Disusun Oleh :
Dosen Pengampu :
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Psikologi Pendidikan
dengan judul “Motivasi Hubungan dan Konteks Sosiokultural, Teori Atribusi” ini dengan lancar.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini, masih terdapat banyak kesalahan
dan kekurangan. Maka dari itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang
sifatnya membangun demi kesempurnaan dan kebaikan makalah ini.
Kelompok 10
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam dunia pendidikan, untuk mencapai pendidikan yang tinggi tidak dapat
dipisahkan dari prestasi yang unggul. Siswa yang memiliki keunggulan dalam prestasi
dapat dengan mudah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Menurut
Nasution S [ CITATION Ham11 \l 1033 ] prestasi belajar adalah kesempurnaan yang dicapai
dalam berfikir, merasa, dan berbuat, dan dapat dikatakan sempurna apabila memenuhi
tiga aspek diantaranya adalah kognitif, afektif, dan psikomotor. Berbeda dengan
Nasution, Winkel dalam mendefinisikan prestasi belajar sebagai suatu bukti keberhasilan
belajar atau kemampuan seseorang siswa dalam melakukan kegiatan belajar mengajar
sesuai bobot yang dicapainya [ CITATION Ham11 \l 1033 ] . Berdasar pengertian dari kedua
tokoh, maka dapat dijelaskan bahwa prestasi belajar merupakan tingkat keberhasilan
aspek kognitif, afektif, dan psikomotor seorang siswa dalam proses kegiatan belajar
mengajar. Untuk mendapatkan prestasi belajar yang memuaskan, seorang siswa
setidaknya memiliki sebuah motivasi untuk belajar. Motivasi belajar sendiri diartikan
sebagai kecenderungan siswa dalam melakukan kegiatan belajar mengajar yang didorong
oleh hasrat untuk mencapai prestasi belajar sebaik mungkin.
Dalam mencapai prestasi, siswa tentunya akan dibantu oleh lingkungan keluarga dan
sosialnya. Dalam lingkungan keluarga, orang tua pasti akan memberikan fasilitas yang
terbaik untuk mendukung proses belajar anaknya. Namun, tidak semua orang tua mampu
memberikan fasilitas belajar yang baik untuk anaknya dikarenakan dikarenakan beberapa
hal seperti faktor ekonomi yang rendah. Sedangkan dari faktor lingkungan sosial, yang
termasuk didalamnya adalah lingkungan masyarakat sekitar tempat tinggal siswa baik
teman maupun rekan sebaya. Selain itu, guru juga berpengaruh terhadap tingkat
keberhasilan seorang siswa didalam kelas.
Namun pada kenyataannya, masih banyak siswa yang memiliki prestasi yang
kurang memuaskan serta minat yang kurang dalam pendidikan. Hal ini tentunya
1
dipengaruhi oleh beberapa hal. Dari permasalahan tersebut, kami ingin membahas lebih
lanjut mengenai motif sosial, hubungan sosial, konteks sosiokultular, dan teori atribusi
dalam pengaruhnya terhadap motivasi dan prestasi siswa.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian motif sosial?
2. Bagaimana keterkaitan antara hubungan sosial dengan prestasi dan motivasi siswa?
3. Apasaja yang mempengaruhi prestasi dan motivasi siswa dalam konteks
sosiokultural?
4. Apa pengertian Teori Atribusi?
C. Tujuan
Makalah ini bertujuan agar kita dapat mengetahui seluk beluk mengenai topik
yang dibahas yaitu motif sosial, hubungan sosial, konteks sosiokultural, serta teori
atribusi dalam ranah psikologi pendidikan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Motif Sosial
Lindgren (1973) beranggapan bahwa motif sosial adalah motif yang dipelajari
dan lingkungan individu memegang peranan yang penting dalam motif tersebut. Motif
sosial adalah keinginan yang dipelajari melalui pengalaman dengan dunia sosial. Motif
timbul karena adanya kebutuhan (need). Kebutuhan dapat dikatakan sebagai kekurangan
yang dimiliki seseorang sehingga menimbulkan adanya tuntutan untuk memenuhi
kebutuhan tersebut untuk segera mendapatkan keseimbangan.
