Anda di halaman 1dari 157

DASAR-DASAR

KONSELING LINTAS-BUDAYA
Penulis
Drs.M.Jumarin,M.Pd.
Desain Cover
A.Choiran Marzuki
Tata Letak
Susanti Y.Utami
Cetakan I, Juni 2002
PP.2002.24
Penerbit
PUSTAKA PELAJAR(Anggota IKAPI)
Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta 55167
Telp. (0274)381542,Fax.(0274)383083
E-mail:pustakapelajar@telkom.net
Pencetak
Pustaka Pelajar Offset
ISBN: 979-3237-03-1

vi
vii
KATA PENGANTAR
Keragaman budaya merupakan kenyataan yang ada sepanjang sejarah kehidupan
manusia. Globalisasi menjadikan proses hidup dalam masyarakat yang beragam budaya atau
multikultural. Dalam konteks pelayanan terhadap masyarakat seperti pem-bangunan,
pendidikan, bimbingan konseling, penerangan, dakwah/missi agama, pemberdayaan
masyarakat dan sebagainya, pelayanan yang diberikan harus memper-timbangkan keragaman
budaya masyarakat atau pelayanan lintas budaya.
Terbitnya buku ini didorong oleh kebutuhan terhadap referensi tentang konseling lintas
budaya yang masih langka. Buku ini diharapkan dapat menambah referensi bagi para
pendidik, pembimbing/konselor, psikolog, maha-siswa psikologi, mahasiswa bimbingan
konseling,juga bagi mereka yang aktif dalam pelayanan masyarakat yang beragam budaya,
seperti para tokoh formal dan informal, aktivis LSM, pada da'i/missionaris, serta pihak-pihak
lain yang berminat.
Buku ini menyajikan dasar-dasar teoritik konseling lintas budaya, yang tersusun dalam
dua bagian. Bagian per-tama menyajikan uraian tentang Perspektif Konseling Lintas Budaya,
yang terdiri dari enam bab.Bagian Kedua menyaji-kan uraian tentang kebudayaan, kontak
antar budaya dan kepribadian, yang terdiri dari dua bab. Pada setiap bab diawali dengan
tujuan pembahasan, bagian akhir di-kemukakan pertanyaan, agar dapat dipakai oleh pembaca
untuk mengukur pemahaman akan materi yang dibaca.Di bagian akhir setiap bab juga
dikemukakan daftar pustaka, agar dapat dipakai pembaca untuk mengadakan pendalam-an
materi lebih lanjut.
Dalam kesempatan ini kami ucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah memberikan dukungan, dorongan sehingga terwujudlah buku ini. Ucapan terima kasih
kami sampaikan secara khusus kepada Drs. Josef Ilmoe Hs. SU, yang telah memberikan
masukan dan saran yang terkait dengan materi buku ini. Ucapan terima kasih juga kami
sampaikan kepada Penerbit Pustaka Pelajar Yogyakarta, yang telah bersedia menerbitkan
buku ini.
Penulis menyadari akan keterbatasan buku ini dalam segala hal, oleh karena itu kami mohon
masukan, saran, kritik yang konstruktif kepada semua pihak, untuk penyempurnaan buku ini.
Semoga buku ini bermanfaat. Amiin.□
Yogyakarta, April 2002
M.Jumarin,M.Pd.

vi
vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ■■ V
DAFTAR ISI vii
BAGIAN PERTAMA
PERSPEKTIF KONSELING LINTAS BUDAYA
BABI BIMBINGAN KONSELING DAN KEBUDAYAAN
A. Hubungan Bimbingan Konseling Dengan Kebudayaan 4
B. Kebudayaan Bimbingan Konseling 6
C. Bimbingan Konseling Kebudayaan 10
BABII KONSEP KONSELING LINTAS BUDAYA
A. Dinamika Masyarakat dan Transformasi Kebudayaan 15
B. Latar Belakang Konseling Lintas Budaya 18
C. Pengertian Konseling Lintas Budaya 24
BABIII ASAS,PRINSIP DAN HAMBATAN KONSELING LINTAS BUDAYA
A. Asas-asas Konseling Lintas Budaya 34
B. Prinsip-prinsip Konseling Lintas Budaya 37
C. Permasalahan Konseling Lintas Budaya 43

vi
vii
BAB IV DIMENSI-DIMENSI BUDAYA DALAM KONSELING LINTAS BUDAYA
A. Sistem Kebudayaan dan Bimbingan Konseling 55
B. Dimensi Budaya Dalam Konseling 59
BABV KONSELOR DALAM KONSELING LINTAS BUDAYA
A. Pendahuluan 75
B. Karakteristik Umum 75
C. Karakteristik Konselor Secara Khusus 82
BAB VI EMPATI BUDAYA DALAM KONSELING LINTAS BUDAYA
A.Pendahuluan 94
B. Konsep Empati Budaya 96
C. Tujuan Empati Budaya Dalam Konseling 102
D. Dimensi-Dimensi Empati Budaya 103
E. Mengupayakan Berempati Budaya Dalam Konseling 110
BAGIAN KEDUA
KEBUDAYAAN,KONTAK ANTAR BUDAYA
DAN KEPRIBADIAN
BAB VIIKEBUDAYAAN DAN KONTAK BUDAYA
A. Kebudayaan ■■ 117
B. Kontak Antar Budaya 123
1. Faktor-faktor Terjadinya Kontak Antar Budaya 126
2. Hasil-hasil Kontak Antar Budaya 129
viii
BAB VIII KEBUDAYAAN DAN KEPRIBADIAN
A. Peran Kebudayaan Terhadap Pembentukan Kepribadian ■■140
B. Beberapa Teori Tentang Hubungan Antara Kebudayaan dan Kepribadian
146
1. Teori Pembawaan Manusia ■■ 147
2. Teori-teori Kepribadian Khas Kolektif
Tertentu 150
ix
Bagian Pertama
PERSPEKTIF KONSELING LINTAS BUDAYA
BIMBINGAN KONSELING DAN KEBUDAYAAN
Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya, dilengkapi
dengan berbagai potensi. Dengan keunggulan dan potensi-nya manusia menjadi makhluk
yang berbudaya. Melalui budayanya manusia melakukan berbagai aktivitas termasuk
pendidikan dan bimbingan, dan melalui Pendidikan dan bimbingan manusia
mempertahankan dan me-ngembangkan kebudayaannya.
Bimbingan dan Konseling (BK) merupakan bentuk pe-layanan kemanusiaan, sebab BK
hanya diberikan oleh dan untuk manusia. Layanan BK bertujuan untuk membangun manusia
yang utuh, sebagai makhluk pribadi, sosial dan makhluk Tuhan (Prayitno, 1994). Manusia
sebagai subyek dan obyek layanan BK adalah makhluk yang berbudaya, mereka hidup dan
dibesarkan dalam lingkungan budaya, bahkan mereka pencipta, pemakai dan pengembang
budaya.
Setelah mempelajari bab ini diharapkan pembaca dapat menjelaskan:
1. Hubungan antara bimbingan konseling dengan kebudayaan.
2. Kebudayaan bimbingan konseling yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
3. Layanan bimbingan konseling sebagai upaya pem-budayaan manusia.
A. Hubungan Bimbingan dan Konseling dengan Kebudayaan
Undang-Undang No. 2 tahun 1989 pasal 1 menyebut bahwa bimbingan merupakan salah satu
bentuk pendidik-an. Mortensen dan Schemuller (1976), Tohari Musnamar (1986), Tidjan
dkk. (1993) menyatakan bahwa bimbingan dan konseling merupakan bagian yang integral
dalam sistem pendidikan. Meskipun bimbingan konseling merupakan bagian yang integral
dalam pendidikan, dalam konteks layanan professional, tidak semua usaha pendidikan dapat
disebut bimbingan konseling.
Para ahli antropologi pendidikan seperti Theodore Brameld (1957) melihat hubungan yang
sangat erat antara pendidikan dan kebudayaan. Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat
hubungan erat, dalam arti keduanya berkenaan dengan suatu hal yang sama ialah nilai-nilai.
Pendidikan tidak akan terlepas dari kebudayaan dan hanya dapat terlaksana dalam suatu
masyarakat. Berbagai rumus-an tentang pendidikan secara umum dapat dikatakan bahwa
pendidikan sebenarnya adalah proses pembudayaan.Ali Saifullah (1982:12) menyatakan
bahwa"pendidikan adalah gejala kebudayaan yang mengandung arti bahwa pendidik-an
hanya diadakan dan dilaksanakan oleh makhuk ber-budaya".Tilaar (1998) menyatakan "tidak
ada suatu proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tanpa masyarakat, dan sebaliknya tidak
ada suatu kebudayaan dalam pengertian

5
suatu proses tanpa pendidikan, dan proses kebudayaan dan pendidikan hanya dapat terjadi di
dalam hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat tertentu.
Sebagai suatu usaha pendidikan, bimbingan dan konseling tidak terlepas dari kebudayaan.
Bimbingan dan konseling dengan segala aspeknya adalah hasil budaya manusia. Di sisi lain
usaha bimbingan dan konseling adalah usaha mengembangkan, mempertahankan
kebudayaan, dengan cara menginternalisasikan nilai-nilai ke dalam diri klien selama
bimbingan dan konseling berlangsung. Bimbingan konseling yang terlepas dari kebudayaan
masyarakat,akan menjadikan pelayanannya asing, tidak di-kenal oleh masyarakat, dan akan
kehilangan makna. Demi-kian pula kebudayaan tanpa usaha bimbingan dan kon-seling, dapat
menyebabkan kebudayaan kurang ber-kembang, bahkan dapat terjadi kepunahan.
Dalam perkembangan kehidupan manusia, proses yang sangat kompleks itu (BK dan
kebudayaan) tidak selamanya berjalan dengan semestinya. Bukan tidak mustahil proses
kebudayaan dan bimbingan konseling berjalan sendiri-sendiri, bahkan kemungkinan saling
bertabrakan satu dengan yang lain, mengingat dinamika yang terjadi dalam masyarakat,
beragamnya kebudayaan, terjadinya percampuran budaya, benturan atau konflik antar
budaya.
Dalam hal mengaitkan antara BK dengan kebudayaan, Jumarin (1998 : 111) menyatakan
praktek bimbingan dan konseling harus mendasarkan atau memiliki landasan budaya, sebab
dalam layanan BK terdapat hubungan antara konselor dan klien, yang masing-
masingmembawa personal constructionnya sendiri, yang merupakan produk dari

5
budayanya”. Prayitno (1994 : 175) mengutip pendapat Tolbert bahwa “lebih jauh aspek-aspek
budaya tidak hanya mempengaruhi proses konseling saja, tetapi lebih luas lagi, yaitu
tujuannya, prosesnya, sasarannya, bahkan alasan pe-nyelenggaraan konseling itu sendiri”.
Secara lebih tegas Tilaar (1999) menyatakan bahwa pendidikan merupakan pranata sosial
dimana kebudayaan itu berkembang. Dengan demikian antara kebudayaan dan pendidikan
tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, dimana ada kebudayaan di situ ada pendidikan.
Dari uraian di atas dapat dikemukakan hubungan antara bimbingan konseling dengan
kebudayaan adalah : bimbingan dan konseling merupakan gejala kebudayaan, yang
diselenggarakan oleh manusia (makhluk yang ber-budaya).Sebagai gejala kebudayaan maka
seluruh kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling diwarnai oleh ke-budayaan, dimana ada
BK di situ ada kebudayaan. Dari sisi lain melalui bimbingan dan konseling, kebudayaan
dapat dilestarikan, diteruskan dan dikembangkan.
B. Kebudayaan Bimbingan dan Konseling
Yang dimaksudkan dengan kebudayaan bimbingan konseling (guidance and counseling
culture) adalah gagasan, konsep, yang mendasari praksis bimbingan konseling. Kebudayaan
BK merupakan suatu gagasan, konsep, serta kegiatan/praktek bimbingan dan konseling yang
ber-kembang dalam masyarakat sebagai produk budaya. Ke-budayaan bimbingan dan
konseling merupakan aspek dari keseluruhan kebudayaan. Sebagaimana dikemukakan
Kuntjaraningrat (1986) terdapat tiga sistem budaya, yaitu nilai budaya, sistem sosial dan
kebudayaan fisik. Oleh sebab itu kebudayaan bimbingan dan konseling tidak akan lepas dari
keseluruhan aspek kebudayaan, seperti pandang-an hidup, ilmu pengetahuan, sistem sosial,
adat istiadat, dan sebagainya.
Sebagai aspek dari keseluruhan kebudayaan, maka kebudayaan BK mengandung dimensi-
dimensi temporal dan spasial. Dimensi temporal artinya kebudayaan BK dapat berbeda,
berubah dan berkembang dari waktu ke waktu, sedang dimensi spasial artinya kebudayaan
BK dapat berbeda dari satu tempat atau wilayah dengan tempat lain, tergantung dari
kebudayaan masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarakat, kelompok budaya dalam suatu
waktu, akan memiliki suatu budaya BK, yang seringkali tidak sama. Gelombang peradaban
pertanian, industrial dan informasi sebagaimana dikemukakan oleh Tofler memiliki implikasi
budaya BK pada setiap gelombang peradaban. Bagi seorang konselor atau psikolog perlu
memahami arti penting dimensi temporal dan spasial dalam proses profesionalnya sehari-
hari.
Indonesia dengan wilayah yang luas dan kondisi masyarakat yang majemuk, baik dari segi
suku, agama, ke-budayaan, tingkat perkembangan kebudayaan dan sebagai-nya, memiliki
sejarah praktek pendidikan yang beragam, termasuk praktek pelayanan BK. Sebagaimana
dikemuka-kan oleh Jumarin (2000) keragaman cara mengatasi masalah atau minta bantuan
pemecahan masalah (praktek BK) ter-sebut disebabkan oleh keragaman orientasi atau
pandangan manusia terhadap kenyataan, kebenaran, kebaikan dan keindahan. Orientasi atau
pandangan manusia tersebut

7
masuk dalam wilayah nilai budaya. Jadi budaya BK suatu masyarakat sangat diwarnai oleh
kebudayaan masyarakat. Secara umum ada dua pandangan yang berkembang
di masyarakat Indonesia dalam melihat suatu peristiwa (ter-masuk kondisi bermasalah), yaitu
: pertama bahwa segala sesuatu itu terkait dengan lingkungan yang gaib atau supranatural;
kedua pandangan segala sesuatu itu terkait dengan lingkungan secara fisik. Pandangan
pertama me-miliki implikasi budaya BK yang selalu dikaitkan dengan dunia gaib-
supranatural-spiritual. Pandangan kedua me-miliki implikasi dalam budaya BK yang empirik
dan rasional. Dalam hal ini Tidjan dkk. (1993) membedakan budaya pendekatan dalam BK,
yaitu pendekatan pseudo sci-entific dan pendekatan scientific. Dewasa ini budaya non ilmiah
dalam BK sangat populer dalam masyarakat, yang umumnya diperankan oleh tokoh
paranormal, tokoh masyarakat, tokoh agama, lewat pendekatan budaya,mistik dan religius.
Budaya BK yang ilmiah atau pelayanan profesional di Indonesia meskipun belum
berkembang secara meyakinkan, namun telah dilaksanakan di pusat-pusat pelayanan BK,
terutama di lembaga-lembaga pen-didikan.
Budaya BK tersebut menyangkut seluruh sistem layanan BK.Budaya BK berkaitan dengan
konsep dasar, seperti landasan filosofik BK, budaya tujuan BK, budaya prinsip-asas, budaya
kode etik BK dan sebagainya. Demikian pula aspek budaya mewarnai aspek budaya BK yang
lain seperti : budaya pembimbing, klien,metode/ teknik, strategi, administrasi, lingkungan,
sarana prasarana, pengembangan dan sebagainya.
Dilihat dari aspek budaya pembimbing, setiap ma-syarakat memiliki budaya
pembimbing yang berbeda.Pem-bimbing masyarakat Jawa misalnya mungkin lebih meng-
hendaki figur pembimbing yang relatif tua, memiliki ke-dudukan sosial yang tinggi, punya
kemampuan supra-natural dan sebagainya. Dilihat dari aspek metode, setiap kelompok
budaya memiliki metode bimbingan sendiri.Di antara metode yang sangat populer di
masyarakat adalah metode nasehat dan ceramah. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
akan mempengaruhi budaya metode bimbingan, misalnyakonseling jarak jauh (cybernetic
coun-seling).
Dalam praktek BK di sekolah, budaya BK sangat terkait dengan budaya pendidikan.Tilar
(1999) menyebut salah satu budaya pendidikan Indonesia adalah intelektualisme, verbalisme,
foramlisme, monolog. Kebudayaan intelek-tualisme verba menjadikan praksis pendidikan
dipola oleh EBTANAS, metodologi pengajaran yang verbalistik, proses belajar mengajar
yang monolog sehingga berkembang pada siswa budaya diam (silent culture), atau istilah
Paulo Freire (1983) pendidikan bergaya bank (banking concept). Dengan budaya pendidikan
tersebut, maka umumnya budaya BK di sekolah menjadi subordinat budaya pendidikan yang
intelektualis, metode bimbingan yang monolog (pem-bimbing bicara klien diam), bimbingan
yang bergaya bank, bimbingan konseling yang counselor centered, intelektual oriented dan
sebagainya.
Jika dilihat orientasi psikologi, dikenal ada beberapa pendekatan budaya BK, seperti
psikoanalisis, kognitivisme, behaviorisme, eksistensial humanistik dan sebagainya.

9
Setiap pendekatan tersebut memiliki budaya BK yang ber-beda dalam segala aspek. Ada
budaya BK yang lebih me-nekankan pada tujuan perubahan perilaku,perubahan
kognitif,perubahan afektif,perubahan nilai dan sebagainya.
C. Bimbingan Konseling Kebudayaan
Beberapa rumusan pendidikan lama menekankan pen-didikan sebagai kegiatan mewariskan
nilai dari generasi lama ke generasi baru, baik nilai intelektual, moral, sosial, estetika dan
sebagainya, yang kesemuanya itu merupakan kebudayaan manusia. Hal senada juga
dikemukákan oleh Hertzler (dalam Ali Saifullah, 1983:17)"Education,however, being
spesifically charged with the task of transmiting the culture is strongly reflective of the total
configuration".Meski demikian pen-didikan bukan semata memiliki fungsi tranformasi,tetapi
juga memiliki fungsi kreasi, atau dengan istilah Ali Saifullah (1983) menyebut bersifat
reflektif dan progresif. Fungsi transformasi menunjukkan pendidikan hanya menyampaikan,
melestarikannilai-nilai budaya, sedang sifat atau fungsi kreasi atau progresif menunjukkan
pendidikan punya fungsi mengembangkan meningkatkan nilai-nilai budaya.
Dalam berbagai rumusan tentang bimbingan dan konseling seperti dikemukakan oleh Jones,
Stafflre dan Stewart (1970), Muh.Surya (1988), Prayitno dan Erman Amti (1994) Depdikbud
(1994) menunjukkan ada beberapa unsur diantaranya adalah membantu orang yang
dibimbing mengatasi masalah, menyesuaikan diri, mengembangkan diri,sesuai dengan
norma-norma yang berlaku, merencana-kan masa depan. Arah atau tujuan BK seperti
tersebut semuanya berkaitan dengan kebudayaan. Penyesuaian dengan lingkungan,
mencakup seluruh lingkungan ke-hidupan manusia dengan segala budayanya.Norma-norma
yang berlaku, mencakup seluruh nilai-nilai budaya yang berkembang dalam masyarakat.
Sebagai bagian usaha pendidikan, maka BK memiliki fungsi transformasi dan kreasi
kebudayaan. Fungsi trans-formasi terlihat dalam pelayanan BK yang membantu subyek yang
dibimbing dapat mengatasi masalah, menyesuaikan diri, atau berperilaku sesuai dengan
budaya (nilai, norma, tata hubungan) yang ada dalam masyarakat. Fungsi kreasi kebudayaan
terlihat dalam pelayanan BK yang membantu aktualisasi dan optimalisasi seluruh potensi
subyek bimbing, perencanaan masa depan. Subyek yang dibimbing dikembangkan
potensinya (intelektual, spiritual, emosional, psikomotorik dsb), didorong maju ke depan,
menguji nilai-nilai sebelumnya dan kalau perlu mengganti dengan nilai-nilai baru yang lebih
relevan dan teruji. Dengan optimalisasi dan perencanaan masa depan tersebut terjadi proses
kreasi atau pengembangan kebudayaan.
Dalam masyarakat memang banyak upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan
dilakukan melalui usaha-usaha pelayanan BK, baik dilakukan orang tua di rumah, tokoh-
tokoh masyarakat, dan juga di sekolah. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pelayanan
BK yang tumbuh dan berkembang di masyarakat pada hakekatnya adalah layanan bimbingan
konseling kebudayaan.

PERTANYAAN
Setelah selesai mempelajari bab ini, jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini.

10
11
1. Jelaskan bahwa layanan bimbingan dan konseling tidak dapat terlepas dari kebudayaan.
2. Kebudayaan bimbingan dan konseling memiliki dimensi temporal dan dimensi spasial.
Jelaskan !
3. Jelaskan bahwa dalam pelayanan BK di sekolah sangat terkait dengan kebudayaan
pendidikan.
4. Jelaskan bahwa pendekatan konseling, model-model konseling yang berkembang dewasa
ini dipengaruhi oleh kebudayaan.
5. Secara umum layanan BK bertujuan untuk membantu klien agar dapat menyesuaikan
diri,dan mengoptimali-sasi potensi yang dimiliki klien. Jelaskan bahwa tujuan tersebut pada
dasarnya adalah BK kebudayaan, yaitu dalam hal transmisi budaya dan kreasi budaya.

12
13
DAFTAR PUSTAKA
Ali Saifullah.(1982). Pendidikan-Pengajaran dan Kebudayaan. Surabaya:Usaha Nasional.
Brameld,Theodore.(1957).Cultural Fundations of Educations. New York.
Depdikbud.(1995).BukuPanduan Pelayanan Bimbingan dan Konseling.Jakarta.
Freire,Paulo.(1983).Pendidikan Kaum Tertindas (terjemahan). Jakarta:LP3ES.
Jones,AJ.,Stafflre, B & Stewart,NR.(1970).The Principles of Guidance.Tokyo:Mc Graw-Hill
Kogakusha Company.
Jumarin M. (1998). Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling I. Wates:IKIP PGRI Wates.
Jumarin M. (2000). Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling II. Wates:IKIP PGRI Wates.
Kuntjaraningrat. (1991). Kebudayaan, Mentalitas, dan. Pembangunan. Jakarta :Gramedia.
Mortensen,DG & Schemuller GS. (1976).Guidance in Today School.New York:John Willey
& Sons Inc.
Prayitno dan Erman Amti. (1994).Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling.Jakarta:Dirjen
Dikti.
Surya, Muh. (1988). Pengantar Konseling Pendidikan. Yogyakarta:Kota Kembang.
Tidjan dkk. (1993). Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah Menengah. Yogyakarta :IKIP
Yogyakarta.
ilaar HAR. (1999). Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani
Indonesia.Bandung:Rosda Karya.
Tohari Musnamar.(1986).Bimbingan dan Wawanwuruk Sebagai Suatu Sistem. Yogyakarta :
Bina Sarana Informatika.
Undang-Undang No.2 tahun 1989.Sistem Pendidikan Nasional Indonesia.

12
13
KONSEP KONSELING LINTAS BUDAYA
Setelah mempelajari bab ini, diharapkan pembaca memiliki pemahaman yang jelas
mengenai konsep konseling lintas budaya.
Secara khusus, setelah mempelajari bab ini diharapkan
pembaca mampu:
1. Menjelaskan dinamika masyarakat dan transformasi budaya.
2. Menjelaskan latar belakang perlunya konseling lintas budaya.
3. Menjelaskan konsep konseling lintas budaya.
A. Dinamika Masyarakat dan Transformasi Kebudayaan
Muhtar Bukhori (2001) menyatakan ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam
pelayanan bimbingan dewasa ini, yaitu bimbingan dalam teknik-teknik belajar, bimbingan
uıntuk mengenali kesempatan kerja dan per-guruan tinggi, serta bimbingan transformasi
sosio-kultural.
Dewasa ini memang sedang berlangsung dinamika ma-syarakat dan transformasi sosio-
kultural yang dahsyat, luas dan cepat, yang kesemuanya itu disebabkan oleh kemajuan
peradaban manusia, terutama kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tofler (1980)
menyebut dunia memasuki gelombang peradaban informasi,setelah sebelumnya meng-

12
13
alami peradaban agrikultural dan industrial.Gelombang informasi telah melahirkan anak
emas"globalisasi".Dalam masyarakat global itu, kita hidup diantara manusia yang bertekad
kuat, well eduated, berkompetisi dalam standar internasional, baik dalam aspek ekonomi,
intelektual, budaya, politik, nilai dan sebagainya. Globalisasi telah memungkinkan perubahan
di suatu tempat, hampir secara serentak diikuti tempatatau negara-negara lain. Globalisasi
juga telah meningkatkan pluralisme dalam segala hal, me-ningkatkan mobilitas baik dalam
hal arus barang, layanan, modal, ide, budaya, manusia dan sebagainya.
Dalam era globalisasi ini, manusia mengalami perubah-an yang begitu cepat dalam segala
hal. Dari aspek ekonomi berkembang perdagangan bebas, kerjasama regional dan inter-
nasional, perdagangan akan penuh persaingan, begitu bebas aliran barang, modal pelayanan.
Dari aspek politik, proses globalisasi merupakan proses demokratisasi, dan muncul kesadaran
akan penegakan hak-hak asasi manusia (HAM). Dari aspek sosial-budaya terjadi
transformasi budaya, gelombang budaya global, sehingga melahirkan dunia tanpa batas
(borderless world).
Menghadapi dinamika dan perubahan tersebut, tidak semua masyarakat memiliki
kemampuan yang sama. Se-bagian masyarakat mampu dengan cepat mengikuti per-ubahan
yang terjadi, dan mereka memiliki harapan yang optimis dalam menghadapi perubahan.
Sebagian anggota masyarakat lain tidak siap dan gamang dalam menghadapi dinamika dan
perubahan yang begitu cepat, apalagi tingkat peradaban manusia berbeda-beda, mereka
menghadapi perubahan dengan sikap pesimis. Dalam hal menghadapi perubahan ini
Kusdiantinah (1981) menyatakan masyarakat Indonesia dewasa ini mengalami tiga
gelombang peradaban (pertanian, industri dan informasi) secara bersamaan.
Terlalu banyak dan cepatnya perubahan,melebihi ke-mampuan orang untuk mengantisipasi
dan menghadapi, seringkali menyebabkan orang mudah mengalami ke-tegangan dan tidak
tahu arah. Orang dihadapkan dengan berbagai pilihan yang memusingkan, kelewat informasi
(in-formation overload), sehingga mengalami stres keputusan (de-cision stress), yang
selanjutnya menimbulkan overstimulasi. Menurut Tofler (1970) overstimulasi menimbulkan
kebingungan, disorientasi, distorsi sosial, kecemasan, ke-tegangan dan sebagainya.
Munandlir (2001) menyebut manusia mengalami keadaan serba masalah yang serba ruwet.
Bersama perubahan yang besar dan cepat dalam masya-rakat terbawa pula perubahan budaya
dengan nilai-nilainya. Ini merupakan suatu dimensi masalah yang bagi orang tertentu sering
menimbulkan masalah, mereka mengalami keterkejutan masa depan (future shock) yang
pada hakekat-nya adalah keterkejutan budaya (cultural shock). Dalam ke-adaan serba
ketidakpastian (uncertainty) dan kesemrawut-an (chaos), mengalami stres akulturasi,
menjadikan orang gamang dan limbung dalam menghadapi, memilih nilai hidup. Nilai-nilai
rujukan yang ada menjadi amat rentan dengan datangnya nilai baru yang mungkin dangkal
dan instrumental. Sehingga banyak orang yang mengalami kebingungan, konflik nilai, dan
kehampaan hidup.
Melihat adanya dinamika yang terjadi dalam masyara-kat dan transformasi budaya tersebut,
maka konseling lintas budaya atau konseling multi budaya (counseling a cross cul-ture)
menjadi nyata relevansinya dan urgensinya untuk diterapkan dalam pelayanan bimbingan dan
konseling. Oleh karena itu sangat tepat apa yang disarankan oleh Mukhtar Bukhori akan
20
21
pentingnya layanan BK mengenai transformasi sosial, budaya, yaitu layanan BK yang terkait
dengan adanya perubahan sosial budaya, serta memper-timbangkan kondisi sosial budaya.
B. Latar Belakang Konseling Lintas Budaya
Perkembangan peradaban manusia berlangsung begitu pesat, yang dipicu oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, sehingga masyarakat memasuki era informasi atau globalisasi.
Kemajuan tersebut menyebabkan terjadi-nya mobilitas penduduk, modal, nilai, idiologi dan
sebagai-nya dari satu wilayah ke wilayah lain, akibatnya suatu negara, daerah atau suatu kota
bermukim penduduk yang beragam budayanya.
Berbagai peristiwa sejarah pembentukan masyarakat atau negara (misalnya kolonisasi),
berbagai bentuk dan alasan migrasi, kemajuan teknologi komunikasi, menjadi-kan
masyarakat harus hidup dalam keragaman budaya (multikultural). Kesadaran akan
keragaman tersebut semakin kuat dengan terbangunnya masyarakat madani (civil
society).Globalisasi memang satu sisi dapat melahirkan budaya global, universalisasi budaya,
tetapi di sisi lain juga mendorong setiap kelompok budaya, berjuang untuk me-neguhkan
identitas budayanya (cultural identity), sehingga keragaman budaya semakin berkembang.
Keragaman budaya seperti di atas, dalam kondisi normal dapat menumbuhkan keharmonisan
hidup,namun dalam kondisi bermasalah, dapat menimbulkan hambatan dalam berkomunikasi
dan penyesuaian antar budaya, bahkan dapat terjadi benturan antar budaya (clash ofculture).
Dewasa ini sering kita jumpai berbagai konflik antar suku/ etnis, konflik antar golongan.
Sumber-sumber hambatan yang menyebabkan adanya konflik tersebut antara lain dapat
berkenaan dengan perbedaan bahasa, komunikasi nonverbal, stereotipe, kecenderungan
menilai, kecemasan dan sebagainya (Prayitno dan Erman Amti, 1994).
Adanya keragaman budaya merupakan realitas hidup bersama yang tidak dapat dipungkiri.
Setiap kebudayaan, menurut Kuncaraningrat (1985) mengandung tiga sistem, yaitu (1) sistem
budaya (budaya nilai), (2) sistem sosial, dan (3) kebudayaan fisik. Seluruh unsur budaya akan
mem-bentuk unsur-unsur subyektif pada diri individu, yang me-liputi berbagai konsep dan
assosiasi, sikap kepercayaan, harapan, pendapat, persepsi, stereotipe dan sebagainya.
Kebudayaan sangat mempengaruhi perilaku individu. Bentuk, arah dan orientasi hidup
manusia, ekspresi emosi, bahkan kriteria perilaku sehat atau bermasalah diwarnai oleh
kebudayaannya. Seluruh aktivitas manusia tidak akan terlepas dari budaya, termasuk dalam
hal layanan konseling.
Dalam psikologi terutama dalam bidang psikometri, kesadaran budaya tersebut telah lama
diakui, bahwa hasil-hasil pengukuran psikologi sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat.
Oleh karena itu tahun 1935 - 1950 banyak upaya untuk menyusun tes yang bebas dari budaya
(culture free test), diantaranya dilakukan oleh FL Goudenough dengan Draw a Man Test
(DAM), dan Porteus dengan test Labyrinth (Sumadi Suryabrata,1993:80). Usaha-usaha
tersebut tidak terlalu berhasil,sebab paradigma penelitiannya tidak realistis.
Testintelegensi,bagaimanapun juga adalah hasil kebudayaan, jadi tidak mungkin orang mau
mencari hasil kebudayaan yang bebas dari pengaruh kebudayaan.
Dalam layanan konseling, kesadaran budaya masih sangat kurang, hal ini tampak dalam
praktek konseling dari awal perkembangan sampai dekade 70-an, kurang mem-
20
21
pertimbangkan budaya. Di Amerika konseling berorientasi pada budaya midle class white
atau kulit putih,terutama budaya White Anglo Saxon Protestan (WASP) yang merupa-kan
mayoritas penduduk Amerika, meski yang dilayani adalah minoritas kulit hitam, keturunan
Asia, suku Indian, Hispanik dan sebagainya. Gerakan konseling mulai dari psikoanalisis,
behavioristik-kognitivisme, eksistensial humanistik, kurang mempertimbangkan budaya
klien. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, pendidikan dan latihan konselor, praktek
pelayanan bimbingan dan konseling umumnya berorientasi pada teori-teori yang bersumber
dari budaya Amerika dan Eropa, dan kurang memper-timbangkan budaya asli Indonesia.
Konseling yang tidak mempertimbangkan budaya klien yang berbeda akan merugikan klien.
Dalam hal ini Sue (1992:6) menyatakan: "konseling telah digunakan se-bagai alat untuk
menindas (menekan), dan didesain untuk menanamkan nilai-nilai budaya
individualistik.Tradisi konseling telah mengabaikan kelompok minoritas dan para wanita.
Konseling telah menjadi alat untuk mem-pertahankan status quo”.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Freire (1972) bahwa pendidikan yang tidak melihat
budaya klien sebagai pendidikan yang menindas (paedagogy of the oppressed), di mana
hanya akan melahirkan budaya diam, budaya ter-gantung. Freire (1972) mengemukakan
konsep conscientizati-on, yang berarti kesadaran diri dalam kaitannya dengan lingkungan
dan masalah budaya. Kesadaran tersebut di-tujukan pada kebebasan individu dari penindasan
per-sonal, sosial, ekonomi. Freire percaya bahwa dengan ke-sadaran budaya tersebut
menjadikan tujuan pendidikan, termasuk konseling lebih mengena. Konselor memiliki tugas
untuk membebaskan klien dari selalu menyalahkan diri, mendorongnya untuk melihat
masalahnya dalam konteks sosial budaya, dan mengarahkan klien untuk me-ningkatkan
kondisinya.
Dalam konseling ada dua komponen pokok yang terlibat, yaitu klien dan konselor Ivey dkk
(1993: 127) mengemukakan model hubungan klien dan konselor yaitu:

Gambar 1.Model hubungan konselor dan klien


Hubungan klien dan konselor dalam proses konseling selalu dipengaruhi oleh budaya dan
latar belakang sejarah klien dan budaya dan latar belakang sejarah konselor. Jika

20
21
diperhatikan lebih luas, di samping komponen klien dan konselor masih ada komponen lain
dalam konseling yaitu: teori yang dipakai, tempat layanan, dan proses konseling. Konselor
dan klien tersebut berinteraksi dengan membawa seperangkat budayanya masing-masing,
untuk menuju suatu proses konseling. Tempat atau lingkungan dimana konseling
diselenggarakan juga membawa seperangkat nilai budaya, demikian pula teori atau teknik
yang digunakan juga didasarkan nilai-nilai budaya tertentu.

Gambar 2. Sistem budaya yang terlibat dalam konseling


Keseluruhan komponen tersebut bersama menuju proses konseling, termasuk merumuskan
tujuan konseling yang disepakati. Tujuan dan proses tersebut sangat diwarnai oleh budaya
yang berlaku pada diri konselor, klien, lingkungan, dan teori yang digunakan.
Dalam perkembangan konseling, hampir semua konsep/teori, teknik, praktek konseling, dari
pendekatan psikodinamik sampai eksistensial-humanistik, identik atau sejalan dengan nilai-
bilai barat (Amerika-Eropa)yang

31
30
berangkat dari paradigma positivisme, antroposentrisme, individualisme dan liberalisme.
Dalam praktek konseling tidak semua pendekatan tersebut dapat dipraktekkan secara efektif,
terutama dalam setting budaya yang tidak sama dengan budaya barat. Konselor seringkali
mengungkung diri dalam budayanya (encapsulated), tidak mau mempertimbangkan budaya
klien. Kondisi tersebut sering melahirkan hambatan dalam konseling, seperti ke-engganan,
penolakan klien, ketidakpuasan konselor dalam menjalankan konseling dan sebagainya. Di
sisi lain, hampir di setiap budaya memiliki sistem atau cara dalam mem-bantu orang lain
memecah-kan masalah (psikoterapi/kon-seling). Di India kita jumpai “guru”, di Indonesia
kita jumpai “kyai, dukun”, di Jepang kita jumpai "sensei" dan sebagainya.
Melihat kenyataan seperti di atas, beberapa tokoh konseling, sekitar tahun 1970 mulai
memperkenalkan wacana konseling lintas budaya (counseling a cross culture). Upaya
pengembangan pendekatan konseling lintas budaya cukup mendapatkan respons yang positif
dari berbagai kalangan, meski tidak sedikit kritik yang ditujukan terhadap upaya
pengembangan konseling lintas budaya. Sampai kini, konseling lintas budaya memang belum
memiliki konsep yang mapan, teknik dan praktek yang jelas seperti pada pendekatan-
pendekatan konseling sebelumnya. Di Indone-sia, konseling lintas budaya cukup
mendapatkan respons yang positif dari tokoh-tokoh bimbingan dan konseling,dan menjadi
salah satu kurikulum pendidikan/ latihan calon konselor.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan latar belakang perlunya konseling lintas
budaya, yaitu:
1. Adanya kecenderungan budaya global dan transfor. masi budaya, dimana kehidupan
masyarakat semakin terdiri dari berbagai budaya yang selalu berinteraksi dan berubah.
2. Bahwa setiap budaya akan membentuk pola ke-pribadian, pola bertingkah laku secara
khusus, ter-masuk dalam proses konseling.
3. Adanya proses akulturasi atau percampuran antar budaya.
4. adanya berbagai keterbatasan, hambatan dalam praktek konseling yang selama ini
dilakukan, terutama pen-dekatan psikodinamik, behavioristik-kognitivistik, eksistensial
humanistik, yang kurang mempertimbang-kan aspek budaya.
5. Adanya berbagai pendekatan konseling yang ber-sumber dari-nilai-nilai budaya asli
masyarakat (indigi-neous value), dan berkembang dalam praktik konseling di masyarakat.

C. Pengertian Konseling Lintas Budaya


Pedersen (1990), Ivey dkk (1993) menyebut bahwa konseling lintas budaya merupakan
“fourth force” atau ke-kuatan keempat dalam gerakan konseling, yaitu setelah gerakan
psikodinamik (Freud, Yung, Adler, From dkk), behaviourisme- Cognitivisme (Skinner, Perls
dkk), Humanistik-eksistensial (Rogers-Frankl dkk). Gagasan kon-seling lintas budaya
muncul sekitar tahun 1970, sehingga belum begitu dikenal secara luas dalam masyarakat
bimbingan konseling itu sendiri. Tulisan-tulisan tentang konseling lintas budaya masih
31
30
sangat terbatas. Konsep, teknik, praktek konseling lintas budaya terus dikembang-kan, dan
belum menemukan suatu formulasi yang mapan, sebagaimana pendekatan konseling
sebelumnya. Oleh karena itu dapat difahami, jika konseling lintas budaya masihsering
disalah-mengertikan,dikritik,bahkan sebagian masih bersikap skeptis.
Istilah konseling lintas budaya merupakan paduan dari dua istilah yaitu konseling dan lintas
budaya. Secara singkat konseling lintas budaya diartikan konseling yang dilakukan dalam
budaya yang berbeda. Beberapa ahli konseling men-definisikan konseling dalam berbagai
rumusan, meski demikian terdapat kesamaan dari beberapa elemen-elemennya.
Berbagai literatur konseling menekankan asumsi-asumsi yang berangkat dari dasar filosofi,
yang merupakan refleksi dari idiologi demokrasi, seperti kesamaan dalam memperoleh
kesempatan, kebebasan dankeadilan bagi semua, pencarian kebahagiaan, keuntungan pribadi.
Umumnya definisi konseling menekankan pada: per-masalahan dan penghargaan pada
keunikan klien, penekan-an pada penentuan diri sendiri, nilai kebebasan, aktualisasi potensi,
orientasi masa depan, peningkatan martabat semua orang tanpa meliha budaya (Tolbert,
1969; Belkin, 1975; Brammer,1977).
Pepinsky dan Pepinsky (1954) mendefinisikan konseling dengan menekankan pada aspek
psikologisnya, yaitu:
Counseling is a process involving interactions between coun-selor and client in a private
setting, with the purpose of helping the client change her/his behvior so that a satisfactory
reso-lution of needs maybe obtained".
Pitrofesa,Hoffman,Splete dan Pinto (1978) mengemuka-kan:
Counseling,than..is relationship between a profession ally trained,competent counselor and
an individual seeking help in gaining greather self understanding and improved deci-sion-
making and behavior change skills for problem solution and/or development growth.
Dari kedua definisi di atas, dan sejumlah ahli lainnya, ada beberapa elemen yang sama dalam
mendefinisikan konseling. Kesamaan yang dimaksud adalah:
1. Konseling adalah hubungan antar pribadi,
2. Konseling adalah suatu proses,
3. Konseling dirancang untuk membantu individu membuat keputusan dan memecahkan
masalah, dan
4. Dalam konseling terlibat dua orang atau lebih yang ada di dalamnya, yaitu konselor dan
klien.
Dari definisi-definisi konseling yang dikemukakan beberapa ahli, tidak nampak secara
eksplisit menyebutkan kebudayaan dalam konseling. Pertanyaan mendasar ber-kenaan
hubungan antara kebudayaan dengan konseling adalah “dimana letak kebudayaan dalam
konseling"?. Jawabannya adalah kebudayaan ada pada individu-individu yang terlibat dalam
konseling, bahkan seluruh aspek dalam konseling terkait dengan budaya.

31
30
Edward B. Tylor (dalam Ali Saifullah, 1982) me-ngemukakan "Culture is that complex
whole which includes knowledge,belief,art,moral,law,custom,and any other capabilities and
habits aquired by man as a member of society". Kuncaraningrat (1981:193) mendefinisikan
kebudayaan adalah "keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat, yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar".
Salah satu masalah yang sering muncul dalam konseling lintas budaya adalah masih adanya
perbedaan pengertian tentang konseling lintas budaya. Di Amerika banyak ahli seperti Sue
(1981) menyatakan bahwa konseling lintas budaya adalah konseling yang diberikan pada
kelompok-kelompok minoritas, misalnya kelompok kulit hitam, His-panic, Indian, keturunan
Asia di Amerika Serikat dan sebagainya.
Ahli lain menyatakan bahwa konseling lintas budaya adalah konseling yang diberikan kepada
mereka yang sama budayanya dengan konselor, tetapi mereka memiliki peran yang berbeda,
misalnya kaum homoseksual, penyandang cacat, para orang tua, wanita dan sebagainya.
Anggota-anggota kelompok masyarakat tersebut diasumsikan berbeda secara kultural, karena
mereka dianggap memiliki struktur budaya yang berbeda dengan struktur budaya yang
dominan, atau berbeda dengan arus budaya utama (main-stream culture). Oleh karena itu
mereka dianggap memerlu-kan layanan konseling lintas budaya. Ada pula ahli yang
berpendapat bahwa kelompok-kelompok yang disebutkan terakhir ini tidak perlu
mendapatkan layanan konseling lintas budaya, karena mereka termasuk special population
(Fukuyama, 1990).
Definisi konseling lintas budaya yang lebih akhir menyatakan konseling lintas budaya terjadi
apabila suatu proses konseling terdapat perbedaan-perbedaan budaya antara konselor dengan
klien. Perbedaan antara keduanya muncul sebagai proses hasil sosialisasi dalam kebudayaan
yang berbeda (Locke,1990).Namun kebanyakan penelitian tentang konseling lintas budaya di
Amerika dilakukan masih terbatas dalam populasi konselor dan klien yang berbeda dalam hal
kebangsaan, misalnya konselor berlatar belakang kulit putih, berasal dari kelas sosial
ekonomi me-nengah, dan berbahasa Inggris, sedangkan kliennya berlatar belakang budaya
Hispanic, Asia-Amerika, Negro-Amerika dan sebagainya.
Dalam mendefinisikan konseling lintas budaya, Pedersen (1985:94) menyatakan “Konseling
disebut multi-kultural apabila kita mempertimbangkan usia, gaya hidup, status sosial
ekonomi, perbedaan jenis kelamin, hal demi-kian jelas di situ terdapat dimensi multikultural
dalam hubungan konseling".
Asumsi dasar konseling lintas budaya adalah bahwa individu yang terlibat dalam konseling
itu hidup dan dibentuk oleh lingkungan budaya, baik keluarga maupun masyarakat. Dalam
hal ini Ivey dkk. (1995:5) mengemuka-kan “masalah-masalah individu dan keluarga
seringkali bersumber dari faktor lingkungan atau luar, seperti ke-miskinan, ras, jenis kelamin,
dan sebagainya.
Apabila dikaji pengertian budaya dan terjadinya per-bedaan budaya,maka perbedaan budaya
yang terjadi antara konselor dan klien dapat terjadi karena perbedaan bangsa, suku bangsa,
jenis kelamin, aliran politik, usia, pekerjaan, agama, tempat tinggal dan sebagainya.
Perbedaan antara konselor dan klien dapat pula terjadi karena mereka berasal.

31
30
dari masyarakattertentu,sebagaimana dikemukakan dalam teori "ecological revolutionary".
Dengan demikian dalam kon-seling lintas budaya, perbedaan antara konselor dan klien bukan
hanya terletak pada adanya perbedaan bangsa saja, tetapi mencakup perbedaan aspek-aspek
kebudayaan yang lebih luas.
Dalam hal aspek-aspek kebudayaan, Iveydkk (1993:106) mengemukakan kubus
multikultural, yang harus diper-timbangkan dalam konseling lintas budaya, yaitu:

Gambar 3.Kubus multikultural


Dengan uraian di atas dapat dikemukakan definisi konseling lintas budaya yaitu “suatu
proses konseling yang melibatkan antara konselor dan klien yang berbeda budaya-nya, dan
dilakukan dengan memperhatikan budaya subyek yang terlibat dalam konseling”. Jika
konseling memper-hatikan budaya, maka konseling semacam itu adalah pe-maduan partner
secara meningkat dari budaya yangberbeda baik antara kelompok bangsa, kelompok etnik,
atau kelompok-kelompok yang peranan mereka secara budaya dibedakan.Konsekueninya
adalah konselor harus mengetahui aspek-aspek khusus budaya dalam proses konseling dan
dalam gaya konseling tertentu mereka, sehingga mereka dapat menanganinya secara lebih
terampil dengan variabel budaya itu.
Dari uraian mengenai definisi konseling,Ivey dkk (1993) mencatat adanya dua
kecenderungan dalam bidang konseling lintas budaya,yaitu pendekatan universal (the
universal approach) danpendekatan secara khusus(the focused cuklture spesific approach).
Pendekatan universal mensyaratkan bahwa dalam setiap proses konseling terkait
denganbudaya dan harus mempertimbangkan budaya, konselor harus memiliki kesadaran
budaya. Pendekatan khusus lebih memfokuskan pada suatu budaya kelompok tertentu, yaitu
melihat individu dan sebagai anggota suatu kelompok budaya, seperti konseling pada
kelompok keturunan Asia, komunitas homoseks, wanita dan sebagainya.
Untuk memberikan gambaran yang lebih menyeluruh tentang konseling lintas budaya,
berikut ini dikemukakan model untuk memahami konseling lintas budaya yang dikemukakan
oleh Locke.

31
30
Gambar 4.Model Pemahaman Multikultural dari Locke

Dari model tersebut, konselor akan mendapatkan pe-mahaman secara komprehensif tentang
individu dan kelompok yang beragam secara kultural dalam konteks kon-seling. Pemahaman
tersebut diawali dengan kesadaran akan budayanya sendiri dan budaya klien yang beragam,
dengan melihat berbagai variabel yang mempengaruhinya. Riset teori kurikulum yang
dimaksud dalam model tersebut adalah kebijakan/pelayanan konseling.
PERTANYAAN
Setelah selesai mempelajari bab ini, jawablah per-tanyaan-pertanyaan di bawah ini!
1. Jelaskan problem masyarakat dengan adanya dinamika masyarakat dan transformasi sosiaI
budaya yang berlangsung cepat dan dahsyat dewasa ini!
2. Mengapa dengan adanya dinamika masyarakat dan transformasi budaya tersebut
memerlukan layanan konseling yang berwawasan budaya ?
3. Jelaskan bahwa praktek konseling yang tidak memper-timbangkan budaya klien,
digunakan sebagai alat penindasan terhadap klien?
4. Sebutkan latar belakang perlunya 'konseling lintas budaya.
5. Jelaskan bahwa gerakan konseling lintas budaya di-sebut sebagai “fourth force”.
6. Kemukakan definisi konseling lintas budaya menurut saudara.
7. Jelaskan konsep konseling lintas budaya menurut pen-dekatan universal dan pendekatan
khusus.

31
30
DAFTAR PUSTAKA
Ali Saifullah.(1982).Pendidikan,Pengajaran dan Kebudayaan. Usaha Nasional:Surabaya.
Dragums,GJ.(1996).Humanity Universal and Culturally Dis-tinctive.In Counseling A Cross
Culture (Edit Pedersen Et.al.). California:Sage Publication.
Freire,Paulo.(1991).Pendidikan Kaum Tertindas (terjemahan LP3ES). Jakarta: LP3ES.
Fukuyama, M. (1990). Taking A Universal Approach to Multi-cultural Counseling.Counselor
Education and Super-vision 30.6-13.
Ivey,Allen E., Mary Bradford Ivey, Lynn Simek-Morgan. (1993).Counseling and
Psychotherapya Multicultural Pers-pective.Boston: Allyn and Bacon.
Jumarin M.(1998). Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling I.FIP IKIP PGRI Wates.
Jumarin M. (2000).Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling II. FIP IKIP PGRI Wates.
Kuncaraningrat. (1981). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan.Jakarta:Gramedia.
Kusdiantinah, Siti.(1982).Pendidikan dan Pengajaran untuk Masa Depan.Dalam Ilmu dan
Budaya.Jakarta: UNAS.
Locke,Don C.(1998).Increasing Multicultural Understanding: A Comprehensive
Model.California: Sage Publication.
Muchtar Buchori. (2001).Dari Guidance & Counseling ke.

33
32
Bimbingan Penyuluhan Pendidikan.Makalah dalam Kongres IX dan Konvensi XII IPBI.
Bandarlampung.
Munandir.(2001).Bimbingan dan Konseling di Tengah Dinamika Masyarakat dan
Kebudayaan. Makalah dalam Kongres IX dan Konvensi XII IPBI. Bandarlampung.
Pedersen,PB.(1990).The Multicultural Perspective as a Fourth Force in Psychology.Journal
of Mental Health Counseling. 12,93-95.
Prayitno dan Erman Amti.(1994).Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling.Jakarta: Dirjen
Dikti.
Soly Abimanyu.(1997).Teknik-teknik Bimbingan dan Konseling Tinjauan Lintas Budaya.
Makalah dalam Kongres dan Konvensi IPBI.Purwokerto.
Sue,Derald Wing.(1991).Counseling the Culturally Different, Theory and Practice.New
York: John Wiley & Sons.
Sumadi Suryabrata. (1993). Pembimbing ke Psikodiagnostik. Yogyakarta:Rake Sarasin.
Tofler,A.(1970).Future Shock.New York:Bantan Books.
Tofler, A. (1981).The Third Wave. London:Pan Books.

33
32
ASAS, PRINSIP DAN HAMBATAN KONSELING LINTAS BUDAYA
gar layanan konseling lintas budaya efektif dan efisien sehingga berfungsi secara optimal,
dalam arti memiliki kemanfaatan bagi subyek yang dilayani, maka layanan konseling lintas
budaya harus diselenggarakan berdasarkan suatu tumpuan berfikir yang disebut asas layanan,
dan berpedoman pada prinsip-prinsip layanan, yang merupakan kajian teoritik dan telaah
lapangan mengenai konseling lintas budaya, serta me-mahami berbagai hambatan-hambatan
dalam layanan kon-seling lintas budaya.
Setelah mempelajari bab ini diharapkan pembaca dapat menjelaskan:
1. Asas-asas konseling lintas budaya.
2. Beberapa prinsip konseling lintas budaya.
3. Beberapa hambatan atau keterbatasan konseling lintas budaya.
A. Asas-asas Konseling Lintas Budaya
Layanan konseling lintas budaya merupakan layanan profesional,maka harus dilaksanakan
dengan mengikuti kaidah-kaidah yang menjamin efisiensi dan efektifitas layanan. Kaidah-
kaidah tersebut didasarkan atas tuntutan.

35
34
keilmuan layanan, kondisi masyarakat dengan beragam latar belakang budaya, dan tuntutan
optimalisasi proses pe-nyelenggaraan layanan. Kaidah-kaidah tersebut disebut asas-asas
layanan.
Terdapat sejumlah asas layanan bimbingan dan konseling,yaitu:
1. Asas kerahasiaan
Konselor harus menjamin kerahasiaan semua data, ke-terangan yang disampaikan klien, dan
isi pembicaraan bersama klien. Asas ini merupakan asas kunci dalam layanan konseling lintas
budaya.
2. Asas kesukarelaan
Proses konseling harus berlangsung atas dasar kesuka-relaan baik dari fihak klien maupun
konselor. Klien di-harapkan dengan sukarela tanpa terpaksa menyampai-kan masalah yang
dihadapi dan keterangan yang diperlukan kepada konselor, dan konselor hendaknya
memberikan bantuan dengan sukarela.
3. Asas keterbukaan
Dalam layanan konseling diperlukan suasana saling terbuka baik klien maupun konselor.
Konselor harus tampil secara terbuka, asli, otentik, tampil apa adanya. Klien hendaknya
bersedia membuka diri,menyampai-kan masalahnya secara terbuka dan jujur, berterus terang
tentang keadaan dirinya.
4. Asas kegiatan
Layanan konseling harus dilakukan dengan usaha keras baik dari fihak klien maupun
konselor. Konselor hendaknya mampu membangkitkan kemauan klien,se-hingga mampu dan
mau melaksanakan kegiatan yang

35
34
diperlukan dalam menyelesaikan masalah. Konselor harus aktif berbuat dalam membantu
klien.
5. Asas kemandirian
Diharapkan dengan layanan konseling, klien dapat mandiri,berdiri sendiri tidak selalu
tergantung dengan fihak lain. Oleh karena itu klien harus diarahkan dan diberi kesempatan
untukmampu memutuskan sendiri, membuat pilihan sendiri, membuat perencanaan sendiri,
bukannya dipilihkan, diputuskan,dituntun terus dan sebagainya.
6. Asas kekinian
Masalah yang dirasakan klien adalah masalah masa kini, bukan masa lampau atau masa akan
datang. Apa-bila masalah klien terkait dengan masa lampau atau akan datang, maka
pembahasannya lebih merupakan se-bagai latar depan dan latar belakang dari masalah yang
dihadapisekarang. Asas ini juga bermakna konselor tidak boleh menunda-nunda bantuan,
bantuan yang diberikan hendaknya sesuai dengan perkembangan jaman, bukan
kecenderungan lama atau impian masa depan.
7.Asas keterpaduan
Layanan konseling menghendaki agar berbagai layanan yang dilakukan hendaknya saling
menunjang, har-monis dan terpadu. Untuk itu diperlukan kerjasama yang harmonis dengan
berbagai fihak yang terlibat dalam pelayanan konseling. Dari aspek klien,konselor harus
mempertimbangan dan memadukan berbagai aspek kepribadian dan budaya klien. Isi dan
proses layanan harus terpadu, tidak saling tumpang tindih.
8. Asas kedinamisan

37

36
Layanan konseling menghendaki terjadinya perubahan pada diri klien, yaitu perubahan
tingkah laku ke arah yang lebih maju, lebih baik,terus berkembang ber-kelanjutan.
9. Asas kenormatifan
Asas ini menghendaki agar semua layanan konseling didasarkan pada norma-norma yang
berlaku, baik norma adat istiadat, norma sosial, norma agama dan sebagainya. Asas ini
diterapkan terhadap tujuan, isi, alat maupun proses konseling, dan layanannya harus dapat
dipertanggungjawabkan secara normatif.
10. Asas keahlian
Layanan konseling lintas budaya harus dilakukan dengan asas keahlian, sehingga layanannya
dilakukan secara teratur, sistematik, prosedur dan teknik yang memadai. Oleh karena itu
konselor perlu mendapatkan pendidikan/latihan dan pengalaman yang memadai, serta
membekali diri dengan sifat-sifat yang diperlukan dalam layanan konseling.
11. Asas alih tangan
Asas ini menghendaki bahwa dalam pelayanan kon-seling lintas budaya, pihak-pihak yang
tidak mampu menyelenggarakan layanan secara tepat karena ke-terbatasan kewenangan dan
kompetensi, supaya me-lakukan alih tangan (referal) kepada fihak lain yang lebih memiliki
kompetensi.
B. Prinsip-Prinsip Konseling Lintas Budaya
Dalam konseling lintas budaya, prinsip-prinsip yang digunakan bersumber dari kajian
filosofis, teoritis, hasil

37

36
penelitian dan kajian pengalaman dalam praktek bimbingan dan konseling yang berwawasan
budaya. Sebagai gerakan keempat dalam konseling yang relatif masih baru,maka prinsip-
prinsip konseling lintas budaya banyak yang ber-sifat hipotesis, berupa pemikiran, dan masih
terus ber-kembang.
Dragum (1996) mencatat sejumlah kesepakatan dari para praktisi,peneliti,dan ahli-ahli teori
tentang prinsip-prinsip konseling lintas budaya,yaitu:
1. Teknik atau aktivitas para konselor semakin berubah, yaitu menyesuaikan atau
menerapkan dalam lingkungan budaya yang berbeda. Hal ini bukan berarti konseling secara
otomatis mengikuti budaya klien apa adanya.
2. Permasalahan dalam proses konseling akan cenderung meningkat, jika antara klien dan
konselor terdapat per-bedaan kebudayaan yang semakin lebar.
3. Permasalahan atau problem, pola-pola perilaku ber-masalah akan berbeda-beda dalam
berbagai budaya.
4. Norma, harapan, perilaku stress juga memiliki keragam-an antar kebudayaan. Klien-
klien dari berbagai budaya memiliki cara yang berbeda dalam penyesuaian diri.
5. Konsep-konsep konseling dan pola-pola membantu berkaitan dengan suatu kebudayaan.
Prayitno dan Erman Amti (1994:176) mencatat beberapa hipotesis yang berkaitan dengan
konseling antar budaya (KAB), yang dikemukakan oleh Pedersen dkk, yaitu:
1. Makin besar kesamaan harapan tentang tujuan KAB yang ada pada diri klien dan
konselornya, maka dimungkinkan konseling itu akan berhasil.

