Anda di halaman 1dari 24

Pengaruh Academic Social Support terhadap Resiliensi dalam Skema Pembelajaran

Jarak Jauh (PJJ) pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro

Disusun Guna Memenuhi Tugas Akhir


Mata Kuliah Metode Penelitian Kuantitatif

Dosen Pengampu
Prasetyo Budi Widodo, S.Psi., M.Si.

Disusun oleh Kelompok 16


1. Salma Febriyanti P.R. (15000119130093)
2. Indah Tri A.C.K. (15000119130103)
3. Sania Pangesti (15000119130222)
4. Nur Rifky R. (15000119130143)
5. Maritza Andini E. (15000119130187)

UNIVERSITAS DIPONEGORO
FAKULTAS PSIKOLOGI
TAHUN 2020

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan penyusunan proposal penelitian sekaligus
tugas dari mata kuliah Metodologi Penelitian Kuantitatif dengan baik dan tepat pada
waktunya.

Penyusunan proposal penelitian ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak.
Maka dari itu, kami menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu proses penulisan proposal penelitian ini hingga selesai.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan proposal penelitian ini masih jauh dari
kata sempurna dengan berbagai kekurangan yang sekiranya perlu diperbaiki. Oleh sebab itu,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna menyempurnakan
proposal penelitian berikut sehingga keberadaannya dapat bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya.

Semarang, 23 September 2020

Peneliti

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................

DAFTAR ISI.....................................................................................................................

BAB I..................................................................................................................................

A. Latar Belakang...............................................................................................................

B. Rumusan Permasalahan..................................................................................................

C. Tujuan Pembahasan........................................................................................................

D. Manfaat Penelitian..........................................................................................................

BAB II................................................................................................................................

