MAKALAH KELOMPOK I
Oleh:
1. ..................... (NPM:..........)
2. ..................... (NPM:..........)
3. ..................... (NPM:..........)
1
Irma Novayani, Studi Kebijakan Pengembangan Pendidikan Agama Islam Sekolah dan
Perguruan Tinggi Umum (PTU), Jurnal At-Tadbir STAI Darul Kamal NW Kembang Kerang. Vol. 1,
No. 2, 2018), h. 2. pp. 1-16.
pelatihan yang telah ditentukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.2 Selain
itu PAI juga diimbangi dengan tuntutan untuk menghormati panutan agama lain
dalam hubungannya dengan toleransi serta kerukunan antar umat beragama hingga
terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.
Hal tersebut sesuai dengan kebijakan dalam matakuliah pengembangan
kepribadian di perguruan tinggi (MPK) yang menjadi sumber nilai dan pedoman
dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi guna mengantarkan
mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia Indonesia seutuhnva yang
menjadi visi dalam (MPK) dan memiliki misi kelompok (MPK) untuk membantu
mahasiswa memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewujudkan
nilai-nilai dasar keagamaan dan kebudayaan, rasa kebangsaan dan cinta tanah air
sepanjang hayat dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni yang dimilikinya dengan rasa tanggungjawab. 3
Sebagai matakuliah Pengembangan Kepribadaian (MPK) yang merupakan
matakuliah yang memiliki fungsi dan peran sangat strategis dalam membina
kepribadian mahasiswa sehingga sebagaimana tergambar dalam rumusan tujuan
diajarkannya matakuliah tersebut. Peningkatan mutu (kualitas) berarti penambahan
pengetahuan, pembinaan skill dan soft skill, yang pada intinya memiliki tujuan ganda
yakni membina kepribadian mahasiswa secara utuh agar menjadi pribadi yang taat
kepada Allah dan membina kesadaran intelektual agar menjadikan ajaran agama dan
nilai-nilai berbangsa dan bernegara sebagai landasan penggalian dan pengembangan
disiplin ilmu yang ditekuni oleh mahasiswa, sehingga berdampak positif terhadap
kemajuan suatu bangsa, menaikkan harkat dan martabat manusia Indonesia, termasuk
penataan PAI. Pada bab ini akan diuraikan tentang; (1). Konsep mata kuliah
2
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi (Konsep dan
Implementasi Kurikulum 2004), (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 132.
3
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006, pasal 1 dan pasal 2.
Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai Mata kuliah Pengembangan Kepribadian
(MPK) di Perguruan Tinggi Umum (PTU). (2). Studi Kebijakan dan Model-Model
Pengembangan Pendidikan Agama Islam Di Perguruan Tinggi Umum (PTU) (3).
Pendidikan Agama dalam Pendidikan Nasional. (4). Implementasi Peran PAI sebagai
Matakuliah Rumpun MataKuliah Pengembangan Kepribadian (MPK). (5).
Kompetensi Dosen Pendidikan Agama Islam (PAI) (6). Landasan hukum
pembelajaran PAI di PTU. (7). PAI dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi
B. Konsep mata kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai Mata kuliah
Pengembangan Kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi Umum (PTU)
Berbagai krisis multidimensional yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia
memang tidak bisa hanya dilihat dan di atasi melalui pendekatan mono dimensional.
Namun demikian, karena segala krisis tersebut berpangkal dan krisis akhlak atau
moral, maka pendidikan agama dipandang memiliki peranan yang sangat vital dalam
membangun watak dan peradaban bangsa yang bermartabat. Untuk itu, diperlukan
pengembangan pendidikan agama yang lebih kondusif dan prospektif terutama di
sekolah atau perguruan tinggi.4
Pendidikan Agama adalah salah satu mata kuliah dalam kurikulum perguruan
tinggi umum, bahkan menjadi mata kuliah strategis dalam pengembangan
kepribadian. Bersama mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Mata
Kuliah Pendidikan Agama menjadi mata kuliah wajib yang harus diajarkan pada
semua program studi.5 Tujuannya adalah membangun karakter mahasiswa yang
unggul, kepribadian mulia, memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara serta
4
Sastramayania & Sabdah, Pendidikan Agama Islam Di Perguruan Tinggi Umum: Studi Kasus di
Universitas Lakidende, (Jurnal Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-35 Th. XXII, November 2016 ), h. 139, pp.
138-155.
5
Yusuf Hanafi, Transformasi Kurikulum Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam di Perguruan
Tinggi Umum: Dari Paradigma Normatif-Doktriner Menuju Pradigm Historis-Kontekstual, (Jurnal
Pendidikan dan Pembelajaran. Vol. 23, No. 1, . 2016), h. 27. pp. 27- 37.
kesadaran kemanusiaan secara luas. Sulaiman,6 menawarkan dimensi esoterik agama
diperlukan dalam rangka penguatan Sumber Daya Manusia Indonesia (SDM).
