Anda di halaman 1dari 37

PRO DAN KONTRA PENUTUPAN KARANG DEMPEL KUPANG

OLEH PEMERINTAH KOTA KUPANG

MAKALAH

OLEH :

FERNANDO BERINALDI

(1603030107)

DOSEN WALI :

Drs. Ipi De Rozari Ph. M. Si

JURUSAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan bantuan Roh-Nya, saya dapat
menyelesaikan makalah ini. Makalah yang berjudul Pro dan Kontra penutupan Lokalisasi
Karang Dempel oleh Pemerintah Kota Kupang disusun sebagai salah satu pemenuhan tugas
Dalam Mata Kuliah Sosiologi Konflik.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini tidak mungkin selesai tanpa adanya
bantuan, bimbingan, dan arahan dari berbagai pihak. Jika ada kesalahan / ada kata yang
kurang baik dalam penyusunan makalah ini, selaku sebagai penyusun makalah mohon kritik
dan saran dari pembaca untuk dapat menyempurnakan makalah ini.

Kupang, 26 November 2018-11-28

Penulis
Keterangan Wawancara

Untuk melengkapi data dalam makalah ini,penulis juga melakukan wawancara


langsung di lokasi Lokalisasi Karang Dempel. Wawancara ini dilakukan pada tanggal Sabtu,
17 November 2018. Dalam agenda sesuai dengan yang di perintah oleh dosen pengasuh mata
kuliah, Pak Lasarus Jehamat, penulis sebenarnya akan mewawancara 2 orang PSK ( Pekerja
Seks Komersial ), yang bekerja di lokasi. Tetapi, menurut apa yang disampaikan oleh salah
satu pemilik bisnis Karang Dempel, bahwa para PSK di situ mengalami trauma dengan
pemerintah sehingga berhalangan untuk diwawancara. Penulis akhirnya memutuskan untuk
mewawancara pemilik bisnis tersebut. Salah satu pemilik yang penulis wawancarai adalah
seorang ibu-ibu. Ibu-ibu itu biasa dipanggil Mami Kanjeng. Berikut adalah documentasinya:

( documentasi wawancara )
BAB 1

LATAR BELAKANG

1. Latar Belakang Masalah

Masalah yang dialami kaum perempuan di Indonesia khususnya di Kota Kupang salah
satunya adalah tindak kekerasan seksual, memukul, dan menyiksa sehingga bisa
menyebabkan perempuan takut dan trauma. Selain itu masalah ekonomi juga menjadi hal
yang berpengaruh bagi kaum perempuan terutama yang sedang menemp[uh pendidikan,
ataupun menjadi tulang punggung membiayai kehidupan keluarga. Permasalahan inilah yang
menjadi salah satu alasan kaum wanita lari ke arean yang tidak lazim bagi banyak orang.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan di KD Kupang senin, 12/11/2018, seorang ibu
yang mengelola salah satu bagian di lokalisasi tersebut menyebutkan bila, pekerja ( PSK)
memiliki latarbelakang yang berbeda, baik itu pelajar, mahasiswa, maupun ibu rumah tangga.
Pekerja seks ini tinggal dan berada di lokalisasi tersebut.

Fenomena praktek pelacuran merupakan masalah sosial yang sangat menarik dan
tidak ada habisnya untuk diperbincangkan dan diperdebatkan. Mulai dari dahulu sampai
sekarang masalah pelacuran adalah masalah sosial yang sangat sensitif yang menyangkut
peraturan sosial, moral, etika, bahkan agama.
Prostitusi atau pelacuran itu sendiri sebenarnya telah muncul jauh sebelum peradaban modrn
menyentuh masyarakat, karena sejak dahulu kalatelah ditemukan prostitusi. Contohnya saja
dalam kitab suci juga diceritakan seorang perempuan pelacur. Prostitusi dalam artian umum
adalah pelacur atau pelayan seks atau pekerja seks komersial atau disebut juga penjual jasa
seksual. Prostitusi itu sendiri disebut sebagai suatu pekerjaan dengan cara menyerahkan diri
tau menjual jasa seksual dengan harapan mendapatkan upah atau imbalan dari orang yang
memakai jasa seksualnya tersebut.

Atau ada juga akibat factor lingkungan, disini lingkungan memegang andil
sangat penting dalam pembentukan kepribadian seseorang, walaupun keluarga
merupakan factor pemb entuk kepribadian yang utama tetapi tidak menutup
kemungkinan lingkungan juga bertindak sama dalam pembentukan kepribadian
seseorang, Selain itu juga ada factor pengaruh ekonomi dimana seorang yang
berprostitusi merasa bahwa hanya itu yang bisa dilakukan untuk mendapatkan sesuap
nasi, dan masih banyak lagi factor- factor yang mendukung terjadinya prostitusi atau
pelacuran.

Permasalahan lebih menjadi rumit lagi tatkala pelacuran dianggap sebagai


komoditas ekonomi (walaupun dilarang UU) yang dapat mendatangkan keuntungan
finansial yang sangat menggiurkan bagi para pebisnis. Pelacuran telah diubah dan
berubah menjadi bagian dari bisnis yang dikembangkan terus- menerus sebagai
komoditas ekonomi yang paling menguntungkan, mengingat pelacuran merupakan
komoditas yang tidak akan habis terpakai. Saat pelacuran telah dianggap sebagai salah
satu komoditas ekonomi (bisnis gelap) yang sangat menguntungkan, maka yang akan
terjadi adalah persaingan antara para pemain dalam bisnis pelacuran tersebut untuk
merebut pasar.

Gaya hidup dinilai menjadi salah satu faktor utama pendorong remaja terlibat
prostitusi. Gaya hidup remaja sekarang dipengaruhi salah satunya oleh tayangan
sinetron di televisi. Remaja digambarkan sebagai sosok modern dengan segala barang
yang dimilikinya. Padahal dengan terlibat prostitusi, para remaja itu sangat rentan
terinfeksi penyakit menular seperti HIV dan AIDS.

Bukan hanya factor gaya hidup yang mempengaruhi terjadinya prostitusi


dikalangan pelajar (remaja). Prostitusi juga terjadi karena sebagian remaja tidak
memahami mengapa terjadi kehamilan, menstruasi, dan hal lain yang terkait dengan
seksualitas sehingga dengan mudah mereka tergabung dalam dunia prostitusi ini.
Minimnya pengetahuan mengenai seks telah membuat para remaja tidak memiliki
penangkal dalam soal seksualitas. Untuk menangkal agar remaja tidak terlibat prostitusi,
pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi di sekolah menengah sangat penting.

Materi yang diajarkan bukan soal hubungan seksualnya, pasalnya di Indonesia


berbicara seks masih dinilai tabu. Pendidikan seks lebih menekan pada kesehatan
seksual atau reproduksi yang baik. Serta peran orang tua juga sangat penting. Orang
tua harus mempunyai pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Apalagi remaja yang
mulai beranjak dewasa biasanya perlu pengetahuan seks yang memadai. Komunikasi
antara anak dan orang tua harus pula terjalin. Dengan hubungan yang hangat, biasanya
akan lebih terbuka dengan persoalan yang dihadapinya. Orang tua harus belajar
mengatasi konflik yang dihadapi remaja dan mampu memberi solusinya.
Pelacuran dinilai dari kaca mata moral, agama atau dalam penilaian lain tidak
dibenarkan. Oleh sebab itu negara berkewajiban memberikan pelayanan dalam bentuk
peraturan yang dapat mencegah maupun menghukum bagi pelaku pelacuran. Salah satunya
adalah tercantum dalam KUHP, begitu juga dalam peraturan lainnya, serta diperkuat dengan
peraturan daerah yang semakin mempersempit ruang gerak bagi pelaku prostitusi.

Fenomena yang terjadi di Kota Kupang adalah fenomena yang menarik untuk dikaji,
Walikota Kupang, Jefirston Riwu Kore, akan mengambil kebijakan menutup lokalisasi yang
sudah lama beroperasi. Dan yang paling fenomenal adalah penutupan lokalisasi Karang
Dempel pada wal tahun 2019.

Pemerintah Kota Kupang telah membuat suatu kebijakan untuk membuat daerah
Kupang bebas dari praktek prostitusi. Praktek prostitusi ini dinilai oleh pemerintah setempat
memiliki banyak dampak negative di masyarakat diantaranya adalah penyebaran virus HIV
AIDS. Bahkan Pemerintah Kota Kupang tidak mau tanggung-tanggung akan melibatkan
anggota Polri dan Sapol PP sebagai penegak Peraturan Daerah (Perda).

Dengan adanya kebijakan pemerintah ini diharapkan mampu menutup semua praktek
prostitusi khususnya di daerah Kota Kupang. Penutupan ini bertujuan membuat masyarakat
yang sebelumnya bermata pencaharian sebagai Pekerja Sex Komersial (PSK) beralih
bermatapencaharian lain yang dinilai lebih layak.

