Anda di halaman 1dari 21

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI-TEORI FUNGSIONAL STRUKTURAL,

TEORI KONFLIK, TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK, SERTA TEORI


STRUKTURASI

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Sosiologi Pendidikan

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Nurmeliyani
NIM : L1C018081
Fakultas&Prodi : Fisipol & Sosiologi
Semester : 5 (Lima)

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT atas


selesainya tugas Makalah Sosiologi Pendidikan dengan judul “Pendidikan Dalam
Perspektif Teori-Teori Fungsional Struktural, Teori Konflik, Teori Intraksionalisme
Simbolik, serta Teori Strukturasi” dapat penulis selesaikan.

Makalah dengan judul “Pendidikan Dalam Perspektif Teori-Teori Fungsional


Struktural, Teori Konflik, Teori Intraksionalisme Simbolik, serta Teori Strukturasi”
dibuat untuk melengkapi tugas mata kuliah Sosiologi Pendidikan. Tidak lupa saya juga
ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos
sebagai dosen pengampuh Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan.

Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat bagi para pembaca
karena saya selaku penyusun menyadari bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan perlu diperbaiki, untuk itu saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Mataram,15 Oktober 2020

Nurmeliyani

L1C018081
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I. Pendidikan dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural 1

BAB II. Pendidikan dalam Perspektif Teori Konflik 5

BAB III. Pendidikan dalam Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik

BAB IV. Pendidikan dalam Perspektif Teori Strukturasi

KESIMPULAN DAN ANALISIS KRITIS

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN (Berisi Surat Pernyataan yang dari Akademik yang sudah diisi dan ditandatangani)
Bab I

Pendidikan dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural

A. Pengertian Pendidikan

Pendidikan adalah kebutuhan pokok setiap individu. Oleh karena begitu


pentingnya pendidikan, pemerintah mewajibkan pendidikan setidaknya selama
9 tahun dan disarankan lebih dari itu. Sekilas, kita bisa membedakan
bagaimana cara berpikir antara mereka yang berpendidikan dan yang tidak
tuntas dari segi pendidikannya.
Secara umum, yg dimaksud dengan pendidikan adalah mengikuti kegiatan
proses pembelajaran untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan.
Peserta didik sekaligus mengikuti kebiasaan dari sekumpulan besar manusia
dari satu generasi ke generasi yg lain dengan melalui proses pengajaran oleh
guru, pelatihan dan juga penelitian.
Adapun definisi lain dari pendidikan adalah usaha yg disengaja dan dilakukan
secara sistematis agar suasana belajar kondusif sehingga para peserta didik
bisa mengembangkan bakat dan kemampuan dirinya dengan lebih maksimal
lagi. Dengan mengikuti pendidikan yg sudah ditempuh, harapannya para
peserta didik mampu memiliki akhlak yg mulia, berkpribadian luhur, tinggi
kemampuan spritualitasnya, memiliki kecerdasan yg luar biasa dan juga
mempunyai keterampilan yang nantinya berguna bagi dirinya sendiri dan juga
bagi masyarakat sekitar.
Singkatnya, definisi pendidikan merupakan proses pembelajaran yg dilakukan
kepada peserta didik supaya yang bersangkutan memiliki pengertian dan
pemahaman yg baik mengenai sesuatu dan nantinya tumbuh menjadi pribadi
yg gemar berpikir kritis dan menjadi lebih baik lagi, baik itu dari segi afektif,
kognitif maupun psikomotoriknya.
B. Perspektif Struktural Fungsional dan Pendidikan

Para penganut pandangan structural fungsional percaya bahwa


pendidikan dapat digunakan sebagai jembatan untuk menciptakan tertib sosial.
Pendidikan dijadikan sebagai media sosialisasi kepada generasi muda untuk
mendapatkan pengetahuan, perubahan perilaku dan penguasaan tata nilai
yang diperlukan sebagai anggota masyarakat.

Auguste Comte (1798-1857) yang dikenal sebagai bapak sosiologi yang


memelopori filsafat positivistic, berpendapat bahwa pengetahuan dan
masyarakat dalam proses transisi secara evolusi. Tugas sosiologi disini untuk
memahami faktor-faktor yang diperlukan dalam evolusi masyarakat. Semuanya
itu nantinya bertujuan untuk menciptakan tertib sosial yang baru. Pendidikan lah
yang digunakan sebagai tempat untuk mengembangkan tradisi pengetahuan
positivistic, sehingga siswa dapat berpikir positive sehingga segala sesuatu dapat
dijelaskan dengan sebab-akibat.

