Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENDEKATAN KONSELING RATIONAL EMOTIVE

BEHAVIOR THERAPY (REBT)

Disusun untuk memenuhi mata kuliah

Dosen Pengampu : Nurhasanah, M.Pd

Kelompok IX :

- Asri Widianti
- Cici Yunita
- Desi Ramadhani
- Kurnia Permata Sari
- Qomarul Khair

STAI SYEKH H.A HALIM HASAN AL-ISHLAHIYAH


BINJAI
2019
BAB I

PENDAHULUAN

Istilah Rational-Emotive Behavior Therapy sukar diganti dengan istilah bahasa indonesia
yang mengena: Paling-paling dapat dideskripsikan dengan mengatakan: Corak konseling yang
menekankan kebersamaan dan interaksi antara berfikir dan akal sehat (Rational Thingking),
Berperasaan (emotion), dan berperilaku (acting), Serta sekaligus menekankan bahwa suatu
perubahan yang mendalam dalam cara berfikir dapat menghasilkan perubahan yang berarti
dalam cara berperasaan dan berperilaku.

Pendekatan Rational-Emotive Behavior Therapy (REBT) adalah pendekatan behavior


kognitif yang menekankan pada keterkaitan antara perasaan, tingkah laku dan pikiran.
pendekatan Rational-Emotive Behavior Therapy (REBT) di kembangkan oleh Albert Ellis
melalui beberapa tahapan. pandangan dasar pendekatan ini tentang manusia adalah bahwa
individu memiliki tendensi untuk berpikir irasional yang salah satunya didapat melalui belajar
social. Di samping itu, individu juga memiliki kapasitas untuk belajar kembali untuk berpikir
rasional. pendekatan ini bertujuan untuk mengajak individu mengubah pikiran-pikiran
irasionalnya ke pikiran yang rasional melalui teori ABCDEF.
Penulis memilih REBT yang dikembangkan oleh Albert Ellis ini sebagai bahan
pembahasan berdasarkan pemikiran bahwa REBT bisa menantang para mahasiswa untuk berfikir
tentang sejumlah masalah dasar yang mendasari konseling. REBT terpisah secara radikal dari
beberapa sistem lain yang disajikan didalam makalah ini, yakni pendekatan-pendekatan psiko
analitik, eksistensial-humanistik, client centered dan gestal. REBT lebih banyak kesamaannya
dengan terapi-terapi yang berorientasi kognitif-tinngkah laku-tindakan dalam arti menitik
beratkan berfikir, menilai, memutuskan, menganalisis, dan bertindak. REBT sangat didaktif dan
sangat direktif serta lebih banyak berurusan dengan dimensi-dimensi fikiran dari pada dengan
dimensi-dimensi perasaan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOR THERAPY (REBT)

Teori Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) pertama kali dikembangkan oleh Albert
Ellis pada tahun 1962, seorang Doktor dan Ahli dalam Psikologi Terapeutik yang juga seorang
eksistensialis sekaligus seorang Neo Freudian. Kata Rational yang dimaksud Ellis adalah kognisi
atau proses berpikir yang efektif dalam membantu diri sendiri (self helping) bukan kognisi yang
valid secara empiris dan logis. Dan kata behavior (tingkah laku) pada pendekatan Rational-
Emotive Behavior Therapy (REBT) dengan alasan bahwa tingkah laku sangat terkait dengan
emosi dan perasaan.

Menurut Ellis (dalam Latipun, 2001 : 92), berpandangan bahwa REBT merupakan terapi
yang sangat komprehensif, yang menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan emosi,
kognisi, dan perilaku. Rasional emotive adalah teori yang berusaha memahami manusia
sebagaimana adanya. Manusia adalah subjek yang sadar akan dirinya dan sadar akan objek-objek
yang dihadapinya. Manusia adalah makhluk berbuat dan berkembang dan merupakan individu
dalam satu kesatuan yang berarti manusia bebas, berpikir, bernafas, dan berkehendak. (Willis,
2004).

