Anda di halaman 1dari 16

MEMAHAMI ALIRAN PSIKOLOGI BEHAVIORISTIK

PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK MENURUT ALIRAN


PSIKOLOGI BEHAVIORISTIK (KONSEP, TAHAP
PERKEMBANGAN & PENERAPAN)

Abdul Fajar
Abdulfajaralqurtubi98@gmail.com

ABSTRACT
This paper intends to explain learning theory according to behavioristic psychology
and its implications in the learning and learning process. In relation to students, it
is important for educators to know learning theory according to behavioristic
psychology and its implications in the learning and learning process.
The behavior or behavior of students and educators is an important problem in the
psychology of students is the maturation process (from immaturity to maturity).
This writing uses an experimental method with a quasi-experimental design. By
reviewing previous journals and analyzing data using descriptive analysis
techniques and inferential analysis.
According to (Familus 2016) the flow of learning psychology that has greatly
influenced the direction of theory and practice of education and learning until now
is the behavioristic school. This flow emphasizes the formation of behavior that
appears as a result of learning. This theory is still dominating the practice of
learning in Indonesia.

Keywords: learning theory, behavioristic psychology

ABSTRAK
Tulisan ini bermaksud menjelaskan teori belajar menurut aliran psikologi
behavioristik serta implikasinya dalam proses belajar dan pembelajaran. Dalam
hubungannya dengan siswa, pendidik memang penting mengetahui teori belajar
menurut aliran psikologi behavioristic serta implikasinya dalam proses belajar dan
pembelajaran.
Perilaku atau behavior dari peserta didik dan pendidik merupakan masalah penting
dalam psikologi peserta didik adalah proses pendewasaan (dari ketidak dewasaan
menjadi dewasa).
Penulisan ini menggunakan metode eksperimen dengan sifat penelitian quasi
experimental design. Dengan meriview jurnal terdahulu dan analisis data
menggunakan teknik analisis deskriftip serta analisis inferensial.
Menurut 1 Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi arah pengem-
bangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran
1
Familus, “Teori Belajar Aliran Behavioristik Serta Implikasinya Dalam Pembelajaran,” Jurnal
PPKn & Hukum 11, no. 2 (2016): 98–115,
https://pbpp.ejournal.unri.ac.id/index.php/JPB/article/view/5161/4839.

1
behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak
sebagai hasil belajar. Teori ini hingga sekarang masih merajai praktek pembelajaran
di Indonesia.

Kata kunci: teori belajar, psikologi behavioristic

PENDAHULUAN
Teori yang melandasi pendidikan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua.
Pertama, teori asosiasi yang berorientasi induktif. Artinya, bangunan ilmu dalam
pengembangan pendidikan didasarkan atas unit pengetahuan, sikap dan
keterampilan menjadi unit yang lebih universal dan general. Aliran dalam teori ini
adalah aliran behaviorisme, atau lebih dikenal dengan aliran stimulusrespon (S-R),
yaitu aliran yang beranggapan bahwa pendidikan diarahkan pada terciptakannya
perilaku baru pada peserta didik melalui stimulus-respon yang diberikan selama
proses pembelajaran berlangsung2. Psikologi bhavioristik
Adalah merupakan teori belajar memahami tingkahlaku manusia yang
menggunakan pendekatan objektif, mekanistik, dan materialistik, sehingga
perubahan tingkah laku pada diri seseorang dapat dilakukan melalui upaya
pengkondisian3.
Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan
output yang berupa respons. Stimulus adalah sesuatu yang diberikan guru kepada
siswa, sedangkan respons berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus
yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respons
tidak penting untukdiperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur.
Yang dapat diamati adalah stimulus dan respons, oleh karenaitu ,apa yang diberikan
oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respons) harus dapat
diamati dan diukur (Putrayasa, 2013:42).
Teori behavioristik menekankan pada kajian ilmiah mengenai berbagai respon
perilaku yang dapat diamati dan penentu lingkungannya. Dengan kata lain, perilaku
memusatkan pada interaksi dengan lingkungannya yang dapat dilihat dan diukur.
Prinsip-prinsip perilaku diterapkan secara luas untuk membantu orang-orang
mengubah perilakunya ke arah yang lebih baik (King, 2010:15).
Teori belajar behavioristik adalah teori belajar yang menekankan pada tingkah laku
manusia sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon.Teori belajar
behavioristik berpengaruh terhadap pengembangan teori pendidikan dan
pembelajaran yang dikenal dengan aliran behavioristik Aliran ini menekankan pada
terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori ini hingga sekarang masih merajai praktek pembelajaran di Indonesia. Hal ini
tampak dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat yang paling
dini, seperti kelompok bermain, taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah
menengah, bahkan sampai perguruan tinggi, pembentukan perilaku dengan cara
drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau hukuman masih sering
dilakukan.

