Anda di halaman 1dari 18

MASALAH-MASALAH ETIKA DALAM KONSELING DAN PSIKOTERAPI

Dosen Pengajar:

Dra. Nurhasanah, M.Pd

Evi Rahmiyati, S.Pd., M.Ed

Fadhil Muhammad, S.Pd., M.Pd

Disusun Oleh

Kelompok 6

Mauri Satina Villah 1906104030027

Rania Rizkia 1906104030028

T. Arief Dillon Marselo 1906104030093

Khairil Azwar 1906104030051

Nia Buge Mayara 1906104030012

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SYIAH KUALA

BANDA ACEH

2021
KATA PENGANTAR
Allhamdulillah puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan
Hidayah-Nya, kelompok dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Masalah-masalah
Etika dalam konseling dan Psikoterapi”, makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Teori dan Teknik Konseling II. Makalah ini bertujuan agar pembaca dapat memahami mengenai
teori logotheraphy Viktor Frankl.

Kami ucapkan kepada Dra. Nurhasanah, M.Pd, Evi Rahmayati, S.Pd, M.Ed, Fadhil
Muhammad S.Pd.,M.Pd selaku dosen pengampu pada mata kuliah ini. Dan kami ucapkan
terimakasih kepada teman-teman kelompok yang telah membantu dalam proses pembuatan
makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab
itu,kami mengharapkan saran dan kritik dari pembaca agar dapat membangun kesempurnaan dari
makalah ini

November, 2021

Kelompok 6

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ i


DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... ii
BAB I ..................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................................. 1
1.3 Tujuan .................................................................................................................................... 1
BAB II .................................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN .................................................................................................................................... 3
2.1 Tanggung Jawab Terapis ............................................................................................................ 3
2.2 Kompetensi Terapis ..................................................................................................................... 4
2.3 Hubungan Terapis – klien ........................................................................................................... 4
2.4 Kerahasiaan ................................................................................................................................. 6
2.5 Nilai-nilai dan filsafat hidup terapis .......................................................................................... 11
BAB III ................................................................................................................................................ 14
PENUTUP............................................................................................................................................ 14
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap profesi hakikatnya wajib dibarengi dengan etika dalam masing-masing profesi dan
keahlian bidang profesi atau yang disebut profesional. Meskipun berbagai aturan telah mengikat
tentang kode etik profesi yang disertai dengan hukuman jika terjadi pelanggaran, namun yang
terjadi di lapangan masih sangat banyak pelanggaran-pelanggaran ataupun penyalahgunaan
profesi. Adanya pelanggaran-pelanggaran ataupun penyalahgunaan profesi konselor di sekolah
yang tidak sesuai dengan kode etik profesi konselor menyebabkan citra konselor di sekolah saat
ini masih belum bisa dikatakan baik bahkan di beberapa tempat konselor masih dianggap sebagai
polisi sekolah. Banyak hal yang melatar belakangi buruknya citra konselor di sekolah, mulai dari
sikap konselor terhadap klien, konselor yang kurang melaksanakan tugas-tugas pokoknya di
sekolah dan profesi konselor yang disalah gunakan oleh pihak sekolah tersendiri. Sebagaimana
kita ketahui bahwa bimbingan konseling memiliki landasan religius, psikologi, budaya, filosofis,
pedagogis, historis dan landasan legalistik. Setiap landasan memiliki peran yang sama
pentingnya dalam proses bimbingan dan konseling. Sebagian besar masyarakat berpendapat
bahwa klien atau siswa melakukan tindakan kenakalan karena kurangnya pengetahuan mengenai
agama yang mana didalamnya terdapat landasan moral, sehingga petugas bimbingan konseling
haruslah mengerti dan paham bagaimana penyampaian norma-norma agama kepada klien dan
bagaimana membimbing klien kepada penyelesaian berdasarkan agama atau landasan religius.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana tanggung jawab terapis?
2. Bagaimana kompetensi terapis?
3. Bagaimana hubungan terapis dengan klien?
4. Apa saja kerahasiaan dalam melakukan konseling?
5. Apasaja nilai-nilai dan filsafat hidup terapis?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui tanggung jawab terapis
2. Untuk mengetahui kompetensi terapis

