MAKALAH
OLEH :
FERNANDO BERINALDI
(1603030107)
DOSEN WALI :
JURUSAN SOSIOLOGI
KUPANG
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan bantuan Roh-Nya, saya dapat
menyelesaikan makalah ini. Makalah yang berjudul Pro dan Kontra penutupan Lokalisasi
Karang Dempel oleh Pemerintah Kota Kupang disusun sebagai salah satu pemenuhan tugas
Dalam Mata Kuliah Sosiologi Konflik.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini tidak mungkin selesai tanpa adanya
bantuan, bimbingan, dan arahan dari berbagai pihak. Jika ada kesalahan / ada kata yang
kurang baik dalam penyusunan makalah ini, selaku sebagai penyusun makalah mohon kritik
dan saran dari pembaca untuk dapat menyempurnakan makalah ini.
Penulis
Keterangan Wawancara
( documentasi wawancara )
BAB 1
LATAR BELAKANG
Masalah yang dialami kaum perempuan di Indonesia khususnya di Kota Kupang salah
satunya adalah tindak kekerasan seksual, memukul, dan menyiksa sehingga bisa
menyebabkan perempuan takut dan trauma. Selain itu masalah ekonomi juga menjadi hal
yang berpengaruh bagi kaum perempuan terutama yang sedang menemp[uh pendidikan,
ataupun menjadi tulang punggung membiayai kehidupan keluarga. Permasalahan inilah yang
menjadi salah satu alasan kaum wanita lari ke arean yang tidak lazim bagi banyak orang.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan di KD Kupang senin, 12/11/2018, seorang ibu
yang mengelola salah satu bagian di lokalisasi tersebut menyebutkan bila, pekerja ( PSK)
memiliki latarbelakang yang berbeda, baik itu pelajar, mahasiswa, maupun ibu rumah tangga.
Pekerja seks ini tinggal dan berada di lokalisasi tersebut.
Fenomena praktek pelacuran merupakan masalah sosial yang sangat menarik dan
tidak ada habisnya untuk diperbincangkan dan diperdebatkan. Mulai dari dahulu sampai
sekarang masalah pelacuran adalah masalah sosial yang sangat sensitif yang menyangkut
peraturan sosial, moral, etika, bahkan agama.
Prostitusi atau pelacuran itu sendiri sebenarnya telah muncul jauh sebelum peradaban modrn
menyentuh masyarakat, karena sejak dahulu kalatelah ditemukan prostitusi. Contohnya saja
dalam kitab suci juga diceritakan seorang perempuan pelacur. Prostitusi dalam artian umum
adalah pelacur atau pelayan seks atau pekerja seks komersial atau disebut juga penjual jasa
seksual. Prostitusi itu sendiri disebut sebagai suatu pekerjaan dengan cara menyerahkan diri
tau menjual jasa seksual dengan harapan mendapatkan upah atau imbalan dari orang yang
memakai jasa seksualnya tersebut.
Atau ada juga akibat factor lingkungan, disini lingkungan memegang andil
sangat penting dalam pembentukan kepribadian seseorang, walaupun keluarga
merupakan factor pemb entuk kepribadian yang utama tetapi tidak menutup
kemungkinan lingkungan juga bertindak sama dalam pembentukan kepribadian
seseorang, Selain itu juga ada factor pengaruh ekonomi dimana seorang yang
berprostitusi merasa bahwa hanya itu yang bisa dilakukan untuk mendapatkan sesuap
nasi, dan masih banyak lagi factor- factor yang mendukung terjadinya prostitusi atau
pelacuran.
Gaya hidup dinilai menjadi salah satu faktor utama pendorong remaja terlibat
prostitusi. Gaya hidup remaja sekarang dipengaruhi salah satunya oleh tayangan
sinetron di televisi. Remaja digambarkan sebagai sosok modern dengan segala barang
yang dimilikinya. Padahal dengan terlibat prostitusi, para remaja itu sangat rentan
terinfeksi penyakit menular seperti HIV dan AIDS.