38

39
Makin besar kesamaan pemahaman tentang ke-tergantungan, komunikasi terbuka, dan
berbagai aspek hubungan konseling lainnya pada diri klien dan konselornya, makin besar
kemungkinan konseling itu akan berhasil.
3. Makin besar kemungkinan penyederhanaan harapan yang ingin dicapai oleh klien
menjadi tujuan-tujuan operasional yang bersifat tingkah laku, maka efektiflah konseling
dengan klien tersebut.
4. Semakin bersifat personal dan penuh suasana emosi-onal dalam konseling antar
budaya, makin mungkin-lah klien menanggapi pembicaraan dalam konseling dengan bahasa
ibunya, dan makin mungkinlah konselor memahami sosialisasi klien dalam budayanya.
5. Keefektifan KAB tergantung pada sensitifitas konselor terhadap proses komunikasi
pada umumnya, dan terhadap gaya komunikasi dalam budaya klien.
6. Latar belakang dan latihan khusus, serta pemahaman terhadap permasalahan hidup
sehari-hari yang relevan dengan budaya tertentu, akan meningkatkan keefektifan konseling
dengan klien yang berasal dari latar belakang budaya tertentu.
7. Semakin klien (antar budaya) kurang memahami proses konseling, semakin perlu
konselor atau program KAB memberikan pengarahan/latihan kepada klien itu tentang
ketrampilan berkomunikasi, pengambilan keputusan, dan transfer (mempergunakan
ketrampilan dalam situasi yang berbeda).
8. Keefektifan KAB akan meningkat sesuai dengan pemahaman, klien-konselor tentang
nilai-nilai dan

38

39
kerangka budaya asli klien dalam hubungannya dengan budaya yang sekarang dan yang
akan datang yang akan dimasuki klien.
9.KAB akan meningkat keefektifannya dengan adanya pengetahuan yang dimanfaatkannya
kelompok. kelompok antar budaya yang berpandangan amat me. nentukan terhadap klien.
10. Keefektifan KAB akan bertambah dengan meningkat-nya kesadaran konselor tentang
proses adaptasi ter-hadap kecemasan dan kebingungan yang dihadapioleh individu yang
berpindah budaya yang satu ke budaya yang lain, dan dengan pemahaman konselor tentang
berbagai ketrampilan yang diperlukan bagi klien untuk memasuki budaya yang baru itu.
11.Meskipun KAB yang efektif memerlukan pertimbangan tentang kehidupan sekarang dan
kemungkinan tugas/ kegiatan yang akan datang, namun fokus yang paling utama adalah hal-
hal yang amat dipentingkan klien.
12. Meskipun terdapat perbedaan besar tentang berbagai aspek budaya yang berlainan,bahasa
dan teori-teori konseling, sebagian besar elemen pokok dalam KAB sebenarnya tidak jauh
berbeda daripada elemen-elemen pokok dalam konseling pada umumnya.
13. Model konseling yang khusus dirancang untuk pola kebudayaan tertentu akan efektif
digunakan terhadap klien-klien yang berasal dari budaya tersebut daripada budaya lain.
14. KAB akan efektif apabila konselor memperlihatkan per-hatian kepada kliennya sebagai
seorang individu yang spesial atau khusus.

41
40
Untuk memberikan wawasan yang lebih luas,berikut ini dikemukakan beberapa hipotesis
tentang prinsip-prinsip dalam kaitannya dengan riset konseling lintas budaya, yang
dikemukakan oleh Sue dan Sundberg (1996):
1. Entry into the counseling system will be affected cultural conceptualization of mental
disorders and socialization toward seeking help.
2. The more similar the expectations of the intercultural client and counselor in regard to
the goals and process of counseling, the more effective the counseling will be.
3. Of special importance in intercultural counseling effectiveness is the degree of
congruence between the counselor and client in their orientations in philosophical values and
view toward depedency,outhority, power, openness of communication, and othet special
relationship inherent in counseling.
4. The more the aims and desire of the client can be appro-priately simplified and
formulated as objective behavior or information (such as university course requirements or
specific tasks), the more effective the intercultural counseling will be.
5. Cultural-sensitive empathy and rapport are importance in es-tablishing a working
alliance between the counselor and the culturally different client.
6. Effectiveness will be enhanced by the counselor's general sen-sitivity to
communications,both verbal and non verbal. The more personal and emotionally laden the
counseling becomes, the more the client will relly on words and concepts learned early in
life,and the more helpful it will be for the counselor to be knowledgeable about socialization
and communication styles in the client's culture.
Culture-specific modes of counseling will be found that work

41
40
more effectively with certain cultural and ethnic groups than others.
8. The less familiar the client is with the counseling process,the more the counselor or the
counseling program will need to in-struct the client in what counseling is and in the role of
the client.
9. Ethnic similarity between counselor and client increases the probability or positive
outcome.
10.Within-group differences on variables such as acculturation and stage of racial identity
may influence receptivity tocoun-seling.
11. Credibility can be enchanded through acknowledgement of cultural factors in cross-
cultural encounters.
12. In general,women respons more positively that man to west-ern-style counseling.
13. The person who acts with intensionality has a sence of capabil-ity. She or he can generate
alternative behaviors in a given situation and “approach" a problem from different vantage
points.The intentional, fully functioning individual is not bound to one course of action but
can respond in the moment to changing life situations and look forward to longer-term goals.
14. Identity-related characteristics of white counselors can influ-ence their reaction to ethnic
minority clients.
15. Despite great differences in cultural contexts, in language,and in the implicit theory of
counseling process,a majority of the important elements of intercultural counseling are
common across cultures and clients.
Beberapa prinsip konseling lintas budaya di atas, diharapkan dapat menjadi arah atau garis
yang dipedomani

43
42
(guidelines) bagi para konselor dalam pelayanan konseling lintas budaya,sehingga layanan
yang diberikan memiliki kemanfaatan secara optimal.
c. Permasalahan Konseling Lintas Budaya
Sebagai kekuatan "keempat", konseling lintas budaya relatif belum memiliki konsep, teknik
dan praktek yang mapan seperti gerakan konseling sebelumnya.Oleh karena itu sering
dijumpai berbagai masalah, hambatan,dan ketidakefektifan dalam konseling lintas budaya.
Prayitno dan Erman Amti (1994) mengutip pendapat Pedersen dkk, yang mengetengahkan
lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi dan penyesuaian diri
antar budaya, yaitu berkenaan dengan perbedaan bahasa, komunikasi non verbal, stereotip,
kecenderungan menilai, dan kecemasan. Ketiadaan penguasaan bahasa asing yang dipakai
oleh pihak-pihak yang berkomunikasi menyebab-kan komunikasi terhambat, dan sering
terjadi kesalah-pahaman. Pesan-pesan melalui isyarat non-verbal juga sering tidak dapat
difahami secara tepat. Persepsi atau pandangan yang terpola (stereotipe) menyebabkan orang
me-mandang orang lain menurut kemauannya sendiri atau ber-dasarkan asumsi-asumsi yang
sudah tertanam pada dirinya. Kecenderungan menilai seringkali didasarkan pada standar
subyektif. Kecemasan sering muncul karena seseorang harus berkomunikasi dengan orang
lain yang berbeda budayanya.
Sue (1981:4) mencatat tiga hal yang menjadi sumber hambatan atau kegagalan layanan
konseling lintas budaya, yaitu:(1) program pendidikan dan latihan konselor,(2)

43
42
literatur konseling dan kesehatan mental,(3) proses dan praktek konseling.
i. Program pendidikan dan latihan konselor
Umumnya program pendidikan/latihan konselor (kuri-kulum,proses pembelajaran dll)
mengacu pada budaya klas menengah ras kulit putih, sehingga para konselor kurang memiliki
pemahaman, kesadaran, ketrampilan dan pengalaman konseling yang memiliki budaya ber.
beda dengan budaya barat (Eropa-Amerika).
2. Kesehatan mental
Program pendidikan dan latihan konselor umumnya menghasilkan konselor yang cultural
encapsulation, mereka memiliki pandangan monokultural tentang ke-sehatan mental dan
pandangan stereotipe yang negatif terhadap budaya lain. Pandangan tentang sehat atau
normal tidaknya suatu perilaku sangat diwarnai oleh satu budaya (budaya barat, budaya kulit
putih). Padahal setiap budaya memiliki ukuran normal tidak-nya suatu perilaku.
3. Praktek konseling professional selama ini dilakukan menggunakan pendekatan ilmiah,
yang mengacu pada budaya empiristik, individualistik, kebebasan dan sebagainya, dan
kurang memperhatikan aspek-aspek budaya lain subyek yang dilayani, sehingga sering ter-
jadi ketidakefektifan, saling berlawanan, ketidakcocok-an dengan budaya klien.
Di samping aspek-aspek di atas, Sue (1981:28) juga mencatat tiga hambatan dalam konseling
lintas budaya, yaitu:(1) hambatan bahasa, dimana sering terdapat perbeda-an bahasa (verbal
atau nonverbal) antara bahasa konselor

45
44
dengan klien, (2) hambatan perbedaan kelas,status antara konselor dengan klien, misalnya
konselor berasal dari klas menengah kulitputih,sementara klien berasal dari kelas bawah
(minoritas keturunan Afrika,keturunan Asia dll),(3) hambatan perbedaan nilai budaya antara
konselor dengan klien.
Handarini(1997)mengutip pendapat Fukuyama (1990) yang mengetengahkan beberapa isu
yang sering muncul dalam konseling lintas budaya, meliputi hal-hal yang ber-kaitan dengan
dikotomi etic-emic, hubungan atau teknik, hubungan bilateral antara konselor dan klien, serta
dilema autoplastic dan alloplastic.
1. Isu etic dan emic
Berkaitan dengan isu etic dan emic, para peneliti coun-seling lintas budaya sering
menggunakan istilah etic (cul-turally generalized) dan emic (culturally specific) untuk men-
jelaskan strategi-strategi yang berbeda dalam penelitiannya. Pendekatan etic melibatkan
peneliti yang berasal dari budaya tertentu. Untuk menguji suatu teori biasanya meng-gunakan
metode dan instrumen yang sudah ada, mengukur sejumlah konstruk atau konsep psikologis.
Pendekatan emic mengacu pada pandangan bahwa data penelitian konseling lintas budaya
harus dilihat dari sudut pandang budaya subyek yang diteliti, atau indigenous (budaya asli)
dan uniks.
Dikotomi etic dan emic merupakan perbedaan cara mendiskripsikan suatu kebudayaan,
dipandang dari dalam budaya klien atau dari luar budaya klien. Isu ini sering menjadi
perdebatan karena pada akhirnya berkaitan dengan

45
44
masalah hubungan konselor-klien.Sudah barang tentu pandangan yang seimbang antara
emic dan eticperlu di-lakukan dalam konseling lintas budaya,ssebab ada
kalanya konseling lintas budaya berusaha mengembangkan budaya klien yang mungkin tidak
sejalan dengan arus utama budaya yang berlaku.
2.Isu hubungan konselor-klien versus teknik-teknik konseling
Problem kedua berkaitan dengan hubungan konselor-klien versus teknik-teknik konseling. Isu
ini sebenarnya me-ngacu pada persoalan-persoalan apakah proses konseling perlu dilakukan
dalam kerangka budaya konselor atau budaya klien, apa esensi konseling sebenarnya ?,
apakah konseling itu merupakan inti hubungan konselor-klien, ataukah merupakan penerapan
teknik-teknik yang dapat dimanipulasi sesuai dengan keadaan lingkungan kultural yang
berbeda-beda.
Para ahli konseling cenderung memberikan pernyataan yang sifatnya umum sebagai berikut:
konselor perlu pe-nyiapan diri untuk mengadaptasi teknik-teknik konseling sesuai dengan
latar budaya klien, menggunakan teknik-teknik acceptance dan attending sesuai dengan latar
budaya klien, serta terbuka terhadap kemungkinan untuk melaku-kan intervensi langsung
terhadap kehidupan klien. Dengan demikian konseling lintas budaya lebih merupakan peng-
adaptasian teknik-teknik yang dipakai konselor sesuai dengan latar budaya klien. Sebaliknya
para ahli lain lebih menekankan hubungan konselor-klien, lebih mementingkan apa yang
dilakukan dan yang harus dihindari konselor, dan bagaimana melakukan kegiatan konseling
dalam budaya

46
47
yang beragam,serta mempertanyakan prinsip-prinsip mana yang tetap perlu dipertahankan
dalam melakuina konseling lintas budaya.
3. Isu hubungan bilateral antara konselor-klien
Hubungan bilateral yang dimaksud adalah hubungan konselor dengan klien yang mengacu
pada tingkat proses belajar dalam konseling yang mempengaruhi konselor mau-pun klien.
Apabila kesenjangan budaya dalam konseling dapat terjembatani, maka pengalaman subjektif
yangter-komunikasi dalam proses konseling dapat menjadi "jendela” yang dapat digunakan
oleh konselor maupun klien untuk saling “melirik” kebudayaan yang dianut oleh masing-
masing pihak. Dengan demikian konselor atau klien dapat saling mempelajari cultural frame
of refference yang dianut, sehingga proses berbagai subjective world antara konselor dan
klien. Hal ini tampaknya agak sulit dilakukan, karena dalam proses konseling sebenarnya
yang menjadi pusat perhatian adalah klien dengan segala persoalannya, tujuan-tujuan
hidupnya, dan harapan-harapannya.
4. Isu dilema autoplastic-alloplastic
Konsep autoplastic mengacu pada bagaimana meng-akomodasikan seseorang pada suatu latar
dan struktur sosial yang bersifat given (jadi).Konsep alloplastic mengacu pada pembentukan
realita eksternal yang sesuai dengan ke-butuhan individu.Konsep-konsep ini berkaitan dengan
tujuan proses konseling, karena konsep-konsep tersebut berkaitan dengan pertanyaan
seberapa jauh konselor dapat

46
47
membantu klien beradaptasi dengan realitas yang ada,dan seberapa jauh konselor dapat
mendorong terbentuknya realita yang sama dengan realita yang ada pada diri kon.
selor.Secara sederhana isu ini menyangkut apakah dalam konseling lintas budaya konselor
hanya mengikuti budaya klien atau konselor dapat dan perlu mengubah nilai-nilai budaya
klien sesuai dengan nilai konselor atau nilai-nilaj budaya lain yang menurut pertimbangan
konselor perlu ? Tentu saja jika nilai budaya klien sudah bagus, konselor harus mengikuti
budaya klien, tetapi jika budaya klien bertentangan dengan budaya masyarakat, atau nilai-
nilai yang berlaku, maka cukup beralasan jika konselor berusaha merubah nilai budaya klien
ke arah nilai budaya yang lebih baru dan sesuai.
Soly Abimanyu (1997) mengutip pendapat Sue dan Sue (1990) mengenai kemungkinan
hambatan yang ada dalam konselinglintas budaya yang diselenggarakan di budaya Amerika,
khususnya diperuntukkan bagi kelompok minoritas,yaitu:
1. Adanya dominasi bangsa kulit putih tertentu di pusat-pusat konseling.
2. Kemampuan pelayanan yang berkaitan dengan siswa yang berbeda budaya kurang.
Umumnya layanan konseling yang diberikan bersifat tradisional, yaitu one to one saja, tidak
ada outreach program yang bervariasi.
3. Umunya pusat konseling menekankan pada konseling sosial emosional, ketimbang
pendidikan dan vocasi-onal, padahal masalah yang banyak dialami golongan minoritas
berkaitan dengan masalah vokasional dan pendidikan, dan golongan minoritas kurang
percaya

49
48
mengemukakan masalah pribadi kepada konselor kulit putih.
4.Pelaksanaan konseling sering bertentangan dengan pengalaman hidup klien minoritas. Hal
ini karena minoritas tidak baik dalam bahasa Inggrisnya.
5. Profesi konseling gagal membantu kelompok dunia ketiga di Amerika, karena dalam
literatur maupun pendidikan konselor ditanamkan asumsi:
a. Asumsi monokultur tentang kesehatan mental.
b. Menganggap negatif gaya hidup kaum minoritas.
c. Tidak efektif, tidak layak, dan pendekatan kon-seling antagonistik terhadap nilai-nilai yang
di-miliki oleh kaum minoritas.
Beberapa sumber konflik dan salah interpretasi dalam konseling sering terjadi dalam
konseling lintas budaya, mengingat konselor umumnya masih mengacu pada teori-teori
konseling yang bersumber dari Amerika-Eropa. Sumber konflik dan salah interpretasi
tersebut antara lain:
1. Adanya upaya menyatukan budaya klien ke budaya yang dominan yang dimiliki
konselor.Konselor seperti berpesan sebagai agen transmisi budaya, klien diajari bahwa
berbeda budaya dari arus utama budaya (main-stream) adalah menyimpang, berkelainan atau
sakit.
2. Berpusat pada individu. Padahal budaya merupakan identitas seseorang yang tidak
dapat dipisahkan dari kelompoknya. Seorang siswa perlu pertimbangan or-ang tuanya dalam
mengambil keputusan. Hal seperti ini bagi konselor barat sebagai ketidakmatangan (im-
mature).
3. Konselor menghendaki agar klien mau mengekspresi-

49
48
kan perasan melalui bahasa dan tingkah laku, seperti assertive, punya pendirian tidak pasif.
Banyak budaya yang cenderung tidak menilaiverbalisasi sama dengan budaya
Amerika.Misalnya pada budaya Jepang, Jawa, Bugis, anak-anak diajari untuk tidak berbicara
kalau tidak disuruh, pola komunikasicenderungvertikal. Klien Jepang dan Jawa lebih respek
terhadap konselor yang lebih tua, bijaksana,status sosial dan ekonominya lebih tinggi,dan
merespons konselor dengan cara diam. Klien seperti itu dalam budaya Amerika dipandang
kurang cerdas. Ekspresi perasaan dalam konseling sering menjadi tujuan yang diinginkan.
Bagi budaya Asia pada umumnya, pengakuan, pengendalian dan kontrol emosi sangat
ditekankan, hal ini bukan hanya terhadap perasaan marah, frustasi, tetapi juga perasaan
senang, cinta dan sebagainya. Perhatikan bagaimana cara orang Jawa pada umumnya
mengekspresikan emosinya.
4. Penggunaan insight atau pencerahan dalam konseling didasarkan pada asumsi bahwa
klien yang mencapai insight pada dirinya sendiri akan dapat menyesuaikan diri dengan baik.
Tetapi banyak budaya yang meng-anggap tidak penting insight. Orang dari kelas sosial-
ekonomi rendah sering tidak menganggap penting in-sight. Perhatian mereka pada pekerjaan
dan kegiatan ekonomi, menghidupi keluarga, kesehatan anak dan istrinya,keharmonisan
sosial dan sebagainya. Bagi mereka yang penting adalah dapat survive dari hari ke hari.
Budaya sebagian bangsa Asia dan juga budaya Jawa,memikirkan sesuatu terlalu banyak
justru malah

50
51
menimbulkan masalah. Nasehat orang tua sering ter-dengar "jangan terlalu dipikirkan".
5. Sebagian besarkonseling menginginkan self disclosure (keterbukaan dan kekariban),
yaitu klien yang mau terbuka dan berbicara tentang aspek-aspek kehidupan
dirinya.Keterbukaan merupakan ciri kepribadian yang sehat, sebaliknya orang yang tertutup
diniai memiliki sifat negatif.Budaya Asia termasuk Jawa yang kehidup-an komunalnya lebih
penting dari individu, umumnya sulit terbuka. Orang tua menyarankan supaya tidak
membuka masalah pribadi pada orang lain.
6. Pola komunikasi dalam konseling umumnya meng-hendaki komunikasi yang bergerak dari
klien ke kon-selor, atau klien lebih aktif. Klien diharapkan berperan utama dalam percakapan.
Dalam budaya masyarakat tertentu, termasuk Indonesia, yang umumnya pater-nalistik, sangat
menghargai orang tua (yang dituakan), pemimpin, komunikasi umumnya dari atas ke bawah.
Oleh karena itu kalau klien diminta memulai berbicara umumnya merasa tidak enak, dan
tidak sopan.
7. Hambatan bahasa. Di Amerika umumnya digunakan bahasa Inggris yang baku. Oleh
karena itu kelompok minoritas yang belum menguasai bahasa Inggris dengan baik, dalam
konseling akan mengalami hambat-an. Di Indonesia misalnya, konseling menggunakan
bahasa Indonesia baku, padahal kliennya berasal dari suku tertentu yang belum mampu
berbahasa dengan baik, hal ini dapat menjadi hambatan dalam konseling lintas budaya.

50
51
Hambatan-hambatan sepertidiatasbanyak Amerika.Namun demikian kemungkinan yangsama
terjadi di Indonesia, mengingatIndonesia terdiri berbagai suku, ras,bahasa,adat
iistiadatdan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan seperti di bawah ini perlu dicermati
1. Apakah di pusat-pusat pelayanan BK diIndonesia, petugasnya didominasi oleh suku-
suku tertentu?
2.Seberapa jauh petugas bimbingan disiapkan untuk trampil menangani klien yang berbeda
budaya ?
3. Apakah masalah yang ditangani cukup bervariasi, bukan hanya masalah sosial emosional,
tetapi juga masalah lain seperti pendidikan/belajar, pekerjaan, transformasi budaya dan
sebagainya.
4. Apakah dalam konselingdigunakan bahasa yang di-mengerti oleh semua klien?
5. Apakah ada asumsi bahwa kesehatan mental,pe-nyesuaian yang baik itu dipengaruhi oleh
budaya?
6. Apakah ada anggapan bahwa suku lain memiliki gaya hidup yang tidak sebaik dengan
gaya hidup ke-budayaan pembimbing?
7. Apakah petugas bimbingan menggunakan pendekatan yang antagonistik dalam
memberikan pelayanan ?
8. Apakah dalam pelayanan bimbingan para pembimbing bergaya dengan gaya
kebudayaannya atau budaya klien,atau budaya yang sedang populer berkembang?
Berbagai pertanyaan-pertanyaan lain dapat terus dikembangkan berkaitan dengan
permasalahan konseling lintas budaya.

53
52
PERTANYAAN
Setelah saudara selesai mempelajari bab ini, jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini!
1. Jelaskan dalam layanan konseling lintas budaya harus dilakukan berdasarkan asas-asas dan
prinsip-prinsip layanan.
2.Sebutkan asas-asas layanan konseling lintas budaya.
3. Jelaskan prinsip-prinsip layanan konseling lintas budaya.
4. Menurut Sue ada tiga hal yang menjadi sumber hambat-an konseling lintas budaya,
yaitu program pendidikan dan latihan konselor, literatur kesehatan mental, dan proses dan
praktek konselingprofesional.Jelaskan.
5. Jelaskan beberapa permasalahan konseling lintas budaya yang menyangkut isu etic
dan emic, isu auto-plastic dan alloplastic.
6. Jelaskan beberapa sumber konflik yang sering terjadi antara klien dengan konselor pada
konseling lintas budaya.

53
52
DAFTAR PUSTAKA
Dragums, GJ. (1996).HumanityUniversaland Culturally Distinitive.In Counseling a
Crss Culture (Editor Pedersen Et.al).California:Sage Publications.
Handarini,Danny.(1997).Konseling Lintas Budaya.Makalah dalam Kongres dan Konvensi
IPBI,Purwokerto, Nopember 1997.
Prayitno dan Erman Amti.(1994).Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling.Jakarta: Dirjen
Dikti.
Fukuyama,M.(1990).Taking Universal Approach to Multi-cul. tural Counseling.Journal
Counselor Education and Super-vision.30 p.6-12.
Soly Abimanyu.(1997).Teknik-Teknik Bimbingan dan Konseling tinjauan Lintas Budaya.
Makalah dalam Kongres dan Konvensi IPBI.Purwokerto.
Sue,Derald Wing. (1991). Counseling the Culturally Different, Theory and Practice.New
York:John Wiley & Sons.
Sue,D.,& Sunberg Norman D.(1996).Research and Research Hypothesis about Effectiveness
in Intercultural Counseling, In Counseling across Culture (Edit. Pedersen et.al).Cali-
fornia:Sage Puublications.

54
55
DIMENSI BUDAYA DALAM KONSELING LINTAS BUDAYA
etelah mempelajari bab ini diharapkan pembaca dapat memahami dimensi-dimensi budaya
dalam konseling. Secara khusus agar pembaca
mampu:
1. Menjelaskan sistem budaya.
2. Menjelaskan sistem bimbingan dan konseling.
3. Menjelaskan dimensi budaya dalam konseling.
4. Menjelaskan konsep self dan implikasinya dalam konseling.
5. Menjelaskan konsep kepribadian dari Hofstade dan implikasinya dalam konseling.
6. Menjelaskan variabel-variabel dalam konseling lintas budaya.
A. Sistem Kebudayaan dan Bimbingan Konseling
1. Sistem kebudayaan
Kebudayaan sebagai hasil budidaya manusia, men-cakup seluruh segi dan bidang kehidupan,
baik yang sifat-nya abstrak maupun yang konkrit. Kuntjaraningrat(1990) menjelaskan dilihat
dari wujudnya kebudayaan terdiri dari tiga sistem yaitu:

54
55
a. Sistem budaya atau nilai budaya
Berisi kompleks ide-ide, gagasan,konsep,dan pikiran manusia yang menjadi sumber inspirasi
dan orientasi dalam menghadapi kehidupan. Orientasi pandangan ini mengkristal kuat
sebagai jiwa dari masyarakat tertentu.Gagasan ini berkait satu sama lain menjadi suatu sistem
yang berpola ((habitof thinking). Sistem budaya ini mengatur dan memberi arah kepada
sekelompok masyarakat dalam memahami masalah-masalah kehidupan. Nilai budaya ini
menyangkut pandangan tentang kebenaran, kebaikan, keindahan, kenyataan dan sebagainya,
sehingga menjadi acuan dalam memandang sesuatu yang bernilai, berharga, penting dan
sebagainya. Dalam hal ini Kluckohn (Kuncaraningrat, 1990;Sulaiman,1992) mengemukakan
empat orientasi nilai budaya yaitu:
1) Hakekat hidup manusia, ada yang memandang hidup itu buruk, hidup itu baik, hidup itu
buruk tetapi manusia wajib berusaha menuju hidup yang baik.
2) Hakekat waktu, ada yang berorientasi masa lampau,masa kini, dan masa depan.
3) Hakekat karya, ada yang memandang karya ber-tujuan untuk hidup, karya
memberikan keduduk-an dan kehormatan, karya itu untuk menambah karya.
4)Hakekat hubungan sesama manusia, ada yang berorientasi horisontal (sesama, bersama,
gotong royong), orientasi vertikal (dengan tokoh-tokoh atasan berpangkat), orientasi
individualistik.

56
57
5) Hakekat hubungan manusia dengan alam,ada yang berpandangan manusia tunduk pada
alam, manusia berusaha menjaga keselarasan dengan alam, manusia menguasai alam.
Sistem sosial
Yaitu tindakan berpola (habit of doing) yang terdiri dari pola aktivitas-aktivitas manusia yang
saling ber-interaksi (berhubungan) serta bergaul satu sama lain dari waktu ke waktu, yang
kemudian menetap dalam bentuk adat tata perilaku. Sistem ini dapat diamati, di-dokumentasi,
tetapi tidak dapat diraba. Pedoman yang dianut orang dalam berinteraksi dengan orang lain
disebut nilai-nilai sosial.
c. Kebudayaan fisik
Merupakan hasil karya manusia yang bersifat fisik, konkrit,dapat berbentuk benda-benda
yang dapat diraba.
Ketiga sistem budaya tersebut saling terkait, dimana sistem nilai menjiwai, mewarnai dan
mendasari sistem sosial dan kebudayaan fisik. Seluruh sistem sosial dan kebudayaan fisik
diwarnai oleh sistem nilai.
Malinowski (Munandar, 1992) mengemukakan kebudayaan mempunyai tujuh unsur universal
yaitu: bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem
pengetahuan, religi, kesenian. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut mempunyai dimensi
kebudayaan, yaitu sistem budaya,sistem sosial dan kebudayaan fisik.

