Anda di halaman 1dari 20

TANTANGAN DAN HAMBATAN BIMBINGAN DAN KONSELING

Dosen Pembimbing: Evi Winingsih, S.Pd., M.Pd

Disusun oleh:
KELOMPOK XI
1. Lusi’ani (16010014026)
2. Sayyida Fadhila N (16010014044)
3. Yelin Sulistyawati (16010014066)

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

2
BIMBINGAN DAN KONSELING
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling merupakan mata kuliah sebagai landasan mata
kuliah jurusan Bimbingan dan Konseling pada tahap semester berikutnya. Tanpa mata kuliah
ini, mahasiswa tidak bisa mengambil mata kuliah berikutnya karena ini juga termasuk mata
kuliah prasyarat.
Didalam mata kuliah Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling banyak materi yang perlu
di bahas, kelompok kami mendapat bagian Tantangan dan Hambatan Bimbingan dan
Konseling.
Tantangan adalah suatu hal yang membuat fikiran, adrenalin kita terpancing untuk
memecahkan atau menyelesaikannya. Sedangkan hambatan adalah masalah yang mengganggu
proses konseling. Semua akan di kupas secara mendetail pada bab pembahasan.
Suatu pekerjaan tidak akan berjalan dengan lancar begitu saja, pasti ada pro dan kontra.
Banyak anggapan-anggapan negatif tentang seorang konselor, dikarenakan kurang fahamnya
masyarakat terhadap pribadi dan tugas serta fungsi konselor.
Proses konseling akan berjalan sebagaimana mestinya jika ada hal-hal yang mendukung
dan mendasari.

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tantangan yang dihadapi BK
Arah-arah masa depan profesi menurut Robert L. Gibson dan Marianne H.
Mitchell, 2010 dalam bukunya Bimbingan dan Konseling halaman 61. Meningkatnya
perhatian terhadap bidang-bidang khusus. Ketika profesi apa pun berkembang dan
meraih kepercayaan publik, spesialisasi tertentu akan bermunculan. Contohnya,
spesialisasi telah berkembang luas dan menyebar di profesi penolong tradisional seperti
kedokteran dan hukum. Spesialisasi semacam itu juga muncul di dalam profesi
konseling, seperti konseling pernikahan dan keluarga, konseling multi budaya, konseling
krisis, konseling penyalahgunaan obat, konseling karir, konseling SD, konseling
SMP/SMA, konseling komunitas atau lembaga, konseling gerontologist, konseling
rehabilitasi, konseling kesehatan mental dll. Saat mencakup masa depan kita dapat juga
mengantisipasi munculnya spesialisasi yang sama sekali baru dengan mencermati
peningkatan atensi ke bidang spesialisasi dan atau kebutuhan tertentu populasi klien dan
komunitas atau masyarakat.
Menurut DR MJ, tantangan-tantangan yang dihadapi ada dua sisi tinjaun yang
harus dihadapi yakni tantangan dari dalam konseling/ABKIN dan dari luar. Berbagai
tantangan dalam Bimbingan dan Konseling dipaparkan secara singkat di bawah ini :
1. Tantangan Internal Konsep dasar yang harus ditegakkan adalah bagaimana
eksistensi profesi konselor ditengah masyarakat modern Indonesia ini semakin
diakui.
Tanpa pengakuan masyarakat perkembangan konseling tentu akan sangat lambat
dan berat. Salah satu bagian yang krusial adalah bagaimana menciptakan konselor
profesioanal melalui pendidikan konselor yang handal. Pendidikan profesi ini
berarti sebuah usaha untuk memenuhi kompetensi dasar sebagai konselor