Fenomena yang terjadi di Kota Kupang adalah fenomena yang menarik untuk dikaji,
Walikota Kupang, Jefirston Riwu Kore, akan mengambil kebijakan menutup lokalisasi yang
sudah lama beroperasi. Dan yang paling fenomenal adalah penutupan lokalisasi Karang
Dempel pada wal tahun 2019.
Pemerintah Kota Kupang telah membuat suatu kebijakan untuk membuat daerah
Kupang bebas dari praktek prostitusi. Praktek prostitusi ini dinilai oleh pemerintah setempat
memiliki banyak dampak negative di masyarakat diantaranya adalah penyebaran virus HIV
AIDS. Bahkan Pemerintah Kota Kupang tidak mau tanggung-tanggung akan melibatkan
anggota Polri dan Sapol PP sebagai penegak Peraturan Daerah (Perda).
Dengan adanya kebijakan pemerintah ini diharapkan mampu menutup semua praktek
prostitusi khususnya di daerah Kota Kupang. Penutupan ini bertujuan membuat masyarakat
yang sebelumnya bermata pencaharian sebagai Pekerja Sex Komersial (PSK) beralih
bermatapencaharian lain yang dinilai lebih layak.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri - ciri yang dibawa individu dalam
suatu interaksi . Perbedaan - perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri
fisik, kepandaian , pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan
dibawasertanya ciri - ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi
yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah
mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik
hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
6. Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu
pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu
pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang
secara negatif (Robbins, 1993).
9. Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang
ingin dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan yang
diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers,1982:234- 237;
Kreps, 1986:185; Stewart, 1993:341).
10. Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang
lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang
berbeda – beda (Devito, 1995:381).
1. Konflik pribadi
3. Konflik politik
5. Konflik antarkelompok
Konflik antar kelompok adalah konflik yang terjadi karena persaingan untuk
mendapatkan mata pencaharian yang sama atau terjadi karena pemaksaan
unsurunsur kebudayaan tertentu. Di samping itu mungkin ada pemaksaan
agama, dominasi politik, adanya konflik tradisional yang terpendam.
6. Konflik internasional
Menurut Ralf Dahendrof tentang masyarakat ialah bahwa setiap masyarakat setiap
saat tunduk pada proses perubahan, dan pertikaian serta konflik ada dalam sistem sosial juga
berbagai elemen kemasyarakatan memberikan kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan.
Suatu bentuk keteraturan dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh
mereka yang memiliki kekuasaan, sehingga ia menekankan tentang peran kekuasaan dalam
mempertahankan ketertiban dalam masyarakat.
Bagi Dahrendorf, masyarakat memiliki dua wajah, yakni konflik dan konsesus yang
dikenal dengan teori konflik dialektika. Dengan demikian diusulkan agar teori sosiologi
dibagi menjadi dua bagian yakni teori konflik dan teori konsesus. Teori konflik harus
menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat
sedangkan teori konsesus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat. Bagi Ralf,
masyarakat tidak akan ada tanpa konsesus dan konflik. Masyarakat disatukan oleh
ketidakbebasan yang dipaksakan. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat
mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain.
Fakta kehidupan sosial ini yang mengarahkan Dahrendorf kepada tesis sentralnya
bahwa perbedaan distribusi ‘otoritas” selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial
sistematis. Hubungan Otoritas dan Konflik Sosial Ralf Dahrendorf berpendapat bahwa posisi
yang ada dalam masyarakat memiliki otoritas atau kekuasaan dengan intensitas yang
berbeda-beda. Otoritas tidak terletak dalam diri individu, tetapi dalam posisi, sehingga tidak
bersifat statis. Jadi, seseorang bisa saja berkuasa atau memiliki otoritas dalam lingkungan
tertentu dan tidak mempunyai kuasa atau otoritas tertentu pada lingkungan lainnya. Sehingga
seseorang yang berada dalam posisi subordinat dalam kelompok tertentu, mungkin saja
menempati posisi superordinat pada kelompok yang lain.
