Anda di halaman 1dari 22

Silabus Mata Kuliah Sosiologi Pedesaan

Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Tahun 2014

A. PENDAHULUAN

Sosiologi Pedesaan pada awalnya lebih merupakan Sosiologi Terapan, yang muncul karena
kebutuhan para sosiolog untuk mempelajari dan memetakan permasalahan masyarakat pedesaan
dengan pendekatan sosiologi. Lama kelamaan, Sosiologi Pedesaan menjadi core tersendiri dalam
disiplin sosiologi.
Sosiologi Pedesaan di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pun tidak lepas dari keniscayaan di atas, yakni menjadi kebutuhan para praktisi dakwah
dalam memahami masalah-masalah yang berkaitan dan mad’u-nya dari perspektif sosiologis.
Untuk itu, dalam proses perkuliahan, mahasiswa akan dikenalkan dengan berbabagai teori ini
namun lebih tematis. Hal ini didasarkan karena kebutuhan praksis mereka nanti di lapangan.

B. TUGAS PERKULIAHAN

Selama perkuliahan mahasiswa diwajibkan untuk:


a. Membuat makalah harian, sesuai dengan panduan perkualiahan;
b. Membuat riset pendek mengenai persoalan Sosiologi Pedesaan di masyarakat (sesuai dengan
instruksi dosen);
c. Membuat tugas akhir, baik yang individu maupun kelompok

C. METODE PENYAMPAIAN

a. Ceramah;
b. Diskusi;
c. Riset (pustaka dan lapangan);
d. Analisis kasus.

D. MATERI PERKULIAHAN

I. Pengantar Sosiologi untuk Masalah Perdesaan


 Desa dalam tinjauan Ilmu Sosiologi
 Gambaran beberapa teori yang lazim dipergunakan untuk memahami gejala sosiologi pedesaan
dan perkotaan
II. Dinamika Desa dalam Tinjauan Sejarah dan Kebijakan Pembangunan di Indonesia
 Transformasi dan perubahan sosial masyarakat pedesaan
III. Politik Pedesaan dan Perubahan Sosial
 Mengenali akar-akar perlawanan masyarakat pedesaan
 Mengkaji bentuk-bentuk perlawanan masyarakat pedesaan
IV. Organisasi Sosial Masyarakat Desa
 Mengenal pola dan struktur khas organisasi pedesaan dan perkotaan, serta memahami latar
belakang mobilitas penduduk
V. Nilai-nilai Lokal dan Pelapisan Sosial di Masyarakat
 Mengkaji nilai-nilai setempat dan relasinya dengan kehidupan sosial masyarakat sehari-hari, serta
implikasi budayanya.
VI. Ketahanan Pangan dan Masalah Petanian di Pedesaan
 Memahami kerangka pembangunan desa-kota sebagai stimulasi ketanahan pangan
VII. Kolektivitas dan Kohesifitas Masyarakat Pedesaan
 Mengkaji daya kohesifitas sosial masyarakat pedesaan
VIII. Struktur Agraria Masyarakat Pedesaan dan Masalah Kesejahteraan Sosial
 Mengkaji persoalan penguasaan lahan di pedesaan di Indonesia dan sumbangannya pada
kemakmuran masyarakat pedesaan
IX. Urbanisasi, Struktur Penduduk dan Perubahan Budaya Masyarakat
 Memahami proses urbanisasi dan kaitannya dengan kepentingan masyarakat untuk melakukan hal
itu
X. Industri dan Pengaruhnya kepada Masyarakat Desa dan Kota
 Memahami dinamika masyarakat desa dan kota dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan
Industri
 Budaya pasar dan runtuhnya nilai-nilai kolektivitas
XI. Civil Society dan organisasi masyarakat pedesaan dan perkotaan
 Menelusuri akar kesatuan strategis masyarakat
Sosiologi Masyarakat Kota & Desa
July 1, 2013Uncategorized

Sosiologi Masyarakat Kota & Desa

Tulisan ini membantu penyampaian materi kuliah “Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa”,
mendeskripsikan cara pandang dan bagaimana sosiologi memberikan pemahaman dan analisis
tentang masyarakat kota dan desa, kehidupan sosialnya, hubungan kota dan desa dan kaitannya
dengan pembangunan, gejala dan masalah-masalah kota dan desa termasuk urbanisasi dan urban
bias. Pokok-pokok perkembangan kota dan pembangunan desa dimasukkan dalam lingkup
bahasan yang sesuai dengan kebutuhan penelaahan studi-studi politik dan administrasi. Untuk
mempermudah penyampaian, artikel ini terbagi menjadi 3 bagian. Bagian I berisi materi
Mengenal Sosiologi Untuk Analisis Masyarakat (I), Konsepsi Tentang Masyarakat (II) dan
Mengenal Paradigma Ilmu Sosial (III). Bagian II berisi materi Masyarakat Kota (I), Masyarakat
Desa (II), Masalah-Masalah Masyarakat Kota dan Desa (III).

Mengenal Sosiologi Untuk Analisis Masyarakat

Sebagai awalan perjumpaan ini lebih baik jika saya me-refresh pemahaman dasar sosiologi,
terkait pengertian, definisi dan kajian disiplin ilmu sosiologi. Termasuk juga, pengertian tentang
masyarakat, interaksi social, proses sosial dan lembaga social, yang nantinya pemahaman dasar
ini digunakan sebagai pijakan elaborasi dan analisis masyarakat kota dan desa. Sebagai langkah
awal, mari kita pelajari dulu sosiologi dan masyarakat karena keduanya terkait erat (sosiologi
kan mempelajari masyarakat, ok…)…

1. Sosiologi memiliki banyak sekali definisi dan pengertian, yang dirumuskan oleh para
ilmuwan social. Dan tidak ada paradigma tunggal dalam ilmu social, artinya, cara
pandang ilmu social khususnya sosiologi dapat mengikuti perspektif dan definisi ilmu
yang mana saja yang diberikan oleh para pakar sosiologi. Namun dari ragam definisi
tersebut, dapat ditarik suatu rumusan pengertian umum, bahwa sosiologi, atau ilmu
tentang masyarakat, merupakan bagian dari ilmu social, yang mempelajari kehidupan
social atau kehidupan manusia secara bersama-sama dengan manusia lainnya. Kehidupan
manusia secara bersama-sama ini kemudian disebut dengan istilah ‘masyarakat’ (bahasan
tentang ‘masyarakat’ akan saya berikan dalam sub bahasan tersendiri, nanti di bawah
ya…). Ini bicara ‘sosiologi’ dulu ya…
2. Beberapa definisi SOSIOLOGI yang perlu diketahui:

Pitirim Sorokin, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan dan pengaruh
timbal balik antara aneka macam gejala- gejala social.
Alvin Bertrand, sosiologi adalah ilmu yang Ilmu yang mempelajari dan menjelaskan tentang
hubungan antar manusia.