4
profesional. Kompetensi diartikan sebagai sesuatu yang harus ada dan dimiliki serta
melekat pada jiwa konselor.
Kompetensi konselor menyangkut kompetensi akademik dan kompetensi
profesional. Kompetensi akademik konselor yakni S1 bidang konseling atau S2
konseling dan melanjutkan pendidikan profesi 1 tahun. Sedang kompetensi
profesional konselor terbentuk melalui latihan dalam menerapkan kompetensi
akademik dalam bidang bimbingan dan konseling yang telah dikuasai dalam kontek
otentik di sekolah. Hal ini terentang dari observasi dalam rangka pengenalan
lapangan, latihan ketrampilan dasar penyelenggaraan konseling, latihan terbimbing,
latihan terstruktur dan latihan mandiri serta program pemagangan dan kesemuanya
itu dibawah pengawasan dosen pembimbing dan konselor pamong.
Berbagai isu tentang kompetensi ini, pendidikan profesi konselor tidak secara
otomatis sepenuhnya dapat memenuhi kompetensi yang diharapkan. Bahkan
beberapa kenyataan ada konselor yang tidak memenuhi kompetensi di atas tetapi
handal dalam praktek konselor karena mengikuti pelatihan dan pengalamanya.
Tetapi sebaliknya konselor yang S1 BK dan menempuh program pendidikan
konselor justru tidak berkompeten. Oleh karenanya penting bagi ABKIN untuk
membuat sistem pendidikan bagi konselor yang terstandar. Mengejar kuantitas,
tetapi kualitas tetap terjaga.
Pekerjaan besar tantangan internal adalah bagaimana ABKIN membangun etika
profesi konselor yang didalamnya menyangkut pengembangan isi dan prosedur
dalam penanaman etika profesi agar dimiliki oleh konselor. Pekerjaan besar dalam
membangun etika profesi konselor menjadi bagian penting untuk membangun
ekistensi konselor agar diakui dan dibutuhkan oleh masyarakat.
2. Tantangan eksternal merupakan tantangan yang berasal dari luar lingkungan
pendidikan bimbingan dan kenseling yang petanya sangat rumit dan kompleks.
Berkaitan dengan eksistensi konselor ada tantangan yang luar biasa dari bidang
lain misalnya psikologi, kesadaran masyarakat akan kebutuhan konselor,
lingkungan sekolah sebagai setting bidang garap yang lebih mempercayai psikolog,
perubahan perilaku dan nilai-nilai dan perkembangan tekhnologi dunia yang

5
semakin cepat, memaksa pendidikan konselor harus tetap bisa bertarung dan eksis
dalam menyikapi berbagai situasi ini serta landasan hukum/kebijakan yang terkait
dengan eksistensi konselor dengan segala atributnya.
Salah satu fenomena yang sekarang muncul adalah masyarakat yang lebih
memilih menggunakan tekhnologi sebagai alat bersosialisasi. Termasuk didalamnya
adalah para remaja usia sekolah yang ada diperkotaan. Dari bertukar informasi,
mencari teman, melakukan transaksi hingga mengekpresikan permasalahan
kehidupan pribadinya sebagai bentuk meminta bantuan untuk memecahkan
masalahnya. Secara tidak langsung peristiwa ini merupakan peristiwa konseling.
Oleh karenanya, konseling sangat mungkin bergeser dan menyentuh wilayah ini.
Tugas konseling adalah membuat konsep konseling melalui media ini.
Contoh lain adalah adanya persinggungan wilayah bidang garap antara konselor
dan psikolog dalam setting pendidikan. Kenyataannya terdapat masyarakat dan
dunia pendidikan kita lebih memilih psikolog dibanding konselor. Pergeseran
kepercayaan ini sebenarnya tidak lepas dari kualitas konselor sekolah yang rendah.
Sisi lain adalah psikolog dapat masuk dalam setting pendidikan melalui bidang
pengembangan potensi, pengetesan IQ, melakukan jasa psikologi dsb. Ini
membuktikan ada persinggungan bidang garap yang kuat antara konselor dan
psikolog. Oleh karenanya penting sekali mempertegas bidang garap ini secara
yuridis formal/kebijakan.
Jadi, secara garis besar ada dua masalah, pertama menyangkut aspek ineternal
yakni sistem pendidikan profesi konselor, kompetensi konselor, etika profesi
konselor dan sebagainya. Kedua menyangkut eksistensi ABKIN dan konselor dalam
masyarakat, persaingan, menanggapi dunia yang bergerak dan berubah dengan
cepat, hingga legalitas dan kebijakan yang memperkuat posisi ABKIN dan konselor
di Indonesia.
B. Kesalahpahaman dalam Bimbingan dan Konseling
Menurut prayitno dan amti, 2004:120. Uraian terdahulu mengemukakan
pelayanan bimbingan dan konseling merupakan barang impor yang pengembangannya
di Indonesia masih tergolong baru. Apabila untuk penggunaan istilah saja, terutama