Kemerosotan akhlak banyak terjadi pada semua lapisan masyarakat, akan
tetapi dikalangan remaja lebih banyak, nyata dan terlihat, Perilaku tersebut
merupakan indikator belum optimalnya PAI di sekolah dan sekaligus tantangan bagi
lembaga pendidikan khususnya guru atau dosen yang mengampu matakuliah PAI
untuk mencari model pembelajaran yang mampu menginternalisasikan nilai-nilai
ajaran Islam dalam diri peserta didik.7 Pengoptimalan PAI dapat dilakukan dengan:
1. Bahwa peserta didik aset terbesar umat Islam ada di sekolah, sebab jumlah
generasi muda Islam di sekolah jauh lebih besar jika dibandingkan dengan
generasi muda Islam di Madrasah atau Pesantren.
2. Alokasi mata pelajaran PAI yang dilaksanakan di sekolah sangat terbatas yang
tidak mungkin dapat menyelesaikan materi pembelajaran Agama Islam secara
menyeluruh dan utuh. Dengan demikian, mata pelajaran yang diberikan lebih
menekankan kepada materi khusus tentang ajaran Islam yang bersifat
dogmatis. Bahkan tidak jarang guru PAI terjebak dalam penyampaian materi
yang lebih menekankan pada aspek kognitif. Penanaman nilai-nilai keIslaman
dalam kehidupan sehari-hari tidak akan dapat dilakukan oleh guru PAI semata
dengan alokasi waktu yang disediakan. Oleh karena itu optimalisasi PAI mesti
dilakukan secara terpadu.
3. Jika PAI kurang mendapat perhatian di sekolah, maka dikhawatirkan
terjadinya dikotomi antara ilmu dan agama. Kelak akan cerdas dan menguasai
sains, akan tetapi tidak dilandasi dengan keimanan yang kuat, kaya
intelektualitas tetapi miskin spiritualitas keagamaan. Akibatnya
6
Rusydi Sulaiman, Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi: Tawaran Dimensi Esoterik
Agama untuk Penguatan SDM, (MADANIA: Jurnal Kajian Keislaman IAIN Bengkulu, Vol. 19 No. 2
2015).
7
Ahmad Tafsir, Pentingnya Pendidikan Agama dalam Keluarga. dalam Ahmad Tafsir (ed.),
Pendidikan Agama dalam Keluarga, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), Cet. I, h. 21.
kecerdasannya lebih mendatangkan kemudratan dari pada kemaslahatan.
Mengatasi persoalan tersebut, perlu dilakukan optimalisasi pendidikan Islam
di sekolah.8
Matakuliah PAI merupakan bagian dari kelompok mata kuliah MPK (Mata
Kuliah Pengembangan Kepribadian) merupakan salah satu bentuk pembelajaran di
perguruan tinggi Indonesia dalam rangka mencapai kepribadian yang utuh melalui
proses pembelajaran secara terintegrasi antara bidang kajian spesialisasi keilmuan
dengan pengembangan kepribadian. Semestinya status mata kuliah itu sama artinya
tidak ada mata kuliah yang lebih dipentingkan dari matakuliah lainnya. 9
Oleh karena itu, perguruan tinggi pada intinya memiliki kurikulum yang telah
diatur oleh negara, yang dapat dikelompokan dalam mata kuliah sebagai berikut:
1. MPK (Matakuliah Pengembangan Keribadian) yaitu kelompok bahan kajian
dan pelajaran untuk mengembangkan manusia Inonesia yang beriman dan
bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur,
berkepribadian mantap, dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab
kemasyarakatn dan kebangsan.
2. MBB (Matakuliah Berkehidupan Bersama), yaitu kelompok bahan kajian dan
pelajaran yang diperlukan seseorang untuk dapat memahami kaidah
berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya.
3. MKK (Matakuliah Keilmuan dan Keterampilan), yaitu kelompok bahan
kajian dan pela- jaran yang ditujukan terutama untuk memberikan landasan
ilmu dan keterampilan tertentu.
8
Ely Manizar, Optimalisasi Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Jurnal Tadrib, Vol. 3, No. 2.
2017), h. 252-253, pp. 251-277.
9
Muhdi, Posisi Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam Kurikulum Perguruan Tinggi
Umum Menurut SK Dirjen DIKTI No. 43 & 44 Tahun 2006 (Sebuah Pemikiran Tentang Langkah
Implementasi Peran) Jurnal INTEKNA, 2014, Tahun XIV, No. 1), h. 2, pp. 1-6.
4. MKB (Matakuliah Keahlian Berkarya), yaitu kelompok bahan kajian dan
pelajaran yang bertujuan menghasilkan tenaga ahli dengan kekaryaan
berdasarkan dasar ilmu dan keterampilan yang dikuasai.
