Anda di halaman 1dari 37

GANGGUAN MAKAN, OBESITAS, DAN GANGGUAN TIDUR-TERJAGA

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Psikopatologi

Dosen Pengampu:
Salma, S.Psi, M.Psi

Disusun Oleh:
Kelompok 12

Sania Pangesti (15000119130222)


Ajeng F. Rahadianputri (15000119120076)
Aflakha Daliela Khusna (15000119130200)
Gita Sukma Dewi (15000119130086)

KELAS 4 SEMESTER 4
PROGRAM STUDI S1 PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Psikopatologi, dengan pokok bahasan
materi: “Gangguan Makan, Obesitas, dan Gangguan Tidur-Terjaga”.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah ini
dapat terselesaikan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dikarenakan keterbatasan pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu,
kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan, kritik serta perbaikan yang
membangun dari berbagai pihak. Besar harapan kami agar makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi para pembaca.

Semarang, 28 Februari 2021


Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................2

C. Tujuan.............................................................................................................................2

BAB II _Toc65441640PEMBAHASAN...................................................................................3

A. Gangguan Makan............................................................................................................3

B. Obesitas.........................................................................................................................10

C. Gangguan Tidur-Terjaga...............................................................................................18

BAB III PENUTUP..................................................................................................................26

A. Kesimpulan...................................................................................................................26

B. Saran..............................................................................................................................26

LAMPIRAN.............................................................................................................................28

LEMBAR PARTISIPASI........................................................................................................31

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gangguan mental atau gangguan jiwa merupakan salah satu topik bahasan yang
sering disalahpahami oleh masyarakat umum. Anggapan bahwa orang yang memiliki
gangguan mental sama dengan orang “gila”, menjadi salah satu pemahaman keliru
yang paling sering dijumpai di masyarakat. Sementara itu, sebutan orang “gila” yang
banyak digunakan oleh masyarakat untuk mendeskripsikan orang dengan gangguan
mental, sering kali lebih merujuk pada orang dengan gangguan psikotik dalam istilah
medis. Gangguan psikotik merupakan istilah umum yang mengacu pada beberapa
jenis gangguan mental yang parah di mana orang tersebut dianggap kehilangan kontak
dengan realitas (Oltmanns & Emery, 2015). Sedangkan pada hakikatnya, tidak semua
jenis gangguan mental dikarakteristikan dengan hilangnya kontak dengan realitas.
Gangguan mental didefinisikan sebagai penyakit yang mempengaruhi kognisi,
emosi, dan kontrol perilaku yang secara substansial mengganggu kehidupan individu,
terutama dalam fungsinya sebagai anggota keluarga dan anggota masyarakat (Hyman
et al., 2006). Gangguan mental tidak hanya terdiri dari jenis gangguan psikotik seperti
skizofrenia. Gangguan kecemasan, gangguan kepribadian, gangguan makan, serta
gangguan tidur juga termasuk dalam jenis-jenis gangguan mental (Barlow & Durand,
2015).
Meskipun terdengar biasa, gangguan mental seperti gangguan makan dan
gangguan tidur juga tidak bisa disepelekan dan tetap penting untuk kita pahami serta
ketahui. Pasalnya, makan dan tidur merupakan aktivitas yang pasti erat kaitannya
dengan kehidupan manusia. Selain itu, gangguan makan berkaitan erat dengan
terjadinya obesitas yang juga memperbesar peluang terjadinya gangguan lain terkait
kesehatan fisik seseorang.
Gangguan makan (eating disorder) merupakan gangguan dimana terdapat
perilaku makan yang terganggu serta cara mengembalikan berat badan yang
maladaptif. Gangguan ini juga biasanya menyebabkan dampak psikologis dan medis
yang membahayakan penderitanya (Krisnani, Santoso, & Putri, 2017). Terdapat
beberapa gangguan makan, seperti anoreksia nervosa, bulimia nervosa, dan gangguan
makan berlebihan (binge eating disorder). Anoreksia nervosa dan bulimia nervosa
merupakan gangguan makan yang terkait dengan citra diri seseorang dan obsesinya

1
untuk memiliki bentuk tubuh ideal. Sedangkan, gangguan makan berlebihan
merupakan gangguan makan dimana penderitanya memiliki episode makan berlebihan
tanpa memikirkan perilaku penyeimbang dan kemudian akan merasa depresi, jijik
dengan diri sendiri, dan muncul perasaan bersalah (Nevid et al. 2014). Gangguan
makan berlebihan inilah yang kemudian akan menyebabkan obesitas.
Obesitas didefinisikan sebagai penumpukan lemak yang tidak normal dan
berlebihan yang dapat mengganggu kesehatan. Sedangkan dalam praktiknya, obesitas
didiagnosis dengan indeks massa tubuh (BMI) yang diambil sebagai pengganti
persentase massa lemak (Müller & Geisler, 2017). Obesitas ini tentu saja dapat
menjadi faktor utama terjadinya gangguan medis yang lain yang pada mulanya
disebabkan oleh perilaku makan yang tidak sehat.
Selain gangguan makan, gangguan tidur terjaga juga merupakan hal yang
penting untuk diketahui. Bisa saja, gangguan tidur ini terjadi bersamaan dengan
terjadinya gangguan psikologis ataupun medis yang lain. Gangguan tidur ini dapat
mengakibatkan distres pribadi yang signifikan atau menurunnya fungsi dalam peran
sosial, pekerjaan, dan peran lainnya.

Di dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan dengan lebih rinci mengenai
gangguan makan, obesitas, dan gangguan tidur. Penulis juga akan menjelaskan
mengenai bagaimana penanganan gangguan-gangguan tersebut dan tidak hanya fokus
kepada pengertian dan ciri-cirinya saja. Penulis berharap, dengan adanya makalah ini,
pembaca akan lebih aware dengan adanya gangguan ini sehingga mungkin dapat juga
membantu jika menemukan persoalan serupa.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu gangguan makan (eating disorder)?
2. Apa yang dimaksud dengan obesitas?

3. Apa itu gangguan tidur terjaga (sleep-wake disorder)?

C. Tujuan
1. Mengetahui apa itu gangguan makan (eating disorder)
2. Mengetahui maksud dari obesitas
3. Memahami apa itu gangguan tidur terjaga (sleep-wake disorder)

2
3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Gangguan Makan
Gangguan makan (eating disorders) merupakan gangguan dimana terdapat
perilaku makan yang terganggu serta cara mengendalikan berat badan yang
maladaptif. Gangguan makan dapat memberikan dampak psikologis serta medis yang
sangat serius (Krisnani et al., 2017). Gangguan makan ini juga biasanya muncul
bersamaan dengan adanya gangguan psikologis lain seperti depresi, gangguan
kecemasan, dan gangguan penyalahgunaan zat (Jenkins et al., 2011; dalam Nevid,
Rathus, & Greene, 2014).
Gangguan makan pada umumnya terjadi dikarenakan adanya obsesi dengan
berat badan dan gambaran tubuh ideal yang sangat kurus pada diri seseorang. Selain
itu, ada pula siklus dimana seseorang akan makan berlebihan dan kemudian berusaha
untuk mengeluarkannya (Nevid et al., 2014).
Gangguan makan seperti anoreksia nervosa dan bulimia nervosa biasanya terjadi
pada wanita usia muda dan rata-rata dimulai di masa remaja atau dewasa awal. Pada
masa itu, tekanan untuk memiliki tubuh kurus sangatlah tinggi. Oleh karena itu, kasus
mengenai gangguan makan ini juga meningkat.

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th Edition (DSM-IV)


yang tertera dalam Krisnani et al. (2017) mengelompokkan bahwa terdapat tiga jenis
gangguan makan yaitu anorekisa nervosa, bulimia nervosa, dan binge-eating disorder
(BED).

