Anda di halaman 1dari 25

Tugas Kelompok MK Psikopatologi

Dosen Pengampu: Harlina Hamid, S.Psi., M.Si., M.Psi., Psikolog

Rahmat Permadi, S.Psi., M.Psi., Psikolog

PSIKOPATOLOGI

“Feeding and Eating Disorder dan Sleep Wake Disorder”

OLEH :

Yusfitri Nursyahwalny M 210701500038

Syarifah Ummu Budur 210701500044

Tarizha Khaerunnisa 210701502023

KELOMPOK 3

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2022
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan hikmah, hidayah, kesehatan, serta umur yang panjang sehingga makalah yang
berjudul “Feeding and Eating Disorder dan Sleep Wake Disorder” dapat terselesaikan. Kami
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang
dengan tulus memberikan doa, dukungan, dan saran sehingga makalah ini dapat kami selesaikan.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa penulisan dalam makalah ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca untuk
pembuatan makalah selanjutnya. Akhir kata kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Dosen
pengampu MK Psikopatologi yang telah membimbing kami dalam membuat makalah ini.

Makassar, 19 September 2022

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN ..............................................................................................

A. Latar Belakang ....................................................................................................


B. Rumusan Masalah ...............................................................................................
C. Tujuan .................................................................................................................

BAB 2 PEMBAHASAN ................................................................................................

A. Gangguan Makan ................................................................................................


a. Anorexia Nervosa ..........................................................................................
b. Bulimia Nervosa ............................................................................................
B. Etiologi Gangguan Makan ...................................................................................
a. Faktor Biologis ..............................................................................................
b. Pengaruh Sosiokultural ..................................................................................
c. Pandangan Psikodinamika .............................................................................
d. Kepribadian & Gangguan Makan ...................................................................
e. Pandangan Kognitif – Perilaku .......................................................................
C. Penanganan Gangguan Makan .............................................................................
D. Sleep Wake Disorder ...........................................................................................

BAB 3 PENUTUP..........................................................................................................

A. Kesimpulan .........................................................................................................
B. Saran ...................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................


BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gangguan makan seringkali terjadi ketika individu berada di fase remaja. Masa
remaja merupakan masa yang dramatis di dalam diri seseorang. Salah satu perubahan yang
terjadi ialah perubahan bentuk tubuh. Ketika perubahan bentuk tubuh terjadi pada remaja,
remaja akan merasa bahwa tubuh yang ia miliki tidak sesuai dengan standar yang ada.
Dengan pemikiran seperti ini, remaja akan mati-matian melakukan diet maupun aktivitas
lainnya yang dapat menjadi penyakit/ gangguan untuk dirinya sendiri.
Gangguan makan yang banyak terjadi saat ini ialah anorexia dan bulimia nervosa.
Data penderita anorexia nervosa di Indonesia belum diketahui secara pasti. Namun,
terdapat hasil meta-analisis yang dilakukan oleh Azrimaidaliza et al. (2021) yang
memaparkan bahwa gangguan makan dialami oleh remaja perempuan di beberapa kota di
Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan et al. (2015) terhadap mahasiswa
baru prodi Ilmu Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) menunjukkan bahwa 7,8% mahasiswa
perempuan mengalami gangguan makan.
Semua manusia memerlukan tidur karena tidur merupakan hal penting yang
berkaitan erat dengan pertumbuhan fisik. Pola tidur yang sehat membantu kita untuk
menjaga kesehatan fisik dan menurunkan risiko komplikasi berbagai penyakit medis. Tidur
yang sehat juga bisa mempengaruhi bagaimana otak kita menyimpan memori. Waktu tidur
normal pada seseorang adalah 7-8 jam perhari. Jika tidur seseorang kurang dari 7 jam maka
cenderung berakibat pada mood orang tersebut tidak hanya itu namun tidur yang kurang
juga mengganggu fungsi kognitif seseorang (Handojo et al., 2018).
Tidur memiliki berbagai macam gangguan yang cenderung di sepelekan oleh
banyak orang antara lain insomnia, hipersomnia, parasomnia, dll. Gangguan pada tidur
dapat menyebabkan distress pada pengidapnya sehingga berakibat gangguan kognitif,
sosial, serta pekerjaan. Pada makalah ini gangguan-gangguan tidur akan dibahas lebih
dalam lagi.
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan gangguan makan?


2. Apa yang menjadi etiologi gangguan makan?
3. Bagaimana cara menangani gangguan makan?
4. Apa yang dimaksud sleep wake disorder?
C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu gangguan makan.

2. Untuk mengetahui etiologi dari gangguan makan.

3. Untuk mengetahui bagaimana penanganan gangguan makan.

4. Untuk mengetahui apa itu sleep wake disorder.


BAB 2

PEMBAHASAN

A. Gangguan Makan

Gangguan makan merupakan kondisi psikiatrik yang berakibat serius pada


psikologis dan medis. Gangguan makan juga merupakan kondisi kesehatan mental yang
kompleks. Gangguan makan ditandai dengan pola makan yang menyimpang terkait dengan
karakteristik psikologis yang memiliki hubungan dengan makan, berat badan, dan
gambaran tubuh (Shabah & Dhanny, 2020). Penyimpangan persepsi tubuh ini memiliki
resiko yang tinggi mengalami gangguan makan, seperti anorexia nervosa & bulimia
nervosa.
a. Anorexia Nervosa
Menurut Townsend (1998, dalam Ratnawati & Sofiah, 2012), Anorexia nervosa
merupakan sindrom klinis dimana seorang individu memiliki rasa takut yang ekstrem
terhadap kelebihan berat badan. Anorexia nervosa berasal dari istilah anorexia yang berarti
kehilangan selera makan, dan nervosa yang mengindikasikan bahwa kehilangan selera
makan tidak menyebabkan emosional. Namun, istilah ini dianggao keliru karena penderita
anorexia nervosa mengalami kekurangan nafsu makan, tetapi mereka juga tetap merasakan
lapar dan berselera pada makanan (Davison et al, 2010).
Dikutip dari nationaleatingdisorders.org, DSM-5 telah menunjukkan beberapa
kriteria yang dapat didiagnosa sebagai penderita anorexia nervosa, kriteria tersebut ialah :
1. Pembatasan asupan energi relatif terhadap kebutuhan yang mengarah ke berat
badan yang sangat rendah dalam konteks usia, jenis kelamin, lintasan
perkembangan, dan kesehatan fisik.
2. Ketakutan yang intens untuk menambah berat badan atau menjadi gemuk,
meskipun berat badan kurang.
3. Gangguan dalam cara mengalami berat badan atau bentuk tubuh, pengaruh
berat badan atau bentuk tubuh yang tidak semestinya pada evaluasi diri, atau
penolakan keseriusan berat badan rendah saat ini.
Kemudian, DSM-IV-TR telah membedakan 2 tipe anorexia nervosa, yaitu
(Davison et al, 2010) :

