Anda di halaman 1dari 20

TEORI BELAJAR KONEKSIONISME

EDWARD LEE THORNDIKE

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Bapak Dr. Mohammad Asikin, M.Pd.
Dosen Mata Kuliah Pengembangan Pembelajaran Matematika SD

Oleh:
Kelompok 1
1. Nurul Iman N. 0103517075
2. Zaini Oktavia 0103517109
3. Hidar Amaruddin 0103517133

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017

1
KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim
Puji dan syukur ke hadirat Allah Swt. karena atas rahmat, taufik, dan
hidayah-Nya, tim penulis dapat menulis dan menyelesaikan makalah ini tepat
pada waktunya. Curahan sholawat serta salam kami tujukan Nabi besar
Muhammad SAW beserta keluarganya, para sahabatnya hingga sampai kepada
kita selaku umatnya. Amiin.
Makalah ini berjudul Teori Belajar Koginitif Edward Lee Thorndike. Dalam
makalah ini penulis mencoba menjelaskan tentang teori belajar kognitif secara
keseluruhan, teori belajar kognitif yang dihasilkan oleh Edward Lee Thorndike
dan penerapan teori Kognitif Thondike pada pembelajaran matematika sekolah
dasar.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini memiliki kekurangan.
Oleh sebab itu, besar harapan penulis agar semua pihak dapat memberikan kritik
dan saran yang membangun agar makalah ini menjadi lebih baik dan berguna di
masa yang akan datang.

Semarang, September 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan.................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................. 3
A. Biografi Singkat Edward Lee Thorndike ............................................. 3
B. Teori Belajar Koneksionisme Thorndike ............................................. 5
C. Hukum-hukum Teori Pembelajaran Thorndike ................................... 8
D. Penerapan Teori Belajar Koneksionisme Thorndike dalam
Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar ....................................... 11
BAB III PENUTUP ...................................................................................... 16
A. Simpulan .............................................................................................. 16
B. Saran .................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku manusia ke arah
yang lebih baik. Suatu pembelajaran sendiri dikatakan berhasil jika dapat
mengubah sikap dan pengetahuan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam pelaksanaannya, keberhasilan pembelajaran ditentukan beberapa faktor.
Model atau metode pembelajaran yang sesuai merupakan salah satu faktor yang
dapat menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan pembelajaran. Keberhasilan
pembelajaran sendiri akan memudahkan siswa untuk mencapai suatu tahap belajar
selanjutnya.
Dalam mencapai tujuan dalam pembelajaran khususnya dalam pembelajaran
matematika, seorang guru sebaiknya memiliki pola pembelajaran yang tepat yang
dapat menghasilkan lingkungan belajar tertentu sehingga berakibat terjadinya
perubahan tingkah laku siswa secara khusus. Melalui berbagai model
pembelajaran yang banyak dikembangkan di kelas, seorang guru dapat
mengembangkan strategi pembelajaran lewat perencanaan pembelajaran sebelum
guru tersebut melaksanakan pembelajaran matematika. Model pembelajaran yang
sesuai dapat membantu guru dalam penguasaan kemampuan dan keterampilan
yang berkaitan dengan upaya mengubah tingkah laku siswa sejalan dengan tujuan
yang telah ditetapkan. Hal ini berarti model pembelajaran diharapkan dapat
berperan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran khususnya pembelajaran
matematika, baik di kelas maupun di luar kelas.
Munculnya model pembelajaran matematika tidak terlepas dari teori belajar
yang telah dihasilkan oleh para ahli. Salah satu teori belajar yang dapat dijadikan
acuan dalam menciptakan model pembelajaran matematika yang sesuai adalah
teori belajar yang dihasilkan oleh Edward Lee Thorndike. Berdasarkan beberapa
penelitiannya yang mengacu kepada hasil penelitian lain mengenai perubahan
tingkah laku, Thorndike berhasil memunculkan beberapa teori salah satunya teori
belajar konekionisme atau lebih dikenal dengan teori belajar Thorndike yang

1
berguna dalam menciptakan suatu model pembelajaran matematika yang sesuai
dalam mencapai tujuan pembelajaran. Dalam makalah ini akan dijabarkan
mengenai teori belajar Thorndike serta penerapannya dalam pembelajaran
matematika agar guru dapat melakukan perencanaan pembelajaran yang sesuai,
melakukan tahapan proses pembelajaran yang sesuai kebutuhan siswa sehingga
mampu mengubah pengetahuan dan keterampilan siswa sesuai dengan tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana biografi dari Edward Lee Thorndike?
2. Bagaimana teori pembelajaran menurut Edward Lee Thorndike?
3. Bagaimana hukum-hukum teori belajar Thorndike?
4. Bagaimana penerapan teori pembelajaran Thorndike dalam pembelajaran
matematika sekolah dasar?

