Anda di halaman 1dari 22

DIMENSI PSIKOLOGIS HUBUNGAN KONSELING

Makalah ini dibuat untuk perbaikan nilai mata kuliah Psikologi Konseling

Dosen pengampu : Tatang Agus Pradana, M.Pd

Disusun oleh :

Muhammad Rofiq Fadli : 212411036

Rusyda Fithriya : 212411003

PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA AL GHAZALI

CILACAP

2021

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena


atas limpahan rahmat dan karunia-Nya lah Kami dapat menyelesaikan tugas yang
diberika oleh dosen yang kemudian dilanjutkan dengan penyusunan makalah dengan
judul “Dimensi Psikologis Hubungan Konseling”

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan banyak pihak yang dengan memberikan doa, saran dan kritik yang
membangun sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Kami berharap semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi banyak orang.

Kesugihan, 1 Oktober 2021

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................................3
BAB I.......................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................................4
A. Latar belakang..............................................................................................................4
B. Rumusan masalah.........................................................................................................5
C. Tujuan............................................................................................................................5
BAB II.....................................................................................................................................6
PEMBAHASAN......................................................................................................................6
A. Hakikat dan Karakteristik Hubungan Konseling.....................................................6
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Konseling..........................................10
C. Tahap-tahap Proses Konseling................................................................................14
D. Kondisi Fasilitatif dalam Hubungan Konseling.....................................................15
E. Hambatan-hambatan dalam Proses Konseling......................................................16
BAB III..................................................................................................................................20
PENUTUP.............................................................................................................................20
Simpulan...........................................................................................................................20
Saran.................................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................22

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Konseling merupakan inti kegiatan bimbingan secara keseluruhan yang
berkenaan dengan pengentasan masalah dan fasilitasi perkembangan individu.
Bimbingan yang diberikan berupa interaksi antara konselor dan konseli dalam suatu
kondisi yang membuat konseli terbantu dalam mencapai perubahan dan belajar
membuat keputusan sendiri serta bertanggung jawab atas keputusan yang ia ambil.
Konseling sebagai cabang ilmu dan praktik pemberian bantuan kepada individu
pada dasarnya memiliki pengertian spesifik sejalan dengan konsep yang
dikembangkan dalam lingkup ilmu dan profesinya. Diantara berbagai ilmu yang
memiliki kedekatan hubungan dengan konseling adalah psikologi/psikoterapi. Hal
ini dapat dilihat terutama pada tujuan, teori yang digunakan dan proses
penyelenggaraannya.

Konseling juga merupakan suatu bentuk khusus dari hubungan atau


komunikasi interpersonal. Sebagai suatu profesional, konseling bersifat helping
relationship. Dengan kata lain, hubungan antara tenaga ahli (konselor) dengan
individu yang dibantunya (konseli/klien) memiliki dinamika dan keunikan
dibanding hubungan membantu yang lain. Selain itu konseling juga merupakan
hubungan yang bersifat terapiutik (terapeutic relationship), hal ini didasarkan
bahwa dengan adanya konseling bertujuan meringankan beban psikologis,
memecahkan masalah hidup dan menyehatkan mental individu yang memiliki
masalah (May, 1997).
Dengan mencermati beberapa sifat dari konseling maka sudah barang tentu
nuansa atau dimensi psikologis yang dibangun antara konselor dan klien dalam

4
proses konseling sangatlah kental. Dinamika-dinamika psikologis yang muncul
dalam proses konseling bukan muncul karena direncanakan ataupun dipaksakan
namun hal tersebut muncul dengan spontanitas dan keunikan yang bermacam-
macam. Tentunya hal ini akan berpengaruh pada hubungan yang dibangun antara
konselor dan klien mengingat kualitas hubungan yang mereka bangun akan
menentukan pencapaian tujuan konseling yang diharapkan. Dengan demikian
ada beberapa pertanyaan yang muncul berkaitan dengan hubungan konseling,
yaitu apa faktor dan ciri khas hubungan dalam konseling, bagaimana tahap-tahap
dalam pembentukan hubungan konseling dan apa kesalahan-kesalahan yang harus
dihindari dalam pembentukan hubungan konseling

B. Rumusan masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat diketahui rumusan masalah pembuatan
makalah adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan hakikat karakteristik hubungan konseling ?
2. Faktor apa saja kah yang memengaruhi proses konseling ?
3. Sebutkan tahap-tahap proses konseling ?
4. Bagaimanakah kondisi fasilitatif dalam hubungan konseling ?
5. Apasaja hambatan dalam hubungan konseling ?

