Anda di halaman 1dari 15

Makalah Teori Teknik II Kelompok 6

MASALAH-MASALAH ETIKA DALAM KONSELING DAN PSIKOTERAPI

Dosen pengampu :

Dra. Nurhasanah, M.Pd


Evi Rahmayati, S.Pd, M. Ed
Fadhil Muhammad, S.Pd., M.Pd

Disusun Oleh :

Muna Salsabila 1906104030026


Intan Mulia 1906104030082
Yusniar 1906104030063

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah- Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul MASALAH-MASALAH ETIKA
DALAM KONSELING DAN PSIKOTERAPI ini dengan baik. Shalawat beserta salam kita
hantarkan kepangkuan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam
jahiliyiah menuju alam yang islamiah.

Tidak lupa pula kami menyampaikan rasa terima kasih kepada dosen pembimbing mata
kuliah Teori Teknik Konseling II ibu Dra. Nurhasanah, M.Pd., M.Pd. Evi Rahmayati, S.Pd.,
M.Ed dan bapak Fadhil Muhammad, S.Pd., M.Pd yang telah memberikan banyak bimbingan
dalam proses penyusunan makalah ini. Rasa terima kasih juga kami ucapkan kepada teman
teman yang telah memberikan kontribusinya baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sehingga makalah ini bisa selesai pada waktu yang telah ditentukan.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca. Kami sadar bahwa dalam makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Untuk itu, kepada para pembaca sekalian kami
meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah kami dimasa yang akan datang dan
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Banda Aceh, 14 November 2021

Penulis Kelompok 6
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i

BAB I............................................................................................................................................ii

PENDAHULUAN…...................................................................................................................3

A. LATAR BELAKANG......................................................................................................3
B. RUMUSAN MASALAH….............................................................................................3
C. TUJUAN…......................................................................................................................4
BAB II..........................................................................................................................................5

PEMBAHASAN….....................................................................................................................5

A. Tanggung Jawab terapis....................................................................................................5


B. Kompetensi Terapis...........................................................................................................7
C. Hubungan Terapis-Klien...................................................................................................8
D. Kerahasiaan......................................................................................................................9
E. Nilai-Nilai Dan Filsafat Terapis.......................................................................................11
BAB III........................................................................................................................................13

PENUTUP...................................................................................................................................13

A. KESIMPULAN...............................................................................................................13
B. SARAN............................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA…............................................................................................................14
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Setiap profesi memiliki suatu kode dan sistem etika. Setiap orang professional diharapkan
menggunakan penilaian yang tegas ketika masalah – masalah etis muncul dalam pekerjaannnya.
Perhimpunan Psikologi Amerika (The American Psychological Association = APA) telah
mengembangkan petunjuk – petunjuka dan standar – standar etika dalam psikologi. Segenap
calon terapis atau konselor harus mempelajari Ethical Standards of Psychologists yang
diterbitkan oleh APA.

Kode etik merupakan seperangkat aturan atau kaidah – kaidah, nilai-nilai yang mengatur
segala perilaku (tindakan dan perbuatan serta perkataan) suatu profesi atau organisasi bagi para
anggotanya. Kode etik profesi merupakan salah satu aspek standarisasi profesi BK sebagai
kesepakatan profesional mengenai rujukan etika perilaku. Pekerjaan bimbingan dan konseling
tidak bisa lepas dari nilai-nilai yang berlaku. Atas dasar nilai yang dianut oleh
pembimbing/konselor dan terbimbing/klien, maka kegiatan layanan bimbingan dapat
berlangsung dengan arah yang jelas dan atas keputusan-keputusan yang berlandaskan nilai-
nilai. Para pembimbing/konselor seyogianya berfikir dan bertindak atas dasar nilai-nilai, etika
pribadi dan profesional, dan prosedur yang legal. Dalam hubungan inilah para
pembimbing/konselor seharusnya memahami dasar-dasar kode etik bimbingan dan konseling.
Etika konseling
berarti suatu aturan yang harus dilakukan oleh seorang konselor dan hak-hak klien yang harus
dilindungi oleh seorang konselor.