6
istilah penyuluhan dan konseling, masih belum ada kesepakatan semua pihak, maka
dapat di mengerti kalau sampai sekarang masih banyak kesalahpahaman dalam bidang
bimbingan dan konseling itu. Kesalahpahaman seperti itu lebih mungkin lagi terjadi
mengingat pelayanan bimbingan dan konseling dalam waktu yang relatif tidak begitu
lama, telah tersebar luas terutama kesekolah-sekolah, diseluruh pelosok tanah air.
Sebagian besar diantara mereka tidak memiliki latar belakang pendidikan bidang
bimbingan dan konseling. Disamping itu, literatur yang memberikan wawasan,
pengertian dan berbagai seluk beluk teori dan praktek bimbingan dan konseling yang
dapat memperluas dan mengarahkan pemahaman mereka itu juga masih sangat kurang.
Kesalahpahaman tersebut pertama-tama perlu dicegah penyebarannya dan perlu
diluruskan apabila diinginkan agar gerakan pelayanan bimbingan dan konseling pada
umumnya dapat berjalan dan berkembang dengan baik sesuai dengan kaidah-kaidah
keilmuan dan praktik penyelenggaraannya. Kesalahpahaman yang sering dijumpai di
lapangan antara lain sebagai berikut,
1. Bimbingan dan Konseling Disamakan Saja dengan atau Dipisahkan Sama Sekali
dari Pendidikan
Menurut prayitno dan amti, 2004:121. Ada dua pendapat yang ekstrim berkenaan
dengan pelaksanaan bimbingan dan konseling. Pertama, pendapat yang mengatakan
bahwa bimbingan dan konseling sama saja dengan pendidikan. Pendapat ini
menganggap bahwa pelayanan khusus bimbingan dan konseling tidak perlu di
sekolah. Bukankan sekolah telah menyelenggarakan pendididkan? Jadi, dengan
sendirinya bimbingan dan konseling sudah termasuk kedalam usaha sekolah yang
menyelenggarakan pendidikan itu. Sekolah tidak perlu bersusah payah
melaksanakan pelayanan bimbingan dan konseling secara mantap dan mandiri.
Mantapkan saja pengajaran sebagai pelaksanaan nyata dari usaha pendidkan.
Pendapat ini akhirnya cenderung terlalu mengutamakan pengajaran dan
mengabaikan aspek-aspek lain dari pendidikan serta tidak melihat sama sekali
pentingnya bimbingan dan konseling.
Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling
harus benar-benar dilaksanakan secara khusus oleh tenaga yang benar-benar ahli