1. Anoreksia Nervosa
Anoreksia (Anorexia) biasa disebut juga dengan gangguan konsumsi-
kurang dan sering terjadi pada usia 12-18 tahun (Pinel and Barnes, 2019).
Dalam Bahasa Yunani sendiri, kata “anorexia” berarti “tanpa keinginan
untuk makan”. Istilah tersebut tentu saja kurang tepat untuk menggambarkan
kondisi ini karena orang yang menderita anoreksia jarang kehilangan selera
makannya dan justru memilih untuk menolak makanan dan menolak untuk
makan lebih banyak (Nevid et al., 2014). Definisi lain juga menyebutkan
bahwa anoreksia nervosa adalah gangguan pola makan pada seseorang

4
dengan salah satu ciri-cirinya adalah membuat dirinya merasa tetap lapar
(self-starvation) (Krisnani et al., 2017).
Nevid, Rathus, dan Greene dalam buku “Psikologi Abnormal”
mengungkapkan bahwa penderita anoreksia akan membiarkan diri mereka
kelaparan hingga menjadi sangat kurus. Hal itu menjadi salah satu indikasi
yang paling menonjol dari anoreksia karena adanya pembatasan asupan
kalori secara signifikan menjadikan terjadinya penurunan berat badan secara
drastis dan tak lazim. Ciri umum lain dari anoreksia adalah (Nevid et al.,
2014) :
- Adanya rasa takut berlebih terhadap pertambahan berat badan dan
kegemukan walaupun tubuh sudah sangat kurus
- Terdapat persepsi bahwa tubuh atau bagian tubuh tertentu terasa
gemuk terlepas dari keadaan yang sebenarnya kurus (distorsi citra
tubuh)
- Adanya kegagalan mengenali resiko yang diakibatkan dari penjagaan
berat badan pada tingkat yang rendah
Terdapat beberapa pola umum dimulainya gangguan anoreksia ini. Pola
umum yang pertama adalah terjadi setelah fase menstruasi pertama pada
wanita (menarche). Di dalam fase ini, remaja mulai memperhatikan
penambahan berat badan dan juga menganggap bahwa penambahan berat
badan itu harus dihilangkan (Nevid et al., 2014). Pola umum lain juga terjadi
pada wanita muda yang meninggalkan rumahnya untuk berkuliah. Mereka
memiliki kemungkinan untuk beradaptasi menghadapi banyaknya tuntutan
perkuliahan. Anoreksia juga tak jarang ditemukan pada atlet balet atau model
karena dua bidang ini menuntut untuk mempertahankan bentuk tubuh yang
sangat kurus.
Anoreksia nervosa memiliki dua subjenis. Pertama adalah jenis makan
secara berlebih/mengeluarkan makanan (binge-eating/purging) dan jenis
membatasi makan (restricting). Dua jenis anoreksia ini didukung dengan
perbedaan kepribadian individu. Individu dengan jenis binge eating
cenderung bermasalah dalam hal kendali impuls. Sedangkan individu dengan
jenis restricting cenderung akan mengendalikan diet dan penampilan secara
ketat bahkan obsesif (Nevid et al., 2014).

5
Gangguan anoreksia nervosa dapat menyebabkan komplikasi medis
yang serius. Dalam kasus yang sangat ekstrem, seseorang bisa kehilangan
35% dari berat badannya. Hal ini tentu saja bisa berakibat fatal, seperti
terjadinya anemia. Selain itu, seseorang yang memiliki anoreksia juga
cenderung mengalami masalah dermatologis seperti kulit kering, kulit pecah-
pecah, rambut rontok dan tipis, serta kulit menguning (Nevid et al., 2014).

Komplikasi kardiovaskular seperti adanya abnormalitas detak jantung,


tekanan darah rendah (hipotensi), serta rasa pusing saat berdiri juga
seringkali dirasakan penderita anoreksia nervosa. Terjadinya penurunan
konsumsi makanan bisa pula menyebabkan gangguan gastrointestinal seperti
sakit perut, konstipasi, dan sembelit. Wanita yang memiliki anoreksia sering
mengalami masalah berkaitan dengan menstruasi yang tidak teratur dan
keterlambatan menstruasi (amenorrhea). Pertumbuhan tulang yang tidak
normal serta otot yang lemah dapat mengakibatkan menurunnya tinggi badan
osteoporosis (Nevid et al., 2014). Terdapat sekitar 5-20% resiko kematian
pada penderita anoreksia, baik karena bunuh diri maupun gizi buruk
(Arcelus, 2011; Haynos & Fruzzetti, 2011; dalam Nevid et al., 2014).

2. Bulimia Nervosa
Bulimia nervosa merupakan gangguan yang ditandai dengan adanya
periode tidak makan, dan kemudian disela dengan periode makan jumlah
banyak dalam periode singkat (bingeing) yang diikuti upaya eliminasi kalori
yang dikonsumsi dengan sengaja (purging), baik melalui muntah maupun
memakai obat pencahar (Pinel & Barnes, 2019). Menurut definisi lain,
bulimia nervosa adalah gangguan pola makan yang ditandai dengan usaha
untuk memuntahkan kembali makanan secara terus-menerus (Krisnani et al.,
2017).
Sedangkan menurut Nevid dkk dalam buku “Psikologi Abnormal”,
bulimia nervosa merupakan sebuah gangguan makan yang ditandai dengan
pengulangan episode mengonsumsi makanan dalam jumlah banyak dan
diikuti dengan penggunaan cara-cara tidak pantas untuk mengimbangi
perilaku tersebut sehingga dapat mencegah kenaikan berat badan.

6
Bulimia biasanya terjadi dan memengaruhi wanita pada masa remaja
akhir atau dewasa awal. Saat itu, kekhawatiran tentang diet dan
ketidakpuasan akan bentuk tubuh serta berat badan juga mencapai pada
puncaknya. Ciri umum pada bulimia nervosa adalah sebagai berikut (Nevid
et al., 2014):
- Adanya perasaan tidak mampu mengendalikan perilaku makanan
dalam periode makan secara berlebih
- Merasakan ketakutan yang berlebihan akan peningkatan berat badan
- Adanya penekanan berlebih pada bentuk tubuh dan berat badan
berkaitan dengan citra diri
Menurut DSM-5, episode makan secara berlebih yang diikuti dengan
perilaku penyeimbangnya biasanya terjadi setidaknya seminggu sekali dalam
tiga bulan (APA, 2013). Episode makan berlebih ini biasanya dilakukan
secara diam-diam pada sore atau malam hari. Periode makan ini dapat
berlangsung sekitar 30 hingga 60 menit dan melibatkan konsumsi makanan
tinggi lemak dan manis. Mereka kesulitan mengendalikan kebiasaan makan
dan bisa mengkonsumsi 5000-10.000 kalori dalam sekali makan. Setelah
mereka merasa lelah, kenyang, atau sakit perut, mereka kemudian akan
memaksakan untuk mengeluarkan makanan yang telah dikonsumsi tadi.
Setelahnya, mereka biasanya akan merasa mengantuk, merasa bersalah, dan
depresi (Nevid et al., 2014).
Seseorang yang menderita bulimia juga memiliki banyak cara untuk
mengeluarkan makanan di perutnya, seperti dengan muntah atau
mengonsumsi obat pencahar (laxative), suntikan urus-urus (enema), dan obat
untuk melancarkan buang air kecil (diuretics) (Pinel & Barnes, 2019).
Bila penderita anoreksia memiliki bentuk tubuh yang sangat kurus,
penderita bulimia biasanya memiliki berat badan yang normal tetapi tetap
memiliki kekhawatiran yang berlebihan tentang bentuk tubuh dan berat
badannya. Penderita bulimia tidak berusaha untuk mendapatan bentuk tubuh
sangat kurus seperti yang diinginkan oleh penderita anoreksia (Nevid et al.,
2014).
Bulimia banyak dihubungkan dengan banyak komplikasi medis yang
menjadi dampak dari perilaku makan semacam ini. Hal ini banyak
disebabkan akibat muntah secara terus-menerus sehingga kulit di sekitar

7
mulut akan mengalami iritasi yang dikarenakan seringnya kontak dengan
asam lambung. Penyumbatan saluran air liur, enamel gigi yang rusak, dan
gigi berlubang juga menjadi dampak dari bulimia. Mereka juga akan kurang
sensitif dengan rasa muntahan karena asam pada muntahan akan merusak
reseptor rasa di langit-langit mulut. Hal ini dapat menyebabkan perilaku
memuntahkan ini terjadi secara berulang (Nevid et al., 2014).

Di samping itu, siklus makan yang berlebihan disertai dengan muntah


juga dapat menyebabkan sakit perut, hernia hiatus, serta keluhan penyakit
perut yang lain. Stres pada pankreas bisa juga menyebabkan pankreatitis
(inflamasi pada pankreas) dimana hal ini merupakan kasus yang berbahaya.
Penggunaan obat pencahar secara terus-menerus akan menyebabkan diare
berdarah serta gerakan usus yang tidak normal tanpa pencahar karena sudah
memiliki ketergantungan (Nevid et al., 2014).