5. MPB (Matakuliah Perilaku Berkarya), kelompok bahan kajian dan pelajaran
yang bertujuan untuk membentuk sikap dan perilaku yang diperlukan
seseorang dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan dasar ilmu
dan keterampilan yang dikuasai.10
Tujuan dari matakuliah PAI di PTU adalah menggambarkan mahasiswa
sebagai modal (kapital) intelektual melaksanakan proses belajar mengajar sepanjang
hayat untuk menjadi ilmuwan yang berkeripbadian dewasa yang menjunjung tinggi
kemanusiaan dan kehidupan.11 Tujuan pendidikan agama adalah: (1) terbentuknya
kepribadian yang utuh jasmani dan rohani (insan kamil) yang tercermin dalam
pemikiran maupun tingkah laku terhadap sesama manusia, alam serta Tuhannya, (2)
dapat menghasilkan manusia yang tidak hanya berguna bagi dirinya, tapi juga
berguna bagi masyarakat dan lingkungan, serta dapat mengambil manfaat yang lebih
maksimal terhadap alam semesta untuk kepentingan hidup di dunia dan akhirat, (3)
merupakan sumber daya pendorong dan pembangkit bagi tingkah laku dan perbuatan
yang baik, dan juga merupakan pengendali dalam mengarahkan tingkah laku dan
perbuatan manusia. Oleh karena itu pembinaan moral harus didukung pengetahuan
tentang ke-Islaman pada umumnya dan aqidah atau keimanan pada khususnya. 12
Matakuliah PAI di PTU merupakan kelanjutan dari pengajaran yang diterima
oleh peserta didik mulai dari Tingkat Dasar, Sekolah Menegah Pertama dan Atas.
Namun berbagai persoalan muncul dalam proses pembelajaran PAI. Materi yang
10
Muhdi, Posisi Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam Kurikulum Perguruan Tinggi
Umum Menurut SK Dirjen DIKTI No. 43 & 44 Tahun 2006 (Sebuah Pemikiran Tentang Langkah
Implementasi Peran) Jurnal INTEKNA, 2014, Tahun XIV, No. 1), h. 3, pp. 1-6.
11
Keputusan Direktur Jenderal pendidikan Departemen NasionalDikti, 2002, pasal 3 ayat 1.
12
Moh.Solikodin Djaelani, Peran Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga Dan Masyarakat,
(Jurnal Ilmiah WIDYA, Volume 1 Nomor 2, 2013), h. 101, pp. 100-105
diajarkan boleh dikatakan sama secara nasional. Banyaknya materi ajar dan kurang
berfariasinya pengajar dalam menyampaikannya, ditambah lagi dengan alokasi waktu
yang kurang memadai, menjadikan peserta didik (mahasiswa) kurang bergairah
dalam menyerap perkuliahan. Kesan yang sering muncul di kalangan mahasiswa
adalah mata kuliah “wajib lulus” ini seakan berubah menjadi “wajib diluluskan”
karena kalau tidak lulus akan menjadi hambatan bagi mata kuliah di atasnya. Secara
sederhana bisa juga dikatakan bahwa mahasiswa “wajib lulus” dan sang dosen “wajib
meluluskan”.13
Salah satu kebijakan yang ditetapkan adalah kebijakan mengenai tujuan
kelompok mata pelajaran Agama dan Akhlak Mulia yang termuat dalam
Permendiknas No. 23 Tahun 2006 dan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor:
43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Kedua kebijakan tersebut
bermaksud untuk meningkatkan kualitas pendidikan agama. Namun demikian, dalam
praktiknya di sekolah ataupun di perguruan tinggi masih belum berjalan sebagaimana
yang diharapkan. Kenyataan tersebut menggarisbawahi bahwa di satu sisi beberapa
keputusan dan kebijakan yang diambil kadang-kadang terkesan menggebu-gebu dan
idealis, tetapi di sisi lain para pelaksana di lapangan kadang-kadang mengalami
beberapa hambatan dan kesulitan untuk merealisasikannya atau bahkan intensitas
pelaksanaan dan efektivitasnya masih dipertanyakan. 14 Hal ini mungkin disebabkan
oleh kurangnya kejelasan dan lemahnya pemahaman paradigma (jendela pandang)
13
Nanang Budianto, Pengembangan Sistem Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi
Umum, (FALASIFA: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 7 No. 1, 2016).
14
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen
Kelembagaan, n, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009),
h. 53.
pengembangan pendidikan agama Islam itu sendiri, yang berimplikasi pada kesalahan
orientasi dan langkah, atau ketidakjelasan wilayah dan arah pengembangannya. 15
15
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan
Perguruan Tinggi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. 17.
16
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, h. 52.
3. Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006 tentang
Rambu-Rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi bahwa visi kelompok mata kuliah
pengembangan kepribadian (MPK)termasuk di dalamnya pendidikan agama
di perguruan tinggi merupakan sumber nilai dan pedoman dalam
pengembangan dan penyelenggaraan program studi guna mengantarkan
mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia Indonesia
17
seutuhnya.
Beberapa kebijakan tentang pengembangan pendidikan agama Islam di
sekolah dan perguruan tinggi yang telah disebutkan di atas sebenarnya sudah idealis,
akan tetapi dalam praktik dan implementasinya di lapangan masih belum
terealisasikan sepenuhnya dengan baik. PAI merupakan mata pelajaran atau bidang
studi yang wajib diajarkan dalam setiap kurikulum, jenis, dan jenjang pendidikan.
Dengan demikian sudah menjadi keputusan sistemik di Indonesia bahwa PAI di
sekolah dan perguruan tinggi umum merupakan bagian integral dari sistem
pendidikan nasional. Karena sudah ada ketentuan hukum yang secara tegas
menjamin dan mewajibkan adanya PAI di setiap jalur dan jenjang pendidikan.