J.A.A Van Doorn dan C.J Lammers, sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur sosial,
proses sosial yang bersifat stabil.

Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur
social dan proses-proses social termasuk perubahan social.

Hassan Shadily, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan
menyelidiki ikatan-ikatan antar manusia yang menguasai kehidupan. Sosiologi mencoba
memahami sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya
perserikatan hidup, kepercayaan, keyakinan yang memberi sifat tersendiri pada cara hidup
bersama tersebut.

Max Weber mendefinisikan sosiologi sebagai studi tentang aksi social (Haralambos, Sociology,
Themes and Perspectives). Sebagai studi aksi social, ia banyak berbicara mengenai hubungan
social dan motivasi, yang menurut Weber banyak dipengaruhi oleh rasionalitas formal.
Rasionalitas formal, meliputi proses berpikir actor dalam membuat pilihan mengenai alat dan
tujuan (Ritzer,2005). Dalam konteks ini, hubungan sosial, berkaitan dengan motivasi dan
rasionalitas formal mengenal 3 sifat hubungan, yakni:

– Hubungan sosial yang bersifat atau didasarkan pada tradisi. Yakni hubungan sosial yang
terbangun atas dasar kebiasaan / tradisi di masyarakat.

– Hubungan sosial yang bersifat atau didasarkan pada koersif/ tekanan. Yakni hubungan
sosial yang terbangun dari rekayasa social dari pihak yang memiliki otiritas (kekuasaan) terhadap
yang powerless.

– Hubungan sosial yang bersifat atau didasarkan pada rasionalitas. Sedangkan ciri dari
hubungan rasional adalah hubungan sosial yang bersifat asosiatif dan orientasi tindakan sosial
berdasarkan pada sebuah penyesuaian kepentingan-kepentingan yang di motivasi secara rasional
atau persetujuan yang di motivasi secara sama.

Dalam hubungan sosial selalu ada pengorganisasian dan pengorganisasian tersebut


dipertahankan melalui wewenang. Weber menjelaskan hubungan sosial ini berdasarkan atas
rasional formal, karenanya terdapat suatu pengorganisasian. Dan pengorganisasian tersebut
dipertahankan melalui wewenang (otoritas, legitimasi). Weber membagi 3 tipe otoritas /
legitimasi, yaitu:

 Otoritas Tradisional

Berasal dari kepercayaan dan faktor keturunan atau garis keluarga atau kesukuan. Otoritas
tradisional ini berdasarkan pada penerimaan kesucian aturan-aturan karena aturan-aturan itu telah
lama ada dan dalam legitimasi mereka yang telah mewariskan hak untuk memerintah dengan
aturan-aturan ini. Di dalam tatanan tradisional individu merupakan loyalitas dari masa lalu dan
mereka mewakili masa lalu itu, sebuah loyalitas yang seringkali berakar dalam sebuah
kepercayaan akan kesakralan peristiwa-peristiwa sejarah tertentu. Misalnya seorang kyai, maka
anak dan keturunan kyai akan cenderung menjadi kyai pula karena tradisi yang diterima oleh
masyarakatnya. Walaupun seringkali sang kyai muda (kadang dadakan) ini tidak memiliki ilmu
agama yang mumpuni. Tetapi tidak ada orang yang memprotes karena mereka (terlanjur)
percaya.

 Otoritas Karismatik

Berasal dari anggapan atau keyakinan bahwa seorang pemimpin (pemegang otoritas) itu
memiliki kelebihan yang luar biasa (linuwih, Jawa). Contohnya, empu yang punya kesaktian (dia
sekaligus memiliki otoritas karismatik), Soekarno yang dianggap (minimal oleh pemujanya)
kekuatan “supra”, dsb.

 Otoritas Legal-Rasional

Berasal dari peraturan (legal-rasional) yang diberlakukan secara hukum dan rasional. Dan
pemimpin yang lahir dari otoritas ini berdasarkan atas kemunculan yang legal dan rasional pula.

Misalnya pemimpin organisasi modern, Ketua RT, RW, dsb yang dipilih secara langsung oleh
musyawarah warga RT, RW, dsb. Mereka memperoleh otoritas tertinggi dari hukum masyarakat.

3. Ruang lingkup sosiologi lebih luas daripada ilmu-ilmu pengetahuan social lainnya,
karena ia mencakup semua interaksi antara individu-individu dan kelompok-kelompok
dalam masyarakat. Ia mengemuka-kan sifat atau kebiasaan manusia dalam kelompok
dengan segala kegiatan dan kebiasaan serta lembaga-lembaga penting sehingga
masyarakat dapat berkembang terus dan berguna bagi kehidupan manusia (Kata kunci:
interaksi, kelompok, masyarakat, proses social, struktur social, gejala social, ikatan
social).
4. Individu-individu yang berkumpul membentuk suatu masyarakat, memiliki aturan, tata
nilai (value) yang diyakini dan dianut sebagai perekat hubungan antar individu tersebut.
Mereka menyepakati suatu konsensus (consensus, code of ethics, ‘code of conduct’).
5. Dalam kehidupan bersama-sama di masyarakat, terdapat berbagai aspek aktivitas,
misalnya: aspek social itu sendiri seperti interaksi antar individu, antar kelompok
(group), konflik social; aspek ekonomi misalnya yang menyangkut produksi, distribusi,
konsumsi atau penggunaan jasa/ layanan; aspek hukum misalnya yang menyangkut
norma dan peraturan yang dipakai untuk mengatur kehidupan bermasyarakat; aspek
politik misalnya menyangkut wewenang dan kekuasaan untuk mengatur kehidupan
bersama tersebut, dsb.
6. Beberapa aspek aktivitas manusia (individu) dalam masyarakat tersebut saling berkaitan
satu sama lain dan semuanya ada dalam suatu masyarakat. Hal ini yang menurut Emile
Durkheim dijelaskan dalam “Division of Labor in Society” (‘pembagian kerja’ dalam
masyarakat), bahwa interaksi antar individu dalam masyarakat yang kompleks didasarkan
pada pembagian kerja, dan saling tergantung yakni tergantung pada perbedaan individual
–perbedaan yang berkembang seiring spesialisasi bidang kerja. Spesialisasi, menurut
Durkheim, merupakan syarat bagi berkembangnya perbedaan personal dan menciptakan
wilayah aksi yang tidak tunduk pada control kolektif, tetapi pada saat yang sama
meningkat pula ketergantungan pada masyarakat karena dengan adanya spesialisasi
bidang kerja maka pertukaran pelayanan menjadi syarat bagi kelangsungan hidup.
7. Interaksi antar individu dalam masyarakat, menurut Durkheim, didasarkan pada
keyakinan dan nilai-nilai bersama serta kontrol komunal yang ketat (disebut solidaritas
mekanik) dan ketergantungan mutual antar individu yang relatif otonom yang diciptakan
oleh pembagian kerja (disebut solidaritas organik).
8. Objek sosiologi adalah: masyarakat, yang dilihat dari sudut hubungan antar manusia dan
proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat.

