Anda di halaman 1dari 25

Individu sosiopatik, proses diferensiasi dan sosialisasi, sanksi sosial,

mobilitas individu, organisasi sosiopatik dan kebudayaan eksploratif


Mata Kuliah : Patologi Sosial
Dosen Pengampu : Dra. Khodijah, M.Si.

Disusun Oleh :
Muhammad Yani Husain At Thohari 07040621097
Muhammad Bayu Ardian 07010621011
Surya Agung 07010621013

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT


PRODI TASAWUF DAN PSIKOTRAPI
UNIVESRSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2023
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh
Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wata΄ala, karena berkat
rahmat-Nya saya bisa menyelesaikan tugas Makalah Patologi Sosil ini diajukan guna
memenuhi salah satu tugas mata kuliah.
Penyusun sangat menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
sempurna dan masih banyak yang harus di koreksi oleh karena itu kami mengharapkan
masukan dari semua pihak tentunya dengan masukan yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi pembaca, mahasisiwa dan
bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita
semua.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh

Tempat, 17 September 2023

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................1
DAFTAR ISI....................................................................................................................2
BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................................2
1.1 Latar Belakang....................................................................................................2
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................3
1.3 Tujuan Masalah...................................................................................................3
BAB 2 PEMBAHASAN................................................................................................4
2.1 Individu Sosiopatik.............................................................................................4
2.1.1 Pengertian Sosiopatik..................................................................................4
2.1.2 Pandangan Sosial Terhadap Individu Sosiopatik........................................6
2.2 Diferensiasi Sosial..............................................................................................7
2.2.1 Definisi Diferensiasi Sosial.........................................................................7
2.2.2 Munculnya Diferensiasi Sosial....................................................................7
2.2.3 Bentuk Diferensiasi Sosial..........................................................................8
2.3 Sanksi Sosial Individu Sosiopatik.....................................................................14
2.4 Mobilitas Individu Sosiopatik...........................................................................17
2.5 Organisasi Sosiopatik.......................................................................................18
2.6 Kebudayaan Eksploratif....................................................................................19
BAB 3 PENUTUP........................................................................................................20
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................20
3.2 Saran.................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................22

2
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan teknologi yang semakin cepat dan mobilitas yang semakin tinggi
dalam berbagai sektor telah memicu perubahan sosial yang signifikan dalam kehidupan
masyarakat. Kemajuan teknologi tidak hanya memengaruhi gaya hidup, tetapi juga
membawa kompleksitas permasalahan yang mungkin muncul. Di sisi lain, masyarakat
dihadapkan pada tuntutan untuk dapat beradaptasi dengan perubahan-perubahan ini dan
memiliki daya tahan individu terhadap dampaknya, baik secara fisik maupun psikologis.
Kemajuan teknologi menjadi salah satu pendorong utama perubahan ini, dan
perubahan dalam masyarakat adalah gejala yang normal.Kemajuan teknologi membawa
masyarakat ke dalam era modern yang lebih maju.Peristiwa dan perkembangan yang
terjadi di suatu tempat dapat dengan cepat diketahui oleh masyarakat yang berada jauh
dari lokasi tersebut, berkat mobilitas dan akses informasi yang semakin
mudah.Mobilisasi dalam berbagai aspek kehidupan diharapkan memberikan manfaat
yang besar bagi manusia1.
Namun, masyarakat perlu siap menghadapi perubahan yang terjadi sebagai akibat
dari modernisasi yang terus berkembang. Perubahan ini tidak dapat dihindari dan akan
terus berlangsung tanpa batas. Modernisasi mengharuskan manusia untuk mengadopsi
teknologi dalam pemenuhan kebutuhan mereka, sambil memberikan kemudahan akses
terhadap berbagai informasi tanpa terbatas oleh jarak dan waktu. Dengan kata lain,
manusia telah memasuki era digital.
Era digital membawa manfaat dalam bentuk percepatan komunikasi dan
kemudahan dalam pekerjaan, tetapi juga menimbulkan dampak negatif seperti
individualisme, fitnah, dan sikap anti-sosial.Kemajuan teknologi, khususnya dalam
bentuk digitalisasi, menuntut individu, terutama remaja, untuk memiliki kemampuan
dan kesiapan dalam beradaptasi dengannya.Kemampuan remaja untuk beradaptasi
dengan teknologi digital adalah langkah awal dalam membentuk kesiapan masyarakat
secara keseluruhan dalam menghadapi perubahan teknologi.

1
Rosana,E, Modernisasi dan Perubahan Sosial , vol 7 TAPIs, 2011, hal 1–30.

3
Jika remaja dapat beradaptasi secara positif dengan teknologi digital, mereka
dapat menjadi contoh yang baik bagi masyarakat dalam memanfaatkan teknologi ini
secara bijak. Namun, jika kurangnya kesiapan individu, terutama remaja, dalam
menghadapi kemajuan teknologi, mereka dapat menciptakan dampak negatif pada
lingkungan sekitar mereka dan pada akhirnya berkontribusi pada masalah sosial yang
dikenal sebagai "Patologi Sosial."2.
Dalam konteks ini, penulis mencoba untuk mengidentifikasi bagaimana patologi
sosial, khususnya yang terkait dengan remaja, bertransformasi di era digital.Hal ini
merupakan upaya untuk memahami dampak dari perubahan teknologi pada masyarakat
dan bagaimana masyarakat dapat menghadapinya secara lebih efektif.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana definisi dan pandangan sosial pada individu sosiopatik?
2. Bagaimana proses diferensiasi dan sosialisasi?
3. Bagaimana sanksi sosial terhadap individu sosiopatik?
4. Bagaimana mobilitas individu sosipatik?
1.3 Tujuan Masalah
Tujuan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mendefiniskan pengertian individu sosiopatikdan menjabarkan pandangan sosial
pada individu sosiopatik?
2. Mengetahui proses diferensiasi dan sosialisasi?
3. Mengetahui sanksi sosial terhadap individu sosiopatik?
4. Mengetahui mobilitas individu sosipatik?