3. Penyebab Anoreksia Nervosa dan Bulimia Nervosa


Anoreksia Nervosa dan Bulimia Nervosa disebabkan oleh beberapa
alasan yang kompleks, antara lain sebagai berikut.
a. Faktor sosial budaya
Teoritikus sosial budaya mengungkapkan bahwa adanya
tekanan dan harapan sosial yang dibebankan kepada wanita muda di
masyarakat merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya
gangguan makan (McKnight Investigation, 2003; Mendez, 2005;
dalam Nevid et al., 2014). Keinginan untuk kurus dan tidak puas
dengan bentuk tubuh merupakan hal yang menjadi indikasi
gangguan makan. Wanita muda akan mulai mengukur diri sendiri
dengan standar tubuh kurus yang tidak realistis. Hal ini juga
ditambah dengan adanya gambaran citra yang ditampilkan oleh
model dan artis yang sangat kurus di media yang ada (Bell &
Ditmar, 2011; Dalley, Buunk, & Umit, 2009; Rodgers, Sales, &
Chabrol, 2010; dalam Nevid et al., 2014).

Dilihat dari perspektif sosial budaya, gangguan makan


anoreksia nervosa dan bulimia nervosa ini banyak terjadi di negara

8
Eropa dan Amerika serta jarang ditemukan di negara non-Barat lain
yang tidak mengasosiasikan tubuh kurus dengan kecantikan
(Giddens, 2006; dalam Nevid et al., 2014). Namun, persoalan
tentang ketidakpuasan tubuh dan perilaku makan yang terganggu
juga dialami oleh banyak remaja di negara-negara Asia, seperti
Korea dan Taiwan.

b. Faktor Psikososial

Bulimia nervosa juga dihubungkan dengan masalah terkait


hubungan interpersonal. Mereka cenderung pemalu dan tidak
memiliki banyak teman. Peningkatan kemampuan sosial pada
penderita bulimia serta meningkatkan kualitas hubungan tersebut
berpeluang untuk mengurangi kecenderungan untuk memiliki
perilaku makan yang maladaptif (Nevid et al., 2014).

c. Faktor Emosi

Penderita anoreksia membatasi asupan makanan sebagai upaya


yang keliru dalam melegakan emosi mengganggu dengan mencari
pengendalian akan tubuh mereka (Merwin, 2011; dalam Nevid et al.,
2014). Di sisi lain, penderita bulimia nervosa memiliki lebih banyak
masalah emosi negatif seperti kegelisahan dan depresi yang dapat
memicu periode makan yang berlebih.

d. Faktor Kognitif

Perfeksionisme dan kekhawatiran yang berlebihan juga


merupakan hal yang menonjol pada gangguan makan (Deas et al.,
2011; Wade & Tiggeman, 2013; dalam Nevid et al., 2014).
Penderita gangguan makan akan menempatkan tekanan pada diri
sendiri agar bisa selalu tampil sempurna dan mencapai “tubuh yang
sempurna”. Mereka seringkali mengkritik diri sendiri terutama
ketika mereka gagal mencapai standar yang tak realistis.

e. Faktor Keluarga

9
Gangguan makan tak jarang muncul pada individu yang
memiliki latar belakang masalah keluarga. Beberapa dari penderita
gangguan makan menyatakan bahwa keputusannya untuk menolak
makan disebabkan karena keinginan untuk menghukum orang
tuanya karena rasa kesepian dan asing yang dialaminya di rumah
(Nevid et al., 2014).

f. Faktor Biologis

Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa adanya abnormalitas


pada mekanisme otak yang mengendalikan rasa lapar dan kenyang
dapat memiliki keterlibatan dengan terjadinya bulimia nervosa.
Kemungkinan, senyawa kimia otak dan serotonin memiliki
pengaruh terhadap gangguan makan ini. Serotonin merupakan
senyawa yang berfungsi untuk mengatur mood dan selera makan,
khususnya untuk mengkonsumsi karbohidrat (Hildebrandt et al.,
2010; dalam Nevid et al., 2014). Ketidaknormalan serotonin pada
otak inilah yang kemungkinan menyebabkan munculnya episode
makan secara berlebihan. Hal ini diperkuat dengan adanya
antidepresan khusus yang menargetkan serotonin untuk membantu
mengurangi episode makan berlebih pada bulimia (Nevid et al.,
2014).

4. Penanganan pada Anoreksia Nervosa dan Bulimia Nervosa


Penanganan anoreksia nervosa dapat dilakukan dengan perawatan di
rumah sakit, terlebih lagi pada kasus penurunan berat badan yang turun
secara drastis dan parah. Mereka akan dimasukkan ke dalam bangsal
pemberian nutrisi dan akan dimonitor secara ketat. Selain itu, perawatan di
rumah sakit pada penderita bulimia juga dapat membantu memutus siklus
makan secara berlebih dan perawatan ini dapat digunakan ketika perilaku
makan sudah benar-benar tidak terkendali (Nevid et al., 2014).
Terapi psikodinamika yang dikombinasikan dengan terapi perilaku juga
dilakukan sebagai upaya penanganan gangguan makan ini. Hal ini digunakan
untuk menyelidiki konflik psikologis yang mungkin menjadi latar belakang
terjadinya gangguan makan ini.

10
Selain itu, cognitive-behavioral-therapy (CBT) atau terapi kognitif-
perilaku juga membantu dalam penanganan bulimia. Terapi CBT akan
membantu penderita bulimia untuk mengkritisi pemikiran dan keyakinan
untuk merusak diri (self-defeating thoughts). Pola pikir disfungsional seperti
perfeksionisme diet dan adanya harapan tidak realistis akan coba dikritisi dan
mencapai pemikiran yang lebih realistis. Dalam penanganan pengendalian
muntah, terapis menggunakan teknik pemaparan dengan pencegahan respons
(exposure with response prevention) yang dilakukan dengan pemaparan ada
penderita untuk mengkonsumsi makanan yang dilarang sampai muncul
keinginan untuk memuntahkannya. Terapis bersiaga untuk mencegah
penderita memuntahkan makanannya hingga keinginan untuk memuntahkan
makanannya hilang. Hal ini bertujuan agar penderita dapat belajar untuk
mentoleransi pelanggaran atas aturan diet yang kaku (Nevid et al., 2014).

Psikoterapi interpersonal (interpersonal psychotherapy-IPT) juga


berguna dalam menangani bulimia nervosa. IPT lebih efektif digunakan dan
fokus pada penyelesaian masalah interpersonal. Hal ini akan menjadikan
penderita mengadopsi kebiasaan makan yang lebih sehat daripada
sebelumnya. Obat antidepresan, seperti Prozac yang fokus tertuju pada
serotonin telah pula menunjukkan andilnya dalam penanganan bulimia
nervosa (Nevid et al., 2014).

5. Gangguan Makan Berlebihan


Gangguan makan berlebihan atau binge-eating disorder (BED)
merupakan gangguan makan dimana seseorang memiliki episode makan
yang berlebihan dan berulang-ulang tetapi tidak melakukan perilaku
menyimpang setelahnya dengan tujuan untuk memotong asupan makan atau
perilaku untuk mengurangi berat badan. Misalnya tidak terdapat perilaku
memuntahkan makanan atau mengkonsumsi obat pencahar (Nevid et al.,
2014).
Episode makan berlebih pada BED terjadi setidaknya seminggu sekali
dalam jangka waktu 3 bulan (APA, 2013). Episode makan berlebih ini
ditandai dengan tidak adanya kendali makan dan konsumsi jumlah makan
yang lebih banyak daripada orang normal dalam jangka waktu yang sama.

11
Penderita BED cenderung makan lebih cepat dan akan terus makan sekalipun
sudah merasa kenyang. Mereka akan makan secara diam-diam dan
setelahnya akan merasa depresi, merasa bersalah, dan jijik dengan diri sendiri
(Nevid et al., 2014).

Berbeda dengan anoreksia nervosa dan bulimia nervosa, penderita BED


biasanya memiliki berat badan berlebih atau obesitas. BED juga dihubungkan
denan depresi dan riwayat kegagalan dalam usaha mempertahankan berat
badan yang sehat. BED ini bisa termasuk dalam domain perilaku kompulsif
yang ditandai dengan lemahnya kendali individu terhadap perilaku
maladaptif seperti perjudian atau tindakan penyalahgunaan zat (Nevid et al.
2014).

