Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji syukur kami haturkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang
telah memberikan kenikmatan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Etika Dakwah”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita, Nabi
besar Muhammad SAW, besarta sahabat, keluarga dan seluruh pengikut beliau hingga akhir
zaman.

Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini tentunya masih
banyak kekurangan. Oleh sebab itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat
kami harapkan demi perbaikan kami di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.

Ciputat, 20 November 2019

Penyusun
1
BAB II

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai ajakan untuk memikirkan klaim terpenting tentang hidup dan mati,
kebahagiaan atau siksa yang abadi, kebahagiaan dunia atau kesengsaraan, kebajikan dan
kejahatan, maka misi dakwah harus dilaksanakan dengan integritas penuh
pendakwah dan objek pendakwah. Bila pihak-pihak merusak integritas ini, degan cara
meminta atau menerima suap dengan menerima keuntungan, menerapkan paksaan atau
tekanan, memanfaatkan demi tujuan bukan dijalan Allah, maka ini merpakan
kejahatan besar dalam berdakwah atau dakwah islam menjadi tidak sah. Dakwah
islam itu harus dijalankan dengan serius, melalui aturan-aturan yang benar sehingga
diterima dengan komitmen yang sama terhadap kebenaran islam. Objek dakwah harus
merasa bebas dari paksaan, ancaman, serta nila-nilai yang bersifat merusak yang
cenderung untuk anarki.

Karena itu para pelaku dakwah dalam hal ini da’I tidak diperintahkan menyeru
islam begitu saja, ada aturan-aturan yang telah ditetapkan. Jelas dakwah islam
tidak bersifat melontarkan isu-isu yang bersifat fanatis, memaksa, provokatif,
celaan-celan yang menimbulkan permusuhan, dan bukan pula aktivitas-aktiviata yang
bersifat destruktif. Karena etika manusia memandang dakwah yang dipaksakan sebagai
pelanggaran berat, maka itu dakwah islam mengkhususkan penggunaannya secara
persuasif.

B. Rumusan Masalah

1. Apa penegertian dari etika?

2. Apa saja macam etika dakwah?

3. Apa pengertian dari kode etik dakwah?

4. Apa saja macam kode etik dakwah?


5. Apa hikmah dari kode etik dakwah?
C. Tujuan penulisan

1. Untuk mengetahui dan memahami etika dank ode etik dalam berdakwah.

2. Untuk mengetahui macam-macam etika dan kode etik dakwah.

3. Mengetahui hikmah kode etik dakwah.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Etika

Etika dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai ilmu tentang apa
yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. Secara
terminologis, menurut Ahmad Amin, etika berarti ilmu yang menjelaskan arti baik dan
buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan
tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka, dan
menunjukkan jalan yang seharusnya diperbuat.1
Etika dakwah adalah etika Islam itu sendiri, dimana seorang da’i sebagai seorang
muslim dituntut untuk memiliki etika-etika yang terpuji dan menjauhkan diri dari
perilaku yang tercela.2 Sehingga etika dakwah dapat dirumuskan sebagai manifestasi
dari ethos, yaitu ilmu yang mempelajari aspek-aspek mendalam dari perbuatan
berdakwah, keputusan tindakan dalam dakwah, pertanggung jawaban moral dalam
dakwah, sehingga melahirkan suatu pengetahuan yang bermanfaat dalam membangun
akhlak dakwah.
Baik dan buruk berhubungan dengan kemanusiaan dan sering di kaitkan dengan
perasaan dan tujuan seseorang, tidak berlaku umum dan merata. Seorang yang
menganggap suatu perbuatan itu baik, belum tentu di anggap baik pula oleh orang lain,
tergantung pada kebiasaan yang di pakai oleh tiap-tiap kelompok. Meskipun demikian,
etika berlainan dengan adat, karena adat hanya memandang lahir, melihat tindakan
yang di lakukan, sementara etika lebih memperhatikan hati dan jiwa orang yang
melakukan
`dengan maksud apa dilakukan.