C. Tujuan
Dari rumusan masalah diatas dapat diketahui tujuan dimensi psikologis
hubungan konseling adalah sebagai berikut:
a) Mengetahui tentang hakikat dan karakteristik hubungan konseling
b) Mengetahui apa saja factor yang mempengaruhi proses konseling
c) Mengetahui apa saja tahapan proses konseling
d) Mengetahui kondisi fasilitatif dalam hubungan konseling

5
e) Mengetahui apa saja hambatan dalam hubungan konseling

BAB II

PEMBAHASAN

A.Hakikat dan Karakteristik Hubungan Konseling

Pada hakekatnya hubungan dalam konseling itu bersifat membantu


(helping relationship). Hubungan membantu itu berbeda dengan memberi (giving)
atau mengambil alih pekerjaan orang lain. Membantu tetap memberi
kepercayaan kepada klien untuk bertanggungjawab dan menyelesaikan segala
masalah yang dihadapinya. Hubungan konseling tidak bermaksud mengalihkan
pekerjaan klien kepada konselor, tetapi memotivasi klien untuk lebih
bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri mengatasi masalahnya. Hubungan
konseling mempunyai kualitas tersendiri yang mungkin tidak terdapat dalam
hubungan lain. Menurut Surya (2003:38) ada beberapa kualitas hubungan konseling
yang tidak dapat dijumpai dalam hubungan lain, yaitu:
1 .Ketulusan konselor dalam melakukan hubungan membantu ditandai dengan
sikap ramah, hangat, bersahabat, dsb, dapat menggugah klien untuk lebih
meyakini dirinya.
2 .Pemahaman yang diberikan konselor terhadap klien dengan segala latar
belakang dan masalah-masalahnya dapat membuat klien merasa diterima.
3 .Ketulusan orang,akan diperoleh dan berkembang melalui interaksi dengan
konselor yang tulus.
4 . Resiko yang timbul dari hubungan dengan konselor, dengan
sendirinya tidak menimbulkan akibat yang bersifat merusak, akan tetapi
dapat menunjang perkembangan.

6
5 .Respon-respon baru, akan diperoleh melalui serangkaian interaksi dalam
hubungan yang bersifat membantu. Dalam konseling, klien belajar
bagaimana membuat respon yang baru dan efektif dalam berinteraksi dengan
lingkungan.
Dari beberapa penjelasan mengenai kualitas dalam hubungan konseling dapat
diambil kesimpulan bahwa sebenarnya hubungan yang dibangun dalam proses
konseling antara konselor dan klien memiliki keunikan tersendiri. Selain itu
terdapat beberapa pendapat tentang karakteristik hubungan yang terbina dalam
proses konseling, George dan Cristiani (1990) dalam Latipun (2004:36-
37)mengemukakan enam karakteristik dinamika dan keunikan hubungan
konseling dibandingkan dengan hubungan membantu yang lainnya. Keenam
karakteristik itu adalah sebagai berikut:

a. Afeksi
Hubungan konselor dan klien pada dasarnya lebih sebagai hubungan
afektif daripada sebagai hubungan kognitif. Hubungan afektif tercermin
sepanjang proses konseling, termasuk dalam melakukan eksplorasi terhadap persepsi
dan perasaan-perasaan subyektif klien. Hubungan yang penuh afeksi ini dapat
mengurangi rasa kecemasan dan ketakutan pada klien, dan diharapkan hubungan
konselor dan klien lebih produktif.

b. Intensitas
Hubungan konseling dilakukan dengan penuh intensitas. Hubungan konselor
dan klien yang intensitas ini diharapkan dapat saling terbuka terhadap persepsinya
masing-masing. Tanpa adanya hubungan yang intensitas hubungan konseling
tidak akan mencapai pada tingkatan yang diharapkan. Konselor biasanya
mengupayakan agar hubungannya dengan klien dapat berlangsung secara
mendalam sejalan dengan perjalanan hubungan konseling.