Rencana penutupan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Kupang dinilai


menimbulkan konflik, karena sebagian masyarakat merasa dirugikan. Terutama bagi mereka
yang bekerja dan berpenghasilan satu-satunya dari hasil prostitusi tersebut. Berdasarkan hasil
wawancara bahwa banyak usaha-usaha disekitar KD tersebut akan mati bila penutupan
dilakukan.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah yang dibuat adalah :
a. Apa sajakah pro kontra mengenai penutupan lokalisasi Karang Dempel?
b. Apa sajakah akibat dari penutupan Lokalisasi Karang Dempel?
BAB 2
LANDASAN TEORI
A. Teori yang Relevan
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau
lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain
dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.

Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri - ciri yang dibawa individu dalam
suatu interaksi . Perbedaan - perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri
fisik, kepandaian , pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan
dibawasertanya ciri - ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi
yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah
mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik
hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

Konflik bertentangan dengan integrasi . Konflik dan Integrasi berjalan sebagai


sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi.
Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.

Ada beberapa pengertian konflik menurut beberapa ahli.

1. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan


warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat
daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di
antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.

2. Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan


kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini
terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau
tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.

3. Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi ditentukan oleh


persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik
di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada.
Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada
konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
4. Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang
terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan
organisasi (Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang
sangat dekat hubungannya dengan stres.

5. Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua


atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung,
namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan.

6. Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu
pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu
pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang
secara negatif (Robbins, 1993).

7. Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain,


kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini,
pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang
diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).

8. Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku - perilaku


komunikasi (Folger & Poole: 1984).

9. Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang
ingin dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan yang
diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers,1982:234- 237;
Kreps, 1986:185; Stewart, 1993:341).

10. Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang
lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang
berbeda – beda (Devito, 1995:381).

Konflik dalam masyarakat dikelompokkan menjadi beberapa kategori antara lain:

1. Konflik pribadi

Konflik pribadi merupakan konflik yang terjadi antarpribadi karena adanya


perbedaan - perbedaan tertentu yang saling dipertahankan oleh masing- masing
pihak.
2. Konflik rasial

Konflik rasial adalah pertentangan kelompok ras yang berbeda karena


kepentingan kebudayaan yang saling bertabrakan.

3. Konflik politik

Konflik politik menyangkut golongan- golongan dalam masyarakat (kepentingan)


maupun di antara negara- negara yang berdaulat.

4. Konflik antarkelas sosial

Konflik antarkelas sosial adalah konflik yang umumnya terjadi karena


perbedaan kepentingan masing- masing kelas sosial. Misalnya seperti yang
diungkapkan oleh Karl Marx yaitu konflik antara kelas borjuis dan proletar (buruh).

5. Konflik antarkelompok

Konflik antar kelompok adalah konflik yang terjadi karena persaingan untuk
mendapatkan mata pencaharian yang sama atau terjadi karena pemaksaan
unsurunsur kebudayaan tertentu. Di samping itu mungkin ada pemaksaan
agama, dominasi politik, adanya konflik tradisional yang terpendam.

6. Konflik internasional

Konflik internasional biasanya berawal dengan adanya pertentangan antara dua


negara karena kepentingan yang berbeda. Konflik internasional yaitu
pertentangan yang melibatkan beberapa kelompok negara (blok) karena
perbedaan kepentingan.

7. Konflik berbasis massa

Konflik berlangsung terutama dengan memanfaatkan kekuatan massa. Aspek


kognitif dan afektif rakyat yang sebelumnya sudah terkondisi dengan ideologi
aliran dan ideologi kelompok dimanipulasi sebagai kekuatan pendukung yang
efektif.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis mengambil kesimpulan terkait


penutupan Lokalisasi Karang Dempel oleh Pemerintah Kota Kupang. Bahwa dengan
diperkuat oleh hasil wawancara yang telah dilakukan, antara Pemerintah Kota Kupang
dengan pihak lokalisasi, tidak adanya jalinan komunikasi yang baik sehingga menimbulkan
konflik. Menurut salah satu pengelola di lokasi lokalisasi menyatakan bahwa, pemerintah
hanya mengambil keputusan sepihak yang merugikan mereka.
BAB 3
PEMBAHASAN

A. Faktor Penyebab Tumbuhnya Prostitusi

Menurut Ralf Dahendrof tentang masyarakat ialah bahwa setiap masyarakat setiap
saat tunduk pada proses perubahan, dan pertikaian serta konflik ada dalam sistem sosial juga
berbagai elemen kemasyarakatan memberikan kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan.
Suatu bentuk keteraturan dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh
mereka yang memiliki kekuasaan, sehingga ia menekankan tentang peran kekuasaan dalam
mempertahankan ketertiban dalam masyarakat.

Bagi Dahrendorf, masyarakat memiliki dua wajah, yakni konflik dan konsesus yang
dikenal dengan teori konflik dialektika. Dengan demikian diusulkan agar teori sosiologi
dibagi menjadi dua bagian yakni teori konflik dan teori konsesus. Teori konflik harus
menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat
sedangkan teori konsesus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat. Bagi Ralf,
masyarakat tidak akan ada tanpa konsesus dan konflik. Masyarakat disatukan oleh
ketidakbebasan yang dipaksakan. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat
mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain.

Fakta kehidupan sosial ini yang mengarahkan Dahrendorf kepada tesis sentralnya
bahwa perbedaan distribusi ‘otoritas” selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial
sistematis. Hubungan Otoritas dan Konflik Sosial Ralf Dahrendorf berpendapat bahwa posisi
yang ada dalam masyarakat memiliki otoritas atau kekuasaan dengan intensitas yang
berbeda-beda. Otoritas tidak terletak dalam diri individu, tetapi dalam posisi, sehingga tidak
bersifat statis. Jadi, seseorang bisa saja berkuasa atau memiliki otoritas dalam lingkungan
tertentu dan tidak mempunyai kuasa atau otoritas tertentu pada lingkungan lainnya. Sehingga
seseorang yang berada dalam posisi subordinat dalam kelompok tertentu, mungkin saja
menempati posisi superordinat pada kelompok yang lain.

Kekuasaan atau otoritas mengandung dua unsur yaitu penguasa (orang yang berkuasa)
dan orang yang dikuasai atau dengan kata lain atasan dan bawahan. Kelompok dibedakan atas
tiga tipe antara lain : 1. Kelompok Semu (quasi group) 2. Kelompok Kepentingan (manifes)
3. Kelompok Konflik Kelompok semu adalah sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan
yang sama tetapi belum menyadari keberadaannya, dan kelompok ini juga termasuk dalam
tipe kelompok kedua, yakni kelompok kepentingan dan karena kepentingan inilah melahirkan
kelompok ketiga yakni kelompok konflik sosial. Sehingga dalam kelompok akan terdapat
dalam dua perkumpulan yakni kelompok yang berkuasa (atasan) dan kelompok yang
dibawahi (bawahan). Kedua kelompok ini mempunyai kepentingan berbeda. Bahkan,
menurut Ralf, mereka dipersatukan oleh kepentingan yang sama.

Mereka yang berada pada kelompok atas (penguasa) ingin tetap mempertahankan
status quo sedangkan mereka berada di bawah (yang dikuasai atau bawahan ingin supaya ada
perubahan. Dahrendorf mengakui pentingnya konflik mengacu dari pemikiran Lewis Coser
dimana hubungan konflik dan perubahan ialah konflik berfungsi untuk menciptakan
perubahan dan perkembangan. Jika konflik itu intensif, maka perubahan akan bersifat radikal,
sebaliknya jika konflik berupa kekerasan, maka akan terjadi perubahan struktural secara tiba-
tiba. Menurut Dahrendorf, Adanya status sosial didalam masyarakat (sumber konflik yaitu:
Adanya benturan kaya-miskin, pejabat-pegawai rendah, majikan-buruh) kepentingan
(buruh dan majikan, antar kelompok,antar partai dan antar Adanya dominasi Adanya
ketidakadilan atau diskriminasi. agama). kekuasaan (penguasa dan dikuasai).

Dahrendorf menawarkan suatu variabel penting yang mempengaruhi derajat


kekerasan dalam konflik kelas/kelompok ialah tingkat dimana konflik itu diterima secara
eksplisit dan diatur. Salah satu fungsi konflik atau konsekuensi konflik utama adalah
menimbulkan perubahan struktural sosial khususnya yang berkaitan dengan struktur otoritas,
maka Dahrendorf membedakan tiga tipe perubahan Perubahan keseluruhan personel didalam
posisi struktural yakni: Perubahan sebagian personel dalam posisi dominasi.