C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas maka dapat dibuat tujuan, yaitu sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui biografi singkat dari Edward Lee Thorndike
2. Untuk mengetahui teori pembelajaran menurut Edward Lee Thorndike.
3. Untuk mengetahui hukum-hukum teori belajar Thorndike.
4. Untuk mengetahui penerapan teori pembelajaran Thorndike dalam
pembelajaran matematika sekolah dasar.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Singkat Edward Lee Thorndike


Edward Lee Thorndike (1874-1949) adalah salah seorang penganut paham
psikologi tingkah laku. Thorndike memulai mempelajari ilmu pengetahuan sejak
muda dan terus berlanjut hingga usianya mencapai 75 tahun. Selama hidupnya,
Thorndike terhitung telah menghasilkan sekitar 500 karya dimana 50 diantaranya
merupakan buku. Karya yang ditulisnya berdasarkan data baru dan data yang
konkret, karena Thorndike memiliki karakter yang tidak suka diskusi abstrak yang
tidak tekait dengan fakta konkret.
Dalam sebuah biografi yang ditulis Robert (1952:209) menceritakan bahwa
Kakek-nenek serta orang tua Thorndike adalah penduduk asli dari negara bagian
Maine. Ayahnya bernama Edward Roberts Thorndike adalah seseorang yang
cakap, kuat, dan selalu berfikir aktif dan rendah hati. Robert Thorndike
melakukan praktek hukum pertama di Maine. Setelah itu menjadi seorang pendeta
yang sering menyampaikan khutbah di Massachusetts. Ibunya bernama Abigail
Brewster Ladd adalah seorang yang sangat cerdas dan cakap, berkemampuan
artistik, beragama, pemalu dan lembut, namun memiliki hati yang kuat. Thorndike
merupakan anak ke 4 dari 4 bersaudara. Saudara pertama dan kedua bernama
Ashley dan Mildred mengambil jurusan Sastra Bahasa Inggris, Saudara ketiga
bernama Lynn mengambil jurusan Sejarah, dan Thorndike sendiri mengambil
jurusan Pendidikan Psikologi dan Ilmu Pengetahuan. Thorndike memulai belajar
membaca dirumahnya namun mulai bersekolah saat berusia 5 tahun. Saat usianya
12 tahun, dia masuk sekolah menengah atas di Lowell, Boston and Providence.
Dan mendapatkan gelar sarjana dengan nilai sangat baik di Wesleyan University
pada tahun 1891-1895. Lalu melanjutkan studinya di Harvard University dengan
mengambil jurusan sastra karena latar belakang keluarganya pada bidang sastra,
bukan pada bidang ilmu pengetahuan.

3
Gambar 2.1 Edward Lee Thorndike

Robert (1952:210) menuliskan awal mula Thorndike tertarik dengan bidang


psikologi. Pada saat menjadi mahasiswa baru di Harvard, Thorndike memiliki
kesempatan untuk mempelajari beberapa bagian dari buku Principles of
Psychology karangan William James dan membuatnya tertarik. Di Harvard, dia
mengikuti kuliah dari William James dan membuatnya pindah jurusan dari Sastra
ke Psikologi pada tahun pertama kuliah. Di tahun kedua, Thorndike melakukan
penelitian mengenai naluri dan kecerdasan tingkah laku dari anak ayam. Namun
pada saat itu, laboratorium tempat penelitiannya tidak mengizinkan melakukan
penelitian terhadap hewan. Thorndike pun melakukan penelitian tersebut di
ruangan bawah tanah khusus yang disediakan oleh Proffesor James. Akhirnya,
metode penelitiannya memuahkan hasil yang sangat bagus.
Thorndike melanjutkan kuliahnya lagi di Columbia University. Saat itu,
Proffesor Cattel sebagai dosen pembimbing Thorndike memberi semangat kepada
Thorndike untuk melanjutkan penelitiannya. Thorndike menulis disertasi tentang
Animal Intelligence: An Experimental Study of Association Process in Animal
pada tahun 1898 sebagai peristiwa penting dalam sejarah psikologi. Saat itu, Clark
University dan universitas lain ikut serta mengembangkan penelitian Thorndike
dengan membuat laboratorium hewan sebagai tempat penelitian ilmu pengetahuan
psikologi. Hewan yang menjadi subjek penelitian pun berkembang, dari mulai