7
c. Pertumbuhan dan perubahan
Hubungan konseling bersifat dinamis. Hubungan konseling terus
berkembang sebagaimana perubahan dan pertumbuhan yang terjadi pada konselor
dan klien. Hubungan tersebut dikatakan dinamis jika dari waktu ke waktu terus
terjadi peningkatan hubungan konselor dengan klien, penagalaman bagi klien,
dan tanggung jawabnya. Dengan demikian pada klien terjadi pengalaman belajar
untuk memahami dirinya sekaligus bertanggung jawab untuk mengembangkan
dirinya.

d. Privasi
Pada dasarnya dalam hubungan konseling perlu adanya keterbukaan
klien. Keterbukaan klien tersebut bersifat konfidensial (rahasia). Konselor harus
menjada kerahasiaan seluruh informasi tentang klien dan tidak dibenarkan
mengemukakan secara transparan kepada siapa pun tanpa seizin klien.
Perlindungan atau jaminan hubungan ini adalah unik dan akan meningkatkan
kemauan membuka diri.

e. Dorongan
Konselor dalam hubungan konseling memberikan dorongan (supportive)
kepada klien untuk meningkatkan kemampuan dirinya dan berkembang sesuai
dengan kemampuannya. Dalam hubungan konseling, monselor juga perlu
memberikan dorongan atas keinginannya untuk perubahan perilaku dan
memperbaiki keadaannya sendiri sekaligus memberi motivasi untuk berani
mengambil risiko dari keputusannya

f. Kejujuran
Hubungan konseling didasarkan atas saling kejujuran dan keterbukaan,
serta adanya komunikasi terarah antara konselor dengan kliennya. Dalam hubungan
ini tidak ada sandiwara dengan jalan menutupi klemahan, atau menyatakan yang

8
bukan sejatinya. Klien maupun konselor harus membangun hubungannya secara jujur
dan terbuka. Kejujuran menjadi prasyarat bagi keberhasilan konseling. Menurut
Shostrom dan Brammer (1982: 144-151) mengemukakan juga beberapa
karakteristik hubungan dalam konseling. Beberapa karakteristik itu adalah:
1) Unik dan Umum
Hubungan yang bersifat unik artinya bahwa hubungan antara konselor dengan
konseli/klien dalam konseling mempunyai ciri khas yang membedakannya
dengan bentuk hubungan yang lain. Setiap konselor dan klien memiliki
perbedaan individu yang membuat umumnya proses konseling menjadi sulit.
Dalam hal ini keefektifan konselor dalam membantu individu dapat tercapai jika ia
mengetahui dengan jelas bagaimana kepribadian dan tujuan sebagai penolong
(helper), memperlihatkan sikap-sikap dasar tertentu (sebagai helper) terhadap inividu
dan dapat mendemonstrasikan kemampuan-kemampuan yang berfungsi dasar untuk
menolong individu (klien). Beberapa keunikan hubungan dalam proses konseling
juga terletak pada:
(a) sikap dan perilaku konselor dan klien,
(b) strukturnya yang terencana dan bersifat terapiutik,
(c) adanya penerimaan terhadap klien secara penuh oleh konselor.
Sedangkan hal yang bersifat umum adalah terletak dalam karakteristik
hubungan juga terdapat dalam berbagai bentuk situasi hubungan antar manusia
seperti hubungan antara guru dengan murid, keluarga, sahabat, dsb.

2) Keseimbangan antara aspek obyektivitas dan subyektivitas


Dalam proses konseling interaksi konselor dengan klien tidak seluruhnya
bersifat obyektif, akan tetapi juga tidak seluruhnya subyektif. Hubungan dalam
konseling terdapat kesimbangan antara hal-hal yang bersifat obyektif dan yang
bersifat subyektif. Aspek Obyektif lebih mengarah pada aspek hubungan yang
bersifat kognitif, ilmiah. Hal ini dapat diartikan bahwa klien selain menjadi obyek
”studi” atau sebagai bagian dari manusia yang mengalami penderitaan, maka