56
57
2. Dimensi-dimensi Bimbingan dan Konseling
Bimbingan dan konseling sebagai suatu layanan dapat dilihat dari berbagai segi, seperti
dilihat dari jenisnya, sifat layanannya, fungsi layanan dan sebagainya. Layanan BK dengan
pola tujuh belas melihat BK dari segi bidang,jenis layanan dan layanan penunjang. Morril,
Oetting, dan HHurs (dalam Ivey, Lyn Simek, 1980) melihat BK dalam tiga dimensi yang
digambarkan dalam suatu kubus, yaitu:
a. Target ofinterention (individual,primary group,associational group,dan community group),
b. Purpose of intervention (remidiation, prevention, dan devel-opment),
c.Method of intervention (direct service,consultation/trining, media).
Shaw (1973) mengemukakan bangunan teori BK dapat dibentuk apabila memiliki elemen
dasar yaitu nilai-nilai, tujuan, fungsi, program, dan evaluasi. Tohari Musnamar (1986)
mengetengahkan sepuluh komponen dalam sistem BK,yaitu:
a. Sistem konsep dasar, yang mencakup dasar filosofik, tujuan BK, asas dan prinsip BK, serta
kode etik BK.
b. Sistem pembimbing, yang mencakup kualifikasi pem-bimbing, pendidikan dan latihan
pembimbing, sertape-nempatan dan pengorganisasian pembimbing.
c. Subsistem subyek yang dibimbing, mencakup seluruh populasi yang menjadi sasaran
bimbingan dan kon-seling, baik individu, kelompok.
d. Subsistem metode dan teknik, baik yang berkaitan dengan metode pemahaman individu,
metde bimbing-

59
58
an,maupun teknikkonseling.
e. Subsistem strategi,yang mencakup program layanan BK.
f. Subsistem administrasi dan organisasi, terutama dalam hal pendayagunaan sumber-sumber
material dan non material termasuk sumber-sumber manusia untuk mengoptimalisasi layanan
BK.
g.Subsistem proses layanan,yang menyangkut sistem komunikasi, interaksi dalam layanan
BK.
h. Subsistem sarana dan biaya, seperti komponen sarana/ prasarana baik fisik dan non
fisik, serta komponen biaya/dana.
i. Subsistem lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik dan
sebagainya.
j. Subsistem usaha pengembangan,baik pengembangan teori, teknologi, pengembangan
sumber daya dan sebagainya.
B. Dimensi Budaya Dalam Konseling
Dapat dikatakan bahwa konseling dewasa ini berkait erat dengan kebudayaan/beradaban
Amerika-Eropa, khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai individualis-me,egalitarianisme,
liberalisme, optimisme, pemujaan pada mobilitas sosial, dan semangat perubahan pribadi.
Dengan nilai-nilai di atas, maka sikap respek terhadap penentuan diri oleh klien sendiri
(client's selfdetermination)menjadi inti ethos konseling di Amerika.Klien mampu
memberdayakan diri sendiri, mempola hidupnya sendiri. Oleh karena itu dalam konseling
(yang diwarnai oleh nilai-nilai budaya Amerika), konselor dilatih untuk respek dan berempati

59
58
erhadap kien sebagai individu,tan a mempertimbangkan aspek budaya kelompok atau
masyarakatdimana berada.
Apabila dikaji secara lebih mendalam,sebenarnya individu itu dalam segala aspek
hidupnya sangatdiwarnai oleh kebudayaannya (nilai budaya,sistem sosial,dan ke-budayaan
fisik). Pandangan hidup,sikap hidup,cara ber-perilaku, masalah yang dihadapi, cara mengatasi
masalah dan sebagainya sangat diwarnai oleh kebudayaannya, sebagaimana dikemukakan
oleh Franz Boas (1942) tentang prinsip "cultural determination". Oleh karena itu konseling
yang mengabaikan budaya klien, sangat tidak realistik,tidak manusiawi, dan tidak sesuai
dengan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang berbudaya.
Inti pelayanan bimbingan dan konseling adalah “komunikasi” antara konselor dan klien.
Dalam komunikasi tersebut melibatkan seluruh kepribadian klien dan konselor, baik
kepribadian individual maupun kepribadian kolektif, dimana kepribadian tersebut merupakan
produk dari budayanya. Setiap orang disamping memiliki kepribadian khas, juga memiliki
kepribadian kolektif (yang sesuai dengan sekelompok orang, suku, ras, agama, dsb). Dalam
berbagai penelitian disebutkan, misalnya warga Amerika keturunan Afrika diidentifikasikan
sebagai orang yang kurang suka membuka diri. Bagi kaum Hispanic penampil-an machismo
(penonjolan, sifat kejantanan, kekuatan, ke-beranian)sangat penting.Orang Jawa misalnya
kurang suka berterusterang,berkontak mata langsung. Beberapa
karakteristik tersebut akan mempengaruhi konseling. Aspek-aspek budaya akan
mempengaruhi pelayanan

60
61
konseling,baik dari segi proses konseling, tujuannya, sasarannya,bahkan alasan
diselenggarakan layanan kon-seling(Tolbert,1982).Lingkungan sosial budaya yang kaku,
otoriterdan mengekang kebebasan perkembangan individu,akan memberikan
tempat bagi konseling yang bersifat langsung, direktif (counselor centered).Lingkungan
budaya yang liberal, egaliter, demokratis, individualistis, akan memberikan tempat bagi
konseling yang berlandas-kan kebebasan dan kemerdekaan (client centered). Budaya
memberikan warna dalam keseluruhan proses konseling, seperti tempat konseling (ruang
terbuka,ruang tertutup), waktu (lama dan kapan), tujuan konseling, proses hubungan dalam
konseling (jarak duduk, kontak mata,pola ber-komunikasi dan sebagainya). Problem klien
juga sangat di-warnai kebudayaannya, demikian pula tujuan yang akan dicapai, strategi yang
digunakan dan sebagainya.
Jika dilihat dari dimensi kebudayaan dan dimensi bimbingan dan konseling, maka seluruh
dimensi budaya (nilai budaya, sistem sosial, kebudayaan fisik) mewarnai seluruh sistem
bimbingan dan konseling. Tidak ada bagian yang terkecil dalam bimbingan dan konseling
tidak diwarnai oleh budaya. Berikut dijelaskan bagaimana sistem budaya mewarnai,
mempengaruhi seluruh sistem bimbingan dan konseling.
1. Budaya akan memberi warna dan arah bagi subsistem konsep dasar BK, yang mencakup
landasan filosofik, tujuan konseling, prinsip dan asas BK, serta kode etik BK.Landasan
filosofik BK (pandangan akan kenyataan, kebenaran, kebaikan, keindahan dll) pada dasarnya
adalah nilai-nilai budaya. Tujuan konseling yang akan

60
61
dicapai harus sejalan atau diwarnainilai budaya, orientasi nilai.MasyarakatJawa mungkin
lebih me-mentingkan keselarasan, masyarakatilmiahmungkin lebih menekankan
insight/pencerahan dan sebagainya. Demikian pula prinsip, asas dan etika atau tata krama
konseling sangat diwarnai 1nilai budaya dan sistem sosial.
2.Budaya memberikan warna terhadap subsistem pem-bimbing,baik yang berkaitan dengan
kualifikasi,pen-didikan dan latihan,penempatan pembimbing.Kualifi. kasi(personal,
professional) pembimbing di masyarakat Jawa akan berbeda dengan pembimbing untuk
masyarakat Eropa Amerika. Demikian pula dalam hal pendidikan dan latihan pembimbing,
akan diwarnai oleh budaya dimana pendidikan konselor itu di-selenggarakan.
3. Budaya akan memberikan warna bagi subsistem subyek yang dibimbing. Konsep
orang yang bermasalah akan berbeda antara satu budaya dengan budaya lain. Kriteria yang
malladjusted akan berbeda pada setiap kebudayaan. Individualisme bagi masyarakat Eropa
mungkin dipandang baik, tetapi bagi masyarakat Jawa sikap tersebut dipandang bermasalah.
4. Budaya juga menentukan dan mewarnai metode memahami individu, dan
metode/teknik bimbingan konseling. Pemahaman individu pada masyarakat ilmiah akan
menggunakan metode-metode ilmiah (pengamatan, tes, wawancara dsb), sedang pada
masyarakat tradisional, akan banyak menggunakan metode yang sifatnya non ilmiah
(perhitungan hari ke-

63
62
Jahiran,astrologi,meditasi dsb). Budaya juga akan me-warnai dalam penggunaan teknik-
teknik layanan BK. Masyarakat animisme dan dinamisme akan mengguna-kan teknik-teknik
mistik,masyarakat religius akan menggunakan metode-metode religius,masyarakat
ilmiah akan menggunakan metode-metode ilmiah.
5.Budaya akan memberikan arah bagi program-program BK.Program-program apa yang akan
diberikan dalam layanan BK tergantung pada budaya masyarakat.Pro-gram meditasi tentu
cocok bagi masyarakat yang me-miliki budaya meditasi. Program do'a, dzikir, puasa cocok
bagi masyarakat yang berbudaya religius. Pro-gram training, studi banding dan sebagainya
cocok bagi masyarakat yang berbudaya keilmuan.
6. Budaya menentukan sistem administrasi dan orga-nisasi BK. Pada masyarakat yang
berbudaya profesional, maka seluruh pelayanan BK diadminis-trasikan secara profesional.
Bagi masyarakat yang berbudaya tradisional, maka sistem administrasi dan organisasinya
akan cenderung secara tradisional.
7. Budaya juga menentukan sistem sarana, prasarana dan biaya. Sarana dan prasarana
seperti komputer, internet, video, alat-alat tes dan sebagainya hanya diperlukan dalam budaya
bimbingan yang ilmiah/profesional. Bagi pelayanan BK yang tradisional tidak memerlukan
sarana seperti di atas, mungkin diperlukan bunga, keris, tungku, kemenyan, air putih dan
sebagainya.
8. Budaya menentukan sistem proses layanan.Apakah suatu layanan perlu registrasi,
kapan jam layanan, berapa waktunya, bagaimana model komunikasinya,

63
62
sistem interaksi, birokrasi, lkontak mata,cara duduk, cara mengekspresikan
masalah,pengambilan keputus an, sistem evaluasi dan sebagainya semua sangat diwarnai
oleh budaya, baik nilai budaya, sistem sosial maupun kebudayaan fisik.Konseling dalam
setting budaya Jawa tidak memerlukan kontak mata secara langsung, hubungannya
bersifat patron-klien,klien diam,konselor aktif dan sebagainya.
9.Budaya mewarnai subsistem lingkungan konseling. Lingkungan konseling di kota akan
berbeda dengan lingkungan layanan konseling di desa.Lingkungan yang berupa etnis, politik,
ekonomi, pendidikan,agama akan diwarnai oleh budayanya.
10. Budaya juga mempengaruhi dan mewarnai sistem pengembangan bimbingan dan
konseling. Dengan cara apa dan kemana arah pengembangan teori dan praktek BK dilakukan,
semuanya akan sangat diwarnai budaya-nya. Pada masyarakat ilmiah, maka pengembangan
BK akan dilakukan dengan cara ilmiah, seperti studi lanjut, seminar, konvensi, penerbitan
jurnal, pengembangan organisasi profesi dan sebagainya.
Dari uraian di atas jelas sekali bahwa seluruh aspek layanan bimbingan dan konseling tidak
pernah lepas dari kebudayaan, layanan BK diwarnai, diarahkan oleh ke-budayaan.Dari aspek
lain, sesungguhnya layanan BK sendiri juga mempengaruhi kebudayaan,seperti memberi
sumbangan dalam pewarisan dan penyampaian budaya, perubahan budaya dan
pengembangan budaya di ma-
syarakat, terutama pada subyek yang dilayani. Betapa budaya mempengaruhi proses
bimbingan dan

64
65
konseling,dalam perspektif psikologi lintas budaya, misalnya konsep "self" dapat dimaknai
dalam konteks self. experience dan cultural characteristic. Landrine (1992)
membedakan adanya refferential selfand indexial self.
1. Refferential self adalah self atau diri yang sendiri, mandiri, asli, kreatif, dapat mengontrol
perilaku,me-nentukan diri, pemikir, self yang terbungkus dalam budaya barat.
2. Indexial self yaitu self atau diri pribadi yang kurang mandiri, kurang dapat mengontrol
diri, jiwanya lemah dan kering, kurang kreatif, mudah dipengaruhi.
Kedua pola self tersebut memiliki implikasi penting dalam konseling, yaitu pada refferential
selfmaka konseling lebih terbuka, permissivenes, memberi kebebasan kepada klien,
hubungan antara konselor dan klien seimbang, konseling yang bebas dan sebagainya. Pada
indexial self pe-layanan konseling lebih formal, kaku, otoriter, hubungan konselor dan klien
seperti hubungan antara patron-klien, klien diam, pasif, dipilihkan, diputuskan, dan
sebagainya.
Hofstede dari Belanda (dalam Dragum, 1996;Berry dkk, 1999) mengidentifikasikan empat
faktor dimensi pola ke-pribadian atau pola hidup manusia, yaitu: (1) individualisme-
collectivisme, (2) power distance, (3) uncertainty avoidance, (4) masculinity-feminity.
1. Individualisme menunjukkan kecondongan seseorang terhadap diri sendiri, yang memiliki
kesungguhan,ber-usaha atau mampu mencapai tujuan, merealisasi hidup-nya sendiri.
Collectivisme menunjukkan kecenderungan seseorang berada dalam jaringan sosial,
hidupnya selalu ada bersama dengan yang lain. Konsep indi-

64
65
vidualisme-collectivisme ini hampir sama dengan konsep refferenstial self dan indexial
self.MenurutMartin dan Triandis (1985) individualisme-collectivisme untuk matra nasional,
sedang untuk matra individualmenyebut dengan istilah idiocentrisme dan
allocentrisme.Shweder dan Bourne (dalam Barry dkk, 1999) menyebutnya dengan istilah
budaya keterpisahan(culture of separatedness)dan budaya keberhubungan (culture of
relatedness).Pada budaya individualisme, tujuan konseling lebih menekankan pada
pencerahan dan pemahaman, perkembangan individu dan tanggung jawab, konselor sebagai
figur ayah. Pada budaya collectiveness, konseling lebih bertujuan pada integrasi sosial,
penerimaan sosial, dan konselor sebagai figur ibu.
2. Power distance merupakan konsep yang menunjukkan ketidaksamaan atau jurang pemisah
(suatu tatanan berjenjang) antara atasan dan bawahan dalam suatu organisasi, atau antara
perasaan superior dan inferior. Dimensi ini diukur dari penerimaan atau penolakan terhadap
ketidaksamaan status, penghasilan,kekuasaan dan sebagainya. Ada orang yang tidak toleran
terhadap kesenjangan (high power distance) ada pula yang sangat toleran terhadap
jarakjenjang kekuasaan (low power dis-tance). Pada masyarakat high power distance,
konseling lebih menekankan teknik direktif, konselor sebagaiagen perubahan. Pada
masyarakat low power distance, konseling lebih menekankan pada teknik client centered,
konselor sebagai katalis, tujuan konseling lebih menekankan pada self discovery,self
actualization,selfim-provement..

67
66
3. Uncerainty avoidance atau penghindaran akan ketidak-menentuan merupakan konsep yang
menunjukkan tingkat kebutuhan seseorang akan struktur,aturan, norma, petunjuk atau
informasi untuk mengantisipasi kehidupan yang kompleks,yang sulit diprediksi.High
uncertianty avoidance ditandai adanya penekanan pada aturan, tradisi,ritual, orangnya
cenderung kaku atau kurang toleran. Low uncertainty avoidance ditandai ada-nya spontanitas,
fleksibilitas, tolerans, kreatif dan sebagainya. Implikasinya dalam konseling, pada high
uncertainty avoidance konseling lebih berorientasi pada pendekatan behavioristik, eksplanasi
biologis, ber-orientasi medik, direktif. Pada low uncertainty avoidance konseling lebih
menggunakan pendekatan clien cen-tered, eksplanasi psikologi.
4. Masculinity dan feminity, menunjukkan pola kepribadian atau kebudayaan yang
membedakan peran antara laki-laki dan perempuan. Budaya laki-laki berorientasi pada
kekuatan, penampilan, hasil, prestasi. Budaya perempuan berorientasi pada pemeliharaan,
kelembut-an, kesenangan, kebahagiaan. Dalam konseling, budaya masculinity menekankan
orientasi sosial,tanggung jawab, konseling kognitif. Pada feminity menekankan orientasi
pribadi, emphaty, bersifat affektif.
Empat dimensi di atas, memiliki implikasi dalam konteks konseling. Dragum (1996)
mengetengahkan konseling yang diwarnai teori Hofstede,yaitu:

67
66
Alleviation of suffering
INDIVIDUALISM
Relationship
Insight,selunderstandingGuilt,alienati problems,shameTherapist
on,IonilessTherapist as father as nurturant motherSocial
figureDevelopment of integration
individualityDevelopment of
Acceptance of controls
responsibilityConflict and resolution
Harmonious relationship
LOW POWER
DISTANCEPerson-
HIGH POWER centered
DISTANCEDirective psychotherapy psychotherapyTherapys as
Therapist as change agentConformity catalyst
and social effective-ness Self-discovery and
Differentiation of therapist andclient actualizationDedifferentiati
roles on of terapist andclient
roles
Emphasis upon professional cre-
dentials Promotion of self-
improvement pa-tient
movement

HIGH UNCERTAINTY AVOID- LOW UNCERTAINTY


ANCE AVOID-ANCE

Biological explanations Psychological


explanationsExpertintial
Behavioral techniques psychotherapyMultiprofess
Medical orientation ional orientationMany
schools of therapy
Few schools of therapy
Loosely regulated therapy
Tightly regulated therapy practic
MASCULINITY FEMINTTY
Pro-society orientation Pro-person orientation
Responsibility,conformity, ad- Expressiveness,creativity,e
justment mpathyAnxiety
Guilt Caring
Enabling
Tabel 1. Dimensi-dimensi dalam Konseling menurut Hotstede
Casas dan Vaquez (1996) mengemukakan kerangka kerja teoritis untuk memahami konseling
lintas budaya,
69

68
yang menyebutkan adanya tiga variabel yang terlibat dalam konseling lintas
budaya,yaitu variabel konselor, variabel klien,dan variabel proses.Ketiga variabel
tersebut disajikan dalam tabel di bawah ini.
Selected Coun Selected C
Personal/ Professi Personal/
Life expenience
sociocultural onal sociocultural
Culture: Biological/
Biological/ Place of birth
psychological
psychological Assumpt
ions Nationaity-
predispotion:
predisposition: immigrant

Gender Beliefs Gender status(for self and


Race Values Race tamly members)
Sexual Reasons for
Sexual preference Attitudes
preference immigrating
Training
Life experiences Culture: Ethnicityvisible
:
Philosop Assumptions/
Culture: charactaristics
hy wordviews
Theoreti
Assumplions/ cal Socioeconomics
Beliefs
worldviews orientati status
on
Basic
Employment
Befiels counseli Values
history
ng skils
Values Altitudes
Cross-
Family
Anitudes cultural Cogntive styles:
characteristics:
counse-
Information Level of
ling skils
processing acculturation
Behavior Type:singlattwo
Cognitive styles: Biased thinking
s parent

69

68
Information
Stereotyping exlended
processing
Aptitudes,abiities Number of
Biased thinking
, children
Chid-rearing
Stereotyping interests
practices
Living
environment
Hopes&expectati
Sell-perception: Stablity & type:
ons
Racial identity Urban/rural
Acculturation Segregatedintegra
Behaviors
level led
Safety
Racial Avalable support
consciousness & systems
sensitivity
Educational
histary
Social/
Behaviors polticalleconomic
s
Stressors
Health status:
physical
& mental access
to & use
to relevant
services

69

68
Selected Counseling Process Variables
Counselor (setting and
Client
treatment)
Expectations of: Setting:
Counseling process Location,accessibllity
Counselor role Ambience
attributes
Staffing:racial,ethni,gender,lin
Client role guistic composition
Preferences for Level of sensitivity to personal
counselor. &professio biased &
stereotypesUnderstanding &
Approach/technique
respecting client'sculture.
Race-level of racial
Understanding client's
identity
expectations,preference&attitu
Ethnicity-level of des
acculturationPersonality
Accepting the intra &
attributes
extrapsyshicNature of
Attitudes toward: presenting
problemsEstablishing
Counseling process credibility
Counseling Building rapport
race/ethnicity
&personal attributes Selecting goal
(e.g.,prevention,remediation).
Credibility attributed to:
Selecting
Counseling process effective/appropriateinterventi
Counselor on (i.e., theories,roles
&Strategies)
Perceived nature of
presentingproblem Follow-
through,termination,Outcome
Follow-
through,termination,out
come
Tabel 2.Theoritical Framework for Understanding the Cross-Cultural Counseling Process
(Casas dan Faquez, 1996).
Berdasarkan kerangka teori dalam konseling lintas budaya di atas, dapat dijelaskan bahwaada
tiga variabel utama yang terlibat dalam konseling lintas budaya, dan

71
70
harus diperhatikan oleh konselor. Variabel tersebut adalah: (1) variabel konselor,(2) variabel
klien,(3)variabel proses konseling.
1. Variabel konselor
Konselor yang akan memberikan pelayanan sudah membawa seperangkat karakteristik, baik
yang sifatnya personal, sosiokultural, maupun professional. Secara per-sonal dan
sosiokultural, konselor terikat dengan aspek biologis yang dimiliki, seperti: gender,
ras,seksual prefer-ence, yang kesemuanya sangat mempengaruhi pola hidupnya. Di samping
itu konselor juga membawa pengalaman-pengalaman hidup,budaya yang menentukan dalam
cara pandang terhadap dunia, orientasi, keyakinan, nilai, sikap-sikap hidup. Konselor juga
membawa gaya kognitifnya (cognitive style), seperti kemampuan berfikir, stereotipe,
peršepsi ini tentang identitas suku,level akulturasi, kesadaran dan sensitivitas ras, juga
perilaku-perilaku tertentu. Semua variabel personal dan sosio-kultural tersebut akan dibawa
dalam proses konseling, dimana antara satu orang dengan orang lain berbeda.
Konselor juga membawa karakteristik kompetensi profesional sebagai konselor, seperti
budaya profesi yang mencakup asumsi-asumsi, keyakinan, nilai, sikap-sikap profesi,
ketrampilan-ketrampilan profesi dan sebagainya. Dalam pendidikannya dibekali
konsep,filosofi,orientasi teori,ketrampilan konseling termasuk ketrampilan kon-seling lintas
budaya, juga perilaku profesional. Semua karakteristik profesional konselor tersebut dibawa
dan akan mempengaruhi seluruh proses konseling.

71
70

70
2. Variabel klien
Sebagaimana konselor, klien juga membawa seperang kat karakteristik, baik personal-sosio-
kultural dan pe. ngalaman hidup.Beberapa aspek personal-sosial-kultural yaitu aspek biologis
(jender,ras, preferensi seksual), budaya (asumsi-asumsi, keyakinan,nilai,sikap),gaya kognitif
(proses penerimaan informasi,berfikir,stereotype), bakat, kecakapan, minat, harapan,
perilaku. Sedangkan aspek pengalaman hidup seperti: tempat lahir, status penduduk
(asli/pendatang), pengalaman kerja, kondisi keluarga, ke-hidupan lingkungan(kota, desa,sub-
urban, daerah kumuh dan lain-lain), pendidikan, kesehatan fisik dan mental, dan sebagainya.
Semua variabel tersebut dibawa klien dalam proses konseling.
3. Variabel proses konseling
Dalam proses konseling terlibat dua fihak yaitu klien dan konselor, yang saling berinteraksi
untuk mencapai suatu tujuan. Dalam proses konseling tersebut, klien membawa harapan
tentang proses konseling yang akan berlangsung, harapan peran konselor dan peran dirinya,
memilih kon-selor (ras, jenis kelamin, keahlian, kepribadian, teknik). Klien juga memiliki
sikap terhadap proses konseling, kon-selor (etnik, keahlian, kepribadian), membawa masalah
ke-yakinan terhadap konselor maupun proses konseling,dan sebagainya.
Variabel proses konseling yang berasal dari konselor mencakup setting dan perlakuan,seperti
setting (lokasi, bahasa,tenaga,birokrasi), tingkat sensitivitas, pemahaman

73
72
dan penerimaan terhadap budaya klien, kemampuan mem-bangun hubungan
baik,pemilihan tujuan konseling,pe-milihan pendekatan teoridan strategi,
kemampuan mengevaluasi dan menghentikan layanan, dan sebagainya.
Semua aspek baik konselor, klien dan proses terlbat dalam konseling. Pendek kata dalam
konseling, dimensi kultural selalu terlibat dan mewarnai seluruh usaha konseling,baik
sebelum proses konseling dimulai (budaya yang melekat pada konselor dan klien). Alasan
dilakukan konseling, proses (awal, inti, sampai pengakhiran) konseling.
PERTANYAAN
Setelah selesai mempelajari bab ini, jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:
1. Sebutkan unsur-unsur dalam sistem budaya.
2. Jelaskan orientasi nilai budaya menurut Kluchkohn.
3. Sebutkan unsur-unsur dalam sistem bimbingan dan konseling.
4. Jelaskan dimensi-dimensi budaya dalam sistem bimbingan dan konseling.
5. Jelaskan konsep indexial self dan refferential self,dan bagaimana implikasinya dalam
konseling.
6.Sebutkan dimensi-dimensi kepribadian dari Hofstede, dan bagaimana implikasinyadalam
layanan bimbingan dan konseling.
7.Jelaskan kerangka kerja teoritis dalam konseling lintas budaya menurut Casas dan Vaquez.

73
72
DAFTAR PUSTAKA
Barry,John W.et al.Psikologi Lintas Budaya,Riset dan Aplikasinya (terjemahan). Jakarta:
Gramedia.
Casas, Manuel J.,& Vasquez, Melba, J.T.(1996). Counseling the Hispanic, dalam Counseling
across culture (edit Pedersen dkk). California: Sage Publication.
Dragums GJ. (1996). Humanity Universal and Culturally Distinative,dalam Counseling
across culture (Edit Pedersen et al). California: Sage Publication.
Kuntjaraningrat. (1990). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan.Jakarta:Gramedia.
Kuntjaraningrat.(1990). Sejarah Teori Antropologi I.Jakarta: Universitas Indonesia.
Munandar Sulaiman M. (1993). Ilmu Budaya Dasar.Bandung: Eresco.
Tohari Musnamar.(1986).Bimbingan dan Wawanwuruk sebagai suatu
sistem.Yogyakarta:Cendekia Sarana Informatika.

75
74
KONSELOR DALAM KONSELING LINTAS BUDAYA

etelah mempelajari bab ini diharapkan para pembaca dapat memahami kualifikasi konselor
dalam konseling lintas budaya.
A. Pendahuluan
Konselor memiliki kedudukan yang sentral dalam pe-nyelenggaraan konseling lintas budaya
yang efektif, karena konselorlah yang mengarahkan dan menggerakkan terjadi-nya proses
konseling. Ketidakefektifan konseling lintas budaya dapat disebabkan oleh faktor konselor,
yaitu kon-selor yang tidak memperoleh pendidikan/latihan dan pengalaman tentang
konseling lintas budaya (Ivey, 1981), konselor yang terkungkung dalam budayanya
sendiri(cul-tural encapsulation), dan yang tidak memilik kesadaran/ kepekaan budaya.
B. Karakteristik Umum
Karakteristik konselor dalam konseling lintas budaya secara umum sama dengan konselor
pada umumnya,yang harus memiliki kompetensi profesional dan personal. Berbagai kajian
teori dan penelitian tentang kualifikasi

75
74
konselor yang menunjang efektivitas konseling telah banyak dilakukan,dan hasilnya
dikemukakan dalam berbagai buku dan laporan penelitian.Steward dkk
(1978:72)mengemuka-kan kompetensi konselor yang pokok, yaitu sikap, pe-ngetahuan dan
ketrampilan.Muh.Surya(1987:122)me-ngemukakan karakteristik konselor, yaitu pengalaman,
tipe-tipe hubungan dalam konseling,dan ffaktor-faktor non intelektual.George& Cristiani
(1981:23) mengemuka-kan tiga hal penting yang mempengaruhi konselor dalam layan-an
konseling,yaitu:
1. personal qualities
2. professional knowledge
3. and spesific counseling skills
Ketiga kualitas tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi saling terkait dan secara bersama-sama
mempengaruhi efektifitas kegiatan konseling yang dilakukan.
Sue (1981: 52) mencatat aspek yang penting bagi konselor dalam konseling lintas budaya
yang efektif, yaitu credibility (kredibilitas) dan attractiveness (daya tarik). Konselor yang
dipandang klien memiliki kredibilitas dan daya tarik, akan menumbuhkan kepercayaan,
motivasi untuk bekerja atau mengubah diri, dan klien akan lebih ter-buka.Hal tersebut
menjadi kondisi yang penting bagi konseling yang efektif.Jalaluddin Rakhmat (1994:256)
me-nyebut tiga faktor yang mempengaruhi efektivitas sumber (komunikator, termasuk
konselor) yaitu kredibilitas, daya tarik (attractiveness), dan kekuasaan. Ketiga aspek tersebut
harus dimiliki oleh konselor pada konseling lintas budaya. Dalam konseling lintas budaya
kemungkinan ketidak-percayaan klien terhadap konselor amat besar,sebab mereka

77
76
berasaldari budaya yang berbeda, sehingga akan me-munculkan stereotipe,prasangka
dan sebagainya. Kelompok minoritas kulit hitam di Amerika tidakakan mu dah mempercayai
konselor kulit putih.Seorang klien tidak begitu mudah mempercayau konselor yang memiliki
bu-daya(keyakinan,agama, idiologi,ras dan sebagainya) yang berbeda.Kurangnya
kepercayaan tersebut dapat menyebab-kan sulit membangun hubungan baik (good
rapport),sehingga klien kurang terbuka dan tidak mau involve (terlibat secara penuh).
Kredibilitas dan daya tarik konselor sangat tergantung pada psychological set/frame of mind
(kerangka pikir atau arah perhatian) dari klien yang berbedaya budaya.Setiap komunitas
budaya, ras akan memiliki beberapa tipe set, sebagaimana dikemukakan oleh Sue
(1981:55),yaitu:
a. The problem-solving set (information orientation), yaitu klien yang berorientasi pada
pemecahan masalah, informasi, jalan keluar, solusi. Klien lebih cenderung mempercayai dan
senang dengan konselor yang mampu memberi informasi, ahli, punya reputasi baik dan
sebagainya.
b. The consistency set, yaitu klien yang lebih berorientasi pada konselor yang memiliki
kesamaan sikap, keyakin-an, opini, perilaku dan sebagainya.
c. The identity set, yaitu klien yang secara umum ingin mirip dengan
seseorang/kelompok konselor yang me-miliki aspirasi sama, sebagai referensi kelompoknya.
d. The economic set,yaitu klien yang lebih berorientasi pada status ekonomi, sehingga
mereka lebih mempercayai pada konselor yang memiliki status ekonomi lebih tinggi.

77
76
e.The authority set,yaitu klien yang berorientasi kekuasaan,sehingga
merekallebih percaya konselor yang memiliki kekuasaan.
1. Kredibilitas konselor
Kredibilitas mencakup arah set problem solving,con-sistency dan identification, yang
diartikan sebagai se-perangkat karakteristik yang menjadikan individu layak untuk dipercaya,
mampu, reliabel dan dihormati. Jalaluddin Rakhmat (1994:247) menyebut
kredibilitas se-bagai seperangkat persepsi komunikate tentang sifat-sifat komunikator. Oleh
karena itu dalam kredibilitas ter-kandung dua hal yaitu persepsi dan sifat-sifat komunikator.
Sebagai persepsi, kredibilitas konselor tergantung pada pelaku persepsi (klien), isi atau
masalah yang dibahas,dan situasi, sehingga kredibilitas seseorang dapat berubah.
Dalam kredibilitas terkandung dua unsur penting yaitu keahlian (expertness) dan sifat yang
dapat dipercaya(trust-worthiness).
a. Keahlian (expertness)
Banyak klien yang datang pada konselor karena mereka percaya bahwa konselor seorang
ahli, punya pe-ngetahuan, ketrampilan, pengalaman, dan punya alat untuk membantu
memecahkan masalah. Sue (1981:58) menyebut keahlian sebagai fungsi dari reputasi, pe-
latihan khusus dan kecakapan/ kompetensi.Seorang yang ekspert akan dapat melihat
permasalahan dan mampu menafsirkan perasaan klien secara akurat, dan dapat membantu
memecahkan masalah.

