Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH KELOMPOK 1

PENDEKATAN DALAM KONSELING

“KONSELING PSIKOANALISIS KLASIK (KOPSAK)”

Dosen Pengampu :
Drs. Taufik, M. Pd., Kons

Disusun oleh Kelompok 1 :


1. Dhita Putri Aullya (20006011)
2. Indah Khofifah Putri (20006148)
3. Monica Annurianti (20006088)

DEPARTEMEN BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nyalah
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tanpa suatu halangan yang amat berarti.
Tanpa pertolongan-Nya mungkin penulis tidak akan sanggup menyelesaikan tugas makalah
kelompok ini dengan baik. Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu
tentang “Konseling Psikoanalisis Klasik (KOPSAK)” sekaligus sebagai pemenuhan tugas
kelompok yang disajikan berdasarkan referensi dari berbagai sumber.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada para dosen pengampu selaku dosen mata
kuliah Pendekatan dalam Konseling yaitu Bapak Drs. Taufik, M. Pd., Kons. yang telah
membimbing dan memberikan kesempatan kepada Penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa juga penulis ucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya dalam proses pembuatan makalah
ini. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu
penulis mengharapkan kritik yang membangun dan saran dari berbagai pihak demi kelayakan
makalah ini di masa yang akan datang.

Padang, 9 Februari 2023

Kelompok 1

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii


DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii
BAB I ......................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ............................................................................................................ 4
BAB II........................................................................................................................................ 5
A. Asumsi Tentang Manusia ............................................................................................... 5
B. Struktur Kepribadian ....................................................................................................... 6
C. Perkembangan Kepribadian ............................................................................................ 8
D. Tujuan Konseling .......................................................................................................... 10
E. Teknik Konseling .......................................................................................................... 11
BAB III .................................................................................................................................... 13
PENUTUP................................................................................................................................ 13
A. Kesimpulan ................................................................................................................... 13
B. Saran ............................................................................................................................. 13
KEPUSTAKAAN .................................................................................................................... 14

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Teori konseling merupakan upaya untuk menjelaskan proses melalui mana
seperangkat kegiatan konseling dimulai, berkembang dan berakhir. Teori konseling
dapat melayani sejumlah fungsi; sebagai seperangkat pedoman untuk menjelaskan
cara-cara manusia belajar, berubah, dan berkembang; mengusulkan suatu model
perkembangan normal dan bentuk-bentuk ekspresi gangguan perilaku; dan apa yang
perlu dilakukan dan dapat diharapkan pada proses konseling. Singkatnya, teori
konseling merupakan peta proses konseling, serta apa yang harus dilakukan oleh
orang-orang yang terlibat dalam proses konseling untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Dalam konseling, kita selalu membutuhkan teori sebagai kerangka kerja
guna mengorganisasikan informasi-informasi.
Konselor perlu menggunakan teori sebagai dasar untuk menerapkan asumsi-
asumsi tentang sifat konseling dan sifat dasar manusia, menetapkan tujuan umum
konseling, menetapkan teknik atau metode yang digunakan untuk mencapai tujuan
tersebut, menstrukstur peran dan tanggung jawab konselor dan klien dalam hubungan
terapeutik. Melakukan konseling tanpa teori sama halnya dengan terbang ke planet
tanpa peta dan instrumen. Di antara kesekian pendekatan tersebut salah satunya
adalah psikoanalisis klasik yang dikembangkan oleh Sigmund Freud.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pandangan tentang manusia menurut teori KOPSAK?
2. Bagaimana Struktur kepribadian menurut teori KOPSAK?
3. Bagaimana Perkembangan kepribadian sehat dan tidak sehat menurut teori
KOPSAK?
4. Bagaimana Tujuan, Proses, dan teknik Konseling meurut teori KOPSAK?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pandangan tentang manusia menurut teori KOPSAK
2. Untuk Mengetahui dan memahami struktur kepribadian menurut teori
KOPSAK
3. Untuk mengetahui perkembangan kepribadian sehat dan tidak sehat menurut
teori KOPSAK
4. Untuk mengetahui, memahami dan mengaplikasikan tujuan,proses dan teknik
konseling menurut teori KOPSAK.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Asumsi Tentang Manusia


