Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

SOSIOLOGI DAKWAH

“PERSPEKTIF DAKWAH DAN PERSPEKTIF GEJALA SOSIAL”

Dosen Pengampu:

Fahma Islami, M. Si.

Disusun Oleh:

Muhammad Hafizh Alifuddin ( 181510085)

Adanani (

Wini Saeptiani (181510096)

Elsyah Yuniarti (181510097)

KPI 4/C

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN

2019/2020
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Masalah

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Perspektif Dakwah dalam masyarakat

2.2 Perspektif Dakwah dalam Al-Quran

a. Epistemologi Dakwah Sosial


b. Ontologi Dakwah Sosial
c. Aksiologi Dakwah Sosial

2.3 Perspektif Gejala Sosial terhadap Dakwah sosial

BAB III PENUTUP

3.1 Kritik dan Saran

3.2 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perspektif Dakwah dalam Masyarakat

Dakwah secara etimologis berasal bahasa Arab yaitu da’a- yad’i- da’watan,yang artinya
mengajak, menyeru, dan memanggil. Dakwah secara terminology diungkapkan secara langsung
oleh Allah SWT dalam ayat Al-Qur’an. Kata dakwah di dalam Al-Qur’an diungkapkan sekitar
198 kali yang tersebar dalam ayat 55 surat ( 176 ayat). Kata dakwah oleh Al-Qur’an di gunakan
secara umum. Artinya, Allah masih menggunakan istilah da’wah il Allah ( dakwah islam) dan
da’wah ila nar ( dakwah setan). Oleh karena itu, dalam tulisan ini dakwah dimaksud adalah
da’wah il Allah ( dakwah islam) tabligh, amar ma’ruf dan nahi munkar, mau’idzhoh hasanah,
tabsyir, washihah, tarbiyah, ta’lim, dan khotbah.

Sosiologi dakwah mengacu pada unsur-unsur dan wilayah telaah sosiologi terhadap
fenomena dakwah, maka sosiologi dakwah berusaha mencari batasan lebih empiris terhadap
kajian dakwah sebagai sebagai bentuk interaksi sosial dakwah, yaitu sisi sosiologis dalam agama.
Dakwah islam yang cenderung ideologis menitik beratkan pada upaya legalisasi nilai-nilai
agama dan menyebarkannya kepada manusia sehingga tampak sekali akan selalu berurusan
dengan persoalan organisasi sosial dakwah dan lembaga dakwah. Sosiologi dakwah juga
menelaah bagaimana interaksi antara da’i dan sasaran dakwah (mad’u), da’I dengan da’I, dan
mad’u dengan sesamanya1.

Perspektif sosiologi dakwah secara realitas inilah salah satu fenomena kehidupan di
masyarakat yang dilansir dalam surah Al-Qur’an surah al-Baqarah [2]: 251 yang artinya
“Seandainya Allah tidak menolak ( kegagasan) sebagian manusia dengan sebagian yang
lain,pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia ( yang dicurahkan) atas semesta
alam.” Ayat ini mengisyaratkan bahwa keragaman ( plularisme) individu dalam masyarakat
mesti dipahami sebagai kemurahan tuhan dan suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia
melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Oleh karena itu, selama

1
Acep Aripudin, Sosiologi Dakwah, 2016, ( PT Remaja Rosdakarya: Bandung), h. 14-15.
individu-individu dalam masyarakat mampu menghayati makna substantif dari kehidupan
bersama ini dan mampu memosisikannya pada hubungan yang bersifat fungsional, maka
diintergrasi dalam kehidupan masyarakat tidak akan terjadi. Sebab, sungguhpun kehadiran
individu-individu dalam masyarakat memiliki ( membawa) potensi konflik, akan tetapi secara
dominan mereka berwatak peka, toleran, mengayomi, mendamaikan, dan menyatukan.2

Analisis tersebut mengisyaratkan betapa pentingnya hubungan individu dan masyarakat.