1
3. Untuk mengetahui hubungan terapis dengan klien
4. Untuk mengetahui nilai-nilai dan filsafat hidup terapis

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Tanggung Jawab Terapis

Terapis memiliki tanggung jawab terutama kepada klien. Akan tetapi, karena klien tidak
hidup dalam ruang hampa dan dipengaruhi oleh hubungan-hubungan yang lainnya, terapis
memiliki tanggung jawab juga kepada keluarga klien, kepada biro tempat terapis bekerja, kepada
biro yang dirujuk, kepada masyarakat, dan kepada profesinya.

Prinsip umum mengenai pengutamaan kesejahteraan klien tampaknya sudah jelas. Akan
terapi, masalah ini bisa dengan mudah menjadi samar apabila kita mengingat bahwa terapis juga
memiliki tanggung jawab – tanggung jawab atau pertentangan antara perepsi klien atas
kesejahteraaan dirinya dan persepsi terapis.

APA (1967, hlm. 67) menyatakan, “Psikologi berusaha mengakhiri suatu hubungan klinis
atau konsultasi apabila telah jelas baginya bahwa klien tidak memperoleh manfaat dari hubungan
itu”.
Apa yang harus dilakukan oleh terapis? Berapa lama terapis harus meneruskan
hubungannya dengan klien jika ia setuju melanjutkan hubungan terapeutik? Apa yang harus
dilakukan oleh terapis jika klien menyatakan bahwa yang dibutuhkannya sesungguhnya bukan
seorang terapis, melainkan seorang teman untuk dikunjungi?

Satu masalah etis utama lainnya yang berkaitan dengan kesejahteraan klien adalah
penggunaan obat – obatan di rumah sakit jiwa, di lembaga – lembaga rehabilitasi dan di sekolah
– sekolah. Sebagai pedoman umum, penggunaan obat – obatan yang diterima adalah untuk
terapeutik bagi kepentingan klien, bukan untuk membuat klien menjadi lebih bisa diatur oleh
terapis atau staf. Apabila obat – obatan digunakan kerja sama dengan dokter harus dijalankan
guna memperoleh jaminan keselamatan bagi klien. sayangnya, obat – obatan pada umumnya
digunakan untuk menenangkan atau menekan tingkah laku yang problematik dalam diri klien
untuk kepentingan orang lain untuk mempengaruhi suatu perubahan pada klien. Konselor harus

3
sadar atas kesalahan dalam menggunakan obat – obatan dan perlu mengambil sikap terhadap
masalah ini.

2.2 Kompetensi Terapis


Seorang terapis harus memiliki kompetensi sebagai berikut ini:

1. Terapis diharapkan dapat secara jujur menyadari dan mengungkapkan kompetensinya


serta keterbatasan pribadi dan profesinya.

2. Tingkat Sarjana Psikologi sudah dapat menjadi seorang terapis tetapi perlu mengikuti
pelatihan-pelatihan tertentu sehingga memiliki sertifikat.

3. Seorang Psikolog dapat menegakkan diagnosa dan melakukan pemeriksaan psikologis,


konseling, dan melakukan psikoterapi.

4. Untuk terapi behaviour modification, terapi pasangan dan keluarga dapat dilakukan oleh
lulusan profesi psikologi. Tetapi untuk terapi bermain, CBT, sebaiknya dilakukan
mengikuti pelatihan tertentu (bersertifikat).

5. Bila seorang terapis memperoleh permasalahan di luar kompetensinya, ada baiknya


mencari ahli lain untuk dirujukkan, atau mencari teman seorang ahli dalam bidang
tersebut.

