Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH PRIBADI KONSELOR YANG EFEKTIF

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Bimbingan Konseling Islam
Dosen Pengampu : Nuraini M.Pd

Disusun Oleh :
Annisa Puspita Sari
Ria Ulandari
Siti Khoerunnisa
Dita Ayu Andini
Algi Gunawan
Ali Zaenal Abidin

PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING ISLAM (BKI)


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT UMMUL QURO AL-ISLAMI BOGOR
2022
/666

Puji syukur saya sampaikan kehadirat Allah SWT karena dengan berkat rahmat dan hidayahnya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan nya tentunya kami tidak
sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat beriring salam semoga terlimpah
curahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW yang mana beliau telah membawa umatnya dari zaman
kegelapan menuju zaman yang terang benderang ini. Adapun judul dari makalah ini adalah “
PENDEKATAN KONSELING PSIKOANALISIS“
Dalam penulisan makalah, kami memberikan sejumlah materi yang terkait dengan materi yang disusun
secara langkah demi langkah, agar mudah dan cepat dipahami oleh pembaca Dan kami juga ingin
mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen yang membimbing mata kuliah Bimbingan dan
Konseling atas bimbingannya. Kami juga mengharapkan agar makalah ini dapat dijadikan pedoman
apabila, pembaca melakukan hal yang berkaitan dengan makalah ini, karena apalah gunanya kami
membuat makalah ini apabila tidak dimanfaatkan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari upaya lanjut untuk memperbaiki dan meningkatkan
mutu. Oleh karena itu segala saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan di masa mendatang. Semoga makalah ini memberikan manfaat bagi kita semua.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Saat ini kita hidup dalam dunia yang kompleks, sibuk, dan terus berubah. Hal tersebut membuat beberapa
masalah, khususnya juga terjadi dalam dunia pendidikan. Dalam dunia pendidikan masalah-masalah yang
muncul banyak dialami oleh para siswa, misalnya masalah belajar, masalah pribadi siswa, maupun
masalah psikologi siswa. Hal tersebut membuat beberapa masalah yang dapat menggangu dalam proses
pendidikan. Berbagai cara dapat dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul, salah satu di
antaranya adalah dengan mencari dan memberikan solusi pada klien itu sendiri atau bisa disebut
konseling. Permasalahan-permasalahan dalam pendidikan tiap sekolah bahkan tiap anak berbeda-beda,
oleh katena itu dibutuhkan solusi yang berbeda pula sehingga beberapa teori-teori tentang konseling ini
bermunculan. Dalam melakukan konseling tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang, maka dari itu
muncul istilah konselor. Konselor ialah seseorang yang memberi solusi pada masalah-masalah tersebut.
Di dalam suatu Bimbingan Penyuluhan atau Bimbingan Konseling, tentu sangat dibutuhkannya seorang
konselor yang berperan penting dalam proses konseling tersebut. Karena konselor merupakan seorang
patner klien dalam membuka diri dan juga sebagai psikonalis.
Menjadi seorang Konselor, mempunyai banyak persyaratan dan kemampuan untuk menyelesaikan sebuah
perkara yang dimiliki oleh klien. Maka dari itulah dikatakan sangat berperannya Konselor dalam sebuah
Bimbingan Konseling sebagai peran utama dan penggerak dalam prosesnya.. Tapi konselor pun harus
mengerti mengenai teori dalam bimbingan konseling, hal ini agar konselor mampu untuk mengatasi
masalah dengan cara yang tepat yang sesuai dengan teori konseling. Maka dalam makalah ini yang akan
dibahas adalah mengenai teori konseling dan konselor itu sendiri. Diharapkan dengan makalah ini, maka
pembaca akan mampu mengerti, memahami, dan mengaplikasikan apa yang ada dalam makalah ini.

BAB II
Salah satu kualitas yang jarang dibicarakan adalah kualitas pribadi konselor. Kualitas pribadi konselor
adalah karateristik yang menyangkut segala aspek kepribadian yang amat penting dan menentukan
keefektifan konselor jika dibandingkan dengan pendidikan dan latihan yang ia peroleh.