2
Adiansyahdkk, Patologi Sosial Bimbingan Konseling, (Pontianak : Kamojoyo Press, 2023) hlm 2

4
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Individu Sosiopatik
2.1.1 Pengertian Sosiopatik
Menurut sosiolog tingkah laku sosiopatik adalah tingkah laku yang berbeda dan
menyimpang dari kebiasaan serta norma umum, yang ada pada suatu tempat dan waktu
tertentu yang ditolak sekalipun tingkah laku tersebut di tempat dan waktu lain bisa
diterima oleh masyarakat lainnya.
Arti sosiopatik ialah menjadi sakit secara sosial, adapun terjadinya sebabnya
bahwa satu lingkungan dengan kultur yang tidak menguntungkan bisa memberikan
banyak rangsangan kepada individu – individu tertentu untuk menjadi sakit secara
sosial.
Menurut Paul B Horton perilaku sosiopatik memiliki ciri-ciri sebagai berikut.3:
 Penyimpangan harus didefinisikan, artinya menilai menyimpang atau tidaknya suatu
perilaku harus berdasarkan kriteria tertentu dan harus diketahui penyebabnya.
 Penyimpangan dapat diterima atau ditolak.
 Penyimpangan relatif dan penyimpangan mutlak, artinya selisihnya ditentukan oleh
frekuensi dan intensitas atau kadar penyimpangan.
 Penyimpangan terhadap budaya nyata atau budaya ideal, yaitu adalah seperangkat
peraturan hukum yang berlaku dalam suatu kelompok sosial. Selalu ada kesenjangan
antara budaya aktual dan budaya ideal
 Terdapat norma-norma penghindaran dalam penyimpangan. Norma penghindaran
adalah pola perbuatan yang dilakukan orang untuk memenuhi keinginan mereka,
tanpa harus menentang nilai-nilai tata kelakuan secara terbuka.
 Penyimpangan sosial bersifat adaptif, artinya perilaku menyimpang merupakan
salah satu cara untuk menyesuaikan kebudayaan dengan perubahan sosial.
Penyebab terjadinya perilaku menyimpang4:
a. Penyimpangan sebagai akibat dari proses sosialisasi yang tidak sempurna
Karena ketidaksanggupan menyerap norma-norma kebudayaan ke dalam
kepribadiannya, seorang individu tidak mampu membedakan perilaku yang
3
Kartini Kartono. 1997. Patologi Sosial 1 (edisi baru) Jakarta Rajawali Perss.
4
Lihat Davidson C.G; Neale.J; Kring A.M..2004.Psikologi Abnormal. Alih Bahasa Noermalasari Fajar.
Jakarta: Raja Grafindo.

5
pantas dan yang tidak pantas. Ini terjadi karena seseorang menjalani proses
sosialisasi yang tidak sempurna dimana agen-agen sosialisasi tidak mampu
menjalankan peran dan fungsinya dengan baik.
Contohnya seseorang yang berasal dari keluarga broken home dan kedua orang
tuanya tidak dapat mendidik si anak secara sempurna sehinga ia tidak
mengetahui hak-hak dan kewajibanya sebagai anggota keluarga maupun sebagai
anggota masyarakat. Perilaku yang terlihat dari anak tersebut misalnya tidak
mengenal disiplin, sopan santun, ketaatan dan lain-lain.
b. Penyimpangan karena hasil proses sosialisasi subkebudayaan menyimpang
Subkebudayaan adalah suatu kebudayaan khusus yang normanya bertentangan
dengan norma-norma budaya yang dominan. Unsur budaya menyimpang
meliputi perilaku dan nilai-nilai yang dimiliki oleh anggota-anggota kelompok
yang bertentangan dengan tata tertib masyarakat. Contoh kelompok
menyimpang diantaranya kelompok penjudi, pemakai narkoba, geng penjahat,
dan lain-lain.
c. Penyimpangan sebagai hasil proses belajar yang menyimpang
Proses belajar ini melalui interaksi sosial dengan orang lain, khususnya dengan
orang-orang berperilaku menyimpang yang sudah berpengalaman.
Penyimpangan inipun dapat belajar dari proses belajar seseorang melalui media
baik buku, majalah, koran, televisi dan sebagainya.
Respon masyarakat terhadap perilaku sosiopatik5:
a) Hukuman Sosial
b) Pengucilan
c) Pemisahan
d) Penolakan

