudayaan tertentu (cultural bond).
Dalam Smith (1990: 263) dikatakan, bahwa sosiologi adalah the science
or study of society. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Comte dan
kemudian dikembangkan oleh Durkheim. Ia (Durkheim) mengusulkan
konsep fakta-fakta sosial (social facts) sebagai isu sentral disiplin ilmu ini.
Durkheim tidak membedakan sosiologi dengan antropologi, selama istilah
ini tidak dikaitkan dengan istilah antropologi sosial yang dibangun di
Inggris dan antropologi budaya yang digunakan di Amerika, dimana
keduanya menggunakan teori, metodologi dan sumber empirikal yang ber-
beda. Perlu dipertimbangkan, bahwa sosiologi memang berkenaan dengan
studi tentang masyarakat industri yang modern, dengan menggunakan
analisis, metode dan investigasi yang tepat bagi kajian penduduk yang
berjumah besar (large-scale populations), seperti: survei, metode statistik dan
seterusnya. Sementara antropologi, di pihak lain, yang berkenaan dengan
studi manusia primitif yang berjumlah kecil atau berupa rakyat jelata (small-
scale or folk societies) bersama dengan kebudayaannya, ditandai dengan pen-
dekatan holistik dengan menggunakan metode-metode yang tepat untuk
jumlah penduduk yang kecil. Hal ini memungkinan untuk dilakukan
dengan menggunakan teknik observasi partisipasi penuh (full participant
observation).
Hoebel (1972: 16) juga menyebutkan, bahwa sosiologi dan antropologi
mempunyai hubungan paling dekat dalam bingkai ilmu sosial (social
science). Hal ini berarti, bahwa keduanya lebih banyak ditemukan dalam
departemen yang ada di beberapa universitas di Amerika Serikat. Kesamaan
kedua bidang ilmu ini terletak pada interesnya yaitu organisasi sosial (social
organization) dan perilaku sosial (social behavior). Dalam kajian ini, pengguna-
an pendekatan teori mendasar umumnya memang sama, sekalipun tidak
dapat dipungkiri, bahwa di beberapa hal keduanya juga harus berbeda.
Kecenderungan khusus bagi seorang sosiolog dan antropolog dalam men-
jalankan tugas-tugasnya sangat berbeda. Seorang sosiolog cenderung tidak
memperhitungkan aspek biologis, arkeologis dan liguistik yang begitu
penting bagi seorang antropolog. Seorang antropolog bekerja di dalam
masyarakat yang relatif kecil dengan metode observasi partisipatif dalam
bentuk interaksi intensif, dari hari ke hari, dari satu person ke person lain-
nya, dalam rangka memperbincangkan kebudayaan masyarakat setempat
sebagai obyek penelitiannya. Penekanannya pada masyarakat (people-in-
culture). Seorang sosiolog, di pihak lain, umumnya bekerja dengan jumlah
sampel yang cukup besar (biasanya sampel random) dengan aspek pem-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 215


bahasan tentang masyarakat yang lebih terbatas dan khusus, sehingga ia
lebih menekankan pada data statistik dan prosedurnya. Di Amerika Serikat,
misalnya, sosiologi mencurahkan sebagian besar perhatiannya pada proble-
matika patologi sosial (problems of social pathology) dan penyakit sosial
(social deseas), seperti: kejahatan, kriminal, kemiskinan, sakit jiwa dan
keretakan rumah tangga. Hal ini memang menjadi komitmen sosiologi sejak
awal di Amerika Serikat. Antroplogi kemudian mengubah perhatiannya
secara konsensus pada problematika sosial (social problems) dan masalah
adminsitrasinya (administration) dan hal ini merupakan tugas pertama yang
diberikan kepada antropolog di masa prakolonial.
C. Ilmu Budaya dan Psikologi
Menurut Koentjaraningrat (2003: 199), psikologi adalah ilmu yang
mempelajari pikiran, proses mental, perasaan, keinginan dan lain-lain yang
berhubungan dengan jiwa manusia. Al-Barry (2000: 23) mendefinisikan
antropologi psikologi sebagai cabang dari antropologi yang khusus mem-
pelajari manusia dalam bentuk jasmaniahnya, tipe-tipe kepribadiannya,
perkembangan sosialnya, serta hubungan dengan kebudayaannya. Jadi,
psikologi adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala
kejiwaan manusia (culture and personality).
Studi tentang hubungan antara kebudayaan (culture) dan kepribadian
(personality) disponsori oleh Ruth Fulton Benedict (1887-1948), yang men-
dasarkan analisis tipologi kebudayaannya pada tipe-tipe psikologis. Meng-
ikuti Nietzsche, dia membuat kontras antara watak temperamen orang
Diyonisia dan Appolonia yang ia klaim dapat diangkat untuk mengkra-
kterisasi kebudayaan dan kepribadian secara menyeluruh. Ia berasumsi,
bahwa integritas kebudayaan merupakan hasil dari seleksi kebiasaan-
kebiasaan yang berkembang secara historis ditambah dengan nilai-nilai
sesuai dengan tipe karakter yang dominan dalam sebuah masyarakat. Di
dalam bukunya yang berjudul Patterns of Culture (1934) pun ia mengatakan,
bahwa sebuah kebudayaan, sama halnya dengan kepribadian, setidak-
tidaknya berisi pola pikir dan tindakan. Oleh karena itu, dalam setiap kebu-
dayaan dipastikan mengandung karakteristik tujuan dan pilihan-pilihan
perilaku yang heterogenus, yang menampakan kemiripan ciri-ciri. Artinya,
bahwa tindakan-tindakan seperti ini hanya dapat dipahami, ter-utama
melalui watak emosional dan dorongan pengetahuan masyarakatnya. Jadi,
Benedict --- sama halnya dengan Margaret Mead --- menunjukkan, bahwa
kebudayaan sebagai gudang besar kepribadian (personality with large) dan
pernyataan inilah menghasilkan aliran besar dalam psikologi yaitu
pasikologi reduksionis. Mead kemudian mengatakan, bahwa variasi watak
temperamen secara alamiah pada dasarnya sama saja. Akan tetapi, kebu-
dayaan itulah yang menyeleksinya dan memungkinkan untuk membuat

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 216


bentuk kepribadian khusus. Jadi, menurut Mead peranan sekslah, misalnya,
yang perlu ditampakkan dalam kebudayaan dan bukan wataknya.
Penekanan Benedict terhadap pola kebudayaan atau profil masing-
masing kebudayaan dipengaruhi oleh Teori Gestalt atau kaum konfigura-
sionis, yang mensuplai analogi kebulatan (wholeness) dan intergrasi (inte-
gration) dalam psikologi dan dalam sistem kebudayaan. Sapir, misalnya,
yang kemudian menerapkan formulasi hipotetis Whorf tentang keunikan
konfigurasi bahasa dan pemikiran (language and though) dalam psikologi
setiap kebudayaan, memberi pengaruh pada kelompok psikologi reduksio-
nis ini.
Karya lain yang menginterpretasi hubungan antara kebudayaan dan
kepribadian dilakukan oleh pengikut Freud dan teoritikus psikoanalisis
dalam antropologi psikologi. Psikiatris Kardiner mengembangkan sebuah
teori yang cukup berpengaruh dalam studi kebudayaan dan personalitas
melalui argumentasinya, bahwa kepribadian dasar (basic personality) ber-
fungsi sebagai mediator antara lembaga primer dan sekunder dalam sebuah
masyarakat. Karakter kepribadian dasar tersebut terbentuk melalui sosiali-
sasi dan pola subistensi, yang kemudian diproyeksi ke dalam lembaga se-
kunder seperti; agama, politik dan sebagainya. Linton dan DuBois (1944)
ternyata mengadopsi teori ini, sehingga Dubois memperkenalkan istilah
modal personaliti (modal pereonality) untuk merujuk pada daftar manifestasi
perilaku dari kepribadian dasar (basic personality).
Pengaruh teori psikoanalisis di atas tampak di dalam National Character
Studies diambil alih oleh para antropolog yang diransang oleh sejumlah
keinginan untuk menemukan strategi melalui pemahaman motivasi (motiva-
tion) dan sikap (attitute) sekutu dan lawan selama perang dunia II ber-
langsung. Kajian Benendict merupakan contoh yang sangat terkenal tentang
karakter nasionalisme orang Jepang dalam bukunya berjudul The Chrysan-
themum and the Suioro (1967) karya antropolo Inggris Geoffrey Gorer.
Sekalipun demikian, studi tentang kebudayaan dan kepribadian men-
jadi kurang populer pada tahun 1960-an hingga 1970-an dan menuai kritik
besar-besaran dari psilokogi reduksionis, sehingga menumbangkan karya
besar yang dibangun selama tiga dekade sebelumnya. Hal itu dilaku-kan
dengan menyatakan, bahwa tidak ada keseragaman tipe-tipe kepribadi-an
dalam sebuah kebudayaan, selama kebudayaan itu sendiri dibangun atau
diabtraksikan melalui seperangkat perilaku individu (individual behavior),
nilai-nilai (values) dan sikap (attitute). Jadi, menurut kaum reduksionis,
bahwa kebudayaan tidak menentukan kepribadian dan sebaliknya.
Pendekatan spektakuler saat ini adalah kajian hubungan antara kebu-
dayaan dan kepribadian, baik kompeksitas kepribadian perorangan dan
perkembangannya maupun metode ilmiah lintas budaya yang dibutuhkan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 217


untuk mengukur tingkatan tipe-tipe kepribadian. Umumnya antropolog
psikologi menerima, bahwa kepribadian perorangan merupakan hasil
sebuah kombinasi kompleksitas dari pontensi-potensi khusus, watak tempe-
ramen perorangan dan pengalaman sosial dan budaya yang kita miliki.
Dengan demikian, kembali lagi timbul keberatan tentang tingkatan
strukutur dasar kepribadian manusia yang terekam secara universal dan
secara biologis, serta tingkatan yang ditentukan secara budaya dan dipela-
jari. Menurut kaum reduksionis, bahwa individu tidak pernah merepro-
duksi sebuah model kebudayaan di dalam kepribadiannya, tetapi selalu
mengadopsinya dari sejumlah besar tipe-tipe kepribadian di dalam sebuah
kebudayaan dalam sebuah masyarakat. Antropolog psikolog yang paling
berpengaruh adalah A. F. C. Wallace (1970) dengan tegas mengatakan,
bahwa kita harus menganggap kebudayaan sebagai sebuah mekanisasi yang
di dalamnya terdapat variabel-variabel individu yang dapat diorganisasikan
dan dibentuk sesuai dengan sistem sosial yang ada dalam masyarakatnya.
Menurut Koentjaraningrat (1990: 18), bahwa etnopsikologi muncul
kira-kira setengah abad yang lalu dalam ilmu antropologi, terutama di
Amerika Serikat dan Inggris, yang dalam analisanya mempergunakan
konsep-konsep psikologi. Penelitian-penelitian seperti ini mulai memper-
hatikan tiga hal berikut ini: 1) masalah kepribadian bangsa, 2) masalah
peranan individu dalam proses perubahan adat-istiadat; dan 3) masalah
nilai universal dari konsep-konsep psikologi.
Oleh karena, materi yang merupakan isi dari pengetahuan dan
perasaan seorang individu berbeda dengan individu lain dan intensitas
keterkaitan antara berbagai bentuk pengetahuan dan perasaan pada seorang
individu juga berbeda dengan lainnya. Tiap manusia, pada prinsipnya,
mempunyai kepribadian yang berbeda. Akan tetapi, tidaklah berarti, bahwa
ada tiga milyar kepribadian di dunia ini, sekalipun jumlah penduduk dunia
diperkirakan mencapai tiga milyar jiwa. Aneka warna kepribadian individu
tersebut dapat dikategorikan menjadi tipe dan sub-tipe yang jumlahnya
tidak sama dengan jumlah penduduk Indonesia. Pembuatan tipologi kepri-
badian individu tersebut menjadi tugas ilmu psikologi, bukan ilmu antropo-
logi ataupun ilmu sosial lainnya atau setidak-tidaknya kaum psikologi
reduksionis di atas.
Antropologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya dalam mengkaji masalah
kepribadian, tidak lebih dari hanya sekedar memperdalam dan memahami
adat-istiadat, serta sistem sosial dari suatu masyarakatnya saja. Khusus,
dalam mempelajari kepribadian suatu masyarakat dilakukan dengan me-
mandang hal tersebut sebagai suatu bentuk kepribadian umum atau watak
umum (modal personality). Para etnograf abad ke-19 kadang-kadang men-
cantumkan kepribadian umum tersebut di dalam karangan etnogra-finya

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 218


untuk melukiskan watak atau kepribadian umum pendukung kebudayaan
(natives), yang menjadi obyek penelitiannya. Pelukisan-pelukiskan seperti
ini lebih banyak berdasarkan pada kesan-kesan intuitif saja, yang mereka
dapat dari pengalaman selama berinteraksi dengan informannya. Dengan
demikian, penilaian-penilaian subyektifitas pada kebudayaan yang diteliti-
nya juga cenderung tidak dapat dihindari. Apabila mereka mengumpulkan
data dan bahan tentang kebudayaan Bali, misalnya, kemudian memperoleh
pengalaman menyenangkan, biasanya kepribadian orang Bali dilukiskan
bersifat ramah, setia, jujur, gembira dan sebagainya. Sebaliknya, bila penga-
laman tidak menyenangkan, secara reflektif mereka menilai orang Bali itu:
judes, tidak setia, penipu, tidak bermoral dan sebagainya.
Sejak abad ke20 ini, timbul usaha untuk memperbaiki pelukisan etno-
grafi kuno tersebut menjadi metode-metode yang lebih eksakt dan ilmiah.
Ralp Linton (1965) kemudian mengembangkan suatu penelitian terhadap
kepribadian umum dengan menjalin hubungan dengan para psikolog
(triangulary research) untuk mempertajam pengertiannya mengenai konsep-
konsep psikologi kepribadian umum itu. A. Kardiner adalah psikolog yang
bersedia bergabung dengan Linton dalam penelitiannya di Kepulauan
Marquesas bagian timur Polinesia dan Tanala bagian timur Pulau Mada-
gaskar. Linton kemudian bertugas mencari bahan etnografinya, sedangkan
Kardiner menerapkan metode-metode psikologinya, serta menganalisa data
psikologinya. Hasilnya adalah sebuah buku berjudul The Individual and His-
Society (1938), yang benar-benar menghasilkan suatu kajian antroplologi
psikologi berupa pendekatan psikologi dalam antropologi. Dalam proyek
bersama ini, konsep kepribadian umum (general atau iniversal personality)
kemudian dipertajam menjadi konsep kepribadian dasar (basic personalitu
structure). Artinya, semua unsur kepribadian dimiliki bersama oleh warga
suatu masyarakat. Kepribadian dasar tersebut ada, karena semua warga
suatu masyarakat mendapat pengaruh lingkungan kebudayaan yang sama
selama masa hidupnya. Jadi, metodologi yang paling efektif dalam pe-
ngumpulan data mengumpulkan sampel dari individu-individu warga
masyarakat yang menjadi obyek penelitian kita, kemudian tiap-tiap indi-
vidu dalam sampel itu kepribadiannya diteliti melalui test-test psikologi.
D. Ilmu Budaya dan dan Agama
a. Agama dalam Perspektif Ilmu Budaya
Ilmu budaya, setelah revolusi pengetahuan terjadi, sepenuhnya dikem-
bangkan dalam berbagai penelitian. Perhatian budayawan untuk sistem
relegi tumbuh dengan cepat, terutama untuk ritual agama dalam kelompok
etnis tertentu. Bahkan, jika ritual ini pada awalnya hanya dianggap sebagai
hal yang unik saja, tetapi pada akhirnya mereka merumuskan karakteristik

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 219


agama ini untuk menjadi (emik) dan mencoba untuk membangun teori
sehubungan dengan agama yang mereka sedang teliti.
Jauh sebelum ilmu budaya menjadi sebagai kumpulan pengetahuan.
Beberapa etnografer mencoba menulis beberapa karakteristik tradisi lokal
yang terlalu berbeda dengan tradisi Eropa milik mereka sendiri. Mereka
umumnya menggunakan paradigma etnosentrisme (melihat budaya lain
lebih buruk daripada budaya sendiri) yang membawa sistem religi dan
kepercayaan sebagai pusat studi mereka. Agama atau studi sistem keper-
cayaan dalam ilmu budaya difokuskan pada perilaku keagamaan (religious
behavior) yang terkait dengan kehidupan sehari-hari pengikutnya. Ilmu
budaya agama, pada prinsipnya, tidak akan mempelajari dogmatisme
agama dan sistem kepercayaan. Dogmatisme artinya menerima atau
mengikuti sebuah kepercaan atau agama dengan apa adanya. Umat Islam
umumnya menerima Islam berdasarkan doktrin dari kepercayaannya sesuai
dengan apa yang ia pahami dan yakini. Ini berarti, bahwa agama dalam
pandangan ilmu budaya, misalnya, tidak akan pernah mempelajari bagai-
mana kaum muslim dan pengikut agama lainnya melakukan ibadah
(worship), tetapi mengapa mereka melakukannya. Artinya, Antropologi
agama hanya interset untuk mempelajari perilaku beragama. Pertanyaan
besar yang akan muncul di sini adalah mengapa keyakinan manusia ter-
hadap hal misterius (gaib) dianggap sebagai tingkat status paling tinggi
daripada manusia? Mengapa manusia mencoba berkomunikasi dan mencari
koneksi dengan hal misterius itu? Untuk menjawab pertanyaan ini ilmu
budaya harus melakukan kajian sistem religi dan pengetahuan. Menurut
para anthropolog dan budayawan, bahwa kegiatan keagamaan manusia
selalu didasarkan pada getaran jiwa (mood)62 atau emosi agama yang ter-
cermin dalam aktivitas atau perilaku keagamaan mereka. Mereka percaya,
bahwa sekalipun seseorang benar-benar ateis, tetapi dia tetap memiliki
perasaan emosi religius ini. Ini akan mendorong manusia untuk melakukan
kegiatan keagamaannya. Frekuensi tinggi dari suasana hati dapat muncul
denganbentuk nilai yang tidak biasa (sacret), sedangkan yang rendah dapat
muncul nilai biasa-biasa saja(profan).
Pengikut agama dalam budaya tertentu harus mencoba menjaga emosi
agamanya sendiri. Hal ini lebih penting daripada tiga hal lainnya, yaitu: 1)
keyakinan, 2) ritual keagamaan dan 3) pengikut agama tertentu. Budaya-
wan pada umumnya menaruh perhatian mereka pada sudut (baik atau
buruk) dalam pemahaman kosmogoni, hantu, malaikat tingkat, penciptaan
alam, hidup, kematian, roh, dunia dan akhirat dalam pemahaman iman.
62
Lihat Basrah (2009) mood adalah suasan hati. Mood juga dapat diartikan sebagai getaran
hati keagamaan seseorang yang muncuk dari dalah diri manusia. Mood juga dapat
didefinisikan sebagai getara juwa seseorang ketika menyebut nama Tuahnnya.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 220


Ritual keagamaan terdiri dari tempat-tempat ritual religius (kuil, kastil,
gereja, masjid dll., waktu ritual keagamaan (waktu untuk beribadah, hari-
hari suci, dll), alat-alat ritual keagamaan (patung suci, lonceng suci, seruling
suci, drum suci, dll.) dan pemimpin ritual keagamaan (pendeta, uskup,
imam, dukun dll.). Ritual atau upacara keagamaan juga memiliki banyak
bentuk: doa, shalawat untuk Nabi Muhammad, bacaan saat potong hewan,
makan bersama-sama, menari, bernyanyi, prosesi, pementasan drama,
puasa, kesurupan, yoga, meditasi dan sebagainya untuk menempatkan diri
mereka secara dekat kepada Tuhan dan mereka berharap mendapatkan
berkat Tuhan.
Simbolisme dalam sistem agama dan kepercayaan menurut Clifford
Geertz (1992: 5) adalah berguna untuk memunculkan suasana hati dan
mendorong motivasi yang kuat untuk mencapai tujuan manusia. Itu akan
tersirat dalam semua perilaku keagamaan mereka. Paull Tillich (1955)
diadopsi oleh Geertz dalam analisisnya tentang hubungan antara makna
dan agama. Keduanya (Geertz dan Tilllich) mengambil makna sebagai
konsep analisis mereka atas makna absolut, kesatuan makna dan Impor (the
meaning of the meaning atau absolutisme). Impor kadang-kadang disebut
sebagai makna mutlak, kesatuan makna mendalam atau makna dari makna
(Paull Tillich, 1955).
Geertz sendiri cenderung menyamakan antara agama dan budaya,
karena budaya dapat dianggap sebagai abstraksi agama. Menurutnya
budaya adalah pola makna yang secara historis ditransfer ke simbol-simbol,
dimana manusia dapat mengkomunikasikan ide-idenya, mempertahankan
pandangan dunia mereka, pengetahuan dan sikap hidup. Sangat jelas,
dengan konsep ini, bahwa agama adalah simbol dan budaya adalah sebagai
pola makna dimana terakumulasi sebagai perwakilan dan hubungan mutlak
antara hal abstrak (kebudayaan) dan hal konkrit (perilaku keagamaan). Jadi,
agama adalah realisasi budaya tertentu. Oleh karena itu, agama tanpa
budaya sebagai pemberi makna adalah mustahil dan budaya tanpa agama
atau sistem kepercayaan sebagai simbolisasi juga sangat mustahil.
McGuire (1992: 11-14) menemukan dua pemahaman agama yang ia
sebut sebagai substantif dan fungsionalisme. Konsep-konsep substantif adalah
realitas supranatural, realitas super empiris, realitas transenden dan kosmos
sakral. Di sisi lain, konsep fungsionalisme adalah hubungan antara agama
dan budaya. Konsep itu ditemukan oleh Sapiro (1966) sebagai institusi, pola
budaya dan postulat kultural. Konsep ini dapat ditingkatkan menjadi
manusia super (super human beeing) yang lebih kuat dari manusia.
b. Agama, Sistem Kepercayaan dan Budaya
Hubungan erat antara agama dan budaya mendorong antropolog
untuk melakukan studi hebat dalam spesifikasi atau disiplinnya sendiri. E.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 221


B. Tylor (1913) dan G. J. Frazer (1976), misalnya, mempromosikan konsep-
nya tentang supernatural dari beberapa masyarakat primitif. Sistem keper-
cayaan dalam bentuk spiritualisme menunjukkan bagaimana langkah per-
tama dalam evolusi otak manusia telah terjadi. Itulah sebabnya mengapa
Tylor memandang agama sama dengan sihir, karena keduanya dibangun
oleh ide-ide atau dogmatisme yang tidak berdasar.
Frazer, di sisi lain, berbeda dengan Tylor, karena ia cenderung melihat
agama berbeda dari sihir. Sihir selalu menyangkut kekuatan sihir (roh jahat),
sedangkan agama adalah kepedulian terhadap supernatural (gaib). Oleh
karena itu, peningkatan agama (dogmatisme, dinamika dan transen-dental)
lebih baik daripada sihir (impersonality, statis dan universalisme). Frazer
memberi perbandingan antara pengikut kepercayaan yang berdoa minta
hujan, yang dilakukan dengan pemotongan hewan kurban (animal slachting),
biasanya tercapai dengan benar-benar turun hujan. Orang Bugis yang
melakukan panini bosi (meminta penundaan turunnya hujan) dengan
melempar pakaian dalam perempuan ke atas atap rumah, biasanya memang
membuat hujan tertunda. Di kalangan bangsa Indonesia juga dikenal
dengan pawang hujan, yang mampu meminta penundaan hujan melalui
mantra-mantra mereka juga biasanya mampu menunda turunnya hujan.
Sebaliknya, seorang ahli agama (pastor, shaman, biksu, ulama dan sebagai-
nya) berdoa meminta hujan dan penundaan turunnya hujan, biasanya tidak
berhasil. Keberhasilan dari keduanya tergantung pada keyakinan yang
mendalam (supernatural dogmatism) dan harapan-harapan agama (religious
expecting).
Emile Durkheim (1964) dan Mircea Eliade (1959) mengklaim konsep
supranatural dogmatisme Tylor dan Frazer di atas, karena keduanya meng-
anggap agama sebagai hal yang sakral dan tidak semua itu harus ber-
hubungan dengan supernatural. Bahkan, kedua ahli di atas memiliki konsep
dan paradigma yang sama tentang sakral dan profan, sekalipun dalam
penerapannya masih saling bertentangan. Emile Durkhiem, Tylor, Freud
dan Frazer memandang agama sebagai hal fungsionalisme, sedangkan
Elliade memandang agama sebagai fenomena (fenomenalisme). Durkheim
melihat agama sebagai hal yang sakral dalam hubungannya dengan
masyarakat dan kebutuhannya. Oleh karena itu, menurut Durkheim, bahwa
yang sakral berarti masalah sosial dan profan adalah masalah pribadi. Di sisi
lain, Elliade tidak pernah menemukan hubungan antara hal yang sakral dan
fenomena sosial, kecuali supernatural saja, karena selalu sama dengan roh
Tuhan. E. E. Evans Pritchard (1956) menunjukkan bagaimana konsep
religius suku Nuer mempengaruhi seluruh cara hidup mereka. Ia menemu-
kan konsep dogmatisme mutlak Kwoth Nhial (Tuhan mutlak) seperti dalam
pemahaman gaib. Dia hidup di surga, tetapi dia tidak sama seperti surga.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 222


Dia mirip angin, tetapi dia bukan angin. Dia mewakili semua hal, tetapi dia
abstrak. Dia dianggap sebagai pemimpin malaikat Buk (malaikat wanita),
Wiu (marga malaikat), Deng (putra Tuhan), Mani (komandan perang) dan
Colwi (roh suci) tetapi dia bukan malaikat. Pritchard kemudian menunjuk-
kan bagaimana suku Nuer membagi pandangan kosmologinya dalam tiga
tahap: dunia atas tempat Kwoth Nhial dan Kwoth tinggal, dunia tengah
adalah tempat di mana kehidupan manusia dan di bawah dunia di mana
hewan suci atau totem kehidupan manusia.
Menurut Sigmund Freud (1953 dan 1978) dalam psikoanalisisnya,
bahwa aktivitas para pria religius sama seperti perilaku neurosis (kebencian,
gila atau stres). Karena itu, seseorang akan merasa bersalah, jika ia meng-
ikuti ritual ibadah yang tidak sempurna. Dia juga mengklaim, bahwa agama
itu tidak bersifat sementara dan tidak diberikan oleh Tuhan, karena tidak
ada metode ilmiah yang dapat membuktikannya. Agama ini juga bukan
impian seperti harapan kuat dari kebutuhan manusia. Oleh karena itu,
kekuatan rahasia agama hanya terletak pada kekuatan harapan manusia
(ilusi) dan bukan pada sistem kepercayaan mereka. Ludwig Feuber (1957)
mendukung pendapat ini dan berkata, bahwa agama adalah alat psikologis
untuk memperkuat harapan, kebaikan dan gagasan untuk mencapai pema-
haman supernatural yang disebut Tuhan. Dengan cara ini, manusia hanya
berusaha menempatkan dirinya dalam status terendah daripada itu.
C. Jung (193 8 dan 1972) menolak dua konsep di atas dan berkata,
bahwa agama adalah ide manusia secara kolektif dan dibangun di dalam
mitologi, cerita rakyat, filsafat dan seni. Agama itu muncul dari ketidak-
sadaran kolektif (unconciusly colletive) dan itu bukan perilaku neurosis
seperti dikatakan Freud dan Ludwig. Itu muncul sebagai eksposisi yang
sehat, dalam dan berkelanjutan dari manusia dan tidak muncul dari
pernyataan neurosis frustrasi.
Max Weber (1951 dan 1958), serta Jung juga menolak konsep neurosis
psikologi. Menurut mereka, bahwa kepercayaan supranatural adalah fakta
universal yang dapat ditemukan di semua masyarakat purba. Perilaku
keagamaan tidak pernah hilang dari kegiatan sehari-hari manusia untuk
mencapai tujuan dan kebutuhan ekonomi tertentu. Mereka menyimpulkan,
bahwa orang-orang primitif melibatkan ahli sihir (dukun) untuk mencari
individu, hal yang sakral dan dominan. Sebaliknya, menggunakan para
imam (pendeta, pendeta, uskup, biksu, alim ulama dll) untuk mencari
otoritas yang kooperatif, profan, penuh dan etika agama.
c. Mengapa Harus Beragama ?
Sejak manusia ada dan hidup di permukaan bumi ini selalu mem-
pertanyakan dirinya: mengapa saya ada (existence)? Siapa saya (identities)?
Saya mau kemana (expecting)? Siapa yang mengadakan seluruh yang ada

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 223


(creator)? Kalau Tuhan ada dimana dia ? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini
membuat manusia mulai penasaran dan berusaha mencari sumber dari
segala yang ada, termasuk dirinya sendiri. Manusia lalu mencari dan
mencari siapa dirinya dan segala sesuatu yang ada di dunia ini. Manusia
adalah mahluk ciptaan Tuhan yang dibekali dengan kelebihan dari seluruh
mahluk hidup lainnya yang diciptakan oleh Allah. Kelebihan tersebut
berupa akal budi, yang kemudian digunakan untuk berfikir dalam rangka
menentukan mana yang benar dan yang tidak benar. Manusia dalam
pengertian agama (terutama Islam) adalah fitrah atau annas dalam agama
Islam. Pengertian fitrah yang hakiki adalah kebenaran (truth) dan tidak
pernah yang tidak benar. E. B. Tylor (1871) kemudian muncul sebagai
penggagas teori tentang jiwa, yang membedakan manusia yang jasmani
(tubuh) dan manusia yang jiwa (rohani). Pernah saya katakan dalam kuliah
filsafat, bahwa yang dimaksud benar adalah betul-betul benar dan benar-benar
betul. Jika hanya benar tetapi belum betul, maka itu berati salah, karena ada unsur-
unsur pembentuk kebenaran yang tidak terpenuhi yaitu betul. Saya kemudian
kembali dalam falsafah orang Bugis, bahwa: tongeng-tongeng mupauwwe
naikiya dek natongeng maneng. Nasabak iyaro riyasengnge tongeng tongengngi
riiko tongettoi ri taulaingnge. Narekko tongengeng-tongngemmi iyanaritu
tongemmi rialemu, artinya ‘apa yang engkau katakan itu sudah benar, tetapi
tidak semua benar. Karena yang dimaksud benar dan betul (hakiki) adalah
benar bagi kamu dan benar pula bagi orang lain. Jika hanya benar tapi belum
betul yang anda katakan itulah yang dimaksud keneran individu (relatif).
Saya juga sempat mengatakan kepada mahasiswa saya, bahwa ada tiga
kategori yang harus terpenuhi dalam rangka mencari kebenaran (truth),
yaitu: 1) Kebenaran absolut yang tidak terbanthkan, karena kebenaran
tersebut merupakan kebenaran dan yang benar dan ini hanya dimiliki oleh
Tuhan. Ketika seseorang mendoktrin saya, bahwa Allah itu ada, aka saya
harus terima Allah tidak mungkin tidak ada. Adanya Allah itu harus saya
terima dengan penuh keimanan (dogmatis), bahwa memang Allah itu ada.
Tidak perlu lagi saya uji kebenaran tersebut, baik secara rasional (logika)
maupun secara ilmiah (empiris), 2) kebenaran hakiki yaitu kebenaran sesuai
logika dan inilah yang harus diuji kebenarannya melalui premis-premis.
Premis pertama: semua anjing adalah binatang, tetapi tidak semua binatang adalah
anjing sudah benar. Premis ini benar, karena yang dibicarakan adalah yang
hakiki binatang dan anjing. Premis kedua: semua anjing adalah bintang dan
semua binatang adalah anjing. Premis kedua sudah benar menurut hakiki,
tetapi tidak benar secara logika. Kalimat pertama: semua anjing adalah bintang
sudah benar, baik secara hakiki maupun logika. Akan tetapi kalimat, semua
binatang adalah anjing hanya benar secara hakiki, tetapi tidak benar secara
logika. Hakikat binatang adalah anjing dan anjing adalah binatang sudah

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 224


benar. Akan tetapi, kalau semua binatang adalah anjing dan tidak semua binatang
adalah anjing juga sudah benar, karena ada bintang lain yang bukan anjing
(kam-bing, domba, kucing dan sebagainya). Akan tetapi, bila semua binatang
adalah anjing dan semua binatang adalah anjing itu kurang benar, karena semua
binatang adalah anjing pada hal ada bintang lain yang bukan anjing (kambing,
domba, kucing dan sebagainya) dan 3) Kebenaran relatif yaitu kebenaran
sesuai kesepakatan. Kebenaran ini diperoleh melalui prinsip-prinsip ilmiah,
yang berangkat dari: fenomen --- hipotesis --- postulat --- konsep --- teori ---
grand teori. Yang saya maksud kebenaran relatif di sini adalah kebenaran
yang berlaku secara relatif. Kebenarannya harus diuji kembali (theory
constructions), karena sifatnya dialektika. Pengujian yang tidak memenuhi
kerelatifan akan menjadi konsep atau teori terbantahkan (anomaly), yang
tidak memenuhi kreteria kebenaran.
Binatang atau mahluk hidup lainnya hanya dibekali perasaan insting
untuk melakukan yang menurutnya benar dan tidak benar berdasarkan
kebiasaan-kebiasaan (habitations). Oleh karena itu, pikiran manusia diperoleh
melalui pembelajaran (enculturations) dalam pengalaman-pengalaman
hidupnya. Inilah juga yang merupakan landasan pemikiran para pemikir
(filsuf) yang berfikir tentang siapa manusia sesungguhnya. Holmes (1965: 78)
memberikan batasan, bahwa manusia adalah binatang berfikir (animal
thinker). Ia juga mengatakan, bahwa manusia mampu menghadapi segala
bentuk tantangan hidupnya melalui pikirannya untuk membuat sesuatu (the
creator of culture) yang mampu mebantunya dalam menyelesaikan masalah-
nya. Pengertian sesuatu di sini adalah kebudayaan dan budaya sebagai alat
(the tools) bagi manusia untuk menyelesaikan masalahanya. Spradley (1980)
lalu memberikan tiga anugerah berupa kebudayaan yang diberikan oleh
Tuhan kepada hamba-Nya, sebagai ciri pembeda manusia dengan mahluk
lainnya, yaitu: 1) pemikiran untuk melakukan sesuatu (cultural knowledge), 2)
prilaku berpola (cultural behaviuor) untuk berprilaku dan bertindak dan 3)
hasil kombinasi pikiran dan prilaku (cultural artifact).
Koentjaraningrat (1990) kemudian mengadopsi dasar pemikiran Emile
Durkheim dan mengemukakan empat hal penyebab manusia beragama,
yaitu: 1) Emosi Keagamaan (mood) yang mendorong manusia untuk menjalin
hubungan dengan Tuhan, sehingga terjadi getaran-getaran kejiwaan, 2)
Supernatural yaitu sistem kepecayaan yang mengandung keyakinan, serta
bayangan-bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, serta wujud-Nya dari
alam gaib, 3) Sistem upacara religius yang berusaha mencari hubungan
manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau mahluk gaib yang mendiami alam
gaib dan 4) Kelompok-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang
menganut sistem kepercayaan.
d. Perkembangan Sistem kepercayan dan Agama

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 225


Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, bahwa agama dan sistem
kepercaya-an muncul ketika manusia kagum terhadap dirinya dan alam di
sekitarnya. Pada saat ini pula muncul apa yang disebut oleh para ahli ilmu
budaya sebagai sistem kepercayaan (the belief system atau magy) dan agama
(religion). Suatu hal yang perlu saya jelaskan di sini, bahwa kadang-kadang
sistem kepercayaan dibedakan dan kadang-kadang pula disamakan dengan
agama.
Sejarah kehidupan manusia tidak akan lepas dari sebuah sistem
kepercayaan. Mulai dari masyarakat primitif hingga masyarakat modern
dipastikan memiliki sebuah sistem kepercayaan. Hanya saja sistem keper-
cayaan masyarakat primitif dimulai dari kepercayaan akan benda-benda
mati ataupun binatang-binatang tertentu (animisme) sampai pada kekuatan-
kekuatan roh (dinamisme). Seiring majunya pola pikir masyarakat,
kepercayaan, baik animisme maupun dinamisme lambat laun mengalami
pergeseran dari waktu ke waktu.
Menurut Alisdair MacIntyre (1955: 167-211), seorang Profesor peneliti
Senior bidang Falsafah, di University Notre Dame, bahwa kepercayaan-
kepercayaan merupakan cahaya yang dipancarkan kepada kehidupan
manusia dari sesuatu yang ada di luarnya. Geertz (1968) kemudian me-
nyanggah pandangan ini dengan mengatakan, bahwa ahli sosiologi dan
juga antropologi secara umum tidak begitu berkenan dengan rumusan
seperti ini. Hal ini tidak berarti, bahwa para ahli tersebut tidak beragama
(termasuk saya kata Geertz), tetapi kerana Alisdair MacIntyre betul-betul
menyimpang dari jalur empirisme untuk menjelaskan tatacara kepercayaan
terhadap agama yang dilakukan oleh para penganut agama yang ber-
sangkutan. Pendekatan empirisme atau sains positif menitik beratkan pe-
ngalaman dan kajiannya pada puncak sesuatu kebenaran. Inilah juga yang
menjadi perdebatan yang tidak berujung pangkal antara penjelasan tentang
agama yang berlandaskan pada rasionalitas (phillosopher) dengan empiris
(scientist). MacIntyre juga benar, karena memang ia seorang ahli filsafat,
yang memandang agama dari segi rasionalitas. Geertz (1969: 1-46), di pihak
lain, juga benar karena ia mentafsirkan agama itu sebagai apa yang
dipercayai dan diamalkan oleh masyarakat itu secara realita dan bukan
berdasarkan pada konsep-konsep dogmatis agama itu sendiri. Oleh karena,
itu Geerzt dan para ahli antropologi agama memandang agama itu sendiri
sebagai suatu sistem budaya (cultural systems). Dengan demikian, baik Mac-
Intyre yang memandang agama sebagai agama (dogmatis) maupun Geerzt
yang memandang agama sebagai sistem sosial (social system) keduanya
benar menurut paradigma masing-masing. Jadi, sebaiknya hal ini jangan
diperdebatkan, karena hanya menghabiskan waktu saja.
Dengan berdasarkan pada perdebatan di atas, saya akan menjelaskan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 226


bagaimana evolusi sistem kepercayaan dan agama bergerak sejak masa pri-
mitif hingga saat ini, sebagai berikut:
1) Paham Animisme
Animisme adalah agama yang mengajarkan, bahwa tiap-tiap benda,
baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa mempunyai roh. Tujuan ber-
agama dalam animisme adalah mengadakan hubungan baik dengan roh-roh
yang ditakuti dan dihormati dengan senantiasa berusaha menyenangkan
hati mereka.
Animisme berasal dari bahasa Latin anima (nafas, roh, kehidupan).
Paham ini adalah keyakinan agama, bahwa benda, tempat dan makhluk
memiliki esensi spiritual yang berbeda (Martin, 1999; Alf, 2006). Secara
potensial, animisme mempersepsikan semua hal --- hewan, tumbuhan, batu,
sungai, laut, cuaca, karya tangan manusia dan bahkan mungkin kata-kata ---
sebagai animasi dan hidup. Animisme adalah agama tertua di dunia.
Animisme mendahului segala bentuk agama yang terorganisasi dan dikata-
kan mengandung perspektif spiritual dan supranatural tertua di dunia.
Paham ini mulai ada sejak Zaman Paleolitik, yang hingga saat ini men-
jelajahi dataran perburuan dan berkumpul, serta berkomunikasi dengan
Roh Alam (Harvey dan Graham, 2006).
Animisme digunakan dalam kajian antropologi agama sebagai sebuah
istilah untuk sistem kepercayaan masyarakat adat atau pribumi dan berbeda
dengan perkembangan agama terorganisir yang relatif lebih baru. Meskipun
masing-masing budaya memiliki mitologi dan ritualnya masing-masing,
namun animisme digunakan untuk mendeskripsikan benang merah antara
perspektif spiritual dan supranatural masyarakat pribumi. Perspektif
animisme secara luas dipegang dan melekat pada sebagian besar masya-
rakat adat. Bahkan, tidak memiliki kata dalam bahasa mereka yang sepadan
dengan animisme (atau bahkan agama). Jadi, dapat dipastikan, bahwa istilah
animisme merupakan konstruksi antropologis semata.
Definisi animisme yang diterima saat ini baru dikembangkan pada
akhir abad 19 oleh Sir Edward Tylor (1871), yang menciptakannya konsep
awal antropologi tentang animisme. Animisme mencakup keyakinan,
bahwa semua fenomena material memiliki roh. Tidak ada perbedaan antara
dunia spiritual, fisik (atau materi) dan jiwa atau roh. Roh tersebut menurut
paham animisme terdapat pada: hewan, tumbuhan, batu, gunung, sungai,
termasuk guntur, angin dan bayangan. Dengan demikian, animisme
menolak dualisme Cartesian. Animisme dapat lebih jauh menghubungkan
jiwa dengan konsep abstrak seperti kata-kata, nama-nama atau metafora
yang benar dalam mitologi. Beberapa anggota dari dunia non-suku juga
menganggap diri mereka animis (seperti penulis Daniel Quinn, pematung
Lawson Oyekan dan banyak pakar kontemporer lainnya).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 227


Menghormati dengan cara melakukan pemujaan dan memberikan
sesaji lebih umum dilakukan oleh penganut kepercayaan animisme. Bagian
dari kepercayaan ini adalah adanya roh-roh orang yang telah meninggal,
yang dipercayai dapat masuk ke tubuh hewan (reinkernasi). Anima adalah
kata Latin untuk soul dalam bahasa Inggris. Animisme adalah kepercayaan,
bahwa segala sesuatu memiliki jiwa (dan mungkin perasaan dan niat) dan
berlaku untuk semua hewan, tumbuhan, benda-benda dan bahkan bagian
dari alam seperti gunung dan mata air. Masyarakat purba pada masa itu
melihat diri mereka sebagai bagian dari alam dan bukan di atas atau
terpisah (lihat pendapat Frijcof Capra). Benda-benda alam tersebut harus
dihormati, sehingga tidak mengganggu kehidupan manusia. Bentuk peng-
hormatan tersebut bisa berupa pemberian sesaji dan juga melakukan
pemujaan. Animisme telah dikenal semenjak era Paleolitik Atas atau kurang
lebih 40 ribu hingga 100 ribu tahun sebelum Masehi, dimana waktu itu
masyarakat belum mengenal agama. Roh yang keluar dari tubuh manusia
dinamakan arwah. Arwah tadi akan terus hidup di dunia arwah dengan
kehidupan sebagaimana kehidupan manusia di dunia. Para arwah di-
pandang juga bisa menetap di dalam kubur yang akibatnya ditakuti dan
dikeramatkan. Untuk para arwah dari orang terpandang, misalnya, kepala
suku atau dukun dipandang sebagai arwah suci, sehingga harus dihormati
seperti halnya dengan arwah dari nenek-moyang mereka. Singkatnya, para
penganut animisme mempercayai hal-hal yang tidak bisa dinalar manusia
dan bersifat kurang masuk akal.
2) Paham Dinamisme
Dinamisme berasal dari bahasa Yunani dunamos atau dinamo yang
mempunyai arti kekuatan atau daya. Kepercayaan dinamisme adalah
kepercayaan yang menyakini, bahwa semua benda-benda yang ada di dunia
ini, baik hidup maupun mati mempunyai daya dan kekuatan ghaib. Benda-
benda tersebut dipercaya dapat memberi pengaruh baik dan pengaruh
buruk bagi manusia.
Dinamisme (dalam kaitan agama dan kepercayaan) adalah pemujaan
terhadap roh nenek moyang yang telah meninggal menetap di tempat-
tempat tertentu, seperti pohon-pohon besar. Arwah nenek moyang itu
sering dimintai pertolongannya untuk urusan mereka. Caranya adalah
dengan memasukkan arwah-arwah mereka ke dalam benda-benda pusaka
seperti mustika delima, kris pusaka atau benda-benda pusaka lainnya. Ada
juga yang menyebutkan, bahwa dinamisme adalah kepercayaan yang
mempercayai terhadap kekuatan yang abstrak yang berdiam pada suatu
benda. Saya ambil contoh maggiri’ bagi komunitas bissu di Pangkajenne
Kepulauan. Mereke menusuk badannya dengan keris pusaka dan memang

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 228


badannya tidak tertusuk oleh keris pusaka tersebut. Konon, karena pe-
mimpin bissu sudah mengisi keris tersebut dengan mantra-mantra (mana)63.
Benda-benda yang berisi mana disebut fetisyen yang berarti benda sihir.
Benda-benda yang dinggap suci ini, misalnya pusaka, lambang kerajaan,
tombak, keris, gamelan dan sebagainya akan membawa pengaruh baik bagi
masyarakat; misalnya suburnya tanah, hilangnya wabah penyakit, menolak
malapetaka dan sebagainya. Antara fetisyen dan jimat tidak terdapat
perbedaan yang tegas. Keduanya dapat berpengaruh baik dan buruk,
tergantung kepada siapa pengaruh itu hendak ditujukan. Perbedaannya,
jika jimat pada umumnya dipergunakan di badan dan bentuknya lebih kecil
dari pada fetisyen. Contoh fetisyen adalah panji Kiai Tunggul Wulung dan
Tobak Kiai Plered dari Keraton Yogyakarta.
Dinamisme adalah kepercayaan pada kekuatan gaib yang misterius.
Tujuan beragama pada dinamisme adalah untuk mengumpulkan kekuatan
gaib atau mana sebanyak mungkin. Dinamisme adalah paham atau keper-
cayaan, bahwa pada benda-benda tertentu baik benda hidup atau mati,
bahkan juga benda-benda ciptaan (seperti tombak dan keris) mempunyai
kekuatan gaib dan dianggap bersifat suci. Benda suci itu mempunyai sifat
yang luar biasa (karena kebaikan atau keburukannya), sehingga dapat me-
mancarkan pengaruh baik atau buruk kepada manusia dan dunia sekitar-
nya. Dengan demikian, di dalam masyarakat terdapat orang, binatang,
tumbuh-tumbuhan, benda-benda dan sebagainya yang dianggap mem-
punyai pengaruh baik dan buruk dan ada pula yang tidak. Mitos meompalo
karella’e di Soppeng dan Sidrap dan meompalo lotongnge di Sinjai dan
Bulukumba merupakan contoh dari adanya pengaruh baik dan buruk yang
ditimbulkan oleh seekor kucing. Kucing dianggap sebagai representasi dari
dewa Sang Hyang Seri diyakini dapat menghadir rezeki bila dipelihara baik-
baik dan dapat pula menimbulkan malapetaka, jika menganiaya atau
membunuh seekor kucing.
3) Paham Totemisme
Dalam masyarakat pra-sejara dikenal paham animisme dengan ang-
gapan, bahwa binatang-binatang juga mempunyai roh. Hal ini disebab-kan
oleh anggapan, bahwa di antara binatang-binatang tersebut ada yang lebih
kuat dari manusia (gajah, buya dan kerbau), ada pula yang larinya lebih
cepat dari manusia (singa dan sejenisnya), ada pula binatang yang
bersahabat dengan manusia (kucing, anjing, burung dan sebagainya) dan
63
Lihat Haviland (1993: 199-200) orang Melanesia menganggap mana sebagai kekuatan
yang terdapat pada semua obyek. Mana sendiri tidak bersifat fisik, tetapi dapat
mengungkapkan diri secara fisik. Sukses prajurit dalam pertempuran, misalnya, tidak
dianggap berasal dari kekuatannya sendiri, tetapi mana yang terdapat di dalam jimat
para prajurit yang tergantung di lehernya.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 229


ada pula yang bermanfaat bagi manusia: kerbau untuk bajak sawah, unggas
sebagai sumber protein, kuda dan sapi sebagai binatang lomba dan
sebagainya. Pendeknya, banyak yang mempunyai kelebihan dibandingkan
dengan manusia, sehingga muncul perasaan takut atau juga menghargai
binatang-binatang tersebut. Itulah sebabnya orang Sumatera menyebut
macan dengan sapaan nenek dan orang orang Bugis-Makassar menyebut
buaya dengan sapaan tori salo. Kedua sapaan tersebut dipersonifikasi denga
maksud menjalin kedekatan emosional antara manusia dengan kedua
binatang tersebut. Banyak orang Bugis yang dilarang mengkonsumsi bale
balana’ (ikan salmon), karena dianggap berjasa dalam menyembukan
penyakit kanker payu darah nenek moyang mereka (lampe’ susu). Bagi
masyakat Lagosi desa Pammana Kabupaten Wajo dilarang mengkonsumsi
tedong buleng (kerbau albino), karena dianggap berjasah menyembuhkan
penyakit kusta putri raja Luwu yang diasingkan kesana. Sebaliknya, banyak
pula binatang yang bermanfaat bagi manusia, seperti; kerbau, sapi, kambing
dan sebagainya. Dengan demikian, hubungan antara manusia dengan
hewan dapat berupa hubungan permusuhan berdasarkan takut-menakuti,
ada pula hubungan baik, hubungan persahabatan, bahkan hu-bungan
keturunan (totemism), seperti halnya dengan mitos tori salo di atas. Itulah
sebabnya, pada bangsa-bangsa di dunia terdapat kebiasaan meng-hormati
binatang-binatang tertentu untuk dipuja dan dianggapnya seketu-runan.
Sapaan tori salo bagi orang Bugis dimaksudkan, bahwa jenis buaya yang
berjari lima itu adalah buaya keturunan manusia. Totem berupa benda dan
mahluk hidup dilarang memakannya. Sapi di India dilarang keras
mengkosumsinya, karena di anggap sebagai binatang pemujaan dan sebagai
binatang suci bagi mereka. Hubungan di antara penduduk India dengan
lembu sangat deat, sehingga mereka merayakan hari khusus untuk lembu
yaitu Mattu Ponggal. Ritual Ponggal merupakan hari perayaan di mana para
petani di India mengucap terima kasih kepada bumi, air, angin dan
matahari. Ritual Mattu Ponggal ucapan terima kasih kepada dewa, karena
telah selesai melakukan aktifitas turun kesawah. Lembu-lembu yang habis
mereka gunakan membajak di sawah dan kebun dimandikan, dihiasi dan
diberi makanan, manisan. Ketika seorang bayi lahir di India hanya dua jenis
susu yang boleh diminum yaitu air susu ibunya dan susu lembu. Bukan
hanya itu, semua anak-anak dandan orang dewasa diwajibkan untuk
meminum susu lembu. Jadi, larang untuk mengkonsumsi daging lembu ada
kaitannya dengan ancaman berkurangnya produksi susu, karena lembu
produser susu menjadi berkurang. Jadi dari kecamata ilmiah, larang
memotong lembu tidak hanya disebabkan oleh kesakratisan lembu-lembu
tersebut, melainkan nilai ekonomi yang terkandung di dalam lembu
tersebut.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 230


4) Paham Politeisme
Politeisme adalah bentuk kepercayaan yang mengakui adanya lebih
dari satu Tuhan. Secara harfiah berasal dari bahasa Yunani poly + theoi, yang
berarti banyak tuhan. Lawan dari paham ini adalah monoteisme, atau
kepercayaan yang hanya mengakui satu Tuhan.
Politeisme barasal dari bahasa Yunani  (banyak) dan (Tuhan). Istilah
ini pertama kali dipakai oleh penulis Yahudi Philo dari Alexandria untuk
membantah orang-orang Yunani. Saat penyebaran agama Kristen di seluruh
Eropa dan Mediterania, bangsa atau agama non-Yahudi dianggap kafir atau
kasarnya penyambah berhala atau orang-orang musyrik yang terkutuk,
karena menyembah dewa-dewa palsu. Penggunaan istilah ini pertama kali
dihidupkan kembali dalam bahasa Prancis melalui Jean Bodin pada tahun
1580, diikuti oleh Samuel Purchas dalam bahasa Inggris pada tahun 1614.
Ada beberapa hal yang perlu saya jelaskan tetang paham politeisme
tersebut;
a) Para dewa dan ketuhanan
Para dewa politeisme sering digambarkan sebagai tokoh yang
kompleks dari status yang lebih besar atau lebih kecil, dengan keterampilan
individu, kebutuhan, keinginan dan sejarah. Dalam banyak hal mirip
dengan manusia (antropomorfik) dalam kepribadian, kemampuan, penge-
tahuan atau persepsi. Syirik tidak dapat dipisahkan dengan bersih dari
kepercayaan animisme lazim di kebanyakan agama primitif. Para dewa
politeisme dalam banyak kasus memiliki urutan tertinggi dari kontinum
makhluk gaib atau roh. Mahluk-mahluk tersebut mungkin termasuk nenek
moyang, gaib, wight dan lain-lain. Dalam beberapa kasus, roh ini dibagi ke
dalam kelas langit (chthonic) dan keyakinan akan keberadaan semua
makhluk ini tidak berarti, bahwa semua disembah.

b) Politeisme-Gambaran Umum
Politeisme adalah kepercayaan dan penyembahan banyak dewa.
Biasanya, dewa-dewa ini dibedakan berdasarkan fungsi-fungsi tertentu dan
sering mengambil karakteristik manusia. Ini terutama berlaku di Yunani
dan Romawi kuno. Dalam budaya politeistik lainnya seperti Mesir kuno,
dewa mengambil bentuk dan karakteristik benda-benda yang ditemukan di
alam, termasuk pohon, ramuan suci, ternak, hewan dan hewan peliharaan
manusia.
Kepercayaan pada beberapa dewa adalah hasil dari kepercayaan
sebelumnya pada roh, mahluk gaib dan kekuatan supranatural lainnya.
Sistem kepercayaan ini mirip dengan animisme, pemujaan leluhur dan
totemisme. Akan tetapi, dalam politeisme, kekuatan-kekuatan supranatural

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 231


ini dipersonifikasikan dan diorganisasikan ke dalam rumpun kosmik.
Keluarga dewa ini menjadi inti dari sistem kepercayaan budaya tertentu.
Keluarga dewa digunakan untuk menjelaskan fenomena alam dan untuk
membangun peran budaya di alam semesta. Biasanya, jumlah dewa akan
meluas ketika sistem keyakinan budaya berkembang, yang akhirnya meng-
hasilkan sistem hierarki dewa. Seiring waktu, dewa-dewa yang lebih rendah
akan berkurang perawakannya atau menghilang sama sekali.
c) Politeisme - Dunia Kuno
Politeisme tersebar luas di dunia kuno. Orang Mesir memiliki sistem
kepercayaan yang sangat maju yang didasarkan pada beberapa dewa.
Dewa-dewa ini merupakan batu pijakan budaya Mesir dan masih mem-
pesona kita hingga hari ini. Orang Yunani kuno juga memiliki sistem mitos
yang rumit berdasarkan berbagai dewa. Para dewa Yunani sering meng-
ambil bentuk dan kepribadian manusia dan dalam banyak kasus, secara
langsung mengganggu kegiatan manusia. Ketika Kekaisaran Romawi me-
naklukkan orang-orang Yunani, orang-orang Romawi berasimilasi dengan
banyak budaya politeistik Yunani. Seiring waktu, ketika pengaruh Roma
menyebar, ia menyerap dewa-dewa lain dari budaya lain yang ditakluk-
kannya. Selain Mesir, Yunani dan Roma, politeisme tersebar luas di budaya
Asia, Afrika, Eropa dan Pribumi Amerika kuno.
d) Politeisme Dunia Modern
Polytheisme masih mewakili sebagian besar dunia saat ini. Kecuali
agama monoteis (kepercayaan pada satu Tuhan). Agama Kristen, Yudaisme
dan Islam dan sebagian besar agama dunia adalah sangat politeistik. Poli-
teisme mencirikan kepercayaan Hinduisme, Buddhisme Mahayana, Konfu-
sianisme, Taoisme dan Shintoisme di Timur, termasuk juga agama suku
kontemporer di Afrika dan Amerika. Agama-agama ini dipraktekkan secara
luas di seluruh dunia dan tetap sangat populer di wilayah leluhur mereka.
Beberapa keyakinan politeistis juga populer di Peradaban Barat saat
ini. Ini tampaknya merupakan hasil dari meningkatnya imigrasi budaya
Timur dan popularitas mainstream pluralisme New Age. Tidak seperti
doktrin Kristen, Yahudi dan Islam, jarang ada kebenaran absolut yang
terkait dengan pemikiran politeisme. Ide-ide moralitas (pengertian tentang
benar dan salah) relatif terhadap individu atau budaya. Setiap orang bebas
untuk menyembah dewa pilihannya sesuai dengan kesukaannya. Akibat-
nya, setiap orang bebas untuk berperilaku sesuai keinginannya. Meskipun
sistem politeistik memberikan fleksibilitas dan kurangnya akuntabilitas
relativistik, mereka sering meninggalkan pengikut tanpa rasa tujuan akhir
dan tidak ada prospek untuk harapan abadi. Iman monoteistik seperti
Kekristenan mengajarkan, bahwa kebenaran absolut adalah kenyataan,
manusia ada di bumi untuk suatu tujuan. Keselamatan kekal atau abadi

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 232


adalah mungkin bagi mereka yang mencari hubungan yang didamaikan
dengan satu Allah yang benar.
Politeisme adalah kepercayaan kepada dewa-dewa. Tujuan beragama
dalam politeisme bukan hanya memberi sesajen atau persembahan kepada
dewa-dewa itu, tetapi juga menyembah dan berdoa kepada mereka untuk
menjauhkan amarahnya dan memberikan rahmat bagi masyarakat yang
bersangkutan.
5. Paham Henoteisme
Menurut Mark S. Smith (2008), bahwa pada mulanya, istilah heno-
teisme digunakan untuk melihat sistem kepercayaan di Mesir dan Israel.
Mesir dan Israel memperlihatkan sistem kepercayaan kepada satu dewa.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana melihat perbedaan dari sistem
kepercayaan tersebut. Pertanyaan ini menuntut sebuah jawaban yang
didasarkan pada pertimbangan yang matang. Istilah henoteisme merupakan
sebuah usaha untuk merangkul perbedaan dari sistem kepercayaan ter-
sebut. Dalam dunia akademis, istilah ini muncul dalam diskusi agama-
agama. Istilah henoteisme muncul pada abad 19 oleh seorang yang bernama
F. Max Muller. Tokoh lain yang memakai istilah henoteisme sebelum F. Max
Muller adalah Friedrich Schelling. F. Max Muller menggunakan istilah
henoteisme untuk memahami bahwa ada satu dewa yang berkuasa di atas
dewa-dewa lain. Kuasa ini yang memungkinkan dewa ini memiliki posisi di
atas dewa-dewa lainnya (Mark S. Smith. 2008 dan Mariasusai Davamhony,
1995). Ide tentang henoteisme ini muncul saat Muller membaca kitab Weda.
Selain F. Max Muller, tokoh lain yang juga memakai istilah henoteisme
adalah Henk S. Versnel. Versnel memakai istilah henoteisme untuk mem-
baca sistem kepercayaan di Romawi. Bagi Versnel, istilah henoteisme cocok
dengan sistem kepercayaan di Romawi.
Henoteisme adalah suatu pemahaman, bahwa hanya ada satu dewa
yang berkuasa di dalam dunia tanpa memungkiri akan keberadaan dewa-
dewa lainnya (Gea, 2004 dan Badudu, 2003). Henoteisme juga dipahami se-
bagai sebuah tahap keagamaan yang berada di antara politeisme ke mono-
teisme (Macdonald, 2012). Tahap keagamaan yang dimaksud adalah Tahap
perubahan keyakinan dari keyakinan, bahwa ada banyak dewa yang ber-
kuasa (politeisme) sampai keyakinan, bahwa hanya ada satu dewa berkuasa
(monoteisme). Henoteisme sinonim dengan monolatrisme. Secara implisit,
pemahaman henoteisme ini dapat ditemukan di dalam salah satu tokoh
Alkitab yaitu Musa. Dalam kaitannya dengan ibadah atau penyembahan,
henoteisme dilihat sebagai suatu ibadah yang secara temporal dilakukan
terhadap satu dewa yang dianggap berkuasa. Namun, dewa yang dianggap
berkuasa tersebut menyerap dewa-dewa lainnya.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 233


Paham Henoteisme secara sederhana dipahami sebagai pemahaman
tentang satu dewa yang berkuasa, tetapi tetap mengakui keberadaan dewa-
dewa lain (Macdonald, 2012). Akan tetapi, ada banyak sudut pandang
tentang pengertian henoteisme (Gea. 2004). Salah satunya adalah sudut
pandang yang melihat, bahwa henoteisme adalah sebuah pemahaman yang
menyatakan hanya ada satu dewa yang berkuasa di dunia ini. Akan tetapi,
perlu dipahami, bahwa penguasa di satu tempat berbeda dengan penguasa
di tempat lain. Ada pula sudut pandang yang melihat, bahwa henoteisme
adalah sebuah pemahaman yang menyatakan, bahwa hanya ada satu dewa
yang berkuasa di dunia, tetapi dewa itu hanya berlaku pada masa tertentu.
Pada masa yang lain, dewa lain yang akan berkuasa. Jadi, ada semacam
suksesi pergantian kekuasaan para dewa.
5) Paham Monoteisme
Monoteisme adalah faham yang meyakini Tuhan itu tunggal dan
personal, yang sangat ketat menjaga jarak dengan ciptaan-Nya. Paham
seperti ini, terutama diyakini oleh para penganut agama wahyu yaitu Islam.
Islam hanya mengakui Allah itu hanya satu. Allah tidak diperanakkan dan
tidak memiliki anak. Allah tidak boleh disamakan dengan suatu, karena
Allah memang Cuma, sehingga sangat dilarang untuk mempersekutukan-
Nya.
e. Agama dalam Pandangan Para Ahli
Dalam kehidupan sehari-hari kadang-kadang sulit dibedakan mana
perbuatan yang sesuai dengan agama dan mana yang tidak. Perlu juga saya
sampaikan di sini, bahwa buku ini tidak membahasa hanya satu agama.
Dengan demikian, dapat saya katakan pula, bahwa buku ini membahas dan
mengambil contoh-contoh dari beberapa agama, yang berkenaan dengan
topik yang dibahas dalam buku ini.
Perlu saya jelaskan di sini sebelumnya, bahwa agama dalam pem-
bahasan ilmu budaya adalah keberagamaan bukan agama seperti yang
dipelajari dalam ilmu agama dan teologia. Jadi, yang menjadi pokok bahas-
an di dalam buku Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar adalah mengapa tingkah
laku manusia dalam melaksanakan agamanya bervariasi ? Mengapa ma-
nusia harus memiliki agama ?
Pertanyaan selajutnya adalah tentang eksistensi agama dan kebu-
dayaan. Banyak orang berpendapat, bahwa agama adalah agama dan bukan
kebudayaan. Sebaliknya ada pula yang mengatakan, bahwa agama pada
prinsipnya adalah bagian dari agama. Dengan demikian, muncul pertanya-
an apakah agama adalah kebudayaan atau agama bagian dari kebudayaan
ataukah dalam setiap kebudayaan, atau agama adalah bagian yang paling
berharga dari seluruh kehidupan sosial ?
Menurut Emile Durkheim (Beliharz, 2003), bahwa agama tidak pernah

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 234


lepas dari argumentasi agama sebagai bagian dari fakta sosial64. Selain itu,
Emile Durkheim dalam studinya menghasilkan dua konsep tentang
agama, yaitu: yang sakral (sacret) dan yang sosial (profan). Konsep ini-
lah yang mengangkat namanya sejajar dengan beberapa ahli sosiologi
dan antropologi agama. Ia pun kemudian disebut sebagai bapak fase
teori sosiologi modern yang paling utama. Ia pun kemudian setara dengan
Max Weber dan Sigmund Freud (Pals, 19..) dalam pemikiran sosiologi dan
antropologi abad ke-20. Sosok Durkheim dianggap sebagai ilmuwan per-
tama yang memperkenalkan konsep fungsi sosial dari agama. Para ahli
sosiologi modern lebih memilih konsep Emile Durheim untuk mendefinisi-
kan fungsi-fungsi sosial agama, yaitu: Fungsi solidaritas sosial, memberi arti
hidup, control sosial, perubahan sosial dan dukungan psikologi. Emile
Durkheim membangun suatu kerangka yang luas untuk analisis sistem
sosial yang penting bagi sosiologi dan disiplin ilmu yang berkaitan.
Emile Durkheim dalam bukunya berjudul The Elementary Forms of
Religious Life, yang merupakan peletak dasar-dasar sosiologi agama.
Durkheim juga meneliti dan menganalisis masalah agama dan menukik
lebih kedalam tentang hal-hal yang paling primitif. Masyarakat pada
umumnya hanya melihat agama sebagai sesuatu sakralnya saja dan dia
memisahkannya dari hal-hal yang profan (bersifat umum). Durkheim juster
sebaliknya, karena dia melihat sesuatu yang profan itu sebagai sesuatu
yang sakral dan sangat istimewa. Sekalipun demikian, ia tetap
mempertahankan esensial agama yang ada, serta mengungkapkan realitas
sosialnya.
Menurut Durkheim, bahwa agama itu ada. Ia tidak pernah berfikir,
bahwa agama itu tidak ada (Ritzar dkk., 1997). Akan tetapi, disisi lain dia
tidak percaya dengan realitas supranatural yang telah menjadi pedoman
agama tersebut. Durkheim juga berfikir, bahwa sebenarnya masyarakat
hanya berpegang pada pemahaman reliius masyarakat itu sendiri, yang
menganggap Tuhan hanya sebagai simbol atau formalitas yang seharusnya
berseberangan dari pemikiran itu. Dengan kata lain, bahwa masyarakat
merupakan sumber dari segala kesakralan itu sendiri.
Menurut Durkheim, bahwa yang sakral bukan benda itu, melainkan
berbagai sikap dan perasaan (manusianya) yang memperkuat kesakralan
benda-benda itu. Dengan demikian kesakralan terwujud, karena sikap

64
Fakta sosial (social fact) adalah sebuah fakta yang berkenaan dengan hakekat interaksi,
nilai dan proses sosial yang dapat diidentifikasikan (Al-Barry, 2000: 81). Koentjara-
ningrat dkk. (2003: 61) memandang fakta sosial sebagai fakta yang berhubungan dengan
gejala masyarakat.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 235


mental yang didukung oleh perasaan. Perasaan kagum itu sendiri sebagai
emosi sakral yang paling nyata. Ia adalah gabungan antara pemujaan dan
ketakutan. Perasaan kagum itu menyebabkan daya tarik dari rasa cinta dan
penolakan terhadap bahaya. Demikian juga sebaliknya hal-hal yang biasa
tidak mengandung misteri atau mengagungkan di sebut sebagai profan.
David Emile Durkheim muncul sebagai pahlawan dalam kekalahan
Prancis dan Rusia, terutama terhadap dekadensi yang melanda negara dan
bangsa Perancis, khususnya dalam bidang moral. Ia dalam studinya lebih
banyak dipengaruhi oleh A. Comte. Menurut Lukes, bahwa pengaruh
Comte terhadap Durkheim bersifat fomatif. Unsur yang paling penting
adalah perluasan sikap ilmiah terhadap studi tentang masyarakat, seperti
ditulis oleh Durkheim dalam tesisnya tentang sumbangan Montesqieue bagi
lahirnya sosiologi juga masih di dalam bayang-bayang Comte.
Durkheim dalam studinya menghasilkan dua teori moral. Emile
Durkheim mengambil jalan tengah dan menghapus jarak antara manusia
dan alam. Hal ini yang memungkinkan penjelasan tentang moral dan religi
dengan cara pandang sosiologi. Ia setuju dengan kaum Idealis, bahwa pe-
ngalaman moral ini tidak dapat dikembalikan pada alam. Ia juga sepen-
dapat dengan aliran Naturalis dengan menempatkan gejala-gejala kema-
nusiaan seperti kebudayaan, pengetahuan, masyarakat, religi dan moral
dalam dunia alam. Dalam pandangan filsafatnya yang kedua yaitu realisme,
Durkheim mengakui, bahwa masyarakat sebagai suatu kenyataan.

Ada beberapa pendapat tentang paham-paham keagamaan, baik


dalam ruang lingkup manusia primitif maupun modern dengan pendeka-
tannya masing-masing, sebagai berikut:
1) Pendekatan Intelektualis
Pendekatan ini, berasal dari studi klasik Edward Tylor dan James
Frazer yang menunjukkan, bahwa agama dapat dipahami sebagai cara
untuk menjelaskan peristiwa di dunia. Seperti yang dikatakan oleh Robin
Horton (1971: 94), keyakinan agama adalah sistem teoritis yang dimaksudkan
untuk penjelasan, prediksi dan kontrol acara ruang-waktu. Demikian Horton me-
nganggap pemikiran agama Afrika sama dengan ilmu pengetahuan. Evans-
Pritchard studi klasik tentang sihir Azande dipandang sebagai contoh gaya
analisis ini. Pendekatan agama seperti ini memandang, bahwa agama itu
sangat parsial. Penjelasan tentang peristiwa religius hampir tidak masuk
akal bila dibandingkan dengan yang ada dalam sains (Morris, 1987 :91–106
dan 304–9; Horton, 1993).
2) Pendekatan Emosionalis
Teori-teori psikologi agama memiliki sejarah panjang akan kembali ke
Hume dan Spinoza. Pendekatan ini menunjukkan, bahwa agama merupa-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 236


kan respons terhadap tekanan emosional. Dengan demikian, agama ber-
fungsi untuk mengurangi ketakutan dan kecemasan. Fungsionalisme
biologis Malinowski dan teori psikoanalitik Freud adalah contoh klasik dari
pendekatan terhadap agama ini dan sihir. Sekalipun Wittgenstein meng-
anggap, bahwa setiap upaya untuk menjelaskan kehidupan sosial adalah
'salah'. Dia juga berpikir, seperti halnya positivis logis lainnya, bahwa ritual
religius terutama memiliki fungsi katarsis (Tambiah, 1990: 56-7).
3) Pendekatan Strukturalis
Claude Levi-Strauss (1963 dan 1969) menjadi tokoh utama dalam pen-
dekatan ini, sehingga namanya selalu diidentifikasikan dengan karya-karya
penting dalam bidang strukturalis. Paradigma strukturalisme Levi-Strauss
dalam antropologi memberi kemudahan kepada kita untuk mengungkap
berbagai fenomena budaya yang terjadi dan diekspresikan oleh berbagai
suku pemilik kebudayaan, termasuk juga seni di dalam budaya. Pokok atau
fokus bahasa dari Levi-Strauss adalah pada bentuk (pattern) dari kata.
Menurut Levi-Strauss bentuk-bentuk kata, erat kaitanya dengan bentuk atau
susunan sosial masyarakat. Konsep oposisi biner dianggap sebagai konsep
yang sama dengan organisasi pemikiran manusia dan kebudayaan. Levi-
Strauss juga mengutip beberapa konsep dari Ferdinan de Saussure, seperti:
tanda bahasa yang terdiri dari signifier (penanda) yang berwujud bunyi dan
signified (petanda) dan juga konsep langue dan parole serta aspek sintagmatik
dan paradigmatic. Selain itu Lévi-Strauss juga membedakan struktur men-
jadi dua macam (lihat Noam Chomsky); struktur luar (surface structure) dan
struktur dalam (deep structure). Selanjutnya ia juga mengembangkan teori-
nya dalam analisis mitos. Asumsi dasar strukturalisme Levi-Strauss mene-
kankan pada aspek bahasa. Struktur bahasa mencerminkan struktur sosial
masyarakat. Disamping itu kebudayaan juga diyakini memiliki struktur
sebagaimana yang terdapat dalam bahasa yang digunakan dalam suatu
masyarakat.
4) Pendekatan Interpretatif
Pendekatan interpretatif digambarkan sebagai semantik, simbolis, se-
miotik, atau hermeneutik, mewakili perkembangan, serta reaksi terhadap
sosiologis sebelumnya pendekatan agama, terutama struktural-fungsiona-
lisme. Antropologi interpretatif menempatkan penekanan pada agama se-
bagai sistem budaya atau simbolis. Pendekatan simbolis atau interpretatif
ini erat kaitannya dengan karya Clifford Geertz (1975), yang juga banya
dianut oleh sarjana lainnya; Mary Douglas, Marshall Sahlins, John Beattie,
Victor Turner dan Stanley Tambiah. Meskipun pendekatan interpretatif
adalah bagian penting dan integral dari 'warisan ganda' antropologi, namun
penganut pendekatan simbolis atau hermeneutik ini cenderung menolak
ilmu sosial dan analisis komparatif. Mereka justru merangkul seorang yang

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 237


agak idealis metafisika, yang anti realist dan menyiratkan epistemologis
ekstrem relativisme, yang lebih banyak berkenaan dengan masalah
keagamaan (Geertz 1975; Morris, 1987: 203–63; Hamilton, 2001: 177–84).
5) Pendekatan Kognitif
Dalam beberapa dekade terakhir, beberapa antropolog antusias meng-
ikuti sosiobiologi dan cabang-canangnya, psikologi evolusioner, sebagai
strategi untuk menggenjot antropologi agama menkadi studi saintifik yang
benar-benar ilmiah. Ide dasarnya adalah, bahwa sistem keagamaan bisa
dijelaskan dalam hal karakteristik psikologi manusia dasar atau panbudaya
(Hinde, 1999: 14). Penekanannya terletak pada mekanisme kognitif atau
kecenderungan yang telah adaptif dalam arti biologis, yaitu dalam membina
kelangsungan hidup atau keberhasilan reproduksi manusia di masa lalu.
Keyakinan dan ritual agama dideskripsikan sebagai counter-intuitive, yaitu
bertentangan dengan asumsi yang masuk akal dan pengalaman, tetapi tetap
sebagai ‘alami’; dan penjelasan untuk keyakinan dan ritual semacam itu
dapat ditemukan dengan cara semua pikiran manusia bekerja (Boyer, 2001:
3). Namun, ‘pikiran’, menurut pendekatan ini, tidak sekadar ‘kosong slate
’di mana budaya menulis skenarionya, tetapi terdiri dari‘ keseluruhan
variasi mekanisme kognitif yang secara kolektif tidak hanya menjelaskan
keberadaan agama konsep tetapi juga ketekunan mereka dalam budaya
manusia, serta menjelaskan di mana agama telah muncul dalam sejarah
manusia (Boyer, 2001: 342). Bahkan ateisme dijelaskan dengan mengacu
pada mekanisme kognitif yang sama dan mungkin Teori Boyer sendiri juga.
Pascal Boyer cenderung meremehkan pendekatan lain untuk agama --- inte-
lektualis, emosionalis, sosiologis --- dan membuat lebih baik klaim muluk
untuk pendekatan kognitif. Pada dasarnya pendekatan ini adalah atomistik
dan tampaknya tidak ada faktor penengah, seperti agensi manusia dan
kehidupan sosial --- antara unit budaya atau meme. Meme adalah simbol
budaya atau ide sosial yang ditransmisikan secara viral. Sebagian besar
meme modern adalah foto bertepi yang dimaksudkan untuk menjadi lucu,
seringkali sebagai cara untuk mengolok-olok perilaku manusia. Meme
lainnya dapat berupa video dan ekspresi verbal. Beberapa meme lebih berat
dan lebih filosofis.
Pendekatan kognitif lebih lanjut diungkapkan oleh Stewart Guthrie
(1993), yang menyarankan bahwa semua agama adalah semacam anthro-
pomorphism, yang mensitribusi karakteristik manusia ke hal-hal dan peris-
tiwa bukan manusia. Jadi, ia juga memandang agama sebagai dasar ilusi.
Meskipun antropomorfisme itu digembar-gemborkan sebagai teori baru
tentang agama --- Max Muller demikian juga Levi-Strauss --- jauh lebih awal
mendefinisikan dalam istilah yang sama yaitu personifikasi atau fenomena
antropomorfisme alam (Boyer, 1993; McCauley dan Lawson, 2002).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 238


6) Pendekatan Fenomenologis
Ini adalah pendekatan klasik dalam studi agama. Pada dasarnya ber-
asal dari tulisan-tulisan filsuf Jerman Edmund Husserl. Hal ini telah banyak
ditulis dan dibahas dalam karya Rudolf Otto, Carl Jung, Gerardus Van Der
Leeuw dan Mircea Eliade. Fenomenologi pada intinya menyiratkan metode
filosofis untuk mencoba mendeskripsika secara netral tentang peng-alaman
manusia. Ini pada dasarnya memerlukan dua langkah: 1) gagasan (epoche)
penangguhan penilaian sebelumnya dan sikap alami (bracketing). Jadi fokus
kajian pendekatan ini berada pada pengalaman sadar (conscious), yang
memungkinkan fenomena untuk berbicara sendiri, 2) gagasan intuisi eidetik,
yang dapat ditemukan melalui intuisi terhadap makna penting dari
fenomena tersebut. Di beberapa dekade terakhir banyak antropolog secara
eksplisit bergabung ke fenomenologi, meskipun dengan istilah ini mereka
tidak bermaksud 'sains ketat' Husserl, melainkan sebuah penolakan ilmu
sosial dan analisis komparatif dan fokus sempit pada interpretasi fenomena
budaya melalui deskripsi tebal atau hermeneutika.
Ironisnya, sementara banyak antropolog postmodern telah memeluk
faham fenomenologi dan teologi New Age, para sarjana studi agama,
sebaliknya, telah menekankan pentingnya mengembangkan yang lebih
sekuler dan pendekatan saintifik terhadap agama. Dalam prosesnya, mereka
telah menawarkan beberapa kritik yang meyakinkan dari pendekatan feno-
menologis terhadap agama, yaitu memperlakukan agama sebagai sui generis
dan sebagai wilayah otonom independen dari kehidupan sosial dan psiko-
logi manusia; saya t mengandaikan alam ilahi (atau entitas spiritual) bukan
sebagai konstruksi sosial tetapi memiliki realitas ontologis; ini menunjukkan
bahwa asal agama berada dalam pengalaman pribadi kekaguman atau
misteri; dan akhirnya, itu sepenuhnya bergantung pada pemahaman intuitif
dan dengan demikian mengabaikan pentingnya menjelaskan agama sebagai
fenomena sosial (Jensen dan Rothstein, 2000).
Perlu dicatat, tentu saja, ada banyak tumpang tindih dan umum tanah
di antara pendekatan strukturalis, interpretif dan fenomenologis untuk
agama, karena mereka semua memperlakukan agama sebagai sistem
simbolik yang dasarnya, bercerai dari dunia sosial politik dan ekonomi yang
lebih luas. Mereka berbeda dalam apa yang mereka cari mengungkap - kode
simbolik atau skema, makna budaya, arketipe, atau universal. Esensi Contoh
yang terakhir adalah suci (Eliade) atau iman pribadi (Cantwell Smith) - yang
hampir tidak mencerahkan apa-apa (Cox, 1992: 38–9). Apa yang penting
fenomenologi adalah bahwa hal itu menekankan pentingnya pendekatan
empati terhadap budaya lain dan kebutuhan untuk berjalan dalam mokasin
umat beriman, mengambil sudut pandang netral dan dengan demikian
melihat fenomena agama dari sudut pandang orang-orang itu sendiri.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 239


Antropolog seperti Boas dan Malinowski telah, tentu saja, mengadopsi
pendekatan fenomenologis ini jauh sebelum Husserl's renungan filosofis
tentang 'dunia kehidupan' manusia sehari-hari dan memang demikian
intrinsik untuk beasiswa antropologi (pada pendekatan fenomenologis
untuk agama, lihat Morris 1987: 174–81; Erricker, 1999).
7) Pendekatan Sosiologis
Ini adalah pendekatan yang diadopsi oleh sebagian besar ahli antro-
pologi dan sosiolog selama setengah abad terakhir dan itu pada dasarnya
berasal dari seminal tulisan-tulisan Karl Marx, Max Weber dan Emile
Durkheim. Dengan demikian termasuk klasik fungsionalisme struktural,
terkait dengan A. R. Radcliffe-Brown, Raymond Firth dan John Middleton;
pendekatan neo-Marxis yang diadvokasi oleh antropropologists sebagai W.
M. Van Binsbergen, Peter Worsley dan Maurice Godelier; dan sosiologi
historis yang diungkapkan oleh para sarjana neo-Weberian seperti Gananath
Obeyesekere dan Ernest Gellner. Karya banyak antropolog ini dibahas nanti
di ruang belajar. Inti dari semua pendekatan sosiologis adalah gagasan itu
agama pada dasarnya adalah fenomena sosial, konstruksi manusia dan
dengan demikian bisa hanya dipahami ketika ditempatkan dalam konteks
sosio-historisnya.
Keagamaan keyakinan dan nilai-nilai, praktik ritual dan struktur
organisasi dengan demikian dilihat sebagai produk-produk proses sosial
dan struktur sosial yang lebih luas pola-pola sosial hubungan. Oleh karena
itu, agama bukanlah ranah otonom dalam kehidupan sosial tetapi secara
intrinsik terkait dengan isu-isu seperti kesehatan, gender, identitas sosial
dan politik yang lebih luas ekonomi dan untuk proses sosial seperti
globalisasi dan hubungan antarkelompok.
Tentu saja, diakui bahwa agama, pada gilirannya, memengaruhi
kehidupan sosial dan budaya makna dalam berbagai tingkatan, apakah
sebagai ideologi melegitimasi penindasan kelas (Marx), atau berfungsi
untuk mempertahankan pola kehidupan sosial abadi (Durkheim), atau
sebagai faktor penting dalam kebangkitan kapitalisme (Weber). Pendekatan
sosiologis untuk agama karenanya selalu dikombinasikan pemahaman
interpretatif dengan sosiologis analisis. Sebagaimana yang terkenal oleh
Weber, sosiologi didefinisikan sebagai 'sains yang mencoba pemahaman
interpretatif tindakan sosial agar tiba pada penjelasan kausal tentang sebab
dan akibatnya.
Dengan demikian ini menyiratkan metode penyelidikan yang dikenal
sebagai Verstehen, pemahaman yang penuh empati makna subjektif (yaitu,
fenomenologi) serta menjadi terpusat peduli dengan penjelasan fakta sosial.
Raymond Firth telah secara meyakinkan menyatakan tujuan dari
antropologi sosial agama sebagai bidang penyelidikan, karena tidak hanya

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 240


terdiri dari pengamatan pribadi tetapi juga melibatkan 'benar-benar
mengambil bagian dalam praktik agama dari orang-orang yang ada
mempelajari dan pembahasan sistematis tentang keyakinan agama mereka
dengan mereka. Tapi itu juga melibatkan, dia menulis, mempelajari agama
dalam latar sosialnya dan mencatat parameter ekonomi dan politik untuk
ide dan operasi keagamaan (1996, 3). Itu pernyataan paling ringkas dari
pendekatan sosiologis terhadap agama diungkapkan oleh Beckford dalam
menyarankan bahwa itu mempelajari proses di mana agama, dalam segala
hal variasi dan kompleksitas, terjalin dengan fenomena sosial lainnya.
Pendekatan sosiologis terhadap agama telah banyak dikritik oleh
hermeneutika sarjana yang menyarankan bahwa analisis sosiologis seperti
itu tidak sepenuhnya terlibat dalam drama dan intensitas ritual keagamaan
dan simbolisme dan melibatkan pengenaan teori dan kategori barat atas
data etnografi (Fernandez, 1978).
Meskipun seseorang dapat mengakui wawasan yang ditawarkan oleh
etnografi yang sangat bertekstur ritual khusus dalam konteks etnis yang
sempit, antropolog seperti Van Binsbergen membela pendekatan sosiologis
yang lebih sintetik. Dia menunjukkan bahwa studinya sendiri, seperti para
sarjana seperti Firth, Horton dan Middleton, muncul dari pekerjaan
lapangan yang bersifat eksperiensial dan partisipatif dan yang satu itu tidak
dapat mengejar jenis antropologi apa pun di luar intelektual barat tradisi
(Van Binsbergen 1981, 34–6). Memang, memperlakukan ritual keagamaan
sebagai ranah otonom dan fokus secara eksklusif pada simbolisme, estetika
dan pengalaman idiosynkratik pribadi juga mencerminkan pengenaan nilai
barat dan keasyikan intelektual pada budaya lain. Dengan demikian kita
perlu menggabungkan hermeneutika dengan analisis sosiologis
E. Kebudayaan dan Ekonomi
1. Kebudayaan dan Ekonomi Setali Tiga Uang
Kebudayaan dan ekonomi tidak bisa dipisahkan satu dengan yang
lainnya sejak manusia ada di atas bumi ini. Kebudayaan adalah alat untuk
mewujudkan pemenuhan kebutuhan dasar (basic need) dari manusia untuk
melangsungkan kehidupan mereka. Ekonimi, di pihak lain, adalah sesuatu
yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pada intinya,
kebudayaan adalah atat manusia untuk menghadapai permasalahan
hidunya. Saya masih ingat konsep POJ (petik-olah-jual) yang dikemukakan
oleh Prof. DR. Ahmad Amiruddin, MA, mantan rektor Universitas Hasa-
nuddin.
Ada tiga wujud kebudayaan manurut James Spradley (1980) yaitu: 1)
Apa yang manusia pikirkan tentang sesuatu (cultural knowledge), 2) Apa
yang manusia lakukan (cultural behavior) dan 3) apa yang menjadi hasil
pikiran dan perilaku manusia (cutural artifact). Tentu saja ketiganya

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 241


digunakan untuk menghasilkan tiga aspek ekonomi: 1) Sumberdaya
manusia (means of human resources) sebagai pelaku ekonomi, 2) Produksi
barang (means of productions) dan 3) Hasil produksi untuk transaksi di pasar
(market demands).
2. Budaya dan Ekonomi dalam Pandangan Atropologi Ekonomi
Menurut Stephen (2001), bahwa antropologi ekonomi hadir untuk
kehidupan industri yang selalu berorientasi pasar global dan non-industri
yang tidak terlalu bersentuhan pasar global. Menurutnya, bahwa antropo-
logi ekonomi selalu memiliki dua alam: komunitas atau masyarakat sebagai
pelakunya dan dan pasar sebagai tempat trasaksinya. Kedua aspek tersebut
membentuk ekonomi, karena manusia termotivasi oleh pemenuhan kebu-
tuhan sosial, rasa ingin tahu, kesenangan penguasaan, serta tujuan instru-
mental, persaingan dan akumulasi keuntungan. Menurut Chris Hann and
Keith Hard (2011) antropolog bertujuan untuk menemukan prinsip-prinsip
organisasi sosial di setiap tingkatan dari yang paling khusus hingga yang universal.
Tujuan antropologi ekonomi pada abad ke-9, bahkan sebelum mengambil bentuk
sebagai ekonomi manusia primitif, adalah untuk menguji tatanan ekonomi yang
harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang menopang masyarakat industri Barat
yang berjuang untuk universalitas. Pencarian dilakukan untuk mencari alternatif
yang mungkin mendukung ekonomi yang lebih adil, baik liberal, sosialis, anarkis
atau komunis. Karena itu minat akan asal-usul dan evolusi, karena masyarakat ada
dalam gerakan. Antropologi adalah cara berpikir paling inklusif tentang
kemungkin-an ekonomi.
3. Ekonomi dalam Kehidupan Sosial Budaya
Tidak dapat dipungkiri, bahwa faktor ekonomi memegang peranan
penting dalam kehidupan manusia, yang mencakup banyak bidang dalam
hidup ini contohnya dalam bidang sosial budaya yang akan Saya jelaskan
hubungannya.
Faktor Ekonomi mampu mempengaruhi tingkat status sosial sese-
orang, yaitu: faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor keturunan dan
pekerjaan seseorang. Dengan demikian, tidaklah mengherankan bila di
Indonesia justru faktor ekonomi menjadi ukur status sosial seseorang.
Pola hidup seseorang meningkat sejalan dengan peningkatan tingkat
kekayaan yang dimilikinya. Pola hidup tersebut akan menjadi ciri pembeda
dengan orang yang tingkat ekonominya dibawah standar pada masyarakat
tersebut. Perbedaan tersebut juga dapat mempengaruhi selera (taste) sese-
orang berdasarkan status ekonomi yang mereka milik. Orang yang memiliki
tingkat ekonomi mapan umumnya memiliki selera yang tinggi pula dan
sebaliknya. Orang yang mapan ekonominya, bisanya memilih tempat
makan di restoran kelas papan atas. Mereka memilih maskapai penebangan
terkenal bila mau bepergian (Garuda untuk indonesia, SG Airline dan Dubai

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 242


Airliner untuk ke luar negeri). Ketika ingin menginap di satu tempat mereka
dipastikan memilih hotel berbintang lima. Ketika mereka ingin membeli
barang: pakaian bermerek, kendaran yang mahal, rumah yang mewah dan
sebaginya. Sebalinya orang yang ekonominya kurang mapan akan memilih
pemenuhan selerah yang murah meriah: makan di warteg, beli pakaian di
pasar cakar, bepergian dengan kapal laut, naik mobil angkutan umum dan
sebagainya. Selain itu, dalam pergaulan sosial juga menampakkan per-
bedaan. Seseorang dengan status tinggi akan berpenampilan lebih elegan
dan berbicara dengan sopan dan halus. Sedangkan masyarakat dengan
status sosial rendah umumnya berpenampilan tidak menarik dan kurang
memperhatikan penampilannya, dalam berbicara pun mereka sering meng-
gunakan kata-kata yang kasar dan kurang sopan di dengar. Perbedaan ini
kemudian munculkan stratifikasi social atau bisa disebut juga kasta.
Stratifikasi sosial tentunya memiliki memiliki beberapa dampak yang
terjadi dalam kehidupan sosial, selain dampak negatif ada pula dampak
positifnya. Berikut dampak positif dan negatif dari stratifikasi sosial:
a. Dampak Positif Stratifikasi Sosial
Seseorang selalu berusaha untuk berprestasi dan maju, karena adanya
kesempatan untuk pindah strata. Kesempatan ini mendorong orang per-
saingan dan mebutuhkan bekerja keras, agar dapat naik ke strata atas. Sebai
contoh seorang anak miskin dari desa terpencil berusaha belajar dengan giat
agar, mendapatkan pengetahuan untuk masa depannya. Sang anak tersebut
berusaha membangun kapsaitas sosialnya (social capcities) untuk meraih cita-
citanya dan mewujudkan impiannya. Ia pun mampu melakukannya dengan
baik, sehingga sang anak tersebut pada akhirnya mendapatkan modal sosial
(social capital) yang ia inginkan. Persaingan seperti ini juga dapat dilihat di
dalam masyarakat patimitif dan lokal. Suku kapauku, misalnya, berusaha
untuk menikah sebanyak mungkin (poligami), agar ia dapat mepekerjakan
istri-istrinya untuk memelihara babi. Banyak istri dan banyak babi
merupakan modal sosial bagi yang bersangkutan. Strategi inilah yang
membuatnya mampu memobilisasi dirinya untuk meningkatkan status
sosialnya. Orang Bugis juga lebih memilih untuk berpoligami, karena ingin
memobilisasi statusnya ke yang lebih baik, karena yang melakukan poli-
gami bagi orang Bugis adalah yang bertatus tinggi. Saya pernah memberi
contoh kepada mahasiswa saya tentang tiga etnis yang mendapat bantuan
dari seseorang. Bantuan sejumlah 90 juta rupiah ini diserahkan masing-
masing 30 juta rupiah kepada tiga etnis: Cina, Bugis dan Makassar. Bantuan
pertama diserahkan kepada orang Cina, yang memang berlatar belakang
dan jiwa dagang yang cukup tinggi. Orang Cina tersebut berkata hayya
modal untuk jual barang kelontong. Sumbangan yang kedua diserahkan ke-
pada orang Bugis sebanyak 30 juta rupiah dan berkata sukkuru’ka’ mappoji

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 243


lao ri Puangngalataala, nasaba’ maelokka’ makkatenning galung, artinya ‘syukur
saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena pas saya mau beli gadai
sawah’. Bantuan terakhir diberikan kepada orang Makassar dan ia pun
berkata syukkura’ka’ mai rikaraeng Alla Taala, sabat gappaka’ doi’ bantuang
tallumpulo juta’. Ketika kita menilik lebih dalam, maka sesungguhnya ketiga
orang yang berlatar belakang budaya yang berbeda. Dengan demikian, cara
pandang mereka terhadap bantuan tersebut dipastikan berbeda pula. Orang
Cina memandang bantuan tersebut sebagai modal aktif (active capital) untuk
menjalankan usahanya di bidang perdangan kelontongan. Lain pula halnya
dengan orang Bugis yang menganggap bantua tersebut sebagai modal pasif
(passive capital) untuk beli gadai sawah. Sedangkan orang Makassar yang
menerima bantuan tersebu hanya sebatas sebagai bantuan, bukan sebagai
modal usaha, tetapi lebih cenderung ke arah modal sosial belaka. Pada
tahun 1993 saya punya teman yang tinggal di Parang Bo’bo Kec. Tinggi
Moncong Kab. Gowa. Suatu ketika saya sama-sama kerumah pamannya dan
kami diberi uang masing-masing satu juta sebagai ongkos pembuatan
rumahnya di Malino. Saat dia menerima uang dari pamannya iapun
langsung melelfon taxi untuk mengantarnya ke Parang Bo’bo, yang ketika
itu jalannya cukup jelek. Ia harus mengeluarkan ongkos ketika itu Rupiah
500.000,- demi memperlihatkan kepada orang sekampungnya, bahwa ia
mampu naik taksi kerumahnya. Pada hal ongkos normal naik angkot ketika
itu adalah Rp. 25.000,- dengan dua kali ganti kendaraan. Maaf, jika contoh
ini saya berikan berdasarkan analisa yang saya lakukan berdasarkan fakta
yang ada. Tidak ada niat saya untuk etnosentrisme. Apa yang kuinginkan,
adalah dorongan untuk memiliki etos kerja untuk memobilisasi status
sosialnya. Etos kebudayaan (cultural ethos) adalah sifat, nilai dan adat
istiadat khas yang memberi watak kepada kebudayaan suatu masyarakat.
Etos berarti pandangan hidup yang khas suatu golongan sosial. Etos
sinonimi dengan konfigurasi (patterns culture) yang digunakan R. F. Benediet
(Koentjaraningrat, 2003: 57). Menurut Abu Hamid (2003), etos adalah sifat,
karakter, kualitas hidup, moral dan gaya estetik, serta suasana hati
seseorang atau masyarakat. Etos berada pada lingkaran etika dan logika
yang bertumpu pada nilai-nilai dalam hubungannya dengan pola tingkah
laku dan rencana manusia. Etos memberi warna dan penilaian baik atau
buruknya suatu pekerjaan. Etos kerja bisa diartikan sebagai suatu sikap dan
kehendak secara sukarela, tanpa dipaksa dan didorong oleh adanya
keuntungan dan harapan. Etos berkaitan dengan moralitas, meskipun tidak
identik. Sikap moral mengarah pada orientasi terhadap norma-norma yang
harus ditaati, sedang etos kerja adalah sikap kehendak yang diperlukan
untuk kegiatan tertentu.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 244


Mobilitas sosial akan lebih mempercepat tingkat perubahan sosial
masyarakat ke arah yang lebih baik. Pada umumnya perkembangan sarana
transportasi di Indonesia berjalan sedikit lebih lambat dibandingkan dengan
negara-negara lain seperti Malaysia dan Singapura. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan regulasi pemerintah masing-masing negara dalam menangani
kinerja sistem transportasi yang ada. Pembangunan berbagai sarana dan
prasarana transportasi seperti dermaga, bandara dan jalan rel kereta api
dapat menimbulkan efek ekonomi berganda yang cukup besar, baik dalam
hal penyediaan lapangan kerja, maupun dalam memutar konsumsi dan
investasi dalam perekonomian lokal dan regional.
Kurang tanggapnya pemerintah dalam menanggapi prospek per-
kembangan ekonomi yang dapat diraih dari tansportasi merupakan hal
yang seharusnya dihindari. Mereka yang mempunyai kendaraan lebih
bagus atau mewah daripada yang lain, akan menduduki status sosial yang
tinggi. Status sosial yang ada di sini adalah status sosial penampakan
belaka. Yang menjadi tujuan utama orang seperti ini nominasi nilai akset
uang dan barang (material and non-material accests) yang mereka miliki.
Sedangkan orang Cina di atas berusaha meraih kesempatan (chance)
sebanyak mungkin dalam perputaran modal yang mereka miliki. Jadi, yang
menjadi tujuan utamanya adalah omset (turnover). Orang Cina tersebut
ternyata mengetahui dan menjalankan prinsip, bahwa ketika seseorang punya
uang sebanyak apapun belum pasti mendapatkan banyak kesempatan. Sebaliknya,
ketika saya memiliki banyak kesempatan berati saya mampu mendapatkan banyak
uang.
b. Dampak Negatif Stratifikasi Sosial
Umumnya ada tiga dampak negative dalam  stratifikasi sosial, yaitu:
1) Konflik Antar Kelas
Dalam masyarakat, terdapat lapisan-lapisan sosial, karena ukuran-
ukuran seperti kekayaan, kekuasaan dan pendidikan. Kelompok dalam
lapisan-lapisan tadi disebut kelas-kelas sosial. Apabila terjadi perbedaan
kepentingan antara kelas-kelas sosial yang ada di masyarakat dalam mobi-
litas sosial, akan muncul konflik antarkelas. Saya ambil contoh demonstrasi
yang dilakukan oleh para buruh yang menuntut kenaikan upah, menggam-
barkan konflik antara kelas buruh dengan pengusaha. Hal ini terjadi, karena
adanya persepsi tentang pemenuhan hak dan kewajiban. Faktor penyebab
demo kenaikan upah yang biasanya dilakukan para buruh disebab-kan oleh
perbedaan kepentingan. Masing-masing kelompok memiliki kepentingan
untuk mendapat keuntungan finansial. Buruh ingin naik gaji dengan alasan
kurang sejahtera. Sementara investor ingin keuntungan investasi berbalik
pada dirinya, bahkan dalam jumlah yang lebih besar. Apabila kepentingan
satu kelompok tercapai, maka berarti kerugian bagi kelompok lain. Itulah

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 245


sebabnya mengapa pencapaian kepentingan tersebut selalu menjadi
penyebab konflik sosial.
2) Konflik antar Kelompok Sosial
Di dalam masyatakat terdapat pula kelompok sosial yang beraneka
ragam. Di antaranya kelompok sosial berdasarkan ideologi, profesi, agama,
suku dan ras. Bila salah satu kelompok berusaha untuk menguasai kelom-
pok lain atau terjadi pemaksaan, maka timbul konflik. Saya ambil contoh
tawuran pelajar, yang sering terjadi di mana-mana. Terdpat dua faktor
penyebab terjadinya tawuran antar pelajar yaitu faktor internal dan factor
eksternal. Factor internal adalah faktor yang berlangsung melalui proses
internalisasi diri yang keliru oleh remaja dalam menanggapi milieu di
sekitarnya dan semua pengaruh dari luar. Perilaku merupakan reaksi
ketidakmampuan dalam melakukan adaptasi terhadap lingkungan sekitar.
Adapun faktor eksternal adalah sebagai berikut: 1) Faktor keluarga, yang
terdiri atas: a) Baik buruknya rumah tangga atau berantakan dan tidaknya
sebuah rumah tangga, b) Perlindungan lebih yang diberikan orang tua, c)
Penolakan orang tua, ada pasangan suami istri yang tidak pernah memikul
tanggunf jawabebagai ayah dan ibu dan d) Pengaruh buruk dari orang tua,
tingkah laku kriminal dan tindakan asusila, 2) faktor lingkungan sekolah
yang tidak menguntungkan bisa berupa bangunan sekolah yang tidak
memenuhi persyaratan, tanpa halaman bermain yang cukup luas, tanpa
ruangan olahraga, minimnya fasilitas ruang belajar, jumlah murid di dalam
kelas yang terlalu banyak dan padat, ventilasi dan sanitasi yang buruk dan
sebagainya dan 3) Faktor milieu atau lingkungan yaitu Lingkungan sekitar
yang tidak baik dan menguntungkan bagi pendidikan dan perkembangan
remaja.
3) Konflik Antargenerasi
Konflik antar generasi terjadi antara generasi tua yang memper-
tahankan nilai-nilai lama dan generasi mudah yang ingin mengadakan
perubahan. Saya ambil contoh pergaulan bebas yang saat ini banyak dila-
kukan kaum muda di Indonesia. Bagi para generasi tua hal ini dianggap
sangat bertentang dengan nilai-nilai yang dianut generasi tua. Saya masih
ingat mama saya memukulku, gara-gara saya tidak meminta izin lewat di
depan tamu yang berkunjung ke rumah saya. Saya dianggap salah, karena
sopan santun seperti itu memang diajarkan kapada kami.
4. Ekonomi Subsistensi dan Ekonomi Formal
a. Ekonomi Subsistensi
Ekonomi subsistensi adalah ekonomi yang tidak didasarkan pada
uang, di mana pembelian dan penjualan tidak ada atau belum sempurna,
meskipun barter dapat terjadi. Sistem ekonomi susbsistensi melalui barter
dan yang biasanya memberikan standar hidup minimal. Ekonomi subsisten

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 246


juga sering didefiniskan sebagai ekonomi non-moneter yang bergantung
pada sumber daya alam untuk menyediakan kebutuhan dasar (basic need),
melalui perburuan, pengumpulan dan pertanian subsisten. Kata subsistensi
berarti mendukung diri sendiri pada tingkat minimum, sehingga dalam
ekonomi subsisten, surplus ekonomi sangat minim dan hanya digunakan
untuk pertukaran barang-barang pokok dan tidak ada industrialisasi.
Dalam sejarah dunia sebelum ada kota-kota, semua manusia hidup
dalam ekonomi subsisten. Ketika urbanisasi, peradaban dan pembagian
kerja menyebar, berbagai masyarakat berpindah dari sistem ekonomi
subsistensi ke sistem ekonomi lain. Beberapa tetap relatif tidak berubah,
mulai dari orang-orang yang tidak terkontaminasi, ke daerah miskin di
negara berkembang, hingga beberapa budaya yang memilih untuk memper-
tahankan ekonomi tradisional. Beberapa suku di Indonesia, yang hingga
saat ini masih tetap mempertahankan ekonomi tradisonalnya (subsistensi):
Orang Kajang di Kabupaten Bulukumba, Orang Karampuang di Kabupaten
Sinjai, suku badui di Jawa Barat, Suku Anak Dalam di Jambi, Suku Wana di
Sulawesi Tengah, Suku Ternate di pulau Bacan dan Obi Kabupaten Ternate
Utara, suku Kutai di Kalimantan Timur, suku Asmat di Papua, Suku Aceh
di Propinsi Aceh, suku Alor di NTT dan sebagainya.
Suatu sistem ekonomi sepenuhnya bergantung pada penyediaan
komunitas sendiri. Kekayaan dalam ekonomi subsisten diukur dalam hal
sumber daya alam. Ekonomi subsisten bergantung pada perburuan dan
budidaya untuk makanan dan pohon-pohon di sekitarnya untuk mem-
bangun tempat tinggal tergantung pada pembaharuan dan reproduksi ling-
kungan hidup untuk bertahan hidup
Hann dan Hard (2011) kemudian membagi tingkatan ekonomi ke
dalam tiga, sebagai berikut: 1) Kami mengidentifikasi tiga tahap dalam
pengembangan antropologi ekonomi sebagai sebuah bidang. Yang pertama,
periode dari 1870-an hingga 1940-an, dimana sebagian besar antropolog
tertarik pada perilaku ekonomi orang liar (savages) didukung oleh pengerti-
an yang sama tentang efisiensi dan rasionalitas yang diambil untuk memoti-
vasi tindakan ekonomi di Barat. Mereka awalnya mengabdikan diri untuk
mengumpulkan laporan-laporan ringkas tentang sejarah dunia yang dipa-
hami sebagai proses evolusi. Tahun-tahun setelah Perang Dunia Pertama,
praktek kerja lapangan menjadi semakin dominan dan para etnograf
berusaha untuk terlibat dalam proposisi yang lebih umum dari arus utama
ekonomi (neoklasik) dengan temuan khusus mereka tentang masyarakat
primitif. Mereka gagal, terutama karena mereka salah kaprah dengan
premis-premis epistemologis tentang ekonomi subsistensi (economical subsis-
tance), 2) Pada 1950-an dan 1960-an, Perang dingin mencapai puncaknya,
ekonomi dunia sedang booming dan pemerintah di mana-mana berkomit-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 247


men untuk memperluas layanan publik sambil mempertahankan kontrol
ketat atas pasar uang. Para antropolog ekonomi berdebat di antara mereka
sendiri tentang teori dan metode yang diperlukan untuk menyesuaikan
terori-teori mereka yang telah dibuat sebelumnya, yang saat ini diperluas
untuk memasukkan petani-petani dunia sekalipun jumlah sukunya sudah
berkurang. Para ahli ekonomi formalis65 berpendapat, bahwa konsep dan
alat ekonomi mainstream yang tepat untuk menghadapai laju perekonomian
yang mengglobal (pasar bebas). Sebaliknya, kaum substantivis mengklaim,
bahwa pendekatan kelembagaan ekonomi (economic institutions)66 justru
lebih tepat. Yang saya maksud kelembagaan ekonomi di sini adalah pra-
nata-pranata ekonomi. Institusi sosial adalah bagian dari tatanan sosial
masyarakat. Mereka mengatur perilaku dan harapan anggota masyarakat-
nya. Setiap subsistem menjalankan tugas-tugas khusus dan telah mene-
tapkan tanggung jawab yang berkontribusi terhadap kesejahteraan dan
stabilitas masyarakat secara keseluruhan. Institusi ekonomi mengatur bagai-
mana suatu masyarakat menghasilkan dan mendistribusikan sumber daya,
barang dan jasa di antara anggota masyarakatnya. Di banyak negara, sistem
ekonomi, terutama negara sosialis atau kapitalis dikelola oleh lembaga
pemerintah. Dengan institusional mereka, berarti kehidupan ekonomi
dalam masyarakat yang tidak didominasi oleh pasar impersonal selalu
melekat di institusi sosial lainnya, mulai dari rumah tangga hingga peme-
rintah dan agama. Dalam retrospeksi, debat formalis-substansrivis ini ada-
lah masa keemasan bagi antropologi ekonomi. Ini berakhir dengan tampa
jalan keluar, sehingga membuka jalan bagi kaum Marxis dan feminis untuk
sementara waktu melakukan dominasi, sekalipun mereka juga umumnya
tertarik pada subjek eksotisme etnografi tradisional dan 3) Tahap ketiga
yaitu sejarah perkembangan membawa kita dari hilir ke hulu pada tahun
1970-an melalui tiga dekade globalisasi neoliberal. Kami mengangkat per-
spektif-perspektif ekonomi kritis baru kembali keasal (culturan turn) dalam
antropologi ekonomi, yang merupakan aspirasi segar pada lapisan sains
berat, terutama dalam menghadapi institusional ekonomi baru (new institu-
tional economics). Periode ini telah membuat para antropolog memperluas
penyelidikan mereka untuk membahas berbagai macam organisasi ekonomi
manusia, yang mereka pelajari dari berbagai perspektif. Sejauh ini, mereka
65
Per(ekonomi)an formal: 1) memiliki sistem kerja terorganisir dengan aturan tertulis
yang jelas tentang rekrutmen, kesepakatan, dan tanggung jawab pekerjaan, dan 2)
memiliki hubungan terstandardisasi antara majikan dan karyawan dipertahankan
melalui kontrak formal.
66
Institusi ekonomi (economic institutions) dalam struktur social masyarakat secara garis
besar meliputi tiga hal, yaitu institusi keluarga dan kekerabatan, institusi agama dan
institusi pendidikan. Institusi ini lahir sebagai factor pendukung dan pendorong lahir-
nya institusi ekonomi seperti insitusi pasar.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 248


lebih memilih untuk tetap berpegang pada tradisi pengamatan etnografi.
Mereka berpendapat, bahwa sudah waktunya bagi para antropolog untuk
melangkah lebih jauh dan membahas ekonomi dunia secara keseluruhan.
Dalam fase baru ini, antropologi ekonomi akhirnya akan muncul sebagai
suatu disiplin dalam dirinya sendiri.
James C. Scott (1981) adalah seorang ahli ekonomi subsistensi yang
menempatkan masalah kritis rumah tangga petani subsisten sebagai obyek
utama di dalam penelitiannya. Mereka takut untuk kekurangan pangan,
ketahanan pangan ala tradional. Apa yang dilakukan oleh orang Kajang
adalah sebuah contoh yang patut saya jelaskan di sini. Orang Kajang
mengenal dua ritual yang semata-mata berutujuan untuk menjaga ketahan-
an pangan, yaitu: appanai pare (ritual menaikkan padi di loteng) dan ritual
appanaung pare (menurunkan padi dari lotang). Upacara appanai pare dirang-
kaikan dengan ritual appanganro akkato (panen raya). Sebelum melakukan
panen di sawah, kaum ibu-ibu memindahkan sisa panen dari petak
belakang loteng digeser ke posisi terdepan. Ini dimaksudkan, agar hasil
panen dapat diatur penggunaannya. Orang Kajang selalu menghitung ratio
ketersediaan pangan dengan hasil panen yang akan datang. Hasil panen
pertama kemudian diturunkan untuk ditumbuk menjadi beras untuk kon-
sumsi sendiri. Untuk menjaga kelangkaan pangan, orang Kajang memilih
untuk mengonsumsi hasil panen sendiri.
Scott kemudian menarik benang merah sejarah masyarakat agraris di
Burma yang lebih rendah dan Vietnam untuk menunjukkan bagaimana
transformasi dari era kolonial sistematis dilanggar oleh ekonomi moral petani
dan menciptakan situasi potensi pemberontakan dan revolusi. Ia juga
menunjukkan wawasan yang tajam ke dalam perilaku orang dalam budaya
lain dan mampu untuk menggeneralisasi studi kasus yang ada di Burma
dan Vietnam. Scott menawarkan perspektif baru tentang perilaku petani
yang menarik, terutama bagi para ilmuwan politik, antropolog, sosiolog dan
Asianis Tenggara. Buku Scott sungguh luar biasa dan cukup memiliki daya
tarik yang sangat luas dan luar biasa. Saya pikir tesis sentral karya Scott
sudah benar dan menarik. Scott dalam karya besarnya Moral Ekonomi
Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara memandang para petani
sebagai aktor politik dan moral yang mempertahankan nilai-nilai mereka
dan keamanan individu. Inilah yang membuat buku Scott sangat penting
untuk memahami politik petani.
Masalah paling mendasar tetap ada atau tidaknya bentuk-bentuk
ekonomi pasar yang telah memungkinkan masyarakat Atlantik Utara untuk
mendominasi ekonomi dunia selama dua abad terakhir bergantung pada
prinsip-prinsip validitas universal. Berbagai argumen tentang kesamaan dan
perbedaan telah melanda antropologi ekonomi sepanjang sejarahnya. Kita

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 249


bisa bangga dengan komitmen antropolog untuk bergabung dengan orang-
orang dimana mereka tinggal untuk mencari tahu apa yang mereka pikirkan
dan lakukan. Mereka mengerti, bahwa untuk menganalisa aksi ekonomi
non-pasar melalui lensa model pasar tidak lebih dapat dipertahankan secara
intelektual daripada menganalisis krisis keuangan terbaru di Wall Street.
Kontras semacam ini memiliki kegunaannya, tetapi harus digunakan
dengan hati-hati. Tidak ada alasan untuk menganggap, bahwa keragaman
ekonomi manusia sepanjang sejarah dapat direduksi menjadi satu pemisah-
an besar antara Barat dan yang lain. Bagaimanapun, para antropolog perlu
membuat etnografi berbasis lapangan yang lebih terbuka untuk perspektif
tentang sejarah dunia yang sebagian besar sudah ditinggalkan pada abad
ke-20.
Salah satu contoh penerapan ekonomi susbsestensi yang dilindungi
oleh kelembagaan ekonomi mereka adalah aturan-aturan pasang ri Kajang
yang mengatur semua bentuk aspek-aspek ekonomi masyarakatnya. Kese-
luruhan aspek dan pandangan hidup orang Kajang berpangkal pada kesa-
hajaan (kamase-maseyya). Hal ini tercermin di dalam satu pasal berbunyi:
a’ra’ki’ nganre narie’, riek care-carenna, riek bolana situju-tuju, riek galunna na
kokonna, riek pammali juku’na, anjomi nikua katallassang ganna’mi, artinya ’mau
makan ada makanan, mau berpakaian ada pakaian, mau berteduh ada
rumah yang sederhana, butuh pangan ada sawah dan ladang, serta mau
membeli ikan ada uang, itulah yang dimaksud dengan kehidupan sesung-
guhnya.
Ada beberapa hal yang mereka jaga ketat, agar perinsip ekonomi
subsistensi mereka tetap lestari untuk selamanya, yaitu: biatara (langit), lino-
wa (dunia), buri liu (perut bumi). Menurut Said (2004: 54-57), pengaruh kos-
mologi orang-orang Austronesia di Sul-Sel-Bar (Toraja, Mandar, Bugis dan
Makassar) sangat kental. Umumnya mereka membagi kosmosnya, yaitu:
langit atas (boting langi’), dunia fana (lino) dan dunia bawah (buri’ liyu).
Pembagian serupa juga dijumpai dalam kosmologi masyarakat Tator dan
Batak. Rumah adat Tator terdiri atas: kolong rumah (sulluk banua) tidak
mempunyai fungsi religius, tengah rumah (kale banua) terdiri atas: ruang
depan (tangado’) ruang istirahat bagi tetamu dan pelaksanaan upacara adat,
ruang tengah (sali) lebih rendah sedikit digunakan untuk dapur, ruang
makan, musyawarah keluarga dan tempat pengurusan dan bagian belakang
(sumbung) digunakan sebagai ruang tidur keluarga dan bagain atap (erang)
yang menyerupai cadik perahu. Demikian pula dengan pembagian tata-
ruang rumah adat Batak terdiri atas; langit (banua ginjang), bumi (banua
tonga) dan dunia bawah (banua toru). Ini sangat sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Soerjani dkk. (2006: 3), bahwa kehidupan (ekosfer) yang
kita kenal di bumi ini didukung oleh wilayah yang tumpang tindih antara

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 250


litosfer (bawah tanah), atmosfer (udara) dan hidrosfer (dalam air). Menurut
Soerjani dkk. (2006: 6-7) lebih lanjut, bahwa ada empat tingkatan yang harus
dijaga untuk kelangsungan hidup di bumi ini, yaitu: 1) Atmosfer yaitu
ruang angkasa berisi ozon yang menjaga sinar ultra violet matahari yang
berbahaya bagi kehidupan ekosistem di dunia, 2) ekosfer adalah alam jagad
berupa bumi tempat manusia dan mahluk hidup darat lainnya melangsung-
kan kehidupannya, 3) Hidrosfe yaitu dunia kehidupan di dalam air tawar
dan laut dan 4) Litosfer yaitu kehidupan di dalam tanah dan lapisan pada
bumi. Hal ini tercermin di dalam pesan khusus orang Kajang: Jagalah dunia
ini berserta isinya, demikian pula langit dan umat manusia dan hutannya. Ling-
kungan alam merupakan gambaran dari alam jagad raya.
Orang Kajang sangat konsisten dengan hal-hal yang dapat merusak
ekosistem aspek pendukung ekonomi. Tidak hanya itu, dalam pasang ri
Kajang disebutkan pendelegasian tugas dan tanggung jawab pemimpin adat
Kajang Puto Palasa untuk pengawasan dan pengaturan hal-hal: 1) tabbang
Kaju (penebangan kayu), 2) Tatta Uhe’ (pengambilan rotan), 3) Rao Doang
(penangkapan udang) dan 4) Tunu Bani (pamanenan lebah hutan). Keempat
tugas tersebut berkaitan dengan sistem pengelolaan hutan lestari (sustainable
forest management system) dan keseimbangan ekosistem lingkungan hidup
(environmental ecosystems equillabelium)67, yang harus ditegakkan dari dulu,
sekarang dan yang akan datang. Keempat unsur tersebut menjadi dasar
hukum pengawasan yang diamanahkan oleh TRA (Sang Pencipta) kepada
Ammatowa.
b. Ekonomi Formal
Modal dapat secara umum didefinisikan sebagai aset yang diinvestasi-
kan dengan harapan, bahwa nilainya akan meningkat. Ini biasanya, karena
ada ekspektasi laba, sewa, bunga, royalti, keuntungan modal atau beberapa
jenis pengembalian lainnya. Namun, jenis ekonomi ini biasanya tidak bisa
menjadi kaya berdasarkan sistem. Akan tetapi, memerlukan investasi lebih
lanjut untuk merangsang pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain,
ekonomi subsisten hanya memiliki cukup barang untuk digunakan oleh
negara tertentu untuk mempertahankan keberadaannya dan memberikan
sedikit atau tidak ada surplus untuk investasi lain.