II

Konsep Tentang Masyarakat

1. Beberapa definisi MASYARAKAT menurut para pakar ilmu sosial:

Mac Iver & H. Page, masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, wewenang
dan kerjasama antara berbagai
kelompok dan penggolongan serta pengawasan tingkah laku serta kebebasan manusia. Dan
masyarakat selalu berubah.

Ralph Linton, masyarakat merupakan setiap kelompok manusia


yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama sehingga
mereka menganggap diri mereka sebagai kesatuan sosial dengan batas batas yang dirumuskan
dengan jelas.

Selo Sumarjan, masyarakat adalah orang orang yang hidup bersama yang menghasilkan
kebudayaan.

MJ. Herskovits, masyarakat adalah kelompok individu yang diorganisasikan dan mengikuti cara
hidup tertentu.

JL. Gillin dan JP. Gillin, masyarakat adalah kelompok manusia yang terbesar dan memiliki
kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama.

S.R. Steinmetz, masyarakat adalah kelompok manusia yang terbesar, yang meliputi
pengelompokan-pengelompokan manusia yang lebih kecil, mempunyai hubungan yang erat dan
teratur.

2. Yang dimaksud MASYARAKAT dalam istilah sosiologi adalah merujuk pada pengertian
sejumlah manusia yang telah hidup bersama di suatu wilayah tertentu dengan
menciptakan sejumlah aturan, system dan kaidah-kaidah pergaulan serta melahirkan
kebudayaan masyarakat tersebut.
3. Kajian tentang MASYARAKAT mengalami perkembangan seiring dengan
perkembangan masyarakat itu sendiri. Terdapat banyak sekali penjelasan dan kajian
tentang masyarakat sejak zaman Plato, Aristoteles, Ibnu Khaldun hingga melampaui
zaman renaissance, Thomas Hobbes (abad 17), John Locke, J.J. Rousseau (abad 18),
Saint Simon, August Comte (abad 19), dan berkembang setelah Herbert Spencer (abad
20) menerbitkan buku berjudul “Principles of Sociology”. Sederet nama besar tokoh
sosiologi yang pemikirannya lazim digunakan diantaranya adalah Pitirim Sorokin, Karl
Marx, Max Weber, Talcott Parsons, dll.

Plato memandang masyarakat merupakan refleksi dari manusia perorangan. Suatu masyarakat
akan mengalami kegoncangan sebagaimana halnya manusia yang terganggu keseimbangan
jiwanya (nafsu, semangat dan intelegensi). Plato menganalisis lembaga-lembaga di dalam
masyarakat dan berhasil menunjukkan hubungan fungsional antara lembaga-lembaga tersebut
yang pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan menyeluruh. Ia merumuskan teori organik
tentang masyarakat.

Aristoteles, sepakat dengan Teori Organik Plato. Bukunya berjudul “Politics”, menganalisis
secara mendalam terhadap lembaga-lembaga politik dalam masyarakat.

Ibnu Khaldun, factor-faktor yang menyebabkan bersatunya manusia di dalam suku-suku, klan,
Negara, dsb, adalah rasa solidaritas.

Thomas Moore (Utopia) membahas gagasan Negara ideal.

Niccolo Machiavelli (Il Principe/ The Prince), menganalisis bagaimana mempertahankan


kekuasaan.

Thomas Hobbes (The Leviathan), dalam keadaan alamiah, kehidupan manusia selalu pada
keinginan yang mekanis, sehingga manusia selalu ingin berkelahi, tetapi mereka beranggapan
bahwa hidup damai adalah lebih baik sehingga mereka mengadakan suatu kontrak dengan pihak
yang mempunyai wewenang.

John Locke dan J.J. Rousseau berpegang pada konsep kontrak social Hobbes, berpendapat
bahwa manusia pada dasarnya mempunyai hak-hak asasi yang berupa hak untuk hidup,
kebebasan dan hak atas harta benda. Kontrak antara warga masyarakat dengan pihak yang
mempunyai wewenang sifatnya atas factor pamrih. Rousseau berpendapat bahwa kontrak antara
pemerintah dengan yang diperintah menyebabkan tumbuhnya kolektivitas yang memiliki
keinginan umum (keinginan umum berbeda dengan keinginan individu).

Saint Simon, manusia hendaknya dipelajari dalam kehidupan berkelompok. Masyarakat


bukanlah semata-mata merupakan kumpulan orang-orang yang tindakannya tidak mempunyai
sebab. Kumpulan tersebut hidup karena didorong oleh organ-organ tertentu yang menggerakkan
manusia untuk melakukan fungsi-fungsi tertentu.
August Comte, memberi nama “sociology”, merupakan studi positif tentang hukum-hukum
dasar dari gejala social.

Setelah Comte, muncul beberapa mazhab pemikiran sosiologi, seperti mazhab organik dengan
tokohnya Herbert Spencer, yang dipengaruhi oleh teori biologi daalm arti luas. Ia
menganalogkan masyarakat manusia dengan organisme biologi yakni suatu organisme akan
bertambah sempurna apabila bertambah kompleks dengan adanya diferensiasi antara bagian-
bagiannya (evolusi).

Durkheim (Division of Labor of Society), unsur baku dalam masyarakat adalah factor solidaritas
(lihat penjelasan di atas).

Karl Marx, terkenal dengan teori kapitalisme, dengan mengatakan bahwa selama masyarakat
masih terbagi dalam kelas-kelas, maka pada kelas berkuasalah (the ruling class) akan terhimpun
segala kekuatan dan kekayaan, terdapat eksploitasi terhadap kelas yang lebih lemah, karena itu
selalu timbul pertentangan antar kelas. Pertikaian akan berakhir bila salah satu kelas (kelas
proletar) menang sehingga terciptalah masyarakat tanpa kelas.

Max Weber, semua bentuk organisasi social harus diteliti menurut perilaku warganya. Weber
terkenal dengan teori tentang proses rasionalisasi (lihat penjelasan di atas).

4. Dalam kehidupan sosial, manusia melakukan interaksi sosial dan proses sosial. Proses
sosial diartikan sebagai: pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama.
Pembahasan tentang proses-proses social merupakan studi sosiologi yang sifatnya luas.
Fokus bahasan dari proses-proses social ini hanya dibatasi pada bentuk-bentuk interaksi
sosial.

Pengertian Interaksi Sosial

Interaksi social adalah kunci dari semua kehidupan social, oleh karena tanpa interaksi social
tidak mungkin ada kehidupan bersama. Bertemunya orang perorangan secara fisikal belaka tidak
akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Pergaulan hidup semacam itu
baru akan terjadi apabila orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia bekerja sama,
saling berbicara, dsb. Maka dapat dikatakan bahwa interaksi social adalah dasar dari proses-
proses sosial (interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial).
Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan social yang dinamis, yang menyangkut
hubungan antara orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang-
perorangan dengan kelompok manusia.