79
78
b. Kepercayaan(trustwhorthiness)
Kepercayaan adalah kesan komunikate(klien) tentang komunikator (konselor) yang berkaitan
dengan sifat atau watak. Apakah konselor dinilai jujur, tulus,ter-buka,bermoral,adil,sopan dan
etis.Konselor yang me-miliki sifat tersebut akan dipandang kredibel oleh klien meski berbeda
budaya.
Di samping dua unsur kredibilitas sebagaimana diurai-kan di atas, Jalaluddin Rakhmat
(1994:260) mengutip pen-dapat Koehler, Annatol, dan Appeboum, yang menambah empat
komponen kredibilitas, yaitu dinamisme,sosiabilitas, koorientasi,dan kharisma.
2. Daya tarik konselor (attractiveness)
Atraksi merupakan kesukaan atau sikap positif dan daya tarik seseorang. Rollo May
(1997:166) menyatakan daya tarik personal sebagai sisi kebalikan dari minat dan kesenangan
seseorang terhadap orang lain.Konselor dalam konseling lintas budaya harus memiliki daya
tarik bagi klien yang berbeda budaya, sebab dengan atraksi,kecenderungan untuk
berkomunikasi, terbangunnya good rapport semakin besar. Konselor akan dapat
mempengaruhi klien dengan lebi efektif jika klien tertarik pada konselor, sebab atraksi dan
kredibilitas erat kaitannya dengan orang lain.
Rollo May (1997:166) juga menyatakan bahwa"jika kon-selor menikmati kebersamaannya
dengan orang lain dengan tulus dan memiliki niat baik terhadap mereka, maka secara
otomatis pula konselor akan menjadi orang yang menarik bagi orang lain".Banyak faktor
yang mempengaruhi atraksi

79
78
atau daya tarik seorang konselor.Jalaluddin Rakhmat a+1) menyebut dua faktor,yaitu faktor
personal dan faktor situasional.
a. Faktor personal yang mempengaruhi daya tarik konselor
1) Kesamaan karakteristik personal
Orangyang memiliki kesamaan budaya,ras, nilai, sikap, keyakinan, status sosial ekonomi,
agama, idiologi,aliran politik cenderung saling menyukai. Kesamaan akan meningkatkan
atraksi personal.Jika seseorang tertarikpada orang lain, maka orang ter-sebut akan mudah
dipengaruhi, demikian pula sebaliknya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa klien kulit
hitam di Amerika lebih memilih konselor kulit hitam, klien keturunan Asia juga lebih
memilih konselor keturunan Asia. Dengan adanya kesamaan antara konselor dengan klien
maka pemahaman akan lebih mendalam, klien lebih mampu mengekspresikan masalah, klien
lebih mampu mengadakan perubahan dan konseling lebih efektif.
2) Tekanan emosi
Jika seseorang berada dalam keadaan yang men-cemaskan, memikul tekanan emosional,
dalam ke-adaan tertekan, ia ingin kehadiran orang lain, dan cenderung mudah tertarik pada
orang yang men-dekati.
3) Harga diri yang rendah.Orang yang harga dirinya rendah ia akan mudah tertarik pada
orang lain.
4) Isolasi sosial.Orang yang merasa terisolasi,ia akan

81
80
mudah tertarik pada orang lain yang mendekati.
Faktor situasional
Banyak faktor situasional yang mempengaruhi atraksi, seperti:
a) Daya tarik fisik (rupa yang cantik atau ganteng, penampilan meyakinkan, pakaian
bagus/rapi,dan sebagainya). Umumnya orang akan tertarik pada penampilan fisik yang bagus,
dan mudah di-pengaruhi.
b) Ganjaran, yaitu orang cenderung menyenangi terhadap orang yang memberikan ganjaran,
pujian, bantuan, dukungan, dorongan, atau hal-hal yang menyenangkan.
c) Familiarity, yaitu orang cenderung menyenangi pada orang yang sudah dikenal
dengan baik. Dalam peribahasa Jawa dikemukakan "witing tresno jalaran soko kulino".
d) Kedekatan (proximity),yaitu orang cenderung menyenangi orang lain yang sering
berdekatan secara fisik (rumah, tempat duduk dll), maupun secara psikologis.
e) Kemampuan (competence), yaitu umumnya orang cenderung menyenangi orang-
orang yang memiliki kemampuan lebih tinggi,lebih berhasil daripada dirinya.
3. Kekuasaan(power
Kekuasaan adalah kemampuan menimbulkan ke-tundukan (compliance).Ketundukan tersebut
timbul karena adanya interaksi antara konselor dengan klien. Kekuasaan

81
80
ini menyebabkankonselor dapatt menyampaikan atau "memaksakan” kehendaknya pada
klien.Kekuasaan tersebut dapat bersumber dari:
a. Kekuasaan koersif,yaitu kemampuan komunikator (konselor) mendatangkan atau
memberikan ganjaran atau hukuman.
b. Kekuasaan keahlian, yaitu kekuasaan komunikator (konselor) yang diperoleh karena
keahlian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, ketrampilan, pengalaman dan sebagainya.
c. Kekuasaan informasional.
d. Kekuasaan rujukan, yaitu kekuasaan yang diperoleh karena konselor memiliki
karakteristik tertentu se-hingga menjadikan konselor sebagai rujukan bagi klien, klien dapat
kagum pada konselor, sehingga perilaku konselor diteladani.
e. Kekuasaan legal, yaitu kekuasaan yang diperoleh karena adanya peraturan atau norma
yang menyebabkan seseorang (konselor) memiliki kewenangan. Dalam masyarakat
paternalistik, kekuasaan legal ini sangat penting digunakan dalam memberikan pelayanan
konseling.
C. Karakteristik Konselor Secara Khusus
Sebagaimana dikemukakan di atas, seorang konselor harus memiliki kualifikasi
personal,kualifikasi profesional, dan ketrampilan khusus. Bagi konselor yang memberikan
layanan konseling lintas budaya, kualifikasi tersebut terkait dengan beragamanya budaya
klien yang dilayani,sehingga kualifikasi konselor sangat luas dan mungkin berbeda

83

82
antara satu klien dengan klien lainnya.
1.Kualitas personal/pribadi konselor
Pribadi konselor merupakan hal yang sangat essensial dan menjadi instrumen yang efektif
dalam konseling.Oleh karena itu Rollo May (1997:165) mengutip pendapat Adler bahwa
"bagi konselor teknik perlakuan (treatment) harus berada di dalam dirinya sendiri".
Munro dkk. (1979) mengemukakan bahwa tidak ada pola yang tegas tentang sifat atau ciri-
ciri kepribadian yang harus dimiliki konselor yang efektif, tetapi sekurang-kurangnya
konselor hendaknya memiliki sifat-sifat luwes, hangat, dapat menerima orang lain, terbuka,
dapat me-rasakan penderitaan orang lain, mengenal dirinya sendiri, tidak pura-pura,
menghargai orang lain, tidak mau menang sendiri, danobyektif. Penelitian terhadap ciri-ciri
kepribadi-an konselor amat sulit karena berbagai faktor, seperti ke-tidaksamaan bahasa,
masalah perbandingan dan pengukur-an, dan masalah pemakaian hasil pengukuran.
Association for Counseling Education and Supervision tahun 1964 yang dikutip oleh Singgih
Gunarso (1996:64) mengemukakan kualitas dasar kepribadian seorang konselor yaitu:
a. percaya pada setiap orang
b. menghayati nilai-nilai kemanusiaan setiap individu
c. peka terhadap dunia sekelilingnya
d. sikap keterbukaan
e. memahami diri sendiri
f. mengharyati professionalitas

83

82
Corey (1991) mengemukakan daftar kepribadian se. orang konselor,yaitu:
a. memiliki identitas
b.menghargai diri sendiri
c. bisa mengenal dan menerima kekuatan diri sendiri
d. terbuka akan perubahan
e.memperluas kesadaran terhadap diri sendiri dan orang lain
f.bersedia dan mentoleransikan keragu-raguan
g. mengembangkan konselingnya sendiri
h. bisa mengalami dan memahami dunia klien sekalipun empatinya bukan mau memiliki
(non-possessive)
i. merasa bebas dan pilihan-pilihannya berorientasi ke kehidupan
j. ia adalah ia sebagaimana adanya, tulus dan jujur
k. memiliki sentuhan humor
1. bisa berbuat salah dan bersedia mengakui kesalahan-nya
m.pada umumnya hidup pada waktu sekarang
n. menghargai pengaruh kebudayaan
o. mampu mencipta kembali dirinya sendiri
p. memiliki minat yang tulus terhadap kesejahteraan or-ang lain
q. terlibat dan memperoleh nafkah dari pekerjaannya
George dan Christiani (1981) mengemukakan ciri-ciri konselor yang efektif,yaitu:
a. membuka diri dan menerima pengalaman sendiri
b. menyadari akan nilai dan pendapatnya sendiri
c. bisa membina hubungan hangat dan mendalam dengan orang lain

84
85
d. bisa membiarkan diri sendiri dilihat orang lain sebagai-mana adanya
e. menerima tanggung jawab pribadi dari perilakunya sendiri
f. mengembangkan tingkatan apresiasi yang realistik
Belkin (1975:105) mengemukakan matriks kualifikasi pribadi konselor,yaitu:
Ao8 2u AAg Au ru 2oUmnn Pnaap mIP apl p4
THE ono mu mus pI on uopuoN gusod s No ax
COUNSELOR -40 O n Uog JIP
QUALITIES n S
MATRICQuali oun
ty uuo
o
Flexibility 。 。 。 0 0
Warmth 。 。。 。 。
Acceptance 0 。 。。 。 。
Empathy 。 。
Congruence 。 。 。 。
Honesly 。 。
Ability to artic 。 0
Intelligence 。 。 。
Interest 。 0 。 。
Caring 。 。。 。
Sincerity 。 。。 。
Security 。 。
Courage 。 。
Trust 0 。 。
Concreteness 。 。 。
Responsibitity 。
Dedication 。 。
Commitment 0 。

84
85
Professionalis
。 0 。 0 。 。 。 。
m
Cognitiveflex 。 。 。
Perceptivencas 。 。
Nonpossessive 。 。。
Self disclosing 。 。 。
Nonjudgement
0 。 。 。 。
al
Awareness of
。 。
tim
Tabel 3. Matrik Kualitas Konselor

84
85
84
2. Kompetensi professional konselor lintas budaya
Konselor yang memberikan pelayanan konseling lintas budaya,harus memiliki kompetensi
professional.Konselor pada umumnya, seperti pemahaman tentang manusia,pe-ngetahuan
tentang pengukuran, pengetahuan berbagai model atau teknik konseling, penguasaan
sejumlah infor-masi tentang pendidikan, pribadi, sosial, dan karir, pe-ngetahuan diagnosis
dan sebagainya.
Di samping kompetensi secara umum seperti di atas, konselor yang memberikan layanan
konseling lintas budaya harus memiliki sejumlah kompetensi yang terkait dengan konseling
lintas budaya. Sayangnya pendidikan dan atau latihan calon konselor umumnya kurang
memberikan kompetensi tentang konseling lintas budaya. Sue (1981:98) menekankan
beberapa hal yang diperlukan konselor dalam konseling lintas budaya, yaitu:
a. be aware of the sociopolitical forces that have impacted the mi-nority client,
b. understand that culture,class, and language factor can act and barriers to effective cross-
cultural counseling,
c. point out how expertness,trustworthiness, and lack of simi-larity influences the minority
client's receptivity to change/in-fluence,
d. emphasize the importance of worldviews/cultural identity in the counseling process.
Ivey dkk (1993:40) mencatat beberapa kompetensi dalam konseling multikultural, yang
mencakup empat dimensi yaitu tujuan, sikap dan keyakinan, pengetahuan, dan strategi
intervensi.

87
86
a. Tujuan: agar konselor sadar akan nilai budaya dan keyakinannya
1) Sikap-sikap dan keyakinan:
a) Peka terhadap budaya yang dibawa dan sadar akan pengaruhnya terhadap pemikiran, pe-
rasaan dan perilakunya.
b) Mengenal berbagai keterbatasan tentang kecakapan, kemampuan yang dimiliki.
c) Menyukai orang yang berbeda ras, etnis, budaya dan keyakinan dengan dirinya.
2) Memiliki pengetahuan yang mencakup
a) Menyadari betapa besar pengaruh latar belakang konsep ukuran/kriteria "normalitas"
setiap budaya dalam proses konseling.
b) Memahami konsep-konsep tentang rasisme, diskriminasi, stereotipe.
c) Memahami bagaimana gaya yang dimiliki setiap klien dari berbagai latar belakang
budaya.
3) Strategi intervensi
a) Mencari pengalaman melalui pendidikan/ latihan untuk pendidikan lanjutan, mencari
konsultasi dan refferal ketika diperlukan.
b) Berusaha untuk dapat memahami diri sendiri sebagai ras/budaya, dan secara aktif berusaha
membangun masyarakat non rasial.
b. Tujuan: konselor menyadari akan pandangan hidup klien
1) Sikap-sikap dan keyakinan Menyadari akan reaksi emosional dan stereotipe

87
86
yang negatif dalam hubungannya dengan kelompok lain.
2)Pengetahuan
a) Memiliki pengetahuan yang khusus tentang pandangan hidup, gaya budaya dan tingkat
identitas budaya pada klien.
b) Memahami betapa masalah-masalah budaya terkait dengan gaya personal seseorang, peri-
laku mencari bantuan, dan apakah perlu bantu-an khusus.
c) Familier dengan pengaruh sosial politik, seperti kemiskinan, rasisme, ketidakberdayaan
klien, dan pengaruhnya dalam proses kon-seling.
3) Strategi intervensi
a) Menguasai akan hasil riset dan temuan teori mutakhir tentang budaya kelompok yang
berbeda dengan budaya sendiri.
b) Mencari pengalaman pendidikan yang relevan.
c) Secara aktif terlibat dalam kegiatan kelompok minoritas, bersahabat, aktif secara sosial
politik, berlatih membantu kelompok mi-noritas.
c. Tujuan: menguasai strategi yang tepat secara budaya
1) Sikap-sikap dan keyakinan
a) Respek terhadap agama/keyakinan spiritual dan nilai-nilai klien, dan memahami pe-
ngaruhnya terhadap ekspresi problemnya.
b) Respek terhadap praktek bantuan pada pen-duduk asli, dan jaringan kerja bantuan pada

89
88
kelompok minoritas.
c) Memandang mereka yang berbahasalain sebagai aset, bukan hambatan.
2) Pengetahuan
a) Memahami tradisi konseling masyarakat Eropa yang mungkin berbeda dengan nilai
budaya tradisi lain.
b) Menyadari hambatan kelembagaan dan biasa dalam instrumentasi/pengukuran dan teknik
konseling.
c) Menyadari pengaruh keluarga dan masyarakat dalam proses konseling.
d) Memahami masalah-masalah rasisme, pe-nindasan dan sebagainya.
3) Strategi intervensi
a) Dapat menyampaikan pesan verbal dan non verbal secara akurat dan tepat.
b) Dapat menentukan apakah problem klien sebagai hasil dari faktor luar, seperti rasisme dan
bias-bias yang lain.
c) Menggunakan lembaga bantuan untuk membantu klien.
d) Dapat bekerja dengan pihak pembantu tradisional (dukun dll) dan para tokoh spiri-
tual.
e) Merujuk pada sumber/konselor yang lebih tepat jika konselor tidak bisa memahami
bahasa klien dengan baik.
f) Mengadakan pelatihan/pendidikan untuk memberantas penindasan.

89
88
g)Mendidik klien untuk mengembangkan pribadi klien dan pendidikan norma hukum yang
berlaku.
3. Ketrampilan khusus konselor
Konselor harus memiliki atau menguasai sejumlah ketrampilan khusus dalam
menyelenggarakan konseling lintas budaya.Ketrampilan tersebut merupakan bentuk ke-
cakapan motorik yang ditunjukkan dalam menyelenggara-kan proses konseling, mulai
menyiapkan konteks(tempat/ lingkungan konseling) sampai menutup atau mengakhiri suatu
kasus.
Ketrampilan-ketrampilan yang diperlukan dalam konseling lintas budaya, pada prinsipnya
sama dengan ketrampilan yang diperlukan dalam konseling pada umum-nya. Namun
demikian konselor dalam konseling lintas budaya harus melihat dalam konteks budaya
subyek yang dilayani, sebab setiap budaya memiliki sistem nilai,sistem sosial dan
kebudayaan fisik yang tidak sama.Misalnya ketrampilan dalam memperhatikan (attending)
terhadap beberapa klien yang berbeda budaya harus dilakukan dengan cara yang berbeda-
beda sesuai dengan budaya klien, demikian pula ketrampilan yang lain.
Beberapa jenis ketrampilan yang harus dimiliki kon-selor dalam konseling lintas budaya dan
selalu dikaitkan dengan konteks budaya antara lain:
a. Ketrampilan menyiapkan tata formasi atau menyiap-kan konteks seperti menyiapkan
tempat konseling, suasana ruangan, dekorasi dan sebagainya.
b. Ketrampilan memperhatikan (attending skills).

90
91
Ketrampilan memperhatikan ditunjukkan seperti kontak mata, bahasa/ isyarat tubuh (body
language), tekanan suara dan jarak ucapan (vocal tone and speech rate), physical space
(gesture tubuh, kedekatan dll) dan sebagainya. Klien suku Jawa kurang suka kalau di-
pandang terus, tidak suka dengan suara keras dan sebagainya.
c. Ketrampilan mengeksplorasi masalah. Ketrampilan ini seperti ketrampilan bertanya,
terbuka, ketrampilan en-couraging, paraphrasing/restatement, ketrampilan re-flection of
feeling, ketrampilan summarization, ketrampilan dorongan minimal, ketrampilan merespon
dan sebagainya.
d. Ketrampilan dalam mengembangkan inisiatif (me-rumuskan tujuan, mengembangkan
program).
e. Ketrampilan dalam mempengaruhi atau pemilihan strategi, seperti: ketrampilan
menginterpretasi, ketrampilan memilih strategi bantuan yang tepat, ke-trampilan memberikan
pengarahan, ketrampilan mem-berikan dukungan (reassurance), ketrampilan mem-berikan
advis atau informasi, ketrampilan memberikan umpan balik, ketrampilan logical
consequences, ketrampilan influencing summary dan sebagainya.
Berbagai ketrampilan tersebut akan dikomunikasikan secara berbeda pada klien yang berbeda
budayanya.
PERTANYAAN
Setelah selesai mempelajari bab ini, jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:

90
91
1. Jelaskan beberapa faktor yang berasal dari konselor, yang menjadikan konseling lintas
budaya tidak efektif.
2. Masalah credibility dan atractiveness dan kekuasaan merupakan kompetensi konselor yang
penting dalam konseling lintas budaya.Jelaskan!
3. Jelaskan kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki sebagai konselor pada konseling
lintas budaya:
a. kompetensi personal
b. kompetensi professional
c. ketrampilan khusus

93

92
DAFTAR PUSTAKA
Belkin,Gary S., (1975). Practical Counseling in the School.
Dubuque: William C.Brown.
Goerge,Rickey L.,& Cristiani Therese Stridde.(1981).Theory, Methode and Processes of
Counseling and Psychotherapy. New York:Prentice Hall,Inc.Englewood Cliffs.
Ivey, Allen E., Ivey Mary Bradford; Morgan Lynn Simek. (1993). Counseling and
Psychotherapy a Multicultural Per-spective (third edition). Boston:Allyn and Bacon.
Jalaluddin Rakhmat. (1994). Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosda Karya.
Muhammad Surya. (1988). Pengantar Konseling Pendidikan. Yogyakarta: Kota Kembang.
Munro, E.A., Manthel, R.J., Small, JJ. (1983). Penyuluhan (Counseling).Jakarta:Ghalia
Indonesia.
Rollo May. (1997).Seni Konseling (terjamahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Singgih D.Gunarso. (1996). Konseling dan Psikoterapi.Jakarta: BPK.Gunung Mulia.
Stewart,Norman R.,et.al. (1978). Systematic Counseling.New Jersey:Prentice Hall.
Sue,Gerald Wing.(1981).Counseling the Culturally Different, Theory and Practice.New
York:John Wiley & Sons.

93

92
EMPATI BUDAYA DALAM KONSELING
LINTAS BUDAYA

etelah mempelajari bab ini, diharapkan pembaca dapat:


1. Menjelaskan pengertian empati budaya.
2. Menjelaskan pentingnya empati budaya dalam konseling lintas budaya.
3. Menjelaskan dimensi-dimensi empati budaya dalam konseling lintas budaya.
4. Menjelaskan upaya untuk mengembangkan empati budaya.
A. Pendahuluan
Bagi para pendidik, guru, pemuka agama, konselor dan sebagainya, bahwa tujuan utama
mereka dalam menjalan-kan tugas layanannya adalah berusaha mempengaruhi orang lain
untuk diajak atau dibawa ke arah suatu yang diinginkan. Untuk dapat mempengaruhi fihak
lain,para orang tua, guru, pemimpin, konselor harus menampilkan suatu kompetensi tertentu.
Bagi konselor harus memiliki kompetensi professional dan personal, yang diantara
kompetensi personal adalah empati. Pengaruh merupakan salah satu hsil empati, dimana
terjadi empati,di situ akan

95
94
muncul pengaruh. Di mana ada pengaruh, kita dapat men-duga telah teradi beberapa
identifikasi keadaan-keadaan psikis.
Dalam bimbingan dan konseling,pembahasan masalah empati merupakan bahasan yang
sangat pokok,terutama dalam hal pembahasan konselor sebagai pribadi. Bagai-mana
kepribadian konselor itu berfungsi ? Bagaimana ke-pribadian konselor bertemu dan bereaksi
dengan lainnya? Menurut Rollo May (1997 :71) pertanyaan tersebut jawaban-nya ada pada
konsep empati. Empati adalah suatu istilah umum yang dapat digunakan untuk pertemuan,
pengaruh dan interaksi diantara kepribadian-kepribadian.
Masalah empati telah memiliki sejarah yang panjang dalam literatur konseling atau
psikoterapi.Tulisan-tulisan tentang topik itu telah ada sejak ada sejak tahun 1907,seperti pada
tulisan Freud terutama yang berkaitan dengan konsep transferensi, beberapa teori tentang
empati telah dikemuka-kan, meski dijumpai perkembangan dan perbedaan.Teori-teori
behavioristik, dengan paradigma positivistik, yang selalu menuntut obyektivitas, empirik,
terukur, agaknya sulit menerima konsep empati ini. Sementara para penganut humanistik dan
eksistensial akan sangat hati-hati dalam mempergunakan terminologi empati. Para seniman,
para penganut kebatinan, pengamal spiritual (meditasi, tarekat, dan lain-lain) banyak
mempraktekkan empati.
Jika empati diartikan bahwa seseorang masuk ke dalam diri orang lain dan menjadi orang
lain agar dapat merasakan dan menghayati orang lain, maka akan timbul kesan bahwa orang
tersebut akan kehilangan keakuan-nya, dan ini akan menjadi hambatan serius dalam
kepribadian seseorang atau

95
94
sering disebut splits personality. Kondisi seperti itu sangat tidak diinginkan oleh penganut
humanistik.Sementara itu ada pendapat lain yang menyatakan bahwa dengn ber-
empati,seseorang dimungkinkan bisa memahami orang lain, karena seseorang masuk dan
menjadi sama dengan orang lain, sehingga empati dianggap sebagai salah satu cara yang
efektif untuk memahami orang lain.
Dalam konseling lintas budaya yang melibatkan klien dan konselor yang berbeda budaya,
masalah empati budaya merupakan hal yang sangat penting, mengingat dalam konseling
lintas budaya banyak hambatan yang terjadi karena pemahaman budaya yang berbeda.
Sebagaimana dikemukakan oleh Pedersen yang dikutip oleh Prayitno dan Erman Amti
(1994) bahwa ada lima macam sumber hambat-an, yaitu perbedaan bahasa, komunikasi non
verbal,stereo-tipe, kecenderungan menilai dan kecemasan. Untuk meng-atasi hambatan
tersebut, maka konselor dalam konseling lintas budaya perlu melakukan empati budaya.
Persoalan empati budaya dalam konseling lintas budaya juga munculadanya isuetic
danemic,sebagaimana dikemukakan oleh Fukuyama yang dikutip oleh Handarini (1997). Isu
etic menyangkut pemahaman klien dilihat dari budaya luar (dalam hal ini budaya konselor
atau budaya lain). Isu emic mengacu pada pandangan bahwa pemahaman terhadap klien
harus dilihat dari sudut pandang budaya klien. Masalah emic ini menuntut keterlibatan
empati dalam konseling.
B. Konsep Empati Budaya
Empati merupakan terjemahan dari "einfiihlung" yang banyak ditulis oleh psikolog Jerman,
yang berarti memasuki

97
96
perasaan orang lain (feeling into), atau berasal dari perkataan Yunani"pathos" yang artinya
perasaan yang mendalam atau kuat. Hampir sama dengan arti simpati, hanya simpati
menunjukkan perasaan yang menyertai (feeling with).
Rollo May (1997 :71) menyatakan "Pada simpati me-nunjukkan adanya perasaan yang
menyertai dan bisa mem-bawanya ke dalam sentimental, sedangkan pada empati mengacu
pada keadaan identifikasi kepribadian yang lebih mendalam kepada seseorang, sedemikian
sehingga sese-orang yang berempati sesaat melupakan atau kehilangan identitas dirinya
sendiri.
Konseng (1996) juga menjelaskan bahwa pada simpati, unsur yang paling dominan adalah
emosional, sehingga seringkali menjadikan seseorang meleburkan diri pada orang lain,
selanjutnya menjadikan sikap yang tidak obyek-tif dalam melihat orang lain. Pada empati
unsur dominan tetap pada rasional, sehingga empati dikatakan sebagai identifikasi rasional
terhadap perasaan, pikiran dan pengalaman orang lain.
Dalam berbagai literatur dijumpai berbagai definisi tentang empati, meski antara satu definisi
dengan yang lain tidak sama, dan dijumpai perkembangan dari waktu ke waktu. Ada teori
yang menyebut empati sebagai sesuatu yang kompleks, konstruk yang multi dimensional.Ada
yang mengajukan empati mengandung dimensi cognitive,affective,
perseptual,somatic/kinesthetic,apperseptual dan communicative (Ridley dan Lingle, 1996).
Empati tidak saja berkaitan dengan aspek kognitif, tetapi juga mengandung aspek affektif,
dan ditunjukkan dalam gerakan, cara ber-komunikasi.

97
96

96
Banyak ahli konseling/psikoterapi modern menekan-kan komunikasi sebagai suatu hal yang
sangat penting dan essensial dalam empati. Marcia,yang dikutip oleh Ridley dan Lingle
(1996) mengemukakan permasalahan komuni-kasi dalam empti, yaitu banyak psikoterapis
atau konselor yang berempati tetapi tidak ditunjukkan dalam cara komunikasi dengan klien.
Hal ini dapat terjadi karena tiga sebab,yaitu:
1. Konselor tidak memberikan komunikasi empatik karena konselor ingin membesarkan hati
klien.
2. Konselor tidak menunjukkan komunikasi yang empatik, meskipun konselor berempati,
namun tidak dapat mengkomunikasikan empatinya.
3. Konselor berempati dan menunjukkan dalam ber-komunikasi, namun tidak
terkomunikasikan kepada klien.
Singgih D.Gunarso (1996:74-76) mengutip definisi empati dari beberapa ahli, yaitu George
dan Cristiani, bahwa empati “sebagai kemampuan untuk mengambil kerangka berpikir klien,
sehingga memahami dengan tepat kehidupan dunia dalam dan makna-maknanya dan bisa
dikomunikasikan kembali dengan jelas terhadap klien". Stewart mengartikan empati sebagai
kemampuan untuk menempatkan diri di tempat orang lain supaya bisa me-mahami dan
mengerti kebutuhan dan perasaannya.Ia meng-shoes". Ivey mengartikan empati
menuntutuntuk masuk ke pandangan dunia klien, dan untuk melihat dengan mata mereka dan
selanjutnya “to walk in their shoes”..

99

98
Agaknya definisi-definisi di atas menunjukkan seakan-akan konselor larut dalam dunia klien.
Kondisi seperti itu sangat dikhawatirkan oleh para ahli, bahwa dengan ber-empati konselor
dapat kehilangan individualitasnya sendiri, larut dalam kehidupan klien, tanpa kehilangan
identitas dirinya."Yet terapist must not lose their separatedness". Ivey dkk (1987) mengutip
Rogers yang mengingatkan "Jika terapis bisa menangkap dunia pribadi klien sebagaimana
melihat dan merasakan, tanpa kehilangan keberbedaannya dari identitasnya sendiri,
perubahan konstruktif niscaya akan terjadi. Oleh karena itu Rogers menambah istilah em-
pathic menjadi empathic understanding.
Rollo May (1997) menggambarkan seorang yang sedang berempati, ibarat seorang pemain
bowling, setelah me-lempar bola, pemain ikut bergerak menggoyangkan bahu-nya seakan
mengikuti atau mengarahkan gerakan bola.Atau seorang penonton sepak bola yang kakinya
ikut bergerak seakan ikut menendang bola. Rollo May (1997:74)menyata-kan “Inilah yang
disebut empati. Suatu kepribadian yang ikut merasa dan berfikir ke dalam kepribadian lain
sehingga tercapai suatu identifikasi. Dalam identifikasi ini pe-mahaman antar manusia yang
sebenarnya dapat terjadi".
Selanjutnya dalam kaitannya dengan empati budaya (cultural emparhic), Ridle dan Lingle
(1996) mengutip definisi dari beberapa ahli tentang empati budaya. Erikson (1990)
menggambarkan empati budaya adalah kemampuan umum atau sikap yang menjembatani
kesenjangan budaya antara terapis dan klien. Mereka menjelaskan bahwa terapis yang
berempati budaya dapat menggunakan bagian dirinya didalam memahami, menerima,
perasaan yang menyertai klien.