McClelland (1987) menyebutkan macam motif sosial antara lain: motif
berprestasi (achievement motive), motif berafiliasi (affiliation motive) dan motifberkuasa
(power motive).
a. Motif berprestasi
Motif berprestasi adalah motif yang mendorong individu mencapai sukses dan dapat
berhasil dalam kompetisi dengan suatu ukuran keunggulan. Ukuran keunggulan dapat
berupa prestasi orang lain, prestasi diri sendiri dan dapat pula kesempurnaan tugas.
Menurut McClelland (1987) indlvidu dengan kebutuhan berprestasl tinggi menampilkan
perilaku antara lain: pertama, lebih menyukai tugas yang menantang dengan tingkat
kesulitan yang moderat. Kedua, meyukai adanya umpan balik terhadap sejauh mana
keberhasilan yang dicapai dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Ketiga, dinamis dan
memilikl mobilitas tinggi dalam melaksanakan pekerjaan. Keempat, cenderung
meningkatkan wawasan dalam bekerja sehingga akan terus mampu mengerjakan
pekerjaan yang menantang dan sutit. Ke
lima, dalam bekerja mengetahui apa yang harus dlkerjakan untuk mencapal has ii yang
telah ditetapkan. Motif berprestasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
lingkungan, norma kelompok, tujuan, harapan, kedisiplinan, pengalaman, potensi
dasardan dorongan sukses.
b. Motif Berafiliasi
3
Motif berafiliasi adalah motif yang mendorong, mengarahkan tingkah laku seseorang
untuk berinteraksi dengan orang Jain, yang mengandung unsur kepercayaan, afeksi dan
kebersamaan. Menurut McClelland (1987), motif berafiliasi merupakan kebutuhan akan
kehangatan dan dukungan dalam hubungannya dengan orang lain. Motif inilah yang
mendorong individu untuk berhubungan sosial, seperti bergaul, bekerjasama, dihargai,
diakui secara sosial dan masuk dalam kelompok. Orang yang memiliki motif berafiliasi
tinggi mempunyai ciri-ciri yaitu selalu ingin berhubungan dengan orang lain, konformis,
mempunyai kebutuhan bekerjasama, keinginan memberi maaf kepada orang lain, rasa
empati kepada orang lain dan memiliki keinginan untuk menyenangkan oran lain.
c. Motif Berkuasa
Motif berkuasa adalah motif yang mendorong individu untuk menguasai atau
mendominasi orang lain. Menurut McClelland (1987), motif berkuasa adalah hasrat
seseorang untuk mengendalikan atau mempengaruhi orang lain yang lebih rendah. Orang
yang memiliki motif berkuasa tinggi leblh menaruh perhatian pada prestise daripada
prestasi. Mereka cenderung mengontro1 dan mendominasf orang lain. Orang yang
memiliki motif berkuasa tinggi memiliki ciri-ciri, adanya kebutuhan untuk berkuasa,
keadaan afektif dalam menguasai atau mempengaruhi orang l a i n , memperhitungkan
rintangan yang ada, mengontrol orang lain, harapan akan tujuan berkuasa dan
mempunyai keinginan untuk prestlse.
4
Kepedulian sosial anak-anak memengaruhi kehidupan mereka di sekolah
(Anderman & Anderman, 2010). Siswa akan bekerja untuk membangun dan memelihara
hubungan sosial mereka ketika berada di sekolah. Para peneliti telah menemukan bahwa
siswa yang menampilkan perilaku sosial yang kompeten lebih mungkin untuk unggul
secara akademis daripada mereka yang tidak (Wentzel, 2008). Dalam hal ini, persetujuan
guru dan rekan merupakan motif sosial yang paling penting bagi sebagian besar siswa.
Pada tahun-tahun sekolah dasar, siswa termotivasi untuk menyenangkan orang tua
mereka dibandingkan dengan temannya (Berndt, 1979). Sedangkan pada akhir sekolah
dasar, persetujuan antara orang tua dan teman hampir sama dalam hal motif sosial. Pada
kelas 8 atau 9, komformitas dengan rekan sebaya melampaui komformitas dengan orang
tua. Sedangkan pada kelas 12, komformitas dengan rekan sebaya agak menurun karena
siswa menjadi lebih mandiri dan lebih kepada membuat keputusannya sendiri.