Penggabungan kepentingan-kepentingan kelas subordinat dalam kebijaksanaan kelas


yang berkuasa. Perubahan sistem sosial ini menyebabkan juga perubahan-perubahan lain
didalam masyarakat antara lain Munculnya kelas, Dekomposisi tenaga kerja, Dekomposisi
modal: menengah baru Analisis Dahrendorf berbeda dengan teori Marx, yang membagi
masyarakat dalam kelas borjuis dan proletar sedangkan bagi Dahrendorf, terdiri atas kaum
pemilik modal, kaum eksklusif dan tenaga kerja. Hal ini membuat perbedaan terhadap
bentuk-bentuk konflik, dimana Dahrendorf menganggap bahwa bentuk konflik terjadi karena
adanya kelompok yang berkuasa atau dominasi (domination) dan yang dikuasai (submission),
maka jelas ada dua sistem kelas sosial yaitu mereka yang berperan serta dalam struktur
kekuasaan melalui penguasaan dan mereka yang tidak berpartisipasi melalui penundukan.
Sedangkan Marx berasumsi bahwa satu-satunya konflik adalah konflik kelas yang
terjadi karena adanya pertentangan antara kaum pemilik sarana produksi dengan kaum buruh.
Dahrendorf memandang manusia sebagai makhluk abstrak dan artifisial yang dikenal dengan
sebutan “homo sociologious” dengan itu memiliki dua gambaran tentang manusia yakni citra
moral dan citra ilmiah. Citra moral adalah gambaran manusia sebagai makhluk yang unik,
integral, dan bebas. Citra ilmiah ialah gambaran manusia sebagai makhluk dengan
sekumpulan peranan yang beragam yang sudah ditentukan sebelumnya. Asumsi Dahrendorf,
manusia adalah gambaran citra ilmiah sebab sosiologi tidak menjelaskan citra moral, maka
manusia berperilaku sesuai peranannya maka peranan yang ditentukan oleh posisi sosial
seseorang di dalam masyarakat, hal inilah masyarakat yang menolong membentuk manusia,
tetapi pada tingkat tertentu manusia membentuk masyarakat. Sebagai homo sosiologis,
manusia diberikan kebebasan untuk menentukan perilaku yang sesuai dengan peran dan
posisi sosialnya tetapi di sisi lain dibatasi juga oleh peran dan posisi sosialnya di dalam
kehidupan bermasyarakat.

Jadi ada perilaku yang ditentukan dan perilaku yang otonom, maka keduanya harus
seimbang. Salah satu karya besar Dahrendorf “Class and class Conflict in Industrial
Society” dapat dipahami pemikiran Dahrendorf dimana asumsinya bahwa teori
fungsionalisme struktural tradisional mengalami kegagalan karena teori ini tidak mampu
untuk memahami masalah perubahan sosial, terutama menganilisis masalah konflik.

Dahrendorf mengemukakan teorinya dengan melakukan kritik dan modifikasi atas


pemikiran Karl Marx, yang berasumsi bahwa kapitalisme, pemilikandan kontrol atas sarana-
sarana produksi berada di tangan individu-individu yang sama, yang sering disebut kaum
borjuis dan kaum proletariat.

Teori konflik dipahami melalui suatu pemahaman bahwa masyarakat memiliki dua
wajah karena setiap masyarakat kapan saja tunduk pada perubahan, sehingga asumsinya
bahwa perubahan sosial ada dimana-mana, selanjutnya masyarakat juga bisa memperlihatkan
perpecahan dan konflik pada saat tertentu dan juga memberikan kontribusi bagi disintegrasi
dan perubahan, karena masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas
orang lain.

Menurut Soedjono (dalam Winaya: 2006), motif- motif atau faktor penyebab
yang melatar belakangi tumbuhnya pelacuran atau praktik prostitusi adalah:
1. Tekanan ekonomi.

2. Aspirasi materiil yang tinggi dalam diri wanita dan kesenangan- ketamakan
terhadap pakaian - pakaian indah dan perhiasan mewah. Ingin hidup bermewah-
mewah namun malas bekerja.

3. Rasa ingin tahu yang besar terhadap masalah seks khususnya untuk remaja
yang kemudian masuk ke dalam dunia pelacuran oleh bujukan- bujukan orang -
orang yang tidak bertanggung jawab.

4. Dekadensi moral, merosotnya norma- norma susila dan keagamaan.

5. Adanya kebudayaan eksploitasi pada jaman modern khususnya terhadap


kaum lemah (wanita) untuk tujuan komersial.Peperangan dan masa kacau di
dalam negeri meningkatkan pelacuran.

6. Adanya proyek- proyek pembangunan dan pembukaan daerah pertambangan


dengan konsentrasi kaum pria, sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan rasio
kaum pria dan wanita di daerah tersebut.

7. Perkembangan kota- kota daerah pelabuhan dan industri yang sangat cepat
dan menyerap urbanisasi tanpa ada jalan keluar untuk mendapatkan pekerjaan
kecuali menjadi PSK bagi anak- anak gadis.

8. Bertemunya bermacam - macam kebudayaan asing dan kebudayaan setempat.


Berdasarkan uraian diatas seolah- olah pelacuran bukan suatu masalah sosial,
akan tetapi secara social justru yang menjadi persoalan adalah karena adanya
keteraturan dengan dukungan keamanan itu yang akan membuat profesinya
menjadi berkembang dan melembaga. Dan dalam prostitusi tersebut ada yang
disebut dengan germo, yang kemudian diperhalus menjadi Bapak atau ibu asuh,
sementara yang diasuh sebagai anak asuh.

Dua Faktor Besar Pendorong Timbulnya Pelacuran

1. Faktor Kejiwaan

Sejumlah faktor psikologi tertentu memainkan peranan penting yang


menyebabkan seseorang perempuan melacurkan diri. Bahwa, perempuanperempuan yang
menjadi pelacur itu, lahir dan dibesarkan dalam lingkungan yang miskin atau agak
miskin. Orang tua mereka berwatak lemah dan kebanyakan kurang pendidikan. Standar
modal keluarga keluarga mereka pada umumnya rendah, dan cara orang tua mereka
memberikan pembentukan disiplin adalah, tidak bijaksana dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan.Kurangnya kasih sayang dapat membawa pada keadaan tak
berdaya.

Di samping itu juga, di dukung sejumlah faktor sosial, misalnya keinginan


untuk melepaskan diri dari kenyataan hidup keluarga, dan masyarakat yang tidak
tertahankan lagi. Adanya keinginan untuk mengikuti cara hidup di kota- kota dengan
segala kemewahaan, juga dapat mendorong seseorang melacurkan diri. Dalam hal ini
Rukm ini menyebutkan sebagai berikut:“Faktor moral individu dan moral masyarakat
sebagai faktor yang cukup penting artinya di dalam terjadinya pelacuran. Hal ini dapat
dilihat di negara - negara yang telah maju, dimana faktor ekonomi sering dianggap
bukan faktor lagi yang menyebabkan bukan wanita melacurkan diri, tetapi dikarenakan
juga adanya demoralisasi yang dialami oleh masyarakat dan individu pendukungnya. Di
dalam usaha pemuasan nafsu sexsual seseorang, peranan sanksi masyarakat yang
tercermin dalam keadaan moralnya sangat menetukan tindakan seseorang dan
karenanya itu masalah pemuasan sex untuk mengadakan hubungan kelamin bukan
hanya masalah kebutuhan biologis semata.

Selanjutnya dikatakan, pembentukan moral individu terutama dalam kehidupan


sexnya, sangat ditentukan oleh pendidikan didalam keluarga, dimana individu
diperkenankan untuk pertama kalinya dengan baik dan buruk, boleh dan tidak boleh,
benar dan salah serta hal lainnya. Kemudian moral seks tersebut terinternanasi oleh si
anak tanpa disadari.

Kegagalan- kegagalan di dalam hidup individu karena tidak terpuaskan


kebutuhannya (baik biologis maupun sosial), dapat menimbulkan efek psikologis.
Sehingga, mengakibatkan situasi kritis pada diri individu tersebut. Di dalam keadaan
kritis ini mudah mengalami konflik batin, dan sadar atau tidak sadar

Mereka mencari jalan keluar dari kesulitan- kesulitannya. Dalam keadaan yang
demikian inilah orang akan mudah terpengaruh ke jalan yang sesat. Seperti yangtelah
disebutkan oleh Warauow, berbagai faktor psikologis yang dapat menyebabkan seorang
wanita menjadi pelacur adalah sebagai berikut:
1) IQ rendah sekitar 65 % sebagian besar wanita pelacur mempunyai IQ
rendah, yang terbagi: labilitas, dengan IQ 70- 90, imbesil dengan IQ 50- 70 dan
idiot dengan IQ dibawah 50, mereka yang idiot ini jarang hidup diatas 30 tahun.

2) Kehidupan sosial yang abnormal, misalnya: hipersexual dan sadis sex.

3) Kepribadian yang lemah misalnya meniru.

4) Moralitas rendah dan kurang berkembang, misalnya kurang dapat


membedakan baik dan buruk, benar dan salah, boleh dan tidak boleh dan lain- lain.

5) Mudah terpengaruh (suggestible).

6) Memiliki motif kemewahan, yakni menjadikan kemewahan sebagai tujuan


utama.

2. Faktor Sosial Ekonomi.

Sejumlah faktor sosial ekonomi sering disebut sebagai faktor pendorong


seseorang melacurkan diri. Faktor ini dapat dikaitkan dengan teori anatomi
Durkheim, yang didasarkan pada anggapan banyak kebutuhan ekonomi tidak
terpenuhi. Dengan demikian diperlukan aturan umum ataupun sesuatu, yang
menjaga tindakan sewenang- wenang dari pada anggota masyarakat yang ingin
memenuhi kebutuhannya itu. Bila aturan- aturan tidak dapat dilaksanakan
ataupun tidak dapat lagi mengontrol keadaan, timbulllah situasi seolah- olah
tidak ada lagi norma, peraturan - peraturan mengikat dengan sangat lemah.