Menurut Muhammad Surya (2003), Freud berasumsi bahwa manusia pada
hakekatnya bersifat biologis dia dilahirkan dengan dorongan-dorongan instingtif, dan
perilaku merupakan fungsi mereaksi secara mendalam terhadap dorongan-dorongan
itu.
Manusia menurut aliran yang dipelopori oleh Sigmund Freud ini adalah makhluk
yang diselenggarakan oleh suatu keinginan yang terpendam dalam jiwanya (homo
volens). Aliran psikoanalisis secara tegas memperhatikan struktur jiwa manusia, fokus
aliran ini adalah totalitas kepribadian manusia bukan pada bagian-bagiannya yang
terpisah.
Model konseling psikoanalisis (KOPSAK) ini memiliki 3 asumsi dasar tentang
manusia (Prayitno, 1998: 41), yaitu:
1. Manusia tidak memegang nasibnya sendiri, tingkah laku manusia
ditujukan memenuhi kebutuhan biologis dan instink – instinknya.
2. Tingkah laku manusia dikendalikan oleh pengalaman – pengalaman masa
lampau.
3. Tingkah laku individu ditentukan oleh faktor – faktor interpersonal dan
intrapsikis/psikis determinisme.
Model KOPSAK yang disebutkan diatas, kemudian dijelaskan oleh Taufik (2012: 3),
yaitu sebagai berikut:
1. Lima tahun pertama merupakan saat yang menentuka perkembangan
manusia
Pengalaman yang diperoleh anak pada masa umur di bawah lima
tahun, khususnya pengalaman traumatis akan menimbulkan kesan
negative dan setelah dia menjadi dewasa. Perlakuan yang diterima dari
orang tua pada masa ini akan membawa anak pada perkembangan yang
normal setelah anak tersebut dewasa. Menurut Taufik (2012: 3) hal itu
terjadi sebab pada diri mereka akan tinggal kesan tentang dunia yang
menyenangkan, sehingga ia dapat berkembang dengan baik. Jika pada
masa balita itu anak memperoleh perlakuan yang kurang yang
menyenangkan, dan tidak baik dari orang tua atau dari orang dewasa

5
lainnya anak dapat menghambat perkembangan fisik dan psikisnya setelah
dia mencapai dewasa.
2. Dorongan seksual merupakan kunci dalam menentuka tingkah laku individu
Menurut Freud (dalam Taufik, 2012: 3) setiap tingkah laku individu itu
didasarkan oleh dorongan seksual. Bahwa seseorang yang belajar
diperguruan tinggi pada dasarnya adalah dalam rangka pemenuhan dorongan
seksual.
Dorongan seksual yang dimaksud Freud (dalam Taufik, 2012: 4)
bukanlah khusus hubungan seks, namun dalam arti yang lebih luas, yaitu
dorong untuk menampilkan kepriaan atau kewanitaan. Seorang aak gadis
untuk menampilkan lipstick, memakai rok, kalung emas, jilbab dan lainnya
adalah karena dorongan kewanitaannya.
Akan kelihatan aneh untuk kebudayaan tertentu, apabila seorang pria
memakai rok atau memakai jilbab atau memakai anting – anting da anak
aneh juga apabila ada wanita yang memelihara dan merangsang tumbuhnya
kumis di atas bibirnya.
3. Tingkah laku individu banyak dikontrol oleh faktor ketidaksadaran
Tingkah laku individu bayak dikontrol oleh faktor ketidaksadaran.
Tingkah laku itu dapat terlihat dari misalnya cara seseorag berbicara, cara
duduk, cara berjalan dan kebiasaan – kebiasaan lainnya. Cara – cara
bertingkah laku tersebut mugnkin diadopsi dari tingkah laku orang tua atau
nenek moyangnya dimasa lalu.

B. Struktur Kepribadian
Freud (dalam Taufik, 2012: 7) merumuskan kepribadian menjadi tiga unsur yang
terdapat pada diri individu yaitu yang disebut dengan “id” , “ego’, dan “super ego”.
1. Id
Id adalah lapisan psikis yang paling dasar atau dapat dikataka juga sebagai
dorongan dari dalam diri individu berupa kebutuhan – kebutuhan, keinginan dan
kehendak (Taufik, 2012: 7). Menurut Suryasubrata (2010:125) id adalah aspek
biologis dan merupakan sistem yang original didalam kepribadian, dari aspek
inilah yang lain tumbuh. Energy psikis didalam id itu dapat meningkat oleh karena
perangsang baik dari luar maupun perangsang dari dalam. Apabila energy itu