Masa remaja dapat menjadi titik yang sangat penting bagi siswa dalam hal
prestasi, motivasi diri, dan motivasi sosial (Anderman, 2011; Anderman & Mueller, 2010
Eccles & Roeser, 2010). Adanya tekanan akademik dan juga sosial yang baru bagi remaja
memaksa mereka untuk menghadapi peran baru yang melibatkan tanggung jawab yang
lebih banyak pula. Seiring dengan remaja yang mengalami tuntutan prestasi yang lebih
intens, minat sosial mereka mungkin akan teralihkan demi kebutuhan akademis mereka
yang membutuhkan lebih banyak waktu. Pada remaja awal, siswa dihadapkan pada
pilihan antara tujuan sosial atau tujuan akademiknya. Keputusan yang diambil tersebut
memiliki konsekuensi jangka panjang yang akan berpengaruh pada pendidikan dengan
karir yang ingin mereka capai.
B. Hubungan Sosial
Hubungan siswa dengan orang tua, rekan sebaya, teman-teman, dan guru sangat
memengaruhi prestasi dan motivasi sosial mereka. Penelitian dilakukan pada hubungan
antara orang tua dan motivasi belajar siswa, beberapa faktor yang diteliti antara lain :
1. Karakteristik demografi. Orang tua yang memiliki pendidikan memadai akan
lebih mampu terlibat aktif dalam proses belajar siswa, mereka akan mampu
memberi stimulasi secara intelektual pada siswa di rumah. Sebaliknya, prestasi
5
dan motivasi siswa akan lemah jika pendidikan orang tua rendah, orang tua sibuk,
dan juga tinggal bersama orang tua tunggal.
2. Praktik pengasuhan anak. Beberapa praktik pengasuhan anak yang mampu
meningkatkan motivasi dan prestasi siswa adalah pengetahuan yang cukup tentang
kondisi anak untuk memberikan jumlah tantangan dan dukungan yang tepat,
memberikan suasana emosional positif yang memotivasi anak untuk
menginternalisasi nilai-nilai dan tujuan orang tua, dan pemodelan perilaku bekerja
keras dan terus bertahan dengan upaya dalam tugas yang menantang.
3. Penyediaan pengalaman spesifik di rumah. Orang tua menyediakan berbagai
kegiatan di rumah yang dapat menumbuhkan minat dan motivasi siswa, seperti
menyediakan bacaan untuk menumbuhkan minat baca pada anak, khususnya usia
pra sekolah.
Selain orang tua, rekan sebaya dan guru juga turut mempengaruhi motivasi anak :
1. Rekan sebaya. Siswa yang lebih diterima oleh rekan sebaya dan memiliki
keterampilan sosial yang baik, memiliki motivasi prestasi akademik yang lebih
baik.
2. Guru. Melibatkan guru secara efektif mendorong siswa untuk memiliki
pencapaian prestasi yang teratur karena siswa terus dibimbing untuk berusaha
keras dan mengembangkan efikasi diri.
3. Guru dan orang tua. Guru dapat secara sistematis dan rutin memberi tahu orang
tua tentang perkembangan siswa dan orang tua terlibat dalam pembelajaran anak
mereka. hal ini juga turut membantu siswa dalam mencapai prestasi akademik
yang lebih tinggi.
C. Konteks Sosiokultural
1. Perbedaan Budaya dan Etnis
Banyak kelompok budaya dan etnis yang menghargai pendidikan yang baik
(P. J. Cook & Ludwig, 2008; Fuligni & hardway, 2004; Phalet, Andriessen, &
Lens, 2004; Spera, 2005). Para peneliti telah mengamati perbedaan spesifik
tentang pembelajaran di sekolah. Sebagai contoh, banyak dari budaya Asia seperti
Cina, Jepang, dan Rusia menekankan pelajaran demi pembelajaran: Dengan
6
pengetahuan datang pertumbuhan pribadi, pemahaman yang lebih baik tentang
dunia, dan potensi yang lebih besar untuk berkontribusi pada masyarakat. Dalam
budaya Asia, kerja keras dan ketekunan juga penting dalam studi akademis,
walaupun materi yang dipelajari tidak menyenangkan (Hufton et al., 2002; j. Li,
2006; Morelli & Rothbaum, 2007). Sedangkan di sisi lain, siswa yang berasal dari
Amerika atau Eropa cenderung kurang rajin ketika topik yang dibahas kurang
menarik, tetapi mereka sering menemukan nilai dalam topik yang menarik
perhatian mereka dan tugas yang membutuhkan kreativitas, pemikiran mandiri,
atau analisis kritik (Hess & Azuma, 1991; Kuhn & Park, 2005; Nisbett, 2009).