7
dengan perlengkapan (alat, tempat dan sarana) yang benar-benar memenuhi syarat.
Pelayanan bimbingan dan konseling harus secara nyata dibedakan dari praktek
pendidikan sehari-hari
Memang bimbingan dan konseling disekolah secara umum termasuk ke dalam
ruang lingkup upaya pendidikan disekolah, namun tidak berarti bahwa dengan
penyelenggaraan pengajaran (yang baik) saja seluruh misi sekolah akan dapat
dicapai dengan penuh.
2. Konselor di Sekolah Dianggap sebagai Polisi Sekolah
Menurut prayitno dan amti, 2004:122. Masih banyak anggapan bahwa peranan
konselor disekolah adalah sebagai polisi sekolah yang harus menjaga dan
mempertahankan tata tertib, disiplin dan keamanan sekolah. Anggapan ini
menatakan “Barangsiapa diantara siswa-siswi melanggar peraturan dan disiplin
sekolah harus berurusan dengan konselor”. Tidak jarang pula konselor diserahi tugas
mengusut perkelahian ataupun pencurian. Konselor ditugaskan mencarisiswa yang
bersalah itu. Konselor didorong untuk mencari bukti-bukti atau berusaha agar siswa
mengaku bahwa ia telah berbuat sesuatu yang tidak pada tempatnya atau kurang
wajar, atau merugikan. Misalnya, konselor ditugasi mengungkapkan aagar siswa
mengakui bahwa ia menghisap ganja dan sebagainya. Dalam hubungan ini
pengertian konselor sebagai mata-mata yang mengintip segenap gerak-gerik siswa
agar dapat berkembang dengan pesat.
Menurut saudara Thoiful Hukamai Billah siswa kelas XII di SMA Wahidiyah
Kediri mengatakan bahwa Guru BK bisa juga disebut sebagai polisi sekolah, karena
setiap siswa yang bermasalah atau melanggar aturan sekolah dia akan masuk ruang
BK.
3. Bimbingan dan Konseling Dianggap Semat-mata Sebagai Proses Pemberian Nasihat
Menurut prayitno dan amti, 2004:123. Bimbingan dan konseling bukan hanya
bantuan yang berupa pemberian nasihat. Pemberian nasihat hanya merupakan
sebagian kecil dari upaya-upaya bimbingan dan konseling. Disamping memerlukan
pemberian nasihat, pada umumnya klien sesuai dengan masalah yang dialaminya
memerlukan pelayanan lain, seperti pemberian informasi, penempatan dan

8
penyaluran, konseling, bimbingan belajar, pengalihtangan kepada petugas yang lebih
ahli dan berwenang, layanan kepada orang tua siswa dan masyarakat dll.
Konselor juga harus melakukan upaya-upaya tindak lanjut serta
mensingkronisasikan upaya yang satu dengan upaya yang lainnya sehingga
keseluruhan upaya itu menjadi suatu rangkaian yang terpadu dan bersinambungan.
4. Bimbingan dan Konseling Dibatasi pada Hanya Menangani Masalah yang Bersifat
Insidental
Menurut prayitno dan amti, 2004:124. Memang, sering kali pelayanan
bimbingan dan konseling bertitik tolak dari masalah yang dirasakan klien sekarang,
yang sifatnya diadakan. Namun pada hakikatnya pelayanan itu sendiri menjangkau
dimensi waktu yang lebih luas, yaitu yang lalu, sekarang, dan yang akan datang.
Disamping itu, konselor tidaklah seyogyanya menunggu saja klien datang dan
mengemukakan masalahnya.
5. Bimbingan dan Konseling Dibatasi Hanya untuk Klien-klien Tertentu Saja
Menurut prayitno dan amti, 2004:124. Pelayanan bimbingan dan konseling
bukan tersedia dan tetuju hanya untuk klien-klien tertentu saja, tetapi terbuka untuk
segenap individu ataupun kelompok yang memerlukannya. Disekolah misalnya,
pelayanan bimbingan dan konseling tersedia dan tertuju untuk semua siswa.
Bimbingan dan konseling tidk mengenal penggolongan siswa-siswi atas dasar mana
golongan siswa tertentu memperoleh pelayanan yang lebih dari golongan siswa
lainnya. Semua siswa mendapat hak dan kesempatan yang sama untuk
mendapatkanpelayanan bimbingan dan konseling, kapan, bagaimana, dan dimana
pelayanan itu diberikan, pertimbangnya semata-mata didasarkan atas sifat dan jenis
masalah yang dihadapi serta ciri-ciri keseorangan siswa yang bersangkutan. Petugas
bimbingan dan konseling membuka pintu yang selebar-lebarnya bagi siapa saja
siswa yang ingin mendapatkan atau memerlukan pelayanan bimbingan dan
konseling.