B. Macam-Macam Etika Dakwah

Beberapa etika dakwah yang hendaknya di lakukan oleh para juru dakwah dalam
melakukan dakwahnya antara lain sebagai berikut.

1 Enjang AS. Etika Dakwah. Bandung: Widya Padjadjaran 2009


2 Ali Mustafa Yaqub. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. Pejaten Barat: Pustaka Firdaus(2000: 36) Cet.2
1. Sopan
Sopan berhubungan dengan adaan adat dan kebiasaan yang berlaku secara umum
dalam tiap kelompok. suatan kebiasaan yang berlaku secara umum dalam tiap
kelompok. Suatu pekerjaan di anggap tidak sopan, tatkala bertentangan dengan
norma-norma yang berlaku di suatu komunitas.
Standar atau ukuran suatu kesopanan bagi masing-masing komunitas tidak sama.
Masing-masing memiliki standar sendri, akan tetapi aturan yang berlaku umum
dapat di jadikan rujukan dalam menentukan suatu standar kesopanan.
Kesopanan harus kita pelihara dalam perbuatan dan pembicaraan. Sesuatu yang
kita lahirkan di dalam dan di luar pembicaraan, cara mengenakan pakaian, harus di
jaga serapi mungkin, sehingga tidak melanggar norma-norma tertentu dan tidak
membosankan. Gerak-gerak yang tetap dan berulang-ulang akan membosankan bagi
penerima dakwah. Sekali-kali seorang da’i harus berlainan dalam melakukan gerak
gerik, seperti memandang ke depan, kekiri, kekanan atau kebelakang dalam batas-
batas kesopanan dengan tetap memperhatikan respons dari pembicaraan yang
diucapkan. Cara berpakaian dan bentuk pakaian yang dikenakan harus dijaga sebaik
mungkin, tidak mencolok, dan tidak bertentangan dengan adat kebiasaan masyarakat
setempat. Yang perlu diingat oleh da’i adalah ia bertindak sebagai mubaligh yaitu
penyampaian ajaran kebenaran islam atau, bukan sebagai peragawan atau peragawati
ataupun model. Karena itu kesopanan dan kepantasan menjadi hal yang harus
dipertimbangkan oleh da’i dalam melakukan aktivitas dakwahnya
Cara berpakaian dan cara berbuat yang meskipun bertentangan dengan kebiasaan
masyarakat, tetapi masih dapat diterima kehadirannya, yaitu dalam unsur propaganda
yang disebut “Flain fleks device”, yaitu berbuat yang sebagai biasa dilakukan oleh
rakyat biasa. Umpamanya seorang da’i mengenakan kain sarung dan berpeci dalam
suatu acara umum. Akan tetapi, hal itu harus dilakukan dalam batas-batas tertentu,
sehingga perhatian kepada pakaian yang dikenakan tidak boleh lebih besar dari pada
perhatian kepada isi ceramah da’i atau mubaligh tersebut.
Tindakan dan sikap yang dilakukan oleh da’i juga harus sejalan dengan
pembicaraan yang disampaikan. Pembicaraan yang disampaikan haruslah benar,
tidak
5
menyampaikan berita bohong dan memutarbalikan keadaan yang sebenarnya. Dalam
istilah propaganda hal demikian disebut “card stancking device”, yaitu tindakan dan
sikap yang dilakukan sejalan dengan pembicaraan yang disampaikan, tidak
mengada- ada bahkan menyampaikan berita bohong ataupun memutarbalikan
kenyataan. 3
2. Jujur
Dalam menyampaikan aktivitas dakwah, hendaklah da’i menyampaikan suatu
informasi dengan jujur. Terutama dalam mengemukakan dalil-dalil pembuktian.
Kemahiran dalam mempergunakan kata-kata mungkin dapat memutarbalikan
persoalan yang sebenarnya, jadi da’i harus dapat menyampaikan sesuatu yang keluar
dari lisannya dengan landasan kejujuran dan faktual. Seorang da’i tidak boleh
berkata bohong apalagi sengaja berbohong dalam suatu tema atau topik
pembicaraan. Akibat kebohongan akan fatal akibatnya dan dapat merendahkan
reputasi dari da’i sendiri, apalagi yang disampaikan adalah ajaran-ajaran keagamaan.
Demikian pula apa yang disampaikan oleh da’i atau mubaligh dalam bentuk tulisan,
tidak kurang pentingnya memelihara kejujuran. Apalagi materi dakwah dalam
bentuk tulisan dilihat kembali berdasarkan data yang nyata. Jika ternyata fakta yang
ditulis salah, tentu akan mengakibatkan ketidak percayaan orang lain kepada da’i
tersebut, dan jika hal ini terjadi tentu akan merendahkan kredibilitas da’i tersebut.
Dalam menyampaikan berita, umpamanya dimedia massa atau surat kabar, dapat
terjadi hal-hal yang melanggar etika kejujuran, misalnya dalam:
a. Pencorakan berita (colorization of
news).
Untuk menceritakan sesuatu kejadian pencurian misalnya, dapat saja
diberitakan dalam kalimat yang bermacam-macam, dari membenci pencurian itu
sampai pada menyukai pencurian tersebut. Dapat pula diselipkan
didalamnya pujian, kritik, atau cacian kepada pihak yang berwajib, tergantung
pada kalimat yang dipergunakan. Bahkan berita dalam kalimat yang
sama dapat pula mempunyai kesan yang berlainan bagi pembacanya,
hanya karena berlainan
tempatnya, dilembar tertentu, berdekatan dengan berita lain, dicetak dengan huruf
3 Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, (Jakarta:Amzah ), 2009, hal.242
tebal, diantara tanda petik dan sebagainya. Semua hal itu dapat
menimbulkan
kesan yang lain disebut dengan “colorization of news”.

