SEKOLAH
(KAJIAN KUALITAS PRIBADI KONSELOR)
MAKALAH
Disusun Oleh:
SEKOLAH PASCASARJANA
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang
tak pernah berhenti menebarkan kasih dan sayang-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul pembahasan “Guru Bimbingan dan
Konseling Sebagai Polisi Sekolah Kajian Kualitas Pribadi Konselor” yang disusun
untuk tugas kelompok mata kuliah Landasan-Landasan Bimbingan dan Konseling.
Kami ingin menyampaikan rasa terimakasih pada Bapak Prof. Dr. Syamsu Yusuf
LN., M.Pd dan Dr. Anneu Hafina, M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah
Landasan-Landasan Bimbingan dan Konseling yang telah menyerahkan
kepercayaannya kepada penulis guna menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari rekan-rekan
sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah ini. Mudah-mudahan makalah ini
bisa bermanfaat bagi kami sebagai penulis khususnya dan umumnya bagi pembaca
dalam meningkatkan pengetahuan sekaligus wawasan terkait kualitas pribadi
konselor.
Penulis
Page | i
DAFTAR ISI
REFERENSI …………………………………………………………………… 14
LAMPIRAN ……………………………………………………………………. 15
Page | ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Ada beberapa persepsi negatif terhadap Guru Bimbingan dan Konseling di banyak
sekolah, baik itu dari sesama personil sekolah (guru mata pelajaran) maupun dari
peserta didik. Ketika mendengar ruang BK atau Guru BK hal tersebut menjadi hal yang
ditakuti oleh peserta didik. Adapun persepsi negatif dari guru lain adalah terkait tugas
Guru BK yang dianggap ringan, hanya duduk di ruangan BK dan memanggil peserta
didik yang tidak taat aturan sekolah. Jika dilihat dari tugas- tugas profesi konselor tentu
saja hal itu sangat jauh dari apa yang sebaiknya dilakukan oleh Guru Bimbingan dan
Konseling.
Ada banyak “hukuman” dan “omelan” dilakukan Guru BK yang
seringkali mencederai profesi BK itu sendiri. Peserta didik yang tidak taat aturan
selalu menjadi ciri pekerjaan Guru BK di mata guru lainnya dan peserta didik.
Hal itu disebabkan oleh kegiatan mengundang peserta didik yang “nakal” yang
seringkali dibiasakan dengan kata “memanggil peserta didik ke ruang BK”,
padahal hal itulah awal dari cara pandang yang salah terhadap Guru BK. Bahasa
“memanggil” itu sendiri lebih terkesan menyalahkan dan memunculkan
kecemasan yang berlebih pada peserta didik, karena dirasa telah memberikan
makna memojokkan bahkan mengecap salah peserta didik.
Dalam Yusuf dan Nurihsan (2014: 37) kualitas profesi konselor penting
dimiliki oleh pelaksana konseling (Guru Bimbingan dan Konseling). Hal itu
dianggap penting berdasar pada hasil penelitian yang menunjukkan, bahwa
kualitas pribadi konselor menjadi faktor penentu bagi pencapaian konseling yang
efektif, disamping faktor pengetahuan tentang dinamika perilaku dan
keterampilan teurapetik. Seperti beberapa kejadian di sekolah-sekolah
pendidikan menengah (SMP-SMA) yang menganggap Guru BK sebagai polisi
sekolah adalah sebagai kenyataan, bahwa di dunia praktiknya Guru BK tidak
dapat memenuhi tugas profesinya, seperti peserta didik yang ketakutan canggung
jika diundang ke ruang BK dikarenakan layanan yang diberikan Guru BK
terkesan tidak ramah bahkan main hakim sendiri. Tindakan menampar peserta
Page | 1
didik yang selalu kesiangan, atau misalnya peserta didik yang mencuri di
lingkungan sekolah telah melekat pada Guru BK di beberapa sekolah.
Berdasarkan kejadian dan kesan buruk pada Guru BK itulah, untuk
mempersiapkan calon Guru BK yang baik lembaga- lembaga pendidikan tinggi
bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan dan memfasilitasi
perkembangan pribadi calon Guru BK yang berkualitas dan profesional. Tentu
saja pada intinya hal itu bertujuan untuk meminimalkan dan mengusahakan
untuk menghilangkan pandangan, bahwa guru BK bukanlah polisi sekolah tetapi
sebagai guru yang mendampingi peserta didik mengembangkan potensinya
secara optimal dengan berbagai sifat-sifat baik yang sebaiknya dimiliki Guru BK
supaya peserta didik merasa nyaman dibina oleh Guru BK. Hal itu didasari oleh
kedudukan Guru BK dalam pendidikan yaitu sebagai pembina peserta didik
(Yusuf dan Nurihsan, 2014 : 4-5).