2. Rumusan Masalah
1. Apa saja tanggung jawab terapis?
2. Bagaimana kompetensi terapis?
3. Seperti apa hubungan terapis-klien?
4. Seperti apa kerahasiaan?
5. Bagaiman nilai-nilai dan filsafat hidup terapis?
3. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apa saja tanggung jawab terapis
2. Untuk mengetahui bagaimana kompetensi terapis
3. Untuk mengetahui seperti apa hubungan terapis-klien
4. Untuk mengetahui seperti apa kerahasiaan
5. Untuk mengetahui bagaiman nilai-nilai dan filsafat hidup terapis.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tanggung Jawab Terapis

Terapis memiliki tanggung jawab terutama kepada klien. akan tetapi, karena klien tidak
hidup dalam ruang hampa dan dipengaruhi oleh hubungan – hubungan yang lainnya, terapis
memiliki tanggung jawab juga kepada keluarga klien, kepada biro tempat terapis bekerja, kepara
biro yang dirujuk, kepada masyarakat, dan kepada profesinya. Karena minat – minat klien untuk
mendapat tempat utama dalam hubungan konseling atau terapi, maka kebutuhan – kebutuhan dan
kesejahteraan klienlah yang diutamakan, bukan kebutuhan – kebutuhan terapis. Prinsip umum
mengenai pengutamaan kesejahteraan klien tampaknya sudah jelas. Akan terapi, masalah ini bisa
dengan mudah menjadi samar apabila kita mengingat bahwa terapis juga memiliki tanggung
jawab – tanggung jawab atau pertentangan antara perepsi klien atas kesejahteraaan dirinya dan
persepsi terapis.

APA (1967, hlm. 67) menyatakan, “Psikologi berusaha mengakhiri suatu hubungan klinis
atau konsultasi apabila telah jelas baginya bahwa lkien tidak memperoleh manfaa dari hubungan
itu”. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh terapis apabila dia yakin bahwa klien tidak
memperoleh apa – apa sementara klien sendiri menolak mengakhiri hubungan? Ikutilah
pembahasan selanjutnya.

Klien selalu muncul pada pertemuan terapi mingguannya, terapi dia secara tipikal
melaporkan bahwa dia tidak memiliki sesuatu yang bisa didiskusikan. Dia tidak tampak bersedia
untuk berbuat banyak bagi dirinya sendiri, baik di dalam maupun di luar pertemuan terapi.
Terapis telah berkali – kali mengonfrontasikan klien kepada ketidaksediaannya untuk melibatkan
diri lebih banyak ke dalam terapi dan telah menyampaikan kepada klien bahwa pertemuan –
pertemuan terapi tampaknya tidak membawa hasil. Klien setuju dengan apa yang disampaikan
oleh terapis, tetapi dia tetap mendatangi terapis. Akhirnya, terapis menjadi lebih keras dan
memutuskan bahwa paling baik adalah mengakhiri hubungan terapeutik.
John, sang klien, mengajukan keberatan dan mengatakan bahwa dia tidak ingin mengakhiri
pertemuan – pertemuan terapi. Apa yang harus dilakukan oleh terapis? Berapa lama terapis
harus meneruskan hubungannya dengan John jika ia setuju melanjutkan hubungan terapeutik?
Apa yang harus dilakukan oleh terapis jika John menyatakan bahwa yang dibutuhkannya
sesungguhnya bukan seorang terapis, melainkan seorang teman untuk dikunjungi?
Dalam situasi yang serupa, apa yang harus dilakukan oleh seorang terapis apabila dia
memutuskan bahwa klien harus dialihkan baik karena si terapis tidak sanggung lagi
menanganinya ataupun karena si terapis yakin bahwa tipe atau lamanya Treatment yang tersedia
terlalu terbatas? Misalnya, Susi telah menemukan konselor sekolahnya, Pak Smith, seminggu
sekali untuk jangka waktu dua bulan dan dia merasa bahwa pertemuan – pertemuan konseling
amat membantunya.
Konselor juga mengamati bahwa Susi menunjukkan kemajuan, tetapi ia juga sadar bahwa
waktunya sangat terbatas, sebab ia harus menangani 450 orang klien. sekolah memiliki kebijakan
bahwa konseling jangka panjang tidak bisa diadakan, tetapi jika diperlukan, pengalihan bisa
dilakukan dengan masalah – masalah emosional Suci cukup dalam dan layak ditangani melalui
psikoterapi yang intensif. Karena kenyataan – kenyataan tersebut, Pak Smith menyarankan
kepada Susi untuk beralih kepada terapis lain sambil mengemukakan alasan – alasannya.
Misalkan, Sisi merespons dengan salah satu dari dua respons berikut: Pertama, Suci setuju untuk
beralih dan mencari seorang terapis pribadi.