99

98
Ivey, Ivey and Simek-Morgan (1993 : 21) menggambar-kan "The use empathy in
multicultural counseling as seing the world throught another's eyes,hearing as they might
hear,and feel-ing and experiencing their internal world".Empati bukanlah mencampurkan
pikiran dan tindakan konselor ke dalam diri klien. Ivey dkk selanjutnya menjelaskan bahwa
empati budaya berlangsung dalam tiga tahap, yaitu :
1. Konselor mendengarkan dan mengamati klien dan respons klien.
2. Konselor memperoleh kesan dari klien dan mencoba untuk membawa dan membangun
suatu respons.
3. Konselor mengecek akan hasil respons yang diberikan.
Ridley dan Lingle (1996 : 28) mencatat pendapat Wispe (1968) mengenai komponen empati,
yaitu :
1. Self-conscious awareness of the consciousness of other;
2. Perception of the other person's thought,feeling and physical movement;
3. Attentions to the feelings og another to the degree that one is able to feel the other's pine.
Ridley dan Lingle (1996 : 32) setelah mengkaji beberapa definisi akhirnya mengajukan
tentang pengertian empati budaya,yaitu"Cultural empathy as the learned ability of counse-
lors to acurately gain an understanding of the self-experience of client from other cultures-an
understanding informed by counselor's interpretation of cultural data.Cultural empathy also
involves the ability of counselors to communicate this understandingeffectively with an
attitude of concern for culturally different client".
Empati budaya merupakan kecakapan konselor yang dipelajari untuk secara akurat
memahami pengalaman-

100
101
pengalaman diri klien dari budaya yang berbeda, me-mahami informasi dan
menginterprestasi data-data kultural. Empati budaya juga melibatkan kemampuan konselor
untuk mengkomunikasikan pemahamannya secara effektif dengan sikap/permasalahan pada
klien yang berbeda budaya.
Berdasarkan definisi tersebut ada beberapa ciri-ciri empati budaya yaitu:
1. Empati budaya itu merupakan sesuatu yang ber-dimensi jamak (multidimensional), yaitu
mencakup aspek perseptual-affective-cognitive-communicative process.
2. Empati budaya merupakan proses inter personal (in-terpersonal process), yaitu dalam
berempati ber-langsung suatu proses, yaitu proses memahami dan proses mengkomunikasi.
3. Kesamaan budaya antar konselor dengan klien dapat membantu empati tetapi tidak
menjamin dicapainya empati. Meski konselor yang memiliki kesamaan budaya dengan klien
lebih mudah menangkap pesan budaya klien, tetapi tidak selalu dapat memahami secara
adekwat.
4.Empati budaya tidak tergantung pada netralitas budaya.
5. Empati budaya itu dapat dipelajari.
Dalam hal empati, Egan (1975) dalam Singgih Gunarso (1996) membedakan dua tipe empati
untuk memahami empathic understanding, yaitu:
1. Empati primer, yaitu empati sebagaimana dikemuka-kan oleh Rogers.
2. Empati lanjutan (advanced accurate empathy), yaitu

100
101
konselor memberikan lebih dari dirinya dan seringkali membutuhkan upaya langsung untuk
mempengaruhi klien.
C. Tujuan Empati Budaya Dalam Konseling
Konseling lintas budaya melibatkan budaya klien dan konselor yang berbeda.Perbedaan
tersebut seringkali menimbulkan hambatan dalam proses konseling.Perbedaan bahasa (verbal
atau non verbal), stereotipe tertentu men-jadikan konselor kurang dapat memahami dan ber-
komunikasi sesuai keadaan klien yang sebenarnya, demi-kian pula klien juga kurang dapat
memahami pesan-pesan yang dibawa oleh konselor, yaitu konselor memasuki dunia budaya
klien (tanpa kehilangan dirinya), sehingga dapat memahami, merasakan sebagaimana klien
memahami dan merasakan dan dapat mengkomunikasikan pemahaman tersebut secara tepat.
Ridley dan Lingle (1996) mencatat beberapa alasan adanya empati budaya, yaitu:
1. Ada asumsi bahwa konselor memerlukan melibatkan faktor-faktor budaya di dalam setiap
tahap dalam kon-seling lintas budaya. Dengan empati budaya konselor mengembangkan
pemahaman dengan melibatkan data budaya.
2. Dengan informasi budaya, konselor akan dapat merasakan dalam budaya klien
(idiographic).
3. Konselor diharapkan dapat memelihara penampilan secara relatif, berkenaan dengan
pemahamannya akan cara berfikir, perasaan, dan tingkah lakunya dari budaya klien yang
berbeda dengan budaya dirinya.

103
102
Rogers (dalam Singgih Gunarso:1996:72)menyatakan "ada tiga atribut penting supaya
konselor agar bisa mem-buat suasana untuk memungkinkan seseorang berkembang ke arah
sesuatu secara optimal, yaitu empati, kewajaran atau keadaan sebenarnya (genuiness and
realness) dan pe-nerimaan (acceptance)".Bahkan Rogers sampai mengatakan "no other
condotiins are necessary".
Secara umum tujuan dari empati budaya adalah untuk memperoleh informasi dan untuk
membangun aliansi terapeutik. Secara lebih khusus tujuan empati adalah untuk memahami
beberapa aspek pengalaman seseorang. Mode pemahaman tersebut mencakup pemahaman
aspek kognitif, seperti cara berfikir,imaginative transposing,symbol interpretation, memory
association,self-other distintion,and the use of prior knowl-and reverberation. Di samping itu
pemahaman juga mencakup aspek perceptual, apperceptual, kinesthetic/somatic modes.
Empati kognitif berkaitan dengan pemahaman sesuatu sesuai dengan pikiran, kesadaran klien.
Empati affektif dengan pemahaman sesuatu sebagaimana klien merasakan.
Dengan melakukan empati budaya, diharapkan mampu memahami klien dan merespon
terhadap klien se-suai dengan self-experience klien. Kondisi seperti itu akan membangun
hubungan teraputik, dimana disadari atau tidak akan terjadi proses pengaruh,identifikasi dari
konselor kepada klien..
D. Dimensi-dimensi Empati Budaya.
Sebagaimana dijelaskan dalam konsep empati budaya, bahwa empati budaya merupakan
konsep yang multidi-

103
102
mensional.Untuk membahas masalah model empati budaya ini,Redley dan Lingley (1996)
mengemukakan suatu model empati budaya. Ia membagi dua bentuk empati, yaitu pe-
mahaman empatik budaya dan responsempati budaya (cul-tural empathic understanding and
cultural empathic responsive-ness), sebagai superordinat. Dibawahnya atau bagian sub-
ordinatnya terdapat proses kognitif, affektif,dan komuni-kasi. Dibagian lain ia juga
memasukkan proses cultural sen-sitivity sebagai prerequisite bagi empati budaya yang
effektif.
Berdasarkan model empati budaya (gambar di bawah ini) dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Proses superordinat
Pada proses ini terdapat dua atribut penting empati, yaitu cultural emphatic understanding
(pemahaman empati budaya), dan cultural emphatic responsiveness (respon budaya yang
empatik). Pada cultural empathic understand-ing, sebelum konselor memberikan respon
kultural secara empatik, konselor harus memahami setiap klien sebagai individu yang unik.
Pemahaman merupakan proses merasa-kan atau menangkap makna sesuatu. Setiap individu
me-miliki pengalaman diri yang unik, seperti perasaan, sikap pemikiran, nilai, motivasi,
perilaku dan sebagainya,yang oleh Rogers disebut Self-Experience.

105
104
Gambar 5. Model Empati Budaya (Redley dan Lingley, 1996)
Semua self-experrience berhubungan dengan budaya. Seseorang merupakan produk dan
dibentuk oleh budaya-nya, ia menerima, mengambil nilai-nilai, asumsi-asumsi yang
ditanamkan dalam budayanya. Konselorharus me-mahami klien dengan segala budaya yang
dibawa. Cultural empathic understanding adalah suatu proses merasakan makna dari self-
experience klien dari budaya yang berbeda. Untuk mencapai hal ini bukanlah hal yangmudah
meski demikian harus selalu diusahakan.
Cultural empathic responsiveness. Konselor harus mengkomunikasikan secara empatic
pemahaman terhadap klien, jika tidak dapat begitu,maka konselor tidak akan

105
104
efektif dalam melakukan konseling.Banyak klien yang tidak atau kurang merasakan apa yang
difahami konselor.Hal ini dapat terjadi karena konselor salah dalam mengkomunikasi-kan
empatinya,atau klien tidak bisa menangkap komunikasi yang disampaikan konselor. Respon
empati budaya dapat diwujudkan dalam komunikasi verbal maupun non verbal. Respons
verbal akan lebih effektif jika dilakukan dengan bahasa klien, sesuai dengan suasana klien.
Respons non ver-bal harus dilakukan sesuai dengan budaya klien.
Sensitivitas budaya
Sensitivitas budaya sebagai prasarat adanya empati budaya adalah kecakapan konselor untuk
mendapatkan, mengembangkan, dan secara aktif menggunakan skema budaya secara akurat
dalam konseling lintas budaya. Sensitivitas budaya merupakan prerequisit adanya empati
budaya. Konselor harus langsung memperhatikan aspek-aspek yang relevan dengan self-
experience klien sebelum memberikan makna, selanjutnya menginterpretasikan data kultural
yang relevan dengan klien. Untuk dapat meng-interpretasikan data, pertama konselor harus
menjadi peka/ sensitif pada klien. Untuk menjadi peka pada data kultural, konselor harus
tanggap. Proses tersebut digambarkan sebagai berikut:
Perception→Sensitivity→Interpretation
Agar memiliki kepekaan budaya, konselor harus mampu menetapkan tujuan dan melakukan
pengumpulan informasi, konselor harus secara aktif memiliki perhatian yang selektif, harus
memiliki motivasi, harus mampu

107
106
membuat skema tentang informasi budaya yang ditangkap.
2. Sub-ordinate Processes
Pada subordinate processes, terdapat proses kognitif, afektif dan komunikatif.
a. Proses kognitive
Dalam proses kognitif konselor yang berempati kultural akan melibatkan aspek kognitif dari
self-experience klien. Dalam hal ini ada dua aspek yang pokok, yaitu Perspektive Taking dan
Cultural Self-Other Differentiation.Dalam empatic understanding, konselor tidak dapat
melakukan dengan menggunakan kerangka pikir luar, atau “the out-side in”. Konselor harus
melakukannya dengan mengguna-kan kerangka pikir klien, memahami menurut perspektif
klien“walking in the patien's shoes".
b. Proses affective
Dalam proses affektif, ada dua hal yang penting, yaitu perasaan seolah mengalami sendiri dan
mengungkapkan atau mengekpresikan masalah klien. Dalam empati yang sifatnya afektif ini
konselor harus mampu seakan merasakan apa yang dirasakan klien. Di samping itu konselor
harus mampu mengekspresikan perasaan atau permasalahan klien.Ekspressi perasaan atau
masalah klien itu akan menunjukkan adanya minat yang sejati terhadap masalah-nya, konflik-
konfliknya, hambatan-hambatannya dan sebagainya. Jika konselortidak menunjukkan
demikian seringkali menjadi kehilangan motivasi untuk berubah.

107
106

106
c. Proses communicative
Pada proses komunikasi ini ada duahal yang penting, yaitu pemeriksan akan pencerahan
klien dan menyampai-kan pemahaman secara akurat.Dalam upaya memahami klien,konselor
harus tampil secara luwes dan postur yang tidak dibuat-buat,mendengarkan dan
memperhatikanucap-an-ucapan klien, dan mengumpulkan informasi-informasi tentang klien.
Cara memeriksa klien untuk memahami itu harus dikomunikasi dengan cara yang benar.
Setelah me-mahami klien, pemahaman tersebut harus dikomunikasikan secara akurat atau
tepat, supaya klien tahu bahwa konselor telah memahami keadaan dirinya. Dalam hal ini
tugas kon-selor adalah menuliskan atau menyampaikan pemahaman tersebut dengan bahasa
yang mudah difahami klien.
Dalam hal melakukan empati budaya dalam konseling lintas budaya, Ridley dan Lingle
(1996:41)menggambarkan model-model konselor dalam berempati budaya, yaitu :
Cultural Empathic Understanding
accurate inacurate

Effective CounselorRes CounselorRes


ponseMode I ponseMode I
Effective
Responsiveness
Cultural Empathic
Inefective CounselorRes CounselorRes
ponseMode ponseMode
In IV

Gambar 6.Model Pemahaman dan Respon Empati Budaya

108
Berdasarkan skema di atas, dalam berempati budaya, ada empat kemungkinan penampilan
konselor, yaitu:
1. Konselor dapat melakukan pemahaman empati budaya secara akurat dan merespon secara
efektif.Model ini menunjukkan konselor memiliki ketrampilan dalam konseling lintas
budaya,sehingga proses konseling akan berjalan secara efektif.
2. Konselor melakukan pemahaman empati budaya tidak akurat, tetapi dapat merespons
secara akurat. Pada model ini konselor gagal dalam memberikan layanan konseling lintas
budaya. Meskipun konselor dapat melakukan komunikasi atau melakukan respons secara
empati, tetapi apa yang dikomunikasikan tersebut tidak didasarkan pada pemahaman empati
yang akurat,se-hingga apa yang dikomunikasikan tersebut tidak benar dan disalah artikan
(misunderstanding) tidak sesuai dengan self-experience klien. Ungkapan berikut ini
merupakan contoh model ke dua ini “Saya bisa me-mahami anda bermasalah, saya tahu anda
sedang stress, tetapi saya tidak begitu faham tentang budaya anda".
3. Konselor dapat melakukan pemahaman empati budaya secara akurat, tetapi
meresponnya secara tidak effektif. Kegagalan dalam berempati budaya ini disebabkan karena
konselor tidak memiliki kecakapan ber-komunikasi, dan tidak mampu mengekspresikan atau
memantulkan permasalahan klien. Meskipun konselor memahami, namun klien tidak merasa
adanya ke-untungan dalam konseling. Respon-respons kónselor sering kali membingungkan
klien, bisa jadi klien malah bertambah frustasi.
109

108
4. Konselor tidak dapat melakukan pemahaman empati budaya secara akurat, dan tidak dapat
meresponsnya secara effektif. Kondisi seperti ini menunjukkan konselor tidak berkompeten
dalam pelayanan kon-seling lintas budaya. Jika memberikan layanan kon-seling,maka proses
konseling akan menjumpai banyak hambatan.
E. Mengupayakan Berempati Budaya Dalam Konseling
Paparan berikut ini masih menguraikan hal yang sama dengan uraian sebelumnya, namun
cenderung diarahkan pada upaya meningkatkan ketrampilan dalam berempati budaya.
Rollo May (1997:76) mengutip tulisan Adler tentang empati, yaitu “Empati terjadi pada saat
seorang manusia berbicara (satu sama lain). Tidak memungkinkan untuk memahami individu
lain jika tidak memungkinkan pula mengidentifikasikan diri dengan lawan bicara...".
Salah satu prinsip dalam hal pencapaian hubungan dengan orang lain meliputi kemampuan
menggunakan bahasa orang lain. Bahasa merupakan saluran umum untuk berempati. Dua
orang yang telah mengembangkan iden-tifikasi personal sampai ke tingkat tertentu secara
otomatis akan menggunakan model bicara yang sama satu sama lain-nya. Jika kita
mengunjungi suatu desa di Jawa, dan ber-bincang dengan penduduknya dengan bahasa jawa
di desa itu, maka kita akan merasakan atau mengalami perasaan empati yang tebal dengan
penduduk desa itu,hal ini berbeda dengan kalau kita menggunakan bahasa Indone-sia. Kita
dapat melihat tingkat empati antara konselor

110
111
dengan klien, dengan melihat kemampuan konselor ber-bicara dengan bahasa kliennya.
Penggunaan bahasa ini mencakup bahasa verbal maupun bahasa isyarat. Dalam
menggunakan bahasa ver-bal harus memahami logat, sastra, tatakrama, rasabahasa dan
sebagainya, sehingga keterlibatan kita akan lebih men-dalam. Dalam hal bahasa non verbal,
banyak komunikasi kita lakukan dengan bahasa ini, dan seringkali tidak kita sadari, seperti
gestur tubuh, eksperesi wajah yang sangat halus, mengernyitkan dahi sekilas, serta gerakan-
gerakan lain. Semua ekspressi non verbal tersebut membawa pesan. pesan tertentu dari orang
yangdiajak berkomunikasi.
Berpartisipasi dalam kehidupan klien akan memberi. kan pemahaman yang lebih intim dan
berarti terhadap mereka. Seorang pawang harimau di kebun binatang misal. nya akan dapat
memahami dunia harimau bahkan seakar mengerti bahasa harimau. Orang islam yang
menjalankar tarekat atau suluk dengan mengamalkan suatu amalar (gerakan, dzikir, tarian)
menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan, dapat mencapai tingkat “ekstase" (kehilang an
kesadaran diri, dan seakan larut dalam dunia Tuhan),
Untuk mengerti makna cinta, kita harus berpartisipasi ke dalamnya. Dengan cara demikian
kita mengalami dan mengetahui nilai-nilai tersebut dalam setiap denyut nadi kita.
Pemahaman dalam bentuk partisipasi akan datang dengan sendirinya. Tidak mungkin kita
dapat mengenali orang tanpa kita masuk dalam dunianya, mencintai dan menyayangi. Cinta
akan membawa perubahan pada diri orang yang mencintai maupun yang dicintai, kedua
pihak

110
111
cenderung akan lebih mirip antara satu dengan yang lain. Cinta membawa kekuatan
psikologis yang besar,dan merupakan kekuatan yang besar dalam mempengaruhi dan
merubah kepribadian.
Empati bagi konselor bukanlah berarti mengidenti-fikasikan pengalaman dirinya dengan
konseli.Ungkapan seperti"ya saya juga pernah mengalami hal seperti apa yang sedang kamu
alami". Pernyataan tersebut merupakan nos-talgia konselor, dan merupakan sikap
egosentrisme. Sikap tersebut harus dijauhi dalam konseling. Meski demikian, dalam
konseling pengalaman konselor sangat berarti dan akan memberikan sumbangan secara tidak
langsung.
Kejujuran, keaslian, ketulusan dalam berkomunikasi akan sangat membantu membangun
suasana empati. Dengan keaslian atau kejujuran seseorang akan mengijinkan orang lain
melihat, masuk ke dalam dirinya. Seperti dikata-kan Jourad (dalam Corey, 1986) bahwa
ketertutupan akan direaksi dengan ketertutupan, dan keterbukaan akan direaksi dengan
keterbukaan. Dengan kejujuran orang akan dapat lebih masuk ke dunia orang lain, melihat
orang lain dari dalam, sehingga dapat dicapai tingkat pemahaman yang empatik.
Diantara hasil yang penting adanya empati adalah ada-nya pengaruh. Pengaruh tersebut dapat
beragam bentuk-nya,seperti:
1. Penyerapan ide atau pikiran dari satu orang oleh orang lain.
2. Pengaruh sementara kepribadian, seperti dua orang yang bercakap-cakap cenderung akan
menirukan gerakan, intonasi lawan bicaranya. Jika seorang masuk

112
113
ruangan tergopoh-gopoh dan berbicara dengan nada tinggi,maka lawan bicaranya akan
menanggapi nada rendah, halus, maka orang yang baru masuk tersebut akan mengubah
intonasi suaranya.
3. Pengaruh kepribadian secara umum dan sifatnya lebih permanen, yaitu individu
mengambil peran atau pola kepribadian yang lain sampai batas-batas waktu ter-tentu, seperti
seorang mahasiswa akan menirukan gaya bicara/ gerakan dari dosen favoritnya.
Proses pengaruh-mempengaruhi dalam empati tersebut seringkali terjadi dalam keadaan tidak
disadari oleh kedua belah pihak. Sebagai konselor perlu menyadari tindakan, ucapan,
pikirannya sedikit atau banyak akan berpengaruh pada konseli. Jika konselor neuroses, maka
konselor ter-sebut akan menyebarkan virus neurosis.
PERTANYAAN
Setelah saudara selesai membaca bab ini, jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini.
1. Jelaskan perlunya empati budaya dalam konseling lintas budaya.
2. Jelaskan konsep empati budaya.
3. Kemukakan tujuan empati budaya dalam konseling lintas budaya.
4. Jelaskan model empati budaya dalam konseling
a. Dimensi empathic understanding dan empathic responsivenes).
b. Dimensi cognitive, affective,dan communicative.
5. Jelaskan upaya-upaya mengembangkan empati budaya

112
113
DAFTAR PUSTAKA
Corey,Gerald. (1986).Teori dan Praktek Konseling dan psikoterapi.Bandung: Remaja Karya.
Handarini,Danny,(1997). Konseling lintas budaya, makalah Konvensi IPBI.Purwokerto.
Konseng,A.(1996). Konseling pribadi,dengan model konseling Carkhuff.Jakarta:Obor.
Prayitno dan Erman Amti.(1994).Dasar-dasar Bimbingan dan konseling.Jakarta:Dirjen Dikti.
Ridley, Chaerles E., Lingle, Danielle W.(1996). Cultural em-pathy in multicultural
counseling,In Counselingacross cul-ture. (Editor : Pedersen Paul et.al). London:sage Pub-
lications.
Rollo May. (1997). Seni Konseling (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Singgih D.Gunarso.(1996). Konseling dan Psikoterapi.Jakarta: BPK Gunung Mulya.

114
Bagian Kedua
KEBUDAYAAN, KONTAK ANTAR BUDAYA
DAN KEPRIBADIAN

114

114
KEBUDAYAAN DAN KONTAK
ANTARBUDAYA
TUJUAN UMUM

114
etelah mempelajari Bab ini,diharapkan pembaca memiliki pemahaman mengenai kebudayaan
dan kontak antar budaya.
TUJUAN KHUSUS
Setelah mempelajari Bab ini diharapkan pembaca mampu:
1. Menjelaskan konsep kebudayaan
2. Menjelaskansistem kebudayaan dan unsur kebudayaan
3. Menjelaskan level budaya atau jenis budaya
4. Menjelaskan faktor-faktor adanya kontak antar budaya
5. Menjelaskan dampak kontak antar budaya
A. Kebudayaan
Manusia merupakan makhluk yang dilengkapi dengan berbagai perangkat hidup (potensi-
potensi dan kapasitas), yang digambarkan oleh Dryden & Vos (2000) otak manusia adalah
ibarat raksasa yang sedang tidur. Dalam ajaran agama, manusia disebut makhluk yang paling
mulia/ sempurna dibanding makhluk lainnya. Dengan kelengkap-

114
an yang dimiliki manusia menjadi makhluk yang ber-budaya. Kebudayaan lahir sebagai
reaksi adanya tuntutan kebutuhan hidup dan tuntutan lingkungan. Dengan adanya tuntutan
tersebut manusia menciptakan sesuatu dengan budidayanya, sehingga melahirkan suatu
kebudayaan.
Kebudayaan dapat diartikan sebagai semua hasil budi-daya manusia, baik yang berbentuk
material maupun non-material. Kuntjaraningrat (1981: 193) mengatakan "ke-budayaan
adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat”. Kebudayaan dapat diartikan sebagai pola berfikir dan bertindak,
yang merupakan suatu common heritage yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat yang
berbentuk kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai,bahasa,ide-ide,dan artifak.
Ali Saifullah (1982) mengutip pendapat Edward B.Tylor, dan Freeman Butts. Tylor
menyatakan “Culture is that com-plex whole which includes knowledge,belief,art, moral,law,
cus-tom,and any other capabilities and habits aquired by man as a mem-ber of society".Butt
menyatakan “culture is a concept for the sum total ofways of living of human society" atau
culture is the whole matrix of political,economic, social,religious institutions as well to
public endervours".
Berry dkk (1999:324) mengutip pendapat Linton, yang secara singkat menyatakan "budaya
berarti keseluruhan bawaan sosial umat manusia”. Herkovits menyatakan budaya adalah
"bagian buatan manusia yang berasal dari lingkungan manusia".
Dari beberapa definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa kebudayaan itu merupakan sesuatu
yang dilahirkan

119
118
atau diciptakan oleh manusia, karena itu kebudayaan sifatnya dinamis yang selalu
berkembang dan berubah.Ke-budayaan itu bukan merupakan suatu pembawaan,adanya
karena diadakan oleh manusia, melalui suatu proses (sosialisasi,pendidikan dll).Herkovits
(dalam M.Munandar Sulaiman, 1992: 11) mengajukan proposisi tentang teori kebudayaan,
yaitu :
1. kebudayaan dapat dipelajari
2. kebudayaan berasal atau bersumber dari segi biologis, lingkungan, psikologis, dan
komponen sejarah eksistensi manusia.
3. Kebudayaan mempunyai struktur
4. Kebudayaan dapat dipecah-pecah ke dalam berbagai aspek
5. Kebudayaan bersifat dinamis,
6. Kebudayaan mempunyai variabel
7. Kebudayaan memperlihatkan keteraturan yang dapat dianalisis dengan metode ilmiah
8. Kebudayaan merupakan alat bagi seorang (individu) untuk mengatur keadaan
totalnya dan menambah arti bagi kesan kreatifnya.
Kebudayaan mencakup segala sesuatu dalam kehidup-an manusia, dan kebudayaan tersebut
memiliki fungsi sebagai pembimbing bagi tingkah laku manusia dalam hubungannya hidup
bersama. Karena itu kebudayaan sering digunakan untuk menjelaskan way of life suatu
masyarakat. Kebudayaan memberikan warna dalam segala aspek kehidupan masyarakat.
Bentuk kebudayaan sebagai produk budi-daya manusia sangat beragam, baik yang sifatnya
material cul-

119
118
ture dan nonmaterial culture. Nonmaterial culture oleh Glazer dan Glazer (1982:42) diartikan
sebagai knowledge,be-lief,art,morals,laws,custom and any other capabilities and habits
acquired by man as a member of society.Sedangkan material cul-ture yang dimaksudkan
adalah benda-benda buatan ma-nusia seperti pakaian, alat-alat, atau tempat tinggal,tekno-logi
dan sebagainya.
Salah satu aspek yang paling mendasar dalam mem-pelajari kebudayaan adalah komunikasi.
Komunikasi ialah the interchane of thought,opinion,or information through language (Rose,
Glazer and Glazer, 1982:42). Jadi bahasa lisan, tulis, gesture, signs, dan simbol-simbol
merupakan sarana untuk menyebarkan kebudayaan. B. Malinowski (dalam Sulaiman,
1992:13) mengemukakan tujuh unsur kebudayaan yaitu “bahasa, sistem teknologi, sistem
mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, kesenian".
Kuncaraningrat (1981) menyebut adanya tiga sistem kebudayaan,yaitu:
1. Sistem budaya, yang merupakan kompleks ide-ide, gagasan yang menjadi sumber inspirasi
dan orientasi, yang mengatur dan memberi arah dalam menghadapi masalah kehidupan
manusia. Sistem budaya ini sering disebut nilai budaya atau orientasi nilai budaya. Sistem
budaya ini tidak dapat diraba dan diamati, ia terletak pada pemikiran sekelompok
masyarakat.
2. Sistem sosial, yaitu tindakan berpola dari suatu kelompok masyarakat. Sistem sosial
ini terdiri dari pola aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, serta bergaul satu
dengan yang lain dari waktu ke waktu. Sistem ini dapat diobservasi, diamati,tetapi

121
120
tidak dapat diraba.
3. Kebudayaan fisik, merupakan keseluruhan hasil fisik, perbuatan dan karya manusia dalam
sekelompok masyarakat. Oleh karena itu sifatnya paling konkrit, dapat berupa benda-benda
atau sesuatu yang dapat diraba.
Salah satu aspek yang penting dalam kebudayaan ada-lah masalah nilai budaya. Dalam hal
ini Kluckohn (Kuntjaraningrat, 1990) mengetengahkan lima orientasinilai hidup manusia
yaitu :
1. Makna hidup manusia (evil,mixture of good and evil,good)
2. Makna hubungan alam sekitar (subjugation to nature, harmony with nature,mastery over
nature)
3. Persepsi waktu (past, present,future)
4. Makna pekerjaan, karya atau aktivitas (being, being-in becoming,doing)
5. Makna hubungan manusia dengan manusia (lineality, collaterality,individuality).
Kebudayaan, dapat dilihat dari berbagai tingkatan. Pedersen (1980) mengemukakan adanya
tiga level analisis untuk mempelajari kebudayaan, yaitu tingkat internasional atau bangsa,
tingkat etnis dan tingkat dalam etnis.
1. Kebudayaan tingkat internasional yaitu perbedaan budaya antar bangsa, yang
perbedaannya sangat tampak, seperti budaya Melayu,budaya Cina, budaya India, budaya
Arab, budaya Eropa, dan sebagainya. Kebudayaan tingkat internasional ini menurut Samuel
Hutington (1993) disebut peradaban, dimana ia membagi tujuh kelompok peradaban, yaitu
Barat (Amerika-Eropa), Cina (konfusius), Islam,Hindu,Slav/

121
120
Ortodoks, dan Amerika Latin, Afrika.
2. Kebudayaan tingkat kelompok etnis, yaitu perbedaan kebudayaan yang ada dalam satu
kelompok etnis kebudayaan, seperti kebudayaan Indonesia, didalamnya ada budaya Jawa,
budaya Minang, Budaya Bugis, budaya Batak, budaya Irian dan sebagainya.
3. Kebudayaan dalam suatu etnis yang lebih halus adalah kebudayaan yang membedakan
antar kelompok masyarakat dalam satu etnis/suku, seperti pada ke-budayaan Jawa dijumpai
jawa kraton, jawa pesisir, jawa pedalaman dan sebagainya.
Dalam mengkaji budaya masyarakat, para ahli antro-pologi biasanya menitik beratkan pada
kajian masyarakat tradisionil, sedang kebudayaan masyarakat modern kurang begitu
ditekankan. Para ahli sosiologi biasanya meng-klasifikasikan perbedaan budaya berdasarkan
kategori sosial yang ada dalam masyarakat. Misalnya teori ecologi-cal-evolutionary
mengklasifikasikan masyarakat menjadi kelompok-kelompok sebagai berikut: masyarakat
berburu, masarakat hortikultura sederhana, masyarakat holtikultura canggih, masyarakat
pertanian sederhana, masyarakat pertanian canggih, masyarakat nelayan, masyarakat maritim,
masyarakat peternak sederhana, masyarakat peternak canggih.
Di samping itu ada yang membedakan kebudayaan atas dasar klasifikasi kelompok dalam
masyarakat, sebagaimana dikemukakan oleh Richter (dalam Handarini, 1997) yaitu:
jenis kelamin, misalnya laki-laki, wanita, waria
usia, misalnya kanak-kanak, remaja, dewasa,lanjut
status keluarga, misalnya : istri, suami, janda, duda

123
122
pekerjaan,misalnya::pengacara,dokter, guru, sekre-taris
ras, misalnya : Jawa, Cina, Sunda, Bugis, Minang, Aborigin
Agama,misalnya : Islam, Kristen,Hindu, Budha,Sinto
Kondisi kesehatan, misalnya penderita jantung, kanker, AIDS
Aliran politik, seperti anggota PDI Perjuangan, Golkar, PPP,PKB, PAN dan sebagainya.
Tofler (1981) membagi tiga gelombang peradaban manusia, yaitu peradaban agrikultural,
peradapan indus-trial, dan peradaban informasi, bahkan disamping itu ada peradaban pra
pertanian. Para ahli sosiologi banyak tertarik pada kebudayaan masyarakat tradisional dan
masyarakat modern. Masing-masing kelompok kebudayaan tersebut memiliki sistem
kebudayaan tersendiri, tidak sama meskipun tidak jauh berbeda, atau berbeda sama sekali
yang seringkali saling bertentangan antara budaya satu dengan budaya lain, tetapi tidak
jarang kebudayaan yang berbeda tersebut saling mengadakan penyesuaian, dengan adanya
kontak budaya.
B. Kontak Antar Budaya
Sebagai suatu produk dari budi daya mansia, maka kebudayaan bersifat dinamis, berkembang
dan berubah. Perkembangan atau perubahan kebudayaan tersebut dapat terjadi karena
beberapa sebab,baik faktor dari dalam diri manusia sendiri maupun adanya kontak antar
budaya, termasuk adanya akulturasi budaya.