3
Novi Irwan Nahar, “PENERAPAN TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK DALAM PROSES
PEMBELAJARAN,” n.d.

2
Kelebihan dari ilmu ini mampu menyentuh hampir seluruh dimensi kehidupan
manusia mulai dari bangun tidur hingga akan tidur kembali. hasil riset psikologi
telah diaplikasikan secara luas dalam berbagai lapangan kehidupan, seperti
ekonomi, kesehatan, pendidikan, proses pembelajaran, industri, perdagangan,
sosial-kemasyarakatan, politik, dan bahkan agama. Perkembangan pada peserta
didik merupakan ilmu yang mempelajari tingkah laku individu dalam
perkembangannya beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya4. Perkembangan
pada anak banyak terjadi akibat berbagai faktor yang terjadi meliputi konsep,
tahapan dan penerapan.
Menurut F. J. Monks, dkk., (2001) dalam buku halim purnomo (2017) bahwa
perkembangan menunjuk pada suatu proses ke arah yang lebih sempurna dan tidak
begitu saja dapat diulang kembali. Adapun tahapan dalam perkembangan peserta
didik menurut Lev Vygotsky dalam buku halim purnomo (2017) menyatakan
Perkembangan mengacu pada bagaimana seorang tumbuh, beradaptasi dan berubah
sepanjang perjalanan hidupnya.
Orang tumbuh, beradaptasi dan berubah melalui perkembangan fisik,
perkembangan kepribadian, perkembangan sosio-emosional, perkembangan
kognitif (berpikir) dan perkembangan manusia menurut teori Piaget (kognitif dan
moral) serta teori perkembangan kognitif. Dan penerapan perkembangan pada
peserrta didik menurut u. (UU No. 20 Tahun 2003 SISIDIKNAS, pasal 1 ayat 4)
Peserta didik merupakan anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan
dirinya melalui proses pendidikan pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Perkembangan peserta didik merupakan bagian dari pengkajian dan penerapan
psikologi perkembangan yang secara khusus mempelajarai aspek-aspek
perkembangan individu yang berada pada tahap usia sekolah dan sekolah
menengah.
Dari penjelasan mengenai psikologi behavioristic penulis berpendapat bahwa
metode ini sangat penting digunakan khususnya dikalangan pendidikan. Karena
sangat berpengaruh bagi keberhasilan perkembangan peserta didik mulai dari usia
dini hingga dewasa.

METODE
Penulisan ini menggunakan metode eksperimen. Metode eksperimen
merupakan Metode eksperimen adalah suatu cara mengajar dimana siswa
melakukan percobaan tentang suatu hal, mengamati dan mengalami prosesnya,
membuktikan sendiri sesuatu yang dipelajarinya, kemudian hasil pengamatan dan
percobaan tersebut disampaikan ke kelas untuk dievaluasi bersama. Lebih jauh
dikatakan bahwa dalam konstruktivis aktivitas mungkin diwujudkan melalui
tantangan masalah, kerja dalam kelompok kecil, dan diskusi kelas menggunakan
apa yang ’biasa’ muncul dalam materi kurikulum kelas ’biasa’. Dalam konstruktivis
proses pembelajaran senantiasa ”problem centered approach” dimana dosen dan
mahasiswa terikat dalam pembicaraan yang memiliki makna. Beberapa ciri itulah
yang akan mendasari pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis.
Melalui metode eksperimen, siswa diberi kesempatan untuk belajar sendiri,
mengikuti proses, mengamati objek, menganalisis, menarik pembuktian, dan
4
Halim Purnomo, Psikologi Peserta Didik, Journal of Chemical Information and Modeling, vol. 53,
2017, http://www.elsevier.com/locate/scp.

3
mengambil kesimpulan sendiri dari proses yang dilakukan5. Dengan sifat penelitian
quasi experimental design. Dengan meriview jurnal terdahulu dan analisis data
menggunakan teknik analisis deskriftip serta analisis inferensial.
Proses belajar mengajar ialah sebuah satu kesatuan seluruh aspek dalam bentuk
kegiatan terarah. Kegiatan belajar merupakan sebuah kegiatan pokok berpacu pada
proses kegiatan peserta didik, sedangkan kegiatan mengajar merupakan sebuah
kegiatan tambahan atau penunjang dikordinir oleh kegiatan guru. Di dalam proses
belajar mengajar dibutuhkan seluruh kegiatan aktivitas peserta didik disetiap proses
kegiatan dilaksanakan sehingga dapat membentuk sebuah proses belajar mengajar
akan menjadi efektif dan efisien.
Agar mampu lebih mengerti sub materi pembelajaran, peserta didik diminta
untuk aktif di dalam proses seluruh kegiatan belajar mengajar berlangsung, dengan
ini dibutuhkan sebuha suasana yang nyaman dan tentram agar peserta didik cepat
menerima dan memahami pembelajaran. Namum pada saat di lapangan, proses
kegiatan belajar mengajar hanya dominan oleh pendidik mengunkan metode
ceramah, namum peserta didik sedikit lebih banyak menerima penjelasan oleh guru
nya, menulis pokok pembelajaran dan melaksanakan tugas diberikan oleh pendidik.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampi dan biasanya menggunakan
paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar.
Maksudnya bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal
ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi
belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan
biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan
evaluasi pada kemampuan siswa secara individual.
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun
dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti
Teaching Machine, Pembelajaran berprogram kini adalah aliran behavioristik.
Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil
belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya,
mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku
tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya
perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila
dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa
hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik mahasiswa,
media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan
berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif,
pasti, tetap, tidak berubah.
Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan
pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of
knowledge) ke orang yang belajar atau mahasiswa. Mahasiswa diharapkan akan
memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya,
apa yang dipahami oleh pengajar atau dosen itulah yang harus dipahami oleh murid
(Degeng, 2006).
Demikian halnya dalam proses belajar mengajar, mahasiswa dianggap sebagai
objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh
5
D. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan Tindakan, 2013.