 Tipe terbatas : Penurunan berat badan dicapai dengan sangat membatasi


asupan makanan.
 Tipe makan-berlebihan- pengurasan : Secara rutin, ia makan berlebihan dan
kemudian mengeluarkan kembali makanan tersebut.
b. Bulimia Nervosa
Selain anorexia nervosa, terdapat pula bulimia nervosa. DSM-5 (Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders, 5th ed.) memaparkan bahwa Bulimia nervosa
merupakan diagnosis yang diberikan kepada individu yang berulang kali makan
berlebihan dan menggunakan tindakan yang tidak tepat untuk mencegah penambahan
berat badan setelahnya, seperti membersihkan perut, berpuasa, atau berolahraga secara
berlebihan. Pada bulimia nervosa, makan berlebihan biasanya dilakukan secara diam-
diam, dapat dipicu oleh stres dan berbagai emosi negatif yang ditimbulkan, dan terus
berlangsung sehingga penderita merasa kekenyangan (Davison et al, 2010).
DSM-5 telah menunjukkan beberapa kriteria diagnostik resmi bulimia nervosa,
kriteria tersebut yakni :
1. Episode berulang dari pesta makan. Episode pesta makan ditandai oleh kedua
hal berikut:
o Makan, dalam periode waktu tertentu (misalnya dalam periode 2 jam),
jumlah makanan yang pasti lebih besar daripada kebanyakan orang akan
makan selama periode waktu yang sama dan dalam keadaan yang sama.
o Perasaan tidak dapat mengontrol makan selama episode tersebut
(misalnya perasaan bahwa seseorang tidak dapat berhenti makan atau
mengontrol apa atau berapa banyak yang dia makan).
2. Perilaku kompensasi yang tidak pantas berulang untuk mencegah penambahan
berat badan, seperti muntah yang diinduksi sendiri, penyalahgunaan obat
pencahar, diuretik, atau obat lain, puasa, atau olahraga berlebihan.
3. Pesta makan dan perilaku kompensasi yang tidak pantas terjadi, rata-rata,
setidaknya sekali seminggu selama tiga bulan.
4. Evaluasi diri terlalu dipengaruhi oleh bentuk tubuh dan berat badan.
Perbedaan antara anorexia nervosa dan bulimia nervosa ini ialah penurunan berat
badan, dimana penderita anorexia nervosa mengalami penurunan berat badan secara
drastis. Sedangkan penderita bulimia nervosa, tidak seperti itu.

B. Etiologi Gangguan Makan


Gangguan makan dapat terjadi oleh beberapa faktor, seperti faktor biologis, tekanan
sosiokultural, kepribadian, dan peran stress lingkungan.
a. Faktor Biologis
Genetik anorexia nervosa dan bulimia nervosa dapat terjadi dalam satu keluarga.
Kerabat tingkat pertama dari perempuan muda yang menderita anorexia nervosa
memiliki kemungkinan 10 kali lebih besar dibandingkan rata- rata untuk menderita
gangguan tersebut. Hasil yang sama juga ditemukan pada bulimia nervosa. Studi
terhadap orang kembar terkait gangguan makan juga menunjukkan pengaruh genetik.
Penelitian menunjukkan bahwa pada orang kembar yang menderita gangguan makan
dibandingkan dengan faktor-faktor lingkungan (Davison et al, 2010).
Penelitian juga menunjukkan bahwa ciri-ciri penting gangguan makan, seperti
ketidakpuasan atas bentuk tubuh, keinginan yang kuat untuk menjadi langsing, makan
banyak, dan preokupasi dengan berat badan dapat diturunkan dalam keluarga (Klump,
McGue & Iacono, 2000; Rutherford et al, 1993 dalam Davison et al, 2010). Bukti lain
yang menunjukkan jika faktor genetik yang umum dapat dapat berperan dalam
hubungan antara karakteristik kepribadian tertentu, seperti emosionalitas negatif dan
gangguan makan (Klump, McGue & Iacono, 2002 dalam Davison et al, 2010).
b. Pengaruh Sosiokultural
Tubuh kurus yang ideal berdasarkan standar, mungkin saja dapat menjadi sarana
yang membuat masyarakat takut untuk menjadi gemuk ataupun merasa gemuk. Selain
menciptakan fisik yang tidak diinginkan, menjadi gemuk memiliki berbagai konotasi
negatif. Masyarakat memandang orang yang memiliki obesitas sebagai orang-orang
yang kurang cerdas dan dicap sebagai orang yang kesepian, pemalu, dan haus kasih
sayang (Dejong & Kleck, 1986 dalam Davison et al, 2010)
c. Pandangan Psikodinamika
Berbagai teori psikodinamika menyatakan bahwa simtom-simtom gangguan makan
menjadi suatu pemenuhan bagi beberapa kebutuhan, seperti meningkatkan rasa
efektivitas diri melalui keberhasilan mempertahankan diet atau tidak tumbuh secara
seksual dengan mnjadi sangat kurus sehingga tidak mencapai bentuk tubuh perempuan
pada umumnya (Goodsitt, 1997 dalam Davison et al, 2010).
Teori psikadinamika juga berfokus pada hubungan keluarga. Di tahun 1980, Hilde
Bruch mengemukakan bahwa anorexia nervosa merupakan upaya yang dilakukan
anak-anak yang dibesarkan dengan cara yang membuat mereka merasa tidak efektif
untuk memperoleh kompetensi dan penghargaan (Davison et al, 2010).
d. Kepribadian & Gangguan Makan
Terdapat penelitian yang menggambarkan para penderita anorexia sebagai orang
yang perfectionist, pemalu, dan patuh sebelum mengalami gangguan. Deskripsi tentang
para penderita bulimia juga mencakup karakteristik histrionic, ketidakstabilan
perasaan, dan mudah bergaul (Vitousek & Manke, 1994 dalam Davison et al, 2010).
Namun, penting untuk diingat bahwa penuturan oleh diri sendiri dan keluarga
mengenai kepribadian pasien sebelum penegakan diagnosis bisa saja tidak akurat
maupun menjadi bias oleh kesadaran akan masalah pasien.