4
ayam, kucing, anjing, atau burung dimana hewan tersebut diberi sebuah
“masalah” untuk mengetahui respons dari hewan-hewan tersebut terhadap
“masalah” yang dihadapinya. Dari penelitian Thorndike itu pula menjadi awal
mula ditemukannya Teori Belajar Koneksionisme atau Teori Belajar Thorndike.
Akhirnya, Thorndike menghabiskan hampir seluruh karirnya di Teachers College,
Columbia University.

B. Teori Belajar Koneksionisme Thorndike


Teori Belajar Koneksionisme merupakan salah satu hasil percobaan
Thorndike di laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan terutama
kucing yang diberikan stimulus untuk mencari tahu respons yang akan dihasilkan.
Seekor kucing yang lapar ditempatkan dalam kotak berjeruji yang dilengkapi
peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang menghubungkan
pengungkit dengan gerendel pintu tersebut. Peralatan tersebut di ditata sedemikian
rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memeroleh makanan yang tersedia
di depan kotak (Syah, 2010:103).

Gambar 2.2 Ilustrasi Percobaan Thorndike

Pada tes pertama, kucing yang dikondisikan dalam keadaan lapar dan
diberikan makanan di luar kotak tersebut menunjukkan responss agresif seperti
mengeong, mencakar, melompat, dan berlari-larian. Namun, kucing tersebut gagal
membuka pintu untuk memeroleh makanan yang ada di depannya. Akhirnya,

5
setelah kucing melakukan beberapa tindakan, secara kebetulan kucing tersebut
berhasil menekan pengungkit hingga pintu kotak dapat terbuka. Pada tes
selanjutnya, kondisi kucing dan tempatnya didesain sama seperti tes sebelumnya.
Akan tetapi, ternyata kucing tersebut berhasil keluar dari kotak dan menyantap
makanan lebih cepat ketimbang tes pertama. Hal ini ditafsirkan oleh Thorndike
bahaw “kucing itu sebenarnya tidak mengerti cara membebaskan diri dari
kurungan itu, tetapi dia belajar mempertahankan respons-respons yang benar dan
menghilangkan atau meninggalkan respons-respons yang salah”. Hal tersebut
disebabkan karena kucing telah terbiasa atau terkondisikan, sehingga kucing tidak
mengulangi perilaku yang tidak efektif dan lebih cepat keluar dari kotak (Anwar,
2017:40). Eksperimen puzzle box ini kemudian terkenal dengan nama
Instrumental Conditioning, bahwa tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai
instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki
(Hintzman dalam Syah, 2010:103)
Dari eksperimen di atas, Thorndike menyimpulkan bahwa belajar adalah
hubungan antara stimulus dan respons. Thorndike memandang perilaku sebagai
suatu respons terhadap stimulus-stimulus dalam lingkungan (Dahar, 1988:28).
Stimulus yaitu apa saja dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti
pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat diterapkan melalui alat indera,
sedangkan respons yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar,
yang juga dapat berupa pikiran, perasaan atau tindakan. Stimulus dan respons
merupakan upaya secara metodologis untuk mengaktifkan siswa secara utuh dan
menyeluruh baik pikiran, perasaan dan perilaku (perbuatan).
Itulah sebabnya Teori Koneksionisme disebut juga sebagai S-R Bond
Theory dan S-R Psychology of Learning atau dikenal juga dengan sebutan Trial
and Error Learning. Istilah ini menunjuk pada lamanya waktu atau banyaknya
jumlah kesalahan dalam mencapai suatu tujuan (Hilgard dalam Syah, 2010:103).
Teori tersebut menyatakan bahwa  belajar  pada  hewan dan manusia pada
dasarnya  berlangsung menurut prinsip yang sama yaitu, belajar merupakan
peristiwa terbentuknya ikatan antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S)
dengan  respons (R) yang diberikan atas stimulus tersebut. Siswa harus mencapai