Yang dimaksud dengan konseling Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) adalah
konseling yang menekankan interaksi berfikir dan akal sehat (rasional thingking), perasaan
(emoting), serta berperilaku (acting). Bahwa teori ini menekankan bahwa suatu perubahan yang
mendalam terhadap cara berpikir dapat menghasilkan perubahan yang berarti dalam cara
berperasaan dan berperilaku.1

1
LAHMUDIN LUBIS, Konsep-konsep Dasar Bimbingan Konseling,(Bandung; CiptapustakaMedia, 2006), h.83-84
B. KONSEP-KONSEP UTAMA

Pandangan tentang Sifat Manusia

TRE adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan
potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat.
Manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir
dan mengatakan, mencintai, bergabung dengan orang lain, serta tumbuh dan mengaktualkan diri.
Akan tetapi, manusia juga memiliki kecenderungan-kecenderungan kea rah menghancurkan diri,
menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali kesalahan-kesalahan secara tak
berkesudahan, takhyul, intoleransi, perfeksionisme dan mencela diri, serta menghindari
pertumbuhan dan aktualisasi diri. Manusia pun berkecenderungan untuk terpaku pada pola-pola
tingkah laku lama yang disfungsional dan mencari berbagai cara untuk terlibat dalam sabotase
diri.2

Manusia tidak ditakdirkan untuk menjadi korban pengondisian awal. TRE menegaskan
bahwa manusia memiliki sumber-sumber yang tak terhingga bagi aktualisasi potensi-potensi
dirinya dan bisa mengubah ketentuan-ketentuan pribadi dan masyarakatnya. Bagaimanapun,
menurut TRE, manusia dilahirkan dengan kecenderungan untuk mendesakkan pemenuhan
keinginan-keinganan, tuntutan-tuntutan, hasrat-hasrat, dan kebutuhan-kebutuhan dalam
hidupnya. Jika tidak segera mencapai apa yang diinginkannya, manusia mempersalahkan dirinya
sendiri ataupun orang lain.

TRE menekankan bahwa manusia berpikir, beremosi, dan bertindak secara simultan. Jarang
manusia beremosi tanpa berpikir, sebab perasaan-perasaan biasanya dicetuskan oleh persepsi
atas suatu situasi yang spesifik. Dalam rangka memahami tingkah laku menolak diri, orang harus
memahami bagaimana seseorang beremosi, berpikir, mempersepsi, dan bertindak. Untuk
memperbaiki pola-pola yang disfungsional, seseorang idealnya harus menggunakan metode-
metode perseptual-kognitif, emotif-evokatif, dan behavioristic reedukatif.

2
Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi (Bandung: Refika Aditama, 2013), hlm. 238.
Tentang sifat manusia, Ellis menyatakan bahwa baik pendekatan psikoanalitik Freudian
maupun pendekatan eksistensial telah keliru dan bahwa metodologi-metodologi yang dibangun
di atas kedua sistem psikoterapi tersebut tidak efektif dantidak memadai. Ellis menandaskan
bahwa pandangan Freudian tentang manusia itu keliru karena pandangan eksistensial humanistik
tentang manusia, sebagian benar. Menutut Ellis, manusia bukanlah makhluk yang sepenuhnya
ditentukan secara biologis dan didorong oleh naluri-naluri. Dan Ellis juga tidak sepenuhnya
menerima pandangan eksistensial tentang kecenderungan mengaktualkan diri disebabkan oleh
fakta bahwa manusia adalah makhluk-makhluk biologis dengan kecenderungan-kecenderungan
naluriahnya yang kuat untuk bertingkah laku dengan cara-cara tertentu.3

C. KONSEP DASAR

Konsep dasar REBT adalah, bahwa seseorang berkonstribusi terhadap munculnya problem
psikologis, baik yang ditunjukkan dalam gejala-gejala yang spesifik hingga pada interpretasi
terhadap suatu peristiwa atau situasi tertentu. Setiap manusia yang normal memiliki pikiran,
perasaan dan perilaku yang ketiganya berlangsung secara simultan.