Banyak studi yang mengukur kepribadian pada penderita gangguan makan. Pada
hasil kuisioner kepribadian yang telah diakui oleh seperti MMPI, para pasien yang
menderita anorexia dan bulimia memiliki tingkat neurotise dan kecemasan yang tinggi
juga memiliki harga diri yang rendah. Data dari beberapa studi mengenai kepribadian
orang yang menderita gangguan makan cukup konsisten dengan teori psikodinamika,
dimana para penderita gangguan makan secara konsisten diketahui memliki harga diri
yang rendah (a.l., Garner et al., 1983 dalam Davison et al, 2010).

e. Pandangan Kognitif – Perilaku


Anorexia nervosa; Rasa takut terhadap kegemukan dan gangguan citra tubuh
diduga sebagai faktor-faktor yang memotivasi yang menjadikan kondisi melaparkan
diri sendiri dan penurunan berat badan sebagai penguat yang daya penuh (Davison et
al, 2010). Faktor penelitian lain yang menghasilkan dorongan kuat untuk langsing dan
citra tubuh yang terganggu ialah kritik dari teman sebaya maupun orang tua tentang
kelebihan berat badan yang dialami (Paxton et al, 1991; Thompson et al, 1995 dalam
Davison et al, 2010).
Diketahui bahwa makan berlebihan terjadi apabila diet gagal. Apabila kekambuhan
terjadi dalam diet ketat yang dilakukan penderita anorexia nervosa, akan memunculkan
perilaku makan berlebihan. Pasien dengan anorexia yang tidak mengalami episode
makan berlebihan dan pengurasan mungkin akan memiliki emosi yang sangat kuat dan
mendalam dengan bertambahnya berat badan dan ketakutan akan hal itu (Schlundt &
Johnson, 1990 dalam Davison et al, 2010).
Bulimia nervosa; Para penderita bulimia nervosa dianggap memiliki kekhawatiran
berlebihan dengan penambahan berat badan dan penampilan tubuh. Mereka menilai
diri mereka terutama berdasarkan berat badan dan bentuk tubuh mereka sendiri.
Penderita bulimia nervosa memiliki harga diri yang rendah, dan karena berat badan dan
bentuk tubuh cukup lebih mudah dikendalikan dibanding aspek diri yang lain.
Penderita bulimia mencoba mengikuti pola makan terbatas yang sangat kaku dan
memiliki aturan yang ketat mengenai jumlah asupan makanan, jenis makanan yang
dimakan, hingga kapan harus makan (Davison et al, 2010).
Ketika penderita bulimia merasa asupan makannya terlalu dibatasi, mereka akan
gagal dalam diet dan makan dengan berlebihan. Setelah makan berlebihan, akan timbul
perasaan jijik dan rasa takut menjadi gemuk dari penderita bulimia, kemudian memicu
tindakan kompensatori seperti muntah (Fairburn, 1997 dalam Davison et al, 2010).
Walaupun pengurasan untuk sementara mengurangi kecemasan karena telah makan
berlebihan, siklus ini semakin merendahkan harga diri orang yang bersangkutan
(Davison et al, 2010).