B. Obesitas
Obesitas atau kegemukan disebutkan sebagai salah satu epidemi yang ada di
dunia pada saat ini. Menurut WHO (2016), obesitas didefinisikan sebagai
penumpukan lemak yang tidak normal dan berlebihan yang dapat mengganggu
kesehatan. Sedangkan dalam praktiknya, obesitas didiagnosis dengan indeks massa
tubuh (BMI) yang diambil sebagai pengganti persentase massa lemak (Müller &
Geisler, 2017). Berat badan yang dimiliki seseorang ditentukan dari keseimbangan
antara kalori yang dikonsumsi sebagai sumber energi dan kalori yang dikeluarkan
dalam aktivitas fisik serta memelihara proses-proses tubuh sepanjang hari (Nevid et
al., 2014).
Terdapat perbedaan pendapat yang mempermasalahkan apakah obesitas
termasuk pada gangguan mental atau tidak. Pada DSM-5, obesitas tidak
dipertimbangkan sebagai salah satu jenis gangguan mental. Obesitas atau kelebihan
lemak tubuh terjadi akibat kelebihan asupan energi jangka panjang relatif terhadap
pengeluaran energi. Berbagai faktor genetik, psikologis, perilaku, dan lingkungan
yang bervariasi antar individu berkontribusi pada perkembangan obesitas. Dengan
demikian, obesitas tidak dianggap sebagai gangguan mental atau gangguan jiwa.
Namun, obesitas dimasukkan oleh Barlow dan Durand (2015) dalam kategori
pembahasan gangguan makan dan gangguan tidur di buku mereka yang berjudul
Abnormal Psychology: An Integrative Approach. Hal tersebut dikarenakan perilaku
yang menghasilkan persamaan energi yang menyimpang (angka konsumsi kalori lebih

12
tinggi daripada energi yang dikeluarkan), bertentangan dengan asumsi umum, yaitu
bahwa orang yang mengalami obesitas belum tentu makan lebih banyak atau
berolahraga lebih sedikit daripada rekan mereka yang tidak berlemak. Padahal
faktanya memang orang yang mengalami obesitas disebabkan karena makan yang
berlebih dan olahraga yang terlalu sedikit, sehingga kalori yang dikonsumsi lebih
banyak daripada energi yang dikeluarkan. Meskipun kecenderungan makan berlebih
dan intensitas olahraga yang kurang tidak diragukan lagi karena adanya faktor
keturunan, makan berlebih yang menjadi inti dari masalah obesitas itu sendirilah yang
membuat obesitas dapat termasuk sebagai eating disorder atau gangguan makan
(Barlow & Durand, 2015).
Dalam buku Biopsychology edisi kesepuluh milik Pinel dan Barnes (2019) versi
terjemahan, obesitas dicoba untuk dilihat dari perspektif evolusioner, di mana dalam
perjalanan evolusi ketersediaan makanan menjadi ancaman besar bagi
keberlangsungan hidup manusia. Dengan fenomena tersebut, individu yang paling
kuat berusaha untuk banyak mengkonsumsi makanan tinggi kalori agar dapat bertahan
hidup jika terjadi kekurangan makanan atau terjadinya musim dingin yang berat. Hal
tersebut yang kemudian diturunkan ke generasi-generasi berikutnya (Genné-Bacon,
2014; Sellayah, Cagampang, & Cox, 2014; Speakman, 2013; dalam Pinel & Barnes,
2019). Selain itu, pada budaya Barat muncul keyakinan bahwa seseorang harus makan
tiga kali sehari secara teratur meskipun tidak dalam kondisi lapar, dimana hal tersebut
menjadi bentuk berkembangnya praktik dan keyakinan kultural yang mempertinggi
tingkat konsumsi (Pinel & Barnes, 2019).

Seiring berjalannya waktu, individu tetap memiliki sistem makan dan standar
berat badan yang semakin berubah untuk dapat menghadapi periode kesulitan sumber
makanan dengan efektif. Selain itu, banyak individu yang hidup dengan kebiasaan
mengenai praktik makannya berevolusi dengan maksud yang sama. Dengan semakin
majunya perkembangan kehidupan manusia yang saat ini jauh dari “alam” berkenaan
dengan hal makanan, yaitu variasi makanan yang tidak ada habisnya dan tersedia di
mana-mana serta tingginya tingkat pendapatan, menyebabkan semakin meningkatnya
tingkat konsumsi (Pinel & Barnes, 2019). Dengan melihat fenomena tersebut, Pinel
dan Barnes (2019) mencoba menjelaskan mengenai mengapa tidak semua orang
menjadi obesitas, mengapa program penurunan berat badan sering kali tidak efektif,
leptin dan pengaturan lemak, serta cara penanganan obesitas.

13
1. Obesitas tidak terjadi pada semua orang.
Penjelasan umum dari pertanyaan mengapa ada orang yang mengalami
obesitas dan tidak adalah pada perbedaan hubungan jumlah input dan output
energi dari masing-masing individu. Bagi individu yang mengalami obesitas
maka jumlah input energinya lebih banyak daripada jumlah output energi
yang dikeluarkan, begitu pula sebaliknya pada orang langsing. Selain
perbedaan individual mengenai input dan output energi, masih terdapat
faktor-faktor lain yang menentukan seseorang mengalami obesitas atau tidak
(Pinel & Barnes, 2019).
Faktor pertama yang menimbulkan fenomena tentang mengapa ada
sebagian orang yang mengalami obesitas dan sebagian lainnya tidak adalah
perbedaan dalam konsumsi. Sebagian orang yang mengkonsumsi makanan
lebih banyak dari orang lain meskipun memiliki akses yang sama. Hal
tersebut dapat disebabkan karena individu memiliki preferensi terhadap rasa
makanan tinggi kalori, memiliki latar belakang keluarga atau budaya yang
merekomendasikan makan berlebih, serta memiliki fase sefalik yang besar
ketika melihat atau mencium makanan (Blundell & Finlayson, 2004; Epstein
et al., 2007; Rodin, 1985; dalam Pinel & Barnes, 2019).
Faktor kedua adalah perbedaan dalam pengeluaran energi, dimana
perbedaan intensitas latihan fisik pada masing-masing individu menjadi
contoh nyata. Namun, Pinel dan Barnes (2019) menyebutkan bahwa terdapat
tiga faktor lain yang menyebabkan adanya perbedaan pengeluaran energi
pada individu, yaitu Basal Metabolic Rate (BMR), Dietary Induced
Thermogenesis (DIT), dan Non-Exercise Activity Thermogenesis (NEAT).
Faktor ketiga adalah perbedaan dalam komposisi mikrobioma usus.
Dalam saluran gastrointestinal manusia sangat dipenuhi oleh mikroba, seperti
bakteri yang dalam jumlah banyak disebut mikrobioma usus (Pinel & Barnes,
2019). Pemahaman bahwa mikroba-mikroba memiliki pengaruh penting
terhadap otak dan perilaku manusia semakin meningkat, seperti
mempengaruhi perkembangan neural (Walker & Parkhill, 2013 dalam Pinel
& Barnes, 2019). Kemudian beberapa penemuan terakhir menimbulkan
pertanyaan tentang apakah mikrobioma usus memiliki pengaruh terhadap
terjadinya obesitas dan hasil dari percobaan terhadap tikus yang dilakukan
oleh Ridaura dan rekan-rekan sejawatnya (2013, dalam Pinel & Barnes,

14
2019) membenarkan bagaimana mikrobioma usus dapat mempengaruhi
terjadinya obesitas.
Faktor keempat adalah faktor genetik dan epigenetik. Penelitian
menunjukkan bahwa gen mempengaruhi berat badan individu dengan
mempengaruhi mikrobioma usus (Pennisi, 2014; van Opstal & Bordenstein,
2015 dalam Pinel & Barnes, 2019). Selain itu terdapat bukti bahwa efek-efek
epigenetika transgenerasional dapat memberikan kecenderungan untuk
generasi berikutnya mengalami obesitas (Drummond & Gibney, 2013;
Willyard, 2014 dalam Pinel & Barnes, 2019).