Kekuasaan atau otoritas mengandung dua unsur yaitu penguasa (orang yang berkuasa)
dan orang yang dikuasai atau dengan kata lain atasan dan bawahan. Kelompok dibedakan atas
tiga tipe antara lain : 1. Kelompok Semu (quasi group) 2. Kelompok Kepentingan (manifes)
3. Kelompok Konflik Kelompok semu adalah sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan
yang sama tetapi belum menyadari keberadaannya, dan kelompok ini juga termasuk dalam
tipe kelompok kedua, yakni kelompok kepentingan dan karena kepentingan inilah melahirkan
kelompok ketiga yakni kelompok konflik sosial. Sehingga dalam kelompok akan terdapat
dalam dua perkumpulan yakni kelompok yang berkuasa (atasan) dan kelompok yang
dibawahi (bawahan). Kedua kelompok ini mempunyai kepentingan berbeda. Bahkan,
menurut Ralf, mereka dipersatukan oleh kepentingan yang sama.
Mereka yang berada pada kelompok atas (penguasa) ingin tetap mempertahankan
status quo sedangkan mereka berada di bawah (yang dikuasai atau bawahan ingin supaya ada
perubahan. Dahrendorf mengakui pentingnya konflik mengacu dari pemikiran Lewis Coser
dimana hubungan konflik dan perubahan ialah konflik berfungsi untuk menciptakan
perubahan dan perkembangan. Jika konflik itu intensif, maka perubahan akan bersifat radikal,
sebaliknya jika konflik berupa kekerasan, maka akan terjadi perubahan struktural secara tiba-
tiba. Menurut Dahrendorf, Adanya status sosial didalam masyarakat (sumber konflik yaitu:
Adanya benturan kaya-miskin, pejabat-pegawai rendah, majikan-buruh) kepentingan
(buruh dan majikan, antar kelompok,antar partai dan antar Adanya dominasi Adanya
ketidakadilan atau diskriminasi. agama). kekuasaan (penguasa dan dikuasai).
Jadi ada perilaku yang ditentukan dan perilaku yang otonom, maka keduanya harus
seimbang. Salah satu karya besar Dahrendorf “Class and class Conflict in Industrial
Society” dapat dipahami pemikiran Dahrendorf dimana asumsinya bahwa teori
fungsionalisme struktural tradisional mengalami kegagalan karena teori ini tidak mampu
untuk memahami masalah perubahan sosial, terutama menganilisis masalah konflik.
Teori konflik dipahami melalui suatu pemahaman bahwa masyarakat memiliki dua
wajah karena setiap masyarakat kapan saja tunduk pada perubahan, sehingga asumsinya
bahwa perubahan sosial ada dimana-mana, selanjutnya masyarakat juga bisa memperlihatkan
perpecahan dan konflik pada saat tertentu dan juga memberikan kontribusi bagi disintegrasi
dan perubahan, karena masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas
orang lain.
Menurut Soedjono (dalam Winaya: 2006), motif- motif atau faktor penyebab
yang melatar belakangi tumbuhnya pelacuran atau praktik prostitusi adalah:
1. Tekanan ekonomi.
2. Aspirasi materiil yang tinggi dalam diri wanita dan kesenangan- ketamakan
terhadap pakaian - pakaian indah dan perhiasan mewah. Ingin hidup bermewah-
mewah namun malas bekerja.
3. Rasa ingin tahu yang besar terhadap masalah seks khususnya untuk remaja
yang kemudian masuk ke dalam dunia pelacuran oleh bujukan- bujukan orang -
orang yang tidak bertanggung jawab.
7. Perkembangan kota- kota daerah pelabuhan dan industri yang sangat cepat
dan menyerap urbanisasi tanpa ada jalan keluar untuk mendapatkan pekerjaan
kecuali menjadi PSK bagi anak- anak gadis.
1. Faktor Kejiwaan
Mereka mencari jalan keluar dari kesulitan- kesulitannya. Dalam keadaan yang
demikian inilah orang akan mudah terpengaruh ke jalan yang sesat. Seperti yangtelah
disebutkan oleh Warauow, berbagai faktor psikologis yang dapat menyebabkan seorang
wanita menjadi pelacur adalah sebagai berikut:
1) IQ rendah sekitar 65 % sebagian besar wanita pelacur mempunyai IQ
rendah, yang terbagi: labilitas, dengan IQ 70- 90, imbesil dengan IQ 50- 70 dan
idiot dengan IQ dibawah 50, mereka yang idiot ini jarang hidup diatas 30 tahun.
f. Jatuh ke tangan - tangan agen rumah bordil yang sedang giat mencari
mangsa mangsa baru, untuk dijadikan penghuni tetap rumah- rumah pelacuran.