Konsep dasar yang di kembangkan Albert Ellis adalah:

1. Pemikiran manusia adalah penyebab dasar dari gangguan emosional.


2. Manusia mempunyai potensi pemikiran rasional dan irasional.
3. Pemikiran dan emosi tidak dapat di pisahkan.
4. Pada diri manusia sering terjadi self-verbalization, yaitu mengatakan sesuatu terus-
menerus kepada dirinya.
5. Pemikiran tak logis (irrasional) dapat dikembalikan kepada pemikiran logis dengan
reorganisasi persepsi. Pemikiran tak logis itu merusak dan merendahkan diri melalui
emosionalnya.

3
Ibid, Gerald Corey, hlm. 238-239.
Pandangan dari pendekatan ini tentang kepribadian dapat dikaji dari konsep-konsep teori
Albert Ellis. Ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, kerangka pilar ini yang
kemudian dikenal dengan teori ABC, kemudian ditambahkan D, E dan F untuk
mengakomodikasi perubahan tersebut :
a. Activating event (A)
Yaitu segenap peristiwa luar yang dialami individu. Peristiwa pendahulu yang berupa
fakta, kejadian, tingkah laku atau sikap orang lain. Seperti : masalah-masalah keluarga, kendala-
kendala pekerjaan, trauma-trauma masa kecil, dan hal-hal lain yang kita anggap sebagai
penyebab ketidakbahagiaan.
b. Belief (B)
Yaitu keyakinan, pandangan, nilai atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa.
Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belif atau rB) dan
keyakinan yang tidak rasional (irasional belif atau iB). Keyakinan yang rasional merupakan cara
berfikir atau sistem keyakinan yang tepat, masuk akal dan bijaksana. Sedangkan keyakinan yang
tidak rasional merupakan keyakinan yang sistem berfikir seseorang yang salah, tidak masuk akal
dan emosional.
c. Emotional consequence (C)
Merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam membentuk
perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan activating event (A).
Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa
variable antara lain dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun yang iB.
d. Disputing irrational (D)
Disputing irrational (D) Yaitu melakukan perlawanan terhadap keyakinan irasional.

e. Effective new philosophy of life (E)


Effective new philosophy of life (E) Yaitu mengembangkan filosofi dan keyakinan-
keyakinan baru yang positif.
f. Perasaan/feelings (F)
Yaitu aksi yang akan dilakukan lebih lanjut dan perasaan baru, dengan demikian kita
tidak akan merasa tertekan, melainkan kita akan merasakan segala sesuatu sesuai dengan situasi
yang ada.4

1. PROSES BERPIKIR

Menurut pandangan pendekatan Rational-Emotive Behavior Therapy (REBT), individu


memiliki tiga tingkatan berpikir, yaitu berpikir tentang apa yang terjadi berdasarkan fakta dan
bukti-bukti (inferences), mengadakan penilaian terhadap fakta dan bukti (evaluatian), dan
keyakinan terhadap proses inferences dan evaluasi (core belif) (forggatt, 2005, p. 4).

Ellis berpendapat bahwa yang menjadi sumber terjadinya masalah-masalah emosional


adalah evaluative belief yang dikenal dalam istilah REBT adalah irrational belief yang dapat
dikatagorikan menjadi empat, yaitu:

 Demands (tuntutan)

Adalah ekspetasi yang tidak realistis dan absolut terhadap kejadian atau individu yang
dapat dikenali dengan kata-kata seperti : harus, sebaiknya dan lebih baik.

 Awfulising

Adalah cara berlebih-lebihan konsekuensi negatif dari suatu situasi sampai pada level
yang ekstrim sehingga kejadian yang tidak menguntungkan menjadi kejadian yang menyakitkan.

 Low frustation tolerance (LFT)

Adalah kelanjutan dari tuntutan untuk selalu berada dalam kondisi nyaman dan
merefleksikan ketidaktoleransian terhadap ketidaknyamanan.