4
karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan
menggunakan standartstandart tertentu dalam proses pembelajaran yang harus
dicapai oleh para mahasiswa. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar mahasiswa
diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang
bersifat unobservable kurang dijangkau dalam proses evaluasi. Implikasi dari teori
behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak
yang bebas bagi mahasiswa untuk berkreasi, bereksperimentasi dan
mengembangkan kemampuannya sendiri.
spontan merupakan pengertian yang tidak sempurna, bahkan belum sesuai
dengan konsep ilmiah, dan harus mengalami perubahan menuju pengertian yang
logis dan sistematis, yaitu pengertian ilmiah. Proses penyempurnaan pemahaman
itu berlangsung melalui dua bentuk yaitu tanpa melalui perubahan yang besar dari
pengertian spontan tadi (asimilasi), atau sangat perlu adanya perubahan yang
radikal dari pengertian yang spontan menuju pengertian yang ilmiah (akomodasi).
Agar terjadi perubahan konsep secara radikal/ akomodatif maka dibutuhkan
keadaan dan syarat sebagai berikut:
1) Harus ada ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada. Peserta didik
mengubah konsepnya jika mereka yakin bahwa konsep mereka yang lama
tidak dapat digunakan lagi untuk menelaah situasi, pengalaman, dan gejala
yang baru.
2) Konsep yang baru harus dimengerti, rasional, dan dapat memecahkan
persoalan atau fenomena yang baru.
3) Konsep yang baru harus masuk akal, dapat memecahkan dan menjawab
persoalan yang terdahulu, dan juga konsisten dengan teori-teori atau
pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.
4) Konsep baru harus berdaya guna bagi perkembangan penelitian dan
penemuan yang baru (Suparno, 1997: 50-51). Menurut kaum konstruktivis,
salah satu penyebab terbesar ketidakpuasan terhadap konsep lama adalah
adanya peristiwa anomali. Suatu peristiwa yang bertentangan dengan yang
dipikirkan peserta didik. Suatu peristiwa di mana peserta didik tidak dapat
mengasimilasikan pengetahuannya untuk memahami fenomena yang baru.
Misalnya, bagi peserta didik yang berpikir bahwa ”kejujuran” bersifat
mutlak (berlaku objektif dan universal), akan menjadi bingung ketika
melihat seorang dokter ”berbohong” kepada pasiennya dengan mengatakan
bahwa penyakitnya ”agak serius”, kendati spontan diperoleh peserta didik
dari kehidupan sehari-hari dan konsep ilmiah diperoleh dari pelajaran di
sekolah.
Kedua konsep tersebut saling berhubungan terusmenerus.
Apa yang dipelajari peserta didik di sekolah mempengaruhi perkembangan
konsep yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari dan sebaliknya. Perbedaan
yang mencolok dari kedua konsep itu adalah ada atau tidak adanya sistem. Konsep
spontan didasarkan pada kejadian khusus dan tidak merupakan bagian yang
bertalian secara logis dari suatu sistem pemikiran, sedangkan konsep ilmiah
disajikan sebagai bagian dari suatu sistem.
Sehubungan dengan adanya dua konsep tersebut, dianjurkan agar pendidik
tidak menolak konsep spontan peserta didik, tetapi membantunya agar konsep itu
diintegrasikan dengan konsep yang ilmiah. Hal ini harus semakin disadari oleh
pendidik bahwa konsep (spontan ataupun ilmiah) dalam diri seseorang terus

5
berkembang untuk semakin mendekati pemahaman para ilmuan. Teori perubahan
konsep cukup senada dengan teori konstruktivisme dalam arti bahwa dalam proses
pengetahuan seseorang mengalami perubahan konsep.
Pengetahuan seseorang itu tidak sekali jadi, melainkan merupakan proses
berkembang yang terus menerus. Dalam perkembangan itu ada yang mengalami
perubahan besar dengan mengubah konsep lama melalui akomodasi, ada pula yang
hanya mengembangkan dan memperluas konsep yang sudah ada melalui asimilasi.
Proses perubahan terjadi bila si peserta didik aktif berinteraksi dengan
lingkungannya. Konstruktivisme, yang menekankan bahwa pengetahuan dibentuk
oleh peserta didik yang sedang belajar, dan teori perubahan konsep, yang
menjelaskan bahwa peserta didik mengalami perubahan konsep terus menerus,
sangat berperanan dalam menjelaskan mengapa seorang peserta didik bisa salah
mengerti dalam menangkap suatu konsep yang ia pelajari.
Konstruktivisme dapat membantu untuk mengerti bagaimana peserta didik
membentuk pengetahuan yang Orang harus mengisi atribut skemanya dengan
informasi yang benar agar dapat membentuk kerangka pemikiran yang benar.
Kerangka pemikiran inilah yang menurut Jonassen dkk.( Suparno,1997: 55),
membentuk pengetahuan struktural seseorang, di mana pengetahuan struktural
tersebut terdiri dari skema-skema yang dipunyai dan hubungan antara skema-skema
itu.
Bagaimana seseorang membentuk dan mengubah skema, hal itu merupakan
proses belajar. Orang dapat membentuk skema baru dari suatu pengalaman baru.
Orang dapat melengkapi dan memperluas skema yang telah dipunyainya dalam
berhadapan dengan pengalaman, persoalan dan juga pemikiran yang baru. Dalam
proses belajar seseorang mengadakan perubahan-perubahan skemanya baik dengan
menambah atribut, memperhalus, memperluas, ataupun mengubah sama sekali
skema lama. Skemata adalah suatu jaringan hubungan konsep-konsep.
Jaringan itu menguraikan apa yang diketahui seseorang dan menyediakan
dasar untuk mempelajari konsep-konsep baru, serta memperkembangkan dan
mengubah jaringan yang telah ada. Sementara itu pengetahuan struktural seseorang,
yang terdiri dari macam-macam skemata dan hubungan antar skemata itu,
didasarkan pada teori skema. Pengetahuan struktural adalah pengetahuan akan
bagaimana konsep-konsep dalam suatu domain saling terkait. Pengetahuan
struktural menjembatani perubahan dari pengetahuan deklaratif ke prosedural.
Pengetahuan deklaratif adalah pengetahuan yang mengungkapkan suatu
pengertian atau kesadaran akan objek, kejadian atau ide. Dalam pengetahuan ini
seseorang dapat menjelaskan apa yang ia ketahui tetapi ia tidak menggunakan apa
yang ia ketahui itu. Menurut teori skema, seseorang belajar dengan mengadakan
restrukturisasi atas skema yang ada, baik dengan menambah maupun dengan
mengganti skema itu. Ini mirip dengan konstruktivisme Piaget yang
mengkonstruksi pengetahuannya yang kadang sangat berbeda dengan teman dan
pendidiknya. Maka pendidik perlu menciptakan berbagai cara pembelajaran untuk
membantu peserta didik yang cara belajarnya memang berbeda-beda pula (Suparno,
1997: 62-63).
Kaum behavioris memandang bahwa belajar merupakan sistem respon
tingkah laku terhadap rangsangan fisik. Penganut aliran ini berpendapat bahwa
mendengarkan dengan baik penjelasan pendidik atau terlibat dalam suatu
pengalaman akan berakibat peserta didik dapat mempunyai keterampilan tertentu