67
Lihat Soerjani dkk. (2006: 6-7) tentang empat tingkatan yang harus dijaga untuk
kelangsungan hidup dibumi ini, yaitu: 1) Atmosfer yaitu ruang angkasa berisi ozon
yang menjaga sinar ultra violet matahari yang berbahaya bagi kehidupan ekosistem di
dunia, 2) ekosfer adalah alam jagad berupa bumi tempat manusia dan mahluk hidup
darat lainnya melangsungkan kehidupannya, 3) Hidrosfe yaitu dunia kehidupan di
dalam air tawar dan laut dan 4) Litosfer yaitu kehidupan di dalam tanah dan lapisan
pada bumi.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 251


Kita telah melihat, bahwa kata Yunani oikonomia yang mengacu pada
pengenaan keteraturan pada urusan praktis rumah tangga. Teori ekonomi
kemudian ditujukan pada swasembada melalui penghematan, penganggar-
an yang cermat dan menghindari perdagangan, jika memungkinkan. Cita-
cita ini bertahan di Eropa hingga menjelang era industrialisasi. Tetapi eko-
nomi telah bergerak dalam beberapa ribu tahun terakhir, khususnya dalam
dua abad terakhir. Revolusi intelektual Adam Smith mengalihkan perhatian
dari tatanan domestik menjadi ekonomi politik, terutama pada pembagian
kerja dan pasar. Olek karena itu, kegiatan ekonomi politik meliputi: 1) pasar
segera didominasi oleh perusahaan-perusahaan yang menguasai sumber
daya besar-besaran. Sistem ini menghasilkan uang dengan uang, sehingga
akhirnya diberi nama kapitalisme dan 2) negara mengklaim hak untuk
mengelola uang, pasar dan akumulasi dalam kepentingan nasional. Inilah
mengapa saat ini ekonomi formal biasanya dimiliki oleh negara sebagai
rujukan utamanya.
Ekonomi formal, sebagai kebalikan dari ekonomi susbsistensi, adalah
sebuah bentuk ekonomi yang mengarah dan tergantung pada pasar. Ada
tiga faktor yang berhubungan dengan ekonomi formal: sumberdaya alam
(natural resouces), sistem produksi (means of productions) dan pangsa pasar
(market demand).
Ekonomi formal adalah ekonomi yang dibentuk oleh industri atau
eksploitatif. Biaya produk dan layanan yang ditawarkan oleh pengecer
adalah produk formal yang lebih mahal dalam ekonomi informal, karena
harus membayar pajak atau retribusi. Sementara ekonomi informal adalah
kebalikan dari hal di atas, karena ekonomi formal berbicara tentang produk
domestik bruto, yang tidak membayar pajak secara langsung, meskipun
mereka menggunakan sumberdaya dan layanan permintaan. Ekonomi ini
menghasilkan aktivitas manusia yang mencoba untuk memenuhi kebutuhan
penduduk, yang dapat dikhususkan untuk kegiatan primer (seperti pertani-
an, peternakan dan pertambangan), industri sekunder, industri tersier atau
jasa. Ekonomi formal didasarkan pada produksi barang dan jasa (production)
yang disesuaikan dengan permintaan pasar (market demand) untuk konsumsi
atau penggunaan oleh konsumen. Dengan demikian, ekonomi informal
menghasilkan pertukaran dan sirkulasi uang melalui transaksi barang.
Kegiatan-kegiatan yang menguntungkan tersebut diatur oleh Negara,
yang menetapkannya melalui peraturan perundang-undangan (regulasi),
fiskal dan administrasi. Individu dan perusahaan yang didedikasikan untuk
tujuan ini, harus terdaftar, mendata karyawannya dan membayar pajak.
Pajak yang dibayar digunakan untuk layanan publik (pendidikan,
keselamatan, kesehatan dan keadilan) yang kesejahteraan karyawan (PJPS)
yang sudah terdaftar. Ini berati mereka menerima jaminan sosial (social

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 252


securities) dan fasilitas lainnya, berupa; aguinaldo, liburan, upah, tunjangan
keluarga, lisensi, asuransi dan sebagainya. Pada kegiatan terdaftar ini,
statistik dan pengukuran dapat dibuat. Untuk cara ini mereka melakukan
kegiatan ekonomi, yang sesuai dengan aturan hukum, dalam Konstitusi dan
operasi disebut sebagai ekonomi formal. Selain ekonomi formal yang diatur
dan dikendalikan, juga terdapat yang informal, tidak terdaftar, mengakibat-
kan penggelapan pajak dalam kasus pekerja. Mengancam kesejahteraan
seluruh penduduk untuk tidak mematuhi hak gadai pajak dan menciptakan
situasi ketidakadilan bagi siapa saja yang dilindungi hukum. Negara harus
berjuang untuk memberantasnya, sehingga persaingan adil, tanpa hak isti-
mewa bagi mereka yang menghindari beban dan mempertahankan ekonomi
yang bersih dan transparan, yang tunduk pada kontrol oleh otoritas publik,
yang harus memastikan kebaikan bersama.
F. Kebudayaan dan Teknologi
Teknologi merupakan salah satu unsur dalam universalisme kebu-
dayaan (cultural universalism): bahasa, mata pencaharian hidup, seni, tekno-
logi, sistem pencarian hiudup, kelembagaan dan agama.
Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, bahwa manusia adalah
pencipta kebudayaan (cultural creator) dan kebudayaan adalah alat (tools)
bagi manusia untuk menghadapi tantangan hidupnya. Selain itu, saya juga
perjelas di sini, bahwa ada tujuh unsur dari sebuah kebudayaan, salah satu
diantaranya adalah teknologi. Jadi, ketika anda berbicara tentang teknologi,
sudah dapat dipastikan anda tidak terlepas dari hal-hal berikut ini.
1. Perubahan Kebudayaan
Sejak manusia ada dan menciptakan kebudayaannya masing-masing
pada saat itu pula perubahan kebudayaan (culture change) mulai terjadi.
Salah satu sifat wajib sebuah kebudayaan untuk bertahan hidup adalah
adaptasi terhadap situasi dan kondisi yang ada pada saat itu. Dengan
demikian, kebudayaan harus berevolusi dari waktu ke waktu, agar tetap
eksis (wel-adaptive). Kebudayaan yang tidak mau berubah dan menyesuai-
kan diri (mal-adaptive) akan punah dengan sendirinya. Sebut saja sebagai
contoh kebudayaan Yunani Kuno dan bahasa Sansekerta, yang selama ini
sudah hilang ditelan bumi, karena mereka tidak melakukan penyesuaian
diri dengan lingkungan yang ada. Saya juga ambil contoh perubahan bentuk
sepeda dari waktu ke waktu, seperti pada gambar di bawah ini:

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 253


Ada dua penyebab terjadinya perubahan, yaitu: 1) Penyebab dari
dalam (internal factors) dan penyebab dari luar (external factors). Kedua
bentuk penyebab terjadinya perubahan tersebut dapat berlangsung se-
panjang waktu disebut evolusi (cultural evolution) dan dapat pula ber-
langsung singkat (cultural change). Proses prubahan kebudayaan yang me-
makan waktu lama disebabkan oleh faktor internal kebudayaan itu sendiri.
Artinya penyesuaiannya yang diakibatkan oleh faktor internal kebudayaan
itu sendiri dengan tetap mempertahankan dirinya dan mengurangi faktor
yang berasal dari luar. Masyarakat adat Kajang Dalam (ilalang embayya) dan
suku Badui Dalam merupakan salah satu contoh dari perubahan kebu-
dayaan seperti ini. Sebaliknya, kebudayaan yang mampu melakukan proses
perubahan relatif singkat biasanya disebabkan faktor-faktor dari luar kebu-
dayaan itu sendiri.
Perlu juga saya jelaskan di sini, bahwa ada perubahan kebudayaan
yang disengaja dan ada pula yang tidak disengaja. Perubahan yang dise-
ngaja biasanya berdasarkan inisiatif kebudayaan yang bersangkutan untuk
menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi. Sebut saja revolusi
industri yang terjadi di antara tahun 1750-1850, yang menyebabkan terjadi-
nya perubahan secara besar-besaran di bidang pertanian, manufaktur, per-
tambangan, transportasi dan teknologi. Perubahan seperti ini memiliki
dampak yang mendalam terhadap kondisi sosial, ekonomi dan budaya di
dunia. Revolusi Industri dimulai dari Britania Raya dan kemudian menye-
bar ke seluruh Eropa Barat, Amerika Utara, Jepang dan menyebar ke selu-
ruh dunia. Revolusi Industri menandai terjadinya titik balik besar (titik balik
peradaban demikian istilah Frijcof Capra) dalam sejarah dunia. Hampir
setiap aspek kehidupan sehari-hari dipengaruhi oleh Revolusi Industri
seperti ini, khususnya dalam hal peningkatan pertumbuhan penduduk dan
pendapatan rata-rata yang berkelanjutan. Perubahan seperti ini belum
pernah terjadi sebelumnya. Selama dua abad setelah Revolusi Industri, pen-
dapatan rata-rata perkapita negara-negara di dunia yang terkena dampak
meningkat lebih dari enam kali lipat. Itulah sebabnya, Robert Emerson
Lucas (Robert, 2002) pemenang Hadiah Nobel menyatakan, bahwa: Untuk
pertama kalinya dalam sejarah, standar hidup rakyat biasa mengalami per-
tumbuhan yang berkelanjutan. Perilaku ekonomi yang seperti ini tidak pernah ter-
jadi sebelumnya. Sebaliknya, banyak negara yang terkena dampak, termasuk
Indonesia yang sulit mengikuti perkembangan kebudayaan secepat ini.
Tidak salah, jika Prabowo Soebianto khawatir bangsa Indonesia menjadi
tamu di rumah sendiri, sehingga kelak pada tahu 2030 rumah bangsa ini
akan terjual. Saya pun telah menulis buku berjudul Bangsa Indonesia di
Persimpangan Jalan (belum naik meja cetak). Dulunya Indonesia terkenal
pengekspor beras, hasil perkebunan dan hasil laut, saat ini bangsa Indonesia

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 254


termasuk pengimpor beras, garam, cabai rawit dan produk lainnya dari
negara tentangga. Saya juga masih ingat anekdot, bahwa Prof. DR. B. J.
Habibie, MA. membuat pesawat terbang nusantara Nurtano CN-235
memang ditukar dengan beras ketan dari Thailand. Cacian demi cacian
bermunculan di layar kaca dan surat kabar: bagaimana mungkin produk
unggulan nasional itu cuma ditukar dengan 110.000 ton beras ketan? Bagaimana
mungkin ratusan insinyur kita yang cerdas gemilang itu, disetarakan dengan para
petani biasa di Thailand. Harga dua pesawat itu mencapai US$ 34 juta atau Rp
78,2 miliar? Banyak pertanyaan seputar kasus ini, yang dimuat di liputan
media massa. Tapi sangat sedikit yang mengungkap apa dibalik peristiwa
itu. Dalam buku Pak Harto, The Untold Stories diungkapkan cerita dibalik
barter itu. Buku itu diluncurkan Rabu, 8 Juni 2011 bertepatan dengan pe-
ringatan hari kelahiran Soeharto. Nah, itu artinya kita semua hanya meman-
dang, bahwa hal ini adalah salah, sehingga tidak sedikit bangsa kita sendiri
yang mengolok-olok pengambil kebijakan. Saya sebagai seorang budaya-
wan (ahli kebudayaan) memandang, bahwa hal itu tidak salah. Mengapa
saya berpendapat demikian? Saya melihatnya, bahwa saat itu Indonesia me-
rupakan penghasil beras terbesar di Asia Tenggara, bahkan dunia. Akibat-
nya, bangsa Indonesia waktu itu surplus pangan nasional, karena berbagai
proyek unggulan (Swa-sembada pangan, lahan gambut sejuta hektar, pro-
gram intensifikasi dan diversifikasi lahan pertanian dan sebagainya) benar-
benar dilakukan. Untuk mengatisipasi hal ini, maka dibentuklah Badan
Urusan Logistik (Bulog), Lappo Ase, ketahanan pangan nasional dan sebagai-
nya untuk menampung jumlah stok pangan nasional. Nah, sekarang kita
yang dulunya pengekspor beras ke Thailand, kini justru kita yang meng-
impor beras dari Thailand. Apa ini sesuai dengan roh dan tujuan dari
revolusi industri yang berjalan sejak 1750 yang lalu ? Jawaban saya tidak,
karena kita sekarang kebingungan menghadapi dampak perubahan global,
terutama dengan Krisis Moneter (Krismon) beberapa tahun silam. Kita
tergiur dengan janji-janji revolusi industri di Inggris dan Eropa, yang
memang memokuskan dirinya pada industrialisasi. Mereka memang betul-
betul meninggalkan prinsip ekonomi mikro, terutama ekonomi subsistensi
menuju ke ekonomi makro dengan pangsa pasar besar dan pasti. Mereka
memang benar-benar melakukan bisnisnya secara totalitas dengan prinsip:
uang cari uang bukan dengkul cari uang. Dalam buku saya kelak (Bangsa Indo-
nesia di Persimpangan Jalan) saya akan jelaskan apa perbedaan antara pe-
dagang (trader) dengan pebisnis (business man). Keduanya berangkat dari
konsep tiga O: ongkos (money), otak (mind) dan otot (power). Perbedaan
selanjutnya adalah pedagang selalu ingin memaksimalisasi keuntungan
(profit maximization), sementara pebisnis selalu berorientasi pada penca-
paian kesempatan yang lebih besar (opportunity maximization). Perbedaannya

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 255


juga terletak pada asumsi pencapaian hasil akhir, dimana pedagang enggan
mengeluarkan modal besar, tetapi mengasumsikan keuntungan besar. Para
pebisnis, di lain pihak, cenderung menginvesatikan modal besar dengan
asumsi akan mendapatkan kesempatan besar, sehingga keuntungan bisa
berlipat ganda. Kepatutan bagi pebisnis memang ada, tetapi bagi seorang
pedagangan sangat tidak patut. Saya teringat dengan pesan almarhum ayah
saya: kalau kamu mau menangkap ikan hiu umpannya harus seekor ayam. Sebalik-
nya, kalau kamu mau menangkap ikan gabus cukup dengan umpan kodok kecil saja.
Begitupula bila engkau mau memancing ikan sepat cukup dengan telur semut saja.
Jika engkau hendak memancing ikan gabus dengan umpan telur semut, ia dipasti-
kan enggan memakannya, karena ia membutuhkan umpan yang besar. Sebaliknya,
bila ikan sepat diumpan dengan kodok kecil, ia juga pasti tidak memakannya, karena
tidak sesuai dengan lebar mulutnya. Jadi, ketika engkau memancing ikan gabus
dengan kodok kecil dan ikan sepat dengan telur semut itu namanya patut (sipato’).
Saya juga teringat, ketika saya menjadi pembicara di depan para peserta
Meeting on Procedures for Coal Import from Indonesia yang diprakarsai oleh Fly
Global Commerce PTE Ltd. di Hotel Royal Park Singapura, bahwa: I came
herein all the way from Indonesia just to look for opportunities, because I am not a
trader but a businessman. On the other hand, I also came here to Singarupa to
represent businessman from Indonesia who did not understand international busi-
ness principles yet. If I were initiated, then we would change our coal business in
the future using international opera-tional standards. I also hope from you, in order
to understand the combination of Indonesian and Singapore business principles,
because I depart from the principles of Indonesian business to Singapore's business
principles. Hopefully someday we can meet in a professional and responsible
business forum.
Arah dan laju perubahan kebudayaan juga dipengaruhi oleh adanya
kontak dengan masyarakat luar. Perubahan kebudayaan seperti ini cende-
rung berujung pada akulturasi (aculturations), artinya menyatunya dari dua
kebudayaan yang saling melakukan kontak hubungan intensif. Terlebih
dengan adanya teknologi informasi yang semakin canggih saat ini, mampu
mempercepat proses perubahan kebudayaan. Ada empat hal yang ber-
pengaruh terhadap proses perubahan kebudayaan, yaitu: discovery, inven-
tion, evolusi dan difusi.
Perubahan kebudayaan tersebut harus dibarengi dengan perubahan
teknologi. Salah satu contoh penggunaan kayu bakar untuk memasak bagi
masyarakat tradional berubah dengan menggunakan kompor minyak tanah
dan gas. Sebagai akibat perkembangan teknologi, saat ini banyak rumah
tangga menggunakan kompor listrik. Perubahan seperti terjadi sebagai
dampak perkembangan kebudayaan suatu bangsa. Leslie A. White dalam
teori evolisinya mensinyalir perubahan kebudayaan sejalan dengan peng-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 256


gunaan energi per kapita. Hal ini menandakan, bahwa evolusi kebudayaan
dengan perkembangan teknologi saling mendukung satu sama lain. Per-
kembangan atau evolusi teknologi dapat ditelusuri beikut ini:
a) Discovery (Penemuan)
Penemuan adalah tindakan mendeteksi sesuatu yang baru, atau
sesuatu yang sebelumnya tidak dikenal. Dengan mengacu pada ilmu penge-
tahuan dan disiplin akademik, penemuan adalah pengamatan fenomena
baru, tindakan baru, atau peristiwa baru dan memberikan alasan baru untuk
menjelaskan pengetahuan yang dikumpulkan melalui pengamatan tersebut
dengan pengetahuan yang diperoleh sebelumnya dari pemikiran abstrak
dan pengalaman sehari-hari. Penemuan terkadang berdasarkan pada pene-
muan, kolaborasi, atau ide sebelumnya. Beberapa penemuan mewakili
terobosan radikal dalam pengetahuan atau teknologi.
Dalam disiplin ilmu, penemuan adalah pengamatan fenomena baru,
tindakan, atau peristiwa yang membantu menjelaskan pengetahuan yang
dikumpulkan melalui bukti ilmiah yang diperoleh sebelumnya. Dalam
sains, eksplorasi adalah salah satu dari tiga tujuan penelitian, dua lainnya
adalah deskripsi dan penjelasan. Penemuan dibuat dengan menyediakan
bukti pengamatan dan upaya untuk mengembangkan pemahaman, awal
yang kasar dari beberapa fenomena.
Penemuan (discovery) adalah suatu penemuan dari suatu unsur kebu-
dayaan baru, baik berupa alat yang baru, ide yang baru, yang diciptakan
oleh seorang individu atau beberapa individu dalam masyarakat yang ber-
sangkutan. Diskoveri bisa menjadi temuan (invention) apabila masyarakat
sudah mengakui, menerima dan menerapkan penemu-an baru tersebut.
Proses perubahan ini sering kali tidak memerlukan seorang individu saja,
melainkan suatu rangkaian yang terdiri dari beberapa orang pencipta.
b) Invention (Pengembangan)
Pengembangan (invention) atau penemuan adalah suatu proses pem-
baruan dari penggunaan sumber daya alam, energi dan modal, pengaturan
baru dari tenaga kerja dan penggunaan teknologi baru yang semua akan
menyebabkan adanya sistem produksi dan dibuatnya produk-produk yang
baru. Dengan demikian, invention mengenai pembaruan kebudayaan yang
khusus mengenai unsur teknologi dan ekonomi.
Penemuan adalah perangkat, metode, komposisi atau proses yang unik
atau baru. Proses penemuan adalah suatu proses dalam keseluruhan proses
rekayasa dan pengembangan produk. Ini mungkin merupakan peningkatan
pada mesin atau produk atau proses baru untuk membuat objek atau hasil.
Penemuan yang mencapai fungsi atau hasil yang benar-benar unik bisa
menjadi terobosan radikal. Karya-karya seperti itu adalah novel dan tidak
jelas bagi orang lain yang terampil di bidang yang sama. Seorang penemu

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 257


mungkin mengambil langkah besar dalam keberhasilan atau kegagalan.
Beberapa penemuan dapat dipatenkan. Paten secara hukum melin-
dungi hak kekayaan intelektual penemu dan secara hukum mengakui,
bahwa penemuan yang diklaim sebenarnya adalah penemuan. Aturan dan
persyaratan untuk mempatenkan penemuan bervariasi dari satu negara ke
negara dan proses mendapatkan paten sering mahal.
c) Evolusi (perubahan)
Evolusi budaya adalah teori evolusi perubahan sosial. Ini sesuai
dengan definisi budaya yaitu informasi yang mampu mempengaruhi peri-
laku individu yang mereka dapatkan dari anggota lain dari spesies mereka
melalui pengajaran, imitasi dan bentuk-bentuk transmisi sosial. Evolusi
budaya adalah perubahan informasi ini dari waktu ke waktu.
Evolusi budaya, secara historis juga dikenal sebagai evolusi sosiokul-
tural, pada awalnya dikembangkan pada abad ke-19 oleh para antropolog
yang berasal dari penelitian Charles Darwin tentang evolusi. Saat ini,
evolusi budaya telah menjadi dasar bagi bidang penelitian ilmiah yang ber-
kembang di bidang ilmu sosial, termasuk studi antropologi, ekonomi, psiko-
logi dan organisasi. Sebelumnya, diyakini bahwa perubahan sosial dihasil-
kan dari adaptasi biologis, tetapi para antropolog sekarang umumnya mene-
rima, bahwa perubahan sosial muncul sebagai akibat dari kombinasi penga-
ruh sosial, evolusi dan biologis.
Ada sejumlah pendekatan yang berbeda untuk mempelajari evolusi
budaya, termasuk teori pewarisan ganda, evolusi sosial budaya, memetika,
evolusi budaya dan varian lain pada teori seleksi budaya. Pendekatannya
tidak hanya berbeda dalam sejarah perkembangan dan disiplin asal mereka,
tetapi juga bagaimana mereka mengkonseptualisasikan proses evolusi bu-
daya dan asumsi, teori dan metode yang mereka terapkan dalam studinya.
Dalam beberapa tahun terakhir, telah ada konvergensi dari gugus teori
terkait untuk melihat evolusi budaya sebagai disiplin terpadu dalam dirinya
sendiri.
Suatu evolusi dalam kebudayaan adalah proses perubahan setahap
demi setahap yang relatif makan waktu dari barang yang pada awalnya
diciptakan manusia (invention). Pada dasarnya evolusi tersebut dimaksud-
kan untuk menjadikan lebih baik, lebih canggih dan lebih nyaman dari
temuan sebelumnya. Sepeda, mobil, pesawat terbang, rumah, bentuk dan
kondisinya sangat jauh berbeda ketika pertama kali diciptakan. Perubahan
tersebut tidak berlangsung cepat, melainkan tahap demi tahap. Bagaimana
pun juga evolusi membawa dampak berupa perubahan-perubahan kebu-
dayaan.
d) Difusi

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 258


Bersamaan dengan penyebaran dan migrasi kelompok-kelompok ma-
nusia di muka bumi, turut pula tersebar unsur-unsur kebudayaan. Sejarah
dari proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan ke seluruh penjuru dunia
disebut difusi (diffusion). Penyebaran unsur-unsur kebudayaan tadi dapat
saja terjadi tanpa ada perpindahan kelompok-kelompok manusia atau
bangsa-bangsa dari satu tempat ke tempat lainnya. Akan tetapi, tidak dapat
dipungkiri, bahwa ada individu-individu tertentu yang membawa unsur
kebudayaan tersebut; pedagang, saudagar, pelaut dan sebagainya. Selain
itu, penyebaran kebudayaan juga dapat terjadi, karena adanya pertemuan-
pertemuan antara individu dalam suatu kelompok dengan individu kelom-
pok sekitarnya.
Dalam antropologi budaya dan geografi budaya, difusi budaya,
sebagaimana dikonseptualisasikan oleh Leo Frobenius dalam terbitan tahun
1897/98 Der westafrikanische Kulturkreis, adalah penyebaran benda-benda
budaya — seperti gagasan, gaya, agama, teknologi, bahasa — antara indi-
vidu, baik dalam budaya tunggal atau dari satu budaya ke budaya lain. Ini
berbeda dari difusi inovasi dalam budaya tertentu. Contoh difusi termasuk
penyebaran kereta perang dan peleburan besi pada zaman kuno dan
penggunaan mobil dan pakaian bisnis Barat pada abad ke-20.
Difusi budaya, pertama kali diperkenalkan oleh Alfred L. Kroeber
dalam karya Stimulus Diffusion tahun 1940 untuk mendeskripsikan penye-
baran benda-benda budaya — seperti gagasan, gaya, agama, teknologi,
bahasa, dll. —di antara individu, baik dalam budaya tunggal maupun dari
satu budaya ke budaya lainnya.
Difusi budaya adalah penyebaran budaya, termasuk aspek-aspek
seperti pakaian dan makanan, dari satu kelompok ke kelompok lain,
biasanya sebagai akibat dari melakukan kontak untuk pertama kalinya.
Penjelajah Eropa yang membawa kembali makanan dan barang-barang lain,
seperti tembakau, dari tanah yang baru dieksplorasi adalah contoh difusi
budaya.
Ketika satu budaya mulai mengadopsi unsur-unsur yang lain, baik
dalam cara, agama, makanan, pakaian, praktik pertanian atau elemen
budaya lainnya, ini adalah difusi budaya. Orang-orang di Moskow meng-
alami difusi budaya dari Amerika ketika McDonalds pertama kali diperke-
nalkan di wilayah itu. Konsep restoran cepat saji yang menyajikan ham-
burger eksotis dan baru bagi mereka saat itu. Namun, difusi budaya tidak
selalu merupakan hal yang baik. Ini dapat menyebabkan perpindahan
tradisi budaya asli dan itu bahkan bisa berbahaya. Misalnya, menurut Boise
State University, ketika penjelajah Prancis tiba di Amerika Utara, mereka
memperkenalkan virus cacar, yang akhirnya menghancurkan populasi

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 259


penduduk asli yang sistem kekebalannya tidak pernah terkena penyakit
tertentu.
Difusi inovasi adalah teori yang berusaha menjelaskan bagaimana,
mengapa dan pada tingkat apa ide dan teknologi baru menyebar. Everett
Rogers, seorang profesor studi komunikasi, mempopulerkan teori ini dalam
bukunya Diffusion of Innovations. Buku ini pertama kali diterbitkan pada
tahun 1962 dan sekarang dalam edisi kelima (2003). Rogers berpendapat,
bahwa difusi adalah proses di mana suatu inovasi dikomunikasikan dari
waktu ke waktu di antara para peserta dalam suatu sistem sosial. Asal-usul
teori difusi inovasi bervariasi dan menjangkau berbagai disiplin ilmu.
Rogers mengusulkan, bahwa empat elemen utama memengaruhi
penyebaran gagasan baru: inovasi itu sendiri, saluran komunikasi, waktu
dan sistem sosial. Proses ini sangat bergantung pada modal manusia.
Inovasi harus diadopsi secara luas untuk mempertahankan diri. Dalam
tingkat adopsi, ada titik di mana sebuah inovasi mencapai masa kritis.
Kategori pengadopsi adalah inovator, pengguna awal, mayoritas awal,
mayoritas akhir dan lamban. Difusi memanifestasikan dirinya dalam
berbagai cara dan sangat tunduk pada jenis pengadopsi dan proses
pengambilan keputusan inovasi. Kriteria untuk kategorisasi adopsi adalah
inovasi, yang didefinisikan sebagai tingkat di mana seseorang mengadopsi
ide baru.
F. Ilmu Budaya dan Politik
Seperti halnya dengan hubungan ilmu kebudayaan dengan keenam
unusur kebudayaan lainnya, hubungan antara kebudayaan dengan politik
juga merupakan satu obyek pembahasan ilmu budaya. Hubungannya ter-
letak pada timbulnya gejala-gejala politik dalam kehidupan manusia. Antro-
pologi Politik adalah suatu cabang studi tentang politik sebagaimana di-
tinjau dari sudut pandang Antropologi, khususnya Antropologi  budaya
(ilmu budaya). Kajian ini akan membahas dan mempelajari kejadian-
kejadian dan gejala-gejala politik, kekuatan-kekuatan politik, kerjasama
politik dan aspek kehidupan politik lainnya, dengan melihatnya secara
khusus dari latar belakang kebudayaan, serta sistem norma pelaku-pelaku-
nya. Fokus perhatian dari hubungan kebudayaan dan politik tertuju pada
aspek-aspek kehidupan politik yang terjadi, dengan mengingat relevansi
yang besar dari permasalahan-permasalahan politik di negara-negara yang
sedang berkembang dan maju. 
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dalam hal:
pikiran (cultural knowledge), perilaku berpola (cultural behavour) dan ornamen
kebudayaan (cultural artifact). Ilmu budaya dan antropologi memiliki kesa-
maan dan memiliki pula perbedaan. Ilmu budaya mempelajari kebudayaan
dan budaya dari segi kebudayaan itu sendiri. Sedangkan, antrolopologi

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 260


mempelajari kebudayaan dari manusianya sebagai pencipta kebudayaan.
Jadi, ilmu budaya memilihat kebudayaan sebagai budaya (diciplinaire), se-
dangkan antopologi melihat kebudayaan sebagai sintesa dari manusia yang
menciptakan kebudayaan (intercultural).
Ilmu budaya dan antropologi sama-sama mempeljari kebudayaan dari
sudut pandang (paradigm), yang berbeda. Jadi, dapat saya simpulkan, bahwa
keduanya memang berbeda, tapi tujuan akhirnya sama yaitu studi kebu-
dayaan (culture dan cultural study)68. Dengan demikian, sebaiknya jangan kita
terkungkum di dalam perbedaan seperti ini, karena tidak ada gunanya.
Studi kebudyaan kemudian diperluas menjadi antropologi terapan (applied
anthropology). Ilmu budaya dan antropologi memiliki tujuan untuk mem-
pelajari manusia dalam bentuk masyarakat, suku bangsa, berperilaku dan
berkebudayaan untuk membangun masyarakat itu sendiri. Dalam bidang
teori ilmu budaya dan antropologi, memberikan penjelasan dalam me-
nunjukkan perbedaaan struktur sosial dan pola-pola kebudayaan yang
berbeda-beda pada tiap-tiap masyarakat. Antropologi Politik membahas
pendekatan antropologi terhadap gejala-gejala politik dalam kehidupan
masyarakat. Pembahasan meliputi teori-teori mengenai perwujudan politik
dalam kehidupan manusia, serta sistem politik pada masyarakat sederhana
dan modern. Selain itu, Ilmu budaya dan antropologi juga membahas per-
spektif yang digunakan dalam membedah gejala-gejala politik dalam kehi-
dupan manusia, termasuk yang tidak terkategorikan sebagai gejala-gejala
politik yang berkaitan dengan lembaga-lembaga politik formal atau peme-
rintah dalam masyarakat modern. Dengan demikian, cakupan pembahasan
meliputi pula berbagai gejala politik dan organisasi sosial dalam komuniti-
komuniti masyarakat perdesaan atau non-masyarakat kompleks. Kaitan
antara Ilmu budaya dan antropologi dan ilmu politik dimaksudkan untuk
memberikan pengertian-pengertian dan teori-teori tentang strata (status) dan
peranan (role) satuan-satuan sosial budaya yang lebih kecil dan seder-hana.
Ilmu budaya dan antropologi pada awalnya lebih banyak memusat-kan
perhatiannya pada kehidupan masyarakat dan kebudayaan di desa-desa
dan di pedalaman. Pembahasan tentang antropologi politik tidak bisa
dipisahkan dari pemahaman, berikut: 1) Ruang lingkup atau batasan yang
menjadi ruang sentuhan antara disiplin antropologi dan ilmu politik.
Pengertian dasar mengenai kedua disiplin ini akan memudahkan perumus-
an mengenai ruang lingkup antropologi politik, 2) Pendekatan-pendekatan
antropologi politik melalui pemahaman atas kedua aspek di atas menjadi
suatu kajian, yang dapat secara subyektif menyatakan diri memakai pen-
68
Studi budaya (Cultural study) adalah bidang analisis budaya secara teoritis, politik, dan
empiris yang berkonsentrasi pada dinamika politik budaya kontemporer, fondasi
historisnya, mendefinisikan sifat, konflik, dan kontinjensi.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 261


dekatan antropologi politik atau secara obyektif ke dalam subdisiplin ini.
Secara tersirat dari istilah yang dipergunakan yaitu antropologi politik,
subdisiplin ini menempati wilayah kajian yang menjembatani disiplin
antropologi dengan ilmu politik. Ruang jembatan tersebut diisi dengan titik-
titik persentuhan dalam teori, konsep, metodologi dan pendekatan yang
dipergunakan. Dalam hal teori dan konsep, hubungan tersebut berupa
hubungan antara struktur masyarakat dengan tebaran kekuasaan dalam
masyarakat tersebut. Jadi, dapat saya katakan di sini, bahwa ketika
antropologi menjadi kajian atas struktur masyarakat dan pranata sosial
masyarakat, ilmu politik memfokuskan kajiannya dalam aspek kekuasaan
yang terjadi di dalam masayarakat yang bersangkutan. Dengan demikian,
kajian antropologi politik berusaha menghubungkan kedua ilmu tersebut
menjadi satu wilayah kajian (interdisipliner). Seperti yang sudah saya
singgung di atas, bahwa kanjian Ilmu budaya dan antropologi telah
menanamkan berpengaruhnya dalam bidang metodologi penelitian ilmu
politik (etik, emik dan full participation research).
Salah satu pengaruh yang sangat berguna, terutama metode peserta
pengamat, adalah memaksa sarjana ilmu politik untuk meniliti gejala-gejala
kehidupan sosial secara langsung. Mereka harus berinterkasi langsung
dengan masyarakat sebagai obyek penelitiannya. Pembahasan dalam antro-
pologi politik bisa berisi dengan berbagai persoalan yang berkaitan dengan
deskripsi dan analisa tentang sistem (struktur, proses dan perwakilan) yang
terdapat dalam masyarakat primitif. Antropologi politik merupakan pende-
katan antropologi dalam mempelajari proses-proses dan struktur-struktur
politik yang dilakukan melalui metode kajian kasus, baik yang intensif
maupun melalui kajian perbandingan lintas budaya (cultural comparative)69.
Akan tetapi, hasil kajian antropologi politik tidak dapat dianggap sebagai
kajian spesialis dan terfokus. Menurut David Easton (2006), bahwa antro-
pologi politik sebenarnya tidak ada, karena para ahlinya telah gagal untuk
menunjukkan batas-batas yang membedakan antara sistem politik dengan
sistem lain ada dalam masyarakat. Demikian pula hubungan antara pranata
politik dengan pranata sosial lainnya, yang berkembang di dalam masya-
rakat, mereka tidak mampu membuat perbedaan yang jelas.
Antropologi politik kemudian berkembang setelah terbitnya buku
African Political System oleh M. Fortos dan E.E. Evan Pitchard pada tahun
1940. Redcliffe Brown, sebagai penulis kata pengantar buku ini menganggap
bahwa: organisasi politik adalah organisasi yang melaksanakan aktifitas sosial yang
69
Memang salah satu label utama ilmu budaya dan antropologi adalah konsep holistis
dan komparatif. Holistis artinya pembahasan yang lengkap, mendalam dan
menyeluruh. Komparatif artinya kebenaran dan keabsahan sesuatu diperoleh melalui
perbanding antara satu kasus dengan kasus lainnya.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 262


menyangkut penjagaan keteraturan dan stabilitas masyarakat dalam suatu wilayah
tertentu, dengan menggunakan kekuasaan dan kalau perlu kekerasan secara absah.
Berdasarkan pada batasan dan definisi tersebut, topik-topik yang termasuk
bahasan antropologi politik, meliputi: 1) masalah-masalah hukum adat, 2)
organisasi kenegaraan, 3) organisasi perang, 4) organisasi kepemimpinan, 5)
pemerintahan dan 6) kekuasaan. Para ahli ilmu budaya dan antropologi
membatasi diri untuk membahas masalah-masalah: a) Organisasi kenegara-
an: evolusi terjadinya organisasi negara, b) Organisasi perang: sebab timbul-
nya perang dan akibat timbulnya perang dan c) Organisasi kepemimpinan:
pemerintahan, kekuasaan.
Kajian antropologi politik berasal dari dua bidang ilmu yaitu: antropo-
logi dan ilmu politik. Antropologi manurut Koentjaraningrat (1990) berasal
dari kata Yunani anthropos yang berarti manusia atau orang dan logos yang
berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis
sekaligus makhluk sosial. Jadi, antropologi adalah ilmu yang mempelajari
umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk
fisik masyarakat, serta kebudayaan yang dihasilkan. Sedangkan ilmu politik
adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan, baik secara konstitusional
maupun non-konstitusional. Ada beberapa pandangan tentang politik: 1)
politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan
kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles), 2) politik adalah hal-hal yang
berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara, 3) politik
merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan memperta-
hankan kekuasaan di masyarakat dan 4) politik adalah segala sesuatu Yang
berkaitan dengan proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Ada beberapa hal yang pantas menjadi wilayah kajian antropologi
politik seperti di bawah ini:
1. Masyarakat (Society)
Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok
orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), di
mana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada
dalam kelompok tersebut. Kata masyarakat sendiri berakar dari kata dalam
bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu
jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah
sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain).
Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok
orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat
dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasa-
an, serta sistem atau aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan
tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 263


kemaslahatan. Menurut Selo Sumardjan (1974) masyarakat adalah orang-
orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan
Masyarakat sering diorganisasikan berdasarkan cara utamanya dalam
bermata pencaharian. Pakar ilmu sosial mengidentifikasikan beberapa ben-
tuk masyarakat berikut ini: masyarakat pemburu, masyarakat pastoral
nomadis, masarakat bercocok tanam dan masyarakat agrikultural intensif,
yang juga disebut masyarakat peradaban. Sebagian pakar menganggap
masyarakat industri dan paskaindustri sebagai kelompok masyarakat yang
terpisah dari masyarakat agrikultural tradisional.
Masyarakat dapat pula diorganisasikan berdasarkan struktur politik-
nya: berdasarkan urutan kompleksitas dan besar, terdapat masyarakat band,
suku, chiefdom dan masyarakat negara.
Kata society berasal dari bahasa latin, societas, yang berarti hubungan
persahabatan dengan yang lain. Societas diturunkan dari kata socius yang
berarti teman, sehingga arti society berhubungan erat dengan kata sosial.
Secara implisit, kata society mengandung makna bahwa setiap anggotanya
mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan
bersama.
Untuk menganalisa secara ilmiah tentang proses terbentuknya masya-
rakat sekaligus problem-problem yang ada sebagai proses-proses yang
sedang berjalan atau bergeser kita memerlukan beberapa konsep. Konsep-
konsep tersebut sangat perlu untuk menganalisa proses terbentuk dan
tergesernya masyarakat dan kebudayaan serta dalam sebuah penelitian
antropologi dan sosiologi yang disebut dinamik sosial (social dynamic)70.
Konsep-konsep penting tersebut antara lain : 1) Internalisasi (internalization)
yaitu penanaman prilaku, sikap dan nilai seseorang yang di dapatkannya
dalam proses pembinaan, belajar dan bimbingan. Harapannya agar apa
yang di dapatkan dan dilakukannya sesuai dengan keinginan dan harapan
dalam kehidupan bermasyarakat, 2) Sosialisasi (socialization) yaitu proses
penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi
ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sebuah
proses sosial yang terjadi di dalam diri seseorang dalam mempelajari,
menyesuaikan diri atau mematuhi norma – norma sosial, nilai, perilaku dan
adat istiadat yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga dapat berperan
dan berfungsi secara aktif di dalam kelompok atau masyarakatnya dan 3)
Enkulturasi (enculturation) proses mempelajari nilai dan norma kebudayaan
yang dialami individu selama hidupnya. Menurut E. Adamson Hoebel
enkulturasi adalah kondisi saat seseorang secara sadar atau pun tidak sadar
70
Lihat Augus Comte Social dynamics adalah teori tentang perkembangan manusia.
Comte tidak membicarakan tentang asal usul manusia karena itu berada di luar batas
ruang lingkup ilmu pengetahuan.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 264


mencapai kompetensi dalam budayanya dan menginternalisasi budaya
tersebut. Enkulturasi atau pembudayaan adalah proses mempelajari dan
menysuaikan alam pikiran dan sikap individu dengan sistem norma, adat
dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Redfield,
Linton dan Herskovits (1936): Acculturation comprehends these phenomena
which result when groups of individuals having different cultures come into
continous first-hand contact, with subsequent changes in the original
cultural patters of either or both groups.
2. Integrasi Sosial (Social intergrations)
Kata Integrasi Sosial (Social intergrations) berasal dari bahasa inggris
integration yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan. integrasi sosial di-
maknai sebagai proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling ber-
beda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan
masyarakat yang memilki keserasian fungsi. Definisi lain mengenai inte-
grasi adalah suatu keadaan di mana kelompok-kelompok etnik beradaptasi
dan bersikap komformitas terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat,
namun masih tetap mempertahankan kebudayaan mereka masing-masing.
Integrasi sosial adalah penyatuan dua atau lebih unsur sosial menjadi satu
kesatuan utuh yang dapat diterima dengan baik. Integrasi sosial juga dapat
diartikan sebagai proses adaptasi antara kelompok yang berbeda kedalam
suatu kehidupan bermasyarakat. Tujuan umum dari integrasi sosial adalah
untuk melakukan pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial
serta untuk menyatukan unsur-unsur sosial yang berbeda dalam masya-
rakat. Integrasi sosial penting untuk menjaga masyarakat, agar siap
menghadapi tantangan, baik tantangan fisik maupun mental yang terjadi
dalam kehidupan sosial.
Manusia sebagai mahluk sosial dalam melakoni hidupnya senantiasa
akan berinteraksi dengan manusia lainnya dalam upaya mencapai aspek-
aspek kebutuhan hidupnya. Secara mendasar kebutuhan manusia tidak
hanya persoalan makan, minum, biologis dan sebagainya. Lebih dari itu
manusia menciptakan dirinya sendiri dalam mengakomodasi kebutuhannya
atas bentuk lain yang memberikannya pengakuan eksistensi diri, status
sebagai anggota masyarakat, posisi yang menguntungkan dalam ranah-
ranah sosial, bahkan sampai bentuk-bentuk lainnya seperti penghargaan
dari dan kepada orang lain dalam bentuk pujian. Kehidupan manusia di
dalam bermasyarakat setidaknya dalam era modern ini selalu berada dalam
rangkaian pengaruh sistem politik dan bernegara. Sebagai salah satu bentuk
peran dan pemenuhan kebutuhan berorganisasi dan pembagian kekuasaan
dalam pranata-pranata yang ada di dalam kehidupan masyarakat adalah
pranata politik itu sendiri. Dalam konteks era saat ini, setidaknya setiap
warga masyarakat dalam bernegara selalu bersentuhan dengan politik

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 265


praktis, baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya
dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik
politik yang terjadi dalam realitas sosial-budaya. Jika, secara tidak langsung,
hal ini memberikan gambaran, bahwa individu atau kelompok tersebut
sebatas mendengar informasi, atau berita-berita tentang peristiwa politik
yang terjadi. Apabila secara langsung, berarti individu atau kelompok
tersebut terlibat langsung di dalam peristiwa politik tertentu.
Menurut Almond dan Verba (1984), bahwa budaya dalam kaitannya
dengan politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas dari suatu masya-
rakat terhadap sistem politik. Budaya politik adalah salah satu aspek dari
nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul dan mitos
dalam suatu populasi tertentu. Kesemuanya dikenal dan diakui sebagian
besar masyarakat yang memberikan rasionalisasi untuk menolak atau
menerima nilai-nilai atau norma lain. Dengan demikian, bisa dikatakan
politik juga telah merasuk kedalam dunia agama, kegiatan ekonomi, sosial,
kehidupan pribadi secara luas, yang memberikan corak suatu masyarakat
dalam meng-operasionalisasikan cara mereka dalam menghadapi suatu
masalah-masalah politik. Saya ambil contoh, konflik dalam menyelesaikan
masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan,
dinamika partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat
terhadap kekuasa-an yang sedang memerintah. Ilmu politik pada umumnya
lebih menekan-kan perspektif politik pada salah satu unsur yang ada dari
berbagai unsur-unsur dalam kebudayaan. Unsur-unsur tersebut dalam
kenyataannya saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya secara
terpisah. Artinya, hanya sebagian saja pranata masyarakat yang berimpli-
kasi pada pemahaman terkait masalah perilaku politik. Masalah politik,
bahkan kemudian cenderung untuk dilihat terpisah sebagai induk dalam
pemahaman realitas sosial, seperti bagian dalam pranata politiknya yakni
sistem pemerintahan dan administrasi birokrasi. Kajian politik dengan
menggunakan pendekatan antropologi berupaya meneliti kekuasaan dalam
konteks sosial-kultural. Oleh karena itu, kekuasaan bersifat inklusif yang
harus dikaji melalui bidang-bidang dan hirarki-hirarki kekuasaan yang ada
di dalam setiap masyarakat. Kajian seperti ini, terinspirasi oleh pendekatan
struktural-fungsional.
Suatu masyarakat memiliki komponen dan unsur-unsur yang saling
berkaitan satu sama lain, sekalipun komponen dan unsur–unsur masyarakat
ini pasti memiliki suatu perbedaan. Akan tetapi, mau tidak mau mereka
harus bekerja sama untuk saling mendukung, agar sama-sama mendapat
keuntungan. Untuk itu perlu terbentuk integrasi sosial berikut untuk
menjamin kelancaran proses terjadinya suatu integrasi sosial :
a. Tahap Interaksi

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 266


Interaksi sosial (social interactions) adalah hubungan timbal balik dalam
masyarakat yang tercipta, karena adanya komunikasi antara satu pihak
dengan pihak lainnya melalui sebuah tindakan tertentu. Tindakan yang
dimaksud di sini adalah semua tindakan yang sesuai dengan nilai dan
norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Dengan demikian, saya
bisa menyamakan kata tindakan yang sesuai nilai, norma dan aturan
tersebut dengan tingkah laku terpola (patterned behavior). Syarat terjadinya
interaksi adalah adanya kontak sosial dan komunikasi antar pihak yang
terlibat. Tentunya interaksi pasti dibutuhkan untuk saling mengenal dalam
upaya membentuk integrasi sosial.
b. Tahap Identifikasi
Setiap orang yang saling mengenal setelah melakukan proses interaksi,
dipastikan masing masing pihak akan berusaha untuk saling menerima dan
memahami satu sama lain. Tahapan ini yang saya sebut sebagai tahapan
identifikasi. Tahapan ini sangat menentukan diterima atau ditolaknya
sebuah interaksi sosial. Apabila proses identifikasi berlangsung dengan
lancar, kerjasama akan lebih cepat dan terbentuk lebih mudah. Sebaliknya,
proses indetifikasi yang berbelit-belit dan lama juga dapat menghasilkan
interaksi sosial yang kurang berterima, bahkan cenderung ditolak. Salah
satu bentuk proses yang cenderung makan waktu lama adalah proses
madduta (melamar) di kalangan orang Bugis. Madduta tersebut harus dimulai
dengan mammanu’-manu’ (pra-pelamaran) dan dilanjutkan dengan proses
lettu’ (melamar). Peorses selanjutnya adalah mappasiarekeng atau mappettu
ada (membentuk kesepakatan): uang mahar (panai), menentukan pattenre’
sompa (pendamping mahar), tudang botting (hari peksanaan dan prosesi
pelaksanaan, tanggungjawab masing-masing) dan hal-hal lain yang di-
anggap perlu. Proses selanjutnya adalah mappenre’ doi (penyerahan uang
mahar). Proses selanjutnya kawing (menikah). Proses negoisasi yang paling
menentukan dan memerlukan waktu cukup lama adalah dari madduta ke
mappasiarekeng, karena menentukan proses interaksi lanjutan. Kedua belah
pihak saling menyelidiki asal usul (bibit dan bobot), pekerjaan dan hal-hal
lain, yang dianggap cukup menjamin kelansungan rumah tangga calon
pengantin. Kadang-kadang dalam fase ini terjadi interkasi yang berbelit-
belit, sehingga cenderung negosiasi gagal dan prosesnya harus dihentikan,
karena proses identifikasi mengalami jalan buntu.
c. Tahap Kerjasama
Kerjasama timbul apabila kedua belah pihak menyadari, bahwa
mereka mempunyai kepentingan yang sama. Pada saat bersamaan mem-
punyai cukup pengendalian diri untuk memenuhi kepentingan tersebut.
Kesadaran ini akan menimbulkan kerjasama dengan tujuan membuat
pencapaian tujuan menjadi lebih mudah. Sebaliknya, pada contoh proses

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 267


pernikahan orang Bugis di atas, dimana kedua belah pihak bertahan pada
kepentingan masing-masing, sehingga sudah dapat dipastikan tujuan tidak
akan tercapai. Artinya, kerjasama tidak mungkin terjalin, karena tidak ada
kesamaan visi dan misi tentang proses pernikahan yang direncanakan.
d. Tahap Akomodasi
Akomodasi adalah suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan
tanpa menghancurkan pihak lawan. Setelah bekerja sama dan menjalankan
tugasnya masing masing, biasanya akan muncul konflik dan pertentangan
antar pihak-pihak yang terlibat. Pertentangan ini perlu diredakan, agar
tidak menghasilkan perpecahan dan di sinilah akomodasi berperan. Ako-
modasi juga diartikan sebagai usaha untuk mencapai penyelesaian dari
suatu pertikaian ataupun konflik (baca pengertian konflik) oleh pihak pihak
yang bertikan dan mengarah pada kondisi ataupun keadaan selesainnya
suatu konflik atau pertikaian tersebut. Apabila akomodasi diawali dengan
upaya upaya oleh pihak pihak yang bertikai untuk saling mengurangi
sumber pertentangan antara dua belah pihak, sehingga intensitas konflik
mereda.
Ada beberapa bentuk akomodasi yang digunakan untuk meredahkan
sebuah konflik, yaitu: 1) Coercion adalah proses akomodasi yang proses
pelaksanaannya dilakukan dengan cara paksaan ataupun menggunakan
kekerasan. Coercion terjadi umumnya disebabkan adanya perbedaan derajat
kedudukan yang jauh antara kedua belah pihak dalam struktur sosial. Salah
satu contohnya adalah sengketa tanah antara orang kaya dengan orang
miskin, 2. Compromise yaitu proses akomodasi yang membuat kedua belah
pihak saling mengurangi tuntutan atau ekspektasi, sehingga sumber
ketegangan berkurang aan masalah ataupun konflik dapat terselesaikan, 3.
Arbitration yaitu proses akomodasi yang dilakukan dengan menghadirkan
pihak ketiga, sehingga menjadi penengah pertikaian diantara kedua belah
pihak yang berkonflik, 4) Mediation proses akomodasi yang merupakan
penye-lesaian pertikaian antara dua kelompok atau lebih, diamana kedua
belah pihak tidak sanggup mencapai kesepakatan. Akibatnya kedua belah
pihak yang berkonflik menghadirkan pihak  ketiga sebagai penengah dalam
konflik. Mediasi berbeda dengan arbitrasi, karena pihak ketiga dalam
mediasi tidak berhak mengambil keputusan atau dengan kata lain bersifat
netral. Sedangkan dalam arbitrasi, pihak ketiga dapat mengambil sebuah
keputusan yang moderat (win-win solutions) demi menyelesaikan masalah,
5) Conciliation yaitu usaha untuk mempertemukan pihak-pihak yang ber-
konflik dengan menggunakan perwakilan dari kedua pihak. Hal ini dimak-
sudkan, agar mereka dapat mencapai persetujuan bersama dengan fikiran
yang lebih tenang. Contoh kasus yang paling nyata terjadi di Aceh yaitu
GAM atau gerakan Aceh Merdeka, 6) Tolerance yaitu bentuk akomodasi

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 268


yang paling acuh dari yang lainnya. Toleransi adalah bentuk akomodasi
yang berusaha menghindari konflik sedapat mungkin, contohnya adalah
toleransi dalam beragama, 7) Stalemate yaitu bentuk akomodasi yang terjadi
antara pihak-pihak yang memiliki kedudukan ataupun kekuatan yang sama
besarnya, sehingga konflik akan berhenti dengan sendirinya. Hal ini terjadi
dikarenakan adanya pertimbangan apabila konflik berlanjut menjadi perse-
teruan ataupun kontak negatif, akan terjadi kehancuran pada kedua pihak
(kalah jadi abu menang jadi arang) dan 8) Adjudication yaitu bentuk akomo-
dasi dengan menggunakan jalan hukum yaitu pengadilan. Masing masing
pihak sepakat untuk membawa masalah tersebut ke meja peradilan.
e. Tahap Asimilasi
Setelah melalui beberapa permasalahan dan mampu mengatasinya
tanpa menimbulkan perpecahan, biasanya hubungan antara pihak yang
berkaitan akan lebih erat, sehingga terjadinya proses asimilasi. Asimilasi
adalah proses sosial berupa usaha untuk mengurangi perbedaan-perbedaan
yang terdapat antara orang perorangan atau kelompok ke kelompok untuk
mempertinggi rasa kesatuan (unity). Menurut Koentjaraningrat (1990),
bahwa asimilasi adalah bagian proses sosial di antara kelompok dengan
kebudayaan yang berbeda terus tumbuh berkembang disertai dengan
interaksi sosial yang kontinu dan serius. Asimilasi adalah pembauran dua
kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli
sehingga membentuk kebudayaan baru. Suatu asimilasi ditandai oleh
usaha-usaha mengurangi perbedaan antara orang atau kelompok. Asimilasi
juga dapat diartikan sebagai interaksi sosial dalam jangka waktu lama
antara dua masyarakat yang mempunyai kebudayaan yang berbeda.
Asimilasi ditandai dengan adanya usaha untuk mengurangi perbedaan
antar kelompok, serta usaha menyamakan kesatuan sikap, mental dan
tindakan demi tercapainya tujuan bersama.
f. Tahap Integrasi
Setelah proses asimilasi, maka akan terbentuk integrasi. Pada proses
integrasi penyesuaian antar unsur masyarakat yang berbeda dan kemudian
membentuk keserasian dalam menjalani fungsi kehidupan.
1). Faktor yang mempengaruhi integrasi sosial
a) Homogenitas Kelompok
Homogenitas kelompok adalah kemiripan atau kesamaan dalam suatu
kelompok masyarakat baik itu kepribadian, ciri atau adat istiadat. Kesepa-
katan yang dapat disetujui bersama akan lebih mudah tercapai dengan
mempertimbangkan homogenitas dalam masyarakat yang bersangkutan.
b) Besar Kecilnya Kelompok Masyarakat
Semakin besar suatu kelompok maka perbedaan yang muncul akan
semakin banyak pula. Dalam kelompok yang relatif kecil, maka hubungan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 269


pribadinya cenderung lebih akrab dan berlangsung secara informal,
sehingga lebih mudah tercapainya suatu kesepakatan.
c) Mobilitas Geografis (Perpindahan Fisik)
Perpindahan atau pergerakan penduduk secara geografis akan
menimbulkan banyak keanekaragaman dalam suatu wilayah. Masyarakat
yang masuk ke suatu daerah baru membawa ideologi, kebiasaan, budaya
dan kepribadian dari tempat asalnya. Oleh karena itu mobilitas sosial sangat
mempengaruhi terbentuknya suatu integrasi sosial.
d) Efektivitas dan Efisiensi Komunikasi
Salah satu syarat terjadinya interaksi sosial adalah komunikasi.
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi dari satu pihak
kepada pihak lainnya. Pada umumnya komunikasi yang sering kita lihat
dilakukan secara verbal (berbicara) dengan menggunakan cara yang dapat
dimengerti oleh kedua belah pihak, contohnya dengan menggunakan
bahasa dari suatu negara tertentu. Tetapi komunikasi juga dapat dilakukan
dengan menggunakan bahasa isyarat, menunjukkan sikap tertentu, ekspresi
wajah, dll. Intinya jika informasi yang ingin disampaikan oleh satu pihak
dapat diterima dengan baik oleh pihak lainnya, maka komunikasi sudah
terjadi antara kedua belah pihak tersebut.
Lancarnya komunikasi antar individu atau antar kelompok dalam
suatu lingkungan masyarakat merupakan sebuah pertanda bahwa mereka
memiliki hubungan sosial yang baik satu sama lain. Dengan ini maka akan
lebih mudah untuk mencapai suatu kesepakatan, karenanya efektivitas dan
efisiensi dari komunikasi akan mempengaruhi integrasi sosial.
2) Bentuk-Bentuk Integrasi Sosial
a) Berdasarkan hasilnya integrasi sosial terbagi menjadi :
a.1 Asimilasi
Asimilasi adalah penggabungan dua atau lebih kebudayaan yang
hasilnya menghilangkan ciri khas dari kebudayaan asli, artinya hasil dari
asimilasi merupakan sebuah kebudayaan baru yang diterima oleh semua
kelompok dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan.
a.2 Akulturasi
Akulturasi adalah penggabungan dua atau lebih kebudayaan tanpa
menghilangkan ciri khas dari kebudayaan asli di lingkungan tersebut. Biasa-
nya kebudayaan asing yang masuk akan mendapatkan penolakan terlebih
dahulu, tetapi kemudian seiring berjalannya waktu kebudayaan ini akan di-
terima dan dimanfaatkan dengan tanpa menghilangkan ciri khas dari
kebudayaan awal.  
b) Berdasarkan penyebabnya, integrasi sosial dapat terbagi menjadi :
b.1 Integrasi Normatif

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 270


Integrasi normatif adalah integrasi yang terjadi karena norma-norma
tertentu yang berlaku dalam masyarakat secara keseluruhan. Norma ini
menjadi hal yang mampu mempersatukan masyarakat sehingga integrasi
lebih mudah terbentuk.
b.2 Integrasi Instrumental
Integrasi instrumental adalah integrasi yang tampak secara visual
akibat adanya keseragaman antar individu dalam suatu lingkungan masya-
rakat. Contoh-nya adalah keseragaman pakaian, keseragaman aktivitas
sehari – hari, keseragam-an ciri fisik, dll.
b.3. Integrasi ideologis
Integrasi ideologis adalah integrasi yang tidak tampak secara visual,
terbentuk karena adanya ikatan spiritual atau ideologis yang kuat ber-
dasarkan proses alamiah tanpa adanya paksaan. Interaksi ideologis meng-
gambarkan adanya persamaan kepahaman dalam memandang nilai sosial,
persepsi, serta tujuan antara anggota masyarakat dalam lingkungan masya-
rakat yang bersangkutan.
b.4 Integrasi Fungsional
Integrasi fungsional terbentuk karena adanya fungsi-fungsi tertentu
dari masing masing pihak yang ada dalam sebuah masyarakat.
b.5 Integrasi Koersif
Integrasi koersif adalah integrasi yang terbentuk karena adanya
pengaruh kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa. Integrasi ini dapat
bersifat paksaan.
c) Syarat Berhasilnya Integrasi Sosial
Proses mewujudkan integrasi sosial yang baik tidaklah mudah, apalagi
pada lingkungan masyarakat multikultural dengan perbedaan yang sangat
banyak. Sangat sulit untuk menemukan suatu keputusan yang dapat
diterima oleh semua kelompok masyarakat. Tetapi bagaimanapun sulitnya,
integrasi sosial sangat penting untuk dilakukan.
Menurut R William Lidle, syarat berhasilnya suatu integrasi sosial
adalah sebagai berikut: 1) Sebagian besar (mayoritas) anggota dalam masya-
rakat sepakat tentang batas – batas teritorial dari wilayah mereka sebagai
suatu kehidupan politik dan 2) Sebagian besar (mayoritas) anggota masya-
rakat tersebut sepakat mengenai struktur pemerintahan dan aturan hukum
dari proses politik dan sosial yang berlaku bagi seluruh masyarakat dalam
wilayah teritorial tersebut. Menurut William F. Ougburn dan Meyer
Nimkoff, integrasi bisa terwujud, ketika: 1) Anggota masyarakat merasa,
bahwa mereka saling mengisi kebutuhan mereka satu sama lain, 2) Masya-
rakat telah menciptakan kesepakatan bersama tentang nilai dan norma yang
berlaku dalam lingkungan tersebut, 3) Nilai dan Norma sosial itu sudah
berlaku cukup lama dan dijalankan secara konsisten, 4) Masing masing

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 271


individu atau kelompok mampu mengendalikan diri dan menyesuaikan diri
satu sama lain dan 5) Selalu menempatkan persatuan dan kesatuan sebagai
prioritas utama.
3. Konflik (conflict)
Kata ini berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling
memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial
antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik
dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di dalam masyarakat. Konflik
yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang
tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Pembahasan meliputi teori-teori mengenai perwujudan politik dalam
kehidupan manusia, serta sistem politik pada masyarakat sederhana dan
modern. Selain itu, ilmu budaya juga membahas gejala-gejala politik dalam
kehidupan manusia, termasuk yang tidak terkategori sebagai gejala-gejala
politik, yang berkaitan dengan lembaga-lembaga politik formal atau peme-
rintah dalam masyarakat modern. Dengan demikian, cakupan pembahasan
meliputi berbagai gejala politik dan organisasi sosial dalam komuniti-
komuniti masyarakat pedesaan atau non-masyarakat kompleks.
Kaitan antara Ilmu budaya dengan ilmu politik: ilmu budaya membe-
rikan pengertian-pengertian dan teori-teori tentang kedudukan (status),
serta peranan (role) satuan-satuan sosial budaya yang lebih kecil dan seder-
hana. Pada awalnya ilmu budaya lebih banyak memusatkan perhatian pada
kehidupan masyarakat dan kebudayaan di desa-desa dan di peda-laman.
Ilmu budaya juga telah berpengaruh dalam bidang metodologi pene-
litian ilmu politik. Salah satu pengaruh yang amat berguna dan terkenal,
serta kini sering dipakai dalam ilmu politik adalah metode peserta penga-
mat (full participations research). Penelitian semacam ini memaksa sarjana
ilmu politik untuk meneliti gejala-gejala kehidupan sosial dari dalam
masyarakat yang menjadi obyek penelitiannya. Hal lain yang paling banyak
diadopsi oleh para pengamat politik dari ilmu budaya adalah prinsip emik
dan perinsip etik. Prinsip etik adalah etika seorang pengamat untuk tetap
menghargai pendapat dan persepsi kliennya. Pengamat harus memperlaku-
kan apa yang ada dan sesuai dengan fakta. Sebailknya, prinsip etik adalah
pengamat berhak untuk menginterpretasi temuannya berdasarkan ilmu
yang menjadi landasan pikirannya. Hal ini tidak berarti, bahwa peneliti
diwajibkan memilih salah satunya, namun seorang peneliti yang handal
adalah yang bisa mengkombinasikan keduanya dalam koridor-koridor ke-
ilmuan.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 272


 Antropologi Politik berkembang sesudah tahun 1940, ditandai dengan
terbitnya buku African Political System oleh  M. Fortos dan E.E. Evan
Pitchard. Redcliffe Brown, penulis kata pengantar dalam buku tersebut
menganggap, bahwa organisasi politik adalah organisasi yang melaksana-
kan aktifitas sosial yang menyangkut penjagaan keteraturan dan stabilitas
masyarakat dalam suatu wilayah tertentu, dengan menggunakan kekuasaan
dan kalau perlu kekerasan secara absah. Berdasarkan definisi tersebut,
topik-topik yang termasuk dalam Antropologi Politik meliputi: 1) masalah-
masalah hukum adat, 2) organisasi kenegaraan, 3) organisasi perang,
4) organisasi kepemimpinan, 5) pemerintahan dan 6) kekuasaan. 
Ahli antropologi akan membatasi diri pada masalah-masalah, berikut
ini: a) Organisasi kenegaraan: tentang evolusi terjadinya organisasi negara,
b) Organisasi perang, tentang sebab timbulnya perang dan akibat timbulnya
perangnya dan c) Organisasi kepemimpinan, pemerintahan, kekuasaan.
Pembahasan tentang Antropologi Politik di lndonesia secara teoritis
masih jarang dilakukan. Kurangnya pembahasan tersebut, karena belum
adanya kesepakatan bersama di antara para ahli Antropologi itu sendiri
tentang ruang lingkup kajiannya.
H. Ilmu Budaya dan Hukum
Ilmu Budaya dan antropologi menggunakan pendekatan holistis dan
komparatif dalam mengkaji permasalahan dalam kehidupan manusia meli-
puti: hukum, ekonomi,  politik, termasuk budaya.
Antropologi Hukum adalah ilmu yang membahas tentang manusia
dalam kaitannya dengan kaidah-kaidah sosial yang bersifat hukum. Antro-
pologi hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari manusai dengan
kebudayaan yang khusus di bidang hukum. Antropolgi hukum adalah
suatu spesialisasi ilmiah dari antropologi budaya, bahkan dari antropologi
sosial. Kebudayaan  hukum yang dimaksud adalah menyangkut aspek-
aspek hukum, aspek-aspek yang digunakan oleh kekuasaan masyarakat
untuk mengatur anggota-anggota masyarakat, agar tidak melanggar kaidah-
kaidah sosial yang telah ditetapkan oleh masyarakat bersangkutan. Kaidah-
kaidah atau norma-norma sosial yang telah ditentukan batas-batas dan
sanksi-sanksinya itulah yang dimasud sebagai norma hukum. Norma
hukum sejajar dengan pranata sosial (social institutions). Jadi, kesemua
sistem perlaksanaan kaidah-kaidah yang mempunyai sanksi merupakan
sistem kontrol sosial (social control), yang dipertahankan masyarakat meru-
pakan proses hukum.
Dengan demikian antropologi hukum merupakan ilmu tentang
manusia dalam kaitannya dengan kaidah-kaidah sosial (social institutions)
yang bersifat hukum. Timbul pertanyaan, kaidah-kaidah sosial yang
manakah yang dimaksud kaidah hukum. Untuk itu perlu diahami apakah

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 273


yang dimaksud dengan kaidah atau norma menurut antropologi. Norma
adalah pola ulangan perilaku yag sering terjadi. Saya kembali pada salah
satu definisi kebudayaan menurut Sir Edward Burnett Tylor (1871), dimana
kebudayaan dianggap sebagai suatu kompleks dari keseluruhan yang
meliputi pengetahuan (knowledge), kesenian (arts), hukum (laws), moral
(moralities), kebiasaan dan kecakapan lain (other capabilities) yang diperoleh
manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan menurut Tylor adalah
kumpulan dari gejala sosial yang harus tunduk pada nilai, norma dan
aturan. Ketiganya menurut Tylor merupakan unsur-unsur penting dalam
pengambilan keputusan yang berbau hukum. Khusus Hoebel (1979: 14),
bahwa norma: sebagai suatu perilaku orang-orang individu dari setiap
masyarakat (atau subkelompok dalam suatu masyarakat) mengungkapkan
kesamaan dalam menanggapi rangsangan khusus, yang disebut norma.
Antropologi hukum menurut Hoebel (1972) adalah suatu norma sosial
yang berlandaskan hukum. Ketika terjadi pelanggaran atau tindakan yang
tidak mengindahkan norma sosial, yang melanggar akan diberikan sanksi
hukum, baik dalam bentuk sanksi tindakan fisik (Qanun Jinayat) 71 di Aceh,
hukuman pancung di Saudi Arabia, tembak mati di China dan sebagainya),
diberikan sanksi sosial (hukuman masyarakat, tahanan rumah dan sebagai-
nya) maupun sanksi yang lainnya yang diterapkan oleh pihak yang ber-
wenang.
Menurut Leopold Pospisil, bahwa segala sesuatunya tidak hanya diukur
menurut ukuran yang berlaku dalam budaya sendiri, karena antropologi hukum
juga memuat beberapa pengertian lainnya diantaranya: a) Antropologi hukum
itu tidak membatasi pandangannya pada kebudayaan tertentu, sehigga
antropologi hukum cenderung dikatakan komparatif. Antropologi hukum
berbicara tentang bagaimana tahap perkembangan masyarakat lokal, sepa-
tutnya dipelajari berdampingan dengan masyarakat yang budayanya sudah
maju (masyarakat madan), yang tidak dibedakan secara kualitatif, b) Antro-
pologi hukum berbeda dari cabang ilmu sosial lainnya, karena mempelajari
masyarakat secara totalitas (holistics) dan utuh dimana bagian-bagiannya
saling bertautan (systemics). Jadi, tidak dipotong menurut segi-segi tertentu
(taxonomic), misalnya; segi ekonomi, segi politik dan segi hukum sebagai
segi tersendiri, c) Antropologi hukum yang modern (contemporary) tidak lagi
memusatkan perhatiannya pada kekuatan-kekuatan sosial dan hal-hal yang
superorganis. Kajian ini memperkecil peranan individu, sehingga semuanya
mendapatkan perhatian yang sama, d) Antropologi hukum tdak meman-
dang masyarakat statis, tetapi rentang dengan gangguan dari penyimpang-
71
Qanun Jinayat mengatur sejumlah larangan dan sanksi yang sesuai dengan syariah
Islam, termasuk larangan aktivitas seksual sesama jenis, hubungan seksual di luar nikah,
dan berduaan dengan sesama jenis yang bukan suami atau istrinya (khalwat).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 274


an. Dengan demikian, antropologi hukum kontemporer memandang masya-
rakat secara dinamis, sehingga peranan sosial dan hukum tidak terbatas dan
tetap mempertahankan status quo. Stone lalu menyimpulkan, antropologi
hukum bukanlah penganut ketidakmampuan legislatif. e) Antropologi
hukum termasuk ilmu tentang hukum yang bersifat empirik dan bukan
rasional. Konsekuensinya, bahwa teori yang dikemukakan harus didukung
oleh fakta yang relevan atau setidak-tidaknya terwakili secara representatif
dari fakta yang relevan.
1. Definisi dan Konsep Antropologi Hukum

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 275


Saya akan mengutip beberapa definisi tentang hukum adat dari
berbagai ahli Antropologi dan Ahli hukum (positif dan negatif), seperti
berikut ini: 1) Menurut Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, bahwa hukum
adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mem-
punyai sanksi (hukum) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (adat).
Tingkah laku positif memiliki makna hukum yang dinyatakan berlaku dulu
dan sekarang. Sedangkan sanksi yang dimaksud adalah reaksi (konse-
kuensi) dari pihak lain atas suatu pelanggaran terhadap norma (hukum).
Kodifikasi, di pihak lain, dapat diartikan sebagai berikut: 1) menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia kodifikasi berarti himpunan berbagai peraturan
menjadi undang-undang; atau hal penyusunan kitab perundang-undangan.
Kodifikasi juga berarti penggolongan hukum dan undang-undang berdasar-
kan asas-asas tertentu di dalam buku undang-undang yang baku. Menurut
Prof. Djojodigoeno, bahwa kodifikasi adalah pembukuan secara sistematis
suatu daerah atau lapangan bidang hukum tertentu sebagai kesatuan secara
bulat (semua bagian diatur), lengkap (diatur segala unsurnya) dan tuntas
(diatur semua soal yang mungkin terjadi), 2) Menurut Ter Haar, hukum
adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat
hukum adat, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala
rakyat (kepala adat) yang membantu pelaksanaan perbuatan hukum, atau
dalam hal pertentangan kepentingan keputusan para hakim yang bertugas
mengadili sengketa. Keputusan-keputusan tersebut dianggap sah atau tidak
sah, karena kesewenangan yang dimaksud disini adalah tidak bertentangan
dengan keyakinan hukum (law awareness) rakyat, melainkan senapas dan
seirama dengan kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidaknya tidak-
tidaknya ditoleransi. Hukum adat yang berlaku tersebut hanya dapat
diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para fungsionaris
hukum (kekuasaan tidak terbatas pada dua kekuasaan saja, eksekutif dan
yudikatif) tersebut. Keputusan tersebut tidak hanya keputusan mengenai
suatu sengketa yang resmi, tetapi juga di luar itu didasarkan pada
musyawarah (kerukunan). Keputusan ini diambil berdasarkan nilai-nilai
yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-
anggota persekutuan tersebut.
2. Ruang Lingkup Antropologi Hukum
Antropologi hukum, seperti halnya dengan disiplin ilmu lainnya,
memiliki ruang lingkup hukum dalam pembahasan: 1) Apakah dalam setiap
masyarakat terdapat hukum dan bagaimanakah terhukum yang universal ?,
2) Bagaimana hubungan antara hukum dan aspek kebudayaan ?, 3) Apakah
mungkin diadakan Tipologi hukum tertentu sedangkan variasi karakteristik
hukum terbatas ?, 4) Apakah Tipologi hukum itu dapat berguna untuk

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 276


mengetahui hubungan antara hukum dan aspek kebudayaan dan kelompok
sosial ? dan 5) Mengapa hukum itu selalu berubah ?
Ruang lingkup pembahasan antropologi hukum adalah hubungan
antara hukum adat (adat recht) dengan hukum (positif dan negatif). Hukum
yang saya maksud di sini adalah hukum (law atau recht) yang mengatur
segala aspek kehidupan sadar hukum sebuah masyarakat. Keduanya akan
saya bahas secara terpisah seperti berikut ini:
a. Hukum Adat
Hukum adat (adat recht) adalah hukum yang berlaku dan diterapkan di
dalam satu kelompok masyarakat tertentu. Hukum adat adalah sistem
hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan
negara-negara lainnya seperti; Jepang, India, Cina dan beberapa negara
lainnya. Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia, sekalipun di
beberapa tempat dan masyarakat juga dikenal hukum yang sama nilainya.
Sumber hukum adat adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang
tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum
masyarakatnya. Peraturan-peraturan dalam hukum adat hampir semuanya
tidak tertulis (pasang ri Kajang, paseng ri Karampuan, wasiat, fatwa-fatwa,
petuah-petuah, pamali-pamali dan sebagainya). Akan tetapi, hukum adat
tersebut tetap tumbuh kembang, sesuai dengan loyalitas dan keseakatan
para pendukungny. Nilai dan norma hukum dari hukum tidak tertulis
tersebut memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis dengan
hukum nasional (positif dan negatif). Selain itu, dikenal pula masyarakat
hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum
adatnya (cultural institutions) sebagai warga yang hidup bersama di dalam
suatu persekutuan hukum, yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal
(Territories atau domicile) dan atas dasar keturunan (descend).
Penggunaan istilah hukum adat (adat recht) pertama diperkenalkan
oleh Prof. Snouck Hurgrounje seorang Ahli Sastra Timur dari Belanda
(1894). Sebelum istilah Hukum Adat berkembang, dulu dikenal istilah Adat
Recht. Prof. Snouck Hurgrounje dalam bukunya de atjehers (Aceh) pada
tahun 1893-1894 menyatakan hukum rakyat Indonesia yang tidak dikodifi-
kasi adalah de atjehers. Istilah hukum adat tersebut kemudian dikembangkan
oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, seorang Sarjana Sastra yang juga
Sarjana Hukum. Ia menjabat sebagai Guru Besar pada Universitas Leiden di
Belanda. Ia memuat istilah adat recht dalam bukunya yang berjudul Adat
Recht van Nederlandsch Indie pada tahun 1901-1933.
Perundang-undangan di Hindia Belanda secara resmi memperguna-
kan istilah ini pada tahun 1929 dalam Indische Staatsregeling. Bentuk dan isi
adat recht berupa Undang Undang Dasar Hindia Belanda, pada pasal 134
ayat (2) yang berlaku pada tahun 1929. Dalam masyarakat Indonesia, istilah

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 277


hukum adat tidak dikenal adanya. Menurut Hilman Hadikusuma, bahwa
istilah tersebut hanyalah istilah teknis saja. Mengapa dikatakan demikian,
karena istilah tersebut hanya tumbuh dan dikembangkan oleh para ahli
hukum dalam rangka mengkaji hukum yang berlaku dalam masyarakat
Indonesia, yang kemudian diadopsi ke dalam suatu sistem keilmuan. Di
dalam bahasa Inggris juga dikenal dengan istilah Adat Law, yang muatan
dan fungsinya tetap sama dengan adat recht. Istilah tersebut perkembangan-
nya hanya dikenal sebagai istilah Adat saja, untuk menyebutkan sebuah
sistem hukum yang dalam dunia ilmiah dikatakan hukum adat. Pendapat ini
diperkuat Muhammad Rasyid Maggis Dato Radjoe Penghoeloe dikutif Prof.
Amura, bahwa sebagai lanjutan kesempuranaan hidup mnusia selama kemakmur-
an berlebih-lebihan, karena penduduk sedikit bimbang dengan kekayaan alam yang
berlimpah ruah, sampailah manusia kepada adat.
Menurut Prof. Nasroe, bahwa adat Minangkabau telah ada sebelum
agama Hindu datang ke Indonesia pada abad ke satu tahun masehi.
Demikian pula, Prof. Dr. Mohammad Koesnoe, S.H., bahwa istilah hukum
adat telah dipergunakan seorang Ulama Aceh (Hilman, 1992) yang bernama
Syekh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin Tursani (Aceh Besar)
pada tahun 1630 (Mahadi, 1991) Prof. A. Hasymi menyatakan bahwa buku
tersebut (karangan Syekh Jalaluddin) merupakan buku yang mempunyai
suatu nilai tinggi dalam bidang hukum yang baik.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa adat adalah aturan
(perbuatan dsb.) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; cara
(kelakuan dsb.) yang sudah menjadi kebiasaan; wujud gagasan kebudayaan
yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum dan aturan yang satu
dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem. Oleh karena istilah Adat
telah diserap kedalam Bahasa Indonesia menjadi kebiasaan, istilah hukum
adat dapat disamakan dengan hukum kebiasaan (Koesnoe, 1979)
Menurut Van Dijk, kurang tepat bila hukum adat diartikan sebagai
hukum kebiasaan (Saragih, 1984). Menurutnya hukum kebiasaan adalah
kompleks peraturan hukum yang timbul, karena kebiasaan. Ini berarti,
bahwa sangat lama orang bisa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu,
sehingga lahir suatu peraturan yang diterima dan juga diinginkan oleh
masyarakat. Dmikian pula pendapat Soejono Soekanto, bahwa hukum adat
pada hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, namun kebiasaan yang
mempunyai akhibat hukum (das sein das sollen) (Saragih, 1984). Berbeda
dengan kebiasaan (dalam arti biasa), kebiasaan yang merupakan penerapan
dari hukum adat adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan berulang-
ulang dalam bentuk yang sama menuju kepada Rechtsvaardige Ordening Der
Semenleving. Pendapat tersebut dibantah oleh Van Dijk, bahwa hukum adat
dan hukum kebiasaan perlu dibedakan.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 278


Ter Haar seorang ahli hukum dengan teorinya Beslissingenleer (teori
keputusan) mengungkapkan, bahwa hukum adat mencakup seluruh
peraturan-peraturan yang menjelma di dalam keputusan-keputusan para
pejabat hukum yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta di dalam
pelaksanaannya berlaku secara serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh
hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut. Keputusan tersebut
dapat berupa sebuah persengketaan, akan tetapi juga diambil berdasarkan
kerukunan dan musyawarah. Dalam tulisannya Ter Haar menyatakan,
bahwa hukum adat dapat timbul dari keputusan warga masyarakat.
Pendapat Ter Haar tersebut didukung oleh Syekh Jalaluddin (Soerjo W,
1984) dengan menjelaskan, bahwa hukum adat pertama-tama merupakan
persambungan tali antara dulu dengan kemudian, pada pihak adanya atau
tiadanya yang dilihat dari hal yang dilakukan berulang-ulang. Hukum adat
tidak terletak pada peristiwa tersebut melainkan pada apa yang tidak
tertulis di belakang peristiwa tersebut, sedang yang tidak tertulis itu adalah
ketentuan keharusan yang berada di belakang fakta-fakta yang menuntuk
bertautnya suatu peristiwa dengan peristiwa lain.
b. Lingkungan Hukum Adat
Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven membagi Indonesia menjadi 19
lingkungan hukum adat (rechtsringen). Satu daerah yang garis-garis besar,
corak dan sifat hukum adatnya seragam disebutnya sebagai rechtskring.
Setiap lingkungan hukum adat tersebut dibagi lagi dalam beberapa bagian
yang disebut Kukuban Hukum (Rechtsgouw). Pembagian persektuan hukum
adat tersebut, akan ambil dan dikutip pendapat dari (van Vollenhoven),
yang secara garis mengglongkan lingkungan hukum adat berikut ini: 1)
Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeuleu), 2) Tanah Gayo, Alas
dan Batak, 3) Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh
Kota, tanah Kampar, Kerinci), 4) Mentawai (Orang Pagai), 5) Sumatera
Selatan, 6) Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumatera Timur, Orang
Banjar), 7)Bangka dan Belitung, 8) Kalimantan (Dayak Kalimantan Barat,
Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak,
Dayak Tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dayat
Maanyan, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak
Penyambung Punan), 9) Gorontalo (Bolaang Mongondow, Suwawa,
Boilohuto, Paguyaman), 10) Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja
Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang,
Kep. Banggai), 11) Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Sinjai, Bulukmba,
Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Selayar, Muna), 12) Kepulauan
Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Kao, Tobelo, Kep. Sula), 13) Maluku
Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei,
Kep. Aru, Kisar), 14) Irian, 15) Kep. Timor (Kepulauan Timor, Timor, Timor

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 279


Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada,
Roti, Sayu Bima), 16) Bali dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala,
Karrang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa), 17) Jawa Tengah,
Jawa Timur serta Madura (Jawa Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung,
Jawa Timur, Surabaya, Madura), 18) Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogya-
karta) dan 19) Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten).
c. Penegakan Hukum (Adat)
Menurut Hornby A. S. (1974: 869), bahwa secara etimologis, kata supre-
masi berasal dari kata supremacy dari akar kata sifat supreme, artinya
‘tertinggi dalam gelar atau peringkat tertinggi, Sedangkan supremacy berarti
‘kekuasaan tertinggi’.
Penegakan hukum (law enforcement) juga dapat diartikan sebagai suatu
rangkaian kegiatan yang bersifat hukum dalam rangka usaha pelaksanaan
ketentuan-ketentuan hukum, baik yang bersifat penindakan maupun
pencegahan yang mencakup seluruh kegiatan teknis dan administratif yang
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum. Hal ini dimaksudkan untuk
memberi rasa aman, naman, ketenangan, damai dan tertib bagi seluruh
warga masyarakat. Penegakan hukum dilakukan dalam rangka mendapat-
kan kepastian hukum dalam masyarakat, dalam rangka menciptakan
kondisi yang kondusif, agar pembangunan disegala sektor itu dapat dilaksa-
nakan oleh pemerintah.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 280


Menurut Satjipto Rahardjo (2009), penegakan hukum diartikan sebagai
suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum, yaitu
pikiran-pikiran dari badan-badan pembuat undang-undang yang dirumus-
kan dan ditetapkan dalam peraturan-peraturan hukum yang kemudian
menjadi kenyataan.
Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu mempunyai arti
luas dan arti sempit. Dalam arti luas, proses  penegakan hukum itu melibat-
kan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Dalam arti
sempit, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur
penegak hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan, bahwa suatu
aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut
objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga
mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, menegakan hukum
itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalam-nya bunyi
aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya me-nyangkut
penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.
Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum  (law enforcement) meng-
hendaki empat syarat, yaitu : 1) Adanya aturan, 2) Adanya lembaga yang
akan menjalankan peraturan itu, 3) Adanya fasilitas untuk mendukung
pelaksanaan peraturan itu dan 4) Adanya kesadaran hukum dari masya-
rakat yang terkena peraturan itu. Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo
pengamatan berlakunya hukum secara lengkap ternyata melibatkan ber-
bagai unsur sebagai berikut: 1) Peraturan sendiri, 2) Warga negara sebagai
sasaran pengaturan, 3) Aktivitas birokrasi pelaksana dan 4) Kerangka sosial-
politik-ekonomi-budaya yang ada yang turut menentukan bagaimana setiap
unsur dalam hukum tersebut di atas menjalankan apa yang menjadi
bagiannya.
d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum di Indonesia
Pokok permasalahan penegakan hukum sebenarnya terletak pada
faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut
mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya
terletak pada isi faktor-faktor, berikut ini: a) Faktor hukumnya sendiri,
dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja, b) Faktor penegak hukum,
yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum, b) Faktor
sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, c) Faktor masya-
rakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan
dan d)  Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 281


1) Pengakuan Adat oleh Hukum Formal
Supremasi atau penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat
prinsipil, karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa. Selain itu,
adat merupkan identitas bagi bangsa, sekaligus identitas bagi tiap daerah.
Dalam kasus salah satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku
Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi. Persoalannya
kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, di mana proses adat
itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau perangkat proses ritual
adat suku Nuaulu tersebut. Pelaksanaan ritual tersebut dianggap sebagai
suatu pelanggaran hukum dalam penerapan hukum formal.
Penjatuhan pidana oleh salah satu hakim pada Perngadilan Negeri
Masohi di Maluku Tengah, berupa hukum mati terhadap pelakuknya,
menuai kontroversi berkepanjangan. Para praktisi hukum adat mengingin-
kan, agar penajtuhan sanksi pidana tersebut perlu peninjauan beberapa
delik hukum lainnya. Di dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 disebutkan, hakim harus melihat atau
mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam penjatuhan putusan
pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarena-
kan tuntutan masyarakat adat, pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5
Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat. Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman
dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang
pertanahan, serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut
tanah ulayat. Selain itu, penerbitan undang-undang yang sama Undang-
Undang Pokok Kehutanan (UUPK) No. 5 Tahun 1967 dan Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960, dimaksdukan untuk memperkuat
hak-hak dan kewajiban hukum bagi masyarakat. Peraturan ini memuat
kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap hak ulayat
dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA No. 5 tahun 1960, meliputi: 1) Penyama-
an persepsi mengenai hak ulayat (Pasal 1), 2) Kriteria dan penentuan masih
adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat
(Pasal 2 dan 5) dan 3) Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah
ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang
hukum, di mana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan
hukum adat. Dengan demikian dalam prakteknya, polarisasi hukum adat
tersebut dilakukan dalam dua bentuk: a) secara deskriptif: sebagian masya-
rakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 282


lingkungannya dan b) secara preskripsi --- dimana hukum adat dijadikan
landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan ---
secara resmi diakui keberadaaanya, namun dibatasi dalam peranannya.
2) Penegak dan penegakan hukum adat
Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang
sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat
untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera. Dalam buku ini, saya akan
mengambil contoh penegakan hukum adat di wilayah Adat Kajang dan
Wilayah adat Karampuang. Mengapa demikian ? Alasan utama saya yaitu:
1) telah melakukan penelitian lapangan di kedua wilayah adat tersebut, 2)
hasil penelitian saya di wilayah adat Karampuang menjadi tesis S-2 dengan
judul Manfaat Ilmu Pengetahuan Lokal dalam Sistem Pengelolaan Hutan Berbasis
Masyarakat (Socil Forestry) pada tahun 2005 dan 3) hasil penelitian saya di
wilayah adat Kajang menjadi disertasi S-3 dengan judul Pasang ri Kajang
dalam Sistem Pengelolaan Hutan Adat di Wilayah Adat Kajang pada tahun 2005.
Dengan demikian, sebaiknya saya memberikan penjelasan tentang kearifan-
kearifan lokal di wilayah yang saya kenal baik dari-pada saya harus melaku-
kan sesuatu dengan dasar katanya (kata orang).
a) Proses Peradilan adat Kajang
Peroses peradilan adat Kajang atau sering juga dikenal sebagai
abborong ada’a (berkumpul secara adat) dilakukan di rumah adat Kajang.
Mereka berukmpul untuk membicarakan penegakan hukum adat di tanah
Kajang (ada’ tanayya ri Kajang), karena telah terjadi pelanggaran adat. Yang
bertindak selaku hakim ketua adalah Ammatowa didampingi oleh hakim
anggota (pa’rangrang bicarayya) dan dewan adat.
a.1 Empat Larangab Keras di Wilayah Adat Kajang
Sistem pengawasan hutan sepenuhnya dikendalikan oleh Ammatowa
bersama dengan dewan adatnya. Ada empat unsur yang berkaitan langsung
dengan sistem pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management
system) dan keseimbangan ekosistem lingkungan hidup (environmental eco-
systems equillabelium), yang harus ditegakkan dari dulu, sekarang dan yang
akan datang. Keempat unsur tersebut mencakup: 1) tabbang kaju (penebang-
an kayu), 2) tatta uhe’ (pengambilan rotan), 3) rao doang (penangkapan
udang) dan 4) tunu bani (pamanenan lebah hutan).
Untuk mempertahankan fungsi-fungsi dan kelestarian hutan, pene-
bangan kayu di kawasan adat Kajang merupakan suatu hal yang patut
dihindari, kecuali dalam keadaan tertentu dan mendesak. Izin konsesi
penebangan kayu yang diberikan oleh dewan adat Kajang tetap harus
diawasi pelaksanaannya, karena semua orang Kajang dianggap berpotensi
untuk merusak hutan bila tidak diawasi. Dalam pasang juga disebutkan,

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 283


bahwa: lyyaminjo boronga, kunni pusakayya kunremange’e ri Kajang, artinya
’hutan adat itu warisan atau pusaka kita di sini di Kajang’
Hutan adalah sesuatu yang harus dijaga kelestariannya seperti halnya
dengan memelihara benda-benda pusaka lainnya. Orang Kajang dianggap
tidak menghargai pemberian leluhur, bila hutan tidak dipelihara sesuai
dengan aturan yang digariskan oleh pewaris hutan tersebut. Penggunaan
kata pusakayya di sini merupakan penekanan dalam pasang, agar manusia
tidak melakukan pengrusakan hutan. Tidak satupun orang Kajang yang
mau menjual, merusak dan menghilangkan harta pusakanya. Bahkan, orang
Kajang cenderung menyimpan baik-baik harta pusakanya (senjata tajam,
tombak, keramik, mustika, uang kuno, pakaian dan sebagainya) di tempat
yang aman. Sebagian lagi mensejajarkan antara harta warisannya dengan
pemberi warisan tersebut. Dengan demikian, harta warisan tersebut diper-
sonifikasi dan diberi perlakuan khusus seperti halnya dengan manusia.
Khusus warisan berupa keris atau badik dimandikan dan diberikan sesajen
(a’cera’ pareha) untuk menghormati roh yang terdapat di dalam benda
pusakanya tersebut. Mereka sangat yakin, bahwa dalam benda pusaka
tersebut terkandung roh Mana (kekuatan gaib) 72.
Larangan menebang pohon juga disebutkan di dalam pasang, bahwa:
Anjo boronga paru-parunna linowa, artinya ’hutan itu adalah paru-paru dunia’.
Pasang di atas mengisyaratkan, agar manusia tidak merusak hutan. Merusak
hutan berarti merusak paru-paru dunia, karena fungsi-fungsi dan proses-
proses ekologis hutan tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Hutan
adalah pensuplai oksigen (O2) untuk kehidupan manusia dan konsumen
carbon dioksida (CO2) di dalam potosintesisnya. Penggunaan kata paru-
paru dunia dalam pasang di atas diasosiakan dengan fungsi paru-paru
mahluk hidup dalam menghembuskan dan menghirup udara (ber-napas).
Dapat dibayangkan bila tidak ada tumbuhan yang mengisap unsur CO2
yang dihasilkan oleh manusia dan kendaraan bermotor dan tidak ada lagi
unsur-unsur O2 di udara, karena pohon sebagai produsennya sudah tidak
ada lagi. Pencemaran di udara dipastikan terjadi, yang menyebabkan
menipisnya, bahkan diperkirakan akan mengakibatkan terjadinya lubang
ozon (startosfer). Menurut Soemarwoto (1985: 3), bahwa di dalam daun
oragnisme tumbuhan terdapat zat hijau daun (klorofil). Zat tersebut mampu
mengubah unsur-unsur CO2 menjadi karbohidrat atau O2 melalui zat
klorofil dalam potosintesisnya dengan bantuan sinar matahari. Dengan
72
Lihat Haviland (1993: 199-200) orang Melanesia menganggap mana sebagai kekuatan
yang terdapat pada semua obyek. Mana sendiri tidak bersifat fisik, tetapi dapat
mengungkapkan diri secara fisik. Sukses prajurit dalam pertempuran, misalnya, tidak
dianggap berasal dari kekuatannya sendiri, tetapi mana yang terdapat di dalam jimat
para prajurit yang tergantung di lehernya.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 284


demikian, berkembangnya organisme yang berklofil akan mengurangi
kadar CO2 di atmosfir dan memperkaya ketersediaan O2. Demikian pula
halnya Zor’aini (2003: 76-77) memperlihatkan siklus biogeokimia O2
digunakan untuk pernapasa, pembakaran, pembusukan sisa tumbuhan dan
hewan dan digunakan untuk karbohidrat yang larut dalam tumbuhan hijau.
CO2 dihasilkan melalui pernapasan dan pembakaran digunakan oleh
tumbuhan dalam potosintesisnya, yang menghasilkan unsur-unsur O2.
Oleh karena itu, larangan pengrusakan hutan diabadikan di dalam
pasang berikut: Punna lanupanraki anjo boronga nupanraki tonji kalennu, artinya
’Merusak hutan berarti merusak diri sendiri’. Hutan dalam pasang di atas
disejajarkan dengan manusia. Ada konsekueansi logis antara pengrusakan
hutan dengan pemusnahan ekosistem mahluk hidup, termasuk di dalamnya
manusia yang diakibatkan terjadinya pengrusakan hutan. Merusak hutan
sama dengan merusak empat jaringan sekaligus: atmosfer, ekosfer, hidrosfer
dan litosfer. Penggunaan kata nupanraki kalennu tidak mengacu pada diri,
tetapi pada lingkungan (human ecology) secara kolektif fisik dan non-fisik.
Menurut persepsi orang Kajang, bahwa menebang pohon berarti mengura-
ngi produsen O2, sekaligus mengurangi konsumen CO2. Jika produksi CO2
meningkat dan tidak ada organisme berklorifil yang menangkapnya, pro-
duksi O2 secara otomatis menurun dan CO2 menumpuk di udara.
Akibatnya, unsur O2 yang sangat dibutuhkan dalam kelangsungan hidup
manusia juga tidak ada. Akibatnya bencana kemanusiaan akan terjadi.
Tidak salah bila pelaku pembalakan hutan adat di wilayah adat Kajang
diberi sanksi seberat-beratnya, karena mereka dianggap melakukan tindak-
an kriminal secara berencana. Perbuatan yang bersangkutan dianggap
membunuh manusia dan lingkungannya.
Larangan memotong semak-semak belukar (tatta’ uhe’a), khususnya
rotan tetap mereka tegakkan demi mempertahankan fungsi kanopi-kanopi
hutan sebagai Pattambanna Linowa (pengikat dunia). Soerjani (2006: 60)
kemudian membagi tiga kelompok kanopi hutan, yaitu: 1) kanopi puncak
berupa pohon-pohon tinggi, 2) kanopi tengah yaitu tumbuhan sedang dan
3) kanopi bawah yaitu semak, perlu penutup tanah dan lumut. Kelas kanopi
tengah dan bawah termasuk golongan liana
Dalam pasang disebutkan, bahwa: narie kaloro battu ri boronga, narie
timbusu battu ri kajua battu ri kalelenga, artinya ’ada sungai yang mengalir
dari hutan, karena ada air muncul dari pepohonan dan belukar atau rotan’.
Pengertian linowa (dunia) dalam pasang di atas mencakup dunia dalam
pengertian umun dan dunia dalam pengertian biosfer lingkungan 73 yaitu
73
Lihat Soerjani dkk. (2006: 3), bahwa kehidupan (ekosfer) yang kita kenal di bumi ini
didukung oleh wilayah yang tumpang tindih antara litosfer (bawah tanah), atmosfer
(udara) dan hidrosfer (dalam air).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 285


sebuah mikrokosmos dari biosfer makrokosmos bumi secara keseluruhan.
Orang Kajang membagi level-level kehidupan biosfer hutan menjadi: bagian
atas sebagai alam bebas (alang lompowa), bagian tengah sebagai alas hutan
(tangnga borong) ditumbuhi pepohonan dan belukar (kalelleng), serta ditem-
pati satwa dan bagian bawah (butta) ditempati air (timbusu’) atau sungai
(kaloro’). Dengan dasar ini pula mereka memadang mikrokosmos sebagai
atas tanah (raung kaju), tanah (poko’ kaju) dan bawah tanah (aka’ kaju).
Larangan mengambil madu atau sarang lebah (tunu bani) juga ber-
kaitan dengan jaringan kehidupan atau mata rantai kehidupan ekosistem
hutan dan sekitarnya. Dalam pasang disebutkan, bahwa: aballoi tinanang,
aballoi assara’a punna rie’ bani, artinya ’tumbuh-tumbuhan (tanaman) ber-
buah dengan sempurna, pohon aren juga berbunga dengan baik apabila
lebah hutan ada)’. Pasang di atas melarang semua bentuk pemanenan
sarang lebah, kecuali untuk upacara adat yang membutuhkan sarang lebah
sebagai pedupaan (tunu passau). Menurut persepsi orang Kajang, bahwa
keberadaan lebah-lebah dan serangga sejenis dianggap sangat berjasa dalam
proses sirkulasi pembuahan atau perkawinan serbuk silang tanaman,
termasuk pohon aren. Menurut mereka perkawinan silang yang dilakukan
oleh lebah-lebah pekerja jauh lebih efektif dan sempurna dibandingkan
bentuk perkawinan silang lainnya.
Ketika seekor lebah mengisap madu bunga jantan, misalnya, dimulut-
nya menempel serbuk sari yang kemudian disuntikkan ke dalam ovum
bunga betina, terjadilah pembuahan. Pekerjaan yang sama dilakukan secara
simultan untuk semua bunga bertina dan jantan yang ada. Dengan
demikian, pelarangan memanen sarang lebah madu berkaitan dengan
kecemasan orang Kajang akan terputusnya matarantai reproduksi eko-
sistem tumbuhan hutan di wilayah adat Kajang.
Larangan penangkapan udang (rao doang) dilakukan untuk menjaga
kelangsungan matarantai biosfer air sungai (hidrosphere). Sungai dalam
pandangan orang Kajang adalah suatu bentuk kehidupan di dunia bawah
(buri’ liu). Udang (doang) dianggap sebagai pemegang kendali (patanna ere’a)
yang berjasa dalam menjaga keseimbangan ekosistem bawah air. Ia mema-
kan dan dimakan oleh spesies pendukung biosfer lainnya. Ia memakan
plankton-plankton kecil untuk mendukung reproduksinya dan menjaga
kematangan telur-telur di sekucur tubuh dan kepalanya. Eksploitasi peman-
faatan udang secara berlebihan menurut orang Kajang menyebabkan pence-
maran air sungai, sehingga penyakit diare, penyakit kulit atau kusta dapat
merajalela di mana-mana.
a.2 Pengambilan Keputusan dan Sanksi
Menurut Ammatowa (pemimpin adat Kajang), bahwa ada perbedaan
mendasar antara pengambilan keputusan melalui sistem peradilan adat

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 286


Kajang yang mengacu pada pasang ri Kajang dengan sistem peradilan
nasional (maksudnya hukum formal) yang ditegakkan melalui hukum
positivisme. Yang diputuskan dalam peradilan negara adalah kepintaran
berbicara (abballoi bicara). Siapa pun yang mampu memperbaiki bicaranya,
dialah yang akan memenangkan perkara tersebut. Untuk memperbaiki
bicara, hakim biasanya menunda perkara guna memberi kesempatan kepa-
da masing-masing pihak untuk mengambil pengacara (tu’ caradde’). Dalam
tenggang waktu tersebut seseorang berkesempatan menyogok (pasoso’) atau
melakukan kontak peribadi dengan para pengambil keputusan. Peradilan
adat Kajang (ada’ tanayya ri Kajang), di pihak lain, tidak memutuskan bagus
tidaknya bicara, tetapi kejujuran (lambusu’) dan kebenaran (bicara tojeng).
Dalam pasang disebutkan, bahwa: manna balloi bicarannu mingka anre’ natojen,
kittemintu nipatabai sala. manna ana’ punna salai nipatabai tonjiantu sala, artinya
’sekalipun bagus bicaramu, tetapi tidak benar anda tetap dianggap bersalah,
sekalipun anak sendiri kalau salah tetap juga harus dipersalahkan’.
Para pengambil keputusan (pa’ranrang bicarayya) tidak berani mene-
rima sogokan (pasoso’) dalam bentuk apapun dan memihak kepada siapa-
pun (angngalepei), sekalipun terdakwa adalah keluarga atau anak sendiri.
Menurut Ammatowa: pasoso’ sangkamma racung balahowa. sangkamma pepe’ ri
sahu kalukuwa. sangkammai ere’ ribujanga. sangkamma tonji poeng garring doti
rikalennu. injomi nikua garring anre pabballena nakuwa toriolowa sangadinna
kamaseyannai Karaeng Lompowa, yang artinya ’sogok-menyogok sama dengan
bisa racun tikus, sama dengan bara api di dalam sekam atau sabut, sama
rembesan air di atas kertas dan sama pula dengan guna-guna di dalam
dirimu. Itulah yang disebut penyakit tidak terobati, kecuali ampunan dari
Tuhan Yang Mahaesa’
Besar kecilnya sanksi pelanggaran harus ditentukan melalui peradilan
adat. Keputusan-keputusan tersebut diikuti sanksi hukum adat berupa
denda (passala) untuk pelanggaran pembalakan sumberdaya hutan (illegal
loging). Menurut Butong, bahwa pada tahun 1997 telah terjadi pembalakan
hutan yang dilakukan oleh Lekkong. Ia diadili melalui peradilan adat
(abborong ada’a) dan didenda sebesar 400.000,- berikut penyitaan barang
bukti yang harus tetap disimpan di dalam hutan. Demikian pula menurut
Puto Palasa, bahwa orang-orang yang telah melanggar aturan-aturan
pengelolaan hutan di wilayah adat Kajang terjadi sejak tahun 2000. Mereka
dihukum dan diusir dari Kajang Dalam (Ilalang Embayya). Sebagai contoh
Tambari, Kallasa’ dan Santa’ didenda dan diusir dari Kajang Dalam, karena
telah melakukan pembalakan hutan tanpa seisin pemangku adat dan tidak
sesuai dengan aturan pasang.
Segala bentuk pengambilan keputusan beserta sanksi-sanksinya diatur
di dalam pasang berikut: Rie’ tallu dahona tunggaukang anu pasala ri ada’a

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 287


iyamintu; tunu panroli, Tunu passau napassala, artinya ’Ada tiga akibat yang
harus diterima pelanggar adat, yaitu: pembacaan sumpah melalui pemba-
karan linggis, 2) pembacaan kutukan melalui pembakaran sarang lebah) dan
3) denda’.
Ammatowa dalam mengakkan supremasi hukum adat Kajang selalu
berpedoman pada pasang ri Kajang. Tidak ada ketentuan atau putusan peng-
adilan adat yang boleh menyimpang dari ketentuan pasang, yang diwujud-
kan dalam proses-proses pengambilan keputusan di bawah ini:.
a.2.1 Tunu Panroli (Pembakaran Linggis)
Tunu Panroli (pembakaran linggis) dilakukan bila para perambah
hutan tidak mau mengakui kesalahannya. Semua saksi dihadirkan di hada-
pan Ammatowa dan pemangku adatnya dalam sebuah pertemuan adat
(abborong ada’). Untuk menetapkan tersangka utama dewan adat melakukan
tes kebohongan (trust testing) melalui pembakaran linggis. Linggis yang
sudah dimantrai Sanro dibakar dan ditancapkan di depan para saksi-saksi.
Satu per satu mereka dipanggil memegang linggis yang sedang membara
tersebut. Saksi yang tidak berani memegang linggis tersebut ditetapkan se-
bagai tersangka. Sebaliknya, dengan kekuatan magik linggis yang membara
tersebut tidak terasakan panasnya bagi saksi yang tidak bersalah.
a.2.2 Tunu Passau (Doa Kutukan)
Tunu Passau (Doa Kutukan) dilakukan bila para perambah hutan tidak
mengakui kesalahannya dan bersembunyi di tempat lain. Jenis hukuman
pengadilan tanpa terdakwa (in absentia) seperti ini juga dilakukan bila saksi-
saksi selalu menghindar atau tidak menghiraukan panggilan peradilan adat.
Semua pemangku adat dihadirkan untuk melakukan musyawarah sebanyak
2 sampai 5 kali, sebelum peradilan adat sesungguhnya dilaksanakan. Ke-
giatan tunu passau dilaksanakan dengan membaca do'a-do'a kutukan beri-
kut: Puppuko sangkamma sorokau. Anremo nararangi mata allo batu dilau, battu
diaja, battu diattang, battu diahang. Kammako leko’ nuraung tepo’miseng. A’lo-
rongko tappumisedeng. Naungko nu’lampa bangngi. Naikko nuturi’ (Sengsaralah
hidupmu sepanjang masa. Tidak sampai engkau kena sinar matahari dari
Timur, Barat, Selatan dan Utara. Engkau seperti pisang yang baru pucuk
layu lagi. Terkutuklah engkau menjadi babi dan menjadi kera). Dengan
seizin Allah dalam beberapa waktu tersangka betul-betul berubah menjadi
babi hutan, kera dan jatuh sakit (terutama lepra, perut buncit dsb.), bahkan
ada yang meninggal dunia.
a.2.3 Passala (Penetapan Sanksi)
Passala (Penetapan Sanksi) yaitu pengambilan keputusan dan pemberi-
an sanksi hukuman adat kepada terdakwa dilaksanakan melalui sidang
terbuka. Orang Kajang yang ingin menyaksikan jalannya sidang di balai
adat (bola ada’) atau di kediaman Ammatowa dapat menghadirinya. Yang me-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 288


narik dalam sidang terbuka ini, ketika terdakwa dijatuhi hukuman denda.
Semua peserta sidang, bahkan orang yang kebetulan lewat sekalipun berhak
menerima pembagian hasil sanksi denda tersebut. Sanksi berupa uang tunai
dibagi rata dan kadang kala Ammatowa tidak mendapatkan apa-apa, karena
ia selalu mengedepankan masyarakatnya (tu’ mabbutayya).
Sanksi lain berupa pengucilan dijatuhkan kepada terdakwa, karena
melakukan pelanggaran adat. Sanksi ini juga dijatuhkan kepada pelaku
yang membangkang dan mengulur-ulur waktu pembayaran dendanya.
Sanksi pengucilan seperti ini kadang-kadang dijatuhkan secara sepihak
melalui kesepakatan pemangku adat untuk tidak menghadiri ritual adat 74
(pesta perkawinan, kematian dsb.) yang dilakukan tersangka sebelum melu-
nasi sanksi hukum adat tersebut di atas.
Sanksi berupa denda (pasala) berbentuk uang tunai dijatuhkan kepada
pelanggar hukum adat (ada’ tanayya ri Kajang), terutama pelangaran peng-
rusakan hutan. Denda ini diasosiasikan dengan cambuk (habbala) yang
digunakan untuk menghukum tersangka di negara-negara Islam dan Aceh.
Ukuran cambuk (habba’) umumnya berbeda dari pangkal hingga ke ujung-
nya. Pangkal cambuk lebih besar daripada bagian tengah dan bagian tengah
lebih besar daripada ujungnya.
Sanksi berat dikenakan kepada orang yang melakukan penebangan
hutan (flora) dan pemanenan satwa lebah (fauna) di hutan keramat tanpa
seizin Ammatowa. Keseluruhan bentuk kegiatan pembalakan lingkungan
tersebut di atas sangat dilarang (kassipali, talama’ring atau karrasa’), kecuali
kawanan rusa dan ayam hutan yang berkeliaran dan merusak lahan-lahan
petani. Akan tetapi, tindakan tersebut masih tetap harus melalui izin Amma-
towa, karena tetap mengganggu ekosistem flora dan fauna yang ada.
Pelanggaran adat berat di atas diberi sangksi pangkal cambuk (poko'
habbala’) dalam bentuk denda materil sebesar 12 real atau setara dengan 24
ohang75 (mata uang VOC) atau setara dengan Rp. 1.200.000,- (satu juta dua
ratus ribu rupiah). Denda tersebut ditambah kain kafan bagi orang yang
beragama Islam sebanyak 24 siku atau sekitar 12 meter.
Pelanggaran sedang dikenakan kepada seseorang yang melakukan
penebangan melebihi ketentuan yang diberikan Ammatowa. Pelanggaran
semacam ini diberi sanksi tengah cambuk (tangnga habbala’) dalam bentuk

74
Orang Kajang merasa tidak lengkap atau tercela dalam pelaksanaan hajatan atau
upacara adatnya, apabila tidak satupun dari pemangku adat yang menghadirinya. Ia
pun mersa dikucilkan dalam pergaulan dengan sesama masyarakatnya. Bagi yang tidak
bertahan dengan sanksi sosial (social sanction) banyak diantara mereka yang melakukan
migrasi atau merantau keluar daerah lain, bahkan pindah ke Malaysia.
75
Ohang atau owang sejenis uang kerajaan Belanda sebesar 25 sen atau di Pasar Balagana
ohang tersebur diberi nilai Rp. 3000 per keping.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 289


denda sebesar 8 real, setara dengan 16 ohang (mata uang VOC) atau setara
dengan Rp. 800.000,- (delapan ratus ribu rupiah).
Pelanggaran ringan dikenakan kepada seseorang yang lalai saat
melakukan penebangan, yang menyebabkan kayu dalam kawasan hutan
adat mengalami kerusakan atau tumbang. Sanksi serupa juga dijatuhkan
kepada seseorang yang tidak segera mengankut kayu hasil tebangannya,
sehingga ekosistem hutan mengalami kerusakan. Pelanggaran tersebut
dikenakan sanksi ujung cambuk (cappa habbala’) dalam bentuk denda 4 real,
serata dengan 8 ohang (mata uang VOC) atau setara dengan Rp. 400.000,-
(empat ratus ribu rupiah).
I. Ilmu Budaya dan Kesehatan (ethnomedicine)
1. Konsep dan Wawasan
Menurut Foster & Anderson (2006), bahwa antropologi kesehatan
mengkaji masalah-masalah kesehatan dan penyakit dari dua kutub yang
berbeda: kutub biologi dan kutub sosial budaya. Antropologi kesehatan
merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala sosiobudaya, biobudaya
dan ekologi budaya dari sudut padang kesehatan dan kesakitan yang dilihat
dari segi-segi fisik, jiwa dan sosial, serta perawatannya masing-masing dan
interaksi antara ketiga segi ini dalam kehidupan masyarakat, baik pada
tingkat individual maupun tingkat kelompok sosial keseluruhannya.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa antropologi kesehatan
adalah disiplin yang memberi perhatian pada aspek-aspek biologis dan
sosio-budya dari tingkahlaku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi
antara keduanya disepanjang sejarah kehidupan manusia, yang mempe-
ngaruhi kesehatan dan penyakit pada manusia (Foster & Anderson, 1986; 1-
3).
Antropologi kesehatan mempelajari sosio-kultural dari semua masya-
rakat yang berhubungan dengan sakit dan sehat sebagai pusat dari budaya,
di antaranya objek yang  menjadi kajian disiplin ilmu ini adalah: 1) penyakit
yang berhubungan dengan kepercayaan (misfortunes), 2) dibeberapa masya-
rakat misfortunes disebabkan oleh kekuatan supranatural maupun super-
natural atau penyihir, 2) kelompok healers ditemukan dengan bentuk yang
berbeda disetiap kelompok masyarakat, 3) healers mempunyai peranan
sebagai penyembuh dan 4) adapun perhatian terhadap suatu keberadaan
sakit atau penyakit tidak secara individual, terutama illness dan sickness
pada keluarga ataupun masyarakat.
Jauh sebelum apa yang disimpulkan ahli-ahli antropologi pada akhir
abad 20, pada tahun 1924 W.H. R. River, seorang dokter, menyebutkan,
bahwa kepercayaan medis dan prakteknya tidak dapat dipisahkan dari
aspek budaya dan organisasi sosial yang lain. Ia menyatakan praktek medis
primitif mengikuti dari dan membuat pengertian dalam syarat-syarat yang

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 290


mendasari kepercayaan medis. Ia juga menyatakan keberadaan 3 padangan
dunia yang berbeda (gaib, religi dan naturalistik) dan menghubungkan
sistem-sistem kepercayaan dan tiap-tiap pandangan memilki model peri-
laku medis yang sesuai.
Ackerkencht, seorang dokter dan ahli antropologi, orientasi teoritisnya
diungkapkan dalam bentuk lima generalisasi yaitu 1) studi signifikan dalam
antropologi medis bukanlah sifat tunggal melainkan konfigurasi budaya
secara keseluruhan dari masyarakat dan tempat dimana pola medis berada
dalam totalitas tersebut, 2) ada begitu banyak pengobatan primitif, 3) bagian
dari pola medis, seperti yang ada pada keseluruhan budaya, secara fung-
sional saling berkaitan, 4) pengobatan primitif paling baik dipahami dalam
kaitan kepercayaan dan definisi budaya dan 5) manifestasi pengobatan
primitif yang bervariasi seluruhnya merupakan pengobatan gaib.
Penelitian-penelitian dan teori-teori yang dikembangkan oleh para
antropolog—perilaku sehat (health behavior ), perilaku sakit (illness behavior)
perbedaan antara illness dan disease, model penjelasan penyakit explanatory
model ), peran dan karir seorang yang sakit (sick role), interaksi dokter-
perawat, dokter-pasien, perawat-pasien, penyakit dilihat dari sudut pasien,
membuka mata para dokter bahwa kebenaran ilmu kedokteran modern
tidak lagi dapat dianggap kebenaran absolut dalam proses penyembuhan.
Antropologi kesehatan menjelaskan secara komprehensif dan interpre-
tasi berbagai macam masalah tentang hubungan timbal-balik biobudaya,
antara tingkah laku manusia dimasa lalu dan masa kini dengan derajat
kesehatan dan penyakit, tanpa mengutamakan perhatian pada penggunaan
praktis dari pengetahuan tersebut. Partisipasi profesional antropolog dalam
program-program yang bertujuan memperbaiki derajat kesehatan melalui
pemahaman yang lebih besar tentang hubungan antara gejala bio-sosial-
budaya dengan kesehatan, serta melalui perubahan tingkah laku sehat
kearah yang diyakini akan meningkatkan kesehatan yang lebih baik.
Tugas utama ahli dari antropologi kesehatan adalah bagaimana
individu di masyarakat mempunyai persepsi dan beraksi terhadap ill dan
bagaimana tipe pelayanan kesehatan yang akan dipilih, untuk mengetahui
mengenai budaya dan keadaaan sosial di komunitas tempat tinggal. Antro-
pologi kesehatan dianggap sebagai antropologi dari obat (segi teori) dan
antropologi dalam pengobatan (segi praktis atau terapan).
Antropologi kesehatan adalah studi tentang pengaruh unsur-unsur
budaya terhadap penghayatan masyarakat tentang penyakit dan kesehatan
(Sarwono, 1993). Definisi yang dibuat Solita ini masih sangat sempit, karena
antropologi sendiri tidak terbatas hanya melihat penghayatan masyarakat
dan pengaruh unsur budaya saja. Kajian antropologi lebih luas dan men-
dalam, seperti halnya yang dikaji oleh para antropolog dan budayawan.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 291


Menurut Koentjaraningrat (1984;76), bahwa ilmu antropologi mem-pelajari
manusia dari aspek fisik, sosial, budaya. Pengertian Antropologi kesehatan
yang diajukan Foster dan Anderson merupakan konsep yang tepat karena,
termakutub dalam pengertian ilmu antropologi seperti disam-paikan
Koentjaraningrat di atas. Menurut Foster dan Anderson, bahwa antropologi
kesehatan mengkaji masalah-masalah kesehatan dan penyakit dari dua
kutub yang berbeda yaitu kutub biologi dan kutub sosial budaya. Penyakit
dari kutub biologis, seperti: pertumbuhan dan perkembangan manusia
zaman purba. Paleopatologi (studi mengenai penyakit-penyakit purba)
adalah ilmu yang bergelut di bidang ini. Sedangkan pokok perhatian kutub
sosial-budaya, yaitu: a) Sistem medis tradisional (etnomedisin), b) Masalah
petugas-petugas kesehatan dan persiapan profesional mereka, c) Tingkah
laku sakit, d) Hubungan antara dokter pasien dan e) Dinamika dari usaha
memperkenalkan pelayanan kesehatan barat kepada masyarakat tradisional
Menurut McElroy A. (1996), studi antropologi medis memokuskan diri
untuk membahas malasah kesehatan manusia dan penyakit, sistem pera-
watan kesehatan dan adaptasi biokultural. Ia memandang manusia dari
perspektif multidimensi dan ekologi. Sedangkan Ann McElroy dan Patricia
K. Townsend (1989), disiplin ilmu ini mempelajar salah satu bidang antro-
pologi, khususnya antropologi terapan, yang saat ini sedang mengalami
kemajuan pesat. Menurutnya, antopologi kesahatan merupakan sub-bidang
antropologi sosial dan budaya yang meneliti cara-cara di mana budaya dan
masyarakat diorganisir sekitar atau dipengaruhi oleh masalah kesehatan,
perawatan kesehatan dan terkait masalah.
Menurut Scotch Norman A. (1963), bahwa istilah antropologi medis
telah digunakan sejak tahun 1963 sebagai label untuk penelitian empiris dan
produksi teoretis oleh antropolog ke dalam proses sosial dan representasi
budaya kesehatan, penyakit dan praktik ke(perawatan), yang terkait dengan
ini. Selanjutnya, menurut Pedro Lain Entralgo (1968), istilah antropologi
kedokteran, antropologi kesehatan dan antropologi penyakit juga telah digunakan
di Eropa. Menurutnya, bahwa antropologi medis merupakan terjemahan dari
istilah Belanda abad ke-19 yaitu medische anthropologie. Istilah ini dipilih oleh
beberapa penulis selama tahun 1940-an untuk merujuk pada studi filosofis
tentang kesehatan dan penyakit.
2. Definisi Antropologi Kesehatan Menurut Ahli
Ada beberapa ahli, telah memberikan definisi tentang Antropologi
Kesehatan, berikut ini: 1) Menurut Hasan dan Prasad (1959), bahwa antro-
pologi kesehatan adalah cabang dari ilmu mengenai manusia yang mem-
pelajari aspek-aspek biologi dan kebudayaan manusia (termasuk sejarah-
nya) dari titik tolak pandangan untuk memahami kedokteran (medical),
sejarah kedokteran (medico-historical), hukum kedokteran (medico-legal),

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 292


aspek sosial kedokteran (medico-social) dan masalah-masalah kesehatan ma-
nusia, 2) Menurut Weaver, (1968) antropologi kesehatan adalah cabang dari
antropologi terapan yang menangani berbagai aspek dari kesehatan dan
penyakit, 3) Hochstrasser dan Tapp (1970) antropologi kesehatan adalah pe-
mahaman bio-budaya manusia. Karya-karyanya, yang berhubungan dengan
kesehatan dan pengobatan, 4) Fabrga (1972) antropologi kesehatan adalah
studi yang menjelaskan berbagai faktor yaitu mekanisme dan proses yang
memainkan peranan didalam atau mempengaruhi cara-cara dimana
individu-individu dan kelompok-kelompok terkena oleh atau berespons
terhadap sakit dan penyakit dan juga mempelajari masalah-masalah sakit
dan penyakit dengan penekanan terhadap pola-pola tingkahlaku, 5) Lieban
(1977) antropologi kesehatan adalah studi tentang fenomena medis yang
dipengaruhi oleh sosial dan kultural dan fenomena sosial dan kultural di-
terangi oleh aspek-aspek medis. Faktor-faktor sosial dan kultural membantu
menentukan etiologi penyakit dan penyebaran melalui pengaruh mereka
dalam hubungan antara populasi manusia dan lingkungan alamnya, atau
melalui pengaruh langsung pada kesehatan populasi. Dalam pemahaman
Lieban, kesehatan dan penyakit adalah pengukuran efektivitas dengan
dimana kelompok manusia menggabungkan sumber daya kultural dan
biologikal, menyesuaikan dengan lingkungan mereka. Lieban menyebutkan
bahwa pada hakekatnya ada empat macam area utama dalam atropologi
kesehatan yaitu ekologi dan epidemi, ethnomedicine, aspek medis dari
sistem sosial dan perubahan medis dan kultural, 6) Landy (1977) antropo-
logi kesehatan adalah studi mengenai konfrontasi manusia dengan penyakit
dan keadaan sakit dan mengenai susunan adaptif (yaitu sistem medis dan
obat-obatan) dibuat oleh kelompok manusia untuk berhubungan dengan
bahaya penyakit pada manusia sekarang ini. Landy juga menyatakan bahwa
terdapat tiga generalisasi yang pada umumnya disetujui oleh ahli antropo-
logi, yaitu: a) penyakit dalam beberapa bentuk merupakan kenyataan uni-
versal dari kehidupan menusia. Ini terjadi dalam keseluruhan waktu,
tempat dan masyarkaat, b) kelompok manusia mengembangkan metode
dan peran-peran yang teralokasi, sama dengan sumber daya dan struktur
mereka untuk meniru dengan atau merespon penyakit, c) kelompok ma-
nusia mengembangkan beberapa set kepercayaan, pengertian dan persepsi
yang konsisten dengan matriks budaya mereka, untuk menentukan atau
menyadari penyakit. Menurut Landy, Masyarakat yang berbeda, dengan
budaya yang berbeda, memiliki pandangan yang berbeda pula terhadap
kesehatan dan penyakit dan juga berbeda ketika memperlakukan si pasien,
7) Foster dan Anderson (1978) Antropologi Kesehatan adalah disiplin yang
memberi perhatian pada aspek-aspek biologis dan sosio-budya dari tingkah-
laku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi antara keduanya dise-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 293


panjang sejarah kehidupan manusia, yang mempengaruhi kesehatan dan
penyakit pada manusia. Dalam definisi yang dibuat Foster atau Anderson
dengan tegas disebutkan bahwa antropologi kesehatan studi objeknya yang
mempengaruhi kesehatan dan penyakit pada manusia. Menurut Foster atau
Anderson, Antropologi kesehatan mengkaji masalah-masalah kesehatan dan
penyakit dari dua kutub yang berbeda yaitu kutub biologi dan kutub sosial
budaya. Pokok-pokok perhatian kutup biologi yang dimaksud Foster atau
Anderson adalah: a) Pertumbuhan dan perkembang-an manusia, b) Peranan
penyakit dalam evolusi manusia dan c) Paleopatologi (studi mengenai
penyakit-penyakit purba). Sedangkan pokok perhatian pada kutup sosial-
budaya meliputi; a) Sistem medis tradisional (etnomedisin), b) Masalah
petugas-petugas kesehatan dan persiapan profesional mereka, c) Tingkah
laku sakit, d) Hubungan antara dokter pasien dan e) Dinamika dari usaha
memperkenalkan pelayanan kesehatan barat kepada masyarakat tradisional,
8) Foster dan Anderson (1978), bahwa antropologi kesehatan kontemporer
dapat ditemukan pada empat sumber daya yang berbeda yaitu Antropologi
Fisik, Ethnomedicine, Studi Personalitas dan Kultural dan Kesehatan Publik
Internasional. Menurut Foster dan Anderson (1987), bahwa lingkungan bio-
cultural yang paling baik dipelajari adalah dari sudut pandang ekologi.
Sejak Perang Dunia II, ahli antropologi banyak yang berpindah ke studi
lintas budaya sistim medis, bioekologi dan faktor-faktor sosio-budaya yang
mempengaruhi timbulnya kesehatan dan penyakit. Pendekatan ekologis
merupakan dasar bagi studi tentang masalah-masalah epidemiologi, dimana
tingkah laku  individu dan kelompok menentukan derajat kesehatan dan
timbulnya penyakit yang berbeda-beda dalam populasi yang berbeda-beda. 
Masyarakat yang tinggal di daerah beriklim tropis, misanya, penyakit
malaria  bisa berkembang dan menyerang mereka. Sedangkan pada daerah
beriklim dingin dan di daerah di atas 1700 meter permukaan laut penyakit
malaria tidak ditemukan. Demikian pula dengan kembang dan tidaknya
suatu bangsa turut mempengaruhi kerentangan dengan sebuah penyakit.
Penyakit-penyakit infeksi: malaria, demam berdarah, TBC, dll. pada umum-
nya terdapat pada negara-negara berkembang. Sedangkan penyakit diabe-
tes, jantung dan kolestrol lebih banyak didertita di negara-negara maju. Hal
ini disebabkan oleh adanya perbedaan pola hidup. Kelompok manusia ber-
adaptasi dengan lingkungannya dan manusia harus belajar mengeksploitasi
sumber daya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhannya. Interaksi ini
dapat berupa sosial psikologis dan budaya yang sering memainkan peran-
annya dalam mencetuskan penyakit. Penyakit adalah bagian dari
lingkungan hidup manusia contohnya adalah pe-nyakit Kuru (lihat Foster
dan Anderson, 1978: 27-29) dan 9) McElroy dan Townsend (1985) antropo-
logi kesehatan adalah sebuah studi tentang bagaimana faktor-faktor sosial

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 294


dan lingkungan mempengaruhi kesehatan dan kesadaran cara-cara alter-
natif tentang pemahaman dan merawat penyakit. McElroy dan Townsend
yang mengambil pandangan sejarah juga menekankan pentingnya adaptasi
dan perubahan sosial dengan menyatakan bahwa sejumlah besar ahli antro-
pologi kesehatan kini berhubungan dengan kesehatan dan penyakit yang
berkaitan dengan adaptasi kelompok manusia sepanjang jarak geografis dan
jangka waktu luas dari masa prasejarah ke masa depan. Kedua ahli ini
menyepakati setidaknya enam sub-disiplin antropologis yang relevan
dengan Antropologi Kesehatan yaitu Antropologi Fisik, Arkeologi Pra-
Historis, Antropologi Kultural, Antropologi Ekologikal, Teori Evolusioner
dan Linguistik Antropologi.