9
6. Bimbingan dan Konseling Melayani “Orang Sakit” dan atau “Kurang Normal”
Menurut prayitno dan amti, 2004:125. Bimbingan dan konseling tidak melayani
orang sakitatau kurang normal, tetapi bimbingan dan konseling hanya melayani
orang-orang normal yang mengalami masalah tertentu. Misalnya, jika seseorang
ternyata mengalami keabnormalan tertentu, apalagi kalau sudah bersifat sakit jiwa,
maka orang tersebut sudah seyogyanya menjadi klien psikiater. Masalahnya, ialah
masih banyak konselor yang terlalu cepat menggolongkan atau setidak-tidaknya
menyangka seseorang mengalami keabnormalan mental atau ketidaknormalan jiwa,
sehingga terlalu cepat pula menghentikan pelayanan-pelayanan bimbingan dan
konseling dan menyarankan klienagar pergi ke psikiater. Hal ini tentu saja tidak
pada tempatnya atau bahkan berbahaya. Klien yang sebenarnya tidak sakit, tetapi
oleh konselor dikirim ke dokter atau psikiater, pertama-tama akan menganggap
bahwa konselor tersebut sebenarnya ahli: keahlianya adalah semua atau setidak-
tidaknya diragukan. Sebagai akibatnya, klien tidak lagi mempercayainya. Konselor-
konselor yang demikian itu akan memudarkan citra profesi bimbingan dan
konseling. Kedua, klien berkemungkinan akan mempersepsi masalah yang
dialaminya, secara salah. Atau mungkin akan memprotes pengiriman yang salah
alamat itu dan memberikan reaksi-reaksi lain yang justru memperberat masalah-
masalah yang dialaminya.
7. Bimbingan dan Konseling Bekerja Sendiri
Menurut prayitno dan amti, 2004:125. Pelayanan bimbingan dan konseling
bukanlah proses yang terisolasi, melainkan proses yang bekerja sendiri sarat dengan
unsur-unsur budaya, sosial dan lingkungan. Oleh karenanya pelayanan bimbingan
dan konseling tidak mungkin menyendiri. Konselor perlu bekerjasama dengan
orang-orang yang diharapkan dapat membantu penanggulangan masalah yang
sedang dihadapi oleh klien. Disekolah misalnya, masalah-masalah yang dihadapi
oleh siswa tidak berdiri sendiri. Masalah itu sering kali saling terkait dengan orang
tua siswa, guru dan pihak-pihak lain; terkait pula dengan bebagai unsur lingkungan
rumah, sekolah dan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu, penanggulangannya tidak
dapat dilakukan sendiri oleh konselor saja. Dalam hal ini peran guru, orang tua, dan

10
pihak-pihak lain sering kali sangat menentukan. Konselor harus pandai menjalin
hubungan kerja sama yang saling mengerti dan saling menunjang demi terbantunya
siswa yang mengalami masalah itu. Disamping itu, konselor harus pula
memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada dan dapat diadakan untuk
kepentingan pemecahan masalah siswa.
8. Menganggap Hasil Pekerjaan Bimbingan dan Konseling Harus Segera Dilihat
Menurut prayitno dan amti, 2004:128. Disadari bahwa menghendaki agar
masalah yang dihadapi Klient sesegera mungkin dapat diatasi, hasilnya pun
hendaknya dapat dilihat dengan segera. Namun harapan itu seringkali tidak terkabul,
lebih-lebih kalau yang dimaksud dengan cepat itu adalah dalam hitungan jam atau
hari saja. Pengubahan pandangan dan atau tingkah laku sering kali harus melalui
proses yang mungkin perlu berlangsung beberapa hari, minggu atau bulan sebelum
perubahan yang nyata tampak. Dalam hal ini, orang-orang yang mengharapkan hasil
yang cepat mungkin akan kecewa dan kekecewaan ini mungkin justru akan
mementahkan kembali usaha-usaha yang sudah mulai terlaksana dan hasil-hasil
yang sudah mulai berkembang.
9. Menyamaratakan Cara Pemecahan Masalah Bagi Semua Klient
Menurut prayitno dan amti, 2004:128. Cara apapun yang akan dipakai untuk
mengatasi masalah haruslah disesuaikan dengan pribadi Klient dan berbagai hal
yang terkait dengannya. Tidak ada suatu carapun yang ampuh untuk semua Klient
dan semua masalah. Bahkan sering kali terjadi, untuk masalah yang sama pun cara
yang dipakai perlu dibedakan. Asalah yang tampaknya sama setelah dikaji secara
mendalam mungkin ternyata hakikatnya berbeda, sehingga diperlukaan cara yang
berbeda untuk mengatasinya. Pada dasarnya, pemakaian sesuatu cara tergantung
pada pribadi klien, jenis dan sifat masalah, tujuan yang dicapai, kemampuan petugas
bimbingan konseling dan saran yang tersedia

