Anda di halaman 1dari 9

1

KARAKTERISTIK KONSELOR DALAM KONSELING


LINTAS BUDAYA

Kus Hendar
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
Ushenefrans@gmail.com

Abstrak

Konseling lintas budaya adalah hubungan konseling yang melibatkan koselor dan
konseli yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Oleh karena itu, konselor
perlu menyadari dan peka akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Konseling
lintas budaya tentunya menuntut kedua belah pihak untuk memahami budaya dari
keduanya. Untuk menjalankan konseling lintas budaya yang efektif seorang
konselor mempunyai ciri atau karakteristik. Karakteristik yang dimiliki konselor
lintas budaya : mempunyai kesadaran budaya, paham karakteristik konseling
seacra umum, menunjukan empati budaya dsb. Sebuah pembahasan dalam diskusi
mengatakan bahwa salah satu foktor gagalnya proses konseling adalah persepsi
yang dimilki oleh konselor tidak sama dengan persepsi yang dimiliki oleh konseli.
Untuk itu seorang konselor harus mengembangkan kemampuan dalam konseling
lintas budaya.

Kata Kunci : Konseling Lintas Budaya, Karakteristik Konselor

PENDAHULUAN

Seperti yang diketahui bahwa konseling sangat erat kaitanya dengan budaya,
khususnya konseling yang ada di Indonesia. Sebagai negara yang majemuk
Indonesia memiliki keberagaman suku, ras, etnis, agama dsb. Konseling lintas
budaya merupakan hubungan yang berbeda antara konselor dengan konseli yang
berbeda latar belakang kebudayaan dan sebagai sebuah profesi yang menyeluruh
konseling tidak pernah mengenal perbedaan. Peran konselor dalam proses
memandirikan individu merupakan peran yang sangat penting dalam kehidupan
seseorang. Oleh karena itu dalam proses layanan konseling yang diberikannya,
konselor tentu perlu untuk memiliki pemahaman yang mendalam terhadap
konselinya. Pemahaman tersebut mencakup hal-hal yang ada dalam dirinya
sendiri dan juga konselinya. Kesadaran akan perbedaan yang dimiliki antara
keduanya menjadi salah satu cara yang penting untuk menjaga hubungan dan
2

interaksi dalam proses konseling. Konselor dan konseli yang berasal dari latar
belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh
terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling
tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk
memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti
dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-
keterampilan yang responsive secara kultural. Dengan demikian, maka konseling
dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor dan
konseli (Supriadi, 2001). Dalam hal ini konseli tidak hanya dipahami dalam
terminologi psikologis murni, tapi juga dipahami sebagai anggota aktif dari sebuah kultur.
Perasaan, pengalaman, dan identitas dari konseli dipandang dibentuk oleh mileu kultural

Keefektifan suatu konseling bergantung pada banyak faktor salah satunya adalah
hubungan satu sama lain, saling mengerti antara konselor dan konseli. Hubungan
keduanya akan sangat mudah dipahami jika berasal dari latar belakang yang sama.
Berbeda dengan konseli dan konselor dengan latar belakang yang berbeda
sehingga sangat penting bahwa konselor memahami budaya mereka sendiri dalam
rangka untuk bekerja dengan konseli tanpa memaksakan nilai-nilai mereka, tidak
menyinggung konseli, atau perilaku nonverbal konseli yang salah
diinterpretasikan. Untuk menghindari terjadinya kesalah pahaman atau ketidak
mengertian maka konselor harus memiliki kesadaran akan perbedaan yang terjadi
tersebut agar konseli dapat merasa nyaman. Kesadaran akan perbedaan budaya
yang dimiliki konselor dapat membantu dan mendidik tidak hanya konselor
namun juga konseli terkait dengan budaya masing-masing. Sehingga hal tersebut
dapat membantu keduanya untuk bekerjasama dalam mengatasi masalah konseli
atau dalam lingkungan yang lebih kondusif bagi pertumbuhan konseli. Sehingga
penting bagi konselor memiliki karakteristik konseling dalam lintas budaya yang
membrikan arah dengan keberagaman budaya konseli sehingga proses konseling
dapat berjalan dengan efektif.
3