Evolusi tertib sosial melalui tiga tahap yaitu; tahap teologis, tahap metafisik dan
tahap ilmiah. Comte percaya bahwa masyarakat selalu tumbuh melalui tiga tahap
sesuai dengan tingkat kompleksitas masyarakat.

Namun dalam perkembangannya perspektif structural fungsionalis mengalami


kemerosotan. Colomny (1990) menyimpulkan bahwa teori fungsional telah
berubah menjadi tradisi.

C. Teori Fungsional Struktural

Teori struktural fungsional adalah sebuah teori yang berisi sudut pandang yang
menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang
saling berkaitan. Cirinya adalah gagasan tentang kebutuhan masyarakat.
Masyarakat sama dengan organisme biologis, karena mempunyai kebutuhan
dasar yang harus dipenuhi agar masyarakat dapat melangsungkan hidupnya
dan berfungsi dengan baik.
ciri kehidupan struktural sosial muncul untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
dan merespon permintaan masyarakat sebagai suatu sistem sosial.
Teori struktural fungsional juga mengutamakan pandangan harmonisasi dan
regulasi yang dapat dikembangkan lebih jauh sebagai berikut:
1. Masyarakat harus dilihat sebagai suatu sistem yang kompleks.
2. Setiap bagian dari masyarakat memiliki fungsi penting dalam eksistensinya
dan stabilitas masyakat secara keseluruhan.
3. Semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan diri.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa melihat bagaimana teori


struktural fungsional bekerja dalam sebuah sistem. Sebagai contoh, pemerintah
yang mendirikan sekolah dalam rangka menyelenggarakan pendidikan untuk
warganya. Murid-murid dipersiapkan untuk mengisi lapangan kerja dan posisi-
posisi di pemerintahan nantinya. Ketika bekerja, tibalah mereka untuk
membayar pajak. Uang pajak tersebut digunakan untuk membiayai pendidikan
dan lainnya. Pekerja, juga menyuplai biaya hidup keluarganya agar tetap eksis.
Pada akhirnya, murid-murid yang semula dibiayai dan didik oleh negara akan
membiayai negara agar tetap eksis. Dari sudut pandang teori struktural
fungsional, jika sistem tersebut berjalan sebagaimana mestinya, yakni
pemerintah membiayai pendidikan, murid belajar kemudian bekerja, sistem
sosial akan berada pada kondisi yang stabil.

Pada perkembangannya, teori struktural fungsionalisme banyak dikritik. Kritik


utama yang sering disampaikan misalnya, fungsionalisme menjustifikasi status
quo. Teori ini dianggap melayani pihak yang berkuasa untuk mempertahankan
kekuasaanya. Fungsionalisme tidak mendorong individu atau kelompok untuk
mengambil inisiatif melakukan perubahan sosial, sekalipun kondisi sosial
sedang dalam ketimpangan yang ekstrim. Masing-masing individu hanya
menjalankan perannya dalam sebuah struktur. Teori struktural fungsional
memandu setiap komponen masyarakat agar berfungsi sebagaimana mestinya

Tokoh-tokoh perspektif teori struktural fungsional

1. Talcott Parsons

Teori fungsionalisme struktural yang dibangun Talcott Parsons dan dipengaruhi


oleh sosiolog Eropa menyebabkan teorinya bersifat empiris positivistis dan
ideal. Pandangannya tentang tindakan manusia bersifat voluntaristik artinya
tindakan itu didasarkan pada dorongan kemauan dengan mengindahkan nilai,
ide dan norma yang disepakati. Tindakan manusia individu memiliki kebebasan
untuk memilih sarana dan tujuan yang akan dicapai itu dipengaruhi oleh kondisi
atau lingkungan dan apa yang dipilih tersebut dikendalikan oleh nilai dan
norma. Pandangan Talcott Parsons untuk memahami manusia dipelajari seperti
mempelajari tubuh manusia. Struktur tubuh manusia memiliki berbagai bagian
yang saling berhubungan satu sama lain dan memiliki fungsi yang jelas dan
khas.