A. Penjelasan Teoretis Mengenai Variabel Resiliensi.........................................................

B. Penjelasan Teoretis Mengenai Variabel Academic Social Support................................

C. Pengaruh Academic Social Support terhadap Resiliensi.................................................

D. Hipotesis.........................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pendidikan adalah kunci dari pembangunan sumber daya manusia. Kualitas
sumber daya manusia akan menentukan maju mundurnya suatu bangsa. Mutu
pendidikan dari generasi penerus bangsa digadang-gadang akan menyongsong
Indonesia Emas pada tahun 2045 yang ditandai dengan terciptanya Indonesia adil,
sejahtera, aman, damai, maju, dan mendunia. Berbagai upaya reformasi di bidang
pendidikan telah terjadi di Indonesia. Begitu pula dengan alokasi anggaran pendidikan
yang telah dipersiapkan APBN bagi peningkatan mutu pendidikan generasi bangsa.
Namun, perihal pendidikan masih saja menjadi persoalan yang belum menemukan
resolusi, isu mengenai penyediaan fasilitas, akses pendidikan dan kualitas pendidikan
masih menuai problematika. Sementara itu, upaya untuk meningkatan kualitas
pendidikan di Indonesia masih terus diperjuangkan.
Telah berulang kali reformasi pendidikan nasional terjadi. Reformasi tersebut
melahirkan kebijakan mengenai pergantian sistem pendidikan dengan harapan dapat
menjadi satu langkah maju untuk meningkatkan kualitas generasi bangsa. Namun,
yang terjadi adalah kualitas sistem pendidikan yang diharap mampu meningkatkan
derajat sumber daya manusia tidak berbanding lurus dengan kualitas generasi bangsa.
Sikap anti perubahan dari sumber daya manusia malah cenderung terlihat sehingga
tidak memunculkan perubahan yang signifikan terhadap iklim pendidikan. Begitu
sulit mengawal proses reformasi pendidikan di Indonesia. Hingga pada awal tahun
2020 pendidikan di Indonesia mengalami perubahan drastis, terjadi revolusi di bidang
pendidikan akibat pandemi Covid-19. Sistem pembelajaran yang semula didominasi
oleh tatap muka kini harus beralih kepada sistem pembelajaran dalam jaringan
(daring) setelah surat edaran Mendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang pencegahan
Covid-19 pada Satuan Pendidikan dan Nomor 36926/MPK.A/HK/2020 tentang
Pembelajaran daring diterbitkan. Sistem pembelajaran daring atau Pembelajaran Jarak
Jauh (PJJ) adalah berlaku bagi seluruh level pendidikan, termasuk di dalamnya yaitu
Perguruan Tinggi, tempat dimana terjadi inovasi dan sintesa ilmu pengetahuan. Secara
empirik keberhasilan dari realisasi kebijakan pemberlakuan PJJ pada Perguruan
Tinggi adalah bergantung pada berbagai faktor diantaranya koneksi internet,
ketersediaan kuota, perangkat digital, dan juga kemampuan mahasiswa dalam
menghadapi perubahan yang terjadi.
Mahasiswa memiliki definisi sebagai seseorang yang sedang dalam proses
menimba ilmu ataupun belajar dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah
satu bentuk Perguruan Tinggi yang terdiri dari akademi, politeknik, sekolah tinggi,
institut dan universitas (Hartaji, 2012). Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), mahasiswa adalah orang yang belajar di Perguruan Tinggi yang
secara administrasi mereka terdaftar sebagai murid di instansi tersebut. Berdasarkan
uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa mahasiswa adalah seorang peserta didik
yang terdaftar dan tengah menjalani pendidikannya untuk menimba ilmu di Perguruan
Tinggi, baik dari akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut maupun universitas.
Umumnya, mahasiswa berada dalam rentang perkembangan emerging adulthood.
Menurut Arnett (2000) periode emerging adulthood merupakan peralihan dari masa
remaja menuju dewasa yang terjadi pada rentang usia 18 sampai 25 tahun. Pada masa
ini individu cenderung lebih banyak melakukan eksperimen dan eksplorasi. Individu
mulai memikirkan dan mengeksplorasi bagaimana identitasnya akan dibentuk, jalur
karirnya, dan berpikir tentang gaya hidup seperti apa yang akan dijalani. Emerging
adulthood adalah sebuah periode yang dipenuhi dengan ketidakstabilan, di mana
mereka dituntut untuk menguasai keterampilan dan beban tanggung jawab seperti
orang dewasa tanpa memiliki kapasitas dan kematangan berpikir yang dimiliki orang
dewasa (Arnett, 2000; Arnett, 2014). Erikson (1968) dan Eindfuss (1991)
mengemukakan bahwa bagi banyak orang, masa perkembangan ini merupakan masa
dimana perubahan sering terjadi karena berbagai kemungkinan dalam hal percintaan,
pekerjaan, dan pandangan hidup semakin tereksplorasi (Arnett, 2000).
Sebagai bagian dari subjek pembelajar di Perguruan Tinggi, mahasiswa pun
menjadi salah satu populasi yang terdampak pandemi Covid-19 secara cukup
signifikan. Hampir seluruh universitas mengambil keputusan untuk mematuhi Surat
Edaran Mendikbud dalam pemberlakuan PJJ, yaitu meniadakan perkuliahan secara
tatap muka dan menggantinya dengan perkuliahan secara daring. Tindakan ini tentu
saja dapat menimbulkan konsekuensi psikologis yang negatif di kalangan mahasiswa,
serta dapat memperburuk stres akademik pada mahasiswa (Grubic, Badovinac, &
Johri, 2020). Beberapa siswa yang menganggap kampus seperti ‘rumah’ harus
memendam perasaan yang intens seperti frustrasi dan kecemasan. Gangguan
kecemasan adalah masalah kejiwaan yang paling umum di kalangan mahasiswa,
dengan prevalensi sekitar 11,9% mahasiswa menderita gangguan kecemasan (Blanco,
dkk, 2008). Sedangkan beberapa mahasiswa mungkin harus berurusan dengan
kesepian dan isolasi karena terputusnya hubungan dari teman dan pasangan, mereka
kehilangan peran pendukung psikologis dalam kesehariannya. Bagi mereka yang
menerima layanan konseling di kampus, mereka tidak lagi dapat mengakses layanan
konseling. Dengan demikian, PJJ malah menjadi sebuah media untuk memperburuk
gejala psikologis mereka (Zhai & Du, 2020).
Beragam stressor maupun tekanan harus dihadapi oleh mahasiswa, baik terkait
dengan tugas perkembangan yang sedang dilalui, maupun terkait dengan aktivitas
perkuliahan yang menjadi tanggung jawab utama. Sebut saja tekanan mengenai tugas
akademik, tugas organisasi atau kegiatan di luar kampus, biaya dalam pemenuhan
kuliah dan kebutuhan, relasi dengan lingkungan sekitar kampus, dan lain sebagainya.
Hal tersebut menyebabkan mahasiswa menjadi populasi yang rentan mengalami
distres psikologis, bahkan gangguan mental. Sebuah studi yang dilakukan oleh Salma,
Rahmandani, dan La Kahija (2017), terhadap 495 mahasiswa Universitas Diponegoro
menyebutkan bahwa sebanyak 45.7% dari subjek mengalami distres psikologis dan
berada dalam risiko untuk mengalami gangguan mental.
Dinamika yang terjadi dalam diri mahasiswa semakin rumit dengan adanya
pandemi Covid-19. Mahasiswa mengalami kesulitan yang disebabkan oleh
ketidakpastian dan gangguan yang terjadi secara tiba-tiba di tengah semester. Banyak
mahasiswa yang harus menghentikan proyek penelitian dan magang. Selain itu,
gangguan pada proyek penelitian dan magang dapat membahayakan studi mereka,
menunda kelulusan, dan merusak daya saing mereka di pasar kerja, yang pada
gilirannya memicu kecemasan di kalangan mahasiswa. Mereka mungkin juga
