Anda di halaman 1dari 20

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI-TEORI FUNGSIONAL STRUKTURAL,

TEORI KONFLIK, TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK, SERTA TEORI


STRUKTURASI

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Sosiologi Pendidikan

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Pristiana Safitri


NIM : L1C018083
Fakultas & Prodi : Fakultas Ilmu Sosial dan Politik & Prodi Sosiologi
Semester : 5 (lima)

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT atas


selesainya tugas mata kuliah sosiologi pendidikan. Tidak lupa pula untuk mengirimkan
shalawat serta salam kepada Nabi agung Muhammad SAW yang syafaatnya kita
nantikan di hari akhir kelak.

Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr Taufiq Ramdani,


S.Th.I., M.Sos sebagai dosen pengampuh Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan. Berkat
bimbingan beliaulah saya akhirnya dapat menyelesaikan tugas mata kuliah sosiologi
pendidikan berjudul “Pendidikan dalam Perspektif Teori-Teori Fungsional Struktural,
Teori Konflik, Teori Interaksionisme Simbolik, serta Teori Strukturasi.”

Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat tambahan pengetahuan
dan pengalaman bagi pembacanya. Saya menyadari masih banyak kekurangan dalam
penulisan tugas ini, maka kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan dari
pembaca untuk perbaikan di masa mendatang.

Penyusun, Mataram, 16 Oktober 2020

Pristiana Safitri
(L1C018083)

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I. Pendidikan dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural 1
BAB II. Pendidikan dalam Perspektif Teori Konflik 4
BAB III. Pendidikan dalam Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik 7
BAB IV. Pendidikan dalam Perspektif Teori Strukturasi 11
KESIMPULAN DAN ANALISIS KRITIS 14
DAFTAR PUSTAKA 16
LAMPIRAN 17

iii
BAB I

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI FUNGSIONAL STRUKTURAL

Fungsional struktural merupakan perspektif pemikiran sosiologi yang sangat


berpengaruh terutama pada tahun 1960-an. Perspektif ini muncul karena semangat
Renaissance pada masa August Comte sekitar abad ke 17 M. Pada abad tersebut
muncul kesadaran yang mula-mula beranggapan bahwa manusia tidak mempunyai
otoritas untuk menjelaskan dan mengelola fenomena yang terjadi dalam masyarakat,
semua sudah ditentuakn oleh yang “di Atas”, kemudian dipahami aturan dari yang “di
Atas” bukan selama-lamanya. Artinya ada “celah” yang diberikan oleh yang “di Atas “
kepada manusia untuk mengelolanya (Puspitasari, 2009:10).

Teori fungsional struktural sering disebut perspektif fungsionalisme yang


melihat masyarakat sebagai sebuah keseluruhan sistem yang bekerja untuk
menciptakan tatanan dan stabilitas sosial. Teori ini menekankan kepada keteraturan
dan mengabaikan konflik serta perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep
utamanya adalah fungsi, disfungsi, fungsi latent, fungsi manifest, dan keseimbangan.
Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-
bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan.

Asumsi dasar dari teori fungsional struktural ini adalah bahwa setiap struktur
dalam sistem sosial, adalah fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya, apabila tidak
fungsional maka struktur tersebut tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya.
Teori ini memandang bahwa masyarakat bersifat statis atau berada dalam perubahan
secara seimbang, dimana setiap elemen masyarakat memiliki peran menjaga stabilitas
tersebut.

Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons

Dalam catatan sejarah, dikatakan Talcott Parson adalah tokoh fungsionalisme


struktral yang terbesar bahkan hingga saat ini. Parsons mempunyai asumsi bahwa
masyarakat dilihat sebagai suatu sistem yang di dalamnya terdapat sub-sub sistem
yang masing-masing mempunyai fungsi untuk mencapai keseimbangan dalam
masyarakat. Suatu fungsi adalah “suatu kompleks kegiatan-kegiatan yang diarahkan
kepada pemenuhan suatu kebutuhan atau kebutuhan-kebutuhan sistem itu.” (Rocher,
1975:40; R. Stryker, 2007). Menggunakan definisi tersebut, Parsons percaya bahwa
ada empat imperative fungsional yang perlu bagi (khas pada) semua sistem, yakni

1
Adaptation (A), maksudnya sistem itu harus beradaptasi dengan lingkungannya dan
mengadaptasikan lingkungan dengan kebutuhan-kebutuhannya. Goal attaintment (G),
suatu sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya. Integration (I),
suatu sistem harus mengelola hubungan diantara tiga imperative fungsional lainnya (A,
G, L). Latency (L), suatu sistem harus menyediakan, memelihara, dan memperbarui
baik motivasi para individu maupun pola-pola budaya yang menciptakan dan
mendorong motivasi itu. Keempat imperative fungsional ini dikenal sebagai skema
AGIL. Agar dapat lestari, suatu sistem harus melaksanakan keempat fungsi tersebut.