5
Ibid 11

6
2.1.2 Pandangan Sosial Terhadap Individu Sosiopatik
Reaksi masyarakat terhadap kejahatan dan kejahatan (crime), sebagaimana kita
pahami, berarti kejahatan merupakan suatu perbuatan yang merugikan masyarakat
sehingga akan timbul reaksi negatif terhadapnya. Kita juga memahami bahwa respon
terhadap kejahatan dan kriminalitas dilihat dari implementasinya. Dilihat dari segi
pencapaian tujuannya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : Respon represif dan
respon preventif. Karena tujuannya berbeda-beda, maka pada tataran operasionalnya
juga akan berbeda, terutama dalam hal metode pelaksanaan dan sifat pelaksanaannya.
a. Reaksi Represif
Secara singkat pengertian reaksi atau tindak represif adalah tindakan yang
dilakukan oleh masyarakat (formal) yang ditujukan untuk menyelesaikan kasus atau
peristiwa kejahatan yang telah terjadi, guna memulihkan situasi dengan
pertimbangan rasa keadilan dan kebenaran yang dijunjung tinggi.
Contoh kasus (pencurian)
b. Reaksi preventif
preventif adalah tindak pencegahan agar kejahatan tidak terjadi. Artinya segala
tindak-tindak pengamanan dari ancaman kejahatan adalah prioritas dari reaksi
preventif ini. Menyadari pengalaman-pengalaman waktu lalu bahwa kejahatan
adalah suatu perbuatan yang sangat merugikan masyarakat maka anggota
masyarakat berupaya untuk mencegah agar perbuatan tersebut tidak dapat terjadi.
Selain Reaksi Represif dan Preventif ada reaksi formal dan informal:
c. Reaksi Formal
Reaksi formal terhadap kejahatan adalah reaksi yang diberikan kepada pelaku
kejahatan atas perbuatannya, yakni melanggar hukum pidana, oleh pihak-pihak yang
diberi wewenang atau kekuatan hukum untuk melakukan reaksi tersebut.
Sebagai suatu sistem pengendali kejahatan maka secara rinci, tujuan sistem
peradilan pidana, dengan demikian adalah6:
1. Mencegah agar tidak timbul korba dimasyarakat
2. menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana

6
Mudjiran, 2002, Patologi Sosial Jilid 1 Padang FIP IKIP Padang

7
3. mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi
kejahatannya
Contoh : Koruptor (memberi efek jera/ Shaming)
d. Reaksi Informal
Reaksi informal yang dilakukan bukan oleh aparat penegak hukum tetapi oleh
warga masyarakat biasa. Masyarakat biasa di samping telah mendelegasikan haknya
kepada aparat penegak hukum berhak saja bereaksi terhadap kejahatan dan penjahat
sebatas mereka tidak melanggar peraturan yang ada.
Dalam kriminologi, reaksi informal dari masyarakat itu lebih dikenal sebagai
tindak kontrol sosial informal. Studi-studi memperlakukan beberapa aspek dari
kontrol sosial informal pada tingkat komunitas ketetanggaan yang digunakan untuk
membangun tipologi dari definisi operasional dari kontrol sosial informal. Definisi
operasional ditemui dalam dua dimensi yaitu; bentuk dan tempat.
2.2 Diferensiasi Sosial
2.2.1 Definisi Diferensiasi Sosial
Diferensiasi sosial atau pembedaan sosial merupakan perwujudan pembagian
sosial atau masyarakat ke dalam kelompok-kelompok atau golongan-golongan secara
horizontal, sehingga tidak menimbulkan tingkatan-tingkatan secara hierarkis. i.Menurut
Soerjono Soekanto, diferensiasi sosial adalah variasi pekerjaan, prestise, dan kekuasaan
kelompok dalam masyarakat, yang dikaitkan dengan interaksi atau akibat umum dari
proses interaksi sosial yang lain. Perwujudan penggolongan masyarakat atas dasar
perbedaan pada kriteria-kriteria yang tidak menimbulkan tingkatan-tingkatan antara lain
ras, agama, jenis kelamin, profesi, klan, suku bangsa, dan sebagainya
2.2.2 Munculnya Diferensiasi Sosial
Interaksi sosial yang dilakukan individu yang memiliki ciriciri fisik dan nonfisik
yang berbeda-beda mengakibatkan munculnya diferensiasi sosial yang membuat
individu atau kelompok terpisah dan berbeda satu sama lain.
1. Ciri Fisik
Ciri fisik yang mendorong lahirnya diferensiasi sosial dapat terlihat dengan
adanya perbedaan ras, yaitu penggolongan manusia ke dalam golongan tertentu
berdasarkan perbedaa

8
2. Ciri Sosial
Ciri sosial terlihat dengan adanya organisasi-organisasi eksklusif yang membatasi
keanggotaannya hanya pada levellevel tertentu dalam masyarakat. Di sini tersirat
sebuah makna bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, setiap anggota melakukan fungsi
atau tugas untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan umum.
3. Ciri Budaya
Dalam ciri budaya ini, individu cenderung membedakan antara masyarakat yang
satu dengan masyarakat yang lain. Hal ini terlihat dengan adanya anggapan bahwa
kebudayaan atau gelar kesarjanaan luar negeri berbeda dengan kebudayaan atau gelar
kesarjanaan dalam negeri. Atau pembagian masyarakat ke dalam suku-suku bangsa
seperti Jawa, Bali, Sunda, dan lain sebagainya.
Dalam diferensiasi, strata yang dimiliki seseorang dianggap sebagai taraf
permulaan bagi terciptanya stratifikasi sosial. Namun, hal ini tidak terjadi begitu saja,
melainkan melalui suatu proses yang cukup panjang. Pada awalnya dengan
membedakan seseorang dengan yang lain, dipilih, dan kemudian diklasifikasikan dalam
kelompok-kelompok. Selanjutnya, perbedaan itu cenderung menjadi tetap dan
terciptalah stratifikasi sosial. Namun demikian, tidaklah ditafsirkan bahwa semua
diferensiasi akan mengarah pada stratifikasi sosial, karena di dalam masyarakat terdapat
kekuatan atau daya yang mendorong penghapusan perbedaan atau diskriminasi di antara
sesama manusia.
2.2.3 Bentuk Diferensiasi Sosial
1. Parameter Biologis
a. Diferensiasi Ras (Racial Differentiation)
Ras adalah pengelompokan besar manusia yang memiliki ciri-ciri biologis
lahiriah yang sama, seperti warna dan bentuk rambut, warna kulit, bentuk hidung,
Bentuk bibir, ukuran tubuh, ukuran kepala, warna bola mata, dan lain sebagainya.
Menurut Banton, ras merupakan suatu tanda peran, perbedaan fisik yang
dijadikan dasar untuk menetapkan peran yang berbeda-beda Ditambahkannya, ras
dapat didefinisikan secara fisik dan sosial. Secara fisik meliputi kondisi fisik yang
tampak, seperti warna kulit, bentuk tubuh, dan lain-lain, sedangkan secara sosial
menyangkut peran dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan. Namun dalam