H. Boner: Interaksi Sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia,
dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan
individu yang lainnya, atau sebaliknya.
Syarat-syarat terjadinya Interaksi Sosial

Suatu interaksi social tidak mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu:

– Adanya kontak social (social contact)

– Adanya komunikasi.

Kontak social dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu: (i) Antar orang perorangan; (ii) Antara
orang-perorangan dengan kelompok; dan (iii) Antara suatu kelompok manusia dengan kelompok
manusia lainnya.

Suatu kontak social:

– Bisa bersifat positif, yang mengarah pada bentuk kerjasama.

– Bisa bersifat negatif, yang mengarah pada bentuk persaingan

– Bisa bersifat primer, yang terjadi apabila yang mengadakan hubungan langsung bertemu
dan berhadapan muka.

– Bisa bersifat sekunder, yang terjadi apabila proses hubungan dilakukan melalui perantara
(orang lain, media, alat, dsb).

Alat terpenting dari komunikasi adalah bahwa seseorang memberikan tafsiran pada perilaku
orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak gerik fisikal atau sikap, perasaan-perasaan apa
yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Komunikasi memungkinkan kerjasama antara
orang-perorangan atau antara kelompok-kelompok manusia, dan komunikasi merupakan syarat
terjadinya kerjasama (cooperation). Namun komunikasi juga bisa mengakibatkan pertikaian
(conflict).

Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial

– Kerjasama (cooperation)

– Persaingan (competition), dan

– Pertentangan/pertikaian (conflict).
Menurut Gillin dan Gillin (Soekanto, 1986), ada dua macam proses social yang timbul sebagai
akibat adanya interaksi sosial, yaitu:

– Proses yang asosiatif (processes of association): akomodasi, asimilasi dan akulturasi.

– Proses yang disosiatif (processes of dissociation): persaingan, kontravensi (contravention),


pertikaian/ pertentangan (conflict).

Kimball Young, membagi bentuk-bentuk proses sosial sbb:

– Oposisi (opposition), yang mencakup persaingan (competition) dan pertentangan/ pertikaian


(conflict).

– Kerjasama (cooperation), yang menghasilkan akomodasi (accommodation).

– Diferensiasi (differentiation), yang merupakan suatu proses di mana orang perorangan di


dalam masyarakat memperoleh hak-hak dan kewajiban yang berbeda dengan orang lain atas
dasar perbedaan usia, jenis kelamin dan pekerjaan. Diferensiasi menghasilkan sistem berlapis-
lapis dalam masyarakat.

5. Kerjasama – Akomodasi – Asimilasi – Persaingan – Kontravensi – Pertikaian

Kerjasama, menurut beberapa sosiolog, merupakan bentuk utama dari interaksi sosial.

Charles H. Cooley: kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai
kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan
pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan yang sama; dan
adanya organisasi merupakan fakta-fakta penting dalam kerjasama yang berguna.

Ada 3 bentuk kerjasama (Soekanto, 1986):

– Bargaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang/ jasa antara dua
organisasi/ lebih.

– Co-optation, suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan dalam suatu
organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas
organisasi ybs.

– Coalition, adalah kombinasi antara dua organisasi/ lebih yang mempunyai tujuan yang
sama. Coalition dapat menghasilkan keadaan yang tidak stabil untuk sementara waktu oleh
karena dua organisasi/ lebih tersebut kemungkinan mempunyai struktur yang berbeda-beda satu
dengan yang lainnya; tetapi karena memiliki tujuan yang sama, maka dapat bersifat kooperatif.
Akomodasi (accommodation), merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa
menghancurkan pihak lawan/ menghilangkan kepribadian pihak lawan.

Akomodasi digunakan dalam arti:

– Merujuk pada suatu keadaan à adanya suatu kesetimbangan (equilibrium) dalam interaksi
antara individu dan kelompok-kelompok manusia, sehubungan dengan norma-norma sosial dan
nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat.

– Merujuk pada suatu proses à merujuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu
pertentangan à usaha untuk mencapai kestabilan.

Gillin & Gillin: akomodasi adalah suatu pengertian yang dipergunakan oleh para sosiolog
untuk menggambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial yang sama artinya
dengan pengertian adaptasi (adaptation) yang dipergunakan oleh ahli biologi untuk menunjuk
suatu proses di mana makhluk hidup menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya.

Akomodasi bertujuan untuk:

– Mengurangi pertentangan à menghasilkan sintesa antara pendapat-pendapat yang berbeda


untuk menghasilkan pola baru.

– Mencegah meledaknya pertentangan à temporer.

– Mendorong terjadinya kerjasama antara kelompok-kelompok sosial yang karena factor-


faktor sosial psikologis/ kebudayaan hidupnya terpisah.

– Mengusahakan peleburan antara kelompok-kelompok sosial yang terpisah, misalnya


melalui asimilasi/ pembauran.

Bentuk-bentuk accommodation:

– Coercion à dilaksanakan dengan cara paksaan (fisik, psikologis), salah satu pihak berada
pada posisi yang lemah (missal: perbudakan).

– Compromise, pihak-pihak yang terlibat mengurangi tuntutannya agar tercapai penyelesaian


terhadap perselisihan yang ada; salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan mengerti keadaan
pihak lain, dan sebaliknya.

– Arbitration, cara untuk mencapai compromise bila pihak-pihak yang berhadaoan tidak
sanggup untuk mencapainya sendiri à diselesaikan oleh pihak ketiga atas kesepakatan
keduabelah pihak yang berselisih.

– Mediation, hampir menyerupai arbitration, tapi pihak ketiga hanya sebatas penasehat saja.
– Conciliation, usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih untuk
tercapainya tujuan bersama. Conciliation lebih lunak daripada coercion.

– Toleration (tolerant-participation), suatu bentuk accommodation tanpa persetujuan formal.

– Stalemate [eit awas.. bukan ‘soulmate’ lho ya…], suatu akomodasi di mana pihak-pihak
yang bertentangan karena mempunyai kekuatan yang seimbang.

– Adjudication, penyelesaian perkara/ sengketa melalui proses pengadilan.

Asimilasi (assimilation), merupakan proses sosial dalam taraf kelanjutan yang ditandai dengan
adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara individu/
kelompok-kelompok manusia yang juga meliputi usaha mempertinggi kesatuan-kesatuan tindak,
sikap dan proses-proses mental, dengan memperhatikan kepentingan dan tujuan bersama.

Proses asimilasi timbul bila terdapat:

– Kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaan.

– Individu sebagai anggota kelompok saling bergaul secara langsung dan intensif dalam
waktu yang lama.

– Kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia dari kelompok-kelompok tersebut masing-


masing berubah dan saling menyesuaikan diri.

Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya asimilasi:

– Toleransi.

– Kesempatan di bidang ekonomi yang seimbang.

– Sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya.