kesulitan dengan biaya untuk pulang ke rumah (Zhai & Du, 2020). Dalam studi yang
dilakukan oleh Cao, dkk (2020) pada mahasiswa di masa pandemi Covid-19, sekitar
25% dari sampel melaporkan mengalami gejala kecemasan, yang berkorelasi positif
dengan peningkatan kekhawatiran tentang penundaan akademik, efek ekonomi
pandemi, dan dampak pada kehidupan sehari-hari. Selain itu, sebuah survei oleh
YoungMinds melaporkan bahwa 83% responden muda setuju bahwa pandemi
memperburuk kondisi kesehatan mental yang sudah ada sebelumnya, terutama karena
penutupan universitas, hilangnya rutinitas, dan koneksi sosial yang terbatas
(YoungMinds, 2020).
Kecemasan adalah perasaan tidak disukai individu yang diikuti reaksi fisik
ketika menghadapi situasi yang berbahaya yang mengancam (Freud dalam Feist &
Feist, 2010). Spielbelger dalam (Amir, 2004) melaporkan bahwa kecemasan
merupakan perasaan takut dalam mengalami kegagalan (fear of failure) atau bahkan
perasaan akan takut menderita. Kecemasan menjadi salah satu bentuk perasaan tidak
nyaman yang berkaitan dengan masa depan. Menurut beberapa riset, kecemasan
terbukti sering kali dialami oleh mahasiswa selama pemberlakuan PJJ. Faktor-faktor
yang menyebabkan kecemasan mahasiswa di saat pemberlakuan PJJ bisa bermacam-
macam, di antaranya permasalahan terkait tugas perkembangannya, pemilihan dan
persiapan karier, ketidakmampuan penyediaan kuota, terhambatnya jaringan,
terbatasnya device dan segala bentuk kemungkinan lainnya yang dapat mempengaruhi
hasil belajar. Secara keseluruhan kecemasan dapat disebabkan karena timbulnya
perasaan kurang percaya diri seseorang untuk menghadapi kemungkinan di masa
depan, tidak dapat meyakini dirinya sendiri dengan kemampuan yang dimiliki dan
ketakutan pada daya saing antar individu yang ada di sekitarnya. Kekhawatiran yang
dialami juga dapat disebabkan oleh ketakutan mengecewakan orang tua, kekhawatiran
tidak dapat mendapatkan sesuatu sesuai dengan harapan, kesejahteraan hidup,
kesiapan mental menghadapi perubahan, serta prestasi akademik . Dengan demikian,
kecemasan berarti suatu perasaan negatif yang dapat sangat dipengaruhi oleh kondisi
Psychological Capital seseorang.
Psychological Capital menyangkut tentang diri seseorang dan harapan tentang
dirinya. Psychological Capital yang positif menekankan pada kepercayaan, harapan,
optimisme, dan resiliensi individu (Luthans, Luthans, & Luthans, 2004). Keterlibatan
resiliensi (Scheier dan Carver, 2002) yang ada pada dimensi Psychological Capital
dapat menurunkan tingkat kecemasan, stress, dan kemungkinan akan emosi negatif
lainnya agar seseorang mampu kembali pulih dan berkembang (Luthans, dkk, 2007).
Resiliensi merupakan sebuah kapasitas dinamis yang menyebabkan seseorang dapat
bertahan dan pulih dari tantangan yang mengancam stabilitas dan kelangsungan
hidup. Resiliensi dapat juga dipandang sebagai kemampuan yang mempengaruhi
keberhasilan seseorang dalam mengatasi stress. Dengan demikian, seseorang yang
resilien berarti memiliki peluang lebih besar untuk dapat menyesuaikan diri, bangkit,
dan tetap berkembang meskipun sedang berhadapan dengan situasi yang menyulitkan.
Melalui paparan di atas dapat disimpulkan bahwa mahasiswa yang mengalami
stress di masa PJJ berarti sedang tidak memiliki resliensi (ketahanan psikologis)
cukup besar. Hal tersebut dibuktikan melalui besarnya potensi emosi negatif sehingga
menyebabkan stress, ditandai dengan pola perilaku mahasiswa yang memiliki
kecenderungan pada sikap putus asa, krisis percaya diri pada kemampuannya,
kurangnya penerimaan dan penyesuaian diri, kurangnya kontrol diri, bahkan
kurangnya pemaknaan dalam pelajaran hidup.
Pada umumnya resiliensi seseorang dapat ditingkatkan melalui relasi
interpersonal. Membangun hubungan dengan orang yang berempati dapat
mengingatkan seseorang jika ia tidak sedang sendirian di tengah kesulitan.
Menemukan individu yang dapat dipercaya dan berbelas kasih dengan memvalidasi
perasaan akan dapat mendukung keterampilan seseorang dalam membangun
ketahanan psikologis. Relasi interpersonal tersebut berperan sebagai penolong pada
mahasiswa yang sedang mengalami stress di masa PJJ. Relasi interpersonal dalam
konteks ini disebut juga sebagai dukungan sosial. Dukungan sosial adalah perasaan
positif, yang digambarkan dengan sikap menyukai, mempercayai, dan memberikan
perhatian yang berarti kepada orang lain (Ozkan & Ogze, 2008). Dukungan sosial
juga berperan sebagai faktor dominan dalam mempengaruhi Psychological Capital
(kepercayaan, optimisme, harapan, dan resiliensi) seseorang (Ozkan & Ogze, 2008).
Adapun bentuk dukungan sosial yang diberikan dapat berupa perhatian, dan
mendengarkan keluhan-keluhan seseorang (Sari, 2009). Dukungan sosial yang
didapatkan dapat memberikan manfaat bagi seseorang untuk mengatasi masalah
psikologis, dan beradaptasi dengan kecemasan. Keberhasilan dalam mendapatkan
dukungan sosial terletak pada fleksibilitas, yang artinya tergantung pada kemudahan
akses dan kesiapan dalam ketersediaan. Mendapatkan dukungan sosial dengan
fleksibel dapat meningkatkan kemampuan seseorang untuk berubah dan beradaptasi
dengan berbagai situasi (Mukwato, Mweemba, Makukula,& Makoleka, 2010)
sehingga seseorang tersebut tidak mengalami tekanan, kecemasan, stress dan
gangguan psikologis lainnya. Dukungan sosial yang dikhususkan dalam konteks
akademis disebut sebagai academic social support. Academic social support dapat
didefinisikan sebagai keyakinan individu bahwa orang-orang di sekitarnya mampu
untuk menghargai, mendorong pembelajaran serta kemajuan dirinya dengan
memberikan teladan, bantuan, bimbingan, dan informasi apabila diperlukan (Song
dkk., 2014).
Stress mahasiswa di masa PJJ sudah pasti memberikan dampak yang negatif
bagi dirinya sendiri. Terlebih apabila stress tersebut mempengaruhi hasil belajarnya
dan mengganggu proses perkuliahan daring yang sedang ia jalani. Misalnya adalah
mereka akan kehilangan fokus dalam menuntut ilmu karena terjebak dalam ketakutan
dan ketidakpastian di masa depan, dengan demikian mereka cenderung menjadi
pribadi yang tidak berorientasi pada peningkatan kualitas pendidikan. Untuk itu,
solusi yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kemampuan resiliensinya.
Berdasarkan uraian di atas maka terdapat urgensi bahwasannya mahasiswa
yang melakukan PJJ sangat rentan mengalami stress sehingga dibutuhkan suatu solusi
untuk memperbaiki keadaan psikologis mereka agar pembelajaran daring tidak
semata-mata menurunkan kualitas pendidikan, salah satunya adalah dengan
dimunculkannya dukungan sosial. Namun, apakah Academic Social Support memiliki
pengaruh positif terhadap resiliensi mahasiswa dalam skema PJJ? Maka dari itu,
peneliti ingin mengadakan penelitian yang berjudul: “Pengaruh Academic Social
Support terhadap Resiliensi dalam Skema Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) pada
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro”.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan teoritis mengenai resiliensi?
2. Bagaimana penjelasan teoritis mengenai academic social support?
3. Apa peran academic social support pada resiliensi dalam skema Pembelajaran
Jarak Jauh (PJJ) pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro?