Virginia Satir (1967) menemukan beberapa karakteristik konselor sehubungan dengan pribadinya yang
memuat konseling berjalan efektif. Karakteristik-karakteristik tersebut adalah:
a. Resource person, artinya konselor adalah orang yang banyak mempunyai informasi dan senang
memeberikan dan menjelaskan informasinya. Konselor bukanlah pribadi yang maha kuasa yang tidak
mau berbagi dengan orang lain;
b. Model of communication, yaitu baik dalam berkomunikasi, mampu menjadi pendengar yang baik dan
berkomunikator yang terampil. Dia bukan orang yang sok pintar dan mengejar rumor diri sendiri. Dia
mampu menghargai orang lain dan dapat bertindak sesuai dengan realitas yang ada baik pada diri maupun
lingkungan.
Jay Haley (1971) mengemukakan kualitas pribadi konselor sesuai dengan penelitiannya yaitu:
a. Fleksibel, yaitu mampu mengubah pandangan secara realistik dan bukan mengubah kenyataan;
b. Tidak memaksakan pendapat, mau mendengarkan dengan terhadap orang lain;
Munson (1960) dan Mils cs. (1960) mengemukakan dua karakteristik penting yang menentukan kualitas
pribadi konselor;
a. Konselor adalah orang yang memiliki kebutuhan untuk menjadi pemelihara (to be nurturant )
b. Konselor harus memiliki intuisi dan penetrasi psikologis yang baik (intuitive and psychological
peneratrating )
Menne (1975) menyatakan karakteristik konselor yang didapat dari hasil penelitiannya yang menunjang
kualitas pribadi konselor, yaitu:
a. Memahami dan melaksanakan etika professional;
b. Mempunyai rasa kesadaran diri mengenai kompetensi, nilai-nilai, dan sikap;
c. Memiliki karakteristik diri, yakni respek terhadap orang lain, kematangan pribadi, memiliki
kemampuan intuitif, fleksibel dalam pandangan dan emosional stabil;
d. Kemampuan dan kesabaran untuk mendengarkan orang lain, dan kemampuan berkomunikasi.
Carl Rogers (1971), menyebutkan tiga karateristik utama yang harus dipunyai oleh seorang yang terlibat
dalam hubungan membantu. Ketiga karateristik ini kemudian ditemukan dalam tulisan para ahli lain yang
membahas tentang karateristik konselor. Ketiga ciri tersebut adalah congruence, unconditional positive
regard dan empath.
a. Congruence (Genuineness, Authenticity)
Menurut Rogers (1971), kondisi pertama untuk terjadinya perubahan pada klien adalah bila
terapis/konselor itu ada didalam jangkauannya, kesadarannya, dan ia dapat mengomunikasikannya, bila
keadaannya sesuai dan pantas untuk mengomunikasikannya. Rogers (1971), selanjutnya mengatakan
bahwa tidak seorangpun dapat mencapai kondisi ini dengan sepenuhnya. Tetapi makin seorang terapis
dapat mendengarkan dan menerima apa yang terjadi di dalam dirinya sendiri, dan makin ia mampu untuk
memahami kompleksitas perasaannya, tanpa rasa takut, makin tinggi derajat kongruensian. Kongruensi
ini menurut Roger merupakan suatu keharusan kalau ingin melakukan terapi. Terapi haruslah seorang
yang terintegrasi dan kongruen (1971, hlm. 282). Konsep kongruesi adalah konsep yang kompleks, tetapi
Rogers mengatakan bahwa secara naluriah orang bisa membedakan individu mana yang betul-betul
sesungguhnya adalah dirinya, yang betul-betul mengatakan apa yang ingin dikatakannya (means exactly
what he says), dan perasaan yang terdalam adalah sama dengan yang dia ekspresikan.
Melihat penjelasan Rogers di atas, maka genuineness adalah congruence. Untuk menjadi genuine,
seseorang harus kongruen. Ia sungguh-sungguh menjadi dirinya, tanpa tertutup terhadap dirinya sendiri.