9
konselor menghargai cara pandang dan nilai-nilai yang ada pada klien tanpa harus
memberikan penilaian personal. Sedangkan subjektifitas hubungan ditandai dengan
segi kehangatan dan perpaduan psikologis antara konselor dan klien. Pada intinya
kehangatan dan keterlibatan emosional antara konselor dan klien akan dipandang
sebagai sesuatu yang subjektif atau memiliki arti subjektif tersendiri khususnya bagi
klien.
3) Terdapat unsur kognitif dan afektif
Dalam proses konseling, hubungan antara konselor dan klien memilik
keseimbangan antara aspek kognitif dan aspek afektif. Aspek kognitif
menyangkut proses intelektual seperti pemindahan informasi, pemberian nasehat
pada berbagai macam tindakan ataupun pengintrepretasian data tentang klien.
Sedangkan aspek afektif mengarah pada ekspresi perasaan dan sikap.
4) Unsur kesamar-samaran (ambiguity) dan kejelasan
Dalam proses konseling terdapat unsur kesamar-samaran dan kejelasan dalam
arti pada situasi tertentu konselor memberikan rangsangan tersamar, sedangakan
dalam situasi lain konselor memberikan rangsangan yang jelas. Hal ini dimaksudkan
agar konselor dapat memperoleh informasi atau bagaimana cara pandang klien
terhadap masalah yang dialaminya. Selain itu konselor dapat memberikan penguatan
terhadap pemikiran, perasaan atau sikap positif klien yang mendukung dalam
pemecahan klien.
5) Adanya unsur tanggung jawab
Dalam hubungan konseling tanggung jawab tidak seluruhnya ada pada konselor
tetapi juga tidak seluruhnya ada pada klien. Perwujudan dari tanggungjawab ini
adalah antara konselor dan klien sama-sama memiliki tanggungjawab dalam tujuan
maupun komitmen yang dibangun antar keduanya.

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Konseling


Pembinaan hubungan dalam proses konseling tidak terjadi begitu saja
tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang memiliki peran penting demi

10
keberhasilan proses konseling. Selain itu juga mendukung terciptanya kualitas
hubungan konselor dan klien secara efektif dan efisien.
Menurut Gladding (2009) menyebutkan ada lima faktor yang mendukung
konseling, yaitu: (1) Struktur, (2) inisiatif, (3) Setting fisik, (4) kualitas klien, (5)
kualitas konselor diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Struktur
Mengenai struktur Gladding (2009) menjelaskan sebagai pemahaman
bersama antara konselor dan klien mengenai karakteristik, kondisi, prosedur dan
parameter konseling.Struktur membantu memperjelas hubungan antara konselor
dan klien, memberinya arah, melindungi hak-hak masing-masing peran dan obligasi-
obligasi baik dari konselor maupun klien dan menjamin konseling yang sukses.
Dengan struktur, klien merasakan adanya rencana yang rasional, merupakan peta
jalan konseling, menjelaskan tanggung jawab dalam penggunaan peta tersebut,
dan mengurangi ambiguitas dalam hubungan tersebut.
Pentingnya struktur sangat nyata bila klien menentukan tanggal untuk
konseling dengan berbagai harapan yang tidak realistik. Dalam hal ini, konselor harus
segera membangun struktur. Misalnya dengan cara memberi informasi tentang
proses konseling, juga memberi informasi tentang dirinya sendiri, mengenai
kompetensi profesionalnya. Struktur juga memberi kerangka kerja untuk konseling,
sehingga proses konseling bisa berjalan. Bila konselor tidak memberi struktur, ia
tidak fair k pada kepada klien-kliennya, karena klien kemudian tidak tahu apa yang
disebut dengan konseling. Klien akan merasa tidak aman, bingung dan takut, dan ia
juga tidak bertanggung jawab untuk suksesnya konseling.

2. Inisiatif
Inisiatif dapat dilihat sebagai motiviasi untuk berubah. Kebanyakan
konselor berpendapat bahwa klien yang datang akan bersikap kooperatif.
Memang betul, banyak klien yang datang untuk konseling, atas kemauan sendiri dan