6
meningkat, maka menimbulkan tegangan dan ini menimbulkan pengalam tidak
enak yang oleh id tidak dapat dibiarkan.
Dalam sudut pandang yang sama, Taufik (2012: 7) menguraikan tentang id yang
mana didalamnya terdapat naluri – naluri dalam bentuk dorongan seksual, sifat
agresif, dan keinginan – keinginan yang direpresi.
Pada diri seseorang yang merupakan perwujudan dari keberadaan id adalah nafsu,
keinginan seksual, dan termasuk keinginan untuk berkuasa. Hal yang perlu
ditekankan bahwa tanpa id, manusia tidak akan dapat hidup, sebab itulah id
menggerakkan hidup.
Orang yang sedang dalam keadaan pingsan dan koma, id-nya tidak bergerak,
sebab orang tersebut tidak memiliki nafsu sama seklai. Dengan demikian id itu
merupakan bagian dari kelengkapan yang sangat diperlukan dalam kehidupan
manusia.
2. Ego
Ego merupakan aspek psikologis daripada kepribadian dan timbul karena
kebutuhan organism untuk berhubungan secara baik dengan dunia nyata
(Suryasubrata, 20120:126). Suryasubrata (2010: 126) menjelaskan letak perbedaan
antara id dan ego, yang mana letak perbedaan pokoknya yaitu pada id hanya
mengenal dunia subyektif sedangkan ego dapat membedakan sesuatu yang hanya
ada didalam batin dan sesuatu yang ada didunia luar.
Dari penjelasan yang dikemukakan diatas, telah menggambarka bahwa id dan ego
itu berbeda. Yang mana, id hanya mengenali apa yang benar – benar ril sementara
ego dapat membedakan antara apa yang nyata dengan apa yang ada didalam
pikirannya.
Seperti yang dikemukakan Freud (dalam Taufik, 2012: 8) bahwa ego terbentuk
dengan diferensias dari id karena kontaknya dengan lingkungan. Kegiatannya
mengarahkan id untuk memperoleh sesuatu dalam pemenuhan kebutuhannya.
Egolah yang menggerakkan kebutuhan id. Dalam hal ini, ego juga yang
menggerakkan seseorang berinteraksi dengan lingkungan secara nyata, ego jugalah
yang menjadi perantara (mediator) antara id dengan lingkungan.
Taufik (2012: 8) menyebutkan bahwa aktifitas ego bersifat sadar, pra-sadar, dan
tidak sadar. Contoh ego bersifat sadar, yaitu persepsi lahiriah dan persepsi
bathiniah. Contoh ego pra-sadar yaitu seperti fungsi ingatan, sementara untuk

7
contoh ego tak sadar yaitu aktifitas yang dijalankan dengan mekanisme pertahanan
diri (defence mechanism).
Ego dikuasai oleh prinsip realitas, dalam arti bahwa ego lebih menekankan
bagaimana sesuatu yang dibutuhkan dapat terpenuhi dalam dunia nyata.
3. Super ego
Menurut Taufik (2012: 8) super ego adalah aspek sosiologis dan aspek moral dari
kepribadian seseorang. Freud (dalam Taufik, 2012: 8) mengatakan bahwa super
ego merupakan rambu yang menjadi petunjuk individu bertingkah laku dalam
usaha memenuhi kebutuhan id-nya.
Suryasubrata (2010: 156) mengatakan bahwa super ego merupakan wakil dari
nilai – nilai tradisional serta cita – cita masyarakat sebagaimana ditafsirkan orang
tua kepada anak – anak, yang dimasukkan dengan berbagai perintah dan larangan.
Fungsi pokoknya ialah menentukan apakah sesuatu benar/salah., pantas/ tidak
pantas, dan dengan demikian pribadi dapat bertindak sesuai dengan moral
masyarakat.
Bagaimana berfungsinya super ego ini, menurut Suryabrata (dalam Taufik, 2012:
10) yaitu melalui hubungan dengan ketiga unsure kepribadian yaitu dengan cara:
a. Merintangi impuls – impuls id, terutama impuls seksual dan agresif yang
pernyataannya sangat ditentang oleh masyarakat.
b. Mendorong ego untuk lebih mengejar hal – hal yang bersifat moralitas
daripada yang realistis
c. Mengejar kesempurnaan.

