Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kita ketahui bersama bahwa kita sekarang memasuki era baru, yakni Era
Revolusi Industri 4.0. Era di mana terjadi perubahan besar-besaran melalui kemajuan
teknologi yang ditandai oleh hadirnya kecerdasan buatan dan era digital yang terjadi
di berbagai bidang. Perubahan pada era ini memiliki dampak hampir di seluruh aspek
kehidupan manusia, baik aspek sosial, budaya, ekonomi dan tak lupa aspek diri
seseorang atau pribadi. Perubahan ini tidak hanya terjadi pada kalangan dewasa,
remaja tetapi tak lain juga terjadi pada anak usia Taman Kanak-kanak (TK) maupun
Sekolah Dasar (SD).

Menciptakan pendidikan yang bermutu terutama di sekolah formal, tentunya


tidak hanya dilakukan dengan pemberian ilmu pengetahuan yang menyangkut aspek
kognitif, afektif, dan psikomotorik saja, namun juga diperlukan adanya dukungan dari
peningkatan profesionalisasi tenaga pendidiknya dan pengembangan keampuan
peserta didik yang memandirikan supaya peserta didik dapat mengambil
keputusannya sendiri demi tercapainya tugas-tugas perkembangannya. Untuk
mencapai perkembangan peserta didik yang sehat dan optimal, pastinya diperlukan
kerjasama (teamwork) yang baik antara manajemen, pengajaran, dan bimbingan dan
konseling, dan yang paling utama adalah peran bimbingan dan konseling. Akan tetapi
pada saat ini masih ada hambatan-hambatan yang mungkin terjadi pada saat
dilakukannya proses konseling tersebut sehingga mengakibatkan pelayanannya belum
optimal. Pelayanan yang belum optimal tentunya dapat mengganggu peserta didik
dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya. Oleh karena itu hambatan-hambatan
yang mungkin terjadi dalam proses pelayanan bimbingan dan konseling harus
diminimalisir dan bila perlu dihilangkan.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa saja tantangan pendidikan Bimbingan konseling?


2. Apa Saja Faktor hambatan Proses Konseling ?

C. TUJUAN

1. Mengetahui tantangan pendidikan Bimbingan Konseling

2. Mengetahui faktor hambatan Bimbingan Konseling

BAB II
PEMBAHASAN

A. Tantangan pendidikan Bimbingan Konseling

Pada tatanan global Tucker (dalam Surya, 2011) mengidentifikasi adanya


sepuluh tantangan di abad 21 yaitu : (1) kecepatan (speed), (2) kenyamanan
(convinience), (3) gelombang generasi (age wave), (4) pilihan (choice), (5) ragam
gaya hidup (life style), (6) kompetisi harga (discounting), (7) pertambahan nilai
(value added), (8) pelayananan pelanggan (costumer service), (9) teknologi
sebagai andalan (techno age), dan (10) jaminan mutu (quality control).

Revolusi 4.0 juga akan berdampak terhadap disrupsi teknologi, hukum,


ekonomi, pertanian serta kehidupan sosial lainnya, termasuk sektor pendidikan.
Penanggulangani disrupsi di bidang pendidikan dari berbagai jenjang serta tingkat
memerlukan kreativitas pendidik dan tenaga kependidikan lainnya, termasuk di
dalamnya Guru BK/Konselor Sekolah dalam menyiapkan peserta didik/konseli
yang berkembang secara optimal di era milinium 4.

Seorang guru dan guru BK harus bisa mengenali siswanya secara


mendalam dengan melakukan wawancara atau interaksi dengan tanya jawab
ringan. Mengamati tingkah laku setiap siswanya dengan memiliki catatan
kegiatan siswa. Dengan begitu guru dan guru BK dapat menangani masalah yang
timbul. Karena dalam pendidikan karakter di era revolusi industri 4.0 harus
mencerminkan sikap keselarasan antara kejujuran, tanggung jawab, mandiri,
moral, akhlak dan kecerdasan.