11
10. Memusatkan Usaha Bimbingan dan Konseling Hanya Pada Penggunaan
Instrumentasi Bimbingan dan Konseling (Misalnya Tes, Inventori, Angket, Dan Alat
Pengungkap Lainnya)
Menurut prayitno dan amti, 2004:129. Perlu diketahui bahwa perlengkapan dan
sarana utama yang pasti ada dan dapat dikembangkan dalam diri konselor ialah dan
keterampilan pribadi. Dengan kata lain, ada dan digunakan instrumen (tes, inventori,
angket, dan lain sebagainya) hanyalah sekedar pembantu. Ketiadaan alat-alat tidak
boleh mengganggu, menghambat, ataupun melumpuhkan sama sekali usaha
pelayanan bimbinan dan konseling. Oleh sebab itu, konselor hedaklah tidak
menjadikan instrumen seperti itu sebagai alasan atau dalih untuk mengurangi,
apalagi tidak melaksanakan layanan bimbingan dan konseling sama sekali. Petugas
bimbingan dan konseling yang baik akan selalu menggunakan apa yang dimilki
secara optimal sambil terus berusaha mengembangkan sarana-sarana penunjang
yang diperlukan.
11. Bimbingan dan Konseling Dibatasi Pada Hanya Menangani Masalah-Masalah Yang
Ringan Saja
Menurut prayitno dan amti, 2004:129. Menetapkan sesuatu masalah berat atau
ringan, tidaklah mudah. Suatu masalah mungkin tampak ringan, tetapi setelah dikaji
dan diungkapkan berbagai sangkut-pautnya, ternyata adalah berat. Sebaliknya suatu
yang tampak berat, pelik, dan sebagainya, setelah dibahas dengan baik ternyata tidak
merisaukan dan apat diatasi dengan tidak perlu bersusah payah. Dalam hal ini
memerikan sifat ringan atau berat kepada masalah yang dihadapi klien tidaklah perlu
dan hal itu tidak akan membantu meringankan usaha pemecahan masalah itu sendiri.
Tanpa menyebut bahwa masalahyang dihadapi itu berat atau ringan, tugas
bimbingan dan konseling ialah menangani masalah dengan cermat dan tuntans.s
Kadar penanganan (entah itu berat atau ringan) semata-mata disesuaikan dengan
pribadi Klient, jenis masalah, tujuan yang ingin dicapai, kemampuan konselor,
sarana yang tersedia, dan kerjasama dengan pihak-pihak lain.

12
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Konseling
1. Keseriusan Masalah yang di Paparkan
Didalam buku konseling profesi yang menyeluruh Samuel T. Gladding(2012)
konseling dipengaruhi oleh keseriusan masalah yang dipaparkan klien. “bukti
menunjukan adanya hubungan antara seberapa besar masalah yang dipaparkan klien
dengan perkembangan pengobatan. Jadi klien yang melaporkan tingkat gangguan
yang tinggi menjalani lebih banyak sesi untuk mencapai kemajuan yang signifikan
daripada klien yang melaporkan tingkat gangguan yang lebih rendah” (Liebert, 2006,
hal 109).