3. Sistem Pengobatan Populer dan Sistem Medis


Menurut Charuty G. (1997), bahwa untuk sebagian besar abad ke-20,
konsep pengobatan populer, atau obat tradisional, telah akrab bagi para
dokter dan antropolog. Para dokter, antropolog dan antropolog medis
menggunakan istilah-istilah ini untuk mendeskripsikan sumber daya, selain
bantuan profesional kesehatan, yang digunakan petani Eropa atau Amerika
Latin untuk menyelesaikan masalah kesehatan apapun. Istilah ini juga
digunakan untuk menggambarkan praktik kesehatan suku aborigin di ber-
bagai belahan dunia, dengan penekanan khusus pada pengetahuan etno-
botani mereka. Pengetahuan ini penting untuk mengisolasi alkaloid dan
prinsip-prinsip farmakologis aktif. Selanjutnya, mempelajari ritual seputar
terapi populer yang disajikan untuk menantang kategori psikopatologi
Barat, serta hubungan di Barat antara sains dan agama. Dokter tidak
mencoba mengubah obat populer menjadi konsep antropologis, melainkan
mereka ingin membangun konsep medis berbasis ilmiah yang dapat mereka
gunakan untuk menetapkan batas budaya biomedis. Contoh praktik ini
dapat ditemukan dalam arsip medis dan tradisi lisan.
Konsep pengobatan tradisional diambil oleh antropolog profesional
pada paruh pertama abad kedua puluh untuk mendemarkasi antara praktik
magis, obat-obatan dan agama dan untuk mengeksplorasi peran dan
pentingnya penyembuh populer dan praktik mengobati diri mereka sendiri.
Bagi mereka, obat populer adalah fitur budaya tertentu dari beberapa
kelompok manusia yang berbeda dari praktik universal biomedis. Jika
setiap kebudayaan memiliki obat populer sendiri berdasarkan ciri-ciri
budaya umumnya, maka akan mungkin untuk mengajukan keberadaan
banyak sistem medis karena ada budaya dan, oleh karena itu, mengembang-
kan studi komparatif dari sistem ini. Sistem medis yang menunjukkan tidak
ada fitur sinkretik obat populer Eropa disebut pengobatan primitif atau
pretechnical menurut apakah mereka mengacu pada budaya aborigin

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 295


kontemporer atau budaya yang mendahului Yunani Klasik. Budaya-budaya
itu dengan korpus dokumenter, seperti budaya Tibet, tradisional Cina atau
Ayurvedic, kadang-kadang disebut obat-obatan sistematis. Studi komparatif
sistem medis dikenal sebagai ethnomedicine atau, jika psikopatologi adalah
objek studi, ethnopsychiatry (Beneduce 2007, 2008), psikiatri transkultural
(Bibeau, 1997) dan antropologi penyakit mental (Lézé, 2014).
Di bawah konsep ini, sistem medis akan dilihat sebagai produk
spesifik dari sejarah budaya masing-masing kelompok etnis. Biomedik
ilmiah akan menjadi sistem medis lain. Posisi ini, yang berasal dari relati-
visme budaya yang dipelihara oleh antropologi budaya, memungkinkan
perdebatan dengan obat-obatan dan psikiatri berputar seputar beberapa
pertanyaan mendasar: 1) Pengaruh relatif faktor genotipe dan fenotipikal
dalam kaitannya dengan kepribadian dan bentuk patologi tertentu, ter-
utama patologi psikiatri dan psikosomatis, 2) Pengaruh budaya pada apa
yang dianggap masyarakat sebagai normal, patologis atau abnormal, 3)
Verifikasi dalam budaya yang berbeda dari universalitas kategori nosokologis
biomedis dan psikiatri dan 5) Identifikasi dan deskripsi penyakit yang
termasuk ke dalam budaya tertentu yang belum dijelaskan sebelumnya oleh
kedokteran klinis. Ini dikenal sebagai gangguan etnis dan, baru-baru ini,
sebagai sindrom terikat budaya dan termasuk mata jahat dan tarantisme di
antara petani Eropa, yang dimiliki atau dalam keadaan trance di banyak
budaya dan anoreksia gugup, saraf dan sindrom pramenstruasi dalam
masyarakat Barat.
Sejak akhir abad ke-20, ahli antropologi medis telah memiliki pema-
haman yang jauh lebih canggih tentang masalah representasi budaya dan
praktik sosial yang terkait dengan kesehatan, penyakit dan perawatan medis
dan perhatian. Ini telah dipahami sebagai universal dengan berbagai bentuk
lokal yang diartikulasikan dalam proses transaksional. Tautan di bagian
akhir halaman ini disertakan untuk menawarkan panorama luas dari posisi
saat ini dalam antropologi medis.
4. Antropologi Medis Terapan
Di Amerika Serikat, Kanada, Meksiko dan Brasil, kolaborasi antara
antropologi dan kedokteran awalnya berkaitan dengan penerapan program
kesehatan masyarakat di antara etnis dan minoritas budaya dan dengan
evaluasi kualitatif dan etnografi dari institusi kesehatan (rumah sakit dan
rumah sakit jiwa) dan layanan perawatan primer. Berkenaan dengan
program kesehatan masyarakat, tujuannya adalah untuk menyelesaikan
masalah membangun layanan ini untuk mosaik kompleks kelompok etnis.
Evaluasi etnografis melibatkan analisis konflik antar kelas dalam lembaga-
lembaga yang memiliki efek yang tidak dikehendaki pada reorganisasi
administratif mereka dan tujuan institusional mereka, terutama konflik

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 296


antara dokter, perawat, staf tambahan dan staf administrasi. Laporan-
laporan etnografis menunjukkan bahwa krisis interclass secara langsung
mempengaruhi kriteria terapeutik dan perawatan yang sakit. Mereka juga
memberikan kontribusi kriteria metodologis baru untuk mengevaluasi
lembaga baru yang dihasilkan dari reformasi serta teknik perawatan
eksperimental seperti komunitas terapeutik.
Bukti etnografi mendukung kritik terhadap institusi kustodianisme dan
berkontribusi secara tegas terhadap kebijakan deinstitutionalizing psikiatris
dan kepedulian sosial secara umum dan menyebabkan di beberapa negara
seperti Italia, memikirkan kembali pedoman pendidikan dan mempromosi-
kan kesehatan.
Jawaban empiris atas pertanyaan-pertanyaan ini menyebabkan para
antropolog terlibat di banyak bidang. Ini termasuk: mengembangkan
program kesehatan internasional dan masyarakat di negara berkembang;
mengevaluasi pengaruh variabel sosial dan budaya dalam epidemiologi
bentuk patologi psikiatri tertentu (psikiatri transkultural); mempelajari keta-
hanan budaya terhadap inovasi dalam praktik terapeutik dan perawatan;
menganalisis praktik penyembuhan terhadap imigran; dan mempelajari
tabib tradisional, penyembuh tradisional dan bidan empiris yang dapat
diciptakan kembali sebagai pekerja kesehatan (yang disebut dokter berte-
lanjang kaki).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 297


REFERENSI

Abu Hamid. 2003. The spirit ofIslam In Buginese-Makassarese Culture in South


Sulawesi. Papers:
______. 2003. Presented in National Seminar on Islamic Cultural Develop-
ment Agency of Eastern Indonesia in Gorontalo in 2003. Makassar:
University of Hasanuddin.
Alisdair MacIntyre. 1955. New Essays in Philosophical Theology. London: SCM
Press.
Allan Yooung. 1980. An Anthropological Perspective on Medical Knowledge.  The
Journal of Medicine and Philosophy.
Al-Barry Yacub Dahlan, M.. 2000. Kamus Sosiologi dan Antropologi. Surabaya:
Indah.
Almond, Gabriel & Sidney Verba. 1984.  Budaya Politik: Tingkah Laku Politik
dan Demokrasi di 5 Negara. Terjemahan Drs. Sahat Simamora. Bina
Aksara: Jakarta.
Ann McElroy; Patricia K. Townsend. 1989.. Medical Anthropology in Ecological
Perspective (2nd ed.), Boulder, Colorado: Westview Press.
Anderson, Foster. 2006. Antropologi Kesehatan. Jakarta : UI Press.
______. 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
Anton Bakker, Achmad Charris Zubair. 1990. Metode PenelitianFilsafat,
(Yogyakarta : Kanisius, 1990).
Antonius Atosokhi Gea. 2004. Character Building III Relasi Dengan Tuhan.
Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Balandier, Georges. 1986. Antropologi Politik, cet. ke-1, C.V. Rajawali: Jakarta.
Bibeau Gilles. 1997. Cultural Psychiatry in a Creolizing World. Questions for a
New Research Agenda, Transcultural Psychiatry.
Biezan John. 1969. An Introduction to Sociology. New York. Prentive Hall Inc.
Benedict, Ruth. 1946. The Chrysanthemum and the Sword. Boston: Houghton
Mifflin
Berreman Gerald. Et.al. 1971. Cultural Anthropology Today. Californis: CRM
Books.
Biezan John. 1969. An Introduction to Sociology. New York. Prentive Hall
Inc.
Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor. 1993. Kualitatif, Dasar-dasar Penelitian.
Surabaya: Usaha Nasional.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 298


Boyer, P. (Ed.). 1993. Cognitive Aspects of Religious Symbolism. Cambridge,
UK: Cambridge University Press.
______. 2001. Religion Explained. London: Heinemann
Budihardjo, Miriam. 2009. Dasar-dasar Ilmu Politik, cetakan ke-8,: Gramedia:
Jakarta.
Charuty. G.. 1997. L'invention de la médecine populaire (The invention of folk
medicine), Gradhiva.
Chris Hann and Keith Hard. 2011. Economic Antyropology: History, Ethno-
graphy and Critique. UK: Policy Publisher
Claessen, H.J.M. 1987. Antropologi Politik, Suatu Orientasi. cet. ke-1, Erlangga:
Jakarta.
Comelles, J. M.. 1996. Da superstizioni a medicina popolare: La transizione da un
concetto religioso a un concetto médico (From superstition to folk medicine:
The transition from a religious concept to a medical concepts)", AM.
Rivista Italiana di Antropologia Medica (Journal of the Italian Society for
Medical Anthropology) (in Italian).
Cox, J. L. 1992. Expressing the Sacred. Harare, Zimbabwe: University of
Zimbabwe Press.
Cunningham, G. 1999. Religion and Magic. Edinburgh: Edinburgh University
Press.
Douglas Mary. 1966. Purity and Danger: An Analysis of Concept of Population
and Taboo. London: Rotledge & Kegal Paul.
Daniel L. Pals, Dekonstruksi Kebenaran : Kritik Tujuh Teori Agama, terj.
Ridhwan Muzir, M.Sykri, (Yogyakarta : Ircisod.
Durkheim, E. 1915. The Elementary Forms of the Religious Life. London: Allen
and Unwin.
______. 1964. The Elementary Forms of the Religious Life. London: Allen-Unwin.
Djuretna A. Imam Muhdi, Moral dan Religi Menurut Emile Durkheim dan
Henri Bergson, (Yogyakarta : Kanisius 1994), 9.
Dorian, Nancy C. 1982. Defining the Speech Community to Include Its Working.
London: Arnold.
_______. 1993. A Response to Ladefoged’s Other View of Endangered Languages.
London: Arnold.
_______. 1989. Investigating pbsulescence language Contruction and Death.
Cambridge: Cambridge University Press.
DuBois, Cora. 1944. The People of Alor.Minneapolis: University of Minnesota
Press.
Duranti, Alessandro and Charles Goodwin (eds.). 1992. Rethinking context:
language as an interactive phenomenon. Cambridge: Cambrifdge Uni-
versity Press. Studies in the Social and Cultural Foundations of
Language.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 299


Eliade M. 1959. The Sacred and The Frofane: The nature of Religion. New York:
Harcourt, Brace.
Erricker, C..1999. Spirituality and the Market Place of Education. Forthcoming.
Evans Pitchard E. E.. 1956. Nuer Religion. New York : Oxford University Press.
Fernandez, J. W. 1978. ‘African Religious Movements’. Annual Review of
Anthropology 7: 198–234.
Feuber Ludwig. 1957. The Essence of Christianuty. New York: Harver.
Foster/Anderson. 2009. Antropologi Kesehatan, terj. UI-Press: Yogyakarta
Frake. O. Charles. 1964. A Structural Description of Subanun. Religious
Behavior. In Gooenough, 964: 111-29. Reprinted in Frake.
______. I 992b. Culture and Religion. Yogyakarta: Kanisius.
Fraze G. J. 1976. The Golden Bough. London: MacMillan
Frazer J. 1990. Toremisme and Exogamy. A. Treatis on Certain Ealrly Forms of
Supertition and Society. London: MacMillan.
Freud Sigmund. 1953. Introductory Lectures on Psychoanalysis. New York:
Doubleday.
______. 1978. The Future of an Illusion. London: HigarthPress
Garfinkel, H.. 1974. The Origins Of The Term Ethnomethodology, in R.Turner
(Ed.) Ethnomethodology, Penguin, Harmondsworth, pp 15–18.
______. 1984. Studies in Ethnomethodology, Polity Press, Cambridge. Garfinkel,
H. (2002) Ethnomethodology's Program: Working out Durkheim's
Aphorism, Rowman & Littleford, Lanham.
Geertz, Clifford. 1992a. Culural Interpretative Kebudayaan. Yogyakarta:
Kanisius.
______. 1968. Islam Observed. Chicago: University of Chicago Press.
______. 1975. The Interpretation of Cultures. London: Hutchinson.
George Ritzar, Douglas J.Goodman, Teori Sosiologi, (Jakarta : Kreasi Warna,
1992).
Gising Basrah. 2005. The Usage of Local Knowledge in Social Forestry Mana-
gement in Customary
______. 2005. Forest Customary people of Karampuang (Thesis). Makassar: Post
Graduated Program o fHasanuddin University.
Gudeman Stephen. 2001. The Anthropology of Economy: Community, Market,
and Culture. USA Blackwell Publishers Ltd.Feuber Ludwig. 1957.
The Essence of Christianity. New York: Harper.
Hinde, R. A. 1999. Why Gods Persist. London: Routledge.
Hamilton, M. 2001. The Sociology of Religion. London: Routledge
Clifford, R. and P. Johnson. 2001. Jesus and the Gods of the New Age. Oxford,
UK: Lion.
Hobbes, Thomas (1985). Leviathan. London: Penguin.
Horton, R. 1971. African Conversion. Africa 41: 85–108

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 300


Haviland A. William. 1993. Cultural Anthropolgy, Fourth Edition. Jakarta:
Erlangga Press.
______. 1978. The Future of an Illusion. London: HigarthPress
Haviland A. William. 1993. Cultural Anthropolgy, Fourth Edition. Jakarta:
Erlangga Press.
Hoebel Adamson E.. 1972. Anthropology: A Study of Man (fourth edition).
New York: MacGraw-Hill Book Company.
Holmes D. Lowell. 1965. Anthropology: An Introduction. New York: The
Ronald Press Company. Harcourt Brace Jovanovich. Inc.
Hunter K. E. David and Whitten Phillip. 1982. Anthropology: Coniemporaru
Perspective (Third Edition). Boston: Little, Brown and Company.
Ialenti Vincent F.. 2011. A Review of Humanistic Scholarship on Health
Insurance, Policy, and Reform in the United States (April 2011). Tobin
Workshop on Behavioral/ Institutional Research and Regulation of
the New Health Insurance Market, Cornell Law School
J. S. Badudu. 2003. Kamus kata-kata serapan asing dalam Bahasa Indonesia.
Jakarta: Penerbut Buku Kompas.
Jensen, J. S. and L. H. Martin (Eds.). 1997. Rationality and the Study of Religion.
London: Routledge.
______. 1982. Bwitti: An Ethnography of the Religious Imagination in Africa.
Princeton, NJ: Princeton University Press
Jensen, T. and M. Rothstein (Eds.). 2000. Secular Theories of Religion.
Copenhagen: Tusculanum Press
Johnson G. Allan. 1986. Human Arragements: An Introduction to Sociologi.
New York: Hanunersley.
Jung C. 1938. The Psychology and Religion. New Haven: Yale University Press.
______. I 972. Synchronicity, An Causal Connecting Principle. London:
Rotladge & Kegan Paul.
Keesing, M. Roger. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer
Jilid I dan II. Jakarta: Erlangga.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta.
______. dkk., 2003. Kamus Istilah Antropologi. Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional.
______. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi. Aksara Baru: Jakarta. 
______. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Penerbit Universitas IndonesiaPress:
Jakarta. 
______. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Penerbit UniversitasIndonesia Press:
Jakarta.
Kottak Philip. 1991. Anthropology: The Exploration of Human Diversity edisi
V, New York: McGraw-Hill, Inc ..

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 301


Levi-Strauss, Claude. 1968. Structural Anthropology. New York: The Penguin
Press, 1968. (Originally published in 1958.) Levine, George, ed.
Constructions of the Self.
________. 2008 [1997]. The Culinary Triangle. In Carole Counihan and Penny
Van Esterik. Food and Culture: A Reader. Peter Brooks (trans.) (2nd ed.).
New York: Routledge. pp. 36–43 (28–35 in first edition). Originally
published.
Lincoln, R.J. Boxhall, G.A dan Clark P.F. 1981. A Dictionary of Ecology,
Evolution and Systematics. London : Cambridge University Press.
Linton Ralph, 1965. The Cultural Background of Personality, New York:
Appleton Crosta.
______. 1940. The Study of Man. New York: Appleton Spradley, P. James.
1980. Participation Observation. New York: Holt, Rinehart and
Winston.
______. 1979. The Ethnographic Interview. New York: Holt, Rinehart and
Winston.
Lézé Samuel. 2014. Anthropology of Mental Illness", in : Andrew Scull (ed.),
Cultural Sociology of Mental Illness : an A-to-Z Guide, Sage.
Locke, John (1690). Two Treatises of Government (10th edition): Chapter II,
Section 6. Project Gutenberg. Retrieved May 2018.
McCauley, R. N. and E. T. Lawson. 2002 . Bringing Ritual to Mind.
Cambridge, UK: Cambridge University Press.
McElroy A.. 1996. Medical Anthropology", in D. Levinson; M. Ember,
Encyclopedia of Cultural Anthropology, archived from the original.
Morris, B. 1970. ‘Ernest Thompson Seton and the Origins of the Woodcraft
Movement’.
Natan Macdonald. 2012. Deuteronomy and the Meaning of Monotheism: 2nd
Edition. Tubingen: Mohr Siebeck.Hlm 54.
Mark S. Smith. 2008. God in Translation: Cross Cultural Recognition of Deity in
Biblical World. Tubingen: Mohr Siebeck.
Mariasusai Davamhony. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta:Kanisius.
Hlm 124
Marzali. 1980. Metode Penelitian Kasus, Berita Antropologi.
McGlynn, Frank & Arthur Tuden (editor). 2000. Pendekatan Antropologi
pada Perilaku Politik. UI Press: Jakarta
McGuire B. Meredith. 1992. Relegion: The Soscial Context. Belmont,
Califrnia: Wadsworth Inc.
Parsudi Suparlan dalam Robertson, Roland (ed)., Agama : Dalam Analisis
dan Interpretasi Sosiologis, (Jakarta : Rajawali, 1988).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 302


Pedro Lain Entralgo. 1968). El estado de enfermedad. Esbozo de un capítulo de
una posible antropología médica (State of Disease: Outline of a chapter
of a Possible Medical Anthropology) (in Spanish), Madrid: Editorial
Moneday Crédito.
Peter Beliharz, Social Theory : A Guide to Central Thinkers, terj. Sigit Jatmiko,
Teori-teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka,
(Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2003).101.
Psathas G. (1995) Talk and Social Structure' and 'Studies of Work, in Human
Studies, 18: 139–155.
Rose H. and Rose, S. (Eds.). 2000. Alas, Poor Darwin. London: Cape.
Rudiansyah Tony. 2009. Kekuasaan, Sejarah dan Tindakan: Sebuah
KajianTentang Lanskap Budaya. PT. Rajagrafindo Persada: Jakarta.
Rudy T. May, 2007. Pengantar Ilmu Politik: Wawasan Pemikiran dan Kegunannya,
edisi revisi. Refika Aditama: Jakarta.
Satjipto Rahardjo. 2004. Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan
Masalah Surakarta: Muhammadiyah University Press.
______. 2009. Penegakang Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta.
Genta Publishing.
Said Aziz Abdul. 2004. Simboisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja.
Yogyakarta: Ombak
Salle, Kaimuddin. 1999. Kebijakan Lingkungan Menurut Pasang: Suatu
Kajian Hukum Lingkungan Adat pada Masyarakat Ammatowa
Kecamatan Kajang Dati II Bulukumba (Disertasi), Makassar:
Pasacasarjana Universitas Hasanuddin.
Scott C. James. 1981. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia
Tenggara. Jakarta: LP3ES.
Scotch Norman A.. 1963. Medical Anthropology, in Bernard J. Siegel, Biennial
Review of Anthropology, 3, Stanford, California: Stanford Univer-
sity Press.
Semma Mansyur. 2008. Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis
atas  Negara, Manusia Indonesia dan Perilaku Politik. Yayasan Obor:
Jakarta.
Siahaan Hotman M., Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi, (Jakarta :
Erlangga, 1997).14
Sigit Jatmiko, Teori-teori Sosial : Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terke-
muka, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2003).101.
Spiro, M. (1958) Children of the Kibbutz, Cambridge, Mass.: Harvard
University Press.
Spradley, P. James. 1980. Participation Observation. New York: Holt, Rinehart
and Winston.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 303


______. 1979. The Ethnographic Interview. New York: Holt, Rinehart and
Winston.
______. 1997. Metode Etnografi (diterjemahkan oleh Dr. Amri)
Soemardjan, Selo dan Soleman, Soemardi (ed) (1974) Setangkai Bunga osiologi.
Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
Soemawoto Otto. 1985. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta:
Djambatan.
Soerjani Muhammad, dkk. Lingkungan Hidup (The Living Environment) Pen-
didikan Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan, Jakarta: Yayasan Insti-
tut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan (IPPL).
Soerjono Soekanto. 2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas
Indonesia (UI Press).
Talcott Parsons Emile Durkheim dalam D. I. Sills, e.d, International
Encyclopedia of The Social Seince, (New York : Maemillah Publishing
Co, Inc. and The Fress, 1978).
Tambiah, S. J. 1970. Buddhism and Spirit Cults in North-East Thailand.
Cambridge, UK: Cambridge University Press.
______. 1976. World Conqueror and World Renouncer. Cambridge, UK:
Cambridge University Press.
______. 1990. Magic, Science and Religion, and the Scope of Rationality.
Cambridge, UK: Cambridge University Press.
______. 1992. Buddhism Betrayed? Chicago: University of Chicago Press.
Taussig, M. 1980. The Devil and Commodity Fetish in South America. Chapel
Hill, NC:
Tillich Paul. 1955. Theology and Symbolism. New York: Harver.
Tylor, E.B. 1861.  Anahuac: or, Mexico and the Mexicans, Ancient and Modern.
London: Longman, Green, Longman and Roberts.
______. 1865.  Researches into the Early History of Mankind and the Development
of Civilization. London: John Murray..
______. 1871.  Primitive Culture. Volume 1. London: John Murray
Wallace, Anthony F.C. 1956. Revitalization Movements. American Anthropo-
logist 58 (2): 264–81.
______. 1961. Culture and Personality. York: Random House.
______. 1976. Religion: An Anthropological View. New York: Random House.
Weber, M . 1947. The Theory of Social and Economic Organization. New York:
Free Press.
______. 1958. The Religion of India. Glencoe, IL: Free Press.
______. 1965. The Sociology of Religion. London: Methuen.
Wibowo, Agus Budi. 1994 Perubahan Aspek-aspke Perkawinan Pada Masyarakat
Pedesaan Studi Kasus di Dusun Mojohuro, Desa Sriharjo, Kec. Imogiri
Kab. Bantul DIY, Tesis Pascasarjana UGM

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 304


BAB V
KELOMPOK, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN

A. Kelompok Manusia dan Kelompok Sosial


Kelompok sosial adalah kumpulan manusia yang saling berinteraksi
dan memiliki kesadaran bersama akan keanggotaannya dalam suatu kelom-
pok. Kelompok sosial terbentuk, karena tumbuhnya perasaan bersama
akibat interaksi yang sering terjadi diantara mereka. Ada beberapa kelom-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 305


pok sosial yang tumbuh di dalam kehidupan bermasyarakat dengan dasar
pembentukan kelompok yang berbeda–beda pula. Sejak dilahirkan manusia
telah memiliki dua hasrat pokok dalam dirinya, yaitu keinginan untuk
menjadi satu dengan manusia lain dan keinginan untuk menjadi satu
dengan suasana alam disekitarnya. Pembentukan kelompok sosial merupa-
kan salah satu usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya tersebut.
1. Konsep dan Definis Kelompok
Ada beberapa ahli yang memberikan konsep dan definisi tentang
kelompok, antara lain: 1) Homans (1950), bahwa kelompok adalah sejumlah
individu, yang berkomunikasi satu dengan yang lain dalam jangka waktu
tertentu yang jumlahnya tidak terlalu banyak, sehingga tiap orang dapat
berkomunikasi dengan semua anggota secara langsung. Jumlah anggota di
dalam kelompok tersebut masih terbatas, sehingga jalur komunikasi lancar,
2) Merton (2011), bahwa kelompok merupakan sekelompok orang yang
saling berinteraksi sesuai dengan pola yang telah mapan. Kolektiva, di
pihak lain, merupakan orang yang mempunyai rasa solidaritas, karena
berbagai niai bersama dan yang telah memiliki rasa kewajiban moral untuk
menjalankan harapan peran, 3)  Achmad S. Ruky (2001), kelompok adalah
sejumlah orang yang berhubungan (berinteraksi) antara satu dan yang
lainnya, yang secara psikologis sadar akan kehadiran orang lain dan
menganggap diri mereka sebagai suatu kelompok. 4) Muzafer Sherif (1966),
kelompok adalah kesatuan yang terdiri dari dua atau lebih individu yang
telah mengadakan interaksi sosial yang cukup intensif dan teratur, sehingga
di antara individu itu sudah terdapat pembagian tugas (job descriptions),
struktur dan norma-norma tertentu, 5) De Vito (1997), bahwa kelompok
merupakan sekumpulan individu yang cukup kecil bagi semua anggota
untuk berkomunikasi secara relatif mudah. Para anggota saling ber-
hubungan satu sama lain dengan beberapa tujuan yang sama dan memiliki
semacam organisasi atau struktur diantara mereka. Kelompok mengem-
bangkan norma-norma, atau peraturan yang mengidentifikasi tentang apa
yang dianggap sebagai perilaku yang diinginkan bagi semua anggotanya. 6)
Hernert Smith, bahwa kelompok adalah suatu unit yang terdapat beberapa
individu, yang mempunyai kemampuan untuk berbuat dengan kesatuan-
nya dengan cara dan atas dasar kesatuan persepsi, 7) Joseph S. Roucek
(1963), suatu kelompok meliputi dua atau lebih manusia yang diantara
mereka terdapat beberapa pola interasi yang dapat dipahami oleh para
anggotanya atau orang lain secara keseluruhan, 8) Mayor Polak (1997),
kelompok sosial adalah satu group, yaitu sejumlah orang yang ada
hubungan antara satu sama lain dan hubungan itu bersifat sebagai sebuah
struktur, 9) Wila Huky (1982), kelompok merupakan suatu unit yang terdiri
dari dua orang atau lebih, yang saling berinteraksi atau saling berkomu-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 306


nikasi, 10) Bonner (1959), bahwa kelompok adalah sejumlah individu yang
berinteraksi dengan individu yang lain dan 11) Stogdill (1959), kelompok
adalah satu sistem interaksi terbuka dimana pola interaksi tersebut
ditentukan oleh struktur sistem tersebut.
Saya dapat menyimpulkan dengan berdasarkan pada sekumpulan
denifisi di atas, bahwa kelompok merupakan gabungan dari jumlah indi-
vidu yang ada di dalamnya. Dua atau lebih manusia tersebut saling
berkomunikasi lancar antara satu dengan yang lainnya, karena mereka
hidup bersama dan merasa seidentitas. Komunikasi yang dimaksud adalah
interaksi atau tingkah laku yang berpola, yang diatur oleh nilai, norma dan
aturan yang telah disepakati bersama. Selain kelomok, ada juga kelompok
yang disebut kolektifa. Kolektifa merupakan kumpulan orang yang
mempunyai rasa solidaritas, karena berbagi nilai bersama dan yang telah
memiliki rasa kewajiban moral untuk menjalankan harapan peran di dalam
kelompoknya.
Hidup berkelompok merupakan pengakuan, bahwa manusia adalah
binatang sosial (social animal). Hal inilah yang membedakan antara kelom-
pok manusia (masyarakat) dengan kelompok binatang (koloni). Interaksi
antar sesama anggota kelompok yang intensif dan berjalan sesuai norma,
nilai dan aturan bersama dapat memunculkan kesatuan rasa (solidarity).
Demikian pula sebaliknya, interaksi antar sesama anggota kelompok yang
intensif, namun berjalan tidak sesuai norma, nilai dan aturan bersama dapat
memunculkan konflik (conflict). Oleh karena itu, dalam satu kelompok
mutlak diperlukan sebuah kelembagaan (pranata sosial) untuk mengatur
dan mengontrol jalannya interaksi tersebut. Dengan demikian, pada
dasarnya adanya kelompok dapat dikatakan sebagai sesuatu yang sangat
wajar dan manusiawi dalam kehidupan manusia. Dengan berkelompok
akan terasa betapa pekerjaan yang sulit, jika dikerjakan sendiri barangkali
akan menjadi ringan bila dikerjakan di dalam kelompok. Prinsip kegotong-
royongan tersebut tercermin di dalam ungkapan: berat sama dipikul, ringan
sama dinjinjing. Prinsip sempugi bagi orang Bugis, assikajaneng bagi orang
Kajang dan paguyuban bagi orang Jawa merupakan salah satu contoh dari
kelompok yang dibentuk manusia. Ketiga istilah di atas menjadi perekat
rasa keselarasan, seindentitas, persaudaraan dan sebagainya. Menghadapi
ancaman akibat ketidakadaan aturan, karena masing-masing individu tidak
memiliki jalinan atau ikatan sosial. Hal ini menjadikan masing-masing
individu melakukan pengelompokkan, agar memungkinkan dirinya
memperoleh jaminan perasaan aman (safety) dalam menjalani hidup.
Diawali dengan usaha mengartikan kelompok, uraian berikut ini
menjelaskan makna kelompok sampai kepada adanya konflik di dalammya.
Suatu kelompok (group) adalah kumpulan dua orang atau lebih yang

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 307


berinteraksi dan saling tergantung untuk mencapai suatu sasaran tertentu.
Dalam pengertian ini kelompok diberi tekanan pada adanya interaksi antar
personal di dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Hal ini dimaksudkan,
agar aktivitas komunikasi yang berlangsung dari masing-masing individu
kepada individu yang lainnya dengan tanpa melalui orang lain atau orang
katiga (direct comunication) dalam mentransformasikan pesannya. Oleh
karena, kelompok merupakan kumpulan sejumlah orang, perilaku ataupun
kinerja anggota kelompok. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh hal-hal
yang sama dari anggota lainnya yang ada di dalam kelompok tersebut.
Kesamaan tindakan dan perilaku (cultural behaviuor) tersebut yang menjadi
patron anggota dalam berinterkasi di antara sesama.
Suatu kelompok juga merupakan suatu sistem yang terdiri dari dua
atau lebih individu yang saling berhubungan, sehingga menunjukkan
beberapa fungsi yang menyatakan peran (role) dan norma (norms), yang
mengatur hubungan masing-masing anggotanya. Meskipun pandangan
yang mengedepankan peran dan norma dianggap terlalu sosiologis, namun
penting kiranya dipahami, bahwa pemahaman akan eksistensi sebuah
kelompok tidak akan komprehensif, jika tanpa menyinggung tesis kontrak
sosial (social contract). Thomas Hobbes (1651) dan John Locke (1961), bahwa
kontrak sosial adalah perwujudan negara sebagai satu perjanjian bersama di
mana setiap individu setuju dan tunduk kepadanya. Kontrak ini berarti
individu-individu yang bebas menyerahkan haknya untuk memerintah diri
sendiri kepada satu institusi bersama yang berkuasa dan berdaulat. Kontrak
sosial, baik filsafat moral maupun politik, adalah teori atau model yang
berasal dari Zaman Pencerahan dan biasanya menyangkut legitimasi
otoritas negara atas individu. Definisi lain dari kontrak sosial adalah kesepa-
katan aktual atau hipotetis di antara anggota masyarakat terorganisir atau
antara komunitas dan penguasanya yang berwenang untuk menentukan
dan membatasi hak dan kewajiban masing-masing anggota dalam sebuah
kelompok.
Kontrak sosial juga dapat diartikan sebagai kesepakatan secara
sukarela di antara individu yang terorganisasi menjadi ada dan diinvestasi-
kan sebagai hak untuk mendapatkan keamanan, perlindungan dan kesejah-
teraan.
Peran individu dan norma di dalam kelompok merupakan konse-
kuensi yang harus diterima sebagai akibat kesediaan individu menyerahkan
atau mengkontrakkan sebagian kepentingannya untuk diatur oleh aturan
yang disepakati atau norma yang hidup dalam kelompok. Dalam konteks
fitrah manusia, setiap individu tentu menjalani hidup sesuai pandangan dan
caranya sendiri. Ketika manusia belum memiliki pola dalam bertindak,
sehingga sangat mungkin terjadi benturan kepentingan yang bisa mengaki-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 308


batkan situasi anarkis. Keadaan ini tentu menimbulkan ketidaknyamanan
hidup, karena ancaman yang mungkin selalu muncul dari individu lain
sebagai akibat dari pemilikan cara pandang dan tindakan hidup yang belum
terpola menjadi perilaku kelompok. Dalam situasi ini, manusia dituntut
untuk selalu waspada dari ancaman. Perjalanan hidup yang penuh ancaman
inilah yang lambat laun menyadarkan tiap individu untuk mengintegrasi-
kan sebagian kepentingan hidupnya dengan melakukan sejumlah kesepaka-
tan dengan individu lain untuk membentuk kelompok. Dengan demikian,
munculnya kelompok juga memunculkan seperangkat aturan yang mem-
batasi sejumlah tindakan yang mengacu pada norma, nilai, aturan dan
bahkan hukum yang harus dipatuhi bersama.
Pemahaman tentang kelompok dapat dikaji dengan menggunakan
beberapa perspektif yang sesuai dengan bentuk dan karakter kelompok
yang menjadi obyek kajiannya. Studi kelompok dengan menggunakan
perspektif sosiologis menghasilkan definisi yang memberi sumbangan pada
tekanan adanya norma. Sedangkan kajian dengan perspektif organisasi akan
menghasilkan definisi yang menekankan adanya interaksi yang bertujuan
membatas tindakan melalui penerapan aturan, yang telah disepakati
bersama. Meskipun kedua pendekatan di atas berbeda, namun dari segi
tujuan keduanya sama. Menurut saya, bahwa sangat tidak mungkin suatu
kelompok terbangun tanpa didasari oleh adanya sasaran. Pembentukan
kelompok tani dimaksudkan, misalnya, agar para petani yang ada di
dalamnya dapat mengembangkan diri secara bersama-sama untuk meraih
kehidupan yang lebih aman dan sejahtera.
Akhirnya saya dapat menyimpulkan, bahwa kelompok dibangun oleh
sebuah tujuan (goals) bersama, sehingga harus terbentuk kesamaan persepsi
dalam berinteraksi, yang diatur oleh pranata sosial (nilai, norma dan
aturan). Dengan adanya pencapaian tujuan yang berbeda dari masing-
masing anggota kelompok, akan menghasilkan interaksi negatif, yang kursif
dan anarkis. Tindakan seperti ini akan menimbulkan kekacauan dan
ketidakstabilan (disintegrmasation) di dalam kelompok. Tidak tertutup
kemungkinan ketidak stabilan ini dapat memunculkan efek konflik, baik
kedalam kelompok sendiri (internal conflict) maupun di luar kelompoknya
(external conflict). Untuk mengantisipasi keadaan seperti ini, saya pernah
mengajukan konsep sipaka (saling) di dalam sebuah seminar bertemakan
Jalinan Kasih di Antara Sesama Manusia, yang diprakarsai oleh Kelompok
Pengideraan Jarak Jauh di Hotel Nusa Indah Lombok Mataram NTB.
Konsep sipaka dalam kebudayaan orang Bugis dapat memiliki dua tujuan,
yaitu: 1) Konsep sipaka yang mengandung nilai positif, yang dapat memberi
manfaat kepada individunya. Dalam konsep sipakalebbi (saling memulia-
kan), sipakatau (saling memanusiakan), sipakainge’ (saling mengingatkan),

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 309


sipaka-enre’ (saling mengangkat derajat masing-masing) dan sebagainya,
terkan-dung nilai-nilai positif dalam ineraksi sosial mereka dan 2) Konsep
sipaka yang mengandung nilai negatif, yang dapat menimbulkan rasa tidak
aman, bahkan kebencian di dalam kelomok. Kata sipakasiri (saling memalu-
kan) adalah jalinan interaksi yang mengnadung nilai negatif. Keduanya
tidak saling menguntungkan, tetap saling merugikan. Dalam interaksi sosial
seperti ini, terjalin hubungan yang saling mencari celah dan kelemahan
untuk memenangkan situasi dan kondisi. Konsep yang erat kaitannya degan
istilah ini yaitu: a) ripakasiri (dipermalukan) oleh seseroang atau anggota
kelompoknya, masiri’ (malu), karena dia dipermalukan dan dia malu karena
berbuat yang tidak banar (kesalahan) dan mappakasirisiri (memalukan),
karena seseorang berbuat salah, sehingga anggota kelompok lainnya ikut
merasa malu.
Perlu saya perjelas di sini, bahwa konsep siri’ (malu) yang saya
paparkan dalam buku ini adalah siri’ (malu pada diri sendiri). Kata siri
dalam buku saya ini erat kaitannya dengan harkat dan martabat seseorang,
termasuk diri sendiri. Kata siri dalam konteks ini adalah malu, karena
harkat dan martabatnya diinjak-injak oleh orang lain. Jadi, bukan konsep
siri (malu), karena perasaan malu, yang berasal dari sesuatu yang berada di
luar diri seseorang. Banyak orang yang malu, karena dia kurang mapan
dalam hidupnya dibandingkan dengan orang-orang sekitarnya, sehingga
timbul siasat dan cara untuk menyaingi orang sekitarnya. Atau malu,
karena dia melihat orang lain lebih bisa daripada dirinya, sehingga timbul
rasa cemburu yang bisa berakibat pada persaingan tidak sehat. Lalu apa
yang saya maksud dalam konsep siri dalam buku ini ? Siri adalah nilai,
norma dan aturan yang disepakati bersama dalam masyarakat beridentitas
Bugis. Siri bukan diartikan ‘malu dan bertindak’, seperti yang saya dengar
dari seorang pembicara di dalam satu seminar tentang siri. Kalu konsep siri
seperti ini dibenarkan, benar yang dikatakan oleh semua orang luar
identitas Bugis, bahwa orang Bugis itu temperamental, orang Bugis itu
pemakan manusia, orang Bugis itu suka membunuh orang dan sebagainya.
Pokoknya orang Bugis disejajarkan dengan orang yang tidak punya harga
diri dan tidak menghargai harga diri orang lain. Ketika saya di London pada
tahun 1987-1991, sering saya baca di koran-koran kontinental, dimana orang
Bugis dilebel boegiman, yang disejajarkan dengan perompak atau bajak laut.
Ini artinya, orang Bugis adalah manusia ciptaan Allah yang tidak punya
harkat dan martabat. Itu semua adalah hasil konsepsi dari orang-orang yang
tidak tahu persis seperti apa arti yang terkandung di dalam konsep siri.
Mereka mengartikan siri pada level meaning dari sebuah surface structure,
tetapi bukan deep structure, undelying of meaning atau the meaning of the
meaning dari sebuah surface structure. Oleh karena itu, saya berusaha untuk

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 310


meluruskan ketimpangan konsep tersebut dengan berdasar dari dua tataran:
ilmu bahasa dan Filsafat. Sekali lagi saya katakan di sini, bahwa kosep siri
sangat berkaitan dengan konsep harga diri yang dimiliki oleh setiap
manusia, baik secara khusus bagi Orang Bugis maupun individu yang
berasal dari luar etnis Bugis. Untuk menghindari tindakan anarkis, seperti
yang dikatakan dalam konsep siri (malu), orang Bugis memiliki beberapa
konsep untuk meredam timbulnya tindakan yang bernilai negatif, seperti: a)
taroi masennang, b) padecengi riyolo’, c) pikkiriki riyolo’, a) lesseko ribenreng, e)
tangngai madecengdeceng, f) Parampengngi ininnawammu, g) sabbarakko, h)
pesonako ripuangnge dan sebagainya. Keseluruhan konsep ini merupakan
solusi dan penangkal dari perasaan orang Bugis, yang selalu mau dihargai
dan menghargai orang lain.
2. Mengapa Orang Berkelompok
Kata klan berasal dari Gaelic clann, yang berarti ‘anak-anak’ atau
‘progeni. Istiah itu tidak digunakan untuk istilah keluarga di Irlandia atau
Gaelik di Skotlandia (Patrick, 1927; Nial, 1992). Menurut Oxford English
Dictionary, kata klan diperkenalkan di dalam bahasa Inggris sekitar tahun
1425, sebagai label untuk sifat masyarakat Dataran Tinggi Skotlandia. Klan
adalah sekelompok orang yang disatukan oleh persaudaraan yang aktual
atau keturunan Hugh (1911). Apabila asal usul klan tidak diketahui, garis
keturunan anggota klan dapat ditarik melalui pendiri atau leluhur apikal
mereka. Klan dalam masyarakat pribumi cenderung eksogami, yang berarti
bahwa anggota mereka tidak dapat menikah satu sama lain. Lawan dari
eksogami adalag endogami, yang diperkenankan menikahi wanita di dalam
kelompoknya. Klan mendahului bentuk organisasi masyarakat yang lebih
tersentralisasi, yang ada di setiap negara. Anggota dapat mengidentifikasi
diri melalui lambang atau simbol lain untuk menunjukkan, bahwa mereka
adalah klan independen. Ikatan berbasis kekerabatan mungkin juga
memiliki leluhur simbolis, di mana klan berbagai leluhur yang ditetapkan
merupakan simbol persatuan klan. Ketika leluhur ini bukan manusia, ia
disebut sebagai totem, yang lebih banyak berupa merupakan binatang.
Dalam budaya dan situasi yang berbeda, klan biasanya memiliki
makna yang berbeda dari kelompok berbasis kerabat lainnya, seperti suku
(tribes) dan band (bands). Seringkali, faktor yang membedakan klan adalah
bagian yang lebih kecil dari masyarakat yang lebih besar (negara). Di bebe-
rapa masyarakat, klan mungkin memiliki pemimpin resmi seperti kepala,
matriark, atau patriark. Ditempat lain, posisi kepemimpinan mungkin harus
dicapai melalui voting, bahwa yang berhak memimpin adalah orang tua,
yang memiliki banyak pengalaman (senioritas).
Penduduk asli Amerika mendiami beberapa daerah miskin sumber
daya, seperti; Tierra del Fuego dan hutan boreal utara. Semua band modern

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 311


ini atau pengembara nomaden yang berprofesi sebagai pemburu dan
produsen makanan mulai tinggal menetap, sekitar 40.000 tahun hingga
11.000 tahun yang lalu. Istilah band di dalam antropologi dan ilmu budaya
adalah kumpulan masyarakat terkecil, yang terdiri dari 5-80 orang. Kese-
luruhan anggota kelompok tersebut adalah keluarga dekat, karena kelahiran
atau pernikahan. Akibatnya, sebuah band merupakan keluarga besar, yang
terdiri atas beberapa keluarga besar yang terkait. Saat ini, band-band otonom
hampir terbatas pada bagian paling terpencil di New Guinea dan Amazonia.
Akan tetapi, ada banyak band lain yang baru saja diintergasikan ke bawah
kendali negara atau diasimilasi atau dihapus keberadaannya. Pada saat ini
masih dapat kita jumpai di Pygmi Afrika, Afrika Selatan, Bushmen yang
berprofesi pemburu-pengumpul (food and gathering), suku Aborigin
Australia, Eskimo (Inuit) dan penduduk asli Amerika miskin dan terpencil
di Amerika. Keseluruhan band-band modern ini atau pengembara nomaden
sebagai pemburu daripada produsen makanan mulai menetap mulai dari
40.000 tahun yang lalu hingga tahun 11.000 tahun yang lalu.
Dalam antropologi, suku (tribes) adalah kelompok sosial manusia.
Definisi yang tepat tentang apa yang merupakan suku bervariasi di antara
para antropolog. Istilah itu sendiri dianggap kontroversial di kalangan
akademisi, karena ada hubungannya dengan kolonialisme. Dalam peng-
gunaan umum, istilah ini dapat merujuk pada orang yang hidupnya masih
primitif, sehingga menimbulkan konotasi negatif. Konsep ini sering kontras
dengan konsep-konsep kelompok sosial lainnya, seperti; negara dan bentuk
kekeluargaan.
Saya sudah jelaskan secara sepintas di atas, bahwa sejak manusia lahir
di dunia ini memang selalu muncul keinginan untuk hidup berkelompok.
Kelompok bagi mereka adalah satu wadah untuk keamanan dan area untuk
interaksi sosial. Beberapa mitos yang berceritra tentang kehidupan masa
lampau selalu dikaitkan dengan kelompok. Paling tidak ada enam alasan
untuk menjawab, mengapa manusia cenderung berkelompok, yakni:
keamanan, status, harga diri, integrasi sosial, kemudahan dan prestasi.
a. Keamanan: dengan bergabung dalam suatu kelompok, masing-masing
orang dapat mengurangi perasaan tidak aman dalam kesendiriannya.
Orang menjadi lebih percaya diri, karena merasa menjadi bagian dari
suatu kesatuan kekuatan, sehingga lebih tahan terhadap berbagai ancam-
an yang mungkin timbul.
b. Status: ketika seseorang menjadi bagian dari suatu kelompok penting,
orang tersebut akan dipandang oleh orang lain dengan status yang
berbeda. Stratifikasi sosial memungkinkan seseorang untuk mendapatkan
status yang berbeda, jika orang tersebut menjadi anggota dari suatu

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 312


kelompok. Status yang berbeda ini berasal dari pengakuan orang lain,
yang tidak menjadi bagian atau anggota kelompok.
c. Harga diri: kelompok juga dapat memberi rasa harga pada diri bagi
anggotanya. Artinya, menjadi anggota suatu kelompok dapat menimbul-
kan perasaan berharga, karena dapat diterima sebagai anggota dan sudah
memenuhi standar tertentu yang disyaratkan dalam inisiasi penerimaan
keanggotaan.
d. Integrasi sosial: berbagai kelompok dapat memenuhi kebutuhan-
kebutuhan sosialnya: untuk berafiliasi, bersosialisasi dengan menjadi
bagian dari suatu kelompok dan menunjukkan intensitas kebutuhan
sosial dari seseorang. Di dalam kelompok, masing-masing anggota
menikmati interaksi yang teratur, yang bagi banyak orang interaksi ini
merupakan modal awal mereka untuk memenuhi kebutuhan dalam
mengintegrasikan diri ke dalam lingkungan sosialnya.
e. Kemudahan: apa yang tidak dapat atau terlalu sulit dicapai secara
individual seringkali menjadi lebih ringan, jika diusahakan untuk dicapai
melalui kerjasama dengan orang lain. Ini menunjukkan, bahwa dengan
berkelompok seseorang akan mendapatkan berbagai kemudahan dalam
berbagai kegiatan untuk memenuhi kebutuhannya. Seseorang bersedia
menjadi anggota suatu kelompok hanya apabila dalam pandangannya
kelompok tersebut dapat memenuhi berbagai harapan, serta mampu
menolong untuk mencapai atau memenuhi kebutuhannya.
f. Prestasi: ketika diperlukan adanya sekelompok orang untuk mencapai
suatu tugas pekerjaan tertentu, dari orang-orang tersebut muncul kebu-
tuhan untuk menunjukkan bakat yang dimilikinya, pengetahuannya dan
mungkin saja kekuatannya, agar pekerjaan dapat terselesaikan. Setelah
pekerjaan terselesaikan, hasilnya dapat menjadi ukuran prestasinya.
a. Kelompok Formal dan Informal
Ketika terdapat dua orang yang mengangkat meja untuk dipindahkan
tempatnya, kedua orang tersebut membangun sebuah kelompok kecil.
Begitu pula ketik beberapa orang menjual jasa untuk melakukan penanam
padi di sawah, sejulah orang tersebut membentuk sebuah kelompok pe-
nanam padi. Mencermati dua contoh tersebut, tentu akan segera tertangkap
pengertian, bahwa sebenarnya berdasarkan formalitasnya, kelompok itu
dapat dipilah menjadi formal dan informal.
Kelompok formal adalah kelompok yang didefinisikan oleh adanya
struktur organisasi, dengan pembagian kerja dan pembatasan sejumlah
wewenang secara tegas untuk melakukan berbagai tugas dalam mencapai
sasaran yang telah ditentukan. Dalam kelompok formal, berbagai tindakan
ditentukan oleh dan diarahkan kepada tujuan tertentu.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 313


Kelompok formal masih dapat diklasifikasikan lagi menjadi kelompok
tugas dan kelompok komando. Kelompok tugas ditetapkan secara organisa-
sional, mewakili beberapa unit kerja untuk bersama-sama menyelesaikan
suatu tugas tertentu. Kelompok yang melintasi garis komando ini dapat
dimisalkan jika di suatu Fakultas terdapat kasus plagiasi atas salah satu
skripsi. Dekan fakultas yang bersangkutan menentukan, agar Ketua Jurusan,
Bagian Perpustakaan dan Pembantu Dekan, serta Pembimbing Utama
penulisan skripsi yang diduga sebagai hasil plagiasi itu membentuk
kelompok untuk melakukan penyelidikan sebelum sanksi akademik
diberlakukan kepada sarjana plagiat yang bersangkutan.
Kelompok komando adalah kelompok yang dari atas dan bawahan
(top down) mengikuti garis komando dan sangat hierarkis. Kelompok ini
dispesifikasikan oleh bagan organisasi yang memetakan secara tegas batas
tugas, wewenang dan tanggungjawab masing-masing anggota kelompok.
Kelompok komando biasanya jelas di salam sebuah Standar Operasional
Perusahaan (SOP) sebuah perusahaan. SOP itu biasanya disertai dengan
bagan dan struktur organisasi yang mencakup tugas dan wewenang
masing-masing unsur dalam menjalankan roda perusahaan. Dalam sistem
organisasi nelayan juga dikenal dengan Ponggawa yaitu pemilik modal dan
Sawi yaitu pelaksana harian penangkapan ikan di laut. Dalam organisasi
dewan adat Karampuang juga dikenal dengan perangkat adat empat orang,
terdiri atas: 1) Puang Tomatowa bertindak sebagai raja, 2) Puang Gella
bertindak selaku pelaksnaan harian urusan adat, 3) Puang Sanro dijabat oleh
perempuan dalam urusan kemaslahatan dan kesehatan seluruh warga
masyarakat adat Karampuang. Sanro juga yang mengatur semua pelaksana-
an pesta adat Mappogauk Sihanuwae dan Mabbissa Lompu dan 4) Tuang Guru
dalam urusan keagamaan dan pelaksanaan hari-hari besar Islam (maulid
Nabi Muhammad, Idul Fitri, Indul Adha dan sebagainya). Keempat dewan
adat tersebut dibantu oleh seorang putra mahkota ana’ ada’. Masyrakat adat
Kajang juga memiliki dewan adat dua puluh enam orang (ada’ ruampul-
ongngannang). Keseluruhan dewan adat tersebut terdiri atas: 1) Ammatowa ri
Kajang sebagai pemimpin adat tertinggi adata, 2) Angronta ri Kajang terdiri
atas: Anrongta ri Bungkina berkedudukan di Bungkina dan Anrongta ri Pangi
berkedudukan di Pangi. Kedudukannya sangat dihormati, karena dianggap
sebagai pendamping Ammatowa. Dengan demikian, Anrongta menurut
persepsi mereka sebagai asal muasal (a’mula tau) yang harus dihormati dan
dijunjung tinggi. Kedudukan dan status Anrongta disamakan dengan
kedudukan dan posisi seorang ibu yang melahirkan dan membesarkan
anak-anaknya. Keduanya tidak hanya membela hak-hak kaumnya (femi-
nisme), tetapi juga sebagai penasehat dan pengawas kepemimpinan
Ammatowa. Kedudukannya berfungsi sebagai dewan pertimbangan atau

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 314


penasehat Ammatowa. Kedudukan seperti ini diasosiasikan dengan kedudu-
kan dan fungsi seorang permaisuri yang harus mendampingi Ammatowa
selaku pemimpin adat tertinggi. Dalam proses ritual adat, khususnya
Appanganro Kacucu Bola keduanya duduk berdampingan dengan Ammatowa.
Keduanya menjadi tokoh sentral dalam berbagai ritual adat, khususnya
ritual Akkatto yaitu ritual penjemputan Sang Hyang Sri di tempat peradu-
annya. Keduanya bertanggung jawab untuk mengatur prosesi ritual mulai
dari upacara penjemputan dewi padi (appakuru’ sumanga’ pare’a), pema-
nenan (akkatto’) hingga pada penyimpanan padi (appanai pare’) di loteng atas
rumah (parabola). Khusus Anrongta ri Bongkina pernah mengusulkan perluas-
an hutan Tode sejauh 20 meter dan hutan Tombolo’ sejauh 25 meter keluar
hingga mencapai pinggir jalan desa, 3) Labbiriya yaitu Camat Kajang dan
Kadhi imam masjid di Balagana, 4) Karaeng Tallua dijabat oleh Labbiria yaitu
Camat Kajang, Sullehatang dijabat oleh Kepala Desa Tana Towa dan
Moncombulowa karaeng Tambangan, 5) Ada’ Limayya ri Tana Kekeya yaitu
pelaksnaan haria adat bidang bertugas khusus untuk urusan adat dan
pengawasan hutan adat di kawasan Kajang Dalam. Kelimanya terdiri atas;
Galla Pantama saat ini menjabat sebagai Kepala Desa Posittana. Ia jarang
hadir dalam kegiatan ritual adat, kecuali ritual anynyuru borong (Pemilihan
dan Pelantikan Ammatowa) dan Akattere’ (aqikah). Galla Pantama juga ber-
tanggung jawab dan bertugas untuk menjaga kelestarian hutan di wilayah
kerjanya, serta membantu dan menganjurkan penanaman pohon di lahan
kosong dan kebun milik rakyatnya. Galla Kajang termasuk Ada' Tana
(pemangku adat) di bidang hukum adat. Ia membantu Ammatowa mengurus
masalah perkara hukum perdata dan kriminal (pelanggaran pembalakan
hutan) di wilayah adat Kajang. Jenjang penyelesaian permasalahannya
dilakukan melaui hukum adat (ada’ tanyya) dalam bentuk musyawarah adat
(abborong ada’). Galla Puto juga termasuk Ada’ Tana (pemangku adat) bidang
diplomat. Ia bertugas sebagai juru bicara Ammatowa, baik untuk Kajang
Dalam dengan kapasitasnya sebagai juru penerangan (pappalabbang)
maupun di Kajang Luar dalam sebagai diplomat (suro ada’). Selain itu Galla
Puto ikut dalam penetapan sanksi pelanggaran di bidang kehutanan dan
kemasyarakatan. Galla Lombo bertugas mengurus masalah pemerintahan
adat di daerah kekuasaan Ammatowa. Galla Lombo juga bertanggung jawab di
bidang pelestarian hutan keramat (borong karama’) seluas ± 300 Ha atau
sekitar 90% dari seluruh hutan adat yang berada di wilayah Galla Lombo
(Desa Tanatowa). Ia diberi hak penuh untuk menjaga hutan adat (Tanatowa
I s.d V) bersama dengan dewan adat lainnya. Galla Malelleng bertugas
mengurus pajak perikanan (bilanna malleleng) dan pajak hasil laut (sassung
tamparang) di desa Malelleng. Kontribusinya dalam bidang pelestarian
hutan dapat dilihat ketika peradilan adat berlangsung. Selaku dewan adat ia

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 315


berhak untuk memberi masukan dan pendapatnya kepada Galla Puto dan
Galla Kajang sebelum mengambil keputusan dalam peradilan adat. Selain
itu, Galla Malelleng juga berhak dan bertangung jawab untuk menjaga
kelestarian hutan bakau di wilayah kerjanya, khususnya di pinggir laut, 6)
Ada’ Limaiya ri Tana Loheya lebih banyak bertugas untuk urusan di wilayah
adat Kajang Luar, khususnya masalah pengawasan dan pelestarian hutan
tebangan di Kajang Luar atau di masing-masing wilayah kerjanya. Ada’
Limaiya ri Tana Loheya terdiri atas; Galla Anjuru saat ini menjabat Kepala
Desa Lembanna Kecamatan Kajang. Selain itu ia juga bertugas untuk
menggalakkan penanaman kembali pohon di lahan tidur di wilayah
kerjanya, baik di hutan tebangan maupun di hutan adat, Galla Ganta berhak
dan berwenang memberi izin penebangan (legal logging) di Buki Tonra dan
Allu'a kepada masyarakat Ganta dan sekitarnya dengan syarat-syarat yang
telah disepakati bersama. Selain tugas tersebut di atas ia juga diberi tugas
oleh Ammatowa untuk menggalakkan penanamam kembali lahan tidur atau
kosong di wilayahnya, Galla Bantalang ditunjuk Ammatowa untuk meng-
awasi pengembangan hutan tebangan Sampaga Puanga di wilayah kerja-
nya. Ia berhak untuk memberikan izin penebangan kepada masyarakat Desa
Tanatowa, Pattiroang, Bontobaji dan sekitarnya. Lokasi hutan tebangan
Sampaga Puanga sangat berdekatan dengan hutan keramat, sehingga
fungsinya sebagai hutan penyangga atau hutan pengaman (borong
pa’rumpae) harus tetap dipertahankan dan Galla Sapa diberi wewenang
untuk mengatur hutan tebangan A'nisia di Desa Sapanang dan Batuni-
lamung. Galla Sapa juga diberi tanggung jawab untuk mengarahkan
masyarakat pemilik lahan di wilayah kerjanya untuk tetap menanam kayu-
kayuan sebagai pengganti hutan tebangan A'nisia yang hampir habis, 7) Tau
Limayya (lima orang penjaga hutan) diberi tanggung jawab dan wewenang
untuk mengawasi pembalakan hutan adat beserta ekosistemnya. Sebagai
penjaga hutan dan informan khusus Ammatowa, semua kejadian pelanggar-
an di hutan adat terlebih dahulu dilaporkan kepada Tu’ Mutung di
Kampung Sobbu. Laporan tersebut selanjutnya akan disampaikan kepada
Ammatowa setelah kebenarannya sudah dicek Tu’ Mutung. Semua bentuk
pelanggaran berupa pembalakan hutan diajukan ke peradilan adat Kajang,
yang dihadiri Ammatowa dan pemangku-pemangku adatnya, 8) Bali Ada’
(Pendamping Adat) adalah mitra kepemimpinan adat Ammatowa di bekas
kerajaan Pattongko (Karaeng Pattongko) di Desa Pattongko Kecamatan
Tellulimpo’e Kabupaten Sinjai dan bekas kerajaan Jojjolo’ di Desa Jojjolo’
Kecamatan Bulukumpa Kabupaten Bulukumba. Keduanya mempunyai
kedudukan dan fungsi dalam lembaga adat Kajang, khususnya sebagai
anggota dewan adat dua puluh enam. Kepala Desa Pattongko di Kabupaten
Sinjai dan Kepala Desa Jojjolo’ di Kecamatan Bulukumpa diberi tugas dan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 316


wewenang untuk mempertahankan kelestarian hutan adat di wilayahnya, 9)
Panre bassi (pandai besi) memegang peranan penting dalam rangka menun-
jang kelestarian adat istiadat dan hutan di Kajang. Ia memegang fungsi
utama untuk membuat peralatan atau persenjataan tradisional keris dan
alat-alat pertanian (cangkul, kapak, gergaji, linggis dan sebagainya), 10)
Lombo Karaeng (Mantan Pemangku Adat) mempunyai kedudukan khusus
dalam kelembagaan adat Kajang. Ia masih tetap dihargai dan dianggap
patut mendapat tempat sebagai tetua atau sesepuh adat (Tu’towa). Lombo
Karaeng dalam sistem peradilan adat Kajang, khususnya masalah pembalak-
an hutan, dihadirkan sebagai Dewan Pertimbangan Adat untuk memberi
masukan kepada Ammatowa sebelum mengambil keputusan.
Kelompok informal diartikan sebagai persekutuan dua orang atau
lebih yang tidak terstruktur secara formal. Kelompok jenis ini biasanya
muncul merupakan tanggapan atau respon terhadap kebutuhan orang akan
kontak sosial. Dengan kata lain, kelompok informal ini tidak berkembang
sebagai akibat dari perancangan tetapi tumbuh secara alamiah. Di dalam
suasana kerja, secara wajar seringkali kelompok informal ini terbentuk.
Empat orang karyawan dari unit kerja berlainan secara teratur selalu
melakukan pulang bersama-sama, merupakan contoh nyata dari kelompok
informal. Ivanchevic dkk. (1996) membagi kelompok informal ini menjadi: 1)
kelompok minat yakni kelompok yang terbentuk oleh beberapa individu
yang tidak menjadi anggota kelompok tugas dan komando tetapi memiliki
sasaran yang sama hanya saja sasaran tersebut berbeda dengan sasaran
kelompok utamanya dan 2) kelompok persahabatan adalah kelompok yang
interaksi anggotanya terjadi di luar aktivitas kerja.
b. Kelompok Primer dan Sekunder
Kelompok primer merupakan kelompok yang tiap anggotanya saling
kenal sebagai suatu pribadi secara akrab. Interaksi sosial antar individu di
dalamnya bersifat tidak formal (tidak rersmi), akrab, personal dan total yang
mencakup banyak aspek dari pengalaman hidup. Di dalam kelompok
primer, sebagaimana keluarga, klik, atau sejumlah sahabat, hubungan sosial
cenderung bersifat santai. Masing-masing individu saling tertarik satu sama
lain sebagai suatu pribadi. Mereka menyatakan harapan-harapan dan
kecemasan-kecemasan, berbagai pengalaman dalam kesalingtergantungan
dan saling memenuhi kebutuhan akan keakraban persahabatan. Biasanya,
kelompok primer beranggotakan individu-individu yang jumlahnya tidak
besar, atau tidak sebesar dalam kelompok sekunder.
Di dalam kelompok sekunder, hubungan sosial bersifat formal, imper-
sonal, segmental dan didasarkan atas azas manfaat (utilitarian). Sese-orang
tidak berurusan dengan orang lain sebagai suatu pribadi, tetapi sebagai
orang yang berfungsi dalam menjalankan sesuatu peran. Kualitas pribadi

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 317


tidak sepenting cara kerja. Hanya sedikit aspek atau bagian dari keseluruh-
an kepribadian yang terlibat dalam pelaksanaan peran saja yang dianggap
penting.
Kelompok sekunder dapat berupa serikat kerja, mitra dagang, klub
pendaki gunung, persatuan wali murid atau himpunan orang tua maha-
siswa. Kelompok-kelompok ini muncul untuk memenuhi tujuan khusus
yang terbatas, yang hanya melibatkan sebagian dari kepribadian anggota-
nya.
Istilah primer dan sekunder menggambarkan model hubungan atau
type interaksi dan tidak mengahdirkan klaim bahwa yang satu lebih baik
dari yang lain. Kelompok primer dapat saja terlibat dalam penyelesaian
suatu pekerjaan, tetapi penilaian terhadap kelompok jenis ini tetap ber-
dasarkan pada kualitas hubungan manusiawi, bukannya pada efisiensi
dalam penyelesaian suatu kegiatan. Kelompok sekunder mungkin juga ber-
sifat menyenangkan, tetapi pusat orientasinya adalah penyelesaian pekerja-
an.
Kelompok primer dan sekunder dipandang penting karena perasaan
dan perilaku atau tindakan merupakan hal yang berbeda. Dalam kelompok
primerlah kepribadian dibentuk. Dalam kelompok primerlah seseorang
menemukan keakraban, rasa simpati dan rasa kebersamaan yang menye-
nangkan terkait dengan banyak minat serta kegiatan. Dalam kelompok
sekunder seseorang menemukan cara yang efektif untuk mencapai tujuan
tertentu walaupun cara tersebut seringkali mengorbankan hati kecil sese-
orang. Konsep primer dan sekunder dalam pemahaman kelompok sangat
bermanfaat karena memberi gambaran perbedaan penting dari perspektif
perilaku.
c. Paguyuban dan Petembayan.
Konsep paguyuban (gemeinschaft) dan patembayan (gesselschaft) meru-
pakan konsep yang tidak jauh berbeda dengan primer dan sekunder
sebagaimana yang dikembangkan oleh Ferdinand Tonnies (1887). Secara
umum istilah paguyuban dapat mengajukan pemahaman sebagai komu-
nitas (community) sedangkan petembayan diterjemahkan sebagai masya-
rakat (society).
Paguyuban adalah sebuah sistem sosial yang kebanyakan interaksinya
bersifat personal serta sering tradisional atau berdasarkan tradisi dan
kebiasaan yang sudah berlangsung sejak lama. Biasanya, interaksi dalam
paguyuban bersifat informal. Penggunaan dokumen tertulis jarang
ditemukan, kontrak formal belum dikenal dan segenap kegiatan dilakukan
menurut cara-cara tradisi yang dikenal dan dapat diterima oleh seluruh
anggota komunitas. Ritme kehidupan berlangsung datar (monoton), namun
perasaan kesepian jarang dialami oleh anggota karena mereka sudah saling

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 318


bertetangga sejak lama sehingga relatif tidak memiliki problem jarak fisik
maupun sosial.
Dalam konsep sistem patembayan, masyarakat tradisional digantikan
oleh masyarakat yang kontraktual. Dalam patembayan, ikatan pribadi, hak-
hak tradisional, maupun tugas-tugas tidaklah sepenting sifat utilitarianisme.
Interaksi antar individu ditentukan proses transaksional yang kemudian
dituangkan dalam perjanjian-perjanjian tertulis. Sanak keluarga seringkali
hidup terpisah, karena orang-orang cenderung selalu berpindah untuk
tinggal di lingkungan orang-orang yang tidak dikenal sebelumnya. Etika
perilaku yang diterima secara umum didasarkan pada rasionalitas prag-
matis dengan perhitungan untung rugi. Kelompok jenis ini tersebar luas di
kota-kota metropolitan modern.
B. Masyarakat
Setelah selintas kita diberikan pemahaman oleh uraian mengenai
sejumlah hal terkait dengan dunia kehidupan sosial manusia, maka penting
untuk memahami terlebih dahulu tentang masyarakat. Uraian tentang hal
ini diperlukan karena kecuali dunia kehidupan sosial itu beroperasi di
masyarakat, juga pengertian masyarakat akan selalu terbawa hingga akhir
buku Sosiologi Komunikasi ini. Kata sosiologi di depan komunikasi itulah
yang mengharuskan kata masyarakat terbawa-bawa hingga jauh.
Kata masyarakat sering dikacaukan dengan kebudayaan sekalipun
keduanya sangat berbeda. Kebudayaan adalah suatu sistem norma dan nilai
yang terorganisasi yang menjadi pegangan bagi masyarakat. Segala sesuatu
yang tidak asali, baik berupa sesuatu yang materiil maupun sebaliknya
adalah konstruksi budaya atau hasil kebudayaan, atau hasil suatu budi daya
manusia. Sedangkan masyarakat merupakan suatu organisasi manusia yang
saling berhubungan satu sama lain. Mungkin pemakaian istilah organisasi
dapat dicairkan dengan pemakaian istilah sekumpulan karena organisasi
mengandung pengertian adanya pengaturan struktural yang kaku dengan
pembagian tugas-tugas yang jelas. Organisme masyarakat tidaklah setegas
dan seteratur sebuah organisasi.
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri,
yang hidup bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah
tertentu, memiliki kebudayaan yang sama dan melakukan sebagian besar
kegiatannya dalam kelompok tersebut (Horton & Hunt 1996; 59). Pendefi-
nisian masyarakat sebagaimana yang dikemukakan oleh dua sosiolog dari
Western Michigan University tersebut cukup memadai untuk pegangan
studi Sosiologi Komunikasi ini. Intinya, masyarakat (society) adalah
kumpulan manusia yang saling berhubungan dengan kebudayaan khas
milik mereka sendiri sebagai pegangan hidup dan mendiami sesuatu
wilayah tertentu.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 319


Adanya sekumpulan manusia yang saling berhubungan menandai
adanya sistem sosial. Sebagai sistem yang terdiri atas bagian-bagian saling
berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan, hal ini menjadi titik
sentral pengertian masyarakat. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian
akan membawa perubahan pula pada bagian yang lain. Asumsinya adalah,
bahwa setiap bagian struktur dalam sistem sosial fungsional terhadap yang
lain. Setiap bagian dari sebuah sistem sangat berfungsi terhadap bagian
yang lain. Kesalingtergantungan antar bagian atau struktur dalam sistem
sosial inilah yang membentuk masyarakat. Keyakinan ini menjadi asumsi
dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural yang pentolannya adalah Robert
King Merton.
Keseimbangan menjadi kata kunci bagi organisme masyarakat.
Sehingga, tesis atau anggapan ini mengabaikan adanya struktur yang
beroperasi menentang atau bertentangan dengan struktur yang lain dalam
sebuah sistem sosial. Teori ini berasumsi bahwa segala pranata sosial yang
ada dalam suatu masyarakat selalu fungsional atau memiliki fungsi dalam
artian positif atau negatif bagi yang lain. Bahkan kemiskinan, oleh penganut
teori ini, diyakini fungsional dalam sistem sosial. Problemnya adalah,
fungsional bagi siapa ? Memang, bagi si miskin tentu disfungsional, tetapi
setidaknya kemiskinan itu berfungsi: 1) menyediakan tenaga kerja kasar, 2)
pembukaan lapangan kerja baru, 3) memunculkan sikap altruis bagi si kaya
terhadap si miskin, 4) penyedia tenaga bagi pemanfaatan barang bekas
pakai orang kaya dan lain sebagainya.
Yang baru diuraikan tersebut merupakan sekedar contoh dari anggap-
an bahwa masyarakat adalah sebuah sistem sosial yang bagian-bagiannya
memiliki kesalingtergantungan sekaligus saling memiliki fungsi bagi
masing-masingnya. Kecuali teori Fungsionalisme Struktural, masih terdapat
sejumlah teori lain yang semuanya berbicara tentang bagaimana masyarakat
bisa dilahirkan, dipelihara serta dikembangkan. Mengingat tekanan studi
Sosiologi Komunikasi ini tidak saja pada sosiologi tetapi juga pada teknologi
komunikasi, maka akan menjadi baik kalau kita batasi uraian tentang
masyarakat tersebut hanya sampai kepada beberapa mainstream golongan
besar masyarakat yang ada hubungannya dengan topik saja sebagaimana,
masyarakat desa dan kota. Masing-masing kategori masyarakat ini memiliki
kekhasannya sendiri dalam praktek komunikasi masyarakatnya. Dengan
demikian, tentu dari masing-masing masyarakat ini dapat dicatat sejumlah
hal spesifik terkait hubungan efek komunikasi dengan sistem sosialnya.
1. Masyarakat Desa.
Sudah lazim orang mengelompokkan masyarakat ke dalam dua
golongan besar, yakni desa dan kota. Desa dan Kota memberi penjelasan
perbedaan untuk sejumlah hal, terutama fisik dan sosialnya. Karenanya,

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 320


selalu terdapat perbedaan perilaku antara orang desa dan orang kota.
Perbedaan tersebut merupakan sumber inspirasi yang tak habis-habisnya
untuk diteliti atau sumber inspirasi bagi sastrawan untuk mengarang novel
atau skenario drama dan film.
Terdapat ciri tradisional kehidupan masyarakat desa yang dapat
ditunjukkan dalam uraian ini yakni: 1) isolasi, 2) homogen, 3) pertanian, 4)
ekonomi subsistensi.
a. Isolasi; mungkin ciri kehidupan masyarakat desa yang paling menonjol
pada masa silam adalah keterisolasian. Di banyak bagian dunia, orang
desa mengelompkakan diri ke dalam desa-desa kecil yang ladang per-
taniannya dapat dicapai hanya dengan berjalan kaki. Rumah yang
terpencil merupakan pola umum dari bentuk pemukiman desa. Suatu
pola yang dilihat dari sudut pandang produksi lebih efisien, namun dari
segi sosial bersifat terpisah. Masyarakat setempat bukan saja terpisah dari
yang lain, bahkan keluarga yang satupun terpisah dengan keluarga yang
lain. Bukan sesuatu yang kebetulan, jika budaya ramah tamah terdapat
dalam kehidupan masyarakat desa di samping sifat lain yang menonjol
lainnya yaitu budaya gotong royongnya. Budaya ini merupakan bukti
nyata betapa adat dan kebiasaan muncul, karena kebutuhan sosial. Oleh
karena itu, ketika kebutuhan sosial itu berubah, adat dan kebiasaannya
juga ikut berubah.
b. Homogen: Diseluruh pemukiman di suatu negara, sangatlah heterogen.
Namun demikian, pemukiman di pedesaan cenderung sangat homogen
dari segi latar belakang etnik dan budaya. Pada umumnya mereka
mengikuti jejak pendahulunya. Homogenitas tersebut selanjutnya disertai
oleh isolasi dari pemukiman lainnya, sangat konservatif, tradisional dan
etnosentrisme masyarakat..
c. Pertanian: Hampir semua anggota masyarakat desa adalah petani atau
buruh lepas di sektor tersebut. Kyai, Guru, Dokter, Pandai Besi, Pelayan
Tokopun ikut terlibat dalam kehidupan pertanian. Semua menghadapi
masalah dan tugas yang sama, serta sama-sama merasakan betapa tidak
berdayanya mereka dalam menghadapi kekuatan alam yang berada di
luar kemampuan manusia.
d. Ekonomi Subsistensi: Keluarga tradisional di masyarakat pedesaan ber-
usaha untuk memproduksi segala sesuatu untuk dikonsumsi sendiri.
Dalam keadaan dimana keadaan ekonomi berkembang cepat disertai
kekurangan finansial yang kronis, sistem ekonomi subsistensi dan sistem
tukar (barter) merupakan jalan keluar yang secara sosial bermanfaat. Sifat
hemat merupakan sifat yang harus diapresiasi sementara konsumsi yang
menyolok dipandang sebagai sifat buruk orang kota. Status sosial sebuah
keluarga pedesaan ditentukan oleh luasnya tanah, banyaknya ternak,

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 321


hasil panen serta harta warisan yang diterima dan yang kelak mampu
diwariskan kepada anak keturunannya.
Dalam kehidupan ekonomi yang bersistem subsisten dan bukannya
sistem ekonomi pasar, masyarakat desa cenderung curiga terhadap intelek-
tualitas dan ilmu pengetahuan. Bahkan, pada jaman dahulu kecurigaan ini
muncul sebagai ketidakpercayaan dan kebencian terhadap anggota masya-
rakat kota. Dari sudut pandang anggota, masyarakat desa berjumlah relatif
kecil terdiri dari individu-individu yang cenderung disatukan oleh garis
keturunan dengan teknologi pertanian sederhana serta interaksi sosialnya
dilakukan dengan model komunikasi tatap muka.
Saat ini, sepertinya ketika teknologi komunikasi menjadi sarana mem-
banjirnya informasi dari berbagai sumbernya, masyarakat desa mengalami
perubahan. Sekalipun pada dasarnya kita tetap dapat dengan mudah
membedakan masyarakat desa dengan kota melalui sejumlah penanda
sebagaimana telah diuraikan di depan, tetapi perbedaan yang dapat
ditemukan tidaklah seekstrem keadaannya di jaman dahulu.
Dewasa ini, gaya hidup desa dan kota semakin tipis perbedaannya.
Meskipun memang masih terdapat sejumlah perbedaan dalam segi
kepribadian, gaya hidup dan sistem nilai antara masyarakat desa dengan
kota, namun perbedaan itu semakin mencair. Baik orang kota maupun desa
telah dijangkau oleh media massa yang sama dan mereka memberikan
respons yang sama pula terhadap isi pesan media massa tersebut. Mobil dan
jalanan yang mulus telah mengubah kehidupan pedesaan menjadi tidak
begitu jauh dengan kehidupan kota. Ribuan desa kecil seolah tidak lagi
dihuni oleh masyarakat yang terisolasi. Transportasi ditambah dengan surat
kabar, televisi, radio telah mengakhiri isolasi masyarakat pedesaan. Per-
tanianpun, akibat kemajuan teknologi telah mengalami semacam komer-
sialisasi dan rasionalisasi. Di wilayah pedesaanpun sudah mulai ber-
kembang usaha agribisnis. Teknologi pertanian juga menjadi penyumbang
berkurangnya petani dan tenaga kerja agraris.
2. Masyarakat Kota
Pertumbuhan kota mengalami perubahan yang revolosioner. Jika desa
diorganisasi berdasarkan sistem kekerabatan dan diarahkan oleh adat
kebiasaan, maka tidak demikian dengan kota. Kota memiliki pembagian
kerja ke dalam beberapa bidang pekerjaan khusus. Bukan sistem kekerabat-
an sebagaimana yang terjadi di pedesaan, tetapi kota merupakan organisasi
sosial yang didasarkan bidang pekerjaan dan kelas sosial.
Perkembangan kota berlangsung terus seiring dengan pertumbuhan
kota kecil (town) menjadi kota besar (city). Kota kecil biasanya ditandai
dengan aktivitas khas yang terjadi di suatu wilayah atau ciri geografis suatu
teritori. Misalnya, kota peribadatan, pertambangan, pelabuhan, kota peristi-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 322


rahatan dan lain sebagainya. Pertumbuhan kota kecil ini biasanya mem-
berikan rangsangan kuat bagi penemuan-penemuan yang tidak ditemukan
di pedesaan, misalnya, adanya kereta, selokan dan terowongan air, sistem
tulisan, sistem angka, birokrasi pemerintahan, spesialisasi pekerjaan, stratifi-
kasi sosial, serta masih banyak lagi yang lainnya. Oleh karena itu, tidak
mengherankan bila di dalam pertumbuhannya sejumlah kota menjadi pusat
pendidikan, seni, ilmu pengetahuan, pusat pengobatan, serta sejumlah daya
tari kemajuan lain.
Namun demikian, kota juga merupakan pusat perilaku buruk dan
kejahatan, hedonisme, pemuasan diri seolah tanpa batas, serta kepura-
puraan. Singkatnya, kota merupakan tempat segala hal yang sangat berbeda
dengan ciri budaya dominan. Kota juga merupakan tempat berbagai hal
yang saling bertentangan (kontras) tidak sebagaimana desa yang cenderung
homogen. Terdapat sejumlah ciri yang dapat membantu kita mengenali
masyarakat kota yakni, 1) anominitas, 2) jarak sosial, 3) keteraturan, 4)
keramaian, 5) kepribadian urban.
a. Anominitas: Ledakan penduduk yang mendiami suatu wilayah perkotaan
cenderung menciptakan anominitas. Kebanyakan waktu manusia anggota
masyarakat kota habis ditengah kumpulan manusia yang anonim. Keadaan
ini dihasilkan oleh hebatnya heterogenitas kehidupan kota yang ditandai
oleh keanekaragaman ras, kelas sosial, pekerjaan, etnik, kepercayaan atau
agama dan lain sebagainya. Anominitas paling heboh di masyarakat kota
biasanya terdapat di kampung kumuh, yakni kampung tempat manusia,
lelaki dan perempuan yang terpinggirkan sekaligus terlupakan. Mereka
hidup di luar tata kehidupan yang berlaku, tidak memiliki masa lalu yang
jelas dan tanpa masa depan yang cerah. Mereka merupakan kumpulan
orang-orang kalah yang terlempar dari sistem sosial serta kecewa dengan
peran sosialnya yang tidak penting.
b. Jarak Sosial: Jarak sosial merupakan akibat dari anominitas, heterogenitas
dan impersonalitas. memudahkan penjelasan tentang jarak sosial ini
mungkin dapat dilakukan dengan contoh berikut.
Jika kita sedang berada di sebuah mall atau di peron stasiun kereta kita
tentu berada di keramaian. Saking ramainya, mungkin sekedar jalan saja
kita harus bersentuhan dengan orang lain. Kebanyakan orang yang kita
temui tersebut bukanlah orang-orang yang memiliki jalinan kepentingan
yang panjang dengan kita atau bahkan kita tidak mengenalnya. Kita hanya
dapat mengenali orang-orang yang lalu lalang itu melalui apa yang dapat
kita lihat semisal pakaian, perhiasan, sikap dan mungkin barang bawaan-
nya. Keadaan yang demikian ini hanya menjelaskan bahwa yang terjadi
adalah keramaian fisik saja. Secara fisik dekat bahkan setiap oarang bisa saja
bersentuhan kulit dengan orang lain ketika berada di dua tempat tersebut,

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 323


namun karena orang-orang tersebut tidak saling kenal serta tidak memiliki
kedekatan emosional maka hal itu berarti bahwa terdapat jarak sosial yang
nyata pada suasana tersebut. Terkait hal ini, sekalipun masih dapat
diperdebatkan, tentu mudah kita temukan pernyataan bahwa kota hanyalah
menyediakan keramaian bagi orang-orang yang akhirnya kesepian. Dalam
lagu seringkali digambarkan sebagai kesepian di tengah keramaian.
c. Keteraturan: Kecenderungan kehidupan desa adalah kesantaian atau
ketidakformalan, namun tidak demikian dengan masyarakat kota. Keter-
aturan masyarakat kota sebagai sesuatu yang wajar muncul akibat kepa-
datan penduduk dan spesialisasi pekerjaan. Jadwal pekerjaan yang ketat
yang harus dilakukan penyesuaian dengan jam biologis (waktu tidur,
bangun, istirahat, kerja) manusia merangsang pemikiran untuk mengatur
sejumlah hal terkait dengan kepentingan umum.
Lampu pengatur lalu lintas, selokan, kebersihan, keamanan, trans-
portasi dan sejumlah hal lain, menandai pengaturan hidup kolektif khas
perkotaan. Perkembangannya bahkan, membangun rumah tinggal keluarga
saja kini harus mengikuti Peraturan Daerah. Di beberapa kota besar, ada
suatu kawasan yang tidak boleh dibangun suatu bangunan tanpa reko-
mendasi pemerintah lokal, bahkan pusat. Begitu juga dengan perlakuan
warga terhadap pepohonan jalan yang tidak boleh sembarangan mengingat
pepohonan di jalanan tersebut memiliki fungsi sosial yang harus dilindungi
melalui peraturan yang menghadirkan sanksi bagi pelanggarnya.
Dengan demikian sebenarnya, semakin padat jumlah penduduk suatu
kota, kecenderungannya adalah semakin banyak pengaturan hidup yang
pusat orientasinya adalah pemeliharaan harmoni sosial. Hal tersebut sangat
berbeda dengan kehidupan masyarakat desa yang cenderung mengikuti
harmoni alamiah. Tidak banyak pengaturan hidup yang membatasi
kegiatan dan interaksi anggota masyarakat desa. Kehidupan cenderung
berjalan mengalir bahkan sebagaimana ritme ternak dan cuaca.
d. Keramaian (crowding): Kepadatan penduduk merupakan keadaan obyektif
yang dapat diukur, sedang keramaian berkaitan dengan penilaian subyektif.
Seseorang merasa berada dalam keramaian jika ia beranggapan bahwa ia
kekurangan tempat atau kebebasan pribadinya. Seseorang kawan
mengatakan bahwa Kota Kediri sudah terlalu ramai untuk dijadikan tempat
tinggal. Sementara kawan yang lain mengatakan sebaliknya, bahwa kota
kecil ini adalah tempat yang tepat untuk menjalani hidup karena suasana
kota yang tenang dengan penduduk yang hampir semua saling kenal.
Kecenderungan kehidupan masyarakat perkotaan memang ditandai
oleh kepadatan penduduk yang secara fisik tentu menghasilkan keramaian.
Problem sosial yang muncul dari keramaian biasanya terkait dengan
penyakit, tingkat kematian dan disorganisasi sosial. Dengan mengambil

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 324


contoh Hongkong sebagai kota dengan kepadatan tinggi di dunia, memang
tidaklah selalu keramaian itu merupakan persemaian segala macam
problem. Masyarakat Hongkong adalah daerah yang kepadatan penduduk-
nya paling tinggi di dunia, namun tingkat kematian, penyakit dan gangguan
mental lebih rendah dari pada kebanyakan kota di negara Barat (Horton &
Hunt 1996; 154). Keramaian dan kepadatan penduduk tidak harus
mengurangi kualitas hidup manusia, tetapi tampaknya kita harus
mempertimbangkan pernyataan bahwa justru kualitas lingkungan yang
dihuni manusialah yang berkorelasi positif dengan kualitas hidup manusia.
Sebagai makhluk pengembang budaya, manusia memiliki kemampuan
untuk menyesuaikan diri dengan kepadatan dan keramaian di perkotaan
demi menjaga kualitas hidupnya.
e. Kepribadian urban: Beberapa penelitian (Park, 1925; Sorokin, 1929; Louis
Wirth, 1938) menyimpulkan, bahwa kehidupan masyarakat perkotaan
menciptakan kepribadian yang sangat berbeda dengan masyarakat desa.
Orang kota cenderung memiliki kepribadian anomis, materialistis, mandiri
(self sufficient), impersonal, tergesa-gesa, manipulatif dan cenderung dalam
perasaan tidak aman.
Seiring dengan semakin meningkatnya urbanisme, kegiatan gotong-
royong, ketetanggaan serta partisipasi dalam kehidupan kolektifpun
menurun. Hal ini menjadi penyumbang utama munculnya kepribadian
yang menempatkan 'diri' sebagai pusat pertimbangan tindakan. Sikap
tolong menolong yang altruistik sebagaimana menjadi ciri kehidupan
masyarakat desa tidak banyak ditemukan pada kepribadian urban. Terdapat
semacam kekosongan sosial yang alienatif yang menjadikan penduduk kota
menjauh dari ciri kepribadian desa.
C. Kelompok dan Kelompok Sosial Manusia
Manusia sejak lahirnya memang ditakdirkan untuk hidup berkumpul
atau berkelompok. Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai
tujuan bersamayang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan
bersama, saling mengenal satu sama lainnya dan memandang mereka
sebagai bagian dari kelompok tersebut. Ada beberapa bentuk dan karak-
teristik kelompok: keluarga, kelompok diskusi, kelompok pemecahan ma-
salah atau suatu komite yang tengah berapat untuk mengambil suatu
keputusan. Dalam komunikasi kelompok, juga melibatkan komunikasi antar
pribadi. Karena itu kebanyakan teori komunikasi antarpribadi berlaku juga
bagi komunikasi kelompok.
1. Ciri – Ciri Kelompok Sosial
Kelompok sosial memiliki ciri-ciri berikut ini: a) Memiliki motif yang
sama antara satu individu dengan individu lainnya sehingga kerjasama dan
interaksi untuk mencapai tujuan yang sama lebih mudah terjadi, b)Anggota

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 325


kelompok memiliki kesadaran bahwa ia adalah bagian dari kelompok yang
bersangkutan, c) Terdapat hubungan timbal balik antar anggota, d) Mem-
punyai struktur sosial sehingga kelangsungan hidup kelompok tergantung
kepada kesungguhan anggotanya dalam menjalani peran mereka, e)
Memiliki norma dan aturan yang mengatur hubungan antar anggota, f)
Merupakan satu kesatuan yang nyata sehingga dapat dibedakan dengan
kelompok lainnya.
2. Proses Pembentukan Kelompok Sosial
Terbentuknya suatu kelompok sosial dipicu oleh naluri manusia yang
tidak bisa hidup bersama dan ingin menyatu dengan manusia lain disekitar-
nya. Oleh karena itu bergabungnya seseorang dengan sebuah kelompok
biasanya merupakan sesuatu yang murni muncul dari keinginannya sendiri.
Dua faktor utama yang membuat seseorang bergabung dalam suatu
kelompok adalah kedekatan dan kesamaan.
Pembentukan suatu kelompok akan diawali dengan adanya kontak
sosial dan komunikasi sosial yang akan menghasilkan proses sosial dalam
interaksi sosial.
Kata kontak berasal dari bahasa latin con yang artinya ‘bersama’ dan
tango yang artinya ‘menyentuh’. Secara harfiah kontak sosial dapat diartikan
‘sama–sama menyentuh’. Arti kata kontak dalam ilmu sosial tidaklah harus
dengan sentuhan atau koneksi fisik. Kontak sosial merupakan sebuah
tindakan yang menimbulkan kesadaran untuk saling berhubungan dari satu
pihak dengan pihak lainnya.
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi dari satu
pihak kepada pihak lainnya. Pada umumnya komunikasi yang sering kita
lihat dilakukan secara verbal (berbicara) dengan menggunakan cara yang
dapat dimengerti oleh kedua belah pihak, contohnya dengan menggunakan
bahasa dari suatu negara tertentu.
Kontak sosial dan komunikasi merupakan dua hal yang akan
mengawali terbentuknya sebuah kelompok sosial. Melalui kontak dan
komunikasi tersebut maka seseoang akan menemukan dasardasar untuk
membentuk suatu kelompok.
3. Syarat Terbentuknya Kelompok Sosial
Ada beberapa syarat berdirinya sebuah kelompok sosial, berikut ini: a)
Setiap anggota memiliki kesadaran bahwa dirinya merupakan bagian dari
kelompok yang bersangkutan, b) Ada kesamaan faktor yang dimiliki oleh
anggota kelompok tersebut, sehingga hubungan mereka bertambah erat.
Beberapa kesamaan tersebut antara lain: Persamaan Nasib, Persamaan
Kepentingan, Persamaan Tujuan, Persamaan Ideologi, Persamaan Fisik, atau
Persamaan lainnya, c) Kelompok sosial memiliki struktur, kaidah dan pola
perilaku tertentu dan d) Kelompok sosial ini bersistem dan berproses

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 326


4. Nilai dan Norma dalam Kelompok Sosial
Seperti halnya dengan perilaku sosial secara umum, perilaku sebuah
kelompok sangat dipengaruhi oleh nilai, norma dan peraturan yang berlaku
dalam kelompok tersebut. Kegiatan dalam kelompok tidak berlangsung
secara acak dan bebas, melainkan harus sesuai dengan nilai dan norma
tersebut. Nilai dan norma ini muncul dari proses interaksi di antara anggota
kelompok. Penilaian tersebut muncul dengan menilai kepantasan dan
ketidakpantasan suatu perilaku yang berlangsung di dalam kelompok yang
bersangkutan.
5. Klasifikasikasi Macam Macam Jenis Kelompok Sosial
a. Berdasarkan Cara Terbentuknya
1) Kelompok Semu
Kelompok semu merupakan kelompok yang terbentuk ditengah-
tengah pergaulan manusia. Kelompok semu terbentuk secara sementara,
tidak mempunyai kemungkinan untuk memiliki ikatan erat antar anggota.
Kelompok semu biasanya disebut dengan khalayak umum atau keramaian.
Kelompok semu tidak mempunyai aturan yang bersifat mengekang. Ciri
dari kelompok semu adalah: a) Terbentuk secara tidak sengaja tanpa
perencanaan sebelumnya, b) Tidak terorganisir, c) Interaksi antar anggota
tidak berlangsung secara terus menerus karena sifat kelompok ini hanya
sementara, d) Tidak ada kesadaran berkelompok dan e) Kehadirannya tidak
konstan
Nah berdasarkan ciri ciri tersebut maka kelompok semu dapat dibagi
lagi menjadi :
a) Kerumunan (Crowd)
Kerumunan adalah kumpulan orang yang tidak teratur yang terjadi
secara spontan. Kerumunan merupakan kelompok sosial yang bersifat
sementara. Ukuran utama adanya kerumumnan adalah hadirnya orang-
orang secara fisik. Kerumunan ini dapat dibagi lagi menjadi beberapa
bentuk: a) Kerumunan Formal (Formal Audience), merupakan kerumunan
yang biasa kita sebut dengan penonton atau pendengar resmi yang
mempunyai suatu pusat perhatian dan persamaan tujuan. Sifat formal
audience ini sangatlah pasif. Contohnya adalah penonton bioskop, b)
Planned Expressive Group, merupakan kerumunan yang tidak terlalu
memusatkan perhatiannya pada suatu hal tetapi mempunyai tujuan yang
sama dan tujuan tersebut dicapai dengan melakukan suatu kegiatan atau
keputusan. Biasanya kelompok ini hanya ingin melepaskan ketegangan
ketegangan yang dialami, contohnya adalah orang orang yang berpesta dan
berekreasi, c) Inconvenient Casual Crowds, merupakan kerumunan yang ter-
bentuk karena ingin menggunakan fasilitas yang sama. Sifat dari kelompok
ini sangatlah sementar. Misalnya orang orang yang sedang menunggu bus,

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 327


d) Panic Casual Crowds, merupakan kerumunan yang terbentuk karena
kepanikan dari orang-orang yang berusaha menyelamtkan dirinya dari
suatu bahaya, e) Spectatator Casual Crowds, kerumunan yang terbentuk
dengan tujuan untuk melihat peristiwa tertentu. Kerumunan ini hampir
sama dengan penonton umum, bedanya mereka terbentuk tanpa direncana-
kan sebelumnya. Contohnya adalah munculnya fenomena UFO di langit
yang membentuk Spectator Casual Crowds, f) Acting Lawless Crowds,
kerumunan yang terbentuk dengan tujuan tertentu dan biasanya mereka
mewujudkan tujuan tersebut dengan menggunakan kekuatan fisik. Tindak-
an dari kerumunan ini akan berlawanan dengan norma-norma sosial yang
berlaku, contohnya adalah kerumunan tawuran, g) Immoral Lawless Crowds,
kerumunan yang segala tindakannya berlawanan atau tidak sesuai dengan
norma norma yang berlaku dalam masyarakat. Ciri khas dari immoral
Lawless Crowds adalah mereka tidak memiliki tujuan positif saat mem-
bentuk kelompok tersebut.
b) Massa
Massa adalah kelompok sosial yang memiliki ciri hampir sama dengan
kerumunan, tetapi massa terbentuk disengaja dan direncanakan dengan
persiapan sehingg sifatnya tidak spotan. Contohnya adalah orang orang
yang dikumpulkan untuk melakukan demonstrasi.
c) Publik
Publik merupakan kumpulan orang yang terbentuk tidak pada suatu
tempat yang sama. Pembentukan publik biasanya direncanakan, publik
disatukan melalui alat – alat komunikasi, artinya publik tidak harus selalu
berada dalam suatu kelompok secara fisik. Untuk memudahkan mem-
bentuk publik biasnaya digunakan cara-cara yang berkaitan dengan nilai
sosial dan kebiasaan dalam suatu masyarakat. Contoh publik ada orang
orang yang menonton acara yang sama pada salah satu saluran televisi.
d. Kelompok Nyata
Kelompok Nyata merupakan kelompok yang terbentuk dengan satu
ciri khusus yang sama, yaitu kehadirannya selalu konstan. Terdapat
beberapa bentuk kelompok nyata yang terbentuk pada lingkungan masya-
rakat, antara lain adalah sebagai berikut:
2) Kelompok Statistik (Statistical Group)
Contohnya adalah ilmuwan-ilmuwan yang meneliti suatu kasus
tertentu, Ciri dari kelompok statistik adalah: a) Terbentuk tidak direncana-
kan, tetapi tidak terbentuk secara mendadak melainkan sudah terbentuk
dengan sendirinya. Kelompok Statistik (Statistical Group) memiliki ciri,
berikut: a) Tidak terhimpun dan tidak terikat dalam suatu wadah tertentu,
a) Tdak ada interaksi dan komunikasi secara terus menerus, c) Tidak ada
kesadaran untuk berkelompok dan d) Kehadirannya konstan.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 328


Karena ada beberapa ciri yang bertolak belakang dengan ciri kelompok
secara umum, yaitu ciri tidak adanya komunikasi secara terus menerus dan
tidak adanya kesadaran untuk berkelompok, maka ada perdebatan tentang
keberadaan kelompok statistik sebagai kelompok sosial. Tetapi karena
pembentukannya memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat maka
kelompok statistik lebih sering dianggap sebagai suatu kelompok sosial.
b) Kelompok Sosieta / Kemasyarakatan (Societal Group)
Kelompok ini terbentuk karena adanya kesadaran akan kesamaan
unsur-unsur yang dimiliki oleh seluruh anggota, contohnya kesamaan jenis
kelamin, warna kulit, tempat tinggal, dll. Tetapi interaksi sosial tidak selalu
terjadi dalam kelompok ini. Beberapa ciri utama dari kelompok sosieta
adalah: a) Tidak direncanakan dan terbentuk dengan sendirinya, b)
Kemungkinan terhimpun dan terikat dalam suatu wadah tertentu, c) Bisa
saja terjadi interaksi dan komunikasi antar anggota, tetapi bisa juga tidak, d)
Kemungkinan terdapat kesadaran kelompok dan e) Kehadirannya konstan.
c) Kelompok Sosial (Social Group)
Kelompok sosial terbentuk karena adanya unsur-unsur yang sama
dalam kehidupan mereka. Pengamat sosial sering menyamakan kelompok
sosial dengan masyarakat dalam artian khusus. Kelompok sosial memiliki
anggota sosial yang melakukan interaksi dan komunikasi secara terus
menerus. Contohnya adalah kenalan, tetangga, teman sekota, teman
sepermainan, dll.
d) Kelompok Asosiasi
Kelompok Asosiasi adalah kelompok sosial yang terorganisir dan
memiliki struktur formal dalam kepengurusannya. Didalam kelompok
sosial ini terdapat kesadaran dan kesamaan perhatian atau keinginan
sehingga kerja sama untuk mencapai tujuan tertentu lebih terlihat. Ciri –
Ciri utama dari Kelompok Sosial Asosiasi adalah sebagai berikut: a)
Direncanakan dan sengaja dibentuk, b) Terorganisir dan terikat secara nyata
dalam suatu wadah, c) Kesadaran kelompok yang kuat, d) Interaksi dan
komunikasi berlangsung secara terus menerus dan e) Kehadirannya
Konstan
2. Berdasarkan Kualitas Hubungan Antar Anggotanya
a. Kelompok Primer (Primary Group): Kelompok primer adalah kelompok
yang hubungan antar anggotanya bersifat informal, contohnya keluarga,
kelompok dan sahabat.
b. Kelompok Sekunder (Secondary Group): Kelompok sekunder merupakan
kelompok yang hubungan antar anggotanya bersifat formal karena
didasarkan oleh manfaat dan tujuan yang ingin dicapai. Contohnya
adalah Persatuan Guru Indonesia, Ikatan Dokter indonesia, dll.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 329


c. Patembayan (Gesselschaft): Patembayan merupakan kelompok sosial yang
ikatan antar anggotanya tidak terlalu kuat karena berlangsung untuk
waktu yang pendek. Struktrunya bersifat mekanis dan sebagai suatu
bentuk dalam pikiran belaka. Hubungan antar anggota biasanya bersifat
formal dengan memperhitungkan nilai guna dari interaksi dan komu-
nikasi yang tejradi. Contohnya adlaah ikatan antar pedagang dan pembeli
yang terjadi di pasar.
4. Berdasarkan Pencapaian Tujuan
a. Kelompok Formal: Kelompok formal merupakan kelompok yang
memiliki peraturan  peraturan dan tugas yang sengaja dibuat untuk
mengatur hubungan antar anggotanya. Contohnya adalah lembaga
pendidikan.
b. Kelompok Informal: Kelompok sosial yang terbentuk karena pertemuan
yang berulang dan memiliki kepentingan dan memiliki pengalaman yang
sama. Contohnya teman. 
D. Kebudayaan
Batasan studi kebudayaan di sini lebih saya arahkan kepada studi
kebudayaan interdisipliner. Maksud saya kajian kebudayaan lebih saya
arahkan kepada studi yang berkaitan langsung dengan kehidupan
kelompok manusia sebagai mahluk sosial.
Sejumlah orang memberikan arti kebudayaan dengan pengertian yang
sangat terbatas. Kebudayaan diartikan sebagai pikiran, karya dan apapun
hasil penciptaan manusia untuk memenuhi hasratnya akan keindahan.
Akhirnya, kita secara sembrono mengartikan kebudayaan sebagai kesenian.
Ini merupakan pengartian yang terlampau sempit dan sama sekali jauh dari
pendefinisian yang memadai.
Sebaliknya, para ahli ilmu sosial mengartikan kebudayaan dengan
sangat luas. Kebudayaan diartikan sebagai apapun yang merupakan hasil
pikiran dan tindakan manusia. Singkatnya, di luar yang asali dari manusia
hidup merupakan hasil kebudayaan. Seluruh aktivitas menusia dalam
kehidupannya sangatlah tercakup dalam pengertian kebudayaan. Sedang-
kan yang bukan termasuk budaya, mungkin hanya sejumlah kecil hal terkait
dengann sejumlah refleks naluriah semisal kedutan, makan, bernafas dan
lain-lain yang sejenis. Makan bukan kebudayaan, tetapi tata cara makan
merupakan konstruksi budaya. Pereodisasian makan tiga kali dalam sehari
dengan alat berupa sendok, piring dan garpu, serta cara mengunyah
makanan yang tidak bersuara, semua itu merupakan bagian dari kebudaya-
an. Dengan demikian maka hal penting yang harus disadari adalah bahwa
konstruksi budaya sesuatu masyarakat sangat mungkin memiliki perbedaan
di damping sejumlah persamaan.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 330


Dalam banyak hal, kebudayaan menjadi penyumbang bagi usaha
membedakan masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Apa
yang tampak biasa bagi seseorang dari suatu masyarakat, mungkin akan
tampak aneh bagi mereka yang berasal dari masyarakat lain. Hal demikian
ini sangat dimungkinkan mengingat kebudayaan dalam setiap masyarakat
itu berbeda. Kita yang berasal dari Jawa akan merasa aneh menatap pemuda
bertelanjang dada dan kaki bahkan hanya pakai koteka berjalan hilir mudik
di kota-kota Papua. Perbedaan kebudayaan ini tidak menyodorkan klaim
benar-salah, baik-buruk, atau layak dan sebaliknya, karena memang tidak
ada ukuran yang dipakai untuk menjadi pembenar penilaian budaya.
Pandangan baku mengenai kebudayaan memberikan pemahaman
bahwa kebudayaan adalah seperangkat kompleksitas keyakinan, nilai dan
konsep yang memungkinkan bagi sebuah kelompok untuk menalar
kehidupannya dan memberi arah dalam menjalani kehidupan (Fay, 2002).
Dalam pandangan dasar ini kebudayaan digambarkan sebagai sebuah teks,
kosakata dan tata bahasa yang dipelajari para anggotanya dan menjadi-
kannya sebagai kekayaan miliknya. Artinya, dengan menginternalisasikan
suatu sistem keyakinan tertentu beserta bentuk-bentuk perasaan maka
seseorang akan mendapatkan dasar-dasar identitasnya. Sebuah kebudaya-
an mempenetrasi masing-masing anggotanya secara mental sehingga
mereka memiliki suatu kerangka pikiran tertentu, juga secara fisik sehingga
mereka memiliki ketetapan posisi tubuh tertentu, serta secara sosial yang
memungkinkannya memiliki cara-cara tertentu dalam berinteraksi dengan
orang lain.
Fakta penting lain mengenai kebudayaan adalah bahwa pada dasarnya
kebudayaan-kebudayaan itu bersifat terbuka. Ia merupakan entitas idea-
sional. Karena sifatnya yang terbuka, maka kebudayaan itu mudah
ditembus dan rentan terhadap pengaruh dari berbagai kebudayaan lain.
Apapun hubungan yang terjadi antar manusia, sangat mungkin terjadi
pengaruh satu kebudayaan oleh kebudayaan lainnya. Dunia manusia tidak
tersusun atas beraneka ragam kebudayaan yang mandiri, tertutup dan
bebas, tetapi lebih merupakan saling mempengaruhi dan traksaksional atau
pertukaran yang konstan.
Pertukaran dan penyesuaian terjadi setiap saat dan disetiap waktu.
Makanan yang kita makan, buku yang kita baca, musik yang kita dengar,
konsep kita tentang waktu, kekuasaan, keindahan, pengetahuan, semuanya
itu sangat dipengaruhi oleh respon kita terhadap kebudayaan-kebudayaan
lain yang berbeda dengan kita. Hal ini penting untuk disadari agar
pemahaman kita tentang kebudayaan tidak tersederhanakan sebagaimana
orang membuat kategori sederhana semisal: budaya kulit hitam, budaya
kulit putih, budaya Jawa, budaya Barat, budaya timur dan lain sebagainya.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 331


Sebagaimana pengertian kebudayaan yang demikian luas, maka
sebenarnya ia dapat dibedakan melalui pengkategorian material dan non-
material. Sekedar menyebut contoh, kebudayaan material dapat berupa
barang produksi pabrik, parit, jalan, kereta api, pesawat telepon dan
pesawat terbang, televisi, handphone, jembatan serta masih sangat banyak
lagi benda-benda yang merupakan hasil olahan dari gagasan kreatif
manusia. Semua benda itu dikerjakan atau diolah manusia untuk memu-
dahkan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagaimana binatang,
manusiapun memerlukan pemenuhan kebutuhan hidup. Tetapi, jika
binatang pemenuhan itu sudah disediakan oleh alam dan tinggal memakai-
nya, sementara manusia harus terlebih dahulu mengerjakan dan mengolah-
nya untuk dapat dipakai memenuhi kebutuhannya.
Kebudayaan non-material terdiri dari kata-kata atau bahasa yang
dipergunakan setiap individu dalam berkomunikasi atau berinteraksi sosial.
Adat istiadat, keyakinan yang mereka anut serta sejumlah kebiasaan juga
merupakan hasil kebudayaan. Berbagai disiplin ilmu yang memfasilitasi
umat manusia memperoleh jalan yang memudahkan pencapaian tujuan
hidup juga merupakan hasil kebudayaan yang non material. Sejumlah hasil
pemikiran moyang intelektual dari berbagai ilmu, yang merupakan warisan
pemikiran untuk masa sekarang dan yang akan datang hanya dimungkin-
kan oleh kontruksi budaya masa lalu. Begitu juga segala macam tradisi serta
norma-norma sosial yang hingga sekarang masih hidup dan berlaku di
sesuatu masyarakat, itu semua merupakan wujud dari kebudayaan non-
material. Berjabat tangan, berjalan di sebelah kiri, berciuman ketika bertemu
dengan teman lama serta masih banyak lagi contoh yang dapat disebut.
Berdasarkan pada definisi dan pembahasan di atas, di bawah ini saya
akan menjeleskan beberapa kajian yang berhubungan langsung dengan
kehidupan manusia sebagai anggota kelompok sosial, sebagai berikut:
E. Perspektif Antropologi dalam Studi Lingkungan
Istilah etnoekologi76 yang memusatkan perhatiannya pada hubungan
kompleks antara masyarakat dengan lingkungannya kadang kala bersub-
stitusi dengan antropologi ekologi. Konsep ini menurut Seymor-Smith (1986:
62) menyediakan seperangkat materi pembahasan dari seke-lompok
manusia dan kebudayaannya sebagai hasil adaptasi terhadap salah satu
kondisi lingkungan yang ada. Pandangan serupa dikemukakan oleh

76
Menurut Smith (1990 : 97) studi etnoekologi menunjukkan, bahwa pengetahuan lokal
tentang ekologi sering komplek dan rumit sifatnya, misalnya, kasus di lingkungan
ekosistem hutan tropis di Amazon Basin dimana pengelolaan lahan dilakukan secara
tradisional dalam mempertahankan ekosistem hutan tropisnya selama ratusan tahun
yang lalu. Sistem ini sangat kontradiktif dengan hasil penghancuran yang dilkukan oleh
pendatang dalam kasus lingkungan yang sama pula.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 332


antropolog lingkungan bernama Julian Stewards (Stewards dan Murphy,
1997: 43), bahwa antropologi ekologi (cultural ecology) merupakan studi
tentang proses adaptasi suatu masyarakat terhadap lingkungannya.
Antropologi Ekologi diinspirasi oleh Charles Darwin dengan
Synthetic Theory of Evolutionnya (McGuire, 1992: 15). Darwin memandang
evolusi berdasarkan pada ide pokok modifikasi dengan pengertian, bahwa
pada setiap generasi lebih banyak individu yang diproduksi dari yang
mampu bertahan hidup dan sebagai konskuensinya kompetisi diantara
individu tersebut meningkat. Darwin lebih lanjut menilai, bahwa hanya
individu-individu yang banyak memiliki karakteristik evolusi yang mampu
bertahan hidup dan bereproduksi. Dengan demikian, manusia harus ber-
kompetisi dengan manusia atau organisme lainnya untuk menjaga kelang-
sungan hidupnya (survival of the fittest), termasuk dengan lingkungannya
dalam pengertian umum. Bennet (1976: 1) menunjukkan dua arah evolusi
organisme dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup (coping
mechanism): ketika organisme tersebut mampu mengantisipasi permasalah-
an lingkungannya (well adapted) dan ketika ia tidak mampu mempertahan-
kan kelangsungan hidupnya (maladapted).
Ada dua perspektif dalam antropologi ekologi, yaitu: aliran determi-
nisme lingkungan (anthropogeographics) dan aliran posibilisme lingkungan
(environmental possibilism). Penganut determinsme berusaha mencari sejauh
mana budaya manusia dibentuk oleh alamnya. Para penganut aliran ini
mengklaim, bahwa keseluruhan variasi budaya manusia tidak pernah lepas
dari pewarnaan geografis. Jika, pada kenyataannya, terjadi variasi-variasi
budaya manusia yang tidak diwarnai oleh faktor geografis, hal itu dianggap
kebetulan saja dan cenderung diwarnai oleh faktor kesukubangsaan.
Sementara penganut posibilisme lingkungan (dikutip Chatherine, 1977: 2)
beranggapan, bahwa faktor geografis memang sering muncul atau memiliki
peran dinamik dalam perkembangan budaya manusia. Akan tetapi, hal itu
tidak mempunyai andil dalam membentuk budaya apalagi menentukan
karakter atau bentuk suatu budaya. Lingkungan hanya memberi warna
pada setiap kebudayaan yang ada di sekitarnya. Budaya Kajang, misalnya,
yang menjadikan hutan (borong) sebagai pusaka dari leluhurnya diwarnai
oleh timbulnya perspektif lingkungan, khususnya dalam pengelolaan hutan.
Perspektif posibilisme lingkungan memunculkan kemungkinan-kemung-
kinan atau pilihan-pilihan, dimana budaya manusia dapat dikondisikan dan
ditentukan melalui sumber kebudayaan tersebut. Aliran posibilisme
lingkungan ini mencari hubungan antara kebudayaan dan lingkungannya,
sehingga dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk kompromi antara
budaya dan lingkungannya (only culture can determine cultures). Aliran posi-
bilisme merupakan paradigma penting dalam banyak kasus hubungan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 333


manusia dengan lingkungannya dibandingkan dengan determinisme ling-
kungan, karena kecenderungan berhubungan langsung dengan lingkungan
integral dan dialektik.
Poerwanto (2000: 79-84) berpendapat, bahwa kedua pendekatan dalam
Antropologi Ekologi di atas mencari hubungan antara manusia dengan latar
belakang budaya yang tercermin dalam adaptasinya. Secara prinsipil,
posibilisme lingkungan menganggap, bahwa perilaku budaya (cultural
behavior) merupakan pilihan selektif atau hal itu merupakan hasil adaptasi
manusia secara tidak sadar dengan lingkungannya. Manusia dan lingkung-
an merupakan suatu bentuk kesatuan (unitas) yang tidak terpisahkan.
Menurut Poerwanto, penganut posibilisme lingkungan sangat yakin,
bahwa lingkungan tertentu sebaiknya jangan hanya dipandang sebagai
penyebab utama munculnya sebuah variasi budaya, karena kadangkala
variasi tersebut hanya muncul sebagai imitasi atau hasil adaptasi semata.
Mereka pada prinsipnya menganggap, bahwa faktor geografis tidak
mungkin membentuk kebudayaan manusia, karena fundasinya lebih ber-
sifat fenomena historis, bahkan super-organik77. Dengan kata lain, lingkung-
an alam tidak sepenuhnya mendorong munculnya pola budaya tertentu.
Itulah sebabnya, aliran posibilisme lingkungan mengklaim, bahwa hampir
seluruh aktifitas budaya tidak eksklusif dan spesifik terkait dengan kondisi
sifat habitat secara geografis.
Teori Darwin (Bohannan, 1988: xvii-xvii) kemudian mewarnai teori-
teori antropologi, khususnya kepada Spencer. Darwin kemudian dianggap
sebagai Philosopher of Evolution, karena dialah ahli pertama yang memper-
kenalkan konsep superorganic, function, structure dan system. Khusus konsep-
nya tentang superorganic telah dikembangkan, baik oleh Edward Sapir untuk
melihat adanya perbedaan aspek universal dan aspek khusus sebuah bahasa
melalui hakikat arti (deep structure) maupun Alfred Louis Kroeber yang
mengelaborasi ide-ide tentang peradaban (civilation), area-area budaya
(culture areas)78 dan ekologi (ecology) dalam kajiannya (Bohannan, 1988: 143).
Morgan dikutip Bohannan (1988: 31-32) mencoba mengetahui masya-
rakat melalui teknologi dan ekonominya. Ia menggunakan pendekatan
dan/atau paradigma materialisme kebudayaan 79 (cultural materealism). Teori
77
Proses perkembangan superorganik menurut A. L. Kroeber dikutip Koentjaraningrat
(1990: 185) adalah proses perkembangan kebudayaan yang seolah-olah melepaskan diri
dari evolusi organik dan terbang sendiri membumbung tinggi.
78
Bandingkan pemakaian konsep area-area budaya (culture areas) dalam arkeologi yang
membahas tentang penemuan sebuah budaya (cultural invention) dan penyebaran
budaya (cultural diffusion).
79
Marvin Harris menggunakan materealisme kebudayaan untuk mengadvokasi
penelitian realitas sosialnya. Ia tidak Marksis, karena teorinya tidak bersifat dialektik.
Teorinya berlandaskan pada ide pokok tentang pentingnya reproduksi atau kepadatan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 334


Morgan kemudian dibantah oleh Lowie dalam bukunya The Determinant of
Culture dengan mengklaim, bahwa teori evolusi Morgan hanya bersifat
epistemologi saja. Lowie juga mengklaim, bahwa perencanaan teori evolusi
kekerabatan Morgan tidak dapat dibuktikan, karena menggunakan data
yang kurang tepat.
Akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan periode lahirnya
Neo-Evolutionary Theory (Bohannan, 1988: 319-404). Teori ini dipromosikan
oleh Julian Steward dengan konsepsi neo-evolution, yang memberi
sumbangan dalam perkembangan antropologi tahun 1930 hingga 1940an.
Steward, berbeda dengan ahli-ahli klasik dan teori evolusi lainnya, karena ia
menekankan analisisnya pada variasi budaya secara individual. Steward
menegaskan, bahwa keseluruhan pengalaman manusia tidak pernah dapat
direduksi dalam beberapa sifat alamiah dari perkembangan kebudayaan itu
sendiri. Steward juga yakin, bahwa pendekatan neo-evolution bahkan tidak
pernah berkaitan dengan perkembangan kebudayaan secara universal. Teori
Steward terkait dengan urutan variasi sosial dengan tujuan untuk
mengembangkan sebuah urutan budaya secara empiris. Teori neo-evolution
juga mengacu kepada pola pengembangan budaya secara paralel, yang
dianggap sebagai sebuah tipe budaya (cultural types) dengan karakteristik
intervaliditas budayanya berikut ini: 1) Elemen budaya kadangkala menjadi
sebuah elemen pilihan dari sebuah budaya, 2) Elemen-elemen budaya
seperti ini harus diseleksi sesuai dengan problem dan bentuk referensinya
dan 3) Elemen budaya pilihan tersebut harus mempunyai hubungan fungsi
yang sama dalam setiap tipe kebudayaan.
Leslie A. White (dikutip Barfield, 1997: 491) dan Balee (1996) berten-
tangan dengan ide Steward di atas. Ia dikenal dengan proses evolusi umum
(general evolution) dan pendekatan materialistiknya. Ia percaya, bahwa
evolusi kebudayaan meningkat sejalan dengan penggunaan energi perka-
pita. Ia mengatakan, bahwa sejak manusia pertama (hominid man) hingga
sekarang secara terus-menerus memanfaatkan banyak energi sebagai hasil
dari evolusi kebudayaan mereka. White kemudian menggambarkan sebuah
proses evolusi secara universal, dimana keseluruhan kebudayaan di atas
bumi berkembang sepanjang jalur tertentu (jalur ukuran penggunaan energi
per kapita).

pen-duduk, serta tekanan lingkungan dalam menentukan sistem sosio-kulutral.


Menurut Harris, konstanta bio-psikologi sifat manusia (tuntutan ekonomi, hubungan
seks, dsb.) menimbulkan empat komponen universal organisasi sosial manusia: a) infra-
struktur atau domain produksi dan reproduksi, b) struktur atau domain domestik dan
politik ekonomi, c) super-struktur perilaku hubungan sosial, serta d) mental atau super-
struktur emik dalam bentuk tujuan, nilai, kepercayaan dsb..

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 335


Dalam perbandingannya, Steward seolah-olah lebih cenderung melihat
regularitas antar-budaya, sementara White menggambarkan antropologi
sebagai culturology. White kemudian mengajukan rumus proses evolusi C =
E *T dimana C = culture (kebudayaan), E = energy (energi) dan T = technology
(teknologi). Dengan demikian, White pada dasarnya memberi sumbangan
pada determinisme teknologi, dimana teknologi pada akhirnya menentukan
cara berfikir masyarakat.
Marvin Harris dikutip Barfield (1997: 137) mengatakan, bahwa ciri-ciri
teknologi dan ekonomi dari sebuah masyarakat memainkan peranan
penting dalam pembentukan karakteristiknya sendiri. Dengan demikian,
teori Harris masih berupa pengembangan konsepsi teori materealis White.
Harris melakukan penelitian terutama untuk infrastructure di atas structure
dan superstructure. Infrastructure menurut Harris terdiri atas alat produksi
(mode of production), demografi (demography) dan pola perkawinan (mating
patterns). Sedangkan structure mengacu pada ekonomi domestik dan politik
ekonomi, serta superstructure terdiri atas rekreasional dan produk-produk
estetik dan pelayanan. Harris dikutip Hamilton (2001) memperlihatkan
adanya adaptif rasionalisasi materialis dari keseluruhan ciri budaya dengan
lingkungannya sendiri.
Roy A. Rappaport dikutip Balee (1996: 72) memadukan antara ekologi
dan aliran struktural fungsional dalam penelitiannya di New Guinea.
Paradigma Rappaport digolongkan sebagai aliran neo-fungsionalism, sebab ia
memandang kebudayaan sebagai fungsi dari sebuah ekosistem. Sekalipun
tema pokok studi Rappaport ini berfokus pada pengaruh kapasitas dan
penggunaan energi, namun tetap dianggap berbeda dengan Steward, White
dan Harris. Ia melihat penggunaan energi sebagai salah satu bentuk fungsi.
Rappaport dengan studi upacara (ritual), religi (religion) dan ekologi
(ecology), yang mengarah pada studi sinkronik dan fungsionalis menjadi
sangat terkenal dalam studi ekologi.
Rappaport juga tertarik pada aspek infrastruktur sebuah masyarakat.
Seperti halnya dengan Steward dan Harris, ia juga menggunakan
infrastruktur dalam analisisnya. Rappaport dianggap sebagai ilmuan
pertama yang berhasil menggabungkan antara perspektif ekologi dengan
sibernetika (cybernetics)80 dalam aliran antropologi fungsionalis.