2. Robert K. Merton

Merton menguti tiga postulat yang terdapat dalam analisa fungsional yang
kemudian disempurnakan, yaitu:

a. Kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai suatu


keadaan dimana seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama dalam suatu
tingkat keselarasan atau konsistensi internal yang memadai, tanpa
menghasilkan konflik yang berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau
diatur.

b. Fungsionalisme universal yang terkait dengan yang pertama,


fungsionalisme universal menganggap bahwa seluruh bentuk sosial dan
kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif.

c. Dalam setiap peradaban, kebiasaan, ide, obyek materil, dan kepercayaan


memenuhi beberapa fungsi penting. Yang tidak dapat dipisahkan dalam
kegiatan sistem sebagai keseluruhan.

3. Neil Smelster

Analogi dengan tubuh manusia membuat Neil Smelster merumuskan konsep


keseimbangan dinamis-stasioner. Ada dua variabel dalam perubahan sosial
yakni independen dan dependen. Bagian terpenting adalah spesifikasi variabel-
variabel tertentu dan umumnya teoritisi mendefinisikan perubahan sosial
adalah:

a. Berkaitan dengan jumlah populasi dan satu unsur sosial

b. Tingkat perilaku penduduk dalam jangka waktu tertentu

c. Pola-pola kebudayaan
BAB II

Pendidikan dalam Perspektif Teori Konflik

A. Teori konflik

Teori konflik berkembang sebagai reaksi teori fungsionalisme struktural.


Teori konflik memiliki akar tradisi dari Marxian. Teori konflik melihat relasi sosial
dalam sebuah sistem sosial sebagai pertentangan kepentingan. Masing-masing
kelompok atau kelas memiliki kepentingan yang berbeda. Perbedaan
kepentingan ini ada karena beberapa sebab: Pertama, manusia memiliki
pandangan subjektif terhadap dunia. Kedua, hubungan sosial adalah hubungan
saling memengaruhi atau orang mempunyai efek pengaruh terhadap orang lain.
Ketiga, efek pengaruh tersebut merupakan potensi konflik interpersonal.
Dengan demikian stratifikasi sosial berisi relasi yang sifatnya konfliktual.

Teori konflik memiliki asumsi dasar bahwa perbedaan kepentingan antar


kelas sosial menciptakan relasi sosial yang bersifat konfliktual. Akar dari
terciptanya konflik dalam masyarakat adalah ketidakmerataan distribusi
kekuasaan dan kekayaan yang menciptakan kesenjangan kelas sosial.
Kekuasaan meliputi akses terhadap sumber daya. Level kekuasaan individu
atau kelompok berbeda-beda. Perbedaan inilah yang disebut kesenjangan.
Semakin besar kesenjangan, semakin besar potensi timbulnya konflik sosial.
Kesenjangan tidak hanya ditentukan oleh perbedaan kelas, namun bisa juga
ras, gender, kultur, selera, agama, dan lainnya.

Teori konflik digagas oleh Karl Marx dalam studinya mengenai konflik
kelas antara borjuis dan proletar. Borjuis sebagai kelompok pemilik faktor
produksi memiliki kontrol atas sumber daya. Proletar adalah kelompok kelas
pekerja yang tidak memiliki kontrol atas sumber daya. Pembedaan kelas sosial
menjadi dua kelompok ekstrim ini muncul dalam konteks industrialisasi di Eropa
Barat. Karl Marx membuat teori yang menggambarkan eksistensi kelompok
minoritas namun memiliki kekuasaan atas sumber daya dan kelompok
mayoritas yang tertindas karena tak memiliki kuasa atas sumber daya. Masing-
masing kelas memiliki kepentingan yang saling bertentangan. Kaum borjuis
ingin mempertahankan kekuasaannya dan mengakumulasi kekayaannya,
sedangkan kaum proletar ingin kekuasaan dan kekayaan didistribusikan secara
merata.

Tatanan sosial yang berbentuk kesenjangan ini secara ideologis


dipertahankan oleh kaum borjuis melalui penciptaan kesepakatan atau
konsesus. Konsesus yang dimaksud berupa nilai-nilai, harapan dan kondisi
yang ditentukan oleh kaum borjuis. Sebagai contoh, seorang pekerja harus
bekerja keras dan loyal pada bosnya agar bisa sukses. Loyalitas dan kerja
keras merupakan nilai yang disepakati atau konsesus. Produksi kesepakatan
semacam itu terjadi pada level ’supratruktur’ atau pada tataran ideologis,
menurut Karl Marx. Marx berpikir bahwa kondisi sosial ekonomi yang tercipta
atas dasar konsesus tersebut merugikan bagi kelas proletar. Akibatnya, akan
muncul kesadaran kelas dikalangan kaum proletar bahwa mereka
terekspliotasi. Kekayaan justru disedot oleh kuasa kaum borjuis yang
kapitalistik. Kesadaran kelas ini akan memicu terjadinya revolusi.

