Anda di halaman 1dari 10

Pertemuan 2

MATERI PERKULIAHAN

A. Hakikat Budaya
Kehidupan manusia lekat dengan budaya yang meliputi dan mempengaruhi
setiap aspek kehidupan manusia yang terjadi. Hampir semua aktivitas manusia
dilakukan tidak lepas dari pengaruh budaya mulai dari makan, tidur, dan berinteraksi
dengan orang lain. Budaya ada dalam setiap peristiwa penting manusia mulai dari
kelahiran, pernikahan, hingga kematian.Bahkan manusia yang baik digambarkan
sebagai manusia yang berbudaya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Versi online) budaya /bu·da·ya/n
berarti (1) pikiran; akal budi: hasil; (2) adat istiadat: menyelidiki bahasa; (3) sesuatu
mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju); (4)sesuatu yang
sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah. Berarti, dapat di maknai bahwa
budaya adalah hasil dari pikiran, akal, budi, adat istiadat, yang sudah menjadi
kebiasaan dan sulit untuk diubah.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh.budaya bersifat kompleks,
abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku
komunikatif.Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar, dan meliputi banyak kegiatan
sosial manusia (Mulyana & Dedi dalam Wikipedia).
Hosftede dalam Muslihati (2013) medefiniskan budaya sebagai pemrograman
mental individu secara kolektif dalam sebuah lingkungan. Pengaruhnya menyentuh
perilaku, hubungan interpersonal, cara berfikir, merasa, berbicara dan sebagainya.
Verhelst dalam Muslihati (2013) menyebutkan budaya adalah setiap aspek
kehidupan, pengetahuan mengenai bagaimana cara melakukan segala sesuatu,
pengetahuan tehnis, makanan dan pakaian, yang telah menjadi sebuah kebiasaan,
agama, mentalitas, nilai-nilai, bahasa, simbol-simbol, sosial dan politik.
Heini dalam Muslihati (2013) merujuk kata kultur dengan perilaku dan
kebiasaan masyarakat tertentu. Dalam konteks ini menyangkut ide, nilai, keyakinan,
teknologi, kebiasaan, dan perilaku yang dipelajari dari orang lain.
Menurut Koetjaningrat menjelaskan budaya dapat dimaknai sebagai
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia yang diperoleh dari
hasil belajar dalam kehidupan masyarakat, yang dijadikan milik manusia itu sendiri.

Khusus berbicara pada tataran individual dimana kultur


memberi pengaruh pada kehidupan individu lebih dari sekedar
perilaku semata, terlihat hubungan yang sangat dekat sekali antara
kultur dengan beberapa konsep-konsep dasar psikologi khususnya
konsep-konsep yang membangun entitas psikologis seorang
manusia, yaitu kepribadian dan konsep diri (Dayakisni dan Yuniardi,
2008:59).

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa budaya


merupakan hasil pikiran, akal, budi, adat istiadat yang diperoleh dari hasil belajar
dalam kehidupan masyarakat yang kemudian dijadikan milik manusia itu sendiri,
dimana hal tersebut akan mempengaruhi individu dalam berperilaku, cara berfikir,
mempersepsi, menilai merasa, berbicara, hubungan interpersonalnya. Budaya juga
dapat menyangkut ide, nilai, keyakinan, membentuk suatu kebiasaan individu.
Sehingga budaya membuat individu menjadi unik dan berbeda satu sama lain, karena
setiap individu memiliki nilai-nilai yang berbeda.

B. Hakikat Budaya dalam Konseling


Menurut Winkel (dalam Hamdani, 2012), konseling adalah serangkaian
kegiatan paling pokok dari bimbingan dalam usaha membantu konseli secara tatap
muka dengan tujuan agar konseli dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap
berbagai persoalan atau masalah khusus. Burn dalam Supriatna (2009) “cross
cultural counseling is the process of counseling individuals who are of different
culture/cultures than that of the therapist”. Dari pendapat tersebut dapat diartikan
bahwa konseling lintas budaya merupakan hubungan konseling pada budaya yang
berbeda antara konselor dengan konseli.Dengan makna lain konseling adalah sebuah
“perjumpaan budaya” antara konselor dan konseli. Aspek-aspek budaya tersebut
diantaranya adalah bahasa, adat istiadat, nilai, kepercayaan, spiritualitas, peran seks,
sejarah sosio-politik, dan lain-lain.Aspek-aspek tersebut memiliki dampak dalam
konseling.
Budaya yang diketahui membentuk keunikan inividu inilah sangat
mempengaruhi cara seseorang dalam memahami keberadaannya, perilakunya,
hubungan interpersonal, pengertian tentang suatu makna dan sebagainya.
Setiap individu hadir dengan kekhasannya masing-masing dan tidak ada satu
pun yang memiliki budaya yang sama, sekalipun individu tersebut berjenis kelamin
yang sama, budaya yang sama, berasal dari etnik yang sama, dan bahkan
berkeyakinan agama yang sama, di mana kekhassan itu akan dibawa dalam proses
konseling.
Hal penting yang harus dipahami konselor adalah hasil-hasil yang ingin
dicapai dalam proses konselingtidak boleh dihalangi perbedaan budaya konselor dan
klien/konseli.
Perbedaan budaya antara konseli dengan konselor dapat menyebabkan proses
konseling menjadi terhambat dan konseli mungkin memiliki kesulitan dalam
menerima dan mempercayai konselor. Sebagaimana yang ditulis oleh d’Ardenne dan
Mehtani (1989: 78, dalam McLeod, 2006: 292 ):
“Konseli dengan bias kultural dan rasial seumur hidupnya akan membawa luka
dari pengalaman ini dalam hubungan terapeutik. Biasanya konselor berasal dari
kultur mayoritas, dan akan dinisbahkan kepada masyarakat rasis kulit putih.
Dengan demikian dalam pandangan konseli, konselor merupakan bagian
masalah sekaligus bagian dari solusi“

Berdasarkan pernyataan di atas dapat dimaknai bahwa penting bagi konselor


untuk mengetahui dan memahami budaya yang menjadi latar belakang
konseli.Memahami pengaruh nilai budaya, keyakinan, perilaku dan hal-hal lain
terhadap klien jelas penting ketika individu-individu seperti konselor dan klien dari
latar belakang budaya yang berbeda berusaha membangun hubungan memahami satu
sama lain.Hal tersebut berfungsi untuk minimalisir kesalahpahaman selama proses
konseling berlangsung. Apabila proses konseling dilakukan tanpa memahami kondisi
dan latar belakang konseli, maka akan timbul permasalahan baru. Sehingga, konselor
tidak hanya membantu dalam penemuan solusi pemecahan masalah, namun juga bisa
menambah masalah baru bagi konseli.
Konseling yang merupakan proses perjumpaan antara konselor dan konseli
yang tentu saja memiliki budaya yang berbeda, menuntut konselor harus memiliki
kompetensi ataupun keterampilan di dalam dirinya serta mampu peka dan memiliki
sensitivitas dalam menghargai dan menghormati keberagaman budaya tersebut. Saat
mengupayakan konseling yang positf dan bermakna, konselor harus sadar bahwa
bahwa manusia (konseli) yang duduk di hadapannya adalah makhluk yang
unik/memiliki kekhasan yang tentu saja berbeda dengan orang lain dan penting untuk
klien/konseli merasakan bahwa Anda (konselor) sadar dan peka terhadap
keunikannya, (Gibson dan Mitchel: 2010). Lebih lanjut Gibson dan Mitchel
menjelaskan konselor harus menunjukkan sikap menerima san menghargai klien, dan
konselor harus merasakan semua ini mengalir ke luar secara alamiah dari dalam
dirinya dan menghindari penstereotipan jika ingin sukses dalam proses konseling.
Selain itu menurut Gladding cara agar bisa memahami klien adalah konselor harus
menyadari bahwa orang yang duduk di depannya adalah individu yang sangat
kompleks dan beragam. Oleh karena itu, hal yang sangat esensial dalam hal ini adalah
mengombinasikan faktor budaya dan keragaman sebagai bagian untuk memahami
individu (konseli) (Glading, 2015).
Sue (Dalam George & Cristiani: 1990) karakteristik atau ciri ciri khusus dari
konselor yang melaksanakan layanan konseling lintas budayayakni sebagai berikut:
a. Konselor lintas budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimilikinya dan
sumsi asumsi terbaru tentang perilaku manusia. Dalam hal ini, konselor yang
melakukan praktik konseling lintas budaya, seharusnya sadar bahwa dia memiliki
nilai nilai sendiri yang harus dijunjung tinggi. Konselor harus sadar bahwa nilai
nilai dan norma norma yang dimilikinya itu akan terus dipertahankan sampai
kapanpun juga. Di sisi lain, konselor harus menyadari bahwa konseli yang
akandihadapinya adalah mereka yang mempunyai nilai nilai dan norma yang
berbeda dengan dirinya. Untuk hal itu, maka konselor harus bisa menerima nilai
nilai yang berbeda itu dan sekaligus mempelajarinya.
b. Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum.
Konselor dalam melaksanakan konseling sebaiknya sadar terhadap pengertian dan
kaidah dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu karena pengertian
terhadap kaidah konseling yang terbaru akan membantu konselor dalam
memecahkan masalah yang dihadapi oleh konseli. Terutama mengenai kekuatan
baru dalam dunia konseling yaitu konseling lintas budaya.
c. Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan, dan mereka harus
mempunyai perhatian terhadap lingkungannya. Konselor dalam melaksanakan
tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang berpotensi untuk menghambat
proses konseling. Terutama yang berkaitan dengan nilai nilai atau norma norma
yang dimiliki oleh suku-suku tertentu. Untuk mencegah timbulnya hambatan
tersebut, maka konselor harus mau belajar dan memperhatikan lingkungan di
mana dia melakukan praktik. Dengan mengadakan perhatian atau observasi nilai-
nilai lingkungan di sekitarnya, diharapkan konselor dapat mencegah terjadinya
kemandegan atau pertentangan selama proses konseling.
d. Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong seseorang (konseli) untuk dapat
memahami budayanya (nilai-nilai yang dimiliki konselor). Untuk hal ini, ada
aturan main yang harus ditaati oleh setiap konselor. Konselor mempunyai kode
etik konseling, yang secara tegas menyatakan bahwa konselor tidak boleh
memaksakan kehendaknya kepada konseli. Konseli tidak boleh diintervensi oleh
konselor tanpa persetujuan konseli.
e. Konselor lintas budaya dalam melaksanakan konseling harus mempergunakan
pendekaten eklektik. Pendekatan eklektik adalah suatu pendekatan dalam
konseling yang mencoba untuk menggabungkan beberapa pendekatan dalam
konseling untuk membantu memecahkan masalah klien. Penggabungan ini
dilakukan untuk membantu konseli yang mempunyai perbedaan gaya hidup.
Selain itu, konseling eklektik dapat berupa penggabungan pendekatan konseling
yang ada dengan pendekatan yang digali dari masyarakat pribumi (indegenous).
DAFTAR RUJUKAN
Corey, G. 2009. Theory and Practice of Counseling and
Psychotherapy (8thed.). Belmont, CA: Brooks/cole.
Dayaksini, T., & Yuniardi, S. 2008.Psikologi Lintas Budaya (Edisi Revisi). Malang:
UMM Press.
Gladding, Samuel T. 2015.Konseling: Profesi yang Menyeluruh, edisi keenam.
Terjemahan Winarno & Lilian Yuwono. Jakarta: Indeks. 2009.
McLeod, John. 2015. Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus Edisi Ketiga.
Terjemahan A. K. Anwar. Jakarta: Kencana. 2006.
Muslihati.2013. Konseling Multibudaya dan Kompetensi Multibudaya Konselor.
Malang: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Negeri Malang.
Sue D.W & Sue, S. 2003. Counseling Culturally Diverse: Theory &practice.
Thousand Oaks, California: Sage Publications.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk
dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana
juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak
orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.

Kesadaran budaya menjadi urgensi dalam pemahaman tentang


keberagaman.Kesadaran budaya merupakan sikap positif manusia dalam menyikapi
perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat dan sangat dibutuhkan dalam
mengelola perbedaan-perbedaan budaya yang ada. Saat terjadi proses interaksi antar
peserta didik maka disitulah terjadi pertemuan antar ragam budaya berbeda yang
mempunyai potensi terjadi konflik, sebab budaya juga mempengaruhi cara berpikir,
berperilaku, pola kepribadian dan emosi seseorang (Muslihati, 2013: 9-16).
Komponen budaya saat ini tidak hanya terbatas pada ras dan etnis saja, melainkan
juga berkembang pada komponen kehidupan manusia lainnya yaitu meliputi usia,
letak geografis, gender, orientasi seksual, status sosial-ekonomi, ability dan disability,
agama, dan status pernikahan (Sue, 2003 dalam Muslihati: 2013).

Lee (2008) berpendapat bahwa konselor dituntut memiliki kompetensi lebih


yang berkaitan dengan isu-isu multikultur dan keragaman.Keragaman dalam konteks
masyarakat kontemporer tidak hanya tercermin dalam dimensi ras/etnis, melainkan
pada seluruh aspek budaya seperti status social ekonomi, agama/spiritualitas,
orientasi seksual, dan status abilitas. Sejalan dengan pendapat Lee, menurut Corey
(2013:25), budaya itu menunjuk pada ”more than ethnic or racial heritage; culture
also include factors such as age, gender, religion, sexual orientation, physical and
mental health ability, and socioeconomic status”.
Karena adanya keragaman budaya, maka seorang konselor yang efektif
dituntut untuk mengembangkan sensitivitas terhadap perbedaan budaya antara
konselor dan konseli.Corey (2013) mencatat pendapat para ahli tentang konselor
sebagai faktor utama kesuksesan suatu terapi (Norcross & Lambert, 2011; Norcross
& Wampold, 2011) dan konseli memberi nilai lebih pada kepribadian terapis daripada
teknik-teknik terapi yang digunakan (Lambert, 2011).
Konselor efektif yang sensitif terhadap keragaman budaya yaitu:
(1) Keragaman dalam konseling adalah dua arah; konselor dan konseli secara timbal
balik. (2) Keragaman dalam konteks masyarakat kontemporer tidak hanya tercermin
dalam dimensi ras/etnis, melainkan pada seluruh aspek budaya seperti status social
ekonomi, agama/spiritualitas, orientasi seksual, dan status abilitas
(3) Kesuksesan terapi terutama tergantung pada faktor konselor/terapis daripada
teknik-teknik dan pendekatan-pendekatan konseling yang digunakan.

Bagi seorang konselor memiliki keterampilan adalah suatu keharusan. Dalam


hal ini, salah satu keterampilan yang harus dimiliki oleh seorang konselor adalah
sensitif atau dengan kata lain memiliki empati atau kepekaan terhadap apa yang
dirasakan oleh konseli. Sensitif yang bisa disebut juga dengan empati atau kepekaan
memiliki peran penting saat proses konseling berlangsung. Penting bagi seorang
konselor untuk berempati dengan konselinya, apalagi dengan populasi konseli yang
memiliki keragaman budaya.

Empati berasal dari bahasa Jerman einfuhlung, yang berarti satu perasaan.Ini
menunjukkan reaksi subjektif seseorang terhadap satu atau lebih individu yang
terdekat.Yang dipahami dalam konteks budaya.Menurut Vontress dalam Pedersen
(2008) pengalaman dan kondisi bersama dapat menghasilkan budaya.Konselor juga
memungkinkan konseli untuk berempati atau memilik sensitifitas dengan lingkungan
bahkan dengan sesama konseli. Karena bisa saja mereka berada pada suatu situasi dan
melakukan sesuatu yang sama, jadi dengan adanya hal tersebut mereka bisa saling
membantu satu sama lain.

Seorang konselor juga harus memiliki karakteristik sensitifitas atau peka terhadap
individu maupun suatu kelompok.Namun, ketika budaya konseling dibedakan,
konselor sering kurang menyimpulkan secara mutlak untuk memahami budaya
konseli.Seperti aspek-aspek yang signifikan terhadap persepsi, ingatan, dan
sejarah.Oleh karena itu, dalam makalah ini dibahas pula mengenai sensitifitas budaya
dalam konseling, kendala dalam konseling multibudaya, tindakan dalam mengatasi
kendala, dan komponen kompetensi multibudaya.

Hubungan konseling dilaksanakan dimana konselor dan konselinya memiliki


perbedaan budaya, dimaknai sebagai konseling multibudaya.Konsep konseling
multibudaya merupakan metamorfosa dari konseling lintas budaya. Konseling lintas
budaya dipahami sebagai hubungan konseling antara konselor dan konseli yang
berasal dari ras, etnis yang memiliki latar budaya, nilai, dan gaya hidup yang berbeda.
Sementara konseling multibudaya mencakup aspek-aspek yang lebih luas.

Anda mungkin juga menyukai