Anda di halaman 1dari 30

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

Dalam bab ini menjelaskan beberapa hal diantaranya, landasan teori mengenai
konsep altruisme, kedudukan altruisme pada profesi guru dan profesi bimbingan dan
konseling, disertai model-model pembelajaran yang dapat digunakan guna
meningkatkan perilaku altruis tersebut. Landasan teori konsep altruisme
mendeskripsikan hakikat altruisme, kedudukan altruisme sebagai perilaku prososial
yang sejati, karakteristik dan indikator altruisme, serta faktor-faktor yang dapat
mempengaruhinya. Sedangkan altruisme pada profesi guru mendeskripsikan konsep
profesi dan kompetensi pada guru. Di sisi lain, pada kedudukan altruisme dalam
bimbingan dan konseling mendeskripsikan profesi bimbingan dan konseling,
kompetensi guru bimbingan dan konseling, serta model pembelajaran guna
meningkatkan perilaku altruisme pada mahasiswa bimbingan dan konsleing tersebut.

2.1 Konsep Altruisme


2.1.1 Hakikat Altruisme
Gagasan akan “kesadaran manusia” telah dinyatakan pada berbagai masa dalam
era sejarah. Salah satu bukti yang paling kuat dengan ditemukan dalam kamus
“Etika”, yang ditulis pada tahun 1677 oleh Filsuf Baruch kelahiran Belanda (Benedict
de) Spinoza. Menurut Spinoza, yang mendasari semua keragaman yang mencirikan
berbagai bangsa dan etnis di dunia, ialah "harmoni" atau keselarasan. Menurutnya,
bahwa konsep keselarasan yang fundamental ini dapat dipahami jika kita berpikir
jernih tentang sifat manusia, dan bahwa hal itu akan terwujud ketika orang mau
bertindak cukup terhadap satu dan yang lainnya. Spinoza percaya bahwa kesadaran
manusia adalah mungkin adanya, bahkan ia menganggap bahwa itu adalah sifat yang
melekat pada manusia. Spinoza menganggap bahwa keselarasan manusia, antara
individu yang satu dan yang lainnya merupakan bagian yang utuh.
Perspektif sosiologis memandang konsep kemanusiaan dengan kesadaran sendiri
sudahlah sangat tua dan banyak dibahas. Bahkan, selama berabad-abad dalam filsafat

8
9

Barat dan Timur ide itu diyakini keberadaanya dan siapa saja bisa beralasan dengan
benar. Pada akhirnya, kepercayaan ini dianggap masih terlalu samar atau ambigu.
Namun, dalam beberapa kasus, seperti dalam tulisan-tulisan Immanuel Kant tentang
moralitas, para filsuf berusaha membuat pencarian tentang kemanusiaan yang lebih
spesifik. Pada awal abad ke 19, Kant khususnya mengusulkannya dalam jenis
imperatif moral tertentu yaitu pemikiran dan tindakan yang akan menjadi cara yang
efektif untuk mencapai tujuan kesadaran manusia. Pada sekitar waktu yang sama,
Auguste Comte (1798-1857), pendiri disiplin ilmu sosiologi, menciptakan istilah
untuk merujuk pada pemikiran dan tindakan tersebut yang kita kita kenal hinnga kini
ialah altruisme atau perilaku prososial.
'Altruisme' Istilah yang diciptakan oleh sosiolog Perancis, August Comte ini
muncul ke dalam terjemahan bahasa Inggris pada tahun 1853. Istilah 'altruisme' yang
berasal dari bahasa Perancis 'le bien d'autrui' (kebaikan kepada orang lain), yang
setara bentuknya dalam sastra Italia, 'altrui', yang merupakan turunan dari bahasa
Latin 'alter' atau‘lain’. Altruisme justru' lain-isme ': usaha atau kemampuan yang
sebenarnya untuk bertindak demi kepentingan orang lain. Sejak itu altruisme telah
menjadi konsep analitis dalam ilmu sosial. (Habito & Inaba, 2)
Menurut perspektif sosiologis, perilaku prososial yaitu untuk kebaikan bersama.
Hal ini dapat dibandingkan dengan perilaku yang mementingkan diri sendiri untuk
kebaikan diri. Comte menciptakan istilah dimana manusia memiliki motif pada
sebuah tindakannya, yakni altruisme dan egoisme. Kemudian Comte menggunakan
istilah Golden Rule dan altruisme sebagai nasihat kategoris yang imperatif. Jadi ini
merupakan hubungan yang penting antara altruisme, di satu sisi, dan gerakan menuju
kesadaran manusia, di sisi lain.
“Comte menganggap altruisme dan egoisme menjadi dua motif yang berbeda
dalam diri individu . Dia tidak menyangkal adanya motif mementingkan diri sendiri,
bahkan untuk membantu, dorongan untuk mencari diri-manfaat dan kepuasan diri
yang ia sebut egoisme. Tapi Comte percaya bahwa beberapa perilaku sosial adalah
sebuah ekspresi dari keinginan egois untuk "hidup untuk orang lain." Ini adalah kedua
10

jenis motivasi untuk membantu kepentingan orang lain yang ia sebut altruisme”
(Comte 1851/1875, dikutip dalam Batson 1991: 5).
Tidak hanya tinjauan dalam filsafat, etika, sosiologis, makna dari “kesadaran
kemanusiaan” yang dibuktikan oleh individu dengan tindakan “altruisme” ini kini
telah berkembang ke arah yang lebih khusus. Mempercayai bahwa setiap pribadi
individu memiliki moralitas sifat altruis dan egois dalam dirinya, kini para psikolog
mulai tertarik dengan asal mula dari altruis ini, yaitu kualitas yang ada pada diri
seseorang yang menyebabkan orang tersebut menolong orang lain pada berbagai
situasi (Eisenberg, 1989: Hlm. 12).
Membantu dan altruisme adalah dua jenis dasar perilaku prososial. Membantu
merupakan tindakan yang disengaja yang efeknya menguntungkan orang lain.
Sedangkan konsep membantu tidak dapat melepaskan konsep altruisme, karena
menyangkut motivasi yang mendasari perilaku tersebut. Definisi klasik dalam
psikologi (Lih Sober, 1988) telah memasukkan motivasi internal sebagai ciri yang
sepadan dengan altruistik. Sebagai contoh, altruisme didefinisikan sebagai tipe
khusus membantu di mana pelaku memberikan bantuan kepada orang lain tanpa
mengharapkan imbalan dari sumber eksternal untuk memberikan bantuan tersebut
bahkan perilaku ini menimbulkan ancaman terhadap dirinya ketika mengambil
tindakan ini. Perspektif yang lebih baru bahkan telah menekankan pentingnya
membedakan berbagai jenis motivasi internal yang terlibat dalam proses membantu.
Namun Batson (1991) memandang altruisme tidak hanya merujuk kepada tindakan
prososial semata tapi tujuan yang mendasari perbuatan.
"Altruisme adalah suatu keadaan motivasi dengan tujuan akhir meningkatkan
kesejahteraan orang lain" (Batson, 1991, hal 6).
Perbedaan yang timbul antara perilaku prososial dan altruisme terletak pada
tujuan (orientasi) dari seseorang memberikan pertolongan. Sebagaimana perilaku
prososial didefinisikan dalam hal konsekuensi mereka yang ditujukannya untuk orang
lain. Mereka melakukan secara sukarela dan bukan di bawah paksaan, meskipun
tindakan prososial dimaksudkan untuk memiliki konsekuensi positif bagi orang lain,
mereka dapat dilakukan untuk berbagai alasan. Misalnya, seseorang dapat termotivasi
untuk membantu seseorang untuk alasan egois (untuk mendapatkan hadiah), untuk
11

mendapatkan persetujuan dari orang lain, atau karena dia benar-benar simpatik.
Sebagaimana Eisenberg, (1989: hlm. 4) mengungkapkan bahwa perilaku prososial
ialah tindakan sukarela yang ditunjukan untuk membantu hingga menguntungkan
individu lain atau kelompok. Sears dkk (1994: hlm. 47) juga berpendapat bahwa
perilaku prososial merupakan tindakan menolong yang seutuhnya dimotivasi oleh
kepentingan orang lain tanpa mengharapkan sesuatu.
Pada dasarnya altruisme ataupun perilaku prososial memiliki arahan yang sama
yaitu membantu meningkatkan kesejahteraan orang lain. Sebagaimana De Wall
(2008) mengatakan bahwa altruisme diduga sebagai perilaku prososial, yang menjadi
motivasi mendasar bagi perilaku manusia. Altruistik dikenal sebagai salah satu sifat
perilaku tolong menolong individu dengan tujuan yaitu untuk mensejaterakan orang
lain. Pengertian ini senada dengan Myers (2011: hal. 440) yang mengatakan bahwa
Altruisme adalah kebalikan dari egois. Seorang yang altruistik prihatin dan mau
membantu meskipun tidak ada manfaat yang ditawarkan atau imbalan yang diberikan.
Altruisme ialah motif untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain tanpa
mempedulikan untuk kepentingan diri pribadi.
Meskipun para ahli masih mempertanyakan akan kehadiran altruisme dalam
perilaku prososial ini, dengan berbagai macam motif penolong, baik situasi dan
kondisi yang dialami, ataupun harapan/imbalan yang akan diterima oleh penolong.
Menurut Piliavin (2004) Sangat kecil kemungkinan munculnya altruisme dalam diri
seseorang apalagi jika korban ialah orang yang baru dikenal. Menolong orang lain
juga dapat menimbulkan adanya suatu pengorabanan yang besar. Perbuatan
menolong menjadi menurun ketika pengorbanan yang harus dilakukan pada
perbuatan itu besar, misalnya ketika perbuatan tersebut menempatkan kita pada suatu
kondisi membahayakan bagi fisik tubuh kita, yang dapat menyebabkan rasa sakit dan
malu, atau yang paling mudah, perbuatan tersebut sangat menyita waktu yang kita
miliki.
Berbeda dengan pendapat di atas, Batson (1991) menyatakan pemikirannya
bahwa banyak orang yang tekadnya menolong murni keluar dari kebaikan hati
mereka bukan hanya sekedar kewajiban normatif. Batson mengatakan bahwa orang
12

terkadang menolong orang lain untuk alasan pribadi, namun terkadang motif orang
tersebut murni altruistik, dimana tujuan mereka yaitu hanya menolong orang lain,
walaupun dalam menolong tersebut memerlukan pengorbanan yang besar bagi
dirinya. Altruisme yang murni akan muncul ketika seorang merasakan empati
terhadap orang lain yang membutuhkan bantuan, yaitu menempatkan diri kita pada
posisi orang lain serta merasakan emosi dan kejadian seperti yang mereka rasa. Hal
ini juga disebut sebagai Hipotesis Empati-Altruisme dari Batson, yaitu ketika kita
merasakan empati pada orang lain, kita akan mencoba menolong orang tersebut
dengan alasan altruistik murni, tanpa memperdulikan apa yang akan kita dapat.
Batson juga mengatakan, ketika kita tidak merasakan empati, maka perbuatan
menolong akan menjadi suatu proses pertukaran sosial.
Berbagai macam pendapat yang dikemukakan oleh para ahli sebetulnya merujuk
pada definisi yang sama dalam menafsirkan perilaku prososial ataupun altruisme,
yakni perilaku membantu. Hanya saja altruisme lebih dikenal sebagai motif perilaku
prososial yang murni, hanya ingin membantu untuk meningkatkan kesejahteraan
orang lain saja, tanpa adanya harapan ataupun imbalan meskipun dalam prosesnya
dapat merugikan dirinya sendiri. Namun perlu diperhatikan bahwa tidak semua
tindakan prososial dapat menjadi aktivitas altruistik, karena beberapa perilaku
prososial dianggap didasarkan pada kewajiban normatif.

2.1.2 Altruisme sebagai Perilaku Prososial Sejati


Baron & Byrne (2003) menjelaskan perilaku prososial sebagai segala tindakan
apa pun yang menguntungkan orang lain. Secara umum, istilah ini diaplikasikan pada
tindakan yang tidak menyediakan keuntungan langsung pada orang yang melakukan
tindakan tersebut, dan bahkan mungkin mengandung resiko tertentu.
Bentuk paling sejati dari konsep perilaku prososial adalah perilaku menolong.
Sears, Freedman dan Peplau (1985: Hlm. 47) menjelaskan perilaku prososial meliputi
segala bentuk tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain,
tanpa memperdulikan motif-motif si penolong. Perilaku prososial berkisar dari
13

tindakan altruisme yang tidak mementingkan diri sendiri atau tanpa pamrih sampai
tindakan menolong yang sepenuhnya dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri.
Juga menurut Schoeder (Bierhof, 2002: Hlm. 179) perilaku prososial dapat
mencakup hal-hal sebagai berikut;
1) Menolong, artinya suatu tindakan yang memiliki konsekuensi memberikan
keuntungan atau meningkatkan kesejahteraan orang lain.
2) Altruisme, artinya memberikan bantuan tanpa mengharapkan imbalan.
Altruisme merupakan perilaku yang merefleksikan pertimbangan untuk lebih
mengutamakan kepentingan orang lain diatas kepentingan pribadi.
Bila digambarkan maka konsep perilaku prososial menurut Bierhoff (2002)
sebagai berikut:
Gambar 2
Konsep Perilaku Prososial

(Hans-Werner Bierhoff, 2002)


Baik Bierhoff ataupun Batson mengemukakan hal yang sama perilaku prososial
adalah kategori yang lebih luas (dibandingkan dengan altruisme). Ketika seseorang
memberi pertolongan, maka hal itu didahului oleh adanya proses psikologis hingga
pada keputusan menolong.
Baron & Byrne, (2003) menemukan bahwa respons individu dalam situasi darurat
meliputi lima langkah penting, yang dapat menimbulkan perilaku prososial atau
tindakan berdiam diri saja. Tahap-tahap yang telah teruji beberapa kali dan sampai
saat ini masih banyak digunakan meliputi:
1) Menyadari adanya keadaan darurat, atau tahap perhatian untuk sampai pada
perhatian terkadang sering terganggu oleh adanya hal-hal lain seperti
14

ketergesaan, mendesaknya kepentingan lain dan sebagainya (Faturochman,


2006).
2) Menginterpretasikan keadaan sebagai keadaan darurat. Bila pemerhati
menginterpretasi suatu kejadian sebagai sesuatu yang membuat orang
membutuhkan pertolongan, maka kemungkinan besar akan diinterpretasikan
sebagai korban yang perlu pertolongan.
3) Mengasumsikan bahwa adalah tanggung jawabnya untuk menolong. Ketika
individu memberi perhatian kepada beberapa kejadian eksternal dan
menginterpretasikannya sebagai suatu situasi darurat, perilaku prososial akan
dilakukan hanya jika orang tersebut mengambil tanggung jawab untuk
menolong. Apabila tidak muncul asumsi ini, maka korban akan dibiarkan saja,
tanpa memberikan pertolongan. Ketika tanggung jawab tidak jelas, orang
cenderung mengasumsikan bahwa siapa pun dengan peran pemimpin
seharusnya bertanggung jawab.
4) Mengetahui apa yang harus dilakukan. Bahkan individu yang sudah
mengasumsikan adanya tanggung jawab, tidak ada hal berarti yang dapat
dilakukan kecuali orang tersebut tahu bagaimana ia dapat menolong.
5) Mengambil keputusan untuk menolong. Meskipun sudah sampai ke tahap
dimana individu merasa bertanggung jawab memberi pertolongan pada
korban, masih ada kemungkinan ia memutuskan tidak memberi pertolongan.
Berbagai kekhawatiran bisa timbul yang menghambat terlaksananya
pemberian pertolongan (Faturochman, 2006). Pertolongan pada tahap akhir ini
dapat dihambat oleh rasa takut (sering kali merupakan rasa takut yang
realistis) terhadap adanya konsekuensi negatif yang potensial.

2.1.3 Karakteristik dan Indikator Altruisme


Selain hal tersebut adapula yang menjelaskan karakteristik dari tingkah laku
altruisme, antara lain adalah sebagai berikut.
1) Emphaty, altruisme akan terjadi dengan adanya empati dalam diri seseorang.
Seseorang yang paling altruis merasa diri mereka bertanggungjawab, bersifat
15

sosial, selalu menyesuaikan diri, toleran, dapat mengontrol diri, dan


termotivasi membuat kesan yang baik.
2) Belief on a just world, karakteristik dari tingkah laku altruisme adalah percaya
pada “a just world”, maksudnya adalah orang yang altruis percaya bahwa
dunia adalah tempat yang baik dan dapat yakini bahwa yang baik selalu
mendapatkan ”hadiah” dan yang buruk mendapatkan ”hukuman”. Dengan
kepercayaan tersebut, seseorang dapat dengan mudah menunjukkan tingkah
laku menolong.
3) Social responsibility, setiap orang bertanggungjawab terhadap apapun yang
dilakukan oleh orang lain, sehingga ketika ada seseorang yang membutuhkan
pertolongan, orang tersebut harus menolongnya.
4) Internal locus of controll, karakteristik selanjutnya dari orang yang altruis
adalah mengontrol dirinya secara internal. Berbagai hal yang dilakukannya
dimotivasi oleh kontrol internal (misalnya kepuasan diri).
5) Low egocentricm, seorang yang altruis memiliki keegoisan yang rendah. Dia
mementingkan kepentingan lain terlebih dahulu dibandingkan kepentingan
dirinya. (Myers: 2010)
Kemudian dalam aktualisasinya menurut Eisenberg dan Mussen (1989, Hlm. 55)
mengemukakan bahwa perilaku prososial/altruis ini meliputi lima aspek, yaitu :
1) Sharing (berbagi), yaitu kesediaan berbagi perasaan dengan orang lain baik
dalam suasana suka maupun duka. Berbagi dilakukan apabila penerima
menunjukkan kesukaan sebelum ada tindakan melalui dukungan verbal dan
fisik.
2) Cooperating (kerja sama), yaitu kesediaan untuk bekerjasama dengan orang
lain demi tercapainya suatu tujuan. Kerja sama biasanya saling
menguntungkan, saling memberi, saling menolong, dan menenangkan.
3) Helping (menolong), yaitu kesediaan untuk menolong orang lain yang sedang
dalam kesusahan. Menolong meliputi membantu orang lain, memberi tahu,
menawarkan bantuan kepada orang lain, atau melakukan sesuatu yang
menunjang berlangsungnya kegiatan orang lain.
16

4) Donating (memberi atau menyumbang), yaitu kesediaan berderma, memberi


secara suka rela sebagian barang miliknya untuk yang membutuhkan.
5) Honesty (kejujuran), yaitu kesediaan untuk tidak berbuat curang terhadap
orang lain.
Tidak hanya itu Leed (Staub, 1978: Hlm 3) mengemukakan tiga kriteria yang
mendukung untuk menentukan perilaku prososial, yaitu 1). Tindakan yang bertujuan
khusus menguntungkan orang lain tanpa mengharapkan penghargaan dari luar 2)
Tindakan yang dilakukan secara suka rela 3) Tindakan yang menghasilkan sesuatu
yang bertujuan baik.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa aspek-aspek
perilaku prososial adalah Sharing (berbagi), Cooperating (kerja sama), Helping
(menolong), Donating (member atau menyumbang), dan Honesty (kejujuran).
Kesemua aspek tersebut tetap berdasar pada tujuan (orientasi) seseorang yang
menolong yaitu tindakan untuk mensejahterakan orang lain.
Sedangkan dari penjelasan definisi altruisme tersebut, peneliti menyimpulkan
bahwa indikator tingkah laku seseorang yang altruis adalah sebagai berikut.
a. Empati, merupakan kemampuan individu untuk merasa bertanggung jawab
pada sosial dan merasakan sesuai dengan situasi yang terjadi pada orang lain.
b. Internal Locus of Control, merupakan kemampuan individu mengontrol
dirinya untuk senantiasa berperan aktif, responsif, serta optimis atas usaha
yang dilakukan dalam setiap proses bantuan yang diberikan.
c. Social responsibility, merupakan kemampuan individu untuk peduli terhadap
situasi yang ada disekitarnya dan menerima akan konsekuensi atas tindakan
pertolongan yang diberikannya.
d. Low Egocentricm, merupakan kemampuan individu untuk senantiasa
memprioritaskan kepentingan orang lain serta mengorbankan dirinya sebagai
bentuk altruis melalui tindakan menolong.
17

2.1.4 Faktor yang Mempengaruhi Altruisme


Myers (1996: Hlm. 443) mengemukakan tiga teori yang menjelaskan tentang
motivasi seseorang melakukan perilaku altruistik sebagai berikut.
1) Social – exchange
Menurut teori ini, tindakan menolong yang dilakukan oleh seseorang kepada
orang lain karena alasan “social economics” yang bisa berupa materi atau pun non
materi social goods yang mungkin berupa cinta, pelayanan, informasi atau status.
Motivasi ini dijelaskan dengan konsep pertukaran sosial. Yang memotivasi orang
berperilaku altrustik adalah inner-reward (bisa berupa distress). Orang menolong
orang lain karena ingin menutupi rasa bersalahnya jika tidak menolong. Pendek
kata tidak ada orang yang menolong orang lain tanpa pamrih. Mungkin saja tidak
mengharap pamrih dari orangg lain tapi dia mendapatkannya dari dalam dirinya
sendiri (inner-rewards), atau sering disebut alasan itu sebagai self-serving atau
selfless conciderations.
2) Social Norms
Myers (2010: Hlm. 444) menjelaskan bahwa seseorang menolong orang lain
karena adanya norma-norma sosial yang mengharuskan di dalam dirinya dan telah
menjadi semacam self-interest. Adanya norma sosial yang bersifat timbal balik
dalam hubungan sosial yang disebutya sebagai norm of reprocity. Ini menjadi
komponen universal kode moral; mengharap pertolongan kembali.
Alasan menolong orang lain salah satunya karena didasari oleh ”sesuatu”
yang mengatakan pada kita untuk ”harus” menolong, itulah norma sosial. Pada
perilaku altruistik, norma sosial itu dijelaskan dengan social responsibility norm,
inilah yang mengatur pertukaran sosial yang berbentuk balance giving and
receiving. Dalam konteks ia menulis: “if you love those who love you (the
reciprocal norm) what right have you to claim any credit? … I say to you, Love
your enemies”
Respon-respon sosial seseorang kepada orang lain benar-benar diikat dengan
penyebab-penyebabnya (Attributions). Secara singkat, hukum atribusi dijelaskan
oleh Myers sebagai berikut:
18

“If we attribute the need to an uncontrollable predicament, we help. If we


attribute another’s need to the person’s choices, fairness does not require us to
help; after all it’s the person’s own fault” (Myers, 1988: 450).

3) Sociobiology
Penjelasan ketiga tentang altruisme berakar dari Sosiobilogy atau disebut pula
teori evolusioner perilaku sosial (evolusionary theory). Menurut teori ini,
altruisme adalah alasan pokok dari kehidupan adalah mempertahankan keturunan
(gene survival). Gen yang ada pada kita menyetir kita dengan cara memanfaatkan
peluang semaksimal mungkin. Bilamana kita amati, gen itu biasanya terus hidup.
Tingkah laku altruisme dapat muncul (dengan mudah) apabila”orang lain” yang
akan disejahterakan merupakan orang yang sama (satu karakteristik). Contoh:
seseorang menolong orang lain yang memiliki kesamaan dengan dirinya,
keluarganya, tetangganya, dan sebagainya.
Demikian dapat disimpulkan bahwa bahwa altruisme terjadi karena adanya (a)
social responsibility, dimana seseorang merasa memiliki tanggung jawab sosial
dengan yang terjadi di sekitarnya. (b) distress – inner reward, kepuasaan pribadi
– tanpa ada faktor eksternal, dan (c) kin selection, ada salah satu karakteristik dari
korban yang hampir sama. Penjelasan penyebab altruism ini walaupun dari sudut
yang berbeda-beda yaitu sudut pandang sosiologi (norma sosial), psikologi
(pertukaran sosial) dan biologi (seleksi gen) namun ternyata lebih bersifat
komplementer dari pada berlawanan. Tampaknya upaya peningkatan altruism
seseorang dapat dikembalikan kepada tiga faktor penyebab utama ini.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi perilaku prososial meliputi faktor situasional, faktor
karakteristik penolong, faktor orang membutuhkan pertolongan dan faktor
personal yang berhubungan dengan faktor keuntungan bagi diri, faktor nilai
personal dan norma serta faktor empati.
Sedangkan Sears, Freedman & Peplau (1985) menerangkan bahwa perilaku
prososial dipengaruhi oleh karakteristik situasi, karakteristik penolong, dan
karakteristik orang yang membutuhkan pertolongan.
19

1) Situasi. Meliputi kehadiran orang lain, sifat lingkungan, fisik, dan tekanan
keterbatasan waktu.
2) Penolong. Meliputi karakteristik kepribadian, suasana hati, distres diri dan
rasa empatik.
3) Orang yang membutuhkan pertolongan. Meliputi adanya kecenderungan
untuk menolong orang yang kita sukai, dan menolong orang yang pantas
ditolong.
Selanjutnya dijelaskan pula beberapa faktor yang mempengaruhi pemberian
pertolongan adalah:
1) Situasi sosial. Adanya korelasi negatif antara pemberian pertolongan dengan
jumlah pemerhati, makin banyak orang yang melihat suatu kejadian yang
memerlukan pertolongan makin kecil munculnya dorongan untuk menolong.
2) Biaya menolong. Dengan keputusan memberi pertolongan berarti akan ada
cost tertentu yang harus dikeluarkan untuk menolong. Pengeluaran untuk
menolong bisa berupa materi (biaya, barang), tetapi yang lebih sering adalah
pengeluaran psikologis (memberi perhatian, ikut sedih dan lainnya).
3) Karakteristik orang-orang yang terlibat. Kesamaan antara penolong dengan
korban. Semakin banyak kesamaan antara kedua belah pihak, semakin besar
peluang untuk munculnya pemberian pertolongan. Ada kecenderungan orang
lebih senang memberi pertolongan pada orang yang disukai. Di samping
hubungan yang tidak langsung tersebut, ada kecenderungan bahwa orang lebih
suka memberi pertolongan pada orang yang memiliki daya tarik tinggi karena
ada tujuan tertentu di balik pemberian pertolongan tersebut.
4) Mediator internal meliputi Mood, emphaty and arousal.
a. Mood. Ada kecenderungan bahwa orang yang baru melihat kesedihan
lebih sedikit memberi bantuan daripada orang yang habis melihat hal-hal
yang menyenangkan. Penelitian yang dilakukan Myers (1988)
menunjukkan adanya pengaruh mood terhadap perilaku prsosial. Hal itu
sesuai dengan penjelasan Forgas dkk (Baron & Byrne, 2003), disebabkan
adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara afek (suasana hati
20

kita saat ini) dan kognisi (cara kita memproses, menyimpan, mengingat,
dan menggunakan informasi sosial).
b. Empati. Ada hubungan antara besarnya empati dengan kecenderungan
menolong. Hubungan antara empati dengan perilaku menolong secara
konsisten ditemukan pada semua kelompok umur.
c. Arousal. Ketika melihat suatu kejadian yang membutuhkan pertolongan
orang dihadapkan pada dilema menolong atau tidak menolong. Salah satu
pertimbangan yang menjadi pertimbangan untuk menolong atau tidak
menolong adalah biaya untuk menolong dibanding biaya tidak menolong.
Pertimbangan ini meliputi situasi saat terjadinya peristiwa, karakteristik
orangorang yang ada di sekitar, karakteristik korban, dan kedekatan
hubungan antar korban dengan penolong.
5) Latar belakang kepribadian. Individu yang mempunyai orientasi sosial yang
tinggi cenderung lebih mudah memberi pertolongan, demikian juga orang
yang memiliki tanggung jawab sosial tinggi.

2.2 Konsep Altruisme Pada Profesi Guru


2.2.1 Definisi Profesi dan Kompetensi Guru
Guru merupakan salah satu profesi tenaga kependidikan. Dalam kajian profesi,
Ritzer (Syahbani, 2013) menyatakan ada empat syarat suatu pekerjaan dikatakan
sebagai sebuah profesi. Pertama; memiliki theoritycal knowledge. Syarat ini
menegaskan bahwa profesi apapun harus dilandasi pengetahuan teoritis. Profesional
seseorang dibangun melalui pengetahuan. Tanpa adanya knowledge maka
pekerjaannya tak lebih seperti tukang, hanya berlandaskan pengalaman empiris,
miskin teori. Kedua; adanya self regulated training and practice. Seorang profesional
memiliki otonomi yang luas, bekerja tidak dalam bayang-bayang atasan ataupun
supervisor. Memiliki otoritas untuk mengembangkan skill melalui pelatihan yang
benar-benar dibutuhkan untuk mendukung profesinya. Ketiga; authority of clients.
Seorang professional memiliki otoritas atas kliennya. Otoritas seorang guru sama
halnya dengan penasihat hukum terhadap klien, dokter terhadap pasien, dan profesi
21

lainnya. Dan syarat terakhir adalah community rather than self interest orientation.
Seorang profesional mementingkan komunitas dibanding motif pribadi. Dalam
perspektif filsafat, berbuat baik terhadap orang lain tanpa memperhatikan imbalan
dan ganjaran lainnya disebut sebagai perilaku altruis.
Sebagai tenaga kependidikan yang profesional, maka guru pun mempunyai tugas
utama, yaitu; merencanakan pembelajaran, mendidik, mengajar, membimbing,
menilai dan mengevaluasi peserta didik pada berbagai jenjang pendidikan kepada
peserta didik (Permenneg PAN dan RB No, 16 Tahun 2009). Agar dapat
melaksanakan tugas tersebut, guru yang profesional harus memiliki penguasaan
terhadap sejumlah kompetensi yaitu pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian
(Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007). Oleh karena itu,
mekanisme penilaian kinerja guru diperlukan untuk mengevaluasi unjuk kerja guru
terhadap pelaksanaan tugas dan kewajibannya yang diakibatkan oleh kepemilikan
kompetensi pedagogik, sosial, kepribadian dan profesional.
Kompetensi secara bahasa diartikan kemampuan atau kecakapan. Hal ini
diilhami dari KKBI dimana kompetensi diartikan sebagai wewenang atau kekuasaan
untuk menentukan atau memutuskan suatu hal.

2.3 Altruisme Pada Guru Bimbingan dan Konseling


2.3.1 Guru Bimbingan dan Konseling
Guru bimbingan dan konseling adalah penyelenggara kegiatan bimbingan dan
konseling di sekolah istilah konselor termaktub dalam undang-undang Nomor 20
Tahun 2003 dengan menyatakan bahwa konselor adalah pendidik dan dalam
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2005 menyatakan
konselor adalah pelaksana pelayanan konseling di sekolah yang sebelumnya
menggunakan istilah petugas BP, guru BP/BK dan guru pembimbing. Dalam
Surat Keputusan Bersama Mendikbud dan Kepala BAKN No. 0433/P/1993 dan
No. 25 Tahun 1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru
bimbingan dan konseling dan Angka Kreditnya dijelaskan bahwa Guru
bimbingan dan konseling (konselor sekolah) adalah guru yang mempunyai tugas,
22

tanggung jawab, wewenang, kemudian dalam Pasal 39 Ayat 2 UU Nomor 20


tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan pendidik
merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan
proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan
pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat,
terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Bimbingan merupakan terjemahan dari “Guidance” dan Konseling merupakan
serapan kata dari “counseling”. Guidance berasal dari akar kata “guide” yang
secara luas bermakna: mengarahkan (to direct), memandu (to pilot), mengelola
(to manage), menyampaikan (to descript), mendorong (to motivate), membantu
mewujudkan (helping to create), memberi (to giving), bersungguh-sungguh (to
commit). Sehingga bila dirangkai dalam sebuah kalimat konsep bimbingan
adalah usaha secara demokratis dan sungguh-sungguh untuk memberikan
bantuan dengan menyampaikan arahan, panduan, dorongan dan pertimbangan,
agar yang diberi bantuan mampu mengelola, mewujudkan apa yang menjadi
harapannya.
Sedangkan Counseling maknanya melingkupi proses (process), hubungan
(interaction), menekankan pada permasalahan yang dihadapi klien (performance,
relationship), professional, nasehat (advice, advise, advisable). Sehingga clue
yang bisa di ambil dari definisi tersebut adalah proses interaksi pihak yang
professional dengan pihak yang bermasalah yang lebih menekankan pada
pemberian advice yang advisable.
Jadi bimbingan dan konseling ialah usaha counselor kepada counselee dalam
memberikan bantuan dalam bentuk arahan, panduaan, dorongan agar counselee
mampu mengelola dan mewujudkan harapannya sendiri. Inilah pijakan awal
yang perlu dipahami oleh setiap guru bimbingan dan konseling, yaitu proses
membantu klien atau siswa. Selain itu, bimbingan merupakan bantuan kepada
individu dalam menghadapi persoalan-persoalan yang dapat timbul dalam
hidupnya. Bantuan semacam itu sangat tepat jika diberikan di sekolah, supaya
setiap siswa lebih berkembang ke arah yang semaksimal mungkin. Dengan
23

demikian bimbingan menjadi bidang layanan khusus dalam keseluruhan kegiatan


pendidikan sekolah yang ditangani oleh tenaga-tenaga ahli dalam bidang
tersebut.
Tenaga ahli yang dimaksud ialah guru bimbingan dan konseling, sebagai
penyelenggara kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah. Landasan yang
harus dipahami oleh guru bimbingan dan konseling meliputi tujuh tinjauan, yakni
1). Bimbingan diberikan untuk semua murid, 2). Bimbingan dan konseling
melayani murid-murid dari semua usia, 3). Bimbingan dan konseling harus
mencakup semua bidang pertumbuhan dan perkembangan siswa, 4). Bimbingan
mendorong penemuan dan pengembangan diri, 5). Pelaksanaan bimbingan dan
konseling menghendaki adanya kerja sama dari murid, orang tua, kepala sekolah,
dan konselor, 6). Bimbingan harus menjadi bagian yang terpadu dalam
keseluruhan program pendidikan di sekolah, dan 7). Bimbingan dan konseling
harus dapat dipertanggung jawabkan kepada individu dan masyarakat.
Terlepas dari landasan guru bimbingan dan konseling, selanjutnya yang perlu
diperhatikan ialah syarat kompetensi teruntuk guru bimbingan dan konseling.
Unjuk kerja konselor sangat dipengaruhi oleh kualitas keempat kompetensi
akademik yang dilandasi oleh sikap, nilai dan kecenderungan pribadi yang
mendukung. Kompetensi akademik dan professional konselor secara terintegrasi
membangun keutuhan kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan
professional.

2.3.2 Kompetensi Konselor


Menurut Spencer & Spencer (1993: 9), kompetensi merupakan suatu
karakteristik yang mendasar dari seseorang individu, yaitu penyebab yang terkait
dengan acuan kriteria tentang kinerja yang efektif ”A competency is an
underlying characteristic of an individual that is causally related to criterion-
referenced effective and/or superior performance in a job or situation“. Bahwa
kepribadian merupakan karakteristik kompetensi yang mendasar dari kepribadian
seseorang yang telah dimiliki dan berlangsung lama hingga dapat memprediksi
24

perilaku pada berbagai tugas dan kondisi kerja. Selanjutnya, menurut Kartadinata
(Taufiq, 2009: Hlm. 29) kompetensi merupakan sebuah kontinum perkembangan
mulai dari proses kesadaran (awareness), akomodasi, dan tindakan nyata sebagai
wujud kinerja.
Sedangkan komptensi konselor menurut Faiver, Eisengart, dan Colonna
(Depdiknas, 2008: Hlm. 140) Penguasaan Kompetensi Profesional Konselor
terbentuk melalui latihan dalam menerapkan Kompetensi Akademik dalam
bidang bimbingan dan konseling yang telah dikuasai itu dalam konteks otentik di
sekolah atau arena terapan layanan ahli lain yang relevan melalui Program
Pendidikan Profesi Konselor berupa Program Pengalaman Lapangan (PPL) yang
sistematis dan sungguh-sungguh (rigorous), yang terentang mulai dari observasi
dalam rangka pengenalan lapangan, latihan keterampilan dasar penyelenggaraan
konseling, latihan terbimbing (supervised practice) yang kemudian terus
meningkat menjadi latihan melalui penugasan terstruktur (self-managed practice)
sampai dengan latihan mandiri (self-initiatedpractice) dalam program
pemagangan, kesemuanya di bawah pengawasan Dosen Pembimbing dan
Konselor Pamong.
Ciri-ciri Kompetensi Guru bimbingan dan konseling menurut Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional No. 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi dan
Kompetensi Konselor
Tabel 2.1
Standar Kualifikasi dan Kompetensi Konselor
(Depdiknas, 2008: 268)
KOMPETENSI KONSELOR SUB KOMPETENSI KONSELOR

A. Memahami secara mendalam konseli yang hendak dilayani

1. Menghargai dan menjunjung 1.1. Mengaplikasikan pandangan positifdan


tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dinamis tentang manusia sebagai
individualitas, kebebasan makhluk spiritual, bermoral, sosial,
memilih, dan mengedepankan individual, dan berpotensi
kemaslahatan konseli dalam 1.2. Menghargai dan mengembangkan
konteks kemaslahatan umum potensi positif individu pada umumnya
dan konseli pada Khususnya
25

KOMPETENSI KONSELOR SUB KOMPETENSI KONSELOR

1.3. Peduli terhadap kemaslahatan manusia


pada umumnya dan konseli pada
khususnya
1.4. Menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia sesuai dengan hak asasinya.
1.5. Toleran terhadap permsalahan konseli
1.6. Bersikap demokratis
B. Mengembangkan pribadi dan profesionalitas secara berkelanjutan

1) Beriman dan bertakwa kepada 3.1 Menampilkan kepribadian yang


Tuhan Yang Maha Esa beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa..
3.2 Konsisten dalam menjalankan
kehidupan bergama dan toleran
terhadap pemeluk agama laian.
3.3 Berakhlak mulia dan berbudi pekerti
luhur.
2) Menunjukkan integritas dan 2.1 Menampilkan kepribadian dan perilaku
stabilitas kepribadian yang kuat. yang terpuji (seperti berwibawa, jujur,
sabar, ramah dan konsisten)
2.2 Menampilkan emosi yang stabil.
2.3 Peka, bersikap empati, serta
menghormati keragaman dan
perubahan.
2.4 Menampilkan toleransi tinggi terhadap
konseli yang menghadapi stres dan
frustasi.
2.5 Menampilkan tindakan yang cerdas,
kreatif, inovatif, dan produktif.
2.6 Bersemangat, berdisiplin, dan mandiri.
2.7 Berpenampilan menarik dan
menyenangkan.
2.8 Berkomunikasi secara efektif.
3) Memiliki kesadaran dan komitmen 3.1 Memahami dan mengelola kekuatan
terhadap etika professional dan keterbatasan pribadi dan
profesional.
3.2 Menyelenggarakan layanan sesuai
dengan kewenangan dan kode etik
profesional konselor.
3.3 Mempertahankan obyektivittas dan
menjaga agar tidak larut dengan maslah
26

KOMPETENSI KONSELOR SUB KOMPETENSI KONSELOR

konseli.
3.4 Melaksanakan referal sesuai dengan
keperluan.
3.5 Peduli terhadap identitas professional
dan pengembangan profesi.
3.6 Mendahulukan kepentingan konseli
daripada kepentingan pribadi konselor..
4) Mengimplementasikan kolaborasi 4.1 Memahami dasar, tujuan, organisasi
intern di tempat bekerja dan peran pihak-pihak lain (guru, wali
kelas, pimpinan sekolah/madrasah,
komite sekolah/ madrasah di tempat
bekerja
4.2 Mengkomunikasikan dasar, tujuan, dan
kegiatan pelayanan bimbingan dan
konseling kepada pihak-pihak lain di
tempat bekerja.
4.3 Bekerja sama dengan pihak-pihak
terkait di dalam tempat bekerja (seperti
guru, orang tua, tenaga administrasi)
5) Berperan dalam organisasi dan 5.1 Memahami dasar, tujuan, dan AD/ART
kegiatan profesi bimbingan dan organisasi profesi bimbingan dan
konseling. konseling untuk pengembangan diri.dan
profesi.
5.2 Menaati Kode Etik profesi bimbingan
dan konseling.
5.3 Aktif dalam organisasi profesi
bimbingan dan konseling untuk
pengembangan diri.dan profesi.
6) Mengimplementasikan kolaborasi 6.1 Mengkomunikasikan aspek-aspek
antar profesi profesional bimbingan dan konseling
kepada organisasi profesi lain.
6.2 Memahami peran organisasi profesi lain
dan memanfaatkannya untuk suksesnya
pelayanan bimbingan dan konseling.
6.3 Bekerja dalam tim bersama tenaga
paraprofesional dan professional profesi
lain.
6.4 Melaksanakan referal kepada ahli
profesi lain sesuai keperluan.
27

Setiap konselor ataupun guru bimbingan dan konseling perlu memahami apa
yang menjadi dasar pijakan mereka dalam bekerja. Memahami dan memaknai
setiap kompetensi yang terkandung dalam profesi konselor menjadi hal yang
wajib. Konselor merupakan profesi yang dikenakan tanggung jawab untuk selalu
membantu setiap individu dalam kondisi apapun, kapanpun dan dimanapun,
khususnya pada klien dan siswa. Sebagaimana yang diungkapkan Kail &
Cavanough (2000) bahwa altruisme merupakan perilaku yang dikendalikan oleh
perasaan bertanggung jawab terhadap orang lain, misalnya menolong dan
berbagi. Keselamatan seorang klien menjadi pokok utama tanpa melihat kondisi
dirinya. Hal ini merupakan salah satu prediktor utama dari perilaku altruis.
Dengan kata lain seorang yang memiliki jiwa altruistik telah memenuhi salah
satu kriteria utama untuk menjadi salah seorang konselor (Tracy, 2011).
Kepribadian altruistik sangatlah penting untuk dimiliki oleh seorang konselor,
jika acuan ini ialah kompetensi itu tersendiri, maka akan dijumpai berbagai
macam subkompetensi yang merujuk pada nilai dasar altruistik. Kepedulian
(Batson; 1987), kerjasama (Eisenberg; 1989), empati (Myers; 1998, Batson;
2011), hingga memberikan pertolongan (Mussen; 1989) yang sifatnya kuratif
(segera) (Staub; 1978) merupakan nilai-nilai yang terkandung dalam perilaku
altruisme.
Begitupun dengan ekspektasi kinerja konselor dalam menyelenggarakan
pelayanan ahli bimbingan dan konseling disekolah senantiasa digerakkan oleh
motif altruistik, sikap empatik, menghormati keragaman, serta mengutamakan
kepentingan konseli, dengan selalu mencermati dampak jangka panjang dari
pelayanan.
Selain itu, yang perlu diperhatikan dalam perilaku altruis ialah tingkat
religiusitas seseorang, tak sedikit pula peniliti yang mengatakan bahwa erat
sekali perilaku altruisme dengan bangunan kereligiusan seseorang (Abidin:
2000). Muzakkir (2013) mengatakan bahwa religius berarti keagamaan; ketaatan;
saleh; beribadat; beriman. Religiusitas berarti ketaatan kepada agama;
pengabdian terhadap agama; kesalehan. Memperkuat pemahaman keagamaan
28

nyatanya dapat meningkatkan perilaku altruis seseorang. Salah satunya dalam


aktualisasi ajaran Islam oleh seseorang terhadap sesama manusia terwujud dalam
bentuk solidaritas sosial, toleransi, demokrasi, saling menghargai, membantu,
gotong-royong, dan lain sebagainya. Religiusitas menurut ajaran Islam dapat
diketahui melalui beberapa aspek penting yaitu, aspek penghayatan terhadap
ajaran agama (ihsan), aspek pengetahuan terhadap ajaran agama (ilmu) dan aspek
pelaksanaan ajaran agama dalam kehidupan sosial (muamalah yang dipandu
akhlaq al-karimah). Sedangkan menurut Glock dan Stark (1974: Hlm.14)
mengemukakan religiulitas memiliki lima aspek yaitu: keyakinan, praktek,
pengetahuan, dan konsekuen-konsekuensinya.
Dengan demikian bahwa penting bahwasannya memberikan pemahaman
keagamaan kepada mahasiswa bimbingan dan konseling. Karena bagaimanapun
perilaku altruisme merupakan salah satu bagian penting dari pengamalan nilai-
nilai religius seseorang. Sebagaimana yang telah tertera dalam salah satu
subkompetensi yakni, mengaplikasikan pandangan positif dan dinamis tentang
manusia sebagai makhluk spiritual, bermoral, sosial, individual, dan berpotensi,
Menampilkan kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, konsekuen dalam menjalankan kehidupan bergama dan toleran terhadap
pemeluk agama laian, juga berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur.
Meskipun jiwa altruistik pada dasarnya telah dimiliki oleh setiap individu,
namun nyatanya dalam ranah profesi hal ini perlu ditingkatkan dan dipertahankan.
Jika melihat pada pelayanannya terhadap klien, maka tak bisa dipungkiri bahwa
dalam praktiknya dilapangan seorang konselor akan mengamalkan setiap nilai
yang terkandung dalam kompetensi yang telah diterimanya selama proses
pendidikan. Begitu pentingnya perilaku altruisme bagi seorang konselor hingga
akhirnya perlu menjadi rujukan awal dalam proses seleksi dan pembelajaran. Hal
ini ditempuh salah satunya melalui pendekatan dan pengembangan metode
pembelajaran terhadap mahasiswa program studi bimbingan dan konseling, tidak
hanya ranah pengetahuan (kognitif), namun juga penanaman nilai sikap (afektif)
hingga terwujud dalam tindakan (psikomotor).
29

2.3.3 Meningkatkan Perilaku Altruisme Pada Mahasiswa Bimbingan dan


Konseling
Pada dasarnya pendidikan takan terepaskan dengan kegiatan belajar
mengajar. Belajar adalah suatu proses yang kompleks terjadi pada semua orang
dan berlangsung seumur hidup. Meskipun proses belajar dapat terjadi dimanapun
dan kapanpun, namun akan berbeda halnya jika itu menyangkut profesionalitas
kerja yang akan disandang oleh seseorang. Namun penting untuk diketahui bahwa
salah satu pertanda seseorang telah belajar sesuatu adalah adanya perubahan
tingkah laku dalam dirinya. Perubahan tingkah laku tersebut menyangkut baik
perubahan yang bersifat pengetahuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotor)
maupun yang menyangkut nilai dan sikap (afektif).
Jelas bahwasannya setiap perubahan memiliki prediktor yang merujuk pada
kompetensi dasar. Upayanya dalam mencetak tenaga kerja yang profesional
khususnya dalam profesi konselor merupakan hal yang memiliki kriteria
tersendiri. Kompetensi menjadi dasar prasyarat yang perlu dipenuhi oleh
seseorang yang hendak mengambil alih profesi konselor ataupun guru bimbingan
dan konseling. Kriteria tersebut harus dipenuhi karena merupakan tolak ukur pada
unjuk kerjanya dilapangan kelak. Berbagai macam kompetensi ini hanya akan
didapat melalui proses pendidikan dan pelatihan selama perkuliahan. Proses ini
tak lepas dari lembaga pendidikan formal (Perguruan Tinggi) yang memiliki andil
besar dalam mempersiapkan tenaga kerja konselor yang berkualitas dan
kompeten. Kebutuhan akan pengembangan strategi hingga metode pembelajaran
terkhusus dalam menjaga serta menumbuh kembangkan kompetensi pribadi
konselor menjadi yang perlu diperhatikan dalam pembahasan.
Berdasarkan tinjauan proses belajar yang mengacu terhadap perubahan
pengetahuan, nilai dan sikap serta tindakannya maka upaya untuk meningkatkan
perilaku altruisme pada mahasiswa calon guru bimbingan dan konseling tak
terlepas dari model dan strategi pembelajaran yang digunakan. Ketepatan dalam
memilih strategi sangat memungkinkan keterlaksanaan metode-metode terpilih
30

dapat mewujudkan terciptanya hasil belajar yang diharapkan. Dengan demikian


strategi merupakan komponen pembelajaran yang memungkinkan terlaksananya
metode-metode terpilih untuk menyajikan bahan ajar selama kegiatan
pembelajaran.
Joyce & Weil (1980) mendefinisikan model pembelajaran sebagai
kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan
pembelajaran. Model pembelajaran merupakan gambaran kerangka konseptual
yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai
tujuan belajar. Dengan demikian model pembelajaran cenderung preskriptif
(dalam mencapai tujuan), yang relatif sulit dibedakan dengan strategi
pembelajaran. Model pembelajaran ini diklasifikasikan ke dalam empat bagian
dasar berdasarkan sifat, karakteristik khas dan efek dari model. Keempat bagian
adalah: (1) Information Processing Models, (2) Personal Models, (3) Social
Interaction Models, dan (4) Behaviour Modification Model.
Adapun beberapa metode pembelajaran didalam penjelasan empat bagian
model pembelajaran yang dinilai pantas digunakan untuk meningkatkan perilaku
altruisme pada mahasiswa, yakni sebagai berikut
1) Metode Perkembangan Kognitif
Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan perkembangan kognitif karena
karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitif dan
perkembangannya. Mahasiswa berada pada usia sekita 18 tahun keatas,
disebut orientasi asas etik universal (the universal ethical principle
orientation). Pada tahap ini perbuatan seseorang dinilai benar atau salah
diukur dari cocok tidaknya dengan hati nurinya yang didasarkan atas nilai-
nilai dasar yang sifatnya universal.
Tujuan pendekatan dan metode ini ada dua:
a. Membantu dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks
berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi;
b. Mendorong untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai
dan posisinya dalam suatu masalah moral.
31

Proses pembelajaran nilai ini didasarkan pada dilema moral, dengan


menggunakan metode diskusi kelompok. Diskusi dilaksanakan dengan
memberi perhatian kepada tiga kondisi penting, yaitu 1) mendorong
mahasiswa menuju tingkat pertimbangan moral yang lebih tinggi; 2) adanya
dilema, baik dilema hipotetikal maupun dilema faktual yang berhubungan
dengan nilai dalam kehidupan keseharian; Proses diskusi diawali dengan
menyajikan cerita yang mengandung dilemma. Pada diskusi mahasiswa
didorong untuk menentukan posisi apa yang sepatutnya dilakukan oleh orang
yang terlibat disertai alasan-alasannya.

1) Awareness Training Model


Kebahagiaan merupakan salah satu yang diinginkan oleh setiap manusia.
Namun kendala utama untuk pemenuhan dari kebahagiaan dalam hubungan
interpersonal adalah ketidakmampuan manusia menyadari kebutuhan mereka
sendiri dan perasaannya. Schultz merancang kegiatan belajar yang
memfasilitasi respons emosional masyarakat. Dalam hal ini, situasi berguna
memungkinkan orang untuk memanggil perasaan akrab dan pola perilaku yang
khas dalam merespon perasaan. Melalui pengalaman ini, orang menjadi sadar
bagaimana mereka bereaksi dan menangani situasi. Tujuan dari model ini
adalah untuk membantu orang menjadi sadar akan tingkah laku tubuh mereka
dan di belakang emosi mereka. Sebuah tujuan yang terkait adalah menjadi
pengamat perilaku orang lain sehingga kita bisa membedakan senyum kaku
yang menahan kesedihan dari satu mengungkapkan kegembiraan dan
kesenangan. Kemampuan untuk membaca perasaan kita melalui tubuh kita
akan membuat kita berhubungan lebih dalam dengan kebutuhan kita sendiri
dan kebutuhan orang lain.
Schutz berpendapat bahwa konsep diri seseorang berasal dari hubungan
dengan orang lain. Di dalam hubungan saling membantu, individu memiliki
tiga kebutuhan dasar: kebutuhan untuk inklusi, kontrol, dan perasaan. Inklusi
mengacu pada kebutuhan pengakuan seseorang, diperhatikan, dan diberi
32

perhatian yang wajar oleh orang lain. Sebagian dari kebutuhan ini diwujudkan
oleh kebutuhan seseorang untuk identitas, untuk mengetahui bahwa seseorang
berbeda dari orang lain, untuk merasa benar keunikan seseorang, dan pada
waktu yang sama untuk merasa bahwa orang lain mengidentifikasi dan
berempati dengan dia sebagai sesama. Kontrol adalah kebutuhan dasar kedua:
"Kebutuhan untuk kontrol bervariasi di sepanjang kontinum dari keinginan
untuk kekuasaan, otoritas dan kontrol atas orang lain (dan karenanya lebih dari
satu di masa depan) untuk kebutuhan untuk dikendalikan dan memiliki
tanggung jawab mengangkat dari diri sendiri”. Ada ada hubungan yang
diperlukan antara keinginan seseorang untuk mengendalikan dan keinginan
seseorang harus dikendalikan. Perasaan, kebutuhan dasar ketiga, "mengacu
untuk menutup perasaan pribadi antara dua orang, terutama cinta dan benci
dalam berbagai derajat mereka. Kita semua memiliki kebutuhan kuat untuk
merasa sayang dan untuk mengekspresikan dan menerima setiap kali kita
dengan orang lain.
Metode Schutz tentang pertemuan dan pelatihan kesadaran dirancang untuk
membantu individu mengenali perasaan mereka dan cara perilaku berkaitan
dengan inklusi, kontrol, dan perasaan dan untuk membantu mereka mengatasi
keadaan mereka sendiri pembangunan dan partisipasi mereka dalam kelompok
sosial sehubungan dengan tiga kebutuhan dasar, terutama untuk meningkatkan
kesadaran, pengalaman mengatakan yang sebenarnya, dan untuk memahami
diri dan pilihan tanggung jawab.

Gambar 2.1
Model Awereness Training Model

Kesadaran yang
lebih besar

Intergarsi diri
33

Integrasi
interpersonal
Hubungan
Tujuan yang dipilih
oleh konseli

Kunci utama prosedur pembelajaran model ini didasarkan atas teori


encounter. Teori ini menjelaskan metode untuk meningkatkan kesadaran
hubungan antar-manusia yang didasarkan atas keterbukaan, kejujuran,
kesadaran diri, tanggung jawab, perhatian terhadap perasaan diri sendiri atau
orang lain, dan berorientasi pada kondisi saat ini.

1. Social Interaction Models


Model dalam bagian ini menekankan hubungan individu dengan
masyarakat atau orang lain. Tujuan inti adalah untuk membantu mahasiswa
belajar untuk bekerja sama. untuk mengidentifikasi dan memecahkan
masalah, baik akademis atau sosial di alam. Tujuan utamanya iaalah untuk
membantu siswa bekerja sama untuk mengidentifikasi dan memecahkan
masalah, untuk mengembangkan keterampilan hubungan manusiawi, dan
untuk menyadari nilai-nilai pribadi dan sosial.

1) Metode Role Playing


Metode bermain peran dilakukan dengan cara mengarahkan mahasiswa
untuk menirukan aktivitas atau mendramatisasikan situasi, ide, ataupun
karakter khusus. Fasilitator menyusun dan memfasilitasi bermain peran
kemudian ditindaklanjuti dengan diskusi. Metode ini digunakan untuk
membantu mahasiswa memahami perspektif dan perasaan orang lain menurut
variasi kepribadian dan isu sosial. Penerapan metode ini berdasarkan skenario
34

yang harus diberikan pada peserta didik untuk dipahami agar dapat bermain
peran dengan baik.
Penggunaan bermain peran dimaksudkan untuk membantu mahasiswa:
a. Mempertimbangkan nilai-nilai sosial dan moral yang tercermin dalam
tingkah laku kehidupan nyata dengan segala konsekuensinya melalui
diskusi kelompok dan belajar dari pengalaman sehingga merasa yakin
untuk menolak atau menerima nilai-nilai dalam kehidupannya;
b. Menyadari adanya keragaman pendapat dengan penuh pengertian dan
tenggangrasa;
c. Menumbuhkan keberanian mengambil keputusan dalam menghadapi
masalah dilematis, sekali pun dengan mempertimbangkan perasaan orang
lain,
d. Mengeksplorasi gagasan dan perasaannya untuk merespon setiap
permasalahan kehidupan nyata;
e. Menumbuh-kembangkan empati terhadap orang lain; dan
f. Mempersiapkan diri untuk ikut bertanggung jawab dalam kehidupan klien.
Karena setiap orang mendapatkan identitas dalam masyarakat dan hanya
dapat diusahakan melalui pengalaman rasa peduli terhadap masyarakat
dimana mereka berada.
Salah satu pengembangan metode role play dalam mengatasi problem
sosial yakni teknik sosiodrama. Tak sedikit peneliti yang menyatakan bahwa
metode role play dengan teknik sosiodrama dapat meningkatkan perilaku
prososial dan altruisme (Theresia; 2014, Fadillah; 2014, Kholtim; 2013).
Surya, (Theresia: 2014) sosiodrama merupakan suatu teknik permainan
peran yang mengangkat topik masalah sosial. Adapun tujuannya, yakni
pertama, untuk dapat mengikuti dan menghargai perasaan orang lain maka
dengan dapat menghargai individu dapat mengaktivasi rasa empatinya, kedua
belajar mambagi tanggung jawab, bersikap jujur, ketiga dapat memecahkan
suatu permasalahan, bekerjasama, sehingga dapat meningkatkan perilaku
35

prososialnya dengan memiliki perilaku tolong menolong, berbagi, kerjasama,


empati, dan kejujuran.
Altruisme merupakan salah satu kajian dalam moralitas manusia.
Menggunakan pandangan dan metode pendidikan moral menjadi salah satu
upaya dalam meningkatkan perilaku altruisme pada mahasiswa. Jika merujuk
pada perkembangan moral individu, maka mahasiswa dapat dikategorikan
dalam usia 18 tahun keatas. Tahap keenam dalam pandangan kholberg (sekitar
usia 18 tahun keatas), disebut orientasi asas (the universal ethical principle
orientation). Tahap ini merupakan pengukuran benar atau salahnya perilaku
ditinjau dari kecocokan hati nuraninya yang didasarkan atas nilai-nilai dasar
yang sifatnya umum. Pada teori perkembangan moral Kohlberg dikatakan
bahwa:
a. Perkembangan moral itu harus bertahap, dari tahap yang lebih rendah ke
tahap yang lebih tinggi; jadi tidak dapat meloncat dari tahap pertama terus
ke tahap ketiga, dll.
b. Secara kognitif seseorang akan tertarik pada tahap yang lebih tinggi secara
bertahap / tidak dapat melompat-lompat; maka moral dapat dikembangkan;
c. Perkembangan moral hanya dapat terjadi bila kemantapan moral mulai
digoyang;
Perkembangan moral seseorang tidak dengan sendirinya dapat
berkembang, maka perlu pendidikan dan pendampingan. Pendekatan ini
mendorong mahasiswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan
dalam membuat keputusan-keputusan moral. Pendekatan ini mengandaikan
bahwa perkembangan moral seseorang berkembang dari tingkat yang lebih
rendah ke tingkat yang lebih tinggi

2) Metode Cooperative Learning


Berbagai ahli mengatakan bahwa altruisme merupakan salah satu
pembahasan moral. Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu strategi
yang dapat digunakan dalam pembelajaran moral. Pengkajian pembelajaran
36

kooperatif merupakan salah satu alternatif upaya dalam mencapai tujuan


pendidikan serta berbagai life skill yang harus dikuasai mahasiswa bimbingan
dan konseling dalam mengembangkan perilaku altruis.
Metode pembelajaran kooperatif (cooperative learning) ini biasa disebut
juga metode gotong royong. Sifat pembelajaran kooperatif tidak sama dengan
belajar kelompok atau belajar bekerja sama biasa. Dalam pembelajaran
kooperatif setiap siswa dituntut untuk bekerja dalam kelompok melalui
rancangan-rancangan tertentu yang sudah dipersiapkan oleh guru, sehingga
seluruh siswa harus bekerja aktif. Lickona (2009) berpendapat bahwa strategi
pembelajaran kooperatif merupakan suatu usaha yang dapat menumbuhkan dan
meningkatkan moral atau karakter. Ia menyatakan bahwa ada beberapa upaya
yang perlu dilakukan, dimana ini pun juga merupakan kelebihan pembelajaran
kooperatif yaitu sebagai berikut, Pertama, mengajarkan nilai kerja sama diantar
pelajar, juga mengajarkan membantu setiap pelajar lainya. Pada aplikatifnya
setiap pelajar memberi kesempatan kepada seseorang dalam anggota kelompok
supaya berbuat adil dan murah hati serta senang berbuat kebajikan dan peduli
sehingga dapat mengembangkan berbagai sikap yang lebih cenderung untuk
melakukan perilaku prososial.
Kedua, pembelajaran kooperatif dapat membangun komunitas di dalam
kelas. Membangun komunitas di dalam kelas dapat membantu para pelajar
untuk mengetahui dan peduli mengenai setiap yang lain dan merasakan
menjadi ahli dalam unit sosial kecil. Ketiga, pembelajaran kooperatif
mengajarkan berbagai nilai kehidupan, di antaranya yang paling penting dalam
kehidupan adalah mendengar, mengambil pandangan orang lain,
berkomunikasi secara efektif, menyelesaikan berbagai konflik, dan bekerja
sama untuk mencapai tujuan bersama.
Keempat, semua anggota dalam kelompok pembelajaran kooperatif dapat
belajar untuk bekerja dan peduli mengenai berbagai perbedaan dalam anggota
kelompok dan mereka dapat menguasai bahan yang lebih mendalam karena
mereka membantu mengajarkan bahan kepada setiap anggaota yang lain, serta
37

kelima, pembelajaran kooperatif mempunyai potensi untuk memberi motivasi


yang paling penting dan merasa menjadi komunitas di kelas yang dapat
menumbuhkan suasana moral dalam proses pembelajaran.
Dengan demikian pembelajaran kooperatif merupakan salah satu alternatif
strategi yang tepat dalam mengembangkan perilaku altruis. Jika melihat
kembali pada aplikatif perilaku altruis yang dicerminkan dalam bentuk
kerjasama (cooperating), kejujuran (honesty), menolong (helping), juga
berbagi (sharing).

Anda mungkin juga menyukai