KAJIAN LITERATUR
Dalam melakukan konseling lintas budaya peran konselor sangat diperlukan.
Konseling lintas budaya dapat berjalan dengan efktif terggantung dari bagaiamana
penerimaan konselor kepada konseli yang berbeda latar belakang kebudayaan
tersebut. Oleh karena itu Geldard & Geldard (2001) menyatakan bahwa konseling
yang efektif adalah bergantung pada kualitas hubungan antara konseli dengan
konselor, kaitanya dengan konseling lintas budaya adalah bagaimana seorang
konselor dari latar belakang yang berbeda dapat menyamakan persepsi dalam
menyelesaikan sebuah permaslaahan. Menurut Rogers (Jeanette, 2006) ada tiga
kemampuan dasar yang dimiliki oleh konselor berkaitan dengan kualitas
hubungan konselor dengan konseli ditunjukkan yaitu melalui kemampuan
konselor dalam : (1) kongruensi (congruence) seorang konselor yang efektif
seyogyanya mampu membedakan individu yang menunjukan dirinya secara
sesunguhnya yang mengatakan apa yang ingin dikatakan dan ada keselarasan
antara apa yang dirasakan dan dimunculkan dalam ekspresi, (2) empati (empathy)
yaitu kemamouan seorang konselor untuk emngetahui dan ikut merasakan apa
yang dirasakan oleh konseli, (3) perhatian secara positif tanpa syarat
(unconditional positive regard), seorang konselor dapat menerima bahwa konseli
yang dihadapi memiliki nilai-nilai yang berbeda dari yang dimiliki oleh konselor
Secara umum dalam konseling lintas budaya Kartadinata (dalam Akhmadi, 2013)
menyebutkan bahwa sebagai pendidik psikologis, konselor harus memiliki
kompetensi dalam hal : (1) Memahami kompleksitas interaksi individu-
lingkungan dalam ragam kontesk sosial budaya. Ini berarti seorang konselor haru
mempu mengakses, mengintervensi, dan mengevaluasi keterlibatan dinamis dari
keluarga, lingkungan, sekolah, lembaga sosial dan masyarakat sebagai faktor yang
berpengaruh terhadap keberfungsian individu di dalam sistem, (2) Menguasai
ragam bentuk intervensi psikologis baik antar maupun intra pribadi dan lintas
budaya, (3) Menguasai strategi dan teknik asesmen yang memungkinkan dapat
difahaminya keberfungsian psikologis individu dan interaksinya dengan
lingkungan, (4) Memahami proses perkembangan manusia secara individual
maupun secara sosial. Oleh karena itu, penting bagi konselor secara umum (tidak
4

hanya untuk konselor multikultural) dapat memiliki kesadaran budaya perlu


memperhatikan berbagai hal yang terkait dengan pemahaman individu dan
lingkungan. Kesadaran budaya yang perlu dimiliki konselor diawali juga dengan
pemahamannya terhadap perbedaan budaya konseli.