2. Struktur
Didalam buku konseling profesi yang menyeluruh Samuel T. Gladding(2012) klien
dan konselor kadang-kadang mempunyai persepsi yang berbeda mengenai tujuan dan
sifat konseling. Klien sering kali tidak t ahu apa yang dapat diharapkan dari proses
yang dijalaninya atau bagaimana harus menanggapinya. Menemui konselor adalah
upaya terakhir bagi kebanyakan orang mereka akan lebih dulu mencari pertolongan
dari sumber-sumber yang lebih familiar, seperti, teman, sanak saudara, rohaniwan,
atau bahkan guru (Hinson & Swanson, 1993). Oleh karena itu, banyak klien yang
menjalain konseling secara terpaksa dan enggan. Ketidakpastian ini dapat
menghambat proses konseling jika tidak disertai sruktur tertentu (Ritchie, 1986).
Struktur dalam konseling didenifisikan sebagai “kesalahpahaman bersama antara
konselor dan klien mengenai karakteristik, kondisi prosedur dan parameter
konseling” (Day & Sparacio, 1980, hal 246). Struktur membantu memperjelas
hubungan konselor dank lien dan memberikan arah yang benar; melindungi hak,
peran, dan kewajiban baik dari konselor maupun klien; dan memastikan suksesnya
konseling (Brammer, Abrego & Shostrom, 1993)

13
3. Inisiatif
Didalam buku konseling profesi yang menyeluruh Samuel T. Gladding(2012) inisiatif
dapat disebut juga sebagai motivasi untuk berubah. Kebanyakan Konselor dan teori
konseling menganggap bahwa klien akan bersifat kooperatif. Memang benar, banyak
klien yang datang untuk konseling secara sukarela atau berdasarkan keinginan
sendiri. Mereka merasa tegang dan khawatir mengenai diri mereka sendiri ataupun
orang lain, tetapi berkeinginan kuat untuk menjalani sesi konseling. Namun ada klien
yang tidak berpartisipasi dalam konseling. Vriend dan Dyer (1973) memperkirakan
adanya keengganan dalam berbagai tingkatan pada mayoritas klien yang datang
kekonselor. Jika konselor bertemu dengan klien yang sepertinya kurang berinisiatif
dia sering kali tidak tau apa yang diperbuat oleh klien, apalagi bagaimana memulai
konseling oleh karena itu sebagian konselor merasa tidak sabar, terganggu dan
bahkan langsung menyerah menghaadapi orang-orang seperti itu.
Contoh kasus: Rachel Si Enggan
Rachel tertangkap basah sedang menghisap mariuana di kamar mandi
wanita sekolahnya. Pihak sekolah mempunyai kebijakan tidak menolerir obat-obat
terlarang dan dengan segera menskors Rachel sampai dia menjalani konseling. Rachel
sangat marah, namun dia membuat temu janji dengan konselor yang di
rekomendasikan sekolah. Kalimat pertamanya pada konselor yang dia temui adalah, :
“Kamu dapat membuatku datang tapi kamu tidak dapat membuatku bicara.”
Tentu saja, selama dua sesi pertama Rachel sedikit bicara dan bermuka
cemberut. Konselornya, Rose, frustasi sekaligus kesal menghadapi tingkahnya. Jadi,
Rose memutuskan jika Rachel tidak bertindak lebih kooperatif pada sesi ke tiga dia
akan menghentikan konseling ini.

4. Latar Fisik

14
Didalam buku konseling profesi yang menyeluruh Samuel T. Gladding(2012)
kebanyakan konseling dilakukan di sebuah ruangan, meskipun Benjamin 1987
mengatakan dia melakukan konseling didalam sebuah tenda, menurutnya, tidak ada
kualitas tertentu yang wajib dimiliki sebuah ruangan “kecuali ruangan tersebut tidak
boleh membuat gelisah,berisik atau menyebabkan gangguan”. Shertzer dan Stone
(1980) sangat setuju dengan pendapat tersebut: “Ruangan haruslah nyaman atraktif “.
Erdman dan Lampe (1996) menyakini bahwa fitur-fitur tertentu dalam ruangan
konseling dapat meningkatkan tampilan umumnya dan memfasilitasi konseling
dengan cara tidak membuat klien merasa terganggu. Fitur-fitur tersebut adalah
pencahayaan yang lembut; warna tidak mencolok; jauh dari kebisingan; perabotan
yang serasi dan nyaman; serta artifak-artifak kulural yang beragam. Mereka
menambahkan jika memberikan konseling yang membawa anak atau anak yang
dipisah dari keluarganya, konselor perlu memiliki furnitur ukuran anak-anak.