6
sesuai dengan apa yang didengarkannya. Keterampilan merupakan tujuan dari suatu
tujuan pembelajaran. Peserta didik dipandang sebagai subjek yang pasif,
membutuhkan motivasi luar dan dipengaruhi oleh suatu penguatan. Oleh sebab itu
para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur baik dan menentukan
bagaimana peserta didik harus dimotivasi, dirangsang dan dievaluasi. Kemajuan
belajar peserta didik diukur dengan hasil yang dapat diamati.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Temuan Hasil
Ditemukan dari peneliti sebelumnya hasil dari penelitian A. setiawan (2016)
menyatakan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana
reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang mahasiswa
dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik
biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi
bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu 6. Kemudian
hasil dari penelitian M. Dhori (2021) Mengatakan bahwa teori belajar behavioristik
ialah suatu teori pembelajaran yang akan mengerti sebuah sifat manusia yang akan
mengimplementasikan pendekatan objektif, materialistik serta mekanistik, dalam
hal ini perubahan sifat pada diri seorang dapat dilihat melalui upaya
pengkondisian7. Menurut Familu (2016) Implikasi teori behavioristik da-lam
kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti tujuan pembe- lajaran,
sifat materi pelajaran, karakte- ristik siswa, media dan fasilitas pem- belajaran yang
tersedia8.
Gagne dan Briggs (1978: 49-50) mengatakan bahwa hasil belajar
merupakan gambaran kemampuan yang diperoleh seseorang setelah mengikuti
proses belajar yang dapat diklasifikasikan ke dalam lima kategori yaitu:
keterampilan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal, keterampilan motorik
dan sikap. Perkembangan mengandung makna adanya pemunculan sifat-sifat baru
yang berbeda dari sebelumnya (Kasiram, 1983: 23), mengandung arti bahwa
perkembangan merupakan perubahan sifat individu menuju kesempurnaan yang
merupakan penyempurnaan dari sifatsifat sebelumnya. Perkembangan motorik
merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam perkembangan individu
secara keseluruhan.

Beberapa pengaruh perkembangan motorik terhadap konstelasi perkembangan


individu dipaparkan oleh Hurlock (1996) melalui:
a) keterampilan motorik, anak dapat menghibur dirinya dan memperoleh perasaan
senang. Seperti anak merasa senang dengan memiliki keterampilan memainkan
boneka, melempar dan menangkap bola atau memainkan alat-alat mainan,
b) melalui keterampilan motorik, anak dapat beranjak dari kondisi tidak berdaya
pada bulanbulan pertama dalam kehidupannya ke kondisi yang independent. Anak
dapat bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya dan dapat berbuat sendiri untuk
dirinya.
6
achmad pandu Setiawan, “Aplikasi Teori Behavioristik Dan Konstruktifistik Dalam Kegiatan
Pembelajaran,” TA’DIBIA Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam 6, no. 4 (2016): 33–46.
7
Muhammad Dhori, “Analisis Teori Belajar Behavioristik Dalam Proses Belajar Mengajar Di SD
Negeri 7 Kayuagung,” Journal of Islamic Education 1, no. 1 (2021): 110–24, http://ejournal.uin-
suka.ac.id/tarbiyah/HJIE/article/view/3916/2073.
8
Familus, “Teori Belajar Aliran Behavioristik Serta Implikasinya Dalam Pembelajaran.”

7
c) melalui perkembangan motorik, anak dapat menyesuaikan dirinya dengan
lingkungan sekolah. Pada usia prasekolah atau usia kelas-kelas awal Sekolah Dasar,
anak sudah dapat dilatih menulis, menggambar, melukis, dan baris-berbaris.
d) melalui perkembangan motorik yang normal memungkinkan anak dapat bermain
atau bergaul dengan teman sebayanya, sedangkan yang tidak normal akan
menghambat anak untuk dapat bergaul dengan teman sebayanya bahkan dia akan
terkucilkan atau menjadi anak yang fringer (terpinggirkan). Perkembangan
keterampilan motorik sangat penting bagi perkembangan self-concept atau
kepribadian anak. Motorik merupakan perkembangan pengendalian gerakan tubuh
melalui kegiatan yang terkoordinir antara susunan saraf, otot, otak, dan spinal cord.
Perkembangan motorik meliputi motorik kasar dan halus. Motorik kasar adalah
gerakan tubuh yang menggunakan otot-otot besar atau sebagian besar atau seluruh
anggota tubuh. Contohnya kemampuan duduk, menendang, berlari, naik-turun
tangga dan sebagainya. Sedangkan motorik halus adalah gerakan yang
menggunakan otot-otot halus atau sebagian anggota tubuh tertentu, yang
dipengaruhi oleh kesempatan untuk belajar dan berlatih. Misalnya, kemampuan
memindahkan benda dari tangan, mencoret-coret, menyusun balok, menggunting,
menulis dan sebagainya. Kedua kemampuan tersebut sangat penting agar anak bisa
berkembang dengan optimal. Berikut tabel tahap perkembangan motorik dan
kognitif pada anak