Latar belakang budaya dan etnis peserta didik juga memengaruhi atribusi
mereka. Seperti misal, siswa yang berasal dari keluarga dengan budaya tradisional
Asia cenderung lebih bisa menghubungkan keberhasilan dan kegagalan kelas
dengan faktor yang tidak stabil daripada siswa dengan latar budaya Barat (J.Li &
Fischer, 2004; Lillard, 1997; Weiner, 2004). Juga ditemukan dalam beberapa
penelitian jika siswa Afrika-Amerika memiliki tendensi yang lebih bagus untuk
mengembangkan kekurangan mereka untuk mencapai kesuksesan akademik. Hal
itu disebabkan oleh prasangka rasial dapat berkontribusi pada kelemahan yang
mereka pelajari: siswa mungkin mulai percaya jika karena warna kulit mereka,
mereka memiliki sedikit kesempatan untuk sukses tidak peduli dengan apa yang
telah mereka lakukan (G. H. Brody et al., 2006; Graham, 1989; van Laar, 2000).
2. Perbedaan Gender
Secara umum, anak perempuan lebih khawatir dengan prestasi di sekolah
daripada anak laki-laki, mereka akan berusaha lebih keras ketika mengerjakan
tugas, dan mendapatkan nilai yang lebih tinggi (Elmore & Oyserman, 2012; H. M.
Marks, 2000; Marsh, Martin & Cheng, 2008; McCall, 1994; J. P. Robinson &
Lubienski, 2011). Tetapi beberapa siswa merasakan bidang kekuasaan tertentu
seperti misal menulis atau musik lebih cenderung untuk anak perempuan
sedangkan bidang kekuasaan lain seperti matematika dan sains cenderung untuk
anak laki-laki. Hal tersebut memperkecil minat dan self-efficacy mereka sehingga
pilihan kerja mereka menjadi terbatas (Eccles, 2005; Jacobs et al., 2002; Leaper &
Friedman, 2007; Plante et al., 2013; Weisgram, Bigler, & Liben, 2010). Gambaran
7
tujuan jangka panjang para siswa pun menjadi: Anak perempuan lebih mungkin
dibandingkan anak laki-laki untuk mempertimbangkan bagaimana pilihan karir
mereka mungkin cocok dengan keinginan mereka untuk bekerja dengan orang-
orang (bukan objek) dan untuk mengurus keluarga (Diekman, Bron, Johnston, &
Clark, 2010; Eccles, 2009).
Perbedaan gender lain yang sering diamati adalah kecenderungan anak
perempuan (terlebih perempuan berdedikasi tinggi) untuk lebih berkecil hati
ketika mengalami kegagalan daripada anak laki-laki (Dweck, 1986, 2000).
Beberapa riset menjelaskan jika anak laki-laki cenderung menghubungkan
kesuksesan mereka dengan kemampuan yang cukup stabil dan kegagalan dengan
kurangnya usaha mereka, dan mempercayai jika mereka bisa melakukan itu.
Sebaliknya, anak perempuan cenderung menghubungkan kesuksesan mereka
dengan usaha dan kegagalannya dengan kurangnya kemampuan yang mereka
miliki, dan mempercayai jika mereka tidak tahu apakah mereka bisa terus
melanjutkannya karena mereka tidak menguasai hal tersebut. Perbedaan tersebut
paling sering diamati dalam domain stereotip laki-laki (misalnya, matematika,
olahraga) dan dapat muncul bahkan ketika anak laki-laki dan tingkat prestasi
perempuan sebelumnya dalam domain tersebut telah setara (Leaper & Friedman,
2007; McClure et al., 2011 ; Stipek, 1984; Vermeer, Boekaerts, & Seegers, 2000).