C. Tujuan Penelitian
1. Memahami penjelasan teoritis mengenai resiliensi
2. Memahami penjelasan teoritis mengenai academic social support
3. Mengetahui peran academic social support pada resiliensi dalam skema
Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas
Diponegoro

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan
serta menambah referensi kepustakaan bagi perkembangan ilmu psikologi.
b. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat secara teoritis berupa
pembuktian pengaruh academic social support pada resiliensi dalam skema
Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas
Diponegoro.
2. Manfaat praktis
a. Bagi dosen; penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan tentang
bagaimana cara mengembangkan sistem Pembelajaran Jarak Jauh khususnya
dalam meningkatkan resiliensi mahasiswa.
b. Bagi mahasiswa; penelitian ini diharapkan dapat menjadi solusi untuk
meningkatkan resiliensi mahasiswa melalui academic social support dalam
skema PJJ.
c. Bagi masyarakat; diharapkan dapat menambah wawasan dan kepekaan
mengenai academic social support untuk mendukung iklim Pembelajaran
Jarak Jauh yang suportif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Resiliensi
Secara umum, resiliensi didefinisikan sebagai tingkat kemampuan
seseorang dalam menghadapi situasi sulit. Resiliensi didefinisikan secara beragam
oleh beberapa peneliti maupun para ahli, adapun definisi-definisi yang dimaksud
antara lain:
1. Petranto (2005) menjelaskan bahwa resiliensi adalah tingkat daya tahan
seseorang dalam menghadapi situasi sulit. Secara singkat, definisi ini
menyiratkan bahwa setiap orang memiliki tingkat resiliensi yang berbeda-
beda.
2. Grotberg dalam Desmita (2006) menjelaskan bahwa resiliensi adalah
kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki seseorang, baik dalam
kelompok atau masyarakat dalam menghadapi dan mengatasi berbagai
dampak negatif dari kondisi yang tidak menyenangkan, atau bahkan
menyengsarakan. Definisi ini hampir sama dengan Petranto bahwa resiliensi
merupakan tingkat, kemampuan, daya tahan, kapasitas insani dalam
menghadapi situasi sulit dalam mencegah, menghadapi, dan mengatasi situasi
sulit tersebut.
3. Reivich & Shatte (2002) menjelaskan bahwa resiliensi adalah kemampuan
individu dalam mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian berat maupun
masalah yang terjadi dalam kehidupannya. Dapat disimpulkan bahwa definisi
resiliensi menurut beliau merupakan kemampuan individu dalam bertahan dan
beradaptasi dalam keadaan tertekan dan bahkan berhadapan dengan
kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya.
4. Connor dan Davidson (2003) menjelaskan bahwa resiliensi psikologis sebagai
kualitas personal seseorang yang menjadi modal kemampuan seseorang untuk
berkembang dalam menghadapi kesulitan dalam hidupnya. Kualitas personal
tersebut berupa kemampuan untuk mencegah, menghadapi, mengatasi, dan
beradaptasi pada seseorang dalam menjalani hidupnya ketika mengalami
kesulitan.
Berdasarkan penjelasan para peneliti ataupun ahli tersebut, dapat
disimpulkan bahwa resiliensi adalah tingkatan kemampuan/daya tahan yang
dimiliki setiap individu, baik dalam kelompok dan masyarakat, untuk bertahan
dan beradaptasi dalam menghadapi situasi sulit, seperti kesengsaraan dan
ketidakberuntungan yang memicu stress. Dari kemampuan bertahan pada individu
tersebut, maka hal itu akan memungkinkan individu untuk mencegah,
menghadapi,dan mengatasi situasi sulit tersebut sehingga individu tersebut dapat
berkembang dalam hidupnya saat mengalami situasi sulit.
Dalam penerapannya, terdapat berbagai macam aspek yang turut
berperan membentuk resiliensi, aspek-aspek tersebut menurut beberapa tokoh,
antara lain:
1. Menurut Connor dan Davidson (2003) resiliensi terkait dengan lima hal,yaitu:
(1) Kompetensi personal, merupakan standar tinggi dan keuletan pada
individu. Hal ini menunjukkan bahwa individu memiliki suatu kemampuan
dalam mencapai tujuannya walaupun situasi yang dihadapi ketika mencapai
tujuan tersebut sedang atau akan mengalami kemunduran maupun kegagalan.
(2) Kepercayaan terhadap diri sendiri, merupakan rasa percaya diri
individu terhadap dirinya sendiri dalam mentoleransi efek negatif dan kuat
menghadapi stress/kondisi tertekan. Dalam hal terjadi stress dan
mengatasinya, ini berkaitan dengan ketenangan dan coping terhadap stress,
berpikir dengan hati-hati dan fokus meskipun dalam keadaan menghadapi
masalah.
(3) Menerima perubahan secara positif dan dapat menjalin hubungan yang
aman dengan orang lain, merupakan kemampuan pada individu dalam
menerima perubahan yang terjadi dalam proses pencapaian tujuan dan
bagaimana cara menjalin hubungan/berinteraksi yang baik dengan orang lain
dalam meminta bantuan pada orang lain tersebut.
(4) Pengendalian diri, merupakan kemampuan individu beradaptasi
dengan perubahan yang dihadapinya. Semakin baik individu beradaptasi,
maka individu semakin mampu mengendalikan dirinya dalam situasi sulit
sehingga individu dapat berpikir tenang untuk mengambil langkah yang tepat.
(5) Pengaruh Spiritual, merupakan rasa yakin pada individu akan Tuhan
dan nasib. Dengan rasa yakin tersebut, individu akan memaknai hidupnya
dengan rasa syukur, optimis, namun tetap realistis.
2. Menurut Wagnild dan Young (1993) resiliensi memiliki lima aspek yang
meliputi:
(1) Meaningful life (purpose) merupakan kesadaran pada individu bahwa
dalam hidup setiap individu memerlukan sebuah usaha untuk mewujudkan
tujuannya sehingga individu harus memaknai hidupnya sehingga ia akan
mengetahui tujuan hidupnya.
(2) Perseverance merupakan kemampuan individu untuk bertahan dalam
menghadapi kondisi atau situasi sulit yang sedang dihadapi. Dengan
kemampuan ini, maka individu akan mampu untuk tetap berpikir tenang.
(3) Equanimity merupakan kemampuan individu yang berkaitan dalam
melihat sudut pandang positif dari kejadian/pengalaman yang pernah dialami
di hidupnya. Dengan kemampuan ini, Individu yang resilien akan bersikap
optimis dan tidak kehilangan harapan walaupun sedang berada dalam situasi
sulit.
(4) Self-reliance merupakan keyakinan individu terhadap dirinya terkait
kemampuan yang dimiliki dan batas pada dirinya. Dengan hal ini, individu
menyadari kemampuannya seperti apa dan sejauh mana kemampuannya
tersebut sehingga individu tersebut akan berusaha mengembangkan
kemampuannya.
(5) Coming home to yourself (existential aloness) merupakan kesadaran
individu bahwa mereka memiliki kehidupan yang unik sehingga mampu
bertindak dan menjalani hidup mandiri tanpa bergantung pada orang lain
dalam menghadapi apapun. Dengan kesadaran/pemahaman tersebut, maka
individu akan menjalani hidupnya dengan yakin dengan tidak terpengaruh
orang lain karena yang menjalani kehidupan tersebut adalah dirinya, sehingga
individu akan menyadari bahwa yang paling berpengaruh dalam kehidupannya
adalah dirinya sendiri.
Berdasarkan kedua aspek yang dikemukakan oleh beberapa tokoh di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek utama yang membentuk resiliensi
adalah :