Dalam literatur, kadang-kadang ditemukan istilah authencity, yang mempunyai arti sama dengan
kongruen.
Ringkasnya, Rogers mengatakan bahwa kongruensi itu sangat penting sebagai dasar sikap yang harus
dipunyai oleh seorang konselor. Ia harus paham tenang dirinya sendiri, berarti pikiran, perasaan dan
pengalamannya haruslah serasi. Kalau seseorang mempunyai pengalaman marah, maka perasaan dan
pikirannya harus marah, yang tercermin pula dalam tindakannya. Ia harus memahami bias-bias yang ada
dalam pikirannya. Ia harus tahu kelemahannya. Kalau ia menyadari hal ini, ia dapat membuat perbedaan
antara dirinya dan orang lain. Ia tahu bahwa orang lain bukanlah dirinya.
b. Unconditional Positive Regard (Acceptance)
Persyaratan kedua dari karateristik seorang konselor menurut Rogers, yaitu Unconditional Positive
Regard. Penerimaan tanpa syarat atau respek kepada klien harus mampu ditunjukkan oleh seorang
konselor kepada kliennya. Ia harus dapat menerima bahwa orang-orang yang dihadapinya mempunyai
nilai-nilai sendiri, kebutuhan-kebutuhan sendiri yang lain daripada yang dimiliki olehnya. Kliennya
adalah orang lain, bukan kelanjutan dari diri konselor, sehingga jangan harap kliennnya mempunyai nilai-
nilai yang sama dengan yang dipunyai oleh konselor. Konselor harus memberi kepercayaan kepada
kliennya untuk memilih perkembangan diri mereka.
Acceptancy merupakan salah satu karateristik yang harus dipunyai konselor. Melalui konseling, orang
harus mempelajari cara bersikap dan bertingkah laku yang baru, belajar bertingkah laku positif hanya bisa
terjadi dalam situasi kondusif. Konselor ada dalam posisi menciptakan hubungan kasih sayang yang
mempunyai efek konstruktif dan destruktif pada klien dan kemampuannya untuk memberi dan menerima
cinta.
Acceptance dalam konseling ini sama dengaan bentuk cinta seseorang ketika berusaha ssecara maksimal
untuk kesejahteraan dari objek cinta tersebut. Beberapa konselor keberatan mengenai penggunaan istilah
cinta dan kasih sayang dalam konteks konseling. Istilah caring lebih disukai. Istilah unconditional positive
regard juga merupakan pilihan konselor untuk menunjukkan keprihatinan yang mendalam untuk
kesejahteraan klien.
Acceptance merupakan suatu motivasi spontan yang berasal dari struktur sikap dasar dari konselor.
Acceptance juga mempunyai sifat altruistik, dalam arti konselor memang mengusahakan kesejahteraan
psikologis klien dan tidak mengeksploitasinya. Acceptance juga bersifat tidak menilai, dalam arti
konselor bersikap netral terhadap nilai-nilai yang dipegang klien.
Asumsi Dasar yang Melandasi Acceptance adalah :
1) Individu mempunyai harkat dan martabat yang tak terbatas.
2) Adalah hak manusia untuk membuat keputusannya sendiri dan untuk menjalani hidupnya sendiri.
3) Orang mempunyai kemampuan dan potensi untuk memilih secara bijaksana, dan menjalani hidup yang
teraktualisasi dan bermakna secara sosial.
4) Setiap orang bertanggung jawab untuk hidupnya sendiri.
Dari keempat asumsi yang diuraikan oleh Brammer, Abrego dan Shostrom (1993) diatas, jelas seorang
konselor harus percaya kliennya mempunyai kemampuan mengaktualisasikan dirinya dan bertanggung
jawab sendiri untuk hidupnya. Konselor adalah fasilitator perubahan, tetapi tidak punya hak menentukan
kehidupan seseorang.
c. Empati
Empati adalah kemampuan untuk mengetahui bagaimana merasakan perasaan orang lain. Secara
sederhana, empati dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk membayangkan diri sendiri berada pada
tempat dan pemahaman yang dimiliki orang lain, mencakup perasaan, hasrat, ide-ide, dan tindakan-
tindakannya.