80
Sibernetika (Cybernetics) adalah sekelompok sub-disiplin yang saling berhubungan
untuk mengolah informasi, pengendalian informasi, sistem umpan balik informasi, dan
seterusnya. Dalam artian umum, sibernetik adalah sebuah ilmu pengetahuan tentang
sistem komunikasi dan informasi, mengenai sistem biologis dan intelegensi buatan
(Keesing, 1999: 248-249). Fokus utama sibernetika adalah sistem kontrol, sistem
komunikasi dan sistem kontrol umpan balik informasinya (Lincoln, 1981 : 61).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 336


Andrew P. Vayda dikutip Balee (1996: 73) mengatakan, bahwa popu-
lasi dari sebuah spesies (termasuk manusia) harus menjadi unit analisis
yang ideal, bukan budayanya itu sendiri. Vayda dan Rappaport bermaksud
untuk membuat pendekatan baru dalam ekologi yang dikomparasikan
dengan biologi. Hal ini merupakan kebalikan dari perinsip ekologi lama,
khususnya Julian Steward yang menjadikan kebudayaan sebagai dasar
analisisnya.
Robert McM. Netting dikutip Balee (1967: 74) menulis tentang
pengelolaan agrikultur (agronomy), sistem kekerabatan (kindship system),
kepemilikan tanah (land tenure), peperangan (warfare), kesejarahan
demografi (historical demography) dan ekologi budaya (cultural ecology). Ia
masih tetap memokuskan perhatiannya pada proses adaptasi manusia
terhadap lingkungannya.
Harold Conklin (Netting, 1977: 268) memberi penekanan dalam antro-
poekologi untuk menunjukkan, bahwa tebas-bakar (slash and burn) dalam
kondisi lahan melimpah disertai dengan tingkat kepadatan penduduk yang
sedikit tidak dapat dikategorikan sebagai pengrusakan hutan (deforestation).
Conklin berusaha mendeskripsikan secara lengkap, luas dan mendetail
tentang spesies-spesies tumbuhan dan binatang, keadaan cuaca, topografi
dan keadaan tanah, dalam daftar etnosaintifik berdasarkan produk
makanan tradisional. Dia membuat deskripsi ekologi standar disertai
dengan peta topografi, penggunaan tanah (land use) dan peta batas wilayah
desa (village boundaries). Kajian Conklin berfokus pada intergrasi antara
etnoekologi dengan ekologi budaya dalam penerapan agroeko-sistem di
Hanunoo dan Ifuaga Pilipina.
Roy F. Ellen (dikutip Barfield, 1997: 138) meneliti ekologi melalui
perilaku subsistensi, ethnobiologi, klasifikasi dan organisasi sosial para
pedagang tradisional. Ellen melengkapi penelitian ekologinya di Ka’apor
Amazon, Brazil. Ia kemudian diikuti oleh William Balee, yang bekerja
dengan pendekatan ekologi sejarah.
Balee lebih mengintegrasikan aspek etnoekologi, ekologi budaya,
ekologi biologi, ekologi politik dan ekologi regional dalam sebuah kerangka
pikir prosesualnya. Selanjutnya, Balee (1996: 72) memaparkan bentuk
pengelolaan lingkungan secara tidak sadar (unconscious form of environmental
management) di antara suku Ka’apor. Mereka telah menyelamatkan penyu-
penyu berkaki kuning di lingkungan habitatnya sebelum mengalami
kepunahan. Mereka belajar mengeksploitasi lingkungan di sekeliling
desanya sebagai tempat penangkapan penyu-penyu tersebut secara
bijaksana.
Emilio F. Moran seorang ahli antropologi ekologi, pengelolaan
sumberdaya dan pengembangan agrikultur. Dia terkenal dengan analisis

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 337


microlevel ecosystemnya jenis-jenis tanah di Amazon (Balee, 1996: 75).
Menurutnya etnoekologi menyiapkan pemahaman yang baik tentang
bagaimana masyarakat memandang lingkungannya dan bagaimana mereka
mengorganisasikan persepsi seperti ini (Moran, 1979: 58-60). Etnoekologi
merupakan pengembangan teori Neo-evolusi dengan menghubungkan
unsur-unsur bahasa dengan pendekatan evolusi materialisme budaya.
Etnoekologi pertama kali diperkenalkan oleh Harold Conklin kemudian
diikuti oleh Ward Goodenough dan Charles O. Frake. Harold Conklin antro-
polog berlatar belakang linguistik didukung penuh oleh Charles O. Frake
dalam artikelnya Cultural Ecology and Ethnography. Pendekatan etnoekologi
menggunakan konsepsi-konsepsi etnosains81 untuk melukiskan perkem-
bangan kebudayaan sesuai pandangan masyarakat yang ditelitinya
(Ahimsa, 1994: 7). Teori ini terimplikasi dalam sebuah asumsi atau propo-
sisi, bahwa lingkungan efektif yaitu lingkungan yang memberikan penga-
ruh pada perilaku manusia atau cara bertindak, merupakan sifat dari
kebudayaan (Ahimsa, 1997: 54). Hal ini berarti, bahwa lingkungan fisik
harus diinterpretasi melalui seperangkat pengetahuan yang berisi sistem
nilai tertentu. Interpretasi lingkungan seperti ini disebut ethnoenvironment
atau cognised environment, yang merupakan bagian dari sistem kebudayaan
suatu masyarakat yang terkodifikasi di dalam tuturan mereka. Jadi,
etnoekologi cenderung memberikan pemahaman untuk menginterpretasi
person dalam variasi aktifitasnya, yang dihubungkan dengan lingkung-
annya. Untuk memahami sebuah lingkungan yang telah menjadi sebuah
sistem budaya dari sebuah masyarakat dan kemudian dikodifikasi ke dalam
bahasa, menurut Ahimsa (1994: 7) harus dideskripsikan melalui taksonomi-
taksonomi dan klasifikasi dalam istilah-istilah lokal, yang berisi statemen-
statemen dan ide-ide dari masyarakat tentang lingkungannya.
Spardley (1980: 8) menemukan tiga wujud kebudayaan yang sangat
berarti dalam studi etnografi lingkungan, yaitu: pengetahuan budaya
(cultural knowledge), perilaku budaya (cultural behavior) dan benda-benda
budaya (cultural artefacts). Anderson dikutip Honingmann (1973: 188) yang
terinspirasi aspek kognitif budaya (cultural knowledge) menyimpulkan,
bahwa para etnoekolog yang menekankan perseptual dan deskripsi kognitif
dari lingkungan pada kebudayaan tertentu merupakan sebuah strategi

81
Lihat Hari Poerwanto (2000: 32-33), bahwa pendekatan baru dalam etnografi dikenal
dengan metode 'ethnoscience'. Sekalipun demikian orang berpendapat, bahwa peng-
gunaan istilah tersebut kurang tepat untuk dua alasan: 1) seolah-olah berbagai bentuk
etnografi yang ada bukan sains dan 2) karena istilah itu mengacu pada klasifikasi dan
taksonomi suku bangsa dianggap sebagai ilmu pengetahuan (science). Kiranya, label
etnosains cukup tepat sebagaimana label yang diberikan kepada etnobotani, etnografi
dan sebagainya.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 338


penelitian dengan artian: a) untuk mendeskripsikan apa yang masyarakat
ketahui tentang alamnya dan b) untuk menggambarkan bagaimana
masyarakat menggunakan pengetahuan ini dalam menghadapi dunianya.
Demikian pula Mead (1970: 1) membagi tiga tingkat kebudayaan sebagai
berikut: 1) postfiguratif yaitu anak-anak belajar umumnya dari nenek
moyang mereka, 2) cofiguratif yaitu keduanya, baik anak-anak maupun
dewasa belajar dari kaum sebayanya dan 3) prefiguratif yaitu orang dewasa
belajar dari anak-anak mereka. Menurut Mead, bahwa postfiguratiflah yang
paling banyak digunakan dalam studi etnoekologi, khususnya pada
masyarakat indigenus.
E. Kearifan Lokal
Kearifan lokal adalah sebuah pola dan cara berfikir dalam setiap
tindakan yang didasarkan pada pertimbangan beberapa nilai (values) dan
kepentingan (interest), sehingga hasil pemikiran dan tindakan tersebut berisi
keadilan (justice) dan pencarian jati diri umat manusia (Gising, 2005: 13).
Babcock (dikutip Salle, 1999: 91) mengatakan, bahwa kearifan masya-
rakat bermuara pada kebijakan lingkungan, terutama dalam kaitannya
dengan pengelolaan lingkungan. Kearifan lokal merupakan kumpulan
pengetahuan dan cara berpikir yang berakar dalam kebudayaan suatu
kelompok manusia, yang merupakan hasil pengamatan selama kurun
waktu yang lama.
Abu Hamid (2006: 5) mengatakan, bahwa kearifan berarti kebijakan
(wisdoms) mengolah alam, agar lingkungan alam tetap lestari dan lokal
(local) artinya dimiliki oleh masyarakat lokal atau indigenus (indigenous
people). Kearifan ini berisi berbagai macam pengetahuan lokal (Local
knowledge) yang digunakan oleh kelompok manusia dalam menyelenggara-
kan penghidupannya, yang bersifat; a) turun dari pengetahuan budaya lokal
yang membentuk kearifan sekelompok individu guna mengelola kehidu-
pannya dari generasi ke generasi, b) mencakup berbagai mekanisme adaptif
dan cara-cara untuk bersikap, berperilaku dan bertindak kedalam tatanan
sosial, c) merupakan mekanisme dalam pengambilan keputusan, keteram-
pilan lokal, sumber daya lokal, tipe solidaritas sosial, d) terwujud pada
kecerdasan lokal yang ditransfer pada daya cipta, inovatif dan kreatifitas
untuk kemandirian lokal dan e) mengambil sukma dan semangat dari nilai-
nilai budaya yang telah disepakati secara sosial dan suatu kondisi matang
dan mantap yang terjadi dalam masyarakat tertentu, biasanya dimiliki oleh
individu-individu yang mengambil alih sukma masyarakatnya.
Arzaki (2001: 16) menegaskan kearifan tradisional atau kearifan
budaya lokal adalah semua keahlian-keahlian dan pengetahuan yang
dimiliki oleh masyarakat tradisional untuk memanfaatkan sumberdaya
alam dan lingkungannya dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 339


Kearifan budaya menurutnya merupakan suatu terminologi yang diberikan
untuk keseluruhan nilai-nilai dan sistem kehidupan masyarakat leluhur di
masa lampau. Nilai-nilai tersebut secara signifikan masih hidup dan
memberi roh dan adaptif di era kekinian, asalkan diaplikasikan dalam
kehidupan bermasyarakat secara: 1) teguq (kuat dan utuh) artinya
masyarakat melihat budayanya secara holistis, 2) bender atau lomboq (lurus
dan jujur) artinya tingkat saling percaya (trust) masyarakatnya masih ada, 3)
patut (benar) artinya kebenaran masih merupakan nilai idial dalam
masyarakat, 4) tuhu (sungguh-sungguh) artinya masyarakat dengan
sungguh-sungguh mengaplikasikan kearifan-kearifan lokalnya dalam
kehidupan mereka dan 5) trasna (penuh rasa kasih atau sayang) artinya
nilai-nilai kebersamaan dan solidaritas sosial masyarakatnya masih tinggi.
Arzaki sangat yakin, bahwa sesungguhnya kearifan tradisional memang
sudah melekat dalam masyarakat adat Sasak pada khususnya dan
masyarakat adat lain pada umumnya. Ini terbukti dengan motto patut
(kesesuaian), patuh (ketaatan dan kesetiaan), serta pacu (kesungguhan)
dalam membangun Nusa Tenggara Barat (pulau Lombok).
Dalam Peraturan Pemerintah No. 41/1999 (pasal 51) tentang
kehutanan juga disebutkan, bahwa kearifan lokal yang masih dipegang
teguh oleh masyarakat Indonesia merupakan suatu bentuk kekayaan
budaya, baik sebagai suatu bentuk seni dan/atau teknologi maupun nilai-
nilai yang telah menjadi fakta sosial. Kearifan lokal tersebut digunakan
dalam peningkatan dan pengembangan kualitas sumberdaya manusia dan
dalam rangka alih ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengakuan pemerintah
tentang kearifan lokal atau tradisional juga ditemukan dalam Penjelasan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 44 tahun 2004 (pasal 3 huruf
c) tentang Perencanaan Kehutanan, bahwa kearifan tradisional merupakan
kekayaan kultural, baik berupa seni dan/atau teknologi maupun nilai-nilai
yang telah menjadi tradisi atau budaya masyarakat setempat.
Dengan demikian, kearifan lokal adalah kumpulan dari sistem
pengetahuan dan pengalaman sekelompok manusia dalam kurun waktu
yang cukup lama. Kearifan lokal adalah cara berfikir yang bersumber dari
sistem pengetahuan lokal (local knowledge system)82, serta berakar dari
kebudayaan sekelompok manusia dalam melakukan sebuah tindakan
berdasarkan nilai, norma dan aturan, yang disepakati bersama oleh

82
Lihat Ellen (2000: 2) tentang sistem pengetahuan lokal (local knowledge system). Istilah-
istilah seperti; sistem pengetahuan indigenus (indigenous knowledge) disingkat IK, sistem
pengetahuan teknik indigenus (indigenous technical knowledge) disingkat ITK dan sistem
pengetahuan lingkungan indigenus (indi-genous environmental atau ecological knowledge)
disingkat TEK tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan, karena sering
digunakan secara bersubstitusi.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 340


sekelompok manusia. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan kebijakan
(wisdoms) dalam bentuk keahlian untuk mengelola lingkungan alam
dan/atau sumberdaya alam yang dimiliki oleh sekelompok manusia untuk
mewujudkan kehidupan yang harmonis. Jadi, tidak mengherankan bila
kearifan lokal sering dianggap sebagai sebuah bentuk kekayaan kultural
dalam wujud seni bersama dengan teknologi tradisional yang telah
mengakar menjadi tradisi masyarakat setempat.
Kearifan lokal lebih luas jangkauannya dibandingkan dengan bentuk
kearifan-kearifan lainnya, termasuk kearifan ekologis. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa kearifan ekologis merupakan bahagian dari kearifan
lokal yang berisi tentang kebijakan-kebijakan pengelolaan lingkungan.
Kearifan ekologis bersumber dari sistem pengetahuan lokal, yang berkenaan
dengan sistem pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam yang ada di
sekitar manusia. Tidak mengherankan bila beberapa ahli cenderung meng-
gunakan kedua bentuk kearifan tersebut secara bergantian (bersubsitusi).
F. Simbo-Simbol Kebudayaan
Ferdinand De Saussure (1988: 73-95) membagi tuturan ke dalam tiga
tingkatan, yaitu: 1) langage yang memiliki segi individual dan sosial, 2)
langue yang direkam individu secara pasif dan 3) parole yaitu suatu tindak
individual terdiri atas; a) kombinasi-kombinasi kode bahasa yang diper-
gunakan penutur untuk mengungkapkan gagasan pribadinya, b) meka-
nisme psikisfisik yang memungkinkan penutur untuk mengungkapkan
kombinasi-kombinasi tersebut. Ferdinand de Saussure (1988: 11-16) dalam
analisisnya menggunakan tiga hal yaitu sign, signifie dan significant. Signifie
(penanda) merupakan bagian lain dari bahasa berupa konsep. Saussure
sendiri tidak merinci lebih jauh tentang apa yang disebutnya konsep,
kecuali menyatakan bahwa konsep itu lebih abstrak daripada citra akustis
sign (tanda). Konsep bersifat pembeda semata-mata dan secara langsung
bergantung pada citra bunyi yang berkaitan. Itulah sebabnya menurut
Saussure, tanda bahasa (sign) mempunyai dua muka yang tidak dapat
dipisahkannya yaitu signifie (yang menandai atau petanda) dan citra akustis
itu significant (yang ditandai).
Ogden & Richar (1946: 24) menawarkan konsep segitiga semantik
(semantic triangle) dalam menganalisis makna sebuah kata, seperti berikut
ini;
Bagan Segitiga Semantik Ogden
Konsep (signifie)

Sintagmatis Semantis

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 341


Simbol (sign) Paradigmatis Referensi (significant)
Gambar 1 : Analisis Semantik Menurut Ogden
Diagram di atas memperlihatkan bagaimana hubungan antara simbol
(sign) dengan konsep (signifie) sebuah kata dan yang menjadi acuannya
(significant). Garis putus-putus yang menghubungkan antara simbol (sign)
dengan referensi (significant) menunjukkan hubungan paradigmatik yaitu
hubungan substitusi antara satu uint dengan yang lainnya. Dengan
demikian, interpretasi sebuah simbol (sign) harus melalui konsep (thought
atau concept) terlebih dahulu sebelum mendapatkan arti (referent atau
significant). Hubungan antara bentuk (sign) dengan konsep (signifie) bersifat
sintagmatik yaitu hubungan linear antara unsur-unsur bahasa dalam tataran
tertentu. Artinya hubungan tersebut harus diwujudkan dalam sebuah
sintagmen (keterwakilan sebuah tagmen). Hubungan antara konsep (signifie)
dan referensi (significant) bersifat semantis (pemaknaan) artinya ada
hubungan langsung antara konsep dengan yang diacunya. Seekor kuda,
misalnya, disimbolkan dengan gambar binatang berkaki empat tidak
bertanduk, menyusui, jinak, meringkik, berkuku tunggal dan sebagainya.
Simbol tersebut direkam ke dalam memori konsep (mental image) yang dapat
dipanggil kembali. Ketika mendengar kata kuda, misalnya, konsep tersebut
membentuk sebuah pengertian ‘binatang berkaki empat, tidak bertanduk,
menyusui, jinak, meringkik dan berkuku tunggal’. Tidak akan pernah
terbayang seekor anjing, karena binatang tersebut memiliki konsep
tersendiri.
Definisi A. L. Kroeber dan C. Kluckhohn melihat kebudayaan sebagai
keseluruhan pola-pola tingkah laku dan pola-pola bertingkah laku diturunkan
melalui simbol merupakan salah satu bukti, bahwa kebudayaan adalah
suatu sistem yang dibangun dari komponen simbolik. Simbol-simbol
budaya tersebut harus dimaknai melalui interpretasi budaya (cultural
interpretation).
J. J. Honigmann dikutip Poerwanto (2000: 53) seperti halnya dengan
James Spradley (1980: 5) memandang kebudayaan dalam tiga wujud yaitu:
sistem budaya (nilai, gagasan-gagasan dan norma-norma), sistem sosial
(kompleks aktifitas dan tindakan berpola manusia dalam masyarakat) dan
artefak atau kebudayaan fisik. Ralph Linton (1945: 30-31) membagi dua
wujud kebudayaan tersebut menjadi kebudayaan tampak atau materil (overt
culture) atau apa yang disebut Spradley (1980: 8) kebudayaan lahiriah
(explicit culture) dan kebudayaan terselubung atau fisik (covert culture) atau
kebudayaan batiniah (tacit culture) menurut Spradley. Honigmann melihat
kebudayaan tidak tampak (tacit culture) sebagai suatu ideas yang
memerlukan kebudayaan tampak (explicit culture) berupa pola tingkah laku

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 342


(patterns of cultural behavior) dan hasil tindakan (cultural artifacts) untuk
mengangkatnya kepermukaan. Kebudayaan tampak tersebut berfungsi
sebagai tanda (sign) dari simbol kebudayaan tidak tampak.
Metode analisis yang memandang kebudayaan sebagai suatu
keseluruhan yang terintegrasi sangat membantu dalam memahami
keterkaitan setiap unsur-unsur kecil (covert culture) dalam kebudayaan di
atas. Konsep patterns of culture Ruth Fulton Benediet dikutip Bohannan
(1988: 171-175 dan Poerwanto, 2000: 55) memperlihatkan, bahwa
kebudayaan manusia jangan hanya sekedar dilihat sebagai himpunan dari
unsur-unsur yang terpisah-pisah, tetapi sebagai suatu kompleks jaringan
yang mempunyai arti, watak dan jiwa. Oleh karena itu, tugas seorang ahli
antropologi harus mampu menyelami jiwa dari suatu kebudayaan dengan
memperhatikan gagasan-gagasan, perasaan-perasaan dan emosi-emosi para
individu suatu masyarakat sebagai pendukungnya. Roger M. Keesing (1999)
dan Goodenough (1970) memandang wujud kebudayaan dari R. Linton
(1945) sebagai pola untuk dan ‘pola dari dalam perilaku sebuah masyarakat.
Pola perilaku pertama terwujud dalam tingkah laku manusia dalam
kehidupan sehari-hari. Sedangkan pola kedua mengacu pada gagasan atau
sistem pengetahuan dan sistem kepercayaan sebagai pedoman dalam
bertingkah laku.
Kebudayaan sebagai suatu sistem simbol pemaknaannya dapat
dilakukan melalui dua sisi atau aspek. Pertama yaitu pemahaman aspek
kognitif, yang di dalamnya tercakup sistem kepercayaan atau sistem
pengetahuan yang memungkinkan para penganut suatu kebudayaan
mampu melihat dunianya (world view), bahkan dirinya sendiri sekalipun
sebagai pendukung kebudayaannya. Dengan demikian, aspek kognitif
menentukan orientasi etos kebudayaan83 sekelompok orang terhadap tempat
hidupnya. Selain aspek kognitif tersebut juga terdapat aspek kuantum
kebudayaan (overt culture) dalam bentuk evaluatif dari sistem pengetahuan
dan sistem kepercayaan tertentu. Aspek tersebut ditransformasikan menjadi

83
Etos kebudayaan (cultural ethos) adalah sifat, nilai dan adat istiadat khas yang memberi
watak kepada kebudayaan suatu masyarakat. Etos berarti pandangan hidup yang khas
suatu golongan sosial. Etos sinonimi dengan konfigurasi (patterns culture) yang diguna-
kan R. F. Benediet (Koentjaraningrat, 2003 : 57). Menurut Abu Hamid (2003), etos adalah
sifat, karakter, kualitas hidup, moral dan gaya estetik, serta suasana hati seseorang atau
masyarakat. Etos berada pada lingkaran etika dan logika yang bertumpu pada nilai-nilai
dalam hubungannya dengan pola tingkah laku dan rencana manusia. Etos memberi
warna dan penilaian baik atau buruk pekerjaan. Etos kerja bisa diartikan sebagai suatu
sikap dan kehendak secara sukarela, tanpa dipaksa dan didorong oleh adanya ke-
untungan dan harapan. Etos berkaitan dengan moralitas, meskipun tidak identik. Sikap
moral mengarah pada orientasi terhadap norma-norma yang harus ditaati, sedang etos
kerja adalah sikap kehendak yang diperlukan untuk kegiatan tertentu.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 343


nilai-nilai, yang pada gilirannya akan terkonfigurasi dan mengkristal
menjadi sistem nilai (norms). Sistem nilai inilah yang menentukan sikap
yang akan diambil atau diputuskan oleh seseorang terhadap perihal
kehidupannya menurut sistem makna atau sistem kognitif yang dianutnya.
White (dikutip oleh Bohannan, 1988: 335) mengatakan, bahwa sejak
dunia ini ada, maka sejak itu pula kehidupan manusia dan kebudayaan
mulai ada. Kebudayaan sendiri sangat tergantung pada simbol-simbol,
karena kebudayaan tidak dapat eksis tanpa kemampuan manusia sebagai
pengguna untuk menyimbolkannya. Salah satu wujud dari kebudayaan
adalah perilaku budaya (cultural behavior) yang dijewantahkan melalui
perilaku simbolik (simbolic behavior) yang dimiliki manusia. Jadi,
kebudayaan dan simbol adalah sifatnya mutualisme. Oleh karena itu,
keseluruhan tingkah laku budaya manusia tercermin di dalam penggunaan
simbol-simbol. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keseluruhan
peradaban di muka bumi ini juga dihasilkan dan timbul melalui
penggunanaan simbol-simbol.
Menurut White lebih lanjut, bahwa simbol adalah sebuah fenomena
yang mengandung pengertian yang diberikan oleh sekelompok manusia
yang membutuhkannya. Jadi, pemaknaan simbol-simbol budaya adalah
konvensional sifatnya. Tanpa simbol-simbol tersebut manusia dengan
sendirinya tidak dapat disebut sebagai binatang berfikir (the thinking
animals). Bahkan menurut White, bahwa hanya simbollah yang mentransfor-
masikan nenek moyang kita menjadi manusia. Adalah simbol pula yang
mentransformasi seorang anak homosapien menjadi manusia (human being).
Seorang anak tuna rungu, misalnya, yang tumbuh dengan tanpa
menggunakan simbol-simbol adalah bukan manusia, karena tidak mampu
mengkomunikasikan dirinya dengan orang lain.
Menurut White (Poerwanto, 2000: 60), bahwa pangkal dari semua
tingkah laku manusia tercermin pada simbol-simbol yang tertuang dalam
seni, religi dan kekuasaan dan semua aspek simbolik tadi tampak dalam
bahasa. Sementara itu, kebudayaan juga merupakan fenomena yang selalu
berubah sesuai dengan alam sekitarnya dan keperluan suatu komunitas.
Berdasarkan pada kerangka pemikiran tersebut di atas jelas, bahwa
kebudayaan sebagai suatu sistem yang melingkupi kehidupan manusia
pendukungnya. Kebudayaan merupakan suatu faktor yang menjadi dasar
tingkah laku manusia, baik dalam kaitannya dengan lingkungan fisik
maupun lingkungan sosial-budaya. Oleh karena itu, mutu suatu lingkungan
fisik atau lingkungan sosial, pada dasarnya, mencerminkan kualitas
kehidupan sosial masyarakat para pendukung kebudayaan tersebut.
Pandangan C. Geertz (1992a: 3), bahwa kebudayaan sebagai suatu pola
makna-makna yang diteruskan secara historis yang terwujud dalam simbol-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 344


simbol, benar-benar membuktikan, bahwa kebudayaan adalah sebuah
sistem simbol. White (dikutip oleh Bohannan, 1988: 333) berpendapat,
bahwa semua perilaku manusia selalu dimulai dengan penggunaan
lambang. Sebuah tanda salib, misalnya, mengingatkan para pemeluk agama
nasrani, bahwa Tuhan Yesus telah melakukan perjuangan dan mengalami
penyiksaan berabad-abad lamanya. Deretan tanduk kerbau pada tiang
depan sebuah rumah tongkonan di Tanah Toraja melambangkan prestise
dan status sosial masyarakat Tongkonan yang pernah melakukan pesta adat
kematian (rambu solo’). Tingkatan dan susunan atap bubungan rumah
(timpa’ laja) orang Bugis melambangkan status sosial yang dimiliki pemilik
rumah yang bersangkutan. Tujuh tingkat atap bubungan melambangkan,
bahwa pemilik rumah berasal dari darah bangsawan penuh (maddara takku
atau tomatinno’). Bentuk tanduk kerbau yang menyangga bulan dan bintang
pada anjungan rumah orang Kajang menyimbolkan keteguhan hati,
kekuatan, kejujuran dan kerendahan hati. Gambar bulan dan bintang
menyimbolkan perlunya keselarasan antara kehidupan di dunia dan
akhirat.
Aspek simbolis yang terpenting dari kebudayaan adalah bahasa, yang
merupakan refleksi objek kebendaan yang dilukiskan melalui, bunyi, fonem,
kata-kata dan kalimat. Stanley Salthe (1985: 402) menegaskan, bahwa bahasa
simbolis adalah fundamen tempat kebudayaan manusia dibangun. Dengan
demikian, pranata-pranata kebudayaan (struktur politik, agama, kesenian,
organisasi ekonomi) tidak mungkin ada tanpa lambang-lambang.
Keseluruhan komponen-komponen budaya --- sistem pengetahuan, sistem
kepercayaan, norma-norma dan nilai-nilai --- tidak dapat diketahui tanpa
adanya simbol-simbol. Simbol-simbol tersebut dapat berupa bahasa lisan
(oral language), gerak-isyarat (gesture language) dan hal-hal lain yang
mempunyai arti. Edward Sapir (1931: 578-584) mengatakan, bahwa bahasa
merupakan salah satu wahana manusia untuk menyampaikan gagasan,
emosi dan keinginannya dalam bentuk sistem lambang yang diciptakan
secara sukarela (arbitrair) dan persepakatan (convention). Melalui bahasa
manusia mampu meneruskan kebudayaannya dari generasi ke generasi
(enculturation). Simbol berduka bagi orang Jakarta, misalnya, disepakati
melalui pengibaran bendera warna kuning, orang Bugis dengan bendera
putih, suku lain dengan warna hitam atau mungkin dengan warna merah.
Hal ini merupakan suatu bentuk enkulturasi simbol berduka dari nenek
moyang mereka. Dengan demikian, jarang sekali terjadi orang Jakarta
mengibarkan bendera putih atau orang Bugis dengan bendera kuning,
ketika mereka sedang berduka. Pemilihan warna bendera duka tersebut
tentu saja tidak dengan semena-mena, melainkan lebih mengakar pada
filosofi kelompok etnis yang bersangkutan. Orang Bugis, misalnya, yang

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 345


menganggap kematian seorang manusia adalah kembali kefitrahnya yang
suci, karena umumnya dikafani ketika meninggal, juga merupakan salah
satu bukti hubungan antara simbol dengan falsafah hidup (way of life) orang
Bugis tersebut.
Simbol atau simbolisme pada prinsipnya merupakan suatu bentuk
ciptaan manusia secara universal, sehingga simbol dapat dikatakan sebagai
cuplikan dari kehidupan sosial mereka (Firth, 1989: 15 dan 50). Firth lebih
lanjut membagi simbol ke dalam tiga kategori, yaitu: 1) extrinsic atau
arbitrary symbols yang digunakan di dalam dunia ilmu pengetahuan. 2)
intrinsic atau descriptive symbols adalah simbol yang digunakan di dalam seni
dan agama, serta 3) insight symbols yang merupakan bagian penting dari
poin dua, yang tidak hanya merepresentasi karakter hubungan seni dan
agama dengan manusia, tetapi juga mampu memberi tuntunan untuk
mengetahui hubungan tersebut, seperti dalam karya sastra (apresiasi) dan
agama (fanatisme).
Istilah simbol atau simbolisme telah menjadi subjek dalam berbagai
kegunaan dan interpretasi di dalam antropologi, dimana para antropolog
disatukan dalam sebuah kajian khusus yaitu semiotika. Secara etimologis
semiotika diturunkan dari kata bahasa Yunani semainen artinya ‘bermakna
atau berarti’ atau dari kata semaino artinya ‘tanda, marka dan simbol’. Ada
beberapa cabang antropologi yang menaruh perhatiannya dalam analisis
hubungan antara arti (semantik) dengan kebudayaan (antropologi).
Antropologi simbolisme, misalnya, yang diprakarsai oleh kaum strukturalis
Levi-Strauss, antropolgi kognitif oleh D. Schneider, antropologi interpretatif
oleh Clifford Geertz dan antropologi sosial oleh Victor W Turner.
Studi kontemporer simbolisme dalam antropologi juga melibatkan
berbagai disiplin, termasuk linguistik dan sosiolinguistik, musikologi yang
dipengaruhi oleh Goffman (1967), serta studi folklor, kritik sastra dan
semiotik atau semiologi.
Perhatian pendekatan-pendekatan tersebut umumnya berkenaan
dengan arti (meaning) dan komunikasi (communications). Victor W. Turner
dan M. Douglas (1966), misalnya yang merintis studi simbol dalam tindakan
mengacu pada motivasi simbol (symbol) dan (sign). Pendekatan seperti ini
terfokus pada hubungan alamiah antara tanda (signs), simbol (symbols),
tindak dunia (world act) dan pengalaman (experience). Oleh karena, Turner
lebih memandang simbol sebagai bagian dari proses sosial, sehingga ia
cenderung membedakan antara tanda (sign) dan simbol (symbol). Keduanya
menurut Turner sebelumnya mengacu pada hubungan indeksikal dengan
dunia, kemudian mengacu pada hubungan ikonik dengan kedalaman
pengalaman (inner experience). Perbedaan antara indeks dengan ikon
selanjutnya digunakan oleh Turner sebagai ekuivalen dengan perbedaan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 346


antara metonimi (metonimy) dan metafora, dimana sebelumnya berupa
substitusi yang simpel dan kemudian menjadi sebuah representasi yang
kompleks. Meskipun demikian penggunaan istilah indeks, ikon, metonimi
dan metafor bervariasi dari satu ahli dengan ahli lainnya, yang pada
akhirnya dapat menimbulkan kebingungan, jika kegunaan khusus tidak
ditentukan sebelumnya.
Perbedaan antara sign dan symbol merupakan suatu bentuk kontro-
versi. Dalam istilah C. S. Peirce (1980), yang digunakan dalam semiotika 84,
indeks, ikon dan simbol adalah mencakup sign, sementara simbol dapat
dibedakan dari yang lainnya melalui fakta, bahwa hubungan antara signifier
dan signified murni sifatnya mana suka. Meskipun demikian, Turner
membedakan sign dan symbol dalam istilah indeksikal dan hubungan ikonik:
'we master the world through signs ... we master ... ourselves through symbols'.
Salah satu karakter kunci simbol menurut Turner adalah sifat motivated atau
hubungannya dengan alam dan arti emotif, dengan artian tidak manasuka.
D. Sperber (1975) mengkritik kriteria simbol Turner yang dikaitkan dengan
motivation sebagai salah satu ciri pembeda simbol --- mengusulkan
penghapusan pemisahan simbol --- hanya memperkuat proses kognitif dan
interpretatif yang dibentuk dari berbagai hubungan sign.
Para penganut Struktural Fungsionalisme menyadari perlunya studi
simbolisme, yang hingga saat ini masih tetap mendominasi pendekatan
Antropologi Inggris dan Amerika. Geertz, misalnya, mengkritik konsep
ceberal savage yaitu analisis simbol menggunakan closed structure oleh Levi-
Strauss dengan menggantikannya melalui pendekatan cryptological text.
Pendekatan ini dibangun melalui materi-materi sosial (social materials) yang
terkandung di dalam sebuah teks. Geertz (1992b) kemudian mengusulkan
pendekatan tekstual dan interpretatif (thick description) dalam sebuah
budaya sebagai hasil dokumentasi (acted document). Geertz yakin, bahwa arti
(meaning) diturunkan dari sebuah maksud (purpose) dan bukan dari sebuah
struktur secara formal (formal structures) seperti yang diusulkan oleh Levi-
Strauss, tetapi lebih pada hubungan internal antara elemen simbol dalam
struktur itu sendiri melalui logika formal. Sahlins (1981) kemudian
menambahkan, bahwa banyak aliran antropologi yang menaruh perhatian
pada hubungan antara tanda (signs) tanpa memperhatikan terlebih dahulu

84
Beberapa istilah dalam semiotika yang perlu dibedakan, yaitu: indeks mengacu pada
hubungan ekstensial antara signifier dengan signified (asap sebagai indeks dari api),
ikon mengacu pada hubungan kemiripan antara signifier dengan signified (dalam
onomatopea bunyi kokkotek untuk ayam betina), tanda adalah guratan yang tampak pada
permukaan bersifat konvensional (lampu merah, hijau dan kuning pada lampu
trafficlight), dan simbol mengacu pada konsep yang melatari tanda yang sifatnya abstrak,
misalnya harus berhenti ketika lampu merah menyala pada trafficlight.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 347


keseluruhan konstitusi pilihan dari aturan simbol dan arti. Dia juga
mengatakan, bahwa dalam masyarakat borjois sistem ekonomi tidak bisa
lari dari determinisme simbol yang kadang kala menjadi tuntutan. Tentu
saja simbolisme ekonomi merupakan determinisme secara struktur terhadap
masalah sosial ekonomi.
Sahlins juga menganalisis masalah hubungan antara simbolisme dalam
dunia modern dengan masyarakat tradisional. Menurutnya, bahwa tidak
semua kebudayaan mempunyai kesamaan urutan domain semiotik. Yang
paling dominan bagi dunia kita saat ini adalah jaringan yang membentuk
ide dan oposisi antara alam dan budaya (nature/culture), pekerjaan dan
peran (work/play), ekspresif dan praktis (expressive/practical) dan sebagainya,
berdasarkan pada aplikasi simbol yang kita miliki di dalam sistem produksi.
D. Schneider (1970) mengatakan, bahwa studi kebudayaan sebagai
sebuah totalitas sistem arti dan simbol lebih baik daripada membahas
simbol secara tersendiri. Schneider mengembangkan disiplin ilmunya dari
pendekatan sosiologi ke studi simbolisme. Ia mengatakan, bahwa sistem
simbol tidak sepatutnya dipisahkan dari aspek-aspek yang berhubungan
dengan organisasi sosial, melainkan harus dipelajari secara holistis.
Studi-studi simbol di atas sangat bermanfaat dalam menganalisis isi
PrK yang mengandung tiga unsur yaitu tanda (sign), simbol (sinified) dan
arti (siginifiant). Isi pasang anjo boronga paru-parunna linowa, misalnya,
mengandung beberapa pengertian. Salah satu diantaranya adalah hutan
menyimbolkan vitalitas fungsi paru-paru sama dengan vitalitas paru-paru
bagi seorang manusia. Seseorang yang tidak mempunyai paru-paru
mustahil mampu bertahan hidup, karena paru-paru merupakan pusat
pruduksi dan pengelolahan oksigen yang sangat dibutuhkan manusia.
Secara alamiah hutan juga mampu memproduksi oksigen melalui proses
potosintesis ekosistem tumbuhan di dalamnya. Menurut penelitian
Departemen Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia pada
tahun 1985, bahwa setiap pohon mampu menyuplai kebutuhan oksigen
untuk tiga orang. Demikian pula dalam Konferensi Internasional Tingkat
Tinggi tentang Pemanasan Global di Bali menghasilkan suatu temuan
spektakuler, bahwa terjadinya pemanasan global diakibatkan oleh kurang-
nya pepohonan sebagai produsen oksigen. Temuan tersebut menggambar-
kan bagaimana keterkaitan antara mahluk hidup, termasuk manusia dengan
ekosistem pohon dan tumbuhan.
Manusia dalam sistem penapasannya melepaskan ion-ion CO2 yang
sangat dibutuhkan oleh tumbuhan dalam melangsungkan kehidupannya.
Sementara pepohonan melepaskan unsur-unsur O2 dalam proses
fotosintesisnya yang sangat dibutuhkan manusia. Logika forma dalam
temuan ini adalah manusia tanpa ekosistem lingkungan tidak mungkin

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 348


hidup, karena tidak ada produksi O2. Sebaliknya tumbuhan tanpa
ekosistem mahluk hidup sebagai sumber CO2 juga tidak mungkin terjadi.
Akibatnya menurut temuan ini, bahwa suatu saat ketika sudah tidak ada
tumbuhan, suhu udara di muka bumi ini akan meningkat yang
menyebabkan ekosistem hutan menjadi hangus dan layu. Fotosintesis
pepohonan juga ikut terganggu, sehingga poduksi oksigen menjadi
menurun. Akibat akhir dari menurut temuan ini adalah terjadinya kiamat,
yang menghilangkan semua bentuk kehidupan di muka bumi ini.
Capra (1988: 28 dan 1997: 57) bahkan melihat hubungan manusia
dengan alamnya membentuk sebuah jaringan kehidupan menyerupai
sarang laba-laba (the web of life). Menurutnya ego dalam menempuh
hidupnya tidak pernah bisa lepas dari lingkungan, masyarakat, alam, khalik
dan sesama, yang juga menjadi anggota habitat di dalam sumber daya alam
yang sama. Oleh karena itu, demikian Capra, sistem interaksi seluruh
pendukung eksosistem yang ada berlangsung secara berlapis, seperti
berikut ini:

Awareness
Reproduction

Ecology Core
Ecology
Production

Gambar 2 : Lapisan Ekologi dikutip dari Carolyn Merchant

Melek lingkungan (ecoliteracy) menurut Capra (2002) adalah sebuah


konsep yang dapat digunakan dalam hal: 1) membangun komunitas
berkelanjutan, 2) membuat eco-design (perancangan bercorak ekologi) dan 3)
membentuk komunitas berkelanjutan. Kesadaran lingkungan (ecological
awarenes) dapat berkembang menjadi kebijakan lingkungan (wisdom of nature
atau environmental wisdoms). Ekofeminisme merupakan pengembangan
prinsip ekologi interdisipliner ke dalam studi gender. Ekofiminisme
mensejajarkan lingkungan dengan manusia, khususnya perempuan.
G. Konflik Pengelolaan Sumber Daya (Hutan)
1. Eksistensi Konflik
Hutan merupakan salah satu sumber daya alam non-migas yang mem-
punyai nilai jual sangat tinggi, selain sektor migas. Tidak mengherankan,

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 349


jika sektor tersebut sejak dari dahulu hingga saat ini selalu merupakan
pernik-pernik permasalahan, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Tidak sedikit pula konflik kepentingan (interst conflicts) yang terjadi di
dalam pengelolaan sumber daya tersebut. Dengan demikian, tidak sedikit
pula pluralisme hukum (legal pluralism) dalam melindungi kepentingan
masing-masing pihak. Pihak masyarakat adat atau orang-orang yang ber-
kepentingan dalam pengelolaan sumber daya hutan (forest management
resources), misalnya, menggunakan perspektif hukum yang menguntung-
kan (shopping forums) bagi dirinya, sementara pihak pemerintah mengguna-
kan perspektif hukum lainnya. Sebagai konsekuensi logisnya, supremasi
hukum tidak dapat ditegakkan secara adil dan konsekuen. Salah satu pihak
cenderung untuk menggunakan hukumnya sendiri (individual legal atau
legal personalities), bahkan cenderung membuat hukum sendiri (artificial
laws), yang ujung-ujungnya memicu timbulnya konflik vertikal (masyarakat
melawan pemerintah) dan konflik horizontal (masyarakat berlawanan
dengan masyarakat atau oknum-oknum lainnya).
Hampir setiap hari, baik melalui kenyataan langsung (kasus Karam-
puang menangis, Kajang berdarah dan Sidrap Teraniaya) maupun melalui
media massa dapat disaksikan, dibaca dan didengar terjadinya kasus-kasus
penyimpangan hukum (illegal state atau illegal laws) dari pihak-pihak
tertentu dalam rangka menguasai sumber daya alam yang ada. Tidak sedikit
pula dari penyalahgunaan hukum dan wewenang tersebut menyebabkan
terjadinya kekerasan dan pertumpahan darah, seperti; Papua Bergejolak,
NTB Kisruh, Kajang Berdarah, Papua Menangis, Sidrap Teraniaya, Sasak
Bergejolak dan sebagainya, yang dapat dijadikan sebagai contoh kasus
terjadinya pemarginalan dan penganiayaan, yang berujung pada kematian
(korban jiwa).
2. Penyebab-Penyebab Konflik
Raplinton (1965) mengemukan tiga jenis kebutuhan manusia yaitu
pemenuhan rasa lapar, kebutuhan akan seks dan rasa keamanan, yang
berpotensi memunculkan pola perilaku tertentu. Keseluruhan kebutuhan
dasar (basic needs) manusia tersebut dapat dikaitkan dengan sistem
perkembangan manusia dalam psikoanalisis Sigmund Freud dikutip Baal
(1988: 32 - 40) yaitu id (dorongan insting), ego (kendali-kendali) dan superego
(pilihan-pilihan). Baik Linton maupun Freud sama-sama yakin, bahwa
timbulnya konflik sangat erat kaitannya dengan tingkat pemenuhan kebu-
tuhan manusia tersebut. Menurut Linton, bahwa konflik bisa timbul karena
adanya perbedaan antara harapan (expecting) dengan kenyataan (reality)
atau kesenjangan antara kondisi ideal (ideal condition) dengan realita (reality).
Sedangkan Freud dikutip Pals (2001: 91-148) mengatakan, bahwa apabila
ketiga kebutuhan di atas tidak terpenuhi akan menimbulkan depresi berat

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 350


(neurosis) yang berujung pada konflik dalam diri seorang manusia (inner
conflict) atau konflik dengan orang lain (external conflict).
Konflik dan manusia merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang lainnya. Rauf (2002) mengatakan, bahwa konflik adalah
sebuah fenomena sosial yang selalu ditemukan di dalam setiap masyarakat
yang ada. Konflik tidak akan pernah bisa dihilangkan, karena setiap hu-
bungan sosial mempunyai potensi untuk menghasilkan konflik. Dahrendorf
(1959: 120) mengemukakan, bahwa konflik tidak muncul dari mana-mana
(sekalipun itu dimunculkan), karena alamiah sifatnya, sehingga ketika ada
kehidupan di situ pasti ada pula konflik. Simmel dikutip Coser (1956: 59)
juga menambahkan, bahwa konflik pada prinsipnya tidak sepenuhnya
ditentukan oleh impuls konflik (conflict impulses), tetapi muncul karena
adanya hubungan antara subjek (ego) dan objek (orang lain).
3. Kecenderungan Berkonflik
Akhir-akhir ini, terutama setelah turunnya rezim Orde Baru dan di-
susul dengan merebaknya isu reformasi, perjuangan masyarakat atau orang-
orang yang berkepentingan dengan sumber daya alam (antara masyarakat
lokal dan pengusaha hutan) yang terbungkus dalam konflik horizontal
(antara sesama masyarakat Lokal) dan yang terbungkus dalam konflik
vertikal (antara masyarakat lokal dengan pihak pemerintah) banyak ber-
munculan.
Rauf (2002) menyatakan, bahwa semakin demokratis sebuah negara,
semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik di dalam masyarakat
yang bersangkutan karena kebebasan berpikir, berpendapat, berkumpul dan
berserikat menghasilkan konflik yang meluas di dalam masyarakat.
Secara umum ada banyak ahli yang memandang konflik sebagai hasil
produk sosial. Lewis A. Coser (1956), misalnya, melihat konflik sebagai
fungsionalism. Sebagai penganut fungsionalis, ia malah tidak memberikan
banyak perhatian pada peranan konflik (role of conflicts) dan fenomena
berkenaan (related phenomenon) seperti; pengkhianatan (dissent) dan penyim-
pangan (deviance) yang terlalu gampang dipandang sebagai pathological atau
irrational terhadap sebuah sistem. Menurutnya, bahwa tingkat fleksibilitas
atau rigiditas dalam sebuah sistem sosial menentukan cara mana sebuah
konflik dinyatakan. Dalam konteks ini, Coser memberikan penekanan teori
konfliknya, sebagai berikut: 1) Penyebab terjadinya konflik adalah tentang
kelangkaan sumber daya, 2) Intensitas dan kekerasan konflik sangat
berkaitan dengan pencapaian tujuan, realisasi isu-isu, akses untuk kelem-
bagaan untuk menyerap atau melakukan konflik dan kedekatan kelompok;
semakin dekat semakin kuat dan 3) Durasi konflik ada kaitannya dengan
skop tujuan dan tingkat konsensus.
4. Ancangan Penyelesaian Masalah

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 351


1) Sumber-Sumber Konflik
Konflik pada perinsipnya ibarat menyimpan bara dalam sekam.
Konflik yang kecil kadang-kadang bisa menjadi besar apabila tidak dengan
segera ditangani atau diredam. Menurut Coser (1957: 49) konflik dapat
dibagi menjadi dua jenis yaitu konflik yang realistis (realistic conflicts) yang
muncul dari frustrasi tuntutan tertentu, dimana hubungan dan bentuk
perkiraan dari pencapaian tujuan diarahkan pada objek frustrasi. Konflik
yang tidak realistis (unrealistic conflicts) yaitu interaksi yang melibatkan dua
orang atau lebih. Konflik seperti ini tidak disebabkan oleh perseteruan akhir
dari salah satu pihak. Kedua bentuk konflik tersebut tidak selamanya
bernilai negatif. Parson menggambarkan, bahwa kelas-kelas konflik adalah
penyakit dalam tipe masyarakat industri kita saat ini. Kebanyakan ahli
konflik, sebaliknya, justru menganggap konflik sebagai sesuatu yang
mampu membawa perubahan. Bahkan, dalam artikel Simmel dikutip Coser
(1956: 31) dikatakan, bahwa: Groups require disharmony as well as harmony,
dissociation as well as association; and conflict within the are by no means
altogether disruptive factors. Simmel lebih lanjut juga mengatakan, bahwa both
positive and negative factors build group relation. Conflict as well as cooperation
has social finction. Far from being necessarily dysfunctional, a certain degree of
conflict is an essential element in group fromation and the persistence of group life.
Dari kedua pertentangan di atas disimpulkan, bahwa konflik kadang-
kadang harus ditumbuhkan untuk mematangkan sebuah organisasi. Sebuah
organisasi buruh, misalnya, dalam revolusi Perancis memang kadang kala
lebih banyak mengandung sisi negatif, jika yang melihat konflik tersebut
adalah kaum Borgouis. Akan tetapi, jika dilihat dari sudut pandang kaum
proletariat, konflik perjuangan kaum buruh justru mengandung sisi positif,
karena menghasilkan sebuah perubahan besar, yang menguntungkan kaum
buruh yang tertindas.
Para pakar negara Barat, misalnya, justru selalu menyarankan untuk
mencari penyelesaian yang paling menguntungkan bagi kedua belah pihak,
sekalipun hal ini mungkin tidak selalu benar untuk banyak masyarakat
Timur. Jadi, mereka lebih mengarah pada pencarian solusi konflik (conflict
solution). Bukankah konflik sosial (termasuk konflik politik) memang meru-
pakan sebuah fenomena sosial penting yang memerlukan penyelesaian
konflik (conflict resolution), karena dapat mempengaruhi pembuatan kepu-
tusan (decision making). Semakin hebat konflik, semakin sulit pula dalam
membuat keputusan yang mengikat semua pihak (Rauf: 2002). Karl Marx
dikutip Johnson (2005) percaya, bahwa is  that the natural evolution of societies
is described as a series of clashes between conflicting ideas and forces that at the end
of each clash, a new and improvedset of ideas emerges; that change  needs conflict 
in order to be facilitated.  This is called dialectical process.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 352


Jadi, menurut Marx justru konflik sebaiknya jangan diredam atau
dimatikan sama sekali, karena hal tersebut dapat menjadi fasilitas untuk
mencapai perkembangan suatu masyarakat atau organisasi. Bahkan, me-
nurut Marx justru konflik dapat merupakan suatu bentuk proses dialektika
menuju kemurnian atau kematangan suatu organisasi.
     Lawan dari konflik adalah konsensus (conscensus). Konsensus juga
sering disebut mufakat atau kesepakatan, yang dapat tercapai bila semua
pihak mempunyai pendapat yang sama. Oleh karena itu, menurut Rauf
(2002) konflik terjadi bila tidak ada konsensus dan konsensus terjadi bila
konflik berhasil dihilangkan. Jadi, konflik yang berlebihan justru dapat
mengganggu hubungan sosial dan mengancam keberadaan masyarakat,
namun bila konflik berkembang terus (tanpa bisa diselesaikan) dapat
mengakibatkan terjadinya disintegrasi sosial (dan disintegrasi politik),
sehingga masyarakat akan terbelah sesuai dengan polarisasi yang ditimbul-
kan oleh konflik. Para pakar mengklaim, bahwa pihak-pihak yang ber-
konflik dapat menghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema
empat dimensi, berikut ini: 1) Saling pengertian yang tinggi untuk hasil
kedua belah pihak akan menghasilkan usaha untuk mencari jalan keluar
yang terbaik, 2) Saling pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya
akan menghasilkan usaha untuk memenangkan konflik, 3) Saling penger-
tian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan usaha
yang memberikan kemenangan konflik bagi pihak tersebut dan 4) Tiada
saling pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan
untuk menghindari konflik.
Rauf (2002) justru mengatakan, bahwa salah satu persyaratan
terpenting bagi demokrasi adalah adanya kemampuan dari pemerintah dan
rakyat untuk menyelesaikan konflik, sehingga tidak menimbulkan disinte-
grasi sosial dan disintegrasi politik. Oleh karena itu, ada beberapa jalan
penyelesaian konflik yang dapat ditempuh. Rauf, misalnya, memberikan
penyelesaian konflik dengan cara persuasif (perundingan) dan cara koersif
(kekerasan). Akan tetapi, menurut Rauf, yang ideal adalah cara penye-
lesaian konflik secara persuasif, karena digunakan cara-cara rasional dalam
bentuk musyawarah. Cara koersif dianggap kurang sesuai dengan nilai-nilai
kemanusiaan, karena penggunaan kekerasan dan/atau ancaman kekerasan
tidak manusiawi. Penyelesaian konflik secara persuasif hanya bisa dicapai
bila pihak-pihak yang terlibat konflik tidak bersifat fanatik dan arogan,
sehingga bersedia menerima pendapat pihak lain dan/atau mau mengu-
rangi tuntutannya sendiri. Hanya dengan cara begitu, titik temu (kom-
promi) bisa dihasilkan. Kompromi tercapai bila pihak-pihak yang berkonflik
menyetujui hal yang sama yang ada dalam  pandangan masing-masing
pihak-pihak yang berkonflik. Hal-hal yang ditentang oleh semua dibuang

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 353


dengan persetujuan dari setiap pihak yang berkonflik. Hal-hal yang sama
juga bisa diambil dari pendapat pihak lain yang disepakati oleh pihak-pihak
yang berkonflik. Menurut Rauf, bila kompromi sulit dicapai, berarti konflik
sulit diselesaikan. Yang terjadi kemudian adalah munculnya gangguan
terhadap hubungan sosial yang harmonis dan kemungkinan terjadinya
ancaman bagi keutuhan sebuah masyarakat.
5. Dampak Konflik
Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa konflik pada prinsipnya
mengandung dua aspek: positif dan negatif. Aspek negatif dari konflik
adalah terjadinya tindakan-tindakan kriminal destruktif dari orang-orang
yang melakukan konflik. Hal inilah yang sangat ditakuti oleh Parson, Lloyd
Warner dan sebagainya, yang menganggap konflik sebagai sesuatu yang
harus dihindari dan sangat merugikan dari sudut ekonomi. Nah,
dikembalikan pada situasi Indonesia pada saat ini --- khususnya dalam
kasus berdarah di Bulukumba yang menjadi obyek penelitian disertasi saya
--- sebaiknya memang harus dihindari, karena cenderung destruktif.
Sebaliknya, aspek positif dari konflik juga sangat dirasakan manfaatnya,
terutama dalam kasus Borjois dan kaum Proletar dalam revolusi ekonomi
Perancis. Oleh karena itu, hampir semua ahli konflik, terutama dari Barat
justru melihatnya sebagai suatu sarana menuju kematangan organisasi atau
masyarakat. Jadi, tidaklah mengherankan, jika Marx, Weber dan sebagainya
justru menganggap konflik sebagai sesuatu yang diharapkan (expecting),
diinginkan (desires), dibutuhkan (needs), perlu (necessary) dan sebagainya
dalam rangka menuju kematangan suatu organisasi/masyarakat.
6. Jembatan Komunikasi
Pemerintah dan masyarakat lokal memiliki kepentingan yang sama
dalam hal pengelolaan sumber daya hutan. Keduanya menginginkan
produktifitas dan kelestarian. Pada hakekatnya mereka tidak konflik.
Kepentingan produksi dan ketidakmauan konflik pada umumnya muncul
secara terbuka. Sebaliknya, kepentingan pelestarian pada pihak pemerintah
relatif tersembunyi dalam konsep-konsep retoriknya, sedangkan pada pihak
masyarakat lokal tersembunyi dalam pengetahuan dan kearifan lokalnya.
Selain kesamaan di atas pemerintah dan masyarakat juga memiliki perbeda-
an. Keduanya memiliki cara pandang, pen-dekatan, teknologi dan pengeta-
huan yang berbeda. Dalam konteks ekonomi normatif, keduanya juga me-
miliki fungsi tujuan yang berbeda, karena pihak pemerintah memiliki fungsi
tujuan untuk memaksimumkan pelayanan dan sebagai entitas bisnis me-
miliki tujuan untuk memaksimumkan keuntungan (maximazing of benefits).
Sedangkan masyarakat (sebagai rumah tangga) memiliki fungsi untuk me-
maksimumkan utilitas dan kelestarian lingkungan (environmental
sustainable).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 354


Ada dua kelembagaan yang berbeda, yaitu masyarakat adat dan biro-
krasi, yang keduanya bertanggung jawab atas perlindungan dan pengelola-
an sumberdaya hutan. Meskipun keduanya memiliki tujuan yang sama
(perlindungan sumber daya hutan) dalam hal kesepakatan rencana tindak
dan aturan main formal dan informal, namun masih tersedia potensi konflik
dan potensi lain untuk berkooperasi dalam pencapaian tujuannya tersebut.
Norma dan kelembagaan yang ada, seperti prosedur baku, yang dianut
keduanya tidak padu, sehingga dibutuhkan perubahan organisasional.
Perubahan itu hanya mungkin terjadi jika: (a) keduanya memahami perilaku
organisasi dan (b) pola tindak keduanya berbasis pada pengetahuan,
keterampilan, teknik, metode produksi dan distribusi, serta proses-proses
ekonomi yang berbasis pada budaya setempat.
Perbedaan antara kedua kelembagaan tersebut perlu dijembatani,
agar potensi konflik dapat ditransformasikan menjadi potensi kooperatif
yang sinergik. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan prasyarat berikut
ini: 1) dibutuhkan kemauan politik (political-will) pemerintah, berupa:
pengenalan dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat, menaruh
kepercayaan, bahwa identitas, budaya, kebiasaan, tatanilai adat dan
pengetahuan lokal mampu memberikan kontribusi yang positif terhadap
model pengelolaan sumber daya hutan yang produktif dan lestari, serta
memahami masyarakat sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat
yang tinggi. Dengan demikian, patut didengar aspirasinya, 2) setiap aturan
formal termasuk sistem insentifnya disusun dengan mengakomodasikan
kebutuhan masyarakat adat (bukan dengan tergesa-gesa dan menge-
nyampingkan pendapat dan aspirasi masyarakat setempat). Hal ini merupa-
kan model konkret yang menunjukkan, bahwa pemerintah masih percaya
kepada masyarakat, 3) setiap tindakan sosialisasi hukum kepada masya-
rakat dilakukan secara persuasif, meski hukum itu sendiri pada hakekatnya
bersifat koersif. Sosialisasi hendaknya dipandang sebagai proses pem-
belajaran yang dialogik, 4) agar dihasilkan organisasi pemerintahan yang
lebih adaptif terhadap kepentingan masyarakat setempat, diperlukan
desentralisasi penanganan masalah sumber daya hutan dan devolusi
pembuatan keputusan dari pusat ke daerah (top-down) dan 5) prakarsa
pembangunan jembatan komunikasi, seperti yang dituangkan dalam empat
butir pertama, hendaknya datang dari pemerintah. Prakarsa tersebut diper-
lukan bukan sepatutnya pemerintah bermurah hati, melainkan masyarakat
itu sendiri memang berhak mendapatkannya.
H. Perspektif Agama dan Kebudayaan
Sebelum membahas lebih mendalam tentang beberapa pandangan
mengenai agama dan sistem kepercayaan, penulis terlebih dahulu menetap
fokus utama (main scope) studi antropologi agama sebagai landasan berfikir

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 355


yaitu keberagamaan dan bukan agama. Antropologi agama (anthropology of
religion) lebih mementingkan perilaku keagamaan yang dikaitkan dengan
dunia keseharian penganutnya daripada mempelajari agama dan sistem-
sistem dogmatisnya. Hal lain yang perlu saya jelaskan di sini adalah
menjawab pertanyaan mengapa orang menganut sebuah agama atau
kepercayaan? Kontajaraningrat (1992: 229) mengatakan, bahwa setidak-
tidaknya ada delapan faktor yang membuat manusia memeluk atau meng-
anut sebuah agama atau kepercayaan, yaitu: a) kelakuan manusia yang
bersifat religi itu terjadi, karena mengakui adanya banyak gejala yang tidak
dapat diterangkan dengan akalnya; (c) kelakuan manusia yang bersifat religi
itu terjadi dengan maksud untuk menghadapi krisis-krisis yang ada dalam
kehidupan manusia; (d) kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi,
karena ada kejadian-kejadian luar biasa dalam hidupnya dan dalam alam
sekelilingnya; (e) kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena
suatu getaran atau emosi yang ditimbulkan dalam jiwa manusia sebagai
akibat dari pengaruh rasa kesatuan sebagai warga masyarakat; (f) kelakuan
manusia yang bersifat religi itu terjadi, karena manusia mendapat suatu
firman dari Tuhan. Manusia mulai sadar akan adanya paham jiwa; (b)
kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi, karena manusia
1. Pengertian Agama
Secara umum agama dapat didefiniskan sebagai seperangkat aturan
dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya
(hablum minallah), mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya
dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya (wahablum minan-
nas). Aturan-aturan tersebut penuh dengan muatan sistem-sistem nilai,
karena pada dasarnya aturan-aturan tersebut bersumber pada etos dan
pandangan hidup. Oleh karena itu, aturan-aturan dan peraturan-peraturan
yang ada dalam agama lebih menekankan pada hal-hal yang normatif atau
yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan, serta bukan berisikan petunjuk-
petunjuk yang bersifat praktis dan teknis dalam manusia menghadapi
lingkungan dan sesamanya. Menurut Geertz (1992: 5) seorang antropolog
yang banyak mengkaji masalah antropologi agama mengatakan, bahwa
agama adalah (1) sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku untuk (2)
menetapkan suasana dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresap dan
tahan lama dalam diri manusia dengan (3) merumuskan konsep-konsep
mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan (4) membungkus konsep ini
dengan pencaran kualitas, sehingga (5) suasana hati dan motivasi itu
tampak khas dan realistik. Selanjutnya Paul Tillich (1955) seorang filosof
religi, dalam artikelnya What Is Religion, juga mengemukakan analisisnya
tentang makna dalam agama. Kedua ahli tersebut menjadikan makna
sebagai konsep atau analisis sentral dalam pembahasannya. Sekalipun

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 356


keduanya berbeda dalam hal pemberian istilah, namun masih terdapat
persamaan dalam paradigmanya, dimana Tillich seperti halnya dengan
Geertz juga menggunakan istilah kemutlakan makna, unitas makna dan
istilah impor85.
Khusus Geertz cenderung menyejajarkan antara agama dan
kebudayaan, karena menurutnya kebudayaan masih merupakan abstraksi
dari agama. Hal ini tercermin di dalam konsepnya tentang kebudayaan
yaitu sebagai suatu pola (1) maknamakna yang diteruskan secara historis
yang (2) terwujud dalam simbol-simbol, (3) suatu sistem konsep yang
diwariskan dan yang terungkap dalam bentuk simbolis yang (4) dengannya
manusia berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan
mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan. Dari
definisi tersebut tampak jelas, bahwa hubungan antara agama sebagai
simbol dan kebudayaan sebagai pola-pola makna yang terbungkus di dalam
sebuah konsep merupakan hubungan representatif antara yang abstrak
(kebudayaan) dengan yang konkret (perilaku agama). Jika demikian, agama
menurut pandangan Geertz merupakan perwujudan dari suatu bentuk
kebudayaan. Agama tanpa kebudayaan yang memaknainya tentu saja tidak
mungkin, sementara kebudayaan tanpa agama atau sistem kepercayaan
sebagai simbol untuk menggeneralisasikannya juga sangat tidak mungkin.
McGuire (1992: 11-14) memberikan dua bentuk pemahaman tentang
religi yaitu secara substantif dan fungsionalis. Menurutnya definisi Spiro
(1996) yang pada intinya menyatakan, bahwa agama adalah institution,
culturally patterned dan culturally postulated merupakan contoh utama dari
paradigma pertama tentang agama. Sapiro kemudian mengembangkan
konsepnya tentang agama sebagai superhuman being yang mempunyai
kekuatan lebih besar daripada manusia, yang tidak hanya dapat membantu
atau menyakiti manusia, tetapi juga dapat dipengaruhi oleh tindakan-
tindakan manusia. McGuire dalam konsep substantifnya tentang agama ini
menggunakan istilah lain, seperti: supernatural realm, superempirical reality,
transendent reality) and sacred cosmos. Sementara konsep fungsionalnya
tentang agama ia mengadopsi definisi Geertz tentang agama sebagai
contoh kasusnya.
Mary Douglas (1966) dalam bukunya Purity and Danger menggam-
barkan pandangan dunia primitif sebagai pandangan yang pada dasarnya
bersifat religius dan simbolik. Bahkan, belakangan ia mempertanyakan
konsep kesalehan primitif (primitif piety) dan menegaskan, bahwa mungkin
saja terdapat banyak budaya kesukuan yang mengandung bias sekuler.
85
Lihat penggunaan istilah import dalam makalah Abu Hamid (1981 dan 2003)
merupa-kan kesatuan makna yang paling dalam atau hakiki (the meaning of the
meaning atau deep meaning).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 357


Doglas menambahkan, bahwa antropolog harus menyingkirkan mitos
tentang masyarakat primitif yang saleh tersebut.
Oleh karena dekatnya hubungan antara agama dan kebudayaan ---
dan hal ini merupakan objek kajian antropologi paling tua --- beberapa
antropolog dan ahli ilmu sosial kawakan telah melakukan kajian spekta-
kuler, sesuai dengan bidang keahlian masing-masing. Edward Bernet Tylor
dan George J. Frazer, dua ahli antropologi yang memberikan konsepsi
supernatural terhadap agama yang dipraktikkan oleh beberapa manusia
primitif.
Bagi Tylor kepercayaan pada wujud spiritual menggambarkan suatu
tahap awal dalam evolusi akal manusia, tetapi menurutnya ia bukanlah
tahap akhir dan tentu saja tidak lagi responsif terhadap dunia sekarang,
karena program dan metode sains empiris telah menjadi acuan kita dalam
bertindak dan berfikir. Tylor secara umum melihat dengan bidang keahlian
mereka masing-masing. Edward Burnett Tylor dan Geoge J. Frazer, misal-
nya, dua ahli agama serupa dengan magi, karena keduanya dibangun atas
penghubungan ide-ide secara tidak kritis (intuitif). Frazer, berbeda dengan
pandangan gurunya tersebut, karena ia lebih cenderung membedakan
antara agama dan magi. Menurutnya magi selalu berurusan dengan ma-
salah sihir, sementara agama berhubungan dengan hal-hal yang superna-
tural (dewa-dewi). Oleh karena itu, perjanalan agama menurut Frazer jauh
lebih baik daripada magi (yang hukumnya impersonal, tetap dan universal,
sementara agama tidak mempunyai jaminan apa-apa. Artinya, bila upacara
magi meminta hujan dilakukan dengan sungguh-sungguh disertai dengan
pengorbanan (ritual adat) yang tulus, hujan pun pasti turun. Sedangkan,
ketika seorang pendeta berdoa minta hujan, belum pasti hujan turun,
karena memang dasarnya hanya doa yang penuh dengan harapan
(expecting). Frazer dalam bukunya The Golden Boch menceritakan bagaimana
perjalanan (evolusi) sistem kepercayaan manusia dari primitif hingga ke
yang modern: dari magi ke kepercayaan, kemudian ke agama dan terakhir
pada sain. Jadi, Frazer seperti halnya dengan gurunya, meyakini adanya
evolusi yang terjadi dalam sistem kepercayaan umat manusia yaitu dari
primitif ke arah yang modern.
Dua ahli lainnya sedikit keberatan dengan dogmatisme Supernatural
Tylor dan Frazer tersebut yaitu Emile Durkheim dalam bukunya The
Elementary Forms of the Religious Live dan Mircea Elliade dalam bukunya The
Scred and Profane. Keduanya memandang agama sebagai sesuatu yang
sakral dan tidak semuanya berkaitan dengan prinsip supernatura yang
dapat dipertentangkan dengan natural. Sekalipun keduanya mempunyai
konsep pembahasan yang sama, namun perspektif tentang yang sakral

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 358


(scered) dan yang profan (profane) tetap berbeda. Durkheim seperti halnya
dengan Tylor, Freud dan Frazer memandang agama sebagai sesuatu yang
mempunyai fungsi (fungtionalism) dan mereduksinya melalui pandangan
agama secara luas. Sedangkan Elliade, di pihak lain, memandang agama
sebagai suatu kumpulan fenomena (phenomenalism), yang harus dibahas dan
dikaji sesuai dengan karakternya sendiri. Durkheim lebih melihat agama
sebagai sesuatu yang sakral dalam kaitannya dengan masyarakat dan
kebutuhannya, sehingga yang sakral (sacred) adalah yang sosial dan yang
profan (profane) adalah yang berkenaan dengan individu. Eliade, ternyata
tidak melihat adanya keterkaitan yang sakral dengan fenomena sosial,
melainkan lebih mengarah pada apa yang disebut oleh Tylor dan Frazer
sebagai supernatural. Pendapat Elliade tersebut sebenarnya masih merupa-
kan cerminan dari pendapat teolog berkembangsaan Jerman bernama
Rudolf Otto dalam bukunya The Idea of the Holy yang menyeja-jarkan sakral
dengan sesuatu yang misterium tremendurn et fascinans (misterius, menakut-
kan dan menawan). Dengan demikian, sesuai dengan sifatnya yang sakral
dinggap sebagai sesuatu yang numinous (roh atau wujud Ilahiyah). Baik
Elliade maupun Otto sama-sama memandang, bahwa apa yang merupakan
kebalikan dari yang sakral adalah sesuatu yang profan atau biasa-biasa
saja.
E.E. Evans Pritchard dalam bukunya The Nuer Religion (1956: 1-28)
memperlihatkan bagaimana bentuk pemahaman religi di kalangan suku
Neur di Afrika. Ia menemukan konsep dogmatis kemutlakan Kwoth Nhial
(Tuhan Absolut) berupa supernatural. Ia hidup di atas langit, tetapi ia
bukan langit. Ia menyerupai udara, tetapi ia bukan angin. Ia menyerupai
benda yang ada di mana-mana, tetapi ia tidak tampak dalam kasat mata
(abstrak). Kwoth Nhial tersebut dianggap sebagai pengendali Roh Atas
yang bersemayam di langit, seperti: Buk (perempuan), Wiu (Dewa klan),
Deng (anak Tuhan), Mani (pimpinan perang) dan CoLwi (Roh Kudus). Pritchard
juga melihat bagaimana suku Neur membagi kosmologi keduniaan mereka
ke dalam tiga tingkatan yaitu: dunia atau roh atas yang ditempati oleh
Kwoth Nhial dan Kwoth, dunia atau roh tengah ditempati oleh manusia dan
dunia atau roh bawah ditempati oleh benda atau binatang yang menjadi
totem-totem mereka.
Totem bagi beberapa suku primitif (Keesing, 1999: 259) adalah asosiasi
simbolis antara sebuah kelompok sosial (misalnya, kelompok keturunan
atau klan) dan suatu jenis burung, tanaman atau gejala alam. Dalam
bentuknya yang klasik, anggota dari kelompok soslal tersebut mempunyai
hubungan keagamaan tertentu (misalnya, larangan memakan) dengan
anggota spesies alami itu. Al-Barry (2000: 336) totem adalah sesuatu atau
bintang yang oleh bangsabangsa primitif dianggap suci yang dipertahan-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 359


kan dalam pemujaan, yang sekaligus dijadikan simbol bagi mereka, serta
dijadikan pelindung, dilayani alam berbagai cara sesuai dengan kebiasaan
dan tradisi pusat dalam berbagai hukum dan kebiasaan yang bersifat
semi agama. Koentjaraningrat (2003: 239) sistem religi yang biasanya ada
dalam masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok kekerabatan yang
unililineal dan berdasarkan keyakinan, bahwa warga kelompok-kelompok
unilimieal itu masing-masing adalah keturunan dewa-dewa nenek moyang,
yang satu dengan yang lainnya juga berhubungan kekerabatan. Aktivitas
upacara dalam sistem religi terdiri dari upacara intensifikasi untuk
mempererat kesatuan dalam kelompok unilineal masing-masing. Dalam
upacara-upacara itu dipergunakan lambang-lambang kelompok (totem)
berupa jenis binatang, tumbuhan, gejala alam, benda dan sebagainya.
Sigmund Freud yang memang dasarnya seorang ateis natural (Pals,
2001: 110) menggunakan psikoanalisisnya dalam melakukan pendekatan
terhadap religi. Freud dalam bukunya Obsesive Action and Religious Practices
mengatakan, bahwa aktifitas orang-orang religius sama halnya dengan
aktifitas orang-orang yang neurosis (sakit jiwa). Menurut Freud, bahwa ke-
dua orang tersebut sama-sama merasa bersalah, bila tidak mengikuti aturan
ritual mereka secara tidak sempurna dan menekankan pada pelaksanaan
hal-hal menurut cara upacara yang terpolakan. Dalam bukunya yang ber-
judul The Future of An Illusion. Freud dengan terang-terangan mengatakan,
bahwa ajaran agama bukanlah yang diwahyukan oleh Tuhan, bukan pula
kesimpulan legis (empiris) yang didasarkan pada bukti yang diperoleh
melalui salah satu metode ilmiah (scientific), tetapi agama adalah harapan
(expectation) umat manusia yang sangat mendesak, paling kuat dan paling
tua. Oleh karena itu, rahasia kekuatan agama seseorang terletak pada
kuatnya harapan tersebut dan bukan pada keyakinan hati semata. Jadi,
agama menurutnya hanyalah sebuah ilusi belaka. Ludwig Feurbach (1957)
dalam bukunya The Essence of Christianity merupakan sumber dan sekaligus
menguatkan pendapat Freud tersebut mengatakan, bahwa agama hanyalah
alat psikologis yang kita gunakan untuk menggantungkan harapan,
kebaikan dan ide-ide kita sendiri kepada wujud khayal supernatural yang
kita sebut Tuhan dan dalam proses itu manusia hanya mengecilkan arti
diri sendiri. C. Jung (1938 dan 1972) me-nentang keras pendapat kedua
ahli tersebut dengan mengatakan, bahwa agama mengambil sumber
gambaran dan ide yang di dalamnya secara kolektif milik bangsa manusia
dan mendapatkan ekspresi di dalam mitologi, folklore, filsafat dan sastra.
Agama bersumber dari bawah sadar kolektif dan bukan sebagai bentuk
neurosis, tetapi ia muncul sebagai ungkapan yang sehat dari kemanusiaan
yang dalam dan sejati. Jadi, menurutnya agama bukanlah sebuah keputus-
asaan yang muncul dari perasaan frustrasi. Koentjaraningrat (1990: 377-378)

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 360


berdasarkan pada pebedaan-perbedaan pendapat di atas mengatakan,
bahwa suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai
ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan (mood)86 itu di
antara para pengikutnya. Dengan demikian, emosi keagamaan merupakan
unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur lainnya, yaitu
(i) sistem keyakinan, (ii) sistem upacara keagamaan (iii) suatu umat yang
menganut religi itu. Sistem keyakinan secara khusus mengandung banyak
sub-unsur lagi, sehingga para ahli antropologi biasanya menaruh perhatian-
nya terhadap konsepsi tentang dewa-dewa yang baik maupun yang jahat,
konsepsi tentang roh-roh leluhur, konsepsi tentang dewa tertinggi dan
pencipta alam, konsepsi tentang hidup dan maut, konsepsi tentang dunia
roh dan dunia akhirat dan lain-lain. Sistem upacara keagamaan mengan-
dung empat aspek yang menjadi perhatian khusus dari para ahli antropo-
logi yaitu: (i) tempat pelaksanaan upacara keagamaan dilakukan; (ii) saat-
saat upacara keagamaan dijalankan; (iii) benda-benda dan alat upacara;
(iv) orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara.
Max Weber (Morris, 2003: 82) dalam tulisannya berjudul Economy and
Society membantah pendapat yang mengatakan, bahwa agama adalah kepu-
tusasaan dan berkaitan erat dengan unsur-unsur psikologi. Ia mengata-
kan, bahwa keyakinan pada yang supernatural adalah fakta universal yang
ditemukan dalam seluruh bentuk masyarakat awal (primitif). Perilaku atau
pemikiran keagamaan atau magis tersebut tidak bisa dilepaskan dari
rangkaian perilaku keseharian yang memiliki tujuan khusus, karena lahir
dari keagamaan dan magis. Tujuan tersebut, pada dasarnya, tidak lain
adalah tujuan ekonomi. Konsep Weber ini tercermin dalam karya spekta-
kulernya tentang etika protestan dan spirit kapitalismenya.
Max Weber (Morris, 2003: 242) menyimpulkan, bahwa manusia dalam
mencari Tuhannya yang absolut menggunakan dua cara, yaitu: melalui
agama dan melalui magi. Pencarian Tuhan melalui magi lebih banyak
melibatkan ahli nujum (Shaman), sifatnya individu, kedudukannya sangat
sakral, bersifat dogmatis dan lebih dominan. Pengertian ahli nujum tersebut
di atas setara dengan beberapa status dan peran adat yang diemban oleh
dukun kampung (sandro kampong) yang ada di Sulawesi Selatan. Di wilayah
adat Karampuang Kecamatan desa Tompo Bulu Kecamatan Bulu Poddo
Kabupaten Sinjai dikenal status ada sanro (dukun) yang harus diduduki oleh
seorang perempuan (saat ini Pang Juhe). Beliau bukan dukun beranak dan
dukun-dukun lainnya, tetapi sebagai piranti adat yang ditugasi untuk
menjaga keselamatan warga dari semua jenis penyakit yang sewaktu-waktu
dapat menimpa masyarakatnya. Status yang mirip diemban oleh pemimpin
86
Emosi keagamaan (mood) adalah getaran jiwa yang menyebabkan manusia berlaku
serba religi (Koerujararungrat, 2003: 53).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 361


adat Kajang tertinggi yaitu Ammatowa ri Kajang. Ia menduduki jabatan ini,
selain dari tiga tanggung jawab seorang Amma di Kajang, yaitu: 1)
lambusu’nuji nu Karaeng (hanya kejujuranmu yang mampu menjadikan anda
sebagai raja), 2) gettennuji nuada’ (hanya karena sikapmu yang tegas kamu
bisa duduk sebagai pemangku adat), 3) sabbara’nuji nusanro (hanya
kesabaranmu yang mampu mendudukkanmu sebagai sanro (sahaman) dan 4)
pesonanuji nuguru (hanya karena kerendahan hatimu jualah engkau bisa
dijuluki alim ulama). Kempatnya wajib dimiliki oleh seorang Amma selaku
pimpinan adat tertinggi di Kajang. Sedangkan pencarian Tuhan melalui
agama melibatkan pemuka agama (pendeta, kiyai, pastor dan sebagainya),
sifatnya kooperatif, tidak sakral, lebih otoritas dan penuh dengan etika
keagamaan.
Sangat mencengangkan bila seseorang bertanya kepada kita mengapa,
di semua atau hampir semua waktu dan tempat manusia menciptakan dunia entitas
dan kekuatan yang tidak kelihatan Untuk menjawab pertanyaan ini Keesing
(1992: 93-94) mengatakan, bahwa agama itu: 1) memberi keterangan kepada,
baik kepada penganutnya maupun kepada penganut agama lainnya. Agama
dalam hal ini berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan eksisten-
sial, seperti: bagaimana asal-mula dunia, bagaimana hubungan antara ma-
nusia dengan spesies lain, serta kekuatan alam lainnya, mengapa manusia
mati dan mengapa usaha manusia bisa sukses atau gagal. 2) Agama
memberi pengesahan kepada semua bentuk aturan dan dalil yang berlaku di
dalam agama itu sendiri. Hal ini berarti, bahwa agama menerima adanya
kekuatan-kekuatan di dalam alam semesta yang mengendalikan dan
menopang tata susila dan tata sosial masyarakat. Leluhur, roh, atau dewa-
dewa memperkuat peraturan-peraturan dan memberi pengesahan, serta arti
kepada perbuatan manusia. Dengan mengeramatkan (sacred) semua aturan
yang ada, serta hubungan-hubungan yang diciptakan manusia, dengan
memberinya suasana kemutlakan (absolute) dan keabadian (eternity), agama
menempatkan diri sebagai sesuatu yang tidak dapat ditentang (dogma), 3)
menambah kemampuan manusia (skill of society) untuk menghadapi kelemahan
kehidupan dan kematiannya, termasuk di dalamnya berupa penyakit,
kelaparan, banjir dan kegagalan dalam berbagai usaha yang dilakukannya.
Dengan memberi dukungan psikologis pada saat terjadinya tragedi,
kecemasan dan krisis, agama diyakini memberi kepastian dan arti bagi
manusia di dunia yang naturalistis penuh dengan hal-hal yang tidak dapat
diramalkan, berubah-ubah, kejadian yang tragis. Oleh karena itu, Kluck-
honn (1942) melihat agama sebagai sesuatu yang mampu menambah inten-
sitas pengalaman bersama, intensitas pergaulan sosial.
Clifford Geertz (1966: 4) merumuskan sebuah definisi agama dan pe-
ranannya secara jitu dalam kehidupan umat manusia di atas bumi ini.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 362


Agama adalah sistem simbol yang berfungsi untuk menanamkan semangat
dan motivasi yang kuat, mendalam bertahan lama pada manusia dengan
menciptakan konsepsi-konsepsi yang bersifat umum tentang eksistensi dan
membungkus konsepsi-konsepsi itu sedemikian rupa dalam suasana
faktualitas, sehingga suasana (mood) dan motivasi (lnotivation) itu kelihatan
sangat realistis. Dengan kata lain, agama itu menentukan keadaan
(situation) dunia sedemikian rupa, sehingga dapat menimbulkan sikap
(attitutes) yang tepat terhadapnya; perasaan, sikap, perbuatan hidup di
dalamnya. Baik sifat dunia maupun emosi (relgious emotion), serta motif
manusia saling menegakkan dan memperkuat. Sifat mendua inilah, yang
menciptakan dua model dalam pendekatan agama, yaitu: model dari dan
model untuk, yang membuat agama begitu sentral dalam pengalaman
manusia. Cara agama mengatur dan mengarahkan pandangan tentang
dunia menopang suatu sikap terhadap kehidupan.
Seperti halnya dengan beberapa topik dalam pembahasan antropologi
pada umumnya, antropologi agama (anthropology of religion) tidak memiliki
definisi yang pasti dan berlaku universal yang berkenaan dengan topic
sentral tentang kasus fenomena agama (Smith, 1990: 242-245). Kita dapat
mendefinisikan dengan agama menggunakan nilai rasa (intuitive), bahwa
perilaku sebaiknya dianggap sebagai religius. Hal ini tentu saja sangat sulit
diterima di dalam ilmu budaya, yang selalu berusaha untuk melakukan
sesuatu dengan mengunakan prinsip-prinsip ilmiah melalui penggunaan
pemikiran empirisnya.
Sebagai suatu bentuk definisi substantif dari agama yang dikutip
dalam buku ini mengacu kembali pada definisi Tylor (1871), yang
mendefinisikan agama (religion) sebagai kepercayaan dalam berrtuk
spiritual. Meskipun demikian definisi seperti ini masih memuncul pertanya-
an lain, karena belum jelas apakah sebuah fenomena dianggap spiritual
atau alamiah sifatnya dan apakah keputusan seperti ini bersumber dari
peneliti atau dari dalam diri penganut agama tersebut. Banyak ahli budaya
kontemporer yang tidak menerima, bahwa kepercayaan spiritual atau
yang supernatural secara substantif berbeda dengan fenomena alam.
Ahli budaya lain berusaha memberikan definisi fungsional tentang
agama, dengan tanda petik apa agama itu, merupakan pandang yang men-
dapat pengaruh dari teori Durkheim tentang fungsi sosial (sociological
functions) terhadap kepercayaan religius (religious beliefs) dan tindakan religius
(religious action). Pengembangan teori Durkheim selanjutnya memberi pan-
dangan untuk mengisolasi simbol pembeda agama secara khsusu yang
membedakan yang sakral (scred) dari yang tidak sakral atau profan (pro-
fane).
Abad ke-19 merupakan fase dimana studi-studi komparatif tentang

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 363


agama mulai bermunculan, yang umumnya berfokus pada pertanyaan
bentuk dan evolusi agama, yang memperdebatkan permasalahan agama
sebelumnya dan agama yang muncul kemudian sebagai pengembangan
dari yang sudah ada. Tylor, misalnya, yang mengajukan istilah animisme
(animism) sebagai salah satu bentuk agama yang paling awal dalam sejarah
kehidupan menusia. Tylor beranggapan, bahwa hal itu telah berkembang
menjadi pengalaman-pengalaman dari manusia terdahulu yang refleksi ke
dalam keadaan tidur, bangun, bermimpi, meninggal dan seterusnya, yang
memunculkan kepercayaan, bahwa dalam tubuh manusia terdapat jiwa
(soul) yang terpisah dari badan manusia, bukan menyatu. Tylor yakin,
bahwa bentuk agama pertama ini kemudian mengalami perkembangan
menjadi pemujaan kepada leluhur (ancestor worship) kemudian menjadi poli-
teisme (polytheism) dan akhirnya menjadi monoteisme (monotheism).
Frazer (1980) yang mengikuti pemikiran rasionalis Tylor tentang faham
originalitas agama (origins of religion) dalam pemahamannya juga mengatakan,
bahwa agama berakar pada usaha manusia masa lampau untuk membuat
pemahaman atau menjelaskan pengalaman mereka tentang lingkungan-
nya dan perjalanan hidupnya, berusaha mengajukan beberapa jenis tipo-
logi. Ia berargumentasi, bahwa ada tiga tingkatan dari perkembangan intele-
gensi dalam kebudayaan manusia, yaitu: magi (magic), religi (religion) dan
ilmu pengetahun (science). Setiap tingkatan dibentuk oleh berbagai teori
kausalitas dan bagaimana manusia mampu menggunakan dan menyele-
saikan sebuah kejadian.
Kebalikan dari teori rasionalisasi agama seperti ini juga terdapat teori
lain yang menitikberatkan non-rasionalisasi atau fungsifungsi dari keper-
cayaan agama. Marret (1900) mengatakan, bahwa sumber dari agama dapat
ditemukan di dalam animatisme yaitu sebuah kepercayaan tentang penye-
baran kekuatan impersonal (impersonal power) yang berasal dari kekaguman
manusia terhadap gejala alam. Freud (1913), di pihak lain, mengembang-
kan teori agama yang dihubungkan dengan teori psiko-dinamiknya
mengatakan, bahwa kepercayaan merupakan proyeksi dari tekanan jiwa
(psychic tensions), konflik (conflict) dan kompleksitas (complecity) kejiwaan. Jadi,
dewa (deity) dan roh (spirit) merupakan kumpulan fantasi yang secara
umum diinterpretasikan sebagai figur bapak (tuhan) yang mengakibatkan
timbulnya rasa ambivalensi, sehingga agama dapat dianggap sebagai salah
satu kumpulan orang yang menderita neurosis87. Meskipun demikian,
87
Neurosis (Koentjararungrat, 2003: 157) adalah penyakit syaraf yang berhubungan
dengan faalnya (fungsinya organik pada bagian-bagian syaraf manusia. Neurosis
adalah kelas gangguan mental fungsional yang melibatkan gangguan kronis, tetapi
bukan delusi atau halusinasi. Istilah ini tidak lagi digunakan oleh komunitas psikiatri
profesional di Amerika Serikat sejak tahun 1980.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 364


Durkheim melihat agama sebagai sebuah kreasi sosial yang menimbulkan
dan memperkuat solidaritas, sehingga kepercayaan merupakan sebuah
metafora pemahaman untuk masyarakat itu sendiri dan sifat sakral dari
kewajiban sosial (social obligations) dan kohesi sosial (social choesion). Ia
mengusulkan toteisme sebagai bentuk awal dari semua agama dan menolak
kriteria Tylor tentang agama sebagai spiritual dalam berbagai kriteria dari
yang sakral sebagai definisi dari karakter agama. Aspek fungsional inilah
yang dikembangkan oleh Durkheim dalam karyanya, yang berhubungan
dengan antropologi sosial di Inggris dan dalam pandangan strukturalis
fungsionalisnya tentang agama yang merupakan sebuah refleksi dari
struktur sosial (social structure). Meskipun demikian, di Prancis struktura-
lisme dan ranah-ranah di dalam antropologi simbolik merupakan aspek lain
dari karya Durkheim, yang perhatiannya terfokus pada dimensi simbolik
dari agama dan pembedaan antara yang sakral (sacred) dan yang profan
(profane).
Teori pokok lainnya tentang agama yang dipengaruhi oleh antro-
pologi kontemporer adalah teori yang diendus oleh Karl Marx, yang me-
mandang agama sebagai produk idiologi klas dominan, yang digunakan
untuk menjustifikasi dan melanggengkan dominasinya, bersamaan untuk
menetralisir serta dalam waktu potensi revolusi dari yang para oposannya
dengan mengganti liberalisasi sesunggunya dengan liberalisasi palsu yang
ada di dunia lain. Jadi, ketika Emile Durkheim memandang agama se-
bagai suatu kebenaran dan memiliki fungsi positif yang terpancar dari
struktur sosial, Marx di pihak lain, menganggap agama sebagai sebuah
ubahan (distorted) atau refleksi ideologis yang diciptakan melalui interes-
interes kelas sosial yang ada.
Perdebatan teori-teori antropologi agama abad ke-19 ini masih terus
mendengung hingga saat ini. Banyak antropolog modern masih mengikuti
definisi Tylor tentang agama dalam konsep kepercayaan spritual (belief in
spiritual beings). Sapiro (1966) selain diperhadapkan pada kesulitan dalam
mendefinisian spiritual (superhuman being) juga eksistensi dari agama itu
sendiri yang --- beberapa bentuk filosofi pengukut Budha yang ateis ---
menyimpulkan, bahwa definisi agama yang paling bagus adalah sebuah
institusi yang berisi pola interaksi budaya dengan postulat superhuman
being. Salah seorang teoretis modern dalam antropologi agama adalah
Geertz (1966) yang mendefinisikan agama sebagai sebuah sistem simbol
yang berfungi untuk membangun kekuatan, yang meresap kedalam suasana
hati yang paling dalam dan memotivasi manusia membentuk formulasi
konsepsi dari sebuah eksistensi aturan yang berlaku umum lalu konsepsi ini
dibungkus ke dalam lingkaran cahaya (aura) faktualitas, dimana suasana
hati (mood) dan motivasi (motivation) menjadi realistik. Geertz kelihatannya

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 365


mencampuradukkan beberapa ciri teori yang telah ada sebelumnya, yang
dalam realitasnya semuanya mengacu pada aspek fenomena keagamaan,
namun tidak seorang pun yang cukup mandiri untuk menggambarkan dan
mendefinisikan kekompleksan ini secara total. Geertz setuju dengan Weber
(1958), bahwa agama dapat menyederhanakan hakikat permasalahan atau
pemahaman (verstehen), serta permasalahan takdir yang buruk dan tawakkal
dengan menghubungkannya pada kerangka kerja yang luas, yang tergan-
tung pada penerimaan atau menolak autoritas yang ada. Agama berbeda
dengan pemahaman biasa (common sense), karena bergerak di luar realitas
keseharian atau realitas yang naif (naïve realism), baik dalam analisis mau-
pun terminologi keilmuan, akan tetapi berada dalam istilah perlawanan dan
otoritas. Dalam upacara keagamaan (ritual) perpaduan antara keseharian
dan realitas yang sakral dipertunjukkan dan disahkan.
Penekanan agama sebagai sebuah respon terhadap fakta kejahatan
(suffering) dan penekanan (stress) juga menjadi penting dalam karya
Malinowski (1948) yang mengusulkan, bahwa agama, magis dan upacara
memberikan mekanisme sosiopsikologi (socio-psychological mechanisms) yang
dikopi melalui ritual dan spiritual secara terbuka menjauhkan kecemasan.
Malinowski menekankan, bahwa agama ritual dan mitos (myth) semuanya
diperlukan untuk menjelaskan dan menjustifikasi keteraturan sesuatu yang
ada dan bertindak selaku katup pengaman dari munculnya kecemasan,
serta semua problem yang tak terselesaikan. Teori agama dan pemikiran
mitos Levi-Strauss (1969) merupakan hasil pemikiran yang berlaku umum
karena ia membuat postulasi (anggapan sementara), bahwa pemikiran
simbolik dan mitos merupakan sebuah proses yang bekerja secara konstanta
dan mengunakan kembali dasar-dasar filsafat, ekstensial, serta kontradiksi
sosial dan pertentangan sosial.
Ketertarikan dalam evolosi agama dan studi perbandingan sistem
agama dalam berbagai masyarakat juga merupakan salah satu yang tetap
dilakukan di era antropologi modern, melalui skema evulosi yang agak
simpel, seperti yang lazim dilakukan dalam antropologi abad-19. Beberapa
bentuk generalisasi hubungan antara agama dan sistem sosial terangkat dari
situasi perbandingan agama. G. Obeyesekere (1981) menunjukkan, bahwa
pengetisan (ethicization) merupakan ciri pembeda evolusi agama yang paling
umum. Agama kuno (preliterate religion) umumnya dengan tanpa etika
(ethics) dalam pandangan, bahwa mereka tidak memiliki konsep yang
sistematis tentang dosa (sin), pahala (merit) dan moralitas (morality). Dalam
agama pada tradisi maju (literate religion) lebih banyak mengembangkan ide
etika keagamaan dengan cara menghubungkannya dengan sebuah keperca-
yaan, bahwa agama mungkin dapat memberi berkah agama (religious
salvation). Berkah agama dalam Kristen atau Islam mengharapkan, agar

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 366


dijauhkan dari takdir buruk, serta ketentuan Allah yang telah memberikan
kemurkaan kepadanya, serta memohon doa untuk menghilangkan per-
soalannya melalui pengampunan atau berkah (salvation). Berkah merupakan
ritual peralihan (rite of the passages) yang membawa individu ke status akhir
di luar takdir buruk. Agama kuno, tetapi tidak selamanya demikian, me-
ninggalkan konsep berkah (salvation) ini ide dunia lain dalam agama seperti
ini merupakan sebuah aturan, baik yang gaib maupun yang tidak nampak
atau yang ada dimana-mana, ataukah merupakan aspek tansformasi dari
sutruktur sosial sehari-hari tanpa ide tentang penghapusan kemurkaan.
Seperti halnya dengan reinkarnasi (reincernations) yaitu suatu kepercayaan
agama kuno yang umumnya tidak dikaitkan dengan ide etika, tetapi lebih
mengarah pada reinkarnasi dari leluhur atau peredaran kembali roh
(recycling of souls), jiwa (names) dan seterusnya. Dalam paham etika rein-
karnasi seperti Hindu dan Budha, terdapat variasi muatan nilai reinkernasi
yang tergantung pada pertimbangan etika atau moral. Jenis lain dari agama
yang penuh berkah untuk hari akhirat yaitu: salah satunya memanjatkan
doa (sinner) dan yang satunya lagi meminta keselamatan (saved), seperti
yang dilakukan oleh umat Kristen.
Antropologi agama telah menaruh sebagian perhatiannya, tidak hanya
pada kostanta evolusi antara tradisi agama modern dan agama purba
(literate dan preliterate religion), tetapi juga terhadap apa yang diistilahkan
dialektika dan praktisi agama (dialectic of practical religion). Dikatakan
sebagai hubungan dialektika yang membedakan antara agama maju (literate
reliligion) dan agama samawi, serta praktik lokal filosofi keagamaan atau
doktrinasi dan praktik keagamaan yang berbentuk konstanta melalui
hubungan sosial antara ahli agama, pendeta dan pengikut agama. Pengikut
awam sebuah agama akan diperhadapkan pada seperangkat kontradiksi
antara aturan agama, yaitu: peraktek lokal, serta kebutuhan dan tuntutan di
luar agama. Sebagai contoh, seorang biarawan Budha dianggap ideal dan
suci, sehingga diharapkan menjadi model ideal para kaum laki-laki, akan
tetapi dalam praktiknya hal itu tidak akan pernah bisa dicapai oleh orang
lain. Dalam realitasnya orang khusus dan biarawan memasuki beberapa
bentuk transaksi, dimana seorang awam mungkin mendapatkan beberapa
pahala (merit) sebagai balasan dari perbuatannya, yang kadang-kadang
berbentuk prilaku khusus dalam gaya hidup sehari-harinya (alim atau
diangap sud). Studi lain dalam ruang lingkup yang sama ini memperlihat-
kan bagaimana agama samawi diadopsi ke dalam level lokal untuk
mengekspresikan ciri pembeda organisasi sosial dan loyalitas lokal, serta
pertentangan organisasi dengan ritual, pemuja dan peziarah (naik haji).
Tidak ada kesepakatan umum tentang tipologi agama, sehingga kadang-
kadang tidak seorangpun yang mampu menghindari hadirnya tipe tipologi

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 367


campuran. Seseorang yang pada umumnya menerima tipologi agama,
cenderung membaginya kedalam dua kelas utama, tergantung pada jenis
keahlian agama yang dimiliki: ahli agama (shaman) atau pendeta (priester).
Penulis seperti Eston La Btarre (1970) yang telah melakukan studi berharga
terhadap kaum samanis mengklaim, bahwa para samanis atau orang yang
berpengalaman langsung dalam pertapaannya (agama yang orsinil)
pengalaman langsung tersebut menjadi institusi sepanjang saat dalam
karakter khutbah-khutbah keagamaan yang lebih menguntungkan dan
memuaskan masyarakat.
Beberapa dekade terakhir, pembahasan tentang hubungan antara
agama (religy) dengan kebudayaan (culture) berkembang pesat, seperti
berikut ini:
2. Agama dalam Kehidupan Sosial
Masalah-masalah yang mungkin dapat diperhatikan dalam beberapa
studi ilmu budaya dan agama adalah masalah-masalah yang berkaitan
dengan usaha manusia untuk menguasai sumber daya alam. Hal ini sangat
erat kaitannya dengan penggunaan simbol-simbol agama yang terwujud
dalam kehidupan sosial yang nyata. Adapun masalah-masalah tersebut
adalah sebagai berikut: 1) Etnosentrisme or chauvinisme, 2) Peranan upacara
dalam kehidupan sosial manusia dan bagi integrasi kebudayaan itu sendiri,
3) Manipulasi simbol-simbol agama dalam kehldupan sosial manusia 4)
Konflik dan Integrasi diantara sesama umat dalam satu masyarakat, 5)
Perubahan alam pengaktifan ajaran agama, karena perubahan dalam
lingkungan sosial dan fisik yang dihadapi 6) Perubahan-perubahan dalam
ajaran agama dan perubahan-perubahan dalam struktur agama itu sendiri
karena perubahan kebudayaannya. Masalah-masalah tersebut diatas adalah
sebagian dari tema-tema yang biasanya menjadi perhatian dari para ahli
anropologi agama dalam studi-studi mereka mengenai agama.
3. Agama sebagai Sistem Kebudayaan
Karya-karya Gifford Geertz mengenai agama, kebudayaan upara
memperlihatkan suatu perspektif tersendiri dengan pengkajian antropologi
kognitif dan simbolik. Bagi Grertz, agama merupakan bagian dari suatu
sistem kebudayaan yang lebih meresap dan menyebar luas. Bersamaan
dengan itu kedudukan agama berada dalam suatu hubungan untuk men-
ciptakan, serta mengembangkan kateraturan kebudayaan. Oleh karena itu,
agama juga mencerminkan keteraturan tersebut, seperti dikatakan oleh
Geertz (1973: 90).
Agama adalah suatu sistem simbol yang bertindak untuk memantap-
kan perasaan-perasaan (moods) dan motivasi-motivasi secara kuat, menye-
luruh bertahan lama pada diri manusia dengan cara memformulasikan
konsepsi-konsepsi mengenai hukum keteraturan (order) dan menyelimuti

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 368


konsepsi-konsepsi tersebut dengan suatu aura tertentu yang mencerminkan
kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut
tampaknya secara tersendiri (funik) adalah nyata ada. Walaupun pamikiran
agama dikatakannya sebagai tidak semata-mata menstrukturkan
kebudayaan, tetapi agama juga dilihat sebagai pedoman bagi ketepatan dari
kabudayaan yaitu suatu bentuk pedoman yang ber-operasi melalui sistem-
sistem simbol pada tingkat emosional, kognitif, subjektif individual.
Menurut Geertz (1973: 89) kebudayaan adalah pola dari pengertian-
pengertian atau makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-
simbol yang ditransmisikan secara historis, suatu sistem mengenai konsepsi-
konsepsi yang diwariskan dalam bentuk-bentuk simbolik, yang dengan cara
tersebut manusia berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan
pengetahuan dan sikap mereka terhadap kehidupan. Begitu pentingnya
bentuk simbolik, hal tersebut selalu diulang-ulang dalam setiap tulisan
Geertz. Simbol-simbol menurut Geertz adalah garis-garis penghubung
antara pemikiran manusia dengan kenyataan yang ada di luar. Dengan
demikian, pemikiran harus selalu berhubungan atau berhadapan dengan
manusia sebagai suatu sistem lalu lintas dalam bentuk simbol-simbol yang
signifikan (1973: 362). Dengan demikian, sumber dari simbol-simbol pada
hakekatnya ada dua, yaitu: (1) yang berasal dari kenyataan luar yang
terwujud sebagai kenyataan-kenyataan sosial dan ekonomi (2) yang berasal
dari dalam dan yang terwujud melalui konsepsi-konsepsi dan struktur-
struktur sosial. Dalam hal ini simbol-simbol menjadi dasar bagi perwujudan
model dari dan model untuk dari sistem-sistem konsep dalam suatu cara
yang sama dengan bagaimana agama mencerminkan dan mewujudkan
bentuk-bentuk sistem sosial. Dengan demikian, sistem kebudayaan dan
sistem konsepsi dilihat sebagai mempunyai persamaan struktur-struktur
yang dinamik. Begitu pula kebudayaan dan agama mempunyai persamaan
dalam asal muasal yaitu dalam bentuk-bentuk simbolik. Peranan dari
upacara (ritual) menurut Geertz adalah untuk memparsatukan dua sistem
yang paralel dan berbeda tingkat hierarkinya. Hal ini bisa dilakukan dengan
cara menempatkannya pada hubungan-hubungan formatif dan reflektif
antara yang satu dengan yang lainnya. Bentuk-bentuk kesenian dan upacara
keagamaan, adalah sama keadaannya dengan perwujudan-perwujudan
simbolik lainnya, yaitu mendorong untuk menghasilkan secara berulang
dan terus menerus mengenai hal-hal yang sangat subjektif dan yang secara
buatan dan polesan dipamerkan (1973: 451).
Dengan demikian, menurut Geertz (1973; 452) kebudayaan adalah
seperangkat teks-teks simbolik, kesanggupan manusia untuk membaca teks-
teks tersebut dipedomani oleh struktur-struktur upacara yang bersifat
metafora, kognitif dan penuh dengan muatan emosi dan perasaan. Agama

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 369


dan upacara adalah dua satuan yang secara bersaman merupakan sumber
dan model kateraturan sosial (social order).
Secara keseluruhan terdapat suatu kesan, bahwa model dari Geertz
tersebut melingkar dan selalu berulang. Tampaknya hal ini disebabkan oleh
(1) bahwa pambahasan mengenai masalah tersebut memang seharusnya
dilakukan demikian. Sistem sosial adalah aliran bersama yang terdiri atas
dua arus atau lebih yang masing-masing menciptakan integrasi-integrasi
yang bersifat sebagian atau mencakup hanya bidang-bidang tertentu saja,
yang secara keseluruhan terdiri atas: a) bagian-bagian yang terlepas satu
sama lainnya b) bagian-bagian yang saling berkaitan serta tergantung satu
sama lainnya (1973: 408). Kesemuanya itu tidak harus berada dalam suatu
keadaan yang secara menyeluruh dan saling berkaitan satu sama lainnya
menjadi sistem-sistem (1973: 407) (2), bahwa model-model dari Geertz
bersifat fleksibel, ilusif jauh dari sistem yang terstruktur secara kaku.
Menurut Geertz, ide-ide mampu memberikan informasi pada hubungan-
hubungan politik, ekonomi sosial diantara kelompok-kelompok dan
individu-individu yaitu struktur sosial (1973: 362).
Walaupun Geertz bukanlah seorang strukturalis dalam arti yang
sesungguhnya dari pengertian tersebut, tetapi banyak ide-idenya tergolong
sebagai strukturalis. Sesungguhnya karya Geertz memang sangat besar
artinya sebagai pegangan untuk orientasi mengenai hakikat hubungan-
hubungan yang bersifat umum dan mendasar. Penting juga dijelaskan di
sini, bahwa sunbangan pikiran Geertz berupa pendekatan emosional
mempunyai fleksibitas besar dalam hal informasi dan konsep teoretis,
sehingga lebih banyak menghasilkan rumusan bila dibandingkan dengan
yang telah dicapai oleh para strukturalis lainnya. Akhirnya dapat pula
dikatakan, bahwa penggunaan dari tujuan-tujuan emosi dan kognitif
(Geertz. 1973: 449) juga merupakan salah satu ciri-ciri sosial yang ada dalam
upacara yang ditunjukkan.

REFERENSI

Abu Hamid. 1981. Kebudayaan, Masyarakat, dan Agama: Agama Sebagai


sasaran Penelitian Antropologi. Makalah disampaikan pada kuliah bagi
para perserta Pusat Latihan Penelitian Agama, Dep. Agama RI tanggaL
14 September. Jakarta : IAIN (sekarang UIN).
Achmad S. Ruky,2001. Sistem Manajemen Kinerja. Jakrata: Gramedia.
Ahimsa-Putra HS, 1994 Antropologi Ekologi: Beberapa Teori dan Perkembangan-
nya dalam Masyarakat Indonesia Maret 1994 Jilid XX Nomor 4.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 370


Al-Barry, Yacub, Dahlan, M.. 2000. Kamus Sosiologi dan Antropologi.
Surabaya: Indah.
Balee, William. 1996. Personal Communication (Lectures for "Ecological
Anthropology").
Barfield, Thomas. 1997. The Dictionary of Anthropology. Oxford: Blackwell.
Bonner, H.. 1959. Social Psychology, American Book Company. 1959
Charlotte, Seymour-Smith. 1986. Dictionary of Anthropology. Boston: G. K.
Hall and Company.
Chisholm, Hugh, ed. (1911). Clan: Encyclopædia Britannica (11th ed.).
Cambridge University Press.
Devito, Joseph. 1997. Komunikasi Antarmanusia. Professional Books:
Jakarta.
Dineen, Patrick S. (1927). Foclóir Gaeďilge agus Béarla an Irish-English
Dictionary. Dublin and Cork, Ireland: The Educational Company of
Ireland.
Dónaill, Niall. 1992. Foclóir Gaeilge–Béarla. Dublin, Ireland: An Gúm.
Douglas Mary. 1966. Purity and Danger: An Analysis of Concept of Pupulation
and Taboo. London : Rotledge & Kegal Paul.
Evans-Pritchard, E.E. 1956. Nuer Religion. Oxford: Oxford University Press.
______. 1940b. The Nuer of the Southern Sudan. In M. Fortes and E. E. Evans-
Pritchard, eds., African Political Systems. Oxford, U.K.: Oxford
University Press.
Freud, Sigmund. 1913. Totem and Taboo. London: MacMillan.
Feurbach Ludwig. 1957. The Essence of Christianity (translated by Geprge Eliot),
New York: Harper.
______. 1969a [1949]. The Elementary Structures of Kinship (revised edition,
translated by James Harle Bell, John Richard von Sturmer, and Rodney
Needham). Boston: Beacon Press.
______. 1969b [1962]. Totemism. Harmondsworth: Penguin Books.
Frazer J. 1990. Toremisme and Exogamy. A. Treatis on Certain Ealrly Forms of
Supertition and Society. London: MacMillan.
______. 1940a. The Nuer. Oxford, U.K.: Oxford University Press.
Geertz, Clifford. 1992a. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius.
_______.1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.
______. 1973. The Interpretation of Cultures (1973), Basic Books. 2000
paperback:
______. 1966. Religion as a Cultural System. In Anthropological Approaches to
the Study of Religion. Ed. Michael Banton. pp. 1–46. ASA
Monographs, 3. London: Tavistock Publications.
Gibson, Ivanchevic, Donnely. 1996. Organisasi Perilaku, Struktur dan
Proses. Jakarta: Binarupa Aksara.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 371


Homans, George Caspar, and Charles P. Curtis, Jr. 1934. An Introduction to
Pareto, His Sociology. New York: Knopf.
Horton, Paul B., dan Chester L. Hunt. 1993. Sosiologi, Jilid 1 Edisi Keenam,
(Alih Bahasa: Aminuddin Ram, Tita Sobari). Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Jung C. G.. 1938. Psychology and Religion. New Haven: Yale University Press.
Keesing, M. Roger. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer.
Jilid I dan II. Jakarta: Erlangga.
Kluckhohn, C. 1942. Myth and Rituals: An General Theory. United States of
America: Havard Theological Reviews.
Koentjaraningrat, 1972. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta Rineka Cipta.
_______. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
_______. dkk., 2003. Kamus Istilah Antropologi. Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional.
Malinowski, B. 1948. Magic, Sciensce and Religion. Boston: Boacon Press
Mayor, Polak J.B.A.F. 1979. Sosiologi Suatu Buku Pengantar Ringkas. PT.
Ikhtiar Baru. Jakarta.
McGuire B. Meredith. 1992. Relegion: The Soscial Context. Belmont, Califrnia:
Wadsworth Inc.
Merton. 2011. Total Population: A Vision of Britain Through Time. Great Britain
Historical GIS Project. Retrieved 6 September 2011.
Moran, Emilio F. 1979. Human Adaptability: An Introduction to Ecological
Anthropology. Boulder, Colorado: Westview Press.
Muzafer Sherif. 1966. Goroup Conflict and Co-operation: Their Social Psychology,
London: Routledge & Kegan Paul Limited.
Netting, Robert McM. 1977. Cultural Ecology. Reading, Massachusetts:
Cummings Publishing Company.
Obeyeskere G. 1981. Medusa's Hair. Chicago: The University of Chicago
Press.
Pals L. Daniel. 2001. Seven Theory of Relgion: Dari Animisme E. B. Tylor,
Materialisme Karl Marx Hingga Antropology Budaya Geerzt.
Yogyakarta : Qalam.
Roucek, Joseph S. dan Roland L. Warren. 1963. Sociology An Introduction.
New Jersey: Littlefield.
Sapiro M. E (1966) Religion: Problems of Defintion and Explanation, in Banton,
ed. Nathropological Approaches to the Study oj Religion. London
Stogdill, Ralph M. 1959. Individual Behavior and Group Achievement: A Theory:
The Experimental Evidence.
Tania Murray Li (ed), 1999, Transforming The Indonesian Uplands: 
Marginality, Power and Production. Kanada: Harwood Academic
Publishers.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 372


Tonnies, Ferdinand. 1955. Community and Association, London: Routledge
and Kegan Paul
Tylor, E.B. 1958 [1871]. Primitive Culture. New York: Harper Torchbooks.
Wila, Huky D.A. 1982. Pengantar Sosiologi. Usaha Nasional. Surabaya.