C. Penanganan Gangguan Makan


Penanganan untuk pasien yang mengalami gangguan makan seringkali sulit
dilakukan karena sebagian besar pasien gangguan makan tidak sadar dengan gangguan
yang mereka alami mereka juga tidak menyadari bahwa ia memiliki masalah. Dalam
penanganan pengidap gangguan makanan seringkali diperlukan perawatan inap rumah
sakit agar memudahkan perawat untuk memantau asupan makan pasien dengan lebih teliti
setiap harinya. Tidak hanya itu tapi pasien gangguan makan biasanya memiliki berat badan
yang sangat kurang sehingga dengan ini diperlukan pemberian makanan melalui infus
untuk menyelamatkan pasien dari komplikasi medis lainnya (Davison et al, 2010).
Penanganan gangguan makan terbagi menjadi 2 yaitu penanganan biologis dan penanganan
psikologis.
a. Penanganan Biologis
Bulimia nervosa seringkali berkaitan dengan depresi, maka gangguan bulimia
nervosa ini ditangani juga dengan pemberian berbagai obat antidepresan seperti contoh
obat fluoksetin. Pemberian obat antidepresan seperti jenis fluoksetin tetap harus diikuti
dengan pemberian terapi kognitif karena telah dibuktikan pasien yang hanya diberikan obat
antidepresan tanpa diikuti dengan terapi kognitif maka gangguan tersebut akan cenderung
kambuh kembali setelah obat depresan sudah tidak dikonsumsi, sedangkan kecenderungan
untuk kambuh tersebut berkurang bila obat antidepresan diberikan dengan diikuti terapi
kognitif. Jadi pemberian obat obat antidepresan ini hanya cukup berhasil dalam
meningkatkan berat badan secara signifikan namun tidak menjamin pasien tidak kambuh
kembali (Davison et al, 2010).
b. Penanganan Psikologis Anorexia Nervosa
Pemberian terapi bagi pengidap anorexia nervosa secara umum meiliki tujuan
dasar yaitu menambah berat badan serta mempertahankan berat badan tersebut dalam
jangka panjang hal ini ditujukan agar pasien tidak mengalami komplikasi medis lainnya.
Dalam penanganan psikologis untuk pengidap anorexia nervosa terapi keluarga
merupakan bentuk utama dalam penanganan gangguan ini. Penanganan terapi keluarga ini
didasarkan dengan teori yang menyatakan bahwa interaksi antara anggota keluarga
berperan penting dalam membantu peringanan dalam gangguan anorexia nervosa. Salah
satu strateginya adalah terapis menginstruksikan pada kedua orang tua atau anggota
keluarga lainnya untuk secara langsung mencoba memberi arahan kepada pasien untuk
makan (Davison et al, 2010). Jadi singkatnya terapi keluarga dianggap sebagai bentuk
utama dalam penanganan psikologis bagi anorexia nervosa.
c. Penanganan Psikologis Bulimia Nervosa
Penanganan psikologis untuk gangguan ini bisa dilakukan dengan cara pemberian
terapi kognitif yaitu membantu pasien untuk mengubah pola pikirnya yang awalnya
menurut mereka berat ideal hanya bisa didapatkan dengan diet ketat menjadi berat badan
normal dapat dipertahankan tanpa harus menjalani diet yang sangat ketat dan pembatasan
asupan makan yang tidak realistis sehingga seringkali dapat memicu makan yang
berlebihan. Penanganan lainnya yaitu mengajari para pengidap bulimia nervosa bahwa
semua tidak akan hilang hanya dengan memakan satu gigit makanan berkalori tinggi. Hasil
dari terapi kognitif cukup menjanjikan baik dalam jangka pendek ataupun jangka panjang
pemberian terapi kognitif dianggap lebih baik daripada pemberian obat-obat antidepresan
pada pasien bulimia nervosa karena pemberian terapi kognitif dianggap memiliki hasil
yang bersifat panjang sedangkan pemberian obat-obat antidepresan hanya meredakan
gejala pada saat pasien meminum teratur obat-obat tersebut dan ketika pasien stop
meminum obat-obat itu kemungkinan besar pasien akan kambuh kembali (Davison et al,
2010).
D. Sleep Wake Disorder
Tidur merupakan proses yang dibutuhkan otak. Tidur memiliki bermacam-macam
gangguan yang seringkali tidak diperhatikan oleh pengidapnya karena menganggap hal
tersebut tidak berbahayaa padahal nyatanya gangguan tidur yang fatal bisa berakibat
munculnya depresi pada individu. Berikut macam-macam gangguan tidur disertai
gejalanya.

Insomnia disorders

Insomnia merupakan suatu keadaan manusia yang diartikan dengan adanya gangguan
dalam jumlah, kualitas atau waktu tidur pada seorang individu. Gangguan tidur dapat
mengganggu pertumbuhan fisik, emosional, kognitif, dan sosial orang dewasa (American
Psychiatric Association, 2013). Gangguan tidur menyebabkan penderitaan yang bermakna
secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, pendidikan, akademik,
perilaku, atau fungsi penting lainnya. (Nurdin, 2018)

a. Keluhan utama ketidakpuasan dengan kuantitas atau kualitas tidur, terkait dengan satu
(atau lebih) gejala berikut:
1. Kesulitan saat memulai tidur. (Pada anak-anak, ini dapat ditentukan sebagai
perbedaan kesulitan memulai tidur tanpa intervensi pengasuh.)
2. Kesulitan mempertahankan tidur, ditandai dengan sering terbangun perasaan atau
masalah kembali tidur setelah bangun. (Dianak-anak, ini dapat bermanifestasi
sebagai kesulitan untuk kembali tidur tanpa intervensi pengasuh.)
3. Bangun di pagi hari dengan ketidakmampuan untuk kembali tidur.
b. Gangguan tidur menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi sosial, pekerjaan, pendidikan, akademik, perilaku, atau fungsi penting
lainnya (American Psychiatric Association, 2013).
c. Kesulitan tidur terjadi setidaknya 3 malam per minggu.
d. Kesulitan tidur hadir setidaknya selama 3 bulan.
e. Kesulitan tidur terjadi meskipun ada kesempatan yang cukup untuk tidur.
f. Insomnia tidak lebih baik dijelaskan oleh dan tidak terjadi secara eksklusif selama
gangguan tidur-bangun lainnya (misalnya, narkolepsi, gangguan tidur terkait
pernapasan, sirkadian gangguan ritme tidur-bangun, parasomnia).
g. Insomnia tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari zat (misalnya, penyalahgunaan
obat, obat).
h. Gangguan mental dan kondisi medis yang menyertai tidak cukup menjelaskan keluhan
utama insomnia.

Dapat ditentukan jika:

Dengan komorbiditas mental gangguan non-tidur, termasuk gangguan penggunaan zat.

 Dengan komorbiditas medis lainnya.


 Dengan gangguan tidur lainnya.

Dapat ditentukan jika:

 Episodik: Gejala berlangsung setidaknya 1 bulan tetapi kurang dari 3 bulan.