Selain itu Corey (2005) mengemukakan bahwa dalam konseling multikultural


memiliki tiga dimensi kompetensi, yaitu : (1) Keyakinan dan sikap,hal ini
berkaitan dengan keyakinan nilai-nilai yang dimiliki konselor dengan keyakinan
nilai yang dimiliki konseli dalam hal ini konselor harus memiliki sikap yang
tentunya dapat mendukung proses konseling lintas budaya yaitu menerima dan
memahami perbedaan yang ada (2) Pengetahuan, dalam konseling lintas budaya
seorang konselor tentunya harus memiliki pengetahuan yang luas mengenai
sistem nilai dan kebudayaan yang beragam, dan (3) Keterampilan dan strategi
intervensi setelah konselor memahami dan memiliki pengetahuan mengenai
budaya yang dimiliki oleh konseli maka diperlukan ketrampilan dasar konselor
dan strategi intervensi yang diberikan konselor dalam proses konseling. Oleh
sebab itu konselor dituntut untuk memahami nilai-nilai kebudayaan yang berbeda
dengan yang dimiliki oleh konseli. Selanjutnya, kesadaran budaya konselor dalam
menghadapi perbedaan nilai nilai menjadi faktor penentu efektifitas proses
konseling yang diberikannya. Bishop (Kertamuda, 2009). Dalam konseling lintas
budaya perbedaan akan terlihat antara konselor yang memahami dan menerima
perbedaan nilai-nila budaya yang ada sebab konselor yang memahami hal tersebut
memiliki karakteristik sendiri. Sue et.al ( 1992 dalam Lago , 2006 : 123 )
menuliskan Kompetensi Konseling Multicultural di Amerika serikat dalam sebuah
tabel 8.1 Rekomendasi Kunci untuk Karakteristik Multicultural konselor yang
efektif yaitu :
Tabel
Karakteristik konselor multicultural yang efektif
Dimensi Kesadaran Konselor Memahami Mengembangkan
terhadap asumsi diri dan Pandangan Dunia Strategi Intervensi
nilai – nilai bias tentang perbedaan dan Tekhnik yang
budaya konseli sesuai
Sikap  Memiliki kesadaran  Menyadari reaksi  Menghormati
dan dan sensitifitas budaya emosional mereka keyakinan
5

Keyaki  Menyadari bahwa terhadap ras dan spiritual dan nilai


nan latarbelakang kelompok etnis – nilai konseli
mempengaruhi proses lainnya  Menghormati
psikologis  Menyadari adat akan
 Merasa nyaman dengan Stereotip dan membantu
adanya perbedaan gagasan praktek
antara diri mereka prasangka  Menghargai nilai
dengan konseli bilingualisme

Pengetah Konselor Budaya yang Konselor Budaya Konselor Budaya


uan efektif adalah : yang efektif adalah : yang efektif adalah :
 Memiliki pengetahuan  Memiliki  Memiliki
tentang ras/warisan spesifikasi pengetahuan
budaya mereka dan pengetahuan dan yang jelas
bagaimana hal tersebut informasi tentang tentang batas
mempengaruhi definisi kelompok tertentu konseling dan
normalitas dan proses  Memahami bagaimana
konseling bagaimana  Memahami batas
 Memiliki pengetahuan ras/budaya/etnis – batas prosedur
dan pemahaman dapat assasment
tentang cara mempengaruhi  Memiliki
penindasan/rasisme/dis pembentukan pengetahuan
kriminasi ( mengacu kepribadian/ tentang struktur
pada model  memiliki keluarga
perkembangan pengetahuan minoritas dan
identitas kulit putih ) pengaruh sosial masyarakat
 Memiliki pengetahuan politik yang hirarki
tentang dampak sosial melanggar atas
mereka pada orang ras/etnis minoritas
lain
Ketrampi Konselor Budaya yang Konselor Budaya Konselor Budaya
lan efektif adalah : yang efektif adalah : yang efektif adalah :
 Mencari pendidikan  Harus Terlibat  Mampu melatih
konsultatif dan dengan individu ketrampilan
pengalaman pelatihan minorita intervensi
untuk memperkaya  Bertanggung
pemahaman mereka jawab untuk
 Terus berusaha untuk perhatian dalam
memahami diri mereka bahasa yang
sendiri sebagai dibutuhkan oleh
ras/makhluk budaya konseli
6

DISKUSI DAN IMPLIKASI


Dalam hal ini perspektif konseling lintas budaya yang dimaksutkan adalah
bagaiaman seorang konselor memahami bahwa yang akan menjadi konseli tidak
sama satu dengan yang lainya. Dilain sisi konselor juga mempunyai budaya
sendiri yang dimiliki yang secara tidak sengaja akan mempengaruhi proses
konseling. Dalam pelaksanaan proses konseling konselor dan konseli membawa
sendiri karakteristik (kecerdasan, bakat dan minat serta nilai-nilai yng diyakini)
yang menjadi permasalahanya adalah apabila keduanya tidak memahami ada
perbedaan dan terjadilah apersepsi.