b. Spekulasi (speculation),

Yaitu tidak menceritakan semua berita, hanya memilih berita yang


menguntungkan kelompok saja, sedang berita yang daapat merugikan tidak
di muat. Sebenarnya tidak semua kejadian di muat di surat kabar, dan surat kabar
tidak selalu mengambarkan kejadian yang sebenarnya dalam arti sedetail-
detailnya. Surat kabar hanya selalu memuat kejadian-kejadian yang di anggap
aktual, hangat, yang menarik perhatian karena jarang atau tidak pernah terjadi.4

3. Tidak Menghasut

Seorang da’i dalam melaksanakan tugas dakwahnya, ia tidak boleh


menghasut apalagi memfitnah, baik kepada pribadi lain maupun kelompok lain yang
berselisih faham. Karena jika itu di lakukan, yang bingung dan resah adalah
masyarakat pendengar sebagai objek dakwah. Masyarakat akan merasa bingung
pendapat da’i yang mana yaang benar dan harus diikuti.

Adapun yang perlu di ingat oleh da’i adalah bahwa dalam melakukan tugas
dakwahnya itu, ia harus menyampaikn kebenaran bukan harus menghasut.
Menyampaikan kebeneran tidak harus di smpaikan dengan menghasut atau bahkan
melakukan provokasi. Tindakan ini sebenarnya tidak cocok di lakukan oleh seorang
da’i. Apalagi jika perselisihan pendapat itu masih dalam tema khilafiyah
(perselisihan faham) yang bukan prinsip dalam agama.

Akan tetapi, jika memang yang di sampaikan adalah masalah penegakan


kebenaran secara hak, maka hendaklah da’i menyampaikan kebenaran
terssebut walau pahit sekalipun. Sebagaimana di sampaikan oleh nabi bahwa,
“sampaikanlah kebenaran walau pahit sekalipun.