2.3 Hubungan Terapis – klien


Hubungan terapeutik sangat erat bagi terapis eksistensial. Penekanan diletakkan pada
pertemuan antarmanusia dan perjalanan bersama alih-alih pada teknik-teknik yang
mempengaruhi klien, isi pertemuan terapi adalah pada teknik-teknik yang mempengaruhi klien.
Isi pertemuan terapi adalah pengalaman klien sekarang bukan masalag klien. Hubungan dengan
orang lain dalam kehadiran yang otentik difokuskan kepada “ di sini dan sekarang”. Masa
lampau atau masa depan hanya penting bila waktunya berhubungan langsung.
Dalam menulis tentang hubungan terapeutik, Sidney Jourard (1971) mengimbau agar
terapis, melalui tingkah lakunya yang otentik dan terbuka, mengajak kepada keotentikan, Jourard
meminta agar terapis membangun hubungan Aku-Kamu, di mana pembukaan diri terapis yang
spontan menunjang pertumbuhan dan keotentikan klien.

4
Hubungan terapeutik melibatkan dari terapis maupun klien. Tingkat perhatiaan terapis,
minat dan kemampuannya dalam membantuk klien dan ketulusannya adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi hubungan. Klien pun mempengaruhi hubungan melalui variabel-variabel
motivasi, kerja sama, minat, perhatian, sikap, persepsi-persepsi, dan reaksi-reaksinya terhadap
terapis.
Adapun hubungan terapeutik dari beberapa pendekatan diantaranya :
1) Terapi Psikoanalitik
Klien memperoleh pemahaman dengan berbicara. Dan terapis membuat penafsiran-
penafsiran untuk mengajari klien tentang makna tingkah lakunya sekarang sambl
meghubungkannya dengan masa lampau klien
2) Terapi Eksistensial Humanistik
Tugas utama terapis adalah menangkap secara akurat ada dalam dunia klien serta
menciptakan suatu pertemuan yang personal dan otentik dengan klien. Klien
menemukan keunikan diri dalam hubungannya dengan terapis.
3) Terapi Client Centred
Hubungan terapis-klien sangat penting. Kualitas-kualitas terapis yang mencakup
kesejatian, kehangatan, empati yang akurat, respek, sikap permisif, dan kemampuan
mengkomunikasikan pada klien. Klien menggunakan hubungan yang nyata
denganterapis itu untuk menerjemahkan belajar diri kedalam hubungan-hubungan
yang lain.
4) Terapi Gestalt
Terapi membantu klien dalam mengembangkan cara-cara membuat penafsiran-
penafsiran tersendiri. Klien diharapkan mengenali dan menangani urusan yang tak
selesai yang menghambat fungsi dirinya, dengan mengalami ulang situasi-situasi
traumatik masa lampau, seakan-akan situasi-situasi tersebut muncul sekarang.
5) Terapi Tingkah laku
Terapis aktif dan direktif, dan berfungsi sebagai guru atau pelatih dalam membantu
klien belajar tingkah laku yang lebih efektif. Klien harus aktif dalam peroses dan
berseksperiment dengan tingkah laku baru. Meskipun hubungan terapis dan klien
tidak ditekankan, hubungan kerja yang baik menjadi krangka landasan bagi
pelaksanaan prosedur-prosedur terapi

5
6) Analisis Transaksional
Hubungan yang sedrajat dengan mengesampingkan status trapis diutamakan. Klien
membuat kontrak-kontrak dengan terapis untuk mencapai perubahan-perubahan
spesifik yang diinginkan, apabila kontrak telah selesai maka terapi diakhiri.
Transferensi dan ketergantungan pada terapis ditiadakan.
7) Terapi Rasional Emotif
Terapis sebagai guru dan klien sebagai murid. Hubungan terapis dan klien tidak
esensial. Klien memperoleh pemahaman atas masalah dirinya dan kemudian harus
secara aktif mengalahkan pengubahan tingkah laku yang mengalahkan diri.
8) Terapi Realitas
Tugas utama terapi adalah melibatkan diri dengan klien dan mendorong klien untuk
menghadapi kenyataan dan membuat pertimbangan nilai mengenai tingkah lakunya
sekarang.