Dalam meningkatkan motivasi para siswa, pengajar mungkin ingin
memfokuskan usaha mereka ke arah yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Untuk anak laki-laki yang memiliki lebih sedikit kekhawatiran tentang prestasi di
sekolah, pengajar mungkin perlu menekankan pentingnya pencapaian akademis
untuk tujuan hidup jangka panjang mereka dan melakukan upaya khusus untuk
membangkitkan minat mereka dalam kegiatan kelas. Untuk anak perempuan,
pengajar mungkin perlu berusaha lebih keras untuk meyakinkan mereka bahwa
keberhasilan kelas mereka bukan hanya dari hasil usaha mereka tetapi juga dari
kemampuan alami mereka dan bahwa mereka memiliki ‘apa yang diperlukan’
untuk menjadi sukses menurut laki-laki.
3. Perbedaan Sosioekonomik
8
Banyak siswa yang berlatar belakang berpenghasilan rendah ingin berprestasi
(Payne, 2005; Shernoff, Schneider, & Csikszentmihalyi, 2001; BL Wilson &
Corbett, 2001). Hanya saja perilaku guru, praktik instruksional, dan hubungan
dengan siswa memiliki pengaruh yang signifikan pada apakah para siswa ini
memilih untuk mengejar kesuksesan akademik; ini terutama berlaku untuk siswa
yang berisiko tinggi untuk mengalami kegagalan akademis (L. W. Anderson &
Pellicer, 1998; Kumar et al., 2002; Maehr & Anderman, 1993; Murdock, 1999).
Murid yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah cenderung berkembang
di sekolah dengan guru yang memiliki ekspektasi tinggi dengan pencapaian
prestasi, melibatkan siswa dengan kegiatan dan pelajaran yang menarik,
menekankan tujuan pendekatan penguasaan atas tujuan kinerja, dan memuat siswa
untuk merasa dihargai sebagai anggota di dalam komunitas kelas (Hom &
Battistich, 1995; Juvonen, 2006; Osterman, 2000; Patrick, Ryan, & Kaplan, 2007).
Sama pentingnya bagi guru untuk menaikkan nilai yang dirasakan dari
kegiatan sekolah dengan membuatnya relevan dengan kehidupan dan kebutuhan
mereka (P. A. Alexander et al., 1994; Knapp, Turnbull, & Shields, 1990;
Wlodkowski & Ginsberg, 1995). Tidak jarang juga, para siswa di sekolah yang
berasal dari lingkungan berpenghasilan rendah menemui intruksi yang fokus
kepada keterampilan dasar dan hafalan, dan hal tersebut tidak dapat menarik
perhatian murid bahkan murid dengan motivasi tinggi sekalipun. Penting bagi
para pengajar untuk membantu para siswa memperoleh keterampilan dan strategi
yang akan mereka butuhkan untuk mencapai tujuan jangka panjang untuk edukasi
lebih tinggi dan karir yang bermanfaat. Selain itu, jika siswa memiliki sedikit
kontak langsung dengan kehidupan kampus atau profesi berpenghasilan tinggi,
pengajar harus mempromosikan pemahaman realistis tentang apa yang tercakup
dalam pencapaian perguruan tinggi dan kesuksesan profesional.
4. Mengakomodasi Siswa Berkebutuhan Khusus
Siswa dengan kebutuhan pendidikan yang khusus biasanya memunculkan
motivasi yang lebih bagus. Contoh, siswa dengan disabilitas intelektual cenderung
lebih mudah putus asa ketika mengerjakan tugas yang menantang; beberapa
mungkin akan menunjukkan tanda-tanda ketidakberdayaan jika upaya mereka
9
secara konsisten menemui kegagalan (Jacobsen, Lowery, & Ducette, 1986;
Mercer & Pullen, 2005; Seligman, 1975). Sebaliknya, siswa yang memiliki
kelebihan akan lebih cepat bosan atau terganggu jika aktivitas dalam kelas kurang
menantang kemampuan mereka (Bleske-Rechek, Lubinski, & Benbow, 2004;
Winner, 2000). Berikut merupakan table karakteristik motivasional murid dengan
kebutuhan khusus :
10
Kecenderungan untuk tugas kelas
menerjemahkan pujian Ketika murid merasa
sebagai kesempatan untuk khawatir dengan masalah
mengontrol (untuk murid yang control, gunakan penguatan
menunjukkan defiansi atau halus (co: meninggalkan
perilaku berlawanan) catatan memuji perilaku
Keinginan lebih kuat untuk produktif) daripada
menguasai teman sekelas menggunakan penguatan
daripada membangun yang lebih jelas dan terlihat
persahabatan (untuk murid seperti mengontrol.