Selain empat faktor menurut Pinel dan Barnes di atas, disebutkan juga
dalam buku Abnormal Psychology In A Changing World, bahwa genetik,
metabolisme, sel lemak, psikologis, dan sosial-ekonomi merupakan faktor-
faktor yang mempengaruhi seseorang mengalami obesitas. Faktor psikologi
yang didasarkan pada teori psikodinamika menyebutkan bahwa individu
yang terpaku pada aktivitas pokok mulut (makan) merupakan akibat yang
disebabkan adanya konflik terkait dengan ketergantungan dan kemandirian,
sehingga aktivitas mulut yang berlebihan cenderung untuk dilakukan ketika
mengalami kemunduran saat stres. Kemudian faktor psikososial yang
berkaitan dengan individu yang mengalami obesitas adalah self-esteem yang
rendah, rendahnya ekspektansi kekuatan diri, masalah keluarga, serta emosi
negatif seperti marah, takut, dan sedih yang dapat memicu makan berlebih
(Nevid et al., 2014).

2. Banyaknya program penurunan badan yang tidak efektif.

Pinel dan Barnes (2019) menyebutkan bahwa kebanyakan program


penurunan berat badan tidak efektif disebabkan karena kebanyakan berat
badan yang berhasil digugurkan, dapat kembali lagi dan bahkan kembali
pada kondisi awal ketika individu berhenti mengikuti program tersebut.
Selain itu, anggapan umum masyarakat bahwa olahraga merupakan cara yang
paling efektif untuk menurunkan berat badan ternyata kurang tepat
(Dhurandhar et al., 2015; Riou et al., 2015 dalam Pinel & Barnes, 2019). Hal
tersebut dibuktikan melalui beberapa studi yang menunjukkan bahwa

15
olahraga kerap kali hanya menyumbangkan efek kecil pada penurunan berat
badan. Hal tersebut dikarenakan latihan fisik biasanya hanya mengeluarkan
sebagian kecil energi secara total, sedangkan sebagian besar pengeluaran
energi digunakan untuk fungsi fisiologis dan fungsi pencernaan (Hills,
Mokhtar, & Byrne, 2014 dalam Pinel & Barnes, 2019). Selain itu, tidak
jarang orang yang selesai berolahraga kemudian mengkonsumsi makanan
atau minuman yang mengandung ekstra kalori dibanding dengan kalori yang
dibakar selama berolahraga (Freedman, 2011 dalam Pinel & Barnes, 2019).

3. Leptin dan pengaturan lemak.

Di bawah ini merupakan penjelasan mengenai penemuan leptin dan


efeknya terhadap perkembangan suatu pendekatan untuk menangani obesitas,
serta pemahaman mengenai leptin dan insulin sebagai sinyal umpan balik
yang telah menghasilkan penemuan nukleus hipotalamik yang berperan
penting dalam pengaturan lemak tubuh manusia (Pinel & Barnes, 2019):

a. Tikus yang kegemukan dan penemuan leptin, yaitu merupakan


peristiwa yang diawali dari adanya mutasi genetik spontan pada
tikus yang dipelihara di The Jackson Laboratory pada tahun 1950.
Kemudian tikus-tikus mutan tersebut (ob mice) homozygous untuk
gen obesitas yang menunjukkan kondisi sangat gemuk, yaitu
memiliki ukuran tiga kali lebih besar daripada tikus-tikus normal
(Pinel & Barnes, 2019). Tikus-tikus tersebut makan lebih banyak,
mengubah kalori menjadi lemak dengan lebih efisien, dan
menggunakan kalori lebih efisien juga, yang kemudian keadaan
tersebut dihipotesiskan oleh Coleman (1979, dalam Pinel & Barnes,
2019) sebagai suatu kondisi di mana tikus-tikus tersebut kekurangan
hormon yang standarnya menghambat produksi dan pemeliharaan
lemak. Hal tersebut kemudian mendorong Friedman dan kawan-
kawan (1994, dalam Pinel & Barnes, 2019) untuk melakukan
pengkarakteristikan dan kloning gen yang termutasi pada tikus
mutan tersebut. Hasil menunjukkan bahwa gen tersebut hanya
diekspresikan pada sel-sel lemak dan pengkarakteristikan protein

16
yang biasa dikodekan oleh gen tersebut merupakan sebuah hormon
peptida yang disebut dengan leptin. Simpulan menyatakan bahwa ob
mice kekurangan leptin, yang akhirnya memunculkan hipotesis
menarik bahwa terdapat kemungkinan leptin merupakan feedback
negatif yang biasanya dilepaskan oleh simpanan lemak untuk
mengurangi nafsu makan memperbaiki metabolisme lemak. Dengan
penemuan tersebut memunculkan pertanyaan apakah leptin dapat
diadministrasikan pada manusia untuk menghentikan epidemi
obesitas saat ini (Pinel & Barnes, 2019).

b. Leptin sebagai penanganan untuk obesitas manusia merupakan


informasi yang cukup menggemparkan tepat setelah leptin
ditemukan. Namun jauh sebelum leptin ditemukan, sudah ditemukan
hormon peptida yang memiliki fungsi yang serupa dengan hormon
peptida leptin, yaitu hormon peptida pankreatik insulin (Schwartz,
2000; Woods, 2004 dalam Pinel & Barnes, 2019). Akan tetapi,
banyak orang bersikap skeptis terhadap pernyataan bahwa insulin
mampu memberikan feedback negatif untuk pengaturan lemak tubuh
(Pinel & Barnes, 2019). Sikap skeptis terhadap pernyataan tersebut
kemudian dipatahkan dengan temuan-temuan yang mendukung
hipotesis bahwa insulin mampu memberikan feedback negatif untuk
pengaturan lemak tubuh, yaitu (1) ditemukan bahwa kadar insulin
otak memiliki korelasi positif dengan kadar lemak tubuh; (2)
ditemukan reseptor-reseptor untuk insulin di otak; dan (3)
ditemukan infusi insulin ke dalam otak binatang-binatang
laboratorium dapat mengurangi makan dan berat badan (Seeley et
al., 1996; Baura et al., 1993; Campbell et al., 1995; Chavez, Seeley,
& Woods, 1995; Mc. Allister et al., 2015; Woods & Begg, 2015
dalam Pinel & Barnes, 2019).
Penemuan dua hormon peptida tersebut kemudian
memunculkan pertanyaan baru mengapa terdapat dua sinyal
feedback lemak. Penelitian memberikan penjelasan bahwa masing-
masing kadar hormon peptida tersebut memiliki kecenderungan
korelasi pada penyimpanan lemak yang berbeda. Kadar leptin lebih

17
berkorelasi dengan lemak yang disimpan di bawah kulit
(subcutaneous fat), sedangkan kadar insulin lebih berkorelasi
dengan lemak yang disimpan di sekitar organ dalam di dalam
rongga badan (visceral fat), sehingga masing-masing hormon
peptida tersebut memberikan sinyal informasi yang berbeda (Heni et
al., 2015 dalam Pinel & Barnes, 2019).

Penemuan awal mengenai keefektifan leptin untuk mengatasi


obesitas yang dihasilkan dari penelitian terhadap ob mice, masih
perlu dikaji untuk diterapkan pada manusia. Namun terdapat dua hal
yang menyulitkan peralihan penelitian dari ob mice ke manusia yang
mengalami obesitas, yaitu kondisi bahwa manusia yang mengalami
obesitas ternyata memiliki kadar leptin yang tinggi dan kondisi
bahwa suntikkan leptin pada seseorang yang mengalami obesitas
tidak mengurangi makan atau lemak tubuh (Münzberg & Myers,
2005; Heymafield et al., 1999 dalam Pinel & Barnes, 2019). Hal
tersebut mendorong dilakukannya penelitian lebih lanjut untuk
menjelaskan mengapa terdapat perbedaan aksi leptin pada ob mice
dan manusia sehingga masih terdapat kemungkinan penggunaan
leptin dalam penanganan obesitas manusia. Hal tersebut diperkuat
dengan adanya contoh kasus seorang gadis yang mengalami obesitas
dapat ditangani dengan dilakukannya terapi leptin (Pinel & Barnes,
2019).