2.4 Kerahasiaan
Proses konnseling akan berlangsung atau terjadi, jika ada kepercayaan konseli kepada
konselor. Dengan kepercayaan tersebut konseli dapat terbuka menyampaikan informasi diri
kepada konselor. Konseli terbuka pada konselor kalau konselor memberikan jaminan
kerahasiaan akan informasi pribadi yang disampaikan kepada konselor (Corey,2010; McLeod,
2003; Gibson&Mitchel, 2010). Semua konselor menyadari akan nilai esensial kerahasiaan dalam
konseling. Menjadi tanggung jawab konselor untuk menentukan batas-batas kerahasiaan yang
,mencakup tingkat kerahasiaan yang dijanjikan (Gibson & Mitchel, 2010).

Dalam menentukan batas-batas kerahasiaan ini, konselor harus mempertimbangkan


kepentingan konseli dan lembaga tempat dia bekerja. Banyak problem yang muncul tentang
fakta konseling dan psikoterapi selalu terjadi dalam konteks sosial yang melibatkan konselor dan
konseli dalam suatu kerangka hubungan antar pribadi. Bagaimanapun, kewajiban etik untuk
kerahasiaan selalu berisfat relative daripada abstrak. Hak individu untuk memperoleh
kerahasiaan selalu muncul dalam konteks /hubungan nilai-nilai dan hak orang lain. Para
professional selalu meyakini fakta bahwa kesucian (sanctity) lebih berarti daripada suatu janji.
Sebagai contoh bahwa seorang konselor yang diharapkan untuk memegang rahasia, dimana
seorang konseli baru saja meletakkan sebuah bom waktu di sebuah auditorium yang penuh
orang. Dalam hal ini Paul, 1977; (Bigg & Blocher, 1986: 136) mengatakan bahwa dalam

6
keadaan tertentu, seorang konselor mempunyai suatu kewajiban untuk memperingatkan orang
lain dari suatu ancaman yang dibuat konseli. Sehubungan dengan pengelolaan kerahasiaan ini
Bigg & Blocher, (1986: 137-144) mengemukakan tiga level kerahasiaan yang bisa diterapkan
dalam situasi klinis:

Tingkat Pertama. Pada level ini dasar yang penting sekali adalah bahwa semua informasi
mengenai individu, organisasi, yang menyangkut harga diri, rahasia pribadi dan nilai-nilai,
ditangani secara professional. Jenis rahasia ini bukan hanya diterapkan pada klien yang ditandai,
tapi juga para individu lain atau organisasi lain seperti teman, keluarga, sekolah , agen-agen
keamanan dan lain-lain yang mungkin memberikan informasi, dijaga kerahasiaannya sebagai
bagian dari proses klinis. Jenis kerahasiaan ini meliputi semua informasi tentang hubungan
konseling, bahkan sekalipun konseli sudah dialihtangankan. Data interview klinis dipelihara,
pembicaraan telepon, janji-janji dan sebagainya, semuanya harus dijaga kerahasiaannya. Dan
file-file yang mudah diakses hanya bagi /oleh professional atau pegawai-pegawai yang
dipercaya, termasuk dalam urusan administrasi hanya bagi pegawai yang dipercya mampu
menjaga kerahasiaan, dimana mereka dipilih dan dilatih untuk itu dan secara rutin diawasi. Tentu
saja jenis kerahasiaan ini diterapkan oleh semua professional dalam setiap situasi. Hal ini
merupakan suatu bentuk perhatian yang mendasar dan merupakan dasar dari semua hubungan
professional.