– Sikap terbuka dari golongan berkuasa dalam masyarakat.

– Persamaan unsur kebudayaan.

– Perkawinan campuran (amalgamation).

– Adanya musuh bersama (common enemy) dari luar.

Persaingan (competition), suatu proses sosial di mana individu/ kelompok yang bersaing,
mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi
pusat perhatian publik, dengan cara menarik perhatian publik atau mempertajam prasangka yang
telah ada, tanpa menggunakan ancaman/ kekerasan.

Kontravensi (contravention), suatu bentuk proses sosial yang berada antara persaingan dan
pertentangan/ pertikaian, dinatdai oleh gejala-gejala adanya ketidakpastian mengenai diri
seseorang/ suatu rencana dan perasaan tidak suka yag disembunyikan, kebencian/ keragu-raguan
terhadap kepribadian seseorang. Contravention merupakan sikap mental yang tersembunyi
terhadap orang lain atau terhadap kebudayaan/ golongan tertentu. Sikap tersembunyi tadi bisa
berubah menjadi kebencian tetapi tidak sampai menjadi pertentangan/ konflik.

Pertentangan/ pertikaian (conflict), suatu proses sosial di mana individu/ kelompok manusia
berusaha memenuhi tujuan dengan jalan menantang pihak lawan dengan ancaman dan kekerasan.

Bentuk-bentuk pertentangan (conflict):

– Pertentangan pribadi.

– Pertentangan rasial.

– Pertentangan antar kelas sosial à disebabkan oleh perbedaan kepentingan.

– Pertentangan politik.

– Pertentangan yang bersifat internasional.

6. Pembicaraan tentang hubungan sosial, interaksi sosial dan proses sosial, tak lepas dari
pembicaraan tentang lembaga sosial/ kemasyarakatan. Lembaga sosial, terjemahan dari
“social institution”, juga diartikan sebagai pranata sosial atau bangunan sosial.

Pengertian lembaga sosial/ kemasyarakatan:

Soerjono Soekanto: himpunan norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan
pokok dalam kehidupan masyarakat. Wujud konkretnya adalah association.

Robert Mac Iver & Charles H. Page: tatacara/ prosedur yang telah diciptakan untuk mengatur
hubungan antar manusia yang berkelompok dalam suatu association.

Fungsi lembaga sosial:

Menurut Soerjono Soekanto (1988):

– Memberi pedoman kepada anggota-anggota masyarakat bagaimana harus berperilaku dalam


menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat terutama menyangkut kebutuhan pokoknya.

– Menjaga keutuhan dari masyarakat ybs.


– Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial
(social control) à sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku para anggotanya.

Ciri lembaga sosial:

JL. Gillin dan JP. Gillin (dalam Sugiyanto, 2002) memberikan ciri/ karakteristik umum
lembaga sosial:

– Punya tradisi tertulis/ tidak tertulis yang merumuskan tujuan, tata tertib, dll.

– Merupakan suatu organisasi pola-pola pemikiran dan perilaku yang terwujud melalui
aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya.

– Merupakan tingkat kekekalan, umumnya lama dan melalui proses yang panjang.

– Mempunyai satu/ beberapa tujuan.

– Mempunyai alat/ perlengkapan yang digunakan untuk mencapai tujuan.

– Mempunyai lambang/ symbol yang menggambarkan tujuan/ fungsi.

Menurut J.B.A.F Mayor Polak (dalam Sugiyanto, 2002):

– Lembaga sosial merupakan symbol kebudayaan.

– Lembaga sosial sebagai tatakrama atau perilaku.

– Lembaga sosial sebagai ideologi.

7. Untuk mewujudkan hubungan antar individu/ manusia dalam masyarakat, maka


dirumuskanlah norma-norma dalam masyarakat, yang mempunyai kekuatan mengikat.
Kekuatan daya ikat dari norma-norma itu (ada yang daya ikatnya lemah dan ada yang
kuat), secara sosiologis dikenal adanya 4 terms:

– Cara (Usage), merujuk pada perbuatan yang mempunyai kekuatan mengikat paling lemah.
Individu yang melakukan penyimpangan tidak mendapat sanksi yang tegas. Misal, pada
masyarakat yang menganggap cara makan dengan tangan kanan itu yang diterima/ benar, maka
orang yang makan dengan tangan kiri dianggap menyimpang tetapi tidak di-sanksi, tetapi hanya
ditegur saja atau bahkan hanya dibatin atau “dirasani”.

– Kebiasaan (Folk Ways), merujuk pada perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang
sama. Kekuatan mengikat lebih tinggi daripada usage. Menurut Mac Iver & Charles H. Page,
kebiasaan merupakan perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat. Kebiasaan tidak
semata-mata dianggap sebagai cara berperilaku saja tetapi diterima sebagai norma pengatur.
– Tata Kelakuan (Mores), merupakan perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat
sebagai norma pengatur yang bersumber dari kebiasaan. Cirinya adalah, tata kelakuan
mencerminkan sikap hidup kelompok, sebagai alat pengawas, memaksa suatu perbuatan,
melarang perbuatan dan menuntut anggota masyarakat untuk beradaptasi.

– Adat Istiadat (Custom), tata kelakuan yang kekal dan kuat integrasinya (menyatu) dengan
pola-pola perilaku masyarakat. Anggota masyarakat yang melanggar adat istiadat akan mendapat
sanksi yang tegas dan keras.

8. Supaya anggota masyarakat/ individu dapat menaati norma-norma yang berlaku dalam
suatu kelompok, masyarakat atau sebuah lembaga, maka perlu diciptakan pengendalian
sosial (social control). Pengendalian sosial, adalah proses yang dijalankan oleh
masyarakat yang selalu disesuaikan dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat
yang bersangkutan. Kontrol sosial bertujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas
dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, atau untuk mencapai
kedamaian dalam masyarakat melalui keserasian antara kepastian dengan keadilan.

Pengendalian sosial dapat dilakukan oleh: individu terhadap individu, individu terhadap
kelompok, dan kelompok terhadap kelompok.

Pengendalian sosial mempunyai 2 sifat: preventif (mencegah), dan represif (mengembalikan


keserasian).

Pengendalian sosial dapat dilaksanakan dengan 2 cara:

– Persuasif, dengan cara membujuk/ merayu agar masyarakat sadar dan mau melaksanakan
norma-norma masyarakat sehingga akan tercipta suasana yang tenteram.

– Koersif, dengan cara paksaan terhadap anggota masyarakat yang menyimpang agar patuh
terhadap norma-norma yang berlaku.

Pengendalian sosial dapat berwujud:

– Kompensasi, bersifat damai. Misal: ganti rugi akibat penggusuran.

– Pemidanaan, dengan cara memidanakan anggota masyarakat yang melanggar norma-norma


masyarakat.

– Terapi, dengan cara menyembuhkan pelaku dari anggota masyarakat.