5. Kualitas Klien
Didalam buku konseling profesi yang menyeluruh Samuel T. Gladding(2012)
hubungan konseling diawali sejak kesan pertama. Cara konselor dan klien saling
berkenalan merupakan hal vital dalam membangun sebuah hubungan yang produktif.
Warnath (1997) menunjukan bahwa “klien datang dalam beragam ukuran, bentuk,
karakteristik kepribadian, dan tingkat ketertarikan.
Sejumlah stereotip dihubungkan dengan daya tarik fisik dan steriotik tersebut
digeneralisasikan pada klien. Orang yang fisiknya menarik dianggap paling sehat dan
member respon lebih positif daripada yang lain. Boldstain (1973) misalnya,
menemukan bahwa klien yang dipandang oleh konselornya sebagai klien yang sangat
aktraktif, adalah yang banyak bicara, dan lebih spontan dibandingkan klien yang lain.
Konselor cenderung memberi dukungan dan tertarik dengan klien yang aktratif. Oleh
karna itu, klien yang sudah berumur dan klien yang mempunyai kekurangan fisik
akan menghadapi dinding penghalang yang kuat tetapi tidak kelihatan pada situasi
konseling tertentu. Ponzo (1985) menyarankan agar konselor menyadari kuatnya
ketertarikan fisik dalam kehidupannya dan memonitor tingkah laku reaksionalny,

15
ketika bekerja denga klien yang aktraktif jika tidak, stereotip dan asumsi tanpa dasar
dapat “mengarah pada perkiraan yang memuaskan diri sendiri”.

6. Kualitas Konselor
Didalam buku konseling profesi yang menyeluruh Samuel T. Gladding(2012) kualitas
pribadi dan profesional seorang konselor sangat lah penting dalam memfasilitasi
hubungan yang sifatnya member bantuan. Okun & Kantrowitz (2008) mencatat
bahwa sangatlah sulit untuk memisahkan karakteristik kepribadian si penolong dari
tingkat dan gayanya dalam bekerja karna keduanya saling berhubungan. Kemudian
mereka menyebutkan lima karakteristik yang harus dimiliki penolong: mawasdiri,
jujur, selaras, mampu berkomunikasi, dan berpengetahuan.
Tiga karakteristik lain yang membuat konselor di awalnya menjadi lebih berpengaruh
adalah keahlian, ketertarikan, dan dapat dipercaya (strong, 1968)

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tantangan BK di masa depan meningkatnya perhatian terhadap bidang-bidang khusus. Ketika
profesi apa pun berkembang dan meraih kepercayaan publik, spesialisasi tertentu akan bermunculan.
Kedua, menyangkut aspek ineternal yakni sistem pendidikan profesi konselor, kompetensi konselor,
etika profesi konselor dan sebagainya. Ketiga menyangkut eksistensi ABKIN dan konselor dalam
masyarakat, persaingan, menanggapi dunia yang bergerak dan berubah dengan cepat, hingga
legalitas dan kebijakan yang memperkuat posisi ABKIN dan konselor di Indonesia.
Masih banyak anggapan-anggapan negatif tentang seorang konselor yang menangani anak didik
disekolah. Padahal disini peran konselor sangat penting untuk membantu peserta didik dalam segala
hal.
Dalam melakukan proses konseling terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
jalannya konseling, karena faktor-faktor tersebut bisa menjadi penghambat dalam suatu proses
konseling misalnya, keseriusan masalah yang akan dihadapi, pentingnya sruktur diawal konseling,
inisiatif dari klien, latar fisik yang harus diperhatikan saat melakukan konseling, kualitas klien yang
harus difahami, dan kualitas konselor yang harus dimiliki.

B. Saran
1. Sebagai konselor harus bersiap dengan perubahan, perkembangan zaman dan tuntutan
ditengah masyarakat.
2. Buktikan kepada mereka bahwa seorang konselor bukan orang yang harus ditakuti, bukan
sumber masalah justru konselor adalah sahabat anak untuk membantu setiap permasalahan
mereka.
3. Alangkah baiknya sebelum melakukan konseling memeperhatikan faktor yang dapat
mempengaruhi jalannya konseling.

17
18
LAMPIRAN

19
20
21

Anda mungkin juga menyukai