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pada latar belakang yang sudah dijelaskan, terdapat
beberapa lingkup permasalahan yang akan dibahas, yaitu :
1. Seperti apa kebenaran terkait pandangan bahwa Guru BK sebagai polisi
sekolah?
2. Seperti apa karakteristik pribadi konselor yang berkualitas?
Page | 2
BAB II
TEORI DAN PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN POLISI SEKOLAH DAN GURU BIMBINGAN
DAN KONSELING
Page | 3
Republik Indonesia nomor 111 tahun 2014 tentang Bimbingan Dan
Konseling Pada Pendidikan Dasar Dan Pendidikan Menengah, pasal 1 ayat 3
dan 4, sebagai berikut. Konselor adalah pendidik profesional yang
berkualifikasi akademik minimal Sarjana Pendidikan (S-1) dalam bidang
Bimbingan dan Konseling dan telah lulus pendidikan profesi guru
Bimbingan dan Konseling/konselor. Sedangkan guru Bimbingan dan
Konseling adalah pendidik yang berkualifikasi akademik minimal Sarjana
Pendidikan (S-1) dalam bidang Bimbingan dan Konseling dan memiliki
kompetensi di bidang Bimbingan dan Konseling (Permen 111, 2014).
Page | 4
memiliki kesehatan psikologis yang baik, d) dapat dipercaya, e) jujur, f) kuat,
g) hangat, i) responsive, j) sabar, k) sensitive, l) memiliki kesadaran holistic.
Page | 5
melakukan suatu hal, dan bagaimana menghadapi serta menyelesaikan
masalah;
2. Competence (Kompetensi); kompetensi yang dimaksudkan yakni konselor
memiliki kualifikasi fisik, intelektual, emosional, sosial, dan moral sebagai
pribadi yang kompeten dalam memberikan layanan. Ketika dalam artikel
disebutkan guru BK yang kerjaannya menghukum atau menampar peserta
didik yang salah telah menunjukkan bahwa guru BK tersebut memiliki
kekurangan dalam kompetensi emosional;
3. Good Psychological Helath (Kesehatan Psikologis yang Baik); konselor
dituntut untuk memilki kesehatan psikologis yang lebih baik dari konselinya,
sebab dengan kesehatan psikologis yang baik akan secara positif menunjang
keefektifan pelaksanaan konseling. Selain itu, seorang konselor akan
dijadikan sosok model yang dianggap mampu merepresentasikan kesehatan
psikologis yang baik bagi konselinya. Demikian jika konselor
memperlakukan konseli dengan kasar (menampar) sangat memungkinkan
konseli tersebut merasa “menampar” adalah hal yang boleh dilakukan kepada
orang lain;
4. Trustworthiness (Dapat Dipercaya); kualitas ini berarti bahwa konselor itu
tidak menjadi ancaman atau penyebab kecemasan konseli terkait kebocoran
masalah konselinya. Urgensi alasan pentinya memiliki karakter ini, (a)
mendorong konseli menjadi diri sendiri, (b) untuk memberikan jaminan
kerasahasian konseli dalam konseling, (c) konseli membutuhkan keyakinan
untuk mempercayai motif dan watak konselor, (d) dapat mengembangkan
tingkat kepercayaan konseli melalui pengalaman diri konseli terhadap
konsitensi, penerimaan dan asas kerahasiaan yang melekat pada diri
konselor.