BAB VI
TOKOH DAN TEORI DALAM ILMU BUDAYA

A. Teori Evolusi Unilinial


1. Herbert Spencer
Herbert Spencer lahir di Derby pada tanggal 27 April 1820 dan
meninggal di Brighton tanggal 8 Desember 1903, pada umur 83
tahun. Ia adalah seorang filsuf Inggris dan seorang pemikir
teori liberal klasik terkemuka. Meskipun kebanyakan karya
yang ditulisnya berisi tentang teori politik dan menekankan
pada keuntungan akan liberalisme, dia lebih dikenal sebagai
bapak Darwinisme sosial. Spencer seringkali menganalisis masyarakat se-
bagai sistem evolusi, ia juga menjelaskan definisi tentang hukum rimba dalam
ilmu sosial. Dia berkontribusi dalam berbagai macam subyek, ter-masuk

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 373


etnis, metafisika, agama, politik, retorik, biologi dan psikologi. Spencer saat
ini dikritik sebagai contoh yang kurang sempurna untuk scientism atau
paham ilmiah, sementara banyak orang yang kagum kepada-nya di saat ia
masih hidup.
Menurutnya, objek sosiologi yang pokok adalah keluarga, politik,
agama, pengendalian sosial dan industri. Termasuk pula asosiasi, masya-
rakat setempat, pembagian kerja, pelapisan sosial, sosiologi pengetahuan
dan ilmu pengetahuan, serta kajian terhadap kesenian dan keindahan. Pada
tahun 1879 ia mengetengahkan sebuah teori tentang Evolusi Sosial yang
hingga kini masih dianut walaupun di sana-sini ada perubahan. Ia juga
menerapkan secara analog (kesamaan fungsi) dengan teori evolusi karya
Charles Darwin (yang mengatakan, bahwa manusia berasal dari kera)
terhadap masyarakat manusia. Ia yakin, bahwa masyarakat mengalami
evolusi dari masyarakat primitif ke masyarakat industri. Herbert Spencer
memperkenalkan pendekatan analogi organik, yang memahami masyarakat
seperti tubuh manusia, sebagai suatu organisasi yang terdiri atas bagian-
bagian yang tergantung satu sama lain.
Filsafat merupakan sebuah ilmu pegetahuan yang berkaitan dengan
pemikiran dan hasil pemikiran, yang selanjutnya dispesifikasikan menjadi
berbagai cabang. Berbicara pemikiran, tentu saja dalam mempelajari filsafat
juga diartikan mempelajari para tokoh–tokoh pemikir filsafat, yang
kemudian disebut sebagai filsuf. Hal ini penting dilakukan, agar pengetahu-
an yang didapat dalam mempelajari filsafat dapat berjalan maksimal.
Ada berbagai cabang ilmu filsafat: filsafat pendidikan, filsafat sosial,
filsafat politik, filsafat seni dan lain sebagainya. Dalam setiap perkembangan
ilmu dalam filsafat, tidak akan terlepas pada sumbangan pemikiran dari
para tokoh filsafat, misalnya, di bidang sosiologi yang akan mempelajari
masayarakat yang disebut dengan manusia. Salah satu pemikir yang banyak
membahas mengenai teori itu adalah Herbert Spencer yaitu tokoh funda-
mental yang lahir di masa Victorian. Perannya di bidang sosiologi, bahkan
juga evolusi memiliki pemikiran–pemikiran yang tajam dan mendetail.
Untuk itu seorang ilmuan yang kerap disapa Spencer ini menarik untuk
dipelajari.
Herbert Spencer adalah seorang tokoh filsuf sosiologi, evolusi, antro-
pologi, psikologi bahkan juga politik yang mendunia pada masanya. Hingga
sekarang pun namanya masih sering disebut–sebut dalam buku panduan
refernsi dalam bidang biologi, sosiologi dan psikologi.
Seorang laki-laki yang tidak pernah duduk dibangku sekolah ini,
mengenyam pendidikan dari ayahnya, yang selanjutnya diteruskan oleh
pamannya. Di usia 17 tahun, pria yang kerap dipanggil Spencer ini sudah
menjadi insinyur di pembanguan jalan kereta api. Ketertarikannya pada

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 374


biologi muncul dari pekerjaannya di Birmingham sebagai insyinyur jalan
kereta api. Hal inilah yang selanjutnya menarik perhatiannya di bidang
evolusi, yaitu ketika ia memulai meriksa pada fosil yang diambil dari
serpihan-serpihan dari land clearing proyek pembangunan jalan atau rel
kereta api.
Ia adalah seorang filsuf sosial Inggris yang pernah dekat dengan
Marian Evans ini melanjutkan karirnya di bidang jurnalistik menjadi penulis
dan redaktur The Economist. Sebuah tabloid mingguan keuangan yang
penting pada saat itu untuk kelas menengah ke atas di tahun 1850 . Pada
tahun yang sama, ia juga menerbitkan bukunya The Social Static. Buku ini
banyak membahas tentang filsafat politik, meski juga menyinggung per-
soalan evolusi.
Tahun 1852, ia menerbitkan sebuah artikel The Development of
Hypothesis. Ia pun pernah bergerak di bidang pemerintahan, salah satunya
dia berperan sebagai mediator.
Tahun 1855, ia bergerak di bidang psikologi dan evolusi, kemudian
pikiran–pikirannya tertuang dalam The Principle of Psychology edisi pertama.
Tahun selanjutnya 1858, Spencer memiliki minat di sosiologi. Dia menyusun
gagasan survei di bidang biologi, psikologi, sosiologi dan etika dari sudut
pandang evolusi.
Kemudian pada tahun 1862 dia menulis bagian pertama dari Synthetic
Philosophy atau disebut dengan filsafat sintetik dengan judul First Principles,
yang banyak membahas tentang prinsip-prinsip evolusi.
Spencer memperkerjakan peneliti untuk membaca dan meneliti
sumber-sumber etnografi budaya dan sumber sejarah dan mengaturnya
sesuai dengan sistem yang Spencer rencanakan. Hasil dari usaha ini
diterbitkan dalam beberapa edisi atau volume yang terpisah dengan judul
The Descriptive Sociology. Karya ini diterbitkan antara tahun 1873 dan 1881.
Edisi selanjutnya tidak diterbitkan, karena alasan finansial. Buku ini pun
diterbitkan setelah kematian Spencer.
Tahun 1873 Spencer menulis The Study of Sociology. Ia, dalam karya ini,
menjelaskan mengenai tatanan social (social stratification). Selanjutnya buku
ini disajikan sebagai buku rujukan (text book) di Yale. Buku ini kemudian
memiliki pengaruh yang kuat di Amerika. Sebelum penerbitan jilid terakhir
The Study of Sociology( 1896), Spencer telah dinobatkan sebagai seorang filsuf
dan ilmuan yang terhormat dan dikagumi.
Buku-buku karya Spencer banyak dibaca di belahan dunia ini. Pan-
dangan-pandangannya mendapat perhatian besar, misalnya, buku Principles
of Biology telah diadopsi sebagai buku panduan biologi di Oxford. Demikian
pula dengan Principles of Psychology juga digunakan oleh William James

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 375


sebagai buku ajar untuk dua mata kuliah. Pada saat itu Spencer menjadi
pusat perhatian di dalam dunia akademik.
Tahun 1867, ia diminta menjadi kandidat untuk jabatan guru filsafat
Empiris dan Logika di University College London, namun ia menolaknya.
Antara tahun 1871 dan 1903 ia mendapat tawaran tidak kurang dari 32
penghargaan akademis, namu dia juga menolaknya. Dia pun juga menulis
The Man Versus The State, yang isinya mengenai masyarakat manusia dengan
institusi yang bernama negara. Akhirnya dalam usia 83 Spencer meninggal
dunia pada tahun 1903.
Lantas, bagaimana bisa seorang insyinyur jalur kereta api seperti ini
mampu menjabarkan biologi, sosiologi, psikologi, evolusi, bahkan juga
politik secara mendetail? Ia juga tidak pernah mengenyam pendidikan
formal di bangku sekolah, namun ia mampu mengkaji dan menjabarkan
beberapa bidang ilmu? Kesemua keahlian yang dimiliki Spencer ternyata
berawal dari hasil pemeriksaan dan pengamataannya terhadap fosil dalam
proyek pembangunan jalan rel kereta api. Dengan demikian, Spencer harus
dihargai sebagai seseorang yang memiliki bakat dan talenta yang cukup
besar dengan pertimbangan-pertimbangan berikut:
Pertama, di sini akan saya jelaskan mengenai pandangan Spencer
tentang evolusi. Menurutnya, bahwa masyarakat manusia dapat dipelajari
secara ilmiah dan dapat pula dipelajari dari pandangan evolusioner. Dia
juga mendiskripsikan evolusi dan menerapkan konsep evolusi secara
sistematik, baik pada alam semesta pada umumnya maupun masyarakat
manusia pada khususnya.  Baginya alam semesta ini pada dasarnya terdiri
atas materi dan energi.
Dia menjelaskan, bahwa Evolusi adalah perubahan dari keadaan yang
relatif tidak terbatas, tidak koheren, homogenitas ke keadaan yang relatif
pasti, koheren, heterogen. Ia pun dalam konsepnya tersebut bermaksud,
bahwa perubahan dari keadaan yang relatif terbatas, tidak pasti, homo-
genitas, dapat menjadi keadaan yang relatif pasti, masuk akal dan hetero-
genitas.
Menurut Spencer, bahwa sebuah evolusi harus dilihat sebagai suatu
bentuk proses yang berangkat dari suatu hal yang paling sederhana menuju
hal-hal yang lebih rumit. Hal tersebut berangkat dari sebuah proses yang
berturut-turut dengan pembedaan-pembedaan tertentu. Dengan demikian,
evolusi manusia harus dilihat melalui struktur lapisan tanah dan iklim
bumi. Kemudian dilihat pada kumpulan ras, peradaban individu, segi
politik, agama, ekonomi dan tingkat aktivitas manusia dari kegiatan konkrit
hingga yang abstrka.
Jadi, bagi Spencer evolusi itu dimulai dari hal yang sederhana sampai
menuju hal yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 376


adanya seleksi alam (survival of the fittest). Menurutnya evolusi harus pula
dilihat dari proses sebab dan akibatnya (causative). Menurutnya, sesuatu
yang kuat atau yang mampu memperjuangkan dirinya, yang memiliki
kesempatan untuk hidup. Sedangkan, yang lemah dan malas yang akan
tersisih dan dengan sendirinya kurang berhasil dalam hidupnya.
Kedua, di bidang sosiologi. Pandangan–pandangan evolusi Spencer
lebih menjurus pada evolusi tingkah laku manusia, sehingga ia dalam hal
ini mengarah pada sosiologi. Ia telah menerbitkan tiga jilid buku berjudul
The Principles of Sociology. Spencer memiliki gagasan yang jelas mengenai
ilmu perbandingan masyarakat yang didasarkan pada prinsip-prinsip
evolusi.
Ia berpendapat, bahwa kemajuan organisme dari jenis rendah ke tinggi
adalah jenis kemajuan dari keseragaman struktur. Ia juga mempertahankan
pola sebab akibat dalam memandang suatu masalah, misalnya, dalam
kaitannya dengan perilaku sosial manusia dan semua hal yang berasal dari
alam.
Menurut para tokoh ilmiah yang tidak menyukai sejarah, bahwa ia
hanya tertarik pada soiologi yang lebih berkaitan dengan sejarah. Bagi
Sepencer sejarah itu ibarat bangunan, sedangkan sosiologi adalah batu bata
yang berkaitan satu sama lain. Oleh karena itu, ia pun lebih berminat pada
bidang sosiologi daripada sejarah. Ia kemudian berasumsi, bahwa sejarah
yang berisi tentang nilai-nilai praktis disebut dengan sosiologi deskriptif
(descriptve sociology).
Spencer juga berpendapat, bahwa ada kesejajaran antara organisme
biologis dan masyarakat sebagai kumpulan dari manusia. Hal ini dilihat
dari bentukannya, sehingga setiap individu dalam masyarakat harus dilihat
dari pembentuknya. Cara melihatnya pun harus dengan metode-metode,
sistem-sistem dan pengaturan yang sistematis. Kemudian digunakan. untuk
menentukan kesamaan antara organisme tunggal atau individul dan orga-
nisme sosial.
Spencer melihat struktur sosial (social structure) yang timbul berwal
pada sebab, kemudian berkembang, yang selanjutnya mempunyai akibat,
sehingga struktur sosial tersebut dapat terbentuk. Prinsip sosiologi dikhu-
suskan untuk menelusuri pengkhususan fungsi dan menyertai pengkhu-
susan yang lebih detail dan spesifikasi struktur menjadi suatu yang baru.
Hal inilah yang menjadi ciri evolusi budaya.
Spencer pernah menyebutkan hal-hal yang terkait dengan superorganic,
yaitu sebuah penunjuk dari elemen atau bagian unik, yang berbeda dalam
perilaku manusia, yang selanjutnya memiliki kesamaan arti dengan budaya.
Tidak hanya budaya manusia, tetapi juga hal-hal lain yang ada di alam.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 377


Sepencer dalam bidang sosiologi mengutarakan, bahwa fenomena
sosial (social phenomenon) tergantung dari sebagian sifat individual dan
sebagian pada kekuatan, yang terkait dengan apa yang ada di sekitarnya.
Kemungkinan bertahan hidup terletak pada akar dari solidaritas sosial
manusia (social solidarity). Hidup bersama-sama dalam bentuk kelompok
jauh lebih menguntungkan daripada hidup terpisah. Hal ini akan terus
berjalan, jika dibarengi dengan komunikasi dan pemeliharaan solidaritas
yang baik pula. Bagi Spencer, kebenaran terdalam bisa tercapai melalui
pernyataan dari keseragaman terluas atau terbanyak dalam hubungan
manusia. Spencer adalah salah satu dari para ilmuan yang pertama kali
menyebutkan, bahwa perubahan budaya lebih baik dijelaskan dalam hal
kekuatan sosial88 budaya (socio-cultural capital) daripada akibat tindakan-
tindakan manusia yang penting (the result of action of important man).
Ketiga, pandangan politik. Spencer berpandangan, bahwa sistem
politik pada suatu negara hendaknya disesuaikan dengan kondisi masya-
rakat yang ada dan tidak memaksakan sebuah sistem. Menurutnya, masya-
rakat itu tumbuh bukan karena sebuah pembentukan, tetapi karena per-
tumbuhan.
Spencer juga menghargai adanya perkembangan ekonomi dalam
sebuah negara yang kemudian mempengaruhi perkembangan adat istiadat 89
(civilization) dan lembaga pemerintahan. Hal ini tidak hanya merujuk pada
polotik tetapi juga sosiologi. Baginya, peran penting ada dalam perekono-
mian, khusunya di bidang perdagangan dan industri. Hal ini mampu
merubah tatanan masyarakat maupun lembaga pemerintahan.
Keempat, pandangan Spencer mengenai pernikahan antar manusia.
Dalam  karyanya The Principles of Sociology, ia juga membahas mengenai per-
kembangan perkawinan, bentuk keluarga, kosep-konsep harta milik dan
sejenisnya. Ia tidak percaya, bahwa hubungan seks antar saudara yang tabu
dikarenakan oleh faktor bawaan. Dia juga tidak percaya, bahwa hubungan
seksual adalah tahap awal perkawinan manusia. Ayah merupakan faktor
penentu dari garis keturunan dan kekerabatan. Ia juga memiliki pandangan,
bahkan dalam masyarakat primitif yang menganut asas matrilineal atau
garis keturunan ibu sebagai pusatnya masih menganggap keberadaan ayah
untuk menerima garis keturunan dan kekerabatan laki-laki.
Kelima, pandangan Specer mengenai agama. Dalam The Principle of
Sociology, Spencer membahas teori tentang asal-usul agama yang kemudian
88
Kapasitas Sosial (social capacity atau social personality) yaitu potensi asli yang berhubung-
an dengan suatu fungsi sosial (Al-Barry, 2000 : 140).
89
Adat istiadat Primat (Koentjaraningrat, 2003: 196) adalah suku tertinggi diantara bina-
tang menyusui atau mamalia. Dalam suku primat ini termasuk semua jenis kera, mulai
dari jenis kera kecil seperti tarsili, kera besar seperti gorilla hingga manusia.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 378


dikenal dengan teori hantu atau the ghost theory. Menurut pandangan ini,
konsep jiwa yang mendiami tubuh manusia adalah keyakinan supranatural
manusia, yang selanjutnya diperluas lagi untuk hewan, tumbuhan dan
benda mati. Melalui suatu keberadaan dan pengkhususan menjadi lebih
spesifik, konsep jiwa berubah menjadi berbagai bentuk dan kekuatan. Hal
ini yang membuat kepercayaan individu berbeda, karena konsep Tuhan
menjadi semakin banyak, seperi halnya kepercayaan menganut dewa
(dinamism). Bagi Spencer, hal ini tidak lepas pengaruhnya dari sosiologi.
Selanjutnya, Spencer beranggapan, bahwa ia lebih peduli terhadap
proses daripada tahapan-tahapan. Ia melihat proses perkembangan manusia
itu ditimbulkan dari proses lingkungan budaya dan alam bukan gerakan
melalui serangkaian tahapan-tahapan.
Spencer juga meyatakan, bahwa sistem ekonomi bekerja baik jika
setiap individu diperbolehkan untuk mencari kepentingannya sendiri atau
sukarela. Sedangkan negara tidak boleh ikut campur tangan, kecuali dalam
urusan peraturan mengenai hak-hak orang lain atau kecuali ketika negara
melakukan kontrak secara pribadi. Dengan demikian, bisnis akan berjalan
lancar dan akan menciptakan persaingan. Sehingga akan mampu mening-
katkan kesejahteraan penduduk dalam sebuah negara.
Spencer yang meninggal di usia 83 tahun telah memiliki peran besar di
bidang sosiologi, evolusi, antropologi, tipologi masyarakat manusia, pem-
bagian kerja, struktur sosial dan sebagainya. Meski, pengaruhnya akhir-
akhir ini hanya sedikit, namun setidaknya Spencer juga memiliki sumbang-
an yang besar khususnya di bidang sosiologi dan antropologi.
Sebagian besar pemikiran Spencer berada pada pola tatanan masya-
rakat, yaitu apa yang menjadi pengaruhnya, bagaimana masyarakat mampu
berkembang, faktor apa yang menjadi penghambat dan pendukung pe-
ngembangan masyarakat dan apa hasil yang akan diperoleh. Hal ini ber-
kaitan dengan pandangannya terhadap hubungan sebab akibat (causal).
Spencer dalam berbagai kesempatan selalu menyatakan, bahwa yang
menjadi pengaruh segala gejala dan fenomena apapun tidak terlepas dari
faktor budaya dan lingkungan yang mengakibatkan proses seleksi alam.
Menurutnya, ilmu sosiologi telah menjadi landasan fundamental bagi ilmu
lain seperti psikologi, antropologi, ekonomi, politik, evolusi dan sejarah.
Sosiologi, menurutnya, diibaratkan batu bata yang tersusun, sementara ilmu
ilmu lain adalah bangunannya.
Dia juga beranggapan, bahwa segala sesuatu yang kuat dan mampu
bertahan, akan terus melanjutkan kehidupannya. Sebaliknya, yang lemah
dan tidak mampu bertahan, dengan sendirinya akan menghilang, karena
proses seleksi alam. Spencer juga lebih menghargai dan peduli pada sebuah

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 379


proses daripada hasil akhir dari segala sesuatu. Bukan hanya sekedar
langkah–mencapai sesuatu.
Spencer dianggap sebagai pelopor teori evolusi. Ide yang masih
merupakan kontribusi penting beliau dalam teori-teori sosial ini sering
dicampakkan begitu saja oleh banyak kalangan, termasuk konsep sintetis-
nya (synthetic philosophy) betul-betul telah terlupakan. Mengapa Spencer
masih terus diingat, karena ia telah banyak membuat formulasi teori yang
masih kita gunakan hingga saat ini. Dialah yang pertama-tama mengguna-
kan konsep: superorganic, function, structure dan system. Superorganik
menurut Smith (1990: 271) adalah pandangan budaya yang bersumber dari
fenomena budaya atau sosial harus digunakan dalam hal teori-teori budaya
atau sosial dan tidak direduksi ke tingkat lain seperti antropologi atau
ekologis. Pandangan ini, yang pertama kali dikemukakan oleh Durkheim
juga diadopsi oleh antropolog budaya AS seperti Kroeber, Lowle dan White
dan antropologi sosial Inggris oleh sekolah Struktural Fungsionalis. Fungsi
menurut Smith (1990, 125-126) dalam ilmu sosial sebagai teori fungsionalis
seperti Spencer di Inggris dan Durkheim di Perancis menggunakan analogi
secara biologis dalam studi mereka tentang masyarakat. Manurut Radcliffe
Brown dan Malinowski, bahwa bagian-bagian konstitusi dari masyarakat
atau perselisihan sosial dalam masyarakat adalah terintegrasi. Fungsi
menurut Smith (1990, 125-126) dalam ilmu sosial sebagai teori fungsionalis
awal seperti Spencer di Inggris dan Durkheim di Perancis menggunakan
analogi biologis atau organik dalam studi mereka tentang masyarakat.
Radcliffe-Brown dan Malinowski menyarankan, bahwa bagian-bagian kon-
stitusi masyarakat atau institusi sosial berfungsi bersama dan saling keter-
gantungan sebagai keseluruhan yang terintegrasi. Struktur (sosial) Koentja-
raningrat (2003: 226) adalah konsep yang pada awalnya diperkenalkan oleh
ahli antropologi A. R. Radcliffe Brown, yang berarti perumusan asas-asas
hubungan antar-individu dalam kehidupan masyarakat. Sistem budaya
(Koentjaraningrat, 2003: 218) ada1ah rangkaian gagasan, konsepsi, norma,
adat istiadat yang menata tingkah 1aku manusia dalam masyarakat dan
yang merupakan wujud ideologis kebudayaan.
Keaslian fungsionalisme struktur juga dapat ditemukan dalam karya-
karya Spencer --- sebuah fakta, bahwa ia terlupakan beberapa dekade ketika
ia berargumentasi --- bahwa evolusi dan funsionalisme adalah dua hal yang
bertentangan. Spencer sebagai penggagas konsep sintetis (synthetics philo-
sophy) tidak hanya tertarik pada ilmu sosial saja, akan tetapi pada semua
bidang ilmu. Dia juga telah menaruh perhatian khusus pada bidang studi
biologi. Adalah Spencer dan bukan Darwin, yang telah menghembuskan
konsep persaingan hidup (the survival of the fittest), sekalipun Wallace dan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 380


Darwin memang menggunakan konsep tersebut dalam studinya tentang
mekanisme biologi.
Hal yang sangat penting bagi para antropolog, ketika Spencer meng-
gunakan model organisme biologi sebagai landasan dalam memahami
bidang-bidang atau realitas sosial (social realism). Spencer melihat organisme
sebagai model untuk masayarakat dalam dua cara: i) sebuah masyarakat
merepresentasi sebuah sistem yang mempunyai struktur dan fungsi dan ii)
sebuah masyarakat merepresentasi level-level evolusi sosial khusus, yang
dapat ditentukan berdasarkan pada perbedaan strukturnya. Pendekatan ter-
hadap masyarakat seperti ini menghadirkan sebuah analogi befikir (analogi
organik) dalam memperlakukan organisme biologi. Proses yang tampak
dalam biologi, seperti: evolution, function, structure, homeostasis dapat dikata-
kan juga tampak dalam logika sosial .
Menurut Spencer keuniversalan hanya dapat dibahas dalam istilah-
istilah evolusi. Ia mengklaim, bahwa masyarakat sebagai sesuatu yang tidak
terpecah-pecah (undifferentiated) dan merupakan sebuah sistem yang simple
(organic). Melalui evolusi masyarakat mengembangkan struktur-struktur
tertentu (misalnya, pemerintahan) untuk membentuk fungsi-fungsi khusus
(misalnya, koordinasi semua sistem). Semakin terstruktur dan berfungsi
sebuah diferensiasi sebuah masyarakat, semakin jelas pula taksonomi-
taksonomi proses evolusi yang terjadi di dalamnya.
Dengan berdasar pada konsep di atas, Spencer kemudian mengem-
bangkan dua skema taksonomi sosial (social taxonomy). Keduanya serba
tidak cukup, baik dalam teoretis maupun utilitas data yang ada. Sekali-
pun demikian, hal ini sudah merupakan sebuah langka awal yang sangat
berarti.
Sebagai catatan, Spencer juga menggunakan istilah superorganics, yang
dalam teori antropologi merupakan pengembangan dari tulisan-tulisannya,
seperti Edward Sapir dan Alfred Louis Kroeber. Tulisan Spencer tentang
superorganik mengacu pada ide, bahwa superorganik melampaui prinsip
individual (exceed the individual). Melalui superorganik, menurut Spencer,
pengkoordinasian tindakan-tindakan manusia sangat mungkin terjadi.
Dengan pendapat seperti ini kita akan sampai pada pembahasan
tentang konsep kebudayaan, yang tentu saja bila kata kebudayaan (culture)
disubstitusikan dalam berbagai konteks, arti konteks tersebut akan menjadi
semakin jelas. Tentu saja istilah-istilah lain, yang dikemukakan oleh Dur-
kheim hati nurani kolektif (conscience collective), merupakan kendala lain
dalam membicarakan masalah budaya tanpa konsep budaya.
Selain Spencer membeikan pengabdiannya secara total pada peng-
konseptualisasian teori evolusi, juga harus ditandai, bahwa teori-teori
evolusi modern Morgan jauh lebih langsung daripada apa yang sudah

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 381


dilakukan Spencer. Struktural funsionalisme mucul untuk memperkuat
landasan pikir Spencer tentang; structure, junction, organism dan evolution.
2. Lewis Henry Morgan
Lewis Henry Morgan (lahir di Aurora, 21 November 1818 dan
meninggal di Rochester 17 Desember 1881). Morgan adalah
seorang etnologi Amerika Serikat yang terkenal karena pene-
litiannya mengenai hubungan kekeluargaan. Penelitiannya ini
sebagai bagian dari usahanya untuk membuktikan, bahwa
bangsa Amerika telah melakukan migrasi ke Amerika Utara,
sehingga publik bisa mengetahui dan menentukan asal mula kediaman
bangsa ini. Hasil dan penelitiannya ini kemudian dikenal sebagai teori
evolusi sosial (social evolutions)90. Kariernya dimulai ketika Morgan belajar
hukum di Rochester pada tahun 1844 hingga tahun 1862. Ia kemudian
menjadi salah satu anggota Dewan Kota New York pada tahun 1868-1869.
Pada awal tahun 1840an, ia mulai mengembangkan studinya mengenai
perjuangan masyarakat asli Amerika dalam menghadapi kolonialisasi dan
penindasan. Ia melakukan survai melalui metode historis, organisasi sosial
dan kebudayaan. Hasil dari pengembangan studi ini ditulis di dalam The
Leaguw of the Ho-dé-no-sau-nee or Iroquois pada tahun 1851. Karya lainnya
yang menarik adalah penelitiannya mengenai masyarakat Anglo-Amerika
pada tahun 1856, yang ia tulis dalam bukunya berjudul Systems of Consa-
nguinity and Affinity of the Human Family pada tahun 1871. Bukunya berjudul
In Ancient Society pada tahun 1877, memiliki pengaruh besar terhadap karya
Karl Marx dan Friedrich Engels. Berkat karya-karyanya ini, ia dikenal
sebagai Bapak Ilmu Pengetahuan Antropologi Budaya.
Pakar kelahiran Aurora, Cayuga County, New York ini bisa disebut
sebagai salah satu peletak dasar ilmu antropologi sebagaimana dikenal dan
dipraktikkan dunia modern, khususnya terkait beberapa teori mengenai
kekeluargaan dan keturunan (kinship), serta pemetaan struktur dan per-
kembangan evolusi sosial (social structure map). Morgan banyak mendasari
penelitian etnografis berdasarkan kajian terhadap bangsa Iroquois yaitu
sekumpulan suku asli Amerika Utara.
Ketika melaksanakan penelitian lapangan, Morgan meneliti berbagai
faktor yang dapat membuat anggota komunitas bersatu terlepas dari segala
perbedaan yang ada. Berdasar hasil kajian lapangan tersebut, suami Mary
Elizabeth Steele ini mengajukan sebuah gagasan yang unik: bahwa konsep
komunitas masyarakat yang paling awal muncul justru berbasis garis keturunan
90
Evolusi sosial adalah subdisiplin biologi evolusioner yang berkaitan dengan perilaku
sosial yang memiliki konsekuensi kebugaran bagi individu selain aktor. Perilaku sosial
dapat dikategorikan sesuai dengan konsekuensi kebugaran yang mereka emban untuk
aktor dan penerima.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 382


matrilineal (matrilineality)91, atau berarti bermula dari pihak ibu dan atau leluhur
ibu. Konsep ini digunakan dan diterima para ahli antropologi hingga akhir
abad ke-19.
Selain itu, putra penemu Jedediah Morgan ini juga menunjukkan
ketertarikannya untuk meneliti berbagai faktor pemicu terjadinya perubah-
an sosial. Hasil penelitian Lewis Morgan dituangkan pada banyak buku
yang telah diterbitkan (lihat daftar karya-karyanya di bawah) mulai paruh
hingga menjelang akhir abad ke-19. Pemikiran Morgan, mempengaruhi
beberapa tokoh dan pelopor ilmu pengetahuan tingkat dunia generasi
berikutnya. Mereka setidak-setidaknya membaca, teori sosial Lewis Morgan.
Karl Marx dan Friedrich Engel, misalnya, dua pendiri paham komunisme
Eropa, tertarik membaca karya Morgan terkait pemetan dan perubahan
struktur sosial dan budaya materil. Bahkan, dua tokoh peletak dasar ilmu
pengetahuan modern, Charles Darwin (sang evolusionis) dan Sigmund
Freud, (sang psikoanalis), juga tidak segan-segannya mengutip teori antro-
polog kelahiran Aurora, New York, Amerika Serikat ini.
Pada tanggal 17 Desember 1881, Lewis Henry Morgan menghembus-
kan nafas terakhirnya dalam usia 63 tahun dan dimakamkan di Maoseleum
wilayah Mount Hope yang menjadi pemakaman keluarga Morgan.
Morgan sebenranya adalah ahli hukum dan menjadi pengacara bagi
suku Indian Iroquois. Separuh hidupnya tinggal bersama suku tersebut
untuk membela mereka menyelesaikan kasus sengketa tanah. Selama hubu-
ngannya dengan orang Indian Iroquois, Morgan banyak mendapat inpirasi
pengetahuan mengenai kebudayaan orang Indian. Hasilnya, Morgan untuk
pertama kalinya menulis etnografi berjudul League of the Ho-de-no-Sau-nie or
Iroquonis (1851).  Dalam bukunya tersebut, Morgan menggambarkan sistem
kekerabatan dan menemukan cara untuk mengurai semua sistem kekerabat-
an yang berbeda-beda, yang jumlahnya mencapai ribuan di dunia ini.
Morgan tertarik dengan istilah kekerabatan Indian Iroquois yang tidak sama
dengan istilah orang Inggris. Istilah seperti hanih dalam bahasa orang
Iroquois mengacu pada banyak individu (saudara laki-laki ayah) berbeda
dengan istilah father yang mengacu untuk satu individu saja. Morgan meng-
ambil kecenderungan kesejajaran yang seringkali ditemukan dalam sistem
istilah kekerabat (system of kinship terminology) dan sistem kekerabatan
(kinship system).

91
Matrilineality adalah penelusuran keturunan melalui garis perempuan. Ini juga dapat
berkorelasi dengan sistem kemasyarakatan di mana setiap orang diidentifikasi dari garis
keturunan ibu. Segala bentuk pewarisan ditentukan berdasarkan ibu, sehingga matriline
adalah garis keturunan dari nenek moyang perempuan ke di mana individu dalam
semua generasi yang berkuasa adalah ibu. Dalam sistem keturunan matrilineal, seorang
individu dianggap sebagai kelompok keturunan yang sama dengan ibu mereka.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 383


Keyakinannya tentang evolusi masyarakat ia tuangkan dalam bukunya
yang berjudul Ancient Society (1877). Dalam bukunya tersebut, Morgam
memberikan satu tese mengenai delapan tingkatan evolusi yang universal,
yang ia yakini masyarakat pada semua bangsa di dunia telah-sedang-akan
menyelesaikan proses evolusinya. Morgan memberikan 8 tahapan evolusi,
berikut ini:
1.  Zaman Liar Tua, yaitu zaman sejak adanya manusia sampai ia menemu-
kan api. Manusia pada zaman ini hidup dari meramu, mencari akar-akar
dan tumbuhan-tumbuhan liar (food and gathering).
2.  Zaman Liar Madya, yaitu zaman sejak manusia menemukan api, sampai
ia menemukan senjata busur/panah. Manusia dalam zaman ini mulai
merubah mata pencaharian hidupnya dari meramu menjadi pencari ikan
disungai-sungai dan memburu.
3.  Zaman Liar Muda, yaitu zaman sejak manusia menemukan senjata
busur/panah, sampai ia mendapatkan kepandaian membuat tembikar.
4.  Zaman Barbar Tua, yaitu zaman sejak manusia menemukan kepandaian
membuat tembikar sampai ia mulai beternak dan bercocok tanam.
5.  Zaman Barbar Madya, yaitu zaman sejak manusia beternak dan bercocok
tanam sampai ia menemukan kepandaian membuat benda-benda dari
logam
6.  Zaman Barbar Muda, yaitu zaman sejak manusia menemukan kepandai-
an membuat benda-benda dari logam sampai ia mengenal tulisan.
7.  Zaman Peradaban Purba (Civilization)
8.  Zaman Peradaban Masa Kini (contemporer)
Morgan menggunakan tahapan evolusi tersebut di atas untuk me-
nyusun unsur-unsur kebudayaan dari berbagai suku bangsa Indian di
Amerika. Akan tetapi, beberapa antropolog di Amerika justru meragukan
teori Morgan tersebut, karena dianggapnya terlalu mengabaikan unsur-
unsur kebudayaan yang turut berpengaruh di dalamnya. Mereka meng-
anggap Morgan telah mengabaikan keunikan atau keistimewaan perkemba-
ngan setiap masyarakat. Sayangnya, karena saat ini justru Franz Boaz yang
diakui sebagai the father of American anthropology ketimbang Morgan. Akan
tetapi, Morgan sangat dihargai oleh kaum komunis, berkat teorinya menge-
nai evolusi dianggap menjadi penopang bagi ajaran Karl Marx dan F.
Engels.
Tiga aspek hasil karya Morgan hingga saat ini masih tetap eksis: 1)
penemuannya tentang pengklasifikasian sistem kekerabatan, 2) analisisnya
yang membedakan antara keluarga (family) dengan rumah tangga (hous-
hould), khusus analisisnya yang penuh kehati-hatian di lingkunngan ke-
luarga orang-orang Indian Amerika dan 3) kontribusinya dalam pengemba-
ngan teori-teori antropologi. Penemuannya, bahwa orang Indian Amerika,

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 384


seperti halnya dengan masyarakat lain di seantero jagad ini, menggunakan
istilah-istilah klasifikasi kekerabatan (mereka menggunakan kata yang sama
dalam menyapa ibu ego dan saudara ibu ego dan seterusnya) adalah sangat
penting dalam antropologi. Hasilnya, banyak antropolog pasca penelitian
Morgan tersebut yang mengkhususkan diri untuk meneliti kekerabatan atau
sistem kekerabatan. Sekalipun klasifikasi sistem kekerabatan merupakan
bagian yang selalu tidak terlupakan dalam setiap kerja lapang Morgan,
namun dalam bukunya Systems of Consanguity and Affinity of the Human
Family (1871) hal tersebut justru jarang dimunculkan. Pembahasannya
tentang rumah tangga (houshold) jesteru lebih banyak diutarakan dalam
bukunya berjudul Houses and House-Life of the American Aborigines (1881).
Meskipun demikian, konstribusi pemikiran Morgan dalam pengem-
bangan teori-teori antropologi yang ia sebut sebagai pendekatan materealis
untuk evolusi dan masyarakat, sangat banyak. Seperti yang sudah dijelas-
kan di atas, bahwa Ancient Society (1877) adalah salah satu karya spekta-
kuler Morgan dan masih berpengaruh dalam pemikiran-pemikiran teori
evolusi saat ini. Oleh karena itu, Morgan dianggap sebagai penganut teori
materealis. Bukunya pun merajalela di bebagai kampus yang ada di Eropa.
Ketika Engels, misalnya, menemukan dan menganggap buku ini sebagai
sebuah dialektika92 norma yang berdasarkan prinsip materealisme (dialec-
tical materealism), buku ini justru dianggap cocok sebagai dasar faham
komunis yang Engels sedang kembangkan. Morgan juga mampu mem-
pengaruhi beberapa arkeolog, baik aliran Marxist maupun non-Marxist,
sebagai akibat dari pendekatan materealismenya tersebut. Kebesaran
pengaruhnya tersebut, saat ini dapat ditemukan di dalam aliran mate-
realisme kebudayaan (cultural materealism). Di pihak lain, karena pengguna-
an metode komparatif yang serampangan --- timbul dua kubu terhadap
pandangan Morgan --- yaitu yang mengeritik (Boas dan pengikut-pengikut-
nya) dan yang tidak mengeritik umumnya berasal dari pembaca biasa
(kaum komparitif dan kaum evolusionis). Oleh karena kritikan tersebut,
hampir seluruh konsep Morgan diabaikan di dalam dunia antropologi
Amerika selama tahun 1900 hingga tahun 1949 (bertepatan dengan terbitnya
buku Leslie A. White berjudul The Science of Culture.
Melalui bukunya Acient Society ia berusaha memahami masyarakat
melalui sistem teknologi dan sistem ekonomi, yang membuat Morgan
memberi pengaruh besar pada Engels, Gordon Childe, Leslie A. White dan
Marvin Harris. Tidak dapat dipungkiri, bahwa memang data-data Morgan
92
Dialektika (Dialectic or dialectics) adalah wacana antara dua atau lebih orang yang
memegang berbagai sudut pandang berbeda tentang suatu subjek tetapi ingin menetap-
kan kebenaran melalui argumen-argumen yang beralasan. Istilah dialektika tidak
identik dengan istilah debat dan retorika.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 385


tidak selamanya yang terbaik --- karena beberapa diantaranya mungkin bisa
--- tetapi hal itu tidak terlalu melenceng dari nilai-nilai prinsip, yang mela-
tari teori Morgan.
Melalui Ancient Societynya Morgan mengusulkan sebuah skema evo-
lusi, dimana setiap jenjang evolusi (evolution stage) berkorens-pondensi
dengan tipe-tipe teknologi dan subsitensi tertentu. Misalnya, jenjang orang-
orang Middle Barabarian yang mulai dengan mengembangkan busur dan
anak panah dan berakhir pada pembuatan gerabah (pottery)93. Dengan kata
lain, setiap jenjang evolusi harus ada teknologi khusus yang menyertai atau
menandainya. Seperti halnya dengan sebuah tipe kehidupan sosio-kultur
juga harus berkorespondensi dengan teknologi tertentu dalam pengem-
bangannya. Sekarang, teori penjenjangan Morgan, yang mengacu pada salah
satu bentuk teknologi sebagai indikatornya, dianggap banyak kalangan
salah. Akan tetapi, jika kita melihat lebih mendalam, pada prinsipnya
Morgan benar dalam hal ini, karena penemuan teknologi dan penemuan
perubahan homeostasis sosial diperlukan untuk mengembangkan karakter
sosio-kultur yang baru dan menjadi sebuah kebutuhan mutlak manusia
untuk tetap bertahan hidup.
3. Edward Burnett Tylor
Sir Edward Burnett Tylor lahir pada tanggal 2 Oktober 1832
dan meninggal pada tanggal 2 Januari 1917). Ia adalah seorang
antropolog yang berasal dari Inggris. Tylor dikenal melalui
jasanya dalam penelitian evolusi kebudayaan. Dalam karyanya
Primitive culture dan Anthropology. Ia mendefinisikan konteks
penelitian ilmiah dalam antropologi, yang didasari Oleh teori
evolusi Charle Darwin. Dia percaya, bahwa ada sebuah basis fungsional
dalam perkembangan masyarakat dan agama, yang ia anggap bersifat uni-
versal. Ia juga lebih dineal sebagai perintis antropologi sosial budaya yang
berasal dari Inggeris. Salah satu karya terpenting E. B. Tylor adalah Primitive
Culture: Research into the Development of Mythology, Philosophy, Religion,
Language, Art and Custum (1871). Ia juga yang memperkenalkan kembali
istilah animisme (kepercayaan terhadap jiwa dan roh-roh nenek moyang)
yang ia anggap sebagai sebuah fase awal dalam perkembangan agama

93
Menurut informasi data arkeologi, bahwa diduga gerabah pertama kali dikenal pada
masa neolitik (kira-kira 10.000 tahun SM) di daratan Eropa dan mungkin pula sekitar
akhir masa paleolitik (kira-kira 25.000 tahun SM) di daerah Timur Dekat. Menurut para
ahli kebudayaan, gerabah merupakan kebudayaan yang universal (menyeluruh), artinya
gerabah ditemukan di mana-mana, hampir di seluruh bagian dunia. Perkembangannya
bahkan juga penemuannya muncul secara individual di tiap daerah tanpa harus selalu
mempengaruhi. Mungkin juga masing-masing bangsa menemukan sendiri sistem
pembuatan gerabah tanpa adanya unsur peniruan dari bangsa lain.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 386


dengan skema: Jiwa  Mahluk  Halus (Roh)  Dewa-Dewa ( animism) 
Satu Tuhan.
E. B. Tylor berpendapat, bahwa asal mula religi mencerminkan adanya
kesadaran manusia tentang jiwa. Kesadaran ini disebabkan oleh dua hal:
1. Adanya perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup
dan hal-hal yang mati. Manusai sadar, bahwa ketika manusai hidup ada
sesuatu yang menggerakkan dan kekuatan yang menggerakkan manusia
itu disebut dengan jiwa.
2. Peristiwa mimpi, di mana manusia melihat dirinya di tempat lain (bukan
di tempat ia sedang tidur). Hal ini menyebabkan manusia membedakan
antara tubuh jasmaninya yang berada di tempat tidur dengan rohaninya
di tempat-tempat lain yang disebut jiwa.
Selanjutnya menurut Tylor, bahwa jiwa yang lepas ke alam disebutnya
roh atau mahluk halus. Inilah menyebabkan manusia berkeyakinan kepada
roh-roh yang menempati alam, sehingga manusia memberikan penghormat-
an berupa upacara doa, sesajian kepadanya. Tylor menyebut persembahan
ini sebagai anamisme. Pada tingkat selanjutnya manusia yakin terhadap
gejala gerak alam, yang disebabkan oleh mahluk-mahluk halus yang me-
nempati alam tersebut. Kemudian jiwa alam tersebut dipersoni-fikasikan
sebagai dewa-dewa alam. Pada tingkat selanjutnya manusia yakin, bahwa
dewa-dewa tersebut memiliki dewa tertinggi atau raja dewa. Hingga akhir-
nya manusia berkeyakinan pada satu Tuhan.
Tylor adalah Antropolog dari Inggris yang mewakili evolusionisme
budaya. Posisi Tylor terebut tercermin dalam bukunya berjudul Primitive
Culture dan Anthropology. Ia mendefinisikan konteks penelitian ilmiah antro-
pologi berdasarkan teori evolusi Charles Lyell. Tylor percaya, bahwa ada
sifat universal dalam setiap kebudayaan, terutama dalam masyarakat dan
agama. E B Tylor dianggap oleh banyak orang sebagai tokoh pendiri ilmu
antropologi sosial dan kontribusi karya-karya ilmiahnya terlihat dalam
disiplin Antropologi yang mulai terbentuk di abad ke-19. Ia percaya
penelitian yang menjadi sejarah dan prasejarah manusia dapat digunakan
sebagai dasar bagi perubahan agama dalam masyarakat. Awal karirnya
dimulai pada saat perjalanannya ke Meksiko tahun 1856, sekalipun hanya
sebagai asisten peneliti, namun ia dianggap mempunyai keahlian di bidang
arkeologi. Tylor, dalam ekspedisi tersebut membuahkan buku berjudul
Anahuac or Meksiko and Mexicans, Ancient and Modern (1861).
Dia memperkenalkan kembali istilah animisme (iman di dalam jiwa
individu atau anima segala sesuatu dan manifestasi alam), yang umum
digunakan dalam masyarakat primitive. Ia beranggapan, bahwa animisme
dalam evolusi religi merupakan tahap awal dari terbentuknya sebuah
agama. Menurut Koentjraningrat (2003), bahwa tahapan tertua dalam

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 387


evolusi religi adalah kepercayaan, bahwa mahluk-mahluk halus (sifat
abstrak dari manusia yang menimbulkan keyakinan bahwa jiwa dapat
hidup langsung, lepas dari tubuh jasmaninya) memang ada.
Tylor sangat terkenal sebagai akibat terbitnya dua buku dari tangan-
nya berjudul Primitve Culture. Dalam edisi pertama, The Origins of Culture, ia
memberikan pemahaman mengenai berbagai aspek etnografi, termasuk
evolusi sosial, linguistik dan mitos. Dalam edisi kedua, berjudul Religion in
Primitive Culture, berkaitan dengan penafsirannya tentang animisme. Pada
halaman pertama Primitve Culture, Tylor mendefinisikan secara luas tentang
kebudayaan: Budaya, atau peradaban, yang diambil dalam arti luas, etnografi,
adalah keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni,
moral, hukum, adat dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang diperoleh
manusia sebagai anggota masyarakat. Tidak seperti pendahulunya dan kolega-
nya, Tylor menegaskan, bahwa pikiran manusia dan kemampuan manusia
pada dasarnya bersifat sama dan universal, terlepas dari tahap masyarakat
tertentu dalam evolusi sosial. Dalam pengertian ini ia mengasumsikan,
bahwa kemampuan intelejensi masyarakat berburu tidak jauh berbeda
dengan masyarakat industri.
Bagi E. B. Taylor, seorang ahli antropolog semestinya mempelajari se-
banyak mungkin tentang kebudayaan yang sangat beragam di muka bumi.
Mereka harus mengumpulkan semua unsur-unsur kebudayaan. Unsur-
unsur kebudayaan tersebut kemudian diklasifikasi berdasarkan persamaan
unsur-unsur yang ada di dalamnya, agar tahapan-tahapan evolusi kebu-
dayaan dapat tampak dengan jelas, seperti berikut: Animism  Dinamism
 Politheism  Monotheism  Atheism.
Beberapa aspek pekerjaan Tylor harus dicatat yaitu definesinya ten-
tang kebudayaan, ide evolusi kognitifnya dan usaha-usahanya dalam me-
nerapkan analisis statistik dalam studi komparatifnya.
Teori evolusi Tylor dipandang berbeda dengan teori evolusi, baik
Spencer maupun Morgan. Keduanya (Spencer dan Morgan) tertarik pada
perkembangan organisasi sosial dan kompleksitas yang menyertai pengem-
bangan itu. Tylor, malah sebaliknya, lebih tertarik pada masalah kebu-
dayaan ketimbang masyarakatnya dan secara khusus perkembangan agama
melalui animisme. Perlakuannya langsung pada basis-basis kognitif. Argu-
men utama Tylor dalam menelusuri jejak evolusi agama --- pada basis
kognitif --- tampak dalam tiga jenjang perkembangan agama: ani-misme,
politeisme dan monoteisme. Usaha untuk membangun kembali pola kogni-
tif evolusi ternyata sangat sukar dibandingkan dengan usaha untuk mem-
bangun teori materealisme atau teori organisasi, karena penetapan apakah
kognitif melibatkan nilai dalam pengambilan keputusan. Tylor percaya,
bahwa kesamaan pemikiran secara prinsipil seluruh umat manusia di setiap

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 388


tempat, kebudayaan merupakan sebuah doktrin unitas pemikiran umat ma-
nusia secara fisik. Teori volusi animisme Tylor mengklaim, bahwa tidak ada
kaitan langsung antara kompleks atau tidaknya agama yang mereka miliki
dengan tingkat kompleks atau tidaknya pemikiran yang mereka miliki. Hal
ini berbeda dengan postulat-postulat yang mengkalim, bahwa masyarakat
yang menganut agama yang simpel berarti memiliki pemikiran yang simpel
pula. Tylor juga mengklaim, bahwa masyarakat dengan kebudayaan yang
cukup berkembang dapat tetap memakai item-item primitive dalam kebu-
dayaannya. Ia menyebut item-item seperti itu sebagai sumber kehidupan
(survival). Sekalipun demikian, argumen tentang pentingnya kehidupan
dalam tradisi kebudayaan, bukan salah satu yang terbaik. Apa yang
diperhitungkan adalah kelestarian (sustaiable) kebudayaan dan bukan fakta,
bahwa beberapa dari tradisi mereka rupa-rupanya kurang berarti dan sudah
ditingalkan oleh penganut sebelumnya.
Pada tahun 1899 Tylor menerbitkan sebuah artikel dengan judul On a
Method of Investigating the Development of Intitutions Appalied to Laws of
Marriage and Descend. Artikel ini merupakan karya yang seorsinil dengan
definisinya tentang kebudayaan, karena merupakan awal dari penggunaan
metode statistik di dalam antropologi. Hal ini banyak dijiplak oleh studi-
studi antar budaya (crosscultural atau multicultural studies), yang saat ini
membentuk sebuah sub-disiplin antropologi.
B. Antropologi Budaya
1. Franz Boas
Franz Boas adalah seorang pencetus pemikiran antropologi
modern. Oleh karena itu, ia digelar Father of American Anthro-
pology. Ia adalah adalah keturunan Jerman-Amerika. Ia lahir di
Minden, Westphalia pada tanggal 9 Juli 1858 dan meninggal
dunia 21 Desember 1942. Kedua orang tuanya adalah peneliti
mengenai Yahudi.
Boas sebenarnya sangat bermminat belajar geografi. Ketika ia belajar di Uni-
versitas Kiel, Boas berencana menulis disertasinya dan berencana meneliti
hukum Gauss. Akan tetapi, Gustav Karsten pembimbingnya, menyuruhnya
meneliti sifat optik air. Akhirnya, Boas menerima gelar doktor dalam bidang
fisika dari Universitas Kiel pada 1881. Pada tahun 1883, ia menuju Pulau
Baffin dan melakukan penelitian geografis tentang dampak lingkungan fisik
pada migrasi suku Inuit asli. Dalam penelitiannya, tidak hanya meng-
gunakan pendekatan antropologis saja, melainkan juga pendekatan geo-
grafis.
Dalam bukunya berjudul The Maind of Primitive Man (1911), ia menem-
patkan dirinya sebagai penentang rasialisme dengan argumen, bahwa
variasi dari fenotipe dalam sebuah ras tidak dapat dijadikan justifikasi untuk

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 389


melihat tingkatan kemajuan suku bangsa (ethnocentrism) sebagai yang ter-
belakang (inferior) dan suku bangsa yang cukup maju (superior).
Boas juga mempublikasikan kritikannya terhadap berbagai tuduhan
terhadap kebudayaan terkebelakang (rasialisme) dalam artikel yang berjudul
The Limitations of The Comparative Method of Anthropology (1896). Konsepnya
mengenai relativisme kebudayaan (cultral relativism) berhasil mendongkrak
namanya dalam bidang antropologi. Boas dalam prinsip relativisme kebu-
dayaannya menyatakan, bahwa semua kebudayaan adalah sama dan dapat
dibandingkan antara satu dengan yang lainnya, sehingga tidak ada kebu-
dayaan terkebelakang atau maju. Semua kebudayaan harus dipandang
sebagai dirinya sendiri bukannya dalam bentuk perbandingan.
Boas mencetuskan empat bidang antropologi: antropologi fisik, antro-
pologi linguistik, arkeologi dan antropologi budaya. Dalam antropologi
fisiknya, ia memimpin sarjana dari klasifikasi taksonomi statis ras untuk
penekanan pada biologi manusia dan evolusinya. Dalam linguistik ia mene-
robos keterbatasan filologi klasik dan membangkitkan beberapa isue sentral
dalam linguistik modern dan antropologi kognitif. Dalam antropologi
budaya dia bersama dengan B. Malinowski mencoba mengangkat pendekat-
an kontekstualis budaya, relativisme budaya dan peserta-metode observasi
lapangan.
Menurut Boas, bahwa untuk memahami apa yang ada dalam antropo-
logi budaya, ciri-ciri budaya tertentu (perilaku, kepercayaan dan simbol),
harus diteliti dalam konteks lokal mereka. Dia juga memahami, bahwa
sebagai orang bermigrasi dari satu tempat ke tempat lain, dipastikan
menghadapi perubahan konteks budaya dari waktu ke waktu, unsur-unsur
dan makna budaya akan berubah, sehingga sejarah lokal untuk analisa
budaya dipandang sangat penting.
Meskipun pada saat itu Bronisław Malinowski dan Radcliffe Brown
berfokus pada studi masyarakat, namun Boas malah memokuskan perhati-
annya pada sejarah yang menyebar dari satu tempat ke tempat lain. Inilah
membimbing Boas untuk melihat batas-batas budaya yang tumpang tindih.
Boas dan murid-muridnya memahami, bahwa saat masyarakat mencoba
untuk memahami dunia mereka, berarti mereka berusaha untuk menginte-
grasikan elemen berbeda dalam budayanya. Budaya yang berbeda tersebut
mencerminkan konfigurasi atau pola yang berbeda. Boasians juga meyakini,
bahwa integrasi tersebut selalu dalam ketegangan dengan difusi, serta setiap
tampilan konfigurasi yang stabil selalu kontingen sifatnya.
Alfred Kroeber (muridnya), menyimpulkan prinsip-prinsip empirisme
yang mendefinisikan antropologi sebagai ilmu Boasian, sebagai berikut:
1.  Metode ilmu pengetahuan adalah mulai dengan pertanyaan, tidak
dengan jawaban, apalagi dengan pertimbangan nilai.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 390


2.  Ilmu adalah penyelidikan tidak memihak (emik) dan karenanya tidak
dapat mengambil alih langsung setiap ideologi yang sudah dirumuskan
dalam kehidupan sehari-hari, karena hal ini dipastikan bersifat tradi-
sional dan biasanya diwarnai dengan prasangka emosional.
3. Menyapu semua-atau-tidak, penilaian hitam-putih merupakan ciri khas
dari sikap kategoris dan tidak punya tempat dalam ilmu pengetahuan,
yang sangat dalam dapat disimpulkan dan bijaksana.
Usaha untuk memilih bagian dari karya besar Franz Boas tentang
xOeuver yang representatif, terutama kontribusinya melalui mahasiswanya
dalam tradisi lisan (oral tradition), adalah sangat sulit dipahami. Tulisan-
tulisannya cenderung spesifik dan hanya cocok untuk konteks yang lebih
sempit pula. Jadi, untuk mendapatkan yang terbaik dari karya-karya Boas
tersebut, kita harus memperluasnya sendiri. Oleh karena itu, dalam buku
ini akan dipilih dua tulisanya saja, yang kontibusi studinya dianggap ter-
fokus. Salah satunya yang membahas ketidakprofesionalan penelitian
lapangan dengan menggunakan metode komparatif, terutama yang diper-
kenalkan oleh Morgan. Selain itu, ia juga menentang faham rasisme, yang
ia bahas dalam bukunya The Maind of Primitive Man (1911). Ia mengklaim
analisis faham rasialisme, bahwa jejak-jejak kebudayaan dapat ditemukan
melalui penyatuan beberapa ras. Menurut Boas, bahwa terlalu luas untuk
mereka buktikan hubungan-hubungan yang ada antara ras dan kebudaya-
an, karena hal itu tidak tampak, sehingga kajian mereka cenderung tidak
menghasilkan apa-apa. Boas juga menyimpulkan, bahwa variasi dari feno-
tipe (phenotype)94 dalam sebuah ras tidak memungkinkan untuk menjusti-
fikasi adanya tingkatan kemajuan suku bangsa (ethnocentrsim) sebagai yang
terkebelakang (inferior) dan suku bangsa yang cukup maju (superior).
Boas tetap berpegang teguh pada ketidakpercayaannya terhadap
faham rasisme tersebut selama hidupnya. Dalam sebuah artikelnya (1931) ia
mengaskan, bahwa perbedaan antara penduduk (population) merupakan
independensi karakteristik rasial, walaupun hal itu kadang-kadang ber-
fungsi sebagai pembeda kebudayaan (cultural feature). Data dari artikel ini
sebenarnya sangat penting, namun sayangnya karena dipublikasikan dalam
bahasa Jerman.
Frans Boas mempublikasikan kritikannya terhadap metode komparatif
dalam artikel yang berjudul The Limitations of the Comparative Method of
Anthropology (1896). Ia dalam artikelnya tersebut memperkenalkan konsep
barunya tentang relativisme kebudayaan (cultural relativism), yang berhasil
mencatat nama besar Boas di dalam dunia antropologi. Menurut Boas dalam
prinsip relatifisme kebudayaannya, bahwa semua kebudayaan adalah sama
94
Fenotipe Koentjararungrat (2003:62) adalah ciri-ciri fisik yang nampak dari luar sebagai
akibat evolusi biologi pada organisme.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 391


dan dapat dibandingkan antara satu dengan yang lainnya, sehingga tidak
akan mungkin ada kebudayaan terkebelakang dan kebudayaan yang lebih
maju. Semua kebudayaan harus dipandang sebagai dirinya sendiri, tanpa
harus membandingkan dengan yang lainnya. Oleh karena itu, sangat tidak
mungkin pula menurut Boas untuk mengatur tinggi atau rendahnya derajat
sebuah kebudayaan dalam jalur evolusi. Menurut Boas, lebih baik kita mem-
bahas tentang tertutup (covert) atau terbukanya (overt) sebuah kebudayaan
daripada menentukan tingkatan yang diduki baik atau jelek dan paling bagus
atau paling jelek sebuah kebudayaan. Premis-premis seperti ini cenderung
merupakan ikatan kebudayaan (cultural boud) yang berujung pada prinsip-
prinsip etnosentrisme (ethnocentrism). Oleh karena itu, apabila sebuah
karakter (trait) berasal dari kebudayaan yang sama, sangat tidak menye-
nangkan apabila pertanyaan maju atau tidak kebudayaan-kebudayaan
tersebut tetap dipertahankan.
Boas kemudian memperlihatkan beberapa bentuk kelemahan metode
komparatif, beirkut ini: 1) sangat tidak mungkin mengetahui keseluruhan
tipe budaya dengan hanya mengklaim, bahwa kebudayaan itu sama, karena
adanya kesamaan berpikir manusianya, 2) penemuan kesamaan karakter
dalam sebuah kebudayaan tidak terlalu penting bagi para ahli budaya
yang akan memakainya dan 3) kesamaan karakter yang ada boleh di-
kembangkan untuk berbagai alasan dalam kebudayaan yang berbeda dan 4)
pandangan yang menyatakan, bahwa perbedaan-perbedaan kebudayaan
sangat mengakar, juga tidak terlalu berdasar, karena perbedaan-perbedaan
kebudayaan itu hanya penting bagi penelitian etnografi.
Boas berusaha mengubah dan menjawab kelemahan-kelamahan
metode komparatif tersebut dengan penekanan-penekakan berikut: 1) adat-
istiadat harus dipelajari dalam bentuk detail dengan melihatnya sebagai
bagian dari kebudayaan secara menyeluruh dan 2) distribusi adat-istiadat
terhadap kebudayaan sekitar juga harus dianalisis, tetapi tidak melalui
sebuah perbanding. Oleh karena itu, menurut Boas metode ini dapat
memberi kemampuan kepada mahasiswa: 1) untuk mengungkapkan faktor-
faktor lingkungan yang ikut mempengaruhi sebuah ekologi kebudayaan
(cultural ecology), 2) untuk menjelaskan aspek-aspek biologis yang mem-
bentuk kebudayaan dan 3) untuk menjelaskan sejarah perkembangan adat-
istiadat lokal. Keseluruhan premis-premis tersebut sering juga disebut
sebagai motode induktif di dalam antropologi. Boas menganjurkan, bahwa
tugas utama antropologi adalah mempelajari masyarakat secara individu
dan generalisasi melalui metode komparatif hanya dapat berlaku pada
akumulasi data-data basis saja. Apa yang ingin disampaikan Boas dalam
kajiannya adalah antropologi harus menjadi disiplin ilmu yang menguna-
kan metode induksi dan bukan metode komparatif.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 392


2. Alfred Louis Kroeber
Alfred Louis Kroeber lahir pada tanggal 11 June 1876 dan
meninggal 5 Oktober 1960 in Paris 1960. Ia adalah salah se-
orang pendiri Antopologi Budaya (cultural anthropologist). Ia
menerima gelar Ph.D. di bawah bimbingan Franz Boas di
Columbia University tahun 1901, sebagai doktor pertama da-
lam bidang antropologi yang menerima penghargaan dari Universitas
Columbia. Ia juga professor pertama yang ditunjuk memimpin Jurusan
Antropologi di Universitas California, Berkeley. Ia memiliki peran integral
sebelumnya di Museum of Anthropology, dimana sebagai pelaksana
Director dari 1909 hingga 1947. Kroeber telah memberikan informasi secara
detail tentang Ishi, generasi terkhir yang masih hidup dalam masyarakat
Yahi, yang telah dipelajarinya beberapa tahun. Dia adalah mantan bapak the
acclaimed novelist, poet dan penulis cerita pendek Ursula Kroeber Le Guin.
Kroeber dilahirkan di Hoboken, New Jersey, dari orang tua kelas
menengah: Florence Kroeber dan Johanna Muller. Keduanya masih merupa-
kan keturunan Jerman. Keluarganya pindah ke New York, ketika Alfred
masih muda sekali dan ia diajar dan mengikuti sekolah private di sana.
Keluarganya menggunakan dua bahasa (bilingual), dimana Kroeber ber-
bahasa Jerman di rumah dan Kroeber juga mulai belajar bahasa Latin and
Yunani di sekolah, memulai ketertarikan dalam bahasa sepanjang hidupnya.
Kroeber mengikuti kuliah di 16 tahun, bergabung ke Philolexian Society dan
hidup dari gelar A.B. dalam bahasa Inggris tahun 1896 dan mendapat gelar
M.A. (master of arts) drama Romantic pada tahun 1897. Setelah mengubah
orientasi akademiknya ke Antropologi, ia memnerima gelar Ph.D. di bawah
bimbingan Franz Boas di Universitas Colombia pada tahun 1901, bermodal-
kan disertasi berhalam 28 lembarnya yang diwarnai oleh decorative symbo-
lism pada penelitiannya di Arapaho. Ia adalah doctor pertama yang mem-
peroleh penghargaan dari Universitas Columbia.
Kroeber lebih banyak meniti kariernya di California, terutama di
Universitas California, Berkeley. Dia memegang dua tugas yaitu sebagai
Profesor Antropologi dan sekaligus sebagai direktur Museum Antropologi
di Universitas California (sekarang menjadi Phoebe A. Hearst Museum of
Anthropology). Ketua jurusan antropologi yang dibangun Universitas Cali-
fornia diberi nama Kroeber Hall sebagai bentuk penghrgaan kepadanya. Ia
tergabung sebagai anggota Berkeley hingga pension pada tahun 1946.
Kroeber menikahi Henrietta Rothschild pada tahun 1906. Istrinya
menderita sakit tuberculosis (TB) dan meninggal tahun 1913, setelah bebe-
rapa tahun sakit. Pada tahun 1926 Krober menikah lagi dengan Theodora
Kracaw Brown, janda bernak yang ia temui dalam salah satu seminar

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 393


proposal mahasiswanya. Mereka dikaruniahi dua anak Karl Kroeber,
seorang kritukus sastra dan Ursula Kroeber Le Guin seorang penulis fiksi
sains. Sebagai tambahan, Alfred mengadopsi anak laki-laki Theodora dari
hasil pernikahan pertamanya bernama Ted dan Clifton Brown, yang kedua-
nya memakai Kroeber sebagai nama familinya.
Pada tahun 2003, Clifton dan Karl Kroeber mempublikasikan sebuah
buku dalam bentuk esei tentang sejarah Ishi, yang telah mereka edit dan
terbitkan bersama dengan judul Ishi in Three Centuries. Ini adalah buku
ilmiah pertama tentang Ishi yang berisi esei dari akademisi dan penulis
American tulen.
Sekalipun ia lebih dikenal sebagai antopolog budaya, namun ia lebih
signifikan meneliti arkeologi dan antropologi linguistik dan ia pun berkon-
tribusi dalam antropologi dengan menghubungkan antara arkeologi dengan
kebudayaan. Ia melakukan ekskavasi di New Mexico, Mexico dan Peru. Di
Peru ia membantu pendiri Institute for Andean Studies (IAS) dengan
Peruvian anthropologist Julio C. Tello dan beberapa ilmua besar lainnya.
Kroeber dan mahasiswanya melakukan pekerjaan penting untuk
mengumpulkan data kebudayaan pada suku-suku pedalaman bagian Barat
Amerika. Penelitian ini dilakukan sebagai lanjutan dari informasi awal
tentang suku-suku di California, yang dimunculkan dalam Handbook of the
Indians of California (1925). Dalam buku itu, Kroeber pertama-tama melukis-
kan sebuah pola kempok di California, dimana sebuah unit sosial (social
unit) lebih kecil dan terorganisi kurang herarki dibandingkan dengan
sebuah tribe,95 yang telah dielaborasi di dalam The Patwin and their Neighbors
dimana pertama kali Kroeber menggunakan istilah tribelet untuk
menggambarkan level organisasi di California. Kroeber mengembangkan
konsep tersebut dengan menggabungkannya dengan konsep culture area,
cultural configuration (Cultural and Natural Areas of Native North America, 1939)
dan cultural fatigue (Anthropology, 1963).
Pengaru Kroeber begitu kuat, sehingga banyak dari ahli kontemporer
yang mengadopsi gayanya of beard and mustache as well as his views as a
cultural historian. Sepanjang hidupnya, Kroeber dikenal sebagai Dean of
American Anthropologists. Kroeber dan Roland B. Dixon sangat berpengaruh
dalam klasifikasi genetic bahasa penduduk lokal American languages di
America Utara, yang dpat dipertanggung jawabkan secara teoretis untuk
mengelompokkan Penutian dan Hokan, berdasarkan kasus-kasus bahasa
secara umum.

95
Suku (tribe) adalah istilah yang didefinisikan secara longgar yang digunakan untuk
menunjukkan berbagai organisasi sosial yang ada di antara kelompok-kelompok
pencari-berburu.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 394


Dia terkenal karena bekerja dengan Ishi, yang diklaim sebagai Indian
Yahi California terakhir. (Ishi mungkin terdiri dari warisan etnis campuran,
dengan ayah dari suku Wintu, Maidu atau Nomlaki.) Istri keduanya,
Theodora Kracaw Kroeber, menulis sebuah biografi terkenal Ishi, Ishi in Two
Worlds. Hubungan Kroeber dengan Ishi adalah subyek sebuah film, The Last
of His Tribe (1992), yang dibintangi Jon Voight sebagai Kroeber dan Graham
Greene sebagai Ishi.
Buku teks Kroeber, Anthropology (1923, 1948), banyak digunakan
selama bertahun-tahun. Pada akhir 1940-an, itu adalah satu dari sepuluh
buku yang dibutuhkan untuk dibaca bagi semua siswa selama tahun
pertama mereka di Universitas Columbia. Bukunya, Configurations of
Cultural Growth (1944), memiliki dampak abadi pada penelitian ilmiah sosial
tentang kejeniusan dan kebesaran; Kroeber percaya bahwa jenius muncul
dari budaya pada waktu tertentu, daripada berpegang pada teori orang
hebat (the great man).
Kroeber bertugas sejak awal sebagai direktur riset penggugat pada
Indians of California versus the United States, dalam sebuah kasus klaim tanah.
Direktur asosiasi dan direktur penelitian untuk pemerintah federal dalam
kasus ini sama-sama telah menjadi muridnya: Omer Stewart dari University
of Colorado dan Ralph Beals dari University of California, Los Angeles,
masing-masing. Dampak Kroeber terhadap Komisi Klaim India mungkin
telah menetapkan cara saksi ahli memberikan kesaksian di depan pengadil-
an tersebut. Beberapa mantan muridnya juga menjabat sebagai saksi ahli,
misalnya, Stewart mengarahkan penelitian penggugat untuk Ute dan untuk
orang-orang Shoshone.
Periode realisme kebudayaan di Amerika Serikat tidak hanya memper-
lihatkan kurangnya teori yang muncul, tetapi juga kuranganya antiteori-
antiteori. Ketika Boas memunculkan idenya, bahwa para anropolog harus
mempelajari masyarakat sebanyak mungkin dalam penelitiannya, sejumlah
antropolog terkemuka rame-rame menghasilkan penelitian etnografi. Akan
tetapi, pada zaman Krober, mereka tidak hanya gagal dalam menciptakan
variasi teori, karena banyak diantara mereka yang memang enggan untuk
membuat teori. Kenyataan ini menunjukkan, bahwa kita harus menyoroti
Kroeber, Lowie dan sejumlah besar figur antropolog saat itu.
Dalam kasus Kroeber, jika satu problematika teori harus dipilih yang
berkenaan dengan dia, hal itu adalah konsep superorganik. Perlu saya jelas-
kan di sini, bahwa Spencer sejak awal kebingunan dan mengalami kesulitan
konsep superorganik ini, karena tidak memasukkan konsep-konsep kebu-
dayaan di dalamnya. Kroeber, di pihak lain, kembali menggunakan ide ini
untuk menjelaskan segala sesuatu yang berkenaan dengan kebudayaan. Dia
menyelesaikan problematika teori ini selama hidupnya, sekalipun banyak

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 395


tekanan yang dihadapinya, karena antropologi ketika itu umumnya tetarik
pada etnografi dan pendekatan psikologi. Dengan terpaksa, Kroeber harus
mendekati Emile Durkheim, yang juga menerima tekanan atas konsepsi
sosialnya, yang diperdebatkan oleh ahli-ahli yang menentang relativisme
kebudayaan di dunia antropologi Amerika ketika itu.
Kroeber juga telah lama tertarik untuk meneliti masalah sifat kebu-
dayaan (the nature of culture), serta hal-hal yang menyebabkan kebudayaan
muncul dan tetap berpola. Dia menggabungkan ide-ide ini dengan konsep
superorganik, dimana ia dianggap kembali ke masa lampau. Perlu dicatat,
bahwa Kroeber memperlihatkan begitu pentingnya superorganik, sama
halnya dengan pola budaya (cultural pattern), melalui penelitiannya tentang
perubahan cara berpakaian kaum hawa. Ia menemukan, bahwa pakaian
wanita yang lebih menjurus pada pilihan pribadi, dapat mempelihatkan
perubahan dalam pola kebudayaan. Dia juga menemukan contoh-contoh
pola kebudayaan di dalam ilmu filsafat, seni dan obyek-obyek lainnya
untuk memperlihatkan, bahwa intelegnesi individu (individual genius) meru-
pakan bahagian dari era budaya dan bukan sebagai sesuatu atau alat yang
sifatnya manasuka (arbitrair).
Ketertarikan Alfred Kroeber dalam pola-pola kebudayaan (cultural
patterns) memuncak pada bukunya yang berjudul Configurations of Culture
Growth (1944), dimana di dalamnya ia mencoba untuk memperhatikan per-
tumbuhan kebudayaan di beberapa masyarakat Eropa, Timur Dekat dan
Timur Jauh.
Kroeber dengan asumsi dasarnya, bahwa masyarakat sering mengem-
bangkan konfigmasi kebudayaannya secara teratur (spasmodically): ketika
pola-pola kebudayaan berkembang, cluster intelegensia dalam kurung waktu ter-
tentu sangat berhubungan dengan pertumbuhan kebudayaan tersebut. Kroeber
membahas pertumbuhan filsafat, ilmu pengetahuan, seni pahat, drama,
lukisan, sastra, musik dan berakhir pada pertumbuhan suatu bangsa di
dalam bingkai konfigurasinya. Kesemuanya adalah projek besar, hebat,
akan tetapi banyak kalangan beranggapan Kroeber akan menuai kegagalan.
Akan tetapi barangkali dapat dikatakan, bahwa tuduhan seperti itu
(ide Kroeber tentang kesejarahan peradaban) hanya diangkat oleh orang-
orang bukan berlatarbelakang antropolog, sekalipun memang banyak antro-
polog yang tidak tertarik dalam kerja Kroeber. Simpulan-simpulan Kroeber
tentang kebudayaan di dalam kajian spektakulernya memang banyak
mengandung pembelajaran dan tetap dirujuk hingga saat ini.
Semasa karier Kroeber dalam dunia akademik, ia telah banyak mem-
peroleh penghargaan, berikut ini:
1. Rekan Akademi Seni dan Sains Amerika (1912).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 396


2. Kroeber menerima lima gelar kehormatan (Yale, California, Harvard,
Columbia, Chicago).
3. Dia dianugerahi dua medali emas.
4. Dia memegang keanggotaan kehormatan di 16 masyarakat ilmiah.
5. Presiden Asosiasi Antropologi Amerika (1917–1918).
Beberapa karya kesohor yang muncul sebagai hasil dari buah tangan-
nya, sebagai berikut:
1. Indian Myths of South Central California (1907) yang di publikasikan
pada University of California dan dipublikasi di American Archaeology
and Ethnology 4:167-250. Di Berkeley (Six Rumsien Costanoan myths,
pp. 199–202); tersedia juga dalam online at Sacred Texts.
2. The Religion of the Indians of California (1907), diterbitkan di University
of California Publications in American Archaeology and Ethnology.
Sedang-kan yang dipublikasikan di Berkeley, dengan judul Shamanism,
Public Ceremonies, Ceremonial Structures and Paraphernalia dan Mythology
and Beliefs; smuanya tersedia dalam Sacred Texts
3. Handbook of the Indians of California (1925) diterbitkan di Washington,
D.C: Bureau of American Ethnology Bulletin No. 78
4. The Nature of Culture (1952) diterbitkan di Chicago.
5. Kerjasama dengan Clyde Kluckhohn: Culture. A Critical Review of
Concepts and Definitions (1952) diterbitkn di Cambridge.
6. Anthropology: Culture Patterns & Processes (1963) diterbitkan New
York: Harcourt, Brace & World (earlier editions in 1923 and 1948).
3. Robert H. Lowie
Robert Harry Lowie lahir dengan nama baptis Robert Heinrich
Löwe di in Vienna, Austria-Hungary pada tanggal 12 June 1883
dan meninggal pada tanggal 21 September 1957 di Berkeley,
Calif., U.S.. Ia adalah Antropolog Amerika kelahiran Austrian.
Sebagai seorang ahli pada North American Indians, dia telah
menciptakan instrument dalam pengembangan antropologi
modern. Lowie lahir dan menghabiskan sepuluh tahun pertama hidupnya
di Wina, Austria-Hungaria. Pada tahun 1893 ia hijrah ke Amerika Serikat. Ia
belajar di College of the City of New York, di mana pada tahun 1896 ia
bertemu dan berteman dengan Paul Radin. Ia memperoleh gelar BA dalam
Filologi Klasik pada tahun 1901. Setelah tugas singkat sebagai guru, ia mulai
belajar kimia di Universitas Columbia. Ia kemudian beralih ke antropologi
di bawah bimbingan Franz Boas, Livingston Farrand dan Clark Wissler.
Dipengaruhi oleh Clark Wissler, Lowie memulai pekerjaan lapangan perta-
manya di Lemhi Reservation di Idaho di Northern Shoshone pada tahun
1906. Ia lulus (Ph.D.) pada tahun 1908. Pada tahun 1909, ia menjadi asisten
kurator untuk Clark Wissler di American Museum of Natural Sejarah, New

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 397


York. Selama berada di sana, Lowie menjadi spesialis di Indian Amerika,
aktif dalam penelitian lapangan, khususnya dalam beberapa kunjungan ke
Great Plains. Karya ini terutama mengarah ke identifikasi dengan Crow
Indians. Pada 1917, ia menjadi asisten profesor di Universitas California,
Berkeley. Dari tahun 1925 hingga pensiun pada tahun 1950, ia adalah
profesor antropologi di Berkeley, bersama dengan Alfred Louis Kroeber. Ia
adalah tokoh sentral dalam ilmu antropologi pada zamannya.
Lowie melakukan beberapa ekspedisi ke Great Plains, dimana ia mela-
kukan kerja lapangan etnografi di Absarokee (Crow, 1907, 1910–1916, 1931),
Arikaree, Hidatsa, Mandan dan Shoshone (1906, 1912–1916). Ekspedisi
penelitian yang lebih pendek membawanya ke barat daya Amerika Serikat,
Great Basin dan ke Amerika Selatan dimana ia terinspirasi oleh Curt
Nimuendaju. Fokus dari beberapa pekerjaan Lowie adalah penyelamatan
etnografi, pengumpulan data yang cepat dari budaya yang mendekati
kepunahan.
Ruth Benedict dan Robert Lowie sama-sama ditugaskan selama Perang
Dunia II untuk mencari informasi tentang kekuatan musuh selama masa
perang oleh Kantor Informasi Perang Amerika Serikat. Tidak seperti Bene-
diktus, Chrysanthemum dan Pedang yang menggambarkan budaya Jepang,
tanpa pernah menginjakkan kaki di Jepang 96, Lowie setidaknya bisa menarik
ingatannya dari dunia masa kecil yang berbahasa Jerman. Dalam bukunya,
The German People, Lowie mengambil pendekatan yang hati-hati dan
menekankan ketidaktahuannya tentang apa yang sedang terjadi di negara
asalnya saat ini. Setelah perang berakhir, Lowie melakukan beberapa
perjalanan singkat ke Jerman.
Bersama dengan Alfred Kroeber, Lowie adalah salah satu murid
generasi pertama Franz Boas. Orientasi teoretisnya berada di dalam arus
utama pemikiran antropologis Boasian, yang menekankan relativisme
kultural (cultural reativism) dan bertentangan dengan evolusi budaya
(cultural evolution) dari era Victoria. Seperti banyak antropolog terkemuka
pada saat itu, termasuk Boas, beasiswanya berasal dari sekolah idealisme
dan romantisme Jerman yang dianut oleh para pemikir sebelumnya seperti
Kant, Georg Hegel dan Johann Gottfried Herder. Lowie, yang agak lebih
kuat dari mentornya, Boas, menekankan komponen historis dan elemen
variabilitas dalam karyanya. Baginya, budaya tidak selesai konstruksi, tetapi
selalu berubah dan dia menekankan gagasan, bahwa budaya bisa berinte-
raksi
96
Arm chair theory adalah seseorang membuat pernyataan ilmiah, sekalipun ia tidak penah
berkunjung dan melihat langsung lokasi penelitiannya. Ia lebih banyakmengubah data
sesuai dengan keinginannya, sehingga hasil angnia peroleh hanyalah berupa sekumpul-
an pernyataan sepekulatif.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 398


Lowie mempengaruhi disiplin antropologi sosial melalui penggunaan
suatu sistem untuk membedakan hubungan kekeluargaan (kinship). Ia
mengidentifikasi empat sistem utama, yang berbeda berdasarkan nama
keluarga dari generasi pertama, yaitu generasi orang tua. Skema Klasifikasi-
nya sedikit dimodifikasi oleh George P. Murdock dengan membagi salah
satu dari empat sistem Lowie menjadi tiga jenis lebih lanjut.
Robert H. Lowie adalah antropolog Amerika kelahiran Austria yang
studi ekstensifnya tentang Indian Amerika Utara memasukkan penelitian
teladan pada Gagak. Dia juga mempengaruhi teori antropologi melalui
karya-karya seperti Culture and Ethnology (1917), Primitive Society (1920) dan
Social Organization (1948).
Lowie belajar di bawah Franz Boas di Universitas Columbia, New York
City, menerima gelar Ph.D. pada tahun 1908. Sejak itu hingga 1921 ia
berafiliasi dengan the American Museum of Natural History, Kota New
York dan di bawah arahan Clark Wissler. Ia melakukan banyak kunjungan
lapangannya ke Indian Plains, termasuk Shoshone utara, Blackfoot dan
Gagak. Kontribusi etnografinya yang paling orisinal muncul dalam 18
monografnya pada suku-suku yang dia pelajari. Selain menulis penelitian,
The Crow Indians (1935), ia juga mengumpulkan tiga volume teks bahasa
Crow. Bukunya berjudul Primitive Society memiliki dampak besar pada
antropologi, yang mendominasi teori organisasi sosial selama hampir 30
tahun. Dalam ruang lingkup yang luas, pekerjaan ini mempertimbangkan
hubungan kekerabatan, keadilan, properti, pemerintah dan topik lainnya
dan membuat banyak konsep difusi budaya.
Salah satu kesulitan yang dapat ditemui adalah memi1ih tulisan
Lowie yang membuatnya cukup terkenal. Seperti yang kita tahu, bahwa
Lowie itu adalah seorang pendekar teori antropolgi sejarah, namun ia
sendiri sulit berintergrasi ke dalam disiplin ini.
Lowie adalah profesor antropologi di University of California, Berke-
ley, dari 1921 hingga 1950. Ia mempertahankan minat seumur hidup dalam
psikologi dan mengatasinya dalam beberapa bagian dalam The History of
Ethnological Theory (1937). Termasuk di antara ide-ide yang dikemukakan-
nya, bahwa agama dan mitologi dapat berasal dari mimpi yang memiliki
semacam dasar biologis. Dia juga menduga, bahwa seleksi budaya merupa-
kan aspek seleksi alam.
Kemudian dalam hidupnya ia menulis tentang budaya Jerman dalam
bukunya Toward Understanding Germany (1945) dan Menuju Memahami
Jerman (1954), yang terakhir berurusan dengan efek perang terhadap kepri-
badian. Karya-karya lain termasuk Robert H. Lowie, Ethnologist: A Personal
Record (1959) dan 33 papers (1911–1957) dalam Selected Papers in Anthropo-
logy (1960), diedit oleh Cora Dubois. Salah satu kesulitan yang bisa ditemui

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 399


adalah memilih tulisan Lowie yang berhasil terkenal. Seperti yang diketa-
hui, bahwa Lowie itu adalah seorang pendekar teori antropolgi sejarah,
namun ia sendiri berintergrasi ke dalam disiplin ini.
Mungkin dapat dikatakan, bahwa Lowie dekat Boas daripada ahli-ahli
antropologi kontemporer lainnya saat ini. Dia sangat mengakar di dalam
filsafat ilmu pengetahuan dan ia sendiri menganggap antropologi sebagai
salah satu cabang ilmu pengetahuan (science). Argumentasi teorinya, seperti
halnya dengan reputasi yang dicapai Morgan, sangat terkenal dalam
dunia ilmu pengetahuan. Disamping konsep-konsepnya yang non-teoretis.
Lowie juga banyak menulis subyek-subyek teoretis. Dia menyibukkan
dirinya dalam menulis teori evolusi, determinisme lingkungan, hubungan
antara kebudayaan dengan ras dan psikologi, serta terkahir ia menulis
tentang difusi sebagai sebuah eksplanasi kebudayaan.
Secara epistemologis Lowie sendiri mengkritik teori evolusi Morgan
dengan klaim, bahwa teori evolusi Morgan yang dikaitkan dengan
sistem kekerabatan tidak dapat dibuktikan, serta menggunakan data adalah
biss. Lowie hanya melihat kontribusi dasar Morgan dalam sistem organisasi
sosial dan lebih kusus lagi dalam pengembangan istilah-istilah kekerabatan.
Selama ia tidak mau menerima evolusionisme sebagai sebuah determinasi
kebudayaan (determinant of culture), ia pun diharuskan mencari cara lain
untuk penjelasan determinasi tersebut. Dia tidak pemah melihat ras sebagai
determinasi kebudayaan dan sepanjang hidupnya digunakan untuk
menentang penjelas kebudayaan yang dikaitkan dengan ras.
Menurut Lowie, kebudayaan tidak bisa direduksi kedalam agregasi
psikologi, karena psikologi bersangkutan erat dengan sikap bawaan (innate
attitudes) dan perilaku individu (individual behavior). Dengan kata lain,
bahwa psikologi itu mempersoalkan apa yang bukan merupakan kebudaya-
an (what is not culture) dalam diri manusia. Bagi Lowie, bahwa kekenyalan
organisme manusia yang didemonstrasikan sebaik-baiknya oleh Boas, yang
menghubungkan psikologi dengan antropologi sebagai hubungan satu arah,
adalah sangat keliru. Para penganut psikologi reduksionis tidak mungkin
dapat menerangkan fakta-fakta etnografi, yang tidak dapat direduksi ke
dalam psikologi.
Menurut Lowie, difusi atau kontak budaya (cultural contact) sifatnya
tidak terlalu penting, sehingga meminjam istilah tersebut jauh lebih gam-
pang ketimbang harus membentuknya sendiri. Kontak budaya merupakan
alasan penting dalam pengembangan kebudayaan. Dalam pertukaran ide-
ide dapat menimbulkan kontak budaya, baik masyarakat simple maupun
kompleks bepartisipasi, baik sebagai donor maupun penerima.
Lowie memiliki banyak tulisan secara principal, sebagai beikut:
1. Societies of the Arikara Indians, (1914)

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 400


2. Dances and Societies of the Plains Shoshones, (1915)
3. Notes on the social Organization and Customs of the Mandan, Hidatsa and
Crow Indians, (1917)
4. Culture and Ethnology, (1917)
5. Plains Indian Age Societies, (1917)
6. Myths and Traditions of the Crow Indians, (1918)
7. The Matrilineal Complex, (1919)
8. Primitive Society, (1919)
9. The religion of the Crow Indians, (1922)
10. The Material Culture of the Crow Indians, (1922)
11. Crow Indian Art, (1922)
12. Psychology and Anthropology of Races, (1923)
13. Primitive Religion, (1924)
14. The Origin of the State, (1927)
15. The Crow Indians, (1935)
16. History of Ethnological Theory, (1937)
17. The German People, (1945)
18. Social Organization, (1948)
19. Towards Understanding Germany, (1954)
20. Robert H. Lowie, Ethnologist; A Personal Record, (1959)
4. Edward Sapir
Edward Sapir lahir pada tahun 1884 di Jerman Pomerania dan
meninggal pada tahun 1939. Ia adalah seorang anthropo-
logislinguis dari Amerika, yang dikenal secara umum sebagai
figur penting pada awal perkembangan linguistik. Sapir lahir
di Jerman Pomerania. Kedua orang tuanya bermigrasi ke
Amerika ketika ia masih kecil. Ia belajar linguistik Jerman di
Columbia, dimana ia terpengaruh oleh Franz Boas untuk bekerja di bahasa
asli Amerika. Sembari menyelesaikan studi doktornya, ia kemudian ke
California untuk bekerja dengan Alfred Kroeber untuk mendokumentasikan
bahasa asli di sana. Ia kemudian dipekerjakan oleh Survei Geologis Kanada
selama lima belas tahun, tempat ia menjadi linguis yang paling signifikan di
Amerika Utara, berdampingan dengan Leonard Bloomfield. Ia ditawari
untuk studi profesor di Universitas Chicago dan tinggal untuk beberapa
tahun melanjutkan pekerjaannya menyusun prinsip linguistik. Di akhir
hidupnya ia menjadi profesor antropologi di Yale. Murid-muridnya adalah
Mary Haas dan Morris Swadesh (linguis) dan Fred Eggan Hortense Powder-
maker (antropolog).
Dengan latar belakang linguistiknya, Sapir menjadi salah satu maha-
siswa Boas untuk mengembangkan paling benar-benar hubungan antara
linguistik dan antropologi. Sapir mempelajari cara dimana bahasa dan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 401


pengaruh budaya masing-masing dan ia tertarik pada hubungan antara
perbedaan bahasa dan perbedaan pandangan dunia budaya. Ini bagian dari
pemikirannya dikembangkan oleh muridnya Benjamin Lee Whorf dalam
prinsip relativitas linguistik atau hipotesis Sapir-Whorf. Dalam dunia antropo-
logi Sapir dikenal sebagai pendukung awal pentingnya pengaruh psikologi
terhadap antropologi yang meyakini, bahwa sifat hubungan antara individu
yang berbeda merupakan hal yang penting untuk cara-cara di mana budaya
dan masyarakat berkembang.
Di antara kontribusi besarnya untuk linguistik adalah klasifikasinya
bahasa Adat Amerika, yang ia uraikan selama sebagian besar kehidupan
profesionalnya. Ia memainkan peran penting dalam mengembangkan kon-
sep fonem modern dan memajukan pemahaman fonologi.
Sebelumnya, Sapir itu umumnya dianggap tidak mungkin untuk me-
nerapkan metode linguistik historis untuk bahasa pribumi, karena mereka
diyakini lebih primitif daripada bahasa Indo-Europa. Sapir adalah yang
pertama membuktikan, bahwa metode linguistik komparatif sama-sama
valid bila diterapkan pada bahasa pribumi. Dalam edisi 1929 dari Encyclo-
pedia Britannica ia menerbitkan apa yang kemudian klasifikasi yang paling
otoritatif dari bahasa asli Amerika dan yang pertama berdasarkan bukti dari
linguistik komparatif modern. Ia adalah yang pertama untuk meng-hasilkan
bukti untuk klasifikasi Algic, Uto-Aztecan dan bahasa Na-Dene. Ia
mengusulkan beberapa keluarga bahasa yang tidak dianggap telah dibukti-
kan secara memadai, tetapi yang terus menghasilkan penyelidikan seperti
Kuil Hokan dan Penutian.
Dia mengkhususkan diri dalam studi bahasa Athabascan, bahasa
Chinookan dan bahasa Uto-Aztecan, memproduksi deskripsi tata bahasa
penting dari Takelma, Wishram, Southern Paiute. Kemudian dalam karier-
nya ia juga bekerja dengan Yiddish, Ibrani dan Cina serta bahasa Jerman. Ia
juga diinvestasikan dalam pengembangan Auxiliary Bahasa Internasional.
Sapir lahir dari keluarga Ibrani Lithuanian di Lauenburg, Provinsi
Pomerania di mana ayahnya, Jacob David Sapir, berkerja sebagai penyanyi.
Keluarganya bukanlah penganut ortodoks dan ayahnya menganut agama
Yahudi melalui musik. Keluarga Sapir tidak menetap di Pomerania dan
tidak pernah mengaku sebagai warga negara Jerman. Bahasa pertama
Edward Sapir adalah Yiddish dan kemudian Inggris. Pada tahun 1888, di
usianya yang keempat, keluarganya pindah ke Liverpool, Inggris dan di
tahun 1890 pindah ke Amerika Serikat, tepatnya di Richmond, Virginia. Di
sini Edward Sapir kehilangan adiknya Max dikarenakan demam tifoid.
Ayahnya mengalami krisis pekerjaan di sinagog dan akhirnya menetap di
New York Lower East Side, di mana keluarganya hidup dalam kemiskinan.
Sebagaimana sang ayah tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarganya, ibu

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 402


Sapir, Eva Seagal Sapir, membuka toko untuk memasok kebutuhan dasar
keluarga. Mereka secara resmi bercerai pada tahun 1910. Setelah menetap di
New York, Edward Sapir tinggal kebanyakan dengan ibunya, yang mene-
kankan pentingnya pendidikan untuk mobilitas sosial dan membawa ke-
luarga ini semakin jauh dari Yudaisme. Meskipun Eva Sapir berpengaruh
cukup penting, Sapir menerima rasa haus akan pengetahuan dan minat
dalam beasiswa, estetika dan musik dari ayahnya. Pada usianya ke-14 Sapir
memenangkan beasiswa Pulitzer untuk sekolah bergengsi, SMA Horace
Mann, tetapi ia memilih untuk tidak menghadiri sekolah yang ia anggap
terlalu mewah, malahan masuk ke SMA DeWitt Clinton. Ia menyimpan
uang beasiswa untuk pendidikan perguruan tinggi. Melalui beasiswanya
Sapir dapat menambah penghasilan ibunya.
Sapir memasuki Columbia pada tahun 1901, masih menggunkan bea-
siswa Pulitzer. Pada saat itu Columbia adalah satu-satunya universitas
swasta elit yang tidak membatasi kesempatan belajar calon mahasiswa
Yahudi dengan kuota sekitar 12%. Kurang lebih 40% dari mahasiswa yang
masuk ke Columbia adalah Yahudi. Sapir meraih sarjana pada tahun 1904
dan magister pada tahun 1905 di bidang filologi Jerman dari Columbia,
sebelum memulai doktoratnya di bidang antropologi yang ia selesaikan
pada tahun 1909.
Beberapa buku terbit dari hasil kajian bahasa antropologi Edward Sapir,
seperti brikut ini.
1. Sapir, Edward (1907). Herder's Ursprung der Sprache. Chicago:
University of Chicago Press.
2. Sapir, Edward (1908). On the etymology of Sanskrit asru, Avestan asru,
Greek dakru. Di Modi, Jivanji Jamshedji. Spiegel memorial volume. Papers on
Iranian subjects written by various scholars in honour of the late Dr. Frederic
Spiegel. Bombay: British India Press.
3. Sapir, Edward; Curtin, Jeremiah (1909). Wishram texts, together with
Wasco tales and myths. E.J. Brill.
4. Sapir, Edward (1910). Yana Texts. Berkeley University Press.
5. Sapir, Edward (1915). A sketch of the social organization of the Nass River
Indians. Ottawa: Government Printing Office.
6. Sapir, Edward (1915). Noun reduplication in Comox, a Salish language of
Vancouver Island. Ottawa: Government Printing Office.
7. Sapir, Edward (1916). Time Perspective in Aboriginal American Culture,
A Study in Method. Ottawa: Government Printing Bureau.
8. Sapir, Edward (1917). Dreams and Gibes. Boston: The Gorham Press.
9. Sapir, Edward (1921). Language: An introduction to the study of speech.
New York: Harcourt, Brace and company.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 403


10. Sapir, Edward; Swadesh, Morris (1939). Nootka Texts: Tales and ethno-
logical narratives, with grammatical notes and lexical materials. Philadelphia:
Linguistic Society of America.
11. Sapir, Edward (1949). Mandelbaum, David, ed. Selected writings in
language, culture and personality. Berkeley: University of California Press.
12. Sapir, Edward; Irvine, Judith (2002). The psychology of culture: A course
of lectures. Berlin: Walter de Gruyter.
Beberapa tulisan essei dan makalah yang dirulis oleh Edward Sapir
seperti beikut ini:
1. Sapir, Edward (1907). Preliminary report on the language and mythology
of the Upper Chinook. American Anthropologist.
2. Sapir, Edward (1910). Some fundamental characteristics of the Ute
language. Science.
3. Sapir, Edward (1911). Some aspects of Nootka language and culture.
American Anthropologist.
4. Sapir, Edward (1911). The problem of noun incorporation in
American languages. American Anthropologist.
5. Sapir, E. (1913). Southern Paiute and Nahuatl, a study in Uto-
Aztekan. Journal de la Société des Américanistes.
6. Sapir, Edward (1915). The Nadene Languages: A Preliminary Report.
American Anthropologist.
7. Sapir, Edward (1917). Do we need a superorganic?. American Anthro-
pologist.
8. Sapir, Edward (1924). The grammarian and his language. The American
Mercury.
9. Sapir, Edward (1924). Culture, Genuine and Spurious. The American
Journal of Sociology.
10. Sapir, Edward (1925). Memorandum on the problem of an international
auxiliary language. The Romanic Review.
11. Sapir, Edward (1925). Sound patterns in language. Language.
12. Sapir, Edward (1931). The function of an international auxiliary language.
Romanic Review (11): 4–15. Diarsipkan dari versi asli tanggal.
13. Sapir, Edward (1936). Internal linguistic evidence suggestive of the
Northern origin of the Navaho. American Anthropologist.
14. Sapir, Edward (1944). Grading: a study in semantics. Philosophy of
Science.
15. Sapir, Edward (1947). The relation of American Indian linguistics to
general linguistics. Southwestern Journal of Anthropology.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 404


Beberapa rekan dan sejawatnya menulis biografi Edward Sapir seperti
berikut ini:
1. Koerner, E. F. K.; Koerner, Konrad (1985). Edward Sapir: Appraisals of
his life and work. Amsterdam: John Benjamins.
2. Cowan, William; Foster, Michael K.; Koerner, Konrad (1986). New
perspectives in language, culture, and personality: Proceedings of the Edward
Sapir Centenary Conference (Ottawa, 1–3 October 1984). Amsterdam: John
Benjamins.
3. Darnell, Regna (1989). Edward Sapir: linguist, anthropologist, humanist.
Berkeley: University of California Press.
4. Sapir, Edward; Bright, William (1992). Southern Paiute and Ute:
linguistics and ethnography. Berlin: Walter de Gruyter.
5. Sapir, Edward; Darnell, Regna; Irvine, Judith T.; Handler, Richard
(1999). The collected works of Edward Sapir: culture. Berlin: Walter de
Gruyter.
Edward Sapir, selain menyandang predikat antropolog yang dibentuk
oleh Boas, juga sebagai salah seorang pendiri ilmu bahasa. Kontribusinya di
dalam linguistik yang sangat teknis merupakan sesuatu yang permanen dan
mendasar sifatnya. Sapir, seperti halnya dengan koleha-kolehanya (kecuali
Kroeber yang lebih mengarah pada penerapan psikologi daripada yang
lainnya), sangat tertarik dalam masalah kebudayaan dan keribadian (indi-
vidu) dan karenanya ia pun menghubungkan studi kebudayaannya dengan
kepribadian (personality). Namun demikian, ketertarikannya dalam kepri-
badian tersebut kelihatannya lebih mengarah pada unsur-unsur kognitif
daripada pendekatan emosional manusia.
Sapir memasuki antropolinguistik melalui disiplin ilmu sebelumnya
yaitu filologi Jerman. Sumbangsi besarnya dalam antropologi dan ilmu
bahasa terletak pada penekanannya terhadap pentingannya kebudayaan
dan analogi bahasa dengan kebudayaan. Dia muncul ketika masih diargu-
mentasikan, bahwa tipe bahasa sebuah masyarakat atau ucapan per
individu tidak ada kaitannya dengan suku bangsa dan kembali menjadikan
bahasa primitif sebagai bahan pembanding merupakan suatu kesalah-
kapraan, karena semua bahasa sepenuhnya berkembang di dalam tujuan
kebudayaannya sendiri, bukan melalui suku bangsa.
Sapir mengatakan, bahwa tidak ada hubungan sebab-akibat antara
bahasa dengan kebudayaan. Dia melihat kebudayaan sebagai apa yang
dilakukan dan dipikrkan oleh kelompok sosial dan menganggap bahasa
sebagai cara berpikir ke arah itu.
Dia juga beranggapan, bahwa bahasa sebagai petunjuk sombolik ter-
hadap kebudayaan (symbolic guide to culture). Pendekatan seperti ini meng-
acu, melalui hasil karya mahasiswanya bernama Lee Whorf, pada pengem-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 405


bangan hipotesis Sapir-Whoprf, yang memperlihatkan hubungan erat antara
ketegori kebudayaan dengan bahasa. Sapir selama di bawah bimbingan
Boas, merupakan mahasiswa linguitik pertama yang melihat adanya per-
bedaan antara aspek universal dan spesifik dari sebuah bahasa. Formulasi-
nya tentang aspek keuniversalan bahasa membuatnya sebagai perintis teori
antropologi dan linguistik yang menekankan struktur dalam (deep structure)
dari sebuah bahasa, yang kemudian menjadi landasan pokok para aliran
struktural di Prancis.
5. Benyamin Lee Whorf
Putra dari Harry Church Whorf and Sarah Edna Lee Whorf,
Benjamin Lee Whorf lahir pada tanggal 24 April 1897 di
Winthrop, Massachusetts. Harry Church Whorf adalah seorang
artis, intelektual dan desiner, yang awalnya bekerja pada bekerja
sebagai artis komersial kemudian akhirnya menjadi pemain
drama. Benyamin memiliki dua saudara, John and Richard keduanya
menjadi notable artists. John menjadi renowned painter and illustrator
tingkat internasional, sementara Richard menjadi actor dalam filem seperti:
Yankee Doodle Dandy, kemudian Emmy dan acara nominasi televise The
Beverly Hillbillies. Benyamin sudah sangat pintar ketika umumya masih 3
tahun, sehingga pada masa mudanya ia telah melakukan penelitian dengan
menggunakan alat fotografi milik ayahnya. Di adalah kutu buku, tertarik
dalam botani, astrologi dan Middle American prehistory. Ia membaca
berulang kali buku William H. Prescott dengan judul Conquest of Mexico.
Pada usia 17 tahun ia memulai menulis diarinya dengan merekam semua
impian dan hayalannya.
Whorf adalah lulusan dari Massachusetts Institute of Technology. Pada
tahun 1918 ia lulus dengan predikat chemical engineering dengan nilai
akademik di atas rata-rata. Pada tahun 1920 ia menikahi Celia Inez
Peckham, yang menjadi ibu dari ketiga anaknya: Raymond Ben, Robert
Peckham and Celia Lee. Pada waktu bersamaan ia bekerja sebagai petugas
pemadam kebakaran (setingkat inspector) pada Hartford Fire Insurance
Company. Ia adalah pekerja andalan dalam pekerjaannya dan diberi peng-
hargaan dari atasannya. Pekerjaannya tersebut meminta dirinya untuk
berkeliling untuk memproduksi fasilitas melalui New England untuk
diinspeksi. Salah satu anekdot berkembang tentang dirinya ketika sampai di
sebuah industry kimia dimana dia menolak mentah-mentah yang diakses
oleh direktur, karena ia tidak menginginkan seseorang menyaksikan
prosedur peroduksi bahan kimia, karena menurutnya itu adalah rahasia
perusahaan. Sehabis menerangkan prosedur industry, Whorf kemudian
mengambil secarik kertas, lalu menulis formula di atas, kemudian berkata
kepada direktur: I think this is what you're doing. Sang direktur yang penuh

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 406


kebingungan bertanya kepada Whorf bagaimana caranya mengetahui pro-
sedur rahasianya. Whorf dengan santainya menjawab: You couldn't do it in
any other way.
Whorf membantu untuk mendemontasikan kepada konsumen baru-
nya pada sebuah perusahaan Fire Insurance Company; mereka menyimak
baik-baik inspeksi dan arahan dari Whorf. Muncul anekdot baru berkenaan
dengan pekerjaannya untuk berargumentasi, bahwa language use affects
habitual behavior (bahasa meniliki afek terhada perilaku. Whorf menggam-
barkan sebuah workshop yang penuh dengan drum minyak di dalamnya,
sementara yang lainnya kosong: Whorf kemudian berargumentasi, bahwa
because of flammable vapor the empty drums were more dangerous than those that
were full, although workers handled them less carefully to the point that they
smoked in the room with empty drums, but not in the room with full ones. Whorf
argued that by habitually speaking of the vaporfilled drums as empty and by
extension as inert, the workers were oblivious to the risk posed by smoking near the
empty drums
Whorf termasuk orang alim sepanjang hidupnya, sekalipun belum
jelas agama yang dianutnya. Sebagai anak muda ia telah menulis sebuah
naskan dengan judul Why I have discarded evolution, karena banyak ilmuan
yang mencapnya sebagai pengikut Methodist Episcopalian, di bawah tekanan
fundamentalism dan ia juga diragukan sebagai pendukung creationism.
Meskipun demikian, Whorf dalam kehidupan agamanya tertarik dalam
theosophy, sebuah organisasi non-sektarian berdasarkan ajaran Budha dan
Hindu, yang mengajarkan padangan world as an interconnected whole dan
persaudaraan umat manusia tanpa mempersoalkan latar belakang perbeda-
an ras, agama, jenis kelamin, kasta dan warna kulit.
Beberapa ahli mengatakan, bahwa konflik antara spiritual dengan
scientific inclinations telah menjadipendongkrat pengembangan intlektual
Whorf, khususnya dalam abstrkasi dalam lnguistik telativitas (linguistic rela-
tivity). Beberapa naskah Whorf tentang spiritual yang belum dipublikasikan
juga menginspirasikan, bahwa dia telah dipengaruhi oleh ide-ide Helena
Blavatsky pendiri Theosophical Society, yang banyak menulis tentang
evolusi kosmik, suatu kepercayaan yang menerima baik reinkerasi sebagai
sumber dari evolusi bangsa manusia untuk menuju ketingkat lebih tinggi.
Menurut Whorf, bahwa of all groups of people with whom I have come in contact,
Theosophical people seem the most capable of becoming excited about ideas—new
ideas.
Sekitar tahun 1924 Whorf pertama kalinya tertarik dalam ilmu bahasa
(linguistics). Awalnya ia menganalisis text-teks biblical, mencoba mencari
arti yang terselubung di belakang teks-teks tersebut. Diinspirasi oleh peker-
jaan esoteric Antoine Fabre d'Olivet dalam bukunya La langue hebraïque

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 407


restituée, dia memulai analisisnya terhadap semantik dan gramitikal Biblical
Hebrew. Teks-teks Jebrew dan Maya dari Whorf sebelumnya, digambarkan
sebagai exhibiting a considerable degree of mysticism, as he sought to uncover
esoteric meanings of glyphs and letters.
Whorf melakukan studi kepustakaan linguistik lebih banyak dilakukan
di perpustakaan Watkinson (sekarang Hartford Public Library). Perpustaka-
an ini banyak memiliki koleksi materi tentang Native American linguistics and
folklore, yang sebelumnya dikoleksi oleh James Hammond Trumbull. Di
Perputskaaan Watkinsonlah Whorf bertemu dan berteman anak muda
bernama John B. Carroll, yang kemudian belajar psikologi di bawah bim-
bingan B. F. Skinner dan yang mengedit karya-karya Whorf pada tahun
1956 dan pembulikasikan tulisan atau esei Whorf berjudul Language,
Thought and Reality (Carroll, 1956). The collection rekindled Whorf's interest in
Meso-american antiquity. Dia mulai belajar bahasa Nahuatl pada tahun 1925
dan kemudian awal tahun 1928, ia mempelajari Maya hieroglyphic texts. Dia
cepat memahami dan mengumpulkan bahan-bahan dan mulai berdialog
secara akdemik dengan ahli-ahli Mesoamerican seperti Alfred Tozzer,
arkeolog Harvard University Herbert J. Spinden dan dan petugas Brooklyn
Museum.
Pada 1928 ia mulai membawakan makalah pada International Congress
of Americanists dimana dia mempresentasekan terjemahannya dokumen-
dokumen bahasa Nahuatl yang diambil dari Peabody Museum di Harvard. Dia
juga memulai mempelajari linguistic bandingan kekerabatan bahasa Uto-
Aztecan, dimana Edward Sapir saat itu menjadikannya sebagai contoh
kasus dalam kajian kekerabatan bahasa (linguistic family) yang ia sedang
teliti. Sebagai tambahan dalam bahasa Nahuatl, Whorf mempelajari bahasa
Piman and bahasa Tepecano, melalui korespondensi aktif dengan seorang
linguis bernama J. Alden Mason.
Oleh karena janji pada dirinya seperti yang dilukiskan di dalam
studinya tentang Uto-Aztecan, Tozzer dan Spinden menganjurkan kepada
Whorf, agar mendapat rekomendasi dari Social Science Research Council
(SSRC) untuk mendukung penelitiannya. Whorf kemudian menyiapkan
sejumlah uang perjalannya ke Mexico untuk procure naskah-naskah Aztec
untuk perpustakaan Watkinson. Tozzer jua menganjurkan, agar Whorf juga
tinggal bebera waktu di Mexico mendokumentasi bahasa dialek-dialek
modern Nahuatl. Dalam proposalnya, Whorf mengajukan untuk to establish
the oligosynthetic nature of the bahasa Nahuatl. Sebelum berangkat Whorf
mempresentasikan makalahnya berjudul Stem series in Maya pada konferensi
Linguistic Society of America, dimana ia beragumentasi, bahwa dalam
beberapa silabel bahasa Mayan berisi banyak carry symbolic. Social Science
Research Council (SSRC) kemudian menghargai rencana kajian Whorf

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 408


dengan memberi rekomendasi yang isinya mendukung Whorf mengunjungi
Mexico City pada tahun 1930. Professor Robert H Barlow, sebagai mitranya,
akan mempertemukannya dengan beberapa penutur asli bahasa Nahuatl.
Mereka akan membantu Whorf untuk bertemu beberapa informannya
seperti Mariano Rojas penutur bahasa Tepoztlán dan Luz Jimenez penutur
bahasa Milpa Alta.
Hasil dari perjalan Whorf ke Mexico adalah sketch of Milpa Alta Nahuatl,
yang baru bisa dipublikasikan setelah kematiannya dan sejumlah artikel
tentang Aztec pictograms yang dapat ditemukan pada monumen Tepozteco
di Tepoztlán, Morelos yang ditandainya, bahwa Aztec and Maya memiliki
bentuk dan arti dan tanda (form, meaning dan sign).
Setibanya dari Mexico pada tahun 1930, Whorf telah sepenuhnya
otodidak dalam teori linguistik dan metodologi lapangan. Itulah yang
mengangkat namanya di daam dunia linguistik di Amerika Tengah. Whorf
telah menemui Sapir, yang memimpin Linguistik Amerika ketika itu, di
dalam sebuah seminar profesi dan pada tahun 1931 Sapir dating ke Yale dari
University of Chicago untuk menduduki posisi sebagai professor di dalam
Antropologi. Alfred Tozzer mengirim ke Sapir seperangkat fotokopi artikel
Whorf tentang Nahuatl tones and saltillo. Sapir menjawabnya dan
mengatakan, bahwa should by all means be published, sekalipun, tidak sampai
tahun 1993 makalh tersebut telah dipersipkan penerbitannya oleh Lyle
Campbell dan Frances Karttunen.
Hipotesis Sapir-Whorf adalah sebuah pernyataan saintifik dalam teori
linguistik relativitas, bahwa ada hubungan kuat antara bahasa, budaya dan
pikiran seorang penutur. Lalu, dalam proses berbahasa, terbukti bahwa
kondisi dan kebudayaan seseorang sangat mempengaruhi bahasa yang
digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Pola budaya suatu masyarakat,
menurut hipotesis ini, mampu mengkonstruk klausa, sehingga memberikan
variasi informasi dan kesantunan suatu bahasa. Hipotesis ini didasari oleh
penelitian Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf terhadap suku Hopi di
Afrika.
Whorf dan Sapir sama-sama di Yale pada American Indian Linguistics.
Dia terdaftar dalam program studi pascasarjana untuk mencapai gelar PhD
dalam bidang linguistik, namun dia tidak serius untuk mendapatkan gelar,
memuaskan dirinya dengan berpartisipasi dalam komunitas intelektual di
sekitar Sapir. Di Yale, Whorf bergabung dengan lingkaran murid Sapir yang
termasuk ahli bahasa termasyhur seperti Morris Swadesh, Mary Haas,
Harry Hoijer, G. L. Trager dan Charles F. Voegelin. Whorf mengambil peran
sentral di antara murid Sapir dan sangat dihormati.
Sapir memiliki pengaruh besar pada pemikiran Whorf. Tulisan-tulisan
Sapir yang paling awal telah mengemukakan pandangan tentang hubungan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 409


antara pemikiran dan bahasa (language and mind) yang berasal dari tradisi
Humboldtian yang ia peroleh melalui Franz Boas, yang menganggap bahasa
sebagai perwujudan historis dari volksgeist, atau pandangan etnik dunia.
Akan tapi Sapir sejak itu dipengaruhi oleh arus positivisme logis, seperti;
Bertrand Russell dan Ludwig Wittgenstein awal. Ia juga secara khusus
dipengaruhi melalui teori Makna Ogden dan Richards. Ia kemudian meng-
adopsi pandangan, bahwa bahasa alami berpotensi mengaburkan, bukan-
nya memfasilitasi pikiran untuk memahami dan menggambarkan dunia
sebagaimana adanya. Dalam pandangan ini, persepsi yang tepat hanya
dapat dicapai melalui logika formal. Selama tinggal di Yale, Whorf memper-
oleh arus pemikiran ini sebagian dari Sapir dan sebagian melalui bacaannya
sendiri tentang Russell dan Ogden dan Richards. Ketika Whorf betul-betul
terpengaruh oleh ilmu positivis, ia juga membatasi diri dari beberapa
pendekatan terhadap bahasa dan makna yang ia lihat masih kurang dalam
ketelitian dan wawasan. Salah satunya adalah filsuf umum Polandia Alfred
Korzybski, yang di AS dianut oleh Stuart Chase. Chase mengagumi pekerja-
an Whorf dan sering mencari Whorf, yang enggan mengakui Chase sebagai
orang yang kompeten untuk menangani permaslahan bahasa. Ironisnya,
Chase kemudian akan menulis kata pengantar untuk koleksi tulisan-tulisan
Whorf oleh Carroll.
Sapir juga mendorong Whorf untuk melanjutkan karyanya dalam
bidang linguistik historis dan deskriptif dari Uto-Aztecan. Whorf kemudian
menerbitkan beberapa artikel tentang topik itu dalam periode ini. Beberapa
di antaranya dengan G. L. Trager, yang telah menjadi teman dekatnya.
Whorf menaruh minat khusus pada bahasa Hopi dan mulai bekerja dengan
Ernest Naquayouma, seorang penutur asli dari Hopi. Ia berasal dari desa
Toreva dan tinggal di Manhattan, New York. Whorf memuji Naquayouma
sebagai sumber penting dari sebagian besar kebutuhan informasinya
tentang bahasa Hopi, meskipun pada tahun 1938 ia melakukan kunjungan
lapangan singkat ke desa Mishongnovi, di ke Mesa di Arizona.
Pada tahun 1936, Whorf diangkat sebagai Honorary Research Fellow
dalam Anthropologi di Yale dan dia diundang oleh Franz Boas untuk
berpartisipasi di komite Society of American Linguistics (kemudian menjadi
Linguistic Society of America). Pada tahun 1937, Yale menghadiahinya Sterling
Fellowship. Dia adalah dosen di jurusan Antropologi dari 1937 sampai 1938,
menggantikan Sapir, yang sakit parah. Whorf memberi kuliah tingkat
sarjana tentang Masalah Linguistik Indian Amerika. Pada tahun 1938 dengan
bantuan Trager, ia memaparkan laporan tentang perkembangan penelitian
linguistik di departemen antropologi di Yale. Laporan ini mencakup bebe-
rapa kontribusi berpengaruh Whorf terhadap teori linguistik, seperti konsep
the allophone and of covert grammatical categories. Menurut Lee (1996), bahwa

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 410


dalam laporan ini teori linguistik Whorf ada dalam bentuk yang kental,
terutama melalui laporan yang menggambarkan, bahwa Whorf memberikan
pengaruh pada disiplin linguistik deskriptif.
Pada akhir 1938, kesehatan Whorf sendiri mulai menurun. Setelah
operasi kanker dia akhirnya menjadi tidak produktif lagi. Dia juga sangat
dipengaruhi oleh kematian Sapir pada awal 1939. Hal ini tercermina di
dalam tulisan-tulisannya 2 tahun terakhir, bahwa ia menghentikan program
penelitian linguistik relativitas (Linguistic relativity). Artikel peringatan
tahun 1939-nya untuk Sapir, The Relation of Habitual Thought and Behavior to
Language, khususnya telah dianggap sebagai pernyataan definitif Whorf
tentang tentang masalah ini dan merupakan bagian yang paling sering
dikutip dalam berbagai tulisan.
Pada tahun-tahun terakhirnya, Whorf juga menerbitkan tiga artikel di
MIT Technology Review berjudul Science and Linguistics dan Linguistics.
Linguistik sebagai ilmu pengetahuan sangat tepat untuk kajian bahasa dan
logika. Dia juga diundang untuk menyumbangkan artikel ke sebuah jurnal
teosofi bernama Theosophist, yang diterbitkan di Madras, India dengan
judul Language, Mind and Reality. Dalam karya-karya akhir ini ia menawar-
kan kritik terhadap sains Barat. Ia mengusulkan, bahwa bahasa-bahasa non-
Eropa sering mengacu pada fenomena fisik dengan cara yang lebih
langsung mencerminkan aspek realitas daripada banyak bahasa Eropa. Ia
juga menganjurkan, agar sains harus memperhatikan efek dari kategorisasi
linguistik dalam upaya untuk menggambarkan dunia fisik. Dia terutama
mengkritik bahasa Indo-Eropa, karena mempromosikan pandangan dunia
esensialis yang salah, yang telah dibantah oleh kemajuan dalam ilmu penge-
tahuan. Oleh karena itu, ia menyarankan, agar bahasa lain lebih memusat-
kan perhatian pada proses dan dinamika daripada esensi yang stabil. Whorf
berpendapat, bahwa memperhatikan bagaimana fenomena fisik lainnya
dijelaskan dalam studi linguistik dapat memberikan kontribusi yang ber-
harga bagi sains dengan menunjukkan cara-cara dimana asumsi tertentu
tentang realitas tersirat dalam struktur bahasa itu sendiri. Ia malah mem-
berikan arahan tentang bagaimana bahasa memandu perhatian pembicara
terhadap fenomena tertentu di dunia yang berisiko, sementara fenomena
lain yang berisiko ikut terabaikan.
Pada saat kematian Whorf, temannya bernama G. L. Trager ditunjuk
sebagai kurator dari manuskrip-manuskripnya yang belum diterbitkan.
Beberapa dari karya Whorf tersebut diterbitkan pada tahun-tahun setelah
kematiannya oleh teman-teman Whorf lainnya bernama Harry Hoijer. Pada
dasawarsa berikutnya, Trager dan terutama Hoijer mempopulerkan ide-ide
Whorf tentang relativitas linguistik. Hoijerlah yang menciptakan istilah
hipotesis Sapir-Whorf pada konferensi bahasa tahun 1954. Trager kemudian

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 411


menerbitkan artikel berjudul The systematization of the Whorf hypothesis.
Artikel ini memberikan kontribusi pada gagasan, bahwa Whorf telah meng-
usulkan hipotesis yang seharusnya menjadi dasar untuk program penelitian
empiris. Hoijer juga menerbitkan Studies of Indigenous Languages And Cultu-
res of The American South West dimana Whorf menemukan hubungan antara
pola budaya dan bahasa. Istilah ini, meskipun secara teknis keliru, namun
kemudian menjadi label yang paling dikenal luas untuk ide-ide Whorf.
Menurut karya John A. Lucy, bahwa karya-karya Whorf di dalam linguistik
masih diakui sebagai karya yang sangat profesional oleh para ahli bahasa
seperti Whorf.
Karya Whorf mulai kurang digemari selama satu dekade setelah
kematiannya. Ia pun kemudian menjadi sasaran kritik keras dari para ahli
bahasa, budaya dan psikologi. Pada 1953 dan 1954, psikolog Roger Brown
dan Eric Lenneberg mengkritik Whorf, karena; ketergantungannya pada
bukti anekdot dan ia merumuskan hipotesis untuk menguji secara ilmiah
ide-idenya, yang terbatas pada pemeriksaan hubungan kausal antara
struktur gramatikal atau leksikal dan kognisi atau persepsi. Whorf sendiri
tidak menganjurkan kausalitas langsung antara bahasa dan pikiran.
Sementara dia telah menulis, bahwa bahasa dan budaya telah tumbuh
bersama dan keduanya saling dibentuk oleh yang lain. Oleh karena itu,
Lucy (1992) berpendapat, bahwa untuk tujuan perumusan hipotesis Sapir-
Whorf telah menguji sebab-akibat secara sederhana, yang sejak awal gagal
untuk menguji ide-ide Whorf.
Berfokus pada terminologi warna, dengan perbedaan yang mudah
dilihat antara persepsi dan kosakata, Brown dan Lenneberg yang terbit pada
tahun 1954. Ini adalah sebuah studi tentang istilah warna Zuni yang sedikit
mendukung efek lemah dari kategorisasi semantik dalam istilah warna pada
persepsi warna. Dalam melakukan hal itu mereka memulai sederetan studi
empiris yang menyelidiki prinsip relativitas linguistik.
Pengujian empiris hipotesis Whorfian menurun pada 1960-an hingga
1980-an, ketika Noam Chomsky mulai mendefinisikan kembali linguistik
dan banyak psikologi dalam istilah formalis universal. Beberapa penelitian
dari periode itu membantah hipotesis Whorf dan menunjukkan, bahwa
keragaman linguistik adalah lapisan permukaan yang menutupi prinsip-
prinsip kognitif universal. Banyak penelitian yang sangat kritis dan mere-
mehkan analisis bahasa Whorf dan pengikutnya, mengolok-olok analisis
dan contoh-contoh Whorf yang menggambarkan kurangnya gelar akademis
yang dimiliki Whorf. Sepanjang tahun 1980-an sebagian besar ahli terus
meremehkan Whorf atau hipotesis Sapir-Whorf. Ini mengakibatkan muncul-
nya pandangan, bahwa ide-ide Whorf memang telah terbukti salah. Whorf
pun kemudian digambarkan sebagai salah satu anak laki-laki pemborong

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 412


teks-teks pengantar ke linguistik. Pada akhir 1980-an, dengan munculnya
linguistik kognitif dan psikolinguistik, beberapa ahli bahasa berusaha untuk
merehabilitasi reputasi Whorf, karena para ahli mulai mempertanyakan
apakah kritik awal Whorf dibenarkan.
Pada tahun 1960-an filsuf analitis juga menjadi sadar akan hipotesis
Sapir-Whorf. Para filsuf seperti Max Black dan Donald Davidson menerbit-
kan kritik pedas dari pandangan relativis Whorf yang telah mendunia.
Menurut Black, bahwa gagasan Whorf tentang metafisika, menunjukkan
hasil karya seorang amatiran. Menurut Black and Davidson, sudut pandang
Whorf dan konsep linguistik relativitas sangat tidak mungkin bisa dilaku-
kan. Penilaian serupa juga dilontarkan oleh Leavitt dan Lee, bahwa inter-
pretasi Black dan Davidson terhadap Whorf, sudut pandang Whorf yang
didasarkan pada karakterisasi sangat tidak akurat, bahkan tidak masuk akal.
Ini disebabkan oleh banyaknya waktu yang dihabiskan hanya untuk
mencoba menerjemahkan antara skema konseptual yang berbeda. Menurut
mereka, kritik tersebut didasarkan pada kurangnya keakraban dengan
tulisan-tulisan Whorf. Menurut para ahli lain, bahwa deskripsi yang lebih
akurat tentang sudut pandang ilmiah, ketika ia menganggap terjemah-an itu
mungkin melalui perhatian yang cermat terhadap perbedaan tipis antara
skema konseptual.
Eric Lenneberg, Noam Chomsky dan Steven Pinker juga mengkritik
Whorf, karena gagal menjelaskan formulasinya tentang bagaimana pe-
ngaruh bahasa dan berpikir. Ia juga gagal, karena tidak mampu memberi-
kan bukti nyata untuk mendukung asumsi-asumsinya. Umumnya argumen
Whorf hanya mengambil bentuk contoh yang bersifat anekdot atau
spekulatif untuk menunjukkan bagaimana sifat-sifat gramatikal eksotis di-
hubungkan dengan apa yang dianggap dunia pemikiran yang sama eksotis-
nya pula. Bahkan, para pembelot Whorf mengakui, bahwa gaya tulisannya
sering berbelit-belit dan ditulis dalam neologisme, yang kemudian dikaitkan
dengan kesadarannya tentang penggunaan bahasa dan keengganannya
untuk menggunakan terminologi yang mungkin memiliki konotasi yang
sudah ada sebelumnya. Menurut McWhorter (2009: 156), bahwa Whorf
terpesona oleh keaslian bahasa pribumi, kemudian melebih-lebihkan dan
mengidealkannya. Menurut Lakoff, kecenderungan Whorf untuk meng-
eksploitasi data harus dinilai dalam konteks historis. Whorf dan Boasians
lainnya menulis pada waktu di mana rasisme dan jingoisme dominan.
Ketika itu memang belum terpikirkan oleh banyak orang, bahwa bahasa
sebanding dalam kompleksitas. Untuk ini saja, Lakoff berpendapat, bahwa
Whorf dapat dianggap bukan pelopor dalam linguistik dan bukan pula
pelopor dalam ilmu humaniora.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 413


Saat ini banyak pengikut aliran pemikiran universalis terus menentang
gagasan relativitas linguistik. Mereka melihatnya sebagai sesuatu yang tidak
sehat atau bahkan konyol. Steven Pinker, misalnya The Language Instinct ber-
pendapat, bahwa pemikiran itu ada sebelum bahasa dan terlepas darinya.
Pandangan ini juga didukung oleh filsuf bahasa, seperti; Jerry Fodor, John
Locke dan Plato. Dalam sebuah interpretasi, bahasa tidak penting bagi
pemikiran manusia, karena manusia tidak berpikir dalam bahasa alami,
karena bahasa apa pun yang digunakan itu hanya untuk komunikasi.
Sebaliknya, kami berpikir dalam bahasa meta yang mendahului bahasa
alami, yang Pinker adopsi dari Fodor menyebut mentalese. Pinker me-
nyerang apa yang dia sebut sebagai posisi radikal Whorf. Ia juga menyata-
kan, bahwa semakin Anda memeriksa argumen Whorf, semakin sedikit
perasaan yang mereka buat. Para sarjana yang lebih relativis yang dari dulu
tunduk dan patuh pada relativisme bahasa seperti John A. Lucy dan
Stephen C. Levinson, mengkritik Pinker, karena salah mengartikan pan-
dangan Whorf dan berdebat melawan orang-orangan tidak profesional.
Studi linguistik relativitas telah mengalami kebangkitan sejak tahun
1990-an. Serangkaian hasil eksperimen yang menguntungkan telah mem-
bawa kembali Whorfianisme, terutama dalam psikologi budaya dan antro-
pologi linguistik. Studi pertama yang mengarahkan perhatian positif ter-
hadap posisi relativis Whorf adalah tulisan-tulisan George Lakoff's Women
dan Fire and Dangerous Things, dimana mereka berpendapat, bahwa Whorf
telah berada di jalur yang benar dalam fokusnya pada perbedaan kategori
gramatikal dan leksikal sebagai sumber perbedaan dalam konseptualisasi.
Pada tahun 1992, psikolog John A. Lucy menerbitkan dua buku tentang
topik tersebut, yang menganalisis silsilah intelektual hipotesis, dengan
alasan bahwa penelitian sebelumnya telah gagal untuk menghargai seluk-
beluk pemikiran Whorf, karena mereka tidak dapat merumuskan agenda
penelitian yang benar-benar akan menguji klaim Whorf. Lucy mengusulkan
desain penelitian baru alam bukunya One Analyzing The Intellectual Genea-
logy Of The Hypothesis, sehingga hipotesis linguistik relativitas dapat diuji
secara empiris dan untuk menghindari perangkap penelitian sebelumnya
yang diklaim Lucy cenderung mengungkap keuniversalitasan kategori yang
mereka pelajari. Buku keduanya adalah An Empirical Study of The Relation
Between Grammatical Categories And Cognition In The Yucatec Maya Language of
Mexico.
Pada tahun 1996, Penny Lee mengulas kembali tulisan-tulisan Whorf
yang telah diterbitkan. Ia berusaha mengembalikan Whorf sebagai seorang
pemikir yang serius dan cakap. Menurut Lee, bahwa eksplorasi sebelumnya
atas hipotesis Sapir-Whorf telah mengabaikan sebagian besar tulisan Whorf
yang sebenarnya. Akibatnya pertanyaan yang diajukan sangat berbeda

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 414


dengan yang diminta Whorf. Pada tahun itu pula volume linguistik relati-
vitas yang diedit oleh John J. Gumperz dan Stephen C. Levinson mengum-
pulkan sejumlah peneliti yang bekerja di bidang psikolinguistik, sosio-
linguistik dan antropologi linguistik untuk membawa perhatian baru pada
isu tentang bagaimana teori Whorf dapat diperbarui. Sejak saat itu,
penelitian empiris yang cukup besar mengenai linguistik relativitas telah
dilakukan, terutama di Institut Max Planck untuk Psikolinguistik dengan
beasiswa yang memotivasi dua volume studi linguistik relativitas yang telah
diedit oleh para sarjana seperti Lera Boroditsky dan Dedre Gentner.
Pandangan Whorf telah dibandingkan dengan para filsuf seperti
Friedrich Nietzsche dan almarhum Ludwig Wittgenstein, keduanya meng-
anggap bahasa memiliki pengaruh penting dalam pemikiran dan penalaran.
Hipotesisnya juga telah dibandingkan dengan pandangan para psikolog
seperti Lev Vygotsky, yang konstruktivisme sosialnya menganggap per-
kembangan kognitif anak-anak dimediasi oleh penggunaan bahasa sosial.
Vygotsky berbagi minat Whorf dalam psikologi gestalt dan dia juga mem-
baca karya Sapir. Yang lain telah melihat persamaan antara karya Whorf
dan ide-ide teoritikus sastra Mikhail Bakhtin, yang membaca Whorf dan
yang pendekatannya terhadap makna tekstual juga holistik dan relati-vistik.
Ide-ide Whorf juga telah ditafsirkan sebagai kritik radikal terhadap ilmu
positivis
Selain Whorf dikenal sebagai pendekar prinsip relativitas linguistik, ia
juga dikenal sebagai peletak dasar hipotesis Sapir-Whorf, yang disesuikan
dengan nama Whorf dan Edward Sapir. Keduanya menarik secara eksplisit
prinsip relativitas umum Albert Einstein. Prisnip linguistik relativitas meng-
acu pada konsep kategori gramatikal dan semantik dari bahasa tertentu
yang menyediakan kerangka acuan sebagai media di mana observasi dibuat.
Setelah pengamatan asli oleh Boas, Sapir menunjukkan, bahwa penutur
bahasa tertentu merasakan bunyi yang secara akustik berbeda dengan bunyi
yang mendasarinya dan tidak berkontribusi pada perubahan makna. Selan-
jutnya, penutur bahasa memperhatikan suara, terutama jika dua suara yang
sama berasal dari fonem yang berbeda. Perbedaan semacam itu merupakan
contoh bagaimana berbagai kerangka acuan observasional mengarah pada
pola perhatian dan persepsi yang berbeda.
Whorf juga sangat dekat dengan psikologi gestalt, yang percaya,
bahwa penuturnya diperlukan untuk menunjuk keonsrtruksi gestal yang
berbeda, yang disebut sebagai isolat dari pengalaman. Sebuah kata kunci
yang menjelaskan bagaimana aksi membersihkan senjata yang berbeda
antara bahasa Inggris dan bahasa Shawnee. Orang Inggris terfokus pada
hubungan dua objek dan tujuan dari menghilangkan kotoran, sementara
Shawnee fokus pada pergerakan menggunakan tangan untuk untuk tampil

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 415


di ruang bawah tanah. Kejadian-kejadian dilukiskan sama, sementara peng-
istilahan jari tangan dan debu berbeda.
Penelitian Whorf tentang waktu di suku Hopi telah menjadi contoh
linguistik relativitas yang paling banyak dibahas dan dikritik. Dalam anali-
sisnya ia berpendapat, bahwa ada hubungan antara bagaimana orang Hopi
membuat konsep waktu, bagaimana mereka berbicara tentang hubungan
temporal dan tata bahasa dari bahasa Hopi. Argumen Whorf yang paling
terperinci untuk eksistensi linguistik relativitas didasarkan pada apa yang
dilihatnya sebagai perbedaan mendasar dalam pemahaman waktu sebagai
kategori konseptual di kalangan orang Hopi. Dia berpendapat, bahwa baha-
sa Hopi, berbeda dengan bahasa Inggris dan bahasa SAE lainnya, yang tidak
memperlakukan aliran waktu sebagai urutan contoh yang dapat dihitung,
seperti tiga hari atau lima tahun, tetapi lebih sebagai proses tunggal. Karena
perbedaan ini, dalam bahasa Hoki tidak memiliki kata benda yang mengacu
pada satuan waktu. Whorf kemudian mengusulkan, bahwa pandangan
Hopi tentang waktu merupakan hal mendasar dalam semua aspek budaya
mereka dan lebih jauh lagi menjelaskan pola perilaku tertentu. Dalam
esainya dalam peringatan kematian Sapir ia menulis, bahwa bahasa bahasa
Hopi terlihat tidak mengandung kata-kata, bentuk-bentuk gramatikal,
konstruksi atau ungkapan yang merujuk langsung pada apa yang kita sebut
'waktu', atau masa lalu, sekarang, atau masa depan.
Linguist Ekkehart Malotki menantang analisis Whorf tentang ekspresi
dan konsep Hopi dengan banyak contoh bagaimana bahasa Hopi mengacu
pada waktu. Menurut Malotki, bahwa dalam sistem tenses bahasa Hopi ter-
diri dari masa depan dan non-masa depan, bahwa perbedaan tunggal antara
sistem tiga-tegang bahasa-bahasa Eropa dan sistem Hopi adalah gabungan
masa lalu dan masa kini untuk membentuk satu kategori waktu.
Kritik Malotki secara luas dikutip sebagai bukti akhir dalam menyang-
gah gagasan-gagasan Whorf dan konsep relativitas linguistiknya. Para sarja-
na lain membela analisis Hopi, dengan alasan, bahwa klaim Whorf bukan-
lah Hopi tidak memiliki kata atau kategori untuk mendeskripsikan tempora-
litas,, tetapi Hopi memiliki konsep waktu sangat berbeda dengan konsep
waktu penutur bahasa Inggris. Whorf mencatat, bahwa waktu tidak terbagi
ke masa lalu, sekarang dan masa depan, seperti yang umum dalam bahasa-
bahasa Eropa, melainkan sebuah tenggang tunggal, yang mengacu pada
masa sekarang dan masa lalu sementara yang lain mengacu pada peristiwa
yang belum terjadi dan mungkin atau tidak mungkin terjadi di masa depan.
Dia juga menggambarkan sejumlah besar hal yang ia sebut tensor, yang
menggambarkan aspek temporalitas, sekalipun tidak mengacu pada satuan
waktu yang dapat dihitung seperti dalam bahasa Inggris dan sebagian besar
bahasa Eropa.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 416