– Konsiliasi, dengan cara mengembalikan pelakunya pada situasi semula.

Pengendalian sosial dapat dilaksanakan dengan menggunakan alat:

– Pendidikan.
– Hukuman (sanksi, punishment).

– Buah bibir (gunjingan, di-rumpiin, pakai media “pacapa”) sebagai sanksi sosial.

– Publikasi, penayangan kasus-kasus penyimpangan.

III

Mengenal Model/ Paradigma Ilmu Sosial

Setelah mengenal dasar-dasar ilmu sosiologi –sebagaimana telah saya paparkan di atas- beserta
pemahaman dasar tentang masyarakat, interaksi sosial, proses sosial, sekarang mari kita
tingkatkan pemahaman sosiologi kita dengan mengenali paradigma utama ilmu sosial (terutama
disiplin ilmu sosiologi) yang sering digunakan untuk mempelajari dan menganalisis masyarakat.
Perlu diingat: tidak ada paradigma tunggal dalam ilmu sosial (sosiologi). Para pakar mencatat
bahwa sosiologi menggunakan paradigma ganda. Artinya kita bisa menggunakan beberapa
paradigma ilmu social (sosiologi) untuk mempelajari, menjelaskan dan memahami suatu fakta
social di antara sekian banyak paradigma yang diajarkan para pakar sosiologi. Dalam artikel ini
kita coba pelajari 3 paradigma sosiologi yang lazim digunakan untuk menganalisa persoalan
sosial/ masyarakat, untuk membantu penjelasan pembahasan mata kuliah Sosiologi Masyarakat
Kota dan Desa (nanti akan kita lanjutkan pembahasannya di Bagian II dan III sekuel artikel saya
ini).

1. Paradigma Organik – Struktural Fungsional

Paradigma organic, melihat masyarakat sebagai bagian sistem dari hubungan fungsional,
mengibaratkan sebagai sebuah organisme hidup (organic) dengan meminjam teori hukum alam.
Seperti dijelaskan oleh Emile Durkheim dan Ferdinand Tonnies, yang berpendapat bahwa
masyarakat adalah organisme yang tidak berdiri sendiri, tetapi bergabung dengan kelompoknya
dalam sistem pembagian tugas (ingat konsepsi Durkheim tentang pembagian tugas, di atas
ya…), yang dalam kenyataannya berkaitan dengan jenis-jenis norma/ peraturan sosial yang
mengikat individu pada keadaan sosialnya.

Durkheim mengonseptualisasikan masyarakat dalam hal norma-norma atau jenis-jenis integrasi


sosial yakni cara individu secara sosiologis berhubungan dengan struktur sosial melalui fakta-
fakta sosial (social facts). Salah satu kajian utamanya adalah sifat-sifat solidaritas sosial dari
suatu masyarakat. Durkheim menekankan kajiannya terutama dalam hal memahami gejala sosial
(norma-norma sosial) dan pengaruhnya dala masalah-masalah sosial yang berlawanan dengan
penjelasan-penjelasan yang bersifat psikologis. Dia memandang sosiologi sebagai kajian yang
memfokuskan gejala psikis kolektif dan kewajiban-kewajiban moral terutama dalam hal
memasukkan perilaku individu dalam konteks kelompok.
Dalam mengonseptualisasikan kajiannya tersebut, Durkheim menggunakan asumsi-asumsi:

– Masyarakat sebagai kesadaran kolektif, mempunyai keberadaan yang independen à suatu


kesatuan yang utuh, terkondisikan melaksanakan dan mempengaruhi struktur normatifnya.

– Fakta-fakta sosial (norma-norma kolektif) adalah kenyataan, sebagai bukti keberadaan


kekuatan norma-norma dan struktur-struktur lembaga yang saling berhubungan.

– Kekuatan sosial didasarkan pada pandangan kolektif, yaitu berbagai bentuk kekuasaan yang
bersandar pada struktur normatif dari kelompok tertentu selama kontrol itu diterapkan pada
anggota kelompok melalui norma-norma tersebut.

– Evolusi fakta atau norma sosial didasarkan pada kebutuhan yang ada dalam masyarakat.
Dalam hal ini, gejala sosial menggambarkan kebutuhan sosial sebuah korelasi dari teori
Durkheim yang mendorong para sosiolog untuk mengkaji secara lebih mendalam à struktural
fungsional.

– Integrasi sosial ditemukan dalam pembagian kerja dalam masyarakat à semakin sama
pembagian kerja dalam masyarakat, maka semakin tinggi tingkat integrasi sosialnya.
Memperluas asumsi ini, Durkheim menghubungkan ukuran populasi dengan kepadatan
penduduknya, pembagian kerja dan integritas sosial à semakin tinggi ukuran populasi, semakin
besar tingkat kepadatan penduduknya, maka berakibat peningkatan dalam hal pembagian kerja
dan penurunan dalam hal solidaritas sosial.

– Solidaritas sosial, Durkheim membaginya menjadi 2: solidaritas mekanis dan solidaritas


organis (tengok lagi di bagian depan ya…). Pada masyarakat dengan pembagian kerja yang
rendah, budaya tradisional yang homogen, dan bekerjanya norma-norma secara represif
(mengikat) para anggotanya, memiliki kesatuan sosial dalam tingkat yang tinggi, bekerjalah
solidaritas mekanis. Sedangkan solidaritas organis (bersifat lebih maju) bekerja pada
masyarakat dengan pembagian kerja yang kompleks (tidak sama), meningkatnya hubungan
kontrak (diikat dengan perjanjian) dan memiliki tingkat integrasi sosial yang lebih rendah.
Dalam hal ini, upaya kontrol individu menjadi lemah menuju suatu keadaan berkurangnya
norma-norma (normless) yang lebih tinggi dalam masyarakat. Pada tahapan inilah
penyimpangan-penyimpangan sosial tingkat tinggi kerap terjadi, seperti bunuh diri, terjadi
karena renggangnya atau melemahnya ikatan-ikatan / perekat antar individu dan struktur sosial.

– Kejahatan dan bentuk penyimpangan lain mempunyai fungsi mendorong perubahan dan
perkembangan norma-norma dalam masyarakat.

Pendekatan organik yang kemudian berkembang menjadi struktural-fungsional, berfokus pada


cara yang diberikan oleh sistem sosial dengan menekankan pada masalah-masalah fungsi/ sistem.
Pendekatan organic-struktural fungsional ini menjelaskan konsep masyarakat sebagai satu
kesatuan. Selanjutnya, paradigma structural-fungsionalisme sebagai landasan teori
kontemporer, menggambarkan penerapan lanjutan paradigma organik, memandang masyarakat
sebagai bentuk yang sistemik saling berhubungan, saling bergantung, berubah, menggambarkan
kebutuhan-kebutuhan sistem atau fungsi yang mendasarinya à pijakan pengembangan teori
umum yang didasarkan pada asumsi bahwa masyarakat itu eksis dan memiliki realitas
independen atau memiliki eksistensi sebagai sistem sosial dengan sifat serupa dengan sistem-
sistem lain di alam ini (sistem alam/ sistem biologi/ fisika).