1. Kompetensi personal: Merupakan standar dan tujuan tinggi serta keuletan
pada individu. Hal ini yang berkaitan dengan Meaningful Life bahwa dalam
hidup harus menetapkan tujuan serta usaha yang dijalankan untuk mencapai
tujuan tersebut agar individu dapat memaknai kehidupannya.
2. Kepercayaan terhadap diri sendiri: Merupakan individu yang memiliki rasa
percaya terhadap dirinya sendiri bahwa dirinya mampu bertahan dalam situasi
sulit, kuat menghadapi stress, serta mampu berpikir tenang dalam situasi
tersebut. Sikap bertahan dalam situasi ini disebut juga Perseverance.
3. Menerima perubahan secara positif dan dapat menjalin hubungan yang aman
dengan orang lain: Hal ini berfokus pada bagaimana individu dapat
menghadapi perubahan yang terjadi serta berinteraksi dengan orang lain untuk
meminta bantuan yang akan mempengaruhi keadaannya untuk menghadapi
perubahan tersebut dalam mencapai tujuannya. Dengan adanya permasalahan
yang terjadi tersebut, maka individu akan mampu memaknai pengalaman yang
dilalui secara baik dan dilihat dari sisi positifnya sehingga individu akan
berkembang menjadi lebih optimis. Pemaknaan tersebut berkaitan dengan
aspek Equanimity. Dalam berinteraksi dengan orang lain, individu juga harus
mampu memahami situasi dan perspektif dari orang lain dengan baik dan
tenang.
4. Pengendalian diri: Hal ini berfokus pada kemampuan beradaptasi pada
individu dengan perubahan yang dihadapi. Setelah tujuan individu tersebut
tercapai, maka individu telah berhasil meraih aspek positif serta memiliki
makna dan tujuan dari kehidupannya.
5. Pengaruh spiritual: Dengan adanya rasa yakin pada individu akan Tuhan dan
nasib pada dirinya, individu akan memaknai hidupnya dengan rasa syukur,
optimis, namun tetap realistis. Individu menjadi yakin bahwa dirinya memiliki
kehidupan yang unik, berbeda dengan orang lain karena jalan hidup setiap
orang berbeda-beda sehingga individu mampu hidup mandiri tanpa bergantung
pada orang lain dalam menjalani dan memaknai hidupnya dengan bersyukur
karena menyadari bahwa semua hal yang terjadi telah ditetapkan oleh Tuhan.
Kesadaran tersebut diistilahkan sebagai Coming home to yourself (existential
aloness). Selain itu, individu juga harus yakin terhadap dirinya terkait
kemampuan yang dimiliki dan batas pada dirinya. Dengan hal ini, individu
menyadari kemampuannya seperti apa dan sejauh mana kemampuannya
tersebut sehingga individu tersebut akan berusaha mengembangkan
kemampuannya. Kesadaran terhadap diri sendiri ini disebut juga dengan self
reliance.
Dalam membangun resiliensi, terdapat beberapa faktor yang
membentuk dan mempengaruhi resiliensi tersebut menurut para peneliti maupun
para ahli. Adapun faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Menurut Grotberg (1999), resiliensi terdiri dari 5 faktor yang berkaitan dengan
teori psikososial Erikson yang berupa tahap perkembangan. Grotberg
menyatakan bahwa kelima faktor tersebut dalam tahap perkembangan individu
sejak lahir hingga akhir usia remaja merupakan masa-masa membangun
fondasi yang penting untuk menumbuhkan resiliensi dalam diri individu.
Faktor-faktor tersebut terdiri dari,
(1) Trust (Kepercayaan): Faktor ini menggambarkan bagaimana individu
mempercayai lingkungannya yang mampu memahami kebutuhan, perasaan,
serta berbagai hal dalam hidupnya. Dengan hal tersebut, individu akan
memiliki kepercayaan bahwa lingkungan sosialnya memberikan dukungan dan
kasih sayang sehingga dalam diri individu tersebut tumbuh persepsi bahwa ia
adalah pribadi yang dicintai. Individu tersebut juga akan percaya diri dalam
melakukan berbagai hal positif yang sesuai dengan kemampuannya.
(2) Autonomy (Otonomi): Faktor ini menyatakan bagaimana seorang
individu menyadari bahwa dirinya merupakan pribadi yang berbeda dan
terpisah dari orang lain meskipun saling terhubung dan berinteraksi di
lingkungan sosialnya karena setiap individu memiliki masing-masing peran.
Dengan memahami konsep otonom tersebut, individu dapat mempelajari benar
dan salah serta adanya konsekuensi di setiap tindakan yang dilakukan
sehingga individu tersebut memahami batasan-batasan perilaku,
menumbuhkan otonomi di dalam dirinya serta berempati kepada orang lain
dengan mengelola berbagai perasaan dan impuls.
(3) Initiative (Inisiatif): Faktor ini menggambarkan kemampuan dan
kesediaan individu dalam melakukan sesuatu. Dengan adanya kemampuan dan
kesediaan individu dalam melakukan sesuatu/berinisiatif, maka individu akan
memiliki kesadaran sebagai pribadi yang optimis, percaya diri, dan
bertanggung jawab karena ia memiliki kesadaran atas perilakunya, menerima
dorongan dari lingkungan, serta mendapatkan kepercayaan dari hubungan
yang dijalani sehingga individu akan mampu mengungkapkan pikiran,
memecahkan masalah, mengelola perilaku dan perasaan, serta mencari
bantuan yang dibutuhkan sebagai wujud dari kemampuan inisiatif.
(4) Industry (industri): Faktor ini menggambarkan pengembangan
keterampilan individu dalam menjalani berbagai aktivitas. Dengan
pengembangan keterampilan ini, individu membutuhkan role model yang baik
serta memiliki sumber dorongan untuk menjadi pribadi yang mandiri sehingga
individu akan mampu merencanakan masa depan dan bertanggung jawab atas
tindakan yang dilakukan serta meningkatkan kemampuannya dalam mencari
bantuan dan solusi dalam memecahkan permasalahan.
(5) Identity (identitas): Faktor ini merupakan sebuah fondasi bagi individu
dalam memahami kondisi dirinya sendiri baik secara fisik maupun psikologis.
Dengan hal ini, individu akan mampu mengendalikan dan menerima keadaan
dirinya, lingkungan, serta orang lain di sekitarnya jika lingkungan sosial pada
individu tersebut memberi dukungan dan kasih sayang yang baik.
2. Menurut Reivich dan Shatte, mereka mengungkapkan bahwa terdapat 7 faktor
yang menjadi komponen/domain utama dari resiliensi. Ketujuh faktor tersebut
terdiri dari,
(1) Emotion Regulation (regulasi emosi), merupakan kemampuan individu
dalam mempertahankan ketenangan pada dirinya dalam kondisi yang
menekan/ sedang berada di bawah tekanan. Jika emosi pada individu sulit
diatur dan dikendalikan, maka individu tersebut akan sulit dalam berinteraksi
dengan orang lain. Reivich dan Shatte mengonsepkan regulasi emosi dalam 2
bentuk, yaitu calming (relaksasi badan dan pikiran) dan focusing
(memfokuskan pikiran terhadap pemecahan masalah).
(2) Impulse Control (pengendalian impuls), merupakan kemampuan
individu untuk mengendalikan berbagai dorongan, keinginan, tekanan, dan
kesukaan yang muncul dari dalam dirinya. Jika individu memiliki impuls yang
rendah, maka individu tersebut akan mudah tersulut emosi dan bertindak
agresif. Jika individu memiliki impulsivitas yang baik, maka individu tersebut
akan mampu bersikap tenang dan berpikir secara rasional.
(3) Optimism (Optimisme), merupakan rasa percaya pada individu untuk
menghadapi kemungkinan buruk yang terjadi di masa mendatang karena ia
yakin dapat mengendalikan dan mengatasi situasi sulit di dalam hidupnya.
Optimisme akan menjadi hal yang bermanfaat bila diiringi dengan efikasi diri.