Dalam kasus ini, kapan tanggung jawab Pak Smith kepada Susi berakhir? Pedomannya
adalah bahwa tanggung jawab seorang konselor atau terapis atas kesejahteraan klien akan tetap
ada sampai klien mulai menemui terapis lain. Bahkan sesudahnya, bentuk konsultasi tertentu
dengan terapis lain itu boleh jadi diperlukan. Kedua, Susi menolak untuk beralih kepada terapis
lain dan mengemukakan bahwa dia tidak ingin menemui seorang pun selain konselor di
sekolahnya, Pak Smith. Haruslah Pak Smith mengakhiri hubungan konselingnya dengan Susi?
Haruskah Pak Smith melanjutkan hubungan tetapi tetap mendorong Susi untuk beralih kepada
terapis lain? Bagaimana jika Pak Smith merasa “dipusingkan” oleh Susi? Pedoman APA (1967,
hlm. 67) menyatakan, “Psikolog perlu mempertimbangkan secara cermat kerugian yang
mungkin menimpa klien, dirinya sendiri, dan profesinya yang mungkin timbul dari
dilanjutkannya hubungan ketika klien menolak pengalihan”. Sebagaimana yang bisa dilihat,
sering terdapat suatu garis nyata yang muncul di antara bekerja atas nama kepentingan –
kepentingan klien dan menghadapi kenyataan – kenyataan serta keterbatasan – keterbatasan
kesanggupan konselor dalam membantu klien.

Satu masalah etis utama lainnya yang berkaitan dengan kesejahteraan klien adalah penggunaan
obat – obatan di rumah sakit jiwa, di lembaga – lembaga rehabilitasi dan di sekolah – sekolah. Sebagai
pedoman umum, penggunaan obat – obatan yang diterima adalah untuk maksud – maksud terapeutik bagi
kepentingan – kepentingan klien, bukan untuk membuat klien menjadi lebih bisa diatur oleh terapis atau
staf. Apabila obat – obatan digunakan kerja sama dengan dokter harus dijalankan guna memperoleh
jaminan keselamatan bagi klien. sayangnya, obat – obatan pada umumnya digunakan untuk
menenangkan atau menekan tingkah laku yang problematic dalam diri klien untuk kepentingan orang lain
alih – alih untuk mempengaruhi suatu perubahan pad aklien. Konselor harus sadar atas kesalahan dalam
menggunakan obat – obatan dan perlu mengambil sikap terhadap masalah ini.
B. Kompetensi Terapis

Sebagai prinsip etika dasar, para terapis diharapkan menyadari batas – batas
kompetensinya serta pembatasan – pembatasan pribadi dan profesinya. Para terapis yang etis
tidak menggunakan diagnostika atau prosedur – prosedur treatment yang berada di luar lingkup
latihan mereka, juga menerima klien yang fungsi personalnya terganggu secara serius kecuali
apabila mereka memiliki keahlian dalam menangani klien semacam itu. Seorang terapis yang
menyadari bahwa dirinya kurang kompeten dalam menangani suatu kasus, bertanggung jawab
untuk berkonsultasi dengan rekan – rekannya atau dengan pembimbing atau membuat rujukan.