Tuntutan itulah yang membuat guru BK masa kini meng-upgrade self


capacity dalam menjalankan peranan di era revolusi industri 4.0 ini. Seperti yang
kita ketahui revolusi membawa dampak yang besar bagi peradaban manusia, dan
termasuk di dalamnya adalah anak-anak dan remaja.

Pada era revolusi Industri 4.0, otomatisasi terjadi pada hampir di semua bidang.
Temuan teknologi modern dan pendekatan baru yang menggabungkan antara dunia
digital,dunia fisik, dan biologi dapat mengubah pola hidup dan interaksi manusia
(Tjandrawinata, 2016; Yahya, 2018). Era Indusri 4.0 ditandai perubahan yang cepat dan
tidak stabil, sulit diprediksi secara tepat, kompleks dan ambigu penuh ketidakpastian,
oleh karena itu menuntut kita memilikikemampuan untuk memprediksi masa depan
yang berubah sangat cepat. Perubahan tersebut perlu direspon secara terintegrasi dan
komprehensif, sehingga tantangan Revolusi Industri 4.0 menjadi sebuah peluang yang
dapat dimanfaatkan untuk mendukung perkembangan profesi BK.

Beberapa ahli telah mengidentifikasi tantangan yang muncul di era revolusi


industri 4.0. diantaranya; tantangan yang muncul di era RI 4.0 menurut Yahya (2018)
yaitu 1) keengganan untuk berubah, 2) kurangnya ketrampilan yang memadai, 3)
hilangnya banyak pekerjaan karena berubah menjadi otomatisasi, 4) keandalan dan
stabilitas mesin produksi, 5) masalah keamanan teknilogi informasi. Sementara itu,
Irianto (2017) tantangan industri 4.0 yaitu; kemudahan pengaturan sosial budaya,
kesiapan industri, tenaga kerja terpercaya dan diversifikasi dan penciptaan lapangan
kerja.

B. Hambatan-hambatan Dalam Proses Konseling


Secara garis besar hambatan bimbingan dan konseling dalam
dikelompokkan dalam dua hal, yaitu 1) hambatan internal dan 2) hambatan
eksternal.
1. Hambatan Internal.
Hambatan internal ini berkaitan dengan kompetensi konselor. Kompetensi
konselor meliputi kompetensi akademik dan kompetensi profesional. Kompetensi
akademik konselor yakni lulusan S1 bimbingan konseling atau S2 bimbingan
konseling dan melanjutkan pendidikan profesi selama 1 tahun. Kenyataan di
lapangan membuktikan bahwa masih banyak di temukan diberbagai sekolah SMP,
MTs, MA, SMA, dan SMK guru BK non BK, artinya konselor sekolah yang
bukan berlatar pendidikan bimbingan konseling. Mereka diangakat oleh kepala
sekolah karena dianggap bisa atau mereka yang berasal dari sarjana agama.
Meskipun secara keilmuan mereka tidak mendalami tentang teori-teori bimbingan
konseling.
Kompetensi profesional terbentuk melalui latihan, seminar, workshop.
Untuk menjadi konselor profesional memerlukan proses dan waktu. Konselor
profesional membutuhkan jam terbang yang cukup matang. Di samping itu masih
juga ditemukan dilapangan, adanya manajemen bimbingan dan konseling yang
masih amburadul. Uman Suherman (2008), lebih lanjut menjelaskan mengenai
manajemen bimbingan dan konseling, layanan bimbingan dan konseling perlu
diurus, diatur, dikemudikan, dikendalikan, ditangani, dikelola, diselenggarakan,
dijalankan, dilaksanakan dan dipimpin oleh orang yang memiliki keahlian,
keterampilan, serta wawasan dan pemahaman tentang arah, tujuan, fungsi,
kegiatan, strategi dan indikator keberhasilannya.