Pembedaan Whorf antara kategori gramatika batiniah (fenotipik) dan
lahiriah (cryptotypical) telah menjadi sangat berpengaruh dalam linguistik
dan antropologi. Ahli bahasa Inggris Michael Halliday menulis tentang ga-
gasan Whorf mengenai cryptotype dan konsepsi tentang bagaimana model
grammar menjadi kenyataan, yang akhirnya akan menjadi salah satu kontri-
busi utama linguistik abad kedua puluh.
Lebih jauh lagi, Whorf memperkenalkan konsep alofon (Allophones)97,
sebuah kata yang menggambarkan posisi fonetik dari satu fonem super-
ordinat. Dengan demikian, ia menempatkan fonetik dan fonem dalam
mengkonsolidasikan teori fonem awal. Istilah ini dipopulerkan oleh G. L.
Trager dan Bernard Bloch dalam makalahnya tentang fonologi Inggris pada
tahun 1941. Ia kemudian menjadi bagian dari penggunaan standar dalam
tradisi strukturalis Amerika. Whorf menganggap alofon sebagai contoh lain
dari relativitas linguistik. Prinsip alofon menggambarkan bagaimana bunyi
akustik yang berbeda dapat diperlakukan sebagai cerminan dari satu fonem
dalam bahasa. Ini kadang-kadang membuat suara yang berbeda muncul
mirip dengan penutur asli bahasa tersebut, bahkan sampai pada titik di
mana mereka tidak dapat melakukannya ciri pembeda, sekalipun melalui
auditor tanpa pelatihan khusus. Whorf menulis bahwa: alofon juga bersifat
relativistik. Alofon fonem mungkin sangat tidak sama secara obyektif,
akustik dan fisiologis, sehingga mustahil menentukan perbedaannya. Anda
harus selalu menjaga si pengamat dalam posisi yang moderat. Seperti apa
pola linguistik itu dan apa yang dibuat tidak seperti itu (Whorf, 1940). Pusat
penyelidikan Whorf adalah pendekatan yang kemudian digambarkan
sebagai metalinguistik oleh G. L. Trager --- yang pada tahun 1950 --- mener-
bitkan empat esai Whorf tentang Metalinguistik. Whorf sangat tertarik pada
cara-cara dimana pembicara menjadi sadar akan bahasa yang mereka guna-
kan dan mampu mendeskripsikan dan menganalisis bahasa itu sendiri se-
suai apa adanya. Whorf melihat, bahwa kemampuan untuk mencapai
deskripsi yang lebih akurat tentang dunia kenyataan, bergantung pada
kemampuan untuk membangun bahasa mental untuk menggambarkan
bagaimana bahasa mempengaruhi pengalaman. Dengan demikian, kita
mampu untuk mengkalibrasi skema konseptual yang berbeda. Upaya Whorf
sejak itu dianggap sebagai pengembangan studi metalinguistik dan
kesadaran metalinguistik, yang dikembangkan oleh Michael Silverstein
pada tahun 1979, yang kemudian dikembangkannya di dalam bidang antro-
pologi linguistik.
Beberapa buku telah dipublikasikan oleh Benyamin Lee Whorf, seperti
berikut ini:

97

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 417


1. The Relation of Habitual Thought And Behavior to Language. Ditulis pada
tahun 1939 dan terbitan aslinya berjudul Language, Culture and Personality:
Essays in Memory of Edward Sapir diedit oleh Leslie Spier pada tahun 1941.
Buku ini dikutip dalam Carroll (1956:134–59).
2. Science and linguistics terbitan pertama pada tahun 1940 dalam MIT
Technology Review (42:229–31); dikutip dalam Carroll (1956:212–214)
3. Language Mind and Reality ditulis pada tahun 1941, aslinya diterbitkan
oleh Theosophical Society pada tahun 1942 Madras, India. Vol 63:1. 281–
91. Dikutuip dalam Carroll (1956:246–270). Pada tahun 1952 hasilnya juga
diterbitkan ulang oleh Etc., a Review of General Semantics, 9:167–188.
4. Four articles on Metalinguistics 1950 diterbitkan oleh Foreign Service
Institute, Dept. of State.
5. Notes on the Tubatulabal Language. 1936 diterbitkan oleh American Anthro-
pologist.
6. The Comparative Linguistics of Uto-Aztecan. 1935. Diterbitkan oleh American
Anthropologist.
7. Review of: Uto-Aztecan Languages of Mexico. A. L. Kroeber American
Anthropologist, New Series, Vol. 37, No. 2, Part 1.
8. The Milpa Alta dialect of Aztec (with notes on the Classical and the
Tepoztlan dialects) ditulis pada tahun 1939, terbitan pertama tahun 1946
oleh Harry Hoijer dalam Linguistic Structures of Native America, pp.
367–97. Viking Fund Publications in Anthropology, no. 6. New York:
Viking Fund.
9. Whorf, B. L. (1937). The origin of Aztec in American Anthropologist.
10. Bekerjasama dengan George L.Trager. The relationship of Uto-Aztecan and
Tanoan. (1937). American Anthropologist.
11. The Phonetic Value of Certain Characters in Maya Writing. Millwood, N.Y.:
Krauss Reprint. 1975 [1933].
12. Maya Hieroglyphs: An Extract from the Annual Report of the Smithsonian
Institution for 1941. Seattle: Shorey Book Store.
Whorf menanamkan pengaruh yang sangat dalam, baik dalam bidang
linguistik maupun antropologi budaya melalui idenya yang paling seder-
hana. Ia mengkalim, bahwa arti adalah esensial sifatnya, sehingga kategori-
nya dapat berubah (extended atau narrowed meaning) dari suatu kebudayaan
ke kebudayaan lainnya.
Pendapat Whorf menjadi terkenal hingga saat ini, karena dia meng-
klaim, bahwa bahasa merefleksikan dan mempengaruhi pikiran. Oleh
karena itu, menurutnya bahasa yang dipelajari seseorang merupakan ruju-
kan atau susunan dari apa yang telah dikatakan orang lain, sehingga dalam
bertutur harus memikirkan bahasa yang digunakan orang lain. Dengan
demikian, kategori pikiran sebenarnya juga merupakan kategori kebudaya-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 418


an tertentu. Whorf, misalnya, dengan tegas mengklaim, bahwa demensi
waktu dalam bahasa Hopi sangat berbeda dengan yang ada di dalam
bahasa Inggris. Oleh karena itu, salah satu diantaranya (kebudayaan Hopi
dan kebudayaan Amerika) akan menjadi penting di dalam dimensi persepsi.
Whorf, seperti halnya dengan Boas, memperkenalkan konsep relati-
visme bahasa (language relativity) sebagai duplikasi dari relativisme kebu-
dayaan Boas dengan menawarkan data yang sedikitpun tidak mengandung
kebenaran. Oleh karena itu, Whorf akhirnya menjadi bulan-bulanan, karena
ia dituduh sebagai penganut aliran determinisime linguistik, seperti halnya
dengan tuduhan yang dialamatkan pada Boas.
Worf menitikberatkan pemasalahannya dalam menemukan aspek ka-
tegori linguistik yang tidak tampak. Salah satu contoh yang sangat favorit
(sekalipun hal itu tidak dipublikasikan) adalah bentuk jamak dari kata fish
di dalam bahasa Inggris yang diacu oleh morfem jamak kosong (zero plural).
Perbedaan keduanya hanya ditemukan di dalam adat istiadat setempat.
Jika ikan tersebut dimakan, maka hal tersebut diacu oleh morfem jamak
kosong (mislnya; tuna, herring, perch dan sebagainya). Sebaliknya jika
tidak dimakan ditandai dengan bentuk morfem jamak /-s/ dalam kata
shark menjadi sharks, sucker menjadi suckers dan sebagainya). Terdapat
kekecualian, karena dalam menentukan jamak ell sangat membingungkan,
dalam menentukan jamaknya dengan dasar dimakan atau tidak dimakan
seperti di atas, tidak dapat diterapkan pada banyak kasus lain. Whorf
berpendapat, bahwa ada banyak aturan gramatikal seperti itu yang dihu-
bungkan dengan kebudayaan setempat. Apabila adat istiadat berubah,
aturan Whorf tentang kedua bentuk penjamakan tersebut mungkin sudah
benar. Pada artikel pertamanya tahun 1939, misalnya, ikan hiu memang
belum dimakan. Akan tetapi, pada tahun 1970 ikan hiu pun sudah mulai
dimakan di daerah pantai California dan Oregon. Dengan demikian, pe-
nanda jamak /-s/ untuk ikan hiupun segera dihapus.
Kadang-kandang kita terganggu dengan fakta, bahwa dalam bahasa
Inggris tidak ada bentuk kata ganti orang ketiga tunggal (third person
singular pronoun), baik nominatif maupun obyektif, sehingga tidak memiliki
penanda jenis kelamin. Demikian pula dengan fakta, bahwa bahasa Inggris
tidak memiliki kata benda umum untuk beberapa spesies (dog, cow, man dan
sebagainya) yang tidak memiliki penanda jenis kelamin. Whorf masih me-
nyelidiki untuk kata-kata chairperson dan shaperson.
Dua hal yang terjadi pada diri Whorf: dia dianggap sebagai ilmuan
oprasional dan karya-karyanya disebut etnosains (ethnosciences). Di pihak
lain, ia telah salah kaprah dan terpelset ke dalam dunia determinisme. Seka-
lipun demikian, kita harus selalu mengikngat, bahwa Whorf adalah seorang
yang naif dan terpelajar, orang yang tidak saklek dan disiplin dan konsep-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 419


nya tentang kebudayaan imajinatif (cultural imagination) patut mendapat
acungan jempol. Whorf dalam opini umum, terutama setelah membaca ide-
idenya tentang kebudayaan, tidak hanya seorang linguis seperti yang ter-
cermin di dalam seluruh studinya, tetapi tidak banyak pula orang yang
mampu menyodorkan tulisan antropolgi yang seenak dia.
9. Ruth Fulton Benedict
Ruth Fulton Benedict (lahir 5 Juni 1887 di New York, Amerika
Serikat dan meninggal 17 September 1948 di New York pada
umur 61 tahun). Ia adalah seorang antropolog berasal dari
Amerika. Ia menciptakan teori dan konsep dalam bukunya
Patterns of Culture terbit pada tahun 1934. Teori tersebut
memiliki pengaruh besar pada bidang antropologi budaya,
khususnya di bidang budaya dan kepribadian. Benedict lulus dari Pergu-
ruan Tinggi Vassar pada 1909Ia kemudian tinggal di Eropa selama satu
tahun. Sepulang dari Eropa, ia menetap di California dan mengajar di
sekolah-sekolah perempuan. Pada tahun 1914 Benedict kembali lagi ke New
York. Musim gugur tahun 1919, ia terdaftar di sebuah sekolah baru untuk
Penelitian Sosial dan mengambil jurusan antropologi. Ia belajar antropologi
untuk memahami konflik yang terjadi negara. Salah satu guru Benedict
ialah Elsie Clews Parsons, yang kemudian menyarankannya menjadi se-
orang antropolog. Gurunya tersebut kemudian memperkenalkannya kepada
Franz Boas salah seorang professor dari Universitas Columbia. Di sana
Benedict bertemu dengan Margaret Mead dan Edward Sapir. Di Universitas
Columbia pula Benedict melakukan penelitian lapangan di beberapa suku:
suku Indian Serrano (1922), Zuni Pueblo (1924), Apache (1931) dan Blackfoot
India (1939).
Ruth Benedict dianggap sebagai seorang teoritikus, yang hanya sibuk
dengan kajian hubungan antara konfigurasi budaya (cultural configuration)
dengan perilaku individu (individual behavior). Menurut Benedict, setiap
kebudayaan memerlukan integrasi secara keseluruhan yang kita sebut
sebagai konfigurasi (configuration). Sebaliknya, setiap individu dalam sebuah
konfigurasi kebudayaan memumculkan katrakteristik kebudayaan itu
sendiri dan bertingkah laku harus sesuai dengan pola kebudayaan yang ada.
Eksposisi pemandangan Benedict yang paling bagus dapat ditemukan
di dalam tulisannya tentang patterns of culture. Di sini ia mendefinisikan
antropologi sebagai sebuah disiplin yang mempelajari perbedaan antara
tradisi-tradisi kebudayaan. Ada dua poin ekstrim yang akan muncul dari
pandangan seperti itu: 1) penambahan /-s/ pada kata culture menjadi cultu-
res oleh Boas dan kawan-kawannya tidak bertahan lama selama yang ber-
sangkutan bukan pendukung kebudayaan sendiri, karena tidak mengetahui
apa manfaatnya kepada yang bersangkutan dan 2) sebuah kebudaya-an

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 420


adalah sebuah bentuk integrasi. Dalam pandangan ini, setiap kebudaya-an
adalah ciptaan dari manusia (human beings) dalam suatu lokasi tertentu.
Oleh karena itu, sebuah kebudayaan berbeda dengan kebudayaan lainnya,
sekalipun berdekatan atau berdampingan. Perbedaan tersebut sangat diten-
tukan oleh integritas dari sebuah kebudayaan, mengimplikasikan, bahwa
sebuah kebudayaan merupakan himpunan dari bagian-bagiannya.
Penekanan pada kebudayaan secara keseluruhan lebih banyak berada
pada posisi kaum relativime kebudayaan yang mengatakan, bahwa kebu-
dayaan harus dipelajari di salah satu pihak atau karakter kebudayaan di
pihak lain. Dengan demikian, penekanan konfigurasi kebudayaan seperti
yang dilakukan oleh Benedict, selangkah lebih maju bila dibandingkan
dengan program Boas. Ketika Boas menekankan pada pengumpulan infor-
masi, Benedict mengusulkan sebuah cara untuk mengembangkan pengerti-
an kebudayaan yang sedang dipelajari melalui intergasi data yang berkena-
an di sepanjang konsep konfigurasi kebudayaan.
Penggunaan pola budaya (cultural pattern) oleh Benedict merepresen-
tasikan sebuah reduksionis yang ekstrim dalam karakteristik kebudayaan.
Ketika ia, misalnya, memberi karakter orang Zuni sebagai Appolonian ---
sebuah kebudayaan yang tumbuh secara moderat --- ia mereduksi pola-pola
kebudayaan kedalam tingkatan seperti itu untuk menjelaskan perilaku
manusia yang muncul dari mereka (orang Zuni). Sebuah pandangan logis
mungkin terjadi, tetapi mungkin hal itu juga terlalu dipaksakan. Benedict,
tidak seperti dengan para pendahulunya, karena ia mencoba untuk mema-
hami perilaku individu dalam suatu masyarakat melalui penggunaan pola
kebudayaan untuk menjelaskan perilaku individu dalam kasus pola tingkah
laku.
Sekalipun demikian, harus dicamkan, bahwa selain reduksinya yang
sangat ekstrim, teori Ruth Bendecit tentang pola kebudayaan juga menjadi
teori utama --- nonevolusi, non-komparatif dan non-biologi --- untuk mema-
hami pelaku manusia dalam basis konfigurasi kebudayaan.
Fokus utama kajian Ruth Benedict adalah hubungan antara individul
dan masyarakatnya. Benedict merupakan wanita pertama yang mencapai
keunggulan sebagai ilmuwan sosial dan menunjukkan keteguhannya dalam
menghadapi berbagai kesulitan dalam hidupnya. Ia berhadapan dengan
permasalahan yang dihadapi wanita dalam masyarakat Amerika saat itu
yaitu penindasan dan pelemahan.
Ruth Benedict mendapatkan pendidikan keras di Vassar College, se-
buah sekolah yang sangat terkenal di era tahnn 1880-an. Sekolah ini bertuju-
an untuk mendidik kaum wanita untuk berjuan mensejajarkan dirinya
dengan laki-laki (emansipasi). Awalnya, Ruth Benedict tertarik pada bidang
kesastraan dan puisi. Itulah pula sebabnya, ia menerbitkan puisi-puisinya

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 421


dalam berbagai majalah dan jurnal. Pengalamannya inilan yang mempenga-
ruhi keantropologiannya.
Selain itu Benedict juga dikenal sebagi seorang wanita yang tertarik di
dalam dunia politik. Ia banyak mempelajari isu-isu politik progresif, tren
artistik modern dan karya sastra sastrawan Jerman dan Amerika, terutama
karya Fredrich Nietzche. Nietzchelah yang menganjurkan untuk memus-
nahkan nilai-nilai moral yang konvensional yang berguna untuk meningkat-
kan kreativitas. Ia sangat menganjurkan kesenangan atau kenikmatan secara
fisik. Ia menganjurkan kepada para pembacanya, agar membangun Tuhan-
nya di dalam dirinya sendiri. Pemikiran-pemikiran Nietzche ini kemudian
banyak mempengaruhi pemikiran Ruth Benedict untuk dapat berkreativitas
dan membebaskannya dari kungkungan masa lalu, serta mencapai kehidu-
pannya di masa depan.
Pada tahun 1914, ia menikah dengan Stanley Benedict dan bercerai
beberapa tahun kemudian. Pada umur 31 tahun, ia memasuki New School
for Social Research. Beberapa tahun kemudian ia mengambil program pasca
sarjana di bawah supervisi Franz Boas di Columbia University (1921–1942).
Boas manjadi supervisi disertasi Benedict yang berjudul The Concept of the
Guardian Spirit in North America. Penulisan disertasi Benedict lebih banyak
didasarkn pada penelitian studi kepustakaan. Dengan demikian, disertasi-
nya tersebut lebih banyak pengalaman keagamaan individu. Ia mencoba
untuk melakukan pendekatan inovatif dalam mempelajari budaya melewati
pemilihan keputusan yang dilakukan oleh individu. Pada tahun 1920-an, ia
mengunjungi Amerika Barat Daya untuk melakukan penelitian musim
panas. Korpus penelitiannya: Zuni (1924), Zuni dan Cochiti (1925), O’otam
(Pima, 1927) dan Mescalero Apache (1931). Penelitian Benedict di Zuni yang
kemudian mewarnai bukunya berjudul Patterns of Culture pada tahun 1934.
Selama periode ini ia membangun ketertarikannya kepada kepribad-ian
(personality) dan budaya (culture).
10. Margaret Mead
Margaret Mead lahir pada tanggal 16 Desember 1901 dan me-
ninggal pada tanggal 15 November 1978). Ia adalah seorang
antropolog budaya Amerika, yang muncul secara berkala selaku
penulis dan pembicara dalam mas media sepanjang tahun 1960-
an hingga 1970-an. Ia memperoleh Diploma di Barnard College
Di New York City. Mead kemudian lulus dari Barnard College pada 1923
dan mendapatkan gelar Ph.D-nya di Universitas Columbia pada 1929. Pada
tahun 1925 ia berangkat untuk melakukan penelitian lapangannya di
Polinesia. Pada 1926 Mead bergabung dengan American Museum of Natural
History, New York City, sebagai pembantu kurator dan akhirnya menjadi

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 422


kurator etnologi museum itu dari 1946 hingga 1969. Selain itu, ia mengajar
di Universitas Columbia sebagai dosen luar biasa sejak 1954. Mengikuti
teladan gurunya Ruth Benedict, Mead memusatkan studinya pada masalah-
masalah asuhan terhadap anak (child rearing), kepribadian dan kebudayaan.
(Sumber: The Columbia Encyclopedia, Edisi ke-5, 1993.)
Mead adalah seorang akademisi yang dihormati dan sering kontro-
versial. Ia mempopulerkan wawasan antropologi budaya Amerika dan
Barat modern. Laporannya yang merinci sikap terhadap seks di Pasifik
Selatan dan budaya tradisional Asia Tenggara mempengaruhi revolusi
seksual tahun 1960an. Dia adalah pendukung untuk memperluas adat
istiadat seksual dalam konteks kehidupan religius tradisional Barat.
Margaret Mead, anak pertama dari lima bersaudara, lahir di Phila-
dephia, namun dibesarkan di Doylestown, Pennsylvania. Ayahnya, Edward
Sherwood Mead, seorang profesor keuangan di Wharton School of the
University of Pennsylvania. Ibunya, Emily (née Fogg) Mead, adalah seorang
sosiolog yang mempelajari imigran Italia. Adiknya Katharine (1906-1907)
meninggal pada usia sembilan bulan. Ini adalah peristiwa traumatis bagi
Mead, yang menamai gadis itu dan pikiran tentang saudarinya yang hilang
meresap dalam mimpi lamanya selama bertahun-tahun. Keluarganya sering
pindah, jadi pendidikan awal dia disutradarai oleh Neneknya sampai, pada
usia 11, dia terdaftar di keluarganya di Buckingham Friends School di
Lahaska, Pennsylvania. Keluarganya memiliki peternakan Longland dari
tahun 1912 sampai 1926. Lahir dalam keluarga dengan berbagai pandangan
religious. Oleh karena itu, ia mencari bentuk agama yang memberi ekspresi
keyakinan, bahwa dia telah berkenalan secara formal dengan, Kekristenan.
Dengan melakukan itu, dia menemukan ritual Gereja Episkopal sesuai
dengan ekspresi agama yang dia cari. Margaret belajar satu tahun 1919, di
DePauw University, kemudian pindah ke Barnard College dimana dia
mendapatkan gelar sarjana pada tahun 1923.
Dia belajar dari profesor Franz Boas dan Dr. Ruth Benedict di Univer-
sitas Columbia sebelum mendapatkan gelar masternya pada tahun 1924.
Pada tahun 1925, Mead melakukan kerja lapangan di Samoa. Pada tahun
1926, ia bergabung dengan American Museum of Natural History, New
York City, sebagai asisten kurator. Dia menerima gelar Ph.D. dari Univer-
sitas Columbia pada tahun 1929.
Sebelum berangkat ke Samoa, Mead memiliki hubungan singkat
dengan ahli bahasa Edward Sapir, seorang teman dekat instruktur Ruth
Benediktus. Tapi gagasan konservatif Sapir tentang pernikahan dan peran
wanita itu adalah hambatan bagi Mead. Saat Mead pergi untuk melakukan
pekerjaan lapangan di Samoa, keduanya terpisah secara permanen. Mead

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 423


menerima kabar tentang pernikahan kembali Sapir saat tinggal di Samoa, di
mana di pantai, Mead kemudian membakar korespondensi mereka.
Mead menikah tiga kali. Suaminya yang pertama (1923-28) adalah
orang Amerika bernama Luther Cressman, seorang mahasiswa teologi pada
saat itu yang akhirnya menjadi antropolog. Mead secara tidak sengaja
mencirikan pernikahannya dengan julukan Menikah mahasiswa saya ber-
langsung di Blackberry Winter, sebuah sobriquet yang membesarkan nama
Cressman. Suaminya yang kedua (1928-1935) adalah orang Selandia Baru
bernama Reo Fortune, lulusan Cambridge dan sesame antropolog. Perka-
winan ketiga dan terpanjang Mead (1936-50) adalah antropolog Inggris
bernama Gregory Bateson, yang memberinya seorang anak perempuan
bernama Mary Catherine Bateson, yang juga akan menjadi antropolog.
Mead menjadi seorang doketer anak di Benjamin Spock. Itulah sebab-
nya banyak tulisannya tentang pengasuhan anak (child rearing) yang
mendasari beberapa hasil pengamatan Mead selama bekerja sebagai dokter
anak, termasuk pemberian susu di luar permintaan bayi. Dia dengan mudah
mengakui, bahwa Gregory Bateson adalah suami yang paling dia cintai. Dia
merasa hancur saat meninggalkannya dan dia tetap menjadi teman penuh
pengagumnya, menjaga fotonya di samping tempat tidurnya di mana pun
dia pergi, termasuk di samping ranjang kematian di rumah sakitnya.
Mead juga memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Ruth
Benedict, salah satu instrukturnya. Dalam memoarnya tentang orang
tuanya, With a Daughter's Eye, Mary Catherine Bateson menyiratkan bahwa
hubungan antara Benediktus dan Mead sebagian bersifat seksual. Mead
tidak pernah secara terbuka mengidentifikasi dirinya sebagai lesbian atau
biseksual. Dalam tulisannya dia mengusulkan, agar diharapkan orientasi
seksual seseorang dapat berkembang sepanjang hidup.
Dia menghabiskan tahun-tahun terakhirnya dalam sebuah kolaborasi
pribadi dan profesional yang erat dengan antropolog Rhoda Metraux, yang
dengannya dia hidup dari tahun 1955 sampai kematiannya pada tahun 1978.
Surat-surat antara keduanya diterbitkan pada tahun 2006 dengan seizin
putri Mead dengan jelas mengungkapkan sebuah hubungan romantis.
Kedua adik Mead yang masih hidup menikah dengan orang-orang
terkenal. Elizabeth Mead (1909-1983), seorang seniman dan guru, menikah
kartunis William Steig. Sedangkan, Priscilla Mead (1911-1959) menikah
dengan penulis Leo Rosten. Mead juga memiliki saudara laki-laki, Richard,
yang menjadi seorang profesor.
Selama Perang Dunia II, Mead menjabat sebagai sekretaris eksekutif
Komite Lembaga Riset Pangan Nasional. Dia menjabat sebagai kurator
etnologi di American Museum of Natural History dari tahun 1946 hingga
1969. Dia terpilih sebagai Fellow dari American Academy of Arts and

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 424


Sciences pada tahun 1948. Dia mengajar di The New School dan Columbia
University, dimana dia adalah seorang profesor dari tahun 1954 sampai 1978
dan merupakan profesor antropologi dan ketua Divisi Ilmu Pengetahuan
Sosial di kampus Lincoln Center Fordham University dari tahun 1968
sampai 1970 dan mendirikan departemen antropologi. Pada tahun 1970, ia
bergabung di fakultas Universitas Rhode Island sebagai Professor khusus
bidang Sosiologi dan Antropologi.
Mengikuti Ruth Benedict, Mead memfokuskan penelitiannya pada
masalah pengasuhan anak (child rearing), kepribadian (personality) dan
budaya (culture). Dia menjabat sebagai presiden Asosiasi Antropologi
Amerika pada tahun 1960. Pada pertengahan 1960an, Mead bergabung
dengan ahli teori komunikasi Rudolf Modley, yang secara bersama men-
dirikan sebuah organisasi bernama GYLPHS inc., yang bertujuan untuk
menciptakan bahasa simbol grafis universal yang harus dipahami oleh
setiap anggota budaya. Pada 1960-an, Mead menjabat sebagai Wakil
Presiden New York Academy of Sciences. Dia memegang berbagai posisi di
Asosiasi Amerika untuk Kemajuan Ilmu Pengetahuan, terutama presiden
pada tahun 1975 dan ketua komite eksekutif dewan direksi pada tahun 1976.
Dia adalah tokoh yang dikenal di dunia akademis, hang biasanya mengena-
kan jubah khas dan berjalan dengan menggunakan tongkat.
Mead tampil di dua album rekaman yang diterbitkan oleh Folkways
Records. Yang pertama, dirilis pada tahun 1959, An Interview With Margaret
Mead, mengeksplorasi topik moral dan antropologi. Pada tahun 1971, dia
termasuk dalam kompilasi pembicaraan oleh wanita terkemuka, But the
Women Rose, Vol.2: Voices of Women in American History.
Temuan-temuannya ditulis dalam bukunya yang pertama, Coming of
Age in Samoa (1928), telah banyak diperdebatkan. Buku ini ditulisnya
berdasarkan penelitian yang dilakukannya sebagai mahasiswa pascasarjana.
Karya-karyanya yang diterbitkan didasarkan pada waktu ia tinggal di Pulau
Sepik dan Manus, karena orang-orang yang membaca dari kedua kebu-
dayaan yang digambarkan, lebih banyak menantang pengamatannya.
Namun posisinya sebagai antropolog perintis—seseorang yang menulis
dengan jelas untuk dibaca dan dipelajari oleh khalayak umum—tetap teguh.
Dia populer melalui konsep pluralisasi istilah semiotika (semiotics)98.
Mead kemudian menjadi seorang mentor bagi banyak antropolog dan
sosiolog muda, termasuk Jean Houston. Pada tahun 1976, Mead adalah
98
Semiotika atau semiologi (Smith, 1990 : 255) adalah ilmu tentang simbol dan tanda yang
dilakukan dalam bertingkah laku. Di dalamnya termasuk, baik studi bahasa maupun
sistem komunikasi non-linguistik dan di dalamnya tercakup pola tingkah laku budaya
manusia yang berpola. Tingkah laku tersebut dapat diinterpretasi sesuai dengan prinsip
umum yang sering dianalogikan dengan prilaku bahasa.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 425


peserta kunci di UN Habitat I, forum PBB pertama mengenai permukiman
manusia. Mead meninggal pada tanggal 15 November 1978 dan dimakam-
kan di Trinity Episcopal Church Cemetery, Buckingham, Pennsylvania.
Kosep sopan (courtesy), kesopan (modesty), kesantunan (good manners),
kenyamanan (conformity), yang merupakan standar pembentukan etika
dapat dipastikan bersifat universal. Akan tetapi, apa yang menjadi dasar
dari sopan, kesopanan, kesantunan, dipastikan tidak universal. Menurut
Mead apa yang membuat berbeda dari ketiga hal tersebut adalah latar
belakang kebudayaan, yang biasanya tidak mendapat perhatian secara
seksama.
Temuan Mead menunjukkan, bahwa masyarakat Barat mengabaikan
anak laki-laki dan perempuan sampai usia 15 atau 16. Oleh karena itu, anak-
anak mereka tidak memiliki kedudukan sosial sebelumnya, sebagai hasil
dari pengasuhan anak di dalam masyarakat yang bersangkutan. Mead juga
menemukan, bahwa pernikahan dianggap sebagai pengaturan sosial dan
ekonomi di mana kekayaan, pangkat dan keterampilan kerja suami dan istri
harus dipertimbangkan.
Pada 1982, lima tahun setelah Mead meninggal, Derek Freeman mener-
bitkan Margaret Mead and Samoa: The Making and Unmaking of an Anthropo-
logical Myth. Dalam buku ini ia menantang semua temuan utama Mead.
Freeman mendasarkan kritiknya pada empat tahun pengalaman lapangan-
nya sendiri di Samoa dan pada wawancara mutakhir dengan sejumlah
informan Mead yang masih hidup. Argumennya tergantung pada tempat
dari sistem taupou dalam masyarakat Samoa. Menurut Mead, sistem taupou
adalah sistem keperewanan yang dilembagakan bagi kaum perempuan
muda yang berkedudukan tinggi, tapi hanya untuk mereka. Menurut
Freeman, semua perempuan Samoa mengikuti sistem taupou dan para
informan Mead menyagkal, bahwa pada masa mudanya mereka pernah
terlibat dalam hubungan seks bebas. Mereka juga mengaku, bahwa mereka
telah berbohong kepada Mead (lihat Freeman, 1983).
Pada tahun 1999, Freeman menerbitkan buku lain, The Fateful Hoaxing
of Margaret Mead: A Historical Analysis of Her Samoan Research, termasuk
materi yang sebelumnya tidak tersedia. Dalam obituari di New York Times,
John Shaw menyatakan, bahwa meski membuat banyak orang marah, pada
saat kematiannya, namun pada umumnya mendapat penerimaan luas.
Seiring dengan kritik Freeman, ia ternyata salah mengartikan penelitian dan
pandangan Mead. Dalam sebuah evaluasi perdebatan 2009, antropolog Paul
Shankman menyimpulkan bahwa: There is now a large body of criticism of
Freeman's work from a number of perspectives in which Mead, Samoa, and
anthropology appear in a very different light than they do in Freeman's work.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 426


Indeed, the immense significance that Freeman gave his critique looks like 'much
ado about nothing' to many of his critics.
Beberapa antropolog sangat setuju dengan kesimpulan Mead. Ada
juga beberapa antropolog non-manusia (applied Anthropolog), yang cen-
derung tidak setuju dengan Mead, seperti: psikolog Harvard Steven Pinker,
ahli biologi Richard Dawkins, psikolog evolusioner David Buss, penulis
sains Matt Ridley dan klasik Mary Lefkowitz. Filsuf Peter Singer juga meng-
kritik Mead dalam bukunya A Darwinian Left, di mana dia menyatakan,
bahwa Freeman mengumpulkan sebuah kasus yang meyakinkan, bahwa
Freeman compiles a convincing case that Mead had misunderstood Samoan
customs.
Pada tahun 1996, Martin Orans memeriksa catatan Mead yang ter-
simpan di Library of Congress dan memberinya penghargaan, karena telah
meninggalkan tercatatnya untuk masyarakat umum. Orans menunjukkan,
bahwa kritik dasar Freeman, bahwa Mead ditipu oleh Fa'apua'a Fa'amu
peramal upacara (yang kemudian bersumpah kepada Freeman, bahwa dia
telah memainkan sebuah lelucon tentang Mead) tidak jelas. Hal tersebut
memiliki beberapa alasan: pertama, Mead sangat sadar dari bentuk dan
frekuensi lelucon Samoan; kedua, dia memberikan penjelasan yang seksama
tentang pembatasan seksual pada perawan upacara yang sesuai dengan
laporan Fa'apua'a Fa'auma'a kepada Freeman dan yang ketiga, catatan Mead
menjelaskan, bahwa dia telah mencapai kesimpulan tentang seksualitas
Samoan sebelum bertemu Fa'apua'a Fa'amu. Orans menunjukkan, bahwa
data Mead mendukung beberapa kesimpulan yang berbeda dan kesimpul-
an Mead bergantung pada pendekatan interpretatif, bukan positivis, ter-
hadap budaya. Orans terus menunjukkan, karya Mead di tempat lain,
bahwa catatannya sendiri tidak mendukung klaim konklusif yang diumum-
kannya. Namun, masih ada yang mengklaim Mead dikaburkan, termasuk
Peter Singer dan zoologis David Atten-borough, yang mengevaluasi karya
Mead di Samoa dari sikap positivis. Penilaian Martin Orans tentang
kontroversi tersebut adalah Mead tidak merumuskan agenda penelitiannya
secara ilmiah. Menurutnya, bahwa her work may properly be damned with the
harshest scientific criticism of all, that it is 'not even wrong.
Buku lain yang berpengaruh oleh Mead adalah Sex and Temperament in
Three Primitive Societies. Ini menjadi tonggak utama gerakan feminis, karena
mengklaim, bahwa perempuan lebih dominan di wilayah Danau Tchambuli
(sekarang bernama Chambri) di cekungan Sepik Papua Nugini (di Pasifik
Barat) tanpa menimbulkan masalah khusus. Kurangnya dominasi laki-laki
mungkin merupakan hasil dari pelanggaran hukum pemerintah Australia
terhadap peperangan. Menurut penelitian kontemporer, laki-laki dominan
di seluruh Melanesia (walaupun beberapa percaya, bahwa penyihir perem-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 427


puan memiliki kekuatan khusus). Yang lain berpendapat, bahwa masih
banyak variasi budaya di seluruh Melanesia dan terutama di pulau besar
New Guinea. Selain itu, antropolog sering mengabaikan pentingnya jaring-
an pengaruh politik di kalangan perempuan. Institusi formal yang didomi-
nasi laki-laki yang khas dari beberapa daerah dengan kepadatan penduduk
yang tinggi, misalnya, tidak hadir dengan cara yang sama di Oksapmin,
Provinsi Sepik Barat, daerah yang jarang penduduknya. Pola budaya ada
yang berbeda, katakanlah, dari Mt. Hagen.
Menurut Mead, bahwa orang Arapesh, juga di Sepik, merupakan
orang-orang pasifis, meskipun dia mencatat, bahwa mereka kadang-kadang
terlibat dalam peperangan. Pengamatannya tentang pembagian kebun di
antara Arapesh, penekanan egaliter pada pembesarkan anak dan dokumen-
tasinya mengenai hubungan damai yang sangat damai di antara keluarga
sangat berbeda dengan penampilan besar pria dominasi yang didokumen-
tasikan dalam budaya New Guinea yang berlapis-lapis, misalnya, oleh
Andrew Strathern, yang memiliki pola budaya yang berbeda.
Singkatnya, studi komparatifnya mengungkapkan serangkaian peran
gender yang kontras:
a. Di antara orang Arapesh, baik pria maupun wanita damai dalam tempe-
ramen dan baik pria maupun wanita tidak berperang.
b. Di antara Mundugumor, yang sebaliknya adalah benar: pria dan wanita
berperang seperti temperamen.
c. Dan Tchambuli berbeda dari keduanya. Orang-orang itu 'primped' dan
menghabiskan waktu mereka mendekorasi diri sementara para wanita
bekerja dan bersikap praktis - kebalikan dari bagaimana rasanya di awal
abad ke-20 Amerika.
Deborah Gewertz (1981) mempelajari Chambri (disebut Tchambuli
oleh Mead) pada 1974-1975 dan tidak menemukan bukti tentang peran
gender semacam itu. Menurut Gewertz, bahwa sejauh dalam sejarah, karena
ada bukti (1850-an) pria Chambri mendominasi wanita, mengendalikan
produk mereka dan membuat semua keputusan politik penting. Di tahun-
tahun berikutnya telah ada penelitian serius untuk masyarakat dimana
wanita mendominasi pria (menurut Mead), sebagai tanda-tanda masyarakat
masa lalu, tapi sayangnya kasus seperti itu tidak ditemukan (Bamberger,
1974).
Meskipun memiliki akar feminis, karya Mead tentang wanita dan pria
juga dikritik oleh Betty Friedan atas dasar kontribusi perempuan terhadap
perempuan.
Pada tahun 1926, ada banyak perdebatan tentang ras dan kecerdasan.
Mead merasa metodologi yang terlibat dalam penelitian psikologi eksperi-
mental yang mendukung argumen superioritas ras dalam kecerdasan secara

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 428


substansial cacat. Dalam Metodologi Uji Rasial: Signifikansi untuk Sosiologi
Mead mengusulkan, bahwa ada tiga masalah dalam pengujian perbedaan
ras dalam kecerdasan: Pertama, ada kekhawatiran kemampuan untuk secara
sah menyamakan skor tes seseorang dengan apa yang Mead rujuk sebagai
campuran rasial atau berapa banyak darah Negro atau India yang dimiliki
individu. Dia juga mempertimbangkan apakah informasi ini relevan saat
menafsirkan nilai IQ. Menurut, bahwa metode silsilah dapat dianggap sah
jika bisa mengalami verifikasi ekstensif (subjected to extensive verification).
Jadi, sebagaimana Mead sendiri menggambarkan tujuan penelitiannya:
Saya telah mencoba menjawab pertanyaan yang membuat saya pergi ke Samoa:
Apakah gangguan-gangguan yang dialami remaja-remaja kita itu disebabkan oleh
masa remaja itu sendiri ataukah karena peradaban? Dalam keadaan yang lain
apakah kehidupan remajanya juga berbeda? Menurut Mead dalam beberapa
catatannya yang tersimpan di American Museum of Natural History edisi 1973,
memang demikian adanya.
Mead melakukan penelitiannya di antara sekelompok kecil orang
Samoans — sebuah desa yang terdiri dari 600 orang di pulau Ta‘ū — di sana
ia melakukan penleitian ful-patispasi (full partipcipation research) dengan cara
berkenalan, hidup bersama, mengamati langsung dan mewawancarai
(melalui penerjemah) 68 orang perempuan berusia 9 hingga 20 tahun. Ia
dalam penelitiannya berkesimpulan, bahwa peralihan (rites of passage) di
Samoa dari kanak-kanak menjadi dewasa (masa remaja) berlangsung
dengan mulus dan tidak ditandai oleh keresahan emosional ataupun
psikologis, rasa cemas, atau kebingungan seperti yang tampak di AS.
Seperti yang telah diduga Boas dan Mead, buku ini mengejutkan
banyak orang Barat, ketika pertama kali terbit pada 1928. Banyak pembaca
Amerika terkejut oleh pengamatannya, bahwa kaum perempuan muda
Samoa menunda pernikahan selama bertahun-tahun sementara pada saat
yang sama menikmati hubungan seksual, namun akhirnya menikah,
menetap dan berhasil mengasuh anak-anaknya sendiri.
Margaret Mead menghasilkan beberapa karya, seperti berikut ini:
1. Margaret Mead. (1928). Coming of Age in Samoa.
2. Margaret Mead. (1930). Growing Up in New Guinea.
3. Margaret Mead. (1932). The Changing Culture of an Indian Tribe.
4. Margaret Mead. (1935). Sex and Temperament in Three Primitive Societies.
5. Margaret Mead. (1949). Male and Female.
6. Margaret Mead. (1953) New Lives for Old: Cultural Transformation in
Manus, 1928-1953.
7. Margaret Mead. (1959) People and Places; buku untuk pembaca muda.
8. Margaret Mead. (1964) Continuities in Cultural Evolution (1964).
9. Margaret Mead. (1970) Culture and Commitment.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 429


10. Margaret Mead. (1972) Blackberry Winter (1972; biografi tentang masa
mudanya).
11. Ralph Linton
Ralph Linton lahir pada tanggal 27 Februari 1893 di Phila-
delphia. Ralph Linton adalah salah satu antropolog budaya
terkenal. Meraih gelar dari Swarthmore College, Philadelphia.
Linton mengejar ketertarikan arkeolognya, dengan mengambil
bagian dalam ekspedisi ke New Mexico, Colorado dan
Guatemala pada 1912 dan 1913. Linton kembali ke Barat Daya
pada tahun 1916 dan 1919. Ia menetap di Pulau Marquases selama dua
tahun. Awal tahun 1920, dia mengalihkan ketertarikannya dari antropologi
ke ethnologi. Dia memulai karirnya sebagai seorang arkeolog dan melaku-
kan penelitian yang luas terhadap etnografi berbagai daerah, termasuk
Madagaskar.
Karirnya dimulai dengan menulis beberapa buku: The Tanala, a Hill
Tribe of Madagascar diterbitkan pada tahun 1933 setelah dia menerima gelar
doktor. Dia menguraikan perbedaan antara status (status) dan peran (roles)
yang merupakan salah satu penunjuk utama dalam antropologi. Karya
Linton yang paling terkenal adalah The Study of Man (1936) dan The Tree of
Culture (1955).
Ralph Linton harus dianggap sebagai seorang penulis kunci dalam
studi kebudayaan dan kepribadian (personality)99. Dengan demikian, kontri-
businya dalam antropologi lebih ektensif daripada itu. Pendekatan Linton
dalam antropologi berkenaan dengan segalah sesuatu yang menyangkut
kebudayaan dan salah satu dari seluruh karyanya yang karakteristik dan
penting adalah pemberian atribut dalam seluruh studi kebudayaan dan
sosial. Jadi, Linton patut dilihat sebagai seorang budayawan (culturalist) dan
ahli kepribadian (individualist).
Meskipun Linton menjadi antropolog terkemuka, pendidikan pasca-
sarjananya sebagian besar terjadi di lintas disiplin ilmu yang ia geluti. Ia
kuliah di University of Pennsylvania, di mana ia mendapatkan gelar master-
nya belajar dibawah bimbingan Frank Speck saat melakukan pekerjaan
lapangan arkeologi tambahan di New Jersey dan New Mexico.
Dia diterima dalam program Ph.D di Universitas Columbia setelahnya.
Ia tidak terlalu dekat dengan Franz Boas, antropolog lagi getop di era itu.

99
Kepribadian (Jack David Eller, 2009) is the ways of thinking, feeling, and behaving
characteristic of a particular individual. Lihat juga Gising (2009), bahwa istilah persona-
lity berasal dari kata latin persona yang berarti topeng atau kedok, yang dipakai oleh
pemain-pemain panggung. Kedok tersebut menggambarkan perilaku, watak dan
pribadi seseorang. Bagi bangsa Roma, persona berarti bagaimana seseorang tampak pada
orang lain.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 430


Ketika Amerika memasuki Perang Dunia I. Linton mendaftar dan bertugas
di Prancis pada tahun 1917-1919 dengan Battery D, Divisi Artileri ke-149,
Divisi Pelangi. Linton bertugas sebagai kopral dan mempin peran melawan
serangan gas Jerman secara langsung. Pengalaman militer Linton akan men-
jadi pengaruh besar pada karya selanjutnya. Salah satu artikel pertamanya
yang diterbitkan setelah itu Totemisme and AEF (Diterbitkan di American
Anthropologist vol 26: 294-300). Ia berpendapat, bahwa cara dimana unit
militer sering diidentifikasi dengan simbol mereka dapat dianggap sebagai
jenis totemisme
Boas malah semakin tidak senang denga Linton, karena Boas mem-
benci semua tampilan nasionalisme atau jingoisme. Sebuah anekdot menga-
takan, bahwa Linton ditegur oleh Boas saat dia tampil di kelas dengan
seragam militernya. Akibatnya Linton kemudian dipidahakan ke Columbia,
ke Harvard, dimana dia belajar dengan Earnest Hooton, Alfred Tozzer dan
Roland Dixon.
Di Harvard, Linton banyak melakukan penelitian di Mesa Verde (I)
dan kemudian ia menjadi anggota Ekspedisi Bayard Dominick yang di-
pimpin oleh E. S. C. Berguna di bawah naungan Museum Uskup ke Marqu-
esa.
Sementara di Pasifik, fokusnya beralih dari arkeologi ke antropologi
budaya, meskipun ia akan tetap menaruh minat pada budaya material dan
seni primitif sepanjang hidupnya. Dia kembali dari Marquesas pada tahun
1922 dan akhirnya menerima gelar Ph.D. dari Harvard pada tahun 1925.
Linton menggunakan pengalamannya selama di Harvard untuk men-
dapatkan posisi di Field Museum of Chicago setelah kembali dari Marque-
sas. Ia diangkat menjadi kurator material Indian Amerika. Ekskavasinya di
Ohio tetap ia kerjakan bersamaan dengan materi arsip museum di Pawnee.
Sementara di Field Museum dia bekerja sama dengan ilustrator dan seniman
buku anak-anak masa depan dan penulis Holling Clancy Holling.
Antara tahun 1925 dan 1927, Linton melakukan perjalanan ekspedisi
ekstensif ke Madagaskar untuk bahan museum tempatnya ia bekerja. Ia
menjelajah ujung barat diaspora Austronesia setelah is mempelajari mempe-
lajari budaya di ujung Timur yaitu di Marquesa. Ia kemudian menertbitkan
buku dari hasil penelitian mandirinya berjudul The Tanala: A Hill Tribe of
Madagascar (1933).
Sekembalinya ke Amerika Serikat, Linton kemudian bekerja di Univer-
sity of Wisconsin-Madison, dimana Departemen Sosiologi memasukkan
antropologi sebagai unit kajiannya. Tidak lama kemudian Linton memisah-
kan antropologi dari sosiologi. Ia mampu menciptakan beberapa antropolog
hebat, seperti: Clyde Kluckhohn, Marvin Opler, Philleo Nash dan Sol Tax.
Selama di Wisconsin ia diorbitkan sebagai staf pengajar, sekaligus teoretikus

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 431


kesohor. Ia kemudian membangun hubungan ilmiah dengan Radcliffe-
Brown (seorang professor di Universitas Chicago). Hasilnya mereka
menerbitkan buku berjudul The Study of Man (1936). Saat ini pula Linton
menikahi istri ketiganya bernama Adelin Hohlfeld. Dari tangan mereka
terbit beberapa buku, salah satu diantaranya: Halloween Through Twenty
Centuries. Pada tahun 1937, Linton pindah ke Columbia University, untuk
melanjutkan pekerjaan Franz Boas, yang memasuki masa pensiun. Kehadir-
annya di Columbia University ditentang Boas, termasuk para Boasians
menginginkan Ruth Benediktus yang menggantikan Boas. Para pengikut
Boas kemudian menfitnah Linton sebagai komunis, sehingga FBI turut
campurtangan dan banyak pengikut Boas yang dipenjara dan dipecat,
termasuk Gene Weltfish. Sepanjang hidupnya, ia selalu bertentangan
dengan Boasian, terutama Ruth Benedict dengan konsep Budaya dan Kepri-
badiannya yang ditentang keras oleh Linton. Menurut Sidney Mintz kolega
Linton di Yale, Linton pernah bercanda, bahwa telah membunuh Benediktus
dengan menggunakan pesona sihir Tanala100.
Ketika Perang Dunia II pecah, Linton diminta sebagai perencana dan
strategi perang dan peran Amerika Serikat (dan Antropologi Amerika). Ini
dapat dilihat dalam karyanya berjudul The Science of Man in the World Crisis
(1945) dan Most of the World. Selama perang, Linton melakukan perjalanan
jauh ke Amerika Selatan, dimana dia mengalami oklusi koroner yang mem-
buatnya kurang sehat.
Setelah perang, Linton pindah ke Universitas Yale, dimana banyak
antropologo seperti G. P. Murdock, yang telah berkolaborasi dengan peme-
rintah AS. Dia mengajar di sana dari tahun 1946 sampai 1953 dan tetap
menulis tentang budaya dan kepribadian. Pada saat itu pula ia menulis
buku The Tree of Culture, sebuah gambaran global budaya manusia yang
ambisius. Linton terpilih sebagai anggota American Academy of Arts and
Sciences pada tahun 1950. Dia meninggal, karena penyakit komplikasi yang
dideritanya selama perjalanannya ke Amerika Selatan pada malam Natal,
1953. Istrinya, Adelin Hohlfield Linton, menyelesaikan The Tree of Culture
yang kemudian menjadi sebuah buku teks populer.
Linton memiliki banyak tulisan dan konsep tentang kebudayaan. The
Sudy of Man, msailnya, yang mampu mengangkat namanya sebagai salah
satu teoritisi utama antropologi, terutama di kalangan sosiolog non-Boasian.
Dalam karya ini ia mengembangkan konsep status (status) dan peran (roles)
100
Tanala adalah kelompok etnis Malagasi yang menghuni wilayah hutan sebelah tenggara
Madagaskar. Nama mereka berarti orang dari hutan. Tanala berbicara dengan dialek
bahasa Malagasi, yang merupakan cabang dari kelompok bahasa Melayu-Polinesia
berasal dari bahasa Barito, diucapkan di selatan Kalimantan (Daniel dkk., 2007). Istilah
tanala ini digunakan Linton untuk menyindir Ruth Benedict.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 432


untuk menggambarkan pola perilaku di masyarakat. Menurut Linton,
bahwa status ditugaskan kepada individu tanpa mengacu pada perbedaan
atau kemampuan bawaan mereka. Sedangkan status yang dicapai ditentu-
kan oleh kinerja atau usaha seseorang. Linton mencatat, bahwa sementara
definisi kedua konsep itu jelas dan berbeda, tidak selalu mudah untuk
mengidentifikasi apakah status individu dianggap berasal atau tercapai. Me-
nurut Linton lebih lanjut, bahwa semua bentuk penyimpangan dari pan-
dangan dari status selalu diperbaiki. Bagi Linton peran adalah seperangkat
perilaku yang terkait dengan status, sehingga pemeran selalu haru
berperilaku sesuai dengan yang diingkan status. Jika tidak, perpecahan dan
kendala pasi akan terjadi.
Sejak awal kariernya, Linton tertarik pada masalah akulturasi, se-
hingga dia menjalin kerjasama dengan Robert Redfield dan Melville Hers-
kovits, yang berkeja di subkomite tingkat tinggi pada Social Science Research
Council dalam Komite Kepribadian dan Budaya. Hasilnya adalah terbit buku
terbitan bersama sebuah karya mani yang ditulis bersama-sama yang
berjudul Memorandum for the Study of Acculturation (1936). Linton juga mem-
peroleh beasiswa penulis maslaah akulturasi dari Works Progress Admini-
stration. Volume Acculturation in Seven American Indian Tribes meruapan
bukti nyata karya Linton. Kecintaannya terhadap masalah budaya dan
kepribadian juga dibuktikan adalam even yang diorganisirnya bersama
dengan Abram Kardiner di New York Psychoanalytic Institute.
Bukunya yang berjudul The Study of Man (1936) menjadi bahan bacaan
dan acuan para ahli hingga saat ini. Tentu saja, ada hal yang menimbulkan
niat para pembacanya untuk mencetak ulang buku ini. Saya akan memilih
salah satu bab dalam bukunya yang membahas tentang status (status) dan
peran (roles). Ide tentang peran menjadi bagian dari semua kebudayaan
yang kita miliki, yang sulit direalisasikan karena hal itu diformulasi hanya
sekedar istilah teknik belaka pada tahun 1930-an. Meskipun demikian,
dalam menentukan pilihan, kita harus mengabaikan ide Linton tentang
funsionalisme untuk sementara waktu. Ide seperti ini pernah diteliti sebe-
lumnya, sehingga Linton dapat diserang bukan saja oleh para penulis sebe-
lumnya, tetapi juga oleh penulis-penulis yang akan datang.
Bagi banyak penulis, fungionalisme memiliki dua arti: (1) maksud
(purpose), sehingga terdapat dimensi telologi di dalam tubuh fungsiona-
lisme dan (2) ide matematika (mathematical idea), yang mengacu pada dua
yaitu dua hal berubah secara bersamaan dan dua perubahan tergantung
pada yang lainnya. Linton ternyata kurang mampu menyderhanakan dan
menjelaskan kedua hal ini.
Sekalipun Linton termasuk seorang penulis pada zamannya, ketika
fungsionalisme dianggap penting dalam perkembangan antropologi baru, ia

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 433


sendiri senderung menolak penekanan terhadap aspek fungsionalisme se-
cara sistematis, yang menekankan hubungan kelembagaan dan menge-
nyampingkan unsur-unsur kepribadian. Bagi Linton istilah fungsionalisme
tersebut mengacu pada interelasi kepribadian dan tidak lebih dari itu. Dia
memberikan atibut elemen-elemen kebudayaan dalam empat karakter,
yaitu: bentuk (form), arti (meaning), kegunaan (use) dan fungsi (function).
Bentuk bagi Linton mengacu pada pengasosiasian sebuah elemen kebuda-
yaan oleh sejumlah kelompok masyarakat, sehingga hal itu mungkin sub-
yektif dan kadang-kadang pula tidak disadari (unconscious). Kegunaan
mengacu pada utilisasi dari sebuah karakter (traits) dalam sebuah kontek
kebudayaan. Harus diakui, bahwa pendekatan multiguna terhadap elemen-
elemen kebudayaan digunakan Linton untuk membantah keseluruhan atau
sebagian pembahasan yang berkenaan dengan realitas kebudayaan (cultural
reality). Sekalipun demikian, Linton penah mengatakan, bahwa pengem-
bangan yang sebenarnya dalam tubuh antropologi tidak hanya datang dari
kaum funsionalis belaka, tetapi juga melalui sintetis dari berbagai pendekat-
an (perspectives).
Linton terkenal sebagai seorang sintetiser, yang membuat Spencer
cepat terkenal. Dalam membawa ide-idenya ke dalam konteks yang baru dia
mengekspos pengertian baru pula. Dalam rangka pernbentukan nilai
(values) Linton meletakkannya pada unsur-unsur kepribadian dan mengem-
bangkan idenya tentang hubungan antara kepribadian dengan kebudayaan,
Linton menciptakan pendekatan baru yang mengasosiasikan antara kepri-
badian dengan masyarakat. Dalarn penajaman konsepnya tentang status
(sekalipun Max Weber dan yang lainnya telah menulis tentang hal itu) dan
pengembangan konsepnya tentang peranan (role) merenungkan ia untuk
membicarakan masalah masyarakat manusia sebagai supra individual dan
tetap menggunakan nosi-nosinya tentang kepribadian (notion of individuals),
dengan personalitasnya (personalities), serta seseoran memainkan perannya
dalam sebuah kebudayaan (playing out their roles in a culture).
Jaringan aktifitas dalam sebuah masyakat, menurut Linton, tergantung
pacta eksistensi konfigurasi dari hubungan timbak batik (reciprocity) antara
anggota-anggota sebuah masyarakat. Status mengacu pada posisi dimana
struktur hubungan timbak balik dapat dianggap sebagai akumulasi dari
hak-hak pribadi dan merupakan tugas (duties) dalam masyarakat. Di pihak
lain, peran (role) mengacu pada aspek perilaku dari sebuah status. Ketika
hak (rights) dan tugas (duties) diaplikasikan, maka seorang individu dikata-
kan sedang memainkan peran di dalam masyarakat. Harus diakui, bahwa
peran dan status tidak dapat dipisahkan, karena keduanya menghadirkan
dua aspek dalam sebuah fenomena yang sama. Peran sebagai sebuah
konsep mengacu pada perilaku yang dipelajari, sementara status mengacu

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 434


pada aspek-aspek kognitif yang dimiliki masyarakatnya. Pendekatan seperti
inilah yang membedakan antara arti (meaning) dengan tindakan (action),
yang merupakan ciri pembeda dari karya-karya Linton. Kita juga harus
melihat, bahwa Linton menggunakan kedua konsep terkhir dalam pem-
bahasannya mengenai elemen-elemen kebudayaan.
12. Abraham Kardiner
Abram Kardiner lahir tang 17 Agustus 1891 di New York City
dan 20 Juli 1981 di Connecticut. Ia adalah antropolog Amerika
dan psikoanalis. Dia terkenal karena studinya yang berjdul
The Traumatic Neuroses of War yang terbit tahun 1941, yang
meru-pakan kunci awal bagi para spesialis psikologi di zaman
modern.
Ia bekerja di rumah sakit psychological Trauma. Dengan berdasarkan pada
tulisannya tentang Veterans' Bureau Hospital in the Bronx, New York City.
Pada tahun 1920-an dan awal 1930-an, ia membuat studi satu-satunya studi
tentang hubungan eksplisit antara masa perdamaian (peacetime) dengan
trauma perang (war trauma) dan dengan beberapa simpton lainnya. Pada
tahun 1980 ia kemudian menerbitkan buku berjudul Post-Traumatic Stress
Disorder melalui the American Psychiatric Association.
Dia menempuh pendidikan di New York City dan belajar dari Freud
dari tahun 1921 sampai 1922. Pada tahun 1949 dia ditunjuk sebagai profesor
klinis psikiatri di Universitas Columbia. Tahun 1955 ia diangkat menjadi
direktur klinik psikoanalitik di sana. Dia mengadakan seminar bersama di
Universitas Columbia dengan tema saling mempengaruhi antara kepribadi-
an dan budaya individu di masyarakat yang beragam.
Berbagai pola pengasuhan anak (child rearing), biografi perilaku orang
dewasa dan struktur kelembagaan menjadi sasaran analisis psikodinamik.
Kesimpulan tentang kepribadian yang dihasilkan dalam budaya digambar
dan diperiksa oleh tes psikologi aktual. Temuan ini didokumentasikan
dalam karya Kardiner The Individual and His Society (1939) dan Psychological
Frontiers of Society (1945).
Kardiner dan pengikutnya percaya, bahwa untuk mendapatkan
struktur dasar kepribadian (basic personality structure), seperangkat studi
untuk memasuki karakter semua individu yang dipelihara dalam budaya
yang sama. Struktur ini merupakan produk dari institusi utama (primary
institutions) seperti metode pelatihan anak dalam menghadapi agresi, seks
dan organisasi keluarga. Kepribadian dasar diungkapkan secara tidak sadar
di institusi sekunder seperti cerita rakyat, seni dan agama. Dari institusi
budaya inilah, diharapkan kepribadian dasar ini dapat disimpulkan.
Prosedur teoritis Kardiner melibatkan analisis frustrasi sosial neurotik
orang dewasa dan individu normal dalam budaya Barat. Dari kesimpulan-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 435


nya, dia menetapkan bagaimana kelompok dalam budaya apapun akan
bereaksi terhadap frustrasi sosial yang serupa.
Kardiner adalah salah satu pendiri Association for Psychoanalytic Medi-
cine (APM) dan Pusat Pelatihan dan Penelitian Psikoanalitik Universitas
Columbia. Sebagai dedikasi atas perannya sebagai pelopor dalam penerap-
an psikoanalisis terhadap studi budaya, APM mendirikan Abram Kardiner
Lectureship on Psychoanalysis and Culture pada tahun 1978.
Kardiner ikut dalam penerbitan buku Lionel Ovesey Mark of Oppression
(1951), yang mengeksplorasi dampak tekanan sosial terhadap kepribadian
Afrika-Amerika. Selin itu, Kardiner juga menulis The Traumatic Neuroses of
War (1941), Sex and Morality (1954), They Studied Man (1961) dan My Analysis
with Freud: Reminiscences (1977).
Dr. Abram Kardiner, seorang psikoanalis terkemuka Amerika, yang
merupakan salah seorang terakhir yang dinobatkan oleh Sigmund Freud,
meninggal dunia Senin di rumah musim panasnya di Easton, Conn. Ia
berusia 89 tahun dan juga tinggal di Manhattan.
Dia adalah salah satu pendiri sekolah pelatihan psikoanalitik pertama
di Amerika Serikat dan tokoh utama dalam gerakan interdisipliner yang
menekankan interaksi antara jiwa (personality) dan budaya (culture). Sebagai
murid Freud di Wina lebih dari setengah abad yang lalu, kini Dr. Kardiner
menjadi seorang psikiater berusia 30 tahun yang baru saja keluar dari rumah
sakit di New York, memperoleh sebuah pencitraan seumur hidup-nya.
Menurut Freud, Kardiner menemuinya di ruang konsultasi di Berg-
gasse 19 selalu mendapatkan nilai paling rendah diantara murid-murid
Freud. Rupanya-Rupanya konsultasi tersebut malah membuat Dr. Kardiner
terpisah dari murid-murid Freud lainnya yang melewati waktu-waktunya
di sofa sang bapak psikoanalisis.
Freud kemudian menyimpulkan, bahwa Kardiner tidak mampu ber-
bicara dengan yang lain, tetapi saya tidak bisa mengerti mengapa dia harus
menemui saya. Menurut Dr. Kardiner, dalam satu wawancara eksklusif
pada tahun 1977, sebuah referensi untuk percakapannya dengan Freud.
Kardiner berkata Saya dapat memberitahu Anda mengapa, lanjutnya. Saya men-
ceritakan sebuah cerita yang sangat menarik dan saya tidak membantah dengan
interpretasinya tentang kejadian yang menimpaku. Rupa-rupanya ada penga-
laman pahit yang dialami Kardiner selama pertemuaannya dengan Freud.
Dr. Kardiner lulus dari City College of New York pada tahun 1917 di
Cornell Medical School. Dia kemudian menetap di Rumah Sakit Mount Sinai
selama dua tahun. Ia baru saja menyelesaikan pembangunan ruang psikiatri
di Rumah Sakit Negara Bagian Manhattan di Pulau Wards, tempat dulunya
diterima sebagai murid Freud.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 436


Bersama dengan Monroe Meyer dan Bert Lewin, Dr. Kardiner mendiri-
kan New York Psychiatric Institute pada tahun 1930, yang merupakan
sekolah pelatihan pertama di Amerika Serikat.  Pada tahun 1930-an, Dr.
Kardiner bergabung dengan berbagai ilmuwan sosial untuk mempelajari
proses dimana budaya ditransmisikan dari satu generasi ke generasi beri-
kutnya. Dengan Ralph Linton, seorang antropolog, dia mengadakan se-
minar di Columbia University yang menghasilkan publikasi The Individual
and His Society (1939) dan The Psychological Frontiers of Society (1945). Kedua
bentuk publikasi mereka tersebut menjadi bahan ajar di Columbia.
Karya-karya ini, menggabungkan dua disiplin ilmu: psikoanalisis dan
antropologi budaya. Disiplin ilmu ini menafsirkan sejumlah masyarakat
dalam kaitannya dengan disiplin dasarnya, termasuk pengasuhan anak
(child rearing)101, kontrol seks (sex control), ketergantungan dan agresi (inde-
pendence and agressive). Upaya Dr. Kardiner untuk mendefinisikan konsep
kepribadian dasar lebih sedikit berfokus pada variabel biologis daripada pe-
ngaruh kehidupan keluarga dan kondisi sosial lainnya terhadap per-
kembangan manusia.
Pada tahun 1950-an, Dr. Kardiner dikukuhkan sebagai seorang pro-
fesor klinis psikiatri di Universitas Columbia. Dua tahun sebelumnya (dari
tahun 1955 sampai 1957) ia menjadi direktur Klinik Psikoanalitik. Buku-
bukunya yang lain: 1) Mark of Oppression: Explorations in the Personality of the
American Negro. Ia menulis buku ini bersama dengan Lionel Ovesey dan
diterbitkan pada tahun 1951. 2) They Studied Man, yang ditulis bersama
dengan Edward Preble dan diterbitkan pada tahun 1961. Di Buku terakhir,
dihimpun dan dievaluasi bebagai pendapat dan konsep tentang kehidupan
dari berbagai karya para ahli antropologi dan ilmuwan lainnya, dengan
kesimpulan, bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menemukan metode
dan gagasan baru ketika yang lama gagal baginya.
Berdasarkan pernyataan Kardiner, bahwa ketika Freud mempertim-
bangkan dirinya untuk meajadi bagian dari Zeitgeist, ia pun terbebebani
untuk memberikan kontribusi dalam perkembangan antropologi. Meskpiun
Freud telah menanam pengaruh yang kuat, terutama pada karya Geza
Roheim, Warner Munsterberger, Erik Erikson, Margaret Mead, and Bronis-
law Malinowski, namun pilihan Freud tetap pada Abraham Kardiner. Ia
harus menanggalkan teori-teori Freud untuk mengembangkan studi-studi

101
Child rearing dalam kamus Inggris (…….) disebutkan, the work of taking care of children
until they are old enough to take care of themselves. Lihat Brooks (posting 28 September 2012)
parenting or child rearing is the process of promoting and supporting the physical, emotional,
social, and intellectual development of a child from infancy to adulthood. Parenting refers to the
aspects of raising a child aside from the biological relationship.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 437


kebudayaan di negara Barat, yang terutama penekanan teorinya terfokus
dorong seks (sex drive)102.
Kardiner, berbeda dengan Roheim, yang menitikberatkan perhatian-
nya pada pentingnya adaptasi kepribadian (personal adaptation) dari segala
bentuk dorongan sebagai basis dari pendekatan psikodinamik. Menurut
Kardiner, bahwa ada empat pendekatan Freud terhadap fenomena sosial
(social phenomenons), yang dikembangkan oleh berbagai ahli. Pertama, adalah
pendekatan yang digunakan oleh Freud sendiri --- seperti halnya dengan
Roheim, Warner Munsterberger dan Erik Erikson --- yang mengklaim,
bahwa apa yang tidak disadari manusia kontemporer merupakan hal yang
disadari oleh masyarakat primitif. Kardiner menganggap posisi ini tidak
dapat dipertahankan. Kedua, Pendekatan teori libido103 (the libido theory) yang
mengklaim, bahwa dorongan seksual membentuk manusia secara prinsip
sama dengan seluruh bentuk masyarakat yang ada, termasuk bintang.
Kardiner melihat pandangan seperti ini tidak memperlihatkan konteks
lingkungan dan kebudayaan, sehingga dipastikan konsep ini tidak
berterima. Ketiga, pendekatan Freud yang sedang dibahas oleh Harry Stack
Sullivan, Karen Horney dan Erich Fromm, yang mempertimbangkan kebu-
dayaan dalam hubungannya dengan perkembangan kepribadian dan inilah
yang membuat dirinya terhindar dari penampilan arogansi. Keempat, Pen-
dekatan yang dipakai Kardiner sendiri, yang menekankan proses adaptasi
kepribadian tehadap kebudayaan dan lingkungan.
Kontribusi nyata Kardiner dalam antropologi adalah konsepnya
tentang struktur dasar kepribadian (basic personality structure) dan pandang-
annya tentang kelembagaan primer dan sekunder (primary and secondary
institutions) dalam sebuah masayarakat. Hubungan antara kepribadian dan
kebudayaan telah menjadi sumber pertanyaan bagi mahasiswa jauh se-
belum Kardiner. Pertanyaan-pertanyaan tersebut pada umumnya berkisar
pada isu, bahwa pola kebudayaan (patterns of culture) mempengaruhi peri-
laku pribadi seseorang. Pandangan reduksionis seperti ini diganti oleh

102
Dorongan seks atau gairah sex (Basrah, 2017) adalah suatu energi yang timbul dalam
pikiran untuk menyalurkan hasrat birahi sebagai akibat dari adanya stimuls dari sesuatu
yang mampu meningkatkan libido.
103
Lihat penjelasan Reber Arthur S. dan Reber Emily S. (2001) tentang pendapat Freud
mengenai libido. Sigmund Freud mendefinisikan libido sebagai energi atau daya insting
yang terkandung dalam identifikasi yang berada dalam komponen ketidaksadaran. Ia
menunjukkan, bahwa dorongan libidinal ini dapat bertentangan dengan perilaku yang
beradab. Kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat dan pengendalian
libido menyebabkan ketegangan dan gangguan dalam diri individu, mendorong untuk
digunakannya pertahanan ego untuk menyalurkan energi psikis dari kebutuhan yang
tidak terpenuhi, yang kebanyakan tidak disadari ini ke dalam bentuk lain. Penggunaan
berlebihan dari pertahanan ego menyebabkan neurosis (stress).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 438


konsep Kardiner tentang struktur dasar kepribadian (basic personality struc-
ture), yang mengacu pada alat umum dari adaptasi dimana sebuah masya-
rakat memperluas keanggotaannya. Hal ini, dapat ditemukan di dalam
semua anggota masyarakat, yang memiliki kebudayaan spesifik sebagai
identitasnya. Kebudayaan spesifik tersebut diperoleh melalui stanrdisasi
teknis dalam pengasuhan anak (child rearing), yang berbeda pada setiap
masyarakat. Pada umumya pengalaman masa kanak-kanak menuntun kita
pada struktur dasar kepribadian, sekalipun sangat tipikal sifatnya dalam
sebuah kebudayaan.
C. Strukturisme, Fungsinalisme dan Resiprositas
1. Emile Durkheim
David Émile Durkheim (lahir 15 April 1858 dan meninggal
dunia 15 November 1917 pada umur 59 tahun). Ia dikenal
sebagai pencetus sosiologi modern. Ia mendirikan fakultas
sosiologi pertama di sebuah universitas Eropa pada 1895. Dari
tangannya terbit jurnal pertama dalam ilmu sosial L'Année
Sociologique pada 1896.
Durkheim dilahirkan di Épinal, Perancis tepatnya di Lorraine. Ia berasal
dari keluarga penganut Yahudi Perancis ortodoks, dimana ayah dan kakek-
nya adalah penganut kepercayaan Rabi. Kehidupan Durkheim sendiri
sepenuhnya sekuler. Kebanyakan karyanya dimaksudkan untuk membukti-
kan, bahwa fenomena keagamaan berasal dari faktor-faktor sosial dan
bukan Ilahi. Namun, latar belakang yahudinya lebih dominan membentuk
sosiologinya, karena banyak mahasiswa dan rekan kerjanya berfaham
Yahudi dan masih sedarah dengannya.
Durkheim adalah mahasiswa yang sangat jenius di zamannya. Ia
duduk dibangku kuliah École Normale Supérieure pada 1879. Banyak se-
angkatannya, seperti Jean Jaurès dan Henri Bergson, yang kemudian men-
jadi tokoh besar dalam kehidupan intelektual Perancis. Di École Normale
Supérieure (ENS) Emile Durkheim dan teman-temannya belajar di Fustel de
Coulanges, di bawah bimbingan seorang pakar ilmu klasik berpandangan
ilmiah sosial. Pada saat yang sama, ia juga lebih tertarik membaca karya-
karya Auguste Comte dan Herbert Spencer. Di sinilah Durkheim tertarik
dengan pendekatan ilmiah terhadap masyarakat dan memulai kariernya.
Dari sini pula konflik genderang perang dalam sistem akademik Prancis,
yang tidak mempunyai kurikulum ilmu sosial pada saat itu, ditabuh oleh
seorang aktivis bernama lengkap David Émile Durkheim. Durkheim merasa
ilmu-ilmu kemanusiaan lain tidak menarik baginya. Sebagai akibatnya,
Durkheim lulus dengan peringkat kedua terakhir dari semua angkatannya
dalam ujian aggregation, yang merupakan syarat untuk posisi mengajar ilmu
filsafat pada 1882.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 439


Minat Durkheim dalam fenomena sosial (social phenomenon)104 juga
didorong oleh gejolak politik di Perancis ketika itu. Kekalahan Perancis
dalam Perang Perancis-Prusia memberi pukulan berat bagi pemerintahan
republikan yang sekuler. Banyak orang beraggapan, bahwa hanya pende-
katan Katolik sebagai jalan satu-satunya untuk menghidupkan kembali
kekuasaan Perancis yang memudar di daratan Eropa ketika itu. Durkheim,
seorang Yahudi dan sosialis, berada dalam posisi minoritas secara politik.
Ini adalah suatu situasi yang membakarnya secara politik. Peristiwa Dreyfus
pada 1894 hanya memperkuat sikapnya sebagai seorang aktivis.
Durkheim dengan sikapnya sebagai seorang aktivis sangat tidak
mungkin menduduki posisi penting dalam bidang akademik di Paris. Oleh
karena itu, setelah belajar sosiologi selama setahun di Jerman, ia hijrah ke
Bordeaux pada 1887 untuk belajar di sekolah guru pertama di Prancis. Di
sana ia mengajar pedagogi dan ilmu-ilmu sosial. Durkheim kemudian mem-
perbarui sistem pendidikan Prancis dan memasukkan studi ilmu-ilmu sosial
dalam kurikulum pendidikan di Perancis. Durkheim dengan gagasan
kontrovesialnya kembali menuai banyak keritikan, karena dianggap me-
miliki kecenderungannya untuk mereduksi moralitas dan agama ke dalam
fakta sosial (social facts).
Tahun 1890-an adalah masa kreatif Durkheim. Pada 1893 ia menerbit-
kan Pembagian Kerja dalam Masyarakat, yang pada hakikatnya adalah masya-
rakat manusia dan perkembangannya. Pada tahun 1895 ia menerbitkan
Aturan-aturan Metode Sosiologis, sebuah manifesto yang mengisyaratkan awal
pembelajaran sosiologi di Perancis. Ia kemudian mendirikan Jurusan
Sosiologi pertama di Eropa di Universitas Bourdeaux. Pada 1896 ia mendiri-
kan jurnal L'Année Sociologique untuk mempublikasikan tulisan-tulisan dari
mahasiswa dan rekannya. Akhirnya, pada 1897 ia menerbitkan buku Le
Suicide (Bunuh Diri), yang berlatar sebuah studi kasus. Ini pula yang
menjadi contoh dari semua tulis monograf bertajuk sosiologi.
Pada 1902 Durkheim akhirnya mencapai tujuannya untuk memperoleh
kedudukan dan gelar terhormat di Paris, karena ia menjadi profesor di
Sorbonne. Seluruh universitas yang ada di Perancis sebagai pelaksana teknis
untuk mendidik guru-guru sekolah menengah, membuat Durkheim se-
makin bepengaruh, karena kuliah-kuliahnya wajib diambil oleh seluruh
mahasiswa. Setelah Peristiwa Dreyfus, Durkheim semakin memperkuat
kekuasaan kelembagaannya pada 1912. Ia secara permanen diberikan
jabatan yang kemudian diubah menjadi jabatan pendidikan dan sosiologi.
104
Fenomena sosial adalah gejala-gejala atau peristiwa-peristiwa yang terjadi dan dapat
diamati dalam kehidupan social (Gising, 2009). Lihat juga Soerjono Soekanto (2006)
bahwa fenomena sosial atau masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-
unsur kebudayaan atau masyarakat yang membahayakan kehidupan kelompok sosial.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 440


Pada tahun itu pula ia menerbitkan karya besarnya yang terakhir dengan
judul Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Keagamaan.
Perang Dunia I menimbulkan pengaruh yang sangat tragis dalam
hidup Durkheim. Pandangan kiri Durkheim selalu patriotik dan bukan
internasionalis, bahkan menjadi bumerang baginya. Ia mengusahakan, agar
Perancis tetap sekuler dan rasional. Akan tetapi, dengan perang dan propa-
ganda kaum nasionalis membuatnya sangat sulit untuk mempertahankan
posisinya. Sikap Durkheim yang giat mendukung negaranya dalam perang
dan rasa enggan untuk tunduk kepada semangat nasionalis, membuatnya ia
menjadi sasaran empuk golongan kanan Perancis, yang saat itu berkuasa.
Seluruh murid Durkheim kini dikenai wajib militer. Banyak dari mereka
yang tewas, termasuk anak laki-lakinya bernama René juga ikut tewas
ketika Perancis bertahan mati-matian. Pukulan mental bagi Durkheim
ditambah kelelahannya akhirnya membuatnya lumpuh dan meninggal pada
1917.
Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat dapat
mempertahankan integritas dan koherensinya pada masa modern, ketika
latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Ia menghem-
buskan pendekatan pertama fenomena sosial dalam kehidupan sosial di
kalangan masyarakat modern. Bersama Herbert Spencer, Durkheim diang-
gap orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian
dari masyarakat dengan mengacu pada fungsi yang mereka lakukan dalam
mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat. Pendekatan ini
kemudian dikenal sebagai fungsionalisme105.
Durkheim juga menekankan, bahwa masyarakat lebih daripada
sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Ia malah berbeda dengan rekan
sezamannya, Max Weber, yang memusatkan perhatian bukan pada apa
yang memotivasi tindakan-tindakan dari setiap pribadi (individualisme
metodologis), melainkan lebih kepada penelitian terhadap fakta-fakta sosial
(social fact). Pendekatan fungsionalisme diciptakannya untuk menggambar-
kan fenomena yang ada dengan sendirinya dan yang tidak terikat pada
tindakan individu. Ia berpendapat, bahwa fakta sosial mempunyai keber-
adaan yang independen, lebih besar dan lebih objektif daripada tindakan-
tindakan individu yang membentuk masyarakat. Kesemuanya dapat dijelas-
kan melalui fakta-fakta sosial, ketimbang melalui adaptasi masyarakat ter-
hadap iklim atau situasi ekologis tertentu.

105
Functionalism (Smith, 1990: 126) sebuah perspektif yang menekankan fungsi pabean atau
institusi sosial. Dalam antropologi, hal ini terutama mengacu pada perspektif B. Mali-
nowski (dianggap fungsionalis murni) atau A. R. Radcliffe-Brown (seorang struktural
fungsionalis).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 441


Dalam bukunya berjudul Pembagian Kerja dalam Masyarakat (1893),
Durkheim meneliti bagaimana tatanan sosial (social institutions) dipertahan-
kan dalam berbagai bentuk masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada
pembagian kerja dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat
tradisional dan masyarakat modern. Para penulis sebelumnya, seperti
Herbert Spencer dan Ferdinand Toennies berpendapat, bahwa masyarakat
berevolusi mirip dengan organisme hidup, bergerak dari sebuah keadaan
yang sederhana ke arah yang lebih kompleks, sehingga mirip dengan cara
kerja mesin-mesin yang rumit. Durkheim membalikkan rumusan ini, sambil
menambahkan teorinya kepada kumpulan teori yang terus berkembang
mengenai kemajuan sosial (social development), evolusionisme sosial (social
evolution) dan darwinisme sosial (social Darwinis). Ia berpendapat, bahwa
masyarakat tradisional bersifat mekanis dan dipersatukan oleh kenyataan,
bahwa setiap orang lebih kurang sama. Oleh karena itu, dapat dipastikan
mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat
tradisional, kata Durkheim, kesadaran kolektif (collective consciousness) sepe-
nuhnya mencakup kesadaran individual (Individual consciousness), norma-
norma sosial (social norms) dan perilaku sosial (social behaviuor) diatur
dengan rapi.
Menurut Durkheim, bahwa dalam masyarakat modern, pembagian
kerja yang sangat kompleks dapat menghasilkan solidaritas organik (organic
solidarity). Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan
peranan sosial (social roles) dapat menciptakan saling ketergantungan, yang
mampu memberi ikatan seseorang kepada sesamanya. Mereka saling
tergantung dan membutuhkan dalam memenuhi seluruh kebutuhan hidup
mereka. Dalam masyarakat yang mekanis, misalnya, para petani gurem
hidup dalam masyarakat yang swa-sembada (economic subsistensi)106 dan
terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Hampir
keseluruhan produksi mereka diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya dalam sebuah tatanan ekonomi subsistensi. Dalam masyarakat
modern yang organik, para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandal-
kan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu
(sandang, pangan dan papan) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Menu-
rut Durkheim pembagian kerja (work division) yang semakin rumit seperti ini

106
Istiah yang sama yaitu subsistanec fund (Kotak, 1991: 260) di seluruh dunia, orang
mencurahkan sebagian waktu dan tenaga untuk membangun dana subsisten (lihat juga
Wolf, 1996). Dengan kata lain, mereka harus bekerja untuk makan, untuk mengganti
kalori yang mereka gunakan dalam aktivitas sehari-hari. Orang juga harus berinvestasi
dana pengganti energei yang mereka telah keluarkan. Lihat Gising (2009), bahwa
ekonomi subsitaensi adalah produksi hanya dipergunakan untuk konsumsi sendiri. Jadi,
jenis ekonomi ini tidak berorientasi pasar.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 442


dapat mengakibatkan kesadaran individual (individual consciousness) me-
nyimpang dari kesadaran kolektif, bahkan keduanya seringkali berbentur-
an.
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat
tertentu dengan dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan, bahwa
masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hukum seringkali bersifat
represif: pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena
hukuman. Hal itu tentunya akan membalas kesadaran kolektif yang di-
langgar oleh kejahatan, sehingga hukuman bertindak lebih untuk memper-
tahankan keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang memi-
liki solidaritas organik, hukum bersifat restitutif. Hukum bertujuan tidak
untuk menghukum, melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari
suatu masyarakat yang kompleks.
Jadi, perubahan masyarakat dapat terjadi dengan cepat, karena sema-
kin meningkatnya pembagian kerja, yang menghasilkan suatu bentuk keka-
cauan norma. Hal ini dapat meningkatkan sifat yang tidak pribadi dalam
kehidupan sosial. Akhirnya, keadaan kaos tersebut dapat mengakibatkan
runtuhnya norma-norma sosial yang mengatur perilaku masyarakatnya.
Durkheim menamai keadaan ini anomie, yang memunculkan segala bentuk
perilaku menyimpang dari norma-norma, sehigga bunuh diri semakin me-
nonjol.
Durkheim belakangan mengembangkan konsep anomienya dalam
bukunya berjudul bunuh diri (suicide), yang diterbitkannya pada 1897. Dalam
bukunya, ia meneliti berbagai tingkat bunuh diri bagi pengikut Protestan
dan Katolik. Ia menemukan, bahwa kontrol sosial (social control)107 yang
lebih tinggi di antara orang Katolik menghasilkan tingkat bunuh diri yang
lebih rendah. Menurutnya, orang mempunyai suatu tingkat keterikatan
tertentu terhadap kelompok-kelompok mereka, yang disebutnya integrasi
sosial (social integration)108. Tinggi rendahnya tingkat keterikan sosial dapat
mengakibatkan bertambahnya tingkat bunuh diri. Tingkat ikatan sosial

107
Kontrol Sosial (Jack David Eller, 2009: 408) adalah fungsi sosial politik dan umum untuk
mendapatkan anggota kelompok, agar sesuai dengan harapan dan peraturan dan untuk
mematuhi otoritas. Termasuk menanamkan nilai sosial, sekaligus hukuman penyim-
pangan dari harapan. Lihat Martin Asher (2010) teori kontrol dalam sosiologi adalah
gagasan, bahwa dua sistem kontrol --- kontrol batin dan kontrol luar --- bekerja melawan
kecenderungan seseorang untuk melakukan penyimpangan.
108
Lihat Peace Dialogue yang diprakarsai UN News Center. UN, n.d. Web. 02 Jan. 2015,
bahwa integrasi sosial difokuskan pada kebutuhan untuk bergerak menuju masyarakat
yang aman, stabil dan adil dengan memperbaiki kondisi disintegrasi sosial dan
pengucilan sosial --- fragmentasi sosial, pengecualian dan polarisasi, serta dengan
memperluas dan memperkuat kondisi integrasi sosial --- menuju hubungan sosial yang
damai dengan koeksistensi, kolaborasi dan kohesi.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 443


yang rendah menghasilkan integrasi sosial yang rendah pula, sehingga
masyarakat tidak terorganisasi. Bunuh diri bagi mereka merupakan upaya
terakhir. Sebailknya, integritas sosial tinggi, namun tetap bunuh diri, karena
hal ini merupakan jalan satu-satunya untuk tidak menjadi beban bagi
masyarakat. Menurut Durkheim, masyarakat Katolik mempunyai tingkat
integrasi yang normal, sementara masyarakat Protestan mempunyai tingat
yang rendah. Ini berarti dalam kesimpulan penelitian Durkheim, bahwa
tingkat bunuh diri bagi kaum Protestan lebih besar dibandingkan dengan
Katolik. Karya ini telah mempengaruhi para penganut teori kontrol (control
theory) dan seringkali disebut sebagai studi sosiologis yang klasik.
Akhirnya, Durkheim juga sangat terkenal dalam karyanya masyarakat
primitif dalam buku-bukunya Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Agama
(1912) dan esainya Klasifikasi Primitif yang ditulisnya bersama Marcel Mauss.
Kedua karya ini meneliti peranan yang dimainkan oleh agama dan mitologi
dalam membentuk pandangan dunia dan kepribadian manusia dalam
masyarakat-masyarakat yang sangat mekanis.
Durkheim juga sangat tertarik akan pendidikan. Hal ini dilatari oleh
pekerjaannya sebagai tutor bagi guru-guru dan sebagai pencipta kurikulum
berlatar belakang sosiologi di Perancis. Menurut Durkheim, pendidikan
mempunyai tujuan berikut ini: 1) Memperkuat solidaritas sosial melalui
sejarah dan pernyataan kesetiaan, 2) Mempertahankan peranan sosial
melalui pendidikan dan 3) Mempertahankan pembagian kerja berdasarkan
kecakapan.
Karya Durkeim telah menanamkan pengaruh besar dalam berbagai
disiplin ilmu, khususnya disiplin sosiologi dan antropologi. Skop dan keda-
laman karya Durkheim, termasuk beberapa diantaranya yang telah dipela-
jari ahli statistik dan ahli kognitif. Tema utama dari karya Durkheim adalah
solidaritas sosial (social solidarirty)109. Ia ingin mengetahui, lebih jauh, bagai-
mana sebuah unit sosial (social unit) mampu menyatukan dan menjaga
keutuhan angota-anggotanya. Penggunaan konsep seperti itu dikenal seba-
gai solidatias organic (organic solidarity) dan hati nurani kolektif (conscience
collective) dalam merespon setiap pertanyaan yang akan muncul.
Dalam disertasi Durkeim yang berjudul The Division of Labor in Socieiu
(1893) yang terkonsentrasi pada norma-norma dalam masyarakat mencer-
minkan solidaritas sosial. Dia yakin, bahwa peningkatan kualitas (spesiali-

109
Solidaritas (Barnard dan Spencer, 2002: 569, 858 dan 916 adalah kesatuan (kelompok
atau kelas) yang menghasilkan kesatuan kepentingan, tujuan, standar dan simpati. Ini
mengacu pada ikatan dalam masyarakat yang mengikat orang bersama-sama menjadi
satu. Dalam masyarakat sederhana, hal itu mungkin terutama didasarkan pada
kekerabatan dan nilai bersama. Dalam masyarakat yang lebih kompleks ada berbagai
teori mengenai apa yang berkontribusi pada rasa solidaritas sosial.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 444


sasi) kepribadian sebagai kunci untuk memperbesar tingkat solidaritas.
Masyarakat sebagai gudang sejumlah besar proses spesialisasi solidatias
organik (organic solidarity), yang mengandung banyak ciri pembeda kepri-
badian harus disatukan dengan unsur-unsur kepribadian lain, agar tetap
hidup. Di pihak lain, masyarakat yang tidak mempunyai perbedaan tipe-
tipe seperti ini akan dihimpun bersama dalam siolidaritas mekanik (mecha-
nical solidarity)110 dengan artian, bahwa kepribadian mempunyai kepekaan
yang cukup tinggi untuk menyatu dalam pengalaman, sehingga masing-
masing tidak perlu disatukan dengan yang lainnya untuk membentuk
pengalaman menjadi sesuatu yang mampu mengikat (a binding force).
Selanjutnya Durkheim menambahkan, bahwa hati nurani kolektif
(conscience collective) harus ditinggalkan untuk sementara waktu, karena
sangat sulit untuk menginterpretasi conscience yang diambil dari bahasa
Prancis, yang dalam bahasa Inggris berarti kesadaran (consciousness) atau
kata hati (conscience) atau mungkin sadar akan (aware of). Kesadaran ber-
sama (shared awarenessy atau kesepahaman (common understanding) juga
mungkin dapat diartikan sebagai sesuatu yang digunakan dalam menandai
mengklasifikasikan dunia dan masyarakat.
Bagi Durkhiem pengetahuan sosial (sociological knowledge)111 tidak
dapat diangkat dari unsur-unsur kepribadian, bahkan bagi psikolog yang
serba tahu pun tidak mungkin untuk mempelajari hal itu. Dengan demikian,
masyarakat harus dipelajari melalui studi-studi fakta sosialnya (social fact).
Bagi Durkheim fakta sosial tersebut sama dengan apa yang dipahami oleh
para antropolog sebagai kebudayaan (culture). Konsep tentang hati nurani
kolektif (conscience collective) juga sangat asing dalam mengungkapkan
konsep kebudayaan, sekalipun dalam beberapa tujuan memang sangat
membantu.
Pengaruh Durkheim terhadap antropologi telah meluas. Tiga dari ahli
antropologi sosial kenamaan --- Mauss, Radcliffe-Brown dan Livi-Strauss ---
telah mendapat pengaruh besar dari dirinya. Dua diantaranya yang mem-

110
Solidaritas mekanis (Barnard dan Spencer, 2002: 569, 858 dan 916) adalah versi
Durkheim tentang perpecahan besar antara tradisional dan modern. Masyarakat
berdasarkan solidaritas mekanis kuran mampu menguraikan kompleksitas internal dan
pembagian kerja, namun lebih berdaya guna dalam membahas kolektif kesadaran yang
mampu memperstukan keberagaman mereka. Masyarakat modern, sebaliknya, ditandai
oleh solidaritas organik (kebalikan solidaritas mekanik), yang disatukan berdasarkan
saling ketergantungan mereka.
111
Perdebatan tentang pengetahuan social telah terjadi jauh sebelumnya muncul tulisan
tentang social knowledge sejak tahun 1960-an hingga 1970-an. Penggunaan pengetahuan
sosial yang diperdebatkan tersebut ditengarai telah terkontaminasi dengan unsur-unsur
politik dan ekonomi (Alan Barnard and Jonathan Spence, 2002: 162 dan 932).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 445


perlihatkan reaksi terhadap konsepnya, baik negatif seperti Benedict
maupun positif seperti Malinowski.
Karya-karya agung yang terbit dari tangan Durkheim. Karya-karyanya
tersebut menjadi model acuan, baik dalam studi sosiologi modern maupun
studi antropologi kognitif. Karya-karya Durkheim sebagai dibuat dengan
membangun kerjasam dengan ilmuan lain yang sepaham dengannya,
bahkan Steven Lukes (pengagum dan pengikutnya menulis buku berjudul
Emile Durkheim: His Life and Work, a Historical and Critical Study (1985).
Karya-karya David Emile Durkhem, sebagai berikut:
1. 1983 & 1977. The Division of Labor in Society. The Free Press.
2. 1895 dan 1982. Rules of Sociological Method. The Free Press.
3. 1897 dan 1977). Suicide. The Free Press.
4. 1912-1915 dan 1995. The Elementary Forms of the Religious Life. The Free
Press.
5. 1955 dan 19920. Professional Ethics and Civic Morals. English translation by
Cornelia Brookfield.
6. Bersama Steven Lukes. 1985. Emile Durkheim: His Life and Work, a Historical
and Critical Study. Stanford University Press, 1985.
2. Marcel Mauss
Marcel Mauss lahir pada tanggal 10 Mei 1872 Épinal, Vosges,
Perancis dan meninggal dunian pada tanggal 10 Februari 1950
(umur 77) Paris, Perancis. Marcel Mauss adalah seorang filsuf
Perancis pada abad 20, salah satu penginspirasi gerakan
strukturalisme. Teori Mauss lebih banyak terkait dengan
teknik tentang tubuh Marcel Mauss adalah keponakan dari
Emile Durkheim. Seperti pamannya, ia tumbuh di lingkungan Yahudi
Ortodoks. Ia banyak belajar bahasa; Yahudi, Yunani, Latin, Iran Kono di
École pratique des hautes études (EPHE) tempat ia mengajar sejarah agama-
agama masyarakat yang kurang beradab. Ia pernah mendapat penghargaan dan
dua medali karena keberaniannya menjadi ahli bahasa sukarela dalam
lingkungan tentara Inggris pada Perang Dunia I. Hal inilah yang menginspi-
rasinya untuk meneliti teknik tubuh. Ia juga akrab dengan aspirasi sosial,
dengan karya-karya Picasso dan Debussy, ia selalu terbuka dengan
pemahaman baru tentang bentuk-bentuk sosial dan kultural.
Dua teori tentang sosial dan tubuh bagi Mauss tidak bisa dipisahkan.
Mauss mengamati setiap gerakan tubuh yang selalu berkaitan, seperti
halnya manusia yang tidak terpisah dengan masyarakatnya. Pemisahan
yang terjadi antara anggota tubuh sama bahayanya dengan pemisahan
manusia dengan masyarakatnya. Di sini, ilmu antropologi selalu terkait
dengan sosiologi.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 446


Marcel Mauss adalah seorang filsuf, sosiolog dan antropolog abad 20
dari Prancis yang menginspirasi gerakan strukturalisme. Ia lahir di Epinal,
10 Mei 1872. Mauss adalah keponakan dari sosiolog dunia, Emile Durkheim,
yang pemikirannya sangat mempengaruhi perkembangan intelejensi Mauss.
Mauss adalah orang yang berhasil merobohkan tembok pemisah antara
ilmu sosiologi dan antropologi dimana kedua disiplin tersebut seharusnya
saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Selama hidupnya, Mauss
menulis beberapa buku dan karyanya yang paling terkenal adalah Essai sur
le don atau The Gift tahun 1923.
Mauss, seperti halnya Emile Durkheim, dibesarkan di lingkungan
keluarga Yahudi Ortodoks. Ia pertama kali belajar ilmu filosofi di Bordeaux,
tempat sang paman mengajar, kemudian hijrah ke Paris untuk mempelajari
perbandingan agama dan Bahasa Sanskrit. Ia mempelajari beberapa bahasa
seperti Yahudi, Yunani, Latin dan Iran di Pratique des Hautes Etudesm,
sebuah perguruan tempatnya mengajar nanti. Di tempat itu pula Mauss
memperoleh pengetahuan tentang Sejarah Agama dan Masyarakat Kuno
Diantara sekian banyak buku yang ditulisnya, yang paling fenomenal
adalah The Gift. Buku ini berisi tentang pemikirannya bahwa tidak ada suatu
pemberian pun yang bebas/gratis. Hal ini, menurutnya, didukung oleh -
manusia yang terus berulang dimana sebuah karunia selalu menuntut
timbal balik. Satu pertanyaan Mauss yang terkenal mengenai timbal balik
ini adalah kekuatan apa yang melekat pada objek yang diberikan sehingga
penerima harus membayar kembali? Jawabannya ialah bahwa pemberian
merupakan total prestation yang disertai mekanisme spiritual yang melibat-
kan kehormatan kedua belah pihak. Bagi Mauss, proses transaksi tersebut
agak ajaib, sebab si pemberi tidak hanya memberikan benda namun juga
bagian dari dirinya. Dengan kata lain, sebuah benda tidak akan pernah bisa
terpisah seluruhnya dari orang-orang yang melakukan transaksi. Mauss
menjabarkannya dalam tiga kewajiban, yaitu memberi, menerima dan
timbal balik.
Pemikiran Mauss banyak menginspirasi tokoh-tokoh yang lebih muda
darinya, misalnya Claude Levi-Strauss dan Georges Bataille. Namun, tidak
sedikit juga yang mengkritik pemikiran Mauss itu. Salah satunya adalah
antropolog Prancis Alain Testart yang berpendapat bahwa ada pemberian
yang tidak terikat dengan timbal balik, misalnya ketika seseorang memberi
uang kepada pengemis di sebuah kota besar. Si pemberi dan pengemis tidak
saling mengenal dan kemungkinan tidak akan pernah bertemu lagi sehingga
tidak akan ada hubungan timbal balik atau saling ketergantungan seperti
yang dicetuskan oleh Mauss.
Dalam karirnya, Mauss pernah menjadi Guru Besar Agama Primitif di
École des Hautes Études Pratique, Paris pada tahun 1902 dan menjadi peng-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 447


ajar di College de France pada tahun 1931 hingga 1939 setelah mengambil
studi Sosiologi di tempat yang sama. Ia juga merupakan salah satu pendiri
Institut Etnologi Universitas Paris tahun 1925. Mauss meninggal dunia 20
Februari 1950 di Paris, Perancis
Marcel Mauss memiliki prestasi akademik dan karier berikut ini:
1. Mendapat magister di Pratique des Hautes Etudesm bidang Sejarah
Agama dan Masyarakat Kuno (1901)
2. Mendapat gelar doctor di Collčge de France bidang Sosiologi (1931)
3. Dikukuhkan sebagai Guru Besar Agama Primitif di École des Hautes
Études Pratique, Paris (1902)
4. Pendiri Institut Etnologi Universitas Paris (1925)
5. Sebagai tenaga pengajar di College de France (1931-1939)
Dua aspek karya Mauss yang memiliki pengaruh besar pada beberapa
antropolog lainnya yaitu analisisnya tentang Hadiah dan Pemberian (gift
giving), yang merupakan karya kebersamaannya dengan Durkheim dalam
analisis klasifikasi manusia primitif (primitive classifications). Klasifikasi
manusia primitifnya, tertuma banyak mempengaruhi Levi-Strauss. Sedang-
kan karyanya tentang Hadiah dan Pemberian (gift giving) lebih banyak
mempengaruhi antropologi ekonomi, seperti halnya dengan Levi-Strauss
dan beberapa ahli antropologi ekonomi lainnya.
Mauss dan Durkheim memperlihatkan fenomena kategori klasifikasi
manusia pamitive sebagai klasifikasi ilmiah pertama, yang berusaha mempe-
lajari manusia. Mereka menganggap sistem klasifikasi seperti itu sebagai
sebuah pengkelasan sistem kognitif yang diorganisasikan ke dalam sebuah
hirarki (hierarchies). Fungsi utama dari klasifikasi seperti ini adalah mem-
bentuk hubungan antara fenomena-fenomena yang dapat dipahami dan
bukan atas bantuan tindakan (anction). Klasifikasi dianggap sebagai titik
temu antara konsep dan basis unitas sistem pengetahuan.
Karya agung Mauss tentang pemberian (the gift) merupakan salah satu
bentuk analisis tentang pertukaran pemberian, atau prestasi (prestation)
dalam masyarakat sederhana. Dengan karyanya ini, ia menjadi ahli pertama
yang mengakui, bahwa fabrikasi sosial (social fabric)112 tidak menunjukkan
perbedaan di dalam masyarakat yang sederhana. Dalam masyarakat seperti
itu tujuan ekonomi dan politik dapat diisi melalui hubungan kekerabatan,
membuat gift giving sebagai sebuah fenomena sosial secara total yang dapat
ditemukan di dalam sebuah ekspresi terhadap keseluruhan aspek kehidup-
112
Fabrikasi social atau social reproduction (Jack David Eller, 2009: 408) pemeliharaan dan
pelestarian masyarakat di luar sekedar melahirkan anak, termasuk enkulturasi dan
pengajaran anggota untuk mengambil tempat dalam masyarakat dan kegiatan sehari-
hari untuk memungkinkan anggota masyarakat melakukan tugas mereka yang spesifik
(termasuk pekerjaan rumah tangga yang kadang-kadang disebut.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 448


an sosial dan institusi seperti, agama, moral dan ekonomi. Hal ini tentunya
tidak berarti, bahwa agama dan ekonomi adalah satu anyaman atau rajut-
an, tetapi lebih baik dikatakan, bahwa hal itu tidak menampakkan per-
bedaan yang berarti.
Mauss juga menandai, bahwa pemberian itu bukan atas dasar
kemauan, tetapi merupakan bagian dari kewajiban sosial (social obligation).
Dengan kata lain, gift giving atau pengembalian hadia (repayment of gift) itu
merupakan kewajiban dalam fabrikasi sosial. Realisasi ini sangat penting
dan sekali lagi Mauss membuktikan, bahwa pandangan etnosentrisme
dalam aktifitas manusia dapat lebih memperburuk atau bahkan dapat
menghancurkan hubungan sosial masyarakatnya.
3. Bronislaw Malinowski
Bronisław Kasper Malinowski (lahir pada tanggal 7 April
1884 dan meninggal pada tanggal 16 Mei 1942, pada umur 58
tahun). Malinowski lahir di Kraków, Austria-Hungaria (Po-
landia saat ini) dalam sebuah keluarga ekonomi menengah
atas. Ayahnya adalah seorang professor dan ibunya adalah
putri dari keluarga seorang tuan tanah. Pada masa kecilnya, ia
adalah seorang anak yang sakit-sakitan dan lemah, namun sangat pintar
secara akademik. Ia menerima gelar doktor dari Jagiellonian University
pada tahun 1908, dengan konsentrasi ilmu matematika dan fisika. Ia kemu-
dian melanjutkan pendidikannya di Universitas Leipizig selama dua tahun,
tempat dimana ia mulai dipengaruhi pemikiran Wilhem Wundt dan
teorinya tentang folk psychology. Hal tersebut kemudian memancing Mali-
nowski untuk mendalami ilmu antropologi. Ketika itu, James Frazer dan
beberapa penulis Inggris lainnya terkenal sebagai antropolog-antropolog
terbaik, sehingga Malinowski memutuskan untuk berlayar ke Inggris untuk
belajar di London School of Economics (LSE) pada tahun 1910. Ia termasuk
sedertan nama antropolog Polandia yang diakui sebagai salah satu antro-
polog terpenting pada abad ke-20, karena jasa dan kontribusinya yang besar
dalam bidang etnografi, reciprocity dan penelitian tentang Melanesia.
Pada tahun 1914 ia pergi ke Papua (Papua New Guinea saat ini) dan
melakukan penelitian di Mailo dan kemudian, yang lebih terkenal, di
Kepulauan Trobriand. Ia sempat mendapatkan masalah pada penelitian itu.
Perang Dunia I pecah dan sebagai orang Polandia yang berada di teritori
Inggris, ia ditahan dan tidak diperbolehkan untuk meninggalkan wilayah
itu. Setelah beberapa lama tertahan, ia kemudian memutuskan untuk
mempelajari suku pribumi Trobrainders dan tinggal bersama komunitas
mereka hingga akhirnya ia dapat menguasai bahasa mereka, menjalin
persahabatan dengan penduduk dan bahkan dikabarkan menjalin cinta
dengan seorang wanita pribumi. Dalam periode itulah ia mulai melakukan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 449


penelitian tentang Kula113 dan menghasilkan teori Participant observation yang
menjadi salah satu kunci metodologi penelitian antropologi saat ini. Patut
diakui, bahwa tanpa adanya perang dan terisolasinya Malinowski, teori
yang banyak mempengaruhi antropologi modern saat ini tidak akan pernah
ada.
Pada tahun 1910, Malinowski studied exchange and economics at the
London School of Economics (LSE) under Seligman and Westermarck,
analysing patterns of exchange in Aboriginal Australia through ethno-
graphic documents. In 1914, he was given a chance to travel to New Guinea
accompanying anthropologist R.R. Marett, but as World War I broke out and
Malinowski was an Austrian subject, and thereby an enemy of the British
commonwealth, he was unable to travel back to England. The Australian
government nonetheless provided him with permission and funds to
undertake ethnographic work within their territories and Malinowski chose
to go to the Trobriand Islands, in Melanesia where he stayed for several
years, studying the indigenous culture.
Pada tahun 1922 Malinowski mendapatkan gelar doktor antropologi
dan mulai mengajar di London School of Economics (LSE). Pada tahun itu
pula bukunya yang berjudul Argonauts of the Western Pacific diterbitkan.
Buku itu diakui secara luas sebagai sebuah mahakarya dan Malinowski
dinobatkan menjadi salah satu antropolog terbaik yang pernah ada. Selama
tiga dekade selanjutnya Malinowski membawa LSE menjadi pusat
pembelajaran antropologi terbaik di Inggris. Ia mengajar banyak orang,
termasuk mahasiswa dari daerah koloni Inggris yang kemudian menjadi
figur penting di negaranya. Ia kemudian mengajar di Yale University,
Amerika Serikat, sampai ia wafat pada tahun 1942. Banyak muridnya yang
menjadi antropolog terkemukan, seperti: Raymond Firth, E. E. Evans-
Pritchard, Hortense Powdermaker, Edmund Leach, Audrey Richards dan
Meyer Fortes. Sejak tahun 1933 ia mengunjungi beberapa universitas di
Amerika dan ketika Perang Dunia II pecah ia memutuskan untuk tinggal di
sana, untuk dikukuhkn di Yale. Di sini ia tinggal sepanjang sisa hidupnya
dan mempengaruhi generasi baru antropolog Amerika.
113
Kula atau kula ring (Smiht, 1990: 160) adalah sistem pertukaran dalam sebuah seremonial
yang dideskripsikan oleh Malinowski (1992) untuk Trobriand Insland dan kepulauan
New Guinea lainnya. Penduduk pulau ini, meskipun beragam dalam hubungan
linguistik dan budaya mereka, namun berbagi sistem pertukaran seremonial yang
umum yang ditandai dengan peredaran dua jenis objek seremonial: kalung kerang dan
gelang shell. Kalung mengalir satu arah di sepanjang perputana pasangan pertukaran,
gelang dengan cara lain. Transaksi kula bervariasi dari satu daerah ke daerah lainnya
disesuaikan dengan jenis dan jumlah upacara dan aktivitas magis. Kula didampingi oleh
jenis pertukaran lainnya, yang merupakan elemen penting dalam negosiasi dan
pemeliharaan prestise, status dan rangk seseorang dalam suku Trobriand.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 450


Etnografinya di kepulauan Trobriand menggambarkan institusi
kompleks cincin Kula (kula armband) dan menjadi fondasi bagi teori timbal
balik dan pertukaran (reciprocity). Dia juga secara luas dianggap sebagai
pekerja lapangan yang terkemuka, karena teks-teksnya mengenai metode
lapangan (field research) menjadi dasar dalam berbagai penelitian antropo-
logi. Ia juga yang menciptakan konsep istilah observasi partisipatif (full
participatory observation).
Selama tinggal dan melakukan penelitiannya di papua Nugini,
Malinowski tinggal berdampingan dan berinteraksi dengan suku Trobriand
dalam waktu yang cukup lama, kurang lebih 4 tahun (antara tahun 1915
sampai 1918). Malinowski menerbitkan beberapa buku berkenaan dengan
analisa tata sosial suku Trobriand, namun karya yang membuat namanya
terkenal adalah Argonauts of the Western Pacific yang terbit pada tahun 1922.
Dalam buku ini Malinowski mengalisa dan menjelaskan secara rinci
tentang budaya Kula, adat tukar menukar hadiah yang dilakukan suku
Trobriand dan suku bangsa lain yang tinggal di pulau berdekatan dengan
mereka. Kula mengedarkan pertukaran dua jenis benda yang dilansir dalam
dua arah yang berlawanan, kalung panjang terbuat dari kulit kerang merah
yang disebut Soulava dan gelang-gelang dari kulit kerang putih yang disebut
Mwali.
Di setiap pulau peredaran kula dilakukan oleh jaringan kaum laki-laki
kalangan atas, di sana mereka menjadi mitra dagang dan memperoleh pres-
tige sebagai golongan terhormat. Kula memungkinkan seseorang, bahkan
keluarga, memperoleh kehormatan bukan dari memiliki sejumlah barang
berharga, namun dengan memberikannya kembali kula kepada orang lain.
Seseorang tidak bisa menyimpan Mwali dan Soulava selain 1-2 tahun saja.
Kedua barang ini harus diedarkan (diberikan kembali) pada orang lain yang
dipercaya oleh pemilik terakhir.
Pada suatu ketika seseorang bisa tiba-tiba mendapatkan Soulava, mem-
berikannya pada orang lain dan selang waktu yang tidak terduga tiba-tiba
dia diberikan Mwali oleh karabatnya yang lain. Kula dalam jaringan
eredaranya, baik pemberi maupun penerima secara langsung mendapat
prestis sebagai orang terhormat. Budaya memberi dan menerima dalam kula
memungkinkan masyarakat membangun intergrasi ekonomi dan politik
bagi masyarakat Trobriand dan suku-suku lain di sekitarnya.
Menurut analisa Malinowski, Kula adalah sistem pameran kemurahan
hati. Fungsi laten kula, yang tak disadari masyarakatnya; memungkinkan
terciptanya hubungan perdagangan yang menimbulkan keuntungan
ekonomis bersama. Sementara itu dari sisi politik, fakta Kula juga memung-
kinkan terbangunnya interaksi sosial jarak jauh antara suku Trobriand dan
suku-suku kerabat di sekitar mereka. Kula menjalin kebersamaan sejumlah

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 451


suku bangsa dan mencakup satu kompleks kegitan besar, saling berkaitan
dan saling bekerjasama satu sama lain, yang membentuk suatu keseluruhan
organik. (Malinowski, 1922: 83). Kula akan memperluas jaringan antara
mitra yang memiliki dan yang memberi dari waktu ke waktu, dimana secara
fungsional menjadi inti integrasi sosial ekonomi dan politik, baik
masyarakat Trobriand sendiri maupun suku-suku lain di sekitar kepulauan
Papua Nugini.
Pendekatannya terhadap teori sosial menjadi merek fungsionalisme
psikologis yang menekankan bagaimana institusi sosial (social institutions)
dan budaya melayani kebutuhan dasar manusia. Sebuah perspektif yang
menentang fungsionalisme struktural yang dipelopori Radcliffe-Brown yang
menekankan cara-cara di mana institusi sosial berfungsi dalam masyarakat
secara keseluruhan.
Malinowski meninggal pada 16 Mei 1942 dalam usia 58 tahun, karena
serangan jantung saat bersiap melakukan penelitian lapangan musim panas
di Oaxaca, Meksiko. Dia dikebumikan di Evergreen Cemetery di New
Haven, Connecticut.
Malinowski sering dianggap sebagai salah satu ahli etnografi antropo-
logi yang paling terampil, terutama karena pendekatannya yang sangat
metodis dan teoretis dalam studi sistem sosial (social systems). Dia sering
disebut sebagai peneliti pertama yang membawa antropologi di luar
beranda (off the verandah), yaitu sebuah ungkapan yang juga merupakan
nama sebuah film dokumenter tentang karyanya, Yng berceritra tentang
kehidupan sehari-harinya bersama informannya. Malinowski menekankan
pentingnya observasi partisipan yang terperinci. Ia juga berpendapat,
bahwa antropolog harus memiliki kontak sehari-hari dengan informan
mereka. Penelitia harus mencatat kehidupan sehari-harinya dengan para
informannya untuk memahami budaya yang berbeda
Dia menyatakan, bahwa tujuan antropolog atau etnografer adalah
memahami sudut pandang pribumi (emik) dalam hubungannya dengan visi
dan misi kehidupan mereka. Ia kemudian menulis buku tentang itu
Argonaut of the Pacific Barat (Dutton 1961: 25).
Malinowski dalam membahas tentang Kula, ia pun juga membahas
bukunya Argonaut of the Pacific Barat (Dutton 1961: 83-84). Namun Mali-
nowski dalam sub-pembahasannya tentang kula sedikit mengeluh, karena
banyaknya institusi yang luas, rumit dan teratur, yang harus beliau
kumpulkan. Selain itu, informan-informannya tidak memiliki kemampuan
dan pengetahuan tentang hukum-hukum yang mereka terapkan di dalam
pertukaran Kula. Mereka tidak memiliki cukup pengetahuan tentang garis
besar keseluruhan struktur sosial (social structure) mereka. Mereka tahu
motif mereka sendiri, mengetahui tujuan tindakan individual dan peraturan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 452


yang berlaku bagi mereka. Akan tetapi, bagaimana bentuk kelembagaan
kolektif yang mereka sedang jalankan, sama sekali di luar pengetahuan
mereka. Bahkan orang asli yang paling cerdas pun memiliki gagasan yang
jelas tentang Kula sebagai konstruksi sosial yang besar dan terorganisir,
masih juga kurang faham akan fungsi sosiologis dan implikasi dari ritual
ada kula tersebut. Integrasi semua rincian yang diamati, pencapaian sintesis
sosiologis dari berbagai gejala yang relevan, adalah tugas dari Ethno-
grapher. Ethnographer harus membangun gambaran tentang institusi besar,
sama seperti fisikawan menyusun teorinya dari data eksperimen, yang
selalu ada dalam jangkauan setiap orang, namun tetap dibutuhkan. Dalam
dua bagian ini, Malinowski mengantisipasi perbedaan antara deskripsi dan
analisis, serta antara pandangan aktor dan analis. Perbedaan ini terus
menginformasikan metode antropologi dan teori. Kajiannya tentang cincin
Kula juga penting untuk pengembangan teori antropologis timbal balik
(reciprocity dan materinya dari Trobriands dibahas secara luas dalam esai
The Gift, asli karya Marcel Mauss.
Malinowski berasal dari sekolah antropologi sosial yang dikenal seba-
gai fungsionalisme. Berbeda dengan fungsionalisme struktural Radcliffe-
Brown, Malinowski berpendapat, bahwa budaya berfungsi untuk meme-
nuhi kebutuhan individu dan bukan masyarakat secara keseluruhan. Ia
beralasan, bahwa bila kebutuhan individu, yang terdiri dari masyarakat
terpenuhi, kebutuhan masyarakat juga ikut terpenuhi. Bagi Malinowski,
perasaan orang dan motif mereka adalah pengetahuan penting untuk
memahami bagaimana masyarakat berfungsi.
Selain garis besar akan gambaran konstitusi kesukuan dan item
budaya yang mengkristal, yang membentuk kerangka data kehidupan
sehari-hari dan perilaku biasa yang sudaj mendara daging bagi para
informannya, ia pun harus sibuk dalam mencatat semangat kerja (etos) suku
trobriand di New Guenia.Terlepas dari kerja lapangan, Malinowski juga
menantang klaim universalitas teori Freud tentang kompleks Oedipus. Dia
memprakarsai pendekatan lintas budaya dalam Sex and Repression in Savage
Society (1927) di mana dia menunjukkan bahwa kompleks psikologis spesifik
tidak universal.
Malinowski juga mempengaruhi jalannya sejarah Afrika, melayani
sebagai mentor akademis untuk Jomo Kenyatta, ayah dan presiden pertama
Kenya modern. Malinowski juga menulis pengantar untuk Faced for Kenya
Mountions, studi etnografi Kenyatta tentang suku Gikuyu dan suku
Kulurami di Afrika, yang juga menarik perhatiannya.
Fungsionalisme Malinowski menemukan 7 unsur kebutuhan pokok
manusia, yaitu: gizi (nutrition), berkembang biak (reproduction), kenyamana
(bodily comforts), keamanan (safety), rekreasi (relaxation), pergerakan (move-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 453


ment) dan pertumbuhan (growth). Kebutuhan individu seperti ini dapat
dipenuhi melalui kebudayaan dan lembaga sosial, yang berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan mereka. Dengan kata lain, setiap lembaga sosial
mempunyai kebutuhan untuk dipenuhi dan begitu pula dengan item-item
budaya yang ada. Pandangan Malinowski terhadap kebudayaan juga
berdasarkan pada kebutuhan bio-sosial manusia secara fundamental dan dia
menganggap kebudayan sebagai alat untuk merespon kebutuhan manusia
dengan ketentuan, bahwa hal itu berada di atas adaptasi.
Salah satu kontribusi Malinowski yang jarang digubris oleh para
komentator yaitu idenya tentang kelembangaan (institution). Alasannya
mungkin, karena Malinowski menyebut fenomena-fenomena sosial yang
spesifik sebagai sebuah institusi, yang mendorong masyarakat untuk
memainkannya, sehingga kata tersebut memiliki banyak fungsi. Meskipun
demikian, ide pokok ini sangat membantu, tidak hanya dalam deskripsi
etnografi, tetapi juga dalam studi komparatif secara menyeluruh. Sebagai
sebuah institusi, demikian Malinowski lebih lanjut, dapat mengarahkan
suatu kelompok masyarakat pada satu tujuan. Mereka mempunyai karakter
dan/atau penjelasan, serta mereka mempunyai teknologi untuk mencapai
atau usaha untuk mencapai tujuan tersebut.
Bronisław Kasper Malinowski menghasilkan banyak karya yang ber-
kenaan dengan antropologi lapangan, sebagai berikut:
1. 1913. The family among the Australian Aborigines: a sociological study.
London: University of London Press.
2. 1922. Argonauts of the Western Pacific: An account of native enterprise and
adventure in the Archipelagoes of Melanesian New Guinea. London: Routledge
and Kegan Paul (Enhanced Edition reissued Long Grove, IL: Waveland Press,
2013).
3. 1924. Mutterrechtliche Familie und Ödipus-Komplex. Eine
psychoanalytische Studie (in German). Leipzig: Internationaler
Psychoanalytischer Verlag.
4. 1926. Myth in primitive psychology. London: Norton.
5. 1926. Crime and custom in savage society. New York: Harcourt, Brace &
Co.
6. 1927. Sex and Repression in Savage Society. London: Kegan Paul, Trench,
Trubner & Co.
7. 1929. The Sexual Life of Savages in North-Western Melanesia. An
Ethnographic Account of Courtship, Marriage, and Family Life Among the
Natives of the Trobriand Islands, British New Guinea. London.
8. 1935. Coral gardens and their magic. London: Allen & Unwin.
9. 1944. A Scientific Theory of Culture and Others Essays. Chapel Hill, N.
Carolina: The University of North Carolina Press.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 454


10. 1947. Freedom & Civilization. London.
11. 1946. P.M. Kaberry, ed. The Dynamics of Culture Change: An Inquiry Into
Race Relations in Africa. New Haven: Yale University Press.
12. 1948. Magic, Science and Religion and Other Essays. Glencoe, Illinois: The
Free Press (Reissued Long Grove, IL: Waveland Press, 1992).
13. 1962. Sex, Culture, and Myth. New York: Harcourt, Brace & World.
14. 1967. A Diary in the Strict Sense of the Term. New York: Harcourt, Brace
& World.
15. 1993. R.J. Thornton & P. Skalnik, ed. The early writings. Cambridge:
Cambridge University Press.
4. A. R. Radclfffe-Brown
Alfred Reginald Radcliffe-Brown lahir pada tanggal 17
January 1881 di Sparkbrook, Birmingham, Britania Raya dan
meninggal pada tanggal 24 October 1955). Ia adalah an English
social anthropologist who developed the theory of structural
functionalism and coadaptation.
Setelah menempuh pendidikan di Trinity College, ia hijrah ke
pulau Andaman pada tahun 1906 hingga 1908 dan juga Australia Barat pada
tahun 1910 hingga 1912. Misi beliau dalam penjelajahan ini adalah
melakukan penelitian lapangan terhadap kehidupan masyarakat di daerah
tersebut. Setelah itu, beliau membuat buku yang berjudul The Andaman
Islanders (1922) dan The Social Organization of Australian Tribes (1930).
Di tengah-tengah karirnya, beliau menjadi sebuah direktur di pusat
pendidikan di Tonga dan pada tahun 1920, beliau pindah di CapeTown
untuk menjadi profesor antropologi sosial serta menemukan sekolah untuk
orang-orang Afrika. Beliau kemudian mengajar di University of Sydney
(1925-1931) dan University of Chicago (1931-1937). Akhirnya, beliau kembali
ke Inggris untuk mengajar Antropologi di Oxford hingga pensiun di tahun
1946.
Selain mengabdikan hidupnya di bidang Antropologi, beliau juga me-
nemukan sebuah konsep yang disebut dengan Structural Functionalism.
Beliau berargumen bahwa identifikasi fungsi dari praktik sosial adalah
untuk menjadi relatif pada total struktur sosial yang ada. Beliau men-
cetuskan paham Structural Functionalism ini atas dasar pengalamannya
pada praktik lapangan yang beliau lakukan di Andaman dan Australia
Barat.
Kritik budaya dan sosial yang beliau cetuskan selama hidupnya
menjadi sebuah pertimbangan tersendiri terhadap perubahan historis yang
ada pada masyarakat yang telah beliau pelajari. Di lain kata, Alfred
Radcliffe-Brown telah membawa perubahan mengenai kolonialisme. Saat
ini, melalui karya-karyanya, lelaki yang telah tiada empat puluh enam tahun

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 455


silam ini dijuluki sebagai Bapak Antropologi Sosial Modern, bersama
dengan Bronislaw Malinowski, rekan praktik lapangannya di masa muda.
Alfred Reginald Radcliffe-Brown adalah antropolog Inggris yang ter-
kait erat dengan perkembangan fungsionalisme struktural. Kerangka teoritis
dan ketrampilan administratifnya membantu mengkonsolidasikan antropo-
logi sosial sebagai disiplin akademis di Persemakmuran Inggris.
Radcliffe-Brown menikmati pendidikan akademis elit di Universitas
Cambridge, di mana A. C. Haddon (1855-1940) dan W. H. R. Rivers (1864-
1922) adalah mentornya. Dia pertama kali ingin mempelajari ilmu alam,
namun diarahkan pada ilmu moral (terdiri dari filsafat, psikologi dan
ekonomi). Namun kecenderungannya terhadap ilmu pengetahuan alam
tetap menyertainya sepanjang karirnya. Penggunaan analogi antara struktur
sosial dan struktur yang terjadi di alam adalah simbol dari gaya pemikiran-
nya. Pada saat yang sama, dia dapat menggabungkan penekanannya pada
struktur dengan gaya kenecesannya dan ketertarikan dengan anarkisme
Peter Kropotkin (18421921), membuat Radcliffe-Brown mendapat julukan
'Anarchy Brown.'
Dia melakukan penelitian lapangan etnografis di Kepulauan Andaman
(1906-1908) dan Australia Barat (1910-1912), namun tidak pernah mencapai
keakraban mendalam dengan setting lokal yang akan segera menjadi ciri
khas antropologi sosial. Karir akademik Radcliffe-Brown yang berpengaruh
dimulai pada 1920, saat ia menjadi profesor antropologi sosial di Universitas
Cape Town di Afrika Selatan. Dia kemudian menjadi profesor di University
of Sydney (1926-1931), profesor di University of Chicago (1931-1937) dan
ketua antropologi sosial di Universitas Oxford (1937-1946). Dia terus meng-
ajar di universitas-universitas di Brazil, Mesir, Inggris dan Afrika Selatan. Ia
menjabat sebagai ketua Asosiasi Antropolog Sosial sampai beberapa saat
sebelum kematiannya.
Meskipun dengan biaya sendiri, Radcliffe-Brown terkesan penulis
yang lamban. Satu-satunya monografnya adalah The Andaman Islanders
(1922). Penerbitan selanjutnya hanyalah artikel dan ilustrasi perkuliahannya
saja. Meskipun karir akademisnya terbentang setengah abad, teori Radcliffe-
Brown masih tetap kurang sekali. Dia terus-menerus mensistematisasikan
gagasan bahwa antropologi sosial harus menjadi ilmu pengetahuan alami
masyarakat manusia melalui investigasi empiris mengenai struktur sosial.
Perbandingan antara masyarakat yang berbeda harus memungkinkan antro-
polog untuk menemukan hubungan universal dan penting. Yang jelasnya,
keanekaragaman harus dikurangi untuk menghapus munculnya klasifikasi.
Antropologi harus berfokus pada jaringan yang dapat diamati secara
langsung antara orang-orang dan menyaring bentuk struktural umum.
Menolak difusiisme, evolusionisme dan segala jenis (conjectural history),

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 456


Radcliffe-Brown juga mengkritik konsep budaya (culture), yang baginya
adalah abstraksi berkabut dan bawahan pada struktur sosial.
Penilaian kontribusi Radcliffe-Brown terhadap antropologi cenderung
terpolarisasi. Dia adalah seorang dosen karismatik, mampu memberi kesan
pada orang lain sebuah habitus kekakuan ilmiah. Bahkan, beberapa aliran
antropologi Amerika, dengan penekanan lama pada budaya dan kekhasan
historis, dipengaruhi olehnya. Tapi sama seperti dia menyatukan para ilmu-
wan selama masa hidupnya, namanya segera menjadi identik dengan pen-
dekatan yang terlalu kaku dan tidak memuaskan secara intelektual, se-
hingga tidak ada yang mau mengikutinya lagi. Dari tahun 1950an seterus-
nya, semua tokoh utama antropologi sosial Inggris, terutama E. E Evans-
Pritchard (1902-1973), Raymond Firth (1901-2002) dan Edmund Leach (1910-
1989), mengecam teori Radcliffe-Brown, karena tidak dapat mema-hami
sejarah, perubahan sosial dan hubungan kekuasaan yang tidak setara.
Bahwa ia ingin antropologi menjadi ilmu pengetahuan alam (eksakta
maksudnya) menarik cemoohan dari orang-orang tertentu (mis., Leach
1976). Bahkan, jika ditilik kepentingan akan teori Radcliffe-Brown pada
masa sekarang dapat dipandang secara historis, penekanannya pada jaring-
an sosial yang dapat diamati, yang bertentangan dengan nilai budaya, tetap
juga memiliki pengaruh tertentu, terutama di Inggris.
Alfred Reginald Radcliffe-Brown (1881-1955), seorang antropolog, lahir
pada tanggal 17 Januari 1881 di Aston, Warwickshire, Inggris. Ia adalah
putra kedua Alfred Brown (meninggal tahun 1886), petugas pabrik dan
istrinya Hannah, Radcliffe. Dia dididik di King Edward's School, Birming-
ham dan Trinity College, Cambridge (B.A., 1905; M.A., 1909), lulus dengan
penghargaan kelas satu (cumlaude) dalam ilmu moral tripos. Dia belajar
psikologi di bawah W. H. R. Rivers bersama A. C. Haddon, yang membawa-
nya ke arah antropologi sosial. Bersama siswa pilihan Anthony Wilkin
dalam bidang etnologi pada tahun 1906 (dan 1909), Brown menghabiskan
dua tahun di lapangan di Kepulauan Andaman. Ia masih sempat mengajar
seorang siswa terdaftar di Trinitas (1908-14) sebanyak dua kali seminggu
tentang etnologi di London School of Economics. Ia juga mengunjungi Paris
untuk menemui sosiolog kenamaan Emile Durkheim, yang teorinya
mewarnai semua pekerjaan selanjutnya. Di Cambridgelah pada tanggal 19
April 1910 ia menikahi Winifred Marie Lyon. Mereka bercerai pada tahun
1938.
Tinggal seorang diri di Australia Barat pada tahun 1910, Brown
bergabung dengan E. L Grant Watson dan Daisy Bates dalam sebuah
ekspedisi ke Utara-Barat, guna mempelajari sisa-sisa suku Aborigin selama
dua tahun di rumah sakit utama di pulau Bernier dan Dorré dan pada pusat
peternakan domba. Ada gesekan antara Brown dan Nyonya Bates.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 457


Dia berada di Melbourne pada tahun 1914 untuk the British
Association for the Advancement of Science, di mana dia dituduh
melakukan plagiarisme tidak terpuji oleh Daisy Bates. Tertahan dengan
pecahnya perang, ia pun mengajar di Sydney Church of England Grammar
School (Shore) dan menjadi direktur pendidikan (1916-19) di Tonga. Dari
tahun 1921 ia menjadi profesor bidang ilmu antropologi di University of
Cape Town, Afrika Selatan. Setahun setelah terbitnya The Andaman Islanders.
Pada tahun 1926 ia mengubah namanya dengan jajak pendapat untuk
Radcliffe-Brown.
Sebagai seorang starter dand stirrer, pada waktu itu dia diberi
kedudukan sebagai pelopor antropologi baru di University of Sydney, yang
sebagian didanai oleh Rockefeller Foundation. Dia segera memiliki belasan
ilmuwan lapangan di Australia, Papua, New Guinea dan kepulauan Pasifik.
Dia, sebelumnya menyampaikan makalah di Institute of Pacific Relations
(Honolulu, 1927), Pan Pacific Science Congress keempat (di Jawa, 1929), the
Australasian Association for the Advancement of Science (di Brisbane, 1930)
dan the British Association (di London, 1931). Dia juga mendirikan jurnal,
Oceania, pada tahun 1930. Ia kemudian menulis monografi pertamanya
berjudul Social Organization of Australian Tribes (1931). Meskipun ia dikutuk,
karena tidak mau mengakui karya pendahulunya, terutama R. H. Mathews
dan Bates, buku tersebut menandai dimulainya sebuah epoh, yang
menggambar materi yang telah dikumpul bersama (maksudnya dengan R.
H. Mathews dan Bates) telah dikelolanya dengan baik. Akan tetapi, sebagian
besar dari buku tersebut berisikan deskripsi dari formulasi sistem peraturan
yang ideal dan bukan system perilaku yang sebenarnya ada di lapangan.
Dengan karakter flamboyan dan egosentrisnya, Radcliffe-Brown
memiliki hal-hal yang istimewa. Dia tampan, menawan dan pembicara yang
brilian dan menduduki lingkaran sosial tertinggi di Sydney. Dia mencintai
seni dan memperjuangkan Edward de Vere, earl Oxford, sebagai penulis
karya-karya yang dikaitkan dengan Shakespeare. Khawatir, bahwa depresi
dapat menyebabkan keruntuhan finansial di Australia, pada tahun 1931
Radcliffe-Brown berangkat untuk mengisi jabatan di University of Chicago,
meninggalkan cita-citanya untuk meminta bantuan pemerintah dan
Rockefeller untuk menyelamatkan departemen Sydney. Pada tahun 1937 dia
pindah jabatan baru di Oxford hingga pensiun pada tahun 1946. Hidup
bersama dengan putrinya, Brown meninggal di London pada tanggal 24
Oktober 1955.
Radcliffe-Browne bersama dengan teman sebayanya B. K. Malinowski
adalah pendiri antropologi modern. Seorang ahli teori, sekaligus sebagai
seorang pekerja lapangan, Radcliffe-Brown berusaha membuat antropologi
sebagai cabang ilmu pengetahuan alam (eksakta). Tanpa usaha sungguh-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 458


sungguh untuk menerapkan metode ilmiah dalam studi masyarakat,
prestasi yang dicapai para ahli belakangan ini tidak mungkin dapat tercapai.
Jangkau pengaruhnya yang jauh mampu menginspirasi murid-muridnya.
Dia juga mengadakan kunjungan profesor di Alexandria (Mesir), Yengching
(Cina), San Paolo (Brasil), Grahamstown (Afrika Selatan) dan Manchester
(Inggris), untuk penyebaran luasan ajarannya. Sayangnya, dia tidak akan
pernah menerima koreksi dari pekerja lapangan di kemudian hari. Publikasi
terakhirnya yang berisi sebuah catatan tentang suku Aborigin, menuai
kecaman, karena menunjukkan danya kesalahan persepsi, bahwa unit
fundamental struktur sosial Aborigin adalah gerombolan patrilineal ekso-
gamous yang terlokalisasi di mana-mana.
Radcliffe-Brown adalah orang yang dianggap sangat berpengaruh,
baik dalam antropologi maupun sosiologi. Aspek fungsionalisme Radcliffe-
Brown digabungkan dengan pendekatan strukturnya, yang kemudian meng-
hasilakn pendekatan struktural fungsinalisme, baik dalam pemikian sosiologi
maupun dalam antropologi sosial. Ketika antropologi sebagai ilmu ber-
kembang pesat di lapangan, penekanan Radcliffe-Brown jatuh pada pem-
bentukan teori. Bahkan, di lapangan pun Radcliffe-Brown selalu tertarik
pada penggenralisasian pentas-pentas sosial (social events) dibandingkan
dengan pentas-pentas secara individu. Pendekatannya dalam antropologi
juga sangat jauh berbeda dengan rekan-rekannya. Dua pendekatan utama-
nya yang sering dibantah oleh para antropolog kontemporer di Amerika.
Salah satunya, bahwa individu sebaiknya jangan diperhitungkan di lapang-
an, karena hal itu hanyalah berupa sistem sosial yang berdiri sendiri,
sehingga keberatan berdatang para ahli budaya dan psikologi budaya, yang
ketikan itu sedang mendomanasi antropologi Amerika. Pendapat lainnya,
adalah penggunaan analogi organik dalam rangka membuat pandangan
teoretis pokok, juga menjadi bah an kontroversial para antropolog Amerika
ketika itu.
Ada tiga konsep vital yang sering digunakan oleh Radcliffe-Brown,
yaitu: proses (process), fungsi (function) dan struktur (structure). Proses sosial
mengacu pada sebuah unit aktifitas sosial, sehingga regularitas proses sosial
menjadi sangat penting. Proses seperti itu dianggap sebagai proses yang
berlangsung secara sinkronik, yang dipertengkan dengan proses diakronik,
yang mengacu pada proses perubahan yang berlangsung lama.
Radcliffe-Brown mengangkat konsep fungsi dari psikologi. Ia percaya,
bahwa istilah fungsi dalam ilmu sosial sama dengan istilah proses di dalam
psikologi, yang menghubungkan antara struktur dengan kehidupan. Dalam
kasus masyarakat, fungsinya terletak pada struktur sosial dengan kehidupan
sosial. Fungsi, menurut Borwn, mengacu pada hubungan antara proses
dengan struktur sosial. Dapat juga dikatakan, bahwa fungsi merupakan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 459


kontribusi sebuah elemen yang membentuk keseluruhan sistem sosial.
Radcliffe-Brown dan Malinowski berbeda dalam memandang fungsi
tersebut, karena Malinowski memulainya dengan kepribadian. Kepribadian
secara insidental dibutuhkan oleh Radcliffe-Brown, karena ia menganggap
sistem interaksi manusia lebih berharga dari pada manusianya sendiri, yang
akan menjadi isu sentral bagi pendekatan fungsionalisme Borwn dalam
masyarakat.
Struktur (structure) mengacu pada sejumlah bahagian pengaturan
organisasi. Dalam struktur sosial, bahagian kepribadian inilah yang men-
dorong seseorang untuk berpartisipasi di dalam kehidupan sosial, sehingga
menduduki status dalam jaringan sosial (social network). Jaringan sosial
terbentuk dari hubungan sosial antar manusia di dalam sebuah masyarakat,
yang dikontrol oleh norma atau pola-pola. Dalam penggunaan ide struktur
seperti ini, Radcliffe-Brownlah yang menjadi pemimpinnya dan itulah yang
membuat Radcliffe Brown suskses dalam membangun antropologi di
Inggris.
D. Ekologi Budaya dan Teori Neo-Evolusi
1. Julian H. Steward
Julian Haynes Steward lahir pada tanggal 31 January 1902 di
Washington, D.C. dan meninggal pada tanggal 6 February
1972. Ia adalah seorang antropolog Amerika, yang terkenal
dalam perannya sebagai perintis the concept and method of
cultural ecology dan juga pencetus teori culture change.
Ia menghabiskan waktu kecilnya di Washington, D.C., tepat-
nya di Monroe Street, NW dan kemudian pindah ke Macomb Street di
Cleveland Park. Umur 16, Steward meninggalkan masa kanak kecilnya yang
kelam di Washington, D.C. untuk mengikuti pendidikan di Deep Springs
Valley, California, di Great Basin. Steward mengenyam pengalaman di
sekolah barunya di Deep Springs Preparatory School (yang kemudian di-
lanjutkan ke Deep Springs College), di Gunung Putih memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap minat akademis dan karirnya. Keterlibatan
langsung Steward dengan tanah (secara khusus, subsisten melalui irigasi
dan peternakan) dan Paiute Utara yang hidup di sana menjadi katalisator
untuk teori dan metode ekologi budaya114nya (Kerns 1999; Murphy 1977).
Sebagai sebuah undergraduate, Steward belajar setahun di bawah
bimbingan Alfred Kroeber dan Robert Lowie, setelah itu ia dikirim ke
Cornell University, dimana ia kemudian menjadi sarjana pada tahun 1925
dengan predikat B.Sc dalam bidang Zoology.