4. Penanganan obesitas.

Meskipun sudah terdapat penelitian bahwa leptin dapat membantu


mengatasi masalah obesitas, hal tersebut hanya bekerja pada sebagian orang
sehingga masalah obesitas masih berkembang hingga saat ini. Berikut Pinel
dan Barnes (2019) berusaha untuk menjelaskan metode lain yang dapat
membantu penanganan masalah obesitas pada manusia:

a. Agonis serotonergik, di mana nampaknya agonis-agonis serotonin


meningkatkan sinyal-sinyal kenyang jangka pendek yang berkaitan

18
dengan konsumsi makanan (Halford & Blundell, 2000; dalam Pinel
& Barnes, 2019). Agonis-agonis serotonin ini disebutkan memiliki
fungsi untuk mengurangi beberapa hal seperti dorongan makan
makanan berkalori tinggi, konsumsi lemak, intensitas lapar
subjektif, banyaknya porsi makan, makan makanan ringan di antara
waktu makan makanan besar, serta makan berlebih. Dengan efek
positif tersebut, kemudian agonis-agonis serotonin ini digunakan
untuk keperluan klinis. Namun, akibat ditemukannya pemakaian
kronis berhubungan dengan penyakit jantung pada sejumlah kecil
pemakainya tetapi bersifat signifikan, obat-obat agonis serotonin
seperti fenfluramine dan deksfenfluramin ditarik peredarannya dari
pasar (Pinel & Barnes, 2019). Dengan keadaan tersebut, agonis-
agonis serotonin yang disetujui penggunaannya untuk penanganan
obesitas saat ini adalah agonis serotonin yang memiliki profil efek
samping lebih favorable, yaitu lorcaserin (Halpern & Halpern, 2015;
Ningro, Luon, & Baker, 2013 dalam Pinel & Barnes, 2019). Namun
efikasi yang dihasilkan oleh lorcaserin masih tergolong rendah
untuk dalam penanganan obesitas (Adan, 2013; dalam Pinel &
Barnes, 2019).

b. Operasi lambung, yang terdiri dari dua metode operatif sebagai


penanganan obesitas ekstrim, yaitu gastric bypass dan adjustable
gastric band. Metode gastric bypass menyertakan proses short-
circuiting jalur makanan normal melalui saluran pencernaan yang
kemudian membuat penyerapan dikurangi. Sedangkan metode
adjustable gastric band merupakan proses penempatan pita pengikat
silikon berlubang yang dilakukan dengan operasi mengelilingi
lambung untuk mengurangi aliran makanan melalui lambung,
dimana lingkar pita pengikat tersebut dapat disesuaikan dengan
dilakukannya penyuntikan saline ke dalam pita melalui port yang
diimplantasikan pada kulit. Metode adjustable gastric band ini lebih
unggul daripada gastric bypass karena pita pengikat dapat dilepas
atau disingkirkan dengan mudah (Pinel & Barnes, 2019).

19
Meskipun menurut DSM-5 obesitas tidak dianggap sebagai gangguan mental,
pada faktanya terdapat hubungan yang kuat antara obesitas dan sejumlah gangguan
mental yang lain. Obesitas berhubungan kuat dengan gangguan makan berlebihan
(BED), gangguan depresi dan bipolar, serta skizofrenia. Selain itu, efek samping dari
beberapa obat psikotropika berkontribusi penting terhadap perkembangan obesitas dan
obesitas dapat menjadi faktor risiko perkembangan beberapa gangguan mental (APA,
2013).

C. Gangguan Tidur-Terjaga

Masalah tidur yang sering terjadi dan cukup parah—sehingga mengakibatkan


distres pribadi yang signifikan atau menurunnya fungsi dalam peran sosial, pekerjaan,
dan peran lainnya diklasifikasikan dalam sistem DSM sebagai gangguan tidur-terjaga
(sleep-wake disorder). Istilah ini menggantikan istilah diagnostik sebelumnya,
gangguan tidur, yang menekankan bahwa gangguan ini melibatkan masalah yang
muncul saat tidur atau pada ambang batas antara tidur dan tersadar. Gangguan ini juga
sering terjadi bersamaan dengan gangguan psikologis lainnya seperti depresi dan juga
kondisi medis seperti masalah kardiovaskular (Nevid et al., 2014).

1. Jenis Gangguan Tidur-terjaga


Jenis gangguan tidur-terjaga antara lain insomnia, hipersomnolen,
narkolepsi, gangguan tidur terkait pernapasan, gangguan tidur akibat ritme
sirkadian, parasomnia, sleep terror, perilaku rapid-eye-movement (RBD),
gangguan mimpi buruk, dan sleep-walking.
a. Gangguan Insomnia

Kata insomnia berasal dari bahasa Latin in-, yang artinya


"tidak" atau "tanpa”, dan somnus, yang artinya “tidur”. Diagnosis
gangguan insomnia mensyaratkan bahwa masalah ini sudah ada
setidaknya tiga bulan dan muncul setidaknya tiga malam setiap
minggunya (APA, 2013). Insomnia kronis juga bisa menjadi tanda
munculnya masalah fisik atau gangguan psikologis; seperti depresi,
penyalahgunaan zat, atau penyakit fisik yang serius, termasuk fungsi
imun yang menurun. Penelitian menunjukkan bahwa otak yang

20
kekurangan tidur akan sulit untuk berkonsentrasi, memperhatikan,
merespons secara cepat, mengatasi masalah, dan mengingat
informasi yang baru saja didapat (Florian et al., 2011; Lim &
Dinges, 2010; dalam Nevid et al., 2014).

b. Gangguan Hipersomnolen

Istilah hipersomnolen berasal dari bahasa Yunani hyper, yang


berarti "lebih” atau “lebih dari normal”, dan bahasa Latin somnus,
yang berarti “tidur”. Gangguan hipersomnolen (hypersomnolence
disorder) adalah pola tidur yang berlebihan selama jam siang yang
terjadi setidaknya tiga hari per minggu untuk periode tiga bulan
(APA, 2013). Orang dengan gangguan hipersomnolen bisa tidur 9
jam atau lebih dalam semalam tetapi belum merasa segar saat
terbangun. Mereka bisa memiliki episode yang berulang selama
siang hari dengan perasaan membutuhkan tidur yang tak
tertahankan, atau terus tidur siang atau tertidur saat mereka harusnya
bangun, atau tertidur secara tidak sadar saat menonton TV (Ohayon,
Dauvilliers, & Reynolds, 2012). Gangguan ini tidak disebabkan oleh
jumlah tidur yang tidak cukup, oleh gangguan fisik atau psikologis
lainnya, atau oleh penggunaan obat.

c. Narkolepsi
Kata narkolepsi berasal dari bahasa Yunani narke, yang berarti
“kondisi pingsan” dan lepsis, yang berarti “serangan”. Orang dengan
narkolepsi mengalami kebutuhan tidur tak tertahankan, serangan
tidur mendadak, atau tidur singkat yang terjadi setidaknya tiga kali
seminggu dalam tiga bulan. Narkolepsi sering dikaitkan dengan
transisi yang hampir mendadak dari kondisi sadar ke tidur REM
(rapid eye movement)—tahap tidur yang biasanya berhubungan
dengan mimpi. Jenis narkolepsi yang paling umum, yaitu hypocretin
deficiency syndrome, melibatkan defisiensi hipokretin, molekul
mirip protein yang dihasilkan hipotalamus yang berfungsi mengatur
siklus tidur-terjaga dalam otak.