2.      Hambatan Eksternal.
a. Layanan Bimbingan dan Konseling dapat dilakukan oleh siapa saja
Bimbingan dan konseling dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip
keilmuan dan teknologi (yaitu mengikuti filosopi, tujuan, metode, dan asas-asas
tertentu), dengan kata lain dilaksanakan secara profesional. Salah satu ciri
keprofesionalan bimbingan dan konseling adalah bahwa pelayanan itu harus
dilakukan oleh orang-orang yang ahli dalam bidang bimbingan dan konseling.
Keahliannya itu diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang cukup lama di
Perguruan Tinggi, serta pengalaman-pengalaman.

b. Bimbingan dan Konseling hanya untuk orang yang bermasalah saja


Sebagian orang berpandangan bahwa BK itu ada karena adanya masalah,
jika tidak ada maka BK tidak diperlukan, dan BK itu diperlukan untuk membantu
menyelesaikan masalah saja. Memang tidak dipungkiri bahwa salah satu tugas
utama bimbingan dan konseling adalah untuk membantu dalam menyelesaikan
masalah. Tetapi sebenarnya juga peranan BK itu sendiri adalah melakukan
tindakan preventif agar masalah tidak timbul dan antisipasi agar ketika masalah
yang sewaktu-waktu datang tidak berkembang menjadi masalah yang besar.
c. Keberhasilan layanan BK tergantung kepada sarana dan prasarana
Kehandalan dan kehebatan seorang konselor itu disebabkan dari
ketersediaan sarana dan prasarana yang lengkap dan mutakhir. Seorang konselor
yang dinilai kurang bagus kinerjanya, seringkali berdalih dengan alasan bahwa ia
kurang didukung oleh sarana dan prasarana yang bagus. Sebaliknya pihak konseli
pun terkadang juga terjebak dalam asumsi bahwa konselor yang professional
terlihat dari sarana dan prasarana yang dimiliki konselor. Pada hakikatnya
profesionalitas konselor itu dinilai bukan dari faktor luarnya, tetapi lebih kepada
faktor kepribadian konselor itu sendiri, termasuk didalamnya pemahaman agama,
tingkah laku sehari-hari, pergaulan dan gaya hidup.
d. Konselor harus aktif, sedangkan konseli harus/boleh pasif
Sering kita temukan bahwa konseli sering menyerahkan sepenuhnya
penyelesaian masalahnya kepada konselor, mereka menganggap bahwa memang
itulah kewajiban konselor, terlebih lagi jika dalam pelayanan Bk tersebut konseli
harus membayar. Hal ini terjadi sebenarnya juga disebabkan karena tak jarang
konselor yang membuat konseli itu menjadi sangat berketergantungan dengan
konselor. Konselor terkadang mencitrakan dirinya sebagai pemecah masalah yang
handal dan dapat dipercaya. Konselor seperti ini biasanya berorientasi pada
ekonomi bukan pengabdian. Tak jarang juga konselor yang enggan melepaskan
konselinya, sehingga dia merekayasa untuk memperlambat proses penyelesaian
masalah, karena tentunya jika tiap pertemuan konseli harus membayar maka akan
semakin banyak keuntungan yang diperoleh konselor.
e. Menganggap hasil pekerjaan Bimbingan dan Konseling harus segera
terlihat
Konseli (orangtua/keluarga konseli) yang berekonomi tinggi memaksakan
kehendak kepada konselor untuk dapat menyelesaikan masalahnya secepat
mungkin tak peduli berapapun biaya yang harus dikeluarkan. Tidak jarang
konselor sendiri secara tidak sadar atau sadar (karena ada faktor tertentu)
menyanggupi keinginan konseli yang seperti ini, biasanya konselor ini meminta
kompensasi dengan bayaran yang tinggi. Yang lebih parah justru kadang ada
konselor itu sendiri yang mempromosikan dirinya sebagai konselor yang mampu
menyelesaikan masalah secara tuntas dan cepat. Pada dasarnya yang mampu