Struktural fungsionalisme bergerak merespons kebutuhan-kebutuhan, politik, ekonomi dan


sosial.

Structural fungsionalisme dipopulerkan oleh Talcott Parsons, dengan menggunakan analogi


organik (organ biologis) dalam memandang masyarakat. Menurutnya, teori fungsional organisasi
masyarakat berdasarkan pada manusia sebagai actor pembuat keputusan (fungsionalisme) yang
dibatasi oleh factor normatif dan situasional (strukturalisme), dan factor-faktor situasiona inilah
yang memperkenalkan kebutuhan-kebutuhan atau fungsi sistem ke dalam pemahaman perilaku
sosial. Karenanya, menurut paham ini, masyarakat memiliki karakteristik universal, yang
memungkinkan dikembangkannya teori yang bisa diterapkan pada semua masyarakat.

Parsons menggunakan asumsi-asumsi:

– Sistem sosial diasumsikan untuk memunculkan sui generis, yaitu masyarakat memiliki
suatu realitas independen untuk melintasi eksistensi individu sebagai suatu sistem interaksi.

– Struktur sosial atau sub sistem masyarakat menggambarkan sejumlah fungsi utama yang
mendasarinya (struktur mewakili fungsi). Fungsi-fungsi ini terdiri atas integrasi (sistem sosial
didasarkan pada norma-norma yang mengikat individu dengan masyarakatnya melalui integrasi
normatif), pola pertahanan (sistem budaya, nilai-nilai), pencapaian tujuan (sistem kepribadian,
basis pembedaan), dan adaptasi (organisasi perilaku, basis peran dan sistem ekonomi).

– Sistem sosial, baiknya terdiri atas 4 sub-sistem, yaitu komunitas masyarakat (norma-norma
integratif), pola pertahanan (nilai-nilai integratif), bentuk atau proses pemerintahan (diterapkan
untuk perolehan tujuan), dan ekonomi (diterapkan untuk adaptif).

– Lebih jauh, terkait dengan analogi biologi, Parsons berasumsi bahwa focus atau landasan
sentral masyarakat adalah kecenderungan terhadap equilibrium dan homeostatic (keadaan stabil,
setimbang). Proses-proses sentral dalam kecenderungan ini adalah antar hubungan dari ke-4 sub-
sistem aksi: interpenetrasi, internalisasi masyarakat, fenomena budaya ke dalam kepribadian,
dan institusionalisasi komponen-komponen normatif sebagai struktur konstitutif. Sistem sosial
ini kemudian dipandang sebagai sistem yang berorientasi integrasi dan equilibrium yang kuat.

– Sistem ini tidak dipandang statis à kapasitas yang dimilikinya untuk evolusi yang adaptif.
Proses sentral perubahan evolusi mengandung pembedaan (differentiation) dan pembagian lebih
jauh/ spesialisasi struktur fungsional.

2. Paradigma Konflik – Radikal

Paradigma konflik radikal, lebih memandang konflik (bukan integrasi) sebagai poros sistem
sosial. Mengapa demikian? Argumentasinya adalah, bahwa masyarakat terdiri atas individu-
individu (ingat?) yang secara alamiah berjuang untuk mendapatkan kebutuhan mereka. Artinya,
terdapat gerak dinamis dari sistem masyarakat ini seperti gerak/ proses evolusi dan pertentangan
secara terus-menerus. Proses pertentangan secara terus-menerus (bergerak, dinamis) inilah yang
“membesarkan” suatu masyarakat, mengikuti hukum dialektika materialisme sebagaimana
diperkenalkan oleh Karl Marx. Kemudian, untuk menjelaskan masyarakat industry modern,
pendekatan Marxisme ini melahirkan Teori Konflik Modern. Di sini kita mengenal teori
pertentangan kelompok dan teori konflik elit milik Ralph Dahrendorf.

Teori konflik Karl Marx tersebut, setidaknya memiliki peluang untuk merevisi apa yang
dikemukakan Emile Durkheim dalam Teori Struktural Fungsional-nya (tengok Durkheim di
atas ya…). Marx, untuk telaah makroskopik[1] memandang bahwa masyarakat cenderung
membutuhkan pertentangan agar tercipta harmoni baru. Berbeda dengan Durkheim yang lebih
melihat masyarakat sebagai media terciptanya keseimbangan, pendekatan konflik dapat dibagi
dua, pertama, sebagaimana dikemukakan Karl Marx, bahwa masyarakat terbelah menjadi dua
kelas dilihat dari kepemilikan alat produksi (property), yakni kelas kapitalis/ pemilik modal dan
kelas buruh/ pekerja. Menurut Marx, masyarakat kemudian terintegrasi lantaran adanya struktur
kelas yang dominan yang menggunakan Negara dan hukum sebagai alatnya. Sementara itu, yang
kedua, sebagaimana yang dikemukakan Ralf Dahrendorf, yang melihat masyarakat terdiri atas
dua kelas berdasarkan kepemilikan wewenang (authority) ialah kelas penguasa (dominasi) dan
kelas yang dikuasai (subjeksi). Bagi Dahrendorf, masyarakat terintegrasi karena adanya
kelompok kepentingan dominan yang menguasai masyarakat[2]. Menyusul atas apa yang telah
dipahami sepeninggal Marx, banyak teori turunan konflik yang berupaya untuk
mengembangkannya dalam arti memberikan tambahan penjelasan atas fenomena konflik. Salah
satu tokohnya adalah Randall Collins[3], yang mencoba lebih integratif di antara pendekatan
makro dan mikro. Lebih detail, Collins menegaskan bahwa teori konflik mengindikasikan adanya
pengorganisasian kelompok masyarakat (society), perilaku orang-orang dan kelompoknya[4].
Collins menawarkan pemahaman betapa konflik sangat mungkin didekati pada level
interaksionisme simbolik mikro dan etnometodologi. Tidaklah mengherankan kemudian muncul
tokoh lain seperti Goffman, Garfinkel, Sacks dan Scelgloff. Bagi mereka, atas sumbangan
Collins, konflik tidak harus menjadi ideologis, bukan masalah baik buruk, tetapi konflik
dipandang sebagai pusat dari kehidupan sosial. Pendekatan Collins terkait konflik lebih
difokuskan pada individu, salah satunya karena akar kajian Collins adalah fenomenologi dan
etnometodologi. Teori konflik, lebih jauh menurutnya, tidak akan bekerja tanpa analisis sosial.
Dalam term ini, teori konflik harus menerima penemuan riset empiris. Intinya, teori konflik
Collins dekat pada stratifikasi sosial, yang dalam telaahnya hendak memadukan gagasan
Marxian dengan teori struktural fungsional.