114
Cultural ecology (Alan Barnar, 2004) adalah studi tentang hubungan antara budaya dan
alam, terutama dalam perspektif teoretis Julian Steward.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 460


Sekalipun Cornell, seperti halnya beberapa univesitas lainnya ketika
itu, tidak memiliki jurusan antropologi, namun rektornya bernama
Livingston Farrand, memiliki banyak hubungan dengan seorang professor
antropologi di Columbia University. Farrand menganjurkan kepada
Steward, agar ia melanjutkan minatnya utamanya (atau, dalam kata
Steward, dia sudah memilih jalan hidupnya life work) dalam Antropologi di
Berkeley (Kerns 2003:71-72). Steward belajar di bawah bimbingan Kroeber
dan Lowie di Berkeley, dimana disertasinya berjudul The Ceremonial Buffoon
of the American Indian, a Study of Ritualized Clowning and Role Reversals di-
terima pada tahun 1929.
Steward pindah ke Universitas Michigan untuk membangun jurusan
antropologi, tempat ia belajar hingga 1930, saat itu diganti oleh Leslie White,
pendiri konsep evolusi budaya universal, tidak setuju. Ia kemudian menjadi
populer dan mendapatkan ketenaran jurusan atau ketenaran dirinya sebagai
pribadi. Pada tahun 1930 Steward pindah ke Universitas Utah, yang
memberi kesempatan baginya untuk menjalin kedekatan dengan Sierra
Nevada dan meberi kesempatan kerja lapangan baginya dalm bidang
arkeologi di California, Nevada, Idaho dan Oregon.
Penelitian Stewards terfokus pada subsistence --- dinamik interaksi
antara manusia dengan lingkungannya (environment), teknologi (technology),
struktur sosial (social structure) dan orbanisasi pekerja (organization of work)
--- sebuah pendekatan yang awalnya diperkenalkan oleh Kroeber sebagai
eccentric dan innovative (Ethno Admin 2003). Pada tahun 1931, Steward,
menyiapkan sejumlah uang, untuk memulai penelitiannya di Great Basin
Shoshone di bawah survei auspices Kroeber berjudul Culture Element
Distribution (CED). Pada tahun 1935 dia menerima tawaran dari Smith-
sonian’s Bureau of American Ethnography (BAE), yang kemudian menerbit-
kan beberapa penelitiannya yang berpengaruh. Beberapa diantaranya:
Basin-Plateau Aboriginal Sociopolitical Groups (1938), yang sepenuhnya men-
jelaskan paradigma ekologi budaya dan menandai pergeseran dari orientasi
difusi antropologi Amerika.
Selama sebelas tahun Steward menjadi seorang administrator yang
berpengaruh besar, untuk mengedit Handbook of South American Indians. Ia
juga menduduki posisi penting di Smithsonian Institution, dimana ia
mendirikan Institute for Social Anthropology pada tahun 1943. Dia juga
ditugasi oleh sebuah komite untuk mereorganisasi American Anthropo-
logical Association dan memainkan peranan penting dalam pembentukan
National Science Foundation. Dia juga aktif dalam pencarian arkeologis,
yang sukse melobi Kongres (Congress) untuk menciptakan Committee for the
Recovery of Archaeological Remains (awal dari apa yang saat ini kita kenal

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 461


salvage archaeology dan bekerja pada Gordon Willey untuk merintis proyek
Viru Valley, sebuah program peneleitian ambisius berpusat di Peru.
Steward mencari keteraturan lintas budaya dalam upaya membedakan
hukum perubahan budaya dan budaya (laws of culture and culture change).
Karyanya menjelaskan variasi dalam kompleksitas organisasi sosial, karena
terbatas pada berbagai kemungkinan oleh lingkungan. Dalam istilah
evolusi, ia menemukan pandangan ekologi budaya ini sebagai multilinear,
berbeda dengan model tipologis yang tidak diujai yang populer di abad ke-
19 dan pendekatan universal oleh Leslie White. Sumbangan teoritis Steward
yang paling penting muncul selama masa mengajar di Columbia (1946-53).
Tahun-tahun paling produktif secara keseluruhan Steward berawal
dari tahun 1946-1953, saat mengajar di Universitas Columbia. Pada saat ini,
Columbia melihat masuknya veteran Perang Dunia II yang bersekolah
berkat penghargaan RUU GI (GI Bill). Steward dengan cepat mengembang-
kan sejumlah siswa yang akan memiliki pengaruh besar dalam sejarah
antropologi, termasuk Sidney Mintz, Eric Wolf, Roy Rappaport, Stanley
Diamond, Robert Manners, Morton Fried, Robert F. Murphy dan mem-
pengaruhi ilmuwan lainnya seperti Marvin Harris. Banyak dari para siswa
ini berpartisipasi dalam Proyek Puerto Riko, sebuah penelitian kelompok
berskala besar lainnya yang berfokus pada modernisasi di Puerto Riko.
Steward meninggalkan Columbia kemudian pindah ke University of
Illinois di Urbana-Champaign, di mana dia memimpin Departemen Antro-
pologi dan terus mengajar sampai masa pensiunnya pada tahun 1968. Di
sana dia melakukan studi berskala besar lainnya, yaitu: sebuah analisis
komparatif mengenai modernisasi di sebelas masyarakat dunia ketiga. Hasil
penelitian ini dipublikasikan dalam tiga jilid berjudul Contemporary Change
in Traditional Societies. Steward meninggal pada tahun 1972.
Selain perannya sebagai guru dan administrator, Steward paling di-
kenang, karena metode dan teori ekologi budayanya. Selama tiga dasawarsa
pertama abad ke-20, antropologi Amerika mencurigai adanya generaliisasi
dan seringkali tidak mau menarik kesimpulan yang lebih luas dari mono-
graf yang cermat terperinci yang diproduksi oleh antropolog. Steward me-
megang peranan penting dari perubahan arah antropologi dari pendekatan
yang lebih khusus menuju mengembangkan arah ilmiah dan nomotetis
yang lebih nampak. Teorinya tentang evolusi budaya multilinear, yang inti-
nya meneliti bagaimana masyarakat menyesuaikan diri dengan lingkungan
mereka. Pendekatan ini lebih bernuansa daripada teori evolusi universal
rintisan Leslie White, yang lebih dipengaruhi oleh pemikir seperti Lewis
Henry Morgan. Kepentingan Steward dalam evolusi masyarakat juga mem-
bawanya untuk memeriksa proses modernisasi. Dia adalah salah satu antro-
polog pertama yang meneliti cara dimana tingkat masyarakat nasional dan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 462


lokal saling terkait satu sama lain. Dia mempertanyakan kemungkinan
untuk menciptakan sebuah teori sosial yang mencakup keseluruhan evolusi
kemanusiaan. Selain itu, dia juga berpendapat, bahwa antropolog tidak ter-
batas pada deskripsi budaya spesifik. Steward percaya, bahwa dimungkin-
kan untuk menciptakan teori yang menganalisa budaya umum dan spesifik
sebaggai perwakilan dari era atau wilayah tertentu. Sebagai faktor yang
menentukan perkembangan budaya tertentu, ia menunjuk pada teknologi
dan ekonomi, sambil mencatat, bahwa ada faktor sekunder, seperti; sistem
politik, ideologi dan agama. Faktor-faktor ini mendorong evolusi masya-
rakat tertentu dalam beberapa arah pada saat bersamaan.
Julian Haynes Steward dianggap sebagai kontributor penting bidang
antropologi dan sebagai pemain utama dalam pengembangan dan inovasi
lapangan. Dia mungkin paling dikenal, karena tulisannya tentang peng-
alamannya selama di Great Basin antara tahun 1918 dan 1943, di mana dia
menerbitkan sejumlah catatan yang mengesankan dan menghasilkan
banyak prestasi dalam karirnya (Clemmer 1999: ix). Hampir keseluruhan
karier Steward yang beraneka ragam dan berkembang, umumnya dikenal
dan dipuji, karena analisis sistematis dan pendekatan empirisnya terhadap
bidang antropologi, serta kontribusinya terhadap penciptaan bidang ekologi
budaya (cultural ecology). Karir dan pendidikan ekstensif Steward yang
mengagumkan, dikombinasikan dengan kepribadian yang bulat dan bera-
gam membuatnya menonjol sebagai partisipan dan katalisator signifikan
dalam perluasan dan perkembangan bidang Antropologi yang berkelanjut-
an.
Berlatarbelakang keilmiahan, Steward pada awalnya fokus pada
ekosistem (ecosystem) dan lingkungan fisik (physical environments), tetapi
selanjutnya mengalihkan perhatiannya pada bagaimana lingkungan ini
dapat mempengaruhi kebudayaan (Clemmer 1999: ix). Hal terjadi selama
Steward mengajar di universitas Columbia, yang berakhir hingga pada
tahun 1952, yang kemudian ia tulis kontribusi penting teorinya Cultural
Causality and Law: A Trial Formulation of the Development of Early Civilizations
(1949), Area Research: Theory and Practice (1950), Levels of Sociocultural
Integration (1951), Evolution and Process (1953) dan The Cultural Study of
Contemporary Societies: Puerto Rico (Steward and Manners 1953). Clemmer
menulis, Altogether, the publications released between 1949 and 1953 represent
nearly the entire gamut of Steward’s broad range of interests: from cultural
evolution, prehistory, and archaeology to the search for causality and cultural laws
to area studies, the study of contemporary societies, and the relationship of local
cultural systems to national ones (Clemmer 1999: xiv). Kita dapat melihat
dengan jelas, bahwa penelitian-penelitian Steward memiliki tajuk diversity in
subfields, extensive dan comprehensive dan merupakan sebuah talenta kecer-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 463


dasan hebat menyatu dalam dirinya, sehingga membentukanya sebagai
antropolog brilian.
Clemmer menyebutkan dua karya yang bertentangan dengan gaya
khasnya dan mengungkapkan aspek yang kurang familiar terhadap karya-
nya, yaitu Aboriginal and Historic Groups of the Ute Indians of Utah: An
Analysis and Native Components of the White River Ute Indians (1963) dan The
Northern Paiute Indians (Steward and Wheeler-Vogelin 1954; Clemmer 1999;
xiv).
Steward berkarya dalam sebuah era yang penuh dengan perobela-
matika, yang memperhadapkannya pada posisi yang sangat sulit, terutama
setelah kembalinya beberapa antropolog menggunakan cultures menjadi
culture. Bandul teori evolusi memang telah diayunkan sejauh mungkin, akan
tetapi problem demi problem selalu membayangi kebesaran sang evolu-
sionis. Problematika yang dihadapi Steward adalah menemukan konsep
evolusi yang berterima tanpa harus menghilangkan -s dari culture(s), akibat-
nya Steward kurang diperhitungkan di dalam teori evolusi ketika itu.
Steward mencurahkan seluruh perhatiannya pada ekologi (ecology)115,
tipe budya (cultural types) dan multilinial evolusi (multilinear evolution) yang
memberi pilihan anternatif para antroplog (1930-1940-an), terutama yang
masih menggunakan pendekatan tradisional untuk mempelajari evolusi
kebudayaan (cultural evolution). Berbeda dengan penganut evolusi klasik,
karya Steward memusatkan perhatiannya pada perbedaan kebudayaan
secara individual. Ia mengklaim, bahwa keseluruhan pengalaman manusia
tidak pernah bisa direduksi ke dalam seperangkat pembeda tingkatan stage
dalam perkembangan suatu kebudayaan. Mulitilinear evolusi, demikian
Steward menyebut pendekatannya, tidak memaks akan, bahwa tingkatan
pengembangan kebudayaan harus ada. Secara metodologis, hal itu berkena-
an dengan regularitas dalam perubahan sosial dan memang merupakan
tujuan dari sebuah hukum perkembangan kebudayaan secara empiris.
Teori Multilinier evolution juga mengacu kepada pola pengembangan
budaya secara paralel, yang dianggap sebagai sebuah tipe budaya (cultural
types) dengan intervaliditas budayanya yang menunjukkan karakteristik
berikut ini: (1) Elemen budaya kadang-kadang menyerupai sebuah elemen
pilihan dari sebuah budaya daripada sebagai budaya secara keseluruhan, (2)
Elemenelemen budaya seperti ini harus diseleksi dalam hubungannya
dengan sebuah problem dan bentuk referensi dan (3) Elemen kebudayaan
115
Ekologi Budaya adalah sebuah cara pandang memahami persoalan lingkungan hidup
dalam dalam perspektif budaya. Lihat Julian H. Steward (1930), yang telah memberikan
kontribusi yang sangat penting dalam metode ekologi budaya, yang merupakan
pengenalan, bahwa lingkungan dan budaya tidak dapat dipisahkan satu sama lain, tapi
terlibat dalam mempengaruhi dialektika yang disebut umpan balik atau timbal balik.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 464


pilihan tersebut harus mempunyai hubungan fungsi yang sama dalam
setiap kebudayaan sesuai dengan tipenya.
Kelompok patrilinial merupakan hal pertama yang dianggap sebagai
tipe kebudayaan oleh Steward. Berikut ini akan deberikan beberapa bentuk
elemen pilihan, berikut ini: 1) patrilinial (patri-lineality), 2) patrilokal (patri-
local). 3) eksogami (exogamy), 4) kepemilikan (ownership) dan 5) kompisisi
tertentu dari tipe linial (a certain type of lineage composition). Seleksi-seleksi
seperti ini merupakan elemen-elemen kebudayaan, yang menurut Steward
merupakan jaringan lintas budaya (cross-culturally current). Hal ini dapat
ditemukan pada masyarakat Bushmen di Afrika Selatan, Australia,
Tasmania, beberapa kelompok Shoshonean dan beberapa bentuk variasi
kebudayaan lainnya.
Inti budaya (cultural core) yang memerlukan basis dari kelompok
patrilinial (patrilinial band) sebagai sebuah tipe yang dihasilkan melalui
adaptasi lingkungan. Kesamaan tipe eksploitasi lingkungan pada semua
anggota kelompok, mungki dapat diperbesar, sehingga tidak dapat diorga-
nisir kategori evolosi yang luas sekalipun.
Tipe budaya, selanjutnya, menjadi adaptasi budaya terhadap ling-
kungannya, sehingga setiap tipe budaya memrepresentasikan seperangkat
level integrasi sosio-cultural. Dengan demikian, adaptasi manusia terhadap
lingkungannya, cenderung berbeda dengan organisme yang lainnya.
Manusia beradaptasi lebih lancar karena bantuan kebudayaannya, yang di-
angkat dari organismenya.
Konsep Steward terhadap adaptasi budaya secara teoretis sangat
penting, yang kemudian dituangkan ke dalam sebuah argumentasi, bahwa
hanya kebudayaan yang dapat menjelaskan kebudayaan. Kunci utama
dalam adapatasi budaya adalah teknologinya, sehingga metode ekologi
budaya yang dikembangkan Steward ditekankan pada teknologi. Metode
tersebut mempunyai tiga aspek, berikut ini: 1) analisis dari cara produksi
di dalam lingkungan harus ikut dianalisis dan 2) pola tingkah laku manusia
yang merupakan bahagian dan cara ini harus dianalisis dalam rangka 3)
memahami hubungan teknik produksi terhadap elemen-elemen
kebudayaan lainnya. Oleh karena itu, Steward menekankan, bahwa
perluasan aktifitas produksi akan mempengaruhi sebuah kebudayaan.
Steward juga mempunyai pengaruh besar, baik pada pemikiran evolusi
maupun pendekatan ekologi terhadap manusia.
2. Leslie A. White
Leslie Alvin White lahir pada tanggal 19 January 1900 di
Salida, Colorado dan meninggal pada tanggal 31 March 1975,
Lone Pine, California. Ia adalah seorang Antopolog Amerika
yang sangat terkenal dengan teori-teorinya: cultural evolution,

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 465


sociocultural evolution dan khususnyaism, serta peranannya
dalam pendirian Department of Anthropology di University of
University of Michigan Ann Arbor. Beliau adalah pemimpin American
Anthropological Association pada tahun 1964.
Ayah White adalah seorang insinyur sipil swasta. White pertama kali
tinggal di Kansas dan kemudian pindah Louisiana. Dia mengajukan diri
untuk ikut wajib militer dalam Perang Dunia I, namun tidak sempat
menyelesaikannya, karena ia hanya satu tahun di Angkatan Laut Amerika
Serikat sebelum selanjutnya mengikuti matrikulasi di Louisiana State Uni-
versity pada tahun 1919.
Pada tahun 1921, dia pindah ke Universitas Columbia, di mana dia
belajar psikologi, mengambil gelar BA pada tahun 1923 dan MA pada tahun
1924. Sekalipun, White belajar di universitas yang sama, dimana Boas penah
belajar, pemahaman White tentang antropologi masih jelas-jelas anti-
Boasian. Namun, minatnya bahkan dalam karirnya beragam, dia mengikuti
kelas di beberapa disiplin dan institusi lain, termasuk belajar filsafat di
UCLA dan psikiatri klinis, sebelum belajar antropologi dibawah bimbingan
Alexander Golden-weiser di New School for Social Research. Pada tahun
1925, White mulai belajar untuk gelar Ph.D. dalam sosiologi dan antropologi
di University of Chicago dan memiliki kesempatan untuk menghabiskan
beberapa minggu dengan Menominee dan Winnebago di Wisconsin. Setelah
proposal tesisnya yang ditempuh dengan studi kepustakaan, White
kemudian melkukan kerja lapangan di Acoma Pueblo, New Mexico. Setelah
mengantongi ijasah Ph.D., dia mulai mengajar di Universitas di Buffalo
pada tahun 1927. Ia kemudian bakil mengeritik pandangannya, bahwa anti
pendidikan Boasianya telah tertanam dalam dirinya. Pada tahun 1930, dia
pindah ke Ann Arbor, di mana dia tinggal selama karirnya.
Periode di Buffalo menandai titik balik dalam biografi White. Saat
itulah ia mengembangkan pandangannya dalam dunia antropologis, politis,
etis yang akan dijalaninya sampai akhir hayatnya. Tanggapan siswa
terhadap doktrin anti-kolonial dan antirasis para pengikut Boasian yang
kontroversial membuat White terpanggil untu membantu merumuskan
pandangannya sendiri mengenai evolusi sosiokultural. Pada tahun 1929, dia
mengunjungi Uni Soviet dan saat kembali bergabung dengan Partai Buruh
Sosialis. Ia kemudian menulis artikel dengan nama samaran John Steel
untuk koran mereka.
White pergi ke Michigan ketika dia dipekerjakan untuk menggantikan
Julian Steward, yang meninggalkan Ann Arbor pada tahun 1930. Meskipun
universitas itu adalah rumah bagi sebuah museum dengan sejarah panjang
keterlibatan dalam hal-hal antropologis, White adalah satu-satunya profesor
di departemen antropologi tersebut. Pada tahun 1932, ia memimpin sebuah

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 466


studi lapangan di Barat Daya yang diikuti oleh Fred Eggan, Mischa Titiev
dan lain-lain.
Titiev itulah yang dibawa White ke Michigan sebagai profesor kedua
pada tahun 1936. Sebagai murid White --- mungkin statusnya sebagai
imigran Rusia juga menonjol --- Titiev cocok dengan White menjadi pasang-
an yang sempurna. Namun, selama Perang Dunia Kedua, Titiev ikut dalam
wajib dengan belajar di Jepang. Mungkin ini membuat si sosialis marah,
sehingga White dan Titiev saling membenci. Lebih banyak fakultas tidak
berfungsi hingga perang usai. Hal ini diperparah dengan usulan Titiev
untuk membangun Program Studi Asia Timur dan mengimpor ilmuwan
seperti Richard K. Beardsley ke departemen tersebut. Dengan demikian,
perpecahan para professor yang ada di dalamnya benar-benar terjadi.
Sebagai seorang profesor di Ann Arbor, White melatih generasi baru
yang berpengaruh. Sementara penulis seperti Robert Carneiro, Beth Dilling-
ham dan Gertrude Dole mengikuti program White dalam bentuk ortodoks-
nya. Ilmuwan lain seperti Eric Wolf, Arthur Jelinek, Elman Service, Marshall
Sahlins dan Napoleon Chagnon yang telah menghabiskan banyak waktunya
dengan White, memisahkan dirinya untuk membentuk kelompok antropo-
logi baru.
Pandangan White diformulasikan secara khusus melawan penganut
Boasian, yang secara institusional dan intelektual bertentangan. Antago-
nisme ini sering dilakukan dalam bentuk serangan secara pribadi. White
kadang-kadang, mengolok gaya prosa Franz Boas sebagai sesuatu yang
dangkal, seperti yang ditulisnya dalam American Journal of Sociology.
Robert Lowie, seorang murid relativis arch-cultural dari Boas, merujuk pada
karya White sebagai sebuah aliran pemikiran metafisik yang belum matang, yang
dibentuk berdasarkan kekuatan obsesif fanatisme yang secara tidak sadar dapat
mengelabui orang.
Salah satu penyimpangan terkuat dari ortodoksi Boasian, menurut
pandangan White adalah sifat antropologi dan hubungannya dengan ilmu
pengetahuan lainnya. White memahami dunia ini terbabagi ke dalam
fenomena budaya, biologi dan fisik. Pembagian seperti itu merupakan
refleksi dari komposisi alam semesta dan bukan alat heuristik belaka.
Dengan demikian, White bertentangan dengan Alfred L. Kroeber, Kluck-
hohn dan Edward Sapir. White melihat penggambaran obyek belajar bukan
sebagai pencapaian kognitif antropolog, namun sebagai pengakuan atas
fenomena yang sebenarnya dan digambarkan sebagai sesuatu yang mem-
bentuk dunia. Perbedaan antara ilmu-ilmu alami dan sosial tidak selamanya
didasarkan pada metode, namun pada sifat objek penelitian. Menurut White
fisikawan mempelajari fenomena fisik, fenomena biologi (oleh para ahli
biologi) dan fenomena budaya culturologists (istilah White).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 467


Objek studi tidak digambarkan oleh sudut pandang peneliti atau minat
(ethics), tapi metode yang dengannya dia bisa mendekati mereka (emics).
White percaya, bahwa fenomena dapat dieksplorasi dari tiga sudut pandang
yang berbeda: sejarah, formal-fungsional dan evolusionis (atau formal-
temporal). Pandangan sejarah pada dasarnya adalah wilayah Boasian, yang
didedikasikan untuk memeriksa proses budaya secara diakronis, dengan
penuh cinta mencoba menembus rahasia hingga setiap fitur sejelas-jelanya.
Fungsi formal, pada dasarnya, adalah pendekatan sinkronis yang dianjur-
kan oleh Alfred Radcliffe-Brown dan Bronisław Malinowski, yang mencoba
membedakan struktur formal masyarakat dan keterkaitan fung-sional
komponennya. Pendekatan evolusionis, tidak hanya pendekatan formal,
generalisasi, tetapi juga diakronis, melihat kejadian tertentu sebagai contoh
umum dari tren yang lebih besar.
Boas mengklaim, bahwa sains mempromosikan visi budaya yang
kompleks dan saling tergantung, namun White berpikir bahwa hal itu akan
mendelegitimasi antropologi ketika menjadi posisi dominan, mengeluarkan-
nya dari wacana yang lebih luas mengenai sains. White memandang pen-
dekatannya sendiri sebagai sintesis pendekatan historis dan fungsional,
karena menggabungkan lingkup pandangan diakronis dengan generalisasi
untuk saling berkaitan secara formal dengan pandangan pihak lain. Jika
demikian, hal itu dapat mengacu pada perkembangan budaya pada masa
lampau dan masa yang akan dating, yang menjadi tugas mulia dari seorang
antropolog.
Akibatnya, White sering memperjuangkan evolusionis abad kesembil-
an belas penelitiannya yang diklaim atau dikecam tingkat keintelektualan-
nya oleh Boasians, karena diangga hanya sebagai penelitian plagiat dari
pendahulu White. Sikap ini dapat dilihat dengan jelas dalam pandangan
White tentang evolusi, yang berakar dari tulisan-tulisan Herbert Spencer,
Charles Darwin dan Lewis H. Morgan. Meskipun dapat dikatakan, bahwa
eksposisi White tentang Morgan dan Spencer bersifat tendensius, namun
dapat pula dikatakan konsep ilmu pengetahuan dan evolusi White memang
berakar dari karya-karya mereka. Kemajuan dalam biologi kependudukan
dan teori evolusi White, tidak seperti Steward, konsepsi tentang evolusi dan
kemajuan tetap berakar kuat abad pada kesembilan belas.
Bagi White, kebudayaan adalah entitas superorganis yang sui generis
dan hanya dapat dijelaskan dirinya sendiri. Ini terdiri dari tiga tingkatan:
teknologi, organisasi sosial dan ideologis. Setiap tingkat bertumpu pada
yang sebelumnya dan meskipun mereka semua berinteraksi, namun pada
akhirnya tingkat teknologinya yang menentukan, yang oleh White disebut
The hero of our piece dan the leading character of our play. Faktor terpenting
dalam teorinya adalah teknologi, karena sistem sosial ditentukan oleh

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 468


sistem teknologi, demikian White dalam bukunya, yang menggemakan teori
Lewis Jenry Morgan.
Menurut White, yang memandang kebudayaan sebagai fenomena
manusia secara umum dan mengaku tidak berbicara budaya dalam bentuk
jamak. Teorinya, yang diterbitkan pada tahun 1959 dalam bukunya The
Evolution of Culture: The Development of Civilization to the Fall of Rome,
membangkitkan kembali minat akan evolusionisme sosial dan dicatat secara
mencolok di kalangan neo-evolusionis. Dia sangat percaya, bahwa budaya
--- yang diartikan sebagai totalitas semua aktivitas kebudayaan manusia di
planet ini --- berkembang. White membedakan tiga komponen budaya:
teknologi, sosiologis dan ideologis. Dia juga berpendapat, bahwa komponen
teknologi yang memainkan peran utama atau merupakan faktor penentu
utama dalam volusi kebudayaan. Pendekatan materialisnya tergambar
dalam kutipan berikut: manusia sebagai spesies hewan dan akibatnya kebuda-
yaan secara keseluruhan, bergantung pada bahan, sarana mekanis penyesuaian
lingkungan alam. Komponen teknologi ini dapat digambarkan sebagai bahan,
mekanik, fisik dan instrumen kimia, serta cara orang menggunakan teknik
tersebuk. Argumen White tentang pentingnya teknologi berjalan dengan
prosedur berikut:
1. Teknologi adalah usaha untuk memecahkan masalah kelangsungan
hidup.
2. Upaya ini pada akhirnya berarti menangkap cukup energi dan mengalih-
kannya untuk kebutuhan manusia.
3. Masyarakat yang menangkap lebih banyak energi dan menggunakannya
lebih efisien memiliki keuntungan dibanding masyarakat lain.
4. Oleh karena itu, masyarakat yang berbeda ini lebih maju dalam pengerti-
an evolusioner.
Menurut citra landast pada malam hari, yang diciptakan oleh NASA
dan NOAA, daerah paling terang di Bumi adalah uraban yang paling
terang, namun belum tentu yang paling padat penduduknya. Bahkan lebih
dari 100 tahun setelah penemuan lampu listrik, beberapa daerah tetap gelap
dan gulita.
Bagi White fungsi utama kebudayaan dan yang menentukan tingkat
kemajuannya adalah kemampuannya untuk memanfaatkan dan mengenda-
likan energi. Hukum White menyatakan, bahwa ukuran untuk menilai
tingkat evolusi kebudayaan adalah jumlah energi yang dapat ditangkapnya
(konsumsi energi ).
White membedakan antara lima tahap perkembangan manusia: Per-
tama, orang menggunakan energi otot mereka sendiri. Kedua, mereka meng-
gunakan energi hewan peliharaan. Ketiga, mereka menggunakan energi
tanaman (sehingga White merujuk pada revolusi pertanian di sini). Keempat,

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 469


mereka belajar menggunakan energi sumber daya alam (batubara, minyak,
gas dan sebagainya). Kelima, mereka memanfaatkan sumber energi lain.
White memperkenalkan formula, beikut:

P = ET
Note:
a. E adalah ukuran energi yang dikonsumsi per kapita per tahun.
b. T adalah Ukuran efisiensi dalam memanfaatkan energi yang dimanfaat-
kan.
c. P mewakili tingkat perkembangan budaya dalam hal produk yang diha-
silkan.
Dengan kata-katanya sendiri: the basic law of cultural evolution was
culture evolves as the amount of energy harnessed per capita per year is increased,
or as the efficiency of the instrumental means of putting the energy to work is
increased. Oleh karena itu, kita dapat mengatakan bahwa kemajuan dan
perkembangan kebudayaan dipengaruhi oleh peningkatan sarana mekanis
yang dengannya energi bisa dimanfaatkan seiring dengan peningkatan
jumlah energi yang digunakan. Meskipun White berhenti dengan harapan,
bahwa teknologinya adalah obat mujarab untuk semua masalah yang
mempengaruhi umat manusia, seperti yang dilakukan oleh para utopia
teknologi. Teorinya memperlakukan faktor teknologi sebagai faktor ter-
penting dalam evolusi masyarakat. Hal ini serupa dengan gagasan dalam
karya Gerhard Lenski, teori skala Kardashev astronom Rusia bernama
Nikolai Kardashev dan beberapa gagasan tentang singularitas teknologi.
Leslie A. White juga memberikan kontribusi penting dalam pemaham-
an kita terhadap sifat dan tujuan antropologi sebagai suatu aktifitas ilmiah.
Dia menemukan sebuah hukum dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Menurut hukum ini, ilmu pengetahuan mulai dan berkembang lebih pesat
dalam area dimana tindakan manusia pada prinsipnya tidak penting dan
menjadi lamban di dalam sebuah area dimana tindakan manusia menjadi
rumit. Astronomi adalah area pertama menjadi sebuah ilmu pengetahauan.
Ilmu budaya dimulai dan dikembangkan kemudian. Kulturologi, seperti
yang disebutkan oleh White sebagai ilmu budaya (science of culture) diang-
gapnya sebagai langkah terakhir alam ilmu evolusi. Kulturologi sebagai
studi kebudayaan, yang menurut White, dapat mengungkapkan lebih
banyak tentang perilaku manusia dibandingkan dengan cabang-cabang
ilmu lainnya, seperti sosiologi dan psikologi.
Reakasi pengikut Boas terhadap ahli-ahli komparatif dan teori evolusi
begitu kuatnya, sehingga selama lebih setengah abad lamanya tidak ada
teori evolusi yang dikembangkan di Amerika Serikat. Adalah White dengan
teori energinya dalam kaitannya dengan teknologi dan kebudayaan, yang

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 470


membangun kembali pemikiran teori-teori evolusi di Amerika Serikat.
White, berbeda dengan Steward, karena berterima pada semua jenis teori
evolusi. Dialah mengusulkan penghilangan afiks /-s/ pada kata culture,
serta membicarakan kembali kebudayaan dan evolusinya.
White dikenal sebagai penemu landasan baru dalam teori evolusi
kebudayaan. Pondasi baru dari teori evolusi ini merupakan perluasan
penggunaan energi dalam kebudayaan melalui evolusi teknologi. Menurut
White, bahwa sejarah peradaban manusia merupakan dasar dalam upaya
mengontrol alam melalui kebudayaan. Pendekatan inilah yang menekankan
penggunaan energi dalam kebudayaan melalui tekonologi dari waktu ke
waktu, sehingga semakin banyak energi yang mampu diserap dari alam,
semakin berkembang pula sebuah kebudayaan. Dalam formulasi teori
evolosi dikatakan, bahwa pengembangan kebudayaan dapat terwujud, baik
melalui penggunaan energi dari alam maupun melalui efisiensi pengem-
bangan teknologi. White sangat yakin, bahwa penggunaan teknologi dan
energi sebagai hasil proses dalam evolusi sebuah kebudayaan, memainkan
peranan penting dalam penentuan organisasi sosial dan idiologi masya-
rakatnya.
Sesuatu yang berkenaan dengan perilaku manusia yang membuatnya
menjadi manusia adalah fungsi dari penggunaan simbol (symbols). Menurut
White, bahwa keseluruhan perilaku manusia adalah perilaku simbolis dan
hal ini merupakan satu poin yang paling dekat dengan antropolog kognitif
saat ini. Simbol menurut White adalah sebuah fenomena dimana arti diberi-
kan oleh sekelompok manusia yang menggunakan simbol itu. Tanpa simbol
sepertinya manusia tidak dapat dianggap sebagai bintang berfikir (tinking
animal). Jadi, kebudayaan itu sendiri, yang sangat tergantung pada simbol,
tidak dapat eksis tanpa kemampuan manusia untuk menyimbolkannya.
Sekalipun demikian, jangan diinterperatsikan dengan artian, bahwa White
menggunakan pendekatan psikologi dalam rangka memahami peri-laku
manusia. Sangat kontradiktif, memang karena White termasuk salah se-
orang yang menolak pembahasan kebudayaan yang dikaitkan dengan peri-
laku manusia secara individual melalui pendekatan superorganik, tetapi ia
sendiri membahas perilaku manusia sebagai sebuah simbol. Ambil kasus,
misalnya, timbulnya perbedaan perilaku manusia, yang diperlihat-kan oleh
adanya perbedaan masyarakatnya merupakan sebuah hasil dari tradisi
budaya. White, dalam pembahasannya mengenai symbol kembali meng-
gunakan afiks /-s/ pada penggunaan kata cultures.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 471


3. Marshall Sahlins
Marshall David Sahlins (lahir 27 Desember 1930) adalah antro-
polog Amerika Serikat yang menjadi profesor emeritus di Uni-
versity of Chicago.
Ia mendapatkan gelar Bachelor dan Master dari University of
Michigan tempat ia kuliah bersama Leslie White dan menda-
patkan gelar Ph.D. dari Columbia University pada tahun 1954.
Tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikiran utamanya adalah Julian
Steward, Eric Wolf, Morton Fried, Sidney Mintz dan sejarawan ekonomi
Karl Polanyi. Ia kemudian mengajar di University of Michigan dan aktif di
dunia politik pada tahun 1960-an. Ia pernah berunjuk rasa menentang
Perang Vietnam, karena Napoleon Chagnon mengeluarkan mahasiswa yang
tidak mau berunjuk rasa dari program perkuliahan. Pada tahun 1968, ia
menandatangani Writers and Editors War Tax Protest dan berjanji untuk
menolak pembayaran pajak sebagai bentuk protes terhadap Perang Viet-
nam. Pada akhir 1960-an, ia mulai menetap selama dua tahun di Paris,
menikmati gaya hidup intelektual Perancis, termasuk karya Claude Lévi-
Strauss, serta terlibat dalam protes mahasiswa bulan Mei 1968. Tahun 1973,
ia pindah ke University of Chicago di bawah bimbingan seorang Professor
of Anthropology Emeritus di Charles F. Grey. Komitmennya terhadap akti-
visme terus berlanjut sepanjang masa di Chicago, yang paling baru-baru ini
menyebabkan protesnya atas pembukaan Institut Konfusius Universitas
(yang kemudian ditutup pada musim gugur 2014). Pada tanggal 23 Februari
2013, Sahlins mengundurkan diri dari National Academy of Sciences sbagai
memprotes seruan penelitian militer untuk meningkatkan efektivitas ke-
lompok tempur kecil dan juga pemilihan Napoleon Chagnon. Pengundur-an
diri tersebut mengikuti publikasi pada bulan memoar Chagnon dan liputan
profil Chagnon di majalah New York Times.
Shalins memulai karyanya di bawah bimbingan Leslie White, seorang
pendukung antropologi materialis dan evolusioner di University of
Michigan, tercermin dalam karya awalnya. Dalam Evolusi dan Budaya
(1960), dia menyentuh bidang evolusi budaya dan neo-evolusinisme. Dia
membagi evolusi masyarakat menjadi umum dan spesifik. Evolusi umum
adalah kecenderungan sistem budaya dan sosial untuk meningkatkan
kompleksitas, organisasi dan adaptasi terhadap lingkungan. Namun, karena
berbagai budaya tidak terisolasi, ada interaksi dan difusi kualitas mereka
(seperti penemuan teknologi). Hal ini menyebabkan budaya berkembang
dengan cara yang berbeda (evolusi spesifik), karena berbagai elemen
diperkenalkan pada mereka dalam kombinasi yang berbeda dan pada tahap
evolusi yang berbeda. Moala, adalah monografi utama pertama Sahlins,
mencontohkan pendekatan ini.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 472


Sekalipun ia pernah menjadi murid White, namun ternyata Shallin
sangat membenci bila disebut sebagai penganut teori neo-evolusionisme.
Menurutnya tidak ada kata neo dalam membahas masalah evolosi. Ia lebih
suka dengan istilah evolusi unilinial (unilial evolution), yang kamudian
diperlunak oleh Steward dalam karya-karyanya menjadi universal evolusi
(universal evolutions) yang dihubungkan dengan tingkatan evolusi kebu-
dayaan manusia dalam bentuk pemandangan umum. Sahlins meinta, agar
kembali mengacu pada pendapat, bahwa tidak semua masyarakat melalui
tingkatan pengembangan kebudayaan yang sama. Pendapat ini kemudian
mendiskreditkan pendekatan evolusi unilineal yang mengatakan, bahwa
kebudayaan itu melalui jalan pengembangan yang sama (unity). Dalam
kasus universal evolusi, mereka menganggap hubungan antara kebudayaan
yang tampak (kembali menggunakan afiks /-s/ pada kata cultures dengan
tingkatan evolusi terjadi dengan tidak menentu (acak). Aspek inilah yang
membuat hipotesis Sahlins tentang sepsifik dan evolusi umum menjadi
terkemuka.
Menurut Sahlins, bahwa baik evolusi biologi maupun evolusi kebu-
dayaan sebenarnya berjalan pada dua arah secara bersamaan. Evolusilah
yang menciptakan perbedaan dan pengembangan dari keduanya. Per-
bedaan (diversity) dalam evolusi mengacu pada perubahan adaptif yang me-
libatkan bentuk baru dari yang sudah ada sebelumnya. Sedangkan pengem-
bangan (progress) mengacu pada sebuah fakta, bahwa evolusi menciptakan
bentuk yang lebih kompleks lagi. Adalah evolusi umum (general evolution)
yang menyediakan dasar-dasar tingkatan dalam evolusi. Oleh karena itu,
evolusi spesifik dan umum tidak dapat dianggap sebagai sebuah fakta yang
berbeda, tetapi sebagai bagian dari proses evolusi itu sendiri. Evolusi
spesifik mengacu pada adaptasi kebudayaan tertentu terhadap lingkungan-
nya, yang disebut sebagai evolusi kebudayaan (cultural evolutions). Sedang-
kan evolusi umum mengacu pada cara pengembangan sebuah kebudayaan
dalam masyarakat yang dapat memberi pertimbangan kepada kita, bahwa
sebuah masyarakat jauh lebih maju (advanced) dan masyarakat tersebut
dianggap telah mencapai level evolusi kebudayaan cukup tinggi.
Pada tahun 1992, ia pun mengeluarkan statemen, bahwa: The world's
most 'primitive' people have few possessions, but they are not poor. Poverty is not a
certain small amount of goods, nor is it just a relation between means and ends;
above all it is a relation between people. Poverty is a social status. As such it is the
invention of civilization. It has grown with civilization, at once as an invidious
distinction between classes and more importantly as a tributary relation. Sahlins
(1972).
Karya Sahlins selanjutnya adalah Stone Age Economics (1972) yang
mengumpulkan beberapa esai utama Sahlins dalam antropologi ekonomi

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 473


substansial. Sebagai lawan dari formalis, substantianti bersikeras, bahwa
kehidupan ekonomi dihasilkan melalui peraturan budaya yang mengatur
produksi dan distribusi barang. Oleh karena itu, pemahaman tentang
kehidupan ekonomi harus dimulai dari prinsip budaya, bukan dari asumsi
bahwa ekonomi dibuat Individu yang bertindak independen (rasionalsasi
ekonomi). Mungkin esai Sahlins yang paling terkenal dari koleksi, The
Original Affluent Society, menguraikan tema ini melalui meditasi yang diper-
luas tentang masyarakat hunter-gatherer. Stone Age Economics mempublikasi-
kan keritik-kritik Sahlins terhadap disiplin ilmu ekonomi, terutama dalam
bentuk Neoklasiknya.
Setelah diterbitkannya Cultural and Practical Reason pada tahun 1976,
fokusnya beralih ke hubungan antara sejarah dan antropologi dan bagai-
mana budaya yang berbeda dimengerti dan dibuat sejarahnya. Isu sentral
dalam pekerjaan ini adalah masalah transformasi historis, yang pendekatan
strukturalisnya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara memadai.
Sahlins mengembangkan konsep structure of the conjuncture untuk bergulat
dengan masalah struktur dan agensi, dengan kata lain masyarakat dibentuk
oleh konjungtur kompleks dari berbagai kekuatan, atau struktur. Model
evolusi sebelumnya, sebaliknya mengklaim, bahwa budaya muncul sebagai
adaptasi terhadap lingkungan alam. Krusial, dalam rumusan Sahlins, indi-
vidu memiliki agensi untuk membuat sejarah. Kadang-kadang posisi
mereka memberi kekuatan dengan menempatkan mereka di puncak
hierarki politik. Pada posisi lain, struktur konjungtur, campuran kekuatan
yang kuat atau kebetulan, memungkinkan orang mengubah sejarah. Unsur
kesempatan dan kontingensi membuat sains dari konjungtur ini tidak
mungkin, walaupun studi perbandingan memungkinkan beberapa generali-
sasi. Historical Metaphors and Mythical Realities (1981), Islands of History (1985),
Anahulu (1992) dan Apologies to Thucydides (2004 memiliki kontribusi penting
dalam antropologi historis.
Karya Sahlins berjudul Islands of History memicu perdebatan penting
dengan Gananath Obeyesekere mengenai rincian Kematian Captain James
Cook di Kepulauan Hawaii pada tahun 1779. Inti perdebatannya adalah
bagaimana memahami rasionalitas masyarakat lokal. Obeyesekere berkeras,
bahwa orang-orang pribumi pada dasarnya menganggapnya sama seperti
orang Barat dan khawatir mereka dilukiskan sebagai masyarakat irrational
and uncivilized. Sebaliknya, Sahlins berpendapat setiap budaya memiliki
jenis rasionalitas yang berbeda, yang memahami dunia dengan memusatkan
perhatian pada pola yang berbeda pula untuk menjelaskan narasi budaya

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 474


tertentu. Shalins verasumsi, bahwa semua budaya mengarah pada pan-
dangan rasional tunggal adalah sebuah bentuk etnoselisme (etnocentrism)116.
Melalui sentralitas budaya selama bertahun-tahun, Sahlins membidik
berbagai bentuk determinisme ekonomi (disebutkan di atas) dan juga
determinisme biologis atau gagasan, bahwa budaya manusia merupakan
efek dari proses biologis. Kritik utamanya tentang sosiobiologi terkandung
dalam The Use and Abuse of Biology. Buku terbarunya, What Kinship Is --- And
Is Not menarik benang meranya untuk menunjukkan bagaimana system
kekeluargaan mengatur seksualitas dan reproduksi manusia dan bukan
sebaliknya. Dengan kata lain, biologi tidak menentukan system kekerabatan
(kinship). Sebaliknya, pengalaman mutuality of being yang kita sebut
kekerabatan merupakan fenomena budaya.
Karya Marshall David Sahlins memiliki karya-karya berikut ini:
1. Sahlins David Marshal. 1958. Social Stratification in Polynesia. Monographs
of the American Ethnological Society, 29. Seattle: University of Washing-
ton Press.
2. Sahlins David Marshal. 1960. Evolution and Culture, edited with Elman R
Service. Ann Arbor: University of Michigan Press, 1960.
3. Sahlins David Marshal. 1962. Moala: Culture and Nature on a Fijian Island.
Ann Arbor: University of Michigan Press, 1962.
4. Sahlins David Marshal. 1968. Tribesman. Foundations of American
Anthropology Series. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1968.
5. Sahlins David Marshal. 1972. Stone Age Economics. New York: de Gruyter,
1972.
6. Sahlins David Marshal. 1976. The Use and Abuse of Biology: An Anthropo-
logical Critique of Sociobiology. Ann Arbor: University of Michigan Press,
1976.
7. Sahlins David Marshal. 1976. Culture and Practical Reason. Chicago :
University of Chicago Press, 1976.
8. Sahlins David Marshal. 1981. Historical Metaphors and Mythical Realities:
Structure in the Early History of the Sandwich Islands Kingdom. Ann Arbor:
University of Michigan Press, 1981.
9. Sahlins David Marshal. 1985. Islands of History. Chicago: University of
Chicago Press, 1985.
10. Sahlins David Marshal. 1992. Anahulu: The Anthropology of History in the
Kingdom of Hawaii, with Patrick Vinton Kirch. Chicago: University of
Chicago Press, 1992.

116
Etrocentrism (Jack David Eller, 2009: 397) is the attitude or belief that one’s own culture
is the best or only one, and that one can understand or judge another culture in terms of
one’s own.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 475


12. Sahlins David Marshal. 1995. How Natives Think: About Captain Cook, for
Example. Chicago: University of Chicago Press, 1995.
13. Sahlins David Marshal. 2000. Culture in Practice: Selected Essays. New
York: Zone Books, 2000.
14. Sahlins David Marshal. 2002. Waiting for Foucault, Still. Chicago: Prickly
Paradigm Press, 2002.
15. Sahlins David Marshal. 2004. Apologies to Thucydides: Understanding
History as Culture and Vice Versa. Chicago: University of Chicago Press,
2004.
16. Sahlins David Marshal. 2012. The Western Illusion of Human Nature.
Chicago: Prickly Paradigm Press, 2008.
17. Sahlins David Marshal. 2012. What Kinship Is–and Is Not. Chicago:
University of Chicago Press, 2012.
18. Sahlins David Marshal. 2015. Confucius Institute: Academic Malware.
Chicago: Prickly Paradigm Press, 2015.
Marshal David Sahlins telah memproleh banyak penghargaan semasa
hidupnya, seperti berikut ini:
1. Chevalier des Arts et des Lettres (Knight in the Order of Arts and Letters),
awarded by the French Ministry of Culture honorary doctorates from the
Sorbonne and the London School of Economics.
3. Gordon J. Laing Prize for Culture and Practical Reason, awarded by the
University of Chicago Press.
4. Gordon J. Laing Prize for How Natives Think, awarded by the University of
Chicago Press
5. J. I. Staley Prize for Anahulu, awarded by the School of American Research
4. Marvin Harris
Marvin Harris (lahir August 18, 1927 dan meninggal October
25, 2001). Ia adalah seorang antropolog Amerika. He lahir di
Brooklyn, New York City. A prolific writer, ia memiliki penga-
ruh sangat tinggi dalam pengembangan materealisme kebuda-
yaan (cultural materialism). Dalam karyanya, dia ber gabung
gabung dengan Karl Marx's guna menekankan proses pro-
duksi dengan pandangan Thomas Malthus's terhadap pengaruh fakor
demografi pada bagian lain system social-budaya (sociocultural system).
Melabelkan faktor demografi dan produksi sebagai infrastruktur,
Harris mengemukakan faktor-faktor ini sebagai kunci dalam menentukan
struktur sosial (social structure) dan budaya masyarakat. Setelah mepubli-
kasikan bukunya The Rise of Anthropological Theory pada tahun 1968, Harris
membantu memfokuskan minat para antropolog dalam hubungan budaya-
ekologi selama sisa kariernya. Banyak dari publikasinya beredar luas di
kalangan pembaca awam.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 476


Selama kehidupan profesionalnya, Harris banyak memiliki pengikut
dan banyak pula keritikan yang ditujukan kepadanya. Dia ruti menjadi
panitia pertemuan tahunan American Anthropological Association, di mana dia
akan meminta para sarjana untuk bertanya secara intens dari mibar,
podium, atau bar. Dia dianggap seorang generalis, yang memiliki minat
dalam proses global yang menjelaskan asal-usul manusia dan evolusi
budaya manusia.
Dalam bukunya yang terakhir berujdul Theory of Culture in Postmodern
Times, Harris berpendapat, bahwa konsekuensi politik dari teori post-
modern sangat berbahaya, sebuah kritik tajam yang kemudian dikembang-
kan oleh filsuf Richard Wolin dan yang lain.
Karir awal
Haris dilahirkan dari keluarga miskin di Brooklyn. Dia memasuki
Angkatan Darat AS menjelang akhir Perang Dunia Kedua dan mengguna-
kan pendanaan dari G.I. Bill masuk Universitas Columbia bersama dengan
generasi baru antropolog Amerika pasca perang. Harris adalah seorang kutu
buku yang suka menghabiskan waktunya berjam-jam di depan rak
bukunya. Ia akhirnya mengembangkan sistem taruhan matematika
kompleks yang cukup berhasil untuk memberikan dukungan bagi istrinya,
Madelyn dan dia selama tahun-tahun sekolah di pascasarjana. Pekerjaan
awal Harris adalah dengan mentornya, Charles Wagley dan penelitian
disertasinya di Brazil menghasilkan studi desa yang tidak biasa yang
dilakukan pada tradisi deskriptif Boasian, yang kemudian dia kecam.
Setelah lulus, Harris menjadi asisten profesor di Columbia. Untuk
sementara ia melakukan kerja lapangan di Mozambik pada tahun 1957.
Harris mengalami serangkaian transformasi besar yang mengubah orientasi
teoretis dan politiknya.
Kontribusi Teoretis
Pekerjaan awal Harris dimulai dalam tradisi Boasian dalam penelitian
antropologis deskriptif, tetapi pengalaman lapangannya di Mozambik pada
akhir 1950-an menyebabkan dia mengalihkan fokusnya dari fitur ideologis
budaya ke aspek perilaku. Sejarah pemikiran antropologisnya pada tahun
1969, The Rise of Anthropological Theory secara kritis menguji ratusan tahun
pemikiran sosial dengan maksud membangun pemahaman yang layak
tentang budaya manusia yang oleh Harris disebut sebagai Materialisme
Budaya (cultural materealism). Buku, yang dikenal sebagai RAT di antara
mahasiswa pascasarjana, adalah sintesis teori makrososial klasik dan
kontemporer.
Materialisme budaya memasukkan dan memperbaiki kategori
suprastruktur dan pangkalan Marx. Harris memodifikasi dan menguatkan
konsep inti Marxis sebagai alat produksi dan eksploitasi, tetapi Harris

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 477


menolak dua aspek kunci pemikiran Marxis: dialektika, yang dikaitkan
Harris ke mode intelektual waktu Marx; dan kesatuan teori dan praktik,
yang dianggap Harris sebagai sikap yang tidak pantas dan merusak para
ilmuwan sosial. Harris juga mengintegrasikan teori populasi Malthus ke
dalam strategi penelitiannya sebagai faktor penentu utama dalam evolusi
sosiokultural, yang juga kontras dengan penolakan Marx terhadap populasi
sebagai elemen kausal.
Menurut Harris, mekanisme utama dimana masyarakat mengeksploi-
tasi lingkungannya terkandung dalam infrastruktur masyarakat — cara pro-
duksi (teknologi dan pola kerja) dan populasi (seperti karakteristik populasi,
kesuburan dan tingkat kematian). Oleh karena, praktik semacam itu penting
untuk kelang-sungan hidup itu sendiri, struktur sosial yang tersebar luas
dan nilai-nilai budaya dan keyakinan harus konsisten dengan praktik-
praktik ini. Untuk tujuan sains, Harris menulis: adalah penemuan jumlah
maksimum pesanan dalam bidang penyelidikannya, prioritas untuk mem-
bangun teori secara logis mengendap pada sektor-sektor di bawah pem-
batasan langsung terbesar dari kodrat alam. Untuk memberkati supra-
struktur mental (ide dan ideologi) dengan prioritas strategis, seperti yang
dianjurkan oleh para penganjur ideologi budaya, adalah taruhan yang
buruk. Alam tidak peduli apakah Tuhan adalah ayah yang pengasih atau
kanibal yang haus darah. Tetapi alam tidak peduli apakah periode bera di
ladang berpindah (tebang dan bakar) satu atau sepuluh tahun. Kami (Harris
1979, 57) tahu, bahwa hambatan yang kuat ada di tingkat infrastruktur; oleh
karena itu adalah taruhan yang baik bahwa pembatasan ini diteruskan ke
komponen struktural dan suprastruktur.
Harris membuat perbedaan kritis antara emik dan etik, yang sangat
disempurnakan sejak eksposisi di The Rise of Anthropological Theory. Istilah
emik dan etik berasal dari karya Kenneth Pike, seorang misionaris-
linguistik, terlepas dari perbedaan konsep dengan konstruksi Harris. Seperti
yang digunakan oleh Harris, emik berarti deskripsi dan penjelasan yang
benar dan berarti bagi seorang informan atau subjek, sedangkan deskripsi
dan penjelasan etis adalah yang digunakan oleh komunitas ilmiah untuk
menerapkan dan memaksa teori-teori kehidupan sosiokulturalnya. Artinya,
emik adalah perspektif peserta, sedangkan etik adalah pengamat. Harris
telah menegaskan, bahwa keduanya sebenarnya diperlukan untuk
penjelasan pemikiran dan perilaku manusia.
Kontribusi awal Harris untuk masalah teoritis utama termasuk revisi
teori surplus biologis dalam pembentukan obesitas. Dia juga menjadi
terkenal, karena telah merumuskan penjelasan materialis untuk pengobatan
ternak dalam agama dan budaya India. Seiring dengan Michael Harner,
Harris adalah salah satu cendekiawan yang paling terkait dengan saran

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 478


bahwa Aztec kanibalisme terjadi dan merupakan hasil dari kekurangan
protein dalam diet Aztec. Sebuah penjelasan muncul dari buku Harris,
Cannibals and Kings. Harris juga menyerukan pencarian manusia akan
protein hewani untuk menjelaskan peperangan Yanomamo, berten-tangan
dengan penjelasan sosiobiologis etnografer Napoleon Chagnon yang
melibatkan agresi manusia laki-laki yang bawaan.
Beberapa publikasi lain oleh Harris membahas tenatng akar budaya
dan materi dari tradisi makanan di banyak budaya, termasuk Sapi, Babi,
Perang dan Penyihir: The Riddles of Culture (1975); Good to Eat: Riddles of Food
and Culture 1998; awalnya berjudul The Sacred Crow and the Abominable Pigs
dan volume yang diedit bersama, Food and Evolution: Toward a Theory of
Human Food Habits (1987).
Tulisan Harris Why Nothing Works: The Anthropology of Daily Life (1981);
awalnya berjudul America Now: the Anthropology of a Changing Culture
menerapkan konsep-konsep dari materialisme budaya ke penjelasan
perkembangan sosial seperti itu di akhir abad ke-20 Amerika Serikat sebagai
inflasi, masuknya sejumlah besar angkata kerja wanita ke dalam dunia kerja,
stabilitas perkawinan tidak terjamin dan produk yang jelek.
Karya Haris berjudul Our Kind: Who We Are, Where We're From, Where
We Are (1990) memberi kontribusi luas dalam evolusi fisik dan budaya
manusia, menawarkan penjelasan provokatif dari subyek seperti trans-
seksualisme manusia dan nontransseksualisme dan asal-usul ketidak-
samaan. Akhirnya, karya Harris 1979, Cultural Materialism: The Struggle,
diperbarui dan dirilis ulang pada tahun 2001, menawarkan kemungkinan
pernyataan materialisme budaya yang paling komprehensif. Sebuah artikel
terpisah memuat banyak dan beragam publikasi Marvin Harris.
Sementara itu, kontribusi Harris terhadap antropologi sangat luas.
Hampir semua antropolog dan pengamat lain memiliki pendapat yang
hampir sama tentang Dr. Harris, dengan konsep mengapa orang berperi-
laku seperti yang mereka lakukan. Majalah Smithsonian menyebutnya
sebagai salah satu antropolog paling kontroversial yang hidup. The
Washington Post menggambarkannya sebagai pusat badai di ladangnya dan
Los Angeles Times menuduhnya berasumsi berlebihan. Harris bisa
mengkriitik pedas teori lain dan sering mendapat balasan. Dalam dekade
terakhir hidupnya, ia terlibat dalam pertempuran berjalan dengan para
postmodernis yang menurutnya memiliki pengaruh besar dalam antro-
pologi di bagian akhir abad ke-20.
Harris menerima gelar MA dan PhD dari Universitas Columbia, yang
pertama pada tahun 1949 dan yang terakhir pada tahun 1953. Dia
melakukan kerja lapangan di Brasil dan berbahasa Portugis Afrika sebelum
bergabung dengan fakultas di Columbia. Dia akhirnya menjadi ketua

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 479


departemen antropologi di Columbia. Selama pendudukan kampus
mahasiswa Columbia tahun 1968, Harris adalah salah satu dari beberapa
pemimpin fakultas yang memihak siswa ketika mereka diancam dan
dipukuli oleh polisi. Selama 1960-an dan 1970-an, ia adalah penduduk
Leonia di New Jersey.
Harris selanjutnya bergabung dengan departemen antropologi
Universitas Florida pada tahun 1981 dan pensiun pada tahun 2000, menjadi
Profesor Penelitian Antropologi Profesor Emeritus. Harris juga menjabat
sebagai Ketua Divisi Antropologi Umum Asosiasi Antropologi Amerika.
Harris adalah penulis tujuh belas buku. Dua buku teks kuliahnya,
Budaya, Orang, Alam: Sebuah Pengantar Antropologi Umum dan Antropo-
logi Budaya, diterbitkan dalam tujuh edisi. Penelitiannya mencakup topik
ras, evolusi dan budaya. Dia sering fokus pada Amerika Latin dan Brasil,
tetapi juga fokus pada Islas de la Bahia, Ekuador, Mozambik dan India.
Karya Marvin Harris merupakan episode akhir dari kontribusi
Morgan dalam teori antropologi, yaitu pendekatan materialis terhadap
masyarakat. Penyederhanan konsep berdasarkan pada pertimbangan orang-
orang yang menolak metode komparatif atau yang desebut oleh Marvin
Harris sebagai materialisme kebudayaan (cultural materialism) merupakan
versi metode kontemporer saat ini dalam memahami masyarakat. Penye-
derhanaan tersebut dalam karya Harris terletak pada, baik metodologis
maupun karakter analisisnya, serta menghadirkan pengembangan-pengem-
bangan dalam antropologi melalui pendekatan materealisme kebudayaan.
Pengembangan seperti ini mengacu pada studi folkIor sebagai suatu bentuk
peninjauan kembali teori (theoretical apdating), sehingga Harris mampu
menduduki posisi yang sama dengan Morgan atau White dalam parameter
antroplogi akhir abad kedua puluh. Penyederhanaan konsep yang paling
penting adalah pandangannya terhadap pendekatan emik (emic) dan dan
etik (etic) dalam penelitian antroplologi. Pedekatan inilah yang mampu
membedakan meterialisme kebudayaan dari pendekatan teori lainnya.
Menurut Harris, emik (diambil dari fonemik) dapat membuat karakterisasi
strategi dalam antropologi yang didasarkan pada pandangan sendiri
terhadap kebudayaan. Jadi, seseorang dapat berasumsi dan menghadirkan
sebuah strategi hermeneutika 117 dalam analisis kebudayaan. Hal ini ber-
tetangan dengan etik (dari phonetik) yaitu metode yang melihat kebudayan

117
Hermenuitika menurut Smith (1990: 136) adalah the original meaning of this term is the
interpretation of sacred texts. It has been extended within philosophy and the social sciences to
mean the interpretation of or the search for meaning in texts, in human existence, in society,
and so on. hle philosopher Martin Heidegger employed the term to mean the understanding of
the world as the object of human thougtu and action. Hans Georg Gadamer (1979) proposed
hermeneutics as a method for tile social sciences, in opposition to cientism.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 480


dari luar dan oleh karena itu mengunakan pendekatan obyektif dan pen-
dekatan ilmiah.
Aspek lain dari karya Harris adalah umumnya berkarakter non-
evolusi. Berbeda dengan ahli-ahli evolusi lainnya yang tertarik dalam pe-
ngembangan sebuah kebudanyaan, Harris tidak tertarik untuk menjelaskan
bagaiman sebuah kebudayaan dapat berkembang. Dia lebih tertarik dalam
menjelskan karakter pengembangan kebudayaan tertentu dalam suatu
masyarakat melalui pengunaan pendekatan etik dan aplikasi dari konsep
materialisme kebudayaan (cultural materealism). Harris tertarik dalam mene-
liti dan menemukan jawaban pertanyaan seperti kenapa orang India tidak
makan lembu? Ini merupakan pertanyaan khusus mengenai sebuah karakter
kebudayaan secara spesifik dan bukan merupakan isu dalam evolusi
kebudayaan secara global. Dapat juga dikatakan, bahwa hal itu merupakan
pertanyaan yang berkenaan dengan evolusi dan adaptasi secara spesifik.
Harris mendekati hal ini dan problematika lainnya melalui pendekatan etik
yaitu ia melihat dasar-dasar keobyektifan dan memberikan alasan meterialis
terhadap fenomena yang ada. Jika, kita menggunakan kebudayaan yang kita
miliki untuk menjawab pertanyaan di atas sudah barang tentu salah dan
karena itu tidak dapat diterima. Orang india tidak memakan daging,
karena alasan ekonomi, bukan agama. Memakan daging berarti memutus
suplai susu dari berkurangnya binatang peliharaan secara drastis. Alasan
agama merupakan representasi dari alasan emik dalam kebudayaan orang
India yang tidak memakan daging. Pendekatan inilah mungkin yang secara
umum digunakan oleh ahli-ahli materialsme kebudayaan lainnya dan
merupakan ciri pembeda dengan pendekatan lain yang menggunakan
prinsip etik dan emik dalam analisis kebudayaannya.

E. Simbolisme dan Strukutralisme


1. E. E. Evans-Pitchard
Sir Edward Evan Evans Pritchard lahir pada tanggal 21
September 1902 di Crowborough, East Sussex, England dan
meninggal pada tanggal 11 September 1973 di Oxford. Ia
adalah anak laki-laki dari Anglican Clergyman. He converted
to Roman Catholicism in 1944.
Ia dikenal sebagai seorang antropolog Inggris yang berperan
penting dalam pengembangan antropologi sosial. Pritchard merupakan
Professor Antropologi Sosialdi University of Oxford dari tahun 1946 sampai
1970.
Evans-Pritchard menempuh pendidikan di Winchester College dan
mempelajari sejarah di Exeter College, Oxford, di mana dia telah dipenga-

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 481


ruhi oleh R. R. Marett dan kemudian melanjutkan pendidikan pascasarjana
di London School of Economics (LSE). Ia banyak dipengaruhi oleh
Bronislaw Malinowski dan Charles Gabriel Seligman, pelopor etnografi di
Sudan. Penelitian lapangan pertamanya dimulai tahun 1926 dengan meneliti
Azande, masyarakat yang hidup di dekat Sungai Nil, yang menghasilkan
penelitian doktor dan buku Witchcraft, Oracles, and Magic Among The Azande
(di 1937). Evans Pritchard melanjukan mengajar di LSE dan melakukan
penelitian lapangan di Azande dan dataran Bongo hingga tahun 1930, di-
mana ia melakukan proyek penelitian barunya pada suku Nuer.
Karya ini bertepatan dengan pengangkatannya di Universitas Kairo
pada tahun 1932, di mana dia memberikan serangkaian ceramah tentang
agama yang memberi pengaruh Seligman. Setelah kembali ke Oxford, ia
melanjutkan penelitiannya tentang Nuer. Pada periode inilah dia pertama
kali bertemu dengan Meyer Fortes dan A. R. Radcliffe-Brown. Evans-
Pritchard mulai mengembangkan program fungsionalisme struktural
Radcliffe-Brown. Akibatnya, trilogi karya Nuer (Nuer, Nuer Religion, and
Kinship and Marriage Among the Nuer) dan volume yang dia tulis berjudul
African Political Systems mulai dipandang sebagai karya klasik antropologi
sosial Inggris. Sihir Evans-Pritchard, Witchcraft, Oracles and Magic Among the
Azande adalah sumbangan antropologis utama pertama terhadap penge-
tahuan sosiologi melalui sifat netralnya --- beberapa orang akan mengatakan
relativis --- sikap terhadap kebenaran kepercayaan Zande tentang sebab-
akibat. Karya empiris Evans-Pritchard dalam vena ini menjadi terkenal
melalui diskusi sains dan perdebatan rasionalitas pada tahun 1960an dan
1970an yang melibatkan Thomas Kuhn dan terutama Paul Feyerabend.
Selama Perang Dunia Kedua Evans-Pritchard bertugas di Ethiopia,
Libya, Sudan dan Suriah. Di Sudan dia mengangkat pasukan tidak
beraturan di antara orang Anuak untuk mengganggu orang-orang Italia dan
terlibat dalam perang gerilya. Pada tahun 1942 dia dikirim ke Administrasi
Militer Inggris Cyrenaica di Afrika Utara dan berdasarkan pengalamannya
di sana, dia menghasilkan The Sanusi of Cyren. Dalam mendokumentasikan
perlawanan lokal terhadap penaklukan Italia, dia menjadi salah satu dari
beberapa penulis berbahasa Inggris yang menulis tentang tarekat (tariqa).
Setelah menjalani tugas singkat di Cambridge, Evans-Pritchard men-
jadi profesor antropologi sosial di University of Oxford dan Fellow All Souls
College. Dia tetap di All Souls College selama sisa karirnya. Di antara maha-
siswa doktoral yang dia sarankan adalah almarhum M. N. Srinivas, para
doyen118 di antara sosiolog India yang menciptakan beberapa konsep kunci
118
Doyen and doyenne (Oxford English Dictionary 2nd Ed. 1998) surnames derived from the
French word doyen (doyenne in the feminine grammatical gender), which is the term for dean,
e.g., Dean (religion) and Dean (education). In the English language, the meaning of doyen (and

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 482


dalam wacana sosiologis India, termasuk Sanskritization, dominant caste dan
vote bank. Salah satu muridnya adalah Talal Asad, yang sekarang mengajar
di City University of New York. Purity and Danger Maria Douglas yang
klasik atas polusi dan ketidakpastian --- apa yang sering kita sebut sebagai
risiko --- secara fundamental dipengaruhi oleh pandangan Evans-Pritchard
tentang bagaimana tuduhan, kesalahan dan tanggung jawab dikerahkan
meskipun konsepsi sial (misfortune) dan malapetaka (harm) yang spesifik
secara budaya.
Karya Evans-Pritchard kemudian lebih teoritis, memanfaatkan penga-
lamannya sebagai antropolog untuk berfilsafat tentang sifat antropologi dan
bagaimana cara terbaik untuk dipraktekkan. Pada tahun 1950 ia terkenal
menolak pandangan umum, bahwa antropologi adalah ilmu pengetahuan
alam. Ia beralasan, bahwa ia harus dikelompokkan di antara humaniora,
terutama sejarah. Dia berpendapat, bahwa isu utama yang dihadapi
antropolog adalah salah satu terjemahan --- menemukan cara untuk
menerjemahkan pemikirannya sendiri ke dalam dunia budaya lain. Dengan
demikian, ia berhasil memahaminya dan kemudian untuk menerjemahkan
pemahaman ini kembali untuk menjelaskannya kepada orang-orang, dari
budaya sendiri.
Pada tahun 1965, ia menerbitkan karya-karya Theories of Primitive
Religion yang sangat berpengaruh, yang menentang teori-teori yang ada
tentang apa yang pada waktu itu disebut praktik keagamaan primitif.
Dengan berdebat sepanjang karya teorinya di tahun 1950an, dia mengklaim
bahwa antropolog jarang berhasil memasuki benak orang-orang yang
mereka pelajari dan memberi motivasi kepada mereka yang lebih sesuai
dengan budaya mereka sendiri, bukan yang mereka pelajari. Dia juga
berpendapat, bahwa orang-orang percaya dan orang-orang yang tidak
beriman mendekati studi agama dengan cara yang sangat berbeda, dengan
orang-orang yang tidak beriman lebih cepat muncul dengan teori biologis,
sosiologis, atau psikologis untuk menjelaskan agama sebagai ilusi dan
orang-orang percaya lebih cenderung datang dengan teori yang menjelas-
kan agama sebagai metode konseptualizing dan berhubungan dengan
kenyataan.
Dikenal dengan teman dan keluarganya sebagai EP (singkatan dari
Evans-Pritchard) memiliki lima anak dengan istrinya bernama Ioma. Putra
bungsunya, Ambrose Evans-Pritchard, adalah seorang bekas koresponden
asing di Amerika Latin, Amerika Serikat dan Eropa dan menjadi Editor
Bisnis Internasional untuk London Daily Telegraph. Putrinya yang lebih
muda, Deirdre Evans-Pritchard, PhD, adalah seorang ahli dalam studi cerita
the less common doyenne) has extended from the French definition to also refer to any senior
member of a group, particularly one whose knowledge or abilities exceed those of other members.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 483


rakyat dan studi Timur Tengah. Dia adalah penerima Fulbright Fellowship.
Putri sulungnya, Shineen Evans-Pritchard, adalah seorang pengusaha. Dia
juga memiliki dua anak lainnya, yaitu anak kembar: Nicky Evans-Pritchard,
yang bekerja di komputer dan John Evans-Pritchard, seorang guru ekonomi
dan penulis beberapa buku.
1. 1937 Witchcraft, Oracles and Magic Among the Azande. Oxford University
Press.
2. 1940a The Nuer: A Description of the Modes of Livelihood and Political
Institutions of a Nilotic People. Oxford: Clarendon Press.
3. 1940b The Nuer of the Southern Sudan. in African Political Systems. M.
Fortes and E.E. Evans-Pritchard, eds., London: Oxford University Press.,
p. 272-296.
4. 1949 The Sanusi of Cyrenaica. London: Oxford: Oxford University Press.
5. 1951a Kinship and Marriage Among the Nuer. Oxford: Clarendon Press.
6. 1951b Kinship and Local Community among the Nuer. in African
Systems of Kinship and Marriage. A.R. Radcliffe-Brown and D. Forde, eds.,
London: Oxford University Press. p. 360–391.
7. (July 1953), The Sacrificial Role of Cattle among the Nuer (PDF), Africa:
Journal of the International African Institute, Edinburgh University Press, 23
(3): 181–198, retrieved 20 November 2011
8. 1956 Nuer Religion. Oxford: Clarendon Press.
9. 1962 Social Anthropology and Other Essays. New York: The Free Press.
BBC Third Programme Lectures, 1950.
10. 1965 Theories of Primitive Religion. Oxford University Press.
11. 1967 The Zande Trickster. Oxford: Clarendon Press.
12. 1971 La femme dans les societés primitives et autres essais d'anthropologie
sociale. Paris: Presses Universitaires de France.
13. (1971), Sources, with Particular Reference to the Southern Sudan, Cahiers
d'études africaines, 11 (41): 129–179, retrieved 20 November 2011.
Beberap penghargaan akademik diterima oleh Evans-Pritchard, dalam
karya dan dedikasinya terhadap perkembangan antropolgi.
Dia adalah seorang profesor antropologi sosial di Oxford dan rekan
All Souls College dari tahun 1946 hingga 1970. Ia kemudian menjadi
subwarden dari tahun 1963 hingga 1965. Evans-Pritchard menjadi ksatria
pada tahun 1971. Pada tahun 1972, sebuah Festschrift disiapkan untuknya,
berjudul Essays in Sudan Ethnography: presented to Sir Edward Evans-Pritchard:
disajikan kepada Sir Edward Evans-Pritchard.
Setelah mempelajari sejarah modern di Universitas Oxford, Evans-
Pritchard melakukan pekerjaan pascasarjana dalam antropologi di London
School of Economics and Political Science. Dia kemudian melakukan kerja
lapangan di antara Zande dan Nuer (sekarang Sudan Selatan). Dua buku

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 484


tentang orang-orang ini, Witchcraft, Oracles, and Magic Among the Azande
(1937) and The Nuer (1940), mampu mengangkat reputasinya. Pada 1940 ia
dan Meyer Fortes mengedit sejumlah esai, African Political Systems, yang
merevolusi studi perbandingan pemerintah.
Meskipun Evans-Pritchard selamak hidupnya adalah seorang penulis
yang produktif, terutama pada kekeluargaan, agama dan sejarah antropo-
logi, tulisan-tulisannya kemudian dikalahkan oleh karyanya sebelumnya.
Tulisan-tulisannya yang belakangan sering menjadi esai teoritis dan kuliah
tentang hubungan antara antropologi dan ilmu sosial lainnya. Hal ini
menunjukkan tingkat keilmuan yang sangat dalam, tetapi seringkali
kontroversial dan berbeda dari yang tren saat itu. Akan tetapi, pengaruhnya
sebagai guru pada akhir hidupnya cukup besar, karena di bawah
bimbingannya sekolah Oxford antropologi sosial menarik siswa dari ber-
bagai belahan dunia; dan dia mensponsori kerja lapangan di Afrika dan di
tempat lain sebagai anggota the Colonial Social Science Research Council.
Evans-Pitchard, dalam esai berikut ini, mengutip Mitland yang sering
melontarkan aporisme, bahwa suatu ketika antropologi akan diperhadap-
kan pada pilihan: apakah menjadi sejarah atau tidak. Roda kebentungan
akan berputar terus, sehingga beberapa dekade sejarah harus menjadi
wilayah kajian antropologi. Mereka memang tidak sama dalam segala hal,
tetapi mereka mempunyai beberapa bentuk kemiripan.
Esei ini dimulai dengan sebuah review dari antropoiogi sejarah dan
selanjutnya melakukan peresentasi sebuah pandangan antropologi yang
abadi dan keabadian inilah yang mendapat serangan. Untuk memakai
model ilmu alam dalam ilmu perilaku, menurut Evans-Pitchard, adalah
sangat sedikit menuai keritikan. Dia juga menambahkan, bahwa tidak ada
bahasa Eropa lainnya dalam hal ini yang memungkin pertentangan, seperti
yang hampir selalu terjadi di dalam bahasa Inggris, apakah antropologi
sebagai suatu bidang ilmu (science) atau tidak. Kadang-kadang, di dalam
bahasa Jerman diartikan sebagai unssenschaft. Ketika Evans-Pitchard mem-
bicarakan masyarakat sebagai suatu bentuk sistem moral (moral sysytem)
dan ketika ia mengklaim untuk menjadi ahli humaniora daripada ahli ilmu
alam, dia tidak mejandikan antropologi sebagai studi mistik atau ia jauh
dari unssenschaft. Dengan demikan, ia mengubah kereteria dirinya menjadi
orang sukses dalam antropologi yang telah menjadi keputusannya sendiri.
Esei ini sebelumnya pernah diusulkan sebagai salah satu bentuk pemi-
kiran yang diterima di dalam dunia antropologi. Beberapa tahun kemudian,
khususnya dalam arkeologi kontemporer pada tahun 1960-an dan sebelum
tahun 1970-an, pemikiran ini menjadi pembahasan yang cukup menarik.
Evans-Pitchard menekakankan, bahwa banyak masyarakat dunia pernah
diketahui dan harus dipelajari melalui metode historis. Metode-metode dan

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 485


tujuan seperti itu hanya berbeda dalam detailnya dan dalam aktifitas para
ahli metode antropologi klasik. Mungkin Maitland dan orang-orang besar
lainnya setuju dengan parafsiran kita; bahwa jika sejarah dan antropologi
tidak digabungkan, maka keduanya akan berdiri sendiri.
2. Claude Levi-Strauss
Levi Strauss lahir di Buttenheim, Jerman, pada 26 Februari
1829, di wilayah Franconian di Bavaria, Jerman, ke sebuah
keluarga Yahudi Ashkenazi. Dia adalah putra Hirsch Strauss
dan istri keduanya, Rebecca Strauss. Pada usia 18 tahun,
Strauss, ibunya dan dua saudara perempuannya pergi ke
Amerika Serikat untuk bergabung dengan saudara-saudaranya
Jonas dan Louis, yang telah mulai mendirikan pasar grosis di New York
City bernama J. Strauss Brother & Co Karya Levi-Strauss yang cukup besar.
Strauss sangat membingungkan dan sangat sulit untuk menangkap ide-ide
pokok dalam pekerjaannya. Dia menyebut apa yang dilakukannya adalah
structuralism (structuralism). Meskipun demikian, strukturalisme bukan
sebagai suatu bidang studi yang dimonolopoli oleh beberapa ahli, termasuk
Strauss yang tidak pernah mau memonopoli kajian structural dalam antro-
pologi tersebut, sekalipun ide-ide pokoknya jauh lebih tua dibandingkan
dengan yang lainnnya. Ilmuan seperti A. R. Radcliffe-Brown, George Peter
Murdock dan banyak lagi ahli lainnya menggunakan konsep struktur
(structure) berbeda dengan yang digunakan oleh Strauss.
Aspek utama dari pekerjaan Levi-Strauss dapat disimpulkan kedalam
tiga poin berikut: (1) social anthropology and alliance theory, (2) human
cognition and mental processes, and (3) structural aspects of mythology.
Kontribusi teorinya terhadap antropologi memang sang at banyak
dan penting. Yang paling tekenal dalam hal ini adalah teori aliansi (alliance
theory). Teori aliansi ini menekankan pentingnya pernikahan dalam sebuah
masyarakat, yang dipertentangkan dengan pentingnya keturunan (descent).
Premis utamanya, bahwa penyerahan perempuan kepada kaum laki-laki
dalam sebuah masyarakat mampu menghasilkan sejumlah solidaritas sosial
dan merupakan pertukaran yang paling bernilai dalam kehidupan seluruh
anggota masyarakat ini. Levi-Strauss mengklaim, bahwa regulasi pernikah-
an melalui aturan kebudayaan atau pemilihan dan usaha untuk pernikahan
menciptakan iring-iringan (flow) dalam masyarakat. Iring-iringan seperti ini
disertai dengan pemberian kado, membentuk ikatan kekeluargaan dalam
masyarakat yang bersangkutan. Analisisnya tentang perkawainan sumbang
(incest taboo) juga sangat menarik. Ia menganggap tabu tidak ubahnya
dengan jaringan antara sifat alamiah dengan kebudayaan manusia. Melalui
hal ini, menurut dia, sifat alamiah dapat melampaui dirinya sendiri dan
membentuk kebudayaan, sehingga dorongan seks seseorang dapat diatur

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 486


memalui kebudayaan. Hasilnya adalah manusia akan kehilangan sifat
kebinatangnannya dan menjadi budak atau tunduk kebudayaan.
Aspek kedua dari kerja Levi-Strauss berkenaan dengan proses mental
manusia, yang mungkin sama dalam semua kebudayaan, tetapi dalam
manifestasinya sangat mungkin pula berbeda. Kesatuan proses mental
seperti itu muncul dari dalam otak manusia dalam rangka pemakaiannya.
Sebagai hasil dari unitas klasifikasi dari keragaman masyarakat primitif
sama ketika orang lain juga melakukannya. Fakta menunjukkan, bahwa
manifestasi dari klasifikasi ini mungkin berbeda alah tidak terlalu relevan
bagi Strauss.
Levi-Strauss juga bekerja dalam mitologi, yang paralel dengan pekerja-
an sebelumnya tentang mental proses, yang menemukan ketidaksadaran
(unconscious), tetapi tersusun di dalam regularitas pemikiran manusia.
Kadang-kadang karakteristik struktur memungkinkan kita untuk melaku-
kan studi tentang mitologi. Dengan menggunakan analisis struktur mitologi
memungkinan untuk mereduksi materi pada sebuah proposisi yang di-
bentuk sebagai hasil dari penyatuan pandangan. Tanpa sebuah reduksi
untuk mengacak tumpukan materi mitologi, kesempurnaan dalam analisis
mitologi sangat sulit untuk dilakukan. Dengan demikian, melalui reduksi
tersebut studi lintas budaya (cross-cultural study) terhadap mitologi menjadi
mungkin.
Tetapi apa itu struktur? Levi-Strauss setidak-tidaknya telah menyedia-
kan definisi buat kita. Pertama untuk seluruhnya, bahwa struktur itu tidak
nyata dan manifestasinya tidak riel, karena hal itu hanya berupa model-
model kognitif dari sebuah kenyataan. Jadi, kalau begitu struktur-struktur
dapat ditemukan sebagai model-model mental, baik di alam pikiran orang
primitif maupun para ilmuan. Model struktur seorang ilmuan berguna
untuk memahami hal-hal khusus dalam studinya, sementara model struktur
mental orang primitif atau modern dapat berupa kesadaran atau
ketidaksadaran, yang dapat membantu mereka bertahan hidup dalam
kesehariannya. Menurut Levi-Strauss, bahwa manusia mampu memahami
keragamannya dan orientasi perilakunya berdasarkan pada struktur men-
talnya.
3. Victor Tunner
Victor Witter Turner lahir pada tanggal 28 May 1920 di
Glasgow, Scotland dan meninggal pada tanggal 18 December
1983) Charlottesville, Virginia. Ia adalah anggota British
cultural anthropologist dan paling dikenal dengan studinya
tentang symbols, rituals dan rites of passage. Pekerjaannya,
selain Clifford Geertz dan yang lainnya, sering disebut sebagai
symbolic and interpretive anthropology.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 487


Victor Turner adalah kelahiran Glasgow, Scotland, putra dari Norman
dan Violet Turner. Ayahnya adalah seorang insinyur elektro dan ibunya
sebagai repertory actress yang mendirikan Scottish National Players. Turner
pada awalnya belajar puisi dan klasik di University College London. Pada
tahun 1941, Turner terdaftar wajib militer dalam World War II dan bekerja
sebagai noncombatant hingga tahun 1944. Selama tiga tahun mengikuti
wajib militer, Turmer bertemu dan menikahi Edith Turner dikaruniahi anak:
Robert Turner seorang ilmiawan, Frederick Turner sastrawan dan Rory
Turner seorang professor antropologi di Goucher College. Dia kembali ke
University College tahun 1946 dengan fokus baru di bidang antropologi. Ia
kemudian lulus sebagai sarjana antrolpogi di Universitas Manchester .
Pekerjaan Turner sebagai seorang peneliti di Rhodes-Livingstone
Institute. Melalui poisisinya tersebut, Turner memulai penelitian panjang di
suku Ndembu di Zambia. Ia menyelesaikan PhD pada tahun 1955. Seperti
halnya dengan beberapa antropolog Manchester pada zamannya, Turner
juga fokus pada malasah konflik (conflict) dan menciptakan konsep baru
tentang sosiologi drama (social drama)119 sebagai simbil konflik dan resolusi
konflik diantara desa-desa yang ada di Ndembu. Turner meluangkan
banyak waktu untuk meneliti masalah ritual. Sebagai seorang profeso di
Universitas Chicago, Turner memulai untuk mengaplikasikan studinya
tentang rituals and rites of passage untuk mendukung para agamawan dan
pejuang agama di dunia ini. Ia dan istrinya bergabing ke dalam agama
Katolik pada tahun 1958.
Meraih beasiswa Robert Thompson, Turner lebih awal belajar BA
dalam Sastra Inggris di University College, London (1938-1941) dan kembali
mengikuti Perang Dunia II untuk mengikuti gelar BA dalam Antropologi
Sosial (selesai pada 1949). Seperti yang ditemukan di monograf utama dan
banyak esai, formulasinya yang berpengaruh pada nilai ontologis
simbolisme ritual, liminitas dan budaya dibentuk oleh hasrat seumur hidup
untuk puisi, drama klasik dan drama panggung. Berpengaruh adalah
prosesualisme dialektis Max Gluckman, yang memimpin Antropologi Sosial
di Universitas Manchester dan menyarankan disertasi PhD Turner tentang
organisasi sosial suku Ndembu di Rhodesia Utara (sekarang Zambia)
(selesai pada 1955). Sementara Turner menempuh jalan di luar analisis
Manchester School dan Neo-Marxis, dia mengubah perspektif struktural-
fungsionalis dalam ketertinggalannya secara universal dalam kinerja
manusia dan nasib agama dalam budaya pasca-industri. Keberangkatan dari
struktur sosial menuju makna bertepatan dengan kepindahan ke Amerika
Serikat, di mana Turner menerima sebuah penunjukan sebagai Profesor
119
Alan Barnard (2004) social drama is Turner’s characterization of a ritual process, such as a
pilgrimage or a rite of passage, with precrisis and post-crisis phases.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 488


Antropologi dan Ketua Komite Studi Afrika di Cornell University di Ithaca,
New York (1964-1968), memegang jabatan profesor di bidang antropologi di
Amerika Serikat setelahnya. Selama hidupnya di Amerika Serikat, Turner
memotong giginya sebagai esai ikonoklastik dan orator terampil yang
berkisar pada berbagai disiplin ilmu. Sementara karir etnografi Turner
dimulai di Afrika yang merumuskan model drama sosialnya, penyelidikan
selanjutnya termasuk ziarah Kristen di Meksiko dan Irlandia (sebagai se-
orang Katolik yang mempraktikan), genre sastra dan pertunjukan Jepang,
lokakarya teater Off-Off New York yang eksperimental dan Carnaval di Rio.
Ini dan banyak genre kinerja postindustrial lainnya atau drama budaya
dipahami melalui analisis prosesnya, yang menjadi bagian integral dalam
pembentukan Studi Kinerja. Rekan dan rekan risetnya yang paling intim
adalah istri Edith Turner, yang dinikahinya pada tahun 1943, dengan siapa
dia memiliki lima anak dan yang akhirnya menjadi antropolog terhormat
atas dirinya sendiri. Sambil menarik kontroversi untuk universalisme ter-
buka dan posisi teologisnya, gagasan Turner tetap menarik dalam studi
tentang kinerja budaya kontemporer.
Sepeninggal, jandanya bernama Edith Turner melanjutkan dalam
kariernya selaku antropolog. Ia mengembangkan konsep-konsep Victor
Turner Anthropology of experience dengan mendirikan komunitas penerbit.
Turner mencoba menganalisa pendapat Arnold van Gennep, yang
membagi ritual dalam tiga struktur rites of passage dan mengembangkan
teori liminal phase. Teori Van Gennep berisi: pre-liminal phase (separation),
liminal phase (transition) dan post-liminal phase (reincorporation). Turner
menandai, bahwa dalam liminality, transisional harus ditetapkan melalui
dua fase, individu berada di betwixt dan between: mereka belum memiliki
kempok dimana sebelumnya menjadi bagian dari kelompoknya dan mereka
belum terinkorpasi kedalam kelompok itu. Liminality adalah sebuah limbo,
sebuah periode yang dibentuk oleh humility, seclusion, tests, sexual ambi-
guity, and communitas. Itulah sebabnya, mengapa Turner juga ditetapkan
sebagai ethnographer dan banyak menghsilkan penelitian tentang ritual.
Victor Turner, sebenarnya memberi pengaruh kepada beberapa ilma,
namun salah satu diantaranya adalah Author Chuck Palahniuk telah kagum
dengan Turner dan disebut-sebut sebagai The Believer, mengatakan, bahwa
So often what I’m doing is dramatizing the writings of Victor Turner, who wrote a
lot about liminal and liminoid events, anthropology, religious and theological
studies, to cultural, literary, and performance studies, to folklore, literary criticism,
and neurosociology.
Antropologi sudah lama tertarik di dalam sifat struktur sosial dan
hubungannya dengan kepribaelian. Karya Spencer dan Durkheim mengilu-
strasikan betapa seriusnya permasalahan yang ada di dalam antropologi

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 489


kognitif. Spencer menggunakan superorganik 120 dalam menggambarkan
pandangannya dalam hubungan seperti ini, sementara Durkheim meng-
gunakan konsep solidaritas. Kedua ilmuan ini hidup di era dimana konsep
culture tidak digunakan. Dua konsep yang eligunakan oleh Turner, yaitu
liminality dan communitas, membawa kita kembali pada masalah hubungan
antara kepribadian (individuals) dan struktur sosial (social structure). Sebuah
pemahaman dari kedua istilah ini menjadikan pendekatanTurner kuat di
dalam dunia antropologi. Turner memulai pekerjaannya dengan mengikuti
konsep Gennep tentang upacara peralihan (rite of passage) yang menyertai
setiap perubahan status yang diterima oleh seseorang, baik dengan alasan
kebudayaan maupun dengan perubahan tingkatan umur. Upacara peralih-
an tersebut mempunyai tiga bagian, yaitu: 1) peralihan seseorang dari status
sebelumnya, 2) limen atau fase menjelang dan 3) penyatuan kembali ma-
nusia ke dalam sebuah status baru. Liminality, tingkatan kedua, merupakan
sebuah keadaan yang dialami seseorang selama masa peralihan berlang-
sung. Selama peroses peralihan berlangsung dari satu posisi ke posisi
lainnya, seseorang merasa dirinya terpisah dari status sebelumnya, tetapi
sepenuhnya belum menjadi bagian selanjutnya. Liminality, menurut Turner,
mampu mengembangkan sebuah komunitas.
Turner menerima definisi Merton tentang struktur sosial sebagai
susunan yang berpola (patterned arragements). Susunan seperti ini, menurut
Turner, tidak punya arah tanpa kehadiran sebuah komunitas. Komunitas
(communitas) adalah pandang ideal terhadap kebudayaan atau seperti yang
dikonsepkan oleh Turner pendekatan ethic terhadap masyarakat. Tindakan
sosial (social action) berada di belakang pencapaian tujuan yang dicita-
citakan. Liminality menyediakan individu untuk komunitas. Ketika sese-
orang menjadi anggota penuh dalam sebuah status, sebagai ujung dari
sebuah peralihan, maka ia sudah diterima di dalam komunitas dan ia
sanggup berpartispasi penuh di dalam setiap tindakan sosial yang ada.
Dia harus mempelajari aspek-aspek emic dalam status barunya melalui
proses peralihan (liminality). Terakhir, sosietas (tidak ada kaitannya dengan
society) merupakan sebuah proses yang melibatkan, baik struktur sosial
maupun komunitas.
Strategi Turner dalam mendekati sosietas tidak hanya semata-mata
struktur sosial, seperti yang dilakukan oleh Radcliffe-Brown atau Levi-
Strauss, tetapi lebih dari itu, yaitu berupa kombinasi antara struktural dan
ideologis. Jalan tengah untuk menunjukkan proses ini, bahwa liminal mem-
bentuk komitmen pribadi ke dalam komunitas. Tentu saja hal itu, merupa-
120
Proses perkembangan superorganik menurut A. L. Kroeber dikutip Koentjaraningrat
(1990: 185) adalah proses perkembangan kebudayaan yang seolah-olah melepaskan diri
dari evolusi organik dan terbang sendiri membumbung tinggi.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 490


kan hadiah dari komunitas yang memberi arah struktur sosial dan me-
mungkinkan untuk digunakan. Apa yang menarik dari argumen-argumen
Turner, bahwa umumya seperti Spencer dan Our kheim, ia tidak mengguna-
kan konsep culture. Turner mewanti kita, bahwa tanpa cultural, aspek
struktur sosial dati masyarakat tidak dapat digunakan. Adalah komunitas
(community) yang menggabungkan individu-individu di dalamnya, yang
mampu memberi arah struktur sosial.
Sejumlah publikasi telah diterbitkan Tunner, sebagai berikut:
1. Turner, Victor. [1957] 1996. Schism and Continuity in an African Society: A
Study of Ndembu Village Life. Berg Publishers.
2. Turner, Victor. [1968] 1981. The Drums of Affliction: A Study of Religious
Processes Among the Ndembu of Zambia. Ithaca, NY: Cornell University.
3. Turner, Victor. 1969. The Forest of Symbols: Aspects of Ndembu Ritual. Ithaca,
NY: Cornell University.
4. Turner, Victor. 1969. The Ritual Process: Structure and Anti-structure.
Walter De Gruyter Inc.
5. Turner, Victor. 1975. Dramas, Fields, and Metaphors: Symbolic Action in
Human Society. Ithaca, NY: Cornell University.
6. Turner, Victor. 1975. Revelation and Divination in Ndembu Ritual.
Ithaca, NY: Cornell University.
7. Turner, Victor. 1977. Secular Ritual. Assen: Van Gorcum.
8. Turner, Victor. 1978. Image and Pilgrimage in Christian Culture:
Anthropological Perspectives. New York, NY: Columbia University.
9. Turner, Victor. 1982. From Ritual to Theater: The Human Seriousness of Play.
New York: PAJ Publications.
10. Turner, Victor. 1986. On the Edge of the Bush: Anthropology as Experience.
Tucson, AZ: University of Arizona.
4. Clifford Geertz
Clifford James Geertz (San Francisco, 23 Agustus 1926–Phila-
delphia dan meninggal dunia 30 Oktober 2006). Ia adalah se-
orang ahli antropologi asal Amerika Serikat. Ia paling dikenal
melalui penelitiannya mengenai Indonesia dan Maroko dalam
bidang agama (khususnya Islam), perkembangan ekonomi,
struktur politik tradisional, serta Jawa, yang memopulerkan
dan mengelompokkan orang Jawa istilah: priyayi, santri dan abangan.
Sejak tahun 1970 hingga ia meninggal dunia menjabat sebagai profesor
emeritus di Fakultas Ilmu Sosial di Institute for Advanced Study. Ia juga
pernah menjabat sebagai profesor tamu di Departemen Sejarah Universitas
Princeton dari 1975 hingga 2000.
Geertz adalah antropolog yang tampil dengan gayanya sendiri.
Berbeda dengan pendahulu-pendahulunya --- seperti: Kroeber, Kluckhohn,

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 491


Ruth Benedict, Robert Redfield, Franz Boas, Ralph Linton, Bronislaw
Malinowski, Edward Sapir dan Margaret Mead --- ia mampu melakukan
revolusi di dalam tubuh antropologi. Sepintas lalu ide-idenya memang
sangat unik, namun setelah menukik lebih dalam, pandangannya ternyata
sangat cemerlang.
Geertz menghendaki, agar kebudayaan dipahami melalui keunikan-
nya, seluk beluk dan nuansa yang hendak disampaikan oleh seorang Geertz.
Membaca karya-karya Geertz berarti kita berada pada wilayah arkeologi
dengan pandangan, bahwa sebuah kebudayaan terekspose dan terekplisit
sedalam mungkin (layer by layer), karena bercokol di dalam imaginasi
mental manusia (human mental image) yang dapat dibaca. Buku Geertz
yang berjudul The Thick Interpretation of Cultures merupakan satu bukti dan
penjelasan, bahwa sifat kebudayaan memiliki sifat khusus dalam sebuah
konsep kebudayaan.
Geertz dengan secara terang-terangan menolak pendapat, bahwa
kebudayaan hanya dapat dimengerti melalui aplikasi teori-teori mutahir
(grand theory). Ia mengatakan, bahwa pendekatan yang paling baik untuk
pengembang konsep lebih lanjut adalah menangani problem-problem
secara khusus. Metode-metode seperti itu memperhalus, mempermudah
dan menjaga, agar konsep kebudayaan tetap berdayaguna. Ide Geertz
terhadap kebudayaan tidak elektik (electic) dengan menggunakan konsep
semantik (semantical concepts) dalam karya-karyanya. Ia percaya dengan
konsep Max Weber dan Durkheim, bahwa manusia itu dibayang-bayangi
oleh jaringan-jaringan signifikasi (arti) yang ia ciptakan sendiri. Oleh
karena itu, Geertz lebih banyak meneliti tentang arti (meaning) untuk
menyibak (explication), sastra untuk menjelasakan, tetapi hukum bukan
untuk berekperimen (experiment). Interpretasi (interpretation) merupakan
sebuah alat yang ia gunakan untuk mencapai tujuannya untuk menyibak
perilaku-perilaku manusia yang penuh dengan jaringan arti.
Proses yang ia lakukan dalam mengungkap arti disebutnya sebagai
thick description (sebuah istilah yang ia pinjam dari ahli filsafat Gilbert Ryle,
yang juga sangat berpengaruh dalam dunia antropologi di Inggris era 1950-
an). Thick description melihat fakta, bahwa beberapa aspek perilaku manusia
mempunyai lebih dari satu pengertian. Perilaku adalah gerakan badan yang
memilki banyak latar belakang signifikan (arti). Sekali lagi di sini dapat
dikatakan, demikian Geertz, bahwa analogi-analogi arkeologi sangat
bermanfaat untuk mengungkap kembali keragaman level pengertian.
Penemuan dan penyibakan intensi seperti ini menjadi peran bagi para
etnograf, yang dalam prosesnya mempertajam perlatan pokoknya melalui
konsep kebudayaan.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 492


Semasa hidupnya, Geertz telah menulis beberapa karya besar berikut
ini:
1. Geertz Jams Clifford. 1966. Religion as a Cultural System. In
Anthropological Approaches to the Study of Religion. Ed. Michael
Banton. pp. 1–46. ASA Monographs, 3. London: Tavistock Publications.
2. Geertz Jams Clifford. 1960. The Religion of Java . University Of Chicago
Press.
3. Geertz Jams Clifford. 1963. Peddlers and Princes: Social Development and
Economic Change in Two Indonesian Towns. University Of Chicago Press
4. Geertz Jams Clifford. 1964.Agricultural Involution: the process of ecological
change in Indonesia. Islam Observed, Religious Development in Morocco
and Indonesia (1968), University Of Chicago Press.
5. Geertz Jams Clifford. 1973.The Interpretation of Cultures. Basic Books.
6. Geertz Jams Clifford. 1975. Kinship in Bali coauthor: Hildred Geertz,
University Of Chicago Press.
7. Geertz Jams Clifford. 1980.Negara: The Theatre State in Nineteenth Century
Bali. Princeton University Press
8. Geertz Jams Clifford. 1983. Local Knowledge: Further Essays in Interpretive
Anthropology. Basic Books.
9. Geertz Jams Clifford. 1984. Anti-Anti-Relativism (1984), American Anthro-
pologist, vol. 86, no. 2.
10. Geertz Jams Clifford.1990.Works and Lives: The Anthropologist As Author.
Stanford University Press.
11. Geertz Jams Clifford. 1995. After the Fact: Two Countries, Four Decades, One
Anthropologist. Harvard University Press.
12. Geertz Jams Clifford. 2000. Available Light: Anthropological Reflections on
Philosophical Topics. Princeton University Press.
13. Geertz Jams Clifford. 2002. An inconstant profession: The Anthropological
Life in Interesting Times. Annual Review of Anthropology, vol. 31.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 493


REFERENCES

Jane B. Brooks. 2012. The Process of Parenting: Ninth Edition. McGraw-Hill


Higher Education.
Lippa, R. A. (2006). Is high Sex Drive Associated with increased Sexual Attraction
to Both Sexes? It Depends on Whether You Are Male Or Female.
Psychological Science.
Reber, Arthur S. dan Reber, Emily S. (2001). Dictionary of Psychology. New
York: Penguin Reference.
Bradt, Hilary dan Austin daniel. 2007. Madagascar (9th ed.). Guilford, CT: The
Globe Pequot Press Inc.
Alan Barnard. 2004. History and Theory in Anthropology. UK: Cambridge
University Press.
Martin Asher (March 11, 2010). Control Theory. Flow Chart Archived 2012-03-
04 at the Wayback Machine.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 494


BACAAN YANG DIANJURKAN

Abu Hamid. 2004. PASSOMPE: Pengembaraan Orang Bugis. Makassar: Pustaka


Refleksi.
______. 2003. Metodologi Penelitian Sosial: Suatu Strategi, Teknik dan Taktik Wawan-
cara. Makassar: Program Pascasarjana Unhas.
______. 2003. Siri & Pacce: Harga Diri Manusia Bugis. Makassar, Mandar dan Tator.
Makassar: Pustaka Refleksi.
______. 1981. Kebudayaan, Masyarakat dan Agama: Agama Sebagai sasaran Penelitian
Antropologi. Makalah disampaikan pada kuliah bagi para perserta Pusat
Latihan Penelitian Agama, Dep. Agama RI tanggaL 14 September. Jakarta:
IAIN (sekarang UIN).
______. 2006. Etnisitas, Kemajemukan dan Integrasi Nasional. Makalah dibacakan pada
Gelar Budaya Sulawesi Selatan yang diadakan oleh Dirjen Nilai Budaya,
Seni dan Film, tanggal 29 Mei 2006 di Enrekang.
Abdulsyani, 1992, Sosiologi Skematika Teori dan Terapan, Jakarta, Bumi Aksara.
Adimihardja, Kusnaka. 2004. Dampak Teknologi Terhadap Kebudayaan di Indonesia:
Sistem Pengetahuan Lokal dan Pembangunan Masyarakat Desa. Bandung (di-
akses Desember 2004).
______. 1999. Sistem Pengetahuan Lokal dan Pembangunan Masyarakat Desa Di
Indonesia, Jurnal Ekologi dan Pembangunan (Ecology and Development) No
2 terbitan bulan Mei 1999 – Ekologi Industri: Menuju Pembangunan
Ekonomi Berkelanjutan (Industrial Ecology: Towards a Sustainable Economic
Development). Bandung: PPSDAL.
Agus Maladi Irianto. 2005. Pencarian Identitas dan Integrasi Kebudayaan pada Masya-
rakat Multikultural. Seminar Internasional Keanekaragaman Budaya Seba-
gai Perekat Keutuhan Bangsa Menuju Indonesia Baru. Lustrum VIII
Fakultas Sastra UNDIP di Semarang tanggal 8 September 2005.
Allan Yooung. 1980. An Anthropological Perspective on Medical Knowledge.  The
Journal of Medicine and Philosophy.
Alan Barnard. 2004. History and Theory in Anthropology. United State of America :
Cambridge Press.
Al-Barry, Yacub, Dahlan, M.. 2000, Kamus Sosiologi dan Antropologi. Surabaya:
Indah.
Aliardi, Arif, 2001. Memahami Pengetahuan Lokal: Etika, Prinsip dan Metode. Bogor :
Pustaka Latin.
Almond, Gabriel & Sidney Verba. 1984. Budaya Politik: Tingkah Laku Politik
dan Demokrasi di 5 Negara. terjemahan Drs. Sahat Simamora. Bina Aksara:
Jakarta.
Andrian, Charles F, 1992, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, Yogyakarta,
Tiara Wacana.
Anton Bakker, Achmad Charris Zubair. 1990. Metode PenelitianFilsafat, (Yogyakarta :
Kanisius, 1990).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 495


Antonius Atosokhi Gea. 2004. Character Building III Relasi Dengan Tuhan. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo.
Arensberg C. 1940. Theoretical Contribution of Industrial and Development Studies. In
Applied Anthropology in America, ed. E. M. Eddy and W. Patridge, pp.
49-78 New York: Columbia University Press.
Arzaki Djalaluddin, dkk.. 2001. Nilai-Nilai Agama dan Kearifan Budaya Lokal: Suku
Bangsa Sasak dalam Pluralisme Kehidupan masyarakat. Nusa Tenggara Barat:
Relawan untuk Demokrasi dan HAM (REDAM).
Atkinson, P. (1983) Ethnography: Principle in Practice. London: Tavistock Publication.
Ayala FJ (2007). Darwin's greatest discovery: design without designer. Proc. Natl. Acad.
Sci. U.S.A. 104 Suppl 1: 8567–73.
Avise JC, Hubbell SP, Ayala FJ. (2008). In the light of evolution II: Biodiversity and
extinction. Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A.
Bachofen, J. J. 1967 [1859–1916]. Myth, Religion, and Mother Right: Selected Writings of
J. J. Bachofen (translated by Ralph Manheim). Princeton: Princeton Univer-
sity Press (Bollingen Series xxxiv).
Balandier, Georges. 1986. Antropologi Politik, cet. ke-1, C.V. Rajawali: Jakarta.
Barth, Fredrik. 1959. Political Leadership among Swat Pathans. London: Athlone Press.
_______. 1966. Models of Social Organization. London: Royal Anthropological Insti-
tute (Occasional Papers no. 23).
_______. 1969. Introduction to Ethnic Groups and Boundaries: The Social Organization of
Culture DiVerence. Bergen: Universitetsforlaget/London: George Allen &
Unwin.
Belas L. Ralph dan Hoijer Harry, 1959. An Introduction to Anthropology (Second
Edition). New York: The Macmillan Company.
Benedict, Ruth. 1946. The Chrysanthemum and the Sword. Boston: Houghton Mifflin
_______. 1934. Patterns of Culture. New York: The New American Library
Bennet W. John. 1976. Anticipation, Adaptation, and the Concepts of Culture in Anthro-
pology. Science vol. 192. number 4242, 28 May 1976.Berg, L. Bruce. 1989.
Quantitative Research Methods. A Phenomenotical Approach to The Social
Science. New York: Jhon Wiley and Sons.
Berreman Gerald. Et.a1. 1971. Cultural Anthropology Today. Californis: CRM Books.
Biezan John. 1969. An Introduction to Sociology. New York. Prentive Hall Inc. Biezan
John. 1969. An Introduction to Sociology. New York. Prentive Hall Inc.
Binford, L. R.. 1968. Post-Pleistocene Adaptation. In New Perspectives in Archelogi,
ed. S. R. binford and L. R. Binford pp. 313-341.chicago: Aldine.
Boas, Franz. 1887 (1974). Museums of ethnology and their classification. In George W.
Stocking, Jr. (ed.), The shaping of American anthropology, 1883–1917, 63–67.
New York: Basic Books.
_______. 1889 (1940). The aims of ethnology. In Franz Boas, Race, language, and culture,
626–638. New York: Basic Books.
_______. 1889 (1974). On alternating sounds. In George W. Stocking, Jr. (ed.), The
shaping of American anthropology, 1883–1911, 72–77. New York: Basic Books.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 496


_______. 1899. Advances in methods of teaching. In Race, language, culture, 621–625.
NewYork: Free Press.
_______. 1896. The Limitations of the Comparative Method of Anthropology. Science 4:
901–8
_______. 1928. Anthropology and Modern Life. New York: W. W. Norton & Co
_______. 1910. Publicaciones nuevas sobre la ling¨u´istica americana. In Rese˜na de la
segunda sesi´on del XVII Congreso Internacional de Americanistas, 225–232.
Mexico: Museo Nacional de Arqueolog´ia, Historia y Etnolog´ia.
Bogdan, Robert and, J. Steven. 1975. Introduction to Qualitative Research Methodes A
Phenomenological Approach to The Social Science. New York: Jhon Wiley and
Sons.
_______. 1993. Kualitatif, Dasar-dasar Penelitian. Surabaya: Usaha Nasional.
Bohannan Paul & Glazer, Mark. 1988. High Points in Anthropology (Second Edition).
New York: Alfred A, Knopf.
______. 1993. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional.
Bowler, Peter J. (2003). Evolution:The History of an Idea. University of California
Press.
________. 1989. The Mendelian Revolution: The Emergence of Hereditarian Concepts in
Modern Science and Society. Baltimore: Johns Hopkins University Press.
Boyer, P. (Ed.). 1993. Cognitive Aspects of Religious Symbolism. Cambridge, UK:
Cambridge University Press.
______. 2001. Religion Explained. London: Heinemann
Bradt, Hilary dan Austin, Daniel. 2007. Madagascar (9th ed.). Guilford, CT: The
Globe Pequot Press Inc.
Budihardjo, Miriam. 2009. Dasar-dasar Ilmu Politik, cetakan ke-8,: Gramedia: Jakarta
Bungin, Burhan (ed.). 2001. Metodolologi Penelitian Kualitatif: Analisis Metodologis
ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
_______. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif Pemahaman Filosofis dan Metodo-
logis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Burgees, R. G. 1982. Multiple Strategies in The Field Research. London: George Allen
Unwin.
Catherine Marquette. 1997. Turning but not Toppling Malthus: Boserupian Theory on
Population and the Environment Relationships. Working paper. Chr Michelsen
Institute Development Studies and Human Rights. Bergen Norway
______. 1977. Cultural Ecology. http:///www. dizzy. library.arizona. edu/ej/jpe/
anthenv/internet.hti. (diakses bulan Nopember 2004).
Carol R. Ember and Melvin R. Ember. 2014. Cultural Anthropology. Publisher:
Pearson Press.
Cain, M. dan Finch, J. 1981. Toward Rehabilitation of Data. London: George Allen
dan Unwin.
Campbell, D. T. dan Fiske D. W .. 1959. Convergent and Discriminant Validation by
the Multitrait-Multimethode Matrix. Psychological Bulletin.
______. 1981. Note on the Integration of Micro and Macro levels Analysis. London:
Routledge dan Kegal Paul.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 497