21
Narkolepsi sering dihubungkan dengan katapleksi (cataplexy),
sebuah kondisi medis dimana seseorang kehilangan tonus otot yang
bisa menyebabkannya terjatuh. Orang dengan narkolepsi bisa juga
mengalami kelumpuhan tidur (sleep paralysis), kondisi sementara
setelah tersadar di mana mereka merasa tidak bisa bergerak atau
berbicara. Mereka juga melaporkan halusinasi hipnagogis
(hypnagogic hallucinations), di mana halusinasi yang menyeramkan
sering muncul sebelum tidur atau setelah bangun (Nevid et al.,
2014).

d. Gangguan Tidur Terkait Pernapasan

Orang dengan gangguan tidur terkait pernapasan (breathing-


related sleep disorders) mengalami gangguan tidur berkala karena
masalah pernapasan. Hal ini bisa berujung pada insomnia atau
kantuk berlebihan di siang hari. Kata apnea berasal dari bahasa
Yunani a-, yang berarti “tidak” atau “tanpa”, dan pneuma, yang
berarti “napas”. Masalah pernapasan ini berasal baik dari obstruksi
jalan napas menyeluruh (total) ataupun sebagian (parsial) selama
tidur. Apnea tidur obstruktif paling sering terjadi pada usia paruh
baya dan pada orang yang gemuk. Orang yang memiliki apnea tidur
biasanya melaporkan kualitas hidup yang menurun. Mereka juga
cenderung memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi ketimbang
individu yang tidak terpengaruh (Peppard et al., 2006; dalam Nevid
et al., 2014).

e. Gangguan Tidur-Terjaga Ritme Sirkadian

Sebagian besar fungsi tubuh mengikuti siklus atau ritme


internal—yang disebut ritme sirkadian—yang berlangsung selama
24 jam (Borgs et al., 2009, dalam Nevid et al., 2014). Gangguan
tidur-terjaga ritme sirkadian (circadian rhythm sleep-wake
disorders) melibatkan gangguan terus-menerus dari siklus tidur-
terjaga alami seseorang. Gangguan pada pola tidur normal ini bisa
menyebabkan insomnia atau hipersomnolen dan menimbulkan rasa

22
kantuk di siang hari. Gangguan ini menyebabkan tingkat stres atau
melemahkan kemampuan dalam peran sosial, pekerjaan, dan yang
lainnya. Seringnya perubahan dalam zona waktu atau seringnya
perubahan giliran kerja (seperti yang dihadapi perawat) bisa
menimbulkan masalah berkepanjangan, yang berujung pada
diagnosis gangguan tidur-terjaga ritme sirkadian (Nevid et al.,
2014).

f. Parasomnia

Kata “parasomnia” secara harfiah berarti “sekitar tidur" dan


menandakan perilaku abnormal yang melibatkan keterjagaan
sebagian atau tidak total yang muncul antara batasan tersadar dan
tidur. Siklus tidur biasanya terjadi setiap 90 menit, yang berlangsung
dalam tahapan dari tidur ringan sampai tidur lelap dan kemudian
tidur REMl. Namun, untuk sebagian orang, tidurnya terganggu oleh
keterjagaan sebagian atau tidak total selama tidur. Selama
keterjagaan sebagian ini, seseorang bisa tampak bingung, terpisah,
atau tak terlibat dengan lingkungan. Tidur bisa menjadi tidak
responsif saat orang lain membangunkan atau menenangkan mereka.
Penderita biasanya terbangun keesokan harinya tanpa mengingat
episode keterjagaan sebagian ini. Parasomnia juga menyebabkan
tingkat distres pribadi yang menghalangi kemampuan seseorang
untuk melakukan peran sosial, pekerjaan, atau peran lainnya yang
penting (Nevid et al., 2014).

g. Teror Tidur

Teror tidur (sleep terrors) ditandai dengan episode berulang


keterjagaan yang menimbulkan teror yang biasanya dimulai dengan
teriakan panik (APA, 2013). Anak (sebagian besar kasus melibatkan
anak) akan langsung terduduk, ketakutan, dan berkeringat banyak
dengan detak jantung dan napas yang cepat. Anak mungkin akan
bicara tidak jelas atau meronta-ronta tapi tidak sadar sepenuhnya.
Jika anak sudah sepenuhnya sadar, ia mungkin tidak mengenali

23
orang tuanya atau mungkin berusaha mendorong mereka. Setelah
beberapa menit, anak tersebut kembali tertidur dan tidak ingat
apapun terkait kejadian tersebut. Serangan teror tidur ini lebih intens
ketimbang mimpi buruk biasa. Teror tidur cenderung muncul selama
sepertiga awal tidur malam dan selama tidur non-REM yang
nyenyak (Nevid et al., 2014).

h. Tidur-berjalan

Dalam tidur-berjalan (sleepwalking), orang yang sedang tidur


memiliki episode berulang di mana mereka berjalan di dalam rumah
dengan kondisi tertidur. Selama episode ini, seseorang tersadar
sebagian dan bisa melakukan respons motorik yang kompleks,
seperti turun dari tempat tidur dan berjalan ke ruangan lain. Perilaku
motorik ini dilakukan tanpa kesadaran dan orang tersebut biasanya
tidak ingat insiden ini saat terbangun di keesokan paginya. Oleh
karena episode ini cenderung terjadi selama tahapan non-REM di
mana tidak ada mimpi, episode tidur-berjalan tampaknya tidak
melibatkan mimpi. Gangguan tidur-berjalan paling umum terjadi
pada anak-anak, mempengaruhi sekitar 1%-5% anak-anak, menurut
beberapa estimasi (APA, 2013). Antara 10%-30% anak-anak
diyakini mengalami setidaknya satu kali episode tidur berjalan.

i. Perilaku Tidur Rapid Eye Movement (RBD)

RBD melibatkan episode berulang dari memerankan mimpi


selama tidur REM dalam bentuk menyuarakan bagian dari
mimpinya atau meronta-ronta. Biasanya aktivitas otot terhalang
selama REM sampai pada titik di mana otot tubuh, kecuali yang
diperlukan untuk bernapas dan fungsi tubuh vital lainnya, lumpuh.
Kelumpuhan otot mencegah cedera yang mungkin terjadi jika
pemimpi tiba-tiba memerankan mimpinya. Akan tetapi, dalam kasus
gangguan perilaku tidur REM (REM sleep behavior disorder-RBD)
kelumpuhan otot itu tidak ada atau tidak sepenuhnya dan seseorang
bisa tiba-tiba menendang atau mengayunkan tangan selama tidur

24
REM, yang berpotensi mencederai diri sendiri atau teman tidur.
Gangguan ini bisa disebabkan oleh penarikan diri dari alkohol atau
sebagai konsekuensi dari obat tertentu (Nevid et al., 2014).

j. Gangguan Mimpi Buruk


Orang dengan gangguan mimpi buruk (nightmare disorder)
memiliki episode mimpi buruk berulang selama tidur REM yang
sangat mengganggu dan diingat. Mimpi buruk ini adalah mimpi
yang panjang di mana pemimpi berusaha menghindari ancaman
yang nyata atau bahaya fisik. Selain rasa takut, mimpi yang
mengganggu bisa memunculkan reaksi negatif lainnya seperti
kemarahan, kesedihan, frustrasi, rasa bersalah, jijik, atau
kebingungan. Pemimpi bisa tiba-tiba terbangun namun mengalami
kesulitan untuk kembali tidur karena perasaan takut. Gangguan tidur
ini bisa menyebabkan distres pribadi yang signifikan atau
menghambat fungsi sehari-hari.

Mimpi buruk sering dihubungkan dengan pengalaman


traumatis dan biasanya muncul saat individu sedang stres. Meskipun
mimpi buruk bisa melibatkan pergerakan yang tidak tenang di dalam
mimpi itu sendiri, pemimpi menunjukkan sedikit aktivitas otot.
Proses biologis yang mengaktivasi mimpi-termasuk mimpi buruk-
menghambat pergerakan tubuh, menyebabkan sejenis kelumpuhan
(Nevid et al., 2014).

2. Penanganan Gangguan Tidur-Terjaga


Penanganan gangguan tidur-terjaga terdiri atas pendekatan biologis
dan pendekatan psikologis.
a. Pendekatan Biologis
Obat antikecemasan sering digunakan untuk menangani
insomnia yaitu benzodiazepine (misalnya Valium dan Ativan) dan
zolpidem. Untuk pengobatan jangka pendek, obat tidur umumnya
mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk tertidur, meningkatkan
durasi tidur, dan mengurangi peluang terbangun di malam hari
dengan mendorong perasaan tenang. Obat tidur bekerja dengan

25
meningkatkan aktivitas GABA, sebuah neurotransmitter yang
mengurangi aktivitas sistem saraf pusat.
Kekurangan dari obat tidur yaitu cenderung menekan tidur
REM, yang bisa menghambat beberapa fungsi restoratif tidur. Obat
tidur juga cenderung membuat kantuk di siang hari dan kinerja yang
menurun. Insomnia juga dapat muncul (bahkan lebih buruk) setelah
penghentian obat. Obat ini secara cepat kehilangan efektivitasnya
pada tingkat dosis tertentu, sehingga dosis yang lebih besar secara
progresif harus digunakan untuk mencapai efek yang sama.
Obat tidur juga bisa menyebabkan ketergantungan kimia jika
digunakan secara rutin (Pollack, 2004; dalam Nevid et al., 2014).
Orang bisa mengalami gejala penarikan diri saat mereka berhenti
menggunakan obatnya; termasuk agitasi, tremor, mual, sakit kepala,
dan (dalam kasus yang parah) delusi atau halusinasi. Penggunaan
obat tidur untuk gangguan ini menimbulkan risiko ketergantungan
fisiologis dan psikologis. Oleh karena itu, obat tidur harus
digunakan hanya dalam kasus yang parah dan hanya sebagai cara
untuk memutus “siklus”. Tujuan pengobatan adalah untuk
memberikan kelegaan sementara agar terapis bisa membantu
menemukan solusi yang lebih efektif.