Ringkasnya, paradigma konflik radikal ini melihat bahwa masyarakat merupakan sistem
kompetisi kekuatan yang menyusun perjuangan individu-individu dalam memenuhi kebutuhan
fisiknya, yaitu dengan menggunakan pandangan alamiah sebagai penjelasan sistemnya.
Pendekatan ini sama dengan structural-fungsional dalam hal konsep kemasyarakatannya sebagai
sistem makro, namun menekankan pada konflik sebagai titik tekan proses sosial.

3. Paradigma Perilaku dan Psikologi Sosial

Paradigma ini melihat masyarakat sebagai “surat perintah” yang besar secara individual daripada
sebuah sistem yang menggarisbawahi problem-problem fungsional. Tradisi perilaku sosial juga
mencakup penjelasan secara alamiah dan sosial. Max Weber dan George Herbert Mead,
contohnya, mempelajari individu sebagai produk sosial yang menitikberatkan pengertian dan
proses perialku sosial dan interaksi sosial. Di sisi lain, Georg Simmel dan William Sumner
menggunakan asumsi insting atau harapan untuk menjelaskan kumpulan evolusi dan struktur
sosial.

Perbedaannya dengan teori psikologi sosial modern, adalah bahwa paradigma perilaku ini
memfokuskan lingkungan sosial dan hubungan antara individu dan lingkungannya melalui
sosialisasi ekspresi perannya, saling berinteraksi dan ungkapan realitas pribadinya.

Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat perbandingan ketiga model/ paradigma tersebut pada tabel
di bawah ini:

Organik – Struktural- Perilaku dan Psikologi


Paradigma Konflik – Radikal
Fungsional Sosial
Tujuan Mengembangkan teori Mengembangkan teori Memahami individu
umum tentang masyarakat umum tentang adalah hasil dari
menggunakan pendekatan masyarakat masyarakat.
sistemik menggunakan
pendekatan sistemik
Pandangan 1. Masyarakat adalah 1. Masyarakat adalah 1. Masyarakat
sebuah sistem bagian dari sistem adalah sebuah
fungsional yang persaingan & “surat perintah”
bagian-bagiannya pertentangan. individu yang
selalu besar.
berhubungan. 2. Perlunya aturan-aturan 2. Perlunya nilai
2. Perlunya aturan sosial. dan harapan.
sosial. 3. Individu adalah
3. Perlunya 3. Perlunya industrialiasi produk sosial.
pembagian kerja. & birokratisasi. 4. Perlunya
4. Perlunya dasar- sosialisasi
dasar masalah 4. Perlunya dasar sebagai proses
sosial. kebutuhan fisik. dasar.

Pendekatan 1. Menerapkan 1. Menerapkan 1. Menerapkan naluri &


hukum-hukum pertentangan alami dalam harapam dalam
alamiah pada masyarakat. masyarakat.
masyarakat.
2. Menerapkan 2. Menerapkan 2. Menerapkan manusia
pembagian kerja industrialiasi & sosial yang alami dalam
pada masyarakat. birokratisasi dalam masyarakat.
3. Menerapkan masyarakat.
masalah-masalah 3. Menerapkan proses
sosial pada 3. Menerapkan sosialiasi pada
masyarakat. kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
4. Menggunakan
alasan alamiah/ fisik pada masyarakat. 4. Menggunakan alasan
sistemik sebagai alamiah maupun
pembuktian. 4. Menggunakan alasan sistemik dalam
alamiah maupun sistemik pembuktian.
dalam pembuktian.

Walaupun terdapat perbedaan pada ketiga paradigma tersebut, setidaknya ada 2 point penting
yang umum: konseptualisasi tatanan dan perubahan sosial; dan mencakup jenis penjelasan
secara naturalistik dan sistemik.

Untuk pendalaman sosiologi kita masih bisa mempelajari lebih lanjut paradigma ilmu sosial ini
dengan mengikuti klasifikasi sistemik paradigma ilmu sosial yang diramu dari para teoretisi ilmu
sosial. Ketiga pendekatan/ paradigma di atas sebenarnya dipertajam pada perspektif teoritis/
paradigma positivis/ post-positivist, konstruksionisme (interpretative) dan critical theory. Tetapi
untuk keperluan mata kuliah ini, kita gunakan structural-fungsional atau konflik radikal atau
perilaku pada klasifikasi di atas. Klasifikasi dan penjelasan paradigma positivis/ post-positivist,
konstruksionisme (interpretative) dan critical theory lazim dipergunakan pada jenjang yang lebih
tinggi.[]

…bersambung ke Bagian II

Bahan Bacaan

1. Beilharz, Peter, 2003, Teori Teori Sosial, Pustaka Pelajar Yogyakarta.


2. Coser, Lewis A., 1982, Sociological Theory: A Book of Readings, MacMillan
Publishing, Co., Inc., USA.
3. Daldjoeni, N., 1997, Seluk Beluk Masyarakat Kota, Alumni Bandung.
4. Fatchan, A., 2004, Teori-teori Perubahan Sosial, Yayasan Kampusina Surabaya.
5. Giddens, Anthony, 2004, Sociology: Introductory Readings, Polity, UK.
6. Haralambos, Michael dan Martin Holborn, 2000, Sociology, Themes and Perspectives,
Fifth Edition, Collins Educational, London.
7. Kaldor, Mary, 2004, Global Society, Polity, UK.
8. Kinloch, Graham C., 2005, Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi,
Pustaka Setia Bandung.
9. Leibo, Jefta, 1995, Sosiologi Pedesaan, Andi Offset Yogyakarta.

10. Ritzer, George, 1996, Modern Sociological Theory, The McGraw-Hill Companies, Inc.

11. Sanderson, Stephen K., 1993, Sosiologi Makro, Rajawali Press Jakarta.
12. Sukmana, Oman, 2005, Sosiologi dan Politik Ekonomi, UMM Press Malang.

13. Sztompka, Piötr, 2005, Sosiologi Perubahan Sosial, Prenada Jakarta.

14. Zaltman, Gerald, 1972, Processes and Phenomena of Social Change, John Willey & Sons,
Inc., New York.

[1]Istilah makroskopik pertama dikenalkan oleh George Ritzer dalam pendekatan terpadunya.
Hal ini sangat membantu pemerhati masalah social dalam memandang dunia social. Ritzer
memang berupaya untuk menengahi perdebatan kaum fungsionalis melawan non fungsionalis
yang belakangan lebih jamak digolongkan sebagai kaum Marxis.

[2] Dahrendorf, Ralf, Class and Class Conflict in Industrial City (Stanford University Press,
1959).

[3] Lihat Ritzer, George, Modern Sociological Theory, The McGraw-Hill Companies, Inc, 1996,
p. 139.

[4] Collins, Randall, Conflict Theory and The Advance of Macro-Historical Sociology, dalam
Ritzer, George, (Editor), 1990, Frontiers of Social Theory: The New Syntheses, Columbia
University Press, New York, hal. 70.

Anda mungkin juga menyukai