9
perkembangannya, kita lebih membatasi pengertian ras hanya dilihat dari sudut
pandang biologis atau fisik saja.
Namun demikian, pembagian ras ini bukan berarti tidak akan menimbulkan
permasalahan. Salah satu penyebab masalah sosial tentang ras adalah adanya
prasangka ras yang merupakan salah satu aspek dari etnosentrisme, yaitu suatu sifat
manusia yang menganggap bahwa cara hidup golongannya adalah paling baik,
sedangkan cara hidup golongan lain dianggap tidak baik dan kadangkadang disertai
dengan perasaan menentang golongan lain.
Joseph Arthur Gibernean mengemukakan bahwa ada beberapa pandangan yang
dapat menimbulkan prasangka terhadap perbedaan ras, yaitu sebagai berikut.
1) Suku bangsa liar dapat hidup pada peradaban yang tinggi, apabila bangsa
tersebut menciptakan cara hidup lebih tinggi daripada ras yang sama.
2) Suku bangsa liar selalu biadab, meskipun pada waktu silam pernah
mengadakan hubungan dengan bangsa yang lebih tinggi peradabannya.
3) Ras yang berbeda tidak dapat saling memengaruhi.
4) Adanya peradaban yang saling memengaruhi dengan kuat, dan peradaban
itu tidak akan bercampur.
Menurut A. L. Kroeber seperti dikutip oleh Koentjaraningrat, pembagian
ras di dunia dibedakan atas ras Mongoloid, ras Negroid, ras Caucasoid, dan ras-ras
khusus yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam ketiga ras itu (ras Mongoloid,
ras Negroid, dan ras Caucasoid).
b. Diferensi Jenis Kelamin (Sex Differentiation)
Diferensiasi jenis kelamin merupakan pembedaan manusia berdasarkan
perbedaan jenis kelamin, yaitu lakilaki dan perempuan. Dalam masyarakat,
pembedaan ini cenderung pada pengertian gender, yaitu pembedaan antara
laki-laki dan perempuan secara budaya. Pembedaan ini cenderung pada
pembedaan peranan antara laki-laki dan perempuan. Misalnya dalam suatu
keluarga, peranan seorang laki-laki sebagai kepala keluarga, sedangkan
perempuan adalah sebagai ibu rumah tangga atau yang bertugas mengurus
segala sesuatu yang berhubungan dengan rumah tangga. Sebagai kepala
keluarga, seorang laki-laki berkewajiban mencari nafkah untuk keluarganya,

10
mencintai anak istrinya, serta bertanggung jawab atas pendidikan anakanaknya.
Sementara itu seorang perempuan sebagai ibu rumah tangga berkewajiban
untuk membantu suami dan mengasuh anak-anaknya, serta mempersiapkan
kebutuhan keluarga.
Di samping itu, perbedaan penilaian antara laki-laki dan perempuan dapat
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut.
1) Secara biologis, fisik pria relatif lebih kuat di-bandingkan dengan fisik
perempuan. Hal ini berkaitan dengan produktivitas fisik, terutama dalam
hal pekerjaan.
2) Secara psikologis, mendidik dan membesarkan anak perempuan relatif
lebih sulit dan berat dibandingkan dengan anak laki-laki. Mendidik anak
perempuan apabila terlalu protektif, anak akan menjadi tertekan, namun
apabila terlalu longgar, si anak akan terjebak dalam pergaulan bebas yang
akan merugikan dirinya sendiri.
3) Adanya pandangan bahwa anak laki-laki adalah penerus garis keturunan
keluarga. Pandangan semacam ini, lebih khusus ada dalam masyarakat
yang menganut sistem kekerabatan patrilineal, di mana lakilaki memang
menjadi penerus garis keturunan keluarga.
c. Diferensiasi Umur (Age Differentiation)
Hingga saat ini, dalam masyarakat kita, berkembang pandangan bahwa
lansialah yang menentukan segala kebijakan yang diterapkan dalam kehidupan
bermasyarakat dan yang paling berpengaruh adalah lansia. Keadaan itu tidak
hanya berlaku pada masyarakat tradisional tetapi juga pada masyarakat feodal.
Apalagi jika menyangkut hubungan orang tua dan anak dalam sebuah keluarga,
anak tidak mempunyai hak untuk menentukan kebijakan. Apa yang dikatakan
orang tuanya benar dan perlu dilakukan. Anak yang tidak menuruti perkataan
orang tuanya merupakan pembangkangan dan anak tidak lagi dianggap sebagai
bagian dari institusi yang ada. Namun di zaman modern, perbedaan sosial tidak
lagi mengacu pada siapa yang berkuasa dan siapa yang dikuasai, melainkan
perbedaan usia dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.
2. Parameter Sosiokultural (Agama)