Obat stimulan sering digunakan pada orang dengan narkolepsi


dan hipersomnolen (Morgenthaler et al., 2007, dalam Nevid et al.,
2014). Pengobatan pertama untuk apnea tidur adalah penggunaan
alat mekanis yang membantu menjaga napas selama tidur dengan
menjaga saluran pernapasan bagian atas terbuka. Operasi juga bisa
digunakan untuk memperlebar saluran pernapasan bagian atas.

b. Pendekatan Psikologis
Pendekatan psikologis umumnya terbatas pada pengobatan
insomnia primer. Teknik kognitif-perilaku memiliki penekanan
jangka pendek dan berfokus menurunkan keterjagaan tubuh,
menerapkan kebiasaan tidur teratur, dan mengganti pikiran yang
membuat cemas dengan pikiran yang lebih adaptif. Terapis kognitif-

26
perilaku biasanya menggunakan kombinasi teknik; meliputi
pengendalian stimulus, mengadopsi siklus tidur-terjaga rutin,
pelatihan relaksasi, dan restrukturisasi rasional (Nevid et al., 2014).
Kendali stimulus (stimulus control) melibatkan perubahan
lingkungan yang berhubungan dengan perilaku tidur. Orang
biasanya menghubungkan tempat tidur dengan aktivitas tidur,
sehingga paparan tersebut menimbulkan perasaan kantuk. Namun
ketika orang menggunakan tempat tidur untuk aktivitas lainnya-
seperti makan, membaca, dan menonton televisi-tempat tidur
kehilangan hubungannya dengan kantuk. Teknik kendali stimulus
memperkuat hubungan antara tempat tidur dan aktivitas tidur
dengan membatasi aktivitas di tempat tidur (Bootzin & Epstein,
2011).
Terapis kognitif-perilaku membantu klien mengatur tubuh
mereka dengan membentuk siklus tidur-terjaga yang konsisten. Hal
ini melibatkan pergi ke tempat tidur dan bangun pada waktu yang
sama setiap hari. Teknik relaksasi yang digunakan sebelum tidur
membantu mengurangi kondisi keterjagaan fisiologis kondusif untuk
tidur (Nevid et al., 2014).
Restrukturisasi rasional (rational restructuring) melibatkan
penggantian alternatif rasional untuk pikiran atau kepercayaan
maladaptif yang merusak diri. Keyakinan bahwa gagal tidur
nyenyak akan mengakibatkan konsekuensi yang buruk akan
menyebabkan sulitnya tidur karena menimbulkan tingkat kecemasan
(Nevid et al., 2014).
CBT telah menjadi penanganan pilihan untuk insomnia,
dengan memberikan keuntungan terapeutik yang diukur oleh tingkat
berkurangnya waktu yang dibutuhkan untuk tertidur dan
meningkatkan kualitas tidur (Smith & Perlis, 2006). Obat tidur bisa
memberikan hasil yang lebih cepat, tetapi pengobatan perilaku
cenderung memberikan hasil yang bertahan lama (Pollack, 2004,
2004b; dalam Nevid et al., 2014).

27
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Gangguan makan (eating disorders) merupakan gangguan dimana terdapat
perilaku makan yang terganggu serta cara mengendalikan berat badan yang maladaptif
yang umumnya disebabkan oleh adanya obsesi dengan berat badan dan gambaran
tubuh ideal yang sangat kurus pada diri seseorang. Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders, 4th Edition (DSM-IV) yang tertera dalam Krisnani et al. (2017)
mengelompokkan bahwa terdapat tiga jenis gangguan makan yaitu anoreksia nervosa,
bulimia nervosa, dan binge-eating disorder (BED).
Gangguan tidur-terjaga merupakan masalah yang muncul saat tidur atau pada
ambang batas antara tidur dan tersadar sehingga mengakibatkan distres pribadi yang
signifikan atau menurunnya fungsi dalam peran sosial, pekerjaan, dan peran lainnya.
Jenis gangguan tidur-terjaga antara lain insomnia, hypersomnolence, narkolepsi,
gangguan tidur terkait pernapasan, gangguan tidur akibat ritme sirkadian, parasomnia,
sleep terror, perilaku rapid-eye-movement, gangguan mimpi buruk, dan sleep-
walking.

B. Saran
Gangguan makan, obesitas, dan gangguan tidur-terjaga merupakan gangguan
yang dapat menyebabkan timbulnya masalah medis, masalah psikologis yang lainnya,
serta melemahkan fungsi dalam peran sosial dan aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu,
penting untuk mengkaji lebih dalam mengenai definisi, klasifikasi, gejala, penyebab,
serta solusi penanganannya yang tepat. Mengingat bahwa gangguan tersebut dekat
dengan kehidupan di sekitar kita, edukasi kepada masyarakat juga penting untuk
digencarkan.

28
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (2013). The diagnostic and statistical manual of mental
disorders (dsm–5). American Psychiatric Publishing.
Barlow, D. H. & Durand, V. M. (2015). Abnormal psychology: An integrative approach (7th
Ed.). Cengage Learning.
Bootzin, R. R., & Epstein, D. R. (2011). Understanding and treating insomnia. Annual
Review of Clinical Psychology, 7, 435-458.
https://doi.org/10.1146/annurev.clinpsy.3.022806.091516
Hyman, S., Chisholm, D., Kessler, R., Patel, V., & Whiteford, H. (2006). Mental disorders. In
D. T. Jamison, J. G. Breman, A. R. Measham, G. Alleyne, M. Claeson, D. B. Evans, P.
Jha, A. Mills, and P. Musgrove (Eds.), Disease control priorities in developing
countries (2nd Ed.) (pp. 605-625). Oxford University Press.
Krisnani, H., Santoso, M.B., Putri, D. (2017). Gangguan makan anorexia nervosa dan bulimia
nervosa pada remaja. Prosiding Penelitian & Pengabdian Kepada Masyarakat, 4(3),
390-447.
Müller, M. J. & Geisler, C. (2017). Defining obesity as a disease. European Journal of
Clinical Nutrition, 71. 1256-1258. https://doi.org/10.1038/ejcn.2017.155
Nevid, J.S., Rathus, S.A, Greene, B. (2014). Psikologi abnormal di dunia yang terus
berubah. Edisi kesembilan. Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Ohayon, M. M., Dauvilliers, Y., & Reynolds, C. F. (2012). Operational definitions and
algorithms for excessive sleepiness in the general population: Implications for DSM-5
nosology. Archives of General Psychiatry, 69(1), 71–79.
https://doi.org/10.1001/archgenpsychiatry.2011.1240
Oltmanns, Thomas. F. & Emery, Robert. E. (2015). Abnormal psychology. 8th Ed. Pearson.
Pinel, J.P.J. & Barnes, S. (2019). Biopsychology (10th Ed.) (H. P. Soetjipto & S. M.
Soetjipto, Trans.). Pearson. (Original work published 2018).
Perlis, M.L., Smith, L.J., Lyness, J.M., et al. (2006). Insomnia as a risk factor for onset of
depression in the elderly. Behav Sleep Med, 4, 104–113.
World Health Organization. (2021, February 27). Obesity and overweight.
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/obesity-and-overweight

29
30
LAMPIRAN
Psikoedukasi

31
32
33
LEMBAR PARTISIPASI
Sania Pangesti (15000119130222) Mengkaji teori gangguan tidur-terjaga
Finishing makalah
Membuat powerpoint
Ajeng F. Rahadianputri (15000119120076) Mendesain psikoedukasi
Menyusun BAB III
Membuat powerpoint
Aflakha Daliela Khusna (15000119130200) Mengkaji teori obesitas
Menyusun BAB I
Membuat powerpoint
Gita Sukma Dewi (15000119130086) Mengkaji teori gangguan makan
Menyusun BAB I
Membuat powerpoint

34

Anda mungkin juga menyukai