Dalam penerapan skema AGIL dapat dilihat bahwa pada organisme perilaku
yang merupakan sistem tindakan yang melkasanakan fungsi adaptasi dengan
menyesuaikan diri/mengubah lingkungan eksternal. Sistem kepribadian melaksanakan
fungsi pencapaian tujuan dengan sistem dan memobilisasi sumber daya yang ada
untuk mencapainya. Sistem sosial menanggulangi fungsi integrasi dengan
mengendalikan bagian-bagian yang menjadi komponenya. Sistem kultural
melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor seperangkat
norma dan nilai-nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak.

Fungsionalisme Struktural Robert K. Merton

Meskipun Merton dan Parsons sama-sama diasosiasikan dengan


fungsionalisme struktural, terdapat perbedaan-perbedaan penting diantara mereka.
Pada satu titik Merton setuju dengan pendahulunya—perlunya fokus pada fenomena
sosial berskala besar. Akan tetapi, Merton berargumen bahwa selain berfokus pada
fungsi-fungsi positif, fungsionalisme struktural harus memerhatikan disfungsi dan
bahkan nonfungsi. Selanjutnya, ia berargumen di dalam melakukan analisis struktural
fungsional, kita harus bergerak menjauhi analisis-analisis global dan memerinci level-
level di atas mana kita sedang bekerja. Merton juga menambahkan ide bahwa para
fungsionalisme struktural harus memerhatikan bukan hanya fungsi yang nyata
(disengaja), melainkan juga dengan fungsi yang laten (tidak disengaja).

Pendidikan dalam Perspektif Teori Fungsionalisme

Teori fungsionalisme struktural tidak bisa dipisahkan dengan pendidikan.


Pendidikan merupakan proses guna mewujudkan kualitas sumber daya manusia
secara utuh agar dapat melaksanakan peran dalam kehidupan kelompok maupun
individual baik secara fungsional dan optimal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau

2
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik. Ki Hajar Dewantara atau yang dikenal
sebagai Bapak Pendidikan Nasional menyatakan jika pendidikan adalah proses
pembudayaan yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru
dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan maksud
memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju ke arah keluhuran hidup
manusia.

Gejala-gejala dan kondisi pendidikan tidak pernah dilepaskan dari sistem


sosial. Pendidikan merupakan alat untuk mengembangkan kesadaran diri sendiri dan
kesadaran sosial menjadi suatu paduan yang stabil sehingga pendidikan tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan sosial. Oleh karena itu, pendidikan bersifat fungsional dalam
sistim kehidupan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa melihat bagaimana
teori struktural fungsional bekerja dalam sebuah sistem. Contohnya, pemerintah yang
mendirikan sekolah dalam rangka menyelenggarakan pendidikan untuk warganya.
Murid-murid dipersiapkan untuk mengisi lapangan kerja dan posisi-posisi di
pemerintahan nantinya. Ketika bekerja, tibalah mereka untuk membayar pajak. Uang
pajak tersebut digunakan untuk membiayai pendidikan dan lainnya. Pekerja, juga
menyuplai biaya hidup keluarganya agar tetap eksis. Pada akhirnya, murid-murid yang
semula dibiayai dan didik oleh negara akan membiayai negara kembali agar tetap
eksis. Dari sudut pandang teori struktural fungsional, jika sistem tersebut berjalan
sebagaimana mestinya, yakni pemerintah membiayai pendidikan, murid belajar
kemudian bekerja, sistem sosial akan berada pada kondisi yang stabil.

3
BAB II

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI KONFLIK

Pada tahun 1950-an dan 1960-an teori konflik mulai merebak. Teori ini
dibangun dalam rangka untuk menentang secara langsung terhadap teori
fungsionalisme struktural. Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari
teori konflik adalah pemikiran Karl Marx. Teori konflik melihat bahwa di dalam
masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Menurut teori konflik,
masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Artinya, keteraturan yang terjadi dalam
masyarakat ada karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori ini lekat
hubungannnya dengan dominasi, koersi, dan power. Asumsi inti dari dari teori ini
adalah masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok yang memiliki minat bertentangan.
Paksaan dan upaya mendapatkan kekuasaan merupakan aspek hubungan
masyarakat yang selalu ada. Tokoh sosiologi modern yang menjadi dasar pemikiran
pada teori konflik ini adalah Ralf Dahrendorf dan Lewis A. Coser.