Dalam dunia konseling, pada dasarnya seorang konselor bekerja atas dasar dan melalui proses empati.
Pada proses konseling, baik konselor maupun konseli dibawa keluar dari dalam dirinya dan bergabung
dalam kesatuan psikis yang sama. Emosi dan keinginan keduanya menjadi bagian dari kesatuan psikis
yang baru ini. Sebagai konsekuensinya, masalah-masalah konseli akan ditimpakan kepada seorang
”manusia baru”, dan dalam hal ini konselor menanggung setengahnya. Stabilitas psikologis dari kejelasan
pikiran, keberanian dan kekuatan keinginan yang dimilki konselor akan menyusup kedalam diri konseli,
dan memberikan bantuan yang besar dalam perjuangan kepribadiannya. Untuk itu seorang konselor harus
mempunyai empati.
Baruth dan Robinson III (1987), menyebutkan beberapa karakteristik konselor yang efektif sebagai
berikut:
a. Terampil “menjangkau” (reaching out) kliennya.
b. Mampu menumbuhkan perasaan percaya, lcredibilitas dan yakin dalam diri orang yang akan
dibantunya.
c. Mampu “menjangkau” ke dalam dan ke luar.
d. Berkeinginan mengomunikasikan caring dan respek untuk orang yang sedang dibantunya.
e. Menghormati diri sendiri dan tidak menggunakan orang yang sedang dibantunya sebagai saran untuk
memuaskan kebutuhannya sendiri.
f. Mempunyai sesuatu pengetahuan dalam bidang tertentu yang akan mempunyai makna khusus bagi
orang yang dibantunya.
g. Mampu memahami tingkah laku orang yang akan dibantun ya tanpa menerapkan value judgments.
h. Mampu melakukan penalaran secara sistematis dan berpikir dalam kerangka sistem.
i. Tidak ketinggalan zaman dan memiliki pandangan luas tentang hal-hal yang terjadi di dunia.
j. Mampu mengidentifikasi pola-pola tingkah laku yang self- defeating, yang merugikan dan membantu
orang lain mengubah pola tingkah.laku yang merugikan diri sendiri ini menjadi pola tingkah laku yang
lebih memuaskan.
k. Terampil membantu orang lain untuk “melihat” ke dalam dirinya sendiri dan bereaksi secara tidak
defensif terhadap perta¬nyaan “Siapakah saya?”.
Hackney dan Cormier (2001), menulis tentang karakteristik para penolong yang efektif. Ia mengatakan
bahwa meskipun penelitian-penelitian tentang efektivitas konseling tidak menunjukkan bukti-bukti yang
jelas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi konseling, tetapi literatur profesional secara konsisten
memberi penekanan pada pentingnya karakteristik konselor untuk suksesnya konseling. Hackney dan
Cormier menyebutkan karakteristik-karakteristik berikut:
1) Kesadaran-tentang-diri (self-awareness) dan pemahaman diri sendiri.
Konsep yang dibicarakan ini serupa dengan yang dibicarakan oleh Rogers mengenai congruence.
Konselor harus sadar akan :
– Berbagai kebutuhannya (misalnya kebutuhan untuk memberi, mengasuh, disukai, menyenangkan orang
lain, dicintai, dapat mengen¬dalikan, dll.)
– Motivasinya untuk membantu (misalnya, apa yang didapat dengan menolong orang lain?)
– Perasaan-perasaan yang dipunyainya (misalnya, puas, sakit hati, bahagia, kecewa, bingung, takut, dll.)
– Kekuatan-kekuatan dan aset pribadi, limitasi diri dan keterampilan coping (misalnya, apa yang paling
disukai dari din sendiri bagaimana menyelesaikan kesulitan dan stres, dll.).
Dengan menyadari dan memahami diri sendiri, konselor tidak menjadi defensif menghadapi kliennya. Ia
dapat menanggapi klien tanpa terbawa oleh rasa tidak aman yang dipunyainya.
2) Kesehatan psikologis yang baik.