123
122
Redfield,Linton dan Herkovitz (dalam Berry dkk,1999: 528) mengemukakan pengertian
akulturasi, yaitu “sebagai fenomena yang akan terjadi tatkala kelompok-kelompok individu
yang memiliki budaya berbeda terlihat dalam kontak yang berlangsung secara tangan
bersama (langsung) disertai perubahan terus menerus, sejalan pola-pola budaya asal dari
kelompok itu atau dari kedua kelompok itu..."
Kontak antar budaya telah terjadi sejak ribuan tahun sebelum masehi, seperti migrasi bangsa-
bangsa Cina daratan ke negeri-negeri Melayu (termasuk Indonesia). Kontak antar budaya
dapat berlangsung melalui pendidik-an, perjalanan, pelayaran, pemukiman, perdagangan, pe-
naklukan seperti dilakukan pasukan Romawi di bawah komando Iskandar Agung ke negeri
Parsi.
Era informasi atau globalisasi dewasa ini mendorong pesatnya kontak antar budaya. Baik
antar budaya lokal mau-pun dengan budaya global.Kemajuan transportasi dan alat informasi
seperti telepon, TV, radio, internet, surat kabar dan sebagainya menjadikan peristiwa di suatu
belahan bumi, secara bersamaan dapat diketahui di belahan bumi yang lain. Dunia seakan
menyempit, dan jarak fisik maupun psikologis yang tadinya dianggap begitu lebar/jauh, kini
menyempit dan melemah. Adanya komunikasi global tersebut merupakan sebuah potensi
besar untuk memberi pemahaman yang lebih baik terhadap sesama manusia penghuni planet
bumi ini.
Meskipun teknologi informasi telah mempermudah komunikasi manusia, namun orang tetap
ingin melakukan perjalanan ke tempat lain (daerah, kota, negara lain) atau tinggal di daerah
lain, entah karena alasan ekonomi,

124
125
keluarga, pendidikan dan sebagainya.Kesemua bentuk ini tidak dapat diganti dengan
kemajuan apapun dalam di-mensi informasi modern dalam abad-abad mendatang. Peristiwa
turisme, kunjungan, melakukan perjalanan, di-plomasi tatap muka tidak dapat dihilangkan
dari peradaban manusia. Fenomena-fenomena seperti di atas, yang disebut dengan peristiwa
kontak antar budaya. Peristiwa tersebut akan memberikan efek budaya terhadap individu
maupun kelompok yang melakukan kontak budaya.
Kontak antar budaya tidak saja terjadi antara dua budaya yang berbeda, antara suatu bangsa
dengan bangsa lain, tetapi bisa pula terjadi antara satu-satuan budaya yang terdapat dalam
suatu negara atau wilayah yang memiliki tingkat heteroginitas budaya, seperti negara
Indonesia. Situasi di Indonesia yang memiliki keragaman suku, ras, tingkat peradaban dan
sebagainya dengan latar belakang budaya yang berbeda, memungkinkan terjadinya kontak
antar budaya. Dalam hal ini maka memungkinkan terjadi-nya asimilasi budaya, atau bahkan
ketegangan-ketegangan budaya baik tingkat individu maupun kelompok. Meski me-miliki
semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” namun ketegang-an-ketegangan antar budaya masih
sering dijumpai,misalnya ketegangan antar budaya masih sering dijumpai, misalnya
ketegangan antar peribumi dengan etnis Cina, konflik antar suku di Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah,pengusiran pendatang di Irian Jaya, Aceh, Issue" Jawanisasi dan
Islamisasi” dalam program transmigrasi, dan sebagainya.

124

124
125
1. Faktor-faktor terjadinya kontak antar budaya
Kontak antar budaya dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah:
a. Faktor pendidikan
Setelah Perang Dunia Kedua, banyak pemerintah, yayasan di negara maju (Amerika dan
Eropa) memberikan kesempatan beasiswa kepada mahasiswa atau pelajar dari negara lain,
kususnya negara jajahan atau bekas jajahannya. Disamping itu juga ada program pertukaran
akademis antar negara. Mahasiswa-mahasiswa yang belajar di negara lain tersebut sudah
barang tentu perlu penyesuaian dengan budaya baru, dan budaya baru tersebut sebagian
nantinya dibawa pulang ke tanah airnya. Kontak budaya karena pen-didikan juga banyak
terjadi dalam suatu negeri, misalnya banyak penduduk desa, atau dari suatu wilayah belajar
ke kota atau wilayah lain. Yogyakarta misalnya sebagai kota pendidikan di situ berdatangan
mahasiswa/pelajar dari seluruh Indonesia dengan berbagai latar belakang budaya, maka
disitulah terjadi kontak antar budaya.
b. Faktor migrasi
Migrasi merupakan gejala manusia yang sudah sejak lama berlangsung, baik dalam bentuk
imigrasi, transmi-grasi, maupun urbanisasi. Migrasi ini umumnya di-pengaruhi faktor
ekonomi, dan juga politik (pengungsi politik). Dalam migrasi ini, para migran yang masuk ke
suatu daerah baru membawa seperangkat budayanya, yang mungkin berbeda dengan budaya
masyarakat penerima.

126
127
Dalam kontak tersebut disamping terjadi pembauran budaya, seringkali terjadi perenggangan
budaya, karena penduduk asli tidak menginginkan budaya baru, sementara ada
kecenderungan kelompok migran mempertahankan kebudayaan dan kepastian teritori
(cultural imperative dan teritorial imperative). Hal ini tercermin adanya pola pemukiman
yang terdiri dari kantung-kantung pemukiman (enclave) yang didasarkan pada budaya
tertentu, seperti kampung "pecinan", kampung Pasar Kliwon di Solo (etnis keturunan Arab)
dan sebagainya.
c. Bisnis/perdagangan
Mobilitas penduduk karena bisnis internasional/lokal telah berlangsung sejak dulu, seperti
adanya “jalur per-dagangan sutera” yaitu jalur perdagangan dari Timur tengah ke Cina,
perdagangan Eropa dengan Nusantara dan sebagai-nya. Dewasa ini globalisasi perdagangan
ditandai adanya berbagai kesepakatan seperti AFTA, APEC dan sebagainya. Arus barang,
modal, jasa begitu bebas bergerak dari satu negara ke negara lain. Banyak
industri/perusahaan yang sifatnya multinasional, beberapa negara berkembang mem-buka
dan memberikan kemudahan bagi para penanam modal asing, sehingga banyak berdiri
industri asing, re-lokasi industri dari negara satu ke negara lain. Adanya per-dagangan
internasional dan nasional tersebut memungkin-kan terjadinya kontak budaya. Banyak
manajer, pekerja asing bekerja di suatu negara yang memiliki kebudayaan berbeda, atau
banyak pekerja yang berasal dari berbagai budaya bertemu dalam suatu industri, maka disitu
terjadi-lah kontak antar budaya. Kontak budaya tersebut seringkali

126

126
127
berjalan mulus,namun sering pula terjadi ketegangan antar budaya.
d. Bantuan internasional
Dewasa ini peristiwa bantuan internasional, terutama kepada negara-negara berkembang atau
tertinggal begitu tampak. Banyak lembaga donor seperti : IMF, ADB, Bank Dunia,IDB,
Pemerintah, Lembaga-lembaga di PBB, Yayasan-yayasan donor dan sebagainya giat
membantu masyarakat/negara yang memerlukan. Bantuan tersebut dapat berupa keuangan,
teknologi, manajemen, kebudaya-an, pendidikan, bahan makan, obat-obatan, militer dan
sebagainya. Bantuan-bantuan tersebut seringkali men-syaratkan sesuatu, termasuk aspek
kebudayaan (seperti bantuan IMF kepada pemerintah Indonesia, bantuan lembaga-lembaga-
lembaga internasional kepada sejumlah LSM di Indonesia untuk memperjuangkan budaya
demo-krasi dan HAM). Dalam bantuan tersebut banyak melibatkan tenaga-tenaga asing,
apakah itu sebagai konsultan, peng-awas, pelaksana dan sebagainya, dan ini menimbulkan
kontak budaya, yang seringkali menimbulkan masalah budaya.Sebagai contoh pasukan
multinasional (berasal dari Amerika) yang bermarkas di Dahran Arab Saudi dalam
menggempur Irak, banyak menimbulkan pertentangan budaya dengan penduduk Saudi.
e. Tourisme
Pertumbuhan tourisme (domestik, manca) dapat dilukiskan sebagai banjir.Beberapa negara
mengandalkan

128
129
sektor peristiwa sebagai sumber devisa atau pemasukan utama negara.Di daerah tujuan
wisata berdatangan dan ber-kumpul manusia dari berbagai suku, ras, atau berbagai latar
belakang budaya. Disitulah mereka melakukan kontak budaya, baik antar turis maupun antar
turis dengan pen-duduk setempat. Berbagai program dan layanan kemudah-an ditawarkan
agar memiliki daya pikat wisatawan. Adanya kontak budaya tersebut, secara positif mampu
meningkat-kan ekonomi dan budaya masyarakat, namun secara negatif turisme melahirkan
berbagai ketegangan budaya, atau melahirkan budaya baru yang tidak sesuai dengan budaya
lama, seperti merebaknya alkoholisme, pergaulan bebas, pelacuran dan sebagainya.
2. Hasil-hasil kontak antar budaya
Kebudayaan masyarakat di manapun selalu mengalami perubahan. Terjadinya perubahan
tersebut dapat disebabkan oleh masyarakat dalam kebudayaan itu sendiri, maupun pengaruh
dari luar kebudayaan itu baik lingkungan alam, fisik, maupun budaya.Terdapat beberapa
peristiwa perubahan kebudayaan, antara lain :
d. Cultural lag
Cultural lag adalah perbedaan antara taraf kemajuan sebagai bagian dalam kebudayaan suatu
masyarakat. Suatu bagian masyarakatmungkin telah memiliki tingkat perubahan yangtinggi,
sedang masyarakat lainnya masih jauh tertinggal.
b. Cultural Survival
Yaitu suatu cara tradisional yang tak mengalami

128
129
perubahan sejak dulu sampai sekarang. Cultural survival dipakai sebagai penggambaran
suatu praktek yang telah kehilangan fungsi pentingnya, yang tetap hidup semata-mata hanya
di atas landasan adat-istiadat semata.
c. Caltural Conflict
Yaitu terjadinya pertentangan antara kebudayaan.
Yaitu terguncangnya seseorang karena kebudayaan, yaitu tatkala mereka berada dalam
lingkungan budaya yang baru dimasuki.
Kontak antar budaya akan menghasilkan dampak pada struktur sosial masing-masing,
rangkaian institusional yang ada,proses-proses politis dan sistem nilai masyarakat yang
terkena kontak itu. Hal ini dapat dilihat dari bentuk interaksi kelompok dengan masyarakat
tuan rumah.Bentuk dampak tersebut menurut Yusmar Yusuf (1991) dapat terjadi dalam
tingkat kelompok maupun tingkat individu. Proses kontak antar budaya seringkali dapat
berlangsung dengan baik, saling mendekat, saling memberi dan menerima,akan tatapi
seringkali terjadi benturan kebudayaan. Era globalisasi dewasa ini memang menuntut
kerjasama (kooperasi, akul-turasi) antar kebudayaan untuk melahirkan tatanan dunia baru
yang lebih adil dan harmonis.
Setelah berakhirnya perang dingin, untuk menjelaskan fenomena yang ada, Samuel
Huntington (1993) melihat adanya kecenderungan konflik peradaban yang dominan, yaitu
konflik kebudayaan barat versus peradaban timur (Is-lam dan Konfusius). "Konflik-konflik
yang mendasar dari

131

130
politik global akan terjadi diantara kelompok-kelompok yang berbeda peradaban".Barat
selalu mengatasnamakan budayanya sebagai budaya universal,yang harus diikuti oleh semua
orang. Semua tindakan barat terhadap timur selalu diatasnamakan kemanusiaan (lihat
serangan Amerika terhadap Irak, Libya, Sudan, Afganistan, dan sebagainya).
Dalam menghadapi kontak antar budaya (akulturasi budaya), terdapat berbagai sikap,
sehingga kontak antar budaya tersebut menghasilkan efek yang berbeda-beda. Dalam hal ini
Berry, dkk (1999 : 548) menggambarkan per-ubahan budaya dan efek psikologis akibat
proses akul-turasi. Pada awalnya terjadi kontak antar budaya, kemudian terjadi konflik dan
selanjutnya terjadi krisis. Adanya krisis tersebut menghasilkan beberapa kemungkinan, yaitu
ter-jadinya merginalisasi dan adaptasi dengan bentuk assimilasi, integrasi dan separasi. Pada
gejala marginalisasi inilah seringkali stress akulturasi terjadi.
Kuntjaraningrat (1990 : 112 - 113) menandai adanya se-bagian masyarakat yang mengalami
kesulitan bahkan pe-nolakan/penghindaran terhadap berakulturasi. Mithos “ratu adil” adalah
salah satu bentuk penolakan terhadap akulturasi, dimana masyarakat tidak mampu menyusun
kekuatan untuk menentang atau menghentikan akulturasi, maka mereka mencari kepuasan
batin dengan menarik diri dari kehidupan masyarakat yang nyata,diantaranya ke-yakinan
akan datangnya “ratu adil”. Gerakan ratu adil itu umumnya memiliki empat aspek
penting,yaitu:
a. Aspek keagamaan, karena gerakan-gerakan biasanya di-siarkan oleh seorang guru
atau tokoh agama, yang ber-tindak sebagai pesuruh Tuhan atau Desa dan gerakan

131

130
ini biasanya berpusat pada upacara keagamaan.
b. Aspek psikologi, karena di dalam upacara yang di-selenggarakan, para anggota
menunjukkan batin mereka pada alam khayal.
c. Aspek ratu adil, karena dalam alam khayal tadi para pengikut gerakan menunggu dan
mengharap datang-nya seorang tokoh raja atau pemimpin yang adil.
d. Aspek keaslian budayanya, karena ratu adil diharap-kan membawa kebahagiaan, dengan
jalan mengembali-kan adat asli warisan nenek moyang yang dikacaukan oleh pengaruh
zaman baru.
Kontak antar budaya menghasilkan dampak, baik secara kelompok maupun secara
individual.
a. Efek kelompok
Kontak antar budaya akan menghasilkan pengaruh secara kelompok, sebagai hasil dari suatu
kontak budaya antar kelompok-kelompok, semua pengaruh tersebut mengarah ke bentuk
perilaku kolektif, dimana keterlibatan orang secara kelompok merupakan ciri utama dari ke-
terlibatan seseorang. Efek secara kelompok tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam empat
kategori, yaitu :
1) Pemusnahan(genocide)
Kontak antar budaya yang berbeda dapat berlangsung dalam skala yang saling memusnahkan
sistem budaya. Relasi saling memusnahkan ini bisa berlangsung dari masyarakat pendatang
atas masyarakat asli /pribumi,atau sebaliknya tindakan pemusnahan dilakukan oleh pen-
duduk pribumi terhadap pendatang, dapat juga antar kelompok pribumi. Pemusnahan budaya
tersebut dapat disebabkan beberapa hal seperti keinginan suatu kelompok

133
132
budaya untuk tidak mau dicampuri, atau kelompok lain merupakan suatu ancaman, dapat
pula karena kelompok pendatang memperlihatkan keberhasilan dalam segala bidang.
Beberapa contoh genocide, seperti : pembantaian kaum Yahudi oleh tentara Hitler,
pembantaian muslim Bosnia oleh Serbia, pemusnahan suku Indian oleh pen-datang Eropa,
pemusnahan suku Aborigin oleh pendatang kulit putih, pembunuhan suku Madura oleh suku
asli di Kalimantan Tengah dan sebagainya.
2) Assimilasi
Assimilasi adalah proses sosial yang timbul bila ada golongan-golongan manusia dengan
latar kebudayaan yang berbeda-beda, saling bergaul langsung secara intensif untuk jangka
waktu yang relatif lama, sehingga kebudayaan-kebudayaan dari golongan tadi masing-
masing berubah saling menyesuaikan diri menjadi kebudayaan campuran (Hariyono, 1994 :
14). Assimilasi merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan penerimaan suatu
kebudaya-an oleh kebudayaan yang lain. Penerimaan ini dapat berupa adat, sistem nilai,
kebiasaan, gaya hidup, bahasa dan sebagainya.
Kitano dan Makki (1996) menggambarkan pola assimi-lasi dan identitas etnik (ethnic
edentity), khususnya etnik Asia di Amerika, yaitu :
High assimilation and low in ethnic identity, yaitu : Individu yang merasa terlibat penuh
dengan nilai-nilai Amerika dan meninggalkan budaya etnisnya.
High in assimilation and high in ethnic edentity,yaitu: Mereka yang merasa terlibat penuh
dengan budaya Amerika dan busaya etniknya. Model ini biasanya ada

133
132
pada para bisnismen, entelektual.
c) High in ethnic identity and low in assimilation, yaitu : Mereka yang melakukan
sedikit kontak dengan budaya utama (Amerika), umumnya mereka berhubungan dengan
sesama etnisnya sendiri, menggunakan nilai, adat etnisnya.
d) Low in etcnic identity and low in assimilation, yaitu : Mereka yang terasing dari
budaya etniknya sendiri dan budaya utama (Amerika), umumnya mereka para alkoholis,
orang nakal.
3) Segregasi
Yaitu usaha suatu kelompok untuk memisahkan diri dengan kelompok lain yang memiliki
budaya, ras, status yang berbeda. Segregasi tersebut dapat disebabkan oleh karena perasaan
superior atau inferior dari suatu kelompok budaya. Segregasi mungkin juga muncul karena
adanya stereotipe kelompok budaya, seperti kulit putih itu mod-ern dan maju, kulit hitam itu
bodoh, kampungan, buruh dan sebagainya. Biasanya segregasi tersebut melahirkan pe-
mukiman-pemukinan atau budaya eksklusif. Politik Apartheit di Afrika Selatan, suku Badui
di Jawa Barat, suku Aborigin di Australia, suku Indian di Amerika dan sebagainya.
4) Integrasi
Integrasi mengarah kepada usaha saling membantu memelihara dan mempertahankan cero-
culture masing-masing yang pada suatu waktu dilebur dan diakui sebagai inti kebudayaan
baru sebagai identitas mereka dan diakui sebagai kebudayaan bersama.

135

134
b. Efek individual
Hasil suatu kontak budaya di samping memiliki di-mensi kelompok, juga memiliki dimensi
individual. Dampak individual ini lebih dilihat pengaruh kontak budaya pada orang per
orang, yang sifatnya cenderung dalam kontak antar budaya, yaitu passing, chauvinistic,
marginal dan mediating.
1) Passing
Efek kontak antar budaya ini mengarah kepada erosi kebudayaan pada tingkat individual,
dimana seseorang melepaskan dan meninggalkan kebudayaan aslinya dan mengadopsi atau
merangkul kebudayaan lain yang dijadi-kannya sebagai identitas kebudayaannya. Mereka ke-
hilangan identitas yang asli. Hal ini terlihat dari tindak tanduk orang tersebut, dari bahasa,
gaya hidup, gaya bicara, yang melupakan dari budayanya yang asli (misal-nya orang Jawa
bekerja di Jakarta, baru dua bulan sudah bergaya Jakarta atau remaja Indonesia bergaya
Amerika karena menganggap Indonesia itu kampungan).
2) Chauvinistic
Chauvinistic ini merupakan reaksi kontak budaya yang bertolak belakang dengan
passing.Individu yang termasuk kategori ini adalah mereka mangagung-agungkan budaya-
nya dan menolak sama sekali budaya lain. Umumnya mereka cukup eksklusif(tertutup) dan
membantuk pagar pertahanan budaya dengan cara berkomunikasi hanya sesama mereka saja.
Orang yang masuk dalam kategori ini misalnya para nasionalis buta, rasis. Dewasa ini gejala
chauvinistic ini banyak muncul, seperti Partai Satu Bangsa di Austria, kelompok rasis di
Jerman, Perancis yang anti migran.

135

134
3) Marginal Syndrom
Orang-orang yang tergolong ke dalam masginal syndrom ini merupakan orang-orang yang
terombang-ambing, tidak bisa menentukan dan menjatuhkan pilihan terhadap satu budaya
yang meregang pribadinya sebagai hasil dari suatu kontak antar budaya. Bagi individu ter-
sebut, norma antara kebudayaan pertama dengan kebudaya-an kedua sama menonjolnya,
semua norma tersebut diambil oleh individu secara serempak, namun penuh kebimbang-an,
karena norma tadi saling bertentangan. Gejala ini banyak dirasakan manusia di negara
berkambang, seperti Indone-sia, karena banyaknya pertentangan nilai, antara nilai tradisi-
onal dengan nilai modernitas. Hal seperti ini diakui Sri Kusdiantinah (1989) bahwa
masyarakat Indonesia meng-alami tiga gelombang peradaban sekaligus dan kondisi ini sering
menimbulkan kebingungan.
4)Mediating persons
Mereka yang termasuk dalam kategori ini adalah individu-individu yang merespons
kebudayaan kedua beserta pengaruh-pengaruhnya dengan cara menyaring,
mengkombinasikan, serta mensintesiskannya sehingga menjadi bentuk yang layak dalam
suatu sistem sosial, tanpa menanggalkan inti kebudayaan pertama. mereka yang ter-golong
ke dalam mediating persons ini adalah orang-orang yang fleksibel, luwes dan mampu
menjembatani kesenjang-an lainnya.
PERTANYAAN DAN TUGAS
Setelah saudara selesai membaca bab ini, jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini :

137

136
1. Jelaskan konsep kebudayaan!
2. Jelaskan sistem kebudayaan menurut Kuntjaraningrat!
3. Jelaskan level kebudayaan menurut Pedersen!
4. Jelaskan mengapa terjadi kontak antar budaya!
5. Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kontak antar budaya!
6. Diskusikan mengapa terjadi konflik antar budaya!
7. Jelaskan proses terjadinya stress akulturasi!
8. Mithos “ratu adil” pada dasarnya adalah bentuk per-lawanan atau penolakan adanya
akulturasi budaya. Jelaskan!
9. Jelaskan bentuk-bentuk dampak kontak antar budaya, baik dampak secara individual
maupun secara kelompok!
10. Diskusikan/pelajarilah berbagai kelompok budaya di Indonesia!

137

136

136
DAFTAR PUSTAKA
Ali Saifullah.(1982).Pendidikan,Pengajaran dan Kebudayaan. Surabaya:Usaha Nasional.
Berry,John W.,Poortinga, Ype H.,Segall,Marshal H., & Dasen, Piere R. (1999). Psikologi
Lintas Budaya (terjemahan). Jakarta : Gramedia.
Dryden,Gordon & Vos,Jeannette. (2000). Revolusi Cara Belajar (terjemahan).
Bandung :Kaifa.
Handarini Danny M. (1997). Konseling Lintas Budaya. Makalah dalam Kongres dan
Konvensi IPBI di Purwokerto.
Huntington, P. Samuel. (1993). Benturan Antar Peradaban, Masa Depan Politik Dunia?
(terjemahan Saiful Mujani) dalam JurnalUlumul Qur'an No. 5 Vol.14,hal 11-25.
Hariyana P. (1992). Kultur Cina dan Jawa. Jakarta : Sinar Harapan.
Kitano H.L.Harry,Maki T.Mitchel.(1996).Continuity,change and diversity :Counseling Asian
Americans. Dalam Counseling Across Cculture (Pedersen,dkk Edit).Califor-nia:Sage
Publishing.
Kuntjaraningrat. (1981). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan.Jakarta:Gramedia.
Kuntjaraningrat.(1980).Sejarah Teori Antropologi II,Jakarta :Universitan Indonesia.
Kusdiantinah, Sri. (1989). Pendidikan dan Pengajaran Untuk Masa Depan Dalam Ilmu dan
Budaya.Jakarta:Unas.

139
138
Rose, P.I.Glazer M.dan Glazer, P.M.(1982). Sociology Inquir-ing to Society.New
York:St.Martin Press.
Sulaiman Munandar M.(1992).Ilmu Budaya Dasar.Bandung :Eresco.
Tofler Alvin.(1983).The Thitth Wave.London:Pan Books.
Yusmar Yusur.(1991) Psikologi Antar Budaya. Bandung: Remaja Rosda Karya.

138

139
138
KEBUDAYAAN DAN KEPRIBADIAN

etelah mempelajari bab ini, diharapkan secara umum pembaca mampu:


1. Menjelaskan peran kebudayaan dalam membentuk ke-pribadian.
2. Menjelaskan beberapa teori tentang hubungan ke-pribadian dan kebudayaan.
A. Peran Kebudayaan Dalam Pembentukan Kepribadian
“Every man is certain respects like all other men, like some other men, like no other man".
(Clyde Kluckhohn & Henry A.Murray,dalam Bastaman, 1997:100).
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa setiap orang me-nampilkan beberapa keunikan pribadi
yang menjadi ciri khasnya, juga memiliki kepribadian yang sama dengan sekelompok orang,
serta memiliki kepribadian dasar yang berlaku untuk seluruh ummat manusia. Pak Cokro
sebagai individu akan memiliki ciri kepribadian yang khas (unique) yang berbeda dengan
yang lain. Tetapi sebagai orang Jawa, Pak Cokro memiliki sifat-sifat / kebiasaan yang sama
seperti orang Jawa lainnya dansebagai manusia pada umumnya Pak Cokro sama dengan
manusia pada umumnya.

141
140
Kajian-kajian budaya dan kepribadian terutama berkutat pada penempatan-penempatan
dimana seseorang menyerupai orang lain, terutama sesama anggota ke-
lompoknya,dilawankan dengan anggota kelompok lain. Penempatan seseorang menyerupai
semua orang lain secara universal.Penempatan seseorang bukan seperti orang lain.
Masalah kepribadian telah menjadi obyek kajian yang luas dan mendalam, yang
menghasilkan berbagai konsep dan teori tentang kepribadian. Diantara konsep kepribadian
dikemukakan oleh Allport (dalam Sumadi Suryabrata 1983: 248), yang mengartikan
kepribadian adalah “Organisasi yang dinamis dalam individu sebagai sistem psikofisis yang
menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan". Fromm
(1984 : 50) merumuskan ke-pribadian sebagai berikut: “Personality is the totality of inher-
ited and acquired psychic qualities which are characteristic of one individual and which make
the individual unique".
Definisi seperti di atas lebih meninjau kepribadian secara individual, seperti menekankan
pada istilah ke-khasan individu (individual unique). Definisi-definisi yang dikemukakan oleh
para psikolog memang menekankan aspek individual, yaitu kepribadian secara individual dan
kurang memperhatikan kepribadian kelompok, sebagai-mana dikemukakan oleh Kluckohn,
bahwa individu itu memiliki kesamaan-kesamaan dengan dengan kelompok orang atau
dengan semua orang.Kepribadian sekelompok orang (collective) lebih menjadi perhatian para
antropologist, dimana mereka biasanya melakukan kajian sifat, kepribadian pada suatu
kelompok masyarakat atau dalam suatu budaya. Para antropologist lebih menekankan peran

141
140

140
kebudayaan dalam mempengaruhi kepribadian ma-syarakat.
Manusia tidak dapat dilepaskan dari kebudayaannya. Manusia adalah miniatur
kebudayaannya. Oleh karena itu tingkah laku manusia perlu dijelaskan bukan hanya dari
sudut pandang individu itu sendiri (secara psikologist), me-lainkan juga dari sudut pandang
budayanya. Manusia ada-lah produk dan sekaligus pencipta aktif suatu kelompok sosial,
organisasi, budaya dan masyarakat. seBagai produk, manusia memiliki ciri-ciri dan tingkah
laku yang dipelajari dari konteks sosial budayanya. Sebaliknya sebagai pencipta, kreator,
manipulator yang aktif, manusia juga memberikan kontribusinya kepada perkambangan
budayanya.
Hubungan kebudayaan dan kepribadian secara sistematis lebih banyak dipelajari oleh ahli
antropologi daripada ahlli-ahli psikologi. Para ahli antropologi cenderung menggunakan
pendekatan relativisme ketika mengklasifikasikan dan menginterprestasi tingkah laku-
tingkah laku unik dalam suatu kelompok masyarakat. Di pihak lain, para ahli psikologi
cenderung mempelajari hubungan antara ciri-ciri sosial dengan fenomena-fenomena
psikologis, tetapi kurang memperhatikan perbedaan-per-bedaan nilai-nilai yang ada.
Kebudayaan disebarkan melalui proses belajar dan diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Ke-budayaan tidak saja bersifat instingtifatau genetis. Individu mempelajari
kebudayaan melalui proses belajar yang terjadi sejak awal masa kanak-kanak. Kebudayaan
yang di-wariskan bersifat komulatif, artinya setiap generasi memiliki kemungkinan untuk
mengembangkan apa yang telah

143
142
didapatkan dari generasi sebelumnya, sehingga kebudaya-an yang diwariskan kepada
generasi berikutnya telah meng-alami modifikasi.
Frans Boaz (dalam Handarini, 1997) menjelaskan tentang pengaruh kebudayaan terhadap
kepribadian,yaitu dengan mengetengahkan prinsip "Cultural Determination". Prinsip ini
menekankan bahwa kebudayaan mempengaruhi tingkah laku setiap individu yang
tersosialisasi di dalam-nya. Proses sosialisasi tersebut terjadi sejak masa kanak-kanak. Pola
mengasuh anak adalah manifestasi budaya. Kebudayaan yang termanifestasikan dalam
bentuk pola asuh yang spesifik pada masa kanak-kanak, menentukan bagaimana manusia
berfikir dan bertindak. Pada masa kanak-kanak awal, melalui interaksinya dengan orang
tuanya manusia berfikir tentang diri dan lingkungannya dan bagaimana mempersepsikannya.
Budaya membentuk nilai-nilai dan keyakinan mana yang dianut oleh individu. Budaya
membentuk gaya hidup (life-style) individu.Budaya membentuk bagaimana individu
mengungkapkan apa yang dipikirkan dan dirasakan. Budaya membentuk emosi mana yang
boleh diekspresikan, mana yang tidak boleh di-ekspresikan, kapan, bagaimana dan dimana
mengekspresi-kannya.
Berry,dkk (1999:356) mengemukakan pandangan teori konfigurasi tentang kebudayaan dan
kepribadian dan me-nyatakan “budaya adalah kepribadian suatu masyarakat, budaya adalah
psikologi individual yang dibiasakan, diberi proporsi raksasa dan suatu masa yang begitu
lama". Dalam hal ini Kroeber dan Kluckhohn (dalam Tilaar, 1999) me-ngemukakan
hubungan kebudayaan dan kepribadian

143
142
sebagai hubungan “sebab akibat sirkuler", yang berarti bahwva antara kepribadian dan
kebudayaan terdapat suatu interaksi yang saling menguntungkan. Bahwa di dalam pe-
ngembangan kepribadian memerlukan kebudayaan dan di dalam mengembangkan
kebudayaan memerlukan ke-pribadian.
Pengaruh kebudayaan terhadap kepribadian juga di-kemukakan oleh para antropologist,
seperti dinyatakan Cohen (1971 : 19) bahwa “that culture is particular way of shap-ing the
mind. More then being a series of habits and patches of ex-otic customs, of ways ofearning a
livelihood, or of being clothes and adorned,antropologists learned that the essence of culture
is to be sought in the material and intelectual symbols meeting their basic necessities". Wax
dan Wax (1979:16) menyatakan bahwa“chil-dren will be experiencing and learning. Ifthey
are part of folk soci-midle-class of the United States,they will be learning its culture".
Aliran psikoanalisis dan behaviorisme dalam psikologi menekankan bahwa perilaku manusia
(kepribadian) di-bentuk, ditentukan oleh lingkungan (termasuk kebudaya-an). Dalam hal ini
John Gillin (dalam Tilaar, 1999) me-ngemukakan perkembangan kepribadian, yaitu :
1. Kebudayaan memberikan kondisi yang disadari dan yang tidak disadari untuk belajar.
2. Kebudayaan mendorong secara sadar atau tidak sadar akan reaksi-reaksi kelakuan tertentu.
3. Kebudayaan mempunyai sistem “reward and punish-ment” terhadap kelakuan-kelakuan
tertentu.
4. Kebudayaan cenderung mengulang bentuk-bentuk kelakuan tertentu melalui proses
belajar.