Individu dan masyarakat tidak mungkin di pisahkan satu sama lain. Kebebasan sebagai individu
tidak mungkin di pikirkan tanpa adanya ikatan dan ketertarikan dengan orang lain. Jadi, antara
individu dan masyarakat ini terdapat suatu hubungan yang bersifat timbal-balik, di mana tiap-
tiap individu menghidupi masyarakatnya, dan tiap-tiap masyarakat menghidupi individu-
individunya. Perspektif sosiologi dakwah,

kualitas tanggung jawab sosial individu terhadap sesamanya dalam kehidupan di


masyarakat setidaknya dapat di ukur oleh tiga hal:

1) Seberapa besar kesungguhan dan kedisiplinan individu dalam memerankan fungsi-fungsi


sosialnya dalam kehidupan masayarakat.
2) Seberapa besar kepekaan dan kepedulian individu terhadap persoalan-persoalan yang di
hadapi masyarakat.
3) Seberapa besar kesabaran individu untuk menekan benih-benih konflik dengan
sesamanya dalam kehidupan di masayarakat.

2.2 Perspektif Dakwah dalam Al-Quran

Dakwah sebagai sebuah konsep yang komprehensif telah di jelaskan dalam Al-Qur’an
tetapi penjelasan yang ada dalam Al-Qur’an tersebut tentu saja masih harus dielabolasi dan di
kontekstualisasikan dalam setiap kepentingan ruang dan waktu yang berbeda.

Ditinjau dari konsep epistemologi, ontologi, dan asksiologi maka Al-Qur’an sebagai pijakan
konsep dasar dakwah. Dibawah ini penjelasan terperincinya:

2
Syamsuddin AB, Pengantar Sosiologi Dakwah, 2018, ( Predanamedia Group: Jakarta), h. 46-47.
a. Epistemologi Dakwah Sosial

Secara epistemologis, Al-qur’an mengisyaratkan beberapa hal dakwah sosial yaitu:

1. Visi misi utama dalam dakwah sosial tidak terlepas dengan manusia sebagai objek utama
Al-qur’an. Dengan begitu fungsi dan tugas manusia yaitu ; hablun min Allah, hablun min
an-nas, dan hablun ma’a al-alam.
2. Tanggung jawab manusia sebagai ‘ibadullah dan fungsinya sebagai khalifah fi al-ardh.3
b. Ontologi Dakwah Sosial

Berdasarkan kajian tentang terma-terma dakwah yang dikenalkan Al-Qur’an sebagai kitab
dakwah dapat ditarik beberapa kesimplan:

1. Eksistensi Al-qur’an dalam konteks dakwah, selain sebagai materi dakwah juga sebagai
pesan moral yang mengandung nilai filosofi dakwah sehingga dapat dijadikan sebagai
“kitab dakwah” yang menjadi rujukan uatama dan autentik.
2. Isyarat dalam ontologi dakwah dapat diambil dalam Al-qur’an, diantaranya: mengenalkan
sejumlah terma dalam konep dakwah. Terma yang paling populer yaitu “ad-da’wah ila
al-khayr, al-amr bi al-ma’ruf dan an-nahy ‘an al-munkar”.
3. Dalam terma al-khayr dikonotasikan sebagai nilai kebenaran (etika dan moral) prinsipel
dan universal, dan tidak terikat ruang dan waktu. Adapun al-ma’ruf yaitu nilai kebenaran
yang sudah dikenal secara kultural.
4. Terma dakwah dalam Al-qur’an diekspresikan dalam bentuk kata kerja dan adapula yang
menggunakan kata kerja perintah.
5. Secara profesional, tampil para pemimpin umat yang berperan membawa masyarakat ke
arah pembinaan dan perbaikan masa depan umat (yahduna fi al-khayrat).
6. Terma yang secara umum alam dakwah, yaitu: tabligh, tarbiyyah, ta’lim, tabsyir, tandzir,
taushiyah, tadzkir, dan tanbih.4

3
Syamsudin, Pengantar Sosologi Dakwah, hal. 51
4
Syamsudin, Pengantar Sosiologi Dakwah, hal. 53.
c. Aksiologi Dakwah Sosial