Oleh karena itu, seharusnya mata pelajaran atau bidang studi Pendidikan
Agama Islam di sekolah dan perguruan tinggi umum tidak hanya diajarkan
berdasarkan teorinya saja yang menekankan aspek kognitif atau tidak hanya berupa
transfers of knowledge, dan tidak hanya lebih menekankan pada aspek knowing dan
doing, akan tetapi harus banyak mengarah pada aspek being. Dimana mengubah
pengetahuan agama Islam yang kognitif menjadi pengetahuan agama Islam yang
lebih banyak menekankan aspek afektif (sikap) yang mengandung makna dan nilai
dari pengetahuan agama tersebut yang lebih mendorong penjiwaan terhadap nilai-
nilai keagamaan yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik. Pernyataan
17
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, h. 52.
tentang pendidikan agama sebagai sumber nilai atau pedoman, ternyata belum
mewarnai lingkungan dan atmosfer kehidupan sekolah atau perguruan tinggi pada
umumnya. Hal ini dirasa sangat diperlukan model-model pengembangan pendidikan
agama Islam di sekolah dan perguruan tinggi umum.
Model-model pengembangan PAI dimaksudkan untuk memberikan deskripsi
tentang pengembangan pendidikan agama Islam melalui potret atau pemetaan
paradigma yang ada dan memperjelas orientasi dan wilayah dari masing-masing
paradigma tersebut. Dengan demikian, para pemimpin atau pengelola sekolah dan
perguruan tinggi dapat melakukan evaluasi diri, paradigma mana yang seharusnya
dikembangkan untuk menatap masa depan bangsa Indonesia menuju masyarakat
madani.18 Model-model pengembangan PAI di sekolah dan Perguruan Tinggi Umum
(PTU) yakni sebagai berikut:19
Tabel. 1.
Model-model pengembangan Pendidikan Agama Islam (PAI)
di sekolah dan Perguruan Tinggi Umum (PTU)
20
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, h. 71.
D. Pendidikan Agama dalam Pendidikan Nasional
Pendidikan di Indonesia selama ini berjalan secara dualisme pendidikan
(Umum dan agama), sejak pemerintahan kolonial Balanda memperkenalkan sistem
pendidikan yang bersifat sekuler, sementara pendidikan Islam yang diwakili oleh
pesantren tidak memperhatikan pengetahuan umum, sampai Indonesia merdeka,
meskipun pada awal kemrdekaan masih mewarisi sistem pendidikan yang bersifat
dualistis.21 Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undangundang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama,
kebudayaan nasional dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. 22 Pendidikan
agama Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional merupakan penghapusan dikotomi
ilmu umum dan ilmu agama, madrasah mengalami perubahan definisi, dari sekolah
agama menjadi sekolah umum.23
Menumbuhkan kepribadian manusia Indonesia secara seimbang, melalui
latihan spiritual, intelektual, rasional diri, perasaan, dan kepekaan tubuh manusia,
dibutuhkan pendidikan yang menyediakan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam
berbagai aspek; baik dalam aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah,
linguistik baik secara individual maupun secara kolektif, dan memotivasi untuk
mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan Muslim terletak
pada realitas kepasrahan mutlak kepada Allah pada tingkat individual, masyarakat,
dan kemanusian pada umumnya.
Sehinggaada beberapa alasan tentang kedudukan pendidikan agama Islam
dalam sistem pendidikan nasional, pertama, nilai-nilai Islam (tauhid) yang
terkanduang dalam Pancasila sebagai dasar pendidikan di Indonesia yaitu pada sila
pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”, kedua, manusia memiliki potensi untuk
21
Fathul Jannah, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional, (Jurnal Dinamika Ilmu
Vol. 13. No. 2, Desember 2013), h. 162, pp. 161-173.
22
UU Sisdiknas 2003 Pasal 1 ayat (2).
23
Samrin, Pendidikan Agama Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jurnal Al-
Ta’dib Vol. 8 No. 1, Januari-Juni 2015 ), h. 114, pp. 101-116.
meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai manusia karena terdiri dari jasmani
dan rohani. ketiga, untuk mengembangan potensi yang ada dalam diri manusia
menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi
pekerti luhur (akhlak mulia), dan memiliki kemampuan untuk memikul tanggung
jawab sebagai individu dan anggota masyarakat dibutuhkan sebuah pendidikan yang
mampu mengarahkan manusia tersebut.
24
Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Prektek Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib
sosok Ulul Albab yang karakteristiknya tergambar dalam surat Ali-Imran ayat 190-
191.
Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.
25
Satryo Soemantri Brodjonegoro, Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum. Dinamika
Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, Wacana tentang Pendidikan Agama Islam, Editor Fuaduddin
dan Cik Hasan Basri, (Jakarta: Logos 1999), h. 54.
ekstra kurikuler juga dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa
dalam memadukan, mengintegrasikan, menerapkan pengetahuan, sikap dan
keterampilan yang telah dipelajari ke dalam situasi kehidupan nyata, baik dalam
lingkungan keluarga, sekolah maupun di masyarakat. Penyelenggaraan program
ekstra kurikuler harus disusun secara terencana agar semua pihak yang terkait dalam
penyelenggaraan PAI dapat berperan secara aktif mendukung tercapainya.