6
tujuan pembelajaran. Untuk mencapai tujuan tersebut, siswa itu akan memilih
respons yang tepat diantara berbagai respons yang mungkin akan dilakukan. Salah
satu indikasi keberhasilan belajar terletak pada kualitas respons yang dilakukan
siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru.
Thorndike (Soemanto, 2003:124) mengemukakan ciri-ciri dari belajar
dengan trial and error sebagai berikut:
1. Terdapat motif pada diri seseorang yang mendorong untuk melakukan
sesuatu.
2. Pembelajar akan berusaha melakukan berbagai respons dalam rangka
memenuhi motif-motifnya.
3. Bila terdapat respons-respons yang tidak sesuai dengan motifnya, maka
akan langsung dihilangkan.
4. Pembelajar mendapatkan jenis respons yang paling tepat.
Ciri-ciri di atas menjelaskan bahwa seorang siswa harus memiliki tujuan
belajar dalam melakukan pembelajaran. Dalam proses belajar, seorang siswa akan
melakukan beberapa respons atau tindakan untuk mencapai tujuan pembelajaran
tersebut. Tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan pembelajaran akan langsung
dihilangkan dan siswa akan melakukan tindakan yang paling tepat agar tujuan
pembelajaran dapat tercapai.
Selain itu dalam teorinya, Thorndike mengemukakan prinsip-prinsip belajar
sebagai berikut:
1. Bila seseorang berhadapan dengan situasi baru, maka ia akan mencoba
berbagai macam respons sampai memperoleh respons yang benar.
2. Sesuatu yang ada pada diri seseorang, baik itu berupa pengalaman,
kepercayaan, sikap dan hal lainnya yang telah ada pada dirinya turut
menentukan tercapainya tujuan yang ingin dicapai.
3. Sebenarnya, pada diri seseorang terdapat potensi untuk mengadakan
seleksi terhadap unsur yang penting atau yang tidak penting hingga
akhirnya mendapatkan respons yang tepat.
4. Seseorang cenderung memberikan respons yang sama terhadap situasi
yang sama.

7
5. Seseorang cenderung menghubungkan respons yang ia kuasai dengan
situasi tertentu jika respons yang ia kuasai dan situasi tersebut
mempunyai hubungan.
6. Jika suatu respons cocok dengan situasinya relatif lebih mudah dipelajari
(Imran dalam Anwar, 2017:41-42)

C. Hukum-hukum Teori Pembelajaran Thorndike


Dari percobaan yang dilakukannya, Thorndike menemukan tiga hukum
pokok, yaitu sebagai berikut:
1. Hukum Kesiapan (Law of Readiness)
Hukum kesiapan menjelaskan tentang kesiapan individu dalam
melakukan sesuatu. Kesiapan sendiri diartikan kecenderungan individu untuk
bertindak. Agar proses belajar dapat mencapai tujuan yang ditetapkan, maka
diperlukan kesiapan individu yang bersangkutan dengan aktivitas belajar
tersebut.
Hal tersebut sejalan dengan Teori Belajar Pavlov yaitu apabila individu
memiliki kesiapan dan dapat melakukan kesiapan tersebut, maka individu
tersebut pasti akan mengalami kepuasan. Apabila individu memiliki kesiapan,
namun tidak berhasil melaksanakan kesiapan tersebut, maka individu tersebut
pasti akan mengalami kekecewaan. Apabila individu tersebut tidak memiliki
kesiapan untuk bertindak namun dipaksakan melakukannya, maka individu
tersebut akan menghasilkan kegagalan Anwar (2017:45). Dari ciri-ciri di atas
dapat disimpulkan bahwa seorang anak akan lebih berhasil belajarnya, jika ia
telah siap untuk melakukan kegiatan belajar.
2. Hukum Akibat (Law of Effect)
Hukum akibat menjelaskan bahwa suatu tindakan yang menghasilkan
rasa puas pada individu akan cenderung diulang. Sebaliknya, suatu tindakan
yang menghasilkan ketidakpuasan akan cenderung tidak akan diulangi lagi
(Anwar, 2017:44). Seorang siswa diminta untuk menyelesaikan suatu soal
matematika, setelah ia kerjakan, ternyata jawabannya benar, maka ia merasa
puas dan akibatnya antara soal dan jawabannya yang benar itu akan kuat