PEMBAHASAN
Bijau dan Baer (1961) mengemukakan perkembangan psikologi merupakan
perubahan progresif yang menunjukkan cara organism bertingkah laku dan
berinteraksi dengan lingkungannya. Interaksi merupakan tingkah laku akan
diperlihatkan atau tidak pada perangsang yang ada di lingkungannnya. Rumusan
lain arti perkembangan dikemukakan oleh Libert, Paulus, dan Straus (Singgih
1990;31) bahwa perkembangan merupakan proses perubahan dalam pertumbuhan
pada suatu waktu sebagai fungsi kematangan dan interaksi dengan lingkungannya.
Istilah perkembangan lebih mencerminkan sifat-sifat khas mengenai gejala-gejala
psikologis yang tampak. Perkembangan dapat dilukiskan sebagai suatu proses yang
kekal dan tetap menuju ke arah suatu organisasi pada integrasi yang lebih tinggi
berdasarkan proses pertumbuhan kematangan dan hasil belajar.
Perkembangan anak berlangsung dalam sebuah tahapan yang relatif teratur
di mana kemampuankemampuan, keterampilan-keterampilan, dan pengetahuan-
pengetahuan lanjut anak terbangun atas kemampuan, keterampilan, dan
pengetahuan sebelumnya. Riset perkembangan manusia menunjukkan bahwa
tahapantahapan pertumbuhan dan perubahan anak usia 9 tahun pertama rentang
kehidupan relatif stabil dan dapat diprediksikan tahapannya. Berikut table
perkembangan anak :

8
Tabel 1. Fase Intuitif
Perkembangan Bahasa
Umur 1-2 tahun Umur 3-5 tahun Umur 7-8 tahun
Kalimat satu dua kata Kalimat 8-10 kata Ucapan dasar kalimat
Tata bahasa: Tidak ada Tata bahasa : baik Menyerupai orang dewasa
Kosa kata : 200 Kosakata : 2000
Sumber: buku Halim Purnomo, Psikologi Peserta Didik, Journal of Chemical
Information and Modeling, vol. 53, 2017,
Dari perkembangan anak terdapat fase umur 1-2 tahun terbentuknya mental untuk
anak pada usia tersebut sedangkan dari fase 3-5 tahun dimana terjadi pembentukan
anak pada karater intuitif dan melalui fase 7-8 tahun dimana anak memiliki
perkembangan dalam segi kognitif yangg dimanana lebih kepada daya ingat yang
kuat dan melalui fase umur 8-10 tahun dimana anak memiliki kencendrungan masa
puber tahap pertama.
Ketika seorang yang selesai melakukan proses belajar mengajar dapat
dilihat dari suatu perubahan sifatnya. Menurut dalam teori behavioristik belajar
meruapakan hal amat penting sebab inputnya stimulus serta outputnya respons.
Stimulus ialah merupakan apa yang dikasihkan oleh guru terhadap siswanya,
sedangkan respons merupakan sebuah reaksi anak kepada stimulus lalu dikasihkan
oleh tenaga pendidik tersebut. Dalam kegiatan ini akan terjadi jika stimulus dan
respons belum terlalu penting untuk diamati sebab belum akan terlihat dan tidak
bisa ditentukan. Yang bisa dilakukan ialah stimulus dan respons, sebab yang
dikasihkan oleh stimulus (tenaga pendidik) dan apa yang dipahami oleh respons
(anak) harus mampu dimengerti dan dipahami.
Menurut teori behavioristik tingkah laku manusia dikendalikan oleh
ganjaran atau penguatan dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku
belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksireaksi behavioristik dengan
stimulusnya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa
stimulus dan output yang berupa respons. Proses terjadi antara stimulus dan respons
tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur.
Oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru dan apa yang diterima harus dapat
diamati dan diukur. Hal ini menurut Sujanto (2009:118), teori belajar behaviorisme
objekilmu jiwaharus terlihat, dapat di indera, dan dapat diobservasi.
Sedangkan menurut Teori perkembangan kognitif Piaget : Piaget meyakini
bahwa pemikiran seorang anak berkembang dari bayi sampai dewasa. Menurut teori
Piaget, setiap individu pada saat tumbuh mulai dari bayi yang baru di lahirkan
sampai menginjak usia dewasa mengalami empat tingkat perkembangan kognitif,
yaitu tahap sensori-motorik (dari lahir sampai 2 tahun), tahap pra-operasional (usia
2 sampai 7 tahun), tahap konkret-operasional (usia 7 sampai 11 tahun), dan tahap
operasional formal/usia 11 tahun ke atas. (Desmita, 2009, 01) dan (Anwar Holil,
2008).

1. Tahap sensorimotor (0 - 2 tahun) Tahap sensorimotor ada pada usia


antara 0-2 tahun, mulai pada masa bayi ketika ia menggunakan pengindraan dan

9
aktivitas motorik dalam mengenal lingkungannya. Pada masa ini biasanya bayi
keberadaannya masih terikat kepada orang lain bahkan tidak berdaya, akan tetapi
alat-alat inderanya sudah dapat berfungsi. Tindakannya berawal dari respon refleks,
kemudian berkembang membentuk representasi mental. Anak dapat menirukan
tindakan masa lalu orang lain, dan merancang kesadaran baru untuk memecahkan
masalah dengan menggabungkan secara mental skema dan pengetahuan yang
diperoleh sebelumnya. Periode singkat antara 18 bulan atau 2 tahun, anak telah
mengubah dirinya dari suatu organisme yang bergantung hampir sepenuhnya
kepada refleks dan perlengkapan heriditer lainnya menjadi pribadi yang cakap
dalam berfikir simbolik. 101 Menurut Piaget, perkembangan kognitif selama
stadium sensorimotor, intelegensi anak baru nampak dalam bentuk aktivitas
motorik sebagai reaksi stimulus sensorik. Dalam stadium ini yang penting adalah
tindakan-tindakan konkrit dan bukan tindakan-tindakan yang imaginer atau hanya
dibayangkan saja, tetapi secara perlahan-lahan melalui pengulangan dan
pengalaman konsep obyek permanen lama-lama terbentuk. Anak mampu
menemukan kembali obyek yang disembunyikan.
2. Tahap pra-operasional (usia 2-7 tahun) Pada tahap ini anak mulai
mempresentasikan dunia dengan kata-kata dari berbagai gambar. Kata dan gambar-
gambar ini menunjukkan adanya peningkatan pemikiran simbolis dan melampaui
hubungan informasi indrawi dan tindakan fisik (Desmita, 2009).