Kegiatan ekstra kurikuler PAI memiliki fungsi pokok antara lain; (a)
mahasiswa dapat meningkatkan pengetahuan, penghayatan, pengalaman dan
pengamalan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari–hari, (b) memberikan
peluang kepada mahasiswa untuk mengembang- kan dan mengekspresikan diri sesuai
dengan kebutuhan, bakat dan minat mereka sesuai dengan kondisi masing-masing.
Pentingnya peran dan fungsi penyelenggaraan program ekstra kurikuler dalam
mendukung tercapainya tujuan program intra kurikuler, maka diperlukan buku
Pedoman Umum Penyelenggaraan Program Ekstra Kurikuler PAI. Berupa
ramburambu yang jelas tentang penyelenggaraan program ekstra kurikuler PAI agar
pelaksanaannya lebih serius, sungguh-sungguh, dan terfokus mengarah pada visi-misi
dan kompetensi lulusan yang ingin dicapai. Biasanya materi ekskul PAI tersebut
berupa bina baca al-Qur’an, tuntunan ibadah praktis, pelatihan dakwah, bakti sosial
bidang keagamaan.26
Semua itu ditujukan agar Penyelenggaraan kuliah agama menjadi landasan
dalam pengembangan moral, etik dan spiritual yang kuat dalam membentuk pribadi
mahasiswa agar menjadi muslim yang taat beribadah dan menjadi intelektual muda
muslim yang profesional dan tangguh. Penyelenggaraan kegiatan ekskul juga harus
mampu meningkatkan keyakinan, pemahaman penghayatan dan pengamalan tentang
makna Agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang memiliki wawasan luas
26
Muhdi, Posisi Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam Kurikulum Perguruan Tinggi
Umum Menurut SK Dirjen DIKTI No. 43 & 44 Tahun 2006 (Sebuah Pemikiran Tentang Langkah
Implementasi Peran), (Jurnal INTEKNA, 2014, Tahun XIV, No. 1), h. 4-5, pp. 1-6.
mengenai keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Dengan begitu, setiap perbuatan
dan amalan yang dilakukan mahasiswa dalam kesehariannya tidak sekedar meniru
orang lain, tetapi dilakukan secara sadar dengan berlandaskan kepada pengetahuan
dan nilai-nilai ajaran agama Islam.
Agar penyelenggaraan program ekstra kurikuler berjalan efektif dan efisien,
memperoleh hasil sebagaimana yang diharapkan, maka harus dikelola secara
terintegrasi dan berkesinam- bungan dengan program intra kurikuler PAI yang ada.
Pelaksanaan pembelajaran PAI diharapkan berbasis proses keilmuan (scientific
approach) dengan cara mengaktifkan mahasiswa (student centered) untuk
membangun pengetahuan (epistemological approaches). Singkatnya, pembelajaran
PAI lebih berorientasi pada aktivitas (activity based), bukan materi (content base).27
Pengembangan pembelajaran PAI di sekolah sangat diperlukan untuk
mengatasi berbagai permasalahan terkait implementasinya di lapangan. Untuk
mencapai keberhasilan pendidikan agama banyak sekolah mengembangkan
pembiasaan budaya agama (religious culture) di sekolah yang mendukung proses
pendidikan agama yang memenuhi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik yang
tergambar pada sikap dan perilaku para siswa. Pembiasaan budaya agama (religious
culture) yang dikembangkan di sekolah-sekolah umum contohnya seperti
pembiasaan pemberlakuan tradisi ritual keagamaan tertentu, membaca do’a sebelum
memulai pelajaran, shalat berjamaah di sekolah, peringatan hari besar Islam.28
Selain itu, kegiatan (pembelajaran) PAI diarahkan untuk meningkatkan
keyakinan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama Islam dari
peserta didik, yang disamping untuk membentuk kesalehan atau kualitas pribadi, juga
27
Court, D, Religious Experience as an Aim of Religious Education. British Journal of Religious
Education, 2013), h. 251-263.
28
Irma Novayani, Studi Kebijakan Pengembangan Pendidikan Agama Islam Sekolah dan
Perguruan Tinggi Umum (PTU), (Jurnal At-Tadbir STAI Darul Kamal NW Kembang Kerang. Vol. 1,
No. 2, 2018), h. 10. pp. 1-16.