Keadaan anatomipun akan menguasai masyarakat. Biasanya pelanggaran


terhadap depresi ekonomi, ataupun ketika pesatnya kemajuan teknologi di dalam
masyarakat. Teori sosial diatas secara khusus pula dapat dipakai dalam usaha
menjelaskan mengapa seorang melacurkan diri. Reckless menyebutkan sejumlah
kondisi sosial ekonomi yang amat penting artinya dan menjerumuskan seorang
perempuan melacurkan diri. Keadaan sosial tersebut adalah:

a. Berasal dari keluarga miskin yang umumnya tingal di desa terpencil.

b. Melakukan urbanisasi karena menginginkan perbaikan nasib di kota- kota

besar, diantaranya mereka yang sedang hamil tanpa suami.


c. Pada umumnya mereka tidak memiliki keahlian tertentu.

d. Berasal dari keluarga yang pecah (broken home).

e. Telah dicerai suaminya.

f. Jatuh ke tangan - tangan agen rumah bordil yang sedang giat mencari
mangsa mangsa baru, untuk dijadikan penghuni tetap rumah- rumah pelacuran.
Adanya pemupukan kekayaan pada golongan tertentu, terjadinya kemlaratan
pada golongan bawah atau dengan kata lain, adanya hierarki di bidang
kehidupan ekonomi, memudahkan bagi penguasa rumah bordil mencari wanita -
wanita dari kelas melarat. Hubungan faktortersebut dapat melahirkan pelacuran,
tidak hanya masalah ekonomi saja tetapi faktor sosial dan hukum sangat
menentukan terjadinya proses ini.

B. Problem Prostitusi

a. Pelacuran sebagai masalah sosial

Pelacuran merupakan masalah sosial, karena merugikan masyarakat


dalam hal ketentraman, kemakmuran baik jasmani, rohani maupun sosial dari
kehidupan bersama. Hal ini menjadi nyata biladihubungkan dengan penularan
penyakit kelamin, ajaran beberapa agama dan adat tradisi suku- suku bangsa
Indonesia.

b. Pelacuran dan penyakit kelamin

Pelacuran dapat mendatangkan penyakit kel amin yang amat berbahaya,


seperti misalnya: sipilis dan kencing nanah yang dapat dengan mudah ditularkan
kepada istri, dan anak- anak si penderita.

Adamang Rochim, menuliskan hasil penelitiannya terhadap 122 orang


pelacur sebagi berikut: “Hampir lima puluh persen diantara mereka tidak dapat
injeksi. Berdasarkan hasil observasi penulis ada beberapa wanita pelacur yang
memang takut di injeksi, sehingga walaupun datang di tempat penyuntikan itu
dia. Hanya membayar uang Rp. 75, 00 dengan menyerahkan kartu kemudian
diberi tanda bahwa ia mudah di injeksi yang sebenarnya mereka tidak mau di
injeksi.”Dari hasil penelitian di atas selanjutnya dapat diberi kesimpulan, bahwa
penyakit kelamin yang menyertai pelacuran mempengaruhi kesejahteraan sebagai
anggota masyarakat, karena penyakit kelamin mengancam keselamatan,
ketentraman dan kemakmuran baik jasmani, rohani, maupun sosial mereka.
Pelacuran sebagai masalah sosial, yang telah dibahas dari segi penyakit kelamin
yang ditimbulkan, juga akan dilihat dari pandangan agama, yakni Agama Islam.
Pelacuran dilihat dari pandangan agama menyangkut nilai - nilai, yakni nilai
yang buruk. Adamang Rochim, 19981, Pelacuran Sebagai Salah Satu Faktor
Penghambat Kesejahteraan Keluarga, Penerbit Tarsito, Bandung, hal 68.

c. Pelacuran Dilihat dari Pandangan Adat Tradisi.

Pelacuran merupakan masalah sosial, bukan hanya bila ditinjau dari segi
penularan penyakit kelamin dan pandangan agama. Tetapi juga merupakan
masalah sosial bila dilihat dari segi adattradisi, sebagaian besar suku- suku
bangsa di Indonesia yang telah mengakui lembaga perkawinan sebagai lembaga
yang luhur. Sehingga setiap perhubungan kelamin di luar perkawinan,
merupakan perbuatan tercela, bahkan dapat menyebabkan pertumpahan darah.
Reaksi masyarakat terhadap delik kesusilaan tidak dapat diabaikan. Sehingga,
hendaknya adat tradisi dapat dijadikan dasar dalam putusan hakim d alam
menerapkan delik kesusilaan ini. perempuannya karena diketahui telah
melakukan hubungan gelap dengan laki- laki lain yang bukan suaminya.

C. Akibat Adanya Pelacuran

Akibat yang timbul dari aktivitas pelacuran dapat bersifat negatif maupun
positif. Akibat negatif jauh lebih banyak daripada akibat positinya. Akibat negatif,
yaitu akibat yang menimbulkan dan menyebarluaskan bermacam- macam penyakit kotor
dan menular yang sangat berbahaya, yakni penyakit akibat hubungan kela min atau
penyakit hubungan seksual (PHS).

1. Dalam bidang moral, susila, hukum dan agama, pekerjaan pelacuran termasuk
demoralisasi (tidak bermoral), Yang bergaul imtim dengan mereka juga
demoralisasi, karena itu masyarakat memandang rendah martabat wanita pelacur.

2. Pelacuran juga dapat menimbulkan kriminalitas dan kecanduan bahan nar-


kotika, karena di tempat- tempat pelacuran biasanya adalah tempat berkumpulnya
para
penjahat professional yang berbahaya dan orang- orang yang sedang ber-
masalah dengan keluarga atau masalah yang lain.

3. Selain di bidang kesehatan dan moral, pelacuran dapat juga mengakibatkan


eksploitasi manusia oleh manusia yang lain, karena umumnya wanita - wanita
pelacur itu hanya menerima upah sebagian kecil saja dari pendapatan yang
harus diterimanya. Sebagian besar pendapatannya harus diberikan kepada germo,
para calo, centeng, dan sebagainya. Apabila dilihat dari akibat berbahayanya,
gejala pelacuran merupakan gejala sosial yang harus ditanggulangi, sekalipun
masyarakat menyadari bahwa sejarah membuktikan sangat sulit memberntas dan
menang - gulangi masalah pelacuran, karena ternyata makin banyak tipe- tipe
pelacuran yang ada dalam masyarakat.

4. Merusak sendi- sendi kehidupan keluarga. Dengan adanya wanita tuna susila
akan mengakibatkan sendi- sendi dalam keluarga rusak. Semakin banyak
pengguna akan semakin memperbanyak jumlah WTS ini, dan akan menular ke
masyarakat luas.

5. Merusak sendi- sendi moral, susila, hukum dan agama Dengan meluasnya
prostitusi akan merusak sendi- sendi moral, susila, hukum dan agama . Karena
pada dasarnya prostitusi bertentangan dengan norma moral, susila, hukum dan
agama

6. Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan- bahan narkotika dan


minuman keras Prostitusi sangat berkaitan erat dengan minuman keras dan
narkotika. Minuman keras dan narkotika akan digunakan sebagai doping dalam
hubungan seksual

7. Menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit.Adapun


penyakit yang ditimbulkan dari perilaku prostitusi ini ialah HIV Aids, HIV Aids
sampai sekarang belum ditemukan obatnya. Agar virus ini tidak merambat
terlalu jauh perlu adanya pencegahan yaitu dengan mempersempit jaringan
prostitusi ini .
D. Peraturan Terkait Prostitusi

Adapun peraturan yang terkait dengan masalah prostitusi ini adalah Pasal 296
KUHP untuk praktik germo dan Pasal 506 KUHP untuk muciwari : barang siapa yang
sebagai mucikari mengambil untung dari perbuatan cabul seorang perempuan, dihukum
dengan hukuman kurungan selama- lamanya satu tahun. Sedangkan untuk pelakunya
sendiri belum ada hukumannya .Dalam menanggulangi masalah prostitusi ini sangatlah
sukar dan harus melalui proses dan waktu yang panjang, dan memerlukan pembiayaan
yang besar. Usaha untuk mengatasi masalah prostitusi ini dapat dibagi menjadi dua,
yaitu :

1. Usaha yang bersifat preventif

Usaha yang bersifat preventif diwujudkan dalam kegiatan - kegiatan untuk


mencegah terjadinya pelacuran. Usaha ini antara lain berupa :

a. penyempurnaan perundang- undangan mengenai larangan atau


pengaturan penyelenggaraan pelacuran.

b. pemberian pendidikan keagamaan dan kerohanian, untuk memperkuat


keim anan terhadap nilai - nilai religius dan norma kesusilaan

c. memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita, diseseuaikan dengan


kodrat dan bakatnya, serta mendapatkan upah/gaji yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup setiap harinya.

d. penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan


dalam kehidupan keluarga

e. penyitaan terhadap buku- buku dan majalah - majalah cabul, gambar-


gambar porno, film - film biru dan sarana- sarana lain yang merangsang
nafsu seks.

f. meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya

2. Tindakan yang bersifat represif dan kuratif

Usaha yang represif dan kuratif dimaksudkan sebagai kegiatan untuk


menekan dan usaha menyembuhkan para wanita dari ketunasusilaannya untuk
kemudian membawa mereka ke jalan yang benar. Usaha tersebut antara lain
berupa :

a. Melalui lokalisasi, dengan lokalisasi masyarakat dapat melakukan


pengawasan atau kontrol yang ketat. Karena lokalisasi sendiri pada
umumnya di daerah terpencil yang jauh dari keramaian.

b. Untuk mengurangi pelacuran, diusahakan melalui aktivitas rehabilitasi


dan resosialisasi, agar mereka bisa dikembalikan sebagai warga
masyarakat yang susila. Rehabilitasi dan resosialisasi ini dilakukan
melalui: pendidikan moral dan agama, latihan–latihan kerja dan
pendidikan keterampilan agara mereka bersifat kreatif dan produktif.

c. Penyempunaan tempat- tempat penampungan bagi para wanita


tunasusila yang terkena razia; disertai pembinaan yang sesuai dengan
bakat dan minat masingmasing.

d. Menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia


meninggalkan profesi pelacuran dan mau memulai hidup susila.