Al-Qur’an menegaskan bahwa tujuan dakwah pada dasarnya dikategorikan dalam empat
bentuk, yaitu: tujuan ideal adalah terciptanya situasi kondisi dar as-salam atau an-nur, tujuan
institusional adalah tegaknya tanggung jawab kekhalifahan, sedangkan tujuan konstitusionalnya
adalah tegaknya tata aturan ibadah dan muamalah sesuai dengan ajaran, operasionalnya adalah
tegaknya al-birr, al-haqq, al-khayr, dan al-ma’ruf dalam wujud makarim al-akhlak.5

2.3 Perspektif Gejala Sosial terhadap Dakwah sosial

Jika kita perhatikan, dakwah yang berkembang saat ini belum berpijak pada pemahaman
kondisi sosial yang memadai, di antaranya tema-tema dakwah yang di sajikan banyak yang
kehilangan relavansi dengan isu-isu, masalah-masalah,dan kebutahan yang berkembang di
masyarakat. Dakwah yang berkembang di masyarakat keberhasilan di ukur kuantitas jumlah
pengunjung, sementara bagaimana perkembangan masyarakat selanjutnya sebagai sasaran utama
dakwah jarang dipikirkan, malah proses dakwah yang berkembang cenderung lebih banyak
“menguntungkan” para da’I ketimbang masyarakat yang diserunya misalnya betapa banyak da’I
yang di lambungkan status sosial, ekonomi, atau politiknya setelah laris “dipakai” berbagai
majelis taklim.

Namun tidak demikian halnya dengan dengan kondisi masyarakat yang diserunya,
keadaan mereka tetap diperhatikan. Sehingga proses dakwah hanya melahirkan struktur
masyarakat baru dimana para da’I menjadi elite sementara masyarakat tetap berada di struktur
bawah, miskin, dan terpinggirkan. Bila etos dakwah yang berkembang di masyarakat masih terus
seperti ini, maka tidak mustahil umat islam akan kehilangan kreativitas, budaya berpikir kritis,
dan kegaraihan bertindak dalam kehidupannya di masyarkat.

Dengan demikian, gerakan dakwah yang sekarang berkembang belum mampu secara
optimal membangkitkan dan menumbuhkan minat masyarakat untuk mengkaji, berpikir kritis,
dan mengembangkan kreativitas. Masyarakat di beri ruang kebebasan untuk mengubah
keadaanya sendiri. Masayarakat dibangun kesadarannya bahwa sesungguhnya semua anggota
masyarakat adalah da’I bagi dirinya sendiri, yang tak mungkin terjadi perubahan berarti bila ia
tidak mau mengubah apa yang ada pada dirinya sendiri. Dengan begitu, esensi dakwah justru
5
Syamsudin, Pengentar Sosiologi Dakwah, hal. 54.
tidak mencoba mengubah masyarakat, tetapi menciptakan suatu ruang, peluang, atau kesempatan
sehingga masyarakat akan mengubah dirinya sendiri.6

