Dosen Pembimbing :
Jehan Safitri S.Psi, M.Psi, Psikolog
Rahmi Fauzia, MA, Psikolog
Meydisa Tanau, M.Psi, Psikolog
Firdha Yuserina, M.Psi, Psikolog
Disusun Oleh :
Kelompok 3
Farhan Aditia Chahya 1710914310025
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat, taufik dan hidayah-Nya yang sangat besar sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini tepat pada waktunya. Semoga makalah ini turut memperkaya khazanah ilmu psikologi serta
bisa menambah wawasan dan pengalaman para pembaca.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan Makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatannya.
Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat memperbaiki Proposal
Penelitian ini.
Selayaknya kalimat yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna. Kami
juga menyadari bahwa makalah ini juga masih banyak memiliki kekurangan. Maka dari itu kami
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi penyusunan makalah dengan tema
serupa dapat lebih baik lagi.
Kelompok 3
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1. Bagaimana sejarah Person Centered Therapy?
2. Apa itu Person Centered Therapy?
3. Apa saja ciri-ciri Person Centered Therapy?
4. Bagaimana teknik Person Centered Therapy?
5. Apa saja tahap-tahap Person Centered Therapy?
6. Apa saja tujuan Person Centered Therapy?
7. Apa kelebihan dan kekurangan Person Centered Therapy?
2
BAB II
PEMBAHASAN
4
Rogers (dalam Rosada, 2017) menemukan dan mengembangkan teknik
konseling yang dikenal sebagai person centered theraphy, yakni teknik terapi yang
berpusat pada klien. Dibandingkan teknik terapi yang ada masa itu, teknik ini adalah
pembaharuan karena mengasumsikan posisi yang sejajar antara konselor dan pasien
atau klien. Hubungan terapis-klien diwarnai kehangatan, saling percaya, dan klien
diberikan diperlakukan sebagai orang dewasa yang dapat mengambil keputusan
sendiri dan bertanggungjawab atas keputusannya.
Pendekatan Person Centered Therapy dari Carl Rogers (Feist & Feist, 2010)
menjelaskan bahwa kecemasan adalah kondisi yang tidak menyenangkan atau
tekanan dari sumber yang tidak diketahui. Kecemasan muncul ketika individu
menyadari atau sedikit menyadari akan inkongruensi yang dialaminya. Inkongruensi
merupakan kondisi di mana ada perbedaaan antara diri ideal dengan konsep diri. pada
dasarnya manusia itu bersifat positif, makhluk yang optimis, penuh harapan, aktif,
bertanggung jawab, memiliki potensi kreatif, bebas (tidak terikat oleh belenggu masa
lalu), dan berorientasi ke masa yang akan datang dan selalu berusaha untuk
melakukan self fullfillment (memenuhi kebutuhan dirinya sendiri untuk bisa
beraktualisasi diri). Filosofi tentang manusia ini berimplikasi dan menjadi dasar
pemikiran dalam praktek terapi person centered. Menurut Roger konsep inti
terapi person centered adalah konsep tentang diri dan konsep menjadi diri atau
pertumbuhan perwujudan diri.
Menurut Sayekti (1997), ada beberapa konsepsi Rogers tentang hakekat
person centered theraphy adalah: (1) Manusia tumbuh melalui pengalamannya, baik
melalui perasaan, berfikir, kesadaran ataupun penemuan. (2) Hidup adalah kehidupan
saat ini dan lebih dari pada perilaku-perilaku otomatik yang ditentukan oleh kejadian-
kejadian masa lalu, nilai-nilai kehidupan adalah saat ini dari pada masa lalu, atau
yang akan datang. (3) Manusia adalah makhluk subyektif, secara esensial manusia
hidup dalam pribadinya sendiri dalam dunia subjektif. (4) Keakraban hubungan
manusia merupakan salah satu cara seseorang paling banyak memenuhi
kebutuhannya. (5) Pada umumnya setiap manusia memiliki kebutuhankebutuhan
untuk bebas, spontan, bersama-sama dan saling berkomunikasi. (6) Manusia memiliki
kecenderungan ke arah aktualisasi, yaitu tendensi yang melekat pada organisme untuk
5
mengembangkan keseluruhan kemampuannya dalam cara memberi pemeliharaan dan
mempertinggi aktualisasi diri.
Menurut Rogers (dalam Anderson, 2001), setiap individu memiliki dua sub
sistem dalam diri, yaitu konsep diri dan diri ideal. Konsep diri merupakan
pengalaman seseorang yang disadari. Pembentukan konsep diri bermula dari adanya
pengalaman organisme dari individu, yaitu kesatuan antara apa yang dirasakan oleh
badan berupa sensasi dan perubahan-perubahan fisik, serta apa yang dipikirkan.