Basis teori konflik yang dicetus Marx mengalami evolusi seiring


perkembangan zaman. Beberapa intelektual melihat teori konflik Karl Marx
tidak hanya dapat beroperasi pada strukur ekonomi semata namun juga
kultural. Antonio Gramsci melihat terjadinya hegemoni kultural yang dilakukan
oleh minoritas berkuasa. Intelektual dari The Frankfurt School seperti Max
Horkheimer dan Theodor Adorno melihat bagaimana budaya massa
berkontibusi pada terciptanya dan bertahannya hegemoni kultural. Budaya
massa, menurutnya, diproduksi oleh kaum kapitalis untuk meredam kesadaran
kelas mayoritas sehingga tidak terjadi perlawanan. Melalui kultur, masyarakat
didesain menjadi masyarakat konsumsi yang secara ekonomis menguntungkan
kaum kapitalis.

B. Pendekatan Teori Konflik Dalam Sosiologi Pendidikan

Pendekatan teori konflik dalam sosiologi pendidikan terinspirasi Karl


Marx yang mengkaji relasi antara pekerja dan pemilik faktor produksi dalam
sistem ekonomi kapitalisme. Teori konflik dalam sosiologi pendidikan memiliki
fokus investigasi pada bagaimana institusi pendidikan berkontribusi pada
reproduksi hierarki dan kesenjangan sosial dalam masyarakat. Pendekatan ini
pada awalnya melihat bahwa institusi pendidikan seperti sekolah atau
universitas merefleksikan sebuah hierarki berdasarkan kelas, gender, ras, dan
sebagainya. Perbedaan tersebut justru direproduksi oleh proses pendidikan.
Misalnya tentang bagaimana mahasiswa dari kelas sosial tertentu, ras tertentu
atau gender tertentu memiliki potensi lebih besar untuk menjadi pekerja atau
manajer dibanding mahasiswa lainnya.

C. Teori Konflik dan Implikasinya Terhadap Pendidikan

Memahami Marx menegani startifikasi sosial tidak lain harus melihat


teori klas yaitu “Sejarah peradaban umat manusia dari dahulu sampai sekarang
adalah sejarah pertikaian dan konflik antar klas.” Marx selalu melihat bahwa
hubungan manusia terjadi dari adanya hubungan posisi masing-masing
terhadap sarana produksi. Marx berkeyakinan bahwa posisi dalam struktur
sangat mendorong dalam upaya memperbaiki nasib mereka dengan
ditunjukkan adanya klas borjuis dan klas buruh.
Dari penjelasan tersebut menurut sosiolog pendidikan beraliran Marxian
menawarkan bahwa masalah pertentangan klas menjadi objek kajia
(pendidikan). Dari mereka ada poin-poin yang diajukan, pertama bahwa
pendidikan difokuskan pada perubahan yang dibangun dan tumbuh tanpa
adanya tekanan dari klas dominan atau penguasa, yaitu dengan perubahan
akan penyadaran atas klas dominan. Kedua pendidikan diarahkan sebagai
arena perjuangan klas, mengajarkan pembebasan, kesadaran klas, dan
perlawanan terhadap kaum borjuis.

Dalam teori konflik ini begitu jelas dominasi kaum Borjuis pemegang
kendali dan kebijakan, mereka dengan gampang memperoleh status sosial
dalam masyarakat. Sebagai contoh ditahun 90-an ada sebuah penelitian yang
menyimpulkan bahwa selama tahun 90-an kebelakang teryata pendidikan
ditentukan oleh status ekonomi para orangtua. Sehingga paling tidak fakta
bahwa teori konflik berlaku di Indonesia.
Di dalam buku “Sosiologi Pendidikan” juga disebutkan bahwa klas bawah tidak
akan sama memperoleh pendidikan di banding dengan klas menegah dan atas,
sebagai missal pembelajaran yang pernah dimiliki oleh klas tengah tidak akan
pernah dimenegrti oleh klas bawah, karna adaya perbedaan pengalaman yang
dia daaptkan. Kedua, dalam realitasnya klas bawah tidak akan semudah
memperoleh pendidikan dibading klas menengah yang dengan gampang tanpa
alih-alih taggung jawab lain dalam mempeolehnya. Ketiga, realitas Negara
bahwa segala pengetahuan ditentukan oleh penguasa, karenanya klas proletar
yang notabenya sebagai objek dari kebijakan mendapatkan keilmuan tidak
sesuai dengan fakta yang ada, sekaligus merupakan bukan termasuk bukan
bagain dari keinginan siswa dan keahliannya.