Tingkat Kedua. Ciri yang menonjol dari tingkat kerahasiaan ini adalah bahwa informasi-
informasi hanya akan dibocorkan untuk kebaikan klien. Dalam banyak situasi informasi tentang
konseli dipertukaran (shared) di antara para profesionl. Di banyak waktu, pertukaran informasi
juga terjadi dengan pasangan suami/istri, orang tua, guru dan orang lain yang bermakna bagi
klien. Konseling dengan anak-anak sering menghasilkan situasi dimana pertukaran informasi
dengan orang tua merupakan bagian yang penting dari treatmen. Treatmen bagi orang dewasa
untuk berbagai masalah seperti alkoholik, penggunaan obat terlarang melibatkan anggota
keluarga. Yang jelas pertukaran informasi ini akan selalu dilakukan hanya demi kebaikan konseli
dan secara penuh diketahui oleh konseli atau seijin konseli. Namun dalam hal tertentu, konselor
tetap memegang teguh data konseli walaupun konseli sendiri yang memintanya, seperti data
tentang hasil tes kepribadian, konselor tidak memberikannya kepada praktisi lain yang dianggap
konselor tidak kualified untuk menginterpretasikannya. Dipihak lain, kadang-kadang kesulitan

7
muncul dalam suatu institusi atau perwakilan ketika kepala atau yang lainnya mencari informasi
tentang klien yang mungkin terlibat dalam perlanggaran disiplin, akademik, atau kesulitan-
kesulitan legal. Konselor secara etik di batasi untuk melayani keinginan yang paling baik dari
klien dalam menghandal informasi. Dalam hal ini prinsip-prinsip dan kebijakan –kebijakan etis
harus secara jelas dipahami oleh seorang perwakilan, sekolah dan organisasi lain dalam situasi
sulit.

Tingkat Ketiga. Dalam tingkat ini kerahsiaan akan dibocorkan hanya dalam situasi yang ekstrim
seperti membahayakan orang lain, menjadi saksi dalam suatu pengadilan dan sebagainya.
Kerahasiaan dapat dilihat sebagai tanggung jawab etik yng mensyaratkan konselor melindungi
dan mempertahankan dari pihak manapun informasi yang boleh dibagikan berdasarkan
keprivasian konseli selama proses konseling. Namun demikaian dikatakan oleh Gibson &
Mitchel (2010:625) bahwa “Satu-satunya pengecualian bagi mandat etik ini terjadi ketika
tindakan legal lebih tinggi predsedennya ketimbang standar etik” Kadang-kadang konselor harus
menghadapi konseli yang terancam hidupnya, misalnya situasi penganiayaan anak, kemungkinan
bunuh diri atau ancaman pembunuhan. Hukum Negara di Amerika mensyaratkan kalau kasus
penganiayaan anak dilaporkan, secara legal monselor boleh melanggar kerahasiaan untuk
melindungi hidup pihak ketiga. Arthur & Swanson (1993) mengembangkan sejumlah
pengecualian terkait prinsip kerahasiaan, diantaranya:

1. Konseli berbahaya bagi dirinya sendiri dan orang lain, hokum meletakkan keamanan fisik
di atas aturan kerahasiaan atau hak privasi.
2. Konseli meminta pelepasan informasi
3. Perintah pengadilan untuk menyampaikan informasi
4. konselor menerima n supervise klinis yang sistematis
5. Bantuan adminsitrasi untuk memproses informasi dan berkas yang terkait dengan konseli,
6. Konseli memiliki sejuymlah problem kesehatan mental yang terkait dengan hukum.

Cottone & Tarvydas 2007 (dalam Gibson & Metchet, 2010) mengatakan pengecualian untuk
memeprtahankan kerahasiaan secara ketat, yaitu Beragamnya kondisi konseling di wilayah kusus
praktek membuat problem kerahasiaan dan privacy mengekspresikan taraf yang berbeda-beda di
situasi-situasi tersebut. Konndisi ini mencakup konseli yang mengidap HIV, problem keluarga
atau pasangan, individu cacat, problem kelompok, konseli narkoba atau alcohol, penggunaan

8
piranti elektronika dan sebagainya. Remley & Herlihy (Gibson & Mitchel, 20101)
mengemukakan beberapa pengecualian permasalahan etika kerahasiaan, yaitu:

1. Berbagi informasi dengan bawahan atau rekan professional diijinkan dalam situasi
tertentu
2. Melindungi seseorang yang berada dalam bahauya memerlukan pem,bukaan informasi
rahasia ketika situasi-siituasi tertentu
3. Kerahasiaan dikompromikan ketika melakukan konseling dengan banyak konseli
4. Ada kkerahasiaan dan komunikasi pribadi yang unik ketika bekerja dengan konseli
minoritas
5. Beberapa pengecualian yang dimandatkan hokum.