4
Elfi Mu’awanah, bimbingan konseling islam di sekolah dasar, (Jakarta:PT Bumi Aksara, 2009), hlm.112-117
 Global evaluations of human worth

Yaitu menilai keberhargaan diri sendiri dan orang lain. Hal ini bermakna bahwa individu
dapat diberi peringkat yang berimplikasi bahwa pada asumsi beberapa orang lebih buruk atau
tidak berharga dari yang lain (Walen et. al., 1992, pp. 17-18).

Selanjutnya, Ellis membagi fikiran individu dalam tiga tingkatan. yaitu:

a. Pikiran Dingin (Cool)Yaitu pikiran yang bersifat deskriptif sendiri dan


mengandung sedikit emosi.
b. Pikiran yang hangat (Warm)Yaitu pikiran yang mengarah pada satu preferensi
atau keyakinan rasional, pikiran ini mengandung unsur evaluasi yang
mempengaruhi pembentukan perasaan.
c. Pikiran yang panas (Hot) Pikiran yang mengandung unsur evaluasi yang
tinggi dan penuh dengan perasaan (Nelson-Jones, 1995, p. 313).

2. HAKIKAT MANUSIA DAN PERILAKU INDIVIDU YANG BERMASALAH

Menurut padangan teori REBT, bahwa manusia sejak lahir memiliki potensi untuk
berfikir rasional dan irasional. Manusia mempunyai potensi untuk mengembangkan diri,
berbahagia, berfikir dan berpendapat, bekerja sama dengan orang lain. Namun pada sisi lain,
manusia juga memiliki potensi untuk menghancurkan atau merusak diri sendiri, mengingkari
pikiran-pikirannya, intoleran (tidak toleran), menolak realitas. Dan manusia pun memiliki
kecenderungan untuk terpaku pada pola-pola tingkah laku lama yang disfungsional dan mencari
berbagai cara untuk terlibat dalam sabotase diri.

Ketika seseorang berfikir dan berperilaku rasional, maka ia akan hidup efektif dan
bahagia. Sebaliknya, jika seseorang berfikir dan berperilaku irasional, maka ia akan menjadi
tidak efektif dan tidak bahagia. Hambatan psikologis terjadi sebagai akibat dari cara berfikir
yang irasional dan tidak logis. Jadi, perilaku bermasalah adalah perilaku yang didasarkan pada
cara berfikir yang irasional, yang tidak dapat dibuktikan. Perilaku irasional ini akan berakibat
pada munculnya kecemasan, kekhawatiran, dan prasangka, sehingga akan menghalangi individu
untuk berkembang secara efektif dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam Gantina dkk (Gladding : 1992) mengatakan bahwa, Ellis mengidentifikasi
keyakinan irasional individu yang dapat mengakibatkan masalah yaitu:

 Untuk menjadi orang yang berharga individu harus kompeten dan mencapai setiap
usahanya.
 Orang yang tidak bermoral, kriminal dan nakal merupakan pihak yang harus
disalahkan.
 Hal yang sangat buruk dan menyebalkan adalah bila segala sesuatu tidak terjadi
seperti yang saya harapkan.
 Ketidakbahagiaan merupakan hasil dari peristiwa eksternal yang tidak dapat
dikontrol oleh diri sendiri.
 Sesuatu yang membahayakan harus menjadi perhatian dan harus selalu diingat
dalam fikiran.
 Lari dari kesulitan dan tanggung jawab dari pada menghadapinya.
 Seseorang harus memiliki orang lain sebagai tempat bergantung dan harus
memiliki seseorang yang lebih kuat yang dapat menjadi tempat bersandar.
 Masa lalu menentukan tingkah laku saat ini dan tidak bisa diubah.
 Individu bertanggung jawab atas masalah dan kesulitan yang dialami oleh orang
lain.