Memahami konseli tentu saja merupakan langkah pertama yang penting dalam
bekerja dengan konseli, dan memungkinkan kita untuk melihat konseli dari
perspektif yang mungkin tidak kita memiliki sebelumnya. Namun, setelah
memahami konseli sangat penting bahwa kita memiliki beberapa cara untuk
menerapkan pemahaman ini. Konselor yang efektif perlu menjadi orang yang
kompeten secara budaya jika konselor ingin memahami budaya konselinya.
Namun disisi lain penting bagi konselor memahami budaya mereka sendiri dalam
rangka untuk bekerja dengan konseli tanpa memaksakan nilai-nilai mereka,
menyinggung konseli, atau perilaku nonverbal konseli yang salah
diinterpretasikan.

Seperti yang kita lihat di lapangan bahwa konselor terkadang menyamaratakan


dalam memberikan layanan atau membantu konseli dan terkadang konselor malah
memberikan penekanan kepada konseli untuk memahami latar belakang budaya
yang dimiliki oleh konselor, contoh kasus : konselor A berasal dari sebuah daerah
yang dikatakan memiliki lingkungan yang kondusif fan jarang terjadi keributan
dan mendapatkan konseli dengan latar belakang budaya yang memang dekat
dengan perkelahian dan sebagainya sehingga jika bicara saja sudah menggunakan
nada yang kasar. Sehingga dalam proses konseling jika konselor tidak memahami
perbedaan tersebut maka konselor akan merasa tidak dihormati.
7

Untuk menghindari terjadinya kesalah pahaman atau ketidak mengertian maka


konselor harus memiliki kesadaran akan perbedaan yang terjadi agar konseli dapat
merasa nyaman. Kesadaran akan perbedaan budaya yang dimiliki konselor dapat
membantu dan mendidik tidak hanya konselor namun juga konseli terkait dengan
budaya masing-masing. Sehingga hal tersebut dapat membantu keduanya untuk
bekerjasama dalam mengatasi masalah konseli atau dalam lingkungan yang lebih
kondusif dalam proses konseling.

Berkaitan dengan hal diatas, penting bagi konselor memiliki kompetensi yang
akan memberikan arah dalam pelaksanan konseling dengan keberagaman budaya
konselinya. Refleksi terhadap praktek konseling tentu akan melibatkan
pemahaman dan kesadaran konselor terhadap budaya yang dimilikinya dan
konselinya. Kesadaran budaya (cultural awareness) merupakan salah satu dimensi
yang perlu dimiliki oleh konselor agar dapat memiliki pemahaman dan kesadaran
bahwa faktor budaya yang dimilikinya (ras, jender, nilai-nilai, kelas sosial, dan
lain-lain) akan mempengaruhi perkembangan diri dan pandangan terhadap
dirinya.

Oleh karena itu perlu baginya untuk mengetahui bahwa nilai dan perilaku yang
dimilikinya akan berpengaruh kepada orang lain. Hal tersebut secara substansial
akan berdampak selama proses konseling lintas budaya berlangsung konselor dan
konseli masing-masing akan menjadikan budaya yang dimiliki sebagai investasi
awal untuk pemecahan masalah. Selanjutnya konselor dan konseli akan
membesarkan investasi itu melalui perolehan pengalaman dalam proses
kelompok, pematangan diri masing–masing dengan saling tukar kesadaran
budaya, yang semuanya bertujuan untuk pemecahan masalah dan pengembangan
potensi anggota kelompok