dengan kelainan emosi dan Tawarkan beberapa
perilaku) pilihan aktivitas dan
Kecil atau tidak terlihatan penguatan untuk menaikkan
ketertarikan untuk berinteraksi rasa self-determination
sosial (untuk murid dengan Bantu siswa untuk
gangguan spektrum autism) menemukan manfaat dari
Persepsi tugas kelas yang interaksi yang
memiliki sedikit relevamsi menyenangkan dan prososial
dengan kebutuhan dan tujuan dengan teman sebaya.
pribadi Hubungkan kurikulum
Kecenderungan untuk dengan kebutuhan dan minat
menghubungan konsekuensi siswa
negative dengan faktor yang Ajarkan perilaku yang
tidak terkendali (kejadian mangarahkan pada
‘hanya terjadi’) konsekuensi yang
diinginkan.
11
faktor-faktor yang lebih dapat
dikendalikan
12
dengan prestasi kelas
Kecenderungan untuk
mengadopsi pandangan entitas
tentang kecerdasan; bisa
menyebabkan perasaan
ketidakberdayaan jika
dihadapkan dengan kegagalan
setelah serangkaian
kesuksesan awal (terutama
untuk perempuan)
D. Teori Atribusi
1. Pengertian Atribusi
Teori atribusi (attribution theory) dipelopori oleh Bernard Weiner dan Fritz
Heider. Teori ini membahas bagaimana individu menarik kesimpulan tentang
penyebab dari suatu perilaku, baik itu perilaku dirinya maupun perilaku seseorang
(termasuk organisasi). Atribusi adalah proses yang menggambarkan cara individu
menjelaskan, menginterpretasi, dan mengambil kesimpulan terhadap peristiwa-
peristiwa yang berhubungan dengan dirinya maupun peristiwa-peristiwa yang
berhubungan dengan orang lain. Ahli psikologi sosial Fritz Heider (Zanden, 1984)
mengemukakan bahwa atribusi menggambarkan pengaturan aliran informasi-
informasi yang berkesinambungan yang diperoleh dari dunia ke dalam suatu unit
yang bermakna. Menurut Baron & Byrne (1997), atribusi sosial adalah proses
yang kita lakukan untuk mencari penyebab dari perilaku orang lain sehingga
mendapatkan pengetahuan mengenai karakteristik stabil dari orang tersebut.
Secara spesifik, atribusi sosial adalah cara seseorang dalam melakukan proses
persepsi dan interpretasi terhadap sebab-sebab perilaku yang dilakukan oleh orang
lain.
Atribusi adalah penjelasan yang dibangun sendiri oleh peserta didik
tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, hal itu berupa keyakinan mereka
tentang apa yang menyebabkan sesuatu hal terjadi dalam kehidupan pribadi
13
mereka. Pelajar sering kali bersemangat untuk mengidentifikasi kemungkinan
penyebab hal-hal yang terjadi pada mereka, terutama saat kejadian tidak terduga,
misalnya kapan mereka mendapat nilai yang rendah pada tugas kelas setelah
berpikir mereka telah melakukan pekerjaan dengan baik (Stupnisky, Stewart,
Daniels, & Perry, 2011; Tollefson, 2000; Weiner, 1986, 2000).
14
2. Variasi Cara Beratribusi
Atribusi mereka bervariasi dalam tiga cara utama (Weiner, 1986, 2000, 2004,
2005):
1. Locus: Internal versus external.
15
karena ia sering tersenyum padanya atau ia merasa gagal ujian karena ia tidak
mempelajari hal yang benar, ia mengaitkan peristiwa ini dengan faktor yang
dapat dikontrol. Pada kesempatan lain, pelajar mengaitkan peristiwa dengan
faktor tak terkendali yakni dengan hal-hal yang tidak dapat dipengaruhi.