Menurut Albert Ellis juga menambahkan bahwa secara biologis manusia memang
diprogram untuk selalu menanggapi pengondisian-pengondisian semacam ini. Keyakinan-
keyakinan irasional tadi biasanya berbentuk pernyataan-pernyataan absolut. Ada beberapa jenis
“pikiran-pikiran yang keliru” yang biasanya diterapkan orang, di antaranya:

1. Mengabaikan hal-hal yang positif.


2. Terpaku pada yang negative.
3. Terlalu cepat menggeneralisasi.
Seseorang tidak mampu berfikir secara rasional dikarenakan ia tidak berfikir jelas tentang
keadaan saat ini dan yang akan datang, antara realitas dan imajinasi. Tidak mandiri selalu
tergantung pada perencanaan dan pemikiran orang lain. Berfikir irasional diawali dengan belajar
secara tidak logis yang diperoleh dari pengalamannya dalam keluarga, orang tua, dan budaya
tempat individu dibesarkan. Berfikir irasional akan tercermin dari kata-kata yang digunakan.
Kata-kata yang tidak logis mencerminkan cara berfikir yang salah, sebaliknya, kata-kata yang
tepat mencerminkan cara berfikir yang tepat.5

D. TUJUAN KONSELING DAN PERAN KONSELOR DALAM REBT

Konseling REBT bertujuan memperbaiki dan mengubah sikap, persepsi, cara berfikir,
keyakinan, serta pandangan klien yang irrasional menjadi rasional, sehingga ia dapat
mengembangkan diri dan mencapai realisasi diri yang optimal. Menghilangkan gangguan
emosional yang dapat merusak diri, seperti rasa takut, bersalah, berdosa, cemas, marah, atau
khawatir, sebagai akibat berfikir yang irrasional, melatih dan mendidik klien agar dapat
menghadapi kenyataan hidup secara rasional dan membangkitkan kepercayaan diri, nilai-nilai
dan kemampuan diri.

Oleh karena itu dalam konseling, konselor membantu klien untuk mengenali insight yang
menjadi penyebab perilaku irasionalnya. REBT membantu klien mendapatkan tiga jenis insight :

Ø Insight #1

Klien memahami bahwa perilaku disfungsionalnya terjadi tidak hanya karena penyebab di
masa lalu, tetapi bahwa penyebab tersebut masih ada dalam pikiran klien sampai saat ini.

Ø Insight #2

Klien memahami bahwa apa yang mengganggunya saat ini karena keyakinan irasional yang
terus dipertahankannya.

5
Ibid, Elfi Mu’awanah, hlm. 118-120
Ø Insight #3

Klien memahami bahwa tidak ada jalan lain untuk keluar dari hambatan psikologis yang
dialaminya dengan cara mengamati, mendeteksi, dan melawan keyakinannya yang irasional
dengan keyakinan yang rasional.

Setelah klien mendapatkan tiga insight tersebut, kemudian konselor menunjukkan kepada
klien bahwa verbalisasi-verbalisasi dirinya masih merupakan sumber utama dari gangguan-
gangguan emosional yang dialaminya. Konselor mendorong klien untuk menguji secara kritis
nilai-nilai dirinya yang paling dasar, sehingga memberikannya "intellectual insight", yaitu
pengetahuan bahwa ia bertindak buruk dan keinginan untuk memperbaiki perilakunya. Apabila
proses ini berhasil, klien akan memperoleh "emotional insight", yaitu tekad untuk bekerja keras
merubah atau reconditions terhadap perilakunya.

E. TEKNIK DAN PROSES KONSELING

Dalam teknik REBT, konselor tidak hanya membantu klien mengatasi hambatan
emosionalnya secara spesifik (yang disampaikan ke konselor), tetapi juga hambatan emosional
secara umum. Proses konseling bertujuan untuk membebaskan pikiran-pikiran irasional klien,
karena pada dasarnya semua manusia adalah makhluk rasional, dan oleh karena sumber
ketidakbahagiaan (gangguan emosional) adalah pikiran yang irasional. Maka klien dapat
mencapai kebahagiaan dengan belajar berfikir rasional, sehingga proses konseling sebagian besar
merupakan proses belajar-mengajar dan membutuhkan waktu yang panjang.