11
atas kehendak sendiri. Sebagian dari mereka ini bersedia untuk bekerja keras
menghadapi permasalahannya, tetapi sebagian enggan dan segan (reluctant)
berpartisipasi dalam sesi-sesi konseling. Kebanyakan klien yang mengunjungi
konselor mempunyai keengganan sampai taraf tertentu. Salah satu kemungkinan
mengapa hal ini terjadi karena adanya communication anxiety (Lesmana, 2006).
Individu khawatir untuk menyampaikan data yang sifatnya pribadi. Setiap klien
yang datang meskipun datang atas kehendak sendiri, selalu mempunyai keragu-
raguan dan kecemasan menghadapi proses konseling.
Menurut Gladding (2009) ada macam jenis klien yaitu klien yang
enggan (reluctant), dan klien yang resistan (resistant). Klien yang enggan adalah klien
yang dirujuk oleh orang ketiga dan seringkali tidak termotivasi untuk mencari
bantuan (unmotivated to seek help). Sedangkan klien yang resisten adalah klien yang
tidak mau atau menolah perubahan. Individu semacam ini, mungkin mereka sendiri
yang menghendaki konseling, tetapi mereka tidak bersedia untuk melalui rasa sakit
yang dituntut untuk terjadinya perubahan. Mereka bertahan pada tingkah
lakunya sekarang, meskipun tingkah lakunya ini tidak produktif dan
disfungsional. Seringkali mereka tidak mau membuat keputusan, menghadapi
masalah secara dangkal (superficial) saja, tidak mengambil tindakan untuk
menyelesaikan masalah. Klien semacam ini sering mengatakan I don’t know.
Jawaban semacam inilah yang menyulitkan konselor dalam proses konseling
selanjutnya.

3. Seting fisik
Konseling dapat terjadi dimana saja, tetapi seting fisik yang nyaman,
dapat meningkatkan proses menjadi lebih baik. Salah satu hal yang dapat membantu
atau merugikan proses konseling adalah tempat dimana konseling itu
berlangsung. Biasanya konseling berlangsung di suatu ruangan. Ada beberapa hal
yang dapat membantu penampilan ruang konseling menjadi sesuatu yang
menarik dan tidak mengganggu klien. Misalnya, penerangan yang lembut, warna-

12
warna yang menenangkan, tidak berantakan, perabotan yang nyaman. Suhu ruang
yang tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas. Suasana yang tenang dan tidak
ribut. Semua ini dapat membantu terciptanya proses konseling yang kondusif. Jarak
antara konselor dan klien, keadaan spasial (proxemics) dapat mempengaruhi
hubungan konselor dan klien. Jarak seperti apa yang dapat dianggap nyaman, antara
lain dipengaruhi oleh latar belakang budaya, jender, dan sifat hubungan
tersebut. Jarak 30-39 inci, dianggap ”jarak nyaman” untuk hubungan konselor-
klien. Jarak optimal dapat bervariasi karena hal ini tergantung pada ukuran ruang dan
pengaturan perabotan dalam ruang konseling (Gladding, 2009). Setting fisik ini
perlu diperhatikan karena dapat memantu menciptakan iklim psikologis yang
kondusif utuk konseling. Usahakan suatu seting yang nyaman dan aman agar klien
mudah membuka diri kepada konselor.

4. Kualitas klien
Kualitas klien juga memiliki peranan penting dalam mendukung hubungan
maupun proses konseling yang kondusif. Kualitas dapat dilihat dari kesiapan klien
untuk berubah. Konseling tidak bisa dimulai kalau orang tidak mengenali
adaanya kebutuhan untuk berubah. Konseling baru bisa dimulai kalau orang
sudah siap untuk menerjunkan diri mereka sendiri ke dalam proses perubahan
(Lesmana, 2006). Selain itu bahasa non verbal klien juga sangat penting .Klien tidak
secara langsung mengemukakan sesuatu hal (pesan) baik yang ia pikirkan atau ia
rasakan kepada konselor, namun semua bisa diungkapkan dengan bahasa non verbal
klien. Seperti, raut muka, intonasi bicara. Dengan demikian konselor harus
memahami dan mempertimbangkan gestur badan, kontak mata, ekspresi wajah,
kualitas suara sebagai hal penting dalam komunikasi verbal pada proses
hubungan konseling (Gladding, 2009)

5. Kualitas konselor

13
Konselor yang berkualitas sangat mendukung berhasilnya konseling. Ada
beberapa karakteristik umum yang harus dipenuhi oleh seorang konselor supaya
dapat membantu terjadinya perubahan dalam diri klien yang dihadapinya.
Gladding (2009) mengutip pendapat beberapa ahli Misalnya Okun (1997),
menyebutkan kesadaran diri, kejujuran, kongruensi, kemampuan untuk
berkomunikasi, sebagai karakteristik yang harus dimiliki oleh konselor. Selain itu ahli
lain seperti Strong (1968), menyebutkan expertness, attractiveness, trustworthiness,
sebagai syarat. Berarti konselor harus ahli, menarik, dan dapat dipercaya.