4 Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, hal.244

7
C. Pengertian Kode Etik Dakwah

Istilah kode etik lazimnya merujuk pada aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang
mermuskan perilaku benar dan salah. Secara umum etika dakwah itu adalah etika
islam itu sendiri dan pengertian kode etik dakwah adalah rambu-rambu etis yang harus
dimiliki seorang juru dakwah. Namun secara khusus dalam dakwah terdapat kode etik
tersendiri.5
Dan sumber dari rambu-rambu etis bagi seorang pendakwah adalah Al-Qur’an seperti
yang telah dicontohkan Rasulullah SAW.

D. Macam-Macam Kode Etik Dakwah

Adapun kode etik dakwah diantaranya:

1. Tidak Memisahkan Antara Ucapan Dan Perbuatan

Para da’i hendaknya tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan, dalam
artian apa saja yang diperintahkan kepada mad’u, harus pula dikerjakan oleh da’i.
seorang da’i yang tidak beramal sesuai dengan ucapannya ibarat pemanah tanpa busur.
Hal ini bersumber pada QS. Al-shaff:2-3 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan? Amat besar murka
disisi Allah, bahwa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan”.

2. Tidak Melakukan Toleransi Agama

Tasamuh memang dinjurkan dalam islam, tetapi hanya dalam batas-batas


tertentu dan tidak menyangkut masalah agama.

3. Tidak Menghina Sesembahan NonMuslim

5 M. Munir, Metode Dakwah, ( Jakarta:Kencana ), 2003, hal.82

8
Kede Etik ini berdasarkan QS. Al-an’am:108

“dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka


sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan”.

4. Tidak Melakukan Diskriminasi Sosial

Hal ini berdasarkan QS. Abasa:1-2:

“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta
padanya”.

5. Tidak Memungut Imbalan

Dalam hal ini memang masih terjadi perbedaan anatara boleh atau tidaknya
memungut imbalan dalam berdakwah. Ada 3 kelompok yang berpendapat mengenai
hal ini:

a. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa memungut imbalan dalam


berdakwah hukumnya haram secara mutlaq, baik dengan perjanjian sebelumya
atau tidak.

b. Imam Malik bin anas, Imam Syafi’I, membolehkan memungut biaya atau imbalan
dalam menyebarkan islam baik dengan perjanjian sebelunya atau tidak.

c. Al-Hasan al-Basri, Ibn Sirin, Al-Sya’ibi dan lainnya, mereka


membolehkan memungut biaya dalam berdakwah, tapi harus diadakan perjanjian
terlebih dahulu.

6. Tidak Berteman Dengan Pelaku Maksiat

Berkawan dengan pelaku maksiat ini dikhawatirkan akan berdampak buruk,


karena orang yang bermaksiat itu beranggapan seakan-akan perbuatan maksiatnya
itu direstui dakwah, pada sisi lain integritas seorang da’i tersebut akan berkurang.

9
7. Tidak Menyampaikan Hal-Hal Yang Tidak Diketahui

9
Da’i yang menyampaikan suatu hukum, sementara ia tidak mengetahui hukum
itu pasti ia akan menyesatkan umat. Seorang dakwah tidak boleh asal menjawab
pertanyaan orang menurut seleranya sendiri tanpa ada dasar hukumnya. 6 Hal ini
berdasarkan QS. Al- Isra’:36

“dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta
pertanggung jawabannya.”

E. Hikmah Kode Etik Dakwah

Rambu-rambu etis dalam berdakwah atau yang disebut dengan kode etik dakwah
apabila diaplikasiakn dengan sungguh-sungguh akan berdampak pada mad’u atau oleh
sang da’i. pada mad’u akan memperoleh simpati atau respon yang baik karena dengan
menggunakan etika dakwah yang benar akan tergambaar bahwa islam itu merupakan
agama yang harmonis, cinta damai, dan yang penuh dengan tatanan-tatanan dalam
kehidupan masyarakat. Namun secara umum hikmah dalam pengaplikasian kode etik
dakwah itu adalah:

1. Kemajuan ruhani, dimana bagi seorang juru dakwah ia akan selalu


berpegang pada rambu-rambu etis islam, maka secara otomatisia akan memiliki
akhlak yang mulia.