menganalisa besar/kecil nya masalah dan cepat/lambat nya penanganan masalah
adalah konselor itu sendiri, karena konselor tentunya memahami landasan dan
kerangka teoritik BK serta mempunyai pengalaman dalam penanganan masalah
yang sejenisnya.
f. Guru Bimbingan dan Konseling di sekolah adalah “polisi sekolah”
Masih banyak anggapan bahwa bimbingan dan konseling adalah “polisi
sekolah”. Hal ini disebabkan karena seringkali pihak sekolah menyerahkan
sepenuhnya masalah pelanggaran kedisiplinan dan peraturan sekolah lainnya
kepada guru BK. Bahkan banyak guru BK yang diberi wewenang sebagai
eksekutor bagi siswa yang bermasalah. Sehingga banyak sekali kita temukan di
sekolah-sekolah yang menganggap guru Bk sebagai guru yang ditakuti. Guru
(BK) itu bukan untuk ditakuti tetapi untuk disegani, dicintai dan diteladani. Jika
kita menganalogikan dengan dunia hukum, konselor harus mampu berperan
sebagai pengacara, yang bertindak sebagai sahabat kepercayaan, tempat
mencurahkan isi hati dan pikiran. Konselor adalah kawan pengiring, penunjuk
jalan, pemberi informasi, pembangun kekuatan, dan pembina perilaku-perilaku
positif yang dikehendaki sehingga siapa pun yang berhubungan dengan
bimbingan konseling akan memperoleh suasana sejuk dan memberi harapan.
Kendati demikian, konselor juga tidak bisa membela/melindungi siswa yang
memang jelas bermasalah, tetapi konselor boleh menjadi jaminan untuk
penangguhan hukuman/pe-maaf-an bagi konselinya. Yang salah tetaplah salah
tetapi hukuman boleh saja tidak diberikan, bergantung kepada besar kecilnya
masalah itu sendiri.
BAB III
KESIMPULAN
Tantangan yang dihadapi profesi bimbingan dan konseling di era revolusi 4.0,
diantaranya adalah Beberapa ahli telah mengidentifikasi tantangan yang muncul di era
revolusi industri 4.0. diantaranya; tantangan yang muncul di era RI 4.0 menurut Yahya
(2018) yaitu 1) keengganan untuk berubah, 2) kurangnya ketrampilan yang memadai, 3)
hilangnya banyak pekerjaan karena berubah menjadi otomatisasi, 4) keandalan dan
stabilitas mesin produksi, 5) masalah keamanan teknilogi informasi. Sementara itu, Irianto
(2017) tantangan industri 4.0 yaitu; kemudahan pengaturan sosial budaya, kesiapan
industri, tenaga kerja terpercaya dan diversifikasi dan penciptaan lapangan kerja.
Ada beberapa hambatan dalam pendidikan Bimbingan Konseling yaitu Hambatan
Internal.Hambatan internal ini berkaitan dengan kompetensi konselor. Kompetensi
konselor meliputi kompetensi akademik dan kompetensi profesional dan Hambatan
Eksternal meliputi ; Layanan Bimbingan dan Konseling dapat dilakukan oleh siapa
saja, Bimbingan dan Konseling hanya untuk orang yang bermasalah saja, Konselor
harus aktif, sedangkan konseli harus/boleh pasif, Menganggap hasil pekerjaan
Bimbingan dan Konseling harus segera terlihat, Guru Bimbingan dan Konseling di
sekolah adalah “polisi sekolah”
DAFTAR PUSTAKA

Mardina, Riana. 2011. Potensi Digital Natives dalam Representasi Literasi Informasi Multimedia
Berbasis Web di Perguruan Tinggi. Jurnal Pustakawan Indonesia, Vol. 11, No.1.

Prayitno, & Erman Amti. (2004). Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta. Hal 92-98

Alan. (2012). Hambatan Konselor dalam Melaksanakan Layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah.
Diakses 9 Mei 2012, dari http://alan03-konselorfile.blogspot.com/2012/05/hambatan-konselor-dalam-
melaksanakan.html

Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan
Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional hal.
132-135

Anda mungkin juga menyukai