C. Tahap-tahap Proses Konseling


Pada dasarnya konseling merupakan hubungan antara konselor dan klien
yang sifatnya terapeutis. Proses terapeutis menekankan pada pengembangan
hubungan terapeutis dengan klien dan mengembangkan tindakan strategis yang
efektif untuk memfasilitasi terjadinya perubahan. Untuk memfasilitasi terjadinya
perubahan maka proses konseling memiliki tahap-tahap yang sistematis. Secara
umum proses konseling memiliki empat tahap. Menurut Brammer, Abrego dan
Shostrom (1993) dalam Lesmana (2006) tahap-tahap dalam proses konseling
sebagai berikut:

a) Membangun Hubungan
Tujuan dari membangun hubungan dalam tahap pertama ini adalah agar klien
dapat menjelaskan masalahnya, keprihatinan yang dimilikinya, kesusahan-
kesusahannya, serta alasannya datang pada konselor. Sangat perlu membangun
hubungan yang positif, berlandaskan rasa percaya, keterbukaan dan kejujuran
berekspresi. Konselor harus menunjukkan bahwa dirinya dapat dipercaya dan
kompeten, bahwa ia adalah seorang yang kompeten untuk membantu
kliennya. Sasaran berikutnya adalah untuk menentukan sampai sejauh mana
klien mengenali kebutuhannya untuk mendapatkan bantuan dan kesediaannya

14
melakukan komitmen. Konseling tidak hasilnya tanpa ada kesediaan dan
komitmen dari klien.

b) Identifikasi dan Penilaian Masalah


Dalam tahap ini konselor mendiskusikan dengan klien apa yang mereka ingin
dapatkan dari proses konseling ini, terutama bila pengungkapan klien tentang
masalahnya dilakukan secara samar-samar. Didiskusikan sasaran-sasaran spesifik
dan tingkah laku apa yang ingin diubah. Intinya dalam hal ini konselor melakukakan
eksplorasi dan melakukan ”diagnosis” apa masalah dan hasil seperti apa yang
diharapkan dari konseling.
c) Memfasilitasi Perubahan Terapeutis
Dalam tahap ini konselor mencarinstrategi dan intervensi yang dapat
memudahkan terjadinya perubahan. Sasaran dan strategi terutama ditentukan
olehsifat masalah, gaya dan pendekatan konseling yang konselor anut, keinginan
klien maupun gaya komunikasinya. Konselor dalam tahap ini memikirkan
alternatif, melakukan evaluasi dan kemungkinan konsekuensi dari berbagai alternatif,
rencana tindakan. Hal ini tentunya bekerjasama dengan klien. Jadi konselor
bukan tempat pembuat alternatif, pembuat keputusan namun lebih kepada
memfasilitasi, memberikan wacana-wacana baru bagi pemecahan masalah
kliennya.
d) Evaluasi dan Terminasi
Dalam tahap ini konselor bersama klien mengevaluasi terhadap hasil konseling
yang telah dilakukan. Indikatornya adalah sampai sejauh mana sasaran tercapai,
apakah proses konseling membantu klien atau tidak. Tahap ini ditutup dengan
terminasi. Dalam terminasi konselor bersama klien menyimpulkan semua
kegiatan yang sudah dilalui dalam proses konseling. Selain itu konselor dapat
membuat kemungkinan tindak lanjut terjadinya proses konseling kembali
ataupun memberikan kemungkinan referal pada pihak lain yang lebih ahli yang
berkaitan dengan masalah klien.

15
D. Kondisi Fasilitatif dalam hubungan Konseling
Kondisi ini adalah Kongruensi ( Congruence ), Penghargaan positif tanpa syarat (
Positive Regards ), dan memahami secara empati ( Emphatic Understanding ), para
ahli lain ( Capruzzi, 1999 ), menambahkan kondisi seperti Kepedulian ( respect ), dan
kesadaran akan budaya ( Cultural Awareness ). Dan berikut penjelasan secara singkat
mengenai kondisi fasilitatif tersebut

a) Kongruensi dalam hubungan konseling dapat dimaknakan dengan


“menunjukan diri sendiri” apa adanya, berpenampilan terus terang dan
yang terpenting ialah adanya kesesuaian antara yang disampaikan
secara verbal maupun yang non verbal
b) Penghargaan positif tanpa syarat
c) Pemahaman dengan empati merupakan suatu kemampuan untuk
memahami cara pandang ( pikiran, ide ) dan perasaan orang lain
d) Kesadaran budaya mengacu pada kemampuan konselor untuk terbuka
dan memotivasi untuk belajar menerima dan memahami perbedaan
budaya yang ia miliki dengan budaya milik klien