E. Pro Kontra Masyarakat atas Penutupan Lokalisasi

Alasan utama dari pihak yang kontra terhadap penutupan adalah takut penghasilannya
hilang. Penghasilan ini tentunya bukan hanya para PSK dan mucikarinya, tapi juga ekonomi
penopang dolly yang lain. Diantara kegiatan ekonomi yang menopang Karang Dempel
adalah parkir, rumah makan, pedagang kecil dan pedagang kali lima, Usaha Laundry dan
usaha kecil di sekeliling Karang Dempel.
Sehingga pemkot harus bersinergi membuat program pembinaan PSK seperti
keterampilan dan wirausaha. Pemprov dan Pemkot/pemkab seharusnya bersinergi
meningkatkan pemerataan pembangunan.

Kehidupan masyarakat di wilayah lokalisasi mendapat pengaruh langsung dari


keberadaan lokalisasi tersebut. Misalnya saja pengaruh besar penyerapan tenaga kerja di
berbagai sektor, misalnya saja mulai dari pedagang makanan yang berkeliling menjajakan
makanannya, pedagang makanan dan minuman yang menetap, penjual pakaian wanita,
tukang parkir, penjual minuman dan makanan di bar, salon kecantikan, tempat-tempat spa
beserta panti pijatnya, waiterss yang mengantarkan minuman kepada pelanggan, bisnis
laundry pakaian, toko-toko kelontong, dll.

Dengan kehidupan yang telah dijalaninya sekian tahun lamanya di sekitar Lokalisasi
Karang Dempel, maka sesungguhnya orang-orang yang secara tidak langsung berhubungan
dengan wisma-wisma disana sebetulnya sangat menggantungkan kehidupannya atas
eksistensi Lokalisasi Karang Dempel itu sendiri, penghasilan yang mereka dapatkan juga
bergantung terhadap keberadaan lokalisasi.

Berdasarkan keterangan narasumber ( hasil wawancara sabtu 17/11/2018), bahwa


permerintah kupang akan mengadakan sosialisasi terkait kewirausahan kepada para pekerja
seks ( PSK). Tetapi sampai sekarang belum ada dari pihak Pemerintah yang turun ke lokasi
untuk melakukan Lokalisasi. Kekhawatiran para pekerja seks ( PSK ) itu adalah mereka
kesulitan mendapatkan pekerjaan lain. Ibu Mami Kanjeng menjelaskan, bahwa banyak
pekerja yang sudah berumah tangga disitu takut akan kesulitan membiayai kebutuhan
keluarganya bila lokalisasi ditutup. Kanjeng Mami juga menjelaskan, bahwa pemrintah
rencananya akan melakukakn penutupan paling lambat tanggal 1 januari 2019.

Keberadaan Lokalisasi Karang Dempel juga berdampak terhadap kehidupan sosial


masyarakat sekitar lokalisasi. Stigma negatif yang selalu diberikan terhadap seseorang tinggal
di sekitar lokalisasi tersebut membuat orang tersebut menjadi merasa terkucilkan. Seseorang
yang ditanya tentang tempat tinggalnya di sekitar lokalisasi akan merasa sedikit malu ketika
menyebutkan tempat tinggalnya yang berada disekitar lokalisasi. Kemungkinan besar
masyarakat diluar lokalisasi mengganggapnya sebagai seseorang yang kurang baik karena
tinggal disekitar lokalisasi yang mana kita mengganggap orang tersebut tidak mendapatkan
sosialisasi tentang nilai dan norma sosial dengan baik, khususnya norma agama yang begitu
kuat menentang akan adanya praktik prostitusi

Sesungguhnya keberadaan lokalisasi merupakan pilihan yang paling realistis untuk


membatasi ruang gerak dan penyebaran pengaruh buruk dari bisnis tersebut terhadap
kehidupan masyarakat secara luas. Dalam aspek epidemologis , hasil sero-survey
memperlihatkan bahwa para pekerja seks komersial perempuan (PSKP) yang adadijalanan
ternyata memiliki insiden PMS lebih tinggi dibandingkan dengan PSKP lokalisasi maupun
kelas tinggi. Oleh karena itu langkah untuk melakukan pembubaran terhadap lokalisasi yang
ada perlu dikaji dan dipertimbangkan dari berbagai aspek medis, sosial, ekonomi, psikologis
dan aspek lainnya.
Sering terjadi perdebatan tentang keberadaan lokalisasi pelacuran. Dari sisi
pemerintah-walaupun pajak penghasilan yang ditarik dari daerah tersebut cukup besar –
keberadaan lokalisasi pelacuran semacam itu tidak secara eksplisit diakui secara resmi karena
pertimbangan politis dan moral. Di sisi lain , upaya untuk menutup lokalisasi pelacuran juga
tidak mudah karena beberapa faktor, antara lain faktor sosial ekonomi. Pertimbangan lain
yang menyebabkan sulitnya melakukan upaya penutupan bisnis seks yang terlokalisir adalah
justru semakin sulit melakukan pendataan, pemantauan, maupun pembinaan terhadap mereka
yang kemungkinan besar akan tetap bekerja sebagai PSK tetapi tersebar dimana-mana dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa lokalisasi industri seks komersial satu sisi secara sosial
dan moral akan meresahkan terutama dampak terhadap masyarakat sekitar, di sisi lain
memudahkan untuk melakukan monitoring dan pembinaan.

Banyaknya PSK (pekerja seks komersial) karena faktor ekonomi dan


kebanyakan dari mereka berasal dari luar Surabaya sehingga harus diadakan program
pengentasan kemiskinan di daerah. Hal tersebut akan merangsang para PSK tersebut ke
daerahnya masing - masing. Kemudian, Karag Dempel direhabilitasi menjadi tempat
industri atau perdagangan. Penutupan dilakukan secara pelan - pelan dengan
menyadarkan sekaligus memberikan solusi . Namun meski pemkot meningkatkan operasi
yang melarang kedatangan PSK dari tempat lain, belum ada jaminan upaya tersebut
berhasil. Hal tersebut diakibatkan masih bergentangannya sindikat trafficking
(perdagangan manusia).

Banyak kajian yang telah mengungkapkan bahwa akar masalah prostitusi itu
kompleks, dan tidak sebagai faktor tunggal. Di antaranya mengungkapkan bahwa masalah
pengangguran dan tekanan ekonomi sebagai fenomena yang kuat dalam mendorong
meningkatnya prostitusi. tetapi pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan ekonomi juga
bukan masalah yang sederhana, bahkan melampaui dari sekadar masalah miskin sumber
daya.

Hal ini haruslah menyadarkan bahwa masalah pelacuran dan juga perzinahan, tidak
bisa dibahas dan diselesaikan dengan cara berpikir menyederhanakan masalah. Apalagi,
Basuki dan juga pihak yang menolak, menggagas sebagai reaksi spontan dari munculnya
kasus belakangan. Prostitusi tidak cukup diatasi dengan cara-cara reaktif.
Kita harus melihat dalam cakrawala yang luas tentang masalah ini dan juga
menjadikannya pintu masuk mengatasi masalah sosial lain. Misalnya, jika prostitusi memang
diyakini memiliki latar belakang pengangguran, pertanyaannya adalah seberapa konkret
pemerintah membangun kesempatan kerja?

Jika tidak ada jawaban yang jelas, maka memaki prostitusi adalah cibiran yang naif.
Bahkan kita bisa menuding pelaku pungli yang menghambat orang mengembangkan usaha
untuk mandiri dan bermartabat, sebagai mendorong meningkatnya pelacuran. Jika diyakini
bahwa prostitusi itu terkait kemiskinan, maka pertanyaannya: seberapa konkret pemerintah
dan negara ini mengentaskan orang miskin?

Jika demikian, bukankah prostitusi adalah buah pahit dan hina dari kejahatan lain,
termasuk korupsi? Banyaknya rumah kost untuk prostitusi adalah buah dari aparat yang abai
pada pelanggaran aturan, dan kemungkinan besar didorong oleh praktik suap?

Dalam konteks mencari solusi mengatasi prostitusi, haruslah ada kesediaan untuk
terbuka terhadap kehinaan yang juga dimulai oleh praktik kejahatan lain yang
menyebabkannya. Hal itu juga terjadi di pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat, dan
mestinya membuat kita tak sepantasnya berbicara dengan sikap ‘’sok suci’’. Maraknya
praktik prostitusi adalah cermin bobroknya masyarakat kita yang kehidupannya juga
diguncang oleh dinamikan kaum elite.