sekaligus untuk membentuk kesalehan sosial.29 Kesalehan pribadi mengandung
makna seseorang muslim yang baik, yang memiliki komitmen untuk memperbaiki,
meningkatkan serta mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya sekaligus
meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaannya secara berkelanjutan. Sedangkan
kesalehan sosial mengandung makna seseorang yang kreatif tersebut memiliki
kepedulian untuk berhubungan secara harmonis dengan lingkungan sosial dan alam
sekitarnya, sekaligus mampu ikut bertanggung jawab terhadap pengembangan
masyarakatnya atau memiliki keunggulan partisipatoris yang dilandasi oleh
tingginya kualitas iman dan taqwa terhadap Allah.30
Karena itu, pengembangan pendidikan agama Islam diharapkan agar mampu
menciptakan ukhuwah islamiyah dalam arti luas, yakni persaudaraan sebagaimana
yang selama ini dipahami, serta mampu membentuk kesalehan pribadi sekaligus
kesalehan sosial.31 Hal ini mengingat bahwa pada dasarnya masyarakat Indonesia
merupakan masyarakat yang serba plural, masyarakat yang berbeda-beda agama, ras,
etnis, tradisi, dan budaya, tetapi bagaimana melalui kearagaman ini dapat dibangun
suatu tatanan hidup serta toleransi yang dinamis dalam membangun bangsa
Indonesia.
29
Muhaimin, et.al., Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama
Islam di Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 76.
30
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikann Islam,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h.
173.
31
Muhaimin, Wacana Pengembangan, h. 172. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang
pluralistik memang sangat rentan munculnya konflik dan perpecahan masyarakat, sehingga pendidikan
agama dalam kalangan mahasiswa, dapat dipandang sebagai pisau bermata dua, menjadi faktor
pemersatu sekaligus faktor pemecah belah. Fenomena semacam ini, menurut Muhaimin paling tidak,
akan ditentukan oleh: (1) Teologi agama dan doktrin ajarannya, (2) Sikap dan perilaku pemeluknya
dalam memahami dan menghayati agama tersebut, (3) Lingkungan sosio-kultural yang
mengelilinginya, dan (4) Peranan dan pengaruh dosen yang mengarahkannya.Lihat Rafi’ah Gazali,
Tradisi Keilmuan Islam di Perguruan Tinggi Umum Suatu Tinjauan Di Bidang Hukum Islam dan
Pranata Sosial, (Ijtimaiyya, Vol. 6, No. 2, Agustus 2013), h. 100, pp. 83-113.
F. Implementasi Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum
Perguruan tinggi merupakan salah satu lembaga pendidikan yang secara
formal diserahi tugas dan tanggung jawab mempersiapkan mahasiswa sesuai
dengan tujuan pendidikan nasional yaitu mengisi kebutuhan masyarakat akan
tersedianya tenaga ahli dan tenaga terampil dengan tingkat dan jenis kemampuan
yang sangat beragam. Berdasarkan struktur perguruan tinggi di Indonesia dapat
dikelompokkan kategori yaitu: Pertama, Perguruan Tinggi Umum (PTU) yang
dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Kedua, Perguruan Tinggi Agama
Islam (PTAI) yang dikelola oleh Departemen Agama.32 Pengelompokkan perguruan
tinggi di Indonesia seperti ini berimbas kepada jenis penyelenggaraan pendidikan
agama, tujuan serta kurikulum pendidikan agama pada dua kelompok perguruan
tinggi tersebut. PAI berperan menyajikan informasi yang jelas dan benar tentang
agama. Tidak adanya pembelajaran PAI di PTU akan mengakibatkan larinya para
mahasiswa kepada organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok keagamaan yang
menyuguhkan kebahagian semu, yang justru bertentangan dengan agama, masyarakat
dan pemarintah.33
32
Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin, Isu-Isu Kontemporer Tentang Pendidikan
Islam,(Jakarta: Kalam Mulia, 2010), h. 236.
33
Paristtiyanti Nurwardani, dkk, Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta:
Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan
Tinggi, 2016), h. 25
universitas yang berciri khas agama Islam. Berbeda dengan penyelenggaraan
pendidikan agama Islam di PTU, dimana bertujuan untuk memenuhi kewajiban setiap
orang mengetahui dasar-dasar ajaran agamanya sebagai seorang pemeluk agama,
kurikulum PAI di PTU hanya merupakan mata kuliah pengembangan kepribadian,
bukan merupakan mata kuliah dasar keahlian dan mata kuliah keahlian, dan kondisi
perbedaan latar belakang keagamaan mahasiswanya juga bermacam-macam, dalam
arti mahasiswa di PTU lebih bersifat heterogen, jadi dengan keadaan yang seperti itu,
sangat sulit untuk menciptakan lingkungan yang religius bernuansa Islam. 34
36
Artikel SyukriFathudinAchmadWidodo, Manajemen Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Di Perguruan Tinggi Umum, h. 5.
37
Sebagai orang yang menjadi teladan bagi anak didiknya, selain persyaratan yang berhubungan
dengan profesi, juga harus memiliki akhlak sebagai guru, seperti yang dicontohkan oleh pendidik
utama, Rasulullah saw., sebagai berikut: a. Mencintai jabatan sebagai seorang pendidik, b. Bersikap
adil terhadap semua murid, c. Berlaku sabar dan tenang, d. Berwibawa, e. Gembira, f. Bersifat
manusiawi , g. Dapat bekerjasama dengan guru lain , h. Dapat berkerjasama dengan masyarakat. Lihat;
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), Cet. Ke-6, h. 42-44.
38
UU No 14 tahun 2005 BAB VIII pasal 26.