8
tersimpan dalam ingatannya. Sebaliknya, jika siswa tersebut tidak berhasil
menyelesaikan soal yang diberikan, maka siswa tersebut akan merasa kecewa
dan cenderung tidak akan mengulangi pada waktu yang lain. Hukum akibat
dapat diaplikasikan dalam pembelajaran dalam bentuk hadiah dan hukuman.
Perumusan mengenai law of effect banyak mendapat kritik. Pada
pokoknya ada dua macam keberatan yang diajukan yaitu:
a. Kepuasan dan ketidakpuasan itu adalah istilah subyektif, jadi tidaklah
tepat untuk menggambarkan tingkah laku hewan. Namun maksud
Thorndike adalah keadaan yang tidak memuaskan itu adalah keadaan
dimana hewan tidak berusaha untuk mempertahankannya, sering
berusaha untuk mengakhiri keadaan tersebut. Keadaan yang
memuaskan adalah keadaan dimana hewan tidak berusaha untuk
menghindarinya sering mengulang-ulanginya.
b. Pengaruh (effect) daripada apa yang dialami atau terjadi di masa
lampau yang dirasakan kini tidak dapat diterima, sebab apa yang
lampau adalah sudah lampau, dan pengaruhnya tidak dapat dirasakan
kini. Yang dimaksud oleh Thorndike mengenai hal ini adalah
pengaruh (effect) itu ternyata di dalam kemungkinan terjadinya
respons apabila situasi yang akan datang terjadi.
3. Hukum Latihan (Law of Exercise)
Hukum ini merupakan generalisasi atas dua hal yaitu:
a. Law of use yang menyatakan hubungan atau koneksi antara stimulus
dan respons akan menguat apabila sering digunakan.
b. Law of disuse yang menyatakan bahwa hubungan atau koneksi
antara stimulus dan respons akan menjadi bertambah lemah atau
terlupa jika latihan atau penggunaan dihentikan (Anwar, 2017:44).
Hukum ini menunjukkan prinsip utama belajar adalah pengulangan.
Semakin sering suatu materi pelajaran diulangi maka materi pelajaran
tersebut akan semakin kuat tersimpan dalam ingatan siswa.
Ketiga hukum yang telah dikemukakan itu adalah hukum primer (primary-
laws). Selain ketiga hukum primer tersebut, Thorndike mengemukakan pula lima

9
hukum subside atau hukum minor (subsidiary laws, minor laws). Adapun kelima
hukum tambahan tersebut adalah:
1. Law of Multiple Respons, merupakan kondisi sebelum individu
mendapatkan respons yang tepat, sehingga ia akan terus mencoba
berbagai respons.
2. Law of Attitude, merupakan situasi di dalam diri individu yang
menentukan proses belajar. Proses belajar dapat berlangsung dengan 
baik, lancar, bila situasi menyenangkan dan terganggu bila situasi tidak
menyenangkan.
3. Law of Partial Activity, merupakan prinsip yang menyatakan bahwa
individu memberikan respons secara selektif terhadap kemungkinan-
kemungkinan yang ada dalam situasi tertentu. Dengan demikian,
individu dapat memberi respons yang berbeda pada stimulus yang sama.
4. Law of Responsse by Analogy, merupakan prinsip yang menyatakan
bahwa individu cenderung memiliki reaksi yang sama terhadap situasi
yang baru. Manusia dapat melakukan respons pada situasi yang belum
dialami karena mereka dapat menghubungkan situasi yang baru yang
belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah mereka alami.
5. Law of Associative Shifting, merupakan proses peralihan suatu situasi
yang telah dikenal ke situasi yang belum dikenal secara bertahap, dengan
menambahkan unsur baru dan membuang unsur lama sedikit demi
sedikit, yang menyebabkan suatu responss dipindahkan dari suatu situasi
yang sudah dikenal ke situasi lain yang baru sama sekali (Anwar,
2017:45-46).
Selain hukum-hukum di atas, Thorndike juga mengemukakan konsep
transfer belajar yang disebutnya Transfer of Training. Konsep ini menjelaskan
bahwa sesuatu yang pernah dipelajari siswa harus dapat dipergunakan untuk hal
lain pada masa yang akan datang. Konsep tersebut merupakan konsep penting
karena membuat pembelajaran menjadi lebih bermakna.
Eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh Thorndike banyak mengalami
perkembangan sehingga terdapat beberapa revisi pada teorinya, antara lain:

10
1. Hukum latihan (law of exercise) ditinggalkan, karena ditemukan bila
pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus
dengan respons, demikian pula tanpa ulangan belum tentu melemahkan
hubungan stimulus-respons.
2. Hukum akibat (law of effect) direvisi, karena dalam penelitianya lebih
lanjut ditemukan bahwa hanya sebagian saja dari hukum ini yang benar.
Dengan ini maka untuk hukum akibat dijelaskan, bila hadiah akan
meningkatkan hubungan stimulus-respons, tetapi hukuman tidak
mengakibatkan efek apapun. Dengan revisi ini berarti Thorndike tidak
menghendaki adannya hukuman dalam belajar.
3. Belongingness, dimana syarat utama bagi terjadinya hubungan stimulus-
respons bukannya kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara kedua hal
tersebut. Dengan demikian situasi belajar akan mempengaruhi hasil
belajar.
4. Spread of Effect, dimana akibat dari suatu perbuatan yang dapat menular.

D. Penerapan Teori Belajar Koneksionisme Thorndike dalam


Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Thorndike memiliki pandangan yang ilmiah tentang pembelajaran.
Menurutnya, praktik pendidikan harus dipelajari secara ilmiah dan dihubungkan
dengan proses pembelajaran. Pengajaran yang baik ialah pengajaran yang
terencana baik, tentang apa yang akan diajarkan, respons yang akan diharapkan,
dan waktu yang tepat dalam pemberian reward atau hadiah. Oleh karena itu,
Thorndike menjelaskan beberapa aturan dalam pengajaran yaitu sebagai berikut:
1. Memerhatikan situasi peserta didik.
2. Memerhatikan respons yang diharapkan.
3. Menciptakan hubungan respons dengan sengaja dan tidak menciptakan
hubungan dengan sendirinya.
4. Tidak melupakan situasi lain yang sama karena dapat memutuskan
hubungan.

11
5. Jika ingin menciptakan hubungan tertentu, maka jangan menciptakan
hubungan lain yang sejenis.
6. Menciptakan hubungan yang nyata.
7. Menciptakan suasana belajar supaya dapat digunakan dalam kehidupan
sehari-hari (Winansih dalam Anwar, 2017:42)
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Suherman (2003) tentang beberapa
penerapan yang sebaiknya dilakukan dalam pembelajaran matematika antara lain:
1. Sebelum memulai proses belajar mengajar, pendidik harus memastikan
siswanya siap mengikuti pembelajaran tersebut. Jadi setidaknya ada
aktivitas yang dapat menarik perhatian siswa untuk mengikuti kegiatan
belajar mengajar.
2. Pembelajaran yang diberikan sebaiknya berupa pembelajaran yang
kontinu, hal ini dimaksudkan agar materi lampau dapat tetap diingat oleh
siswa.
3. Dalam proses belajar, pendidik hendaknya menyampaikan materi
matematika dengan cara yang menyenangkan, contoh dan soal latihan
yang diberikan tingkat kesulitannya bertahap, dari yang mudah sampai
yang sulit.
4. Pengulangan terhadap penyampaian materi dan latihan, dapat membantu
siswa mengingat materi terkait lebih lama.
5. Supaya peserta didik dapat mengikuti proses pembelajaran, proses harus
bertahap dari yang sederhana hingga yang kompleks.
6. Peserta didik yang telah belajar dengan baik harus segera diberi hadiah,
dan yang belum baik harus segera diperbaiki.
7. Materi yang diberikan kepada peserta didik harus ada manfaatnya untuk
kehidupan anak kelak setelah dari sekolah.
8. Cara mengajar yang baik bukanlah hanya mengharapkan murid tahu apa
yang telah diajarkan, tetapi guru harus tahu apa yang hendak diajarkan.
Dengan ini guru harus tahu materi apa yang harus diberikan, respons apa
yang diharapkan dan kapan harus memberi hadiah atau membetulkan
responss yang salah.