Maslaah kerahasiaan ini menjadi baian pokok dalam rumusan kode etik konseling. Setiap
Assosiasi Koselor memiliki kode etik tersendiri, meskipun secara umum ada kesamaan. Kode
etik tersebut selalu disempurnakan secara berkaladalam event organisasi, untuk merespon
dinamika perkembangan. ASCA (2005) mengemukakan rumusan kode etik terkait kerahasiaan
(confidentiality) terdiri dari 7 point. ABKIN (2018) mengemukakan mengemukakan kode etik
terkait kerahasiaan dan berbagi informasi, yang mencakup kerahasiaan, berbagi informasi
dengan pihak ain, rekaman data konseling, penelitian. Kode Etik Kerahasiaan dalam Bimbingan
Konseling Indonesia secara utuh sebagai berikut:

1) Kerahasiaan
a) Konselor menyadari, menghargai dan menempatkan informasi dari dan mengenai kondisi
konseli, dan harus dirahasiakan sepenuhnya
b) Konselor berbahai informasi tentang diri dan konsdisi konseli hanya seizing konseli
sesuai dengan asas kerahasiaan, atau pertimbangan etika profesi dan atau hukum
2) Berbagi informasi dengan pihak lain.
a. Konselor harus memastikan keamanan atas kerahasiaan informasi dan data tentang
konseli yang diurus oleh staf administrasi bimbingan dan konseling dan kolega satu
lembaga yang bias mengakses data
b. Berbagi dengan team konselor
1. Jika pelayanan terhadap konseli mel;ibatkan konselor llain (dalam satu tim)
dengan peranannya masing-masing, maka konseli terlebih dahulu diberitahu

9
mengenai hal tersebut dan informasi serta data apa saja tentang dirinya yang akan
dibagi kepada konselor lain.
2. Alih tangan kasus pada konselor lain atau ahli lain harus seijin konseli, dan
konseli diberi tahu informasi apa saja tentang dirinya yang disampaikan kepada
konselor lain atau ahli lain.
3. Dalam diskusi professional antar konselor, identitas konseli yang masalahnya
dibahas harus dirahasiakan.
4. Dalam konferensi kasus, konselor memastikan bahwa para peserta memang
benar-benar merahasiakan identitas konseli dan permasalahan yang dibahas, tidak
akan disampaikan kepada siapapun.
c. Berbagi dengan atasan konselor. Konselor akan melaporkan pada atasan tentang
pelaksanaan program bimbingan dan konseling tanpa menyebutkan nama-nama
konseli dalam laporan tersebut.
d. Dalam memindahkan informasi ayau data yang bersifat rahasia yang terekam dalam
mkomputer, melalui surat elektronik, mesin fax, telpon, dan perlengkapan teknologi
computer lainnya, dipindahkan olleh konselor dengan memperhatikan serta
memastikan keamanan pemindahan informasi atau data rahasia tersebut.
3) Rekaman data konseling
a. Kerahasiaan rekaman. Proses perekaman dan tempat menyimpan hasilnya hanya
ditangani oleh orang-orang yang memiliki wewenang untuk rekaman tersebut.
b. Izin untuk merekam. Terlebih dulu konselor meminta izin dari konseli untuk
merekam proses konseling dalam bentuk elektronik maupun bentuk lain
c. Izin untuk pengamatan. Terlebih dahulu konselor meminta izin dari konseli untuk
mengamati sesi layanan langsung, sesi konseling dalam latihan, termasuk meninjau
hasil transkrip dan laporan pelaksanaan layanan.
d. Rekaman bagi konseli. Konselor hanya memberikan salinan rekamandan/atau laporan
layanan kepada konseli yang memang memerlukan. Konselor membatasi pemberian
salinan rekaman atau sebagian salina hanya jika isi rekaman tersebut tidak akan
menganggu atau menyaiti perasaan konseli. Dalam situasi konseling yang melibatkan
banyak konseli, maka konselor hanya memberikan salinan rekaman data yang