 Persisten: Gejala berlangsung 3 bulan atau lebih.
 Berulang: Dua (atau lebih) episode dalam waktu 1 tahun

Hypersomnolence Disorder
Mengantuk berlebihan yang dilaporkan sendiri (hipersomnolen) meskipun periode
tidur utama yang berlangsung setidaknya 7 jam, dengan setidaknya satu dari gejala berikut:

1. Periode tidur yang berulang atau jatuh ke dalam tidur dalam hari yang sama.
2. Episode tidur utama yang berkepanjangan lebih dari 9 jam per hari yang
nonrestoratif (yaitu, tidak menyegarkan).
3. Kesulitan untuk benar-benar terjaga setelah terbangun secara tiba-tiba.
a. Hipersomnolen terjadi setidaknya tiga kali per minggu, selama minimal 3 bulan.
b. Hipersomnolen disertai dengan distres yang signifikan atau gangguan kognitif, sosial,
pekerjaan, atau hal penting lainnya bidang fungsi.
d. Hipersomnolen tidak lebih baik dijelaskan oleh dan tidak terjadi secara eksklusif
selama perjalanan gangguan tidur lainnya (misalnya, narkolepsi, gangguan tidur terkait
pernapasan, sirkadian gangguan ritme tidur-bangun, atau parasomnia).
e. Hipersomnolen tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat (misalnya,
penyalahgunaan obat, obat).
f. Gangguan mental dan medis yang hidup berdampingan tidak cukup jelas keluhan
utama hipersomnolen.

Dapat ditentukan jika:

 Dengan gangguan mental, termasuk gangguan penggunaan zat


 Dengan kondisi medis
 Dengan gangguan tidur lainnya

Dapat ditentukan jika:

 Akut: Durasi kurang dari 1 bulan.


 Subakut: Durasi 1-3 bulan.
 Persisten: Durasi lebih dari 3 bulan.

Tentukan tingkat keparahan berdasarkan tingkat kesulitan mempertahankan siang hari


kewaspadaan yang dimanifestasikan oleh terjadinya beberapa serangan kantuk yang tak
tertahankan dalam hari tertentu yang terjadi, misalnya, saat tidak bergerak, mengemudi,
mengunjungi teman, atau bekerja (American Psychiatric Association, 2013).
 Ringan: Kesulitan mempertahankan kewaspadaan siang hari 1-2 hari/minggu.
 Sedang: Kesulitan mempertahankan kewaspadaan siang hari 3-4 hari/minggu.
 Parah: Kesulitan mempertahankan kewaspadaan siang hari 5-7 hari/minggu.

Narcolepsy

Periode berulang dari kebutuhan yang tak tertahankan untuk tidur, tertidur, atau tidur
siang yang terjadi pada hari yang sama. Ini pasti terjadi setidaknya tiga kali per minggu
selama masa lalu 3 bulan.

a. Adanya setidaknya salah satu dari berikut ini:


1. Episode cataplexy, didefinisikan sebagai (a) atau (b), terjadi setidaknya beberapa kali per
bulan:
a. Pada individu dengan penyakit lama, singkat (detik ke menit) episode hilangnya tonus
otot bilateral tiba-tiba dengan kesadaran yang terpelihara yang dicetuskan oleh tawa
atau canda.
b. Pada anak-anak atau individu dalam waktu 6 bulan setelah onset, seringkali spontan
atau episode membuka rahang dengan menjulurkan lidah atau hipotonia global, tanpa
pemicu emosional.
2. Defisiensi hipokretin, yang diukur dengan menggunakan nilai imunoreaktivitas hipokretin-
1 cairan serebrospinal (CSF) (kurang dari atau sama dengan sepertiga nilai yang diperoleh
pada subjek sehat diuji menggunakan uji yang sama, atau kurang dari atau sama dengan
110 pg/ml). Kadar hipokretin-1 CSF yang rendah tidak boleh diamati dalam konteks cedera
otak akut, peradangan, atau infeksi.
3. Polisomnografi tidur nokturnal yang menunjukkan latensi tidur gerakan mata cepat (REM)
kurang dari atau sama dengan 15 menit, atau tes latensi tidur ganda yang menunjukkan
latensi tidur rata-rata kurang dari atau sama dengan 8 menit dan dua atau lebih periode
REM onset tidur.

Dapat ditentukan berdasarkan tingkat keparahan:

 Ringan: cataplexy jarang (kurang dari sekali per minggu), perlu untuk tidur siang
hanya sekali atau dua kali sehari, dan tidak terlalu terganggu pada malam hari tidur.
 Sedang: Cataplexy sekali sehari atau setiap beberapa hari, terganggu tidur malam
hari, dan kebutuhan untuk beberapa kali tidur siang setiap hari.
 Parah: Katapleksi yang resistan terhadap obat dengan beberapa serangan setiap
hari.

Breathing-Related Sleep Disorders

Obstructive Sleep Apnea Hypopnea

Obstructive Sleep Apnea (OSA) atau Apnea Tidur Obstruktif merupakan kondisi umum
yang ditandai dengan obstruksi saluran nafas bagian atas yang berulang. OSA juga
ditandai dengan rasa kantuk di pagi hari, sering bangun saat tidur, mendengkur,
penurunan konsentrasi dan gangguan ingatan (Azzahra, 2019).

1. Bukti dengan polisomnografi setidaknya lima gangguan obstruktif apnea atau hipopnea per
jam tidur dan salah satu dari berikut gejala tidur :
a. Gangguan pernapasan nokturnal: mendengkur, mendengus/ terengah-engah, atau
pernapasan berhenti saat tidur.
b. Kantuk di siang hari, kelelahan, atau tidur yang tidak menyegarkan meskipun
kesempatan yang cukup untuk tidur yang tidak dijelaskan dengan lebih baik oleh
gangguan mental lain (termasuk gangguan tidur) dan tidak disebabkan oleh kondisi
medis lain.
c. Bukti dengan polisomnografi dari 15 atau lebih obstruktif apnea dan/atau hipopnea
per jam tidur terlepas dari gejala yang menyertainya.

Untuk menentukan tingkat keparahan, dapat mengacu pada:

 Ringan: Indeks apnea hipopnea kurang dari 15.