Karl Marx berpendapat bahwa Konflik kelas diambil sebagai titik sentral dari
masyarakat. Konflik antara kaum kapitalis dan proletar adalah sentral di masyarakat.
Segala macam konflik mengasumsikan bentuk dari peningkatan konsolidasi terhadap
kekacauan. Kaum kapitalis telah mengelompokkan populasi pada segelintir orang saja.
Kaum borjuis telah menciptakan kekuatan produktif dari semua generasi dalam sejarah
sebelumnya. Tetapi kelas-kelas itu juga berlawanan antara satu dengan yang lainnya.
Masyarakat menjadi terpecah ke dalam dua kelas besar yaitu borjuis dan proletar.

Menurut Dahrendorf, dalam setiap kelompok orang berada pada posisi


dominan berupaya mempertahankan status quo, sedangkan orang yang berada pada
posisi marginal atau subordinat berusaha mengadakan perubahan. Dahrendorf (1959,
1968) juga merupakan pendukung utama pendirian bahwa masyarakat mempunyai
dua wajah (konflik dan consensus). Oleh karena itu teori sosiologi harus dipecah
menjadi dua bagian yakni teori konflik dan teori konsensus. Ia menyadari bahwa
masyarakat tidak bisa ada tanpa konflik dan konsensus, keduanya merupakan
prasyarat satu sama lain. Ralf Dahrendorf mulai dengan dan sangat dipengaruhi oleh
fungsionalisme struktural. Ia mencatat bahwa bagi sang fungsionalis, sistem sosial
dipersatukan oleh kerja sama sukarela atau konsensus umum maupun keduanya.
Akan tetapi, bagi teori konflik, masyarakat dipersatukan oleh “pembatasan yang

4
dipaksakan”. Dengan demikian, beberapa posisi di masyarakat merupakan kekuasaan
dan otoritas yang didelegasikan kepada orang lain.

Lewis A. Coser kemudian membagi konflik menjadi dua, yaitu konflik realistis
dan konflik non-realistis. Konflik realistis berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-
tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan
keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap
mengecewakan. Sedangkan konflik non- realistis, konflik yang bukan berasal dari
tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan
ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat
yang buta huruf pembalasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet
dan lain-lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambing hitaman
sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi
lawan mereka. Menurut Coser, konflik dapat bersifat fungsional positif maupun negatif.
Fungsional positif apabila konflik melawan struktur. Coser sangat menentang para ahli
sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. Perbedaan
merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial.
Dengan demikian, ia menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator
dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan.

Pendidikan dalam Perspektif Teori Konflik

Menurut UU No. 20 tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. pendidikan
dalam struktural konflik melihat bahwa setiap individu di dalam kelas mempunyai
perbedaan pendapat, kepentingan, dan keinginan yang dapat memunculkan konflik.

Dalam teori konflik nampak jelas didominasi oleh kaum borjuis sebagai
pemegang kendali maupun kebijkan dan keputusan. Pada stratifikasi sosial kita juga
mengenal bahwa kelas bawah tidak akan mempunyai dan memperoleh pendidikan
dibandingkan dengan kelas menengah dan tinggi. Contoh dalam hal ini adalah kelas
tinggi tidak akan dapat dipahami oleh kelas tengah dan kelas bawah. Hal ini
dikarenakan pengalaman yang diperolehnya sangat berbeda satu dengan yang lainya.
Realita menunjukkan bahwa pendidikan ditentukan oleh penguasa, sehingga kebijakan

5
untuk mendapatkan kesempatan dalam mengenyam pendidikan dan keilmuan kurang
bahkan tidak sesuai dengan yang kita harapkan , sekaligus buka bagian dari keinginan
pesesrta didik dan bidang kompetensinya.

Uraian di atas dapat memberikan informasi bahwa pendidikan dalam struktural


konflik melihat bahwa setiap individu di dalam kelas mempunyai perbedaan pendapat,
kepentingan, dan keinginan yang dapat memunculkan konflik. Sebagaimana diketahui,
kelas yang ada saat ini berisi siswa dari multikultur atau multi etnis. Bahkan, kelas
yang ada saat ini juga multi budaya, multi agama, multi gender, multi ras, multi umur,
dan multi tingkat kecerdasan. Oleh karena itu, sangat wajar akan mudah terjadi konflik.
Konflik dapat berakibat posisit dan negatif. Konflik di dalam kelas bersifat positif
manakala terjadi persaingan yang sehat antarsiswa. Siswa saling berlomba untuk
menjadi yang terbaik. Mereka saling berlomba untuk menjadi juara satu. Ketika hal itu
yang terjadi, guru perlu membuat konflik agar terjadi persaingan siswa secara rasional.
Konflik di kelas dalam arti negatif, akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat
dengan saling menjatuhkan antara siswa yang satu dengan lainnya. Menyontek adalah
salah satu contoh konflik yang tidak fair. Mengapa hal itu dikatakan tidak fair karena
siswa yang sudah belajar dengan baik, bisa jadi nilainya kalah dengan siswa yang
berhasil menyontek dan tidak terdeteksi oleh guru.