Beberapa teknik yang digunakan dalam REBT adalah :

a. Teknik Emotive :

Menurut Corey (1995) ada beberapa teknik emotif, yaitu :

 Assertive training: Yaitu melatih dan membiasakan klien terus menerus


menyesuaikan dirinya dengan perilaku tertentu yang diinginkan.
 Sosiodrama: Yaitu mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan klien
(perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang dramatisasikan sehingga
klien dapat secara bebas mengungkapan dirinya sendiri baik secara lisan, tulisan
ataupun melalui gerakan-gerakan dramatis.
 Self modeling: Yaitu menghilangkan perilaku tertentu, dimana konselor menjadi
model dan klien berjanji akan mengikuti.
b. Teknik Behavioristik

Ada dua teknik behavioristik yaitu :

 Reinforcement: Yaitu mendorong klien kearah perilaku yang lebih rasional dan
logis dengan jalan memberikan pujian verbal kepadanya.
 Social modeling: Yaitu menggambarkan perilaku-perilaku tertentu, khususnya
situasi-situasi interpersonal yang kompleks dalam bentuk percakapan sosial,
interaksi dengan memecahkan masalah-masalah.
c. Teknik Kognitif

Teknik kognitif yang cukup dikenal adalah Home Work Assigment atau teknik tugas rumah,
digunakan agar klien dapat membiasakan diri serta menginternalisasikan sistem nilai tertentu
yang menuntun pola perilaku yang diharapkan.6

6
FARID MASHUDI, ”Pedoman lengkap Evaluasi dan Supervisi Bimbingan Konseling”, (Yogyakarta, Diva Press,
2016), hlm. 177-178
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) adalah konseling yang menekankan


interaksi berfikir dan akal sehat (rasional thingking), perasaan (emoting), serta berperilaku
(acting). Bahwa teori ini menekankan bahwa suatu perubahan yang mendalam terhadap cara
berpikir dapat menghasilkan perubahan yang berarti dalam cara berperasaan dan berperilaku.
Konsep dasar REBT adalah, bahwa seseorang berkonstribusi terhadap munculnya
problem psikologis, baik yang ditunjukkan dalam gejala-gejala yang spesifik hingga pada
interpretasi terhadap suatu peristiwa atau situasi tertentu. Setiap manusia yang normal memiliki
pikiran, perasaan dan perilaku yang ketiganya berlangsung secara simultan.
Ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, kerangka pilar ini yang kemudian
dikenal dengan teori ABC, kemudian ditambahkan D, E dan F yaitu: Activating event (A), Belief
(B), Emotional consequence (C), Disputing irrational (D), Effective new philosophy of life (E),
dan Perasaan/feelings (F)
Proses konseling bertujuan untuk membebaskan pikiran-pikiran irasional klien, karena
pada dasarnya semua manusia adalah makhluk rasional, dan oleh karena sumber
ketidakbahagiaan (gangguan emosional) adalah pikiran yang irasional. Maka klien dapat
mencapai kebahagiaan dengan belajar berfikir rasional, sehingga proses konseling sebagian besar
merupakan proses belajar-mengajar dan membutuhkan waktu yang panjang.
Ada beberapa teknik yang digunakan dalam REBT adalah: Teknik Emotive, Teknik
Behavioristik, Teknik Kognitif.
DAFTAR PUSTAKA

Lubis, Lahmudin. 2006. Konsep-Konsep Dasar Bimbingan Konseling. Bandung:


CiptaPustakaMedia.

Corey, Gerald. 2013. Teori Dan Praktek Konseling Dan Psikoterapi. Bandung: Refika aditama.

Mu’awanah, Elfi. 2009. Bimbingan Konseling Islam Di Sekolah Dasar. Jakarta: PT Bumi
Aksara.

Mashudi, Farid. 2016. Pedoman Evaluasi Dan Supervisi Bimbingan Konseling. Yogyakarta:
Diva Press.

Anda mungkin juga menyukai