 Sedang: Indeks apnea hipopnea adalah 15-30.
 Parah: Indeks hipopnea apnea lebih besar dari 30.
Central sleep apnea

Kondisi ini menyebabkan tubuh kesusahan bernapas dalam waktu singkat pada
waktu tidur yang akan membangunkan tidur penderita sehingga akan kesulitan untuk
tidur nyenyak dan mengalami rasa kantuk berlebihan di siang.
a. Bukti dengan polisomnografi dari lima atau lebih apnea sentral per jam tidur.
b. Gangguan ini tidak lebih baik dijelaskan oleh tidur lain saat ini kekacauan

Tentukan tingkat keparahan saat ini:

Keparahan apnea tidur sentral dinilai menurut frekuensi gangguan pernapasan serta
tingkat desaturasi oksigen terkait dan fragmentasi tidur yang terjadi sebagai akibat dari
gangguan pernapasan berulang (American Psychiatric Association, 2013).

Sleep-Related Hypoventilation

a. Polisomnografi menunjukkan episode penurunan pernapasan terkait dengan


peningkatan kadar COy. (Catatan: Dalam ketidakhadiran pengukuran objektif
CO2, tingkat rendah persisten hemosaturasi oksigen globin yang tidak terkait
dengan kejadian apnea/hipopnea dapat mengindikasikan hipoventilasi.)
b. Gangguan tidak lebih baik dijelaskan oleh tidur lain saat ini kekacauan.

Dapat ditentukan berdasarkan:

Keparahan dinilai menurut derajat hipoksemia dan hipercarbia hadir selama tidur
dan bukti gangguan karena kelainan ini (misalnya, gagal jantung sisi kanan). Adanya
kelainan gas darah selama terjaga merupakan indikator keparahan yang lebih besar.

Circadian Rhythm Sleep-Wake Disorders

a. Pola gangguan tidur yang persisten atau berulang yang utama terutama karena perubahan
sistem sirkadian atau ketidaksejajaran antara ritme sirkadian endogen dan tidur-jadwal
bangun yang dibutuhkan oleh lingkungan fisik individu atau jadwal sosial atau profesional.
b. Gangguan tidur menyebabkan kantuk yang berlebihan atau insomnia, atau keduanya.
c. Gangguan tidur menyebabkan penderitaan atau gangguan yang signifikan secara klinis
pasangan dalam bidang sosial, pekerjaan, dan bidang penting lainnya berfungsi.
Dapat ditentukan berdasarkan:

Episodik: Gejala berlangsung setidaknya 1 bulan tetapi kurang dari 3 bulan.

Persisten: Gejala berlangsung 3 bulan atau lebih.

Berulang: Dua atau lebih episode terjadi dalam waktu 1 tahun.

Parasomnias

a. Episode berulang dari bangun tidak lengkap dari tidur, biasanya terjadi selama sepertiga
pertama dari episode tidur utama, disertai dengan salah satu dari berikut ini (American
Psychiatric Association, 2013):
1. Sleepwalking: Episode berulang dari bangun dari tempat tidur selama tidur dan
berjalan-jalan. Saat berjalan dalam tidur, individu memiliki wajah kosong, menatap
relatif tidak responsif terhadap efek benteng orang lain untuk berkomunikasi
dengannya dan bisa menjadi terbangun hanya dengan susah payah.
2. Teror tidur: Episode berulang dari gairah teror tiba-tiba dari tidur, biasanya dimulai
dengan teriakan panik. Di sana adalah ketakutan yang intens dan tanda-tanda gairah
otonom, seperti midriasis, takikardia, napas cepat, dan berkeringat, selama setiap
episode. Ada relatif tidak responsif terhadap upaya orang lain untuk menghibur
individu selama episode.
b. Episode menyebabkan penderitaan atau gangguan yang signifikan secara klinis dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.

Dapat ditentukan berdasarkan:

 Dengan makan yang berhubungan dengan tidur


 Dengan perilaku seksual terkait tidur (sexsomnia)

Nightmare Disorder

Gangguan ini ditandai dengan mimpi panjang yang terjadi beberapa kali sehingga
menyebabkan mimpi tersebut akan selalu diingat biasanya dalam mimpi tersebut melibatkan
ancaman terhadap kelangsungan hidup dan keamanan. Saat terbangun dari mimpi ini individu
cenderung menjadi ketakutan yang memunculkan kewaspadaan. Nightmare disorder dapat
menyebabkan penderita mengalami gangguan fungsi sosial. Perlu diketahui Nightmare
Disorder sama sekali tidak disebabkan oleh efek suatu zat obat-obatan. Nighmare Disorder
memiliki beberapa metode pengobatan:

 Pemberian resep obat yang telah diberikan oleh dokter biasanya obat Prazosin dan
Selective Serotonin Reuptake Inhibitors
 Pemberian psikoterapi yaitu pemberian terapi kognitif pada pasien
 Teknik relaksasi seperti meditasi, yoga, dan deep breathing (terapi napas dalam)

Rapid Eye Movement Sleep Behavior Disorder

Kriteria dari gangguan ini adalah terbangun dari tidur yang berulang kali terjadi.
Perilaku ini timbul selama tidur REM yaitu biasa terjadi di sekitar 90 menit pertama saat
tidur. Gangguan ini jarang terjadi pada tidur siang. Pengidap gangguan ini ketika bangun
cenderung langsung dalam keadaan sadar penuh, merasakan kewaspadaan dan tidak
mengalami konfusi.