10
menyangkut konseli yang memintanya dan tidak menyertakan salinan data yang
menyangkut konseli lain.
e. Bantuan dengan rekaman data. Konselor memberikan bantuan kepada konseli dengan
cara memberikan konsultasi dalam memaknai rekaman dan memanfaatkan secara
proaktif data yang ada.
f. Membuka dan memindahkan rekaman. Terlebijh dahulu konselor meminta
persetujuan tertulis dari konseli untuk membuka atau memindahkan rekaman data
kepada pihak ketiga yang memiliki wewenang.
g. Penyimpanan rekaman setelah konseling berakhir. Jika konselor perlu menyimpan
rekaman data konseling untuk menindaklanjuti proses konseling, konselor
memelihara dan menjaga kerahasiaan rekaman.
4) Penelitian
a. Persetujuan institusi atau lembaga. Jika konselor akan menggunakan informasi
mengenai konseli sebagai bagian dari penelitian, maka konselor harus terlebih dahulu
mendapatkan persetujuan dari lembaga tempat konnselor bekerja.
b. Informasi rahasia yang diperlukan. Konselor menjaha kerahasiaan setiap rekaman
data konseli dengan sebaik-baiknya jika penelitian yang akan dilakukan melibatkan
pihak lain.

2.5 Nilai-nilai dan filsafat hidup terapis


Masalah inti dalam terapi adalah sejauh mana nilai-nilai terapis masuk ke dalam
hubungan terapiutik. Seorang terapis tidak bisa membantu merumuskan tujuan-tujuan seraya
menghindari pertimbangan-pertimbangan nilai, sebab tujuan tujuan itu berdasarkan nilai-nilai
terapis. Di bawah ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang di rancang untuk membantu kita
mencari jawabuan-jawaban tentatif mengenai peran-peran dalam nilai-nilai terapi:
1. Apakah di harapkan bahwa para terapis telah menyampaikan pertimbangan-pertimbangan
nilai kepada klien-klien mereka mengenai dengan tingkah laku dan pilihan-pilihan klien
itu? Apakah mungkin bagiparAa terapis untuk membantu pertimbangan-pertimbangan
nilai hanya mengenai kejaadian –kejadian yang mempengaruhi kehidupan pribadi mereka
sendiri dan tidak menyampaikan pertimbangan-pertimbangan nilai kepada para klien?

11
2. Pribadi macam apa terapis yang bersikeras bahwa ia tidak membantu pertimbangan-
pertimbangan nilai kepada tindakan –tindakan tertentu para klien? Apakah seorang
terapis harus mengingkari dirinya sendiri dengan tetap bersikeras “netral”?
3. Bagaimana para terapis dapat mempertahankan nilai-nilainya sendiri dan setia kepada diri
mereka sendiri, tetapi pada saat yang sama memberikan kepada kliennya kebebasan
untuk memilih nilai nilai dan tingkah lakunya sendiri yang berbeda secara tajam dengan
nilai-nilai para terapis?
4. Apa perbedaan yag hakiki antara para terapis yang menyingkapkan nilai-nilainya secara
jujur apabila layak, dengan para terapis yang dengan cara-cara halus “membimbing” para
klien mereka untuk menerima nilai-nilai para terapisatau nilai-nilai yang oleh para terapis
itu di nilai baik bagi para klien?
5. Dengan cara apa masalah nilai-nilai menjadi inti semua terapi? Apakah mungkin
memisahkan peran nilai nilai dari terapi?
6. Apa yang akan anda lakukan jika klien anda memiliki suatu sistem nilai yang
bertentangan sacara tajam engan nilai-nilai anda? Bagaimana jika anda secara jujur
merasakan bahwaa nilai-nilai pada klien anda destruktif bagi dirinya sendiri atau bagi
orang lain?
Pertanyaan mengenai pengaruh nilai nilai terapis terhadap klien memiliki implikasi-implikasi
etis apabila kita mengingat bahwa tujuan-tujuan dan metode–metode terapi adalah ungkapan-
ungkapan filsafat hidup terapis. Bahkan meskipun tidak secara langsung mengajari klien untuk
memaksakan nilai-nilai yang sepesifik kepaa klien, terapis menjalankan suatu filsafat terapis
yang pada hakikatnya adalah filsaafat hidup.