Adanya pemupukan kekayaan pada golongan tertentu, terjadinya kemlaratan
pada golongan bawah atau dengan kata lain, adanya hierarki di bidang
kehidupan ekonomi, memudahkan bagi penguasa rumah bordil mencari wanita -
wanita dari kelas melarat. Hubungan faktortersebut dapat melahirkan pelacuran,
tidak hanya masalah ekonomi saja tetapi faktor sosial dan hukum sangat
menentukan terjadinya proses ini.
B. Problem Prostitusi
Pelacuran merupakan masalah sosial, bukan hanya bila ditinjau dari segi
penularan penyakit kelamin dan pandangan agama. Tetapi juga merupakan
masalah sosial bila dilihat dari segi adattradisi, sebagaian besar suku- suku
bangsa di Indonesia yang telah mengakui lembaga perkawinan sebagai lembaga
yang luhur. Sehingga setiap perhubungan kelamin di luar perkawinan,
merupakan perbuatan tercela, bahkan dapat menyebabkan pertumpahan darah.
Reaksi masyarakat terhadap delik kesusilaan tidak dapat diabaikan. Sehingga,
hendaknya adat tradisi dapat dijadikan dasar dalam putusan hakim d alam
menerapkan delik kesusilaan ini. perempuannya karena diketahui telah
melakukan hubungan gelap dengan laki- laki lain yang bukan suaminya.
Akibat yang timbul dari aktivitas pelacuran dapat bersifat negatif maupun
positif. Akibat negatif jauh lebih banyak daripada akibat positinya. Akibat negatif,
yaitu akibat yang menimbulkan dan menyebarluaskan bermacam- macam penyakit kotor
dan menular yang sangat berbahaya, yakni penyakit akibat hubungan kela min atau
penyakit hubungan seksual (PHS).
1. Dalam bidang moral, susila, hukum dan agama, pekerjaan pelacuran termasuk
demoralisasi (tidak bermoral), Yang bergaul imtim dengan mereka juga
demoralisasi, karena itu masyarakat memandang rendah martabat wanita pelacur.
4. Merusak sendi- sendi kehidupan keluarga. Dengan adanya wanita tuna susila
akan mengakibatkan sendi- sendi dalam keluarga rusak. Semakin banyak
pengguna akan semakin memperbanyak jumlah WTS ini, dan akan menular ke
masyarakat luas.
5. Merusak sendi- sendi moral, susila, hukum dan agama Dengan meluasnya
prostitusi akan merusak sendi- sendi moral, susila, hukum dan agama . Karena
pada dasarnya prostitusi bertentangan dengan norma moral, susila, hukum dan
agama
Adapun peraturan yang terkait dengan masalah prostitusi ini adalah Pasal 296
KUHP untuk praktik germo dan Pasal 506 KUHP untuk muciwari : barang siapa yang
sebagai mucikari mengambil untung dari perbuatan cabul seorang perempuan, dihukum
dengan hukuman kurungan selama- lamanya satu tahun. Sedangkan untuk pelakunya
sendiri belum ada hukumannya .Dalam menanggulangi masalah prostitusi ini sangatlah
sukar dan harus melalui proses dan waktu yang panjang, dan memerlukan pembiayaan
yang besar. Usaha untuk mengatasi masalah prostitusi ini dapat dibagi menjadi dua,
yaitu :
Alasan utama dari pihak yang kontra terhadap penutupan adalah takut penghasilannya
hilang. Penghasilan ini tentunya bukan hanya para PSK dan mucikarinya, tapi juga ekonomi
penopang dolly yang lain. Diantara kegiatan ekonomi yang menopang Karang Dempel
adalah parkir, rumah makan, pedagang kecil dan pedagang kali lima, Usaha Laundry dan
usaha kecil di sekeliling Karang Dempel.
Sehingga pemkot harus bersinergi membuat program pembinaan PSK seperti
keterampilan dan wirausaha. Pemprov dan Pemkot/pemkab seharusnya bersinergi
meningkatkan pemerataan pembangunan.