E. Hambatan-hambatan dalam Proses Konseling


Dalam proses konseling terdapat tiga kondisi yang dapat membantu atau
menghambat proses konseling tergantung bagaimana hal itu dapat dinyatakan
dan ditangani. Menurut Brammer dan Shostrom (1982, 211:248) ketiga kondisi
tersebut adalah pemindahan (transference), pemindahan balik
(countertransference), dan penolakan atau resistensi (resistance).

1. Pemindahan (transference)
Secara umum menunjukkan dimana klien mengalihkan atau mengaitkan
perasaan atau sikap kepada konselor menurut cara yang pernah klien arahkan kepada
orang berarti (significant others), misalnya orang tua atau orang yang pernah

16
menguasai dan mendominasinya pada masa lalu (Mappiare, 2006). Istilah
pemindahan (transference) dalam pengertian yang luas menurut Brammer dan
Shostromm (1982) menunjukkan penyataan perasaan-perasaan klien terhadap
konselor, apakah berupa reaksi rasional kepada kepribadian konselor atau
proyeksi yang tidak sadar dari sikap-sikap dan stereotipe sebelumnya. Dalam
proses konseling klien memproyeksikan sikap-sikapnya secara tidak sadar
terhadap konselor.
2. Pemindahan balik (countertransference)
Secara umum pemindahan balik mengacu pada suatu kejadian dalam
konseling dimana konselor memproyeksikan, menanggapi setara, perasaan-perasaan
atau sikap klien berdasarkan pada pengalaman masa lalu atau hubungan konselor
degan orang lain (Mappiare, 2006:71). Definisi yang lain dikemukakan oleh
Brammer dan Shostrom (1982) bahwa pemindahan balik merupakan reaksi
emosional dan proyeksi konselor terhadap klien, baik yang disadari maupun tidak
disadari. Pemindahan balik ini dapat timbul karena bersumber dari kecemasan.
Pola kecemasan konselor dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu (1) masalah
pribadi yang tak terpecahkan, (2) tekanan situasional, dan (3) komunikasi perasaan
klien pada konselor . Konselor dapat mengatasi perasaan pemindahan balik ini
dengan cara (1)
membatasi sumber perasaan pemindahan balik, (2) meminta bantuan kepada ahli
lain. (3) mendiskusikan dengan klien, (4) menyadari diri sendiri (5) rujukan kepada
konseling atau terapi kelompok.
3. Penolakan (resistance)
Resistensi merupakan suatu sistem pertahanan klien yang berlawanan dengan
tujuan konseling atau terapi (Brammer dan Shostrom, 1982). Pada umumnya
konselor melihat resistensi sebagi suatu hal yang berlawanan dengan kemajuan dalam
pemecahan masalah dan oleh karena itu konselor harus berusaha menguranginya
sebanyak mungkin. Namun, konselor melihat resistensi sebagai suatu gejala yang
penting untuk dianalisa secara intensif. Dengan demikian pada dasarnya resistensi

17
merupakan gejala normal dalam proses konseling. Sumber munculnya resistensi
dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu resistensi internal dan resistensi
yang bersifat eksternal. Resistensi internal datang dari kepribadian klien sendiri,
dan resistensi eksternal timbul sebagai hasil konseling misalnya pengaruh teknik
yang digunakan oleh konselor atau sikap kontratransparasi konselor.
Fungsi positif dari resistensi dalam proses konseling adalah memberikan
indikasi kemajuan wawancara pada umumnya dan dasar untuk rumusan diagnostik
dan prognostic, memberikan informasi kepada konselor, bahwa ada struktur
pertahanan dari klien, sehingga konselor harus mempertimbangkan proses
selanjutnya, sebagai mekanisme protektif (perlindungan dari ancaman) bagi diri klien
melalui sistem pertahanannya.
Menurut Bugental (1952) dalam Brammer dan Shostrom (1982)
mengemukakan lima tingkatan intensitas gejala resistensi mulai dari yang paling
rendah sampai ke paling tinggi intensitasnya yaitu:
(1) Bersikap lamban (lagging)
Klien menghindari tanggung jawab, responya tidak bersemangat, distractible,
dan lebih ke arah intelektualisasi daripada konten emosi
(2) Kaku (inertia)
Menjawab dengan kata-kata pendek, tidak memperhatikan pengarahan konselor dan
tampak lelah.
(3) Tentatif resistensi
Termasuk indikasi bahwa klien tidak mau melanjutkan ketegangan fisik, menahan
rasa marah, perasaan berdosa, cemas.
(4) Resistensi sebenarnya
Menunjukkan intensifikasi tentatf seperti diam, menanyakan kompetensi konselor,
atau mempergunakan kata-kata kasar.
(5) Penolakan.
Tindakan klien sangat ekstrim misalnya dengan mengakhiri konseling, melawan
konselor. Ada beberapa langkah untuk mengatasi sikap resistensi dari klien yaitu:

18
i. Menghiraukan gejala-gejala resistensi klien tetapi tetap waspada
peningkatan resistensi. Dengan kata lain bila terjadi resistensi itu adalah hal
normal, namun konselor berusaha memahami karakteristik atau gaya
pertahanan diri klien.
ii. Menggunakan teknik adaptasi minor, yaitu melakukan tindakan
mengurangi resistensi dengan cara mengurangi pengaruh emosional,
mengubah langkah (mengurangi bertanya, mengeser postur lebih rileks),
menggunakan humor, dan memberikan dorongan dan penerimaan.
iii. Mengarahkan kembali isi wawancara pada hal-hal yang dapat
mengurangi resistensi
iv. Teknik penanganan langsung dengan cara: interpretasi resistensi, refleksi
perasaan resistensi, teknik referal, dan ancaman.

19
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Dari pembahasan diatas penulis dapat menentukan simpulan sebagai berikut :


Pada hakekatnya hubungan dalam konseling itu bersifat membantu
(helping relationship). Hubungan membantu itu berbeda dengan memberi (giving)
atau mengambil alih pekerjaan orang lain. Membantu tetap memberi
kepercayaan kepada klien untuk bertanggungjawab dan menyelesaikan segala
masalah yang dihadapinya. Hubungan konseling tidak bermaksud mengalihkan
pekerjaan klien kepada konselor, tetapi memotivasi klien untuk lebih
bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri mengatasi masalahnya.
Ada lima faktor yang mendukung konseling, yaitu: (1) Struktur, (2) inisiatif,
(3) Setting fisik, (4) kualitas klien, (5) kualitas konselor. Untuk memfasilitasi
terjadinya perubahan maka proses konseling memiliki tahap-tahap yang
sistematis. Secara umum proses konseling memiliki empat tahap. Menurut
Brammer, Abrego dan Shostrom (1993) dalam Lesmana (2006) tahap-tahap
dalam proses konseling sebagai berikut:
i. Membangun Hubungan
ii. Identifikasi dan Penilaian Masalah
iii. Memfasilitasi Perubahan Terapeutis
iv. Evaluasi dan Terminasi

B. Saran

20
Makalah yang disusun oleh penulis menyajikan tentang dimensi psikologis
hubungan konseling. Yang mana masih terdapat banyak kekurangan didalam baik
dalam penulisan kata, tanda baca maupun  isi yang kurang sesuai. Maka dari itu
penulis menyarankan agar tidak berhenti pada makalah ini dalam menuntaskan
masalah individu dalam perspektif psikologi. Namun kami juga tetap mencari sumber
lain yang lebih komperehensif.

21
DAFTAR PUSTAKA

Brammer, L.M dan Shostrom, E.L. 1982. Therapeutic Psychology: Fundamental


of Counseling and Psychoterapy: Fourth Edition. New Jersey: Prentice Hall
Inc.
Gladding, S.T. 2009. Counselling: A Comprehensive Professions 6 th
edition.New Jersey: Prentice-Hall.
Latipun. 2004. Psikologi Konseling. Malang: UMM Press.
Lesmana, J.M. 2006. Dasar-dasar Konseling. Jakarta: UI Press.
Mappiare, Andi. 2006. Kamus Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT. Rajawali.
Grafindo Persada.
May, Rollo. 1997. Seni Konseling. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Surya, M. 2003. Psikologi Konseling. Bandung: C.V. Pustaka Bani Quraisy.

22

Anda mungkin juga menyukai