Solusi harus dicari dengan, pertama-tama, mengenali mereka sebagai bagian dari
masyarakat kita. Kedua bahwa prostitusi menimbulkan akibat yang serius, termasuk soal
kesehatan dengan meningkatnya penyakit menular dari hubungan seks. Namun juga
merupakan masalah hilir, sebagai akibat dari masalah lain, seperti kemiskinan, korupsi,
rusaknya hukum dan ketertiban, dan keadilan yang menjadi mahal.

Berdebat tentang lokalisasi untuk menekan praktik pelacuran tampaknya gagasan


yang naif. Jika harapannya sampai untuk memberantas perzinahan, itu gagasan yang makin
sulit diterima. Namun membiarkan praktik prostitusi menjadi liar, bahkan di tengah
masyarakat, juga gagasan yang membahayakan.

Kita diingatkan oleh pengalaman Thailand pada tahun 1990-an ketika AIDS merebak
di negara itu. Para pelacur yang disebut sebagai sumber penyebaran penyakit ditangkapi dan
lokalisasi ditutup, mereka lari ke desa-desa. Kemiskinan membuat mereka tetap menjalankan
praktik pelacuran, dan tahun-tahun berikutnya dunia dikejutkan oleh kasus HIV/AIDS
merebak di desa-desa Thailand, dan ditemukan pada anak-anak yang baru lahir dan ibu
mereka.

Di berbagai kalangan, lokalisasi adalah pilihan pahit dan berat yang hanya bisa
diharapkan untuk menekan dampak kesehatan dan sosial dari praktik pelacuran, seperti
halnya kampanye penggunaan kondom. Jika masalah kesehatan meningkat, pemerintah dan
masyarakat bisa terpuruk oleh tagihan jaminan kesehatan, dan beban sosial lain.

Dioperasikannya lokalisasi tidak bisa diharapkan mampu mengatasi masalah melebihi


pengendalian kesehatan dan pengangguran. Ini pun dengan asumsi bahwa manajemen
dijalankan dengan benar. Padahal, ada keraguan besar terhadap birokrasi kita. Namun dengan
membiarkan praktik prostitusi sembunyi-sembunyi di tengah masyarakat yang makin
permisif seperti burung unta membenamkan kepala ke pasir atas kenyataan masalah sosial
ini.

Ada dilema yang nyata tentang masalah sosial ini, dan tidak bisa diselesaikan hanya
dengan satu cara pandang, apalagi hanya dengan satu projek. Prostitusi dan kejahatan seks
telah memusingkan banyak pemerintahan di seluruh dunia, dan sejak berabad-abad lalu.

Sebagian besar masyarakat mungkin menganggap bahwa pekerja seks komersial


merupakan penyakit masyarakat yang harus diberantas, karena menimbulkan dampak
yang tidak baik di masyarakat. Namun dalam realitasnya masyarakat mempunyai
pendapat yang berbeda- beda tentang keberadaan PSK, ada yang menentang dan
menolaknya namun ada pula yang menerimanya. Bagi mereka yang menerima, antara
lain dikarenakan:

a. Sebagian anggota masyarakat tersebut sudah kecanduan terhadap pelayanan


yang diberikan PSK, dengan cara yang mudah dan bisa mendapatkan kepuasan
sesaat.

b. Keberadaan PSK itu dianggap sebagai hal biasa, sehingga orang


berperilakuacuh tak acuh terhadapnya.
c. Keberadaan PSK telah mendatangkan keuntungan ekonomis begi
kehidupanmereka sehari - hari.

d. Sedangkan bagi mereka yang menolak, alasan yang kuat adalah karena
factor agama, kesopanan, tata susila, maupun adat ketimuran serta karena bisa
merusak moral generasi muda.

F. Penutupan Lokalisasi Karang Dempel dilihat dari Aspek Sosiologis

Masalah tersebut yakni progja penutupan Karang Dempel bisa mempunyai dua
fungsi yaitu fungsi manifes (diharapkan dan disadari) dan fungsi laten (tidak
dimaksudkan dan tidak disadari) yang mengadaptasi pendapat dari Robert King
Merton seorang sosiolog dari aliran modern. Fungsi manifes dari penutupan
Karang Dempel tersebut diantaranya tidak adanya lagi perilaku amoral atau
perilaku keji yang meresahkan banyak masyarakat. Mengurangi penderita
penyakit yang mematikan yakni virus HIV dan AIDS.

Sedangkan, fungsi laten dari penutupan Karang Dempel tersebut diantaranya


memungkinkan adanya peningkatan korban pemerkosaan, illegalitas seks semakin bebas
yang mengakibatkan penanganan dan pengurangan penderita virus HIV dan AIDS sulit
ditangani, mematikan pendapatan warga sekitar Karang Dempel seperti tukang parkir,
warung kopi, dan sebagainya.

G. Cara Menaggulangi Prostitusi

Usaha- usaha dalam penanggulangan terhadap pelacuran harus segera di -


lakukan sebab kalau tidak segera dilakukan, maka gejala dan penyakit sosial ini lama
kelamaan dipandang oleh masyarakat sebagai hal yang wajar dan normal. Dengan
adanya pandangan seperti itu berarti bahwa masyarakat mulai jenuh dalam

Menghadapi segala permasalahan yang berhubungan dengan pelacuran. Dengan


demikian, apabila masyarakat mulai jenuh, maka usaha- usaha penanggulangan
pelacuran sangat membahayakan dan meresahkan masyarakat dan generasi anak anak di
masa mendatang.
Usaha- usaha dalam penanggulangan permasalahan wanita tuna susila atau
pelacuran ialah dengan berusaha membendung dan mengurangi merajalelanya tindakan
pelacuran yang membahayakan. Dalam hal ini, Dinas Sosial perlu bekerja sama dengan
instansi lain yang terkait dan tokon- tokoh masyarakat dan agama untuk mengatasi dan
menanggulangi pelacuran. Usaha- usaha untuk memberantas dan menanggulangi
pelacuran dapat dilakukan secara preventif dan represif. Usaha preventif adalah usaha
untuk mencegah jangan sampai terjadi pelacuran, sedang usaha represif adalah usaha
untuk menyembuhkan para wanita tuna susila dari ketunasusilaanya untuk kemudian
dibawa ke jalan yang benar agar menyadari perbuatan yang mereka lakukan itu adalah
dilarang oleh norma agama. Adapun usaha- usaha yang bersifat preventif untuk
menanggulangi dan mengatasi pelacuran dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara
lain:

1. Intensifikasi pemberian pendidikan keagamaan dan kerohaniaan.

2. Menciptakan bermacam- macam kesibukan dan kesempatan rekreasi bagi


anakanak usia puber untuk menyalurkan kelebihan energinya dalam aktivitas
positif.

3. Memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita .

4. Penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam


kehidupan rumah tangga.

5. Pembentukan badan atau tim koordinasi dari semua unsur lembaga terkait
dalam usaha penanggulangan pelacuran.

6. Memberikan bimbingan dan penyuluhan sosial dengan tujuan memberikan


pemahaman tentang bahaya dan akibat pelacuran.

Sementara itu, usaha- usaha yang bersifat represif untuk menanggulangi atau
mengurangi pelacuran dalam masyarakat dapat dilakukan berbagai hal, antara lain
(Kartini Kartono, 1998):

1. Melalui lokasilisasi yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi, orang melaku-


kan pengawasan atau kontrol yang ketat demi menjamin kesehatan dan ke -
amanan para pealacur dan para penikmatnya.
2. Melakukan aktivitas rehabilitasi dan resosialisasi para pelacur agar bisa
dikembalikan sebagai warga masyarakat yang susila.

3. Penyempurnaan tempat penampungan bagi para wanita tuna susila yang ter-
kena razia disertai pembinaan sesuai minat dan bakat masing - masing.

4. Menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia meninggalkan


profesi pelacuran dan mau mulai hidup baru.

5. Mengadakan pendekatan terhadap keluarga para pelacur dan masyarakat asal


mereka agar keluarga mau menerima kembali mantan wanita tuna susila itu
guna mengawali hidup baru.

6. Melaksanakan pengecekan (razia) ke tempat- tempat yang digunakan untuk


perbuatan mesum (bordil liar) dengan tindak lanjut untuk dilakukan penutupan.