5. Honesty (Jujur) karakter ini menuntut konselor untuk bersikap transparan,
terbuka, autentik, genuine/asli. Pada kenyataannya ada beberapa konselor
yang tidak tulus membantu konselinya, hanya terpaksa karena tugas dari
sekolah atau terikat pada status pegawai negeri sebagai sehingga
Page | 6
menjalankan tugas sebagai guru BK menunjukkan berbagai perilaku yang
keberatan;
6. Strength (Kekuatan); konselor dituntut untuk menjadi kuat dan tabah dalam
mengahadapi masalah, dapat mendorong konseli untuk mengatasi
masalahnya, serta dapat menanggulangi kebutuhan dan masalah pribadi;
7. Warmth (Bersikap Hangat); bersikap hangat artinya bersikap ramah, penuh
perhatian, dan memberikan kasih sayang. Penerimaan yang hangat adalah
salah satu komponen terciptanya hubungan yang baik. Hal ini tentu
bertentangan dengan isi artikel, bahwa guru BK di beberapa sekolah yang
judes dan tidak ramah dalam memberikan layanan. Demikian itu guru BK
yang masih harus belajar untuk memiliki sikap “warmth’ sebagai guru BK
yang memiliki pribadi konselor;
8. Actives Responsiveness (Pendengar yang Aktif); keterlibatan konselor dalam
pemberian layanan bersifat dinamis, tidak pasif, dan mendengarkan secara
aktif, dan merespon secara positif. Hal ini sangat penting karena
mendengarkan adalah salah satu kemampuan dasar yang benar-benar harus
dikuasai oleh konselor. Selain dari memiliki kekurangan pada kompetensi
emosional, biasanya guru BK yang temperamental adalah guru Bk yang tidak
mau mau mendengar atau mencari tahu penyebab masalah dari peserta didik;
9. Patience (Kesabaran); karakter ini menggambarkan konselor yang mampu
menjaga diri terhadap memasukan gagasan-gagasan pribadi, perasaan, dan
nilai-nilai secara premature. Melalui kesabaran konselor dan konseli dapat
berkembang dan memperoleh kemajuan secara alami. Jika menampar,
menghukum dan judes kepada peserta didik masih dilakukan guru BK hal
tersebut akan memperburuk citra BK di sekolah;
10. Sensitivity (kepekaan); konselor menyadari adanya dinamika psikologis yang
tersembunyi dalam diri konseli. Karakter tersebut menunjukkan sensitifitas
konselor terhadap perasaan, masalah, dan segala perilaku tindakan konseli.
Ketika masalah terjadi dari perilaku menyimpang yang ditunjukkan peserta
didik, sebaiknya guru BK menganalisis masalahnya dari mulai hal apa yang
menyebabkannya, frekuensi melakukan kesalahannya, sejauh mana
Page | 7
kesalahan dilakukan serta pengakuan atau penjelasan dari peserta didik yang
bersangkutan atas apa yang sudah dilakukan. Sehingga dari mengetahui hal
tersebut konselor dapat melakukan prognosis yang tepat untuk mengatasi
masalah dan tidak main hakim sendiri seperti menghukum peserta didik;
11. Kebebasan; karakter ini nampak pada kualitas sebagai berikut: (a)
menempatkan nilai tinggi terhadap kebebasan dalam hidup konselor, (b)
dapat membedakan antara manipulasi dan edukasi dalam konseling (c)
memahami perbedaan antara kebebasan yang dangkal dengan yang
sesungguhnya dan mengedukasi konseli terkait perbedaan tersebut.
12. Holistic awareness (Kesadaran Holistik); pendekatan holistik mempunyai
makna konselor memahami konseli secara utuh dan tidak meneropong
sebagian atau satu aspek tertentu saja. Karakteristik ini tentu perlu dimiliki,
karena tindakan menampar atau tidak ramah kepada peserta didik seperti di
dalam artikel disebabkan oleh tidak mau memahami (mencari tahu latar
belakang dan alasan melakukan kesalahan) peserta didik secara keseluruhan
yang mungkin disebabkan oleh berbagai keterbatasan (waktu dan
perbandingan sumber daya manusia dari guru BK yang kurang).
Page | 8
Selanjutnya Corey (2009:18) mengemukan pendapatnya tentang
karaktersistik personal dari konselor yang efektif dari beberapa hasil
penelitan adalah sebagai berikut:
Page | 9
9. Effective therapists appreciate the influence of culture. Konselor
mempertimbangkan adanya pengaruh budaya melekat diri sendiri dan
menghargai perbedaan nilai dan kebiasaan budaya lain. Sensitifitas
tersebut tergambar pada perbedaan kelas sosial, ras, dan gender.
10. Effective therapists have a sincere interest in the welfare of others.
Hal ini didasarkan pada nilai saling menghargai, kepedulian,
kepercayaan, dan nilai-nilai dari individu.
11. Effective therapists possess effective interpersonal skills. Konselor
mampu membangun hubungan yang baik dan berkolabarasi/bekerjasama
untuk mencapai tujuan tertentu.
12. Effective therapists become deeply involved in their work and derive
meaning from it. Konselor mampu terlibat dengan nyata dan lebih dalam
serta mampu memngambil pelajaran penting dari hasil pekerjaannya.