Capra Fritjof. 1991. The Tao of Physics. London: Flaminggo.
______. 1997. The Web of Life A New Synthesis of Mind and Mater. London: Harper
Collins Publisher.
______. 1988. Uncommon Wisdom Convertation whith Remarkable People. London:
Harper Collins Publisher.
______. 2000. Titik Balik Perdaban. Yogyakarta: Bentang.
______. 2002. The Hidden Connections: A Scientific for Sustainable Living. London:
Harper Collins Publisher.
Catherine Marquette. 1977. Cultural Ecology. Http://dizzy. library. arizona (diakses
bulan N opember 2004)
Charlotte, Seymour Smith. 1986. Dictionary of Anthropology. Boston: G. K. Hall and
Company.
______. 1990. Macmillan Dictionary of Anthropology. London and Basingstoke. The
Macmillan Press Ltd.
Chisholm, Hugh, ed. (1911). Clan: Encyclopædia Britannica. 6 (11th ed.). Cambridge
University Press.
Chris Hann and Keith Hard. 2011. Economic Antyropology: History, Ethnography and
Critique. UK: Policy Publisher
Cicourel, V., Aaron. 1964. Method and Measurement in Sociology. New York. Free
Press.
Claessen, H.J.M. 1987. Antropologi Politik, Suatu Orientasi. cet. ke-1, Erlangga: Jakarta.
Clemmer, Richard O., L. Daniel Myers, and Mary Elizbeth Rudden, eds. Julian
Steward and the Great Basin: the Making of an Anthropologist. University of
Utah Press, 1999.
Clifford, R. and P. Johnson. 2001. Jesus and the Gods of the New Age. Oxford, UK:
Lion.
Collingwood, R.. 1889-1943. The Idea of History. Oxford: Oxford University Press
______. 1956). Tagalog Speech Disguise. Language, Vol. 32, No. 1.
______. 1959a. Facts and Comments. Ecological Interpretations and Plant Domestication.
American Antiquity, Vol. 25, No. 2.
______. 1959b. Linguistic Play in Its Cultural Context. Language, Vol. 35, No. 4.
______. 1963. The Study of Shifting Cultivation. Washington: Technical Publications
______. 1967. An Ethnoecological Approach to Shifting Agriculture
______. 1980. Ethnographic Atlas of Ifugao: A Study of Environment, Culture, and
Society in northern Luzon
______. 1986. Symbolism and Beyond. Hanunóo Color Categories. Journal of Anthro-
pological Research, Vol. 42.
Corr, Philip J.; Matthews, Gerald (2009). The Cambridge handbook of personality
psychology (1. publ. ed.). Cambridge, U.K.: Cambridge University Press.
Cox, J. L. 1992. Expressing the Sacred. Harare, Zimbabwe: University of Zimbabwe
Press.
Cunningham, G. 1999. Religion and Magic. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Daniel L. Pals. 2001. Dekonstruksi Kebenaran : Kritik Tujuh Teori Agama, terj. Ridhwan
Muzir, M.Sykri, (Yogyakarta : Ircisod.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 498


Darwin, Charles. 1859. On the Origin of Species (1st ed.). London: John Murray. p. 1..
Related earlier ideas were acknowledged in Darwin, Charles (1861). On the
Origin of Species (3rd ed.). London: John Murray. xiii
David Bach. 2003. 1001 Financial Words You Need to Know. Oxford University Press,
USA.
Delamont. S.. 1981. All Too Familiar ? A Decade of Classroom Research. Educational
Analysis.
Denzin, N. 1970. The Research Art in Sociology. London: Butterworth.
Dineen, Patrick S. (1927). Foclóir Gaeďilge agus Béarla an Irish-English Dictionary.
Dublin and Cork, Ireland: The Educational Company of Ireland.
Djuretna A. Imam Muhdi, Moral dan Religi Menurut Emile Durkheim dan Henri
Bergson, (Yogyakarta : Kanisius 1994), 9.
Dorian, Nancy C. 1982. Defining the Speech Community to Include Its Working.
London: Arnold.
_______. 1993. A Response to Ladefoged’s Other View of Endangered Languages. London:
Arnold.
_______. 1989. Investigating pbsulescence language Contruction and Death. Cambridge:
Cambridge University Press.
Douglas, Mary. 1963 [1898]. Incest: The Nature and Origin of the Taboo (translated by
Edward Sagarin). New York: Stuart.
_______. 1966 [1897]. Suicide: A Study in Sociology (translated by John A. Spaulding
and George Simpson). New York: The Free Press.
_______. 1966. Purity and Danger: An Analysis of Concepts of Pollution and Taboo.
London: Routledge & Kegan Paul.
_______. 1969. Natural Symbols: Explorations in Cosmology. London: Routledge &
Kegan Paul.
______. 1975. Implicit Meanings: Essays in Anthropology. London and Boston: Rout-
ledge & Kegan
_______. 1978. Cultural Bias. London: Royal Anthropological Institute (Occasional
Papers no. 35).
_______. 1980. Evans-Pitchard. Glasgow: Fontana atau Collins (Fontana Modern
Masters).
_______. 1982. Introduction to grid atau group analysis. In Mary Douglas (ed.), Essays
in the Sociology of Perception. London: Routledge & Kegan Paul.
_______. 1996. Thought Styles: Critical Essays on Good Taste. London: Sage Publica-
tions.
Dónaill, Niall. 1992. Foclóir Gaeilge–Béarla. Dublin, Ireland: An Gúm.
Draghi J Turner P.. 2006. DNA secretion and gene-level selection in bacteria. Microbio-
logy (Reading, Engl.) 152 (Pt 9): 2683–8. PMID 16946263.
DuBois, Cora. 1944. The People of Alor.Minneapolis: University of Minnesota Press.
Duranti, Alessandro and Charles Goodwin (eds.). 1992. Rethinking context: language
as an interactive phenomenon. Cambridge: Cambridge University Press.
[Studies in the Social and Cultural Foundations of Language.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 499


Durkheim, Emile and Marcel Mauss. 1963 [1903]. Primitive ClassiWcation (translated
by Rodney Needham). London: Cohen & West
______. 1915. The Elementary Forms of the Religious Life. London: Allen and Unwin.
______. 1964. The Elementary Forms of the Religious Life. London: Allen-Unwin.
Dutton, Roderic. 1998. Local Knowledge in Tropical Agricultural Research and
Development (Peper on Tropical Agriculture Association Seminar), United
Kingdom : University of Durham.
Ellen, Roy F. 1993. The Cultural Relations of ClassiWcation: An Analysis of Nuaulu
Animal Categories from Central Seram. Cambridge: Cambridge University
Press.
Elliot Smith, Sir Grafton. (1871–1937) Australian anatomist based at Manchester and
London. The leading figure of the British *diffusionist school, he held the
eccentric belief that virtually all high culture the world over diffused from
ancient Egypt. Works include The Migrations of Early Culture (1915), The
Search for Mans Ancestors (1931), The Evolution of Man (1927) and The
Diffusion of Culture (l933).
Engels, Frederick. 1972 [1884]. The Origin of the Family, Private Property and the State,
in the Light of the Researches of Lewis H. Morgan. London: Lawrence &
Wishart.
Dutton, Roderic. 1998. Local Knowledge in Tropical Agricultural Research and Develop-
ment (Peper on Tropical Agriculture Association Seminar), United King-
dom: University of Durham.
El-Santoso dan Prianto. S. 2005. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Terbit
Terang.
Eliade M. 1959. The Sacred and The Frofane: The nature of Religion. New York:
Harcourt, Brace.
Epstein Mikhail. 1995. After the Future: The Paradoxes of Postmodernism and
Contemporary Russian Culture, Amherst: The University of Massachusetts
Press.
Evans-Pitchard, E. E. 1937. Witchcraft, Oracles and Magic among the Azande. Oxford,
U.K.: Clarendon Press.
______. 1940a. The Nuer. Oxford, U.K.: Oxford University Press.
______. 1940b. The Nuer of the Southern Sudan. In M. Fortes and E. E. Evans-Pitchard,
eds., African Political Systems. Oxford, U.K.: Oxford University Press.
______. 1951. Kinship and Marriage among the Nuer. New York: Oxford University
Press.
______. 1956. Nuer Religion. Oxford: Oxford University Press.
______. 1962. Social Anthropology and Other Essays. New York: The Free Press.
______. 1965. The Position of Women in Primitive Societies and Other Essays in Social
Anthropology. London: Faber and Faber.
Fernandez, J. W. 1978. ‘African Religious Movements’. Annual Review of Anthropo-
logy 7: 198–234.
Feuber Ludwig. 1957. The Essence of Christianuty. New York: Harver.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 500


______. 1969 [1949]. The Elementary Structures of Kinship (revised edition, translated
by James Harle Bell, John Richard von Sturmer, and Rodney Needham).
Boston: Beacon Press.
______. 1969b [1962]. Totemism. Harmondsworth: Penguin Books.
Fielding, N. G. 1988. Action Research: Research Method and Social Theory. Longon:
Sage.
Fielding, N. G. dan Fielding. J. T.. 1986. Lingking Data: Qualitative Research Network
Series 4. Longon: Sage.
Firth, Raymond. 1975. Speech-making and Authority in Tikopia. In Maurice Bloch, ed.
Political Language and Oratory in Traditional Society. London: Academic
Press, 29–43
______. 1989. Symbols Public and Private. New York. Cornell University Press.
Foucault, Michel. 1972. The Archeology of Knowledge and The Discourse onLanguage.
New York: Pantheon.
______. 1977. Discipline and Punish: The Birth of the Prison. New York: Vintage.
______. 1980. Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977.
New York: Pantheon.
______. 1979. Discipline and Punish, Harmondsworth: Penguin.
______. 1981. The History of Sexuality, Harmondsworth: Penguin.
______. 1989. The Archaeology of Knowledge, London: Routledge.
______. 2002a. Truth and power, in James D. Faubion (ed.), Michel Foucault Essential
Works: Power, Harmondsworth: Penguin.
______. 2002b. Question of method, in James D. Faubion (ed.), Michel Foucault
Essential Works: Power, Harmondsworth: Penguin.
______. 2002c. Truth and juridical forms, in James D. Fabion (ed.), Michel Foucault
Essential Works: Power, Harmondsworth: Penguin.
______. 2009. Method, in Cultural Theory and Popular Culture: A Reader, 4th edn,
edited by John Storey, Harlow: Pearson Education
Foster/Anderson. 2009. Antropologi Kesehatan, terj. UI-Press: Yogyakarta Frake. O.
Charles. 1964. A Structural Description of Subanun. Religious Behavior. In
Gooenough, 964: 111-29. Reprinted in Frake.
______. I 992b. Culture and Religion. Yogyakarta: Kanisius.
Frank. Elwell .2001. Harris on the Universal structure of societies, archived from the
original.
Frazer J. 1990. Toremisme and Exogamy. A. Treatis on Certain Ealrly Forms of Super-
tition and Society. London: MacMillan.
________. 1976. The Golden Bough. London: MacMillan
Freud Sigmund. 1953. Introductory Lectures on Psychoanalysis. New York:
Doubleday.
______. 1978. The Future of an Illusion. London: HigarthPress
______. 1913. Totem and Taboo. London: MacMillan.
Futuyma Douglas J. (2005). Evolution. Sunderland, Massachusetts Sinauer
Associates, Inc.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 501


Gelason. 1961. An Introduction to Descreptive Linguistics. (Revised Edition). New
York : Holt. Rinehart and Winston.
Goodenough, Ward H. 1956. Componential Analysis and The Study of Meaning.
Language 32: 195–216
Geertz, Clifford, ed. 1963. 1952 The Nature of Culture (1952). Chicago.
______. 1992. The Religion of Java. Chicagi dan London: The University of Chicagi
Press.
______. Old Societies and New States: The Quest for Modernity in Asia and Africa. New
York: The Free Press.
______.ed. 1966. Religion as a Cultural System. In Anthropological Approaches to the
Study of Religion. Ed. Michael Banton. pp. 1–46. ASA Monographs, 3.
London: Tavistock Publications.
______. 1968. Peddlers and Princes: Social Development and Economic Change in Two
Indonesian Towns. University Of Chicago Press.
______. 1968. Islam Observed, Religious Development in Morocco and Indonesia (1968),
University Of Chicago Press.
______. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.
______. 1976. The Religion of Java (1960), University Of Chicago Press.
______. 1976. From the Natives Point of View: On the Nature of Anthropological
Understanding. In Keith Basso and Henry A. Selby, eds. Meaning in Anthro-
pology. Albuquerque: University of New Mexico Press.
______. 1978. Kinship in Bali. Coauthor: Hildred Geertz, University of Chicago
Press.
______. 1980. Negara: The Theatre State in Nineteenthcentury Bali. Princeton: Princeton
University Press
______. 1990. Works and Lives: The Anthropologist As Author. Stanford University.
______. 1995. After the Fact: Two Countries, Four Decades, One Anthropologist.
Harvard University Press.
______. 2000. Local Knowledge: Further Essays in Interpretive Anthropology. Basic
Books.
______. 2000. Available Light: Anthropological Reflections on Philosophical Topics.
Princeton University Press.
______. 2001. Negara: The Theatre State in Nineteenth Century Bali. Princeton
University Press.
_______. 2002 An Inconstant Profession: The Anthropological Life in Interesting Times.
Annual Review of Anthropology 31:1–19.
Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.
______. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.
______. 1992. The Religion of Java. Chicagi dan London: The University of Chicagi
Press.
Gennef, van, Arnold. 1960. The Rites of Passage. New York: The University of
Chicago Press.
George Ritzar, Douglas J.Goodman. 1992. Teori Sosiologi, (Jakarta : Kreasi Warna.
George Ritzar, Douglas J.Goodman, Teori Sosiologi, (Jakarta : Kreasi Warna, 1992).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 502


Getubig. I. P.. 1992. Non-conventional Formd of Social Security Protection for The Poor
in Asia. Kuala Lumpur: Asian and Pacific Development Centre.
Giddens, A. 1976. New Rules in Sociology Method. London Hutchinson.
Gising, Basrah. 1986. Kasus Morfofonemik Bahasa Tolaki Dialek Mikongga, Makassar:
Lembaga Penelitian Unhas.
______. 2005. Manfaat Sistem Pengetahuan Lokal dalam Pengelolaan Hutan Berbasis
Masyarakat di Katoasan Hutan Adat Karampuang (Tesis). Makassar: Pasca-
sarjana Unhas.
______. 2004. Hutanku Jiwaku: Sebuah Kosmologi Ekologis Masyarakat Adat Karam-
puang. Makassar: Era Media.
______. 2008. Rutan Partisipatif: Terwujudnya Kesadaran Ekologis Masyarakat Lokal di
Sidenreng Rappang. Makassar Era Media.
______. 2008. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar. Makassar: Era Media.
______. 2009. Spektrum Kebudayaan Bugis: Sebuah Tantangan di Era Globalisasi.
Makassar: Alfaroby Press.
______. 2009. Kearifan Ekologis Pasang ri Kjang dalam Sistem Pengelolaan Hutan Adat di
Wilayah Adat Kajang (Disertasi). Makassar: Pascasarjana Unhas.
______. 2002. Sejarah Kerajaan Tanete Barru, Makassar: Sama Jaya.
______. 2004. Sejarah Kerajaan Bulo-Bulo Tondong Lamatti: Manifestasi Sinjai Bersatu,
Makassar: Alfaroby Press.
______. 2006. Metodologi Penelitian Bahasa dan Sosial, Makassar: Alfaroby Press.
______. 2007. Metodologi Penelitian Kebudayaan, Makassar: Alfaroby Press.
______. 2008. Metodologi Penelitian Bahasa Sosial, Makassar: Alfaroby Press.
______. 2009. Perang Mangarabombang: Menentang Agresi Inggris dan Belanda,
Makassar: Alfaroby Press.
______. 2015. Menambang Batu Gajah Ramah Lingkungan: Sebuah Bentuk Penerapan
Etno-Teknologi, Makassar: Alfaroby Press.
______. 2015. Berpetualangan dalam Filsafat Kekinian, Makassar: Alfaroby Press.
______. 2018. Wawasan Sosial Budaya dan Maritim: Bacaan bagi Mahasiswa Peserta
Mata Kuliah WSBM, Makassar: Alfaroby Press.
______. 2017. I-Language Stimuli: A Therapy Language for Dislexic, Makassar: Alfaroby
Press.
______. 2018. Ecomoni Subsitansi: Solusi dalam Menyelesaikan Kerisis Moneter, Makas-
sar: Alfaroby Press.
Ghiselin, Michael T.. 1994. Nonsense in schoolbooks: The Imaginary Lamarck, The
Textbook Letter, The Textbook League (dipublikasikan September-Oktober
1994), diakses pada 23 Januari 2008
Goodenough, Ward H. 1956. Componential Analysis and The Study of Meaning.
Language 32: 195–216
_______. 1964 (1957). Cultural anthropology and linguistics. In D. Hymes (ed.),
Language in culture and society, 36–39. New York: Harper and Row.
_______. 1971. Culture, language and society. Reading, MA: Addison-Wesley.
_______. 1981. Culture, language, and society. Menlo Park, CA: Benjamin/ Cummings

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 503


_______. (ed.). 2001a. Linguistic anthropology: a reader. Oxford: Oxford University
Press.
_______. (ed.). 2001b. Key terms in language and culture. Malden, MA: Blackwell
Publishers.
_______. 2003. Language as culture in US anthropology: three paradigms. Current
Anthropology 44(3): 323–335.
Gopala Sarana 1975. The Methodology of Anthropological Comparisons: An
Analysis of Comparative Methods in Social and Cultural Anthropology
(Viking Fund Publications in Anthropology), Dallas USA: University of
Arizona Press.
Garfinkel, H.. 1974. The Origins Of The Term Ethnomethodology, in R.Turner (Ed.)
Ethnomethodology, Penguin, Harmondsworth.
______. 1984. Studies in Ethnomethodology, Polity Press, Cambridge. Garfinkel, H.
(2002) Ethnomethodology's Program: Working out Durkheim's Aphorism,
Rowman & Littleford, Lanham.
Gube G. Egon. 1987. Menuju Metodologi Inkuiri Naturalistik dalam Evolusi Pendidikan.
Jakarta: Jambatan.
Gudeman Stephen. 2001. The Anthropology of Economy: Community, Market, and
Culture. USA Blackwell Publishers Ltd.
Hall, E. T. 1966. The Hidden Dimension. Garden City, N.Y.: Dobleday
Hamilton, M. 2001. The Sociology of Religion. London: Routledge
Hanunersley, M. (1985) The Dilemma of Qualitatif Methods: Herbert Blumer and the
Chicago Tradition. London. Routledge dan Kegal Paul.
Harold Colyer Conklin. 1955a Hanunóo Color Categories. South-western Journal of
Anthropology, Vol. 11, No. 4.
______. 1955b. The Relation of Hanunoo Culture to the Plant World
Harris, Marvin. 1968. The Rise of Anthropological Theory. New York: Thomas Y.
Crowell.
______. 1974. Cows, Pigs, Wars, and Witches: The Riddles of Culture. New York:
Random House.
______. 1979. Cultural Materialism: The Struggle for a Science of Culture. New York:
Random Hous
______. 1979. Cultural Materialism: The Struggle for a Science of Culture. New York:
Random Hous
______. 1975. Cows, Pigs, Wars and Witches: The Riddles of Culture. London: Hutchin-
son & Co. Reissued in 1991 by Vintage, New York.
______. 1977. Cannibals and Kings: The Origins of Cultures. New York: Vintage.
______. 1981. Why Nothing Works: The Anthropology of Daily Life. New York: Simon &
Schuster. (Previously America Now: The Anthropology of a Changing Culture)
______. 1987. Harris, Marvin, & Ross, Eric B., eds. (1987). Food and Evolution: Towards
a Theory of Human Food Habits. Philadelphia: Temple University Press.
______. 1990. Our Kind: who we are, where we came from, where we are going. New
York: HarperCollins/Harper Perennial. Good to Eat: Riddles of Food and Culture.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 504


Illinois: Waveland Press. 1998. (Previously published 1985 by Simon &
Schuster. Previously titled The Sacred Cow and the Abominable Pig).
______. 2001a. [First published 1968]. The Rise of Anthropological Theory: A History
of Theories of Culture, Walnut Creek, California: AltaMira Press.
______. 2001b, [First published 1979]. Cultural Materialism: the Struggle for a Science
of Culture (Updated ed.), Walnut Creek, California: AltaMira Press.
Harwood AJ (1998). Factors affecting levels of genetic diversity in natural populations.
Philos. Trans. R. Soc. Lond., B, Biol. Sci. 353 (1366): 177–86. PMID 9533122.
doi:10.1098/rstb.1998.0200.
Haviland, A. William. 1993. Antroplogi, Edisi Kempat, Jilid 1 dan 2. Jakarta: Erlang-
ga.
Heddy Shri Ahimsa Pustra, Wacana Seni Dalam Antropologi Budaya: Tekstual,
Kontekstual dan Post-Modernistis, dalam Ketika Orang Jawa Nyeni (Yogya-
karta: Galang Press
Hinde, R. A. 1999. Why Gods Persist. London: Routledge.
Hoebel Adamson E.. 1972. Anthropology: A Study of Man (fourth edition). New
York: MacGraw-Hill Book Company.
Holmes D. Lowell. 1965. Anthropology: An Introduction. New York: The Ronald
Press Company. Harcourt Brace Jovanovich. Inc.
Honingmann J. J.. 1973. The Development of Anthropological Ideas. Homewood Clifft:
Dorsey Press.
Hooguelt, Ankle MM, 1995 Sosiologi Sedang Berkembang, Jakarta, Raja Grafindo
Persada.
Horton, R. 1971. ‘African Conversion’. Africa 41: 85–108
Hunter K. E. David and Whitten Phillip. 1982. Anthropology: Contemporary
Perspec-tive (Third Edition). Boston: Little, Brown and Company.
Huntington, Samuel. 1996. The Clash of Civilizations: Remaking of the World Order.
New York: Simon and Schuster.
Humboldt, Wilhelm von. 1795 (1903). Theorie der Bildung des Menschen. In Albert
Leitzmann (ed.), Wilhelm von Humboldts Gesammelte Schriften, i.282–287.
Berlin: B. Behr.
_______. 1820 (1905). Ueber das vergleichende Sprachstudium in Beziehung auf die
verschiedenen Epochen der Sprachentwicklung. In Albert Leitzmann (ed.),
Wilhelm von Humboldts Gesammelte Schriften, iv.1–34. Berlin: B. Behr.
_______. (1906). Notice sur une grammaire japonaise imprim´ee `a Mexico. In Albert
Leitzmann (ed.), Wilhelm von Humboldts Gesammelte Schriften, v.237–248.
Berlin: B. Behr.
_______. 1829 (1907). Von dem grammatischen Baue der Sprachen. In Albert Leitzmann
(ed.), Wilhelm von Humboldts Gesammelte Schriften, vi. 337–486.
_______. 1836 (1988). On language: the diversity of human language-structure and its
influence on the development of mankind. Peter Heath, trans. Cambridge:
Cambridge University Press.
Hoijer, Harry et al. (ed.) 1946. Linguistic structures of native America.New York: The
Vilecing Fund.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 505


Hymes, Dell. 1961. On typology of cognitive styles in language. Anthropological Lingu-
istics 3 (1): 22–54.
_______. (ed.). 1964. Language in culture and society: a reader in linguistics and
anthropology. New York: Harper and Row.
_______. (ed.). 1964. Language in culture and society: a reader in linguistics and
anthropology. 1966. Two types of linguistic relativity. In William Bright
(ed.), Sociolinguistics, 114–167. The Hague: Mouton.
_______. (ed.). 1964. Language in culture and society: a reader in linguistics and
anthropology. 1981. In vain I tried to tell you. Essays in native American ethno-
poetics. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
_______. and John Fought. 1975. American structuralism. In Thomas Sebeok (ed.),
Current trends in linguistics: historiography of linguistics, 903–1176, 13. The
Hague: Mouton.
Irwan Djamal Zoer’Aini. 2003. Prinsip-Pinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem
Komunitas & Lingkungan. Jakarta : Bumi Aksara.
Ian C. Johnston (1999). History of Science: Early Modern Geology. Malaspina Univer-
sity-College.
Jane B. Brooks (28 September 2012). The Process of Parenting: Ninth Edition. McGraw-
Hill Higher Education
J. S. Badudu. 2003. Kamus kata-kata serapan asing dalam Bahasa Indonesia. Jakarta:
Penerbut Buku Kompas.
Jensen, J. S. and L. H. Martin (Eds.). 1997. Rationality and the Study of Religion.
London: Routledge.
______. 1982. Bwitti: An Ethnography of the Religious Imagination in Africa. Princeton,
NJ: Princeton University Press
Jensen, T. and M. Rothstein (Eds.). 2000. Secular Theories of Religion. Copenhagen:
Tusculanum Press
Johnson G. Allan. 1986. Human Arragements: An Introduction to Sociologi. New York:
Hanunersley.
Johnson G. Allan. 1986. Human Arragements: An Introduction to Sociologi New York:
Jung C. 1938. The Psychology and Religion. New Haven: Yale University Press.
______. I 972. Synchronicity, An Causal Connecting Principle. London: Rotladge &
Kegan Paul.
Khun Thomas S.. 1962. The Structure Of Scientific Revolution: a Brilliant, Original
Analysis of Revolutions Consequences of Revolutions in Basic Scientific
concepts. Cichgi : University of Chicago Press.
Kluckhohn, C. 1942. Myth and Rituals: an general Theory. United States of America:
Havard Theological Reviews.
Kaplan, David dan Manners, A. Albert. 2000. Teori-Teori Budaya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Karlina, Leksono-Supelli. 2003. Awal Sebuah Pemahaman Media Kerjabudaya (On-
line).
Kartasubrata, Yunus, 2003. Social Forestry dan Agroforestry di Asia (Buku I & II).
Bogor: Lab. Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan Fak. Kehutanan, IPB.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 506


Kaswan Darmadi, 2005. Keterkaitan Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif dalam Studi
Linguistik Historis Komparatif (online).
Kay, Paul and Luisa Maffi. 1999. Color appearance and the emergence and evolution of
basic color lexicons. American Anthropologist.
______. 1978. The linguistic significance of the meanings of basic color terms. Language 54:
610–646.
______. 1984. What is the Sapir–Whorf hypothesis? American Anthropologist 86: 65–79.
______. and William Merrifield. 1991. Biocultural implications of systems of color
naming. Journal of Linguistic Anthropology 1: 12–25.
______. and Terry Regier. 2003. Resolving the question of color naming universals (pdf).
Proc. Nat. Acad. Sci. 100, 9085–9089.
______. Luisa Maffi, and William Merrifield. 1997. Color namingacross languages. In
C. L. Hardin and Luisa Maffi (eds.), Color categories in thought and language,
21–57. Cambridge: Cambridge University Press.
______. 2005. The world color survey. CSLI Publications.
______. Paul. 1975. Synchronic variability and diachronic change in basic color terms.
Language in Society.
______. 1996. Intra-speaker relativity. In John J. Gumperz and Stephen C. Levinson
(eds.), Rethinking linguistic relativity, 97–114. Cambridge: Cambridge
University Press.
______. 1999. The emergence of basic color lexicons hypothesis. In Alexander Borg (ed.),
The language of colour in the Mediterranean, 76–90. Stockholm: Almquist and
Wiksell International. (in press) Color categories are not arbitrary. Color
cognition and culture a special issue of the Journal of Cross-Cultural Research,
ed. Kimberly Jameson and Nancy Alvarado
Kant, Immanuel. 1991 (1768) Von dem Ersten Grunde des Unterschiedes der Gegenden
im Raume (Translation On the first ground of the distinction of regions in
space.) In The philosophy of right and left, 27–33. J. van Cleve and R. E.
Frederick (eds.). Dordrecht: Kluwe
Keesing, M. Roger. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer Jilid I dan
II. Jakarta: Erlangga.
_______. 1992. Through Radcliffe-Browns spectacles: reflections on the history of anthropo-
logy. History of the Human Sciences
_______. 1995. Orang Outang and the deWnition of Man: the legacy of Lord Monboddo. In
Han F. Vermeulen and Arturo Alvarez Roldan (eds.), Fieldwork and
Footnotes: Studies in the History of European Anthropology (E.A.S.A. Mono-
graphs Series). London: Routledge.
_______. 1996. Regional comparison in Khoisan ethnography: theory, method and
practice. Zeitschrift fu¨ r Ethnologie.
_______. 1999. Modern hunter-gatherers and early symbolic culture. In Robin Dunbar,
Chris Knight, and Camilla Power (eds.), The Evolution of Culture: An
Interdisciplinary View. Edinburgh: Edinburgh University Press.
_______. Barnard, Alan and Anthony Good. 1984. Research Practices in the Study of
Kinship. London: Academic Press.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 507


_______. Barnard, Alan and Jonathan Spencer (eds.). 1996. Encyclopedia of Social and
Cultural Anthropology. London: Routledge
Keesing, M. Roger. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer Jilid I dan
II. Jakarta: Erlangga.
_______. 1971. New Perspectives in Cultural Anthropology. Holt, Rineheart and
Winston, (coauthored with Felix M. Keesing).
_______. 1985. Kin Groups and Social Structure. Holt, Rinehart and Winston.
Thomson Learning,
_______. 1976. Cultural Anthropology: A Contemporary Perspective. Holt, Rinehart and
Winston. 2nd ed. CBS College Publishing, 1981. 3rd ed. Wadsworth, 1997
(edited by Andrew Strathern).
_______. 1992. Custom and Confrontation: Kwaio Struggle for Cultural Autonomy.
University of Chicago Press, 1992.
Kaplan, David dan Manners, A. Albert. 2000. Teori-Teori Budaya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Kartasubrata, Junus, 2003. Social Forestry dan Agroforestry di Asia (Buku I & II).
Bogor: Lab. Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan Fak. Kehutanan, IPB.
Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Kesejahteraan
Sosial Komunitas Adat Terpencil, Jakarta: Skretaris Negera.
Khun Thomas S.. 1962. The Structure Of Scientific Revolution: a Brilliant, Original
Analysis of Revolutions Consequences of Revolutions in Basic Scientific concepts.
Cichgi: University of Chicago Press.
Kluckhohn, C. 1942. Myth and Rituals: a General Theory. United States of America:
Havard Theological Reviews.
Knor-Centina, K. 1988. The Microsocial Order: Towards Conception. London: Rout-
ledge dan Kegal Paul.
Kobben, AJ. (1952) The New Ways of Presenting an Old Idea: The Statistical Method in
Anthropology, Journal of the Royal Anthropological Institute, 83:129–46
Koentjaraningrat, 1972. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta.
_______. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta.
_______. 1992: Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
_______. dkk., 2003. Kamus Istilah Antropologi. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional.
_______. 2004. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Kottak Philip. 1991. Anthropology: The Exploration of Human Diversity, edisi V, New
York: McGraw-Hill, Inc ..
Kridalaksana Harimurti. 2001. Kamus Linguistik; Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Kroeber A. L. dan Kluckhohn C. 1952. Culture: A Critical Review of Concept and
Definitions. Peabody Museum Papers 47. 1. Cambridge: Mass : Havard
University Press.
_______. 1907. Indian Myths of South Central California, in University of California
Publications in American Archaeology and Ethnology 4:167-250. Berkeley (Six
Rumsien Costanoan myths, pp. 199–202); online at Sacred Texts.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 508


_______. 1907. The Religion of the Indians of California, in University of California
Publications in American Archaeology and Ethnology 4:6. Berkeley, sections
titled Shamanism, Public Ceremonies, Ceremonial Structures and Parapher-
nalia, and Mythology and Beliefs; available at Sacred Texts
_______. dan Kluckhohn C.. 1952. Culture: A Critical Review of Concept and
Definitions. Peabody Museum Papers 47. 1. Cambridge: Havard University
Press.
_______. dan Kluckhohn C. 1952 The Nature of Culture (1952). Chicago.
_______, dan Kluckhohn C. 1963. Anthropology: Culture Patterns & Processes (1963).
New York: Harcourt, Brace & World (earlier editions in 1923 and 1948).
_______, 1925. Handbook of the Indians of California, Washington, D.C: Bureau of
American Ethnology Bulletin No. 78
Kutschera U, Niklas K. 2004. The modern theory of biological evolution: an expanded
synthesis. Naturwissenschaften.
Kuhn, Thomas S. 1970 [1962]. The Structure of Scientific Revolutions (second edition).
Chicago: University of Chicago Press.
Kuper, Adam(ed.). 1977. The Social Anthropology of Radcliffe-Brown. London: Rout-
ledge & Kegan Paul.
_______. 1979 [1977]. Regional comparison in African anthropology. African AVairs 78:
103–13.
_______. 1979b. A Structural Approach to Dreams. Man (n.s.) 14: 645–62.
_______. 1982. Wives for Cattle: Bridewealth and Marriage in Southern Africa. London:
Routledge & Kegan Paul.
_______. 1988. The Invention of Primitive Society: Transformations of an Illusion.
London: Routledge.
_______. 1992. Post-Modernism, Cambridge and the Great Kalahari Debate. Social
Anthropology 1: 57–71.
_______. 1994. The Chosen Primate: Human Nature and Cultural Diversity. Cambridge,
MA: Harvard University Press.
_______. 1996 [1973]. Anthropologists and Anthropology: The Modern British School
(third edition). London: Routledge.
_______. 1999. Culture: The Anthropologists Account. Cambridge, MA: Harvard
University Press
_______. 1961a. Pul Eliya, a Village in Ceylon: A Study of Land Tenure and Kinship.
Cambridge: Cambridge University Press.
_______. 1961b[1945–61]. Rethinking Anthropology. London: The Athlone Press
(L.S.E. Monographs on Social Anthropology).
_______. (ed.). 1967. The Structural Study of Myth and Totemism (A.S.A. Monographs
5). London: Tavistock Publications
_______. 1970. Le´vi-Strauss. Glasgow: Fontana/Collins (Fontana Modern Masters).
_______. 1976a. Social Anthropology: A Natural Science of Society? (Radcliffe-Brown
Lecture, 1976). Oxford: Oxford University Press.
_______. 1976b. Culture and Communication: The Logic by which Symbols are Connected.
Cambridge: Cambridge University Press

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 509


Kuran Timur. 2007. Cultural Integration and Its Discontents. Department of Eco-
nomics of Duke University 213 Social Sciences Building, NC 27708,
Durham : Duke University
LaBarre Wiston, 1970. The Ghost Dance. The Iapanes: Journal of Psyciatry.
Labov, William. 1972. Sociolinguistic patterns. Philadelphia: University of Pennsyl-
vania Press.
_______. 1981. Resolving the neogrammarian controversy. Language 57(2
_______. 1984. Intensity. In D. Shiffrin (ed.), Meaning, form, and use in context:
linguistic applications, 43–70. Georgetown University Round Table on
Languages and Literature. Washington: Georgetown University Press.
_______. 1991. The three dialects of English. In Penelope Eckert (ed.), New ways of
analyzing sound change, 1–44. San Diego: Academic Press.
_______. 1994. Principles of linguistic change, Volume 1. Internal factors. Oxford:
Blackwell.
_______. 2001. Principles of linguistic change, Volume 2. Social factors. Oxford:
Blackwell.
Lippa, R. A. (2006). Is high Sex Drive Associated with increased Sexual Attraction to
Both Sexes? It Depends on Whether You Are Male Or Female. Psychological
Science.
Lowie R. H. 1973. Primitive Society. New York: Liveright.
Keesing, Roger. 1972. Paradigms lost: the new anthropology and the new linguistics.
Southwestern Journal of Anthropology 28(4).
_______. 1981. Cultural anthropology: a contemporary perspective. New York: Holt,
Rinehart, Winston.
_______. 1987. Models, folk and cultural: paradigms regained? In D. Holland and N.
Quinn (eds.), Cultural models in language and thought, 369–93. Cambridge:
Cambridge University Press.
_______. 1988. Melanesian pidgin and the oceanic substrate. Stanford: Stanford Univer-
sity Press.
_______. 1992. Anthropology and linguistics. In M. Putz (ed.), Thirty years of linguistic
evolution, 593–602. Amsterdam: John Benjamins.
_______. 1993. The lens of enchantment. Culture 13(1): 57–59. Kay, Paul and Brent
Berlin. 1997. Science? Imperialism: there are non-trivial constraints on
color categorization. Behavioral and Brain Sciences 20: 196–201.
_______. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer Jilid I dan II. Jakarta :
Erlangga.
Lande R, Arnold SJ (1983). The measurement of selection on correlated characters.
Evolution 37.
Lass, Roger. 1997. Historical linguistics and language change. Cambridge: Cambridge
University Press
Leach, Edmund R. 1954. Political Systems of Highland Burma. Boston: Beacon Press
______. 1961. Rethinking Anthropology. London: Athlone Press Harris, Marvin. 1968.
The Rise of Anthropological Theory. New York: Thomas Crowell Co.
______. 1974. Cows, Pigs, Wars and Witches. New York: Vintage.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 510


______. 1977. Cannibals and Kings: The Origins of Culture. New York: Vintage
Le´vi-Strauss, Claude. 1963 [1958] [1945–58]. Structural Anthropology (translated by
Clare Jacobson and Brook Grundfest Schoepf ). New York: Basic Books.
_______. 1966a. The future of kinship studies. Proceedings of the Royal Anthro-
pological Institute.
_______. 1966b [1962]. The Savage Mind. Chicago: University of Chicago Press.
_______. 1968. The concept of primitiveness. In Richard B. Lee and Irven DeVore
(eds.), Man the Hunter. Chicago: Aldine Publishing Company.
_______. 1969a [1949]. The Elementary Structures of Kinship (revised edition, trans-
lated by James Harle Bell, John Richard von Sturmer, and Rodney Need-
ham). Boston: Beacon Press.
_______. 1969b [1962]. Totemism. Harmondsworth: Penguin Books.
_______. 1976 [1955]. Tristes Tropiques (translated by John and Doreen Weightman).
Harmondsworth: Penguin Books.
_______. 1978a. Myth and Meaning. London: Routledge & Kegan Paul.
_______. 1978b[1968]. The Origin of Table Manners: Introduction to a Science of Mytho-
logy, 3 (translated by John and Doreen Weightman). London: Jonathan
Cape.
_______. 1988 [1950]. Introduction to the Work of Marcel Mauss. London: Routledge.
_______. 1997 [1993]. Look, Listen, Read (translated by Brian C. J. Singer). New York:
Basic Books.
_______. and Didier Eribon. 1991 [1988]. Conversations with Claude Le´vi-Strauss
(translated by Paula Wissing). Chicago: University of Chicago Press
Le´vy-Bruhl, Lucien. 1926 [1910]. How Natives Think (translated by Lilian A. Clare).
London: George Allen & Unwin.
Lincoln, R.J. Boxhall, G.A dan Clark P.F. 1981. A Dictionary of Ecology, Evolution and
Systematics. London : Cambridge University Press.
Linton Ralph, 1965. The Cultural Background of Personality, New York: Appleton
Crosta.
_______. 1940. The Study of Man. New York: Appleton.
_______. 1979. The Ethnographic Interview. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Lowie, Robert H. [1927] 1962. The Origin of the State. Reprint, New York: Russell and
Russell
_______. 1973. Primitive Society. New York: Liveright. Luzbetak.
Louis J.. 1970. The Church and Cultures. Illionis: Devine Word Publication Techny.
Luzbetak. Louis J.. 1970. The Church and Cultures. Illionis: Devine Word Publication
Techny.
Madjid, N. 2000. Masyarakat Religius. Jakarta: Pavamadina.
Magner, LN (2002). A History of the Life Sciences, Third Edition, Revised and Expanded.
Malinowski, Bronislaw. 1877. Ancient Society; or, Researches in the Lines of Human
Progress from Savagery through Barbarism to Civilization. New York: Henry
Holt.
______. 1984 [1922]. Argonauts of the Western Pacific. Long Grove, IL: Waveland
Press.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 511


______. 1927a. The Father in Primitive Psychology. New York: W. W. Norton &
Company.
______. 1927b. Sex and Repression in Savage Society. London: Kegan Paul.
______. 1934. Introduction. In H. Ian Hogbin, Law and Order in Polynesia: A Study of
Primitive Legal Institutions. London: Christophers, pp. xvii–lxxii
______. 1935. Coral Gardens and Their Magic: A Study of the Methods of Tilling the Soil
and of Agricultural Rites in the Trobriand Islands (2 vols.). London: George
Allen and Unwin.
______. 1944 [1939–42]. A ScientiWc Theory of Culture and Other Essays. Chapel Hill:
University of North Carolina Press.
______. 1948 [1916–41]. Magic, Science and Religion and Other Essays (selected by
Robert RedWeld). Glencoe, IL: The Free Press.
______. 1948. Magic, Science, and Religion and Other Essays. Garden City, NY:
Doubleday Anchor Books
______. 1961 [1945]. The Dynamics of Culture Change: An Inquiry into Race Relations in
Africa. New Haven and London: Yale University Press
______. 1964. An Anthropological Analysis of War. In L. Bramson and G. Goethals,
eds. War: Studies from Psychology, Sociology, Anthropology. New York: Basic
Books, 245–68.
______. 1967. A Diary in the Strict Sense of the Term. London: Routledge & Kegan
Paul Morgan, Lewis Henry. 1871. Systems of Consanguinity and AYnity of the
Human Family (Smithsonian Contributions to Knowledge, vol. 17).
Washington: Smithsonian Institution.
Margolis, Maxine L (2001). Introduction, in Marvin Harris, The Rise of Anthropological
Theory: A History of Theories of Culture, 2001a (first published 1968).
Mallet J (2007). Hybrid speciation. Nature 446 (7133): 279–83.
Marran Raga Rafael. 2000. Manusia dan Kebudayaan: dalam Perspekiif Ilmu Budaya
Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.
Mark S. Smith. 2008. God in Translation: Cross Cultural Recognition of Deity in Biblical
World. Tubingen: Mohr Siebeck.
Mariasusai Davamhony. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta:Kanisius. Hlm 124
Marvin Harris. 2004. Cultural Materialism, Visions of Culture: An Introduction to
Anthropological Theories and Theorists (2nd ed.), Walnut Creek, CA: AltaMira
Press
Martin Asher (March 11, 2010). Control Theory. Flow Chart Archived 2012-03-04 at
the Wayback Machine.
Mattulada. 1995. Latoa: Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik
Orang  Bugis. Hasanuddin University Press: Ujung Pandang.
Marret R., R.. 1900. The Thereshold of Religion. London: Macmillan.
Marx, Karl. 1951, Theories of Surplus Value, London: Lawrence & Wishart.
______. 1973, Grundrisse, Harmondsworth: Penguin.
______. 1976a. Preface and Introduction, in Contribution to the Critique of Political
Economy, Peking: Foreign Languages Press.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 512


______. 1976b, Theses on Feuerbach, in Ludwig Feuerbach and the End of Classical
German Philosophy, by Frederick Engels, Peking: Foreign Languages Press.
______. 1976c. Capital, Volume I, Harmondsworth: Penguin.
______. 1977. The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte, Moscow: Progress
Publishers.
______. and Frederick Engels. 1957. On Religion, Moscow: Progress Publishers.
______. and Frederick Engels. 1974. The German Ideology (student edition), edited
and introduced by C.J. Arthur, London: Lawrence & Wishart.
______. and Frederick Engels. 2009. Ruling Class and Ruling Ideas, in Cultural Theory
and Popular Culture: A Reader, 4th edn, edited by John Storey, Harlow:
Pearson Education
Marzali. 1980. Metode Penelitian Kasus, Berita Antropologi.
Marzali, MA.), Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
Massey, D. dan Allone, J.. 1988. The Economy in Question. London: Sage
Mayeux R (2005). Mapping the new frontier: complex genetic disorders. J. Clin. Invest.
McCauley, R. N. and E. T. Lawson. 2002. Bringing Ritual to Mind. Cambridge, UK:
Cambridge University Press.
McCrajen, G. 1988. The Long Interview: Qualitative Research Series. London: Sage
McGlynn, Frank & Arthur Tuden (editor). 2000. Pendekatan Antropologi pada Perilaku
Politik. UI Press: Jakarta
McGuire B. Meredith. 1992. Relegion: The Soscial Context. Belmont, Califrnia:
Wadsworth Inc.
Mead Margaret. 1970. Culture and Commitment: A Studi of the Generation Gap. New
York: Natural History Press.
Media Kareba Edisi 2 Mei 2001. Makassar-ORNOP Sul-Sel bekerjasama dengan Fiet
Indonesia.
Melalatoa, M. J.. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta: Indonesia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Mitchell, Bruce, Setiawan B. & Rahmi Hadi Dewita. 1997. Pengelolaan Sumber Daya
dan Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Michaël Devaux and Marco Lamanna. 2009. The Rise and Early History of the Term
Ontology (1606–1730), Quaestio.Yearbook of the History of the Metaphysics.
Mitchell, Bruce, Setiawan B. & Rahmi Hadi Dewita. 1997. Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkung-an. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
_______. 2003. Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Morris Brian. 2003. Antropologi Agama: Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer.
Yogyakarta: Al-Group Press.
_______. 1993. The Emergence of Islam: Lectures on the Development of Islamic
Worldview, Intellectual Tradition and Polity.
Morris, B. 1970. ‘Ernest Thompson Seton and the Origins of the Woodcraft
Movement’.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 513


Murphy E. Robert. 1980. Food end Population: Global Concern. Washinton, D.C.:
U.S. Government Printing Office, Office of Educations Oxford English
Dictionary (3rd ed.). September 2005. Oxford University Press
Muller, F. Max. 1977 [1892]. Anthropological Religion. New Delhi: Asian Educational
Services.
Murdock P. George. 1956. How Culture Change, dalam Harry L. Sapiro ed. Man,
Culture and Society. Chicago; Chicago University Press.
Murphy E. Robert. 1980. Food end Population: Global Concern. Washinton, D.C.: U.S.
Government Printing Office, Office of Educations.
Natan Macdonald. 2012. Deuteronomy and the Meaning of Monotheism: 2nd Edition.
Tubingen: Mohr Siebeck.
Nida, Eugene A.. 1959. Principles of translation As Exemplified by Bible Trans-lating. In
Reuben A. Brower (ed.), On Translation. Cambridge, MA: Harvard
University Press
Nurdjaman Progo, 2000. Metode Penelitian Terapan dan Kebijaksanaan. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri dan
Otonomi Daerah.
Obeyeskere G. 1981. Medusas Hair. Chicago: The University of Chicago Press.
Oetting WS, Brilliant MH, King RA (1996). The clinical spectrum of albinism in
humans. Molecular medicine today.
OBrien, Flann. 1977. The hair of the dogma. London: Hart-Davis.
Orlove Benjamin S.. 1980. Ecological Anthropology: Annual Review of Anthro-
pology, Vol. 9 (1980), pp. 235-273. Published by: Annual Reviews.
Oshry Barry .2008. Seeing Systems: Unlocking the Mysteries of Organizational Life.
Berrett-Koehler.
Oxford English Dictionary (3rd ed.). Spetember 2005. Engeland: )xford University
Press.
Parsudi Suparlan dalam Robertson, Roland (ed)., Agama : Dalam Analisis dan
Interpretasi Sosiologis, (Jakarta : Rajawali, 1988).
Peter Beliharz, Social Theory : A Guide to Central Thinkers, terj. Sigit Jatmiko, Teori-
teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka, (Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 2003).101.
Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan: Dalam Perspektif Antropologi.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Psathas G. (1995) Talk and Social Structure' and 'Studies of Work, in Human Studies,
18: 139–155.
Pujileksono Sugeng. 2006. Petualangan Antropologi: Sebuah Pengantar Ilmu
Antropologi. Malang: UPT Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang.
Pals, L., Daniel. 2001. Seven Theory of Relgion: Dari Animisme E.B. Tylor,
Materialisme Karl Marx Hingga Antropology Budaya Geerzt. Yogya-karta:
Qalam.
Panji Anaraga. 2001. Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta.
Parsons. 1966. The Development of A Prehistoric Complex Society: A Regional
Perspektif from the Valley of Mexico. Journal of Field Archeology Vol. I.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 514


Peaston AE, Whitelaw E (2006). Epigenetics and phenotypic variation in mammals.
Mamm. Genome
Peaston AE, Whitelaw E (2006). Epigenetics and phenotypic variation in mammals.
Mamm. Genome
Peirce C. S.. 1980. Semiotic: The Study of Culture and Meaning. New York:
Cambaridge University Press Parsons. 1966. The Development of A
Prehistoric Complex Society: A Regional Perspektif from the Valley of Mexico.
Journal of Field Archeology.
Pearson H (2006). Genetics: what is a gene?. Nature 441 (7092).
Peursen, C. A. van. 1978. Strategi Kebudayaan. Yogjakarta: Kanisius.
Pelto, P. J., and G. H. Pelto, 1978 Anthropological Research: The Structure of
Inquiry, 2d ed. New York: cambridge University press.
Pike, Kenneth L. 1967. Language in Relation to a UniWed Theory of the Structure of
Human Behavior (second edition). The Hague: Mouton.
Poerwanto, Hari 2000. Kebudayaan dan Lingkungan: Dalam Perspektif Antropologi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Poespowardojo, Soerjanto. 1993. Strategi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Filosofis.
Jakarta: PT. Gramedia.
Pujileksono Sugeng. 2006. Petualangan Antropologi: Sebuah Pengantar Ilmu
Antropologi. Malang: UPT Penerbit Universita Muhammadiah.
Quammen, D. (2006). The reluctant Mr. Darwin: An intimate portrait of Charles Darwin
and the making of his theory of evolution. New York, NY: W.W. Norton &
Company.
Raba Mangga dan Asnawati. 2002. Fakta-Fakta tentang Nusa Tenggara Barat
(Lombok & Sumbawa) Kerjasama antara Yayasan Pembangunan Insan
Cipta dan Pemprop. Nusa Tenggara Barat. Mataram: Insan Cipta Press.
Radin, P. (1927) Primitive Man as Philosopher, New York: Appleton.
Radcliffe-Brown, A.R. 1965 [1952]. Structure and Function in Primitive Society. New
York: The Free Press
Rafael Raga Maran, 2000. Manusia & Kebudayaan: Dalam Perspektif Ilmu Budaya
Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.
Rappaport, Roy. 1968. Pigs for the Ancestors: Ritual in the Ecology of a New Guinea
People, New Haven, Conn.: Yale University Press.
______. 1994. Humanity’s Evolution and Anthropologys Future. In Assessing Cultural
Anthropology. R. Borofsky, ed. Pp. 153–166. New York: McGraw-Hill.
Rapport, N.J. (1987) Talking Violence. An Anthropological Interpretation of Conversation
in the City, St. Johns, Nfld: ISER Press, Memorial University.
Rasyid, Achmad, 2002. Studi Manajemen Pelestarian Alam Hutan Adat Ammatowa
Kajang Melalui Pendidikan Kearifan Lokal. Makassar: Program Pascasarjana
Universitas Negeri Makassar.
Reber, Arthur S. dan Reber, Emily S. (2001). Dictionary of Psychology. New York:
Penguin Reference.
Reck, Gregory. 1996. What We Can Learn from the Past. Anthropology Newsletter.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 515


Robert M.Z. Lawang, 1985. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi Modul 4–6, Jakarta,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Terbuka.
Robins R. H. 1980. General Linguistics: An Introductorq Survey; Third Edition. London
UK : Longman Group Ltd.
Robbins, Stephen P.; Judge, Timothy A. (2008). Perilaku Organisasi Buku 1, Jakarta:
Salemba Empat.
Rock, P.. 1973. Phenomenalism and Essencialism in the Sociology of Deviance.
Sociologu, 78, 6J pp. 501-536.
Rose H. and Rose, S. (Eds.). 2000. Alas, Poor Darwin. London: Cape.
Rudiansyah Tony. 2009. Kekuasaan, Sejarah dan Tindakan: Sebuah KajianTentang
Lanskap Budaya. PT. Rajagrafindo Persada: Jakarta.
Rudy T. May, 2007. Pengantar Ilmu Politik: Wawasan Pemikiran dan Kegunannya, edisi
revisi. Refika Aditama: Jakarta.
Said Aziz Abdul 2004. Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja.
Yogyakarta: Ombak.
Sahlins, Marshall 1959 Social Stratification in Polynesia. Monograph of the American
Ethnological Society. Seattle: University of Washington Press.
_______. 1960. Evolution: Specific and General. In Evolution and Culture. M. Sahlins
and E. Service, eds. Pp. 12–44. Ann Arbor: University of MichiganPress.
_______. 1961 The Segmentary Lineage: An Organization of Predatory Expansion.
American Anthropologist 63.
_______. 1963 Poor Man, Rich Man, Big-Man, Chief: Political Types in Melanesia and
Polynesia. Comparative Studies in Society and History 5:285–303.
_______. 1968 Tribesmen. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall.
_______. 1972 Stone Age Economics. Chicago: Aldine.
_______. 1976a Culture and Practical Reason. Chicago: University of Chicago Press.
_______. 1976b The Use and Abuse of Biology. Ann Arbor: University of Michigan
Press.
______. 1981a. Culture and Pratical Reasons. Chicago : Chicago University Press.
_______. 1981b. Historical Metaphors and Mythical Realities: Structure in the Early
History of the Sandwich Islands Kingdom. Association for Social
Anthropology in Oceania, Special Publications no. 1. Ann Arbor:
University of Michigan Press.
_______. 1983 Other Times, Other Customs: The Anthropology of History. American
Anthropologist 85.
_______. 1985. Islands of History. Chicago: University of Chicago Press.
_______. 1992 Anahulu: The Anthropology of History in the Kingdom of Hawaii. Vol. 1:
Historical Ethnography. Chicago: University of Chicago Press.
_______. 1993 Goodbye to Tristes Tropes: Ethnography in the Context of Modern World
History. Journal of Modern History 65.
_______. 1995 How Natives Think: About Captain Cook, For Example. Chicago:
University of Chicago Press.
_______. 1996 The Sadness of Sweetness: The Native Anthropology of Western Cosmology.
Current Anthropology 37(3):395–415.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 516


_______. 1997 Reply to Borofsky. Current Anthropology 38(2).
_______. 1999 Two or Three Things I Know about Culture. Journal of the Royal
Anthropological Institute 5(3).
_______. 2000 Culture in Practice: Selected Essays. New York: Zone Books.
_______. 2004 Apologies to Thucydides: Understanding History as Culture and Vice
Versa. Chicago: University of Chicago Press. Stirling, Paul
_______. 1975 Review of Stone Age Economics by Marshall Sahlins. Man 10(2).
Salle, Kaimuddin. 1999. Kebijakan Lingkungan Menurut Pasang: Suatu Kajian Hukum
Lingkungan Adat pada Masyarakat Ammatowa Kecamatan Kajang Dati II
Bulukumba (Disertasi), Makassar: Pasacasarjana Universitas Hasanuddin.
Salthe N. Stanley. 1972. Evolutionary Biology. New York: Holt, Rinehart and
Winston.
______. 1949. Selected Writings. Berkeley: University of California Press.
______. 1907. Herders Ursprung der Sprache. Modern Philology 5: 109–142.
______. 1916. Time perspective in aboriginal American culture: a study in method.
Ottawa: Canadian Geological Survey Memoir 90.
______. 1921. Language: an introduction to the study of speech.New York: Harcourt,
Brace and World.
______. 1924 (1949). The grammarian and his language. In David G. Mandel-baum
(ed.), Selected writings of Edward Sapir in language, culture and personality,
150–159. Berkeley: University of California Press.
______. 1925. Emily Dickinson: a primitive. Review of The complete poetry of Emily
Dickinson. Poetry 26.
______. 1929 (1949). The status of linguistics as a science. In David G. Mandelbaum
(ed.), Selected writings of Edward Sapir in language, culture and personality,
160–166. Berkeley: University of California Press.
______. 1929b (1949). A study in phonetic symbolism. In David G. Mandelbaum (ed.),
Selected writings of Edward Sapir in language, culture and personality, 61–72.
Berkeley: University of California Press.
______. 1931. Conceptual Categories in Primitive Languages. Majallah Science 74:
578-5841933 (1949). The psychological reality of phonemes. In David G.
Mandelbaum (ed.), Selected writings of Edward Sapir in language, culture and
personality, 46–60. Berkeley: University of California Press.
______. 1949. Selected writings of Edward Sapir. David Mandelbaum (ed.). Berkeley:
University of California Press.
______. 1994. The psychology of culture: a course of lectures by Edward Sapir.
Reconstructed and ed. Judith T. Irvine. Berlin: M. de Gruyter
Sapir Edward. 1931. Conceptual Categories in Primitive Languages. Majallah Science.
Sapiro M. E (1966) Religion: Problems oj Defintion and Explanation, in Banton, ed.
Nathropological Approaches to the Study of Religion. London
Saussure, Ferdinand de. 1916 (1972). Cours de linguistique g´en´erale. Charles Bally
and Albert Sechehaye (eds.). Paris: Payot.
______. 1960. Souvenirs de F. de Saussure concernant sa jeunesse et ses ´etudes. Cahiers
Ferdinand de Saussure 17.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 517


______. 1968. Cours de linguistique g´en´erale.R.Engler (ed.). Wiesbaden: Otto
______. 1974. Cours de linguistique g´en´erale. Appendice: Notes sur la linguistique g´en
´erale. R. Engler. (ed.). Wiesbaden: Otto Harrassowitz
Scott C. James. 1981. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia
Tenggara. Jakarta: LP3ES.
Schneider, D. (1968) American Kinship, Chicago: University of Chicago Press.
_______. 1968. Sociological Approaches to Religion. New York: Holt, Rinehart and
Winston.
_______. (1976) Notes toward a Theory of Culture, in K.Basso and H.
Selby (eds) Meaning in Anthropology, Albuquerque: University of New Mexico
Press.
_______. (1984) A Critique of the Study of Kinship, Ann Arbor: University Press of
Michigan
Siahaan Hotman M., Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi, (Jakarta :
Erlangga.
Sigit Jatmiko, Teori-teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka,
Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Semma, Mansyur. 2008. Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atas  Negara,
Manusia Indonesia dan Perilaku Politik. Yayasan Obor: Jakarta.
Simmel, G. (1971 [1908]) On Individuality and Social Forms (ed. D.Levine), Chicago:
University of Chicago Press.
_______. (1980) Essays on Interpretation in Social Science (ed. G.Oakes), Totowa, NJ:
Rowman-Littlefield.
_______. (1984) Georg Simmel: On Women, Sexuality and Love (ed. G.Oakes), New
Haven, Conn.: Yale University Press
Sinamo, Jansen. 2011. Delapan Etos Kerja Profesional. Jakarta: Institut Mahardika.
Sperber, D. 1975 Rethinking Symbolism, Cambridge: Cambridge University Press.
_______. 1985. Anthropology and Psychology: Towards an Epidemiology of
Representations, Man 20:73–89.
Spiro, M. 1958 Children of the Kibbutz, Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
_______. 1966 Religion: Problems oj Defintion and Explanation, in Banton, ed.
Nathropological Approaches to the Study of Religion. London
_______. 1982. Oedipus in the Trobriands, Chicago: University of Chicago Press
Spradley, P. James. 1980. Participation Observation. New York: Holt, Rinehart and
Winston.
______. 1979. The Ethnographic Interview. New York: Holt, Rinehart and Winston.
______. 1997. Metode Etnografi (diterjemahkan oleh Dr. Amri)
Sjaifuddin Fedyani Achmad. 2005. Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis
Me ngenai Paradigma. Jakarta: Prenada Media.
Steward J. H.. 1955. The Theori of Culture Change. Urbana: University of Illionis
Press.
______. 1950. Area Research: Theory and PracticeNew York: Social Science Research
Council, Bulletin 63.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 518


______. 1953. Evolution and Process. In Alfred Kroeber, ed. Anthropology Today.
Chicago: The University of Chicago Press, 313–26.
_______. 1955. The Theory of Culture Change. Urbana. University of Illionis Press.
Soekanto, Soerjono, 1987, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali Press.
Soemardjan Selo dan Soeleman Soemardi, 1974, Setangkai Bunga Sosiologi, Jakarta,
Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Soemawoto Otto. 1985. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta:
Djambatan.
Soerjani Muhammad, dkk. Lingkungan Hidup (The Living Environment) Pendidikan
Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan, Jakarta: Yayasan Institut Pendidikan
dan Pengembangan Lingkungan (IPPL).
Strinati Dominic. 2003. Popular Culture: Pengantar Menuju Budaya Populer.
Yogyakarta: Bentang Budaya. Suryabrata,
Sturm RA, Frudakis TN (2004). Eye colour: portals into pigmentation genes and
ancestry. Trends Genet.
Sumardi, 1983. Metodologi Penelitian. Jakarta: C.V. Rajawali.
Surakhmad, Winarno. 1998. Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar Metode Teknik.
Bandung : Tarsito.
Suriani. 2006. Memperjuangkan Kemerdekaan dan Keadilan Kebenaran dan Perdamaian
Berdasarkan Kasih No. 5221: Tanah Laksana Ibu bagi Suku Kajang.
Susanto, Astrid, 1985, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bandung.
Sutton Q. Marks and Anderson E. N.. 2004. Introduction to Cultural Ekology. New
York: BERG.
Talcott Parsons Emile Durkheim dalam D. I. Sills, e.d, International Encyclopedia of
The Social Seince, (New York : Maemillah Publishing Co, Inc. and The
Fress, 1978).
Tambiah, S. J. 1970. Buddhism and Spirit Cults in North-East Thailand. Cambridge,
UK: Cambridge University Press.
______. 1976. World Conqueror and World Renouncer. Cambridge, UK: Cambridge
University Press.
______. 1990. Magic, Science and Religion, and the Scope of Rationality. Cambridge, UK:
Cambridge University Press.
______. 1992. Buddhism Betrayed? Chicago: University of Chicago Press.
Tania Murray Li, 1999. Comparison Powe: Development, Culture, and Rule in
Indonesi, Dalhousie Iniversity: Department of Sociology and Social
Anthropology
Taussig, M. 1980. The Devil and Commodity Fetish in South America. Chapel Hill, NC:
Terrall, M.. 2002. The Man Who Flattened the Earth: Maupertuis and the Sciences in the
Enlightenment. The University of Chicago Press.
Tillich Paul. 1955. Theology and Symbolism. New York: Harver.
Trencher, Susan. 2002. The American Anthropological Association and the Values of
Science, 1935–1970. American Anthropologist 104:450–462.
Thorsten Sellin, 1938. Culture and Conflict in Crime. New York: Social Science
Research Council).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 519


Tylor, E.B. 1861.  Anahuac: or, Mexico and the Mexicans, Ancient and Modern. London:
Longman, Green, Longman and Roberts.
______. 1865.  Researches into the Early History of Mankind and the Development of
Civilization. London: John Murray..
______. 1871.  Primitive Culture. Volume 1. London: John Murray.
______. 1871.  Primitive Culture. Volume 2. London: John Murray.
______. 1877. Remarks on Japanese Mythology. The Journal of the Anthropological
Institute of Great Britain and Ireland. 6: 55–60.
______. 1877 . With Herbert Spencer. Review of The Principles of Sociology. Mind. 2:
415–429. 1880 Remarks on the Geographical Distribution of Games. The Journal
of the Anthropological Institute of Great Britain and Ireland. 9: 23–30.
______. 1881.  On the Origin of the Plough, and Wheel-Carriage. The Journal of the
Anthropological Institute of Great Britain and Ireland. 10: 74–84.
______. 1881.  Anthropology an introduction to the study of man and civilization.
London: Macmillan and Co.
______. 1882.  Notes on the Asiatic Relations of Polynesian Culture. The Journal of the
Anthropological Institute of Great Britain and Ireland. 11: 401–405.
______. 1884. Old Scandinavian Civilisation Among the Modern Esquimaux. The
Journal of the Anthropological Institute of Great Britain and Ireland. 13:
348–357.
______. 1889. On a Method of Investigating the Development of Institutions; applied to
Laws of Marriage and Descent. Journal of Royal Anthropological Institute.
18: 245–272.
______. 1890. Notes on the Modern Survival of Ancient Amulets Against the Evil Eye.
The Journal of the Anthropological Institute of Great Britain and Ireland.
19: 54–56.
______. 1896. The Matriarchal Family System. Nineteenth Century. 40: 81–96..
______. 1896. American Lot-Games as Evidence of Asiatic Intercourse Before the Time of
Columbus. Leiden: E.J. Brill.
______. 1898. Remarks on Totemism, with Especial Reference to Some Modern Theories
Respecting It. The Journal of the Anthropological Institute of Great Britain
and Ireland. 28: 138–148.
Turner, Victor. 1957. Schism and Continuity in an African Society. Manchester, U.K.:
Manchester University Press
______. 1967. The Forest of Symbols: Aspects of Ndembu Ritual. Ithaca and London:
Cornell University Press
______. 1969. The Ritual Process: Structure and Anti-Structure. Chicago: Aldine
Publishing.
______. 1981 [1968]. The Drums of Affliction: A Study of Religious Processes among the
Ndembu of Zambia. London: Hutchinson University Library for Africa
Wallace Anthony F.C. 1956. Revitalization Movements. American Anthropologist 58 (2):
264–81.
______. 1961. Culture and Personality. York: Random House.
______. 1966. Religion: An Anthropological View. New York: Random House.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 520


Weber, M . 1947. The Theory of Social and Economic Organization. New York: Free
Press.
______. 1958. The Religion of India. Glencoe, IL: Free Press.
______. 1965. The Sociology of Religion. London: Methuen.
Weiling F (1991). Historical study: Johann Gregor Mendel 1822–1884. Am. J. Med.
Genet. 40 (1): 1–25; discussion.
White, Leslie. 1940. The Symbol: The Origin and Basis of Human Behavior. Philosophy of
Science.
______. 1949. The Symbol: The Origin and Basis of Human Behavior. Philosophy of
Science.
______. 1949. The Science of Culture. New York: Grove
______. 1949. The Science of Culture. New York: Grove.
______. 1959a. The Concept of Evolution in Cultural Anthropology. In Betty Meggers,
ed. Evolution and Anthropology: A Centennial Appraisal. Washington, DC:
The Anthropological Society of Washington
______. 1959b. The Evolution of Culture. New York: McGraw-Hill
Whorf, Benjamin Lee. 1940. Science and Linguistics. Technology Review.
______. 1956. Language, Thought, and Reality: Selected Writings of Benjamin Lee Whorf.
Cambridge: The Massachusetts Institute of Technology Press
Wibowo, Agus Budi. 1994 Perubahan Aspek-aspek Perkawinan Pada Masyarakat Pedesa-
an Studi Kasus di Dusun Mojohuro, Desa Sriharjo, Kec. Imogiri Kab. Bantul
DIY, Tesis Pascasarjana UGM
Wolf, Eric 1964 Anthropology. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hal
Wright, S (1984). Evolution and the Genetics of Populations, Volume 1: Genetic and
Biometric Foundations. The University of Chicago Press.
Wu R, Lin M (2006). Functional mapping - how to map and study the genetic architecture
of dynamic complex traits. Nat. Rev. Genet.
Zirkle C (1941). Natural Selection before the Origin of Species. Proceedings of the
American Philosophical Society.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 521


KAMUS KECIL ILMU BUDAYA

ablineal relative A blood relative (e.g., a cousin) who is neither in ego’s line of descent nor
the brother or sister of one who is (cf. colineal relative, collateral relative).
action-centred approaches Approaches which emphasize social action over social struc-
ture, such as transactionalism.
action theory: A perspective within the process approach in which the focus is on the stra-
tegies of individuals for gaining and maintaining power.
age-area hypothesis Wissler’s notion that older culture traits tend to be those on the peri-
phery of a culture area, rather than in the centre. His hypothesis is based on the
idea that things are invented in the centre and diVuse outwards.
agenda hopping D’Andrade’s notion of researchers changing their interests when old
paradigms yield fewer and fewer insights (cf. Kuhnian)
age set A category of people united by common age, often those initiated into adulthood at
the same time.
age-set system: In some societies, all those who undergo puberty initiation at the same
time form a coherent group that passes through different statuses and roles toge-
ther. In tribal societies, this can be an important pantribal sodality that overrides
kinship loyalties and unites the wider group.
androcentric Male-centred.
animism A belief in a spiritual presence within things such as rocks and trees.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 522


anthropogeography The nineteenth-century German university subject, roughly equiva-
lent to human geography. It gave birth to diVusionism.
anthropology In its widest sense, the subject which includes social or cultural anthropo-
logy, anthropological linguistics, prehistoric archaeology, and biological or phy-
sical anthropology (cf. four Welds). In a narrower sense, a short name for social
anthropology.
apollonian An aspect of drama or culture characterized by measure, restraint, and har-
mony (cf. Dionysian).
arena: This term has no agreed-upon meaning, but in the process approach and action
theory, it is often used to delimit a small area within the political field in which
competition between a few individuals or factions takes place. In Bailey’s game
theory, it is an area in which cteams that agree on a common set of rules compete.
articulation of modes of production Interaction between diVerent modes of production,
for example as when colonial capitalist and lineage-based societies come into
contact.
associative Saussure’s term for what are now usually called paradigmatic relations in a
language or symbolic system.
avunculate The relationship between a child and his or her mother’s brother. More speci-
Wcally, the term usually refers to accepted informal behavior between a boy and
his mother’s brother, contrasted to formality between the boy and his father.
avunculocal Another word forviri-avuncu local (residing with the husband’s mother’s
brother).
aYne, aYnal relative A relative by marriage.
Band: The least complex level of sociocultural integration, associated with hunting-
gathering societies. Characterized by small, fluid groups; egalitarianism; informal
leadership; and bilateral kinship.
barbarism In evolutionist theory, the stage of society which lies between savagery and
civilization. It is characterized by the possession of things such as pottery,
livestock, etc. (cf. savagery, civilization).
base The material aspect of society, believed by Marxists to be determinant of the
superstructure or ideological aspect of society (cf. infrastructure, super-structure).
basic needs In Malinowskian theory, the seven biological needs (e.g., safety) which are
served by seven corresponding cultural responses (e.g., protection).
bivocal symbolism: According to Abner Cohen, all true symbols serve both existential and
political ends; that is, they are felt in a deeply personal way, but at the same time
they maintain political continuity through reaffirming common myths and values.
Boasian Referring to the ideas of Franz Boas, especially with reference to his cultural
relativism.
bridewealth Marriage gifts or payments made from the family of the groom to the family of
the bride.
British structuralism Originally a synonym for structural-functionalism (in the 1950s),
but later used to refer to the work of British anthropologists who had taken up
French structuralist ideas (from the 1960s). British structuralists (in the latter

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 523


sense) tended to be interested in structural elements of one culture at a time (cf.
Dutch structuralism, French structuralism).
cargo cult: A type of revitalization movement that seeks to gain access to Western trade
goods (cargo in Pidgin English) by supernatural means.
centre In opposition to periphery, the economically dominant place. Its centrality does not
have to be geographical. For example, in worldsystems theory a colonial power
may be deWned as the ‘centre’ and its colonies the ‘periphery’.
chiefdom: The least complex form of a centralized political system, usually found in
cultures that base their subsistence on extensive agriculture or intensive fishing.
Characterized by a ranking of individuals and lineages, inheritance of power
within a dominant lineage, and maintenance of power through redistribution of
wealth by a charismatic chief.
civil society In the eighteenth century, generally a synonym for government or the state.
(More recently the term has been used to refer to anti-state groupings or occasio-
nally to ‘society’ in contrast to ‘the state’.)
civilization In evolutionist theory, the highest level of society, characterized by urbaniza-
tion, social hierarchy, and complex social structure (cf. savagery, barbarism).
cognitive anthropology The branch of anthropology or perspective within anthropology
which emphasizes the relation between cultural categories and structures or
processes of thought.
cognitive relativism The form of relativism which holds that all statements about the
world are culturally contingent (cf. moral relativism).
cognitive science A somewhat broader term for cognitive anthropology, or any Weld
which emphasizes the relation between cultural categories and structures or pro-
cesses of thought.
‘cold’ societies Le´vi-Strauss’ term for societies he believed to be essentially static. ‘Cold’
societies have a concern with myth rather than history (cf. ‘hot’ societies).
co-lineal relative Ego’s brother or sister or the brother or sister of someone who is in ego’s
line of descent (e.g., an uncle or nephew) (cf. ablineal relative, collateral relative).
collateral relative A blood relative who is not in ego’s line of descent (e.g., a cousin).
Sometimes brothers and sisters are included and sometimes not (cf. lineal relative,
direct relative).
collective conscience, collective consciousness Durkheim’s term for the collective
understandings which people within a given society share (French, conscience
collective).
collective representation Any of the collective understandings which people in a given
society share (cf. collective conscience).
communitas Turner’s term for an unstructured realm of ‘social structure’, where often the
normal ranking of individuals is reversed or the symbols of rank inverted. This
sense of ‘community’, he said, characterizes rites of passage.
community A group of people who share common values. The term has come to be
regarded as safer than ‘society’, whose existence has been challenged by some post-
modernist thinkers (as well as some politicians).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 524


comparative philology An older term for the study of historical or structural relations
between languages.
comparative sociology A term occasionally used by Radcliffe-Brown to mean ‘social
anthropology’.
competence In linguistics, the ability or knowledge required by a native speaker to tell
intuitively whether a construction is grammatical or not (cf. performance).
complementary opposition: A system in which groups that are antagonistic at one level
will unite at another level to counter a military threat.
complexstructures According to Le´vi-Strauss, those kniship systems based on rules about
whom one may not marry (e.g., that marriage between close relatives is forbidden)
(cf. elementary structures).
component In componential analysis, a synonym for ‘signiWcatum’.
componential analysis A method or theoretical perspective which examines the relation
between cultural categories as parts of a system of such categories, for example the
system of colour terms in a given language.
conjectural history Originally an eighteenth-century term for the methods of historical
reconstruction favoured by thinkers such as Adam Smith and much later by
evolutionists and diVusionists.
connotatum An element in componential analysis which implies connotation rather than
signiWcation (e.g., ‘uncle-like behaviour’ as opposed to a more formal deWning
feature of the category ‘uncle’) (cf. signiWcatum).
consanguine, consanguineal relative A relative by blood.
conscience collective Durkheim’s term for the collective understandings which people
within a given society share (in English, ‘collective conscience’ or more commonly
‘collective consciousness’).
consensual power: Leadership that derives from the assent of the people, rather than force
alone. This assent may be based on tradition, respect for an office, or faith in the
personal qualities of a leader.
consonant triangle Jakobson’s term for the structural relations between p, t, and k as
representing a system deWned according to relative loudness and pitch (cf. vowel
triangle).
controlled comparison Any form of comparison which involves limiting the range of
variables, such as by conWning comparisons to those within a region.
corporatism: A model of the state in which the government functions through a limited
number of monopolistic interest groups.
couvade A custom whereby a man feels or pretends to be pregnant when his wife is about
to give birth, often to draw malevolent forces away from his wife and child.
cross-cousins The children of a brother and those of a sister. In many societies, cross-
cousins are marriageable whereas parallel cousins are not (cf. parallel cousins).
Crow terminology A type of kinship terminology in which the father’s sister’s daughter is
called by the same term as the father’s sister, or more generally one in which ego
calls several members of his or her father’s matrilineal kin group by the same term
(cf. ‘Omaha’ terminology).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 525


Crow-Omaha systems Le´vi-Strauss’ term for systems lying in-between elementary and
complex ones: systems with ‘Crow’ or ‘Omaha’ terminologies in which all those
called by kin terms are forbidden as possible spouses.
culinary triangle A structural model proposed by Le´vi-Strauss in which roast, smoked,
and boiled foods are seen as analogous to raw, cooked, and rotted foods.
cultural anthropology The branch of anthropology or the academic discipline which is
concerned with the study of cultural diversity. The term is typically used in the
North American traditions, whereas in other traditions ‘ethnology’ or ‘social
anthropology’ are the more common terms, often with slightly diVerent subject
matter (cf. ethnology, social anthropology, four Welds).
Cultural capital: For Pierre Bourdieu, anything that can be used in competitive struggles
for status. Includes college degrees, professional licenses, artistic talent and the
paintings produced by that talent, social skills, and so forth.
cultural core, In Steward’s cultural ecology, the aspects of culture most susceptible to
ecological inXuence (e.g., subsistence, patterns of migration) (cf. total culture).
cultural determinism The notion that culture, rather than biology, regulates the ways in
which humans perceive the world.
cultural ecology The study of relations between culture and the natural world, especially
in the theoretical perspective of Julian Steward.
cultural materialism The theoretical perspective of Marvin Harris, who argues that there
is a direct causal relation between material forces and aspects of culture (cf. vulgar
materialism).
cultural relativism Any of several theoretical perspectives in anthropology, including
descriptive relativism, epistemological relativism, and normative relativism.
cultural responses In Malinowskian theory, the seven basic aspects of culture (e.g.,
protection) each of which serves a biological need (in this case, safety).
cultural studies The discipline concerned with the study of mass culture, popular culture,
etc. Although it touches on anthropological interests, it has its origins in and its
most direct links with literary criticism and sociology.
culture In anthropology, usually taken as the totality of ideas, skills, and objects shared by
a community or society. In other contexts, it is sometimes useful to distinguish
the ‘high culture’ of the elite or the (often transient) ‘popular culture’ of the
majority.
‘culture and personality’ The perspective of Ruth Benedict and her followers which
emphasizes the ‘personality’ of whole cultures rather than individuals.
culture area A cluster of related cultures, normally those occupying a geographical region.
culture circle A cluster of related culture traits, or the geographical area where these are
found. The idea is fundamental to GermanAustrian diVusionists, who saw these
circles as spreading progressively over earlier culture circles (German,
Kulturkreis).
culture trait Any individual item of culture, either material or nonmaterial.
culturo-genesis The origin of culture, or more usually, of symbolic culture.
Darwinian Referring to the ideas of Charles Darwin, for example in his opposition to
Lamarckian ideas (cf. Darwinism).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 526


Darwinism Any of several related perspectives derived from the evolutionist theory of
Charles Darwin, and especially the idea of evolution through natural selection.
deconstruction Derrida’s term for a method of literary analysis which seeks to expose the
underlying assumptions of a text.
deductivism, deductivist Any approach which proceeds from general assumptions to
speciWc conclusions (cf. inductivism).
degeneration theory, degenerativist theory The anti-evolutionist notion that organisms
or societies decline in physical or moral quality.
delayed direct exchange Le´vi-Strauss’ term for a type of marital exchange between kin
groups where women move in one direction in one generation, and in the opposite
direction in the next. It is a logical consequence of men marrying fathers’ sisters’
daughters (cf. direct exchange, generalized exchange).
denotatum In componential analysis, a member of a given category.
dependency theory: A broad paradigm that views the underdevelopment of the Third
World as a result of the capitalist expansion of the First World. In contrast to
modernization theory, dependency theory puts the emphasis on external factors of
underdevelopment.
dependent power: Power that is granted, allocated, or delegated by someone who holds
independent power.
descriptive relativism The form of relativism which holds that culture regulates the ways
in which humans perceive the world, and therefore that cultural variability will
produce diVerent social and psychological understandings among diVerent
peoples (cf. epistemological relativism, normative relativism).
designatum In componential analysis, the term for a given category.
diachronic perspective A perspective through time (e.g., evolutionism), rather than one in
the same time frame (cf. synchronic perspective).
diachronic study: An analysis of a society in time; that is, in a historical or evolutionary
context.
discourse: A complex unit of analysis used in different ways by Michel Foucault. Roughly,
a system of knowledge that determines the limits of thinking, perceiving, speaking,
or acting for a particular group or within a particular historical period. The
discourse contains the rules for designating a statement true or false.
diVe´rance Derrida’s term implying roughly ‘a delay in diVerence’, in that the diVerences
which deWne something in opposition to what it is not, cannot, in his view, be
fully conceptualized. There is always, he argues, something beyond such
diVerences.
diVusion The movement of culture traits from one people to another.
diVusionism, diVusionist A perspective which emphasizes diVusion (or sometimes
migration) over evolution as the greater cause of cultural change in the world.
dionysian An aspect of drama or culture characterized by emotion, passion, and excess (cf.
Apollonian).
direct exchange Le´vi-Strauss’ term for a type of marital exchange between kin groups
where exchanges of women may go in either direction. It is a logical consequence
of men exchanging sisters with each other or marrying women of a category which

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 527


includes both mothers’ brothers’ daughters and fathers’ sisters’ daughters (cf.
delayed direct exchange, generalized exchange).
direct relative A lineal relative or the brother or sister of a lineal relative (cf. collateral
relative).
discourse A complex concept involving the way people talk or write about something, the
body of knowledge implied, or the use of that knowledge, such as in structures of
power (e.g., in the work of Foucault). The term can also have the meaning (as in
linguistics) of units of speech longer than a sentence.
dispositions In Bourdieu’s terminology, tendencies or choices individuals have within the
habitus (see also habitus).
distinctive features Those features whose presence or absence deWnes a given pheno-
menon. For example, in phonology the feature of voicing deWnes the diVerence
between a p (voiceless) and a b (voiced).
Durkheimian Referring to the ideas of Emile Durkheim, especially his emphasis on social
structure as a determinant of belief and ideology.
Dutch structuralism Structuralism in The Netherlands, arguably as early as the 1920s,
which emphasized regional structures such as that of the cultures of the Malay
Archipelago taken as a whole (cf. British structuralism, French structuralism).
ecosystem In ecology and ecological anthropology, the system which includes both social
and natural environments.
ego In discussions of kinship, the person from whose point of view a relationship is traced
(meaning ‘I’ or ‘self ’).
eidos According to Bateson, the form or structure of culture or cultural phenomena (cf.
ethos).
elementargedanken ‘Elementary thoughts’, those beliefs and aspects of culture held by
Bastian to be common to all humankind (cf. psychic identity, Vo¨ l kergedanken).
elementary structures According to Le´vi-Strauss, those kinship systems based on cate-
gories between which marriage is prescribed (e.g., the category of the cross-cousin)
(cf. complexstructures).
embodiment The notion that social or cultural categories are inseparable from the bodies of
the individuals who possess them.
emic Relating to a culture-speciWc system of thought based on indigenous deWnitions
(cf. etic).
empiricism, empiricist The doctrine which holds that knowledge is derived from expe-
rience rather than from prior reasoning (cf. rationalism).
enculturation The process by which people, especially children, acquire culture (cf.
socialization).
Enlightenment The mainly eighteenth-century movement which stressed the importance of
reason for the critical understanding of nature and society.
environmental circumscription: A theory by Robert Carniero
epistemological relativism The form of relativism which holds that human nature and the
human mind are culturally variable, and therefore that all general theories of
culture are fallacious (cf. descriptive relativism, normative relativism)
epistemology In philosophy, the theory of knowledge.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 528


esprit general Montesquieu’s term (meaning ‘general spirit’) for the fundamental essence
of a given culture.
esprit humain Le´vi-Strauss’ term (meaning ‘human spirit’) for the psychic unity or
collective unconsciousness of humanity as a whole. In his usage it implies a
structure of thought universal among humanity.
ethnicity: A self-conscious...identity that substantializes and naturalizes one or more
attributes—the usual ones being skin color, language, religion, and territory—
and attaches them to collectivities as their innate possession and myth-historical
legacy (Tambiah 1996: 168).
ethnography Literally, ‘writing about peoples’, the term also implies the practice of
anthropological Weldwork.
ethnology The study of ethnic groups, broadly a synonym for social or cultural anthropo-
logy. The term was in general use in Britain prior to the 1870s, but since then has
been more common on the Continent and to some extent in North America (cf.
cultural anthropology, social anthropology).
ethnoscience Most literally, the scientiWc notions of indigenous peoples. More commonly
the term implies methods such as componential analysis, designed to elucidate
such knowledge.
ethos According to Bateson, the distinctive character or spirit of an event or a culture
(cf. eidos).
etic Relating to categories held to be universal or based on an outside observer’s
objective understanding (cf. emic).
evolution A change or development, such as from simple to complex. Usually this change
is regarded as gradual (cf. revolutionist).
evolutionism, evolutionist Any perspective which stresses change for the better or
advancement from simple to complex. In contrast to diVusionism, a perspective
which emphasizes evolution over diVusion or migration as the greater cause of
cultural change in the world. In contrast to a revolutionist perspective, one which
argues for gradual over revolutionary change.
extended case study A case study presented in detail within an ethnographic article or
book, in order to illustrate a more general point. The idea came into anthropology
from legal studies and is characteristic of the Manchester School.
factions: Informal, leader-follower political groups organized for a particular purpose and
disbanding when that purpose is accomplished or defeated. See also pervasive
factionalism and segmentary factional political system.
feminism, feminist The movement which developed to counteract male-dominant
representations and male dominance generally.
feral child A child existing in a ‘natural’ state, unsocialized by humans but sometimes
believed to have been reared by wild animals.
fetishism The belief in fetishes, or objects believed to have supernatural power.
fetishization The act of treating something as a fetish or as being like a fetish. It is used
especially in the latter, metaphorical sense (e.g., Marxist references to the
‘fetishization of commodities’).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 529


field: The basic unit of study in the process approach. Previous researchers tended to focus
on a defined group, such as a tribe or community; a field, which is defined anew by
each researcher, may cross the boundaries of different groups and may change over
time. In Bailey’s game theory, a field is more specifically defined as an area in
which rival political structures interact, but without agreed-upon rules between
them. For Pierre Bourdieu, a field is an area of competitive struggle over a
particular type of cultural capital.
forces of production In Marxist theory, things such as raw materials and technology
which form the material as opposed to the social aspect of the economic base; or the
interaction of these elements of the means of production with labour (cf. base,
mode of production, relations of production).
Foucauldian, Foucaultian Referring to the ideas of Michel Foucault (cf. discourse).
four Welds The classic division of American and Canadian anthropology: cultural anthro-
pology, anthropological linguistics, prehistoric archaeology, and biological or
physical anthropology. In other countries these ‘four Welds’ tend to be treated as
separate disciplines rather than as branches of the same subject.
French structuralism In its widest sense, the ideas of Claude Le´viStrauss and his
admirers. In a narrower sense, the perspective within anthropology which empha-
sizes structures of the human mind rather than structures in the minds of
members of particular cultures or people from particular culture areas (cf. British
structuralism, Dutch structuralism).
function A term variously used to denote the purpose of a custom or social institution in
the abstract, or its relation to other customs or social institutions within a social
system.
functionalism, functionalist Any perspective which emphasizes the functions of customs
or social institutions. In anthropology it refers especially to the perspectives of
either B. Malinowski (regarded as a ‘purer’ functionalist) or A. R. Radcliffe-
Brown (a structural-functionalist).
Geertzian Referring to the ideas of CliVord Geertz (cf. interpretivism).
Geist Literally, the ‘ghost’ or ‘spirit’ of a society.
game theory: Introduced into political anthropology by F. G. Bailey, this approach seeks to
discover the normative rules and pragmatic rules of political manipulation.
Politics is viewed as a game composed of teams competing for prizes.
gender: The culturally constructed aspect of sexual identity. Sex refers to the biological
aspect.
genealogical grid The set of statuses believed to lie at the foundation of all kinship
systems, no matter how relatives are classiWed in any given culture or society.
general spirit Montesquieu’s term (esprit general) for the fundamental essence of a given
culture.
general systems theory: A complex paradigm for the social sciences originally derived
from cybernetics and biology. Systems are viewed as adapting to changes in their
internal and external environments through feedback mechanisms (see negative
feedback and positive feedback). This orientation has been especially useful in
explaining the rise of primary states.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 530


generalized exchange Le´vi-Strauss’ term for a type of marital exchange between kin
groups where ‘exchanges’ of women are in one direction only, for example where a
son may marry into the same kin group as his father but a daughter may not. It is
a logical consequence of men marrying mothers’ brothers’ daughters (cf. delayed
direct exchange, direct exchange).
genotype The genetic makeup of an organism (cf. phenotype).
global comparison, global-sample comparison Comparison on a world-wide basis in
the search for universal cross-cultural generalizations or predictions.
globalization The process of increasing contact between societies, especially in the
economic sphere, across the globe (cf. localization, relocalization)
globalization: The increasing flow of trade, finance, culture, ideas, and people brought
about by the sophisticated technology of communications and travel, and by the
worldwide spread of neoliberal capitalism. For anthropology, globalization also
includes the local-level resistances and adaptations to these processes.
God’s truth’ In linguistics and cognitive anthropology, the view that a good analysis of a
set of emic categories will represent the true psychological reality of informants
(cf. ‘hocus-pocus’).
Great Chain of Being The view of the world as consisting of a hierarchy of entities from
God to humanity to animals to plants, etc. It was prevalent in the sixteenth,
seventeenth, and eighteenth centuries and, in contrast to the theory of evolution,
based on a notion of the Wxity of species.
grid Mary Douglas’ term for the ‘dimension’ of constraint through individual isolation (cf.
group, grid/group analysis).
grid/group analysis The analysis of ‘grid’ and ‘group’ constraints in the style of Mary
Douglas.
group Mary Douglas’ term for the ‘dimension’ of constraint on individuals as members of
groups (cf. grid, grid/group analysis).
gumlao, gumsa Among the Kachin of Burma, the two social formations, gumlao being
egalitarian and gumsa being hierarchical.
habitus: A term coined by Pierre Bourdieu; the largely unconscious internalization of the
objective norms and rules of society that suggest how we might act within any
given situation
heliocentrism, heliocentric Literally ‘with the sun at the centre’, the extreme diVusionist
perspective of the early twentieth century which held that the sun-worshipping
ancient Egyptians were the source of greatest invention in human culture.
historicist Any approach which emphasizes historical or diachronic aspects of culture or
society.
hocus pocus’ In linguistics and cognitive anthropology, the view that a good analysis of a
set of emic categories will be one which correctly accounts for the data but which
will not necessarily represent the (elusive) ‘true’ psychological reality of
informants (cf. ‘God’s truth’).
‘hot’ societies Le´vi-Strauss’ term for societies he believed to be essentially dynamic. ‘Hot’
societies have a concern with history rather than myth (cf. ‘cold’ societies)

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 531


hybridity: A syncretism or compartmentalization of different culture traits in self-identity
or social identity.
hydraulic theory: A theory of state formation proposed by Karl Wittfogel. Canal irrigation
required a division of classes into workers and administrators and tended to
concentrate power in the hands of those who controlled the water supplies upon
which the life of the community depended.
hypergamous Involving marriage where the man is of higher status than his wife (cf.
hypogamous).
hypogamous Involving marriage where a woman is of higher status than her husband
(cf. hypergamous).
ideal types Weber’s notion of the basic forms of social phenomena, simpliWed from
observed cases. For example, his studies of Protestantism assume an ideal type
which is not necessarily an accurate representation of all Protestant societies.
ideographic Referring to the speciWc rather than the general (e.g., the description of exact
instances rather than generalizations on social processes) (cf. nomothetic).
ideology Literally, the study of ideas. It generally carries the meaning of a system of
values, such as those Marxists and some postmodernists argue give power to one
group over another.
illustrative comparison Comparison of speciWc ethnographic cases, for example to
highlight some feature of culture or social structure which may be unusual.
independent power: A relation of dominance based on the direct capabilities of an indivi-
dual, such as knowledge, skills, or personal charisma. In centralized societies, such
power may attach to a particular office, such as that of king. See dependent power.
inductive computation Malinowski’s term for the process of discovery of the ‘invisible
facts’ which govern the interconnection of facets of social organization.
inductivism, inductivist Any approach which proceeds from specific examples to general
conclusions (cf. deductivism).
infrastructure Another word for the ‘base’ or material aspect of society (cf. base, super-
structure).
institutionalization of leadership: A theory by Elman Service that the development of
centralized political organization can be explained in terms of the perceived
benefits of strong leadership and political continuity.
intensification: As used by Marvin Harris, this refers to a fundamental process of cultural
evolution by which population pressures combine with resource depletion to force
improved means of producing food. Such technological changes in turn require
new modes of social organization.
interactive perspective Any perspective in anthropology which emphasizes action over
structure.
interpretation Intuitive understanding, or more precisely the understanding of culture as
being like a language, to be ‘translated’.
interpretive An approach or method based on interpretation. interpretivism, interpretivist
A perspective which emphasizes the interpretation of culture over the quest for
formal structures. Geertz’s anthropology is the most commonly cited example.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 532


intersubjective Referring to methods which privilege equally the ethnographer and his or
her informants.
intertextual, intertextuality Referring to relations between texts, where each represents a
commentary on another.
irony A verbal construction, often humorous, in which words are used to mean the opposite
of what they normally mean.
‘Iroquois’ terminology A type of kinship terminology in which crosscousins are disti-
nguished from parallel cousins. Often parallel cousins are classed together with
siblings.
Kuhnian Referring to the ideas of Thomas Kuhn, especially his notion of science as a
sequential series of paradigms.
kula In the Trobriand Islands and surrounding areas, the formalized system of exchange of
bracelets for armshells.
Kulturkreis A cluster of related culture traits, or the geographical area where these are
found. The idea is fundamental to German-Austrian diVusionists, who saw these
circles as spreading progressively over earlier culture circles (English, ‘culture
circle’).
Lamarckian Referring to the ideas of Jean-Baptiste de Lamarck, especially that learned
traits can be passed from parent to child.
langue Saussure’s term for language in the sense of linguistic structure or grammar; by
analogy, this can be the grammar of culture as well as of language as such (cf.
parole).
legitimacy: A primary basis for power that derives from the people’s expectations about the
nature of power and how it should be attained, for example, by election in the
United States or by holding redistributive feasts in Polynesia.
Le´vi-Straussian Referring to the ideas of Claude Le´vi-Strauss (cf. structuralism).
lineal relative A relative who is in ego’s line of descent (e.g., a grandmother or
granddaughter).
localization The interplay between local forms of knowledge and external pressures (cf. re-
localization, globalization).
male dominance: Control of productive resources and political power by men. Although
widespread, cross-cultural studies suggest that male dominance is not universal.
Malinowskian Referring to the ideas of Bronislaw Malinowski, either as a Weldwork
methodologist or a functionalist theorist.
Manchester School The school of thought centred around Max Gluckman at Manchester
in the 1950s, 1960s, and 1970s.
manitoo In Ojibwa belief, the guardian spirit of an individual (cf. totem).
Man-the-Hunter theory of evolution: The belief that the evolution of homo sapiens
focused on the cooperative hunting of big game. The theory is presently disputed.
Marxism, Marxist Referring to the ideas of Karl Marx. In anthropology, the term implies a
theoretical interest in the connections between material forces and relations of
power but not necessarily adherence to Marx’s political ideology.
matrilineal descent, matrilineality Descent through women, from mother to child, etc.
(cf. patrilineal descent).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 533


matriarchy: Political control by women. Despite a widespread belief in primitive matriar-
chies, no such social system, either past or present, has ever been documented by
anthropologists.
means of production In Marxist theory, the organized arrangement of raw materials,
tools, and know-how; the technological system of a society, especially in relation to
subsistence (cf. mode of production).
metanarrative Lyotard’s term for grand theory.
metaphor An analogy, or relation of similarity across diVerent levels of analysis (e.g., a
red traYc light means ‘stop’).
metonymy A relation between objects in the same level of analysis (e.g., a red traYc light
in relation to a green traYc light).
mode of production: For Karl Marx, the way that production, especially labor, is organi-
zed. As reinterpreted by anthropologist Eric Wolf, there are three main modes of
production: the kin-ordered mode, typical of bands, tribes, and chiefdoms; the
tributary mode, in which an elite demands the products of labor as tribute; and the
capitalist mode, which directly buys and sells human labor.
modern In contrast to postmodern, emphasizing a holistic, coherent view of the world.
modernism: In contrast to postmodernism, refers to Enlightenment values of progress
through science and technology, the perfectibility of man and culture, rationalism,
and the belief that reality is subject to articulation through grand theories or
metanarratives.
modernization theory: The assumption that the internal dynamics of a country are
responsible for its development or underdevelopment. In some permutetions, the
emphasis is put on what a country is lacking, such as entrepreneurial spirit,
technology, capital, and so forth. Other versions emphasize such dynamics as
internal colonialism or the growth of a vast informal economy. Contrasted with
dependency theory.
moiety Literally ‘half’ a society, deWned by membership in one or the other of two uni-
lineal descent groups.
monogenesis One origin for all human ‘races’ (cf. polygenesis).
monogenist A person who believes in monogenesis (also the adjectival form of
‘monogenesis’).
monotheism Belief in only one deity (cf. polytheism).
moral relativism The form of relativism which holds that aesthetic and ethical judgements
must be assessed in terms of speciWc cultural values (cf. cognitive relativism).
morpheme The smallest meaningful unit of language (e.g., the English word cars consists
of two morphemes: ‘car’ and ‘plural’).
morphological In linguistics, referring to the level of the morpheme.
multilinear evolutionism The theory of social evolution which emphasizes cross-cultural
diversity and the inXuence of the environment in the process.
mytheme In Le´vi-Strauss’ terminology, a unit within a mythological corpus which may
be combined with similar units to make up a given myth.
Mythologiques Literally, ‘mythologics’, Le´vi-Strauss’ four volumes on mythology.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 534


naiscent society Rousseau’s notion of an idyllic, egalitarian society before the emergence of
‘artiWcial’ inequalities.
nationalism: Group self-identification with a real or desired sovereign territory. State
nationalism refers to an existing government’s attempt to gain an overriding
identification and loyalty from the subgroups that comprise the country.
Ethnonationalism refers to the often-fervent desire of an ethnic group to attain or
regain a homeland or sovereignty within a state.
natural law The theory of law or the essence of law in that theory, as embedded in human
nature. It was characteristic of Enlightenment legal theory, but opposed by later
conceptions of law as a set of rules.
natural selection The Darwinian notion (also called sexual selection) that individuals with
superior characteristics will tend to breed more often than other individuals, thus
giving rise to better-adapted individuals in later generations.
naturism Not to be confused with nudism, F. Max Mu¨ ller’s notion of early religion as
nature-worship.
naven Ceremonies of the Iatmul of Papua New Guinea involving transvestism and other
ritual reversals of ordinary behaviour.
negative feedback: Deviation-minimizing processes. Change in a system will be limited
by other elements of the system so that equilibrium is maintained (e.g., in hot
weather, the body is cooled by sweating to maintain a constant temperature).
neo-Darwinism In its most usual meaning today, the perspective in human biology which
combines Darwinian theory with modern gen etics in seeking biological
explanations of human social behaviour.
Neo-evolutionism: A revival by Leslie White in the 1940s of nineteenth-century cultural
evolutionary theory. Later theorists distinguished general evolution— broad
changes in cultural complexity, such as from band to tribal society— from specific
evolution—the observable adaptational changes of particular societies
network analysis A methodological tool which emerged as part of the Manchester School.
It seeks an understanding of social relations through chains or networks of
individual associations.
new archaeology In the 1960s, a perspective in archaeology which emphasizes ethno-
graphic analogy.
new ethnography In the 1960s, a perspective essentially synonymous with the cognitive
anthropology of the time. In the 1980s, a rather difererent perspective essentially
synonymous with the approach or approaches typiWed by CliVord and Marcus’
edited volume, Writing Culture.
noble savage A seventeenth and eighteenth-century notion of the goodness of natural
humanity or primitive social humanity embodied in ‘savages’. Typically, these
were identiWed with the populations of Native North America.
nomothetic Referring to the general rather than the speciWc, e.g., the search for regula-
rities or general laws rather than the description of speciWc instances (cf. ideo-
graphic).
normative relativism The form of relativism which holds that because cultures judge each
other according to their own internal standards, there are no universal standards

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 535


to judge between cultures. There are two positions within normative relativism:
cognitive relativism and moral relativism (cf. descriptive relativism, epistemo-
logical relativism).
normative rules: In F. C. Bailey’s game theory, the political rules that are publicly profess-
ed, such as honesty, sportsmanship, and so forth. Contrasted with pragmatic
rules.
occidentalism A relatively recent term for the stereotyping of the West by oriental or other
non-Western peoples (cf. orientalism).
Oedipus complex In psychiatry, the complex of emotions of desire for the parent of the
opposite sex (especially a boy for his mother).
Oedipus myth The Greek myth in which, by a strange sequence of events, Oedipus kills
his father and marries his mother.
‘Omaha’ terminology A type of kinship terminology in which the mother’s brother’s son
is called by the same term as the mother’s brother, or more generally one in which
ego calls several members of his or her mother’s patrilineal kin group by the same
term (cf. ‘Crow’ terminology).
Orang Outang In the eighteenth century, a term roughly equivalent to the modern generic
concept of the ‘ape’, but often believed to be human or nearly human. Not to be
confused with the orang-utan of Southeast Asia as known to science today.
organic analogy The notion that society is ‘like an organism’ in being composed of
evolving or interrelated parts or systems.
orientalism In anthropology, the stereotyping of the East by Western peoples, especially as
described by Edward Said (cf. occidentalism).
Paideuma Greek for ‘education’, though in Frobenius’ German usage it identiWes the
‘soul’ of a culture (cf. Volksgeist).
paradigm Thomas Kuhn’s term for a set of suppositions common to practitioners of a given
science at a given time. It constitutes a large theory or perspective (e.g., New-
tonian physics, Einsteinian physics). In the social sciences, the term bears much
the same meaning (e.g., evolutionism and functionalism are anthropological para-
digms).
paradigmatic In structuralist usage, the relation between elements which might occupy
the same position in a syntagmatic chain (e.g., Mary and Sally, in the sentences
‘John loves Mary’ and ‘John loves Sally’). In the anthropology of symbolism,
paradigmatic relations are those of metaphor as opposed to metonymy.
parallel cousins The children of two brothers or two sisters. In many societies parallel
cousins are treated as brothers and sisters and sharply distinguished from cross-
cousins (cf. cross-cousins).
parole Saussure’s term for speech in the sense of actual utterances; by analogy, it refers
also to the social action as opposed to social structure (cf. langue).
participant observation The Weldwork methodology in which the ethnographer learns
through both observation and participation in the social life of the people under
study.
patrilateral parallel-cousin marriage Marriage of a man to his father’s brother’s
daughter (or a woman to her father’s brother’s son).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 536


patrilineal descent, patrilineality Descent through men, from father to child, etc. (cf.
matrilineal descent).
performance In linguistics, the actual utterances which make up language (cf. compe-
tence).
periphery An economically weak or dependent place or region, in contrast to the ‘centre’.
The concept is important in Marxist anthropological theory (cf. centre, world
system).
pervasive factionalism: A condition in which formal political structures have broken
down or have become inoperative, and temporary factions arise to solve each
problem as it appears phenotype The physical makeup of an organism, as produced
by both genetic and environmental factors (cf. genotype).
phone A sound. In phonetics, the smallest unit of speech.
phoneme The smallest meaningful unit of sound, more specifically one which exists within
a language-speci Wc system of sounds.
phonemics The study of systematic relations between sounds (as phonemes).
Phonetics The study of speech sounds (phones) in their fundamental essence.
phonological Relating to sounds as part of a system of phonemes.
phonology The systematic relations between sounds (as phonemes), or the study of these
(in the latter sense, synonymous with phonemics).
phratry A large unilineal descent group, usually a cluster of smaller groups such as clans.
pinalua In Hawaii, a relationship of intimacy or of common sexual possession.
politics: One of those indefinable words that depends on the particular interests of the
researcher. A good working definition is as follows: The processes involved in
determining and implementing public goals and...the differential achievement and
use of power by the members of the group concerned with these goals (Swartz,
Turner, and Tuden 1966: 7).
polygenesis Multiple and separate origins for the diVerent human ‘races’ (cf. monoge-
nesis).
polygenist A person who believes in polygenesis (also the adjectival form of ‘polygenesis’).
polytheism Belief in more than one deity (cf. monotheism).
positive feedback: Deviation-amplifying processes. A slight initial kick will start a process
of increasingly rapid change, which will be stopped only when the system attains
a new level of equilibrium or collapses. See negative feedback.
postmodern A term originally employed in architecture and the arts to denote a reaction
against ‘modernism’ (e.g., modern architecture) and a revival of classical tradi-
tions, often mixed indiscriminately (cf. postmodern condition, postmodernism).
postmodern condition Jean-Franc¸ois Lyotard’s term for the state of society characterized
by, among other things, globalization and a complexity of social groupings.
postmodernism: An overarching term for multiple theories dating from the 1970s that
reject anthropology’s scientific pretensions and all grand theory. Writings are
often self-referential, emphasizing subjectivity, evocation, discourse, the subaltern
voice, and the social construction of reality. Contrasted with modernism.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 537


poststructuralism, poststructuralist Any perspective based on a rejection of structuralist
methodology or classic structuralist distinctions such as langue/parole or synch-
ronic/diachronic.
potlatch A ceremony performed by peoples of the North West Coast of North America
involving feasting and the giving away (or sometimes the destruction of ) their
own movable property, thereby redistributing goods and gaining prestige for
themselves.
power: In its broadest sense, an ability to influence the behavior of others and/or gain
influence over the control of valued actions (R. Cohen 1970: 31). In its purely
political aspect, such influence would be limited to the public domain. This
amorphous term is better defined by breaking it into its component parts:
consensual power, dependent power, independent power, legitimacy, and support.
power/knowledge: In the works of Michel Foucault, the embedding of power within all
discourse. Institutions determine what is normal or abnormal. Specialized
knowledge, such as that of doctors or scientists, provides the power to classify,
analyze, observe, and experiment and thus determine truth or falsity.
practice theory Any perspective which emphasizes practice (or individual action) over
social structure.
Prague School In linguistics, the school of thought whose analysis was based on the
identiWcation of distinctive features, especially in phonology. It originated in
Central Europe and was transplanted to New York during the Second World
War.
praxis Especially in Marxist theory, practice or action related to the furtherance of social
good.
pre-logical mentality Lucien Le´vy-Bruhl’s term for the supposed thought processes of
peoples who are culturally not equipped to distinguish cause from eVect.
presentist In the study of the history of anthropology, the position which sees the past
through the concerns of the present. The term is usually used disparagingly.
processualism, processualist Any perspective which emphasizes social process over social
structure, or which sees social or symbolic structures in terms of their propensity
for transformation.
psychic identity, psychic unity The idea that all humankind shares the same mentality
(cf. logical mentality, pre-logical mentality).
pragmatic rules: In F. C. Bailey’s game theory, those political rules that are concerned
with gaining or maintaining power—that is, with winning the game, not with
public display. Contrasted with normative rules.
primary states: 1) arose when population growth and other pressures within areas
bounded by mountains or desert forced increasingly complex modes of political
and social organization, 2) a state that developed independently of pre-existing
states. This occurred in six areas: Mesopotamia, the Nile Valley, the Indus Valley
of India, the Yellow River Valley of China, Mesoamerica, and Peru.
process approach: Sometimes referred to as process theory, although it is too amorphous
to constitute a coherent theory. Originally a reaction against structural-
functiona-lism, this approach emphasizes change and conflict.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 538


Radcliffe-Brownian Referring to the ideas of A. R. Radcliffe-Brown (cf. structural-
functionalism).
rationalism, rationalist The doctrine which holds that knowledge can be derived from
reason without the necessity of prior experience (cf. empiricism).
rationality debate A debate among philosophers and anthropologists, roughly from the
1960s to the 1980s, over the degree to which ‘primitive peoples’ were culturally
capable of rational thought.
reciprocal altruism In sociobiological theory, the notion of performing acts for others with
the expectation of a return gain.
reXexivism, reXexivist A perspective which holds reXexivity as central to anthropological
method and theory.
reXexivity The reXection on the place of one’s self (the ethnographer) in ethnographic
practice.
regional comparison A form of controlled comparison which confines comparisons to
those within a region (e.g., Aboriginal Australia, Great Plains North America,
etc.).
relations of production The social relations around which production is organized; more
technically, the appropriation of surplus labour on the basis of control over the
forces of production and especially the means of production (cf. mode of produc-
tion).
relativism, relativist A view of the world which opposes the assumption of cultural
universals or universal values. In anthropology, broadly a synonym for ‘cultural
relativism’. In other words, any of several theoretical perspectives which include
descriptive relativism, epistemological relativism, and normative relativism.
re-localization The assertion, rediscovery or invention of locally based knowledge,
especially knowledge which can be used in agrarian economic and social develop-
ment (cf. localization, globalization).
representations collectives French for ‘collective representations’.
reproduction In Marxist theory, not merely reproducing children but reproducing exist-
ing aspects of culture or society through the generations.
Restricted exchange A synonym for ‘direct exchange’ (as opposed to ‘delayed direct’ or
‘generalized’). Le´vi-Strauss and his followers use the terms interchangeably.
revolutionist The view that social evolutionary change is the result of revolutionary events
such as a literal ‘social contract’ or the invention of symbolism.
rites of passage Rituals to mark the transition from one stage of life to another (such as
adolescence to adulthood).
retribalization: The tendency for some tribal groups to become more cohesive, to protect
economic and political interests, during the process of modernization
revitalization movement: A deliberate attempt by a group, usually in a situation of
cultural collapse and/or subjugation by a foreign power, to create a better society.
Such movements may seek apocalyptic transformation through supernatural
means, try to recreate a Golden Age of the past, or expel all foreign influences. A
cargo cult is a type of revitalization movement.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 539


role What an individual does, or more technically the dynamic aspect of a social status (cf.
status).
Sapir–Whorf hypothesis The hypothesis that the structure of the language people speak
has an unconscious determining eVect on their worldview. It was formulated by
Benjamin Lee Whorf on the basis of his own research and that of his mentor,
Edward Sapir, on Native North American languages. Also known as the Whor
Wan hypothesis.
Saussurian Referring to the ideas of Ferdinand de Saussure (e.g., his distinction between
langue and parole).
savage In earlier times and to some extent in Le´vi-Strauss’ usage, ‘wild’ or ‘natural’. In
the eighteenth century the term often had positive overtones (in opposition to
‘polished’ or ‘civil’ society, believed to exhibit less of human nature). In the nine-
teenth century, it was a term identifying the earliest and lowest level of society (cf.
savagery).
savagery In evolutionary theory the earliest and lowest level of society, characterized by
egalitarianism and a low level of material culture (cf. barbarism, civilization).
secondary state: Any state that came into existence through the influence of preexisting
states.
segmentary factional political system: A system either without formal political struc-
tures or in which such structures have broken down, so that competition between
factions becomes the normal mode of political decision making.
segmentary lineage: A unilineal system based on small, local, relatively autonomous
units that can be put together, building-block fashion, into increasingly larger
struc-tures for ritual or military purposes.
semantics In linguistics, the study of meaning; the highest level of linguistic analysis
(above phonetics, phonology, and syntax).
semi-complexsystems A synonym for ‘Crow-Omaha systems’, socalled because in Le´vi-
Strauss’ theory of kinship they contain attributes of both ‘elementary structures’
and ‘complex structures’ (cf. Crow Omaha systems).
semiology, semiotics The study of ‘signs’, which include signiWers and the objects
signiWed (cf. signiWer, signiWed).
shamanism The practice of mediation between the ordinary world and the spirit world by a
ritual specialist (a shaman). The term is from Tungus, a Siberian language, and
refers especially to such practices as trance, out-of-body travel, etc., as practised by
Siberian, Arctic, and Amerindian shamans.
sign In Saussurian linguistics, the combination of the signiWer (a word) and what is
signiWed by it. By extension, any similar pairing in the study of symbolism.
significatum An element of componential analysis which, along with other signiWcata,
deWnes a given category (cf. connotatum).
signified An object or concept which is represented by a signifier (cf. sign).
signifier The word or symbol which stands for something (the object ‘signified’; cf. sign).
sociability An eighteenth-century concept implying both sociality and conviviality (cf.
sociality).

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 540


social action In opposition to social structure, what people actually do, i.e., the roles they
play as opposed to the social statuses they occupy.
social anthropology The branch of anthropology or the academic discipline which is
concerned with the study of society in cross-cultural perspective. The term is typi-
cally used in British and certain other traditions, whereas in North America
‘cultural anthropology’ is the more common term (cf. cultural anthropology,
ethnology).
social drama Turner’s characterization of a ritual process, such as a pilgrimage or a rite of
passage, with precrisis and post-crisis phases.
social fact Durkheim’s term for the smallest unit of social structure: a custom, institution,
or any aspect of society.
social institution An element of a social system (e.g., marriage is an aspect of the kinship
system).
social organization The dynamic aspect of social structure, i.e., the activities people
engage in as part of the social structure.
social processes A general term employed for cyclical changes in society or changes in
society over time.
social structure The relations between elements of society, either with reference to speciWc
individuals (Radcliffe-Brown’s usage) or to the statuses they occupy (cf. struc-
tural form).
social system A term variously referring to speciWc systems within society (economics,
politics, kinship, religion) or to the society as a whole in its systematic aspects.
social theory The branch of sociology which deals with grand theoretical problems, or any
area of the social sciences concerned with similar phenomena.
social values The values people acquire by virtue of membership in a community or
society.
sociality The capacity for living in a society, a concept of importance in theoretical
perspectives as diverse as seventeenth-century political philosophy and late
twentieth-century sociobiology.
socialization The process by which people, especially children, acquire a knowledge of how
to live in society (cf. enculturation).
society A social unit equivalent variously to a language group, a cultural isolate, or a
nation state. Also the social relations which exist between members of such a unit.
sociobiology The study of social relations in a biological framework. More speciWcally, a
discipline or theoretical position which treats human culture and society as
adjuncts of humankind’s animal nature.
sound shift A systematic change in a language, such as where one set of sounds is
transformed into another set (e.g., voiced stops b, d, g become the equivalent
voiceless stops p, t, k).
state: The most complex level of political integration. Found in societies whose subsistence
is based on intensive agriculture, and characterized by leadership centered in an
individual or elite group supported by a bureaucracy, suprakinship loyalties, class
structure, and economic redistribution based on tribute or taxation. Some globali-
zation theorists view the state as in demise.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 541


state of nature The notion of humanity without society, an idea prevalent in the
eighteenth-century European social theory.
status The position an individual occupies within a social structure (cf. role).
Stewardian Referring to the ideas of Julian H. Steward (cf. cultural ecology).
stratigraphy In archaeology, the relation of layers of earth in a site. From these the relative
age of artefacts, the remains of dwellings, etc. can be inferred.
structural form Radcliffe-Brown’s term for generalities based on observations of the social
structure. As his notion of ‘social structure’ was more concrete than that of others
(referring to individuals), his term ‘structural form’ thus carried the more generic
meaning which others ascribed to the term ‘social structure’.
structural-functionalism: The dominant theoretical orientation of British anthropology
during the 1930s and 1940s. Synchronic analysis, usually of groups treated as
closed systems, showed how the various component institutions contributed to the
equilibrium of the whole.
structural opposition In structuralist theory, the relation between two elements of a
structure according to the presence or absence of some distinctive feature.
structuralism, structuralist Any perspective which emphasizes structural relations as a
key to understanding. For structuralists, things acquire meaning through their
place in a structure or system. In anthropology, it is the perspective identiWed
most closely with Claude Le´vi-Strauss.
subaltern studies A perspective in history and literary criticism, and prominent in South
Asia, which emphasizes the position of the subordinate rather than the dominant
group. It has been of influence in feminist anthropology.
superstructure The ideological aspect of society, which in Marxist theory is determined by
the base or infrastructure (cf. base).
support: A broad concept, including virtually anything that contributes to or maintains
political power. Two basic supports are coercion (force) and legitimacy.
surface reading For Althusser, a reading (of Marx) which focuses on the actual words
rather than the deeper meaning of the text (cf. symptomatic reading).
symbolic culture The domain of culture concerned with symbols and symbolism, as
opposed to material objects, social relations, etc.
symptomatic reading For Althusser, a reading (of Marx) which focuses on the deeper
meaning of the text rather than the actual words (cf. surface reading).
synchronic analysis: A type of analysis, typical of the structural-functionalists and
French structuralists, that treats societies as though they are outside of time; that
is, without reference to historical context.
synchronic perspective A perspective in the same time frame (e.g., functionalism), rather
than one through time (cf. diachronic perspective).
synecdoche A Wgure of speech in which a part represents a whole, or vice versa.
syntactic In linguistics, either the level concerned with the structure of the sentence or
more broadly the domain which lies between the phonological and semantic levels.
By extension, any analogous aspect of the structure of culture.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 542


syntagmatic In structuralist usage, the relation between sequential elements such as words
in a sentence. In the anthropology of symbolism, syntagmatic relations are those of
metonymy as opposed to metaphor (cf. associative, paradigmatic).
theism Belief in one or more deities (cf. monotheism, polytheism).
theory In science or social science, any discourse, perspective or statement which leads to
some conclusion about the world. Anthropological theory is centrally concerned
with making sense of ethnography and with generalizations about culture or
society.
theory of the gift Mauss’ notion that gifts are given because of social obligations and not
simply voluntarily. These social obligations entail relations of reciprocity which
are fundamental to society, though perhaps in some parts of the world (e.g.,
Polynesia, Melanesia, the North West Coast of North America) more than in
others.
thick description Geertz’s notion of good ethnography as consisting of a multiplicity of
detailed and varied interpretations (both the ethnographer’s and those of the
people under study).
three-age theory In archaeology, the idea of human prehistory as consisting of three ages,
namely the Stone Age, the Bronze Age, and the Iron Age.
total culture In Steward’s cultural ecology, the general aspects of culture, especially those
least susceptible to ecological inXuence (e.g., language, religious belief ) (cf.
cultural core).
totem In Ojibwa belief, the spirit of a patrilineal clan, represented by an animal (cf. mani-
too). By extension, a similar spirit among any people (cf. totemism).
totemism Any belief system which entails the symbolic representation of the social (e.g.,
clan membership) by the natural (e.g., animal species and their characteristics).
As phenomena described as ‘totemism’ are so varied across the world, some
anthropo-logists have questioned the utility of calling them all by this one term
(cf. totem).
transnationalism: The process, made possible by globalization, of living in two or more
countries at the same time. Immigrants do not assimilate into the new country but
maintain close cultural, economic, and political ties with the home country
through regular travel, media, e-mail, the Internet, and money transfers.
transactionalism, transactionalist: A perspective which emphasizes transactions betwe-en
individuals as the basis for social analysis.
tribe: A loosely defined term used to denote a wide range of social organizations that exist
between hunting-gathering bands and centralized systems. Associated with
horticulture or pastoralism, charismatic leadership, unilineal kinship, and pan-
tribal sodalities.
tributary elites: The owners and managers of production, banking, and trade within perip-
hery and semiperiphery countries who really represent the interests of the core.
trope A Wgure of speech, such as metaphor, metonymy, synecdoche, or irony.
unilinear evolutionism The theory of social evolution which holds that all humankind
passes through the same stages of evolution irrespective of environment or
speciWc historical inXuences.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 543


universal evolutionism The theory of social evolution which emphasizes broad, general
stages rather than speciWc unilinear sequences of evolution.
uxorilocal Residing with the wife’s group (cf. virilocal). Uxorilocal residence repeated
through the generations creates localized matrilineal kin groups centred on
women.
Verstehen German for ‘understanding’ or ‘interpretation’, the basis of Max Weber’s socio-
logy.
viri-avunculocal Residing with the husband’s mother’s brother’s group (also called
avunculocal; cf. uxorilocal, virilocal). Viri-avunculocal residence repeated through
the generations creates localized matrilineal kin groups centred on men.
virilocal Residing with the husband’s group (cf. uxorilical, viriavunculocal). Virilocal
residence repeated through the generations creates localized patrilineal kin groups
centred on men.
vital sequences Malinowski’s notion of the biological foundations of all cultures.
Vo¨ lkergedanken ‘Peoples’ thoughts’, those beliefs and aspects of culture held by Bastian
to be speciWc to given cultures and not common to all humankind (cf. Element-
argedanken).
Volkerkunde The study of peoples, a German synonym for ‘ethnology’ but distinguished
sharply from Volkskunde
Volksgeist The spirit or soul of a people or culture. Volkskunde In Germany and some
other countries, the study of folklore and local customs, including handicrafts, of
one’s own country (cf. Vo¨ lkerkunde).
vowel system The set of vowels found in a particular language and the structural relations
which deWne them.
vowel triangle Jakobson’s term for the structural relations between u, i, and a as repre-
senting a system deWned according to relative loudness and pitch (cf. consonant
triangle).
vulgar materialism Jonathan Friedman’s disparaging term for what Marvin Harris calls
‘cultural materialism’. It is ‘vulgar’ in the sense that it does not distinguish base
from superstructure (cf. cultural materialism).
Weberian Referring to the ideas of Max Weber, especially his emphasis on action over
social structure (cf. Durkheimian).
Wechselwirkung Simmel’s notion of ‘reciprocal eVect’, i.e., that the social exists when two
or more people engage in interaction with each other, and when the behaviour of
one is seen as a response to the behaviour of the other.
Weltanschauung German for ‘worldview’.
WhorWan hypothesis Another name for the Sapir–Whorf hypothesis.
world Capitalist System: According to Immanuel Wallerstein, the expansion of capita-
lism outward from Europe beginning in the sixteenth century created a single
world economy, consisting of a core of developed nations, a periphery of under-
developed countries that supply raw materials and cheap labor to the core, and an
intermediary group of semiperipheral countries
world system Wallerstein’s idea of a system which links the economies of the smallest
societies to the powerful capitalist economies of the West and the Far East.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 544


worldview A loan translation of German Weltanschauung, the term used especially by
Boasian anthropologists for the broad perspective on the world maintained by a
people through their culture.

Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar 545

Anda mungkin juga menyukai