Optimisme yang dimaksud dalam konsep ini merupakan optimisme yang
realistis, yaitu tidak hanya percaya akan masa depan akan menjadi lebih baik,
tetapi tetap mengerahkan segala usaha untuk mewujudkan hal tersebut.
(4) Causal Analysis (Analisis Kausal), merupakan kemampuan individu
dalam mengidentifikasi penyebab dari permasalahan secara akurat. Individu
akan berfokus dan memegang kendali dalam pemecahan masalah dan
mengerahkan energinya untuk bangkit dan meraih kesuksesan. Dalam hal ini,
individu yang resilien adalah individu yang memiliki fleksibilitas kognitif
dengan gaya berpikir eksplanatorik.
(5) Empathy (Empati), merupakan kemampuan individu untuk memahami
tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain. Individu dengan
empati yang tinggi cenderung memiliki hubungan sosial yang positif.
Sebaliknya, individu dengan empati yang rendah cenderung menyamaratakan
semua keinginan dan emosi orang lain sehingga berpotensi kesulitan dalam
hubungan sosial.
(6) Self Efficacy (Efikasi Diri), merupakan salah satu faktor kognitif yang
menentukan sikap dan perilaku seseorang dalam menghadapi permasalahan.
Hal ini merupakan suatu keyakinan pada individu bahwa dirinya mampu
memecahkan masalah dan meraih kesuksesan. Dengan keyakinan dan
kemampuan tersebut, individu tidak akan mudah menyerah dalam menghadapi
berbagai masalah dan kesulitan.
(7) Reaching Out, merupakan kemampuan individu untuk mengatasi
kemalangan, bangkit dari keterpurukan, dan meraih aspek positif dari
kehidupan setelah kemalangan yang menimpa. Namun, banyak individu yang
tidak mampu melakukan hal ini karena adanya rasa takut menghadapi
kegagalan dan situasi yang memalukan daripada berlatih menghadapinya
untuk mengambil risiko sehingga individu tersebut jauh dari kata resilien.
Melalui kedua faktor tersebut di atas yang telah dikemukakan oleh
beberapa tokoh, dapat disimpulkan bahwa faktor yang membentuk dan
mempengaruhi resiliensi adalah kelima faktor yang berkaitan dengan teori
psikososial Erikson berupa tahap perkembangan yang dikemukakan oleh Grotberg
berupa kepercayaan, otonomi, inisiatif, industri dan identitas. Bahwa kelima
faktor tersebut dalam tahap perkembangan individu sejak lahir hingga akhir usia
remaja merupakan masa-masa membangun fondasi yang penting untuk
menumbuhkan resiliensi dalam diri individu. Dengan terbentuknya kelima faktor
tersebut secara baik, proses perkembangan juga harus diiringi dengan ketujuh
komponen/domain utama dari resiliensi menurut Reivich dan Shatte berupa
regulasi emosi, impuls kontrol, optimisme, kausal analisis, empati, efikasi diri,
dan reaching out untuk memiliki resiliensi yang maksimal.
B. Academic Social Support
Academic social support didefinisikan secara beragam oleh beberapa
peneliti, adapun definisi-definisi yang dimaksud antara lain:
1. Academic social support menurut Song (2015) didefinisikan sebagai
keyakinan individu bahwa terdapat orang-orang di sekelilingnya yang
memiliki peran signifikan dalam menghargai, mendorong keberlangsungan
pembelajaran, serta kemajuan siswa dengan memberikan teladan, bantuan,
bimbingan, serta informasi ketika dibutuhkan. Adanya dukungan sosial dan
rasa kepemilikan diyakini mengarah pada penerapan tujuan dan sasaran yang
dihargai secara sosial (Ford, 1992).
2. Savitz-Romer (2009) menyatakan bahwa academic social support pada
umumnya mengacu pada adanya strategi formal dan informal yang diciptakan
pihak-pihak pendidikan terkait guna membangun, memperkuat, dan
mempromosikan penguasaan materi pelajaran dan pengembangan
keterampilan siswa melalui kegiatan, struktur, kebijakan, dan harapan yang
disengaja.
3. Academic social support menurut Murray et al (2014) mengacu pada siswa
yang senantiasa menggunakan layanan dukungan tambahan yang ditawarkan
oleh sekolah seperti yang disediakan oleh konselor bimbingan karir, pekerja
sosial, psikolog sekolah, atau rencana pendidikan individual. Dengan
demikian, dukungan akademis berbeda dari dukungan rumah dan komunitas
dalam hal ini mengacu pada layanan dukungan yang biasanya mulai berlaku
ketika siswa sudah mengalami tantangan akademis.
4. Academic social support menurut Broman (dikutip dalam Taylor, 2006) ialah
dukungan yang secara efektif dapat mengurangi kesulitan individu yang
sedang berada dalam situasi menekankan. Academic social support pada
mahasiswa dapat membantu mengatasi berbagai tekanan yang dihadapi di
kehidupan perkuliahan.
Berdasarkan penjelasan dari beberapa peneliti di atas, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa academical social support adalah terdapatnya peran
yang signifikan oleh pihak lain untuk membantu perkembangan dan kemajuan
siswa dalam pembelajaran, yang pada hal ini peran pihak terkait dapat terjadi
dalam bentuk pemberian bimbingan, teladan, maupun layanan dukungan yang
diberikan oleh lembaga pendidikan, sehingga proses berlangsungnya
pembelajaran dapat dilaksanakan dengan efektif dan maksimal serta dapat
membantu siswa mengatasi kesulitan yang dihadapi sekaligus menerima informasi
yang telah diberikan. Berdasarkan pengertian tersebut, academic support memiliki
kontribusi yang linear dalam meningkatkan minat belajar, kinerja, bahkan hingga
prestasi siswa.
Dalam penerapannya, terdapat berbagai macam aspek yang turut
berperan menciptakan academic social support, aspek-aspek tersebut menurut
beberapa tokoh, antara lain,
1. Menurut Song et al. (2015), academic social support dapat dikategorikan
menjadi empat aspek, yaitu:
(1) Emosional (menawarkan empati, kepercayaan, dan kasih sayang
individu),
(2) Informatif (memberikan informasi untuk membantu menyelesaikan
masalah atau mencapai tujuan),
(3) Instrumental (yang menyediakan sumber daya atau layanan material
atau sementara),
(4) Dukungan penilaian (yang menyediakan komunikasi atau informasi
relevan bagi individu untuk penilaian dirinya sendiri).
2. Menurut Taylor (2006) aspek academic social support yaitu,
(1) Dukungan emosional (dapat berupa perhatian secara emosional seperti
kehangatan, kepedulian, dan empati yang diberikan oleh orang lain),
(2) Dukungan bantuan instrumental (berupa dukungan materi seperti
penyediaan layanan maupun barang dan finansial, utamanya ketika
menghadapi masa sulit),
(3) Dukungan informasi (dapat berupa saran-saran, nasehat, petunjuk yang
diperoleh dari orang lain, sehingga individu dapat membatasi masalahnya dan
mencoba mencari jalan keluar untuk memecahkan masalahnya),
(4) Dukungan untuk evaluasi diri (berupa pemberian informasi yang
relevan untuk membantu individu menilai dirinya, apakah perbuatan yang
dilakukannya sudah benar ).
Berdasarkan penjabaran aspek-aspek oleh kedua peneliti tersebut maka
dapat diambil kesimpulan bahwa aspek-aspek utama yang menyusun academic
social support dapat berupa dukungan baik secara emosional (pemberian empati,
perhatian, serta kepedulian), informatif (pemberian informasi, petunjuk untuk
menyelesaikan masalah), instrumental (pemberian layanan, materi, maupun
finansial), serta penilaian (pemberian informasi agar individu dapat menilai
dirinya sendiri).