Tokoh-tokoh teori konflik sosiologi klasik adalah sebagai berikut


Polybus, Ibnu Khaldun, Nicolo Machiavelli, Jean Bodin, Thomas Hobbes.
Adapun tokoh sosiologi modern yang mengemukakan tentang teori konflik
adalah Karl Marx, Lewis A. Coser, Ralf Dahrendorf. Teori konflik klasik
cenderung memandang konflik ditinjau dari segi sifat alami manusia yang
cederung saling memusuhi dan saling menguasai terutama dalam hal
kekuasaan. Adapun teori konflik modern lebih bersifat kompleks dan muncul
sebagai kritikan atas teori fungsionalisme structural.
BAB III

Pendidikan dalam Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik

A. Teori Interaksionisme Simbolik

Teori interaksionisme simbolik merupakan salah satu teori yang banyak


digunakan dalam penelitian sosiologi. Teori ini memiliki akar keterkaitan dari
pemikiran Max Weber yang mengatakan bahwa tindakan sosial yang dilakukan
oleh individu didorong oleh hasil pemaknaan sosial terhadap lingkungan
sekitarnya. Makna sosial diperoleh melalui proses interpretasi dan komunikasi
terhadap simbol-simbol di sekitarnya.
Sebagai contoh, bayangkan tentang koleksi foto instagram teman kamu yang
mengenakan jaket bertuliskan Supri (brand fahion mahal) dengan background
menunjukkan ia sedang berada di luar negeri. Foto tersebut menandai sebuah
status sosial tertentu. Brand fashion mahal mendeskripsikan kemampuan
finansialnya untuk membelinya. Background foto luar negeri menunjukkan
bahwa dirinya memiliki akses dan kemampuan untuk traveling ke negeri orang
yang tentunya tidak semua orang mampu.

Tanda-tanda tersebut merupakan simbol yang digunakan untuk berkomunikasi


dan menyampaikan pesan pada orang lain. Teori interaksionisme simbolik
melihat membagi foto semacam itu di Instagram merupakan sebuah tindakan
dengan penggunaan simbol dalam rangka mendeklarasikan identitas semacam
”inilah diriku”.

Sosiolog yang pertama kali menggunakan istilah interaksionisme simbolik


adalah Herbert Blumer. Ketika berkolaborasi menulis dengan koleganya
George Herbert Mead di Universitas Chicago, istilah interaksionisme simbolik
dikembangkan. Mead kemudian menulis buku berjudul Mind, Self, and Society
yang membuat teori interaksionisme simbolik dikenal luas dikalangan
intelektual Amerika dan Eropa.
Teori interaksionisme simbolik menganalisis masyarakat berdasarkan makna
subjektif yang diciptakan individu sebagai basis perilaku dan tindakan
sosialnya. Individu diasumsikan bertindak lebih berdasarkan apa yang
diyakininya, bukan berdasar pada apa yang secara objektif benar. Apa yang
diyakini benar merupakan produk konstruksi sosial yang telah diinterpretasikan
dalam konteks atau situasi yang spesifik. Hasil interpretasi ini disebut sebagai
definisi situasi.

B. Pendidikan Dalam Prespektif Teori Interaksionisme Simbolik

Inti pandangan pendekatan ini adalah individu. Para ahli di belakang


perspektif ini mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting
dalam konsep sosiologi. Teori ini beranggapan bahwa individu adalah obyek
yang dapat secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan
individu yang lain.
Dalam perspektif ini dikenal nama sosiolog George Herbert Mead (1863–1931),
Charles Horton Cooley (1846–1929), yang memusatkan perhatiannya pada
interaksi antara individu dan kelompok (Poloma, 2007: 254-255). Mereka
menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan
menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan
kata-kata. Interaksionisme simbolik pada hakikatnya merupakan sebuah
perspektif yang bersifat sosial-psikologis yang terutama relevan untuk
penyelidikan sosiologis. Teori ini akan berurusan dengan struktur-struktur
sosial, bentukbentuk kongkret dari perilaku individual atau sifat-sifat batin yang
bersifat dugaan, interaksionisme simbolik memfokuskan diri pada hakekat
interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial.
Interaksi sendiri dianggap sebagai unit analisis, sementara sikap-sikap
diletakkan menjadi latar belakang.