Apa yang membuat seorang pempraktek “Qualified”? Apakah pemilikan gelar atau surat
kepercayaan, atau ijazah mencukupi untuk sebutan “kompetensi”? Standar – standar bagi
kompetensi bervariasi dari satu ke lain Negara. Masalah selanjutnya adalah bahwa banyak
pempraktek yang di atas? Kertas “Qualified” nyatanya “tidak qualified” untuk memasuki praktek
terapis. Sebaliknya, banyak orang yang menurut badan – badan pemberi ijazah “tidak qualified”,
tetapi dalam praktek jauh lebih efektif disbanding dengan orang – orang yang diberi ijazah.

Para pempraktek yang kompeten harus terus – menerus menaksir komptensi mereka dalam
hubungan dengan klien – klien guna menentukan apakah ia bisa atau tidak bisa memasuki
hubungan terapeutik dengan mereka. Para konselor atau terapis yang paling berpengalaman pun
adakalanya perlu berkonsultasi dengan rekan – rekannya atau dengan seorang spesialis dalam
bidang yang berkaitan. Mungkin seorang terapis yang telah bekerja menangani seorang klien
selama periode waktu yang panjang menjadi kehilangan perspektif dengan kliennya itu. Adalah
bijaksana jika para terapis bermusyawarah untuk berbagi persepsi atas apa yang terjadi pada diri
klien mereka, pada diri mereka sendiri, dan yang terjadi antara mereka dengan para klien.

Maka disini dapat kita ketahui bahwa seorang konselor/terapis perlu adanya kompetensi agar
bisa memasuki hubungan turapeutik dengan mereka/membantu klien. Berikut ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan oleh seorang konselor/terapis.
1. Terapis diharapkan dapat secara jujur menyadari dan mengungkapkan
kompetensinya serta keterbatasan pribadi dan profesinya.
2. Tingkat Sarjana Psikologi sudah dapat menjadi seorang terapis, tetapi perlu
mengikuti pelatihan tertentu ada sertifikat.
3. Seorang Psikolog dapat menegakkan diagnosa dan melakukan pemeriksaan
psikologis, konseling dan melakukan psikoterapi.
4. Untuk B-Mod, Terapi pasangan dan keluarga dapat dilakukan oleh lulusan profesi
psikologi, tetapi untuk terapi bermain, CBT, sebaiknya mengikuti pelatihan tertentu
ada sertifikat.
5. Bila seorang terapis memperoleh permasalahan di luar kompetensinya, ada
baiknya mencari ahli lain untuk dirujukkan, atau mencari teman seorang ahli
dalam bidang tersebut untuk menjadi supervisornya.
6. HIMPSI: Dalam melaksanakan kegiatannya, ilmuwan psikologi dan psikolog
mengutamakan kompetensi, kejujuran, menjunjung tinggi integritas dan norma-
norma keahlian serta menyadari konsekuensi tindakannya.

C. Hubungan Terapis-Klien

Hubungan terapeutik sangat erat bagi terapis eksistensial. Penekanan diletakkan pada
pertemuan antarmanusia dan perjalanan bersama alih-alih pada teknik-teknik yang
mempengaruhi klien, isi pertemuan terapi adalah pada teknik-teknik yang mempengaruhi klien.
Isi pertemuan terapi adalah pengalaman klien sekarang bukan masalag klien. Hubungan dengan
orang lain dalam kehadiran yang otentik difokuskan kepada “ di sini dan sekarang”. Masa
lampau atau masa depan hanya penting bila waktunya berhubungan langsung.

Dalam menulis tentang hubungan terapeutik, Sidney Jourard (1971) mengimbau agar
terapis, melalui tingkah lakunya yang otentik dan terbuka, mengajak kepada keotentikan,
Jourard meminta agar terapis membangun hubungan Aku-Kamu, di mana pembukaan diri
terapis yang spontan menunjang pertumbuhan dan keotentikan klien. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Jourard (1971, hlm. 142-150), Manipulasi melahirkan kontramanipulasi .
Pembukaan diri melahirkan pembukaan diri pula. Ia juga menekankan bahwa hubungan
terapeutik bisa mengubah terapis sebagaimana ia mengubah klien. Hal itu berarti bahwa siapa
yang menginginkan apa dan pertumbuhannya tidak berubah, tidak perlu menjadi terapis.