Gangguan ini menyebabkan distress yang signifikan atau gangguan kognitif, sosial,
pekerjaan. Perlu diketahui gangguan ini bukan disebabkan oleh efek fisiologis akibat
penggunaan zat

Restless Legs Sindrom

Gangguan ini ditandai dengan dorongan untuk selalu menggerakkan kaki biasanya
pergerakan kaki ini disebabkan munculnya rasa tidak nyaman yang berkepanjangan pada kaki.
Jadi pergerakan ini merupakan respons terhadap sensasi tidak nyaman dan tidak
menyenangkan pada kaki. Ciri dari gangguan ini sebagai berikut:

 Dorongan untuk menggerakkan kaki dimulai selama periode istirahat atau ketika
kaki sedang tidak aktif. Untuk ciri ini paling sedikit terjadi 3 kali dalam 1 minggu
dana akan terus berulang sampai minimal 3 bulan.
 Ketika seseorang itu mulai menggerakkan kakinya maka menurun juga rasa tidak
nyamannya.
 Dorongan untuk menggerakkan kaki lebih besar pada sore atau malam hari
dibandingkan siang hari.
Perlu diketahui gejala ini sama sekali tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari
penyalahgunaan obat. Restless Legs Sindrom dapat ditangani dengan cara menerapkan
gaya hidup sehat, mengompres kaki dengan air, melakukan pijat kaki serta akupuntur untuk
meringankan gejala.

Subtance/Medication Induced Sleep Disorder

Gangguan tidur yang di induksi oleh zat memiliki kriteria:

a. Gangguan tidur yang menonjol dan parah.


b. Gangguan tidur yang memang sudah memiliki bukti dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
atau temuan laboratorium bahwa:
 Gejala gangguan ini biasanya terjadi setelah individu keracunan zat atau saat
individu berhenti mengonsumsi obat atau zat.
 Zat/obat yang terlibat mampu menimbulkan gangguan tidur.
c. Apabila individu mengalami gangguan tidur yang diakibatkan suatu zat maka gejala
akan bertahan dalam jangka waktu yang panjang minimal 1 bulan setelah individu
tersebut keracunan atau berhenti mengonsumsi zat.

Perlu diketahui penderita gangguan ini dapat menyebabkan masalah dalam fungsi
sosial, pekerjaan dan fungsi lain.

Other Specified Insomnia Disorder

Gangguan insomnia tertentu lainnya atau Other Specified Insomnia Disorder


adalah kategori yang berlaku untuk menjelaskan mengenai gejala khas gangguan insomnia
yang menyebabkan penderita secara klinis mengalami gangguan dalam fungsi sosial,
pekerjaan, atau fungsi penting lainnya

Kategori ini digunakan dalam situasi di mana dokter memilih untuk


mengomunikasikan alasan spesifik bahwa pasien tidak memenuhi kriteria untuk gangguan
insomnia atau gangguan tidur-bangun tertentu. Hal ini dilakukan dengan mencatat
"gangguan insomnia tertentu lainnya" diikuti dengan alasan spesifik
Contoh: Brief Insomnia Disorder atau dalam bahasa Indonesia Gangguan insomnia
singkat dengan alasan karena insomnia hanya terjadi kurang dari 3 bulan.

Unspcified Insomnia Disorder

Gangguan Insomnia Tidak Ditentukan atau Unspcified Insomnia Disorder adalah


Kategori yang berlaku untuk menjelaskan di mana gejala khas gangguan insomnia yang
menyebabkan penderitaan yang secara klinis mengalami fungsi sosial, pekerjaan, atau
fungsi penting lainnya

Kategori ini digunakan dalam situasi di mana dokter memilih untuk tidak
menentukan alasan bahwa kriteria tidak terpenuhi untuk gangguan insomnia atau gangguan
tidur-bangun tertentu.

Other Specified Hypersomnolence Disorder

Gangguan hipersomnolen tertentu lainnya atau Other Specified Hypersomnolence


Disorder adalah kategori yang berlaku untuk menjelaskan gejala khas gangguan
hipersomnolen yang menyebabkan gangguan klinis dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau
area fungsi penting lainnya, tetapi tidak memenuhi kriteria penuh untuk hipersomnolen.
gangguan somnolen atau salah satu gangguan dalam kelas diagnostik gangguan tidur-
bangun. Kategori gangguan hipersomnolen spesifik lainnya digunakan dalam situasi di
mana dokter memilih untuk mengomunikasikan alasan spesifik bahwa presentasi tidak
memenuhi kriteria untuk gangguan hipersomnolen atau gangguan tidur-bangun tertentu.
Hal ini dilakukan dengan merekam "gangguan hipersomnolen spesifik lainnya" diikuti
dengan alasan spesifik hipersomnolen berdurasi singkat," seperti pada sindrom Kleine-
Levin.

Unspecified Hypersomnolence Disoreder

Gangguan hipersomnolen tidak ditentukan atau Unspcified Hypersomnolence


Disorder adalah kategori yang berlaku untuk menjelaskan gejala khas gangguan
hipersomnolen yang menyebabkan gangguan secara klinis dalam fungsi sosial, pekerjaan,
atau area fungsi penting lainnya, tetapi tidak memenuhi kriteria penuh untuk gangguan
hipersomnolen atau salah satu gangguan dalam kelas diagnostik gangguan tidur-bangun.
Kategori gangguan hipersomnolen yang tidak ditentukan digunakan dalam situasi di mana
dokter memilih untuk tidak menentukan alasan bahwa kriteria tidak terpenuhi untuk
gangguan hipersomnolen atau gangguan tidur-bangun tertentu.

Other Specified Sleep Wake Disorder

Gangguan bangun-tidur tertentu lainnya atau Other Specified Sleep-Wake Disorder


adalah kategori yang berlaku untuk presentasi di mana gejala yang khas dari gangguan
tidur-bangun yang menyebabkan gangguan klinis dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau area
fungsi penting lainnya, tetapi tidak memenuhi kriteria penuh untuk salah satu gangguan
dalam tidur. Kategori gangguan tidur-bangun lain yang digunakan dalam situasi di mana
dokter memilih untuk mengomunikasikan alasan spesifik bahwa presentasi tidak
memenuhi kriteria untuk gangguan tidur-bangun tertentu. Ini dilakukan dengan merekam
"gangguan tidur-bangun tertentu lainnya" diikuti dengan alasan spesifik (misalnya, "gairah
berulang selama tidur gerakan mata cepat tanpa polisomnografi atau riwayat penyakit
Parkinson atau sinukleinopati lainnya").