Dapat dicontohkan, hubungan seorang guru dengan peserta didik. Dalam


hubungan tersebut ada pola yang telah diatur, peserta didik sebagai orang yang
akan menerima informasi dan guru sebagai orang yang akan melakukan
trasformasi pengetahuan. Guna mengetahui keberhasilan peserta didiknya, ia
harus melakukan penilaian. Pandangan peserta didik terhadap dirinya dan
teman-temannya dipengaruhi oleh penilaian guru yang bersangkutan. Lalu
diberilah lebel atas dasar interpretasi bahwa peserta didik yang duduk di
bangku depan berkelakuan baik, sopan, rajin, dan pintar. Peserta didik yang
berada di baris belakang sepertinya kurang pintar, tidak perhatian terhadap
pelajarannya, dan malas. Sehingga perhatian guru terhadap mereka yang
diinterprestasikan subordinat dalam prestasi belajar akan berbeda. Padahal,
dapat saja kemampun semua peserta belajar di satu kelas tidak signifikan
perbedaannya atau mirip (Jones, 2009: 144). Oleh karena itu, dibutuhkan
interaksi langsung dengan melihat dari dekat –tidak sepintas– serta memberi
perlakuan sama yang mendorong peserta didik tersebut mempunyai progres
akademik yang positif sehingga interpretasinya benar dan sesuai dengan fakta
lapangan.
Blumer mengemukakan tiga prinsip dasar interaksionisme simbolik yang
berhubungan dengan meaning, language, dan thought. Premis ini kemudian
mengarah pada kesimpulan tentang pembentukan diri seseorang dan
sosialisasinya dalam komunitas (community) yang lebih besar (Siburian,

 Meaning (Makna)
Blumer mengawali teorinya dengan premis bahwa perilaku seseorang terhadap
sebuah obyek atau orang lain ditentukan oleh makna yang dia pahami tentang
obyek atau orang tersebut.

 Languange (Bahasa)

Seseorang memperoleh makna atas sesuatu hal melalui interaksi. Dengan


demikian dapat dikatakan bahwa makna adalah hasil interaksi sosial.
Makna tidak melekat pada obyek, melainkan dinegosiasikan melalui
penggunaan bahasa. Bahasa adalah bentuk dari simbol. Oleh karena itu, teori
ini kemudian disebut sebagai interaksionisme simbolik. Berdasarkan makna
yang dipahaminya, seseorang kemudian dapat memberi nama yang berguna
untuk membedakan satu obyek, sifat, atau tindakan dengan obyek, sifat, atau
tindakan lainnya. Dengan demikian premis Blumer yang kedua adalah Manusia
memiliki kemampuan untuk menamai sesuatu. Simbol, termasuk nama, adalah
tanda yang arbitrer. Percakapan adalah sebuah media penciptaan makna dan
pengembangan wacana. Pemberian nama secara simbolik adalah basis
terbentuknya masyarakat. Para interaksionis meyakini bahwa upaya
mengetahui sangat tergantung pada proses pemberian nama, sehingga
dikatakan bahwa Interaksionisme simbolik adalah cara kita belajar
menginterpretasikan dunia.

 Thought (Pemikiran)

Premis ketiga Blumer adalah interaksionisme simbolik menjelaskan proses


berpikir sebagai inner conversation, Secara sederhana proses menjelaskan
bahwa seseorang melakukan dialog dengan dirinya sendiri ketika berhadapan
dengan sebuah situasi dan berusaha untuk memaknai situasi tersebut.
Seseorang memerlukan bahasa untuk berpikir dan berinteraksi secara simbolik.
Bahasa merupakan software untuk menjalankan mind.
Penganut interaksionisme simbolik menyatakan bahwa self adalah fungsi dari
bahasa. Tanpa pembicaraan tidak akan ada konsep diri, oleh karena itu untuk
mengetahui siapa dirinya, seseorang harus menjadi anggota komunitas. I
adalah kekuatan spontan yang tidak dapat diprediksi. Ini adalah bagian dari diri
yang tidak terorganisir. Sementara me adalah gambaran diri yang tampak
dalam the looking-glass dari reaksi orang lain.
Me hanya dapat dibentuk melalui interaksi simbolik yang terus menerusmulai
dari keluarga, teman bermain, sekolah, dan seterusnya. Oleh karena itu,
seseorang membutuhkan komunitas untuk mendapatkan konsep dirinya.
Seseorang membutuhkan the generalized other, yaitu berbagai hal (orang,
obyek, atau peristiwa) yang mengarahkan bagaimana kita berpikir dan
berinteraksi dalam komunitas. Me adalah organized community dalam diri
seorang individu.
BAB IV
Pendidikan dalam Perspektif Teori Strukturasi