Jourard adalah salah satu contoh yang baik tentang seorang terapis yang
mengembangkan gaya diri yang berorientasi humanistik. Ia menunjukkan bahwa menjadi unik,
otentik, dan menggunakan teknik-teknik yang beragam dalam kerangka humanistik adalah suatu
hal yang mungkin. Jourard tetap berpendapat bahwa jika terapis menyembunyikan diri dalam
pertemuan terapi, maka dia terlibat dalam tingkah laku tidak otentik yang sama dengan yang
menimbulkan gejala-gejala pada diri klien. Menurut Jourard, cara untuk membantu klien agar
menemukan dirinya yang sejati, serta agar tidak menjadi asing dengan dirinya sendiri adalah,
terapis secara spontan membukakan pengalaman otentiknya kepada klien pada saat yang tepat
dalam pertemuan terapi.[4]

Terapi eksistensial mengutamakan hubungan dengan klien

1. Hubungan ini penting bagi terapis karena kualitas dari setiap orang diperlihatkan dalam
situasi terapi yang akan mengubah stimulus menjadi positif
2. Dengan hubungan yang efektif ini terapis dapat menggali sifat dasar klien dan
karakteristik pribadi mereka
3. Vontras, dkk, menyatakan bahwa terapi eksistensial ini adalah perjalanan menuju kea rah
dalam diri individu yang di dapat dari hubungan terapis dengan klien
4. Tujuan akhirnya adalah untuk menghadapi jalan hidup mereka
5. Terapis perlu mengadopsi gaya yang lebih fleksibel dan teori yang berbeda untuk klien
yang berbeda
6. Empati merupakan hal yang penting dalam proses terapi.

HIMPSI: dalam memberikan jasa psikologi, psikolog berkewajiban untuk:

1. Mengutamakan dasar-dasar professional


2. Memberikan jasa/ praktek kepada semua yang membutuhkannya
3. Melindungi klien dari akibat yang merugikan sebagai dampak jasa/ praktek
yang diterimanya
4. Mengutamakan ketidakberpihakan dalam kepentingan pemakai jasa/ klien dan
pihak- pihak yang terkait dalam pemberian pelayanan tersebut
5. Dalam hal pemakai jasa/klien yang menghadapi kemungkinan terkena dampak negatif
yang tidak dapat dihindari akibat pemberian jasa/praktik psikologi yang dilakukan
oleh psikolog, maka klien tersebut harus diberi tahu.

APA: Psikolog harus menginformasikan kepada klien halhal penting dalam hubungan
klinikal yang dapat mempengaruhi keputusan klien untuk terlibat dalam hubungan tersebut.
Contoh: rekaman wawancara dengan audio video maupun dengan tape recorder, observasi
melalui one way screen, pelaporan siswa yang menggunakan fasilitas konseling di sekolah
kepada kepala sekolah, laporan kepada orang tua siswa apabila ada hal-hal yang dirasa perlu
diketahui orang tua (untuk 17 tahun ke bawah), resiko mengikuti terapi klien harus diberi tahu
terlebih dahulu.
Untuk keberhasilan terapi, yang terpenting adalah motivasi dan keinginan klien untuk berubah.
kesulitan pada klien anak-anak, karena motivasi umumnya datang dari orang tua.