11
a. Diferensiasi Agama (Religion Differentiation)
Diferensiasi sosial berdasarkan perbedaan agama terwujud dalam
kenyataan sosial bahwa masyarakat terdiri atas orang-orang yang menganut
suatu agama tertentu termasuk dalam suatu komunitas atau golongan yang
disebut dengan umat7. Seperti pada penggolongan yang lainnya, agama juga
tidak menunjukkan adanya tingkatan-tingkatan secara hierarkis, artinya tidak
berarti suatu agama tertentu lebih tinggi tingkatannya dari agama yang lainnya.
Lebih tegas, diferensiasi berdasarkan agama ini jangan sampai dijadikan
pembeda tingkatan dalam interaksi sosial dalam masyarakat. Karena apabila
perbedaan ini dibesar-besarkan, yang terjadi justru ketidakharmonisan dalam
hubungan bermasyarakat.
b. Diferensiasi Profesi (Profession Differentiation)
Masyarakat terbagi atas lapisan-lapisan sosial yang didasarkan pada
ukuran ilmu pengetahuan, kekayaan, kepangkatan, kekuasaan, dan kehormatan.
Namun demikian ukuran tersebut tidak bersifat mutlak. Ukuran itu didasarkan
pada diferensiasi profesi masing-masing yang ditentukan oleh status sosial
dalam masyarakat.
Profesi adalah suatu pekerjaan yang untuk dapat melaksanakannya
memerlukan keahlian. Diferensiasi profesi merupakan diferensiasi yang
diciptakan oleh manusia sendiri. Bentuk diferensiasi ini dimaksudkan untuk
menggolongkan penduduk berdasarkan jenis profesi atau pekerjaan yang
merupakan sumber penghasilan yang dimilikinya8. Dalam masyarakat kita
mengenal adanya berbagai profesi, seperti TNI, guru, dokter, hakim, dan lain
sebagainya sesuai dengan bakat serta keahlian masing-masing. Perbedaan
tersebut menyebabkan diferensiasi sosial.
c. Diferensiasi Klan (Clan Differentiation)
Kesatuan terkecil dari kerabat unilateral disebut dengan klan. Dalam klan,
masyarakat yang bertalian darah (genealogis) dipengaruhi oleh faktor pertalian
darah yang sangat kuat, sedangkan masyarakat yang bertalian dengan faktor

7
‘Pengertian_Diferensiasi_Sosial.Docx’, n.d., 3.
8
‘INDIVIDU_SOSIOPATIK_DAN_REAKSI_SOSIAL.Doc’, n.d., 5.

12
teritorial (daerah) hampir tidak tampak. Tiap-tiap orang merasa ada pertalian
darah antara satu dengan yang lainnya, sebab mereka merasa satu keturunan
(sama leluhurnya). Begitu juga kelangsungan hak dan kewajiban diurus dalam
suatu kelompok, di mana anggota kelompok itu ditentukan berdasarkan garis
keturunan laki-laki atau perempuan.
Dari uraian tersebut kita dapat mengidentifikasi, bahwa ciri-ciri klan adalah
sebagai berikut9.;
1) Ikatan kekerabatannya berdasarkan persamaan leluhur atau pertalian darah.
2) Hubungan antaranggota sangat erat.
3) Pemilihan pasangan hidup diatur menurut prinsip endogami (pemilihan
pasangan di dalam klan).
4) Merupakan kelompok kerja sama abadi.
Klan-klan atau kelompok yang ada dalam masyarakat menganut system
kekerabatan yang berbeda-beda. Sistem kekerabatan yang umum berlaku ada
tiga macam, yaitu patrilineal, matrilineal, dan bilateral atau parental.
1) Sistem Kekerabatan Patrilineal
Sistem kekerabatan patrilineal adalah system kekerabatan yang menarik
garis keturunan dari pihak ayah atau laki-laki. Di negara kita, sistem
kekerabatan ini antara lain dianut oleh masyarakat Batak.
2) Sistem Kekerabatan Matrilineal
Sistem kekerabatan matrilineal adalah system kekerabatan yang menarik
garis keturunan dari pihak perempuan atau ibu. Di negara kita, sistem
kekerabatan ini antara lain dianut oleh masyarakat Minangkabau.
3) Sistem Kekerabatan Bilateral atau Parental
Sistem kekerabatan bilateral adalah system kekerabatan yang menarik
garis keturunan dari kedua belah pihak, baik dari laki-laki atau ayah
maupun dari perempuan atau ibu. Di negara kita, sistem kekerabatan ini
antara lain dianut oleh masyarakat Jawa.

9
‘MAKALAH_SOSIOLOGI_ANTROPOLOOGI_Diferensi.Docx’, n.d., 3.

13
4) Diferensiasi Suku Bangsa (Tribal Differentiation)
Suku bangsa adalah segolongan manusia yang terikat oleh identitas dan
kesadarannya yang diperkuat oleh adanya kesamaan bahasa dan
kebudayaan.
Menurut Koentjaraningrat10, suku bangsa atau ethnic group
didefinisikan sebagai suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran
dan identitas akan persatuan kebudayaan, di mana kesadaran dan identitas
tersebut seringkali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa.
Kesamaan bahasa, adat istiadat, maupun kesamaan nenek moyang
merupakan ciri dari suatu suku bangsa.
Ciri-ciri mendasar suatu kelompok disebut sebagai suku bangsa antara
lain sebagai berikut.
a) Tipe fisiknya sama.
b) Bahasa daerahnya sama.
c) Adat istiadatnya sama.
d) Kebudayaan dan penafsiran terhadap norma-norma pergaulannya sama.
Konsep suku bangsa tidak sesederhana definisi di atas. Hal ini
disebabkan oleh kenyataan bahwa batas-batas dari kesatuan manusia yang
merasakan diri terikat oleh keseragaman kebudayaan itu dapat meluas atau
menyempit seiring dengan terjadinya percampuran antarsuku bangsa dari
berbagai daerah yang kemudian tinggal bersama dalam satu daerah yang
sama sebagai satu kelompok masyarakat.
10
‘Pengertian_Diferensiasi_Sosial.Docx’, 10.