A. Teori Strukturasi

Didalam pemaparannya Giddens memberikan suatu altematif yang


bewujud teori strukturasi, yaitu merupakan sebuah hubungan antara pelaku
(tindakan) dan struktur berupa relasi dualitas. Dari berbagai prinsip struktural
yang ada, Giddens mencoba melihat tiga gugusan besar struktur: pertama,
struktur penandaan atau signifikansi yang menyangkut skemata simbolik
pemaknaan, penyebutan dan wacana. Kedua, struktur penguasaan atau
dominasi yang mencakup skemata penguasaan atas orang dan barang. Ketiga,
struktur pembenaran atau legitimasi yang menyangkut skemata peraturan
normatif, yang terungkap dalam tatana hukum.

Teori strukturasi dipilih Giddens untuk menamai teori sosial yang bam ia
kembangkan. Dalam mengolaborasi konsep-konsep teori strukturasi, Giddens
tidak bermaksud mengemukan suatu ortodoksi bam yang secara potensial
menggantikan ortodoksi lama. Namun teori strukturasi sensitif dengan
kelemahan ortodoks yang ada untuk di sempurnakan. Adapun yang menjadi
perhatian teori strukturasi adalah tiga serangkai isu pusat yang saling terkait
dalam teori sosial.

Isu pertama adalah tindakan manusia, diri yang terpusat, isu kedua adalah
konseptualisasi interaksi dan relasi dengan institusi. Isu ketiga adalah
pemahaman konotasi praktis analisis sosial. Berdasarkan tiga serangkaian isu
tersebut, ada dua tujuan umum yang ingin Giddens capai dengan membangun
teori strukturasi, yaitu : 1). Untuk memahami pentingnya secara esensial
konsep tindakan dalam ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu sosial hams lebih melakukan
elaborasi berkenaan dengan agensi manusi, 2). Dengan memformulasikan
pentingnya secara esensial agensi manusia, teori strukturasi tidak ingin terjebak
dalam pandangan subjektif dan memahami pentingnya komponen-komponen
struktural institusi sosial yang ada.
B. Melihat Pendidikan dari kacamata Teori Strukturasi Anthony Giddens

Teori Strukturasi Anthony Gidens menyatakan bahwa individu adalah


agen-agen sosial dengan kemampuan dapat merombak struktur sosial yang
ada. Individu yang berperan sebagai agen sosial setidaknya memiliki
kepribadian kuat sehingga tidak hanya memberi warna terhadap struktur sosial
yang ada tetapi juga dapat merubah struktur yang ada. Pendidikan memiliki
tujuan untuk membekali individu dengan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap
sehingga mampu meningkatkan kualitas dirinya.

Pendidikan yang berkaitan erat dengan anak didik, tentu saja dapat
dikategorikan sebagai pencetak agen-agen sosial dimasa depan. Anak didik
yang berperan sebagai agen sosial perlu untuk dipersiapkan. Tugas keluarga,
guru, sekolah, pemerintah, dan masyarakat berkewajiban untuk melancarkan
proses pencapaian tujuan pendidikan. Keunikan setiap anak didik sudah
sepantasnya dipandang sebagai sesuatu kelebihan yang dimiliki dalam
upayanya menjadi seorang agen sosial.
KESIMPULAN DAN ANALISIS KRITIS

Kesimpulan:

Teori struktural fungsional adalah sebuah teori yang berisi sudut pandang yang
menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling
berkaitan. Cirinya adalah gagasan tentang kebutuhan masyarakat. Masyarakat sama
dengan organisme biologis, karena mempunyai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi
agar masyarakat dapat melangsungkan hidupnya dan berfungsi dengan baik