Konflik negatif yang terjadi di kelas dapat menjadi positif manakala guru mampu
mengelola konflik dengan baik. kemampuan guru dalam mengelola konflik menjadi
tumpuhan manakala menghendaki proses belajar mengajar dapat berjalan dengan
baik. Ketika guru tidak mampu mengelola konflik dengan baik, maka konflik yang
terjadi antar siswa menjadi kontra produktif, merusak, tidak konstruktif, dan merugikan
semua pihak. Oleh kerana itu, seluruh guru hendaknya mampu mengelola konflik yang
terjadi di kelas dengan baik.

6
BAB III

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK

Teori interaksionisme simbolik merupakan teori yang menekankan pada peran


komunikasi dalam membentuk dan mengelola hubungan interpersonal dan kelompok
sosial. Penggagas utama dari teori ini adalah George Herbert Mead. Teori
interaksionisme simbolik bermula dari interaksionisme simbolik yang di gagas oleh
George Herbert Mead, yakni sebuah perspektif sosiologi yang dikembangkan pada
kisaran pertengahan abad 20 dan berlanjut menjadi beberapa pendekatan teoritis yaitu
aliran Chicago yang diprakarsai oleh Herbert Blummer, aliran lowa yang diprakarsai
oleh Manford Khun, dan aliran indana yang diprakarsai oleh Sheldon Stryker. Ketiga
interaksi tersebut memengaruhi berbagai bidang disiplin salah satunya adalah ilmu
komunikasi.

Dalam pandangan teori Interaksionisme Simbolik, manusia adalah mahluk


pembuat atau produsen simbol; suatu pemikiran yang mengingatkan kita pada
pernyataan filosof Jeman dari kubu neo-kantian Ernst Cassirer bahwa manusia adalah
“animal symbolicum”. Segala sesuatu (objek) yang ada di dalam kehidupan manusia
mempunyai makna simbolik. Makna-makna ini tidak datang dengan sendirinya,
melainkan dihadirkan dan kemudian disepakati lalu dijadikan simbol. Simbol di sini
dipahami sebagai tanda yang mengandung kesepakatan makna. Oleh sebab itu,
perilaku manusia, baik sebagai individu maupun kelompok bertitik tolak dari makna-
makna simbolik dari objek tadi. Teori interaksionisme simbolik dibangun berdasarkan
asumsi ontologi yang menyatakan bahwa realitas dibentuk secara sosial. Apa yang kita
yakini benar didasarkan atas bagaimana kita dan orang lain berbicara tentang apa
yang kita percaya untuk menjadi benar. Realitas selanjutnya didasarkan pada
pengamatan, interpretasi, persepsi, dan konklusi yang dapat kita sepakati melalui
pembicaraan. Teori interaksi simbolik berpendapat bahwa diri (self) dan masyarakat
(society) dibentuk, dikonsep ulang, dan diciptakan ulang dengan dan melalui proses
komunikatif.

Teori Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead

Teori george herbert mead merupakan teori yang paling penting di dalam
interaksionisme simbolik. Secara substantive, teori Mead setuju dengan keutamaan
dan prioritas dunia social yakni dari dunia social lah kesadaran, pikiran, diri, dan
seterusnya muncul. Unit yang paling dasar di dalam teori sosialnya ialah tindakan,

7
yang mencakup empat tahap yang berhubungan secara dialektis-impuls, persepsi,
manipulasi, dan penyelesaian. Bagi Mead, proses sosial adalah yang utama dalam
struktur dan proses pengalaman individu. Berdasarkan judul bukunya “mind, self, and
society”, maka dalam interaksionisme simbolik terdapat tiga konsep kunci utama yaitu
mind, self, dan society.