2. Sebagai penuntun kebikan, kode etik dakwah bukan menuntun sang da’i
pada jalan kebaikan tetapi mendorong dan memot ivasi membentuk
kehidupan yang suci dengan memprodusir kebaikan dan kebajikan yang
mendatangkan kemanfaatan bagi sang da’i khususnya dan umat manusia pada
umumnya.

3. Membawa pada kesmpurnaan iman. Iman yag sempurna akan melahirkan


kesempurnaan diri. Dengan bahasa lain bahwa keindahan etika adalah
manifestasi kesempurnaan iman. *Kerukunan antar umat beragama, untuk
membina keharmonisan secara ekstern dan intern diri sang da’i.
6 M. Munir, Metode Dakwah, hal. 92

10
“ETIKA DAN KODE ETIK DAKWAH”
Makalah ini dibuat sebagai Tugas Ilmu Dakwah
Dosen Pengampu: Dra.Jundah M.A.

Semester 3 Manajemen Dakwah kelas C


DIsusun Oleh :

MH.Bagus Fahmi 11180530000103

Faturochman Jamil 11180530000101

Fajri Marhan 11180530000107

Mohamad Ichsan Maulana 11180530000127

PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAKWAH


FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019

Daftar isi
Kata Pengantar

Daftar isi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

B. Rumusan masalah

C. Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN

A.Pengertian Etika

B.Macam-Macam Etika Dakwah

C.Pengertian Kode Etik Dakwah

D.Macam-Macam Kode Etik Dakwah

E.Hikmah Kode Etik Dakwah

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Kritik Dan Saran

Daftar pustaka
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Etika berasal dari kata ethos yaitu untuk suatu kehendak baik yang tetap. Etika
berhubungan dengan soal baik atau buruk,benar atau salah. Etika adalah jiwa atau semangat
yang menyertai suatu tindakan. Beberapa etika dakwah yang hendaknya di lakukan oleh para
juru dakwah dalam melakukan dakwahnya antara lain: sopan, jujur dan tidak menghasut.

kode etik lazimnya merujuk pada aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang


mermuskan perilaku benar dan salah. Secara umum etika dakwah itu adalah etika islam itu
sendiri dan pengertian kode etik dakwah adalah rambu-rambu etis yang harus dimiliki seorang
juru dakwah. Diantara kode etik dakwah adalah sebagai berikut: Tidak Memisahkan
Antara Ucapan Dan Perbuatan, Tidak Melakukan Toleransi Agama, tidak menghina
sesembahan nonmuslim, tidak melakukan diskriminasi sosial, tidak berteman dengan pelaku
maksiat, dan tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui.

Adapun hikamah menerapakan kode etik dakwah yaitu: kemajuan ruhani, sebagai
penuntun kebaikan, membawa pada kesempurnaan iman, dan kerukunan antar umat beragama.

B. Kritik dan Saran

Dalam makalah ini tentunya banyak sekali koreksi dari para pembaca, karena kami
menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Maka dari itu kami mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari para pembaca yang dari itu semua kami harapkan makalah ini
akan menjadi lebih baik lagi.

12
DAFTAR PUSTAKA

Enjang AS. Etika Dakwah. 2009. Bandung: Widya


Padjadjaran. Munir, M. Metode Dakwah. 2003, Jakarta:
Kencana.
Munir Amin, Samsul, 2009, Ilmu Dakwah. Jakarta:Amzah.
Mustafa Yaqub. Ali, 2000, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. Pejaten Barat: Pustaka Firdaus.

Anda mungkin juga menyukai