Hackney dan Cormier (2001) mengatakan bahwa ada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pada
psikiater, psikolog, dan psikoterapis ditemukan taraf depress, anxietas dan masalah relasi yang lebih
tinggi dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya. Lebih parah lagi, para konselor ini sering tidak
menyadari bahwa kesehatan psikologisnya marginal, atau kalaupun dia sadar, dia tidak mencari
pertolongan dan terus melakukan konseling justru sebagai mekanisme pertahanan terhadap masalahnya.
Seorang konselor yang membawa beban masalah di dalam dirinya akan sulit untuk mendengarkan
kliennya dengan objektif. Proses komunikasi dengan klien akan terhambat oleh kurangnya
kemampuannya untuk berkonsentrasi. Stewart dan Cash (2000) menggolongkan masalah pribadi yang
mencekam konselor ke dalam kategori noise. Termasuk dalam noise adalah segala sesuatu yang
merintangi proses komunikasi, yang akan menghambat konselor dengan klien.
3) Sensitivitas terhadap dan pemahaman tentang faktor-faktor rasial, etnik dan budaya dalam diri sendiri
dan orang lain.
Seorang konselor harus sangat sensitif terhadap isu-isu semacam ini. Belum lagi variasi-variasi yang
terjadi di dalam suatu suku banga atau sub-budaya. Ia harus memahami bahwa ia hidup di dalam konteks
lingkungan yang sangat kompleks dan bahwa faktor-faktor ini berperan dan mempengaruhi dirinya
sendiri dan kliennya. Karena inilah seorang konselor harus mempunyai keterbukaan yang tinggi, kemauan
dan kemarnpuan untuk menerima diversivitas yang ada di sekelilingnya.
4) Keterbukaan (open-mindedness).
Keterbukaan mempunyai beberapa fungsi penting dalam konseling menurut Hackney dan Cormier
(2001). Pertama-tama seorang konselor yang memiliki keterbukaan, dapat mengakomodasi perasaan,
sikap dan tingkah laku klien yang berbeda dengan dirinya. Kedua, memungkinkan konselor untuk
berinteraksi dengan berbagai macam jenis klien. Dan akhirnya, keterbukaan merupakan persyaratan untuk
komunikasi yang jujur. Dalam suatu penelitian ditemukan bahwa orang yang kurang terbuka, sulit
mengubah pemikirannya tentang sesuatu dan meskipun ada bukti-bukti yang sebaliknya, tetap bertahan
dengan ide semula yang sudah terpaten dalam pikirannya.
Dengan perkataan lain, seorang konselor harus bersedia membuka dirinya untuk segala macam
pengalaman yang ada. Ia harus selalu berusaha memperkaya dirinya dengan berbagai macam
pengetahuan. Ia harus bisa menerima bahwa ada berbagai macam pengalaman di dunia, bukan dirinya
atau kelompoknya yang ssatu-satunya benar. Ada norma-norma lain di dunia, dan ia harus bissa
menerimanya. Norma yang dianut bukanlah satu-satunya yang benar.
5) Objektivitas.
Objektivitas mengacu pada kemampuan untuk melibatkan diri dengan klien di satu pihak, tetapi juga saat
yang bersamaan berdiri di kejauhan dan melihat apa yanh terjadi dengan kliennya dan hubungannya.
Merupakan komponen dari empati, seperti yang dikatakan Rogers (1957), kemampuan melihat masalah
kliem seakan-akan (as if) masalahnya sendiri, tanpa melupakan kondisi as if ini.
Objektivitas ini juga akan meyelamatkan konselor dari klien yang manipulatif, mencegah pola
komunikasi yang disfungsional. Konselor akan mudah mengenal klien-kliennya yang manipulatif dan
berespons secara profesional. Objektivitas juga akan memagari konselor dari perasaan-perasaan
emosional disfungsional terhadap kliennya. Menjaga konselor dari counter-transference, dan timbulnya
perasaan-perasaan romantis dan ketertarikan sekuaal terhadap klien. Yang harus dipunyai oleh seorang
konselor adalah involved and caring objectivity (Hakcney & Cormier, 2001, hlm. 17).