Penelitian akhmadi (2013) menyatakan pelatihan yang diberikan mampu


memberikan kesadaran bagi konselor bahwa kepekaan budaya sangat diperlukan
dalam proses konseling penelitian ini juga memperkuat penelitian Hanna,
(akhmadi, 2013) bahwa pada akhirnya konselor diharapkan dapat mencapai
8

kearifan dalam menghadapi konseli dengan segala perbedaan budaya dan


karakteristik konseli, kearifan dipandang sebagai kualitas fundamental dan
merupakan kualitas konselor yang efektif.

konselor mempertimbangkan secara mendalam dasar-dasar pengetahuan tentang


budaya khas dan menyatukan secara arif dalam praktek konseling. Konselor yang
arif menurut Hanna (dalam Akhmadi, 2013) adalah konselor memiliki empati dan
kepekaan budaya, tidak menggunakan pendekatan atau keterampilan yang bersifat
otomatis, memiliki pandangan mendalam, tidak mudah mengelabuhi atau menipu,
memiliki pengetahuan diri (self knowledge) dan kesadaran diri (self awareness)
secara ekstensif, belajar dari kesalahan-kesalahan, siap melakukan penataan ulang
konteks budaya, memahami kerangka masalah secara tepat, memiliki toleransi
tinggi dan terbuka, serta ahli dalam melakukan transendensi diri. Konselor
menguasai konteks budaya, latar belakang dan dimensi-dimensi dari perbedaan
dan keragaman konseli. Selain itu menurut Gibson (2011) menyatakan secara
umum karakteristitk konselor dalam konseling lintas budaya adalah : (1) mampu
mengembangkan kesadaran budaya, (2) menghindari pemaksaan nilai budaya
pada konseli, (3) menunjukan empati budaya, (4) menghindari stereotip dam, (5)
tetap fleksibel dalam memberikan intervensi dan tidak memaksakan ikut dalam
budaya konseli.

KESIMPULAN

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam penerapanya konseling


lintas budaya mengharuskan konselor yang peka terhadap keberagaman budaya
dan adanya perbedaan budaya. Perbedaan budaya antara konselor dan konseli
menyebabkan proses konseling berjalan tidak efektif jika terjadi salah persepsi.
Perhatian terhadap latar budaya konseli penting untuk dilakukan mengingat faktor
budaya memiliki kontribusi terhadap pelaksanaan konseling.

Seorang konselor lintas budaya hendaknya memahami aktualisasi dari budaya


seperti bahasa, nilai, stereotip, kelas sosial dan semisalnya dalam kondisi tertentu
dapat menjadi sumber penghambat proses pencapaian tujuan konseling. Adapaun
9

karakteristik yang dimiliki konselor dalam konseling lintas budaya adalah dapat
memahami dan mengembangkan perbedaan yang ada, menunjukan kepedulian
terhadap perbedaan yang ada dan memberikan intervensi yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Akhmadi, Agus (2013) Peningkatan Kesadaran Multikultural Konselor (Guru


BK). Journal M U A D D I B. Vol.03, No.02, pp. 18-36.

Corey, Gerald. (2005). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy.


Seventh Edition. Belmont : Brooks/Cole Thompson Learning.

Geldard, D, dan Geldard, K,. (2001). Basic Personal Counselling : Training


Manual forCounsellors. Australia : Peardon Education, Inc.

Lago Collin ( 2006 ). Race, Culture and Counselling The Ongoing Challenge.
England: McGraw-Hill House
Lesmana, Jeanette Murad. 2006. Dasar-Dasar Konseling. Jakarta: UI Press.

McLeod John (2011). An Introduction to Counseling. New York: McGraw Hill

Robert L.Gibson & Marianne H. Mitchell (2011). Bimbingan dan Konseling.


New Yersey: Pearson Prentice Hall.

Supriadi, D. (2001). Konseling Lintas Budaya: Isu-isu dan Relevansinya di


Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Bimbingan
Konseling. Bandung: FIP UPI.
Supriatna, M. dan Nurihsan, J (Eds). (2005). Pendidikan dan Konseling di Era
Global dalam Perspektif Djawad Dahlan. Bandung: Rizqi Press.

Anda mungkin juga menyukai