Dengan kehidupan yang telah dijalaninya sekian tahun lamanya di sekitar Lokalisasi
Karang Dempel, maka sesungguhnya orang-orang yang secara tidak langsung berhubungan
dengan wisma-wisma disana sebetulnya sangat menggantungkan kehidupannya atas
eksistensi Lokalisasi Karang Dempel itu sendiri, penghasilan yang mereka dapatkan juga
bergantung terhadap keberadaan lokalisasi.
Banyak kajian yang telah mengungkapkan bahwa akar masalah prostitusi itu
kompleks, dan tidak sebagai faktor tunggal. Di antaranya mengungkapkan bahwa masalah
pengangguran dan tekanan ekonomi sebagai fenomena yang kuat dalam mendorong
meningkatnya prostitusi. tetapi pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan ekonomi juga
bukan masalah yang sederhana, bahkan melampaui dari sekadar masalah miskin sumber
daya.
Hal ini haruslah menyadarkan bahwa masalah pelacuran dan juga perzinahan, tidak
bisa dibahas dan diselesaikan dengan cara berpikir menyederhanakan masalah. Apalagi,
Basuki dan juga pihak yang menolak, menggagas sebagai reaksi spontan dari munculnya
kasus belakangan. Prostitusi tidak cukup diatasi dengan cara-cara reaktif.
Kita harus melihat dalam cakrawala yang luas tentang masalah ini dan juga
menjadikannya pintu masuk mengatasi masalah sosial lain. Misalnya, jika prostitusi memang
diyakini memiliki latar belakang pengangguran, pertanyaannya adalah seberapa konkret
pemerintah membangun kesempatan kerja?
Jika tidak ada jawaban yang jelas, maka memaki prostitusi adalah cibiran yang naif.
Bahkan kita bisa menuding pelaku pungli yang menghambat orang mengembangkan usaha
untuk mandiri dan bermartabat, sebagai mendorong meningkatnya pelacuran. Jika diyakini
bahwa prostitusi itu terkait kemiskinan, maka pertanyaannya: seberapa konkret pemerintah
dan negara ini mengentaskan orang miskin?
Jika demikian, bukankah prostitusi adalah buah pahit dan hina dari kejahatan lain,
termasuk korupsi? Banyaknya rumah kost untuk prostitusi adalah buah dari aparat yang abai
pada pelanggaran aturan, dan kemungkinan besar didorong oleh praktik suap?
Dalam konteks mencari solusi mengatasi prostitusi, haruslah ada kesediaan untuk
terbuka terhadap kehinaan yang juga dimulai oleh praktik kejahatan lain yang
menyebabkannya. Hal itu juga terjadi di pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat, dan
mestinya membuat kita tak sepantasnya berbicara dengan sikap ‘’sok suci’’. Maraknya
praktik prostitusi adalah cermin bobroknya masyarakat kita yang kehidupannya juga
diguncang oleh dinamikan kaum elite.
Solusi harus dicari dengan, pertama-tama, mengenali mereka sebagai bagian dari
masyarakat kita. Kedua bahwa prostitusi menimbulkan akibat yang serius, termasuk soal
kesehatan dengan meningkatnya penyakit menular dari hubungan seks. Namun juga
merupakan masalah hilir, sebagai akibat dari masalah lain, seperti kemiskinan, korupsi,
rusaknya hukum dan ketertiban, dan keadilan yang menjadi mahal.
Kita diingatkan oleh pengalaman Thailand pada tahun 1990-an ketika AIDS merebak
di negara itu. Para pelacur yang disebut sebagai sumber penyebaran penyakit ditangkapi dan
lokalisasi ditutup, mereka lari ke desa-desa. Kemiskinan membuat mereka tetap menjalankan
praktik pelacuran, dan tahun-tahun berikutnya dunia dikejutkan oleh kasus HIV/AIDS
merebak di desa-desa Thailand, dan ditemukan pada anak-anak yang baru lahir dan ibu
mereka.