14
2.3 Sanksi Sosial Individu Sosiopatik
Sanksi sosial merupakan tindakan langsung yang diterapkan oleh masyarakat
terhadap individu yang dianggap memiliki stigma sosiopat. Sanksi ini menghambat
partisipasi sosial mereka dengan cara menghalangi keterlibatan mereka dalam aktivitas
sehari-hari dan melarang mereka untuk memanfaatkan beberapa peran ekonomi atau
sosial tertentu. Sebagai contoh, permohonan kredit mereka dapat ditolak, mereka dapat
dilarang tinggal di suatu daerah, tidak diizinkan bergabung dengan tentara atau
kepolisian, dan sebagainya.Mereka mungkin juga menghadapi penolakan, pengusiran,
atau pengucilan dari masyarakat umum. Contohnya, mantan narapidana kesulitan
mendapatkan pekerjaan yang mudah ditemukan oleh orang normal karena anggota
organisasi sosiopat dianggap sebagai individu yang eksklusif, amoral, dan merusak,
antara lain
Setiap individu dalam masyarakat yang teridentifikasi sebagai sosiopat, baik
sebagai anggota suatu organisasi maupun bertindak secara individu, akan mengalami
sanksi sosial berupa hambatan-hambatan. Hambatan tersebut berupa norma dan
larangan yang membatasi peran sosial mereka yang dianggap berbahaya, merusak, dan
sosiopat. Faktor-faktor seperti jenis kelamin, usia, kondisi fisik, latar belakang
kelahiran, suku bangsa, afiliasi agama, status ekonomi, dan asal kelas sosial juga dapat
memengaruhi identifikasi sosiopat. Mereka disebut sebagai penjahat, orang yang tidak
dapat dipercaya, bahkan dilabel sebagai bekas napi (orang yang dipenjara) yang
memiliki perilaku menyimpang permanen.Pelabelan menyebar dengan cepat ketika
bekas narapidana tersebut baru saja kembali ke tengah keluarga atau
masyarakat.Akibatnya mereka merasa kesulitan untuk melakukan penyesusian diri.
Mereka menjadi stres dan kehilangan orientasi terhadap kehidupan masa depan.Stigma
sosial yang diterima menganggu dan dapat membunuh karakter positif seseorang.
Seorang yang sudah distigma negatif akan merasa malu dan menarik diri dari
lingkungan11
Sebagai contoh, perbandingan antara jumlah wanita dan pria yang terlibat dalam
tindakan kriminal menunjukkan bahwa terdapat lebih sedikit wanita yang melakukan

11
Fitri, W, Perempuan dan Perilaku Kriminalitas: Studi Kritis Peran Stigma Sosial Pada Kasus Residivis
Perempuan, Vol 7, Kafaah: Journal of Gender Studies, 2017,hlm 76

15
tindakan kriminal dibandingkan dengan pria.Namun, lebih banyak wanita yang terlibat
dalam pekerjaan seks komersial (PSK), sementara pria cenderung terlibat dalam
tindakan kriminal daripada menjadi gigolo.Penjelasan untuk perbedaan ini dapat
ditemukan dalam faktor fisik, seperti kekuatan fisik dan keterampilan.Di dunia
kejahatan, wanita seringkali berperan sebagai pembantu, misalnya sebagai umpan atau
mata-mata.
Selain itu, karakteristik demografis dan lingkungan lokal suatu masyarakat juga
dapat membatasi peran individu yang melakukan tindakan menyimpang.Di desa kecil
yang terisolasi, di mana setiap individu saling mengenal dan kontrol sosial memiliki
pengaruh yang kuat, perilaku deviasi sangat jarang terjadi.Sebagai contoh, di Gunung
Bromo, di tengah masyarakat Tengger, tingkat kejahatan, penyimpangan seksual, dan
perilaku sosiopat lainnya hampir tidak pernah terjadi.Jika ada tindakan kejahatan,
pelakunya biasanya berasal dari luar komunitas (pendatang). Sebaliknya, di kota-kota
besar yang mencakup berbagai etnis, adat istiadat, budaya, norma sosial yang lebih
longgar, serta berbagai peran sosial dan peluang, tingkat penyimpangan lebih mungkin
terjadi dan dapat menyebar melalui berbagai proses, seperti identifikasi, peniruan,
penularan psikologis, paksaan, atau inisiatif individu12.
Pendekatan akidah dalam hukum pidana Islam mampu menggeser hukuman
tindakan kriminal dari materiil menjadi non-materiil.Dalam pidana Islam terdapat
hukuman dalam bentuk puasa, memerdekakan budak dan memberi makan orang miskin.
Dalam beberapa ayat Al-Qur‟an menjadikan puasa sebagai bentuk sanksi, sebagaimana
dalam Surah An-Nisa ayat 92:

“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin
karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman

12
Burlian, P, Patologi Sosial (Jakarta :PT.Bumi Aksara, 2016) hlm. 61

16
serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika
mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang
ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh)
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) sertamemerdekakan
hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah
ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada
Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Surah Al-Baqarah ayat 196:

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah.Jika kamu terhalang
oleh musuh atau karena sakit, maka sembelihlah korban yang mudah didapat, dan
jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat
penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya
(lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau bersedekah
atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin
mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih)
korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau
tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi)
apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu
(kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di
sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan
bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya”.
Penerapan hukuman berupa puasa sebagai alternatif dari hukuman penjara,
cambuk, dan jenis hukuman lainnya menghasilkan dampak pada individu
pelaku.Hukuman ini memungkinkan pelaku untuk menghindari perilaku kriminal dan
perbuatan jahat, bahkan tanpa perlu menghadapi konsekuensi hukuman berupa sanksi