 Mind
Menurut Mead, mind berkembang dalam proses sosial komunikasi dan
tidak dapat dipahami sebagai proses yang terpisah. Proses ini melibatkan dua
fase yaitu conversation of gestures (percakapan gerakan) dan language
(bahasa). Mind hanya tampil manakala simbol-simbol yang signifikan
digunakan dalam komunikasi. Mind juga merupakan komponen individu yang
menginteruspsi tanggapan terhadap stimuli atau rangsangan.
 Self
Self diartikan melalui interaksi dengan orang lain. Self merujuk pada
kepribadian reflektif dari individu. Self adalah sebuah entitas manusia ketika ia
berpikir mengenai siapa dirinya. Menurut Mead, self dikembangkan melalui
beberapa tahapan, yaitu :
 Tahap persiapan – imitasi yang tidak berarti
 Tahap bermain – terjadi bermain peran namun bukan merupakan konsep
yang menyatu dalam perkembangan diri
 Tahap permainan – merupakan tahap perkembangan diri

Self adalah fungsi dari bahasa. Seorang individu harus menjadi anggota
suatu komunitas sebelum kesadaran diri membentuknya. Self merupakan
proses yang berlangsung terus menerus yang mengkombinasikan “I” dan “Me”.
Oleh karena itu, dalam self terdiri dari dua bagian, yaitu “I” – diri yang aktif,
merupakan kecenderungan impulsif dari diri individu, bersifat spontan, dan juga
merupakan aspek dari eksistensi manusia yang tidak terorganisasi. “Me” –
merupakan diri yang menjadi objek renungan kita atau merupaka gambaran diri
yang dilihat melalui cermin diri dari reaksi yang diberikan oleh orang lain.

 Society
Society atau masyarakat dibentuk melalui interaksi antar individu yang
terkoordinasi. Menurut Mead, interaksi yang tejadi pada manusia menempati
tingkatan tertinggi bila dibandingkan makhluk lainnya. Hal ini dikarenakan

8
digunakannya berbagai macam simbol signifikan yaitu bahasa. Meskipun
terkadang manusia memberikan respon atau tanggapan secara otomatis dan
tanpa berpikir panjang terhadap gestur manusia lainnya, interaksi manusia
ditransformasikan dengan kemampuannya untuk membentuk dan
menginterpretasikan secara langsung dengan menggunakan sistem simbol
konvensional.
Komunikasi manusia memiliki makna dalam gerakan simbolik dan tidak
meminta tanggapan langsung. Manusia harus menafsirkan setiap gerakan dan
menentukan makna mereka. Untuk menyelesaikan suatu tindakan, pelaku
harus menempatkan dirinya pada posisi orang lain. Perilaku dipandang sebagai
sosial tidak hanya ketika memberikan respon terhadap orang lain melainkan
juga ketika telah tergabung di dalam perilaku orang lain. Manusia menanggapi
diri mereka sebagaimana orang lain menanggapi mereka dan dengan demikian
mereka berbagi perilaku orang lain secara imaginer.

Teori Interaksionisme Simbolik

Menurut Herbert Blumer, teori interaksi simbolis menitikberatkan pada tiga


prinsip utama komunikasi yaitu meaning, language, dan thought.

 Meaning
Berdasarkan teori interaksi simbolis, meaning atau makna tidak inheren
ke dalam obyek namun berkembang melalui proses interaksi sosial antar
manusia karena itu makna berada dalam konteks hubungan baik keluarga
maupun masyarakat. Makna dibentuk dan dimodifikasi melalui proses
interpretatif yang dilakukan oleh manusia.
 Language
Sebagai manusia, kita memiliki kemampuan untuk menamakan sesuatu.
Bahasa merupakan sumber makna yang berkembang secara luas melalui
interaksi sosial antara satu dengan yang lainnya dan bahasa disebut juga
sebagai alat atau instrumen.
 Thought
Thought atau pemikiran berimplikasi pada interpretasi yang kita berikan
terhadap simbol. Dasar dari pemikiran adalah bahasa yaitu suatu proses
mental mengkonversi makna, nama, dan simbol. Pemikiran termasuk imaginasi
yang memiliki kekuatan untuk menyediakan gagasan walaupun tentang

9
sesuatu yang tidak diketahui berdasarkan pengetahuan yang diketahui.
Misalnya adalah berpikir.

Pendidikan dalam Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik

Inti teori interaksionisme ini adalah individu. Teori ini akan berurusan dengan
struktur-struktur sosial, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku individual atau sifat-sifat
batin yang bersifat dugaan, interaksionisme simbolik memfokuskan diri pada hakekat
interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Interaksi
sendiri dianggap sebagai unit analisis, sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar
belakang.