Sebagai pelaksana pembelajaran, dosen PAI sejatinya memiliki kompetensi
yang benar-benar terukur. Hal ini memunculkan gagasan tentang perlunya
standarisasi dosen PAI di Perguruan Tinggi Umum.39 Terkait hal ini Hidayatullah40,
mengemukakan bahwa:
Pertama, dosen PAI adalah agen pembelajaran yang berkompetensi
menjalankan tugas untuk menyalurkan pengetahuan (transfer of knowledge) serta
nilai-nilai (transfer of value) dalam rangka mengembangkan fitrah dan kemampuan
dasar yang dimiliki peserta didik supaya berkembang secara optimal. Peran utama
dosen PAI adalah sebagai pengajar, pembimbing, dan pelatih. Dalam hal ini ia
dituntut untuk menguasai kemampuan yang disebut dengan kompetensi.
Kedua, kompetensi dosen PAI adalah pengetahuan tentang agama Islam,
keterampilan, dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan
bertindak yang dimiliki oleh setiap dosen PAI dalam memberikan pendidikan,
pengajaran, bimbingan, dan pelatihan kepada peserta didiknya. Secara umum dalam
melaksanakan tugasnya, dituntut untuk mempunyai kemampuan dalam menggunakan
strategi dan metode pembelajaran (kompetensi pedagogik), menguasai materi dan
bahan ajar (kompetensi profesional), memiliki sikap dan kepribadian yang baik
(kompetensi kepribadian), dan mampu berinteraksi secara baik dengan mahasiswa,
sesama pendidik, dan pengabdian pada masyarakat masyarakat (kompetensi sosial).
39
Menurut PUSLITBANG pendidikan agama dan keagamaan, standar kompetensi dosen PAI
tidak bisa dilepaskan dari Tri Darma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian
serta pengabdian masyarakat. Jika dikelompokkan kompetensi dosen dapat dibagi menjadi tiga
komponen kompetensi, yaitu: Pertama, kompetensi kompetensi pengelolaan pembelajaran yang
mencakup: (1) penguasaan bahan ajar; (2) penyusunan satuan acara perkuliahan; (3) pelaksanaan
interaksi belajar mengajar; (4) penilaian prestasi belajar mahasiswa; (5) pelaksanaan tindak lanjut hasil
penilaian; Kedua, komponen kompetensi profesi akademik yang mencakup: (1) penelitian ilmiah; (2)
menulis artikel dan makalah; (3) mengalihbahasakan buku; (4) menyusun buku teks, dan (5)
mengadakan penelitian ilmiah. Ketiga, komponen kompetensi sosial terdiri atas: (1) memberi
pelatihan, penyuluhan, dan penataran; (2) memberikan pelayanan kepada masyarakat. Lihat;
PUSLITBANG Pendidikan Agama dan Keagamaan, Strategi Peningkatan Mutu Dosen PTAI, (Jakarta,
2005), h. 28.
40
Hidayatullah, Standarisasi Dosen Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, (At-
Tajdid: Jurnal Ilmu Tarbiyah, Vol. 4 No. 2 2015), h. 18-19, pp. 1-24.
Ketiga, seorang dosen PAI juga harus mengembangkan kompetensi yang
dimiliki secara kontinue. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melanjutkan pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi. Karena dosen perlu mengembangkan wawasan
pengetahuannya. Selain itu dapat mengikuti seminar, memanfaatkan jurnal-jurnal
Perguruan Tinggi, dan aktif dalam penelitian-penelitian ilmiah. Keempat, paradigma
baru pembelajaran pada era globalisasi memberikan tantangan yang besar bagi dosen
PAI untuk lebih meningkatkan kompetensi dan profesionalitasnya terutama di bidang
ilmu teknologi dan informasi. Dosen PAI diharapkan mampu mengembangkan dan
memberikan inovasi-inovasi dalam preoses pembelajaran sehingga dapat
menghasilkan out-put yang bermutu dengan standar internasional.
Demikian beberapa syarat yang sebaiknya dimiliki oleh seorang guru/dosen,
karena selain dia mengajar untuk pengembangan peserta didik, baik secara kognitif,
afektif, dan psikomotorik, juga sebagai pendidik yang bertangggung jawab membina
kepribadian anak didik, dan harus menjadi teladan.
41
Paristiyanti Nurwardani, dkk, Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta:
Kemenristek Dikti, Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, 2016), h. 14.
42
Dalam UU No. 20 tahun 2003, dalam bab II pasal 3 dinyatakan bahwa: “Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
4. UU No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
2010-2014;
5. PP RI No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan
keagamaan;43
6. PP No. 19 tahun 2005, sebagaimana diubah dengan PP No. 032 tahun 2013,
tentang Standar Nasional Pendidikan;
7. UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
8. Keputusan DIRJEN Pendidikan Tinggi, DEPDIKANS, Nomor:
38/DIKTI/Kep 2002, Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab”. Dalam pasal 37 ayat 2 tentang kurikulum dinyatakan: kurikulum
pendidikan tinggi wajib memuat: 10. Pendidikan agama, 2). Pendidikan kewarganegaraan, 3). Bahasa.