Sebagai contoh mengenai pengaruh filsafat hiup terapis terhadap klien dan kemungkinan
terjadinya bentrokan nilai-nilai diantara terapis dan klien, kasusnya adalah:
Klien adalah seorang ibu rumah tangga berusia 40 tahun yang memiliki 3 orang anak
yang paling tua berusia 17 tahun. Dia telah melakulkan terapi individual mingguan atau bahkan
bulanan. Sekarang dia tengah bergulat dengan putusan-putusan akan atau tidak akan meneuskan
perkawinannya dengan suaminya yang menurut pengamatannya, membosankan, tidak menaruh
perhatiannya kepada istrinya dan anak-anaknya, mementingkan diri sendiri. Klien telah
mendesak klien untuk menjalankan konseling perkawinan tapi si suami menolaknya. Klien

12
mengatakan kepada terapis akan bercerai sekarang juga “jika tidak mengingat anak-anak”.
Bagaimanapun, klien sekarang bersikap mendua; ia tidak bisa menetapkan apakah dia akan
menerima keamanan yang imilikinya atau meninggalkan keamanan itu dan mengambil resiko
membuat kehiupan yang lebih baik bagi irinya.

Beberapa orientasi nilai muncul dan tampaknya merupakan suatu ke harusan bahwa
terapis memeriksa pandangan-pandangannya seniri berikut pengaruh-pengaruh yang bisa di
timbulkannya terhadap putusan-putusan klien. Berikut pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan:

a) Salah satu alasan kilen mempertahankan perkawinannya aalah kepentingan anak-anak.


Apakah jika nada sebagai terapis harus menerima nilai-nilai ini danpercaya bahwa dia jangan
menentang perkawinannya karena anak-anak membutuhkan kedua orang tuanya.
b) Klien berbicara tentang affair sebagai suatu kemungkinan. Apa nilai-nilai anda berkenan
dengan monogami dan hubungan di luar nikah? Apakah anda percaya bahwa hubungan di
luar nikah akan membantu atau merugikan klien anda? Apa pengaruh yang mungkin timbul
dari pandangan-pandangan anda terhadap klien anda?
c) Ada masalah nilai tentang keamanan lawan pertumbuhan yang mungkin. Jika anda seorang
konservatif dan meletakan nilai utama pada keamana apa pengaruh-pengaruh yang yang
mungkin timbul dari pandangan anda terhadap klien? Apa pengalaman –pengalaman hidup
anda yang mungkin mempengaruhi putusan-putusan klien anda?

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan self control, karena segala sesuatunya
dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri.
Sedangkan Etika profesi dalam bimbingan dan konseling adalah kaidah-kaidah perilaku yang
menjadi rujukan bagi konselor dalam melaksanakan tugas atau tanggung jawabnyan memberikan
layanan bimbingan dan konseling kepada konseli. Kaidahkaidah perilaku yang dimaksud seperti
orang yang memiliki hak untuk mendapatkan penghargaan sebagai manusia, dan mendapatkan
layanan konseling tanpa melihat suku bangsa, agama, atau budaya.

14
DAFTAR PUSTAKA
Corey, Gerald, (2010). Teori Dan Praktek Konseling Dan Psikoterapi: Terjemahan E. Koswara.
Bandung: Refika Aditama.

Gibson R.L; & Mitchel M.H. (2010) Bimbingan dan Konseling (terjemahan). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Prayitno & Erman Amti. (2005) Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Ghalia
Indonesia

http://noorsyafitriramadhani.blogspot.com/2019/10/konseling-dan-psikoterapi.html

http://filsafatterapisx.blogspot.com/

15

Anda mungkin juga menyukai