Selain itu pengalaman organisme tersebut sebagian ada yang tidak disadari dan
sebagian disadari. Secara singkat pengalaman organisme adalah semua yang
melibatkan fisik, kognitif, kesadaran dan ketidaksadaran. Sejumlah perubahan fisik
dan kognitif yang dialami oleh individu, tidak selalu disadari. Sebagian yang disadari
oleh individu kemudian diakui dan melekat menjadi identitas diri. Konsep diri
merupakan penilaian terhadap diri sendiri yang terbentuk dari kesadarankesadaran
tersebut.
Pada dasarnya tujuan terapi ini adalah untuk menciptakan iklim yang kondusif
sebagai usaha untuk membantu klien menjadi pribadi yang utuh (fully functioning
person), yaitu pribadi yang mampu memahami kekurangan dan kelebihan dirinya.
Konsep inti tujuan terapi, yaitu;
a. Keterbukaan pada pengalaman
Klien diharapkan dapat lebih terbuka dan lebih sadar dengan kenyataan
pengalaman mereka. Hal ini juga berarti bahwa klien diharapkan dapat lebih
terbuka terhadap pengetahuan lebih lanjut dan pertumbuhan mereka serta bisa
menoleransi keberagaman makna dirinya.
b. Kepercayaan pada organisme sendiri
Dalam hal ini tujuan terapi adalah membantu klien dalam membangun rasa
percaya terhadap diri sendiri. Biasanya pada tahap-tahap permulaan terapi,
kepercayaan klien terhadap diri sendiri dan putusan-putusannya sendiri sangat
6
kecil. Mereka secara khas mencari saran dan jawaban-jawaban dari luar karena
pada dasarnya mereka tidak mempercayai kemampuan-kemampuan dirinya untuk
mengarahkan hidupnya sendiri. Namun dengan meningkatnya keterbukaan klien
terhadap pengalaman-pengalamannya sendiri, kepercayaan kilen kepada dirinya
sendiri pun mulai timbul.
c. Tempat evaluasi internal
Tujuan ini berkaitan dengan kemampuan klien untuk instropeksi diri, yang berarti
lebih banyak mencari jawaban-jawaban pada diri sendiri bagi masalah-masalah
keberadaannya. Klien juga diharapkan untuk dapat menetapkan standar-standar
tingkah laku dan melihat ke dalam dirinya sendiri dalam membuat putusan-
putusan dan pilihan-pilihan bagi hidupnya.
d. Kesediaan untuk menjadi satu proses.
Dalam hal ini terapi bertujuan untuk membuat klien sadar bahwa pertumbuhan
adalah suatu proses yang berkesinambungan. Para klien dalam terapi berada
dalam proses pengujian persepsi-persepsi dan kepercayaan-kepercayaannya serta
membuka diri bagi pengalaman-pengalaman baru, bahkan beberapa revisi.
Berikut adalah karateristik dari person centered theraphy (Lestari, dkk, 2018):
7
2.5 Peran dan Fungsi Terapis
8
Rosada (2017) juga menjelaskan bahwa terdapat prinsip-prinsip pada person
centered theraphy yaitu sebagai berikut:
1. Kita berperilaku sesuai dengan persepsi kita terhadap realitas. Berkaitan
dengan hal ini, untuk memahami masalah klien, maka kita harus benar-benar
memahami bagaimana ia mempersepsikannya.
2. Kita termotivasi oleh dorongan primer bawaan lahir yang berupa dorongan
untuk mengaktualisasikan diri. Secara otomatis individu akan mengembangkan
potensinya dalam kondisi-kondisi yang mendukung. Kondisi-kondisi ini dapat
diciptakan dalam terapi dan oleh karena itu, terapis harus bersikap nondirektif.
3. Individu memiliki kebutuhan dasar akan cinta dan penerimaan. Dalam terapi,
hal ini diterjemahkan sebagai adanya kebutuhan untuk fokus pada hubungan
(antara terapis dan klien) dan pengkomunikasian empati, sikap menghargai,
dan ketulusan dari terapis.
4. Konsep diri individu bergantung pada penerimaan dan penghargaan yang ia
terima dari orang lain. Konsep diri klien dapat ia ubah apabila ia mengalami
penghargaan positif tanpa syarat (unconditional positive regard) dalam terapi.