12
9. Tujuan pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta
didik dan harus terbagi dalam unit – unit sedemikian rupa sehingga guru
dapat menerapkan menurut bermacam – macam situasi.
Berdasarkan penjabaran di atas, seorang guru dapat menerapkan teori
belajar Thorndike pada perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran matematika
sekolah dasar khususnya pada Kurikulum 2013. Berdasarkan teori belajar
Thorndike, seorang guru harus mempersiapkan perencanaan pembelajaran yang
akan dilakukan dengan sangat matang sebelum melaksanakan pembelajaran,
memahami tujuan yang akan dicapai, mempersiapkan materi yang akan diberikan,
media yang digunakan, mengetahui bagaimana respons yang tepat bagi siswa
dalam menerima materi yang disampaikan, serta mengetahui waktu yang tepat
dalam memberikan hadiah sebagai bentuk penghargaan terhadap siswa yang
memberikan respons yang tepat.
Sebelum masuk kepada proses pembelajaran, ada baiknya bagi guru untuk
mengecek kesiapan siswa. Pengecekan kesiapan siswa dimulai dari keadaan
ruangan belajar siswa, kondisi fisik siswa, serta kondisi psikis siswa. Pada saat
apersepsi, guru bisa memulai dengan permainan ringan yang dapat meningkatkan
konsenterasi dan semangat belajar anak. Sebagai contoh dalam pembelajaran
Kelas IV tema 1 Kurikulum 2013 materi sudut. Sebelum masuk pada
pembelajaran materi sudut, guru dapat memberikan permainan gerakan tangan
dan lengan untuk meningkatkan konsenterasi siswa.
Masih dalam apersepsi, sebelum menyampaikan materi tentang sudut, akan
lebih baiknya jika guru mengingatkan kembali siswa tentang materi segibanyak
yang akan menjadi konsep awal siswa dalam mempelajari materi sudut. Setelah
siswa dapat mengingat kembali materi segibanyak, guru dapat mengaitkan materi
segibanyak tersebut dengan materi sudut yang terdapat pada segibanyak.
Masuk kepada kegiatan inti, dalam penyampaian materi sudut, siswa akan
merasa kesulitan jika guru langsung menyuruh siswa membuat sudut dengan
menggunakan busur derajat. Oleh karena itu, pada Kurikuum 2013 Kelas IV,
materi sudut dibagi ke dalam beberapa unit dengan tahapan pembelajaran dari
yang sederhana dan tingkat kompleksitasnya meningkat secara bertahap sesuai

13
kemampuan siswa. Berikut merupakan tahapan yang dapat digunakan pada
pembelajaran Matematika materi sudut.

Menentukan jenis-jenis
sudut

Menaksir besar sudut

Menentukan besar
sudut menggunakan
busur derajat

Membuat sudut
menggunakan busur
derajat

Gambar 2.3 Tahapan Pembelajaran Matematika Kelas IV Materi Sudut

Setelah mengetahui tahapan dalam penyampaian materi sudut,


pembelajaran akan lebih maksimal dalam mencapai tujuan jika dilakukan dengan
metode dan/atau media yang menyenangkan bagi siswa. Misalnya, pada saat
menyampaikan materi jenis-jenis sudut, guru dapat menggunakan media berupa
penggaris, pensil, atau gambar rumah adat atau tempat ibadah yang memiliki
sudut dan menugaskan siswa berkelompok untuk menyebutkan jenis-jenis sudut
yang terdapat pada media tersebut. Berikut contoh media gambar yang dapat
dijadikan media dalam menentukan jenis-jenis sudut.