C. Pengaruh Academic Social Support terhadap Resiliensi Mahasiswa


Berdasarkan artikel APA (American Psychological Association) yang
berjudul “Building your resilience”, salah satu cara individu agar dapat
membangun resiliensi diri adalah dengan menjalin hubungan. APA menjelaskan
lebih lanjut mengenai hubungan tersebut, yakni:
1. Hubungan prioritas: Melalui hubungan dengan orang-orang yang berempati
serta dapat mengerti satu sama lain, individu akan merasa bahwa ia tidak
sendiri ketika berada di masa sulit.
2. Hubungan dalam kelompok: Suatu kelompok/organisasi akan dapat
menawarkan dukungan sosial ataupun rasa suka cita kepada individu.
Lebih lanjut mengenai hal tersebut di atas, didapatkan pula faktor-
faktor pelindung resiliensi individu yang dikemukakan oleh Davis (1999), yakni:
1. Faktor individual. Merupakan faktor penghambat, peminimalisir, dan
penetralisir keadaan negatif yang berasal dari diri sendiri. Contohnya seperti
kepercayaan diri, self-efficacy, dan bakat.
2. Faktor keluarga. Merupakan faktor pelindung yang berasal dari kedekatan
hubungan dengan anggota keluarga. Contohnya seperti perhatian orang tua,
hubungan harmonis dengan saudara, dan keadaan sosio-ekonomi yang cukup.
3. Faktor lingkungan. Merupakan faktor yang berada di sekitar faktor pelindung
yang berasal dari orang-orang di sekitar. Contohnya seperti aktif dalam
organisasi kemasyarakatan.
Terdapat pula pandangan yang dikemukakan oleh Perez, W., dkk
(2009) yang menyatakan bahwa murid-murid yang berhasil dalam akademisnya
(academic) tampak memiliki hubungan sosial yang mendukung seperti keluarga,
teman, tetangga, dan guru yang dapat mereka andalkan dalam memberi saran serta
nasihat di situasi sulit dan tertekan.
Berdasarkan hubungan yang telah dipaparkan di atas maka kesimpulan
yang dapat diambil adalah dukungan sosial memiliki urgensi dalam membangun
serta memperkuat resiliensi individu. Dengan demikian apabila dikembalikan
pada fokus penelitian maka akan dapat diambil kesimpulannya adalah bahwa
dukungan sosial yang terfokus pada ranah akademik (Academic Social Support)
juga berpengaruh signifikan terhadap resiliensi mahasiswa.

D. Hipotesis
Melalui pemaparan tersebut dapat diambil dugaan awal mengenai hasil
penelitian yang akan dilakukan. Hipotesis dalam penelitian ini yaitu terdapat
hubungan positif yang signifikan antara Academic Social Support dengan
resiliensi mahasiswa. Semakin tinggi Academic Social Support maka semakin
tinggi pula resiliensi yang dimiliki mahasiswa. Sebaliknya, semakin rendah
Academic Social Support yang didapatkan mahasiswa, maka akan semakin rendah
pula resiliensi yang dimilikinya.