13. Effective therapists are passionate. Konselor memiliki gairah dan
emosi yang kuat serta bekerja dengan sepenuh hati.
14. Effective therapists are able to maintain healthy boundaries.
Konselor memang harus memiliki jiwa totalitas demi membantu konseli,
tetapi konselor juga harus memperhatikan batasan-batasan waktu untuk
merehatkan dirinya sendiri. Konselor memiliki hak untuk meminta
konselinya menjadwal ulang pertemuan dengan alasan pentingnya
istirahat atau menjaga kesehatannya sendiri.
Page | 10
profesi konseling dengan menulis atau memberi presentasi tentang hal-hal
yang disukai. Di samping itu, konselor bisa mencari aktivitas lain yang dapat
mengelola stress mereka (Glading, 2012:43).
Ketika titik tumpu konselor ini kuat, maka pengetahuan dan keterampilan
akan bekerja secara seimbang serta kepribadian konselor juga akan berpengaruh
pada perubahan perilaku positif dalam konseling (Yusuf dan Nurihsan, 2014 :37).
Page | 11
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Guru Bimbingan dan Konseling seringkali dianggap sebagai polisi
sekolah, karena perilaku atau cara dalam menghadapi peserta didik yang
tidak mencerminkan profesi konselor, bahkan terkadang menggunakan
praktik yang tidak berdasar pada teori serta melanggar kode etik BK
disebakan oleh pendidikan yang kurang memadai atau penghayatan yang
kurang pada karakter pribadi konselor, dengan melakukan hal- hal yang tidak
seharusnya guru BK lakukan seperti menampar peserta didik. Sebaliknya,
jika poin- poin pribadi konselor yang berkualitas di aplikasikan akan sangat
kecil kemungkinannya guru Bimbingan dan Konseling di kenal sebagai
polisi sekolah yang ditakuti peserta didik, karena pada hakikatnya Guru
Bimbingan dan Konseling menjadi teman atau pendamping peserta didik
dalam mengembangkan secara optimal potensi dari masing- masing peserta
didik. Berkenaan dengan upaya meminimalkan pandangan sebagai polisi
sekolah yang hanya mengurusi peserta didik nakal saja atau pandangan
bahwa ruang BK hanya untuk peserta didik yang nakal saja, sebaiknya guru
BK mulai menerapkan layanan guidance for all yang tidak hanya mengurusi
peserta didik nakal saja, tetapi juga memberikan layanan bimbingan pada
semua peserta didik baik itu layanan akademik, sosial, pribadi dan karir
sebagai upaya preventif serta layanan konseling kepada peserta didik yang
melakukan penyimpangan sebagai upaya kuratif. Dengan melakukan hal
demikian, akan ada pemerataan hak peserta didik sehingga peserta didik
yang “nakal” ataupun “tidak nakal” sama saja mendapatkan layanan.
B. SARAN
Makalah ini menjelaskan kualitas pribadi konselor yang menunjang
kemudahan dalam mengakses layanan bimbingan dan konseling bagi klien
atau konseli. Setiap hal yang ditampilkan oleh seorang konselor harus
terintegrasi dari kepribadian ideal dan keterampilan melaksanakan layanan
Page | 12
bimbingan dan konseling sehingga terciptanya layanan yang prima yang
dirasakan sangat bermanfaat oleh klien atau konseli.
Bagi pihak sekolah, khususnya guru Bimbingan dan Konseling
diharapkan dapat selalu menjunjung tinggi kode etik dan menampilkan sikap
profesional dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling yang
prima. Di era sekarang ini, tantang demi tantang akan mengampiri seorang
konselor, sehingga dibutuhkan kesiapan dan persipan baik dari segi wawasan
dan keterampilan maupun sikap yang terintegrasi menunjukkan sikap
profesional sebagai konselor demi menunjang kualitas pribadi konselor yang
baik.
Bagi penulis selanjutnya, demi menunjangnya kualitas pribadi
konselor, diharapkan dapat menunjukkan temuan-temuan dan riset mengenai
kualitas konselor di era digital, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran-
kedaran peningkatan kualitas dan konstruk diri sebagai konselor.
Page | 13
REFERENSI
Corey, Gerald. (2009). Theory and Practice Counseling and Psychotherapy. United
States: Brook/Cole.
Peraturan Menteri No. 111. (2014). Bimbingan Dan Konseling Pada Pendidikan
Dasar Dan Pendidikan Menengah.
Wilis, Soyan. (2004). Konseling Indvidual Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta
Page | 14
LAMPIRAN
Page | 15