17
materiil.Dengan peninjauan lebih mendalam, pendekatan hukuman semacam ini tampak
lebih mempertimbangkan kondisi individu yang terlibat dalam tindak kejahatan.13
2.4 Mobilitas Individu Sosiopatik
Secara umum, individu dan kelompok yang terlibat dalam perilaku menyimpang
sering memiliki tingkat mobilitas yang tinggi.Orang-orang dengan mobilitas vertikal
dan spasial yang rendah biasanya memiliki keterbatasan dalam pergerakan mereka
karena dipengaruhi oleh anggota kelompok atau lingkungan sekitarnya.Mereka
memiliki hubungan yang erat dengan anggota kelompok mereka sendiri. Di sisi lain,
individu yang merasa ditolak oleh lingkungan mereka, tidak memiliki tempat, dan
kesulitan beradaptasi dengan anggota kelompok mereka, cenderung memiliki keinginan
untuk meninggalkan daerah tempat tinggal mereka. Mereka ingin bermigrasi ke
masyarakat dengan struktur organisasi yang berbeda.Seringkali, mereka berpindah-
pindah tempat tinggal untuk memperluas komunikasi mereka dan memiliki ruang gerak
yang lebih luas atau lebih bebas.
Kriminal biasanya adalah individu dengan tingkat mobilitas yang tinggi, tetapi
pada kenyataannya, mereka terisolasi dari sebagian besar masyarakat normal.Mereka
seringkali terpaksa meninggalkan pola hidup keluarga karena risiko besar ditangkap dan
dipenjara.Mereka selalu berisiko terlibat dalam urusan dengan polisi.Oleh karena itu,
dorongan seksual mereka sering disalurkan melalui hubungan dengan wanita-wanita
yang terlibat dalam perilaku tidak etis secara rahasia.Hubungan mereka dengan anggota
masyarakat normal sangat terbatas dan tidak dekat. Mereka mudah dikenali dengan
curiga oleh masyarakat umum, penjahat lokal lainnya, polisi, dan penguasa
setempat.Individu yang dianggap sebagai individu yang tidak diterima oleh masyarakat
tidak akan mendapatkan pengampunan atas perilaku menyimpang mereka. Hal ini
menyebabkan mereka diasingkan atau bahkan diusir sepenuhnya dari partisipasi sosial
dalam masyarakat, dan secara geografis memiliki komunikasi yang sangat terbatas
dengan daerah luar.Jika seorang pemimpin daerah (seperti kepala kampung atau
kelompok) menganggap individu tersebut berbahaya, maka individu tersebut dapat

13
Haq, I, Kriminalitas dalam Persfektif Akidah dan Syariat. Vol 18 Jurnal Hukum Islam IAIN
Pekalongan, 2020, hlm 112

18
ditolak sepenuhnya atau diusir dari daerah tersebut. Tekanan sosial yang berasal dari
pemimpin memiliki pengaruh yang sangat kuat14.
2.5 Organisasi Sosiopatik
Organisasi Sosiopatik adalah suatu istilah yang biasa digunakan untuk
menggambarkan organisasi yang memiliki karakteristik yang mirip dengan sosiopat
atau psikopat dalam konteks individu. Namun, penting untuk diingat bahwa sosiopat
bukanlah entitas hidup dengan kesadaran atau niat manusia, melainkan istilah yang
digunakan untuk menggambarkan perilaku dan praktik yang berpotensi membahayakan
yang terjadi dalam organisasi.
Di bawah ini adalah beberapa ciri atau tanda yang mungkin ada pada organisasi
sosiopatik:
1. Tidak memiliki empati:
Organisasi mungkin tidak peduli dengan kepentingan atau kesejahteraan karyawan,
pelanggan, atau masyarakat. Keputusan dibuat lebih berdasarkan keuntungan finansial
dibandingkan dampak sosial atau etika.

2. Manipulatif:
Organisasi-organisasi ini biasanya menggunakan taktik manipulatif atau terselubung
untuk mencapai tujuan mereka, termasuk memanipulasi informasi, berbohong kepada
pihak yang terlibat, atau memanfaatkan pihak lain demi keuntungan mereka sendiri.

3. pribadi diutamakan:
Pemimpin organisasi atau individu bisa saja mengutamakan kepentingan individu atau
kelompok tertentu di atas kepentingan organisasi secara keseluruhan.

4. Ketidakpatuhan terhadap hukum dan etika:


Organisasi-organisasi ini mungkin sering melanggar undang-undang yang berlaku atau
standar etika bisnis atau sosial. Mereka mungkin terlibat dalam aktivitas ilegal atau
tidak etis seperti penipuan, korupsi, atau pemalsuan dokumen.

5. Tidak bertanggung jawab:


Organisasi-organisasi ini mungkin cenderung menghindari tanggung jawab atas
tindakan mereka, baik secara hukum maupun etika. Mereka mungkin mencoba
menghindari konsekuensi negatif dari tindakan mereka.

6 Kekuasaan dan kendali yang berlebihan:


Organisasi-organisasi ini mungkin mempunyai struktur yang sangat terpusat dan
hierarkis, dengan sedikit transparansi dan akuntabilitas. Hal ini memungkinkan
individu atau kelompok tertentu untuk menjalankan kendali penuh atas organisasi tanpa
pengawasan yang memadai

14
Burlian, P, Patologi Sosial (Jakarta :PT.Bumi Aksara, 2016) hlm. 61

19
.
7.Terus berubah:
Organisasi sosiopat mungkin sering mengalami pergantian kepemimpinan atau
perubahan struktural yang tidak stabil. Hal ini dapat disebabkan oleh konflik internal,
kebijakan yang tidak konsisten, atau persyaratan yang tidak realistis.