Dalam Convention for the Suppresion of the Traffic to Persons and of the
Prostitution of Others tahun 1949, Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap
Perempuan (diratifikasi Pemerintah RI dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1984)
dan terakhir pada bulan Desember 1993 oleh Perserikatan Bangsa - Bangsa (PBB)
perdagangan perempuan serta prostitusi paksa dimasukkan sebagai bentuk kekerasan
terhadap perempuan. Hal ini menunjukkan pengakuan bersama komunitas internasional
bahwa dalam prostitusi, apa pun bentuk dan motivasi yang melandasi, seorang
perempuan yang dilacurkan adalah korban. Yang juga ironis adalah, dari berbagai pola
pendekatan terhadap prostitusi, baik upaya penghapusan, sistem regulasi, atau
pelarangan, perlindungan memadai akan hak sebagai individu dan warga negara para
perempuan korban itu masih terabaikan.Nuansa pelanggaran hak asasi manusia (HAM)
dalam penanganan masalah prostitusi selama ini sangat tinggi. Sejak awal rekrutmen,
nuansa ekonomis, kemiskinan, dan beban eksploitasi sangat kental dialami perempuan
yang dilacurkan, yang umumnya berasal dari keluarga miskin. Setelah terjebak di
dalam dunia prostitusi pun mereka tak memiliki banyak kesempatan untuk keluar,
hanya mampu berharap suatu saat jalan itu terbuka. Di wilayah DKI Jakarta misalnya,
landasan kebijakan yang digunakan aparat dalam melakukan penertiban terhadap para
perempuan yang dilacurkan adalah Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 1988
tentang Ketertiban Umum di Wilayah DKI Jakarta.
Sementara, secara substantif peraturan ini sudah bermasalah. Pada awal proses
pembuatan misalnya, masyarakat tidak dilibatkan dan tidak didengar suaranya,
khususnya masukan dari warga di sekitar lokasi prostitusi yang sebenarnya penting
didengar karena mereka jugalah yang terkena imbas praktik prostitusi dengan segala
eksesnya.

Secara garis besar, solusi dalam mengatasi masalah pelacuran dapat dibagi ke
dalam tiga tahap yakni secara preventif, represif, dan rehabilitatif. Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, diperlukan sudut pandang secara sosiologis maupun yuridis dalam
mengkaji dan menentukan tahap manakah yang digunakan dalam memecahkan masalah
pelacuran. Setiap tahapan baik itu preventif, represif, maupun rehabilitatif tentu dapat ditinjau
secara sosilogis dan yuridis, maupun hanya sosiologis atau yuridis saja.
Tahap pertama dalam mengatasi pelacuran adalah tahap preventif yakni tahap
pencegahan sebelum terjadinya pelacuran dan umumnya tahap ini dapat ditinjau secara
sosiologis. Pencegahan ditujukan kepada masyarakat yang tinggal baik di dalam maupun di
sekitar daerah dimana masalah pelacuran tersebut terjadi, terlebih lagi kepada generasi muda
yang rawan menjadi korban maupun pelaku dari tindakan asusila tersebut.
Upaya preventif yang dilakukan berupa penekanan pada kegiatan-kegiatan
penanaman keyakinan berke-Tuhanan yang Maha Esa, pengamalan ajaran agama sesuai
dengan agama yang dianutnya, penanaman rasa kemanusiaan yang adil dan beradap serta
pengamalannya, dan pelaksanaan pendidikan budi pekerti atau etika sosial. Dengan kata lain,
semua anggota masyarakat harus melaksanakan dan mengamalkan Pancasila secara murni
dan konsekuen.
Penanaman nilai keagaman diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa
pelacuran merupakan tindakan yang dilarang oleh agama mengingat di dalam agama,
pelacuran disamakan dengan zinah yakni hubungan laki-laki dan perempuan diluar
perkawinan. Penanaman nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradap diperlukan untuk
menanamkan pemahaman bahwa pelacuran merupakan suatu tindakan yang memperlakukan
manusia secara semena-mena, mengeksploitasi kemerdekaan manusia terlebih lagi sampai
ada tindakan pemerasan.
Pelacuran merupakan tindakan yang mengesampingkan martabat manusia demi
keuntungan pribadi. Terakhir, penanaman nilai budi pekerti dan etika diperlukan untuk
menambahkan kesadaran dalam diri masyarakat akan pentingnya eksistensi dari nilai-nilai
kesusilaan. Masalah pelacuran merupakan akibat sekaligus penyebab demoralisasi kesusilaan
itu sendiri semakin luas, sehingga untuk mencegah terjadinya sekaligus meluasnya
demoralisasi kesusilaan, penanaman nilai-nilai kesusilaan dibutuhkan.
Tahap kedua, yakni tahap represif, merupakan serangkaian tindakan yang diambil
ketika suatu masalah telah terjadi dan bertujuan untuk mengatasi masalah tersebut agar
dampak yang dihasilkan tidak membawa kerugian (baik besar atau kecil) bagi masyarkat,
termasuk masalah pelacuran ini. Dalam mengkaji penindakan masalah pelacuran, kita perlu
melihat terlebih dahulu peraturan hukum yang mengatur tindak pelacuran sebagaimana yang
tertulis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
KUHP menyatakan tindak pidana kesusilaan sebagai kejahatan dan diatur dalam
pasal 281-303. Bila diperhatikan pasal demi pasal dari KUHP, tidak ada satu yang mengatur
secara khusus mengenai wanita pelacur. Ketiadaan aturan mengenai PSK (terutama PSK
wanita) terkadang menyulitkan aparatur penegak hukum sehingga penafsiran dan penggunaan
aturan daerah menjadi diperlukan. Tak hanya PSK saja yang ketentuannya tidak diatur secara
khusus di dalam KUHP, tetapi juga tamu atau pelanggan sehingga dalam penindakannya pun
juga sama seperti menindak PSK.

Kesulitan tidak hanya soal diatur atau tidaknya suatu masalah, tetapi kesulitan dalam
mengenakan hukum pada pelaku prostitusi juga dikarenakan prostitusi dipandang sebagai
pelanggaran terhadap norma sosial yang laten sifatnya, bukannya dipandang sebagai suatu
kejahatan (pengecualian untuk mucikari dan tindakan eksploitasi manusia) Meski tidak
mengatur PSK dan tamu, ternyata KUHP menetapkan aturan mengenai mucikari seperti yang
terdapat dalam pasal 296 (mengatur penyediaan tempat untuk berbuat cabul) dan pasal 506
(mengatur makelar cabul).

Adanya kesulitan dalam menetapkan hukuman bagi pelaku tindak pelacuran


(terutama pengenaan hukuman yang kurang adil) dan adanya pelimpahan kewenagan bagi
pemerintah daerah dalam mengurus pelacuran (pelacuran dipandang sebagai masalah daerah),
maka kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah dalam menanggulangi pelacuran
berupa razia terhadap pelacur-pelacur; tindakan pengawasan, pengaturan, dan pencegahan
penyakit; dan kebijakan lokalisasi. Ketiga tindakan tersebut saling terikat satu sama lain.
Lokalisasi dimaksudkan untuk menempatkan para PSK beserta mucikari di satu lokasi atau
wilayah yang sama, sehingga memudahkan pemerintah dalam mengawasi kegiatan prostitusi.
Pengawasan dimaksudkan untuk mencegah terjadinya infeksi atau penularan
penyakit kelamin baik di dalam maupun di luar lokalisasi. Pengawasan juga berguna dalam
proses rehabilitasi para pelaku tindakan pelacuran agar mereka tergerak untuk tidak berbuat
cabul serta dapat kembali ke masyarakat. Razia yang dilakukan pemerintah selain bertujuan
untuk memberantas PSK liar di luar lokalisasi juga bertujuan untuk mencegah penyebaran
penyakit kelamin dan demoralisasi di masyarkat.

Namun, tindakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam menanggulangi


pelacuran belum efektif mengingat kemauan untuk berhenti melakukan tindakan asusila
tersebut datang dari pelaku prostitusi baik itu dari para PSK, tamu, maupun mucikari.
Lokalisasi yang awalnya dimaksudkan sebagai tempat pembinaan dan pengawasan tidak
tercapai ketika para pelaku prostitusi enggan untuk dibina dan pandangan lokalisasi sebagai
“lumbung uang” masih ada, khususnya bagi PSK dan mucikari. Berbeda dengan PSK dan
mucikari, pandangan bahwa lokalisasi merupakan tempat pemenuhan keinginan seks bagi
para tamu juga mempengaruhi berjalannya bisnis prostitusi tanpa mempedulikan masalah
pembinaan dan pengawasan pelaku prostitusi.

Dalam mengatasi pandangan para pelaku prostitusi terhadap lokalisasi beserta


kebijakan pemerintah lain yang mengiringinya, maka dibutuhkanlah tindakan rehabilitatif
yang dapat didefinisikan sebagai tindakan mengembalikan keadaan dan kedudukan orang
yang terlibat dalam pelacuran sebagai individu yang baik dan berpribadi, ,mengembalikan
mereka kepada situasi dimana mereka dapat berfikir sehat, bermental kuat, bersikap dan
bertingkah laku sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat, serta mengembalikan
daya fungsi mereka baik sebagai anggota keluarga maupun warga masyarkat. Umumnya,
rehabilitasi dilakukan dengan cara penanaman nilai-nilai dalam masyarakat; peningkatan
kesadaran mental, sikap, dan tingkah laku; pemberian keterampilan yang berdaya-guna
ekonomis, penyaluran untuk dikembalikan ke masyarkat baik itu dengan cara mencari
pekerjaan atau melalui perkawinan; pengawasan setelah mereka disalurkan ke dalam
masyarkat; serta evaluasi atas hasil rehabilitasi tersebut.