Dapat dicontohkan, hubungan seorang guru dengan peserta didik. Dalam


hubungan tersebut ada pola yang telah diatur, peserta didik sebagai orang yang akan
menerima informasi dan guru sebagai orang yang akan melakukan trasformasi
pengetahuan. Guna mengetahui keberhasilan peserta didiknya, ia harus melakukan
penilaian. Pandangan peserta didik terhadap dirinya dan teman-temannya dipengaruhi
oleh penilaian guru yang bersangkutan. Lalu diberilah lebel atas dasar interpretasi
bahwa peserta didik yang duduk di bangku depan berkelakuan baik, sopan, rajin, dan
pintar. Peserta didik yang berada di baris belakang sepertinya kurang pintar, tidak
perhatian terhadap pelajarannya, dan malas. Sehingga perhatian guru terhadap
mereka yang diinterprestasikan subordinat dalam prestasi belajar akan berbeda.
Padahal, dapat saja kemampun semua peserta belajar di satu kelas tidak signifikan
perbedaannya atau mirip (Jones, 2009: 144). Oleh karena itu, dibutuhkan interaksi
langsung dengan melihat dari dekat –tidak sepintas– serta memberi perlakuan sama
yang mendorong peserta didik tersebut mempunyai progres akademik yang positif
sehingga interpretasinya benar dan sesuai dengan fakta lapangan.

10
BAB IV

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI STRUKTURASI

Teori strukturasi merupakan teori yang menepis dualism (pertentangan) dan


mencoba mencari likage atau pertautan setelah terjadi pertentangan tajam antara
struktur fungsional dengan konstruksionisme fenomenologis. Teori ini dipelopori oleh
Anthony Giddens (1984), dia adalah seorang sosiolog Inggris yang mengembangkan
apa yang disebutnya sebagai sosiologi sehari-hari. Giddens merumuskan teori
strukturasi berdasarkan kegagalan teori-teori sosial modern untuk memetakan
kehidupan sosial. Giddens tidak puas dengan teori pandangan yang dikemukakan oleh
struktural-fungsional, yang menurutnya terjebak pada pandangan naturalistik.
Pandangan naturalistik mereduksi aktor dalam stuktur, kemudian sejarah dipandang
secara mekanis, dan bukan suatu produk kontengensi dari aktivitas agen. Tetapi
Giddens juga tidak sependapat dengan konstruksionisme-fenomenologis, yang
baginya disebut sebagai berakhir pada imperalisme subjek. Oleh karenanya ia ingin
mengakiri klaim-klaim keduanya dengan cara mempertemukan kedua aliran tersebut

Teori strukturasi berangkat dari tindakan dan pelaku tindakan dalam rutinitas
kelangsungan kehidupan sosial. Berpijak dari fenomena itu, Giddens memperluas teori
strukturasinya menyangkut isu-isu sentral di masyarakat seperti peran teknologi,
kekuasaan, sentralitas ruang dan waktu. Menurut Giddens, struktur bukan bersifat
eksternal bagi individu-individu melainkan dalam pengertian tertentu lebih bersifat
internal. Terkait dengan aspek internal ini Giddens menyandarkan pemaparannya pada
diri seorang subjek yang memiliki sifatnya yang otonom serta memiliki andil untuk
mengontrol struktur itu sendiri. Struktur tidak disamakan dengan kekangan (constraint)
namun selalu mengekang (constraining) dan membebaskan (enabling).

Manusia melakukan tindakan secara sengaja untuk menyelesaikan tujuan-


tujuan mereka, pada saat yang sama, tindakan manusia memiliki unintended
consequences (konsekuensi yang tidak disengaja) dari penetapan struktur yang
berdampak pada tindakan manusia selanjutnya. Manusia menurut teori ini yaitu agen
pelaku bertujuan yang memiliki alasan-alasan atas aktivitas-aktivitasnya dan mampu
menguraikan alasan itu secara berulang-ulang. Tidak menutup kemungkinan alasan
yang diuraikan oleh manusia tersebut memiliki tujuan-tujuan yang didasarkan atas apa
yang hendak ia perlukan pada dimensi ruang dan waktu yang berbeda-beda. Menurut

11
Giddens, antara agen dan struktur seperti dua mata uang logam yang tidak dapat
dipisahkan dan keduanya memiliki hubungan dwi rangkap.

Dualitas Struktur

Dualitas struktur adalah sifat dasar kehidupan sosial yang selalu berulang,
sebagai yang tertanam atau tercermin dalam praktif-praktik social. Struktur sebagai
perangkat aturan dan sumberdaya yang diorganisasikan secara rekursif berada diluar
ruang dan waktu, disimpan dalam koordinasi dan kesegarannya sebagai jejak-jejak
memori dan ditandai oleh ‘ketiadaan subyek’. Menganalisis strukturasi sistem sosial
tempat disiratkannya secara rekrusif struktur terdiri dari aktivitas-aktivitas utama aktor-
aktor ditempat tertentu menggunakan aturan-aturan dan sumber daya dalam konteks
tindakan yang beraneka ragam. Pembentukan agen-agen dan struktur-struktur
bukanlah dua gugus fenomena tertentu yang saling terpisah, yakni dualisme,
melainkan menggambarkan suatu dualitas. Menurut dualitas struktur, sifat-sifat
struktural sistem sosial keduanya merupakan media dan hasil praktek-praktek yang
diorganisasikan secara rekursif.