Fase praoperasional mencakup tiga aspek, yang memiliki kemampuan yaitu:


a. Berpikir simbolik Berpikir simbolik yaitu kemampuan untuk berpikir tentang
objek dan peristiwa walaupun objek dan peristiwa tersebut tidak hadir
secara fisik (nyata) di hadapan anak. Subfase fungsi simbolis terjadi pada
usia 2 - 4 tahun. Pada masa ini, anak telah memiliki kemampuan untuk
menggarnbarkan suatu objek yang secara fisik tidak hadir. Pada masa ini,
anak sudah dapat menggambar manusia secara 102 sederhana. Pada fase
praoperasional, anak mulai menyadari bahwa pemahamannya tentang
bendabenda di sekitarnya tidak hanya dapat dilakukan melalui kegiatan
sensorimotor, akan tetapi juga dapat dilakukan melalui kegiatan yang
bersifat simbolis. Anak tidak harus berada dalam kondisi kontak
sensorimotorik dengan objek, orang, atau peristiwa untuk memikirkan hal
tersebut. Anak dapat membayangkan objek atau orang tersebut memiliki
sifat yang berbeda dengan yang sebenarnya. Contoh: Citra bertanya kepada
ibunya tentang gajah yang mereka lihat dalam perjalanan mereka ke sirkus
beberapa bulan yang lalu.
b. Berpikir egosentris Aspek berpikir secara egosentris, yaitu cara berpikir
tentang benar atau tidak benar, setuju atau tidak setuju, berdasarkan sudut
pandang sendiri. Oleh sebab itu, anak belum dapat meletakkan cara
pandangnya di sudut pandang orang lain. Menurut Piaget, pemikiran itu
khas bersifat egosentris, anak pada tahap ini sulit membayangkan
bagaimana segala sesuatunya tampak dari perspektif orang lain. Subfase

10
berpikir secara egosentris terjadi pada usia 2-4 tahun. Berpikir secara
egosentris ditandai oleh ketidakmampuan anak untuk memahami perspektif
atau cara berpikir orang lain. Anak berasumsi 103 bahwa orang lain
berpikir, menerima dan merasa sebagaimana yang mereka lakukan.
c. Berpikir intuitif Fase berpikir secara intuitif, yaitu kemarnpuan untuk
menciptakan sesuatu, seperti menggambar atau menyusun balok, akan tetapi
tidak mengetahui dengan pasti alasan untuk melakukannya. Subfase berpikir
secata intuitif tenadi pada usia 4 - 7 tahun. Masa ini disebut subfase berpikir
secara intuitif karena pada saat ini anak kelihatannva mengerti dan
mengetahui sesuatu.
3. Tahap konkret-operasional (usia 7-11 tahun) Pada tahap ini, anak dapat berpikir
secara logis mengenai peristiwa-peristiwa yang konkret dan mengklasifikasikan
benda-benda ke dalam bentukbentuk yang berbeda (Desmita, 2009). Tetapi dalam
tahapan konkret-operasional masih mempunyai kekurangan yaitu, anak mampu
untuk melakukan aktivitas logis tertentu tetapi hanya dalam situasi yang konkrit.
Dengan kata lain, bila anak dihadapkan dengan suatu masalah secara verbal, yaitu
tanpa adanya bahan yang konkrit, maka ia belum mampu untuk menyelesaikan
masalah ini dengan baik.
4. Tahap operasional formal (usia 11 tahun-dewasa) Anak usia 11 tahun keatas dalam
tahap operasi formal: tidak perlu berpikir dengan pertolongan benda- 104 benda
atau peristiwa-peristiwa kongkret, ia mempunyai kemampuan berpikir abstrak. Jika
menghadapi masalah eksperimen, mulai bekerja bereksperimen dengan barang-
barang, dan menyadari kompleksnya faktorfaktor yang ada, hipotesis dan diuji
secara sistematik, setiap faktor dipisahkan dengan menguji dengan konsep yang
dimiliki. Perkembangan kognitif anak usia SMP adalah pada tahap operasional
formal artinya tidak perlu berpikir dengan pertolongan benda-benda atau peristiwa-
peristiwa kongkret dapat dikatakan mempunyai kemampuan berpikir abstrak.
Kemampuan berpikir abstrak dapat dilihat dari penalaran klasifikasi, penalaran
konservasi, penalaran teoritis, penalaran kombinasi, penalaran proporsional,
penalaran fungsional, mengontrol variabel, penalaran analogi, penalaran
proposisional, penalaran korelasional, penalaran kemungkinan. Ditahap ini remaja
berfikir dengan cara yang lebih abstrak, logis, dan lebih idealistik.
Demikian halnya dalam proses belajar mengajar, mahasiswa dianggap
sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari
pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang
terstruktur dengan menggunakan standartstandart tertentu dalam proses
pembelajaran yang harus dicapai oleh para mahasiswa. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar mahasiswa diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati
sehingga hal-hal yang bersifat unobservable kurang dijangkau dalam proses
evaluasi. Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan
kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi mahasiswa untuk berkreasi,
bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri.
spontan merupakan pengertian yang tidak sempurna, bahkan belum sesuai
dengan konsep ilmiah, dan harus mengalami perubahan menuju pengertian yang
logis dan sistematis, yaitu pengertian ilmiah. Proses penyempurnaan pemahaman