C. Perkembangan Kepribadian
Menurut teori psikoanalisis klasik, perkembangan kepribadian seseorang
didasarkan pada tahun-tahun pertama kehidupannya, atau pada masa balita.
Terjadinya berbagai penyimpangan kepribadian pada saat dewasa disebabkan oleh
apabila individu mengalami berbagai kejadian traumatis, frustasi, konflik dan
terancam.
Di antara tahap-tahap perkembangan kepribadian menurut teori psikoanalisis
klasik dari Sigmund Freud diantaranya adalah:
1. Tahap Oral
Tahap oral berlangsung sekitar umur 0 sampai 1 tahun. Menurut Freud pada
tahap ini kepuasan anak diperoleh anak melalui mulut. Hal ini dapat terlihat

8
dalam kehidupan bayi sehari-hari yang cenderung memasukkan sesuatu yang
didapatkannya kedalam mulut (Taufik, 2009: 14). Tidak terpuaskannya
kebutuhan akan makan dan kasih sayang pada masa ini dapat menimbulkan sifat
rakus dan serakah, selain itu juga mengakibatkan tumbuhnya sikap tidak percaya
pada orang lain dan menganggap dunia ini amat kejam, selanjutnya menjadi takut
untuk mencintai dan dicintai oleh orang lain, setelah mereka tumbuh dewasa akan
mengalami kesulitan untuk membangun hubungan yang intim dengan orang, dan
cenderung menolak kasih sayang.
2. Tahap Anal
Menurut Freud, tahap ini daerah erogen (kenikmatan) pada anak terletak di
bagian anus. Kepuasan ini diperoleh anak melalui buang air besar. Buang air
besar memberi keredaan pada anak dengan jalan menghilangkan sumber
ketegangan (Calvin, dalam Taufik, 2009: 15). Orangtua yang amat keras dan
menghukum anak pada masa ini akan dapat menimbulkan sikap ragu-ragu setelah
mereka menjadi dewasa.
3. Tahap Phalic
Pada tahap phalic mulai terbentuk identitas kelamin, yang terlihat dengan anak
laki-laki yang menyadari bahwa dirinya memiliki penis dan wanita tidak. Tahap
ini berlangsung kira-kira saat anak berumur antara 3 sampai 5 atau 6 tahun. Pada
tahap ini anak-anak menjadi ingin tahu tubuhnya karena merasakan kenikmatan
akan ransangan pada alat kelaminnya. Tahap Phalic ini juga menimbulkan
komplek oedipus dan komplek elektra, dimana anak laki-laki cenderung
menyukai ibu yang berbeda jenis kelamin dengannya dan anak perempuan yang
cenderung menyukai ayah yang juga berlainan jenis kelamin dengannya.
Apabila orangtua melakukan indoktrinasi standar-standar moral yang kaku dan
tidak realistik dapat mengarah pada pengendalian superego yang berlebihan
dimana setelah dewasa akan cenderung menghambat keintimannya dengan orang
lain dan menerima atau mematuhi tatanan moral hanya karena takut.
4. Tahap laten
Pada tahap ini perkembangan seksual memang masih berjalan namun tidak
begitu nampak. Tahap ini berlangsung pada umum sekitar 13 tahun. Pada tahap
ini minat anak terhadap seksualitas tampak menurun dan mulai berganti pada
minat terhadap hal-hal baru seperti pergaulan dengan teman sebaya, olagraga,
sekolah dan teman-teman.

9
5. Tahap genital
Genital dapat diartikan sebagai organ kelaim, maksudnya disini adalah objek
seksual anak kembali terarah pada organ kelamin. Pada tahap ini objek
seksualnya tidak lagi tertuju pada diri sendiri tapi sudah tertuju pada orang lain
diluar dirinya.

D. Tujuan Konseling

Tujuan konseling pendekatan psikoanalisis klasis adalah menjadikan hal-hal yang


tidak disadari klien menjadi disadarinya. Rochman Natawidjaya (dalam Taufik: 2012:
36) menjelaskan lebih lanjut bahwa tujuan konseling itu adalah usaha menata kembali
struktur watak dan kepribadian klien. Tujuan itu dicapai dengan membuat konflik –
konflik yang tidak disadari dan dengan menguji dan menjajaki materi yang bersifat
intra psikis.