Di berbagai kalangan, lokalisasi adalah pilihan pahit dan berat yang hanya bisa
diharapkan untuk menekan dampak kesehatan dan sosial dari praktik pelacuran, seperti
halnya kampanye penggunaan kondom. Jika masalah kesehatan meningkat, pemerintah dan
masyarakat bisa terpuruk oleh tagihan jaminan kesehatan, dan beban sosial lain.
Ada dilema yang nyata tentang masalah sosial ini, dan tidak bisa diselesaikan hanya
dengan satu cara pandang, apalagi hanya dengan satu projek. Prostitusi dan kejahatan seks
telah memusingkan banyak pemerintahan di seluruh dunia, dan sejak berabad-abad lalu.
d. Sedangkan bagi mereka yang menolak, alasan yang kuat adalah karena
factor agama, kesopanan, tata susila, maupun adat ketimuran serta karena bisa
merusak moral generasi muda.
Masalah tersebut yakni progja penutupan Karang Dempel bisa mempunyai dua
fungsi yaitu fungsi manifes (diharapkan dan disadari) dan fungsi laten (tidak
dimaksudkan dan tidak disadari) yang mengadaptasi pendapat dari Robert King
Merton seorang sosiolog dari aliran modern. Fungsi manifes dari penutupan
Karang Dempel tersebut diantaranya tidak adanya lagi perilaku amoral atau
perilaku keji yang meresahkan banyak masyarakat. Mengurangi penderita
penyakit yang mematikan yakni virus HIV dan AIDS.
5. Pembentukan badan atau tim koordinasi dari semua unsur lembaga terkait
dalam usaha penanggulangan pelacuran.
Sementara itu, usaha- usaha yang bersifat represif untuk menanggulangi atau
mengurangi pelacuran dalam masyarakat dapat dilakukan berbagai hal, antara lain
(Kartini Kartono, 1998):
3. Penyempurnaan tempat penampungan bagi para wanita tuna susila yang ter-
kena razia disertai pembinaan sesuai minat dan bakat masing - masing.
Dalam Convention for the Suppresion of the Traffic to Persons and of the
Prostitution of Others tahun 1949, Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap
Perempuan (diratifikasi Pemerintah RI dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1984)
dan terakhir pada bulan Desember 1993 oleh Perserikatan Bangsa - Bangsa (PBB)
perdagangan perempuan serta prostitusi paksa dimasukkan sebagai bentuk kekerasan
terhadap perempuan. Hal ini menunjukkan pengakuan bersama komunitas internasional
bahwa dalam prostitusi, apa pun bentuk dan motivasi yang melandasi, seorang
perempuan yang dilacurkan adalah korban. Yang juga ironis adalah, dari berbagai pola
pendekatan terhadap prostitusi, baik upaya penghapusan, sistem regulasi, atau
pelarangan, perlindungan memadai akan hak sebagai individu dan warga negara para
perempuan korban itu masih terabaikan.Nuansa pelanggaran hak asasi manusia (HAM)
dalam penanganan masalah prostitusi selama ini sangat tinggi. Sejak awal rekrutmen,
nuansa ekonomis, kemiskinan, dan beban eksploitasi sangat kental dialami perempuan
yang dilacurkan, yang umumnya berasal dari keluarga miskin. Setelah terjebak di
dalam dunia prostitusi pun mereka tak memiliki banyak kesempatan untuk keluar,
hanya mampu berharap suatu saat jalan itu terbuka. Di wilayah DKI Jakarta misalnya,
landasan kebijakan yang digunakan aparat dalam melakukan penertiban terhadap para
perempuan yang dilacurkan adalah Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 1988
tentang Ketertiban Umum di Wilayah DKI Jakarta.
Sementara, secara substantif peraturan ini sudah bermasalah. Pada awal proses
pembuatan misalnya, masyarakat tidak dilibatkan dan tidak didengar suaranya,
khususnya masukan dari warga di sekitar lokasi prostitusi yang sebenarnya penting
didengar karena mereka jugalah yang terkena imbas praktik prostitusi dengan segala
eksesnya.