2.6 Kebudayaan Eksploratif


Eksplorasi budaya adalah suatu konsep yang mencakup praktik, aktivitas, atau
tindakan yang mendorong eksplorasi, penemuan, dan penemuan berbagai aspek budaya.
Hal ini menyangkut upaya memahami, mengapresiasi dan menyerap berbagai bentuk
kebudayaan yang ada di dunia ini.
Dalam kebudayaan eksploratif, seseorang pada umumnya akan melakukan hal-hal
seperti:
1. Perjalanan dan eksplorasi geografis:
Kunjungi banyak tempat di seluruh dunia untuk memahami budaya, tradisi, masakan,
bahasa, dan banyak lagi. lokalitas.
2. Studi budaya:
Mempelajari berbagai aspek budaya seperti seni, musik, sastra, sejarah dan agama dari
berbagai budaya dunia.
3. Berpartisipasi dalam acara kegiatan budaya:
Menghadiri festival, pameran seni, konser, dan acara budaya lainnya yang merayakan
warisan budaya beragam komunitas.
4.Berinteraksi dengan kelompok sosial yang berbeda:
Berinteraksi dengan orang-orang dari latar belakang etnis, agama, dan budaya yang
berbeda untuk memahami pandangan dunia dan nilai-nilai mereka.
5. Belajar bahasa:
Pelajari bahasa asing untuk dapat berkomunikasi dan memahami lebih baik dengan
orang-orang dari budaya berbeda.
Kebudayaan Eksploratif bertujuan untuk meningkatkan pemahaman, toleransi dan kerja
sama antar budaya. Hal ini juga dapat membantu individu mengembangkan pandangan
yang lebih luas tentang dunia dan menjadi lebih terbuka terhadap perbedaan budaya.
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan tujuan masalah dari makalah ini, dapat disimpulkan bahwa,

20
1. Individu sosiopatik adalah individu yang berperilaku menyimpang dari norma sosial
dan seringkali memiliki karakteristik seperti kurangnya empati, penipuan, dan
ketidakmampuan untuk mengikuti norma budaya yang berlaku. Masyarakat
memiliki berbagai pandangan terhadap individu sosiopatik, yang dapat mencakup
reaksi represif dan preventif. Reaksi represif mencakup tindakan hukuman dan
penindasan terhadap individu sosiopatik, sementara reaksi preventif mencakup
tindakan pencegahan agar perilaku menyimpang tidak terjadi.
Diferensiasi sosial dapat memainkan peran penting dalam munculnya perilaku
menyimpang. Diferensiasi sosial mencakup perbedaan berdasarkan ras, jenis
kelamin, agama, profesi, suku bangsa, dan usia. Faktor-faktor ini dapat
memengaruhi bagaimana individu diidentifikasi dan diperlakukan dalam
masyarakat.
2. Sanksi sosial terhadap individu sosiopatik dapat berupa penolakan, pengucilan, dan
pembatasan terhadap peran sosial mereka. Masyarakat sering kali memberikan
stigma negatif kepada individu sosiopatik, yang dapat memengaruhi kehidupan
mereka secara signifikan.Pidana Islam juga memiliki pendekatan yang berbeda
terhadap sanksi terhadap tindakan kriminal, termasuk sanksi dalam bentuk puasa,
memerdekakan budak, dan memberi makan orang miskin. Pendekatan ini
menggeser fokus dari hukuman materiil ke hukuman non-materiil.
3. Ttingkat mobilitas individu dapat memengaruhi perilaku menyimpang, dengan
tingkat mobilitas yang rendah sering kali berhubungan dengan keterbatasan dalam
pergerakan dan hubungan yang erat dengan kelompok mereka. Di sisi lain, individu
yang merasa ditolak atau sulit beradaptasi dapat cenderung bermigrasi ke
masyarakat yang berbeda. Kriminalitas sering dikaitkan dengan mobilitas tinggi,
tetapi kriminal sering terisolasi dari masyarakat normal dan memiliki hubungan
terbatas
3.2 Saran
Dalam konteks makalah ini,, diperlukan peninjauan lebih lanjut untuk mendalami
faktor-faktor yang mempengaruhi mobilitas individu dan kelompok dalam masyarakat,
dan bagaimana faktor-faktor ini berkaitan dengan perilaku menyimpang. Selanjutnya,
penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan pemimpin lokal tentang

21
pentingnya inklusi sosial dan penanganan perilaku menyimpang secara lebih bijak
daripada mengusir individu yang terlibat dalam perilaku tersebut.Dengan demikian,
upaya dapat dilakukan untuk mengurangi stigmatisasi dan isolasi yang sering dialami
oleh individu yang dianggap tidak diterima oleh masyarakat.

22
DAFTAR PUSTAKA

Adiansyah dkk. (2023). Patologi Sosial Bimbingan Konseling.Pontianak : Kamojoyo


Press
Burlian, P. 2016. Patologi Sosial.Jakarta :PT.Bumi Aksara
Davidson C.G; Neale.J; Kring A.M.2004.Psikologi Abnormal. Alih Bahasa
Noermalasari Fajar. Jakarta: Raja Grafindo.
Fitri, W. (2017). Perempuan dan Perilaku Kriminalitas: Studi Kritis Peran Stigma Sosial
Pada Kasus Residivis Perempuan. Kafaah: Journal of Gender Studies, 7(1), 67-
78.
Haq, I. (2020). Kriminalitas dalam Persfektif Akidah dan Syariat. Jurnal Hukum Islam
IAIN Pekalongan, 18(1), 103-120.
Kartini Kartono. 1997. Patologi Sosial 1 (edisi baru). Jakarta Rajawali Perss.
Mudjiran, 2002, Patologi Sosial Jilid 1. Padang : FIP IKIP Padang
Rosana,E, Modernisasi dan Perubahan Sosial , vol 7 TAPIs, 2011, hal 1–30.

23
i

Anda mungkin juga menyukai