D. Kerahasiaan

Kerahasiaan sebagai salah satu karakteristik penting dalam konseling karena itu perlu
benar-benar diperhatikan oleh konselor. Scheindres (1963) yang dikutip oleh George dan
Christiani (1981), mengemukakan ada tujuh dasar umum mengenai kerahasiaan sebagai berikut
:
1. Tanggung jawab mengenai kerahasiaan ini adalah relative, tidak mutlakkarena
ada keadaan-keadaan yang bisa mengubahnya.
2. Kerahasiaan tergantung pada materi asalnya, sehingga materi yang sudahterbuka di
masyarakat tidak terikat kerahasiaanya, sama seperti halnyasesuatu yang sudah
dipercaya sebagai rahasia.
3. Materi yang tidak merugikan tidak mengikat konselor mengenaikerahasiaannya.
4. Materi yang diperlukan oleh konselor atau pihak lembaga agar berfugsi efektif acap
kali bebas dari ikatan rahasia
5. Kerahasiaan selalu berhubungan dengan hak yang muncul dari dalam diriklien
terhadap integritas, reputasi, dan untuk mencegah dari agresivitas.Hak-hak seperti ini
dapat dipertahankan klien sekalipun berhadapan denganhokum.
6. Kerahasiaan juga diabatasi oleh hak-hak dari konselor untukmempertahankan reputasi
dan integritasnya, untuk mencegah perlakuanyang tidak wajar atau agresivitas, untuk
mempertahankan keleluasaan dalam berkomunikasi.
7. Kerhasiaan ditentukan dan dibatasi oleh hak-hak dari pihak ketiga yang jujur dan oleh
hak-hak masyarakat.

Untuk mengetahui lebih dalam mengenai kerhasiaan, Blocher (1966)mengemukakan tiga


tingkatan kerahasiaan :
1. Tingkatan pertama kerahasiaan melibatkan penggunaaan keterangan
secara professional. Setiap konselor bertanggung jawab untuk
mempergunakanketeranga n-keterangan tentang klien hanya untuk tujuan
professional.Keterangan ini bukan hanya diperoleh dalam pertemuan dengan
konselor,tetapi meliputi juga keterangan atau faktor tetaang klien yang diketahuinya.
2. Tingkatan kedua kerhasiaan berkaitan dengan keterangan tentang klien yang muncul
diluar hubungan konseling. Dalam hal ini, klien berhak meminta agar keterangan
tersebut dipergunakan demi kesejahteraan mereka. Hal inidalam kenyataannya bisa
menimbulkan kesulitan dan keragu-raguan yang
berhubungan dengan etika, manakala dibutuhkan kerjasama dengan pihak- pihak
atau disiplin lain seperti konselor lain, guru, orang tua, pekerja sosialdan lain-lain.3.
3. Tingaktan ketiga kerahasiaan terjadi bilamana klien dengan jelas
meolak berkomunikasi dengan penuh kepercayaan kepada konselor. Dalam halseperti ini
kalau jelas ada bahaya yang mengancam keselamatannya,konselor bisa membuat sesuatu
keadaan yang menggoncangkan danselanjutnya bersama dengan klien menghadapinya
agar klien merasa dibantudan terciptanya hubungan dengan sifat
rahasia. Kunci kegagalan ataukeberhasilan konselor terletak pada kemampuan konselor
untuk menyusunterlebih dahulu tingkatan-tingkatan dari kerahasiaan dengan mana
konselor melakukan kegiatan.

HIMPSI: Psikolog wajib memegang teguh rahasia yang menyangkut klien atau pemakai jasa
psikologi dalam hubungannya dengan pelaksanaan kegiatannya.
Data/ keterangan mengenai klien dalam rangka pemberian jasa/ praktek psikologi wajib
mematuhi hal-hal sbb:

1. Dapat diberikan hanya kepada yang berwenang mengetahuinya dan hanya memuat
hal- hal yang langsung dan berkaitan dengan tujuan pemberian jasa/ praktek psikologi
2. Dapat didiskusikan dengan pihak yang secara langsung berwenang atas diri klien
3. Dapat dikomunikasikan dengan bijaksana secara lisan/ tertulis kepada pihak ketiga
hanya bila pemberitahuan ini diperlukan untuk kepentingan klien, profesi, dan
akademisi. Identitas klien dirahasiakan
4. Data klien dapat diberitahukan kepada orang lain atas persetujuan klien/
penasihat hukumnya
5. Jika klien masih kanak-kanak atau orang dewasa yang tidak mampu memberikan
persetujuan secara sukarela, maka psikolog wajib melindungi orang-orang ini agar
tidak mengalami hal-hal yang merugikan.