Secara garis besar, solusi dalam mengatasi masalah pelacuran dapat dibagi ke
dalam tiga tahap yakni secara preventif, represif, dan rehabilitatif. Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, diperlukan sudut pandang secara sosiologis maupun yuridis dalam
mengkaji dan menentukan tahap manakah yang digunakan dalam memecahkan masalah
pelacuran. Setiap tahapan baik itu preventif, represif, maupun rehabilitatif tentu dapat ditinjau
secara sosilogis dan yuridis, maupun hanya sosiologis atau yuridis saja.
Tahap pertama dalam mengatasi pelacuran adalah tahap preventif yakni tahap
pencegahan sebelum terjadinya pelacuran dan umumnya tahap ini dapat ditinjau secara
sosiologis. Pencegahan ditujukan kepada masyarakat yang tinggal baik di dalam maupun di
sekitar daerah dimana masalah pelacuran tersebut terjadi, terlebih lagi kepada generasi muda
yang rawan menjadi korban maupun pelaku dari tindakan asusila tersebut.
Upaya preventif yang dilakukan berupa penekanan pada kegiatan-kegiatan
penanaman keyakinan berke-Tuhanan yang Maha Esa, pengamalan ajaran agama sesuai
dengan agama yang dianutnya, penanaman rasa kemanusiaan yang adil dan beradap serta
pengamalannya, dan pelaksanaan pendidikan budi pekerti atau etika sosial. Dengan kata lain,
semua anggota masyarakat harus melaksanakan dan mengamalkan Pancasila secara murni
dan konsekuen.
Penanaman nilai keagaman diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa
pelacuran merupakan tindakan yang dilarang oleh agama mengingat di dalam agama,
pelacuran disamakan dengan zinah yakni hubungan laki-laki dan perempuan diluar
perkawinan. Penanaman nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradap diperlukan untuk
menanamkan pemahaman bahwa pelacuran merupakan suatu tindakan yang memperlakukan
manusia secara semena-mena, mengeksploitasi kemerdekaan manusia terlebih lagi sampai
ada tindakan pemerasan.
Pelacuran merupakan tindakan yang mengesampingkan martabat manusia demi
keuntungan pribadi. Terakhir, penanaman nilai budi pekerti dan etika diperlukan untuk
menambahkan kesadaran dalam diri masyarakat akan pentingnya eksistensi dari nilai-nilai
kesusilaan. Masalah pelacuran merupakan akibat sekaligus penyebab demoralisasi kesusilaan
itu sendiri semakin luas, sehingga untuk mencegah terjadinya sekaligus meluasnya
demoralisasi kesusilaan, penanaman nilai-nilai kesusilaan dibutuhkan.
Tahap kedua, yakni tahap represif, merupakan serangkaian tindakan yang diambil
ketika suatu masalah telah terjadi dan bertujuan untuk mengatasi masalah tersebut agar
dampak yang dihasilkan tidak membawa kerugian (baik besar atau kecil) bagi masyarkat,
termasuk masalah pelacuran ini. Dalam mengkaji penindakan masalah pelacuran, kita perlu
melihat terlebih dahulu peraturan hukum yang mengatur tindak pelacuran sebagaimana yang
tertulis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
KUHP menyatakan tindak pidana kesusilaan sebagai kejahatan dan diatur dalam
pasal 281-303. Bila diperhatikan pasal demi pasal dari KUHP, tidak ada satu yang mengatur
secara khusus mengenai wanita pelacur. Ketiadaan aturan mengenai PSK (terutama PSK
wanita) terkadang menyulitkan aparatur penegak hukum sehingga penafsiran dan penggunaan
aturan daerah menjadi diperlukan. Tak hanya PSK saja yang ketentuannya tidak diatur secara
khusus di dalam KUHP, tetapi juga tamu atau pelanggan sehingga dalam penindakannya pun
juga sama seperti menindak PSK.
Kesulitan tidak hanya soal diatur atau tidaknya suatu masalah, tetapi kesulitan dalam
mengenakan hukum pada pelaku prostitusi juga dikarenakan prostitusi dipandang sebagai
pelanggaran terhadap norma sosial yang laten sifatnya, bukannya dipandang sebagai suatu
kejahatan (pengecualian untuk mucikari dan tindakan eksploitasi manusia) Meski tidak
mengatur PSK dan tamu, ternyata KUHP menetapkan aturan mengenai mucikari seperti yang
terdapat dalam pasal 296 (mengatur penyediaan tempat untuk berbuat cabul) dan pasal 506
(mengatur makelar cabul).