Teori konflik berkembang sebagai reaksi teori fungsionalisme struktural. Teori


konflik memiliki akar tradisi dari Marxian. Teori konflik melihat relasi sosial dalam
sebuah sistem sosial sebagai pertentangan kepentingan. Masing-masing kelompok
atau kelas memiliki kepentingan yang berbeda. Perbedaan kepentingan ini ada karena
beberapa sebab: Pertama, manusia memiliki pandangan subjektif terhadap dunia.
Kedua, hubungan sosial adalah hubungan saling memengaruhi atau orang mempunyai
efek pengaruh terhadap orang lain. Ketiga, efek pengaruh tersebut merupakan potensi
konflik interpersonal. Dengan demikian stratifikasi sosial berisi relasi yang sifatnya
konfliktual.

Teori interaksionisme simbolik merupakan salah satu teori yang banyak


digunakan dalam penelitian sosiologi. Teori ini memiliki akar keterkaitan dari pemikiran
Max Weber yang mengatakan bahwa tindakan sosial yang dilakukan oleh individu
didorong oleh hasil pemaknaan sosial terhadap lingkungan sekitarnya. Makna sosial
diperoleh melalui proses interpretasi dan komunikasi terhadap simbol-simbol di
sekitarnya.

teori strukturasi, yaitu merupakan sebuah hubungan antara pelaku (tindakan)


dan struktur berupa relasi dualitas. Dari berbagai prinsip struktural yang ada, Giddens
mencoba melihat tiga gugusan besar struktur: pertama, struktur penandaan atau
signifikansi yang menyangkut skemata simbolik pemaknaan, penyebutan dan wacana.
Kedua, struktur penguasaan atau dominasi yang mencakup skemata penguasaan atas
orang dan barang. Ketiga, struktur pembenaran atau legitimasi yang menyangkut
skemata peraturan normatif, yang terungkap dalam tatana hukum.
Analisis Kritis:

Pendidikan adalah kebutuhan pokok setiap individu. Oleh karena begitu


pentingnya pendidikan, pemerintah mewajibkan pendidikan setidaknya selama 9 tahun
dan disarankan lebih dari itu. Sekilas, kita bisa membedakan bagaimana cara berpikir
antara mereka yang berpendidikan dan yang tidak tuntas dari segi pendidikannya.

Secara umum, yg dimaksud dengan pendidikan adalah mengikuti kegiatan proses


pembelajaran untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan. Peserta didik
sekaligus mengikuti kebiasaan dari sekumpulan besar manusia dari satu generasi ke
generasi yg lain dengan melalui proses pengajaran oleh guru, pelatihan dan juga
penelitian.

Dari ke 4 teori diatas kita bisa mempelajari atau menambah wawasan mengenai
pendidikan dalam prespektif Teori Fungsional Struktural, Teori Konflik, Teori
Interaksionalisme Simbolik dan Teori Strukturasi.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.mypurohith.com/pengertian-pendidikan/

http://bayutrisnadi.blogspot.com/2014/04/pendidikan-dalam-perspektif-struktural_7303.html?
m=1

https://www.kompasiana.com/nurulwidad/teori-struktural-
fungsional_54f74b5fa333113a2c8b45b1

http://sosiologis.com/teori-struktural-fungsional

http://sosiologis.com/teori-konflik

http://sosiologis.com/teori-interaksionisme-simbolik

http://sosiologis.com/teori-Strukturasi
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS MATARAM
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
Jl. Majapahit No. 62 Mataram
e-mail : sosiologi@unram.ac.id, Website : www.sosiologi.unram.ac.id

LEMBAR JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)


SEMESTER GANJIL TA. 2020/2021

Mata Kuliah : sosiologi pendidikan

Kelas : A sosiologi

Hari/tanggal : jumat, 16 Oktober 2020

Nama Mhs : Nurmeliyani No. Mhs: L1C018081

PERNYATAAN

Apa yang saya tulis ini sebagai jawaban atas pertanyaan (soal) adalah murni
hasil pemikiran saya sendiri, dan jika nanti ditemukan kesamaan dengan tulisan orang
lain, baik dari sumber (web/situs dan referensi) tertentu atau tulisan saya memiliki
kesamaan dengan tulisan rekan-rekan saya, maka saya siap menerima sanksi yang
diberikan oleh dosen pengasuh matakuliah ini.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya secara sadar dan
bertanggung jawab.

Tanda Tangan :

NURMELIYANI

Anda mungkin juga menyukai