11
itu berlangsung melalui dua bentuk yaitu tanpa melalui perubahan yang besar dari
pengertian spontan tadi (asimilasi), atau sangat perlu adanya perubahan yang
radikal dari pengertian yang spontan menuju pengertian yang ilmiah (akomodasi).
Agar terjadi perubahan konsep secara radikal/ akomodatif maka dibutuhkan
keadaan dan syarat sebagai berikut:
1) Harus ada ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada. Peserta didik
mengubah konsepnya jika mereka yakin bahwa konsep mereka yang
lama tidak dapat digunakan lagi untuk menelaah situasi, pengalaman, dan
gejala yang baru.
2) Konsep yang baru harus dimengerti, rasional, dan dapat memecahkan
persoalan atau fenomena yang baru.
3) Konsep yang baru harus masuk akal, dapat memecahkan dan menjawab
persoalan yang terdahulu, dan juga konsisten dengan teori-teori atau
pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.
4) Konsep baru harus berdaya guna bagi perkembangan penelitian dan
penemuan yang baru (Suparno, 1997: 50-51). Menurut kaum
konstruktivis, salah satu penyebab terbesar ketidakpuasan terhadap
konsep lama adalah adanya peristiwa anomali. Suatu peristiwa yang
bertentangan dengan yang dipikirkan peserta didik.
Suatu peristiwa di mana peserta didik tidak dapat mengasimilasikan
pengetahuannya untuk memahami fenomena yang baru. Misalnya, bagi peserta
didik yang berpikir bahwa ”kejujuran” bersifat mutlak (berlaku objektif dan
universal), akan menjadi bingung ketika melihat seorang dokter ”berbohong”
kepada pasiennya dengan mengatakan bahwa penyakitnya ”agak serius”, kendati
spontan diperoleh peserta didik dari kehidupan sehari-hari dan konsep ilmiah
diperoleh dari pelajaran di sekolah. Kedua konsep tersebut saling berhubungan
terusmenerus.
Apa yang dipelajari peserta didik di sekolah mempengaruhi perkembangan
konsep yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari dan sebaliknya. Perbedaan
yang mencolok dari kedua konsep itu adalah ada atau tidak adanya sistem. Konsep
spontan didasarkan pada kejadian khusus dan tidak merupakan bagian yang
bertalian secara logis dari suatu sistem pemikiran, sedangkan konsep ilmiah
disajikan sebagai bagian dari suatu sistem. Sehubungan dengan adanya dua konsep
tersebut, dianjurkan agar pendidik tidak menolak konsep spontan peserta didik,
tetapi membantunya agar konsep itu diintegrasikan dengan konsep yang ilmiah. Hal
ini harus semakin disadari oleh pendidik bahwa konsep (spontan ataupun ilmiah)
dalam diri seseorang terus berkembang untuk semakin mendekati pemahaman para
ilmuan.
Teori perubahan konsep cukup senada dengan teori konstruktivisme dalam
arti bahwa dalam proses pengetahuan seseorang mengalami perubahan konsep.
Pengetahuan seseorang itu tidak sekali jadi, melainkan merupakan proses
berkembang yang terus menerus. Dalam perkembangan itu ada yang mengalami
perubahan besar dengan mengubah konsep lama melalui akomodasi, ada pula yang

12
hanya mengembangkan dan memperluas konsep yang sudah ada melalui asimilasi.
Proses perubahan terjadi bila si peserta didik aktif berinteraksi dengan
lingkungannya. Konstruktivisme, yang menekankan bahwa pengetahuan dibentuk
oleh peserta didik yang sedang belajar, dan teori perubahan konsep, yang
menjelaskan bahwa peserta didik mengalami perubahan konsep terus menerus,
sangat berperanan dalam menjelaskan mengapa seorang peserta didik bisa salah
mengerti dalam menangkap suatu konsep yang ia pelajari.
Konstruktivisme dapat membantu untuk mengerti bagaimana peserta didik
membentuk pengetahuan yang Orang harus mengisi atribut skemanya dengan
informasi yang benar agar dapat membentuk kerangka pemikiran yang benar.
Kerangka pemikiran inilah yang menurut Jonassen dkk.( Suparno,1997: 55),
membentuk pengetahuan struktural seseorang, di mana pengetahuan struktural
tersebut terdiri dari skema-skema yang dipunyai dan hubungan antara skema-skema
itu. Bagaimana seseorang membentuk dan mengubah skema, hal itu merupakan
proses belajar.
Orang dapat membentuk skema baru dari suatu pengalaman baru. Orang
dapat melengkapi dan memperluas skema yang telah dipunyainya dalam
berhadapan dengan pengalaman, persoalan dan juga pemikiran yang baru. Dalam
proses belajar seseorang mengadakan perubahan-perubahan skemanya baik dengan
menambah atribut, memperhalus, memperluas, ataupun mengubah sama sekali
skema lama. Skemata adalah suatu jaringan hubungan konsep-konsep. Jaringan itu
menguraikan apa yang diketahui seseorang dan menyediakan dasar untuk
mempelajari konsep-konsep baru, serta memperkembangkan dan mengubah
jaringan yang telah ada. Sementara itu pengetahuan struktural seseorang, yang
terdiri dari macam-macam skemata dan hubungan antar skemata itu, didasarkan
pada teori skema.
Pengetahuan struktural adalah pengetahuan akan bagaimana konsep-konsep
dalam suatu domain saling terkait. Pengetahuan struktural menjembatani perubahan
dari pengetahuan deklaratif ke prosedural. Pengetahuan deklaratif adalah
pengetahuan yang mengungkapkan suatu pengertian atau kesadaran akan objek,
kejadian atau ide. Dalam pengetahuan ini seseorang dapat menjelaskan apa yang ia
ketahui tetapi ia tidak menggunakan apa yang ia ketahui itu. Menurut teori skema,
seseorang belajar dengan mengadakan restrukturisasi atas skema yang ada, baik
dengan menambah maupun dengan mengganti skema itu. Ini mirip dengan
konstruktivisme Piaget yang mengkonstruksi pengetahuannya yang kadang sangat
berbeda dengan teman dan pendidiknya.
Maka pendidik perlu menciptakan berbagai cara pembelajaran untuk
membantu peserta didik yang cara belajarnya memang berbeda-beda pula (Suparno,
1997: 62-63). Kaum behavioris memandang bahwa belajar merupakan sistem
respon tingkah laku terhadap rangsangan fisik. Penganut aliran ini berpendapat
bahwa mendengarkan dengan baik penjelasan pendidik atau terlibat dalam suatu
pengalaman akan berakibat peserta didik dapat mempunyai keterampilan tertentu
sesuai dengan apa yang didengarkannya. Keterampilan merupakan tujuan dari suatu
tujuan pembelajaran. Peserta didik dipandang sebagai subjek yang pasif,
membutuhkan motivasi luar dan dipengaruhi oleh suatu penguatan. Oleh sebab itu

13
para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur baik dan menentukan
bagaimana peserta didik harus dimotivasi, dirangsang dan dievaluasi. Kemajuan
belajar peserta didik diukur dengan hasil yang dapat diamati.