Dalam bab V pasal 12 bagian 1 (a) menyebutkan bahwa “Setiap peserta didik pada satuan pendidikan
berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh
pendidik yang seagama”.
43
Peraturan Pemerintah RI No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan
keagamaan pasal 2 ayat 1 dan 2 menjelaskan bahwa: Pendidikan agama berfungsi membentuk
manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia
dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama. Sedangkan
tujuan pendidikan agama untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami,
menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni. Sedangkan Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta
didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya
dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik
yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang
berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
2. Penelitian yang dilaksanakan berkaitan dengan problematika
keagamaan yang terjadi dilingkungan masyarakat, baik dalam masalah
pendidikan dan pengajarannya, prakteknya dan pemahamannya, serta
permasalahan yang perlu dikaji berdasarkan kepada al-qur’an, hadist
dan ijtihad.
3. Pengabdian kepada masyarakat, merupakan usaha yang dilakukan oleh
seseorang baik secara individu, bersama-sama atau kelompok atau
lembaga untuk membantu peningkatan taraf kehidupan masyarakat
yang dibantu sesuai dengan misi yang diembannya. Pengabdian
kepada masyarakat oleh perguruan tinggi dengan demikian harus
mencakup beberapa aspek: 1. Pengembangan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni; 2. Penyebar luasan ilmu pengetahuan, teknologi
dan seni; 3. Penerapan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni; 4.
Pemberian bantuan keahlian kepada masyarakat; 5. Pemberian jasa
pelayanan profesional kepada masyarakat.44
Hal tersebut adanya keinginan yang besar pada sebuah
perguruan tingggi tidak hanya memproduksi manusia berilmu dan
berpikir secara konseptual tetapi tidak memiliki kepekaan sosial atau
kepedulian lingkungan ditengah-tengah kehidupannya.45 Pengabdian
Kepada Masyarakat di perguruan tinggi dilaksanakan dengan memiliki
tujuan;46
44
Agus Salim Sitompul (ed), "Tahap-tahap Pelaksanaan Pengabdian pada Masyarakat", dalam
Metodologi Pengabdian pada Masyarakat, (Yogyakarta: P3M IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1993),
h. 132-133.
45
Sudi, Pengabdian Kepada Masyarakat Bagi Perguruan Tinggi Agama Islam, (Aplikasia, Jumal
Aplikasi llmu-ilmu Agama, Vol. V, No. 2, Desember 2004), h. 162, pp. 161 -172.
46
Margono Slamet, dalam Agussalim Sitompul,ed., Metodokgi Pengabdian pada Masyarakat,
(Yogyakarta: P3M IAIN Sunan Kalijaga,1993), h. 36. Ada enam bentuk kegiatan yang sering
dilakukan dalam pengabdian kepada masyarakat di sebuah perguruan tinggi yaitu: (1). Pendidikan
kepada masyarakat, (2). Pelayanan kepada masyarakat. (3). Pengembangan hasil penelitian. (4).
Pengembangan wilayah secara terpadu. (5). Transfer teknologi. (6). Kuliah kerja nyata. Lihat.
1) Mempercepat proses peningkatan kemampuan sumberdaya
manusia sesuai dengan dinamika pembangunan;
2) Mempercepat upaya pengembangan masyarakat ke arah
terbinanya masyarakat dinarnis yang siap mengikuti perubahan-
perubahan ke arah perbaikan dan kemajuan yang sesuai dengan
nilai-nilai masyarakat;
3) Mempercepat upaya pembinaan institusi dan profesi masyarakat
sesuai dengan perkembangannya dalam proses modernisasi.;
4) memperoleh umpan balik dan masukan lain bagi perguruan
tinggi yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan relevansi
pendidikan dan penelitian yang dilakukannya dengan kebutuhan
situasi.
Sehingga pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan dapat
diartikan sebagai bentuk kegiatan; pendidikan kepada masyarakat,
pelayanan kepada masyarakat, pengembangan hasil penelitian,
pengembangan wilayah secara terpadu, transfer teknologi, kuliah kerja
nyata.praktek langsung dari teori yang diperoleh pada sebuah
perguruan tinggi dari ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan ilmu
lainnya yang berkaitan dengan pendidikan agama Islam sesuai
prosedur kaedah keilmuan, yang dilakukan secara kelompok,
melembaga, langsung kepada masyarakat sasaran (yang akan
menikmatinya), dengan sasaran masyarakat baik perorangan,
kelompok, organisasi pemerintah/swasta/masyarakat umum.
Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2006), Cet.
Ke-6.
Mohd. Nor Wan Daud, Wan, Filsafat dan Prektek Pendidikan Islam Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Bandung: Mizan,1998.
2. Jurnal
Budianto, Nanang, Pengembangan Sistem Pendidikan Agama Islam pada
Perguruan Tinggi Umum, FALASIFA: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 7 No. 1,
2016.
Djaelani, Moh.Solikodin, Peran Pendidikan Agama Islam Dalam Keluarga
Dan Masyarakat, Jurnal Ilmiah WIDYA, Volume 1 Nomor 2, 2013, pp. 100-105
3. Undang-undang
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006, pasal 1 dan pasal 2.