DAFTAR PUSTAKA
American Psychological Association. (2012). Building your resilience.
https://www.apa.org/topics/resilience.

Arnett, J. J. (2000). Emerging adulthood: a theory of development from the late teens
through twenties. American Psychological Association, 55 (5), 469-480.

Arnett, J. J., Žukauskienė, R., & Sugimura, K. (2014). The new life stage of emerging
adulthood at ages 18–29 years: Implications for mental health. The Lancet
Psychiatry, 1(7), 569-576.

Azzahra. Fatimah. 2017. “Pengaruh Resiliensi terhadap Distress Psikologis pada


Mahasiswa”. Jurnal Psikologika Vol. 5 No. 1 Hal. 80-96.

Bellatrix Dwi Rahmawati, Ratih Arruum Listiyandini, Rina Rahmatika. 2019.


“Resiliensi Psikologis dan Pengaruhnya terhadap Kualitas Hidup terkait
Kesehatan pada Remaja di Panti Asuhan”. Jurnal Magister Psikologi UMA.
Vol. 11 No. 1. (hal. 21-30)

Blanco, C., Okuda, M., Wright, C., Hasin, D. S., Grant, B. F., Liu, S. M., & Olfson, M.
(2008). Mental health of college students and their non–college-attending peers:
Results from the national epidemiologic study on alcohol and related conditions.
Archives of general psychiatry, 65(12), 1429-1437.

Cao, W., Fang, Z., Hou, G., Han, M., Xu, X., Dong, J., & Zheng, J. (2020). The
psychological impact of the

Davis, N.J. (1999). Resilience: Status of research and research-based programs.


Working paper, Center for Mental Health Services, Substance Abuse and
Mental Health Services Administration, U.S. Department of Health and Human
Services; Rockville

Ford, M. E. (1992). Motivating humans: Goals, emotions, and personal agency beliefs.
Sage Publications, Inc. https://doi.org/10.4135/9781483325361

Gottlieb, B.H. (1983). Social Support Strategie: Guidelines for Mental Health Practice.
London: Sage Publication.

Grubic, N., Badovinac, S., & Johri, A. M. (2020). Student mental health in the midst of
the COVID-19 pandemic: A call for further research and immediate solutions.
International Journal of Social Psychiatry, 0020764020925108.

Hartaji, D. A. (2012). Motivasi berprestasi pada mahasiswa yang berkuliah dengan


jurusan pilihan orangtua. Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.
Hendriani, Wiwin. (2018). Resiliensi Psikologis ; Sebuah Pengantar. Jakarta:
Prenadamedia Group.

Kessler, R. C., Angermeyer, M., Anthony, J. C., Graaf, R. D., Demyttenaere, K.,
Gasquet, I., … Üstün, T. B. (2007). Lifetime prevalence and age-of-onset
distributions of mental disorders in the World Health Organization’s World
Mental Health Survey Initiative. World Psychiatry, 6, 168–176.

Lam, B. (2019). Social support, well-being, and teacher development. London:


Springer

Maslihah, Sri. (2011). Studi tentang Hubungan Dukungan Sosial, Penyesuaian Sosial di
Lingkungan Sekolah dan Prestasi Akademik Siswa SMPIT Assyfa Boarding
School Subang Jawa Barat. Jurnal Psikologi Undip, 10(2), 103-114.

Perez, W., Espinoza, R., Ramos, K., Coronado, H. M., & Cortes, R. (2009). Academic
Resilience Among Undocumented Latino Students. Hispanic Journal of
Behavioral Sciences, 31(2), 149–181. doi:10.1177/0739986309333020

PH, Livana, dkk. (2020). “Tugas Pembelajaran” Penyebab Stres Mahasiswa Selama
Pandemi Covid-19. Jurnal Ilmu Keperawatan, 3(2), 203-208.

Pihasniwati, Ratih Ambarwati. 2017. “Dinamika Resiliensi Remaja yang Pernah


Mengalami Kekerasan Orang Tua”. Jurnal Psikologika Vol. 22 No. 1. (hal. 50-
68)

Robayo-Tamayo, Mauricio & Blanco-Donoso, Luis & Román, Francisco J. &


Carmona-Cobo, Isabel & Moreno-Jimenez, Bernardo & Garrosa, Eva. (2020).
Academic engagement: A diary study on the mediating role of academic
support. Learning and Individual Differences, 80, 101887.
https://doi.org/10.1016/j.lindif.2020.101887.

Salma., Rahmandani, A., & Kahija, Y. F. L. (2017). Psychological distress among


university student: An exploratory study. Advanced Science Letters, 23(4),
3471-3473.

Savitz-Romer, M., Jager-Hyman, J., and Coles, A. (2009). Removing Roadblocks to


Rigor: Linking Academic and Social Supports to Ensure College Readiness and
Success. Washington, DC: Institute for Higher Education Policy.

Siswoyo., dkk. (2007). Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.

Song, J., Bong, M., Lee, K., & Kim, S.-i. (2015). Longitudinal investigation into the
role of perceived social support in adolescents’ academic motivation and
achievement. Journal of Educational Psychology, 107(3), 821–841.
https://doi.org/10.1037/edu0000016
Sosio Sari, Jannati. 2018. “Hubungan Antara Pemaafan dan Resiliensi pada
Perempuan yang Mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga”. Skripsi
Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya. Universitas Islam Indonesia.
Yogyakarta.

Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O. (2005). Social psychology. Upper Saddle
River: Pearson Education.

Tria Septiani, Nurindah Fitria. 2016. “Hubungan Antara Resiliensi dengan Stress pada
Mahasiswa Sekolah Tinggi Kedinasan”. Jurnal Penelitian Psikologi Vol. 7 No.
2. (hal. 59-76)

Wardiyah, Aryanti dkk. (2014). Faktor yang Mempengaruhi Optimisme Kesembuhan


Pada Pasien Kanker Payudara. Jurnal Keperawatan, 5(2), 121-127.

YoungMinds . (2020). Coronavirus: Impact on young people with mental health needs.
https://youngminds.org.uk/media/3708/coronavirus-report_march2020.pdf

Zhai, Y., & Du, X. (2020). Mental health care for international Chinese students
affected by the COVID-19 outbreak. The Lancet Psychiatry, 7(4), e22.

Anda mungkin juga menyukai