E. Nilai-Nilai Dan Filsafat Hidup

Masalah inti dalam terapi adalah sejauh mana nilai-nilai terapis masuk ke dalam hubungan
terapiutik. Seorang terapis tidak bisa membantu merumuskan tujuan-tujuan seraya menghindari
pertimbangan-pertimbangan nilai, sebab tujuan tujuan itu berdasarkan nilai-nilai terapis. Di
bawah ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang di rancang untuk membantu anda mencari
jawabuan-jawaban tentatif mengenai peran-peran dalam nilai-nilkai terapi :

1. Apakah di harapkan bahwa para terapis telah menyampaikan pertimbangan-pertimbangan


nilai kepada klien-klien mereka mengenai dengan tingkah laku dan pilihan-pilihan klien
itu? Apakah mungkin bagiparAa terapis untuk membantu pertimbangan-pertimbangan
nilai hanya mengenai kejaadian –kejadian yang mempengaruhi kehidupan pribadi mereka
sendiri dan tidak menyampaikan pertimbangan-pertimbangan nilai kepada para klien?
2. Pribadi macam apa terapis yang bersikeras bahwa ia tidak membantu
pertimbangan- pertimbangan nilai kepada tindakan –tindakan tertentu para klien?
Apakah seorang terapis harus mengingkari dirinya sendiri dengan tetap bersikeras
“netral”?
3. Bagaimana para terapis dapat mempertahankan nilai-nilainya sendiri dan setia kepada
diri mereka sendiri, tetapi pada saat yang sama memberikan kepada kliennya kebebasan
untuk memilih nilai nilai dan tingkah lakunya sendiri yang berbeda secara tajam dengan
nilai-nilai para terapis?
4. Apa perbedaan yag hakiki antara para terapis yang menyingkapkan nilai-nilainya
secara jujur apabila layak , dengan para terapis yang dengan cara-cara halus
“membimbing” para klien mereka untuk menerima nilai-nilai para terapisatau nilai-
nilai yang oleh para terapis itu di nilai baik bagi para klien?
5. Dengan cara apa masalah nilai-nilai menjadi inti semua terapi? Apakah
mungkin memisahkan peran nilai nilai dari terapi?
6. Apa yang akan anda lakukan jika klien anda memiliki suatu sistem nilai yang
bertentangan sacara tajam engan nilai-nilai anda? Bagaimana jika anda secara jujur
merasakan bahwaa nilai-nilai pada klien anda destruktif bagi dirinya sendiri atau
bagi orang lain?
Pertanyaan mengenai pengaruh nilai nilai terapis terhadap klien memiliki implikasi-
implikasi etis apabila kita mengingat bahwa tujuan-tujuan dan metode–metode terapi adalah
ungkapan-ungkapan filsafat hidup terapis. Bahkan meskipun tidak secara langsung mengajari
klien untuk memaksakan nilai-nilai yang sepesifik kepaa klien, terapis menjalankan suatu
filsafat terapis yang pada hakikatnya adalah filsaafat hidup.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Seorang konselor/terapis memiliki tanggung jawab terutama kepada klien. akan tetapi,
karena klien tidak hidup dalam ruang hampa dan dipengaruhi oleh hubungan – hubungan yang
lainnya, terapis memiliki tanggung jawab juga kepada keluarga klien, kepada biro tempat terapis
bekerja, kepara biro yang dirujuk, kepada masyarakat, dan kepada profesinya. Karena minat –
minat klien untuk mendapat tempat utama dalam hubungan konseling atau terapi, maka
kebutuhan – kebutuhan dan kesejahteraan klienlah yang diutamakan, bukan kebutuhan –
kebutuhan terapis.

B. Saran

Dalam pembuatan makalah ini banyak penulis menyadari masih banyak terdapat
kekurangannya. Namun penulis tetap berharap makalah ini tetap memberikan manfaat bagi
pembaca. Di balik kekurangan tersebut penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
untuk kelengkapan dan lebih sempurnanya pambuatan makalah dimasa akan datang. Atas kritik
dan saran yang diberikan penulis haturkan banyak terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA

https://id.scribd.com/document/403679421/KERAHASIAAN-DALAM-KONSELING-1-docx
http://filsafatterapisx.blogspot.com/?m=1
http://kulpulan-materi.blogspot.com/2013/07/kompetensi-terapis.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai