Dalam bab ini menjelaskan beberapa hal diantaranya, landasan teori mengenai
konsep altruisme, kedudukan altruisme pada profesi guru dan profesi bimbingan dan
konseling, disertai model-model pembelajaran yang dapat digunakan guna
meningkatkan perilaku altruis tersebut. Landasan teori konsep altruisme
mendeskripsikan hakikat altruisme, kedudukan altruisme sebagai perilaku prososial
yang sejati, karakteristik dan indikator altruisme, serta faktor-faktor yang dapat
mempengaruhinya. Sedangkan altruisme pada profesi guru mendeskripsikan konsep
profesi dan kompetensi pada guru. Di sisi lain, pada kedudukan altruisme dalam
bimbingan dan konseling mendeskripsikan profesi bimbingan dan konseling,
kompetensi guru bimbingan dan konseling, serta model pembelajaran guna
meningkatkan perilaku altruisme pada mahasiswa bimbingan dan konsleing tersebut.
8
9
Barat dan Timur ide itu diyakini keberadaanya dan siapa saja bisa beralasan dengan
benar. Pada akhirnya, kepercayaan ini dianggap masih terlalu samar atau ambigu.
Namun, dalam beberapa kasus, seperti dalam tulisan-tulisan Immanuel Kant tentang
moralitas, para filsuf berusaha membuat pencarian tentang kemanusiaan yang lebih
spesifik. Pada awal abad ke 19, Kant khususnya mengusulkannya dalam jenis
imperatif moral tertentu yaitu pemikiran dan tindakan yang akan menjadi cara yang
efektif untuk mencapai tujuan kesadaran manusia. Pada sekitar waktu yang sama,
Auguste Comte (1798-1857), pendiri disiplin ilmu sosiologi, menciptakan istilah
untuk merujuk pada pemikiran dan tindakan tersebut yang kita kita kenal hinnga kini
ialah altruisme atau perilaku prososial.
'Altruisme' Istilah yang diciptakan oleh sosiolog Perancis, August Comte ini
muncul ke dalam terjemahan bahasa Inggris pada tahun 1853. Istilah 'altruisme' yang
berasal dari bahasa Perancis 'le bien d'autrui' (kebaikan kepada orang lain), yang
setara bentuknya dalam sastra Italia, 'altrui', yang merupakan turunan dari bahasa
Latin 'alter' atau‘lain’. Altruisme justru' lain-isme ': usaha atau kemampuan yang
sebenarnya untuk bertindak demi kepentingan orang lain. Sejak itu altruisme telah
menjadi konsep analitis dalam ilmu sosial. (Habito & Inaba, 2)
Menurut perspektif sosiologis, perilaku prososial yaitu untuk kebaikan bersama.
Hal ini dapat dibandingkan dengan perilaku yang mementingkan diri sendiri untuk
kebaikan diri. Comte menciptakan istilah dimana manusia memiliki motif pada
sebuah tindakannya, yakni altruisme dan egoisme. Kemudian Comte menggunakan
istilah Golden Rule dan altruisme sebagai nasihat kategoris yang imperatif. Jadi ini
merupakan hubungan yang penting antara altruisme, di satu sisi, dan gerakan menuju
kesadaran manusia, di sisi lain.
“Comte menganggap altruisme dan egoisme menjadi dua motif yang berbeda
dalam diri individu . Dia tidak menyangkal adanya motif mementingkan diri sendiri,
bahkan untuk membantu, dorongan untuk mencari diri-manfaat dan kepuasan diri
yang ia sebut egoisme. Tapi Comte percaya bahwa beberapa perilaku sosial adalah
sebuah ekspresi dari keinginan egois untuk "hidup untuk orang lain." Ini adalah kedua
10
jenis motivasi untuk membantu kepentingan orang lain yang ia sebut altruisme”
(Comte 1851/1875, dikutip dalam Batson 1991: 5).
Tidak hanya tinjauan dalam filsafat, etika, sosiologis, makna dari “kesadaran
kemanusiaan” yang dibuktikan oleh individu dengan tindakan “altruisme” ini kini
telah berkembang ke arah yang lebih khusus. Mempercayai bahwa setiap pribadi
individu memiliki moralitas sifat altruis dan egois dalam dirinya, kini para psikolog
mulai tertarik dengan asal mula dari altruis ini, yaitu kualitas yang ada pada diri
seseorang yang menyebabkan orang tersebut menolong orang lain pada berbagai
situasi (Eisenberg, 1989: Hlm. 12).
Membantu dan altruisme adalah dua jenis dasar perilaku prososial. Membantu
merupakan tindakan yang disengaja yang efeknya menguntungkan orang lain.
Sedangkan konsep membantu tidak dapat melepaskan konsep altruisme, karena
menyangkut motivasi yang mendasari perilaku tersebut. Definisi klasik dalam
psikologi (Lih Sober, 1988) telah memasukkan motivasi internal sebagai ciri yang
sepadan dengan altruistik. Sebagai contoh, altruisme didefinisikan sebagai tipe
khusus membantu di mana pelaku memberikan bantuan kepada orang lain tanpa
mengharapkan imbalan dari sumber eksternal untuk memberikan bantuan tersebut
bahkan perilaku ini menimbulkan ancaman terhadap dirinya ketika mengambil
tindakan ini. Perspektif yang lebih baru bahkan telah menekankan pentingnya
membedakan berbagai jenis motivasi internal yang terlibat dalam proses membantu.
Namun Batson (1991) memandang altruisme tidak hanya merujuk kepada tindakan
prososial semata tapi tujuan yang mendasari perbuatan.
"Altruisme adalah suatu keadaan motivasi dengan tujuan akhir meningkatkan
kesejahteraan orang lain" (Batson, 1991, hal 6).
Perbedaan yang timbul antara perilaku prososial dan altruisme terletak pada
tujuan (orientasi) dari seseorang memberikan pertolongan. Sebagaimana perilaku
prososial didefinisikan dalam hal konsekuensi mereka yang ditujukannya untuk orang
lain. Mereka melakukan secara sukarela dan bukan di bawah paksaan, meskipun
tindakan prososial dimaksudkan untuk memiliki konsekuensi positif bagi orang lain,
mereka dapat dilakukan untuk berbagai alasan. Misalnya, seseorang dapat termotivasi
untuk membantu seseorang untuk alasan egois (untuk mendapatkan hadiah), untuk
11
mendapatkan persetujuan dari orang lain, atau karena dia benar-benar simpatik.
Sebagaimana Eisenberg, (1989: hlm. 4) mengungkapkan bahwa perilaku prososial
ialah tindakan sukarela yang ditunjukan untuk membantu hingga menguntungkan
individu lain atau kelompok. Sears dkk (1994: hlm. 47) juga berpendapat bahwa
perilaku prososial merupakan tindakan menolong yang seutuhnya dimotivasi oleh
kepentingan orang lain tanpa mengharapkan sesuatu.
Pada dasarnya altruisme ataupun perilaku prososial memiliki arahan yang sama
yaitu membantu meningkatkan kesejahteraan orang lain. Sebagaimana De Wall
(2008) mengatakan bahwa altruisme diduga sebagai perilaku prososial, yang menjadi
motivasi mendasar bagi perilaku manusia. Altruistik dikenal sebagai salah satu sifat
perilaku tolong menolong individu dengan tujuan yaitu untuk mensejaterakan orang
lain. Pengertian ini senada dengan Myers (2011: hal. 440) yang mengatakan bahwa
Altruisme adalah kebalikan dari egois. Seorang yang altruistik prihatin dan mau
membantu meskipun tidak ada manfaat yang ditawarkan atau imbalan yang diberikan.
Altruisme ialah motif untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain tanpa
mempedulikan untuk kepentingan diri pribadi.
Meskipun para ahli masih mempertanyakan akan kehadiran altruisme dalam
perilaku prososial ini, dengan berbagai macam motif penolong, baik situasi dan
kondisi yang dialami, ataupun harapan/imbalan yang akan diterima oleh penolong.
Menurut Piliavin (2004) Sangat kecil kemungkinan munculnya altruisme dalam diri
seseorang apalagi jika korban ialah orang yang baru dikenal. Menolong orang lain
juga dapat menimbulkan adanya suatu pengorabanan yang besar. Perbuatan
menolong menjadi menurun ketika pengorbanan yang harus dilakukan pada
perbuatan itu besar, misalnya ketika perbuatan tersebut menempatkan kita pada suatu
kondisi membahayakan bagi fisik tubuh kita, yang dapat menyebabkan rasa sakit dan
malu, atau yang paling mudah, perbuatan tersebut sangat menyita waktu yang kita
miliki.
Berbeda dengan pendapat di atas, Batson (1991) menyatakan pemikirannya
bahwa banyak orang yang tekadnya menolong murni keluar dari kebaikan hati
mereka bukan hanya sekedar kewajiban normatif. Batson mengatakan bahwa orang
12
terkadang menolong orang lain untuk alasan pribadi, namun terkadang motif orang
tersebut murni altruistik, dimana tujuan mereka yaitu hanya menolong orang lain,
walaupun dalam menolong tersebut memerlukan pengorbanan yang besar bagi
dirinya. Altruisme yang murni akan muncul ketika seorang merasakan empati
terhadap orang lain yang membutuhkan bantuan, yaitu menempatkan diri kita pada
posisi orang lain serta merasakan emosi dan kejadian seperti yang mereka rasa. Hal
ini juga disebut sebagai Hipotesis Empati-Altruisme dari Batson, yaitu ketika kita
merasakan empati pada orang lain, kita akan mencoba menolong orang tersebut
dengan alasan altruistik murni, tanpa memperdulikan apa yang akan kita dapat.
Batson juga mengatakan, ketika kita tidak merasakan empati, maka perbuatan
menolong akan menjadi suatu proses pertukaran sosial.
Berbagai macam pendapat yang dikemukakan oleh para ahli sebetulnya merujuk
pada definisi yang sama dalam menafsirkan perilaku prososial ataupun altruisme,
yakni perilaku membantu. Hanya saja altruisme lebih dikenal sebagai motif perilaku
prososial yang murni, hanya ingin membantu untuk meningkatkan kesejahteraan
orang lain saja, tanpa adanya harapan ataupun imbalan meskipun dalam prosesnya
dapat merugikan dirinya sendiri. Namun perlu diperhatikan bahwa tidak semua
tindakan prososial dapat menjadi aktivitas altruistik, karena beberapa perilaku
prososial dianggap didasarkan pada kewajiban normatif.
tindakan altruisme yang tidak mementingkan diri sendiri atau tanpa pamrih sampai
tindakan menolong yang sepenuhnya dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri.
Juga menurut Schoeder (Bierhof, 2002: Hlm. 179) perilaku prososial dapat
mencakup hal-hal sebagai berikut;
1) Menolong, artinya suatu tindakan yang memiliki konsekuensi memberikan
keuntungan atau meningkatkan kesejahteraan orang lain.
2) Altruisme, artinya memberikan bantuan tanpa mengharapkan imbalan.
Altruisme merupakan perilaku yang merefleksikan pertimbangan untuk lebih
mengutamakan kepentingan orang lain diatas kepentingan pribadi.
Bila digambarkan maka konsep perilaku prososial menurut Bierhoff (2002)
sebagai berikut:
Gambar 2
Konsep Perilaku Prososial
3) Sociobiology
Penjelasan ketiga tentang altruisme berakar dari Sosiobilogy atau disebut pula
teori evolusioner perilaku sosial (evolusionary theory). Menurut teori ini,
altruisme adalah alasan pokok dari kehidupan adalah mempertahankan keturunan
(gene survival). Gen yang ada pada kita menyetir kita dengan cara memanfaatkan
peluang semaksimal mungkin. Bilamana kita amati, gen itu biasanya terus hidup.
Tingkah laku altruisme dapat muncul (dengan mudah) apabila”orang lain” yang
akan disejahterakan merupakan orang yang sama (satu karakteristik). Contoh:
seseorang menolong orang lain yang memiliki kesamaan dengan dirinya,
keluarganya, tetangganya, dan sebagainya.
Demikian dapat disimpulkan bahwa bahwa altruisme terjadi karena adanya (a)
social responsibility, dimana seseorang merasa memiliki tanggung jawab sosial
dengan yang terjadi di sekitarnya. (b) distress – inner reward, kepuasaan pribadi
– tanpa ada faktor eksternal, dan (c) kin selection, ada salah satu karakteristik dari
korban yang hampir sama. Penjelasan penyebab altruism ini walaupun dari sudut
yang berbeda-beda yaitu sudut pandang sosiologi (norma sosial), psikologi
(pertukaran sosial) dan biologi (seleksi gen) namun ternyata lebih bersifat
komplementer dari pada berlawanan. Tampaknya upaya peningkatan altruism
seseorang dapat dikembalikan kepada tiga faktor penyebab utama ini.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi perilaku prososial meliputi faktor situasional, faktor
karakteristik penolong, faktor orang membutuhkan pertolongan dan faktor
personal yang berhubungan dengan faktor keuntungan bagi diri, faktor nilai
personal dan norma serta faktor empati.
Sedangkan Sears, Freedman & Peplau (1985) menerangkan bahwa perilaku
prososial dipengaruhi oleh karakteristik situasi, karakteristik penolong, dan
karakteristik orang yang membutuhkan pertolongan.
19
1) Situasi. Meliputi kehadiran orang lain, sifat lingkungan, fisik, dan tekanan
keterbatasan waktu.
2) Penolong. Meliputi karakteristik kepribadian, suasana hati, distres diri dan
rasa empatik.
3) Orang yang membutuhkan pertolongan. Meliputi adanya kecenderungan
untuk menolong orang yang kita sukai, dan menolong orang yang pantas
ditolong.
Selanjutnya dijelaskan pula beberapa faktor yang mempengaruhi pemberian
pertolongan adalah:
1) Situasi sosial. Adanya korelasi negatif antara pemberian pertolongan dengan
jumlah pemerhati, makin banyak orang yang melihat suatu kejadian yang
memerlukan pertolongan makin kecil munculnya dorongan untuk menolong.
2) Biaya menolong. Dengan keputusan memberi pertolongan berarti akan ada
cost tertentu yang harus dikeluarkan untuk menolong. Pengeluaran untuk
menolong bisa berupa materi (biaya, barang), tetapi yang lebih sering adalah
pengeluaran psikologis (memberi perhatian, ikut sedih dan lainnya).
3) Karakteristik orang-orang yang terlibat. Kesamaan antara penolong dengan
korban. Semakin banyak kesamaan antara kedua belah pihak, semakin besar
peluang untuk munculnya pemberian pertolongan. Ada kecenderungan orang
lebih senang memberi pertolongan pada orang yang disukai. Di samping
hubungan yang tidak langsung tersebut, ada kecenderungan bahwa orang lebih
suka memberi pertolongan pada orang yang memiliki daya tarik tinggi karena
ada tujuan tertentu di balik pemberian pertolongan tersebut.
4) Mediator internal meliputi Mood, emphaty and arousal.
a. Mood. Ada kecenderungan bahwa orang yang baru melihat kesedihan
lebih sedikit memberi bantuan daripada orang yang habis melihat hal-hal
yang menyenangkan. Penelitian yang dilakukan Myers (1988)
menunjukkan adanya pengaruh mood terhadap perilaku prsosial. Hal itu
sesuai dengan penjelasan Forgas dkk (Baron & Byrne, 2003), disebabkan
adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara afek (suasana hati
20
kita saat ini) dan kognisi (cara kita memproses, menyimpan, mengingat,
dan menggunakan informasi sosial).
b. Empati. Ada hubungan antara besarnya empati dengan kecenderungan
menolong. Hubungan antara empati dengan perilaku menolong secara
konsisten ditemukan pada semua kelompok umur.
c. Arousal. Ketika melihat suatu kejadian yang membutuhkan pertolongan
orang dihadapkan pada dilema menolong atau tidak menolong. Salah satu
pertimbangan yang menjadi pertimbangan untuk menolong atau tidak
menolong adalah biaya untuk menolong dibanding biaya tidak menolong.
Pertimbangan ini meliputi situasi saat terjadinya peristiwa, karakteristik
orangorang yang ada di sekitar, karakteristik korban, dan kedekatan
hubungan antar korban dengan penolong.
5) Latar belakang kepribadian. Individu yang mempunyai orientasi sosial yang
tinggi cenderung lebih mudah memberi pertolongan, demikian juga orang
yang memiliki tanggung jawab sosial tinggi.
lainnya. Dan syarat terakhir adalah community rather than self interest orientation.
Seorang profesional mementingkan komunitas dibanding motif pribadi. Dalam
perspektif filsafat, berbuat baik terhadap orang lain tanpa memperhatikan imbalan
dan ganjaran lainnya disebut sebagai perilaku altruis.
Sebagai tenaga kependidikan yang profesional, maka guru pun mempunyai tugas
utama, yaitu; merencanakan pembelajaran, mendidik, mengajar, membimbing,
menilai dan mengevaluasi peserta didik pada berbagai jenjang pendidikan kepada
peserta didik (Permenneg PAN dan RB No, 16 Tahun 2009). Agar dapat
melaksanakan tugas tersebut, guru yang profesional harus memiliki penguasaan
terhadap sejumlah kompetensi yaitu pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian
(Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007). Oleh karena itu,
mekanisme penilaian kinerja guru diperlukan untuk mengevaluasi unjuk kerja guru
terhadap pelaksanaan tugas dan kewajibannya yang diakibatkan oleh kepemilikan
kompetensi pedagogik, sosial, kepribadian dan profesional.
Kompetensi secara bahasa diartikan kemampuan atau kecakapan. Hal ini
diilhami dari KKBI dimana kompetensi diartikan sebagai wewenang atau kekuasaan
untuk menentukan atau memutuskan suatu hal.
perilaku pada berbagai tugas dan kondisi kerja. Selanjutnya, menurut Kartadinata
(Taufiq, 2009: Hlm. 29) kompetensi merupakan sebuah kontinum perkembangan
mulai dari proses kesadaran (awareness), akomodasi, dan tindakan nyata sebagai
wujud kinerja.
Sedangkan komptensi konselor menurut Faiver, Eisengart, dan Colonna
(Depdiknas, 2008: Hlm. 140) Penguasaan Kompetensi Profesional Konselor
terbentuk melalui latihan dalam menerapkan Kompetensi Akademik dalam
bidang bimbingan dan konseling yang telah dikuasai itu dalam konteks otentik di
sekolah atau arena terapan layanan ahli lain yang relevan melalui Program
Pendidikan Profesi Konselor berupa Program Pengalaman Lapangan (PPL) yang
sistematis dan sungguh-sungguh (rigorous), yang terentang mulai dari observasi
dalam rangka pengenalan lapangan, latihan keterampilan dasar penyelenggaraan
konseling, latihan terbimbing (supervised practice) yang kemudian terus
meningkat menjadi latihan melalui penugasan terstruktur (self-managed practice)
sampai dengan latihan mandiri (self-initiatedpractice) dalam program
pemagangan, kesemuanya di bawah pengawasan Dosen Pembimbing dan
Konselor Pamong.
Ciri-ciri Kompetensi Guru bimbingan dan konseling menurut Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional No. 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi dan
Kompetensi Konselor
Tabel 2.1
Standar Kualifikasi dan Kompetensi Konselor
(Depdiknas, 2008: 268)
KOMPETENSI KONSELOR SUB KOMPETENSI KONSELOR
konseli.
3.4 Melaksanakan referal sesuai dengan
keperluan.
3.5 Peduli terhadap identitas professional
dan pengembangan profesi.
3.6 Mendahulukan kepentingan konseli
daripada kepentingan pribadi konselor..
4) Mengimplementasikan kolaborasi 4.1 Memahami dasar, tujuan, organisasi
intern di tempat bekerja dan peran pihak-pihak lain (guru, wali
kelas, pimpinan sekolah/madrasah,
komite sekolah/ madrasah di tempat
bekerja
4.2 Mengkomunikasikan dasar, tujuan, dan
kegiatan pelayanan bimbingan dan
konseling kepada pihak-pihak lain di
tempat bekerja.
4.3 Bekerja sama dengan pihak-pihak
terkait di dalam tempat bekerja (seperti
guru, orang tua, tenaga administrasi)
5) Berperan dalam organisasi dan 5.1 Memahami dasar, tujuan, dan AD/ART
kegiatan profesi bimbingan dan organisasi profesi bimbingan dan
konseling. konseling untuk pengembangan diri.dan
profesi.
5.2 Menaati Kode Etik profesi bimbingan
dan konseling.
5.3 Aktif dalam organisasi profesi
bimbingan dan konseling untuk
pengembangan diri.dan profesi.
6) Mengimplementasikan kolaborasi 6.1 Mengkomunikasikan aspek-aspek
antar profesi profesional bimbingan dan konseling
kepada organisasi profesi lain.
6.2 Memahami peran organisasi profesi lain
dan memanfaatkannya untuk suksesnya
pelayanan bimbingan dan konseling.
6.3 Bekerja dalam tim bersama tenaga
paraprofesional dan professional profesi
lain.
6.4 Melaksanakan referal kepada ahli
profesi lain sesuai keperluan.
27
Setiap konselor ataupun guru bimbingan dan konseling perlu memahami apa
yang menjadi dasar pijakan mereka dalam bekerja. Memahami dan memaknai
setiap kompetensi yang terkandung dalam profesi konselor menjadi hal yang
wajib. Konselor merupakan profesi yang dikenakan tanggung jawab untuk selalu
membantu setiap individu dalam kondisi apapun, kapanpun dan dimanapun,
khususnya pada klien dan siswa. Sebagaimana yang diungkapkan Kail &
Cavanough (2000) bahwa altruisme merupakan perilaku yang dikendalikan oleh
perasaan bertanggung jawab terhadap orang lain, misalnya menolong dan
berbagi. Keselamatan seorang klien menjadi pokok utama tanpa melihat kondisi
dirinya. Hal ini merupakan salah satu prediktor utama dari perilaku altruis.
Dengan kata lain seorang yang memiliki jiwa altruistik telah memenuhi salah
satu kriteria utama untuk menjadi salah seorang konselor (Tracy, 2011).
Kepribadian altruistik sangatlah penting untuk dimiliki oleh seorang konselor,
jika acuan ini ialah kompetensi itu tersendiri, maka akan dijumpai berbagai
macam subkompetensi yang merujuk pada nilai dasar altruistik. Kepedulian
(Batson; 1987), kerjasama (Eisenberg; 1989), empati (Myers; 1998, Batson;
2011), hingga memberikan pertolongan (Mussen; 1989) yang sifatnya kuratif
(segera) (Staub; 1978) merupakan nilai-nilai yang terkandung dalam perilaku
altruisme.
Begitupun dengan ekspektasi kinerja konselor dalam menyelenggarakan
pelayanan ahli bimbingan dan konseling disekolah senantiasa digerakkan oleh
motif altruistik, sikap empatik, menghormati keragaman, serta mengutamakan
kepentingan konseli, dengan selalu mencermati dampak jangka panjang dari
pelayanan.
Selain itu, yang perlu diperhatikan dalam perilaku altruis ialah tingkat
religiusitas seseorang, tak sedikit pula peniliti yang mengatakan bahwa erat
sekali perilaku altruisme dengan bangunan kereligiusan seseorang (Abidin:
2000). Muzakkir (2013) mengatakan bahwa religius berarti keagamaan; ketaatan;
saleh; beribadat; beriman. Religiusitas berarti ketaatan kepada agama;
pengabdian terhadap agama; kesalehan. Memperkuat pemahaman keagamaan
28
perhatian yang wajar oleh orang lain. Sebagian dari kebutuhan ini diwujudkan
oleh kebutuhan seseorang untuk identitas, untuk mengetahui bahwa seseorang
berbeda dari orang lain, untuk merasa benar keunikan seseorang, dan pada
waktu yang sama untuk merasa bahwa orang lain mengidentifikasi dan
berempati dengan dia sebagai sesama. Kontrol adalah kebutuhan dasar kedua:
"Kebutuhan untuk kontrol bervariasi di sepanjang kontinum dari keinginan
untuk kekuasaan, otoritas dan kontrol atas orang lain (dan karenanya lebih dari
satu di masa depan) untuk kebutuhan untuk dikendalikan dan memiliki
tanggung jawab mengangkat dari diri sendiri”. Ada ada hubungan yang
diperlukan antara keinginan seseorang untuk mengendalikan dan keinginan
seseorang harus dikendalikan. Perasaan, kebutuhan dasar ketiga, "mengacu
untuk menutup perasaan pribadi antara dua orang, terutama cinta dan benci
dalam berbagai derajat mereka. Kita semua memiliki kebutuhan kuat untuk
merasa sayang dan untuk mengekspresikan dan menerima setiap kali kita
dengan orang lain.
Metode Schutz tentang pertemuan dan pelatihan kesadaran dirancang untuk
membantu individu mengenali perasaan mereka dan cara perilaku berkaitan
dengan inklusi, kontrol, dan perasaan dan untuk membantu mereka mengatasi
keadaan mereka sendiri pembangunan dan partisipasi mereka dalam kelompok
sosial sehubungan dengan tiga kebutuhan dasar, terutama untuk meningkatkan
kesadaran, pengalaman mengatakan yang sebenarnya, dan untuk memahami
diri dan pilihan tanggung jawab.
Gambar 2.1
Model Awereness Training Model
Kesadaran yang
lebih besar
Intergarsi diri
33
Integrasi
interpersonal
Hubungan
Tujuan yang dipilih
oleh konseli
yang harus diberikan pada peserta didik untuk dipahami agar dapat bermain
peran dengan baik.
Penggunaan bermain peran dimaksudkan untuk membantu mahasiswa:
a. Mempertimbangkan nilai-nilai sosial dan moral yang tercermin dalam
tingkah laku kehidupan nyata dengan segala konsekuensinya melalui
diskusi kelompok dan belajar dari pengalaman sehingga merasa yakin
untuk menolak atau menerima nilai-nilai dalam kehidupannya;
b. Menyadari adanya keragaman pendapat dengan penuh pengertian dan
tenggangrasa;
c. Menumbuhkan keberanian mengambil keputusan dalam menghadapi
masalah dilematis, sekali pun dengan mempertimbangkan perasaan orang
lain,
d. Mengeksplorasi gagasan dan perasaannya untuk merespon setiap
permasalahan kehidupan nyata;
e. Menumbuh-kembangkan empati terhadap orang lain; dan
f. Mempersiapkan diri untuk ikut bertanggung jawab dalam kehidupan klien.
Karena setiap orang mendapatkan identitas dalam masyarakat dan hanya
dapat diusahakan melalui pengalaman rasa peduli terhadap masyarakat
dimana mereka berada.
Salah satu pengembangan metode role play dalam mengatasi problem
sosial yakni teknik sosiodrama. Tak sedikit peneliti yang menyatakan bahwa
metode role play dengan teknik sosiodrama dapat meningkatkan perilaku
prososial dan altruisme (Theresia; 2014, Fadillah; 2014, Kholtim; 2013).
Surya, (Theresia: 2014) sosiodrama merupakan suatu teknik permainan
peran yang mengangkat topik masalah sosial. Adapun tujuannya, yakni
pertama, untuk dapat mengikuti dan menghargai perasaan orang lain maka
dengan dapat menghargai individu dapat mengaktivasi rasa empatinya, kedua
belajar mambagi tanggung jawab, bersikap jujur, ketiga dapat memecahkan
suatu permasalahan, bekerjasama, sehingga dapat meningkatkan perilaku
35