Dalam pandangan Giddens, terdapat sifat dualitas pada struktur, yakni struktur
sebagai medium dan sekaligus sebagai hasil (outcome) dari tindakan-tindakan agen
yang diorganisasikan secara berulang (recursively). Dualitas struktur selalu
merupakan dasar utama kesinambungan dalam reproduksi social dalam ruang-waktu.
Pada gilirannya hal ini mensyaratkan monitoring refleksif agen-agen dan sebagaimana
dalam aktivitas sehari-hari. Arus suatu tindakan senantiasa menghasilkan
konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan oleh aktor-aktor dan konsekuensi yang
tidak diinginkan itu mungkin juga membentuk kondisi-kondisi tindakan yang tidak diakui
dalam suatu umpan balik. Meski sejarah manusia diciptakan oleh aktivitas-aktivitas
yang disengaja, namun ia bukanlah suatu proyek yang diinginkan, sejarah manusia
senantiasa menghindarkan usaha-usaha untuk menggiringnya agar tetap berada di
jalur kesadaran.

Pendidikan dalam Teori Strukturasi

Teori Strukturasi Anthony Gidens menyatakan bahwa individu adalah agen-


agen sosial dengan kemampuan dapat merombak struktur sosial yang ada. Individu
yang berperan sebagai agen sosial setidaknya memiliki kepribadian kuat sehingga
tidak hanya memberi warna terhadap struktur sosial yang ada tetapi juga dapat
merubah struktur yang ada. Pendidikan memiliki tujuan untuk membekali individu

12
dengan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap sehingga mampu meningkatkan kualitas
dirinya. Pendidikan yang berkaitan erat dengan anak didik, tentu dapat dikategorikan
sebagai pencetak agen-agen sosial dimasa depan. Anak didik yang berperan sebagai
agen sosial perlu untuk dipersiapkan. Tugas keluarga, guru, sekolah, pemerintah, dan
masyarakat berkewajiban untuk melancarkan proses pencapaian tujuan pendidikan.
Keunikan setiap anak didik sudah sepantasnya dipandang sebagai sesuatu kelebihan
yang dimiliki dalam upayanya menjadi seorang agen sosial.

Strukturasi merupakan teori yang dikembangkan oleh Anthony Giddens


sebagai jalan tengah untuk mengakomodasi dominasi struktur atau kekuatan sosial
dengan pelaku tindakan (agen) seperti juga teori disonansi kognitif . Ini dijadikan
sebagai penengah perdebatan kencang antara strukturalisme dan subyektivisme.
Strukturalisme yang menekankan pada dominasi peran struktur di dalam kehidupan
sosial dan menjadi kekuatan sosial yang mampu mencengkram dan mengendalikan
individu-individu secara penuh.

13
KESIMPULAN DAN ANALISIS KRITIS

A. Kesimpulan
Pendidikan merupakan proses guna mewujudkan kualitas sumber daya
manusia secara utuh agar dapat melaksanakan peran dalam kehidupan
kelompok maupun individual baik secara fungsional maupun optimal.
Pendidikan termasuk salah satu bidang yang menjadi kajian dari ilmu sosiologi
karena aktivitas pendidikan yang sangat erat hubungannya dengan
masyarakat. Sosiologi juga merupakan pendekatan studi tentang pendidikan
dimana pendekatan ini menghantarkan untuk memahami kaitan sosiologi
dengan pendidikan itu sendiri.
Melalui teori-tori yang ada dalam sosiologi, kita dapat melihat
pendidikan secara lebih kritis. Teori dapat dipahami sebagai ide, asumsi, atau
hipotesis yang diekspresikan melalui hubungan antar variable atau konsep
yang menjelaskan tentang apa, bagaimana, atau mengapa suatu fenomena
terjadi. Beberapa teori sosiologi yang dapat digunakan untuk mengkaji
pendidikan diantaranya teori fungsional struktural, teori konflik, teori
interaksionisme simbolik, serta teori strukturasi. Teori-teori ini akan memberikan
penjelasan yang relevan mengenai pendidikan di tengah masyarakat.