Strategi pokok dari konseling psikoanalisis klasik ini adalah “khatarsis”, yaitu
usaha melepas kesan-kesan yang selalu mendesak dari bawah sadar klien, yang
selama ini tidak bisa dilepaskan atau selalu direpresi. Pelepasan kesan-kesan tersebut
akan dapat membantu suasana perasaan klien menjadi lega. Untuk itu, suasana yang
bebas ancaman amat diperlukan dalam kegiatan konseling.

Tujuan konseling menurut psikoanalisis klasik (Prayitno: 1998, 44) adalah:

1. Membawa klien kepada kesadaran dorongan-dorongan yang ditekan


ketidaksadaran yang mengakibatkan kecamasan.
2. Memberikan kesempatan kepada klien menghadapi situasi yang selama
ini ia gagal mengatasinya.

Menurut Baker (dalam Eko Darminto, 2007:31) tujuan konseling psikoanalisa antara
lain:

1. Meningkatkan kesadaran dan kontrol ego terhadap impuls-impuls dan


berbagai bentuk dorongan naluriah yang tidak rasional, serta menekan
kecemasan.
2. Memperkaya sifat dan macam mekanisme pertahanan ego sehingga lebih
efektif, lebih matang, dan lebih dapat diterima.
3. Mengembangkan perspektif yang lebih berlandaskan pada
assessment realitas yang jelas dan akurat yang mendorong penyesuaian.
4. Mengembangkan kemampuan untuk membentuk hubungan yang akrab
dan sehat dengan cara yang menghargai hak-hak pribadi dan orang lain.
5. Menurunkan sifat perfeksionis, rigid (kaku), dan punitive (menghukum).

10
E. Teknik Konseling

1. Asosiasi Bebas

Asosiasi bebas merupakan alat untuk mengungkapkan bahan – bahan yang


terdesak atau yang berada dalam ketidaksaran klien. Apabila klien bersedia
mengatakan apapun yang terlintas dalam ingatannya tentang orang lain, maka
klien itu secara intuitif akan mampu menembus penolakannya dan akan
menemukan sikap-sikap yang melandasi penolakannya itu.

Melalui asosiasi bebas menurut Taufik (2012: 19) dapat dipanggil kembali
pengalaman-pengalaman masa lampau dan pelepasan emosi-emosi yang
berkaitan dengan situasi traumatic di masa lampau. Pelepasan emosi-emosi yang
tertahan selama ini disebut jugan dengan katarsis.

Tugas konselor selama proses asosiasi bebas berlangsung adalah mengenali


bahan-bahan yang direpresi dan dikurung dalam ketidaksadaran klien. Dalam hal
ini, konselor dapat menafsirkan bahan-bahan itu dan menyampaikannya pada
klien serta membimbingnya untuk memahami.

Dalam situasi asosiasi bebas yang terpenting adalah bagaimana si konselor


dapat menciptakan situasi yang benar-benar bebas, sehingga dengan
kebebasannya itu, klien dapat mengingat masa lalu yang menimbulkan kesan
negative pada dirinya dan itu merupakan sumber dari tingkah laku salah suainya
dimasa sekarang. Penciptaan situasi bebas adalah dengan cara konselor berusaha
meruntuti kejadian yang masih dapat diingat klien sewaktu mengikuti kegiatan
konseling.

Cara melakukan asosiasi bebas menurut Rochman Natawijaya (dalam Taufik,


2012: 38) misalnya dengan mempersilahkan klien untuk tidur berbaring,
kemudian diajak klien dan memberikan kesempatan sebebas-bebasnya untuk
menceritakan tentang apa saja yang dirasakan, kemudian mengajak klien dan
memberikan kesempatan sebebas-bebasnya untuk menceritakan tentang apa saja
yang dirasakan, yang dialaminya dimasa lalu dan keinginan-keinginan yang
direpresinya. Dalam hal ini reaksi konselor terus mengajak klien untuk
mengemukakan lebih lanjut tentang apa yang dirasakannya.
2. Analisis Mimpi
Bagi pendekatan psikoanalisis, mimpi dianggap penting karena mimpi selalu
melalui mimpi dapat diungkapkan kesan – kesan yang direpresi dan mimpi
merupakan pemuasan keinginan – keinginan yang tidak dapat dicapai dalam
kenyataan.
Perlu diperhatikan bahwa menurut Rochman Natawijaya (dalam Taufik, 2012:
39) bahwa mimpi itu memilikiisi yang bersifat ternyatakan dan disadari, dan juga
bersifat laten atau tersembunyi.isi yang dinyatakan adalah mimpi sebagai tampak
pada diri orang yang mimpi itu, sedangkan yang laten terdiri dari motif – motif