Isi Perda No 11/1988 oleh banyak kalangan dipandang cenderung diskriminatif


dan bias kelas, karena yang menjadi sasaran penertiban kebanyakan mereka yang
beroperasi di jalan dengan alasan melanggar ketertiban umum. Sementara di diskotek,
pub, klab malam eksklusif, dan hotel berbintang yang terselubung, alasan penertiban
hanyalah pelanggaran jam buka tempat hiburan, dan itu pun bisa “diatur”.

Di pihak lain, dari kelompok yang memakai bendera agama, penggerebekan


dilakukan sepihak, sering tidak manusiawi, destruktif tanpa pandang bulu, bahkan
cenderung main hakim sendiri. Padahal, agama mengajarkan manusia berbuat baik,
termasuk pada perempuan yang dilacurkan, yang seharusnya justru dibimbing yang
benar.

Upaya penghapusan lokalisasi yang marak beberapa tahun terakhir justru


membuat “kantung - kan tung” prostitusi baru makin menyebar dan tak terpantau.
Termasuk risiko terkena HIV/AIDS yang sulit dikontrol karena pemeriksaan rutin pada
para

Perempuan yang dilacurkan di lokalisasi terhenti. Hak - hak mereka atas


pelayanan kesehatan yang memadai kian terabaikan. Apalagi jika diketahui, sebagai
pengidap AIDS atau HIV positif, kekerasan yang dialami akan semakin berlipat,
termasuk terhadap anggota keluarga korban.Saat aparat melakukan penertiban, sering
terjadi salah tangkap karena ada asumsi bahwa setiap perempuan yang keluar pada
malam hari adalah perempuan nakal, sementara laki - laki yang keluyuran malam hari
tak pernah dipersoalkan. Nuansa bias jender di sini terjadi selain dalam bentuk
stigmatisasi, juga diskriminasi, karena jarang laki - laki sebagai kon sumen, germo atau
mucikari, serta pengusaha tempat prostitusi ditangkap dan diproses secara hukum.
Kalaupun ada laki- laki yang tertangkap, aparat hanya mendata, memberi penyuluhan,
dan menyuruh pulang.

Sementara para perempuan yang terjaring, didata, diberi penyuluhan dan disuruh
membayar denda, atau dimasukkan ke panti rehabilitasi selama beberapa bulan. Mereka
juga sangat rentan pelecehan seksual oleh aparat selama proses penertiban.Seringkali
pemerintah membuat kebijakan dengan tak memperhatikan fungsi laten dari kebijakan
tersebut. Fungsi manifes yang selalu menjadi prioritas pemikiran mereka. Pemerintah
sebaiknya terlebih dulu melakukan penyadaran sekaligus pemberdayaan secara
menyeluruh dan kritis terhadap PSK dan nasib ekonomi warga sekitar lokalisas i. Baru
berinisiatif untuk menutup Karang Dempel tersebut.
BAB 4

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pelacuran merupakan masalah sosial yang berpengaruh sangat besar terhadap


perkembangan moral. Kondisi ini sangat mengkawatirkan terhadap masalah bagi
keluarga dan generasi muda, serta akan semakin menjalarnya penyakit kelamin.
Penyakit kelamin ini terasa semakin menjalar akhir- akhir ini karena semakin
banyaknya korban penyakit HIV/AIDS yang belum ditemukan obatnya. Pelacuran
berkembang karena dorongan tekanan- tekanan sosial, keputusasaan, kehilangan
pekerjaan, pelarian bagi yang putus cinta, dan semakin banyaknya orang yang
menggandrunginya. Hal ini ditandai oleh adanya fasilitas lokasi secara khusus, meski
beralasan daripada berkeliaran di jalan- jalan, di stasiun kereta api, di sekitar kantor
polisi, atau di tempat- tempat umum yang terlihat sepi.

Pada masa sekarang angin pelacuran semakin bias dengan penyebutan nama
dengan pekerja seks komersil (PSK) dibanding wanita tuna susila (WTS). Dari adanya
nama ini, pelacur a tau WTS yang terkesan suatu penyimpangan perilaku, berubah pada
posisi yang lebih baik kalo tidak bisa dibilang lebih terhormat dengan sebutan PSK.
Sebutan PSK memposisikan mereka sebagai bagian dari salah satu profesi dalam
masyarakat. Bila nilai- nilai moral dan keterlanjuran itu semakin terpatri dalam jiwa
para pelaku ditambah adanya anggapan bahwa pekerjaan PSK mudah dilakukan, tidak
memerlukan keterampilan khusus, dan banyak mendatangkan uang dengan mudah,
maka perkembangan pelacuran semakin sulit diberantas. Meski mereka ditangkap dan
diberikan keterampilan suatu usaha, maka setelah menjalani hukuman, mereka akan
kembali kepada kegiatan pelacuran.

Prostitusi merupakan penyakit masyarakat yang sangat meresahkan dan


diperlukan penanganan khusus. Prostitusi ini sangat sulit dihilangkan karena sudah ada
sejak zaman dahulu. Ada dua faktor yang menjadi penyebab seseorang menjadi
pelacur yaitu faktor internal dan eksternal. Belum adanya undang- undang yang
mengaturtentang perbuatan perzinaan semakin meningkatkan jumlah prostitusi ini.
Terlebih kebijakan pemerintah yang terlalu longgar terhadap pihak - pihak yang terkait
dalam hal ini. Akibat dari prostitusi ini sendiri dapat menyebarkan penyakit kelamin
dan aids serta membuat semakin merosotnya moral masyarakat.

Lokalisasi merupakan jalan keluar yang dirasa mampu diterapkan di Indonesia.


Dengan adanya lokalisasi ini akan mempermudah pemantauan terhadap para pelaku.Di
tengah masyarakat ada dua pendapat yang bertentangan, disatu sisi prilaku prostitusi
melanggar nilai - nilai moral (perbuatan tercela), disisi lain prilaku ini ditolerir demi
nilai ekonomi (perbuatan menguntungkan). yaitu dapat terpenuhinya kebutuhan ekonomi
keluarga dan kebutuhan laki - laki yang menginginkannya.

Disamping itu juga prostitusi dilatar belakangi oleh faktor kemiskinan, dimana
kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan
dan kekurangan di berbagai keadaan hidup.Sebagian orang memahami istilah ini secara
subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya mel ihatnya dari segi moral dan
evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan,
dengan rendahnya pendidikan, iman dan taqwa yang lemah maka setiap orang akan
melakukan apa saja demi mempertahankan kelangsungan hidupnya, termasuk melacur.

B. Saran

Apapun bentuknya, dalam prostitusi, perempuan yang dilacurkan adalah korban


yang berhak atas perlakuan manusiawi karena mereka sama seperti kita. Keberpihakan
itu tidak berarti kita menyetujui prostitusi, tetapi mencoba memberi nuansa pendekatan
yang berperikemanusiaan.

Janganlah kita melihat, menilai, apalagi menghakimi hitam - putih, baik-


buruknya seseorang dari apa yang ia lakukan. Urusan benar- salah, dosa- tidak dosa,
adalah urusan manusia dengan Tuhan- nya. Bagaimanapun, niat bertobat dalam hati
para perempuan yang dilacurkan lebih patut dihargai jika dibandingkan dengan para
koruptor berdasi dan dihormati yang diam - diam memakan uang rakyat .Masyarakat
bila digerakkan, dan bekerja sama dengan pihak- pihak terkait akan mampu melakukan
tindak pencegahan dan penanggulanggan prilaku prostitusi di lingkungannya.
DAFTAR PUSTAKA

 Ritzer, George & Goodman, Douglas J, Teori Sosiologi Modern, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 1997.
 Johnson, Doyle P diterj. Robert M.Z.Lawang, Teori Sosiolodi Klasik Modern,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1990.
 Beilharz, Peter, Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filsof Terkemuka,
Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2003.
 Alam. A.S. 1984. Pelacuran dan pemerasan Studi Sosiologis Tentang Eksploitasi
Manusia oleh
 Manusia. Bandung: Alumni
 Kartono, Kartini. 2007. Patologi Sosial. Jakarta : PT Raja Grapindo Persada
 Kholis Nur Aziz. 2007. Tinjauan Pasal 296 KUHP Terhadap Lokalisasi
Pelacuran di
 Kabupaten Tulungagung. Bandung: UNITA
 Penepoulosi, Michel. 2000. Lika-Liku Gadis Panggilan. Jakarta: CV. Pionir Jaya
 Peter, Beilharz. 2005. Teori-Teori Sosial. Pustaka Pelajar : Yogyakarta
 Rahayu, S. Hidayat. 2000. Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yang telah
Berubah.
 Program Studi kajian Wanita. Jakarta: PPS. UI
 Rochim Adamang. 1998. Pelacuran Sebagai Salah Satu Faktor Penghambat
Kesejahteraan
 Keluarga. Bandung: Penerbit Tarsito
 Rukmini Kusuma Astuti. 1984. Proses Terjadinya Pelacuran di Masyarakat .
Thesis Fakultas
 Psikologi Universitas Gadjahmada. Jogyakarta
 Sidik, Saiz, Asyhariz. 2007. Persepsi Masyarakat Tentang prostitusi Liar.
SkripsiSimanjutak
 Soekanto, Soejono. 1990. Sosiologi Keluarga. Jakarta : Rineka Cipta
 Soekanto, Soerjono.2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada

Anda mungkin juga menyukai