Sementara para perempuan yang terjaring, didata, diberi penyuluhan dan disuruh
membayar denda, atau dimasukkan ke panti rehabilitasi selama beberapa bulan. Mereka
juga sangat rentan pelecehan seksual oleh aparat selama proses penertiban.Seringkali
pemerintah membuat kebijakan dengan tak memperhatikan fungsi laten dari kebijakan
tersebut. Fungsi manifes yang selalu menjadi prioritas pemikiran mereka. Pemerintah
sebaiknya terlebih dulu melakukan penyadaran sekaligus pemberdayaan secara
menyeluruh dan kritis terhadap PSK dan nasib ekonomi warga sekitar lokalisas i. Baru
berinisiatif untuk menutup Karang Dempel tersebut.
BAB 4
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada masa sekarang angin pelacuran semakin bias dengan penyebutan nama
dengan pekerja seks komersil (PSK) dibanding wanita tuna susila (WTS). Dari adanya
nama ini, pelacur a tau WTS yang terkesan suatu penyimpangan perilaku, berubah pada
posisi yang lebih baik kalo tidak bisa dibilang lebih terhormat dengan sebutan PSK.
Sebutan PSK memposisikan mereka sebagai bagian dari salah satu profesi dalam
masyarakat. Bila nilai- nilai moral dan keterlanjuran itu semakin terpatri dalam jiwa
para pelaku ditambah adanya anggapan bahwa pekerjaan PSK mudah dilakukan, tidak
memerlukan keterampilan khusus, dan banyak mendatangkan uang dengan mudah,
maka perkembangan pelacuran semakin sulit diberantas. Meski mereka ditangkap dan
diberikan keterampilan suatu usaha, maka setelah menjalani hukuman, mereka akan
kembali kepada kegiatan pelacuran.
Disamping itu juga prostitusi dilatar belakangi oleh faktor kemiskinan, dimana
kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan
dan kekurangan di berbagai keadaan hidup.Sebagian orang memahami istilah ini secara
subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya mel ihatnya dari segi moral dan
evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan,
dengan rendahnya pendidikan, iman dan taqwa yang lemah maka setiap orang akan
melakukan apa saja demi mempertahankan kelangsungan hidupnya, termasuk melacur.
B. Saran
Ritzer, George & Goodman, Douglas J, Teori Sosiologi Modern, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 1997.
Johnson, Doyle P diterj. Robert M.Z.Lawang, Teori Sosiolodi Klasik Modern,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1990.
Beilharz, Peter, Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filsof Terkemuka,
Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2003.
Alam. A.S. 1984. Pelacuran dan pemerasan Studi Sosiologis Tentang Eksploitasi
Manusia oleh
Manusia. Bandung: Alumni
Kartono, Kartini. 2007. Patologi Sosial. Jakarta : PT Raja Grapindo Persada
Kholis Nur Aziz. 2007. Tinjauan Pasal 296 KUHP Terhadap Lokalisasi
Pelacuran di
Kabupaten Tulungagung. Bandung: UNITA
Penepoulosi, Michel. 2000. Lika-Liku Gadis Panggilan. Jakarta: CV. Pionir Jaya
Peter, Beilharz. 2005. Teori-Teori Sosial. Pustaka Pelajar : Yogyakarta
Rahayu, S. Hidayat. 2000. Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yang telah
Berubah.
Program Studi kajian Wanita. Jakarta: PPS. UI
Rochim Adamang. 1998. Pelacuran Sebagai Salah Satu Faktor Penghambat
Kesejahteraan
Keluarga. Bandung: Penerbit Tarsito
Rukmini Kusuma Astuti. 1984. Proses Terjadinya Pelacuran di Masyarakat .
Thesis Fakultas
Psikologi Universitas Gadjahmada. Jogyakarta
Sidik, Saiz, Asyhariz. 2007. Persepsi Masyarakat Tentang prostitusi Liar.
SkripsiSimanjutak
Soekanto, Soejono. 1990. Sosiologi Keluarga. Jakarta : Rineka Cipta
Soekanto, Soerjono.2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada