Oleh:
Khairul Iksan
KOPERTIS WILAYAH IV
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
( STAI) AL-KHAIROT
PAMEKASAN
TAHUN 2018
1
2
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, karena atas
Ringkasan Materi Kuliah “Teori Sosiologi” ini dalam penulisannya tidak sedikit
sumbangan pemikiran yang telah diberikan oleh berbagai pihak .Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis mengucapkan banyak rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
Penulis sangat menyadari bahwa Ringkasan Materi Kuliah “Teori Sosiologi” ini
masih kurang begitu sempurna. Oleh karena itu penulis sangat berharap adanya saran
dan kritik yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan penulisan berikutnya. Akhirnya
penulis berharap agar ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada
umumnya.
Penulis,
3
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Kata Pengantar ii
1. PENDAHULUAN …………………………………………………. 1
1.1 Sejarah Sosiologi Sebagai Sebuah Ilmu …………………….
1
1.2 Pokok Bahasan dalam Sosiologi …………………………….
2. TEORI DAN RAGAM TIPE TEORI SOSIOLOGI ....................... 3
2.1 Pembentukan Teori dan Definisi Teori Sosiologi …………...
8
2.2 Pemetaan Tipe Teori dalam Sosiologi ...................................
3. TEORI SOSIOLOGI ……. .............................................................. 8
3.1 Definisi dan Fungsi Teori ………........................................
11
3.2 Pentingnya Studi Teori Sosiologi ...........................................
3.3 Klasifikasi Teori Sosiologi ……………................................ 15
3.4 Teori- teori Sosiologi …………........................................
15
Teori Sosiologi Klasik …………………………………
Teori Sosiologi Modern ………………………………... 16
Penutup 19
Referensi 25
4
1. PENDAHULUAN
Apakah sosiologi itu? bagaimana latar belakang munculnya ? apa manfaat
mempelajari ?
Munculnya sosiologi sebagai sebuah ilmu, selain merupakan hasil dari
proses empiricall-historis, juga merupakan hasil dari proses perkembangan
pemikiran filosofis. Fenomena empiris yang melatarbelakangi situasi sosial-politik
di Eropa Barat pada abad ke-15 sampai dengan abad ke-18 sangat mempengaruhi
perkembangan sosiologis,disamping munculnya pandangan-pandangan filosofis
tentang positivisme, yaitu mencari penjelasan semua gejala alam dan sosial dengan
mengacu pada deskripsi dan hukum ilmiah.
Penjelasan yang bersifat historis dan filosofis, mengantarkan pada
pemahaman tentang pokok bahasan sosiologi yang membedakan dengan ilmu sosial
lainnya, yang akan memberikan jawaban tentang hakekat dari sosiologi.
Kompleksitas permasalahan yang mendorong lahirnya pemikiran sosiologi telah
memberikan sumbangan yang besar bagi keragaman cara pandang, sehingga
sosiologi dinyatakan sebagai ilmu dengan paradigma majemuk (’a multiple
paradigm science’).
individualisme, serta lahirnya ilmu pengetahuan modern. Dua revolusi penting pada
abad ke-18, ialah (1) Revolusi Industri, (2) Revolusi Perancis (Laeyendecker,
1983:11-43).
Gejolak sosial dan politik yang terjadi pada masa itu telah menggoncang
masyarakat Eropa, serta menggoyahkan tatanan sosial yang lama mapan. Faktor ini
merupakan penyebab utama mengapa pemikiran sosiologi mulai berkembang secara
serentak di beberapa negara Eropa (Inggris, Perancis, Jerman), Pada masa inilah
peran para tokoh sosiologi klasik berawal. Mendorong para pemikir dan intelektual
mencari jawaban yang rasional, serta menemukan formula yang mampu
menguraikan semua gejala sosial yang muncul. Lahirlah kemudian pemikiran
cemerlang tentang masyarakat, perubahan sosial serta konflik sosial dari tokoh-
tokoh seperti, Auguste Comte (1798-1857), Herbert Spencer (1820-1903), Karl
Marx (1818-1883), Emile Durkheim (1858-1917) dan Max Weber (1864-1920).
Mereka ini kemudian diakui oleh para tokoh sosiologi abad 20 (tokoh sosiologi
modern) sebagai perintis awal serta peletak dasar pemikiran sosiologi, sebagai ’the
founding fathers’, dan oleh Lewis Coser dianggap sebagai ’masters of sociological
thought’, yang memberikan sumbangan penting bagi lahir dan berkembangnya
sosiologi sebagai sebuah ilmu.
Nama ”sosiologi” merupakan ciptaan Auguste Comte. Pemikiran filsafat Comte
memberikan sumbangan penting bagi sosiologi, dan mendorong perkembangan
sosiologi, dalam bukunya : ’Course de Philosophie Positive’.Yang berisi
pandangannya mengenai hukum kemajuan manusia dan masyarakat yang melewati
tiga tahap. Tahap pertama adalah teologi, yaitu manusia mencoba menjelaskan
gejala di sekitarnya dengan mengacu pada hal-hal yang bersifat adikodrati atau
supranatural. Tahap kedua adalah metafisika, yaitu manusia mengacu pada
kekuatan metafisik atau abstrak. Pada tahap ketiga, tahap positif, yaitu manusia
mencari penjelasan gejala alam maupun sosial mangacu pada deskripsi ilmiah.
Karena memperkenalkan metode positif ini maka Comte dikenal sebagai perintis
positivisme. Pada pandangan Comte, sosiologi harus merupakan ilmu yang sama
ilmiahnya dengan ilmu pengetahuan alam. Dengan kata lain sosiologi harus menjadi
sebuah ilmu yang positif. Ciri metode positif mendasarkan pada cara berpikir
ilmiah, bahwa obyek yang dikaji harus berupa fakta, dan kajian harus bermanfaat,
serta mengarah pada kepastian dan kecermatan. Sarana yang digunakan dalam
6
berarti pola atau regulasi. Oleh karena itu analisis sosiologi dapat mengidentifikasi
akar, proses, dan implikasi dari tindakan sosial yang diamati. Dalam konteks ini,
sosiologi bukanlah semata-mata memberikan penjelasan deskriptif, tetapi berusaha
memahami kaitan antara elemen-elemen tindakan sosial. Ketiga, penjelasan
sosiologi bersifat analitis. Ini berarti bahwa dalam menjelaskan tindakan sosial,
sosiologi berlandaskan pada prinsip-prinsip teori dan metodologi penelitian tertentu
(scientific thought), dan bukan berdasarkan konsensus-konsensus yang hanya
berlaku khusus (common sense). Keempat, penjelasan sosiologi adalah sistematis,
artinya dalam memahami tindakan sosial sosiologi menempatkan diri sebagai
disiplin yang mengikuti aturan-aturan yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
Beberapa diskusi mengenai pokok bahasan sosiologi memberi gambaran bahwa
ternyata cakupan dan ruang lingkup perhatian sosiologi cukup luas, meliputi
mikrososiologi dan makrososiologi (menurut Inkeles, dalam Kamanto
Sunarto:2004,hal.18-21). Mikrososiologi disebut juga sebagai ’the sociology of
everyday life situation’, atau sosiologi kehidupan sehari-hari, yang mengkhususkan
diri pada fenomena antar individu disaat mereka berinteraksi tatap muka, bertindak
dan berkomunikasi. Sedangkan makrososiologi disebut sebagai the ’sociology of
social structures’ atau sosiologi struktur sosial, yang mempelajari masyarakat secara
keseluruhan serta hubungan antar bagian dalam masyarakat. Dalam hal ini
masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang melebihi kumpulan individu yang
membentuknya. Diantara mikrososiologi dan makrososiologi, ada lingkup pokok
bahasan yang disebut mesososiologi yang lebih menekankan pada institusi sosial.
Dengan demikian Alex Inkeles menyatakan bahwa sosiologi memiliki tiga pokok
bahasan yang khas, yaitu hubungan sosial, institusi, dan masyarakat.
Hubungan antara metode, teori dan paradigma Sosiologi, dapat dilihat dalam
tabel berikut ini :
9
Gambaran dasar
No Paradigma pokok permasalahan Teori Metode Eksemplar
Menurut Soetrisno dan Hanafie (2007), bahwa teori tersusun dari beberapa
komponen pembentuk teori atau dengan kata lain komponen yang tersusun ini
merupakan komponen ilmu yang hakiki. Adapun komponen yang dimaksud, yakni:
fenomena, konsep, fakta, dan teori. Jika dianalisis lebih lanjut bahwa ketiga
komponen (fenomena, konsep, dan fakta) yang akhirnya membentuk teori
merupakan proses siklikal yang tidak linear, dimana teori yang lahir akan terus
dikoreksi akibat dari perubahan yang ada sekaligus menjawab fenomena yang
sesungguhnya.
Pembentukan teori berawal dari fenomena sebagai gejala atau kejadian yang
ditangkap oleh indera manusia, kemudian diabstraksi dengan konsep-konsep.
Konsep ialah istilah atau simbol-simbol yang mengandung pengertian singkat dari
fenomena. Dikarenakan konsep merupakan simbol-simbol yang nampak dari suatu
fenomena, maka ketika konsep tersebut semakin mendasar akan melahirkan apa
yang dinamakan variabel. Variabel sendiri dapat diartikan suatu sifat atau jumlah
yang mempunyai nilai kategorial, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Jadi
variabel akan berkembang seiring dengan kompleksitas konsep yang dipakai untuk
mengetahui fenomena yang hadir.
Untuk menganalisis fenomena atau kejadian sosial, seringkali kita mencoba
menghubungkan antara satu konsep dengan konsep lainnya. Keterhubungan antar
konsep (relation consept) yang didukung dengan data-data empirik disebut fakta.
Tentunya fakta tidak berdiri sendiri, melainkan mempunyai jalinan dengan fakta-
fakta yang lainnya. Jalinan fakta inilah yang disebut dengan teori. Atau dengan
kata lain teori adalah seperangkat konsep, defenisi, dan proposisi-proposisi yang
berhubungan satu sama lain, yang menunjukkan fenomena secara sistematis, dan
bertujuan untuk menjelaskan (explanation) dan meramalkan (prediction) fenomen-
fenomena.
Definisi tentang teori di atas senada dengan Richard Rudner (Poloma, 2004)
yang mendefinisikan teori sebagai seperangkat pernyataan yang secara sistematis
berhubungan, termasuk beberapa generalisasi yang memiliki kemiripan sebagai
hukum, yang dapat diuji secara empiris. Selanjutya Poloma (2004) menambahkan
bahwa batasan demikian membutuhkan batasan konsep atau variabel setepat-
tepatnya, yang kemudian melahirkan pernyataan-pernyataan atau proposisi-
proposisi yang saling berkaitan satu sama lain untuk membentuk suatu teori ilmiah.
13
Tidak hanya itu saja, Poloma (2004) menegaskan bahwa unit dasar teori sosiologi
adalah konsep atau variabel sosiologis yang memberikan dasar bagi pengujian
empiris.
Dengan demikian, sangat jelas bahwa pembentukan suatu teori sosiologi
tidak lepas atau sangat terkait dengan cara berfikir (logika) yang dibangun oleh
seorang ilmuwan sosial untuk menjawab pertanyaan atas suatu realita sosial. Dalam
ilmu filsafat, dikenal dua cara berfikir (logika) sebagai ”tipe ideal” (meminjam
istilah Max Weber) untuk mengetahui suatu teori dalam menjawab realita atau
fenomena sosial. Tipe ideal yang dimaksud adalah bahwa pembentukan teori
berangkat dari logika induktif (induktive logical) dan logika deduktif (deductive
logical) yang mempunyai perbedaan satu sama lain. Cara berfikir induktif
berangkat dari fakta empiris yang diperoleh melalui pengamatan dalam membentuk
suatu hukum atau teori sosiologi. Ini berbeda dengan cara berfikir deduktif yang
menempatkan hukum atau teori sosiologi sebagai untuk memprediksi dan
mengeksplanasi kejadian atau fenomena sosial. Meski demikian, antara fakta yang
ada dan prediksi maupun eksplanasi mempunyai keterhubungan dalam membuka
”tabir” atas kejadian atau fenomena sosial.
Tipe ideal sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2 dapat dilacak diawal-
awal lahirnya sosiologi sebagai ilmu pengetahuan. Sebagai Bapak Sosiologi,
Aguste Comte dengan teori evolusinya yang dikenal dengan hukum tiga tingkatan
(tahap teologis, tahap metafisik, dan tahap positivistik) yang berangkat dari
”filasafat positif” (Ritzer dan Goodman, 2003) merupakan pembentukan teori yang
didasari atas deduktive logical, dimana mengembangkan fisika sosial sebagaimana
model ilmu-ilmu pasti atau ”hard science”.
Pendapat ini, kemudian dibantah oleh Durkheim yang mana mentikberatkan
sosiologi sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada fakta sosial
(empirisme). Berangkat dari penelitian empiris terhadap gejala bunuh diri sebagai
suatu fenomena sosial, Durkheim kembali menegaskan bahwa fakta sosial
menurutnya sebagai barang sesuatu yang berbeda dari dunia ide yang menjadi
sasaran penyeledikan filsafat. Atau dengan kata lain, dengan meletakkan fakta
sosial sebagai sasaran yang harus dipelajari dalam sosiologi, berarti menempatkan
sosiologi sebagai suatu disiplin empiris dan berdiri sendiri dari pengaruh filsafat
(Ritzer, 2004).
14
pekerjaan yang mudah karena pemetaan teori harus didasarkan atas argumentasi
yang kuat untuk meletakkan suatu teori sosiologi dalam tipe tertentu. Meski
demikian, dua pendapat sosiolog sebelumnya ditambah dengan Ritzer (2005)
dengan paradigma terpadunya yang membagi teori ke dalam 4 kelompok besar
(makro-obyektif, makro-subyektif, mikro-obyektif, dan mikro-subyektif)
memberikan gambaran kepada penulis untuk mencoba melakukan pemetaan tipe
teori sosiologi.
Pemetaan tipe teori yang akan dilakukan ini, tidak serta ”meninggalkan”
pendapat sebelumnya, melainkan mencoba mengelaborasinya ke dalam pembagian
tipe yang mudah dipahami. Adapun pembagian tipe teori sosiologi yang penulis
maksud adalah menggambungkan pendapat yang dikemukakan oleh Collins (1988),
Skidmore (1979), dan tipe ideal dalam pembentukan teori. Dengan menggunakan
sistem kuadran, penulis menempatkan dua garis yang saling menyilang (X dan Y)
sebagai garis kontinum yang membedakan antara aras teori dengan tipe ideal
pembentukan teori.
Aras teori berpijak pada pendapat Collins, yang kemudian penulis reduksi
menjadi dua aras, yakni makro dan mikro. Alasan mengapa teori aras meso yang
dikemukakan Collins, tidak penulis masukkan karena didasarkan atas dua
argumentasi, yakni: pertama, teori pada aras meso sebagaimana dikemukakan
Collins (1988) hanya menekankan perbedaan unit analisis antara makro dan mikro.
Akan tetapi sebagai sumber ilmu pengetahuan, pemikiran teori aras meso tetap
berpijak pada pemikiran yang bersumber dari induktif dan deduktif; dan kedua,
meminjam pembagian sosiologi oleh Sanderson (2003) yang mengemukakan bahwa
teori sosiologi pada prinsipnya dikategorikan menjadi dua bagian sesuai dengan
kajian analitiknya. Adapun kategori yang dimaksud, yaitu: sosiologi makro dan
sosiologi mikro[1]. Dengan demikian, teori aras makro-mikro merupakan satu garis
kontinum yang saling berhubungan (garis sumbu X).
[1] Sanderson (2003) mengungkapkan bahwa sosiologi makro adalah ilmu
pengetahuan sosial yang mengkaji berbagai pola sosial berskala besar. Ilmu ini
memusatkan berhatiannya kepada masyarakat sebagai keseluruhan dan berbagai
unsur pentingnya, seperti: ekonomi, sistem politik, pola penghidupan keluarga dan
bentuk sistem keagamaannya. Sosiologi makro juga memusatkan perhatiannya
kepada jaringan kerja dunia dari berbagai masyarakat yang saling berinteraksi.
Sedangkan sosiologi mikro adalah sosiologi yang menyelidiki berbagai pola pikir
dan perilaku yang muncul dalam kelompok-kelompok yang relatif berskala kecil.
17
Sementara itu, untuk tipe ideal pembentukan teori yang penulis maksud
adalah cara berfikir filsafat yang bersumber dari dua, yakni deduktif dan induktif.
Pernyataan ini senada dengan pendapat Skidmore yang membedakan tipe teori
menjadi 3 bagian, yakni teori deduktif (deductive theory), teori berpola (pattern
theory), dan perspektif (perspective). Dalam pembuatan tipe teori sosiologi ini,
teori perspektif yang dikemukakan Skidmore, tidak penulis masukkan karena
cenderung sudah mewakili dua teori sebelumnya. Dengan demikian, deduktive
theory (cara berfikir deduktif) dan pattern theory (cara berfikir induktif) merupakan
satu garis kontinum atau garis sumbu Y.
Berangkat dari pemetaan teori yang disajikan di atas, dengan jelas terlihat
bahwa tipe teori sosiologi dapat dibedakan ke dalam 4 bagian, yakni:
1) Mikro-deduktif, yaitu tipe teori sosiologi yang mengkaji berbagai pola
pikir dan perilaku yang muncul dalam kelompok-kelompok yang relatif
berskala kecil dimana prediksi dan eksplanasinya berangkat dari hukum-
hukum atau teori sebelumnya. Dalam tipe ini, satuan analisisnya adalah
individu dan kelompok sosial.
2) Mikro-induktif, yaitu tipe teori sosiologi yang mengkaji berbagai pola
pikir dan perilaku yang muncul dalam kelompok-kelompok yang relatif
berskala kecil dimana prediksi dan eksplanasinya berangkat dari fakta
sosial (emperisme). Adapun tipe analisisnya adalah individu dan
kelompok sosial;
3) Makro-deduktif, yaitu tipe teori sosiologi yang mengkaji berbagai pola
sosial berskala besar dimana eksplanasi dan prediksinya berangkat dari
hukum-hukum atau teori sebelumnya. Satuan analisis dari tipe teori ini
adalah masyarakat sebagai sistem sosial dan dapat pula organisasi sosial;
dan
4) Makro-induktif, yaitu tipe teori sosiologi yang mengkaji berbagai pola
sosial berskala besar dimana eksplanasi dan prediksinya berangkat dari
fakta sosial (emperisme). Satuan analisisnya adalah masyarakat atau
sistem sosial.
18
3. TEORI SOSIOLOGI
Kata teori sering kali memberikan arti yang berbeda-beda kepada setiap
orang. Ada yang menghubungkan teori dengan hal-hal yang tidak realistis dan jauh
dari kenyataan. Ada juga orang yang menganggap teori tidak sejalan dengan hal-hal
praktis. Mereka berpikir apa gunanya teori kalau fakta sudah diketahui?.
Teori merupakan usaha untuk menjawab pertanyaan, “Mengapa?” Mengapa
begini dan mengapa begitu? Tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk
mengembangkan teori yang masuk akal dan dapat dipercaya. Hanya dengan
berteori, pertanyaan-pertanyaan fundamental mengenai situasi sosial dapat dijawab.
Karena itu, sebelum berbicara tentang teori-teori sosiologi, maka ada baiknya
diuraikan secara singkat tentang apa itu teori, fungsi teori, pentingnya studi teori
sosiologi, serta pengklasifikasian teori sosiologi.
cara-cara tertentu. Fakta merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya
dapat diuji secara empiris. Oleh sebab itu dalam bentuk yang paling sederhana, teori
merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya.
Bagi seseorang yang belajar sosiologi, teori mempunyai kegunaan antara
lain untuk (Zamroni, 1992: 4):
1. sistematisasi pengetahuan;
2. menjelaskan, meramalkan, dan melakukan kontrol sosial
3. mengembangkan hipotesa
memandang bahwa kekayaan dan kekuasaan itu tidak terdistribusi secara merata
dalam masyarakat. Oleh karena itu kaum penguasa yang memiliki alat produksi
(kaum borjuis/kapitalis) senantiasa terlibat konflik dengan kaum buruh yang
dieksploitasi (kaum proletar).
Menurut Marx, sejarah segala masyarakat yang ada hingga sekarang pada
hakikatnya adalah sejarah konflik kelas. Di zaman kuno ada kaum bangsawan
yang bebas dan budak yang terikat. Di zaman pertengahan ada tuan tanah sebagai
pemilik dan hamba sahaya yang menggarap tanah bukan kepunyaannya. Bahkan
di zaman modern ini juga ada majikan yang memiliki alat-alat produksi dan
buruh yang hanya punya tenaga kerja untuk dijual kepada majikan. Di samping
itu juga ada masyarakat kelas kaya (the haves) dan kelas masyarakat tak
berpunya (the haves not). Semua kelas-kelas masyarakat ini dianggap Marx
timbul sebagai hasil dari kehidupan ekonomi masyarakat
Proposisi utama Marx mengatakan bahwa kapitalisme adalah bentuk
organisasi sosial yang didasarkan pada eksploitasi buruh oleh para pemilik
modal. Kelas borjuis kapitalis mengambil keuntungan dari para pekerja dan kaum
proletar. Mereka secara agresif mengembangkan dan membangun teknologi
produksi. Dengan demikian kapitalisme menciptakan sebuah sistem yang
mendunia.
Sosiologi Marxis tentang kapitalisme menyatakan bahwa produksi
komoditas mau tak mau membawa sistem sosial yang secara keseluruhan
merefleksikan pengejaran keuntungan ini. Nilai-nilai produksi merasuk ke semua
bidang kehidupan. Segala sesuatunya, penginapan, penyedia informasi, rumah
sakit, bahkan sekolah kini menjadi bisnis yang menguntungkan. Tingkat
keuntungannya menentukan berapa banyak staf dan tingkat layanan yang
diberikan. Inilah yang dimaksud Marx bahwa infrastruktur ekonomi menentukan
suprastruktur (kebudayaan, politik, hukum, dan ideologi).
Pendekatan Sosiologi Marxis menyimpulkan mengenai ide pembaruan
sosial yang telah terbukti sebagai ide yang hebat pada abad XX, sebagai berikut
(Osborne, 1996: 50):
a. Semua masyarakat dibangun atas dasar konflik.
b. Penggerak dasar semua perubahan sosial adalah ekonomi.
25
namun Darwinisme Sosial sampai sekarang masih terus hidup dalam tulisan-tulisan
populer.
c. Teori Konflik
Teori ini dibangun untuk menentang secara langsung terhadap Teori
Fungsionalisme Struktural. Para teoritisi konflik melihat bahwa masyarakat sebagai
berada dalam konflik yang terus menerus diantara kelompok dan kelas. Bertentangan
dengan para fungsionalis yang melihat keadaan normal masyarakat sebagai suatu
keseimbangan yang mantap.
Perspektif konflik secara luas terutama didasarkan pada karya Karl Marx
(1818-1883), yang melihat pertentangan dan eksploitasi kelas sebagai penggerak
utama kekuatan-kekuatan dalam sejarah. Setelah untuk waktu yang lama perspektif
konflik diabaikan oleh para sosiolog, baru-baru ini perspektif tersebut telah
dibangkitkan kembali oleh C. Wright Mills (1956-1959), Lewis Coser (1956) dan
yang lain Ralph Dahrendorf (1959), Randall Collins, dan Jonathan Turner.
Sekalipun Marx memusatkan perhatiannya pada pertentangan antar kelas
untuk pemilikan atas kekayaan yang produktif, para teoretisi konflik modern
berpandangan sedikit lebih sempit. Mereka melihat perjuangan meraih kekuasaan
dan penghasilan sebagai suatu proses yang berkesinambungan terkecuali satu hal,
dimana orang-orang muncul sebagai penentang – kelas, bangsa, kewarganegaraan
dan bahkan jenis kelamin.
Para teoretisi konflik memandang suatu masyarakat sebagai terikat bersama
karena kekuatan dari kelompok atau kelas yang dominan. Mereka mengklaim bahwa
“nilai-nilai bersama’ yang dilihat oleh para fungsionalis sebagai suatu ikatan
pemersatu tidaklah benar-benar suatu konsensus tersebut adalah ciptaan kelompok
atau kelas yang dominan untuk memaksakan nilai-nilai seta peraturan mereka
terhadap semua orang.
Menurut para teoretisi konflik, para fungsionalis gagal mengajukan
pertanyaan, “secara fungsional bermanfaat untuk siapa”. Para teoretisi konflik
menuduh para fungsionalis berasumsi bahwa “keseimbangan yang serasi”
bermanfaat bagi setiap orang sedangkan hal itu menguntungkan beberapa orang dan
merugikan sebagian lainnya. Para teoretisi konflik memandang keseimbangan suatu
masyarakat yang serasi sebagai suatu khayalan dari mereka yang tidak berhasil
31
e. Teori Aksi
Teori ini mengikuti sepenuhnya karya Max Weber yang mencapai puncak
perkembangannya sekitar tahun 1940, dengan beberapa karya sosiolog. Seperti
Florian Znaniecki, Robert M. Mac Iver, Talcot Parsons, dan Robert Hinkle. Beberapa
asumsi fundamental Teori Aksi dikemukakan Hinkle dengan merujuk karya Mac
Iver, Znaniecki dan Parson, sebagai berikut:
a) Tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek dan dari
situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek.
b) Sebagai subyek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan-
tujuan tertentu. Jadi tindakan manusia bukan tanpa tujuan
c) Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik,prosedur, metode serta
perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut.
d) kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tidak dapat
diubah dengan sendirinya.
e) Manusia memilih, menilai, mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang
dan yang telah dilakukannya.
f) Ukuran-ukuran, aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral diharapkan timbul
pada saat pengambilan keputusan
g) Studi mengenai antar hubungan sosial memerlukanj pemakaian teknik
penemuan yang bersifat subyektif, seperti metode verstehen, imajinasi,
symphatetic reconstruction atau seakan-akan mengalami sendiri (vicarious
experience)
g. Teori Fenomenologi
Persoalan pokok yang hendak diterangkan oleh teori ini justru menyangkut
persoalan pokok ilmu sosial sendiri, yakni bagaimana kehidupan bermasyarakat
itu dapat terbentuk.
Alfred Schutz sebagai salah seorang tokoh teori ini bertolak dari
pandangan Weber, berpendirian bahwa tindakan manusia menjadi suatu hubungan
sosial bila manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakannya itu,
dan manusia lain memahami pula tindakannya itu sebagai sesuatu yang penuh arti.
Pemahaman secara subjektif terhadap sesuatu tindakan sangat menentukan
terhadap kelangsungan proses interaksi sosial. Baik bagi aktor yang memberikan
arti terhadap tindakannya sendiri maupun bagi pihak lain yang akan
menerjemahkan dan memahaminya serta yang akan bereaksi atau bertindak sesuai
dengan yang dimaksudkan oleh aktor.
Schutz mengkhususkan perhatiannya kepada satu bentuk dari subjektivitas
yang disebutnya antar subjektivitas. Konsep ini menunjuk pada pemisahan
keadaan subjektif dari kesadaran umum ke kesadaran khusus kelompok sosial
yang sedang saling berintegrasi.
h. Etnometodologi
Etnometodologi adalah sebuah aliran sosiologi Amerika yang lahir tahun
1960-an dan dimotori oleh Harold Grafinkel (1917). Etnometodologi lebih
memperhitungkan kenyataan bahwa kelompok sosial mampu memahami dan
menganalisis dirinya sendiri (Coulon, 2008). Etnometodologi adalah sebuah
analisis terhadap metode yang dipakai manusia untuk merealisasikan kegiatan
sehari-harinya. Etnometodologi merupakan ilmu tentang etnometode, sebuah
prosedur yang disebut Grafinkel sebagai “penalaran sosiologi praktik”.
Etnometodologi bergerak dengan konsep-konsep khasnya, seperti
indeksikalitas, reflektivitas, akuntabilitas, subjektivitas, pengambilan data yang
lebih terbatas pada manuskrip yang belum diterbitkan, catatan kuliah, atau catatan
harian penelitian.
37
Menurut pandangan teori ini, minimal ada dua hal yang dapat mempengaruhi
pilihan atau bersifat memaksa terhadap tindakan yang dilakukan aktor. Pertama,
keterbatasan sumber; dan kedua, paksaan lembaga sosial. Tokoh teori ini adalah
Friedman dan Hechter.
j. Teori Feminisme
Teori ini berkembang dari teori feminis pada umumnya, sebuah cabang
ilmu baru tentang wanita yang mencoba menyediakan sistem gagasan mengenai
kehidupan manusia yang melukiskan wanita sebagai objek dan subjek, sebagai
pelaku dan yang mengetahui. Pengaruh gerakan feminis kontemporer terhadap
sosiologi telah mendorong sosiologi untuk memusatkan perhatian pada masalah
hubungan jender dan kehidupan wanita. Banyak teori sosiologi kini yang
membahas masalah ini.
Pertanyaan-pertanyaan feminis dapat diklasifikasikan menurut empat
pertanyaan mendasar:
a) Dan bagaimana dengan perempuan?
b) Mengapa situasi perempuan seperti sekarang ini?
c) Bagaimana kita dapat mengubah dan memperbaiki dunia sosial?
d) Bagaimana dengan perbedaan di antara perempuan?
Jawaban atas pertanyaan ini menghasilkan teori-teori feminis.
Tokoh-tokoh feminisme yang terkenal antara lain: Patricia Hill Collins
(Teori Interseksionalitas), Janet Chafetz (Teori Konflik Analitik), Kathryn B.
Ward (Teori Sistem Dunia), Margaret Fuller, Frances Willard, Jane Addams,
Charlotte Perkins Gilman (Feminisme Kultural), Helene Cixous, Luce Irigaray
(Analisis Fenomenologis dan Eksistensial), Jessie Bernard (Feminisme Liberal),
k. Strukturalisme
Setelah pergeseran Neo-Marxis dalam sosiologi, datanglah gelombang
kedua teori strukturalis yang menulis ulang cara-cara ditanamkannya
determinasi sosial dan agen sosial.
Strukturalisme dipelopori oleh perintis linguistik, yakni Ferdinand de
Saussure (1857-1913) yang mengawali dengan kajian tentang bahasa tetapi
40
berakhir dengan kajian atas segala sesuatu sebagai struktur. Teori semiotika
atau studi atas tanda-tanda dimulai dari aksioma terkenal bahwa bahasa adalah
sistem yang terstruktur, kebudayaan kemudian diuji sebagai sistem terstruktur
yang sama, dan selanjutnya masyarakat secara keseluruhan.
Pada akhirnya kita semua terjebak dalam bahasa dan kita memperoleh
budaya melalui bahasa. Kita adalah makhluk yang berbicara. Oleh karena itu
untuk memahami sebuah budaya, kita harus mengerti struktur yang berfungsi di
dalamnya dan pola dasar yang membentuknya.
Tokoh strukturalis yang terkenal di antaranya adalah Roland Barthes
yang menganalisis tentang tanda-tanda dalam budaya populer. Pentingnya
media massa dalam menyebarkan pandangan ideologis tentang dunia didasarkan
pada kemampuannya untuk membuat tanda, citra, penanda, bekerja dalam cara
tertentu.
dunia postmodern, majemuk, dan polivokal ini. Lyotard lebih menyukai cerita kecil
tentang masalah sosial yang dikatakan oleh manusia itu sendiri pada tingkat
kehidupan dan perjuangan mereka di tingkat lokal.
Meski demikian, dalam tulisan ini, akan dikemukakan dua pendapat tentang
paradigma. Ritzer (2004) mendefinisikan paradigma sebagai gambaran fundamental
mengenai masalah pokok dalam ilmu tertentu. Paradigma membantu menemukan
apa yang mesti dikaji, pertanyaan apa yang mestinya diajukan, bagaimana cara
mengajukannya, dan apa aturan yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang
diperoleh. Selanjutnya Ritzer (2004) menekankan bahwa paradigma
menggolongkan, menetapkan, dan menghubungkan eksemplar, teori, metode, dan
instrumen yang ada di dalamnya.
Berangkat dari dua pendapat di atas, maka dengan jelas pertanyaan kedua
terjawab dimana paradigma bagi seorang ilmuwan sosial penting untuk menetapkan
atau menentukan posisi paradigmatiknya dalam membedah atau menganalisis
kondisi sosial disekitarnya.
Untuk itu, tulisan ini dibuat untuk menunjukkan beragam paradigma yang hadir
dalam lingkungan ilmu sosial, diantara mengacu pada pembedaan paradigma
menurut Denzin dan Lincoln (2000), Jurgen Habermas (1990), Ritzer (2004),
Gibson Burrel dan Gareth Morgan (1994), dan posisi penulis terhadap ragam
paradigma tersebut.
(2004) dan Burrel dan Morgan (1979). Menurut Ritzer, paradigma sosiologi dapat
dipetakan menjadi bagian, yakni fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial.
Hal yang berbeda tentang pembagian paradigma dalam sosiologi juga dijelaskan
oleh Poloma (2004). Merujuk dari perkembangan teori-teori sosiologi kontemporer,
Poloma membagi 3 teori-teori sosiologi yang tidak lain mewakili pandangan
sosiologi dunia. Adapun ketiga pembagian tersebut, yakni teori naturalis dan
positivis, teori humanistis atau interpretatif, dan teori evaluatif.
45
PENUTUP
Teori dalam ilmu sosial pun mencari keteraturan perilaku manusia serta
pemahaman dan sikap yang mendasarinya. Karena keadaan masyarakat yang
berubah-ubah, pemahaman, sikap dan perilaku warga/pelaku sosial pun dapat
berubah. Memang perubahaan sosial bisa bersifat makro, tetapi juga bisa lebih mikro
mencakup kelompok-kelompok masyarakat yang relatif lebih kecil dari satu bangsa,
atau kumpulan bangsa-bangsa. Theori juga mengandung sifat universalitas, artinya
dapat berlaku di lain masyarakat yang mana saja, walaupun sering dibedakan antara
teori-teori besar (grand theory) dan teori yang cakupannya tidak seluas itu.
Sosiologi dalam dunia praksis tidak hanya meneliti masalah sosial untuk
membangun proposisi dan teori tetapi sosiologi bukanlah seperangkat doktrin yang
kaku dan selalu menekan apa yang seharusnya terjadi tetapi sebagai sudut pandang
atau ilmu atau ilmu yang selalu mencoba “mengupas” realitas guna mengungkap
fakta realitas yang tersembunyi dibalik realitas yang tampak.
Untuk selalu membedah dan mengembangkan teori sosiologi, seorang
pengamat sosial atau sosiolog dituntut selalu tidak percaya pada apa yang tampak
sekilas dan selalu mencoba menguak serta membongkar apa yang tersembunyi (laten)
di balik realitas nyata (manifes) karena sosiologi berpendapat bahwa dunia bukanlah
sebagaimana yang tampak tetapi dunia yang sesungguhnya baru bisa dipahami jika
dikaji secara mendalam dan diinterpretasikan.
46
Referensi
Burrell, G. & G. Morgan, Sociological paradigms and organizational analysis,
Arena,1994.
Johnson, Doyle Paul,1986, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jakarta : Gramedia
Laeyendecker,L, 1983, Tata, Perubahan, dan Ketimpangan : Suatu Pengantar Sejarah
Sosiologi, Jakarta : Gramedia
Ritzer, George,1985, Sosiologi - Ilmu Berparadigma Ganda, Jakarta : Rajawali
Sunarto, Kamanto,2004, Pengantar Sosiologi, Jakarta: FEUI
Usman, Sunyoto, Sosiologi – Sejarah, Teori dan Metodologi,2004, Yogyakarta: CIRED
Asriwandari,Hesti. 2008,Multi paradigma dalam Sosiologi sebuah penantar, UNRI
Collins, R., Theoretical Sociology, San Diego: Harcourt Brace Jovanovich, Prbl., 1988.
Poloma, MM., Sosiologi Kontemporer (edisi keenam), Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004.
Ritzer, G., Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadgima Ganda (edisi kelima), Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Ritzer, G. dan Goodman, DJ., Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana, 2003.
Sanderson, SK., Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial (edisi
kedua), PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Skidmore, W., Theoretical Thinking in Sociology, Cambridge: Cambridge University
Press, 1979.
Soetrisno dan Hanafie, SR., Filsafat Ilmu dan Metodelogi Penelitian, Yogyakarta:
ANDI Yogyakarta, 2007.
Stinchcombe, A. L., Constructing Social Theories, New York: Harcourt, Brance and
World, Inc., 1986.
Turner, J. H., The Structure of Sociological Theory (sixth edition), Belmont, CA:
Wadsworth Publishing Company, 1998.
[1] Sanderson (2003) mengungkapkan bahwa sosiologi makro adalah ilmu pengetahuan
sosial yang mengkaji berbagai pola sosial berskala besar. Ilmu ini memusatkan
berhatiannya kepada masyarakat sebagai keseluruhan dan berbagai unsur pentingnya,
seperti: ekonomi, sistem politik, pola penghidupan keluarga dan bentuk sistem
keagamaannya. Sosiologi makro juga memusatkan perhatiannya kepada jaringan kerja
dunia dari berbagai masyarakat yang saling berinteraksi. Sedangkan sosiologi mikro
adalah sosiologi yang menyelidiki berbagai pola pikir dan perilaku yang muncul dalam
kelompok-kelompok yang relatif berskala kecil.
Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis: Kritik Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Beilharz, Peter. 2002. Teori-Teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Cabin, Philipe & Jean Francois Dortier (ed). 2004. Sosiologi: Sejarah dan Berbagai
Pemikirannya. Yogyakarta: Kreasi Wacana
47
Habermas, J., Ilmu dan teknologi sebagai ideology, Jakarta: LP3ES, 1990.
Ritzer, G., Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadgima Ganda (edisi kelima), Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Ritzer, G. dan Goodman, DJ., Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana, 2003.
Sanderson, SK., Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial (edisi
kedua), PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Poloma, MM., Sosiologi Kontemporer (edisi keenam), Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004.