B. Analisis Kritis
Aktivitas pendidikan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Hal
ini dikarenakan masyarakat senantiasa berubah sejalan dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang terjadi. Agar pendidikan tidak kehilangan arah
dalam menghadapi masyarakat yang terus berubah, maka dunia pendidikan
perlu terus mengkaji dan menganalisis aspek-aspek perubahan, baik dari
perspektif positif maupun negatifnya. Dalam kajiannya di bidang pendidikan,
ada beberapa perspektif teori sosiologi yang dapat digunakan yaitu teori
fungsional struktural, teori konflik, teori interaksionisme simbolik, serta teori
strukturasi.
1. Teori fungsional struktural
Teori fungsional struktural melihat masyarakat sebagai sebuah
keseluruhan sistem yang bekerja untuk menciptakan tatanan dan stabilitas
sosial. Teori ini menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik
serta perubahan-perubahan dalam masyarakat. Dalam dunia pendidikan,
teori ini memberikan pandangan yang melihat pendidikan sebagai suatu

14
sistem yang apabila sistem tersebut berjalan dengan semestinya maka
sistem sosial akan berada pada kondisi yang stabil.
2. Teori Konflik
Karl Marx berpendapat bahwa Konflik kelas diambil sebagai titik sentral
dari masyarakat. Konflik antara kaum kapitalis dan proletar adalah sentral di
masyarakat. Pada stratifikasi sosial kita juga mengenal bahwa kelas bawah
tidak akan mempunyai dan memperoleh pendidikan dibandingkan dengan
kelas menengah dan tinggi.
3. Teori Interaksionisme Simbolik
Teori interaksionisme simbolik merupakan teori yang menekankan pada
peran komunikasi dalam membentuk dan mengelola hubungan
interpersonal dan kelompok sosial. Dalam dunia pendidikan sendiri, teori ini
memberikan pandangan tertentu karena sebuah pelabelan. Misalnya,
dengan memandang anak yang duduk di barisan depan sebagai anak yang
pintar, begitu juga sebaliknya.
4. Teori Strukturasi
Teori Strukturasi Anthony Gidens menyatakan bahwa individu adalah
agen-agen sosial dengan kemampuan dapat merombak struktur sosial yang
ada. Melalui teori ini, pendidikan dimaknai sebagai sebuah agen yang dapat
merombak struktur sosial yang ada di masyarakat.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ambar. 2017. “Teori Interaksi Simbolik – Konsep – Asumsi – Kritik.”


PakarKomunikasi.Com. Retrieved (https://pakarkomunikasi.com/teori-interaksi-
simbolik).

Demartoto, Argyo. 2013. “TEORI STRUKTURASI DARI ANTHONY GIDDENS.”


Retrieved (https://argyo.staff.uns.ac.id/2013/02/05/teori-strukturasi-dari-anthony-
giddens/).

Hatmoko, Dwi. 2016. “Pelaku Pendidikan Dan Pemerhati Sejarah, Sosial, Budaya, Dan
Pariwisata.”

Maksmum, Ali. 2016. SOSIOLOGI PENDIDIKAN. Malang: Madani.

Maunah, Binti. 2015. “PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF STRUKTURAL KONFLIK.”


CENDEKIA 9(1):71–78.

Maunah, Binti. 2016. “PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF STRUKTURAL


FUNGSIONAL.” CENDEKIA 10(2):159–78.

Rasyid, Muhammad Rusydi. 2015. “PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI


SOSIOLOGI.” Auladuna 2(2):274–86.

Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan
Terakhir Postmodern. ke-8. edited by W. A. Djohar. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

sosiologis.com. 2017. “Teori Struktural Fungsional.” Www.Sosiologis.Com. Retrieved


(http://sosiologis.com/teori-struktural-fungsional).

sosiologis.com. 2018. “Teori Interaksionisme Simbolik.” WWW.SOSIOLOGIS.COM.


Retrieved (http://sosiologis.com/teori-interaksionisme-simbolik).

16
LAMPIRAN

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN


KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS MATARAM
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
Jl. Majapahit No. 62 Mataram
e-mail : sosiologi@unram.ac.id, Website : www.sosiologi.unram.ac.id

LEMBAR JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)


SEMESTER GANJIL TA. 2020/2021

Mata Kuliah : Sosiologi Pendidikan

Kelas : Sosiologi A

Hari/tanggal : Jumat, 16 Oktober 2020

Nama Mhs : Pristiana Safitri No. Mhs: L1C018083

PERNYATAAN

Apa yang saya tulis ini sebagai jawaban atas pertanyaan (soal) adalah murni
hasil pemikiran saya sendiri, dan jika nanti ditemukan kesamaan dengan tulisan orang
lain, baik dari sumber (web/situs dan referensi) tertentu atau tulisan saya memiliki
kesamaan dengan tulisan rekan-rekan saya, maka saya siap menerima sanksi yang
diberikan oleh dosen pengasuh matakuliah ini.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya secara sadar dan
bertanggung jawab.

Tanda Tangan :

............................................

17

Anda mungkin juga menyukai