Gambar 2.4 Media Gambar untuk Menentukan Jenis Sudut

14
Setelah siswa memahami materi yang telah dipelajari, akan lebih baik jika
siswa diberi pengulangan berupa latihan soal agar siswa dapat mengingat materi
lebih lama. Latihan soal yang diberikan pun akan lebih menyenangkan jika dibuat
sebuah permainan berkelompok. Sebagai contoh, siswa dibagi ke dalam beberapa
kelompok. Setiap kelompok membuat gambar segibanyak tidak beraturan yang
memiliki sudut. Setelah selesai gambar segibanyak dari satu kelompok
ditampilkan di depan kelas dan tugas kelompok lain menentukan berapa jumlah
sudut dan jenis sudut yang ada pada gambar tersebut. Tentunya kelompok yang
menampilkan gambarnya harus memiliki jawaban dari gambar segibanyak yang
dibuatnya. Setelah selesai dengan kelompok pertama, diteruskan oleh kelompok
selanjutnya secara bergantian sebagai latihan agar siswa dapat lebih memahami
materi melalui pengulangan.
Dalam sebuah pembelajaran, tentunya pemberian hadiah akan membuat
siswa lebih semangat dalam mengikuti pembelajaran. Sebagai contoh dalam
kegiatan kelompok mengenai pengamatan sudut dari masing-masing kelompok,
maka akan lebih baik jika guru memberikan hadiah bagi kelompok terbaik.
Hadiah dapat berupa pujian atau penghargaan seperti tanda bintang bagi
kelompok terbaik. Tentunya bagi kelompok yang belum mencapai tujuan
pembelajaran diberikan lagi soal perbaikan sebagai remedial agar dapat mencapai
tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.
Pada saat kegiatan pembelajaran, guru harus bisa menyampaikan kepada
siswa tentang manfaat apa yang akan didapat jika mempelajari materi tersebut.
Sebagai contoh, dalam pembelajaran Matematika materi sudut, guru harus
menanamkan kepada siswa bahwa sudut dapat digunakan dalam kehidupan sehari-
hari, contohnya dalam membuat layang-layang yang dapat terbang dengan
sempurna harus memperhatikan sudut layang-layang tersebut. Atau dalam
pembuatan atap rumah, jika sudutnya tidak diukur dengan baik maka ada
kemungkinan rumah itu akan roboh. Itulah salah satu contoh penerapan Teori
Belajar Thorndike dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual, open-
ended, dan example non example, pada pembelajaran Matematika sekolah dasar
Kurikulum 2013.

15
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Edward Lee Thorndike (1874-1949) adalah salah seorang penganut paham
psikologi tingkah laku. Pada saat kuliah di Columbia University, Thorndike
menulis disertasi tentang Animal Intelligence: An Experimental Study of
Association Process in Animal pada tahun 1898 sebagai peristiwa penting dalam
sejarah psikologi. Dari penelitian Thorndike itu pula menjadi awal mula
ditemukannya Teori Belajar Koneksionisme atau Teori Belajar Thorndike.
Thorndike mendasarkan teorinya atas hasil penelitiannya terhadap tingkah
laku beberapa hewan terutama kucing, dan tingkah laku manusia secara umum.
Teori ini sering disebut juga Trial and Error Learning dalam rangka menilai
respon yang terdapat bagi stimulus tertentu. Terdapat beberapa hukum dalam teori
belajar koneksionisme antara lain hukum kesiapan (law of readiness), hukum
latihan (law of exercise) dan hukum akibat (law of effect). Di samping itu, terdapat
beberapa hukum pendukung yang dikemukakan oleh Thorndike.
Teori belajar koneksionisme Thorndike sendiri telah dijadikan sebagai
acuan dalam perkembangan dunia pendidikan, khususnya dalam pengembangan
perencanaan, model, dan pendekatan pembelajaran yang dapat diterapkan dalam
rangka mencapai tujuan pembelajaran atau mengembangkan potensi siswa. Teori
belajar koneksionisme sendiri dapat diterapkan dalam pembelajaran Matematika
sekolah dasar Kurikulum 2013

B. Saran
Saran dari penulis terhadap pembaca khususnya pendidik antara lain:
1. Pendidik disarankan untuk mempelajari secara mendalam mengenai teori
belajar khususnya teori belajar Thorndike.
2. Pendidik disarankan menerapkan teori belajar Thorndike dalam
perencanaan serta pelaksanaan pembelajaran guna memaksimalkan tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Chairul. (2017) Buku Terlengkap Teori-teori Pendidikan Klasik Hingga


Kontemporer. Yogyakarta: IRCiSoD.

Dahar, Ratna Willis. (1988) Teori-teori Belajar. Jakarta: Depdikbud.

Soemanto, Wasty. (2003). Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Suherman, dkk. (2003). Strategi pembelajaran Matematika Kontemporer.


Bandung: Jica.

Syah, Muhibbin. (2010) Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Woodworth, Robert S. (1952). Edward Lee Thorndike 1874-1949. Washington


D.C.: National Academy of Sciences

Anda mungkin juga menyukai