11
tersamar dan tidak disadari yang menunjukkan makna tersembunyi dari mimpi
itu. Karena mimpi merupakan kunci yang membukakan apa – apa yang terkurung
di dalam ketaksadaran, maka tujuan analisis mimpi itu adalah untuk mencari isi
yang laten dibawah yang ternyatakan dan secara berangsung – angsur
menemukan konflik – konflik terdesak.
Selanjutnya tugas konselor dalam aalisis mimpi adalah menyingkap makna –
makna yang disamarkan dengan mempelajari symbol – symbol yang terdapat
pada isi manifest mimpi. Setelah itu, konselor dapat menafsirkan isi mimpi yang
dikemukakan klien terhadap kesan – kesasnnya pada seseorang dan dapat juga
menghubungkan apa yang dialaminya dalam mimpi dengan yang pernah
dialaminya dalam kehidupa masa kecilnya.
3. Transferensi (Pengalihan)
Transferensi maksudnya adalah pengalihan objek perasaan pada orang lain,
dalam hal ini klien mengarahkan apa yang dirasakan dan dimauinya kepada
konselor, yang selama ini tidak dapat dilakukannya. Dalam proses transferensi
ini, si klien menghayati kembali perasaan – perasaan tersebut pada konselor.
Perasaan dimaksud bisa yang bersifat positif ataupun perasaan negative, misalnya
cinta dan benci.
Melalui transferensi ini memungkinkan klien mampu memperoleh
pemahaman atas sifat dari fiksasi-fiksasi dan depresi-depresinya, dan menyajikan
pemahaman tentang pengaruh masa lampau terhadap kehidupannya sekarang.
4. Penafsiran
Penafsiran digunakan oleh konselor menurut Taufik (2012: 42) agar klien
mampu menggunakan fikiran dan memfungsikan kembali kerja ego dan super
egonya. Penafsiran dirancang agar klien sedikit demi sedikit dapat menghadapi
kenyataan.
Fungsi penafsiran adalah mendorong ego klien untuk mensimulasikan bahan-
bahan baru dan mempercepat proses penyingkapan bahan tak sadar lebih lanjut.
Penafsiran konselor menyebabkan pemahaman dan tidak terhalangnya bahan –
bahan yang tidak disadari pihak klien.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Psikoanalisis merupakan salah satu mazhab psikologi yang diperkenalkan oleh
Sigmund Freud sebagai tokoh utama yang mengembangkan teori ini. Psikoanalisis
merupakan suatu metode penyembuhan yang bersifat psikologis dengan cara-cara
fisik. Menurut Eldido, psikoanalisis merupakan suatu pandangan baru tentang
manusia, dimana ketidaksadaran memainkan peran sentral. Psikoanalisis
ditemukan dalam usaha untuk menyembuhkan pasien pasien histeria. baru
kemudian menarik kesimpulan kesimpulan teoritis dari penemuannya di bidang
praktis. Dari hasil penelitian yang dilakukannya kemudian lahir asumsi-asumsi
tentang perilaku manusia.

B. Saran
Demikian yang dapat penulis uraikan tentang materi yang menjadi pokok
bahasan makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan kurangnya referensi atau referensi yang
ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis berharap para pembaca dapat
memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi kesempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya bagi
pembaca pada umumnya

13
KEPUSTAKAAN

Darminto, Eko. 2007. Teori-teori Konseling: Teori dan Praktik Konseling dari Berbagai
Orientasi Teoritik dan Pendekatan. Surabaya: Unesa University Press.
Prayitno. 1998. Konseling Pancawaskita: Kerangkan Konseling Eklektik. Padang: Progam
Studi Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Padang.

Prayitno. 1998. Konseling Panca Waskita. PSBK. FIP IKIP Padang.


Surya, Muhammad . 2003. Teori-Teori Konseling. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.

Suryasubrata, Sumadi. 2010. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali Pers.

Taufik. 2009. Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Leraning. Jakarta: Kencana.

Taufik. 2012. Model – model Konseling. Padang: Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas
Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang.

Taufik. 2012. Model – Model Konseling. Padang: Jurusan Bimbingan Konseling Fakultas
Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang.
Taufik. 2009. Inovasi pendidikan melalui Problem Based Leraning. Jakarta: Kencana.

14

Anda mungkin juga menyukai