2.4 Perspektif Agama sebagai sistem sosial


Agama merupakan suatu kepercayaan tertentu yang dianut sebagian besar masyarakat
merupakan tuntunan hidup. Agama menyangkut kepercayaan-kepercayaan dan berbagai
prakteknya, serta benar-benar masalah sosial saat ini sanantiasa di temukan dalam setiap
masyarakat manusia. Karena itu, bagaimana itu seharusnya dari sudut pandang sosiologis. Dalam
pandang sosilogi, perhatian utama agama adalah pada fungsinya bagi masyarakat. Dimana
fungsi ketahui, menunjuk sumbangan yang di berikan agama atau lembaga sosial yang lain untuk
mempertahankan keutuhan masyarakat sebagai usaha aktif yang berlangsung terus-menurus.
Konsepsi agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalah sistem yang mengatur
tata keimanan ( kepercayaan) dan kepribadatan kepada tuhan yang maha kuasa serta tata kaidah
yang Yusuf alqaradawi dan Hussein shahatah,zakat gaji dan pendapatan sebagi zakat mal al-
mustafad yaitu zakat yang bersumberkan gaji. Agama dengan agama hidup itu terarah, dengan
seni itu hidup indah, dengan ilmu hidup itu mudah,ilmu tanpa agama adalah buta, agama tanpa
ilmu adalah lumpuh pengertian lembaga agama.
Agama sebagai sistem budaya dapat dipelajari dengan metode fenomenologis, yakni
dengan cara melihat, mengamati, dan memperhatikan gejala-gejala keagamaan yang dapat
diobservasi secara cermat. Agama sebagai sistem ideologi yang bersumber dari kepercayaan dan
pengetahuan, melahirkan norma dan nilai-nilai ajaran agama. Agama sebagai sistem budaya,
merupakan konsep antropologis yang diungkapkan Clifford Geertz (1969) dalam pandangan
antropologi, pengalaman agam dianggap sebagai suatu kreasi manusia untuk menuju jalan hidup
yang bervariasi, sesuai latar belakang pengetahuan, kepercayaan, norma, dan nilai-nilai yang
dianutnya.
Sosiologi tentunya senantiasa berusaha memahami hakikat masyarakat dalam kehidupan
kelompok, baik struktur, dinamika, institusi atau interaksi sosialnya. Antropologi berusaha
memahami perilaku manusia ( anthropos) sesuai latar belakang kepercayaan dan kebudayaannya
secara manusia-wi ( humaniora). Dalam analis Telcot person, banyak menggunakan kerangka atas
tujuan ( means and framework). Inti pemikirannya ialah bahwa tindakan sosial itu: (1) di arahkan pada

6
Syamsuddin AB, Pengantar Sosiologi Dakwah, h. 55-58.
tujuan atau ( memiliki sutau tujuan); (2) terjadi dalam suatu situasi, yang beberapa elemennya sudah
pasti, sedangkan elemen-elemen lainnya digunakan oleh yang bertindak sebagi alat penuju tujuan itu;
(3) secara normatif tindakan itu diatur sehubungan dengan penentuan alat dan tujuan. Jadi, komponen
dari tindakan sosial adalah tujuan, sifat, kondisi, dan norma7.

2.5 Tradisi Masyarakat Terhadap Dakwah Sosial


Tradisi merupakan suatu perilaku atau tindakan seseoarang, kelompok atau masyarakat
yang sudah mejadi kebiasaan, diwariskan dari satu generasi kepada genersai beriutnya dan
dilaksanakan secara berulang-ulang. Suatu tradisi biasa disebut juga kebiasaan dilakukan
berdasarkan latar belakang kepercayaan, pengetahuan, norma dan nilai-nilai sosial masyarakat
yang sudah diakui dan dan disepakati bersama.
Al-Jabir dalam Abdullah Ali; (2004) menemukan bahwa makna tradisi berasal dari kata
‘turats’ dalam bahasa Arab (wa-ra-tsa) berarti segala yang diwarisi manusia dari orang tuanya.
Judistira K. Garna (1998 dalam Abdullah Ali, 2004: 7) mengatakan bahwa tradisi yang ada
dalam setiap masyarakat adalah tatanan sosial bentuk hubungan antara unsur-unsur kehidupan
maupun sebagai bentuk aturan sosial yang memberi pedoman tingkah laku dan tindakan anggota
suatu masyarakat, yang hakikatnya tiada lain bertujuan untuk mengembangkan kehidupan
mereka. Sebagaimana yang diungkapkan Suda (1998) bahwa “tradisi sering dipertentangkan
dengan resionalitas atau irasional”. Namun demikian, keberadaan tradisi mempunyai potensi
untuk mendukung lahirhnya suatu kebudayaan yang hakikatnya berakar pada kebiasaan suatu
kelompok dalam masyarakat.8

7
Syamsuddin, Pengantar Sosiologi Dakwah, h. 60-62.
8
Syamsuddi, Pengantar Sosiologi Dakwah, h. 58-60.

Anda mungkin juga menyukai