Misalnya, seseorang berpikir bahwa ia dipilih untuk memimpin drama sekolah
hanya karena ia terlihat "tepat" untuk peran tersebut atau seseorang buruk
dalam memainkan permainan bola basket karena ia sakit, ia mengaitkan
peristiwa ini dengan faktor yang tidak terkendali.
Ada strategi yang dapat digunakan guru untuk membantu siswa dalam
mengubah atribusi. Psikolog pendidikan sering merekomendasikan guru untuk
memberikan serangkaian rencana pengalaman prestasi kepada siswa teladan,
informasi tentang strategi, praktik, dan umpan balik yang dapat digunakan
untuk membantu mereka berkonsentrasi pada tugas yang mereka lakukan
daripada khawatir gagal, mengatasi kegagalan dengan menelusuri kembali
langkah mereka untuk menemukan kesalahan atau dengan menganalisis
masalah untuk menemukan pendekatan lain, kaitkan kegagalan mereka
dengan kurangnya upaya dan bukan karena kurangnya kemampuan
(Boekaerts, 2009; Brophy, 2004; Dweck & Elliot, 1983).
Strategi ini tidak bertujuan menunjukkan orang-orang teladan kepada
siswa dalam menangani tugas-tugas dengan mudah dan memamerkan
keberhasilan, namun untuk menunjukkan mereka orang-orang teladan yang
berjuang untuk mengatasi kesalahan sebelum akhirnya berhasil (Brophy,
2004). Dengan cara ini, siswa belajar bagaimana menangani frustasi, bertahan
dalam menghadapi kesulitan, dan konstruktif mengatasi kegagalan
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa motivasi dan prestasi
dipengaruhi oleh motif sosial, hubungan sosial, konteks sosiokultural, dan atribusi. Motif
sosial merupakan dasar dari individu untuk memulai hubungan sosial dengan lingkungan
di sekitarnya. Dengan adanya motif sosial, individu berusaha untuk memulai hubungan
dengan individu lain. Individu yang memiliki kompeten yang baik dalam hubungan sosial
lebih dimungkinkan utnuk memiliki prestasi yang baik pula. Namun, dalam meraih
prestasi masih terdapat beberapa hambatan jika dilihat dari konteks sosiokulturalnya.
Perbedaan stereotip antara laki-laki dan perempuan menyebabkan individu merasa
terbatasi dalam mencapai prestasi. Selain itu, individu dengan tingkat ekonomi rendah
juga perlu diperhatikan agar mereka tidak merasa rendah diri dan mampu untuk
mencapai prestasi. Kemudian, untuk menangani siswa dengan kebutuhan khusus dalam
pendidikan, bisa dilihat berdasarkan permasalahan siswa. Untuk mengurangi perasaan
gagal dalam diri siswa dapat dilakukan dengan memberikan atribusi yang bersifat
membangun kepada siswa, sehingga siswa dapat meningkatkan motivasi untuk unggul di
kelas.
B. Saran
Sebagai penutup dari makalah ini, kami menyarankan kepada para pembaca agar
jangan hanya terpaku pada makalah ini saja. Pembaca bisa mencari referensi lain dari
berbagai sumber seperti buku maupun jurnal-jurnal penelitian lainnya yang terkait.
17
DAFTAR PUSTAKA
Hamdu, G., & Agustina, L. (2011). Pengaruh Motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar
IPA di sekolah dasar. Jurnal penelitian pendidikan, 81-86.
Hanurawan, F. (2015). Psikologi Sosial: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Kriyantono, R. (2017). Teori-Teori Public Relations Perspektif Barat dan Lokal: Aplikasi
Penelitian dan Praktik. Jakarta: Kencana.
Mulyani, D. (2013). Hubungan kesiapan belajar siswa dengan prestasi belajar. Jurnal Ilmiah
Konseling,27-31.
Ormrod, J. E., Anderman, E. M., & Anderman, L. (2017). Educational Psychology (Vol. Ninth
Edition). England: Pearson Education Limited.
Coffer, C.N &Appley, M.H. 1964. Motivation: Theory and Research. New York: Willey and
Sons.
18