Unspecified Sleep Wake Disorder

Gangguan Tidur-Bangun tidak ditentukan atau Unspcified Sleeep-Wake Disorder


adalah kategori yang berlaku untuk menjelaskan gejala yang khas dari gangguan tidur-
bangun yang menyebabkan penderitaan yang signifikan secara klinis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau area fungsi penting lainnya mendominasi tetapi tidak
memenuhi kriteria penuh untuk salah satu gangguan dalam tidur. -kelas diagnostik
gangguan bangun dan tidak memenuhi syarat untuk diagnosis gangguan insomnia yang
tidak ditentukan atau gangguan hipersomnolen yang tidak ditentukan. Kategori gangguan
tidur-bangun yang tidak ditentukan digunakan dalam situasi di mana dokter memilih untuk
tidak menentukan alasan bahwa kriteria tidak terpenuhi untuk gangguan tidur-bangun
tertentu, dan termasuk presentasi di mana ada informasi yang tidak cukup untuk membuat
lebih spesifik.
BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan
Gangguan makan merupakan kondisi psikiatrik yang berakibat serius pada psikologis
dan medis. Gangguan makan pada umumnya ada 2 macam yaitu anorexia nervosa
(kekurangan nafsu makan, tetapi mereka juga tetap merasakan lapar dan berselera pada
makanan) & bulimia nervosa (makan berlebihan biasanya dilakukan secara diam-diam,
dapat dipicu oleh stres dan berbagai emosi negatif yang ditimbulkan, dan terus berlangsung
sehingga penderita merasa kekenyangan). Gangguan makan ini memiliki beberapa faktor
yang mempengaruhinya antara lain:
 Faktor Biologis
 Pengaruh Sosiokultural
 Pandangan Psikodinamika
 Kepribadian
 Pandangan Kognitif

Penanganan gangguan makan terdiri 2 penanganan yaitu penanganan biologis


(pemberian obat-obat sesuai dengan gejala yang ada dan harus diberikan oleh dokter) dan
penanganan psikologi untuk anorexia nervosa penanganan psikologi utamanya adalah
pemberian terapi kognitif sedangkan untuk bulimia nervosa penanganan utamanya yaitu
pemberian terapi keluarga. Perlu diketahui penanganan biologi sebaiknya diikuti dengan
penanganan psikologis karena apabila hanya pemberian obat saja kemingkinan pasien akan
kambuh lagi setelah obat-obat tersebut berhenti di konsumsinya.

Selanjutnya ada juga gangguan tidur berikut penjelasan singkatnya

 Insomnia Disorder (Gangguan kualitas waktu tidur


 Hypersomnolence Disorder (Rasa ngantuk yang berlebihan)
 Narcolepsy
 Breathing-Related Sleep Disorders (Gangguan pernapasan saat tidur)
 Central sleep apnea
 Sleep-Related Hypoventilation
 Circadian Rhythm Sleep-Wake Disorders
 Parasomnias
 Nightmare Disorder (Mimpi buruk)
 Rapid Eye Movement Sleep Behavior Disorder
 Restless Legs Sindrom
 Subtance/Medication Induced Sleep Disorder

B. Saran
Penyusunan makalah ini telah dilakukan dengan sungguh-sungguh namun penulis
juga menyadari jika dalam penyusunan makalah di atas masih banyak terdapat kesalahan
serta jauh dari kata sempurna. Adapun nantinya penulis akan segera melakukan perbaikan
susunan makalah itu dengan menggunakan pedoman dari beberapa sumber dan kritik yang
bisa membangun dari para pembaca. Sehingga makalah-makalah yang akan disusun
selanjutnya lebih mudah dipahami dan dimengerti oleh para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental V.


Washington DC: APA.

Azrimaidaliza, Helmizar & Yollanda, F.(2021). Meta Analysis Study of Factors Relates Eating
Disorders on Adolescents. Jurnal Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan, 6(1), 17 – 22.

Azzahrah, S. S. (2019). Obstructiv Sleep Apnea (OSA) Sebagai Faktor Resiko Hipertensi. Jurnal
Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 10(2), 321 – 324. https://doi.org/10.35816/jiskh.v10i2.180

Davison, G. C., Neale, J. M. & Kring, A. M. (2010). Psikologi Abnormal: Edisi Ke-9. Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada

Handojo, M., Pertiwi, J. & Ngantung, D. (2018). Hubungan Gangguan Kualitas Tidur
Menggunakan PSQI dengan Fungsi Kognitif pada PDSS Pasca Jaga Malam. Jurnal Sinaps, 1(1),
91 – 101.

Kurniawan, M. Y., Briawan, D. & Caraka, R. E. (2015). Persepsi Tubuh dan Gangguan Makan
Pada Remaja. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 11(3), 105 – 114.

Nurdin, M. A., Arsin, A. A., & Thaha, R. M. (2018). Kualitas Hidup Penderita Insomnia pada
Mahasiswa Quality of Life of Patients with Insomnia to Students. Jurnal MKMI, 14(2), 128 – 138.

Ratnawati, V. & Sofiah, D. (2012). Percaya Diri, Body Image dan Kecenderungan Anorexia
Nervosa Pada Remaja Putri. Persona: Jurnal Psikologi Indonesia, 1(2), 130 – 142.

Shabah, Z. M. & Dhanny, D. R. (2020). Persepsi Tubuh dan Bulimia Nervosa pada Remaja Putri.
Muhammadiyah Journal of Nutrition and Food Science, 1(2), 60 – 69.

Alodokter. (2022). Sindrom Kaki Gelisah Mengganggu Istirahatmu.


https://www.alodokter.com/sulit-tidur-dan-kaki-gelisah-apa-yang-terjadi. Diakses pada tanggal
14 September 2022 pukul 23.12

NEDa. (2005). Anorexia Nervosa. https://www.nationaleatingdisorders.org/learn/by-eating-


disorder/anorexia. Diakses pada tanggal 14 September 2022 pukul 19.08

Anda mungkin juga menyukai