KESIMPULAN

Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur,


diamati dan dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan
terhadap rangsangan dapat diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif
terhadap perilaku kondisi yang diinginkan. Hukuman kadang-kadang digunakan
dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak benar, diikuti dengan
menjelaskan tindakan yang diinginkan.
Teori belajar behavioristik menekankan pada perubahan tingkah laku serta sebagai
akibat interaksi antara stimulus dan respon. Belajar merupakan suatu proses
perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon.
Seseorang dianggap telah belajar apabila ia bisa menunjukkan perubahan tingkah
lakunya.
Walaupun teori belajar tigkah laku mulai ditinggalkan diabad ini, namun
mengkolaborasikan teori ini dengan teori belajar kognitif dan teori belajar lainnya
sangat penting untuk menciptakan pendekatan pembelajaran yang cocok dan
efektif, karena pada dasarnya tidak ada satu pun teori belajar yang betul-betul cocok
untuk menciptakan sebuah pendekatan pembelajaran yang pas dan efektif.
khususnya dengan model pembelajaran konstruktivisme. Peran dosen dalam
pembelajaran konstruktivis sangat menuntut penguasaan bahan yang luas dan
mendalam tentang bahan yang diajarkan.
Pengetahuan yang luas dan mendalam memungkinkan seorang dosen menerima
pandangan dan gagasan yang berbeda dari murid dan juga memungkinkan untuk
menunjukkan apakah gagasan itu jalan atau tidak. Belajar merupakan terjadinya
suatu perubahan perilaku dengan hasil dari sebelumnya. Pembelajaran akan selalu
berdasarkan pada perilaku didapat dari kondisi lingkungannya. Kondisi ini akan
terjadi melalui sebuah daya tarik dengan lingkungannya.
Dalam hal ini perilaku pembelajaran dapat dijalin dengan kuat antara reaksi
behavioristik sama stimulus. Teori belajar behavioristik memiliki ciri khas yakni
Pertama, pada aliran ini akan memahami kelakuan seseorang bukan dari kesadaran,
melainkan dengan mengaawasi perilaku dengan berdasarkan kejadiannya. Dalam
pengalaman batin disampingkan dan berupa suatu perubahan dan gerak pada tubuh
yang diamati. Dengan demikian, behavioristik ialah ilmu jiwa tanpa jiwa. Teori
belajar behavioristik lebih mengarah kepada anak dalam berfikir. Persepsi teori

14
behavioristik ialah sebuah proses pembentukan yakni mengarahkan kepada anak
dalam mengapai tujuannya, dengan demikian dapat membuat anak yang takut
dalam kreasi dan imajinasinya.
Proses belajar mampu dibuat pada teori ini yang melihat ilmu pengetahuan yakni
objektif, sebab proses pembelajaran merupakan suatu pendapatan ilmu
pengetahuan, kemudian mengajar ialah mentransfer ilmu kepada anak. Sebab paling
terpenting yang terdapat dalam teori ini ialah sebuah masuk dan keluarnya sebuah
respons. Pandangan teori tersebut antara stimulus dan respons tak terlalu penting
dalam melihat sebab ini bisa mengamati dan mengukur. Jadi yang bisa diamati
berupa stimulus dan respons. Jadi, apabila terdapat seorang pendidik menjelaskan
maka peserta didik harus memahami pola tersebut agar dapat terjadinya perubahan
perilaku anak tersebut.
Penguasaan bahan memungkinkan seorang dosen mengerti macam-macam jalan
dan model untuk sampai pada suatu pemecahan persoalan tanpa terpaku pada satu
model. Kedua modal ini tidak dapat dipisahkan karena beberapa unsur saling
melengkapi. Pengetahuan maupun kemampuan pendidik mengenai perkembangan
dan pertumbuhan siswa dari hulu hingga hilir harus terus berkembang seiring
dengan perkembangan era siswa berada. Memahami dan mendekati mereka secara
sistematis akan menghadirkan serta menciptakan iklim belajar yang nyaman
walaupun di tengah keragaman perilaku yang dimiliki siswa. Selanjutnya berpikir
jernih merupakan sebuah fungsi jiwa yang mengandung definisi maksud dan tujuan
memecahkan masalah seputar pertumbuhan dan perkembangan siswa khususnya
selama proses belajar.

DAFTAR PUSTAKA
Dhori, Muhammad. “Analisis Teori Belajar Behavioristik Dalam Proses Belajar
Mengajar Di SD Negeri 7 Kayuagung.” Journal of Islamic Education 1, no. 1
(2021): 110–24.
http://ejournal.uin-suka.ac.id/tarbiyah/HJIE/article/view/3916/2073.
Familus. “Teori Belajar Aliran Behavioristik Serta Implikasinya Dalam
Pembelajaran.” Jurnal PPKn & Hukum 11, no. 2 (2016): 98–115.
https://pbpp.ejournal.unri.ac.id/index.php/JPB/article/view/5161/4839.
Novi Irwan Nahar. “PENERAPAN TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK
DALAM PROSES PEMBELAJARAN,” n.d.
Purnomo, Halim. Psikologi Peserta Didik. Journal of Chemical Information and
Modeling. Vol. 53, 2017. http://www.elsevier.com/locate/scp.
Setiawan, achmad pandu. “Aplikasi Teori Behavioristik Dan Konstruktifistik
Dalam Kegiatan Pembelajaran.” TA’DIBIA Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama
Islam 6, no. 4 (2016): 33–46.
Sugiyono, D. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan Tindakan, 2013.

15
16

Anda mungkin juga menyukai