6) Kompetensi.
Menurut Egan (1998), kompetensi menunjuk kepada apakah konselor mempunyai pengetahuan, informasi
dan keterampilan untuk membantu. Tingkah laku konselor ditentukan oleh hagaimana hasil akhirnya dan
tidak oleh kebaikan tingkah lakunya. Kompetensi berhubungan dengan pengetahuan yang menyangkut
proses psikologis, asesmen, etik, keterampilan klinis, keterarnpilan teknis, kemampuan untuk menilai,
efektivitas pribadi. Dan tentu saja kompetensi untuk berpikir multikultural.
Menurut Brammer, Abrego dan Shostrom (1993), efektivitas konseling adalah maksimal bila konselor
menunjukkan balans dalam 2 komponen, yaitu personal relationship skills dan technical qualifications.
Berarti seorang konselor yang efektif harus memahami berbagai teknik yang efektif untuk perubahan
tingkah laku, tetapi juga harus mempunyai berbagai kualitas tertentu yang kemudian dapat dijadikan
model oleh kliennya.
7) Dapat dipercaya (trustworthiness).
Termasuk di sini adalah kualitas-kualitas konselor seperti reliabilitas, tanggung jawab, standar etik,
prediktabilitas. Trust sangat sulit untuk dibentuk dan dapat hilang dalam sekejap dengan satu tindakan
saja. Cavanagh (1982) mengatakan bahwa salah satu sasaran penting dari konseling adalah mendorong
klien untuk mengungkapkan dirinya yang terdalam. Untuk dapat melakukan ini, klien harus dapat
merasakan bahwa konselor dapat menerima dan memahami apa yang diungkapkannya tanpa merasa
terkejut atau tidak nyaman dan ketidak setujuan. Karena itu, konselor yang dapat dipercaya menjaga
komunikasi kliennya, berespons dengan energi dan dinamisme terhadap keprihatinan dan masalah klien,
dan tidak pernah membuat kliennya menyesal karena telah mengungkapkan sesuatu kepada konselor
(Cavanagh, 1982).
8) Interpersonal attractiveness.
Klien melihat konselor tampak menarik secara interpersonal. Menurut Hackney dan Cormier (2001),
secara intuitif klien membuat asesmen ini. Yang penting dalam similaritas ini adalah pandangan-
pandangan (worldview) yang dianggap serupa. Konselor dan klien tidak usah sama dalam etnik, budaya
atau agama, tetapi konseling akan menjadi lebih berhasil kalau klien merasakan bahwa konselor
rnempunyai pandangan-pandangan yang “serupa” dengan dirinya, kalau klien dan konselor berbagi
berbagai karakteristik penting. Sikap unconditional positive regard yang dianjurkan oleh Rogers (1957)
dapat membantu, karena dengan sikap tidak menilai, menaruh respek pada klien, konselor tidak
memaksakan nilai-nilai pribadinya. Kalau klien dapat merasakan hal ini, maka akan mengurangi
perceived differences – meskipun mungkin tidak sama serupa, tetapi klien tidak merasakan ancaman dari
konselor, ia merasa nyaman menjadi dirinya sendifi.
Dapat dikatakan bahwa dalam setiap literatur tentang konseling, hampir pasti akan ditemukan tulisan-
tulisan tentang karakteristik-karakteristik konselor yang efektif. Apa pun pendekatan yang dipakai
penulisnya, hampir pasti pula mereka akan menyebut ketiga karateristik konselor yang diuraaikan oleh
Rogers, yaitu kongruensi, akseptansi dan repek terhadap klien.

DAFTAR PUTAKA

Lemana, M Jeanette. Dasar-dasar Konseling. 2006. Jakarta : Universitas Indonesia


Salahudin, Anas. 2011. Bimbingan dan Konseling . Bandung: Pustaka Setia
Siradj, Shahudi. 2012. Pengantar Bimbingan dan Konseling. Surabaya: Revka Petra
Willis, Sofyan. 2004. Konseling individual Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta

Anda mungkin juga menyukai