144

145
Selanjutnya Tilaar (1999) mengemukakan beberapa hal mengenai hubungan antara
kebudayaan dengan kepribadi-an,yaitu:
1. Kepribadian adalah suatu proses, kebudayaan juga merupakan suatu proses. Hal ini berarti
antara pribadi dan kebudayaan terdapat suatu dinamika.
2. Kepribadian mempunyai keterarahan dalam per-kembangan untuk mencapai suatu misi
tertentu. Ke-terarahan perkembangan tersebut tentunya tidak terjadi di dalam ruang kosong,
tetapi di dalam suatu ma-syarakat yang berbudaya.
3. Dalam perkembangan kepribadian, salah satu faktor penting ialah imajinasi. Imajinasi
seseorang akan dapat diperoleh secara langsung dari lingkungan ke-budayaannya.
4. Kepribadian mengadopsi secara harmonis tujuan hidup dalam masyarakat (termasuk
nilai-nilai budaya) agar ia dapat hidup dan berkembang.
5.Di dalam pencapaian tujuan oleh pribadi yang sedang berkembang itu dapat dibedakan
antara tujuan dalam waktu yang dekat dan tujuän jangka panjang. Tujuan-tujuan tersebut
sangat diwarnai oleh nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
6. Berkaitan dengan keberadaan tujuan dalam pe-ngembangan kepribadian, dapatlah
disimpulkan bahwa proses belajar adalah proses yang ditujukan untuk mencapai tujuan.
7. Dalam psikoanalisis dikemukakan peranan super ego dalam perkembangan
kepribadian. Super ego tidak lain adalah dunia masa depan yang ideal, yang merupakan

144

145
kemampuan imajinasi yang dikondisikan serta diarah-kan oleh nilai-nilai budaya yang hidup
dalam masyarakat.
8. Kepribadian juga ditentukan oleh bawah sadar manusia (Id), bersama super ego. Energi
tersebut perlu dicarikan keseimbangan dengan kondisi yang ada serta dorongan super ego
yang diarahkan oleh nilai budaya.
Berdasarkan uraian dan kutipan di atas menunjukkan bahwa kebudayaan akan membentuk
pola berfikir, seperangkat kebiasaan, perilaku-perilaku tertentu dan se-bagainya. Kepribadian
seseorang atau sekelompok orang sangat dipengaruhi oleh budaya dimana orang itu berada.
B. Beberapa Teori Tentang Hubungan Antara Kebudayaan dan Kepribadian
Berbagai konsep dan teori tentang kepribadian telah diungkap dalam berbagai buku,
khususnya dalam buku psikologi kepribadian. Uraian berikut ini akan meninjau ke-pribadian
dari segi budaya atau antropologi psikologi. Antropologi psikologi merupakan nama baru
dari ilmu yang sebelumnya dikenal dengan nama Culture and Person-ality. James Dananjaja
(1994), Barry dkk (1999), Kuntjara-ningrat (1990) mengemukakan beberapa konsep tentang
teori hubungan antara kebudayaan dan kepribadian. James Dananjaja (1994) mengemukakan
konsep antropologi psi-kologi yang dapat digolongkan dalam teori pembawaan manusia
(human nature), kepribadian khas kolektif tertentu (typical personality) dan kepribadian
individual (individual personality). Uraian berikut hanya mengemukakan teori

147

146
pembawaan dan kepribadian khas kolektif, sedang kepribadianindividual sudah banyak
dibahas dalam psikologi kepribadian.
1. Teori Pembawaan Manusia
Dalam teori ini akan dibicarakan secara singkat tentang teori seksualitas kanak-kanak dan
teori gejala akil balig.
a. Teori seksualitas kanak-kanak Sigmund Freud
Freud merumuskan dua hipotesis dasar teori psiko-analisa. Kedua teori tersebut adalah teori
seksualitas kanak-kanak dan kompleks oedipus. Menurutnya manusia memiliki dua dorongan
pokok, yaitu eros dan tanatos. Pada eros ter-dapat dua macam kekuatan vital, yaitu dorongan
memper-tahankan diri dan dorongan mengembangkan diri (diistilah-kan dengan libido atau
tenaga sex). Dorongan untuk me-ngembangkan diri ini banyak menghadapi permasalahan,
karena sering terhambat oleh kekuatan sosial budaya masyarakat. Libido memiliki makna
yang luas, baik dorong-an birahi, kasih sayang dan sebagainya (yang menyenang-kan).
Dorongan birahi dapat berwujud heteroseks, homo-seks, narcism, fetishism, bestiality dan
sebagainya. Demi-kian pula perkelaminan bukan hanya berarti hubungan seksual antar alat
kelamin, tetapi bisa dengan mulut, anal, tangan.
Menurut Freud, libido berpusat pada tiga daerah erotik, yaitu oral, anal, genital. Biarpun
tahap perkembang-an libido ditentukan oleh biologis, namun perkembangan-nya juga
dipengaruhi oleh reaksi tokoh-tokoh penting (cara pengsuhan, toilet habit, dan larangan lain),
yang dapat

147

146
mempengaruhi,mengekang libido. Jika libido terhambat maka akan menimbulkan gejala
fksasi, regresi atau yang lain. Pada puncaknya gangguan terdapat pada masa geni-tal, dimana
terjadi kompleks oedipus dan kompleks electra. Menurut Freud, gejala oedipus dan electra
complex tersebut sebagai gejala psikologis yang universal.
Teori Freud tersebut, khususnya kompleks oedipus, mendapat tanggapan dari beberapa
antropolog, seperti Malinowski yang mengujinya melalui penelitian di Pulau Trobrian, Mead
dalam penelitiannya di Samoa. Hasil studi tersebut menyatakan bahwa kompleks oedipus
hanya mungkin ada pada masyarakat dimana tokoh ayah bersifat otoriter dan keras,
mewajibkan disiplin yang keras terutama pada anak laki-laki. Keadaan seperti itu tidak
berlaku dalam kebudayaan yang berasaskan matrilineal, seperti di Trobrian.Sebab ayah
bukan tokoh kerabat yang memiliki kewajiban mengasuh anak, sebaliknya saudara laki-laki
ibu yang menjadi tokoh pengasuh, sehingga tidak ada alasan untuk munculnya gejala oedipus
complex.
b. Teori Gejala Akil Balig dari Margaret Mead
Dalam psikologi banyak disebutkan bahwa pada masa akil balig (remaja) anak mengalami
berbagai problema, masa badai dan topan, tegangan, ingin lepas dari otoritas orang tua,
mengalami konflik dengan orang tua dan sebagainya. Gejala-gejala tersebut oleh para
psikolog dianggap sebagai gejala universal.
Menanggapi asumsi-asumsi seperti di atas Margaret Mead mengadakan penelitian di
Kepulauan Samoa, yang terletak di Polenisea. Penelitian tersebut khususnya dituju-

148
149
kan pada remaja putri akil balig. Dari hasil penelitiannya, Mead berkesimpulan bahwa para
gadis Samoa tidak mengalami gejolak pada masa akil balig. Sebab keluarga di Samoa bukan
bersifat keluarga inti (nucleer family) me-lainkan bersifat keluarga luas (extended family).
Akibatnya remaja di Samoa tidak hanya bergaul dengan orang tuanya saja, tetapi dengan
anggota kerabat yang lain. Selain itu, pergaulan secara seksual antara para remaja dari lain
jenis lebih bebas dibanding remaja Amerika - Eropa tahun 1930-an. Karena tidak ada
pengekangan seks, gejolak akil balig tidak ada pada remaja Samoa.
Selain itu Mead juga menyelidiki apakah perbedaan psikologis antara pria dan wanita itu
bersifat universal, karena telah diprogramkan oleh alam di dalam sistem genetiknya. Untuk
itu ia mengadakan penelitian di Papua, yaitu suku Arapesh, Mundugumor dan
Tcambuli.Hasil pe-nelitian tersebut adalah perbedaan sifat-sifat kepribadian antara laki-laki
dan perempuan tidak universal. Dalam kebudayaan Arapėsh tidak dijumpai perbedaan
kebribadian antara laki-laki dan perempuan (keduanya bersifat lebit, halus, pasif seperti
dimiliki kaum wanita pada umumnya).
Pada suku Mudugumor kedua jenis kelamin tersebut memiliki kepribadian yang sama, yaitu
kasar, keras, aktif, agresif, seperti dimiliki oleh kaum laki-lkaki di Amerika -Eropa. Lain lagi
yang ada pada suku Tchambuli, sifat antara laki-laki dan perempuan bertolak belakang.
Kaum wanita umumnya kasar, keras, aktif dan melaksanakan pekerjaan berat di sektor
produksi,meraka tidak terbiasa bersolek dan kepalanya umumnya botak. Sebaliknya kaum
laki-laki umumnya bekerja di lapangan pertukangan dan kesenian,

148
149

148
sehingga kaum laki-laki lebih lembut dan suka berhias. Dalam hal adat pergaulan antar seks,
yang berperan aktif adalah kaum wanita.
Penelitian Mead tersebut sejalan dengan teori gender dewasa ini, sebagaimana dikemukakan
oleh Mansur Fakih (1996) yaitu pandangan akan sifat yang melekat pada kaum laki-laki atau
perempuan yang dikonstruklsi secara sosial maupun kultural, sehingga menimbulkan status,
citra, kedudukan, stareotipe tertentu. Jadi perbedaan sifat antara laki-laki dan perempuan
tersebut lebih disebabkan oleh faktor sosial budaya. Wanita Jawa dari kalangan atas misal-
nya, apabila berada di muka umum, akan mepertunjukkan kepribadian yang lemah lembut,
halus, namun jika berada di rumahnya sendiri, sifat seperti itu1 tidak akan selalu
dimunculkan, melainkan tergantung dari kepribadian perseorangan, situasi dan kondisi.
2. Teori-teori Kepribadian Khas Kolektif Tertentu
Terdapat beberapa teori mengenai kepribadian khas kolektif tertentu, diantaranya adalah:
a. Teori Pola Kebudayaan Ruth Benedict
Teori Pola Kebudayaan (Pattern of Culture) dapat disebut juga Teori Konfigurasi
Kebudayaan, Teori Mozaik ke-budayaan. Teori ini dapat diringkas sebagai berikut : di dalam
setiap kebudayaan ada aneka ragam tipe tempera-men,yang telah ditentukan oleh faktor
keturunan dan faktor ketubuhan, yang timbul berulang-ulang secara universal. Namun setiap
kebudayaan hanya membolehkan sejumlah terbatas dari tipe temperamen tersebut
berkembang.Dan

150

151
tipe-tipe temperamen tersebut hanya yang cocok dengan konfigurasi dominan. Mayoritas dari
orang-orang dalam segala masyarakat akan berbuat sesuai terhadap tipe dominan dari
masyarakatnya. Hal ini disebabkan karena temperamen mereka cukup plastis untuk dibentuk
tenaga pencetak dari masyarakat. Ini adalah apa yang disebut tipe kepribadian normal.
Namun di samping itu sejumlah pen-duduk yang merupakan minoritas dalam setiap
masyarakat, yang tidak dapat dimasukkan ke dalam tipe dominan ini, baik disebabkan karena
tipe temperamen tersebut terlalu menyimpang dari tipe dominan, maupun karena mereka
tidak cukup berbakat untuk dapat menyesuaikan.diri dengan tipe dominan atau para
penyimpang, abnormal.
Penggolongan tipe kepribadian “normal" dan “abnor-mal"berhubungan erat dengan
perumusan konfigurasi atau pola kebudayaan dari suatu suku bangsa. Berdasarkan teori di
atas, maka Benedict berpendapat bahwa tidak ada kriteria yang sahih mengenai tipe
kepribadian yang normal atau tidak normal. Suatu kepribadian dianggap normal apabila
sesuai dengan tipe kepribadian dominan, sedang kepribadi-an dianggap tidak normal jika
tidak sesuai dengan ke-pribadian dominan.
Berdasarkan teori tersebut, Benedict mengadakan penelitian terhadap suku Zuni di New
Mexico,orang Kwakiutke di pantai barat laut Amerika Utara dan orang Dobu di Papua New
Guinea. Orang Zuni yang bermata pen-caharian pertanian, memiliki konfigurasi kebudayaan
yang bertipekan Appolonian (Dewa Apollo), karena ditandai sifat-sifat introversi, rapi, dapat
menahan diri, mencari keharmonisan.Sebagai akibatnya kebudayaan mereka tidak

150

151

150
menunjukkan ketegangan-ketegangan. Selain itu jiwa tolong-menolong kuat sekali. Tiap
penduduk patuh pada peraturan masyarakat dan mementingkan upacara-upacara keagamaan
yang tenang tanpa histeris.
Orang Kwakiutle yang nelayan itu memiliki konfigurasi kebudayaan yang bersifat
Dionysian, yang ditandai sifat-sifat ekstrovert, pemboros, suka bertindak ekstrem, suka
pamer, suka obat keras. Pola kebudayaan orang Kwakiutle selain digolongkan dionysian juga
digolongkan pada tipe megalomanic paranoid, yaitu penyakit jiwa yang mang-anggap dirinya
orang hebat dan selalu curiga dirinya akan dicelakai orang lain.
Orang Dobu memiliki konfigurasi kebudayaan yang bertipekan Schicophrenia dari jenis
paranoid. Para pen-dukung kebudayaan ini bersifat pengkhianat, suka pada ilmu sihir dan
selalu curuga pada fihak lain, mereka selalu hidup dalam ketakutan kalau kena kekuatan
gaib.
Dewasa ini teori mengenai asumsi tentang kebudayaan sebagai pencetak tabiat manusia yang
plastis telah diganti-kan oleh teori mengenai sangat pentingnya peranan praktek pengsuhan
anak (child rearing practices), dalam membentuk kepribadian seorang anak setelah dewana
kelak. Asumsi terakhir sangat terkenal dan berdasarkan teori-teori me-ngenai belajar, tumbuh
kembang individu dan psiko-analisis.
b. Teori Gaya Hidup Petani Desa Robert Redfield
Untuk menerangkan teorinya ini, Redfield (1982) membedakan masyarakat dunia ini menjadi
tiga macam, yaitu masyarakat folk (folk society), masyarakat petani desa

152
153
(peasant society) dan masyarakat perkotaan (urban society). Masyarakat folk adalah
masyarakat primitif, terpencil. Masyarakatinisedikit sekali tersentuh peradaban besar
(Cina,Hindu,Islam,Yunani,dsb). Masyarakat perkotaan merupakan masyarakat yang
berkembang di daerah perkotaan, yang maju karena telah dipengaruhi peradaban besar dunia,
terutama peradaban modern.
Masyarakat petani desa merupakan bentuk masyarakat folk, yang telah mendapat sentuhan
dengan masyarakat kota, meraka telah dipengaruhi kebudayaan modern, meski hanya bersifat
superfisial saja. Masyarakat petani pedesaan sangat tergantung pada masyarakat
perkotaan,akibatnya kebudayannya tidak bersifat otonomi. Hubungan ma-syarakat desa
dengan mesyarakat kota adalah simbiosis yakni saling menghidupi.
Refield mengetengahkan beberapa ciri nilai dan sikap gaya hidup petani,yaitu:
1) Sikap yang praktis dan mencari yang berfaedah terhadap alam
2) Mereka lebih menonjolkan segi perasaan daripana rasio
3) Mereka sangat mengutamakan pada kesejahteraan hidup dan kepastian hidup
4) Sangat menghargai prokreasi, yakni untuk memiliki keturunan yang banyak
5) Hidup bergotong royong berdasarkan solidaritas tradisional
6) Mereka mendambakan kekayaan
7) Bersikap konservatif
8) Gemar memamerkan kekayaan
9) Strategi yang mereka gunakan untuk menolak paksana-

152
153
an dari luar adalah dengan penolakan yang bersifat pasif
Tipe kepribadian petani desa seperti digambarkan di atas, sebenarnya adalah semacam tipe
manusia,yang dapat dikenali dengan segera, agak tersebar dimana-mana,bersifat tahan lama
dan timbul sebagai akibat peradaban. Gaya hidup seperti itu merupakan pengembangan dari
gaya hidup masyarakat folk, sebagai pengaruh peradaban kota modern. Konsep Redfield
tentang masyarakat petani pe-desaan dapat dibandingkan dengan teori pola kebudayaan
Appolonian dari Ruth Benedict.
c. Teori Kepribadian Status Rapl Linton
Kenyataannya untuk hidup secara efektif di masyarakat kita tidak cukup hanya memiliki satu
jenis tipe kepribadian saja, akan tetapi memerlukan seperangkat kepribadian tipikal yang ada
hubungannya dengan peran yang harus dibawakan dalam kehidupan sehari-hari.
Seorang mahasiswa IKIP, yang telah menikah, menjadi guru di suatu SLTP, di luar juga
melakukan usaha bisnis, di masyarakat menjadi tokoh organisasi sosial, sudah barang tentu
paling sedikit memiliki lima tipe kepribadian tipikal,yakni:
1) Kepribadian tipikal sebagai mahasiswa, mereka akan menunjukkan karakteristik sebagai
mahasiswa, meski sudah tua, jadi pejabat dan sebagainya.
2) Kepribadian tipikal sebagai kepala keluarga / ibu rumah tangga, mereka akan
menunjukkan karakter se-bagai bapak atau sebagai ibu.
3) Kepribadian tipikal sebagai guru, mereka akan ber-

155

154
karakter seperti guru.
4) Kepribadian sebagai pedagang, mereka akan ber-karakter seperti pedagang.
5) Kepribadian tipikal sebagai tokoh masyarakat
Beberapa tipikal kepribadian itu harus dipraktekkan sehari-hari, seusi dengan status yang
dimainkan.Namun seringkali peran status tersebut saling bertentangan, sehingga
menimbulkan kesan yang bersangkutan memiliki pribadi yang labil. Jadi kepribadian status
adalah se-perangkat kepribadian tipikal, yang sesuai dengan status seorang dalam
masyarakatnya. Seorang pribadi yang men-duduki dalam suatu status sosial, harus
mengembangkan sikap emosi dan yang lain sesuai dengan kepribadian sta-tus tertentu yang
harus diperankan tetapi tidak jarang pula berlawanan. Pribadi-pribadi yang dapat
membawakan ke-pribadian statusnya dengan baik adalah orang yang pe-nyesuaian dirinya
baik. Dengan memerankan beberapa sta-tus kepribadian yang mungkin berbeda, ada orang
yang me-nyebut sebagai gejala kepribadian terbelah (split personality).
d. Teori Struktur Kepribadian Dasar Kardiner,Linton dan Dubois.
Struktur kepribadian dasar adalah "intisari dari ke-pribadian, yang dimiliki oleh kebanyakan
anggota ma-syarakat, sebagai akibat pengalaman mereka pada masa kanak-kanak yang
sama". Struktur kepribadian dasar ini sebenarnya adalah alat penyesuaian diri individu yang
umum bagi semua individu di dalam suatu masyarakat. Yang termasuk dalam struktur
kepribadian dasar adalah :
1) Teknik berfikir (Apakah ilmiah atau animistis)

155

154
2) Sikap terhadap benda hidup atau mati
3) Sistem keamanan dan kesejahteraan, yang dapat dinilai dari kecerdasar dan
kekecewaan karena ketidak-berdayaan sewaktu masih kanak-kanak
Struktur kepribadian dasar sangat ditentukan oleh pranata (institusi) yang merupakan bentuk
fikiran dan ketata kelakuan yang sudah tetap dari sekelompok individu (masyarakat) yang
dapat dikomuniksikan dan yang telah diterima sebagai miliki bersama. Pranata dapat dibagi
menjadi sua, yaitu pranata pertama (primary institution) dan pranata kedua (secondary
institution).
Yang termasuk pranata pertama adalah organisasi ke-kerabatan, sistem pembentukan
perasaan ekslusifisme,sistem tata tertib dasar, cara pemberian makanan anak-anak / bayi,
penyapihan, adat merawat anak, latihan buang air besar, larangan-larangan seksual, cara
pemuasan kebutuhan primer dan sebagainya. Yang termasuk pranata kedua adalah sistem
larangan, kepercayaan, upacara, ceritera rakyat, cara yang dipergunakan untuk menghadapi
mereka dan sebagainya.
Menurut Kardiner dkk, pranata pertama memberi pengaruh yang besar terhadap struktur
kepribadian dasar. Biasanya individu dalam suatu kelompok memiliki pe-ngaruh pranata
pertama yang sama, sehingga struktur ke-pribadiannya cenderung sama. Demikian pula
pranata ke-dua dalam suatu kelompok masyarakat cenderung sama, sehingga membentuk
struktur kepribadian yang sama.
e. Kepribadian Orang-orang Modern dari Alex Inkeles
Teori kepribadian dirumuskan oleh Alex Inkeles dari Universitas Harvard. Menurutnya
tujuan utama pem-

157

156
bangunan ekonomi adalah memungkinkan setiap orang untuk mencapai suatu taraf hidup
yang layak. Kemajuan sebagai hasil pembangunan tersebut seringkali diukur dengan tingkat
pendapatan nasional meupun pendapatan per kapita. Di samping itu pembangunan juga
mencakup ide pendewaan politik, yang tampak dalam suatu proses pemerintahan yang stabil,
teratur berdasarkan keinginan rakyat. Penyelenggaraan pendidikan, kesenian, budaya,
komunikasi dan sebagainya termasuk di dalamnya. Pada akhirnya ide pembangunan
mengharuskan adanya per-ubahan watak manusia, sebagai alat untuk mencapai tujuan
pembangunan lebih lanjut, disamping juga merupakan tujuan proses pembangunan itu
sendiri. perubahan watak tersebut adalah perubahan watak dari yang tradisional menjadi yang
modern.
Apa senenarnya yang dimaksud manusia modern tersebut ? jawaban terhadap pertanyaan
tersebut karena perubahan manusia dari yang tradisional ke arah modern seringkali berarti
melepaskan cara berfikir dan berperasaan, yang telah berpuluh bahkan berabad usianya dan
me-ninggalkan cara ini seolah-olah meninggalkan prinsip. Selanjutnya sifat yang membuat
orang menjadi modern itu tidak sering tampak sebagai suatu ciri yang netral, tetapi
merupakan ciri dari orang Eropa dan Amerika atau orang barat pada umumnya, yang hendak
dipaksakan kepada pihak lain yang dianggap tradisional.
yang menyangkut lingkungan alam, dan ciri dalam mengenai sikap, nilai dan perasaan.
Perubahan ciri luar yang dialami manusia modern banyak dilihat dalam kemajuan

157

156
manusia, seperti tampak dalam pola komunikasi, kepe-milikan harta, urbanisasi, pendidikan,
komunikasi, indus-trialisasi dan sebagainya. Perubahan ciri dalam menurut Inkeles adalah:
a. Mempunyai kesediaan untuk menerima pengalaman baru dan keterbukaan bagi
pembaharuan dan perubahan.
b. Berpandangan luas, tidak terpukau pada masalah di sekitar hidupnya saja, melainkan juga
masalah negara atau dunia.
c. Tīdak mementingkan masa lampau, melainkan masa kini dan masa depan, menghargai
waktu.
d. Suka bekerja dengan perencanaan dan organisasi yang ketat.
e. Yakin akan kemampuan manusia untuk menguasai alam tidak lagi menyerahkan hidupnya
kepada kemau-an alam.
f.Yakin bahwa hidupnya dapat diperhitungkan dan bukan ditetapkan oleh nasib.
g. Bersedia menghargai martabat orang lain, terutama wanita dan anak-anak.
h. Percaya pada ilmu pengetahuan dan teknologi.
i. Menganut prinsip bahwa ganjaran seharusnya diberi-kan sesuai dengan
tindakan/prestasi dan bukan karena kedudukan atau berdasarkan kelahiran seseorang.
C. PERTANYAAN
1. Jelaskan kutipan berikut ini “every man is in certain respect like all other man, like some
other men, like no other man"!
2. Jelaskan peran atau pengaruh kebudayaan dalam

159
158
pembentukan kepribadian!
3.Kemukakan kritik para antropolog terhadap teori Freud!
4.Mengapa gejala akil balig tidak sama pada setiap budaya?
5. Jelaskan tinjauan kultural adanya perbedaan sifat laki-laki dan perempuan!
6. Jelaskan teori struktur kepribadian dari Ruth Benedict!
7. Jelaskan konsep normal dan tidak sama pada setiap budaya?
8. Jelaskan konsep good adjusted / meladjusted jika ditinjau dari teori kepribadian status!
9. Kemukakan ciri-ciri kepribadian petani desa!
10. Kemukakan ciri-ciri kepribadian modern!

159
158
158
DAFTAR PUSTAKA
Bastaman, Hanna Jumhana (1997). Integrasi Psikologi dengan Islam.Yogyakarta:Pustaka
Pelajar.
Berry, John W, et.al. (1999). Psikologi Lintas Budaya, Riset dan Aplikasi (terjemahan).
Jakarta : Gramedia.
Cohen,Yehudi A.(1971). The shaping of men's minds : Ad-aptations to the imperatives of
culture. In Anthropo-logical Perspectives on Education (Wax et/al edit). New York:Basic
Bookks, Inc, Publishers.
Fromm, erich. (1964). Man for himself: An Inquiry Into The Psychology ofEthics. New York
: Holt Rinehart and Win-ston.
Handarini Danni M. (1997). Konseling Lintas Budaya,Makalah Kongres dan Konvensi
IPBI.Purwokerto.
James Danandjaja. (1994). Antropologi Psikologi. Jakarta: Rajawali Press.
Kuntjaraningrat. (1990). Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta : Universitas Indonesia.
Redfield. (1982). Masyarakat Petani dan Kebudayaan (terjemahan Daniel Dhakidae).
Jakarta : Rajawali.
Sumadi Suryabrata. (1983). Psikologi Kepribadian. Jakarta : Rajawali Press.
Tilaar,H.A.R. (1999). Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung :
Rosda Karya.
Wax Murray L.,Wax Rosaline H. (1971). Great Tradition,
Litle Tradition and Formal education. In Antropological Perspectives on Education (Wax et.
Al, Edit).New York: Basic Books Inc.,Publisher.

160
BIODATA PENULIS
Drs.M.JUMARIN, M.Pd. lahir di Sragen, 6 Agustus 1958. Setelah menamatkan Madrasah
Ibtidaiyah di Sragen (1970), Pendidikan Guru Agama 6 tahun di Surakarta (1976), kemudian
melanjutkan studi pada Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan,Fakultas Ilmu Pendidikan,
Universitas Sebelas Maret. Lulus Sarjana Muda tahun 1979, lulus sarjana tahun
1982.Selanjutnya mengikuti Program Pasca Sarjana,Pro-gram Studi Penelitian dan Evaluasi
Pendidikan IKIP Jakarta, lulus tahun 1994.
Pengalaman mengajar sebagai guru pembimbing di SMU Muhammadiyah Gemolong Sragen
(1980 - 1984), dosen tetap Universitas Muhammadiyah Surakarta (1983 -1985) dan mulai
tahun 1985 menjadi Dosen di Kopertis Wilayah V Yogyakarta,dipekerjakan pada Program
Studi Bimbingan dan Konseling IKIP PGRI Wates Yogyakarta, dengan jabatan akademik
terakhir Lektor Kepala.Jabatan yang pernah dipegang sebagai Kepala Biro Administrasi
Akademik, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan, Ketua Laboratorium Bimbingan Konseling,
Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling semuanya di IKIP PGRI Wates.
Aktif dalam kegiatan sosial keagamaan sejak di SLTA, aktif dalam Organisasi Profesi
Assosiasi Bimbingan Konseling Indonesia (ABKIN) sebagai Pengurus Daerah, Daerah
Istimewa Yogyakarta,menjadi Konselor Reproduksi Remaja di Kabupaten Kulon Progo.

163
163

Anda mungkin juga menyukai