Sikap dan kepercayaan antara terapis dan klien berperan penting dalam proses
Person Centered Therapy. Terapis membangun hubungan yang membantu , dimana
klien akan mengalami kebebasan untuk mengeksplorasi area – area kehidupannya
yang sekarang merasa terganggu. Pada terapi ini pada umumnya menggunakan teknik
dasar mencakup mendengarkan aktif, merefleksikan perasaan – perasaan atau
pengalaman, menjelaskan, dan “hadir” bagi klien. Terapis harus membawa sifat –
sifat khas berikut dalam proses terapi, yaitu:
1. Menerima. Terapis menerima pasien dengan respek tanpa menilai atau
mengadilinya entah secara positif atau negatif. Pasien dihargai dan diterima
tanpa syarat. Dengan sikap ini terapis memberi kepercayaan sepenuhnya
kepada kemampuan pasien untuk meningkatkan pemahaman dirinya dan
perubahan yang positif.
9
2. Keselarasan (congruence). Terapis dikatakan selaras dalam pengertian bahwa
tidak ada kontradiksi antara apa yang dilakukannya dan apa yang dikatakannya.
3. Pemahaman. Terapis mampu melihat pasien dalam cara empatik yang akurat.
Dia memiliki pemahaman konotatif dan juga kognitif.
4. Mampu mengkomunikasikan sifat-sifat khas ini. Terapis mampu
mengkomunikasikan penerimaan, keselarasan dan pemahaman kepada pasien
sedemikian rupa sehingga membuat perasaan-perasaan terapis jelas bagi
pasien.
5. Hubungan yang membawa akibat. Suatu hubungan yang bersifat mendukung
(supportive relationship), yang aman dan bebas dari ancaman akan muncul dari
teknik-teknik diatas.
Jika dilihat dari apa yang dilakukan terapis dapat dibuat dua tahap,
yaitu; Pertama, tahap membangun hubungan terapeutik, menciptakan kondisi
fasilitatif dan hubungan yang substantif seperti empati, kejujuran, ketulusan,
penghargaan, dan positif tanpa syarat. Tahap kedua adalah tahap kelanjutan yang
disesuaikan dengan efektivitas hubungan konseling dan disesuaikan dengan
kebutuhan klien.
Menurut Gerald Corey, langkah-langkah pelaksanaan penerapan client
centered sebagai berikut :
1. Klien datang kepada konselor atas kemauan sendiri. Apabila klien datang
atassuruhan orang lain, maka konselor harus mampu menciptakan situasi
yangsangat bebas dan permisif dengan tujuan klien memilih apakah ia akan
terusminta bantuan atau akan membatalkannya.
2. Situasi konseling sejak awal harus menjadi tanggung jawab klien, untuk
itukonselor menyadarkan klien.
10
3. Konselor memberanikan klien agar ia mampu mengemukakan
perasaannya.Konselor harus bersikap ramah, bersahabat, dan menerima klien
sebagaimanaadanya
4. Konselor menerima perasaan klien serta memahaminya
5. Konselor berusaha agar klien dapat memahami dan menerima keadaan dirinya
6. Klien menentukan pilihan sikap dan tindakan yang akan diambil (perencanaan)
7. Klien merealisasikan pilihannya itu.
11
4. Tidak cukup sistematik dan lengkap terutama yang berkaitan dengan klien
yang kecil tanggungjawabnya.
5. Sulit bagi therapist untuk bersifat netral dalam situasi hubungan interpersonal.
6. Teapi menjadi tidak efektif ketika konselor terlalu non-direktif dan pasif.
Mendengarkan dan bercerita saja tidaklah cukup
7. Tidak bisa digunakan pada penderita psikopatology yang parah
8. Minim teknik untuk membantu klien memecahkan masalahnya
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Makalah ini bertujuan untuk menjadi bahan ajar mahasiswa tentang metode
psikoterapi Person Center Terapy. Akan tetapi sebagai penulis kami menyadari masih
banyaknya kekurangan yang terdapat pada makalah ini, sehingga penulis menerima saran
dan kritik yang membangun untuk menambah pengetahuan mengenai metode psikoterapi
Person Center Terapy
13
REVIEW JURNAL
Tahun : 2015
14
Subjek Penelitian : Pada penelitian ini, tidak ada subjek yang diberikan
perlakuan/wawancara/observasi. Namun penelitian ini
menunjukkan bahwa subjek yang dituju pada tujuan ini adalah para
klien berupa individu yang resisten terhadap perubahan atau yang
kurang percaya diri dalam pengambilan keputusan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, M. (2016). Teori Client Centered Rogers: Suatu Analisis Konseling dan Implikasinya
dalam Pendidikan. Jurnal Kependidikan Islam, 1-13.
16